Studi Penulran 2010edf

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 48

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Keefektifan Kutukebul dalam


Menularkan Virus Penyebab Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat” adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Eva Dwi Fitriasari


A352070061
ii

ABSTRACT

EVA DWI FITRIASARI. Effectiveness of Whiteflies in Transmitting Viruses


causing Yellowing Disease in Tomato Plants. Under direction of GEDE
SUASTIKA, ALI NURMANSYAH, and DEWI SARTIAMI.

Yellowing disease outbreaks had been occurring in tomato crops in highland


of West Java since 2007. The outbreaks were associated with high populations of
whiteflies. Symptoms consist mainly of interveinal yellowing that developed
initially on lower leaves and then progress to the upper part of the plant. Affected
plants are less vigorous and yield less due to reduced fruit growth and delayed
ripening. Identifications using Reverse transcription-polymerase chain reaction
(RT-PCR) revealed that the yellowing diseases on tomato in West Jawa were
associated with infection of two different viruses that were tomato chlorosis virus
(ToCV) and tomato infectious chlorosis virus (TICV), both of which belong to the
members of genus Crinivirus, family Closteroviridae. Whiteflies collected from
tomato fields in Bogor and Cianjur were identified, based on morphologies of
their puparium, as Bemisia tabaci and Trialeurodes vaporariorum. T.
vaporariorum was found efficiently transmitted both ToCV and TICV, but B.
tabaci transmitted ToCV only.

Keywords: Bemisia tabaci, tomato infectious chlorosis virus (TICV), tomato


chlorosis virus (ToCV), Trialeurodes vaporariorum.
iii

RINGKASAN

EVA DWI FITRIASARI. Keefektifan Kutukebul dalam Menularkan Virus


Penyebab Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh GEDE
SUASTIKA, ALI NURMANSYAH, dan DEWI SARTIAMI.

Penyakit kuning pada tanaman tomat merupakan salah satu penyakit yang di
kategorikan sebagai “new emerging disease” akibat pengaruh pemanasan global.
Pada tahun-tahun belakangan ini, penyakit kuning mulai banyak dilaporkan terjadi
di berbagai negara penghasil tomat dunia. Gejala penyakit kuning terlihat
menguning pada jaringan di antara tulang daun terutama dar i daun-daun tua, mirip
dengan gejala yang disebabkan oleh kekurangan unsur hara. Telah dilaporkan
bahwa dua spesies virus yang berbeda yaitu ToCV dan TICV dapat terlibat dalam
menginduksi penyakit kuning ini. Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV
dilaporkan tidak dapat dibedakan dengan gejala yang diinduksi oleh infeksi TICV.
Selain itu, gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini bersama-sama
menginfeksi tanaman tomat. Menurut beberapa peneliti di belahan lain dunia,
terdapat beberapa spesies kutukebul yang mengkolonisasi tanaman tomat. Spesies
kutukebul yang ditemukan tersebut adalah T. vaporariorum, T. abutilonea, dan B.
tabaci. Data detail mengenai kutukebul pada tanaman tomat dan asosiasinya
dengan Crinivirus penyebab penyakit kuning belum tersedia di Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi virus penyebab
penyakit kuning di Indonesia, mengidentifikasi ulang kutukebul yang
mengkolonisasi tanaman tomat di lapangan, dan menetapkan keefektifan spesies
kutukebul dalam menularkan virus penyebab penyakit kuning.
Kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari keefektifan kutukebul dalam
menularkan virus penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat terdiri dari: 1)
survei penyakit kuning pada pertanaman tomat; 2) identifikasi virus yang
berasosiasi dengan penyakit kuning; 3) identifikasi kutukebul yang
mengkolonisasi pertanaman tomat; 4) penularan virus penyebab penyakit kuning
dengan kutukebul. Survei yang telah dilakukan di daerah Jawa Barat menemukan
bahwa penyakit kuning pada tanaman tomat telah banyak terjadi. Gejala penyakit
kuning lebih banyak terlihat pada tanaman tomat yang ditanam di daerah dengan
ketinggian sedang mulai dari 400 m dpl sampai ketinggian sekitar 1400 m dpl.
Secara umum kejadian penyakit kuning tanaman tomat sangat tinggi mencapai
100%. Kutukebul merupakan agens utama penyebar penyakit kuning di lapangan.
Hal ini terlihat dari hasil pengamatan di lapangan menemukan dua spesies
kutukebul yaitu B. tabaci dan T. vaporariorum pada tanaman tomat yang
terserang penyakit kuning. RT-PCR yang dilakukan terhadap jaringan daun yang
diambil dari tanaman tomat bergejala kuning di lapangan berhasil dilakukan
dengan primer spesifik ToCV maupun TICV dan terbentuk pita yang jelas dengan
ukuran sekitar 700 bp. Hasil deteksi ini mengindikasikan dengan jelas bahwa
penyakit kuning yang terjadi pada tanaman tomat di daerah Jawa Barat berasosiasi
dengan infeksi ToCV dan/atau TICV. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap
preparat puparium yang telah diberi pewarnaan memperlihatkan dengan jelas
perbedaan puparium B. tabaci dan T. vaporariorum. Puparium B. tabaci
berbentuk bulat memanjang, mempunyai tujuh pasang rambut dorsal yang
iv

memanjang, lingulanya memanjang berbentuk lidah, submarginnya tidak


mempunyai barisan papila, serta vasiform orifice berbentuk segitiga dan
memanjang. Puparium T. vaporariorum berbentuk ovoid, lebih tebal
dibandingkan dengan B. tabaci. T. vaporariorum mempunyai barisan papila pada
submarginnya, lingulanya membulat, dan tidak mempunyai rambut dorsal.
Pada penularan ini digunakan jumlah kutukebul yang berbeda yaitu 1, 3, 5,
7 dan 10 untuk setiap tanaman tomat yang diinokulasi. Dari hasil uji penularan
menjelaskan bahwa B. tabaci hanya dapat menularkan ToCV, sedangkan T.
vaporariorum dapat menularkan ToCV maupun TICV. Keefektifan penularan
ditentukan oleh jumlah kutukebul walaupun dengan tingkat persentase tanaman
terinfeksi yang beragam. Semakin sedikit jumlah kutukebul per tanaman, semakin
rendah jumlah tanaman terinfeksi. Semakin banyak jumlah kutukebul yang
digunakan maka semakin tinggi tingkat penularan yang terjadi. TICV dengan 10
ekor T. vaporariorum penularan dapat dicapai hingga 100%, namun untuk ToCV
perlu lebih dari 10 ekor untuk mencapai 100% penularan. ToCV efektif ditularkan
baik oleh B. tabaci maupun T. vaporariorum, sedangkan TICV efektif ditularkan
hanya oleh T. vaporariorum tetapi tidak dapat ditularkan oleh B. tabaci. Menurut
beberapa penelitian di negara lain bahwa kespesifikan virus dan vektornya sangat
ditentukan oleh reseptor yang ada pada stilet serangga dengan CP dari virus
bersangkutan. Selubung protein minor pada ToCV, yang membentuk bagian
ekor/ujung virion memiliki peranan dalam penularan dengan kutukebul.

Kata kunci: Bemisia tabaci, tomato infectious chlorosis virus (TICV), tomato
chlorosis virus (ToCV), Trialeurodes vaporariorum.
v

 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi

KEEFEKTIFAN KUTUKEBUL DALAM MENULARKAN


VIRUS PENYEBAB PENYAKIT KUNING
PADA TANAMAN TOMAT

EVA DWI FITRIASARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
vii

Judul Tesis : Keefektifan Kutukebul dalam Menularkan Virus Penyebab


Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat
Nama : Eva Dwi Fitriasari
NIM : A352070061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.


Ketua

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si. Dra. Dewi Sartiami, M.Si.


