Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

VARIAN PENGGUNAAN PRONOMINA KEDUA PADA TUTURAN SEHARI-HARI

DALAM RANAH KELUARGA PENUTUR BAHASA JAWA DI KABUPATEN


NGANJUK

Firda Zuldi Imamah


Fakultas Ilmu Budaya, Magister Ilmu Linguistik, Universitas Diponegoro
firdazuldi@gmail.com

Abstract
The language use by the speaker is strongly influenced by where, whom and to whom the language
is spoken. One interesting phenomenon of the statement is the emergence of variations in the
second pronominal use in the family domain. This research chose family domain because
variations is affected by social distance factors between family members. This study took the family
domain in Nganjuk because it was found that a number of families who have more than one job
that is different in social class, such as a teacher with a side job as a farmer. This research uses
descriptive qualitative method which data were collected by interviewing and direct observating.
There are two things that this research are interested; (1) how the second pronominal use in the
family domain in Nganjuk and (2) how social factors influence second pronominal use on each
family member of Nganjuk. As the result conducted, it was found that the variants of second person
pronoun appeared into 4 categories; Level of speech, role-relationship, naming practice and
sociocultural. The second discovery is the work variable of PNS dominating the variation of speech
and role-relationship levels. Retirees dominate socioculture variants. In the social age variable,
speakers at 1-40 dominate the use of speech and role-relationship variants. While the speakers
aged 51-60 and 60 and above dominate the variant socioculture.

Key Words: language variation, social variable, second person pronoun, family domain, Javanese
language
Abstrak
Penggunaan bahasa sangat dipengaruhi oleh di mana, siapa penggunananya dan kepada siapa
bahasa dituturkan. Fenomena menarik dari pernyataan itu salah satunya adalah penggunaan
pronominal kedua dalam domain keluarga. Penelitian ini memilih domain keluarga karena
variasidipengaruhi oleh jarak sosial antar anggota keluarga. Penelitian ini mengambil domain
keluarga di Nganjuk karena banyak keluarga yang memiliki pekerjaan lebih dari satu, dan
pekerjaan tersebut memiliki kelas sosial yang berbeda, misalnya PNS dan petani. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan data dikumpulkan dengan observasi dan
wawancara. Ada dua tujuan 1) bagaimana penggunaan pronominal kedua pada domain keluarga
di Nganjuk dan 2) bagaimana faktor sosial mempengrauhi penggunaan pronominal kedua antar
anggota keluarga. Hasil menunjukkan bahwa bentuk variasi muncul dalam empat kategori utama;
bentuk tingkat tutur, status peran, praktek memberikan nama dan sosiokultur. Penemuan kedua
adalah penutur dengan pekerjaan sebagai PNS mendominasi penggunaan pronominal kedua
bentuk tingkat tutur dan status peran. Pensiunan sering menggunakan bentuk sosiokultur. Pada
kategori usia, penutur usia 1-40 mendominasi penggunaan tingkat tutur dan status peran,
sedangkan usia 51-60 dan di atas 60 tahun menggunakan bentuk sosiokultur.

