Professional Documents
Culture Documents
Studi Penulran 2010edf
Studi Penulran 2010edf
Studi Penulran 2010edf
ABSTRACT
RINGKASAN
Penyakit kuning pada tanaman tomat merupakan salah satu penyakit yang di
kategorikan sebagai “new emerging disease” akibat pengaruh pemanasan global.
Pada tahun-tahun belakangan ini, penyakit kuning mulai banyak dilaporkan terjadi
di berbagai negara penghasil tomat dunia. Gejala penyakit kuning terlihat
menguning pada jaringan di antara tulang daun terutama dar i daun-daun tua, mirip
dengan gejala yang disebabkan oleh kekurangan unsur hara. Telah dilaporkan
bahwa dua spesies virus yang berbeda yaitu ToCV dan TICV dapat terlibat dalam
menginduksi penyakit kuning ini. Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV
dilaporkan tidak dapat dibedakan dengan gejala yang diinduksi oleh infeksi TICV.
Selain itu, gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini bersama-sama
menginfeksi tanaman tomat. Menurut beberapa peneliti di belahan lain dunia,
terdapat beberapa spesies kutukebul yang mengkolonisasi tanaman tomat. Spesies
kutukebul yang ditemukan tersebut adalah T. vaporariorum, T. abutilonea, dan B.
tabaci. Data detail mengenai kutukebul pada tanaman tomat dan asosiasinya
dengan Crinivirus penyebab penyakit kuning belum tersedia di Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi virus penyebab
penyakit kuning di Indonesia, mengidentifikasi ulang kutukebul yang
mengkolonisasi tanaman tomat di lapangan, dan menetapkan keefektifan spesies
kutukebul dalam menularkan virus penyebab penyakit kuning.
Kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari keefektifan kutukebul dalam
menularkan virus penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat terdiri dari: 1)
survei penyakit kuning pada pertanaman tomat; 2) identifikasi virus yang
berasosiasi dengan penyakit kuning; 3) identifikasi kutukebul yang
mengkolonisasi pertanaman tomat; 4) penularan virus penyebab penyakit kuning
dengan kutukebul. Survei yang telah dilakukan di daerah Jawa Barat menemukan
bahwa penyakit kuning pada tanaman tomat telah banyak terjadi. Gejala penyakit
kuning lebih banyak terlihat pada tanaman tomat yang ditanam di daerah dengan
ketinggian sedang mulai dari 400 m dpl sampai ketinggian sekitar 1400 m dpl.
Secara umum kejadian penyakit kuning tanaman tomat sangat tinggi mencapai
100%. Kutukebul merupakan agens utama penyebar penyakit kuning di lapangan.
Hal ini terlihat dari hasil pengamatan di lapangan menemukan dua spesies
kutukebul yaitu B. tabaci dan T. vaporariorum pada tanaman tomat yang
terserang penyakit kuning. RT-PCR yang dilakukan terhadap jaringan daun yang
diambil dari tanaman tomat bergejala kuning di lapangan berhasil dilakukan
dengan primer spesifik ToCV maupun TICV dan terbentuk pita yang jelas dengan
ukuran sekitar 700 bp. Hasil deteksi ini mengindikasikan dengan jelas bahwa
penyakit kuning yang terjadi pada tanaman tomat di daerah Jawa Barat berasosiasi
dengan infeksi ToCV dan/atau TICV. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap
preparat puparium yang telah diberi pewarnaan memperlihatkan dengan jelas
perbedaan puparium B. tabaci dan T. vaporariorum. Puparium B. tabaci
berbentuk bulat memanjang, mempunyai tujuh pasang rambut dorsal yang
iv
Kata kunci: Bemisia tabaci, tomato infectious chlorosis virus (TICV), tomato
chlorosis virus (ToCV), Trialeurodes vaporariorum.
v
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
vii
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT semesta alam, atas ramat dan karunia-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul
Keefektifan Kutukebul dalam Menularkan Virus Penyebab Penyakit Kuning pada
Tanaman Tomat. Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Kompetitif
Penelitian Sesuai Prioritas Nasional [Ditjen Dikti Depdiknas]
No.343/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 dan dari kerjasama dengan Utsunomiya
University, Japan melalui Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
Penulis ucapkan terima kasih dengan tulus kepada Bapak Dr. Ir. Gede
Suastika, M.Sc. (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah,
M.Si., dan Ibu Dra. Dewi Sartiami, M.Si. (Anggota Komisi Pembimbing) yang
telah memberi saran, petunjuk, koreksi, dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Nasehat dan arahan dari para
pembimbing tidak akan pernah dilupakan, serta semangat dan kerja keras
pembimbing akan selalu saya contoh. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Kikin
Hamzah Mutaqin, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberi
masukan dan saran atas penulisan tesis ini.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu penelitian ini dalam pengambilan sampel, pengerjaan laboratorium:
Donnarina Simanjuntak, Ibu Rika Meliansyah, Alis Mukhlis. Kepada teknisi dan
laboran Lab. Virologi: Mba Tuti Legiastuti dalam membantu mengerjakan deteksi
virus, Pak Mpud dalam mambantu menyediakan peralatan penelitian, informasi,
masukan dan juga Pak Edi; laboran Lab. Biosistematika: Ibu Aisyah yang
bersedia membantu dalam proses identifikasi kutukebul; teknisi lapangan di
Darmaga Pak Sodik yang membantu menyediakan peralatan penelitian; di Cianjur
Pak Ateng yang telah membantu proses pengerjaan penelitian di lapangan.
Terima kasih atas dukungan dan semangatnya dari teman-teman di lab: Ka
Elsa, Mba Lia, Mba Pipiet, Pak Sayuthi, Faishol (Mahasiswa S1 angkatan ‘43),
Mba Cici, Mba Devi, Bu Ifa, Bu Rita, dan Pak Irwan. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih sebesar-besarnya dan kepada merekalah penelitian ini
kupersembahkan: orangtuaku Ir. Darwanto dan Dewi Tri Puji Astuti; kakakku
Elly; dan adik-adikku Intan, Herlina, Indah, dan Sita yang selalu memberi
dukungan, motivasi, dan doanya kepada penulis. Keluarga merupakan segalanya
yang terbaik buat hidup saya yang selalu memberi dukungan dan dorongan
semangat sehingga penyelesaian studi ini berjalan sesuai harapan. Nasehat dan
semangat dari orangtua akan selalu diingat agar ke depannya penulis bisa menjadi
orang yang lebih mandiri dan dewasa.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 20 Juni 1985 dari ayah Ir.