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Mayor Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


viii

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT semesta alam, atas ramat dan karunia-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul
Keefektifan Kutukebul dalam Menularkan Virus Penyebab Penyakit Kuning pada
Tanaman Tomat. Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Kompetitif
Penelitian Sesuai Prioritas Nasional [Ditjen Dikti Depdiknas]
No.343/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 dan dari kerjasama dengan Utsunomiya
University, Japan melalui Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
Penulis ucapkan terima kasih dengan tulus kepada Bapak Dr. Ir. Gede
Suastika, M.Sc. (Ketua Komisi Pembimbing), Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah,
M.Si., dan Ibu Dra. Dewi Sartiami, M.Si. (Anggota Komisi Pembimbing) yang
telah memberi saran, petunjuk, koreksi, dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Nasehat dan arahan dari para
pembimbing tidak akan pernah dilupakan, serta semangat dan kerja keras
pembimbing akan selalu saya contoh. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Kikin
Hamzah Mutaqin, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberi
masukan dan saran atas penulisan tesis ini.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu penelitian ini dalam pengambilan sampel, pengerjaan laboratorium:
Donnarina Simanjuntak, Ibu Rika Meliansyah, Alis Mukhlis. Kepada teknisi dan
laboran Lab. Virologi: Mba Tuti Legiastuti dalam membantu mengerjakan deteksi
virus, Pak Mpud dalam mambantu menyediakan peralatan penelitian, informasi,
masukan dan juga Pak Edi; laboran Lab. Biosistematika: Ibu Aisyah yang
bersedia membantu dalam proses identifikasi kutukebul; teknisi lapangan di
Darmaga Pak Sodik yang membantu menyediakan peralatan penelitian; di Cianjur
Pak Ateng yang telah membantu proses pengerjaan penelitian di lapangan.
Terima kasih atas dukungan dan semangatnya dari teman-teman di lab: Ka
Elsa, Mba Lia, Mba Pipiet, Pak Sayuthi, Faishol (Mahasiswa S1 angkatan ‘43),
Mba Cici, Mba Devi, Bu Ifa, Bu Rita, dan Pak Irwan. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih sebesar-besarnya dan kepada merekalah penelitian ini
kupersembahkan: orangtuaku Ir. Darwanto dan Dewi Tri Puji Astuti; kakakku
Elly; dan adik-adikku Intan, Herlina, Indah, dan Sita yang selalu memberi
dukungan, motivasi, dan doanya kepada penulis. Keluarga merupakan segalanya
yang terbaik buat hidup saya yang selalu memberi dukungan dan dorongan
semangat sehingga penyelesaian studi ini berjalan sesuai harapan. Nasehat dan
semangat dari orangtua akan selalu diingat agar ke depannya penulis bisa menjadi
orang yang lebih mandiri dan dewasa.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2010

Eva Dwi Fitriasari


ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 20 Juni 1985 dari ayah Ir.
Darwanto dan Ibu Dewi Tri Puji Astuti. Penulis merupakan putri kedua dari enam
bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cikampek dan pada tahun
yang sama penulis diterima di Program Studi Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten
mata kuliah Pestisida dan Teknik Aplikasi tahun ajaran 2006/2007. Pada tahun
2006/2007 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) menjabat Humas. Penulis menamatkan Strata-1 pada tahun 2007.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi
Fitopatologi Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007.
x

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
Manfaat Penelitian ...................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) ..................................... 4
Tomato chlorosis virus (ToCV) .................................................... 5
Infeksi Ganda (TICV dan ToCV) ................................................. 6
Kutukebul ................................................................................. 7
Trialeurodes vaporariorum ................................................... 8
Bemisia tabaci ..................................................................... 9
Hubungan Virus dengan Serangga Vektornya ............................... 11
BAHAN DAN METODE .................................................................... 13
Tempat dan Waktu ...................................................................... 13
Survei Penyakit Kuning pada Pertanaman Tomat ........................... 13
Identifikasi Virus yang Berasosiasi dengan Penyakit Kuning .......... 13
Ekstraksi RNA ..................................................................... 13
Reaksi RT ........................................................................... 14
PCR .................................................................................... 14
Identifikasi Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat ...... 15
Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul ........ 15
Inokulum Virus .................................................................... 15
Kutukebul ........................................................................... 16
Penularan Virus oleh Kutukebul ............................................ 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 17
Survei Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat di Jawa Barat .......... 17
Virus-Virus yang Berasosiasi dengan Gejala Kuning pada Tanaman
Tomat ....................................................................................... 19
Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat di Jawa Barat . 20
Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul........ 23
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 29
Kesimpulan ............................................................................... 29
Saran ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 30
xi

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian
tempat di daerah Bogor dan Cianjur ....................................................... 18
2 Penularan ToCV dan TICV melalui T. vaporariorum dan B. tabaci dari
tanaman sumber virus terinfeksi ganda ................................................... 23
3 Keefektifan B. tabaci menularkan ToCV pada tomat dari tanaman sumber
virus terinfeksi tunggal ......................................................................... 25
4 Keefektifan T. vaporariorum menularkan ToCV dan TICV pada tomat
dari tanaman sumber virus terinfeksi tunggal .......................................... 26
xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Gejala kuning pada tanaman tomat mulai terjadi dari daun-daun bawah
kemudian berkembang ke arah pucuk (atas). Klorosis terutama terjadi
pada jaringan di antara tulang daun (interveinal chlorosis, bawah) ............ 19
2 Hasil amplifikasi DNA genom virus menggunakan pasangan primer
spesifik ToCV (lajur 1 dan 2) dan spesifik TICV (lajur 3 dan 4) terhadap
sampel daun yang diambil dari tanaman tomat bergejala kuning dari
Cipanas (lajur 1), Pacet (lajur 2 dan 3), dan Cikajang (lajur 4). Lajur M
adalah 1 kb DNA leader (Qiagen, Germany) ........................................... 20
3 Imago B. tabaci (kiri) dan T. vaporariorum (kanan) ................................. 21
4 Preparat puparium T. vaporariorum (kiri) dan B. tabaci (kanan): (a) seta
kauda, (b) vasiform orifice, (c) rambut dorsal, (d) pinggiran trakea,
(e) basal tungkai tengah dan belakang, (f) ruas abdomen VII, (g) submargin,
(h) lingula ........................................................................................... 22
5 Gejala kuning pada tanaman tomat yang telah diinokulasi dengan ToCV
(kiri) dan TICV (kanan) ....................................................................... 24
6 Hasil amplifikasi DNA TICV dan ToCV dengan metode RT-PCR
menggunakan sepasang primer TICV dan ToCV. M (marker 1 kb);
lajur 1 (negatif TICV), lajur 2 - 9 (positif TICV); lajur 14, 15, 17
(negatif ToCV), lajur 10 -13, 16, 18 (positif ToCV) ................................. 28
xiii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si.
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyakit kuning pada tanaman tomat merupakan salah satu penyakit yang di
kategorikan sebagai “new emerging disease” akibat pengaruh pemanasan global
(Dovas et al. 2002; Segev et al. 2004). Pada tahun-tahun belakangan ini, penyakit
kuning mulai banyak dilaporkan terjadi di berbagai negara penghasil tomat dunia
(Louro et al. 2000; Dalmon et al. 2008). Gejala penyakit kuning terlihat
menguning pada jaringan di antara tulang daun terutama dari daun-daun tua, mirip
dengan gejala yang disebabkan oleh kekurangan unsur hara (Navas-Castillo et al.
2000; Accotto et al. 2001). Pada kunjungan di beberapa lokasi di sentra produksi
tomat dataran tinggi di Bogor, Cianjur, dan Garut menemukan gejala penyakit
kuning dengan ciri-ciri yang sama dengan yang telah dilaporkan di negara lain
(Tsai et al. 2004; Dalmon et al. 2005). Serangan penyakit ini sudah dirasakan
pengaruhnya oleh petani setempat mulai tahun 2007 (Hasil wawancara dengan
petani di lokasi pengamatan). Pengaruh yang sangat dirasakan petani adalah
mengecilnya ukuran buah tomat dan proses pemasakan buah yang tidak normal
sehingga tidak bernilai ekonomi. Pengaruh yang sama juga dilaporkan oleh Wisler
et al. (1998).
Penyakit kuning dilaporkan diinduksi oleh dua spesies virus yang berbeda
yaitu tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan tomato chlorosis virus (ToCV)
(Dalmon et al. 2005). Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV dilaporkan tidak
dapat dibedakan dengan gejala yang diinduksi oleh infeksi TICV (Dovas et al.
2002). Selain itu, gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini
bersama-sama menginfeksi tanaman tomat (Wintermantel et al. 2008).
Menurut Wintermantel et al. (2005), dan Lozano et al. (2007) ToCV adalah
virus yang berbentuk panjang lentur (flexuous filamentous) dengan ukuran
diameter 12 nm dan panjang rata-rata 800-850 nm. Seperti halnya TICV yang
dilaporkan oleh Jones (2003), juga berbentuk panjang lentur namun berukuran
lebih pendek yaitu sekitar 650 nm. TICV mempunyai dua jenis genom (bipartite)
berupa RNA utas tunggal single-stranded RNA (ssRNA) yaitu RNA 1 dan RNA 2
yang masing-masing berukuran 7.8 dan 7.4 kilo base (kb), sedangkan ToCV
2