1
PENDAHULUAN
Bentuk bahasa yang muncul di dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi yang
ada di sekitar tempat bahasa itu dituturkan, oleh siapa dan kepada siapa bahasa itu dituturkan.
Secara natural, tujuan kita menguratakan ujaran akan berdampak pada penggunaan bahasa yang
tidak tetap (Wardaugh, 2006: 4). Salah satu contoh situasi tersebut muncul pada kondisi sosial dan
geografis pada daerah penutur. Kondisi tersebut berakibat paamunculnya fenomena kebahasaan
yaitu varian penggunaan bahasa. Varian penggunaan bahasa bisa dipengaruhi oleh domain.
Fenomena varian penggunaan bahasa ini salah satunya terjadi pada penggunaan pronomina kedua
‘kamu’ dalam domain keluarga penutur Bahasa Jawa sehari-hari di Kabupaten Nganjuk.
Fenomena varian penggunaan pronominal kedua mempunyai sisi menarik untuk diteliti.
Pertama, penelitian ini membatasi penggunaan pronominal kedua Bahasa Jawa sehari-hari yang
muncul dalam domain keluarga. Hal ini berkaitan dengan adanya fenomena kebahasaan diglossia.
Diglossia menunjukkan suatu keadaan dimana ada low dan high variety dalam satu bahasa yang
sama yang diucapkan oleh penutur yang sama (Holmes, 2001: 27). Masyarakat Kabupaten
Nganjuk menjadi bukti nyata dari fenomena ini karena ketika keluar dari rumah, penutur Nganjuk
akan menggunakan Bahasa krama inggil untuk berkomunikasi. Namun saat di dalam rumah,
penutur akan menggunakan low variety untuk berbicara dengan anggota keluarga. Penelitian ini
mengambil domain keluarga dengan tujuan mengungkap varian pronominal kedua pada saat
penutur menggunakan low variety yang diharapkan akan lebih banyak muncul di dalam domain
keluarga. Kedua, penelitian in mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Nganjuk karena banyak
keluarga yang memiliki lebih dari satu kelas sosial yang berbeda apabila dilihat dari segi pekerjaan.
Kabupaten Nganjuk memiliki area ladang pertanian yang lebih luas dibandingkan dengan area
bangunan. Maka banyak penduduk yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani meskipun
mereka sudah memiliki pekerjaan yang secara status sosial lebih tinggi, misalnya PNS atau pejabat
desa. Fenomena ini didukung oleh kutipan, “We can be sure that no two speakers have the same
language, because o two speakers have the same experience of language” (Hudson, 1980: 12).
Menurut Hudson, bahkan setiap individu penutur tidak ada yang berbicara dengan cara yang sama
persis. Namun penelitian ini hanya membatasi varian bahasa yang muncul di dalam domain
keluarga dan varian bahasa yang dipengaruhi oleh faktor sosial.
Selain dua alasan di atas, penelitian ini mengambil domain keluarga karena menurut
peneliti, jumlah anggota keluarga dan peran yang ada dalam masing-masing anggota keluarga di
dalamnya mengambil peran penting dalam memunculkan variasi pronominal kedua yang beragam.
Misalnya, ayah memanggil anak perempuan pertamanya dengan sebutan mbak dengan tujuan
mengajarkan konsep peran sosial dalam keluarga kepada adik. Selain itu al ini bertujuan untuk
mengajarkan sisi kesantunan dalam status atau peran antar keluarga antara kakak dan adik. Strategi
kesantunan didapatkan penutur melalui proses belajar dan pengenalan konsep (Watts, 2003). Oleh
karena itu, peran orang tua untuk mengenalkan konse kesantunan memengaruhi munculnya varian.
Penelitian mengenai varian penggunaan bahasa sudah banyak diteliti oleh peneliti
terdahulu. Penelitian ini mengambil tiga contoh penelitian terdahulu. Pertama, penelitian berjudul
“Varitas Bahasa Masyarakat Cina di Surabaya (Kajian Bahasa Antar Etnik)” yang ditulis oleh
Sartini (2007). Peelitian ini bertujuan untuk mngetahui penggunaan bahasa oleh masyarakat Cina
antar etnik dan di dalam etnik. Penelitian ini menemukan bahwa penutur Cina antar etnik
cenderung menggunakan Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Sedangkan antar suku penutur lebih
cenderung menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa dan mandarin hokkian. Penelitian ini
memiliki kekurangan dalam segi penyajian hasil analisis data yang kurang menarik untuk dibaca
dan terlihat monoton karena hanya berbentuk deskripsi paragraf.

2
Penelitian kedua dilakukan oleh Rustiati (2008) yang berjudul “Penggunaan Bahasa Jawa
ngoko dan krama inggil di Kalangan Generasi Muda Jawa di Wilayah Madiun.” Kesimpulan
temuan dari penelitian ini adalah generasi muda di Madiun tidak dapat menerapkan tingkat tutur
Bahasa Jawa secara tepat pada tataran leksikon ngoko maupun krama inggil. Selain itu penelitian
ini menemukan generasi muda di Madiun tidak dapat menggunakan Bahasa Jawa ngoko dan krama
inggil secara baik dan benar. Kekurangan dari penelitian ini adalah peneliti belum menyebutkan
alasan mengapa wilayah Madiun menjadi sebuah ketertarikan untuk diteliti dari pada wilayah lain.
Penyebutan alasan lokasi penelitian dikhawatirkan menjadi hal yang penting terkait dengan
manfaat penelitian yang bisa menjadi sumber rujukan untuk penelitian di masa mendatang.
Penelitian yang berkaitan dengan varian bahasa yang terakhir adalah penelitian berjudul
“Penggunaan Bahasa Mbojo di Lingkungan Masyarakat Bima di Bima; Sebuah Kajian Variasi
Bahasa” oleh Erwin, dkk (2013). Penelitian ini bertujuan menggambarkan penggunaan bahasa
mbojo yang dipengaruhi oleh faktor sosial seperti usia, kedudukan dan jenis kelamin. Hasil
penelitian ini adalah penutur yang berusia lebih tua menggunakan varian kasar atau lumrah kepada
yang lebih muda, dan sebaliknya. Hasil kedua adalah penutur dengan kedudukan yang lebih tinggi
menggunakan variasi yang kasar dan lumrah kepada yang berkedudukan lebih rendah. Penelitian
ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Kelebihan metode ini adalah metode yang
digunakan oleh peneliti sudah dilakukan secara tepat sehingga mendapatkan data tuturan yang
otentik. Kelemahan dari penelitian ini adalah metode model analisis dan penyajian hasil analisis
yang monoton karena hanya disajikan daam bentuk paragraf deskripsi.
Dari beberapa penelitian sebelumnya, dapat ditemukan celah atau permasalahan baru yang
memicu peneliti untuk menganalisis dari segi penyajian hasil analisis data maupun latar belakang
pemilihan sumber data yang jelas. Celah pertama adalah sumber data yang berbeda dan target yang
berbeda. Sumber data yang baru diambil dari domain keluarga. Selanjutnya peneliti memilah data
dari domain keluargadari segi pengaruh usia, pekerjaan, jenis kelamin dan peran atau status setiap
anggota keluarga. Celah kedua adalah penelitian ini mengungkapkan secara jelas alasan dipilihnya
Kabupaten Nganjuk sebagai lokasi penelitian yaitu karena kondisi sosial masyarakatnya. Celah
yang ketiga yaitu penelitian ini akan menggunakan penyajian hasil analisis data yang disajikan ke
dalam variasi bentuk tabel dan grafik untuk data dan deskripsi paragraf untuk analisa data. Hal ini
bertujuan agar penyajian tersebut membuat pembaca tidak merasa bosan dengan model analisis
yang disampaikan.