Darwanto dan Ibu Dewi Tri Puji Astuti. Penulis merupakan putri kedua dari enam
bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cikampek dan pada tahun
yang sama penulis diterima di Program Studi Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten
mata kuliah Pestisida dan Teknik Aplikasi tahun ajaran 2006/2007. Pada tahun
2006/2007 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) menjabat Humas. Penulis menamatkan Strata-1 pada tahun 2007.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi
Fitopatologi Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
Manfaat Penelitian ...................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) ..................................... 4
Tomato chlorosis virus (ToCV) .................................................... 5
Infeksi Ganda (TICV dan ToCV) ................................................. 6
Kutukebul ................................................................................. 7
Trialeurodes vaporariorum ................................................... 8
Bemisia tabaci ..................................................................... 9
Hubungan Virus dengan Serangga Vektornya ............................... 11
BAHAN DAN METODE .................................................................... 13
Tempat dan Waktu ...................................................................... 13
Survei Penyakit Kuning pada Pertanaman Tomat ........................... 13
Identifikasi Virus yang Berasosiasi dengan Penyakit Kuning .......... 13
Ekstraksi RNA ..................................................................... 13
Reaksi RT ........................................................................... 14
PCR .................................................................................... 14
Identifikasi Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat ...... 15
Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul ........ 15
Inokulum Virus .................................................................... 15
Kutukebul ........................................................................... 16
Penularan Virus oleh Kutukebul ............................................ 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 17
Survei Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat di Jawa Barat .......... 17
Virus-Virus yang Berasosiasi dengan Gejala Kuning pada Tanaman
Tomat ....................................................................................... 19
Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat di Jawa Barat . 20
Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul........ 23
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 29
Kesimpulan ............................................................................... 29
Saran ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 30
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian
tempat di daerah Bogor dan Cianjur ....................................................... 18
2 Penularan ToCV dan TICV melalui T. vaporariorum dan B. tabaci dari
tanaman sumber virus terinfeksi ganda ................................................... 23
3 Keefektifan B. tabaci menularkan ToCV pada tomat dari tanaman sumber
virus terinfeksi tunggal ......................................................................... 25
4 Keefektifan T. vaporariorum menularkan ToCV dan TICV pada tomat
dari tanaman sumber virus terinfeksi tunggal .......................................... 26
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gejala kuning pada tanaman tomat mulai terjadi dari daun-daun bawah
kemudian berkembang ke arah pucuk (atas). Klorosis terutama terjadi
pada jaringan di antara tulang daun (interveinal chlorosis, bawah) ............ 19
2 Hasil amplifikasi DNA genom virus menggunakan pasangan primer
spesifik ToCV (lajur 1 dan 2) dan spesifik TICV (lajur 3 dan 4) terhadap
sampel daun yang diambil dari tanaman tomat bergejala kuning dari
Cipanas (lajur 1), Pacet (lajur 2 dan 3), dan Cikajang (lajur 4). Lajur M
adalah 1 kb DNA leader (Qiagen, Germany) ........................................... 20
3 Imago B. tabaci (kiri) dan T. vaporariorum (kanan) ................................. 21
4 Preparat puparium T. vaporariorum (kiri) dan B. tabaci (kanan): (a) seta
kauda, (b) vasiform orifice, (c) rambut dorsal, (d) pinggiran trakea,
(e) basal tungkai tengah dan belakang, (f) ruas abdomen VII, (g) submargin,
(h) lingula ........................................................................................... 22
5 Gejala kuning pada tanaman tomat yang telah diinokulasi dengan ToCV
(kiri) dan TICV (kanan) ....................................................................... 24
6 Hasil amplifikasi DNA TICV dan ToCV dengan metode RT-PCR
menggunakan sepasang primer TICV dan ToCV. M (marker 1 kb);
lajur 1 (negatif TICV), lajur 2 - 9 (positif TICV); lajur 14, 15, 17
(negatif ToCV), lajur 10 -13, 16, 18 (positif ToCV) ................................. 28
xiii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit kuning pada tanaman tomat merupakan salah satu penyakit yang di
kategorikan sebagai “new emerging disease” akibat pengaruh pemanasan global
(Dovas et al. 2002; Segev et al. 2004). Pada tahun-tahun belakangan ini, penyakit
kuning mulai banyak dilaporkan terjadi di berbagai negara penghasil tomat dunia
(Louro et al. 2000; Dalmon et al. 2008). Gejala penyakit kuning terlihat
menguning pada jaringan di antara tulang daun terutama dari daun-daun tua, mirip
dengan gejala yang disebabkan oleh kekurangan unsur hara (Navas-Castillo et al.
2000; Accotto et al. 2001). Pada kunjungan di beberapa lokasi di sentra produksi
tomat dataran tinggi di Bogor, Cianjur, dan Garut menemukan gejala penyakit
kuning dengan ciri-ciri yang sama dengan yang telah dilaporkan di negara lain
(Tsai et al. 2004; Dalmon et al. 2005). Serangan penyakit ini sudah dirasakan
pengaruhnya oleh petani setempat mulai tahun 2007 (Hasil wawancara dengan
petani di lokasi pengamatan). Pengaruh yang sangat dirasakan petani adalah
mengecilnya ukuran buah tomat dan proses pemasakan buah yang tidak normal
sehingga tidak bernilai ekonomi. Pengaruh yang sama juga dilaporkan oleh Wisler
et al. (1998).
Penyakit kuning dilaporkan diinduksi oleh dua spesies virus yang berbeda
yaitu tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan tomato chlorosis virus (ToCV)
(Dalmon et al. 2005). Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV dilaporkan tidak
dapat dibedakan dengan gejala yang diinduksi oleh infeksi TICV (Dovas et al.
2002). Selain itu, gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini
bersama-sama menginfeksi tanaman tomat (Wintermantel et al. 2008).
