Professional Documents
Culture Documents
M01718 PDF
M01718 PDF
M01718 PDF
Supatmi
patmie@staff.uksw.edu
Abstract
The accounting for biological assets in Indonesia is not yet standardized clearly. Although
International Accounting Standards Committe (IASC) has published IAS 41 on agriculture
that regulate biological assets, but until now Indonesia not yet adopted it. This study aims to
describe the accounting for biological assets, ie plantations, in PT. PTPN / PTPN (Persero)
Indonesia, and compared with IAS 41. The research data is the financial statements issued by
PTPN through the company website related. The results found the accounting of plantations
in PTPN are based on SFAS 14 and 16. If it is compared with IAS 41, the recognition is not
different, but different in terms of measurement and the presentation and disclosure. About
measurements, PTPN measure biological assets held at cost, whereas IAS 41 using the fair
value method. PTPN present and reveal the biological assets of the nursery until the
processing of agricultural products at the point of harvest into finished products below
depreciation, while IAS 41 only organize and express biological assets up to the point of
harvest only and do not reveal shrinkage.
Keyword: Accounting, Biological asset, SFAS 14, SFAS 16, IAS 41, PTPN
Abstrak
Perlakuan akuntansi aset biologis di Indonesia belum terstandar dengan jelas.
Meskipun IASC (International Accounting Standards Committee) telah menerbitkan IAS 41
tentang agrikultur yang mengatur aset biologis, tetapi sampai saat ini Indonesia belum
mengadopsinya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perlakuan akuntansi aset biologis,
yaitu perkebunan, di PT.Perkebunan Nusantara/PTPN (Persero) di Indonesia serta
membandingkannya dengan IAS 41. Data penelitian berupa laporan keungan yang diterbitkan
oleh 14 PTPN melalui website perusahaan terkait. Hasil penelitian menemukan perlakukan
akuntansi untuk tanaman perkebunan di PTPN didasarkan pada PSAK 14 dan 16. Apabila
dibandingkan dengan IAS 41, perlakuan akuntansi tersebut dalam hal pengakuan tidak
berbeda, namun berbeda dalam hal pengukuran serta penyajian dan pengungkapan. Terkait
pengukuran, PTPN mengukur aset biologis yang dimiliki berdasarkan biaya perolehan
sedangkan IAS 41 menggunakan metode nilai wajar. PTPN menyajikan dan mengungkapkan
aset biologis dari pembibitan hingga pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi
produk jadi berikut penyusutannya, sedangkan IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan
aset biologis sampai pada titik panen saja dan tidak mengungkapkan penyusutan.
Kata Kunci: Perlakuan Akuntansi, Aset Biologis, PSAK 14, PSAK 16, IAS 41, PTPN
1
PENDAHULUAN
tersebut terlihat dari data Departemen Pertanian yang menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan
pertanian di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Selain itu sektor agrikultur
juga telah mampu menyerap 38% tenaga kerja dan menyumbang 13% di dalam
perekonomian Indonesia, bahkan sektor ini juga memiliki peranan dalam menjaga ketahanan
khususnya perkebunan dalam aktivitasnya memiliki aset yang berbeda dengan aset yang
dimiliki oleh perusahaan di bidang lain. Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini
(2011) mengenai Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian
yang membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas
pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan
dikonsumsi atau diproses lebih. Dengan adanya transformasi biologis itu maka diperlukan
suatu pengukuran yang dapat menunjukan nilai aset pada perusahaan agrikultur secara wajar
sesuai dengan kontribusinya dalam menghasilkan aliran keuntungan yang ekonomis bagi
perusahaan.
dan prokreasi, serta untuk pengukuran awal hasil pertanian pada titik panen. IAS 41 sangat
dibedakan penilaian atas aset biologis yang mengalami transformasi biologis. Namun sampai
dengan saat ini, Indonesia masih belum mengadopsinya. Setelah hampir 11 tahun IAS 41
dipublikasikan pada tahun 2003, Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan
2
Indonesia (DSAK-IAI) belum menerbitkan PSAK yang mengacu pada IAS 41 karena IAS 41
masih direvisi beberapa kali dari tahun ke tahun karena terdapat kesalahan dalam konsepnya,
kesalahan dalam konsep tersebut belum dikaji dampak untuk praktik akuntansinya
bagaimana, revisi IAS 41 yang terakhir adalah revisi tahun 2009 (Handoko, 2011). Sementara
itu, perlakuan akuntansi aset biologis di Indonesia selama ini lebih mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap,
yang lebih menyinggung aset ‘sebagai benda mati’ dan bukan aset biologis ‘sebagai benda
terkait dengan perlakuan akuntansi aset biologis untuk industri agrikultur. Penelitian Ridwan
(2011) dan Safitri (2012) menyebutkan bahwa pengukuran aset biologis berupa tanaman
perkebunan yang berdasarkan harga perolehan sebagaimana PSAK 14 dan 16, dipandang
belum mampu memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan, karena
nilai tersebut belum mampu menunjukkan informasi tentang nilai sebenarnya yang dimiliki
oleh aset biologis, sebagaimana IAS 41. Sementara itu penelitian Widyastuti (2012) tentang
perbandingan perlakuan akuntansi sebelum dan sesudah penerapan IAS 41 pada PT.