Dari celah yang telah disebutkan, penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu;
(1) Bagaimana penggunaan pronominal kedua dalam domain keluarga di Kabupaten Nganjuk?
(2) Bagaimana faktor sosial memengaruhi penggunaan pronominal kedua pada setiap anggota
keluarga pada domain keluarga Kabupaten Nganjuk?

Penelitian ini memiliki dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara
teoretis, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber referensi rujukan bagi peneliti di masa
mendatang. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengayaan kebahasaan bauk
untuk kepentingan penelitian akademis maupun untuk penutur Bahasa Jawa secara umum.
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan khususnya pada varian penggunaan pronominal
kedua dalam Bahasa Jawa yang kemunculannya tidak hanya dalam bentuk tingkat tutur namun
juga dalam bentuk role-relationship, socioculture dan naming practice. Secara praktis, penelitian
ini bermanfaat untuk pembaca khususnya penutur Bahasa Jawa untuk mengetahui kekayaan

3
bahasa mereka. Selain itu sebagai pengetahuan untuk penutur Bahasa Jawa tentang penggunaan
varian pronominal kedua dan berbagai macam fungsinya.

TINJAUAN PUSTAKA
Faktor sosial penutur sangat mempengaruhi munculnya pola variasi bahasa. Faktor ini
berupa kelas sosial dan status sosial. Status sosial dapat diasosiasikan dengan kasta. Faktor
ekonomi dan sosial menjadi alasan utama untuk mengkategorikan suatu kelompkok masyarakat.
Bahasa yang mereka tuturkan menjadi identitas sosial yang terlihat pada penggunaan sosial dialek
(Holmes, 2001: 134). Dan kelas sosial ini mengatur kehidupan sehari-hari penutur. Holmes
berpendapat bahwa keturunan dan aturan sosial dapat menjadifaktor penentu suatu system kasta
dalam masyarakat tertentu yang dapat mengontrol bagaimana masyarakat tersebut berperilaku.
Aturan ini berlaku hingga perihal seperti pekerjaan, pernikahan, berpakaian, makanan, dan
kegiatan saat berinteraksi sosial (Holmes, 2001: 134). Dalam pernyataan ini dapat disimpulkan
bahwa kelas sosial tertentu dapat mengambil peran penting dalam perbedaan penggunaan bahasa
dengan kelas sosial lain.
Perbedaan kelas sosial dapat ditunjukkan dengan kekayaan, prestige, dan pendidikan yang
dimiliki penutur. Misalnya penutur dengan pendidikan yang tinggi akan membantunya dalam
pemilihan variasi bahasa dengan baik. Kosa kata menjadi ukuran pembeda utama dari penggunaan
bahasa oleh kelas sosial yang berbeda (Holmes, 2001: 135). Pernyataan ini dapat dimaknai sebagai
acuan bahwa tingkat kekayaan kosa kata dapat diukur melalui kelas sosial. Misalnya, kelas sosial
rendah tidak menguasai kosa kata lebih baik dari pada kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam
sosiolinguistik, dasar pemahaman yang perlu diketahui adalah bahasa akan berubah ketika ada
variasi setting dan siapa saja partisipan yang terlibat. Setting berhubungan dengan di mana dan
kapan penutur berbicara, dan partisipan berhubungan dengan siapa lawan bicara penutur.

Some relate to the users of language- the participants; others relate to its use – the social
setting and function of the interaction. Who is talking to whom (e.g. wife-husband,
customer-shop keeper, boss-worker) is an important factor. The setting or the social
context (e.g. home, work school) is generally relevant factor too. The aim or purpose of
the interaction (informative, social) may be important. (Holmes, 2001: 8)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa variasi bahasa dapat muncul berdasarkan partisipan
yang terlibat, setting sosial dan fungsi dari interaksi sosial yang terjadi. Contohnya, dalam suatu
domain interaksi sosial, peran sosial dari masing-masing pelaku akan terlihat dari cara mereka
berinteraksi. Interaksi sosial yang terjadi antara atasan dan bawahan, guru dan murid, pembeli dan
penjual, masing-masing akan menggambarkan situasi sosial atau identitas sosialyang ada di antara
mereka. Seperti yang dikutip dari Tabouret-Keller dalam Omoniyi, “language acts are acts of
identity'. He identified four key areas of identity research - self-identity, collective identity,
institutional identity and global identity” (Tope & White, 2006: 12). Identitas sosial dapat berubah
tergantung kondisi peran yang dimiliki.
Menghubungkan bahasa dengan kuasa, berarti menghubungkan bahasa dan ideologi.
Apabila ideologi terlibat dalam penggunaan bahasa, maka ada unsur politik yang melandasi
penggunaan bahasa itu. Hubungan antara gengsi dan munculnya varian bhasa juga tidak dapat
dihindarkan. Hal ini mengakibatkan bahasa menjadi alat untuk menunjukkan kuasa secara politik
maupun sosial (Spolsky, 1998: 5). Di dunia ini ada bahasayan begitu jelas menunjukkan adanya
korelasi ini. Korelasi seperti ini banyak ditunjukkan di bahasa yang sejarah bahasa tersebut