Menurut Wintermantel et al. (2005), dan Lozano et al. (2007) ToCV adalah
virus yang berbentuk panjang lentur (flexuous filamentous) dengan ukuran
diameter 12 nm dan panjang rata-rata 800-850 nm. Seperti halnya TICV yang
dilaporkan oleh Jones (2003), juga berbentuk panjang lentur namun berukuran
lebih pendek yaitu sekitar 650 nm. TICV mempunyai dua jenis genom (bipartite)
berupa RNA utas tunggal single-stranded RNA (ssRNA) yaitu RNA 1 dan RNA 2
yang masing-masing berukuran 7.8 dan 7.4 kilo base (kb), sedangkan ToCV
2
masing-masing berukuran 7.8 dan 8.2 kb. Menurut Martelli et al. (2000), RNA 1
mengkode dua jenis protein yang terlibat dalam replikasi virus; sedangkan RNA 2
mengandung beberapa gen yaitu untuk sebuah protein kecil yang hidrofobik
(small hydrophobic protein), sebuah protein berukuran sekitar 60 kDa, dan dua
jenis protein mantel yaitu coat protein (CP) dan coat protein minor (CPm). ToCV
dan TICV merupakan anggota genus Crinivirus yang dapat ditularkan oleh
kutukebul (whitefly) dan terpisah dari kelompok lain dari anggota famili
Closteroviridae yang mempunyai serangga vektor kutudaun (aphids).
Virus-virus pada genus Crinivirus telah diketahui tidak dapat ditularkan
melalui cairan perasan tanaman sakit ataupun melalui benih (Martelli et al. 2002).
Oleh sebab itu kutukebul menjadi agens utama penyebar penyakit kuning di
lapangan. Hal ini bersesuaian dengan penemuan Navas-Castillo et al. (2000) yang
menyatakan bahwa tingkat kejadian penyakit kuning di lapangan berkorelasi
positif dengan tingkat populasi kutukebul.
Beberapa peneliti di belahan lain dunia menyebutkan terdapat beberapa
spesies kutukebul yang mengkolonisasi tanaman tomat dan beberapa sebagai
agens utama penyebar virus TICV dan ToCV. Spesies kutukebul yang ditemukan
tersebut adalah Trialeurodes vaporariorum Westood, T. abutilonea Haldeman,
dan Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) (Wintermantel & Wisler
2006). Data detail mengenai keefektifan kutukebul dalam menularkan TICV dan
ToCV penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat belum tersedia di
Indonesia, sementara epidemik penyakit yang disebabkan oleh kedua virus
tersebut di Indonesia semakin meningkat di berbagai daerah penghasil tomat.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan agar epidemik penyakit yang
disebabkan oleh kedua virus tersebut dapat dicegah dan pengendalian dapat
ditentukan dengan tepat.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
kuning di Indonesia, mengidentifikasi ulang kutukebul yang mengkolonisasi
tanaman tomat di lapangan, dan menganalisis keefektifan spesies kutukebul dalam
menularkan virus penyebab penyakit kuning.
Manfaat Penelitian
Pengetahuan tentang sifat hubungan antara virus penyebab penyakit kuning
dengan kutukebul sebagai serangga vektornya dapat digunakan sebagai dasar
pengendalian penyakit kuning secara efektif dan efisien.
4
TINJAUAN PUSTAKA
yang terlibat dalam replikasi virus; sedangkan RNA 2 mengandung beberapa gen
yaitu sebuah protein kecil yang hidrofobik, sebuah protein berukuran sekitar 60
kDa, dan dua jenis protein mantel yaitu CP dan CPm. Selubung protein minor
(CPm) pada ToCV, yang membentuk bagian ekor/ujung virion memiliki peranan
dalam penularan dengan kutukebul. CPm dari ToCV memiliki kespesifikan
dengan reseptor T. vaporariorum dan B. tabaci. Menurut Wintermantel (2006),
kespesifikan virus dan vektornya sangat ditentukan oleh reseptor yang ada pada
stilet serangga dengan CP dari virus bersangkutan.
Infeksi ToCV pada tanaman tomat menyebabkan klorosis yang pada
awalnya terjadi pada daun-daun bagian bawah kemudian berkembang ke bagian
pucuk, pada lamina daun di antara tulang daun mengalami klorosis (interveinal
yellowing). Setelah munculnya vektor kutukebul, gejala ini berkembang dalam
beberapa minggu. Daun menjadi tebal dan keriting, dan mudah rapuh jika
dipatahkan. Virus ini dapat menyebar dengan cepat ke pertanaman di sekitar
sumber virus sesuai dengan aktivitas kutukebul sebagai vektornya sehingga
kejadian penyakit dalam satu kebun petani sering ditemukan mencapai lebih dari
90% (Navas-Castillo et al. 2000). Kehilangan hasil akibat infeksi virus ini di
lapangan menyebabkan ukuran buah mengecil, jumlah buah berkurang saat panen,
dan menurunnya umur tanaman (Wintermantel 2004).
termasuk gulma Picris achioides L., tembakau Nicotiana glauca G., Cynara
cardunculus L. dan beberapa tanaman hias yaitu tanaman cina aster dan petunia.
Gejala penyakit yang disebabkan oleh TICV lebih parah pada tanaman indikator
Nicotiana branthamina dan N. clevelandi berupa bercak klorosis pada tulang daun
dibandingkan dengan yang diinduksi oleh ToCV. Gejala penyakit kuning yang
disebabkan ToCV pada tanaman inang yaitu klorosis pada interval tulang daun
tetapi tidak nekrosis, sedangkan TICV terlihat klorosis dan nekrosis (Duffus et al.
1994). Menurut Wisler et al. (1998) gejala penyakit kuning yang terinfeksi kedua
virus tersebut terlihat daun menguning pada interval tulang daun, bercak nekrosis,
daun menggulung ke bawah kemudian berkembang ke bagian atas. Penelitian
tentang kisaran inang pada tanaman selada mengindikasikan bahwa TICV
menginfeksi selada sedangkan ToCV tidak mampu menginfeksi tanaman selada
(Parrella 2007). Tanaman kentang di rumah kaca rentan terhadap infeksi TICV
dan ToCV yang mirip dengan gejala yang diinduksi oleh potato leafroll luteovirus
(Famili Lutoeviridae, Genus Luteovirus) walaupun lahan tanaman kentang yang
terinfeksi oleh kedua virus tersebut belum dilaporkan (Wisler et al. 1998).
Kutukebul
Kutukebul merupakan kelompok serangga yang berukuran kecil berwarna
putih dan bertubuh lunak. Kutukebul termasuk ke dalam Famili Aleyrodidae,
superfamili Aleyrodoidea, subordo Sternorrhyncha, ordo Hemiptera (Carver et al.