Sampoerna Agro, Tbk. menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam pengakuan,
pengukuran, dan penilaian aset biologis. Hasil penelitian yang telah disebutkan di atas belum
Ridwan (2011) dan Safitri (2012) dengan penelitian Widyastuti (2012) membuat topik
penelitian tentang perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia menarik untuk diteliti
kembali.
Penelitian ini dilakukan pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) milik Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) di Indonesia yaitu PTPN I – PTPN XIV (Persero) yang bergerak
dalam bidang perkebunan. Penelitian ini hanya berupa studi kasus dan membatasi penelitian
3
ini dengan mengambil objek penelitian hanya pada aset biologis berupa tanaman perkebunan
yang dimiliki oleh PTPN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan akuntansi
aset biologis perkebunan pada perusahaan agrikultur di Indonesia yaitu PTPN yang masih
perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi dasar bagi perusahaan dalam perlakuan akuntansi aset biologisnya agar lebih andal.
Bagi dunia akademik penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan
bagi peneliti-peneliti di masa datang mengenai aset biologis. Bagi DSAK-IAI, penelitian ini
juga diharapkan bisa menjadi dasar pertimbangan perlu atau tidaknya IAS 41 diadopsi di
Indonesia.
TELAAH LITERATUR
Pada tahun 2000, IASC menerbitkan IAS 41 pada bulan Desember 2000 dan menjadi
efektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode mulai atau setelah Januari 2003, dan
revisi IAS 41 yang digunakan sekarang yaitu revisi 2009. IAS 41 mengatur perlakuan
keuangan, dan pengungkapan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, suatu hal yang
tidak tercakup dalam standar lainnya. Kegiatan pertanian adalah manajemen oleh entitas dari
transformasi biologis dari hewan hidup atau tanaman (aset biologis) untuk penjualan, hasil
pertanian, atau aset biologis tambahan (IAS 41 paragraf 1). IAS 41 berlaku untuk aset
biologis dengan pengecualian tanah yang berkaitan dengan aset biologis, aset tidak berwujud
4
yang berkaitan dengan aktivitas agrikultur, dan hibah pemerintah yang berkaitan dengan aset
Aset biologis merupakan jenis aset berupa hewan dan tumbuhan hidup, seperti yang
didefinisikan dalam IAS 41 paragraf 5:“Biological asset is a living animal or plant”. Jika
dikaitkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh aset, maka aset biologis merupakan jenis
aset berupa tanaman pertanian maupun perkebunan dan hewan peternakan yang diolah dan
dimiliki oleh perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (Ridwan 2011).
Aset biologis merupakan aset yang sebagian besar digunakan dalam aktivitas
agrikultur, karena aktivitas agrikultur adalah aktivitas usaha dalam rangka manajemen
transformasi biologis dari aset biologis untuk menghasilkan produk yang siap dikonsumsikan
atau yang masih membutuhkan proses lebih lanjut. Aset biologis memiliki karakteristik yang
berbeda dengan aset lainnya karena aset biologis mengalami transformasi biologis.
yang disebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup dan menghasilkan
aset baru dalam bentuk produk agrikultur atau aset biologis tambahan pada jenis yang sama
Berikut ini dijabarkan perlakuan akuntansi aset biologis menurut IAS 41, mulai dari
Pengakuan awal
Entitas mengakui aset biologis menghasilkan hanya ketika aset merupakan akibat dari
peristiwa masa lalu, besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke
entitas, dan nilai wajar atau biaya aset dapat diukur secara andal (IAS 41 paragraf 10). Aset
biologis menurut IAS 41 dibagi menjadi aset biologis belum dewasa dan aset biologis
dewasa, serta persediaan berupa produk agrikultur pada titik panen. Suatu aset disebut
sebagai aset biologis belum dewasa apabila umur atau manfaat aset biologisnya kurang dari
5
atau sama dengan satu tahun dan disebut sebagai aset biologis dewasa apabila umur aset
biologisnya lebih dari satu tahun serta telah mencapai spesifikasi untuk di panen.
Pengukuran
Aset biologis dalam lingkup IAS 41 diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal
laporan keuangan pada nilai wajar berbasis harga pasar setelah dikurangi dengan taksiran
biaya untuk menjual (IAS 41 paragraf 12). IAS 41 memperkenalkan pendekatan nilai wajar
(fair value) berbasis harga pasar untuk mengukur aset biologis yaitu aset tanaman dan hewan
ternak. Pendekatan ini mengasumsikan adanya harga pasar untuk tanaman dan hewan ternak
yang sedang tumbuh. Walaupun demikian, IASB juga menyimpulkan bahwa, dalam kasus
tertentu, nilai wajar tidak dapat diukur dengan andal (IAS 41 par.B19). Konsekuensinya
dimana harga yang ditentukan pasar tidak tersedia, dan alternatif estimasi nilai wajar
(alternative estimates of fair value) dinyatakan secara jelas tidak dapat diandalkan.