4
diturunkan dari kerajaan terdahulu dan masih diaplikasikan hingga penutur era sekarang.
Contohnya, bahasa Jawa dengan hierarki yang sangat kompleks, dan sangat jelas membedakan
situasi kuasa penutur ketika menggunakannya. Dalam bahasa dan kuasa, Ideologi sering sekali
diasosiasikan dengan bahasa, karena itu adalah cerminan yang paling natural dari sifat sosial
manusia ketika berbahasa (Fairclough, 1989: 2). Sifat sosial yang sangat beragam menuntun
penutur untuk mengubah pola bahasa mereka. Hal ini ditegaskan dalam kutipan, “That power is
often enough exercised through depriving people of their jobs, their homes and their lives…”
(Fairclough, 1989: 3). Dengan kata lain, sifat sosial yang muncul karena pekerjaan yang berbeda,
kelas sosial yang berbeda, usia yang berbeda, dll.
Dalam bahasa tertentu, faktor usia juga menjadi faktor munculnya pola variasi bahasa.
Contohnya, orang yang lebih tua dapat lebih bijaksana dalam pemilihan bahasa yang lebih baik
atau standar dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Menurut Holmes, suatu kelompok
masyarakat dengan rentang usia yang berbeda menunjukkan perbedaan pada acara penggunaan
tata bahasa dan pronunciation (2001). Dengan kata lain, rentang usia penutur menentukan bentuk
varian yang digunakan. Teori ini menjelaskan bagaiman usia bisa memengaruhi munculnya varian
penggunaan bahasa. Selain itu faktor sosiokultur juga memengaruhi munculnya varian bahasa.
Sosiokultur penutur Bahasa Jawa di Kabupaten Nganjuk adalah kultur Jawa. Penggunaan bahasa
urban semakin berkembang, namun apabila penutur bahasa rural memiliki jumlah penutur yang
banyak maka komponen kultural dalam bahasa rural tersebut tidak akan hilang (Sneddon, 2003).
Pemertahanan kultur Jawa yang ada pada penutur juga memengaruhi munculnya varian bahasa.
METODE
Pada proses penyediaan data, ada beberapa langkah yang dilakukan. Pertama, peneliti
menentukan sumber data yang akan di wawancara. Sehubungan dengan tema penelitian, peneliti
mengambil sampel keluarga berdasarkan jenis keluarga yang ditentukan berdasarkan jumlah
anggota dan peran yang ada di dalam keluarga. penelitian mengambil tiga jenis klasifikasi keluarga
yaitu; keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak tunggal, keluarga dengan orang tua dan anak
lebih dari satu, dan keluarga dengan orang tua, anak dan nenek atau kakek. Kemudian setelah
mengelompkkan data ke dalam tiga jenis keluarga, peneliti mengambarkan penggunaan
pronominal kedua antar anggota keluarga dalam bentuk tabel dan deskripsi. Langkah-langkah
yang disebutkan di awal tadi adalah untuk menjawab rumusan masalah pertama yaitu
mendeskripsikan penggunaan kata ganti orang kedua antar anggota kelaurga.
Untuk rumusan masalah kedua, peneliti menggunakan grafik yang menggambarkan
pengaruh variabel sosial usia dan pekerjaan dalam keluarga yang memengaruhi pemunculan varian
kata ganti orang kedua. Setiap variabel sosial akan dipresentasikan dalam satu grafik.
Penelitian ini hanya menggunakan teknik wawancara namun mengandalkan in-depth
interview yaitu wawancara secara mendalam untuk memeroleh kualitas data yang mencukupi.
Daftar tanya yang digunakan peneliti meliputi; variable sosial seperti usia, pekerjaan, pendidikan
terakhir dan jenis kelamin. Daftar tanya yang berkaitan dengan penggunaan kata ganti orang kedua
berisi; apa kata ganti yang digunakan untuk masing-masing anggota keluarga yang lain, apabila
kata ganti yang digunakan lebih dari satu, kata ganti yang memikiki frekuensi penggunaan lebih
tinggi, dan apabila terjadi bentuk penyimpangan penggunaan kata ganti berkaitan dengan tingkat
tutur terhadap status keluarga, dalam konteks apa penyimpangan itu terjadi.

5
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penggunaan Pronominal Kedua pada Domain Keluarga
Dari data yang terkumpul, dapat diketahui bahwa varian pronominal kedua yang muncul
di Kabupaten Nganjuk dalam domain keluarga terbagi ke dalam empat kategori bentuk; kategori
tingkat tutur, role-relationship, naming practice, socioculture.