1991). Famili Aleyrodidae memiliki dua sub famili, yaitu Alerodicinae dan
Aleyrodinae (Martin 1987). Saat ini jumlah spesies serangga famili Aleyrodidae
yang pernah dideskripsikan sebanyak 1200 spesies.
Kutukebul mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus
yang ada pada bagian abdomen. Nimfa maupun imago kutukebul biasanya
memiliki lapisan lilin dengan berbagai bentuk. Lapisan lilin ini dapat digunakan
sebagai dasar identifikasi karena penampilan dan pola dari lapisan lilin dapat
membedakan antara satu spesies dengan spesies lain (Botha et al. 2000). Semua
stadia kutukebul hidup dan makan di bagian bawah permukaan daun dan
kutukebul ini mengeluarkan embun madu sebagai hasil sekresinya. Ekskresi
berupa embun madu tersebut keluar dan seringkali tetesannya jatuh pada
permukaan atas dan bawah daun tempat hidup kutukebul ini. Embun madu yang
8
telah menempel pada daun-daun itu dapat dijadikan media hidup cendawan lain
yaitu Capnodium sp. atau dikenal sebagai embun jelaga (Hoddle 2004).
Siklus hidup kutukebul terdiri dari empat fase perkembangan yaitu telur,
nimfa, pupa, dan imago. Kutukebul bereproduksi secara seksual atau
partenogenesis. Serangga betina yang sudah dibuahi oleh serangga jantan
meletakkan telurnya di permukaan daun. Ketika telur menetas, nimfa instar
pertama kutukebul akan bergerak untuk mencari tempat menghisap makanan yang
sesuai dan menetap disana. Pada stadia nimfa akhir, kutukebul menghentikan
aktivitas makannya dan membentuk semacam kulit pupa sebagai tempat
perlindungan proses menuju imago. Stadia ini disebut puparium, setelah melewati
fase pupa kutukebul menjadi imago (Kalshoven 1981).
Beberapa tahun belakangan, kutukebul telah menjadi masalah utama bagi
para petani di seluruh dunia. Walaupun kutukebul dianggap sebagai grup serangga
tropis, spesies berbahaya ini banyak sekali ditemukan di seluruh belahan lain
dunia, terutama di daerah beriklim subtropis. Sepanjang abad ke-20, B. tabaci
dan T. vaporariorum telah menjadi vektor patogen-patogen tertentu baik di rumah
kaca maupun di lahan terbuka di wilayah beriklim hangat (Martin et al. 2000).
Stadia nimfa dan imago kutukebul merupakan stadia yang menyebabkan
kerusakan tanaman (Morales 2001).
Sebagai vektor, kutukebul dilaporkan dapat menularkan sekitar tujuh
kelompok virus yaitu closterovirus, geminivirus, carlavirus, potyvirus, nepovirus,
luteovirus, dan virus DNA yang berbentuk batang (Markham et al. 1994). Di
antara kelompok virus tersebut yang paling banyak ditularkan adalah closterovirus
(Famili Closteroviridae, Genus Crinivirus) dan geminivirus (Famili
Geminiviridae, Genus Begomovirus) (Muniyappa & Reddy 1983, Wisler et al.
1998).
Trialeurodes vaporariorum. T. vaporariorum umumnya dikenal sebagai
kutukebul rumah kaca (greenhouse whitefly) yang memiliki habitat di daerah
beriklim sedang di dunia (Kessing & Mau 2009). Kutukebul ini merupakan hama
utama pada berbagai buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias, yang sering
ditemukan di rumah kaca dan tanaman hortikultura. Imago kutukebul panjangnya
1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki empat sayap diselimuti
9
lilin hampir sejajar dengan permukaan daun. Imago ini sayapnya seperti tenda
mengikuti seluruh tubuhnya, sayap menutupi tubuh dan sayap itu berbentuk
segitiga (Smith 2009).
Selama instar empat atau instar akhir (pupa) susunan mata dan jaringan
tubuh menjadi terlihat, larva menebal dan muncul dari permukaan daun. Instar
akhir ini sering disebut pupa karena imago kutukebul muncul dari fase ini. Lama
stadium pupa berkisar antara 3-7 hari. Ciri khas pupa T. vaporariorum terutama
pada bagian-bagian seperti: lingula, vasiform orifice, submargin papila. T.
vaporariorum mempunyai barisan papila pada submarginnya, basal tungkai
tengah dan belakang mempunyai seta yang kecil dan halus, dan lingulanya
membulat (Martin 1987).
Imago T. vaporariorum umumnya menetap pada daun-daun muda yang
dekat pada titik tumbuh tanaman, dan meletakkan telur di tempat tersebut. Imago
bertahan hidup pada suhu 22 sampai 25 oC, sedangkan pada suhu di atas 30 oC
imago tidak mampu berkembang dan suhu di atas 35 oC imago akan mati (Smith
2009). Xie et al. (2006) menjelaskan bahwa T. vaporariorum memiliki
kemampuan beradaptasi pada suhu dingin pada semua fase perkembangan
dibandingkan dengan B. tabaci.
Semua stadia hidupnya selain telur dan pupa menyebabkan kerusakan
tanaman dengan memakan langsung, memasukkan stiletnya ke dalam tulang daun
dan mengekstrak makanan dari sap floem (Wintermantel 2004). Cara makan
nimfa yaitu dengan menghisap sap dari tanaman, protein ekstrak, nutrisi dan
mengeluarkan gula, dimana keberadaan sap tersebut disebut dengan embun madu.
Sebagai produk makanan, embun madu yang dikeluarkan dapat menjadi sumber
utama kerusakan. Pada populasi yang tinggi, sejumlah embun madu yang
diproduksi menyebabkan tanaman atau buah-buahan menjadi lengket, dan
pertumbuhan embun jelaga menyebabkan terbatasnya sistem fotosintesis menjadi
terhalang. Karakteristik yang lebih berpotensi berbahaya yaitu kemampuan imago
menularkan beberapa virus tanaman. T. vaporariorum mampu menularkan
beberapa penyakit virus tanaman (Cardona 2002).