Dalam kasus-kasus seperti ini, aset biologis seharusnya diukur dengan biaya
perolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan penurunan nilai aset (IAS 41
paragraf B20). IAS 41 menyatakan bahwa penentuan nilai wajar untuk aset biologis atau hasil
yang dipanen dapat difasilitasi dengan mengelompokkan aset biologis atau hasil yang
dipanennya berdasarkan atribut pentingnya, contohnya umur atau kualitas. Entitas memilih
atribut ini sesuai dengan atribut yang digunakan di pasar untuk menentukan harga (IAS 41
paragraf 15). IAS 41 paragraf 17-24 memberikan aturan dalam menentukan nilai wajar aset
biologis dan hasil yang akan dipanen. Aturan tersebut yaitu berdasarkan pasar aktif, jika
terdapat pasar aktif untuk aset biologis atau hasil yang dipanennya, harga kuotasi di pasar
merupakan dasar yang tepat untuk nilai wajar aset tersebut. Jika entitas memiliki akses
terhadap berbagai pasar yang aktif, maka harus dipilih harga pasar yang paling relevan, dan
jika tidak terdapat pasar yang aktif, maka entitas harus menggunakan salah satu atau lebih
6
antara harga pasar transaksi terakhir, harga pasar untuk aset yang sama dengan
periode berjalan, deskripsi dari setiap kelompok aset biologis, jika tidak diungkapkan sebagai
informasi yang dipublikasikan dengan laporan keuangan maka entitas harus menjelaskan sifat
kegiatan yang melibatkan setiap kelompok aset biologis, entitas harus mengungkapkan
metode dan asumsi signifikan yang diterapkan dalam menentukan nilai wajar setiap
kelompok hasil pertanian pada titik panen dan setiap kelompok aset biologis, entitas harus
mengungkapkan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual dari produk agrikultural yang
telah dipanen selama periode tertentu, entitas mengungkapkan keberadaan dan jumlah
tercatat dari aset biologis, entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai
tercatat pada aset biologis di antara awal dan akhir periode berjalan (IAS 41 Paragraf 40-50).
persediaan adalah aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa, dalam proses
produksi untuk penjualan tersebut atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa (PSAK 14 paragraf 5). Sementara itu
definisi aset tetap dalam PSAK 16 paragraf 6 adalah aset berwujud yang (a) dimiliki untuk
digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak
lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari
tetap menurut PSAK 16, mulai dari pengakuan, pengukuran, serta penyajian dan
pengungkapannya:
Pengakuan
Suatu aset dapat diklasifikasikan sebagai persediaan bila memenuhi salah satu kriteria
berikut: barang yang dibeli untuk dijual kembali, barang jadi yang diproduksi atau barang
dalam penyelesaian yang sedang diproduksi termasuk bahan serta perlengkapan yang akan
digunakan dalam proses produksi (PSAK 14 paragraf 7). Sedangkan suatu aset tetap yang
memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya
perolehan (PSAK 16 paragraf 15). Biaya perolehan aset tetap secara ringkas meliputi harga
perolehan, biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung, serta estimasi awal biaya
Pengukuran
Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih
rendah (PSAK 14 paragraf 8). Biaya persediaan harus meliputi biaya pembelian, biaya
konversi, biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini
(PSAK 14 paragraf 9). Sedangkan nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam
kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang
diperlukan untuk membuat penjualan (PSAK paragraf 5). Biaya persediaan mungkin tidak
akan diperoleh kembali jika persediaan rusak, seluruh atau sebagian persediaan telah usang,
atau harga jualnya telah menurun. Biaya persediaan juga tidak akan diperoleh kembali jika
estimasi biaya penyelesaian atau estimasi biaya untuk membuat penjualan telah meningkat.
Praktek penurunan nilai persediaan di bawah biaya menjadikan nilai realisasi neto konsisten
dengan pandangan bahwa aset seharusnya tidak dinyatakan melebihi perkiraan jumlah yang
bahwa entitas dapat memilih model biaya (paragraf 30) atau model revaluasi (paragraf 31)
sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset
tetap dalam kelompok yang sama (PSAK 16 paragraf 29). Menurut Model Biaya (Cost
Model), setelah diakui sebagai aset, aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi
akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 paragraf 30).
Sedangkan menurut Model Revaluasi (Revaluation Model), setelah diakui sebagai aset, aset
tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian,
yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka
seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (PSAK 16 paragraf 36).
Setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total
biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah (PSAK 16 paragraf 44). Pilihan
yang disediakan untuk entitas memilih antara model biaya atau model revaluasi ini menjadi
Dalam PSAK 14, laporan keuangan harus mengungkapkan kebijakan akuntansi yang
digunakan dalam pengukuran persediaan termasuk rumus biaya yang digunakan, total jumlah
tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang sesuai bagi entitas,
jumlah tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual,
jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan, jumlah setiap
penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang, kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya
pemulihan nilai persediaan yang diturunkan dan nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan
9
Sementara dalam PSAK 16, laporan keuangan harus mengungkapkan dasar
pengukuran aset tetap yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto, metode
penyusutan yang digunakan, umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan, jumlah
tercatat bruto dan akumulasi penyusutan (dijumlahkan dengan akumulasi rugi penurunan
nilai) pada awal dan akhir periode, dan rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir
periode yang menunjukkan penambahan (PSAK 16 paragraf 74). Laporan keuangan juga
harus mengungkapkan keberadaan dan jumlah restriksi atas hak milik dan aset tetap yang
dijaminkan untuk liabilitas, jumlah pengeluaran yang diakui dalam jumlah tercatat aset tetap
yang sedang dalam pembangunan, jumlah komitmen kontraktual dalam perolehan aset tetap,
dan jumlah kompensasi dari pihak ketiga untuk aset tetap (aset tetap yang mengalami
penurunan nilai, hilang atau dihentikan yang dimasukkan dalam laba rugi) (PSAK 16
paragraf 75).
METODA PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini yaitu semua perusahaan perkebunan milik pemerintah di
Indonesia yakni PTPN I – PTPN XIV. Dari 14 PTPN, ada lima perusahaan yaitu PTPN VIII,
PTPN X, PTPN XI, PTPN XII dan PTPN XIV yang tidak mempublikasikan laporan
keuangan tahun 2012, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah
10
Tabel 1. PTPN di Indonesia
Data penelitian berupa laporan keuangan tersebut diperoleh dari website resmi semua
perusahaan perkebunan yang akan diteliti. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan
tujuan untuk memberikan gambaran mengenai perlakuan akuntansi aset biologis meliputi
PTPN (Persero). Dengan metode analisis deskriptif kualitatif, data yang diperoleh dari
website resmi PTPN (Persero) dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menjelaskan data-
data yang diperoleh untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh hingga tersaji
ke dalam laporan keuangan. Hasil analisis tersebut menggunakan analisis isi (content
analysis), yaitu metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah teks
(Bell, 2001). Analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi,
membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi
(Bungin, 2001; 220). Setelah mendapatkan gambaran penuh tentang proses pengakuan,
pengukuran, serta penyajian dan pengungkapan aset biologis berupa tanaman perkebunan
pada sembilan perusahaan yang diteliti, kemudian membandingkan perlakuan akuntansi aset
biologis perkebunan yang diterapkan di Indonesia dengan perlakuan akuntansi aset biologis
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini akan dijabarkan perlakukan akuntansi aset biologis di PTPN beserta
pengungkapannya.
Di dalam laporan keuangan PTPN, aset biologis dibagi atas aset tanaman semusim,
Dari sembilan PTPN yang menjadi sampel penelitian ditemukan tidak semua PTPN
mempunyai keempat kategori tersebut, dimana hanya PTPN II dan PTPN IX yang memiliki
aset biologis berupa ATS sedangkan tujuh PTPN lainnya hanya membagi aset biologisnya ke
dalam tiga kategori yaitu TBM, TM, dan persediaan. Ini menunjukkan bahwa PTPN II dan
IX terdapat pembibitan, baik dipakai sendiri oleh PTPN terkait ataupun bibit ini dijual ke
PTPN lain sehingga ada pengakuan sebagai persediaan bibit. Jika PTPN tersebut memiliki
pembibitan yang selanjutnya ditanam ke areal perkebunannya sendiri maka bibit tersebut
diakui sebagai ATS. PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri dan membeli bibitnya
12
dari PTPN lain akan mengakui bibit tersebut sebagai input bibit yang biaya perolehannya
Di dalam laporan keuangan, ATS dikategorikan sebagai aset lancar karena ATS yang
dapat ditanam sendiri sebagai tanaman perkebunan atau dijual ke PTPN lain digunakan dalam
jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal awal pelaporan. TBM dan TM