No Kategori Varian pronominal kedua


1 Tingkat Ngoko we, kowe
tutur: Ngko alus awakmu, kono
Krama alus Sampean
Krama Njenengan
inggil
2 Naming practice memanggil nama addressee, sebutan spesifik (‘olokan’)
3 Socioculture Mbok, pak’e (nama anak pertama), buk’e (nama anak
pertama), mah, pah, le, nduk, mbah kung, mbah putri,
mama, papa, ayah
4 Role-relationship buk, pak, mbak, dek, mas, mbah, bapak, ibuk, mak
Tabel 1 Pengelompokan varian untuk pronominal kedua di Nganjuk
Penelitian ini menyajikan sampel sejumlah 7 data. Setiap datum disajikan ke dalam satu
tabel yang berisi informasi penggunaan pronominal kedua yang digunakan setiap anggota keluarga
dengan anggota keluarga yang lain pada percakapan sehari-hari. Penelitian ini menemukan suatu
pola yang menarik dari kemunculan varian kata ganti orang kedua yang dipengaruhi oleh jumlah
dan peran anggota keluarga di dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini mengelompokkan data
berdasarkan hubungan penutur dan mitra tutur. Dari semua anggota keluarga yang diteliti, terdapat
8 hubungan penutur dan mitra tutur.
a. Variasi pronominal kedua antara kakek dan nenek
Dalam komunikasi antara kakek dan nenek, terdapat varian pronominal kedua: buk,
we, pak, sampean. Dalam bentuk varian tingkat tutur, terdapat leksikon we dan
sampean. Varian we digunakan oleh nenek kepada kakek saat ada pengaruh afeksi,
yaitu ketika nenek sedang marah. Namun nenek memilih varian sampean saat tidak
marah. Sedangkan kakek menggunakan we kepada nenek. Varian tingkat tutur erat
kaitannya dengan hierarki kebahasaan. Adanya pengakuan tentang status yang lebih
tinggi dan status yang lebih rendah. Di dalam domain keluarga kakek memiliki status
yang lebih tinggi daripada nenek.
Namun pengaruh afeksi juga erat kaitannya dengan pengalihan kode. Ketika afeksi
penutur menguasai kendali, maka kemungkinan besar penutur akan mengeluarkan
bentuk low variety atau vernacular form.
Selain varian dalam bentuuk tingkat tutur, pronominal kedua yang muncul di antara
kakek dan nenk adalah varian bentuk role-relationship. Hal yang menarik dalam isu
iniadalah keyika kakek menggunakan bentuk ‘buk’ kepada nenek. Bentuk ‘buk’
diasosiasikan dengan peran ibu di dalam domain keluarga. status nenek dalam konteks
peran juga dapat dikatakan nenek sebagai ibu. Dalam keluarga berahasa dan berbudaya
Jawa, peran ‘buk’ atau ibu adalah orang yang bertanggung jawab mengurus rumah,
sebuah peran yang penting dalam memelihara keluarga. kemudian ketika kakek

6
menggunakan bentuk ‘buk’ kepada nenek, maka kakek masih mempertahankan peran
‘ibu’ terhadap nenek, meskipun statusnya sudah menjadi nenek bukan ibu.

b. Variasi pronominal keduan antara kakek atau nenek kepada orang tua
Varian pronominal kedua yang muncul dalam komunikasi antara kakek atau nenek
kepada orang tua diantaranya adalah memanggil nama, we, pak’e (nama anak pertama),
buk’e (nama anak pertama). Bentuk nama panggilan berasal dari konsep praktek
memberikan nama hampir semua data pada penelitian ini menggunakan varian nama
panggilan. Nama panggilan yang muncul dalam domain keluarga dapat muncul dengan
bentuk yng berbeda dengan nama panggilan saat penutur berada diluar domain
keluarga. setiap nama panggilan yang dimiliki oleh penutur akan berbeda menurut
environmentnya. Naming practice varian nama panggilan digunakan oleh nenek dan
kakek tanpa menambahkan pronominal lain.
Varian bentuk socioculture yang menarik yang muncul yaitu pak’e (nama anak
pertama) dan buk’e (nama anak pertma). Pada keluarga Jawa, sering ditemukan nenek
atau kakek mengunakan bentuk seperti pak’e (nama anak pertama) untuk merujuk ayah
dari cucunya. Orang jawa sangat peduli pada kehadiran anak pertama karena pada saat
itu keluarga tersebut menjadi keluarga yang utuh. Maka dari itu, nenek atau kakek
menggunakan bentuk pak’e (nama anak pertama). Partikel [e] menunjukkan possessive
pronoun.