Bemisia tabaci. B. tabaci dikenal dengan nama umum kutukebul kapas,
kutukebul tembakau, atau kutukebul ubi jalar (CABI 1999). Ciri-ciri morfologi
10
kutukebul ini yaitu: tubuh imago berwarna kuning, sayap tertutup oleh tepung
berwarna putih, panjang tubuh 1-1,5 mm. Serangga ini memiliki siklus hidup
sekitar 2 sampai 3 minggu (Kalshoven 1981).
Nimfa dan pupa berwarna keputih-putihan dan bentuknya bervariasi
tergantung pada substratnya, memiliki panjang 0,7 mm (Kalshoven 1981). Nimfa
instar pertama tidak mempunyai peran yang penting dalam penyebaran virus
tanaman (Costa 1969). Pada pupa terdapat dua bintik merah yang merupakan
bakal mata pada fase imago. Kedua bintik merah itu terlihat melalui
integumennya yang transparan (Hill 1987). Bentuk pupa bulat memanjang, bagian
toraks agak melebar, dan cembung. Ruas-ruas abdomen tampak jelas. Pinggir
kantung pupa tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang duri dan
satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segitiga dan memanjang,
operculum menutupi hampir seluruh bagian dari vasiform orifice (Martin 1987).
Lama hidup imago betina sekitar 6 hari (Kalshoven 1981), tetapi juga bisa
sampai 60 hari, sedangkan lama hidup imago jantan umumnya lebih pendek, yaitu
antara 9-17 hari. Sayapnya terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda
dengan posisi saat istirahat terlihat menyempit ke depan (CABI 1999).
B. tabaci ini beradaptasi pada suhu hangat yakni berkisar 14 sampai 35 oC,
dengan suhu optimum sekitar 25 sampai 30 oC. Pada tanaman tomat, imago
mampu hidup selama 10-15 hari pada suhu 28 sampai 30 o C, sedangkan imago
betina mampu memproduksi sekitar 195 telur pada suhu 25 o C (Smith 2009). Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas terbesar B. tabaci menyerang tanaman terjadi
pada musim panas dan untuk daerah tropis populasi serangga ini banyak dijumpai
pada musim kemarau.
B. tabaci merupakan hama utama di berbagai pertanaman. Costa (1969)
mengemukakan bahwa nimfa B. tabaci yang menyerang tanaman kedelai di Brasil
dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: nimfa dan imago adalah penghisap
cairan pada floem menyebabkan jaringan daun kehilangan nitrisi; merusak sel dan
jaringan daun akibat tusukan stilet; serangga tersebut mungkin mengeluarkan
racun dan menyebabkan pembuluh daun lebih jelas kelihatan; sebagai vektor
beberapa virus dan mungkin sebagai penyebar bakteri dan cendawan; dan ekskresi
embun madu menyebabkan timbulnya embun jelaga.
11
ml baru. Kemudian ditambahkan 0,5 vol etanol 96% ( ± 225µl) dicampur dengan
menaik turunkan pipet. Dimasukkan sampel (± 650 µl) termasuk endapan yang
terbentuk ke dalam Rneasy mini column pink, ditempatkan pada tabung koleksi 2
ml. Tutup dengan baik, lalu disentrifuse 10000 rpm 15 detik. Cairan dibuang pada
tabung koleksi. Ditambahkan 700µl bufer RW1 ke dalam Rneasy column.
Disentrifuse 10000 rpm 15 detik untuk mencuci column. Rneasy column
dipindahkan ke tabung koleksi 2 ml baru, lalu dipipet 500 µl bufer RPE ke dalam
Rneasy column. Disentrifuse 10000 rpm 15 detik. Cairan dibuang pada tabung
koleksi. Gunakan kembali tabung koleksi, lalu ditambahkan 500 µl bufer RPE.
Sentrifuse 10000 rpm 2 menit. Untuk meyakinkan bahwa column telah kering,
coloumn dipindahkan pada tabung koleksi baru, disentrifuse 10000 rpm 1 menit.
40 µl Rnase free water ditambahkan ke dalam Rneasy column, didiamkan 10
menit. disentrifuse 10000 rpm 1 menit. Siapan RNA total digunakan sebagai
template dalam reaksi RT-PCR.
Reaksi RT. Reaksi RT dilakukan dengan volume total 25 µl yang
mengandung 3 µl RNA total, 0,75 pmol random primer, 500 mM dNTP, 5 mM
MgCl2, 4 µl bufer RT (250 mM Tris-HCl, pH 8,3; 375 mM KCl; 15 mM MgCl2;
50 mM DTT), 20 unit RNasin ribonuclease inhibitor (Promega, Madison, WI),
dan 65 unit MMLV RT (Promega, Madison, WI). Reaksi RT dilakukan pada suhu
42 oC selama 60 menit dan dilanjutkan inaktivasi pada 95 oC selama 5 menit.
PCR. PCR dilakukan pada tabung yang sama dengan menggunakan
pasangan primer spesifik untuk ToCV dan TICV yang dapat diakses di GenBank
of America atau DDBJ of Japan. Reaktan PCR (total volume 50 µl) mengandung
0,75 pmol primer; 3 µl bufer PCR 10x (500 mM KCl; 100 mM Tris-HCl, pH 9;
1% Triton X-100), dan 0,5 µl Taq DNA polymerase (Promega, Madison, WI).
Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480 Thermocycler dan dikondisikan
untuk denaturasi inisiasi pada 94 oC selama 4 menit, dilanjutkan 30 siklus yang
terdiri dari denaturasi pada 94 o C selama 1 menit, penempelan primer pada 54 oC
selama 1 menit, dan pemanjangan pada 72 o C selama 1 menit, dan diikuti
pemanjangan akhir pada 72 oC selama 10 menit. setelah dilakukan PCR, maka
hasil yang diperoleh dialirkan pada gel elektroforesis dengan prosedur
sebagai berikut : agarose sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu
15
PCR bahwa terinfeksi tunggal oleh ToCV, atau oleh TICV, dan terinfeksi ganda
ToCV dan TICV.
Kutukebul. Kutukebul disiapkan dengan mengumpulkan puparium dari
pertanaman tomat di daerah Bogor dan Cianjur. Puparium dikumpulkan secara
terpisah dari koloni kutukebul yang berbeda (dilihat dari ukuran dan cara hinggap
kutukebul). Puparium dari koloni kutukebul yang berbeda kemudian masing-
masing diletakkan pada tanaman tomat yang dipelihara dalam kurungan yang
berbeda. Imago yang keluar beberapa hari berikutnya dipelihara dan dibiarkan
meletakkan telur pada tanaman tomat yang sama. Tanaman tomat yang telah
mengandung sejumlah telur kutukebul dipindahkan ke kurungan baru yang telah
berisi tanaman tomat sehat lain. Pemeliharaan dilakukan sampai diperoleh imago
baru yang merupakan imago bebas virus dan kemudian digunakan dalam studi
penularan virus.