diklasifikasikan sebagai aset tidak lancar karena bersifat jangka panjang yaitu mempunyai
masa manfaat lebih dari 12 bulan. TBM direklasifikasi menjadi TM pada saat tanaman
tersebut dianggap sudah mampu menghasilkan produk agrikultur. Jangka waktu tanaman
taksiran manajemen dengan ketentuan yang telah disepakati dan ditetapkan oleh manajemen
perusahaan. Persediaan dikategorikan sebagai aset lancar. Persediaan yaitu produk agrikultur
dari tanaman menghasilkan pada PTPN. Produk agrikultur tersebut setelah dipanen diakui
sebagai persediaan untuk dijual atau dapat juga digunakan sebagai bahan baku dari proses
Kriteria pengakuan untuk semua komoditas aset biologis PTPN di Indonesia yang
terdiri dari kelapa sawit, karet, teh, dan kopi, sama-sama diklasifikasikan ke dalamempat
kategori. Untuk katerori ATS dan TBM, semua komoditas tersebut memiliki kriteria
pengakuan yang sama, dimana ATS terdiri dari pembibitan dan input bibit, sedangkan TBM
merupakan tanaman perkebunan sejak masa awal penanaman sampai memenuhi syarat diakui
sebagai TM. Aset Tanaman Semusim (ATS) untuk PTPN yang memiliki pembibitan sendiri
diakui sebagai pembibitan yang dapat dijual ke PTPN lain atau ditanam sendiri sebagai
tanaman perkebunan. Untuk PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri, maka PTPN
tersebut membeli bibit dari perusahaan lain dan mengakui bibit tersebut sebagai input bibit
yang biaya perolehannya dihitung termasuk ke dalam biaya perolehan Tanaman Belum
13
Menghasilkan (TBM). Sementara itu dalam kategori TM dan persediaan, semua komoditas
tersebut memiliki kriteria yang berbeda seperti dijelaskan pada bagan berikut:
Umur 5-6 tahun, 60% dari seluruh pohon Hasil panen berupa
per blok sudah dapat dideres dan getah dan produk
Karet mempunyai ukuran lilit batang lebih olahannya berupa
besar dari 45 cm dari pertautan okulasi. karet kering
setiap kriteria. Untuk TBM dan TM, PTPN menggunakan PSAK 16 tentang aset tetap
sebagai standarnya yakni menggunakan biaya perolehan serta mengakui adanya penyusutan,
dan untuk persediaan perusahaan menggunakan PSAK 14 atau IAS 2 sebagai standarnya
yaitu dapat memilih mana yang paling rendah antara biaya perolehan dan nilai realisasi neto.
yakni berupa kemampuan untuk menghasilkan produk agrikultur, maka perlu diadakan
pengakuan terhadap pemakaian manfaat tersebut ke dalam setiap periode dimana manfaat
tersebut dipakai. Cara untuk mengakui pemakaian manfaat dari tanaman telah menghasilkan
tanaman perkebunan dimulai sejak TBM direklasifikasi ke TM. Dengan adanya penyusutan
tanaman perkebunan berupa TM maka PTPN mengakui adanya pengurangan aset sebagai
hasil dari penyusutan umur ekonomis aset tanaman perkebunan. Metode penyusutan tanaman
perkebunan telah disesuaikan berdasarkan pedoman akuntansi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) perkebunan yang penerapannya telah diberlakukan untuk BUMN perkebunan sejak
tanggal 1 Januari 2009 berdasarkan surat dari Kementerian Negara BUMN Nomor :S-
manfaat ekonomis aset tanaman dengan menggunakan metode garis lurus yang dapat
Dari tabel diketahui bahwa tanaman teh memiliki umur ekonomis yang paling tinggi,
kemudian diikuti kopi dengan umur ekonomis 40 tahun, dan yang memiliki umur ekonomis
paling sedikit yaitu tanaman kelapa sawit dan karet yakni 25 tahun. Tarif penyusutan aset
biologis telah sesuai dengan pedoman akuntansi BUMN perkebunan yang menggunakan
metode garis lurus dalam menghitung penyusutannya. Dengan metode garis lurus PTPN
membagi manfaat ekonomi dari tanaman telah menghasilkan sama besar setiap periodenya
15
sampai dengan masa manfaat dari tanaman telah menghasilkan dapat digunakan. Semakin
tinggi umur ekonomis suatu tanaman perkebunan maka semakin kecil tarif penyusutannya.
IAS 41 PTPN
Aset Biologis diakui sebagai Aset biologis Aset biologis terbagi atas Aset Tanaman
belum dewasa, aset biologis dewasa, dan Semusim (ATS), Tanaman Belum
persediaan Menghasilkan (TBM), Tanaman
Menghasilkan (TM ), dan Persediaan hasil
panen
Aset biologis belum dewasa Aset Tanaman Semusim (ATS)
diklasifikasikan aset lancar, aset biologis diklasifikasikan aset lancar, Tanaman Belum
dewasa diklasifikasikan aset tidak lancar, Menghasilkan (TBM) dan Tanaman
dan persediaan diklasifikasikan aset lancar. Menghasilkan (TM ) diklasifikasikan aset tiak
lancar, dan Persediaan hasil panen sebagai
aset lancar.
Penyusutan diakui ketika nilai wajar tidak Penyusutan dihitung berdasarkan taksiran
dapat ditentukan sehingga perusahaan masa manfaat ekonomis aset tanaman dengan
menilai aset biologis dengan biaya menggunakan metode garis lurus.
perolehan, dan metode serta tarif
penyusutannya sesuai dengan kebijakan
perusahaan.