c. Variasi pronominal kedua antara kakek atau nenek kepada cucu


Bentuk varian pronominal kedua yang muncul adalah bentuk nama panggilan, we,
nduk, sampean, le. Nenek menggunaan bentuk tingkat tutur halus karena ada proses
pengajaran nilai budaya dalam bentuk tingkat tutur itu sendidi. Berdasarkan sumber
informan, nenek atau orang tua yang menggunakan tingkat tutur halus kepada anak atau
cucu karena mereka ingin ‘mbasakne putu atau anake’. Pernyata itu bermaksud
mengajarkan dan membiasakan bahasa yang lebih baik dan lebih sopan kepada anak
atau cucu saat berbicara dengan orang lain.
Selain itu ada bentuk le dan nduk. Le adalah salah satu panggilan untuk anak lak-
laki suku Jawa, dan nduk adalah salah satu panggilan anak perempuan suku Jawa.
Bentuk ini digunakan oleh semua anggota keluarga yang lebih tua dari anak kedua dan
anak bungsu. Orang tua dan nenek menggunakan bentuk ini, begitu juga dengan kakak
tertua. Bentuk ini dipercaya memiliki nilai socioculture yang digunakan orang tua untuk
menuakan diri mereka atas diri yang lebih muda.
d. Variasi pronominal kedua antar ayah dan ibu
Varian pronominal kedua yang muncul antara ayah dan ibu adalah bentuk awakmu,
pak, buk, we, sampean, kono, dik, mas. Varian awakmu berasal dari kata awak yang
berarti diri dan suffix mu, yang menunjukkan possession dalam bahasa Jawa. Varian
awakmu berarti diri kamu. Varian ini digunakan oleh ayah kepada ibu karena secara
status ayah lebih tinngi dari pada ibu sehingga ayah diperkenankan menggunakan varian
ini. Selain varian awakmu, terdapat pula varian we dan sampean. Varian we ini
digunakan ayah kepada ibu ketika sedang dalam pengaruh amarah saja dan memicu
7
keluarnya bentuk vernacular. Hal yang serupa juga terjadi kepada ibu yang
menggunakan varian we kepada ayah ketika dalam pengaruh amarah
Penggunaan sampean oleh orang tua ini sangat menarik karena ada indikasi orang
tua untuk membudayakan penggunaan varian krama alus sampean di dalam lingkup
keluarga. dengan memiliki posisi sebagai orang tua yang dalam struktur keluarga
memiliki status yang lebih tinggi dari anak, namun orang tua menggunakan varian
krama alus sampean. bentuk mas
Panggilan dik dan mas digunakan oleh ibu kepada ayah, dan sebaliknya. Ibu
memertahankan penggunaan bentuk mas yang sudah dipakai sejak lama hingga
sekarang. Selain bentuk itu, ibu menggunakan bentuk kono kepada ayah.
e. Variasi pronominal kedua oleh orang tua kepada kakek atau nenek
Varian bentuk pronominal kedua yang digunakan oleh orang tua kepada kakek atau
nenek adalah sampean, mak, buk, njenengan. Penggunaan honorific address ditujukkan
oleh orang tua pada nenek dengan menggunakan sampan, njenengan. Saat orang tua
menggunakan bentuk tingkat tutur, maka orang tua lebih mempertahankan masalah
status sosial atau hierarki sosial. Sedangkan hal sebaliknya muncul ketika sebagan orang
tua memanggil nenek dengan sebutan mak. Mak adalah ‘ibu’ dalam bahasa Jawa, dan
erat kaitannya apabila diasosiasikan dengan peran dan status. Selain bentuk ‘mak’,
terdapat bentuk ‘buk’.

f. Variasi pronominal kedua oleh orang tua kepada anak


Varian bentuk yang muncul oleh orang tua kepada anak adalah nama panggilan, we,
sampean, awakmu, dek, kono, le atau nduk. Varian awakmu termasuk ke dalam varian
tingkat tutur ngoko alus. Varian kono digunakan oleh ayah kepada anak karena secara
status ayah lebih tinngi dari pada anak sehingga ayah diperkenankan menggunakan varian
ini. Selain varian awakmu, terdapat pula varian we dan sampean. ayah menggunakan varian
sampean kepada anak, ibu menggunakan varian sampean kepada anak,
Hal yang menarik pada penggunaan varian role-relationship adalah penggunaan varian
dek oleh ayah dan ibu kepada anak bungsu. Kata ‘dek’ berasal dari kata adik, yang berarti
orang yang lebih muda. anak bungsu yang dipanggil dek oleh anggota kleuarganya
memiliki dua kemungkinan alasan; karena dia anak tertu atau karena ingin mengajarkan
anak yang lebih tua untuk memanggil dengan dek. Kebiasaan yang terjadi pada keluarga
ini juga secara umum terjadi pada keluarga lain yang mengedepankan pentingnya peran
dan status di dalam keluarga.
Selain itu ada bentuk le dan nduk. Le adalah salah satu panggilan untuk anak lak-laki
suku Jawa, dan nduk adalah salah satu panggilan anak perempuan suku Jawa. Bentuk ini
digunakan oleh semua anggota keluarga yang lebih tua dari anak kedua dan anak bungsu.
Orang tua dan nenek menggunakan bentuk ini, begitu juga dengan kakak tertua. Bentuk ini
dipercaya memiliki nilai socioculture yang digunakan orang tua untuk menuakan diri
mereka atas diri yang lebih muda.