Penularan virus oleh kutukebul. Penularan dilakukan dengan membiarkan
kutukebul makan akuisisi pada stek tomat sumber virus selama 24 jam kemudian
dipindahkan dan dibiarkan makan inokulasi pada tanaman tomat sehat selama 48
jam dan selanjutnya kutukebul dimatikan. Untuk perlakuan infeksi ganda, jumlah
kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci dewasa digunakan 10 ekor per tanaman
dengan masing-masing 10 tanaman, sedangkan untuk infeksi tunggal jumlah
kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci dewasa digunakan 1, 3, 5, dan 7 ekor
per tanaman menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dengan 5
tanaman per ulangan. Tanaman tomat yang diinokulasi adalah tanaman tomat
muda yang baru muncul dua daun pertama atau berumur sekitar dua minggu.
Tanaman tomat yang sudah diinokulasi dipelihara dalam kondisi rumah kaca dan
diamati perkembangan gejala yang muncul setiap hari. Infeksi virus diverifikasi
melalui RT-PCR. Persentase tanaman terinfeksi dihitung pada setiap ulangan
kemudian dilakukan analisis ragam menggunakan program Statistical Analysis
System (SAS). Perbandingan rata-rata antar perlakuan dilakukan dengan uji
Kisaran Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
17
Tabel 1 Kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian tempat
di daerah Bogor dan Cianjur1)
Ketinggian Lokasi Kejadian Kutukebul Varietas tomat
tempat pengamatan penyakit pengkoloni yang diamati
(m dpl) tomat2)
0 - 200 Parung 0% B.tabaci Marta
Gambar 1 Gejala kuning pada tanaman tomat mulai terjadi dari daun-daun bawah
kemudian berkembang ke arah pucuk (atas). Klorosis terutama terjadi
pada jaringan di antara tulang daun (interveinal chlorosis, bawah)
M 1 2 3 4
700 bp
Imago B. tabaci berwarna kuning dengan disertai sayap yang ditutupi oleh
sekresi berupa tepung berwarna putih, dengan panjang tubuh 1-1,5 mm. Sayapnya
terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda dengan posisi saat istirahat
terlihat menyempit ke depan.
Imago T. vaporariorum secara umum menetap pada daun-daun muda dekat
pada titik tumbuh tanaman, dan meletakkan telur di tempat tersebut. Imago
kutukebul panjangnya 1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki
empat sayap diselimuti lilin hampir sejajar dengan permukaan daun. Imago
dewasa ini sayapnya seperti tenda mengikuti seluruh tubuhnya, menyembunyikan
tubuhnya dan memperlihatkan sayap yang berbentuk segitiga.
Kedua spesies kutukebul ini relatif sama penampakannya dan cukup sulit
dibedakan secara visual, terutama fase nimfa. Pengamatan di bawah mikroskop
terhadap preparat puparium yang telah diberi pewarnaan memperlihatkan dengan
jelas perbedaan puparium B. tabaci dan T. vaporariorum. Puparium B. tabaci
berbentuk bulat memanjang, berwarna kuning, dengan bakal mata terpisah dan
berwarna kemerah-merahan. Mempunyai tujuh pasang rambut dorsal yang
memanjang, trakea dengan pinggiran seperti sisir terdiri dari gigi-gigi yang jelas,
lingulanya memanjang berbentuk lidah, tetapi submarinnya tidak mempunyai
barisan papila, serta basal tungkai tengah dan belakang tidak berseta. Vasiform
orifice berbentuk segitiga dan memanjang. Terdapat satu pasang seta kauda yang
sama panjangnya dengan vasiform orifice. Panjang ruas VII abdomen berkurang
banyak dibagian tengah, sering tertutup oleh kantung-kantung sehingga hanya
tujuh ruas yang terlihat.
22
d
e
e
c
c
d f
f g g
h h
b
b
a a
0,15 mm 0,3 mm
Tabel 2 Penularan ToCV dan TICV melalui T. vaporariorum dan B. tabaci dari
tanaman sumber virus terinfeksi ganda1)
Jumlah tanaman yang terinfeksi
Jumlah Jumlah
oleh3)
Spesies tanaman tanaman tidak
ToCV &
kutukebul2) diinokulasi terinfeksi ToCV TICV
TICV
B. tabaci 10 2 (20%) 8 (80%) 0 (0%) 0 (0%)
T. vaporariorum 10 0 (0%) 6 (60%) 3 (30%) 1 (10%)
1)
Tanaman sumber virus adalah tanaman tomat yang terinfeksi oleh ToCV dan TICV dan
telah diverifikasi melalui RT-PCR; 2) Jumlah imago kutukebul yang digunakan adalah 10
ekor per tanaman uji; 3) Infeksi virus diverifikasi melalui RT-PCR dua minggu setelah
penularan dan tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala kuning (Gambar 5)
Gambar 5 Gejala kuning pada tanaman tomat yang telah diinokulasi dengan
ToCV (kiri) dan TICV (kanan)
Tabel 3 Keefektifan B. tabaci menularkan ToCV pada tomat dari tanaman sumber
virus terinfeksi tunggal
Tanaman sumber Jumlah kutukebul Persentase Masa inkubasi
virus 1) per tanaman uji tanaman (hari)
terinfeksi2,3)
1 13,33b 10-12
3 20,00b 18-19
ToCV 5 33,33b 19-20
7 66,67a 19-21
10 80,004) 14-18
1)
Infeksi virus diverifikasi melalui RT-PCR (Gambar 6); 2) Rata-rata dari 3 ulangan;
3)
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang
ganda Duncan a = 0,05); 4) Perlakuan tidak diuji dengan Duncan (jumlah tanaman
berbeda dengan perlakuan jumlah kutukebul 1,3,5, dan 7)
ini menjelaskan adanya kespesifikan vektor untuk dua jenis Crinivirus tersebut
(Wisler et al. 1998).