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Berdasarkan tabel di atas, pengakuan atas tanaman perkebunan menurut PTPN dan
IAS 41 secara umum sama, perbedaannya hanya terletak pada istilah aset biologis, namun
pertumbuhan aset. Aset biologis belum dewasa menurut IAS 41 sama halnya ATS dan TBM
di PTPN, sementara aset biologis dewasa merupakan TM di PTPN, dimana aset biologis
belum dewasa yang sudah memenuhi syarat diakui sebagai aset biologis dewasa
direklasifikasi menjadi aset biologis dewasa. Selanjutnya produk agrikultur pada titik panen
diakui sebagai persediaan, dimana PTPN mengakui persediaan dari titik panen sampai
menjadi barang jadi, sedangkan IAS 41 hanya mengatur standar aset biologis sampai
persediaan pada titik panen saja. IAS 41 diterapkan pada produk agrikultur berupa hasil
16
pertanian pada titik panen namun untuk pengolahan produk agrikultur menjadi persediaan
barang jadi tidak diatur di dalam IAS 41 tetapi diatur sendiri di dalam IAS 2 tentang
persediaan.
Sementara itu terkait penyusutan, menurut IAS 41 bagi perusahaan yang melakukan
penilaian terhadap aset biologis menggunakan nilai wajar, seharusnya tidak mengakui adanya
akumulasi penyusutan, kecuali ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan
menilai aset biologis dengan biaya perolehan sehingga penyusutan tetap diakui dan metode
serta tarif penyusutannya sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sedangkan PTPN mengakui
adanya penyusutan secara berkala berdasarkan taksiran masa manfaat ekonomis aset tanaman
dengan menggunakan metode garis lurus. Adanya pengakuan penyusutan aset biologis pada
perusahaan tentu berdampak pada penurunan laba rugi pada tahun berjalan.
Pengukuran aset biologis PTPN di Indonesia untuk semua komoditas sama sesuai
a) Aset Tanaman Semusim (ATS) dinyatakan sebesar biaya yang berhubungan dengan
input bibit, tenaga kerja langsung dan biaya yang dapat diatribusikan secara langsung
dan tidak langsung. Biaya penyisipan suatu aset tanaman dalam areal pembibitan
diakui sebagai penambah jumlah tercatat aset tanaman semusim. Penyusutan aset
tanaman semusim dimulai ketika bibit ditanam menjadi tanaman siap panen. Jumlah
penyusutan adalah sebesar jumlah yang dapat disusutkan dengan metode garis lurus
tanpa dikurangi nilai residu. Entitas melakukan review atas umur manfaat dan metode
17
b) Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dinyatakan sebesar biaya perolehan, terdiri dari
pemupukan, dan pemeliharaan atas TBM serta biaya tidak langsung seperti biaya
kapitalisasi biaya bunga pinjaman dan kerugian selisih kurs pinjaman dalam mata uang
c) Tanaman Menghasilkan (TM) Diukur berdasarkan nilai yang telah direklasifikasi dari
TBM ke akun tanaman telah menghasilkan pada saat tanaman tersebut mulai
d) Persediaan dinyatakan sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai
realisasi bersih (the lower of cost or net realizable value). Biaya persediaan hasil jadi
terdiri dari semua biaya yang dikeluarkan untuk TM seperti biaya pemupukan, biaya
pemeliharaan dan biaya panen, serta biaya pengolahan termasuk biaya olah lanjut dan
biaya umum (biaya tidak langsung) yang timbul di kebun dan pabrik. Keseluruhan
biaya tersebut diperhitungkan dengan nilai persediaan pada awal periode dengan
persediaan hasil jadi. Nilai realisasi bersih adalah estimasi harga penjualan dalam
kegiatan usaha normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan biaya penjualan.
Jika pengukuran aset biologis menurut PTPN di atas dibandingkan dengan IAS 41,
18
Tabel 4. Perbandingan Pengukuran Aset Biologis Menurut IAS 41 dan PTPN
IAS 41 PTPN
Aset biologis berupa aset biologis belum Aset Biologis berupa ATS, TBM, dan TM
dewasa dan aset biologis dewasa diukur diukur sebesar harga perolehan dikurangi
sebesar nilai wajar dikurangi taksiran biaya
akumulasi penyusutan sedangkan aset
untuk menjual biologis berupa persediaan diukur sebesar
nilai yang lebih rendah antara harga
perolehan dan nilai realisasi bersih
Tidak mengukur atau menghitung Mengukur atau menghitung penyusutan
penyusutan ketika aset biologis telah dikategorikan
sebagai TM
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
Berbeda dengan pengukuran aset biologis menurut PTPN, aset biologis menurut
lingkup IAS 41 harus diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal pelaporan berikutnya
pada nilai wajar berbasis harga pasar aktif setelah dikurangi dengan taksiran biaya untuk
menjual, kecuali nilai wajar tidak dapat diukur secara andal. Harga pasar aktif menurut IAS
41 sulit diketahui. Misalnya untuk komoditas kelapa sawit harga pasar dapat diketahui bila
manakala terdapat kebun kelapa sawit yang akan dijual. Menurut Riyadi (2010) disebutkan
contoh pada tahun 2008 harga yang ditawarkan untuk kebun kelapa sawit di Sumatera
Selatan seluas 2.000 hektar dengan tahun tanam 2004 dan 2005 ditawarkan dengan harga
Rp42.000.000,- per hektar dan 5.000 hektar lahan kosong siap tanam ditawarkan dengan
harga Rp12.000.000,- per hektar. Harga pasar kelapa sawit sulit ditentukan karena sangat
bervariasinya kondisi satu kebun kelapa sawit dengan kebun kelapa sawit lainnya karena
disebabkan perbedaan wilayah, kondisi tanah, letak kebun dan skala luasnya kebun.