8
g. Variasi pronominal kedua oleh anak kepada orang tua
Varian yang muncul sangat beragam, yaitu; sampean, pak, mbok, ayah, mah, pah,
njenengan, buk, we, bapak’e, papa dan mama. Varian socioculture adalah varian
pronominal kedua yang menggambarkan sosiokultur kelompok masyarakat tertentu yang
bisa memberi identitas pada penggunanya. Dalam datum 2, varian socioculture muncul
pada penggunaan varian mbok oleh anak kepada ibu. Varian mbok adalah varian yang
digunakan masyarakat jawa tradisional yang tinggal di area rural. Hal ini didukung dengan
area tinggal keluarga datum 2 di area pedesaan yang banyak dikelilingi area persawahan
dan jarang penduduk. Anak lebih sering menggunakan varian mbok daripada varian tingkat
tutur sampean. Hal ini menunjukkan pengaruh sociokultur sangat berdampak pada
penggunaan pronominal kedua oleh anak.
Anak menggunakan varian sampean kepada orang tua. Hal ini sangat menarik karena
ada indikasi orang tua untuk membudayakan penggunaan varian krama alus sampean di
dalam lingkup keluarga.
Mah berasal dari kata mama. Kata ini diduga muncul dari budaya Cina. Di Indonesia,
pronominal mama digunakan oleh keluarga modern, menengah ke atas dan keluarga
dengan prestige tinggi. Keluarga ini tinggal di daerah urban yang padat penduduk dan
dilalui jalan besar. Hal inilah yang diduga memengaruhi penggunaan varian mah oleh anak
kepada ibu. Sedangkan anak menggunakan varian ayah kepada ayahnya. Varian ayah juga
sering digunakan pada keluarga menegah ke atas dan digunakan pada wilayah urban. Dari
penggunnaan kata ganti orang kedua pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa pengaruh
socioculture hanya berdampak pada anak saja.
Hal yang menarik pada penggunaan varian role-relationship adalah penggunaan varian
dek oleh ayah dan ibu kepada anak bungsu. Kata ‘dek’ berasal dari kata adik, yang berarti
orang yang lebih muda. anak bungsu yang dipanggil dek oleh anggota kleuarganya memiliki
dua kemungkinan alasan; karena dia anak tertu atau karena ingin mengajarkan anak yang
lebih tua untuk memanggil dengan dek. Kebiasaan yang terjadi pada keluarga ini juga secara
umum terjadi pada keluarga lain yang mengedepankan pentingnya peran dan status di dalam
keluarga.
Varian socioculture yang terakhir adalah bentuk mak. Bentuk mak adalah salah satu
panggilan untuk perempuan yang lebih tua dari penutur. Bentuk mak juga berasal dari kata
emak atau sama dengan cara menyebut ibu untuk masyarakat Jawa tradisional. Hal yang
menarik muncul karena semua anggota keluarga menggunakan kata ganti berupa mak
kepada nenek.
selain itu juga muncul bentuk mah dan pah. Dua bentuk ini berasal dari bahasa urban
mama dan papa. Bentuk ini digunakan oleh anak perempuan kepada orang tua, sedangkan
anak laki-laki mempertahankan penggunaan bentuk pak dan buk.
h. Variasi pronominal kedua oleh anak kepada orang tua
Varian bentuk yang muncul adalah awakmu, dek, sampean, nama olokan, mbak,
dek, le. Naming practice pada keluarga tidak hanya muncul dalam bentuk nama panggilan,
tapi juga nama olokan. Tapi nama olokan ini hanya muncul di antara para anak saja. Anak
bungsu menggunakan bentuk olokan kepada kakaknya yang laki-laki, namun
menggunakan bentuk honorific pada kakaknya yang perempuan. Dalam kasus ini muncul

9
gender dan age issue (akan dijelaskan di sub chapter B). antara kakak kedua dan kakak
tertua juga menggunakan nama olokan kepada masing-masing. Kakak tertua menggunakan
nama olokan kepada kedua adiknya. Nama olokan ini hanya dimengerti dan digunakan
oleh anak anggota keluarga ini saja. Fenomena ini menggambarkan kedekatan jarak sosial
antar persaudaraan.

B. Pengaruh Variabel Sosial Anggota Keluarga terhadap Pronominal Kedua yang


digunakan
Variable sosial menjadi salah satu penyebab terjadinya variasi kebahasaan.
Penelitian ini mengambil 3 variabel sosial yaitu pekerjaa, usia dan jenis kelamin untuk
menjadi pengukur bagaimana jenis variable sosial tersebut dapatmengontrol
penggunaan bahasa yang terbagi ke dalam 4 kategori; tingkat tutur, naming practice,
role-relationship dan socioculture.

a. Verian pekerjaan anggota keluarga terhadap pemilihan kategori varian


pronominal kedua

14
12
10
8
6
4
2
0
pensiunan IRT PNS pelajar wirausaha tidak
bekerja

tingkat tutur naming practice Role socioculture

i. Varian tingkat tutur


Varian tingkat tutur banyak digunakan oleh anggota keluarga yang
berprofesi sebagai PNS, pelajar dan wirausaha. Tingginya pengaruh ketiga profesi
ini karena suatu alasan. PNS adalah kalangan terpelajar yang sadar akan
penggunaan, fungsi, dinamika dari penggunaan varian tingkat tutur dalam keluarga.
mereka menganggap pengetahuan tentang fungsi dan penggunaan tingkat tutur
sangatlah penting,tidak hanya dalam masalah penggunaan tapi juga proses
pembelajaran terhadap budaya yang mereka ikuti. Pelajar adalah mereka yang
sedang dalam proses belajar dan kelompok terpeajar. Mereka mendapat
pengetahuan mengenai penggunaan dan funsi variasi tingkat tutur dalam proses
belajar mereka. Wirausaha belum tentu dalam golongan berpendidikan tinggi,
namun mereka memiliki kemampuan komunikasi dengan berbagai macam orang
karena mereka karyawan atau pedagang. Sehingga kondisi dan situasi di sekitar
mereka membuat mereka tahu variasi penggunaan dan fungsi pronominal kedua.