masing-masing berukuran 7.8 dan 8.2 kb. Menurut Martelli et al. (2000), RNA 1
mengkode dua jenis protein yang terlibat dalam replikasi virus; sedangkan RNA 2
mengandung beberapa gen yaitu untuk sebuah protein kecil yang hidrofobik
(small hydrophobic protein), sebuah protein berukuran sekitar 60 kDa, dan dua
jenis protein mantel yaitu coat protein (CP) dan coat protein minor (CPm). ToCV
dan TICV merupakan anggota genus Crinivirus yang dapat ditularkan oleh
kutukebul (whitefly) dan terpisah dari kelompok lain dari anggota famili
Closteroviridae yang mempunyai serangga vektor kutudaun (aphids).
Virus-virus pada genus Crinivirus telah diketahui tidak dapat ditularkan
melalui cairan perasan tanaman sakit ataupun melalui benih (Martelli et al. 2002).
Oleh sebab itu kutukebul menjadi agens utama penyebar penyakit kuning di
lapangan. Hal ini bersesuaian dengan penemuan Navas-Castillo et al. (2000) yang
menyatakan bahwa tingkat kejadian penyakit kuning di lapangan berkorelasi
positif dengan tingkat populasi kutukebul.
Beberapa peneliti di belahan lain dunia menyebutkan terdapat beberapa
spesies kutukebul yang mengkolonisasi tanaman tomat dan beberapa sebagai
agens utama penyebar virus TICV dan ToCV. Spesies kutukebul yang ditemukan
tersebut adalah Trialeurodes vaporariorum Westood, T. abutilonea Haldeman,
dan Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) (Wintermantel & Wisler
2006). Data detail mengenai keefektifan kutukebul dalam menularkan TICV dan
ToCV penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat belum tersedia di
Indonesia, sementara epidemik penyakit yang disebabkan oleh kedua virus
tersebut di Indonesia semakin meningkat di berbagai daerah penghasil tomat.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan agar epidemik penyakit yang
disebabkan oleh kedua virus tersebut dapat dicegah dan pengendalian dapat
ditentukan dengan tepat.
3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit
kuning di Indonesia, mengidentifikasi ulang kutukebul yang mengkolonisasi
tanaman tomat di lapangan, dan menganalisis keefektifan spesies kutukebul dalam
menularkan virus penyebab penyakit kuning.

Manfaat Penelitian
Pengetahuan tentang sifat hubungan antara virus penyebab penyakit kuning
dengan kutukebul sebagai serangga vektornya dapat digunakan sebagai dasar
pengendalian penyakit kuning secara efektif dan efisien.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Tomato infectious chlorosis virus (TICV)


TICV pertama kali ditemukan di lahan tomat California tahun 1993 (Duffus
et al. 1994) dan setelah itu ditemukan pula di beberapa lahan tomat di Italia
(Vaira et al. 2000; Parrella & Scassillo 2006), Spanyol (Font et al. 2002), Yunani
(Dovas et al. 2002), dan Perancis (Dalmon et al. 2005). Di Asia, TICV telah
terdeteksi pada tanaman tomat di Indonesia dan Jepang (Verhoeven et al. 2003;
Hartono et al. 2003). Virus ini diketahui sebagai virus yang ditransmisikan oleh
kutukebul pada tanaman tomat yang terinfeksi (Klaassen et al. 1995). Virus ini
ditransmisikan khusus oleh kutukebul T. vaporariorum dan memiliki periode
persisten selama 4 hari (Duffus et al. 1994; Wisler et al. 1996). Penyebaran virus
ini sangat bergantung pada bantuan kutukebul T. vaporariorum untuk menularkan
virus pada jaringan floem.
TICV berbentuk panjang lentur, partikel berfilamen dengan ukuran sekitar
650 nm. Closterovirus ini menginduksi penyakit kuning pada bagian jaringan
floem (Duffus et al. 1996). TICV merupakan kelompok genom bipartit RNA
untai tunggal (ssRNA), dengan panjang genom RNA 1 dan RNA 2 berturut-turut
yaitu 7.8 dan 7.4 kb (Liu et al. 2000).
Penyakit kuning pada tanaman tomat telah menyebar di sentra pertanaman
tomat di Magelang, Jawa Tengah. Penyakit dengan gejala yang sama juga telah
dilaporkan di Purwakarta, Jawa Barat. Hasil pengamatan lapangan di Magelang
mencatat rata-rata intensitas penyakit kuning-ungu antara 30% hingga 80%
(Hartono & Wijornako 2007). Penyakit menguning daun (yellowing diseases)
pada tomat dengan gejala mirip seperti yang ditemukan di Magelang dan
Purwakarta telah dilaporkan di beberapa negara beriklim sedang sebagai anggota
famili Closteoviridae ( Duffus et al. 1996). Penyakit kuning ini telah tersebar di
rumah kaca California dan menginfeksi beberapa tanaman penting termasuk tomat
(Lycopersicon esculentum L.), tomatilo (Physalis ixocarpa Brot.), kentang
(Solanum tuberosum L.), selada (Lactuca sativa L.), dan bunga petunia (Petunia x
hybrida Vilm.) (Li et al. 1998).
5

Gejala penyakit kuning pada tanaman tomat meliputi menguningnya daun,


nekrosis, daun menggulung ke bawah, daun mengering dan rapuh diikuti dengan
kehilangan hasil yang parah. Kehilangan hasil terjadi karena area fotosintesis pada
daun yang berkurang. Gejala kuning tampak pada daun bagian bawah, pada daun
bagian tengah, dan bahkan pada daun bagian atas (Anfoka & Abhary 2007).
Gejala penyakit kuning yang disebabkan TICV tidak mudah dikenali karena
virus-virus tersebut berada pada daun tua dan berkelompok dengan gejala yang
disebabkan oleh kekurangan nutrisi (Dovas et al. 2002). Gejala virus ini secara
alami terbatas pada jaringan floem, dan dengan konsentrasi virus rendah
menyebabkan diagnosis sulit dilihat pada tanaman inang yang terinfeksi.
Walaupun tidak tampak jelas gejala pada bunga dan buah tomat, tetapi produksi
buah berkurang dengan mengecilnya ukuran buah dan menurunnya jumlah buah
akibat berkurangnya daerah fotosintesis (Li et al. 1998).