Akibatnya nilai wajar tidak dapat ditentukan dengan andal apabila menggunakan harga pasar
paling kini. Ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan dianjurkan
nilai, tetapi apabila di kemudian hari nilai wajar dapat ditentukan maka tanaman perkebunan
yang telah dinilai menggunakan biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan
19
akumulasi penurunan nilai tersebut harus dinilai kembali menggunakan nilai wajar dikurangi
Begitu juga dengan pengukuran persediaan yang merupakan hasil pertanian menurut
IAS 41 diukur pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual pada titik panen. Menurut
PTPN pada saat TBM direklasifikasi ke TM yang diukur dengan akumulasi biaya perolehan
sebelumnya PTPN tidak mengakui adanya keuntungan maupun kerugian. Namun menurut
IAS 41 apabila pada saat dilakukan pengukuran pada suatu periode terdapat kenaikan atau
penurunan pada nilai wajar maka harus diakui sebagai keuntungan atau kerugian dan
dimasukkan kedalam laporan laba rugi (IAS 41 paragraf 28). Pada PTPN harga perolehan
dari aset biologis diperoleh dari biaya-biaya yang dikapitalisasi ke dalam aset biologis, tetapi
menurut IAS 41 semua biaya yang berkaitan dengan aset biologis yang diukur pada nilai
wajar contohnya biaya pemupukan dan pemeliharaan diakui sebagai beban pada saat
terjadinya, selain biaya untuk membeli aset biologis yaitu biaya pembibitan atau biaya untuk
membeli bibit.
Di dalam laporan posisi keuangan PTPN aset biologis berupa Aset Tanaman Semusim
(ATS) dan persediaan disajikan sebagai komponen aset lancar sedangkan aset biologis berupa
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM) disajikan sebagai
aktiva tidak lancar. Menurut IAS 41, di dalam laporan keuangan, aset biologis belum dewasa
disajikan sebagai aktiva lancar dan aset biologis dewasa disajikan sebagai aktiva tidak lancar,
sedangkan persediaan pada titik panen disajikan pada aset lancar. Secara umum penyajian
aset biologis pada aktivitas agrikultur menurut PTPN dan menurut IAS 41 adalah sama,
perbedaannya terletak pada jenis aset biologis yang diungkapkan. Pada PTPN di Indonesia
dan juga menurut IAS 41 suatu perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur harus
20
menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai tercatat pada aset biologis di antara
Pada PTPN di Indonesia perusahaan tidak hanya mengungkapkan aset biologis pada
aktivitas agrikultur sampai titik panen saja, tetapi juga menyajikan produk olahan dari hasil
pada titik panen. Contohnya pada kelapa sawit yaitu berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang
kemudian diolah menjadi minyak sawit dan inti sawit, kemudian inti sawit diolah menjadi
minyak inti sawit yang lebih jernih dan selanjutnya digunakan sebagai minyak goreng.
Namun menurut IAS 41 perusahaan hanya mengatur perlakuan akuntansi dan pengungkapan
yang berhubungan dengan kegiatan pertanian sampai pada titik panen saja, pengolahan
persediaan pada titik panen menjadi barang jadi diatur sendiri dalam IAS 2 atau PSAK 14
mengenai pesediaan.
Pengungkapan aset biologis menurut PTPN dengan IAS 41 memiliki persamaan serta
perbedaan dalam beberapa hal. Perbandingan pengungkapan aset biologis menurut PTPN
IAS 41 PTPN
Mengungkapkan jenis dan jumlah aset Mengungkapkan jenis dan jumlah aset
biologis. biologis
Hanya mengatur perlakuan akuntansi dan Tidak hanya mengungkapkan aset biologis
hanya mengungkapkan aset biologis yang pada aktivitas agrikultur saja tetapi juga
berhubungan dengan kegiatan pertanian. mengungkapkan pengolahan produk
Untuk pengolahan hasil panen menjadi agrikultur pada titik panen menjadi produk
produk jadi tidak diungkapkan jadi
Mengungkapkan kebijakan akuntansi yang Mengungkapkan dasar pengukuran yang
digunakan dalam pengukuran aset biologis digunakan dalam menentukan jumlah
tercatat aset biologis
Tidak mengungkapkan adanya penyusutan Mengungkapkan adanya depresiasi yang
aset biologis, maka pada laporan laba/rugi berdampak pada penurunan laba – rugi
tidak ada beban depresiasi yang berakibat pada tahun berjalan, serta mengungkapkan
adanya kenaikan pada laporan laba/rugi. metode penyusutan yang digunakan, umur,
manfaat ekonomi, dan tarif penyusutan
yang digunakan.