Hasil di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah B.
tabaci yang digunakan maka persentase penularan ToCV semakin tinggi. Namun
dengan jumlah B. tabaci 7 ekor per tanaman uji, tingkat penularan belum
mencapai 100% dan bahkan bila menggunakan 10 ekor serangga per tanaman uji
pun tingkat penularannya hanya mencapai 80%. Untuk mencapai tingkat
penularan 100% tampaknya perlu menambah jumlah serangga lebih dari 10 ekor
per tanaman uji.
ToCV memiliki kekhususan antara virus tanaman yang ditularkan oleh 4
spesies kutukebul, dari 2 genus (Dalmon et al. 2008). Hal ini erat kaitannya
dengan kemampuan serangga vektor memperoleh virus, konsentrasi virus dalam
inangnya, dan kemampuan virus untuk melewati dinding usus tengah serta
bertahan di dalam hemolimfa serangga (Swenson 1967).
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9
700 bp
M 10 11 12 13 14 15 16 17 18
700 bp
Gambar 6 Hasil amplifikasi DNA TICV dan ToCV dengan metode RT-PCR
menggunakan sepasang primer TICV dan ToCV. M (marker 1 kb);
lajur 1 (negatif TICV), lajur 2 - 9 (positif TICV); lajur 14, 15, 17
(negatif ToCV), lajur 10 -13, 16, 18 (positif ToCV)
29
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Penyakit kuning pada
tanaman tomat sudah banyak terjadi di daerah sentra produksi tomat terutama di
dataran tinggi Jawa Barat; (2) Dua spesies ToCV dan TICV dari genus Crinivirus,
ditemukan berasosiasi dengan penyakit kuning pada tanaman tomat; dan (3)
ToCV efektif ditularkan baik oleh B. tabaci maupun T. vaporariorum, sedangkan
TICV efektif ditularkan hanya oleh T. vaporariorum tetapi tidak dapat ditularkan
oleh B. tabaci.
Saran
Mengingat peranan penting dari kutukebul dalam epidemiologi penyakit
kuning maka disarankan dilakukan penelitian untuk mendapatkan metode
pengendalian kutukebul dalam rangka mengurangi insiden penyakit kuning ini.
30
DAFTAR PUSTAKA
Accotto GP, Vaira AM, Vecchiati M, Finetti Sialer MM, Gallitelli D and Davino
M. 2001. First report of tomato chlorosis virus in Italy. Plant Disease 85:
1208.
Anfoka GH, Abhary MK. 2007. Occurrence of Tomato infectious chlorosis virus
(TICV) in Jordan. Bulletin OEPP/EPPO 37: 186–190.
Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an
Indonesian Isolate of Tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia
tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol. J. 18(5) : 231-236.
Borror DJ, Triplehorn, Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.
Botha J, Hardie D, Power G. 2000. Spiraling whitefly Aleurodicus disperses.
Exotic Threat to Western Australia. Fact Sheet no. 18/2000.
[CABI] Centre of Agriculture and Biological Institute. 1999. Crop Protection
Compendium. London: CABI.
Cardona C. 2002. Whiteflies and whitefly-borne Viruses in the Tropic. Di dalam
Whiteflies as pests of Annual Crops in the Tropical Highlands of Latin
America. hlm 269-273.
Carver M, Gross GF, Woodward TE. 1991. Hemiptera (bugs, leafhoppers,
cicadas, aphids, scale insects, etc). Di dalam The Insect of Australia. Edisi
ke-2. hlm: 429-509.
Costa AS. 1969. Whiteflies as Virus Vectors. Dalam K Maramorosch (ed.).
viruses, Vectors, and Vegetation. John Willey and Sons (Interscience), New
York: 659 p.
Dalmon A, Bouyer S, Cailly M et al., 2005. First report of tomato chlorosis virus
and tomato infectious chlorosis virus in France. Plant Disease 89, 1243.
Dalmon A, Fabre F, Guilbaud L, Lecoq H, Jackuemond M. 2008. Comparative
whitefly transmission of tomato chlorosis virus and tomato infectious
chlorosis virus from single or mixed infections. Plant Pathology.
Dovas, C. I., Katis, N. I., and Avgelis, A. D. 2002. Multiplex detection of
criniviruses associated with epidemics of a yellowing disease of tomato in
Greece. Plant Dis. 86:1345-1349.
Duffus JE, Liu HY, Coben S. 1994. Partial characterization of a new
closterovirus, the causal agent of cucurbit yellow stunting disorder. Page 49
in Sweetpotato Whitefly: 1994 Supplement to the Five-Year Plan US Dep.
Agric. Res. Serv. Publ.112.
Duffus, J.E, Liu H-Y, Wisler GC. 1996. Tomato infectious chlorosis virus - a new
clostero-like virus transmitted by Trialeurodes vaporariorum. European J.
of Plant Pathology 102: 219-226.
31
Li RH, Wisler GC, Liu HY, and Duffus JE. 1998. Comparison of diagnostic
techniques for detecting tomato infectious chlorosis virus. Plant Dis. 82:84-
88.
Liu H-Y, Wisler GC, Duffus JE. 2000. Particle lengths of whitefly-transmitted
criniviruses. Plant Disease 84: 803-805.
Louro, D., Accotto, G. P., and Vaira, A. M. 2000. Occurrence and diagnosis of
tomato chlorosis virus in Portugal. Eur. J. Plant Pathol. 106:589-592.
Lozano G, Moriones E, Navas-Castillo J. 2006. Complete nucleotide sequence of
the RNA2 of the crinivirus tomato chlorosis virus. Archives of Virology
151: 581-587.
Lozano G, E. Moriones, J. Navas-Castillo. 2007. Complete sequence of the RNA1
of a European isolate of tomato chlorosis virus. Archives of Virology 152:
839–841.
Masse D, Lefeuvre P, Delatte H, Karime ALA, Hostachy B, Reynaud B, Lett JM.
2008. Tomato chlorosis virus: first report in Mayotte Island. Plant
Pathology 57: 388.