Tomato chlorosis virus (ToCV)


ToCV pertama kali tersebar di negara bagian Florida sejak 1989 dan diduga
virus ini sudah tersebar di Indonesia saat ini. Virus ini dengan cepat menyebar ke
seluruh dunia dan sampai saat ini keberadaannya telah dilaporkan di banyak
negara seperti di Taiwan (Tsai et al. 2004), Spanyol (Navas-Castillo et al. 2000;
Lozano et al. 2006), Yunani (Kataya et al. 2008), dan Perancis (Masse et al.
2008). Virus ini ditransmisikan oleh kutukebul T. vaporariorum, B. tabaci biotipe
A dan B, serta T. abutilonea dengan periode retensi 1-2 hari. ToCV dit ularkan
oleh ketiga spesies serangga vektor di atas dengan sangat efisien secara semi-
persisten, sehingga kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat sangat
dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan aktivitas serangga ini (Jacquemond et al.
2008). Efisiensi penularan bervariasi oleh vektor B. tabaci biotipe B (juga dikenal
sebagai B. argentifolii Bellows & Perring) dan T. abutilonea yang lebih efisien
menularkan ToCV daripada B. tabaci biotipe A atau T. vaporariorum (Wisler &
Duffus 2001).
ToCV merupakan kelompok RNA dengan panjang partikel 800-850 nm
(Wintermantel et al. 2005). Virus ini mempunyai dua jenis genom berupa RNA
utas tunggal RNA yaitu RNA 1 dan RNA 2 yang masing-masing berukuran 7.8
dan 8.2 kb. Menurut Martelli et al. (2000), RNA 1 mengkode dua jenis protein
6

yang terlibat dalam replikasi virus; sedangkan RNA 2 mengandung beberapa gen
yaitu sebuah protein kecil yang hidrofobik, sebuah protein berukuran sekitar 60
kDa, dan dua jenis protein mantel yaitu CP dan CPm. Selubung protein minor
(CPm) pada ToCV, yang membentuk bagian ekor/ujung virion memiliki peranan
dalam penularan dengan kutukebul. CPm dari ToCV memiliki kespesifikan
dengan reseptor T. vaporariorum dan B. tabaci. Menurut Wintermantel (2006),
kespesifikan virus dan vektornya sangat ditentukan oleh reseptor yang ada pada
stilet serangga dengan CP dari virus bersangkutan.
Infeksi ToCV pada tanaman tomat menyebabkan klorosis yang pada
awalnya terjadi pada daun-daun bagian bawah kemudian berkembang ke bagian
pucuk, pada lamina daun di antara tulang daun mengalami klorosis (interveinal
yellowing). Setelah munculnya vektor kutukebul, gejala ini berkembang dalam
beberapa minggu. Daun menjadi tebal dan keriting, dan mudah rapuh jika
dipatahkan. Virus ini dapat menyebar dengan cepat ke pertanaman di sekitar
sumber virus sesuai dengan aktivitas kutukebul sebagai vektornya sehingga
kejadian penyakit dalam satu kebun petani sering ditemukan mencapai lebih dari
90% (Navas-Castillo et al. 2000). Kehilangan hasil akibat infeksi virus ini di
lapangan menyebabkan ukuran buah mengecil, jumlah buah berkurang saat panen,
dan menurunnya umur tanaman (Wintermantel 2004).

Infeksi Ganda (TICV dan ToCV)


Persebaran TICV dan ToCV bergantung pada kutukebul. Kedua virus
tersebut ditularkan kutukebul terpisah dari kelompok lain dari anggota famili
Closteroviridae yang mempunyai serangga vektor kutudaun. Adanya infeksi
ganda yang ditularkan oleh T. vaporariorum dan B. tabaci menandakan bahwa
infeksi oleh satu virus tidak mencegah infeksi oleh virus yang kedua. Epidemik
Crinivirus tidak hanya dipengaruhi oleh perpindahan serangga vektor tetapi juga
oleh faktor persaingan pada tanaman inang. Kemungkinan bahwa persaingan
masing-masing virus yang menyebabkan kemunculan penyakit kuning
dipengaruhi oleh jenis/spesies tanaman inang dan umur tanaman inang (Dalmon et
al. 2008).
Kedua virus tersebut ditemukan secara bersama-sama pada tanaman tomat di
beberapa belahan dunia. Kedua virus tersebut juga menginfeksi sejumlah gulma
7

termasuk gulma Picris achioides L., tembakau Nicotiana glauca G., Cynara
cardunculus L. dan beberapa tanaman hias yaitu tanaman cina aster dan petunia.
Gejala penyakit yang disebabkan oleh TICV lebih parah pada tanaman indikator
Nicotiana branthamina dan N. clevelandi berupa bercak klorosis pada tulang daun
dibandingkan dengan yang diinduksi oleh ToCV. Gejala penyakit kuning yang
disebabkan ToCV pada tanaman inang yaitu klorosis pada interval tulang daun
tetapi tidak nekrosis, sedangkan TICV terlihat klorosis dan nekrosis (Duffus et al.
1994). Menurut Wisler et al. (1998) gejala penyakit kuning yang terinfeksi kedua
virus tersebut terlihat daun menguning pada interval tulang daun, bercak nekrosis,
daun menggulung ke bawah kemudian berkembang ke bagian atas. Penelitian
tentang kisaran inang pada tanaman selada mengindikasikan bahwa TICV
menginfeksi selada sedangkan ToCV tidak mampu menginfeksi tanaman selada
(Parrella 2007). Tanaman kentang di rumah kaca rentan terhadap infeksi TICV
dan ToCV yang mirip dengan gejala yang diinduksi oleh potato leafroll luteovirus
(Famili Lutoeviridae, Genus Luteovirus) walaupun lahan tanaman kentang yang
terinfeksi oleh kedua virus tersebut belum dilaporkan (Wisler et al. 1998).

Kutukebul
Kutukebul merupakan kelompok serangga yang berukuran kecil berwarna
putih dan bertubuh lunak. Kutukebul termasuk ke dalam Famili Aleyrodidae,
superfamili Aleyrodoidea, subordo Sternorrhyncha, ordo Hemiptera (Carver et al.
1991). Famili Aleyrodidae memiliki dua sub famili, yaitu Alerodicinae dan
Aleyrodinae (Martin 1987). Saat ini jumlah spesies serangga famili Aleyrodidae
yang pernah dideskripsikan sebanyak 1200 spesies.
Kutukebul mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus
yang ada pada bagian abdomen. Nimfa maupun imago kutukebul biasanya
memiliki lapisan lilin dengan berbagai bentuk. Lapisan lilin ini dapat digunakan
sebagai dasar identifikasi karena penampilan dan pola dari lapisan lilin dapat
membedakan antara satu spesies dengan spesies lain (Botha et al. 2000). Semua
stadia kutukebul hidup dan makan di bagian bawah permukaan daun dan
kutukebul ini mengeluarkan embun madu sebagai hasil sekresinya. Ekskresi
berupa embun madu tersebut keluar dan seringkali tetesannya jatuh pada
permukaan atas dan bawah daun tempat hidup kutukebul ini. Embun madu yang
8

telah menempel pada daun-daun itu dapat dijadikan media hidup cendawan lain
yaitu Capnodium sp. atau dikenal sebagai embun jelaga (Hoddle 2004).
Siklus hidup kutukebul terdiri dari empat fase perkembangan yaitu telur,
nimfa, pupa, dan imago. Kutukebul bereproduksi secara seksual atau
partenogenesis. Serangga betina yang sudah dibuahi oleh serangga jantan
meletakkan telurnya di permukaan daun. Ketika telur menetas, nimfa instar
pertama kutukebul akan bergerak untuk mencari tempat menghisap makanan yang
sesuai dan menetap disana. Pada stadia nimfa akhir, kutukebul menghentikan
aktivitas makannya dan membentuk semacam kulit pupa sebagai tempat
perlindungan proses menuju imago. Stadia ini disebut puparium, setelah melewati
fase pupa kutukebul menjadi imago (Kalshoven 1981).
Beberapa tahun belakangan, kutukebul telah menjadi masalah utama bagi
para petani di seluruh dunia. Walaupun kutukebul dianggap sebagai grup serangga
tropis, spesies berbahaya ini banyak sekali ditemukan di seluruh belahan lain
dunia, terutama di daerah beriklim subtropis. Sepanjang abad ke-20, B. tabaci
dan T. vaporariorum telah menjadi vektor patogen-patogen tertentu baik di rumah
kaca maupun di lahan terbuka di wilayah beriklim hangat (Martin et al. 2000).
Stadia nimfa dan imago kutukebul merupakan stadia yang menyebabkan
kerusakan tanaman (Morales 2001).
Sebagai vektor, kutukebul dilaporkan dapat menularkan sekitar tujuh
kelompok virus yaitu closterovirus, geminivirus, carlavirus, potyvirus, nepovirus,
luteovirus, dan virus DNA yang berbentuk batang (Markham et al. 1994). Di
antara kelompok virus tersebut yang paling banyak ditularkan adalah closterovirus
(Famili Closteroviridae, Genus Crinivirus) dan geminivirus (Famili
Geminiviridae, Genus Begomovirus) (Muniyappa & Reddy 1983, Wisler et al.
1998).
Trialeurodes vaporariorum. T. vaporariorum umumnya dikenal sebagai
kutukebul rumah kaca (greenhouse whitefly) yang memiliki habitat di daerah
beriklim sedang di dunia (Kessing & Mau 2009). Kutukebul ini merupakan hama
utama pada berbagai buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman hias, yang sering
ditemukan di rumah kaca dan tanaman hortikultura. Imago kutukebul panjangnya
1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki empat sayap diselimuti
9