Sumber: Data sekunder diolah, 2014.
21
Penyajian dan pengungkapan aset biologis menurut IAS 41 dengan menurut PTPN di
Indonesia mempunyai kesamaan dalam hal pengungkapan jumlah dan jenis aset serta sama-
sam mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat
aset biologis. Sedangkan perbedaannya yaitu IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan
aset biologis sampai pada titik panen saja, sedangkan PTPN mengungkapkan aset biologis
berupa pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi. Selain itu, IAS 41
tidak mengungkapkan adanya penyusutan aset biologis, maka pada laporan laba/rugi tidak
ada beban depresiasi yang berakibat adanya kenaikan pada laporan laba/rugi sedangkan
PTPN mengungkapkan adanya depresiasi yang berdampak pada penurunan laba – rugi pada
tahun berjalan sehingga PTPN mengungkapkan metode penyusutan yang digunakan, umur,
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan pada PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) XIV (Persero), diperoleh kesimpulan bahwa PTPN (Persero) di Indonesia
dalam melakukan perlakuan akuntansi aset biologisnya telah menggunakan standar akuntansi
yang berlaku di Indonesia yaitu prinsip akuntansi yang didasarkan pada Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang mencakup PSAK 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset
tetap serta peraturan pemerintah yang lain yang berlaku dalam penyajian laporan keuangan
perusahaan. Perbedaan perlakukan akuntansi aset biologis antara PTPN dan IAS 41 lebih
kepada aspek pengukurannya, dimana PTPN lebih didasarkan pada harga perolehan sehingga
mengenal adanya penyusutan, sedangkan IAS 41 diukur sebesar nilai wajar dikurangi
taksiran biaya untuk menjual. Hal ini jugalah yang membuat perbedaan dalam penyajian dan
pengungkapan di dalam laporan keungan. Terkait pengakuan terdapat perbedaan dalam hal
22
istilah atau nama akun untuk aset biologis, namun secara konsep tidak berbeda karena sama-
Perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia telah didasarkan pada PSAK 14
tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap. Untuk itu, IAS 41 tidak perlu diadopsi
karena di Indonesia nilai wajar masih sulit ditentukan. Ketika nilai wajar tidak bisa diukur
maka IAS 41 memberi opsi menggunakan biaya perolehan sebagai dasar pengukurannya, hal
tersebut sama saja kembali ke dasar pengukuran menurut PSAK 16. Selain itu apabila
menggunakan nilai wajar menurut IAS 41, maka laporan keuangan akan mengakui
keuntungan dan kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar selama satu periode tetapi
keuntungan dan kerugian tersebut belu direalisasi karena tidak ada transaksi penjualan atau
penyerahan barang sehingga tidak terdapat arus kas masuk. Dalam situasi seperti ini apabila
otoritas pajak memiliki penafsiran yang berbeda, maka akan timbul pajak terhutang dari
keuntungan perubahan nilai wajar yang sebenarnya belum terealisasi, hal tersebut tentu saja
merugikan perusahaan.
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diolah dan dianalisis hanya
dari laporan keuangan yang dipublikasikan oleh PTPN tidak diverifikasi ke PTPN secara
melakukan verifikasi data dengan cara wawancara maupun observasi untuk memperoleh
informasi yang lebih relevan mengenai perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Accounting Principles Board. 1970. APB Statement No.4 Basic Concepts and Accounting
Available at www.aicpa.org.
23
BAPEPAM. 2002. Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau
www.bapepam.go.id
Baridman, Zaki. 1986. Intermediate Accounting Theory. Edisi alih bahasa. Yogyakarta: AK
Group.
Bell, G.F. 2001. Minority Rights and Regionalism in Indonesia. Will Constitutional
Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta; Kharisma Putra Utama Offset.
Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2008. Pernyataan Standar Akuntansi No. 14
Tentang Persediaan.
Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2011. Pernyataan Standar Akuntansi No. 16
https://rogonyowosukmo.wordpress.com/2011.
Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt, and Terry D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting.
Raharjo, Eko. 2007. Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntansi. Skripsi.
content/upload.
Ridwan, Achmad. 2011. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PT. Perkebunan Nusantara XIV
24
Persero). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar. Available at
www.repository.unhas.ac.id.
Riyadi, Deden. 2010. Analisis Nilai Wajar Kelapa Sawit Berdasarkan International
Sari, K Rachma, Rita M. 2011. Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan
Safitri, Syamsi. 2012. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis Hubungannya Dengan Kualitas
Informasi Keuangan pada PT. Perkebunan Nusantara VI Jambi. Skripsi. UPI Padang.
Available at www.core.ac.uk/download/pdf/11735571.pdf.
25