Markham PG, Bedford ID, Liu S, Pinner MS. 1994. The transmission of
geminiviruses by Bemisia tabaci. Pesticide Science 42: 123-128.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M, Boscia D, Candresse T, Coutts
RHA, Dolija VV, Duffus JE, Falk BW, Gonsalves D, Jelkmann W, Karasev
AV, Minafra A, Murant A, Namba S, Niblett CL, Vetten HJ and Yoshikawa
N. 2000. In: van Regenmortel MHV, Fauquet CM, Bishop DHL, Carstens
EB, Estes MK, Lemon SM, Maniloff J, Mayo MA, McGeoch DJ, Pringle
CR and Wickner RB (eds) Virus Taxonomy, Seventh Report of the
International Committee on Taxonomy of Viruses (pp 943–952) Academic
Press, San Diego.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M. 2002. The family Closteroviridae
revised. Archives of Virology 147: 2039-2044.
Martin JH. 1987. An Identificaton guide to common whitefly pest spesies of the
world (Hompotera: Aleyrodidae). Trop Pest Manag 33(4): 298 – 322.
Martin JH. 1999. The whitefly fauna of Australia (Sternorrhyncha: Aleyrodidae)
a taxonomic account anf identification guide. CSIRO Entomologycal
Technical Paper 38. 197 hlm.
Martin JH, Mifsud D, Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera:
Aleyrodidae) of Europe and Mediterranean basin. Buletin of Entomological
Research 90: 407-448.
Morales FJ. 2001. Conventional breeding for resistance to Bemisia tabaci-
transmitted geminiviruses. Crop Prot 20: 825-843.
Muniyappa V, Reddy DVR. 1983. Transmission of Cowpea mild mottle virus by
Bemisia tabaci in non persistent manner. Plant Dis 67: 391 – 393.
Nault LR, Ammar ED. 1989. Leafhopper and planthopper transmission of plant
viruses. Ann. Rev. Entomol. 34: 503–529.
33
Navas-Castillo, J., Camero, R., Bueno, M., and Moriones, E. 2000. Severe
yellowing outbreaks in tomato in Spain associated with infections of
Tomato chlorosis virus. Plant Dis. 84:835-837.
Parrella G. 2007. Interveinal Yellowing Caused by tomato infectious chlorosis
virus in Lettuce and Escarole in Southern Italy. J. Phytopathology 156: 190–
192.
Parrella G, Scassillo L. 2006. Nuove segnalazioni di Crinivirus su pomodoro in
coltivazioni protette della Campania e della Calabria. Inf Fitopat 6:33–34.
Rahayuwati S. 2009. Variasi morfologi puparium dan DNA penyandi gen
mitokondria sitokrom oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera:
Aleyrodidae). [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Segev, L., Wintermantel, W. M., Polston, J. E., and Lapidot, M. 2004. First report
of tomato chlorosis virus in Israel. Plant Dis. 88:1160.
Smith PE. 2009. Whitefly: identification and biology in New Zealand greenhouse
tomato crops. Factsheet 1. Horticulture New Zeland. Fresh tomato product
group.
Swenson KG. 1967. Plant virus transmission by insect. Di dalam: Maramorosch
K, Koprowski H, Editor. Methods in Virology. Academic Press. Hlm 267-
307.
Sylvester ES. 1956. Beet yellows virus transmission by the Green peach aphid. J.
Econ. Entomol. 49, 789–800.
Tsai WS, Shih SL, Green SK, Hanson P. 2004. First report of the occurrence of
tomato chlorosis virus and tomato infectious chlorosis virus in Taiwan.
Plant Disease 88, 311.
Verhoeven JTJ, Willemen TM, Roenhorst JW, van der Vlugt RAA. 2003. First
report of tomato infectious chlorosis virus in tomato in Indonesia. Plant Dis
87:872.
Vaira AM, Accotto GP, Vecchiati M, Bracaloni M. 2002. tomato infectious
chlorosis virus causes leaf yellowing and reddening of tomato in Italy.
Phytoparasitica 30:290–294.
Watson MA, Robers FM. 1939. A comparative study of the transmission of
Hyoscyamus virus 3, potato virus Y and cucumber virus 1 by the vectors
Myzus persicae (Sulz), M. circumflexus (Buckton), and Macrosiphum gei
(K). Proc. R. Soc. Lond. B 127, 543–577.
Wintermantel WM, Cortez AA, Anchieta AG, Gulati-Sakhuja A, Hladky LL.
2008. Co-infection by two Crinivirus alters accumulation of each virus in a
host-specific manner and influences efficiency of virus transmission.
Phytopathology doi:10.1094/PHYTO-98-12-1340.
Wintermantel WM. 2006. Vector specificity of criniviruses in tomato and virus
competitiveness during mixed infection. Proceedings of the 4th
International Bemisia Workshop and International Whitefly Genomics
Workshop, Salinas, CA, USA. USDA Agriculture Research Service, 74.
34
Wintermantel WM, Wisler GC, 2006. Vector specificity, host range, and genetic
diversity of tomato chlorosis virus. Plant Disease 90, 814–9.
Wintermantel WM, Wisler GC, Anchieta AG, Liu H-Y, Karasev AV, Tzanetakis
IE. 2005. The complete nucleotide sequence and genome organization of
tomato chlorosis virus. Archives of Virology 150: 2287-2298.
Wintermantel WM. 2004. Emergence of greenhouse whitefly (Trialeurodes
vaporariorum) transmitted criniviruses as threats to vegetable and fruit
production in North America. APSnet feature
(www.apsnet.org/online/feature/whitefly/).
Wisler GC, Liu HY, Klaassen VA, Duffus JE, Falk BW. 1996. tomato infectious
chlorosis virus has a bipartite genome and induces phloem limited
inclusions characteristic of the closteroviruses. Phytopathology 86:622–626.
Wisler, GC., Duffus, JE., Liu, HY. and Li, RH. 1998. Ecology and epidemiology
of whitefly-transmitted closteroviruses. Plant Disease 82: 270-280.
Wisler GC, Li RH, , Lowry DS, Duffus JE. 1998. tomato clorosis virus: a new
whitefly-transmitted, phloem-limited, bipartite closterovirus of tomato.
Phytopatology 88: 402-409.
Wisler GC, Duffus JE. 2001. Transmission properties of whitefly-borne
criniviruses and their impact on virus epidemiology. In: Harris KF, Smith
OP, Duffus JE (eds), Virusi nsect–plant interactions. Academic Press, San
Diego, pp 293–308.
Xie M, Chen YH, Wan FH. 2006. Responses of two whitefly species.
Trialeurodes vaporariorum (Westwood) anf Bemisia tabaci (Gennadius) B-
biotype, to low temperature. J of Insect Sci 8: 1-53.
35
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010