lilin hampir sejajar dengan permukaan daun. Imago ini sayapnya seperti tenda
mengikuti seluruh tubuhnya, sayap menutupi tubuh dan sayap itu berbentuk
segitiga (Smith 2009).
Selama instar empat atau instar akhir (pupa) susunan mata dan jaringan
tubuh menjadi terlihat, larva menebal dan muncul dari permukaan daun. Instar
akhir ini sering disebut pupa karena imago kutukebul muncul dari fase ini. Lama
stadium pupa berkisar antara 3-7 hari. Ciri khas pupa T. vaporariorum terutama
pada bagian-bagian seperti: lingula, vasiform orifice, submargin papila. T.
vaporariorum mempunyai barisan papila pada submarginnya, basal tungkai
tengah dan belakang mempunyai seta yang kecil dan halus, dan lingulanya
membulat (Martin 1987).
Imago T. vaporariorum umumnya menetap pada daun-daun muda yang
dekat pada titik tumbuh tanaman, dan meletakkan telur di tempat tersebut. Imago
bertahan hidup pada suhu 22 sampai 25 oC, sedangkan pada suhu di atas 30 oC
imago tidak mampu berkembang dan suhu di atas 35 oC imago akan mati (Smith
2009). Xie et al. (2006) menjelaskan bahwa T. vaporariorum memiliki
kemampuan beradaptasi pada suhu dingin pada semua fase perkembangan
dibandingkan dengan B. tabaci.
Semua stadia hidupnya selain telur dan pupa menyebabkan kerusakan
tanaman dengan memakan langsung, memasukkan stiletnya ke dalam tulang daun
dan mengekstrak makanan dari sap floem (Wintermantel 2004). Cara makan
nimfa yaitu dengan menghisap sap dari tanaman, protein ekstrak, nutrisi dan
mengeluarkan gula, dimana keberadaan sap tersebut disebut dengan embun madu.
Sebagai produk makanan, embun madu yang dikeluarkan dapat menjadi sumber
utama kerusakan. Pada populasi yang tinggi, sejumlah embun madu yang
diproduksi menyebabkan tanaman atau buah-buahan menjadi lengket, dan
pertumbuhan embun jelaga menyebabkan terbatasnya sistem fotosintesis menjadi
terhalang. Karakteristik yang lebih berpotensi berbahaya yaitu kemampuan imago
menularkan beberapa virus tanaman. T. vaporariorum mampu menularkan
beberapa penyakit virus tanaman (Cardona 2002).
Bemisia tabaci. B. tabaci dikenal dengan nama umum kutukebul kapas,
kutukebul tembakau, atau kutukebul ubi jalar (CABI 1999). Ciri-ciri morfologi
10

kutukebul ini yaitu: tubuh imago berwarna kuning, sayap tertutup oleh tepung
berwarna putih, panjang tubuh 1-1,5 mm. Serangga ini memiliki siklus hidup
sekitar 2 sampai 3 minggu (Kalshoven 1981).
Nimfa dan pupa berwarna keputih-putihan dan bentuknya bervariasi
tergantung pada substratnya, memiliki panjang 0,7 mm (Kalshoven 1981). Nimfa
instar pertama tidak mempunyai peran yang penting dalam penyebaran virus
tanaman (Costa 1969). Pada pupa terdapat dua bintik merah yang merupakan
bakal mata pada fase imago. Kedua bintik merah itu terlihat melalui
integumennya yang transparan (Hill 1987). Bentuk pupa bulat memanjang, bagian
toraks agak melebar, dan cembung. Ruas-ruas abdomen tampak jelas. Pinggir
kantung pupa tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang duri dan
satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segitiga dan memanjang,
operculum menutupi hampir seluruh bagian dari vasiform orifice (Martin 1987).
Lama hidup imago betina sekitar 6 hari (Kalshoven 1981), tetapi juga bisa
sampai 60 hari, sedangkan lama hidup imago jantan umumnya lebih pendek, yaitu
antara 9-17 hari. Sayapnya terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda
dengan posisi saat istirahat terlihat menyempit ke depan (CABI 1999).
B. tabaci ini beradaptasi pada suhu hangat yakni berkisar 14 sampai 35 oC,
dengan suhu optimum sekitar 25 sampai 30 oC. Pada tanaman tomat, imago
mampu hidup selama 10-15 hari pada suhu 28 sampai 30 o C, sedangkan imago
betina mampu memproduksi sekitar 195 telur pada suhu 25 o C (Smith 2009). Hal
ini menunjukkan bahwa aktivitas terbesar B. tabaci menyerang tanaman terjadi
pada musim panas dan untuk daerah tropis populasi serangga ini banyak dijumpai
pada musim kemarau.
B. tabaci merupakan hama utama di berbagai pertanaman. Costa (1969)
mengemukakan bahwa nimfa B. tabaci yang menyerang tanaman kedelai di Brasil
dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: nimfa dan imago adalah penghisap
cairan pada floem menyebabkan jaringan daun kehilangan nitrisi; merusak sel dan
jaringan daun akibat tusukan stilet; serangga tersebut mungkin mengeluarkan
racun dan menyebabkan pembuluh daun lebih jelas kelihatan; sebagai vektor
beberapa virus dan mungkin sebagai penyebar bakteri dan cendawan; dan ekskresi
embun madu menyebabkan timbulnya embun jelaga.
11

Hubungan Virus dengan Serangga Vektornya

Sebagian besar virus tanaman ditularkan oleh serangga vektor dan


tergantung pada perilaku dan kapasitas penyebaran vektor tersebut untuk
menyebarkan virus dari tanaman ke tanaman. Serangga vektor virus tanaman
memiliki beberapa ordo (Hemiptera, Coleoptera, Thysanoptera, Orthoptera,
Dermaptera, Lepidoptera, Diptera), akan tetapi Hemiptera merupakan kelompok
vektor yang paling penting pada virus tanaman. Ordo-ordo tersebut dibagi ke
dalam tiga subordo: Heteroptera (kepik), Auchenorrhyncha (tonggeret dan
wereng) dan Sternorrhyncha (kutudaun, kutukebul, kutuputih, kutu loncat).
Sebagian besar anggota subordo Auchenorrhyncha dan Sternorrhyncha termasuk
vektor virus tanaman (Carver et al. 1991; Borror et al. 1996). Dari 1200 spesies
kutukebul yang telah diteliti, hanya empat spesies (B. tabaci, T. vaporariorum, T.
abutilonea, dan T. ricini Misra) ditemukan menularkan virus tanaman (J ones
2003).
Virus ditularkan oleh kutukebul diklasifikasikan berdasarkan lamanya
vektor mempertahankan virus. Klasifikasi ini dapat dibedakan antara non-
persisten jika kemampuan vektor menularkan virus hilang dalam beberapa menit
atau beberapa jam, semi persisten jika kemampuan vektor menularkan virus
hilang setelah beberapa jam, dan persisten jika kemampuan vektor untuk
menularkan virus tersimpan untuk beberapa hari atau selama vektor tersebut hidup
(Watson & Robers 1939, Sylvester 1956). Klasifikasi lain digunakan dalam
menunjuk tempat retensi virus dalam vektor. Dalam hal ini virus dipertahankan
pada ujung stilet yang disebut stylet-borne (Kennedy et al. 1962), sedangkan virus
dipertahankan pada saluran pencernaan disebut foregut-borne (Nault & Ammar
1989). Hal ini menjelaskan bahwa virus non persisten merupakan stylet borne dan
semi persisten adalah foregut borne (Fereres & Moreno 2009). Hemiptera
memiliki bentuk mulut menusuk-menghisap yang berisi empat struktur tubular
yang dinamakan stilet. Dua stilet maksila menghubungkan dua bentuk pembuluh
utama, saluran makan dan kelenjar ludah. Dua stilet mandibulata terdiri dari
aktivitas mekanik dan perpindahan secara bebas pada tiap-tiap penetrasi melalui
ruang interselular (Forbes 1969).
12