10
ii. Variasi naming practice
Varian naming practice banyak muncul pada profesi pelajar dan PNS.
Naming practice termasuk di dalamnya ada bentuk nama olokan. Pelajar karena
mereka masih muda maka mereka masih sering dijumpai menggunakan nama
olokan untuk saudaranya. Kemudian naming practice untuk bentuk nama panggilan
juga sering dilakukan oleh PNS atau sebagian pelajar juga.

iii. Variasi socioculture


Varian socioculture banyak dilakukan oleh pensiunan. Pensiunan adalah
mereka yang usianya sudah melampaui kemampuan produktifitas kerjanya. Varian
socioculture berpengaruh dengan nilai tradisional suatu nilai budaya. Hal ini
banyak dijumpai dipertahankan dan dilestarikan oleh para orang yang lebih tua.
Oleh karena itu, varian socioculture banyak dijumpai pada kelompok pensiunan.
iv. Variasi role-relationship
Varian role-relationship banyak digunakan oleh kelompok PNS. Pekerjaan
sebagai PNS memengaruhi dalam segi pentingnya kesadaran akan peran dan status
dalam suatu kedudukan.

b. Varian usia anggota keluarga terhadap pemilihan kategori varian


pronominal kedua

varian kata ganti orang kedua berdasarkan


varian usia anggota keluarga
30
20
10
0
1 s.d 40 41 s.d 50 51 s.d 60 61 dst

tingkat tutur naming role socioculture Column2 Column1

i. Varian tingkat tutur


Pada varian tingkat tutur, usia 1-40 tahun mendapat pengguna terbanyak. Usia 1-
40 adalah usia orang yang pergi belajar, mobilitas yang tinggi, dan pergi bekerja.
Hal iniselaras dengan varian tingkat tutur yang banyak digunaan oleh pengguna
usia 1-40 karena situasi mereka.
ii. Varian naming practice
Varian naming practice didominasi oleh kelompok tertua dan kelompok termuda.
Kelompok tua sering menggunakan bentuk nama panggilan kepada anggota
keluarga yang lebih tua. Sedangkan anak muda biasanya senang membuat nama
olokan dan membawa itu dalam keluarga.

11
iii. Varian role-relationship
Varian role-relationship banyak digunakan oleh pengguna usia 1-40. Pada usia ini,
penutur sering kali menggunakan bentuk prnomina yang berkenaan dengan peran.
iv. Varian socioculture
Varian sosiokulture banyak memengaruhi pengguna pada usia 1-40 dan 61 ke atas.
pada usia 60 ke atas, kemunculan varian sociocultural dipengaruhi oleh orang tua
yang ingin memertahankan kearifan budaya Jawa. Sedangkan pada pengguna usia
1-49, pengaruh sociocultural muncul karena usia tersebut terpengaruh oleh bahasa
urban. Karena pada usia tersebut kemampuan mereka untuk mobilisasi tinggi,
sehingga penutur mudah terpengaruh.
KESIMPULAN
Melihat dari penggunaan varian pronominal kedua pada domain keluarga di Kabupaten
Nganjuk, terdapat empat kategori utama. Bentuk tingkat tutur, bentuk socioculture, bentuk role-
relationship dan bentuk naming practice. Menurut hubugan penutur-mitra tutur, penggunaan
tingkat tutur adalah yang paling dominan digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa domain keluarga
di Kabupaten Nganjuk sangat peduli terhadap pemertahanan tingkat tuturnya. Dari segi naming
practice banyak digunakan oleh yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau antar bersaudara.
Dari segi role-relationship, yang paling dominan muncul adalah dari anak ke orang tua. Dari segi
socioculture paling sering dilakukan oleh yang lebih tua kepada yang lebihmuda.
Pengaruh variable sosial pekerjaan, PNS mendominasi varian tingkat tutur, naming
practice dan rle-relatioship. Sedangkan varian socioculture di dominasi oleh pensuinan. Pada
variable usia, kategori varian didominasi oleh kelompok usia 1-40. Karena pada usia itu, penutur
berada dalam proses belajar, bekerja dan bermobilitas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Erwin, dkk. 2013. “Penggunan Bahasa Mbojo di Lingkungan Masyarakat Bima di Bima”. E-
journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London & New York: Routledge.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Pearson Education Limited.

Hudson, R.A., 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.

Rustiati. 2008. “Penggunaan Bahasa Jawa ngoko dan krama di Kalangan Generasi Muda di
Wilayah Madiun”. (M.A Tesis). Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sartini, Ni Wayan. 2004. “Varitas Bahasa Masyarakat Cina di Surabaya (Kajian Bahasa
Antaretnik)”. Linguistika. Vol. 14

Sneddon, James. 2003. The Indonesian Language. Sydney: UNSW Press book.

12
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.

Tabouret-Keller. 1997. Hierarchy of Identities. In Tope & Goodith (Eds.). Sociolinguistics of


Identity. 12. London: Continuum.

Wardaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Sabon: Blackwell Publishing Ltd.

Watts, Richard J., 2003. Politeness. New York: Cambridge University Press.

13

You might also like