Interaksi antara protein selubung virus dengan kutukebul terjadi saat


penempelan partikel virus dengan reseptor sehingga virus dapat tertular. Virus
akan berada dalam tubuh serangga vektor saat diakuisisi. Virus menuju sel epitel
saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva serangga. Virus
bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus mencapai ke stilet dan
masuk ke dalam tanaman sehat saat vektor makan cairan floem. Virus tersebut
memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi satu jam hingga satu hari dan periode
laten satu hari hingga beberapa minggu dalam tubuh serangga (Gray & Banerjee
1999).
Beberapa istilah dalam penularan virus oleh serangga vektor yaitu
transovarial merupakan kemampuan serangga dalam menularkan virus yang
diturunkan pada telur serangga; transtadial adalah kemampuan serangga dalam
menularkan virus dari stadia ke stadia selanjutnya. Periode makan akuisisi (PMA)
adalah waktu yang dibutuhkan serangga untuk mengambil virus dari tanaman
terinfeksi sedangkan periode makan inokulasi (PMI) adalah waktu yang
dibutuhkan serangga untuk memindahkan virus ke tanaman sehat (Aidawati et al.
2002).
13

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu


Kegiatan survei dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Bogor,
Cianjur, dan Garut; identifikasi kutukebul dilakukan di Laboratorium
Biosistematika Serangga; identifikasi virus dilakukan di Laboratorium Virologi
Tumbuhan; dan penetapan hubungan virus-kutukebul dilakukan di Rumah Kaca,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan dari Agustus 2008 sampai November 2009.

Survei Penyakit Kuning pada Pertanaman Tomat


Kegiatan survei dilakukan di daerah Bogor dan Cianjur yang mempunyai
ketinggian tempat dari beberapa meter di atas permukaan laut (m dpl) sampai
lebih dari 1300 m dpl. Pada setiap rentang ketinggian tempat diamati empat
sampai enam kebun tomat petani. Kemudian setiap kebun diamati gejala penyakit
kuning dan kejadian penyakit dihitung dengan membagi jumlah tanaman contoh
yang memperlihatkan gejala dengan jumlah tanaman yang diamati. Selanjutnya
diamati kutukebul yang mengkolonisasi pertanaman tomat setempat.

Identifikasi Virus yang Berasosiasi dengan Penyakit Kuning


Untuk mengetahui virus yang berasosiasi dengan penyakit kuning pada
tanaman tomat di daerah Jawa Barat, maka dilakukan deteksi virus melalui RT-
PCR.
Ekstraksi RNA. RNA total diekstraksi dari jaringan daun tanaman tomat
bergejala penyakit kuning dengan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc.,
Chatsworth, CA) mengikuti prosedur yang telah ditetapkan produsennya.
Sebanyak 0,1 g sampel daun digerus menggunakan mortar dengan bantuan
nitrogen cair. Hasil gerusan dimasukkan dalam tabung mikro 2 ml dan
ditambahkan 450 µl bufer ekstraksi (bufer RLT) kemudian divorteks. Sampel
diinkubasi pada suhu 56 °C selama 10 menit. Sampel dipipet, lalu dimasukkan
ke dalam QIAshredder spin column ungu, ditempatkan pada tabung koleksi 2 ml,
disentrifuse pada kecepatan 13000 rpm 2 menit. Supernatan dipipet tanpa
menyentuh pelet dalam tabung koleksi, lalu dipindahkan ke dalam tabung mikro 2
14

ml baru. Kemudian ditambahkan 0,5 vol etanol 96% ( ± 225µl) dicampur dengan
menaik turunkan pipet. Dimasukkan sampel (± 650 µl) termasuk endapan yang
terbentuk ke dalam Rneasy mini column pink, ditempatkan pada tabung koleksi 2
ml. Tutup dengan baik, lalu disentrifuse 10000 rpm 15 detik. Cairan dibuang pada
tabung koleksi. Ditambahkan 700µl bufer RW1 ke dalam Rneasy column.
Disentrifuse 10000 rpm 15 detik untuk mencuci column. Rneasy column
dipindahkan ke tabung koleksi 2 ml baru, lalu dipipet 500 µl bufer RPE ke dalam
Rneasy column. Disentrifuse 10000 rpm 15 detik. Cairan dibuang pada tabung
koleksi. Gunakan kembali tabung koleksi, lalu ditambahkan 500 µl bufer RPE.
Sentrifuse 10000 rpm 2 menit. Untuk meyakinkan bahwa column telah kering,
coloumn dipindahkan pada tabung koleksi baru, disentrifuse 10000 rpm 1 menit.
40 µl Rnase free water ditambahkan ke dalam Rneasy column, didiamkan 10
menit. disentrifuse 10000 rpm 1 menit. Siapan RNA total digunakan sebagai
template dalam reaksi RT-PCR.
Reaksi RT. Reaksi RT dilakukan dengan volume total 25 µl yang
mengandung 3 µl RNA total, 0,75 pmol random primer, 500 mM dNTP, 5 mM
MgCl2, 4 µl bufer RT (250 mM Tris-HCl, pH 8,3; 375 mM KCl; 15 mM MgCl2;
50 mM DTT), 20 unit RNasin ribonuclease inhibitor (Promega, Madison, WI),
dan 65 unit MMLV RT (Promega, Madison, WI). Reaksi RT dilakukan pada suhu
42 oC selama 60 menit dan dilanjutkan inaktivasi pada 95 oC selama 5 menit.
PCR. PCR dilakukan pada tabung yang sama dengan menggunakan
pasangan primer spesifik untuk ToCV dan TICV yang dapat diakses di GenBank
of America atau DDBJ of Japan. Reaktan PCR (total volume 50 µl) mengandung
0,75 pmol primer; 3 µl bufer PCR 10x (500 mM KCl; 100 mM Tris-HCl, pH 9;
1% Triton X-100), dan 0,5 µl Taq DNA polymerase (Promega, Madison, WI).
Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480 Thermocycler dan dikondisikan
untuk denaturasi inisiasi pada 94 oC selama 4 menit, dilanjutkan 30 siklus yang
terdiri dari denaturasi pada 94 o C selama 1 menit, penempelan primer pada 54 oC
selama 1 menit, dan pemanjangan pada 72 o C selama 1 menit, dan diikuti
pemanjangan akhir pada 72 oC selama 10 menit. setelah dilakukan PCR, maka
hasil yang diperoleh dialirkan pada gel elektroforesis dengan prosedur
sebagai berikut : agarose sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu
15

ditambahkan 25 ml buffer TAE 0,5x (Tris Asetat EDTA). Kemudian dipanaskan


dalam microwave sampai larutan berwarna bening. Larutan agar didinginkan
hingga suhu 60 oC selama 10 menit lalu ditambahkan 1,25 µl etidium bromida;
kemudian diaduk dan dituang dalam cetakan gel agarose. Gel didiamkan selama
30 menit sampai gel mengeras. Gel ditempatkan di dalam bak elektroforesis posisi
sumur pada kutub negatif. Sampel cDNA 10 µl dicampur dengan 2 µl loading
dye, marker 1 kb sebanyak 5 µl dicampur dengan 1 µl laoding dye. Sampel
dan marker tersebut dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis lalu
dimigrasikan pada tegangan 50 volt selama 45 menit. Visualisasi DNA hasil PCR
dilakukan dengan transluminator UV kemudian dipotret dengan kamera digital.

Identifikasi Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat


Identifikasi spesies kutukebul dilakukan dengan cara membuat preparat
kantung puparium dengan metode tanpa pemanasan berdasarkan metode Martin
(1999). Puparium kutukebul didehidrasi dengan merendam dalam alkohol 95%
selama 10 menit dan kemudian dalam asam asetat glasial selama 10 menit.
Setelah dicuci dengan akuades, kantung puparium direndam dalam carbol xylene
selama satu menit dan kembali dicuci dengan akuades dan siap diwarnai.
Pewarnaan dilakukan dengan perendaman dalam campuran asam asetat glasial
dan asam fuksin (1:1) selama satu malam. Untuk mengurangi kepekatan
pewarnaan, kantung puparium dimasukkan berturut-turut ke dalam alkohol 80%
dan 100% masing-masing selama 10 menit. Selanjutnya, preparat diletakkan di
cawan sirakus dan direndam selama 10 menit dalam minyak cengkeh. Kantung
puparium dipindahkan dan diletakkan di atas kaca objek. Selanjutnya, balsam
kanada diteteskan sebanyak satu tetes dan ditutup dengan kaca penutup.
Identifikasi spesies kutukebul dilakukan mengikuti Martin (1987).

Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul


Inokulum virus. Virus TICV dan ToCV yang digunakan dalam penelitian
ini berasal dari tanaman tomat yang terinfeksi dari daerah Garut. Masing-masing
virus tersebut diperbanyak melalui stek tanaman tomat dengan memotong pucuk
tanaman tomat yang memiliki gejala kuning dan telah diverifikasi melalui RT-
16

PCR bahwa terinfeksi tunggal oleh ToCV, atau oleh TICV, dan terinfeksi ganda
ToCV dan TICV.
Kutukebul. Kutukebul disiapkan dengan mengumpulkan puparium dari
pertanaman tomat di daerah Bogor dan Cianjur. Puparium dikumpulkan secara
terpisah dari koloni kutukebul yang berbeda (dilihat dari ukuran dan cara hinggap
kutukebul). Puparium dari koloni kutukebul yang berbeda kemudian masing-
masing diletakkan pada tanaman tomat yang dipelihara dalam kurungan yang
berbeda. Imago yang keluar beberapa hari berikutnya dipelihara dan dibiarkan
meletakkan telur pada tanaman tomat yang sama. Tanaman tomat yang telah
mengandung sejumlah telur kutukebul dipindahkan ke kurungan baru yang telah
berisi tanaman tomat sehat lain. Pemeliharaan dilakukan sampai diperoleh imago
baru yang merupakan imago bebas virus dan kemudian digunakan dalam studi
penularan virus.
Penularan virus oleh kutukebul. Penularan dilakukan dengan membiarkan
kutukebul makan akuisisi pada stek tomat sumber virus selama 24 jam kemudian
dipindahkan dan dibiarkan makan inokulasi pada tanaman tomat sehat selama 48
jam dan selanjutnya kutukebul dimatikan. Untuk perlakuan infeksi ganda, jumlah
kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci dewasa digunakan 10 ekor per tanaman
dengan masing-masing 10 tanaman, sedangkan untuk infeksi tunggal jumlah
kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci dewasa digunakan 1, 3, 5, dan 7 ekor
per tanaman menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dengan 5
tanaman per ulangan. Tanaman tomat yang diinokulasi adalah tanaman tomat
muda yang baru muncul dua daun pertama atau berumur sekitar dua minggu.
Tanaman tomat yang sudah diinokulasi dipelihara dalam kondisi rumah kaca dan
diamati perkembangan gejala yang muncul setiap hari. Infeksi virus diverifikasi
melalui RT-PCR. Persentase tanaman terinfeksi dihitung pada setiap ulangan
kemudian dilakukan analisis ragam menggunakan program Statistical Analysis
System (SAS). Perbandingan rata-rata antar perlakuan dilakukan dengan uji
Kisaran Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat di Jawa Barat


Survei yang telah dilakukan di daerah Jawa Barat yaitu di Bogor, Cianjur,
dan Garut menemukan bahwa penyakit kuning pada tanaman tomat telah banyak
terjadi. Gejala penyakit kuning lebih banyak terlihat pada tanaman tomat yang
ditanam di daerah dengan ketinggian sedang mulai dari 400 m dpl sampai
ketinggian sekitar 1400 m dpl (Tabel 1). Gejala penyakit kuning pada tanaman
tomat terjadi mulai dari daun-daun terbawah kemudian secara perlahan
berkembang ke arah daun-daun bagian atas dan pada akhirnya seluruh daun
memperlihatkan gejala penyakit kuning. Penyakit kuning ditandai dengan
perubahan warna menjadi kuning pada lamina di antara tulang-tulang daun
(Gambar 1). Kadang-kadang bagian yang klorotik berkembang menjadi nekrotik
karena kematian jaringan tanaman. Di samping itu, beberapa daun terutama daun-
daun bagian atas maupun pucuk berubah warna menjadi ungu. Tekstur daun juga
berubah menjadi kurang elastis, daun menjadi tebal dan keriting, serta rapuh bila
diremas. Gejala ini berkembang dalam beberapa minggu setelah munculnya
vektor kutukebul. Walaupun tidak tampak jelas gejala pada bunga dan buah
tomat, tetapi produksi buah berkurang dengan mengecilnya ukuran buah dan
menurunnya jumlah buah akibat berkurangnya daerah fotosintesis. Gejala
semacam ini sama dengan yang sudah dideskripsikan oleh beberapa peneliti
terdahulu (Accotto et al. 2001).
Kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian tempat
bervariasi untuk setiap lokasi pengamatan contoh. Secara umum terlihat bahwa
kejadian penyakit tanaman tomat sangat tinggi mencapai 100% kecuali untuk
lokasi pengambilan contoh di Cisarua, Ciawi, dan Tapos (0%). Kejadian penyakit
kuning tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh musim pada saat pengamatan dan
kepadatan populasi kutukebul. Musim kemarau dengan suhu relatif tinggi
menyebabkan perkembangan kutukebul lebih cepat. Oleh karena itu, aktivitas
terbesar serangga menyerang tanaman terjadi pada musim panas dan untuk daerah
tropis populasi serangga ini banyak dijumpai pada musim kemarau.
18

Kutukebul merupakan agens utama penyebar penyakit kuning di lapangan.


Hal ini terlihat dari hasil pengamatan di lapangan menemukan dua spesies
kutukebul yaitu B. tabaci dan T. vaporariorum pada tanaman tomat yang
terserang penyakit kuning. Hal ini bersesuaian dengan penemuan Navas-Castillo
et al. (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kejadian penyakit kuning di
lapangan berkorelasi positif dengan tingkat populasi kutukebul. Oleh karena itu,
penyakit kuning ini diketahui tidak dapat ditularkan melalui cairan perasan
tanaman sakit ataupun melalui benih (Martelli et al. 2002).
Kutukebul pengkoloni tanaman tomat dengan ketinggian dimulai dari 0 m
dpl sampai 1000 m dpl didominasi oleh B. tabaci, ketinggian 1000 sampai 1200 m
dpl oleh kedua kutukebul tersebut yaitu B. tabaci dan T. vaporariorum, sedangkan
ketinggian diatas 1200 m dpl hanya didominasi oleh T. vaporariorum. Xie et al.
(2006) menjelaskan bahwa T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi
pada suhu dingin pada semua fase perkembangan dibandingkan dengan B. tabaci
sehingga hal tersebut diduga mempengaruhi pola distribusi kedua spesies tersebut.

Tabel 1 Kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat menurut ketinggian tempat
di daerah Bogor dan Cianjur1)
Ketinggian Lokasi Kejadian Kutukebul Varietas tomat
tempat pengamatan penyakit pengkoloni yang diamati
(m dpl) tomat2)
0 - 200 Parung 0% B.tabaci Marta

200 - 400 Cibitung, 0% B.tabaci Marta


Cinangneng
400 - 600 Cipayung 95-99% B.tabaci Marta

600 - 800 Megamendung 80-90% B.tabaci Marta

800 - 1000 Cisarua, 0% B.tabaci Recento, Tomat


Ciawi, Tapos sayur
1000 - 1200 Pasir Sarongge 0-100% B.tabaci, Ceri, Marta,
T.vaporariorum Bintang Asia
1200 - 1400 Ciloto, 60-100% T.vaporariorum Marta
Cibodas
1)
Pengamatan dari 4 sampai 6 kebun petani tomat pada setiap kreteria ketinggian tempat;
2)
Penentuan spesies kutukebul berdasarkan pengamatan langsung pada ukuran dan/atau
cara hinggap imago kutukebul
19

Gambar 1 Gejala kuning pada tanaman tomat mulai terjadi dari daun-daun bawah
kemudian berkembang ke arah pucuk (atas). Klorosis terutama terjadi
pada jaringan di antara tulang daun (interveinal chlorosis, bawah)

Virus-Virus yang Berasosiasi dengan Gejala Kuning pada Tanaman Tomat


Pada saat ini, deteksi virus pada tanaman lebih banyak dilakukan melalui uji
serologi karena lebih murah dan juga akurat. Namun demikian, untuk virus-virus
yang belum tersedia antiserumnya termasuk antiserum ToCV dan TICV, maka
deteksi dilakukan melalui pendekatan molekuler terutama RT-PCR. Deteksi
dengan RT-PCR perlu didesain sepasang primer yang spesifik untuk virus target.
Berdasarkan analisa sekuen ToCV dan TICV yang diunduh dari GenBank, maka
telah didesain sepasang primer ToCV-CP-F (5’
CTGTACAACGTTAACCAACTTGCATC -3’) dan ToCV-CP-R (5’
ATTTACATCTTCACCGGATCCAACTCC -3’) yang spesifik untuk ToCV; dan
TICV-CP-F (5’ AATCGGTAGTGACACGAGTAGCATC -3’) dan TICV-CP-R
(5’ CTTCAAACATCCTCCATCTGCC -3’) untuk TICV. Kedua pasangan primer
ini akan mengaplifikasi bagian gen CP dari masing-masing virus dan produk
PCR-nya berukuran sama yaitu sekitar 700 bp (Gambar 2).
20

M 1 2 3 4

700 bp

Gambar 2 Hasil amplifikasi DNA genom virus menggunakan pasangan primer


spesifik ToCV (lajur 1 dan 2) dan spesifik TICV (lajur 3 dan 4)
terhadap sampel daun yang diambil dari tanaman tomat bergejala
kuning dari Cipanas (lajur 1), Pacet (lajur 2 dan 3), dan Cikajang (lajur
4). Lajur M adalah 1 kb DNA leader (Qiagen, Germany)

Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, RT-PCR yang dilakukan terhadap


jaringan daun yang diambil dari tanaman tomat bergejala kuning di lapangan
berhasil dilakukan dengan primer spesifik ToCV maupun TICV dan terbentuk pita
yang jelas dengan ukuran sekitar 700 bp. Hasil deteksi ini mengindikasikan
dengan jelas bahwa penyakit kuning yang terjadi pada tanaman tomat di daerah
Jawa Barat berasosiasi dengan infeksi ToCV dan/atau TICV. Hasil penelitian ini
juga mengkonfirmasi bahwa kedua virus ini sudah ada di daerah Jawa Barat.
Hartono & Wijonarko (2007) juga pernah melaporkan bahwa TICV sudah
ditemukan di daerah Yogyakarta.

Kutukebul yang Mengkolonisasi Pertanaman Tomat di Jawa Barat


Survei yang telah dilakukan pada pertanaman tomat di daerah Jawa Barat
ditemukan dua jenis koloni kutukebul dari imago yang tampak berbeda dari
ukuran maupun cara hinggapnya. Satu kelompok kutukebul mempunyai imago
yang berukuran relatif lebih kecil (sekitar 1 mm) dan hinggap dengan sayap ke
dalam sedangkan kelompok lainnya berukuran sekitar 1,5 mm dan hinggap
dengan sayap agak ke luar (Gambar 3). Identifikasi lebih lanjut berdasarkan
morfologi pada masing-masing pupariumnya menggunakan kunci identifikasi
(Martin 1987) menemukan bahwa spesies kutukebul kelompok pertama adalah B.
tabaci, sedangkan kelompok kedua adalah T. vaporariorum.
21

Imago B. tabaci berwarna kuning dengan disertai sayap yang ditutupi oleh
sekresi berupa tepung berwarna putih, dengan panjang tubuh 1-1,5 mm. Sayapnya
terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda dengan posisi saat istirahat
terlihat menyempit ke depan.
Imago T. vaporariorum secara umum menetap pada daun-daun muda dekat
pada titik tumbuh tanaman, dan meletakkan telur di tempat tersebut. Imago
kutukebul panjangnya 1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki
empat sayap diselimuti lilin hampir sejajar dengan permukaan daun. Imago
dewasa ini sayapnya seperti tenda mengikuti seluruh tubuhnya, menyembunyikan
tubuhnya dan memperlihatkan sayap yang berbentuk segitiga.

Gambar 3 Imago B. tabaci (kiri) dan T. vaporariorum (kanan)

Kedua spesies kutukebul ini relatif sama penampakannya dan cukup sulit
dibedakan secara visual, terutama fase nimfa. Pengamatan di bawah mikroskop
terhadap preparat puparium yang telah diberi pewarnaan memperlihatkan dengan
jelas perbedaan puparium B. tabaci dan T. vaporariorum. Puparium B. tabaci
berbentuk bulat memanjang, berwarna kuning, dengan bakal mata terpisah dan
berwarna kemerah-merahan. Mempunyai tujuh pasang rambut dorsal yang
memanjang, trakea dengan pinggiran seperti sisir terdiri dari gigi-gigi yang jelas,
lingulanya memanjang berbentuk lidah, tetapi submarinnya tidak mempunyai
barisan papila, serta basal tungkai tengah dan belakang tidak berseta. Vasiform
orifice berbentuk segitiga dan memanjang. Terdapat satu pasang seta kauda yang
sama panjangnya dengan vasiform orifice. Panjang ruas VII abdomen berkurang
banyak dibagian tengah, sering tertutup oleh kantung-kantung sehingga hanya
tujuh ruas yang terlihat.
22

Puparium T. vaporariorum berbentuk ovoid, lebih tebal dibandingkan


dengan B. tabaci. Ciri khas T. vaporariorum terutama pada bagian-bagian seperti:
lingula, vasiform orifice, submargin papila. T. vaporariorum mempunyai barisan
papila pada submarginnya, basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta
yang kecil dan halus, lingulanya membulat, tidak mempunyai rambut dorsal, serta
pinggiran trakeanya tidak seperti sisir (Gambar 4). Permukaan dorsal tanpa pola
duri yang kokoh. Kantung pupa pucat, kadang-kadang dengan tanda kehitaman.
Hasil penelitian ini memastikan bahwa kutukebul yang mengkoloni tanaman
tomat di Jawa Barat adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. Hasil yang sama
didapatkan oleh Rahayuwati (2009) yang telah mengidentifikasi kutukebul pada
beberapa tanaman tomat di daerah lain di Indonesia.

d
e
e
c
c
d f
f g g
h h
b
b
a a
0,15 mm 0,3 mm

Gambar 4 Preparat puparium T. vaporariorum (kiri) dan B. tabaci (kanan): (a)


seta kauda, (b) vasiform orifice, (c) rambut dorsal, (d) pinggiran trakea,
(e) basal tungkai tengah dan belakang, (f) ruas abdomen VII, (g)
submargin, (h) lingula

Hasil identifikasi kantung pupa tersebut kemudian dilanjutkan dengan


pengumpulan dan perbanyakan serangga vektor dari pupa T. vaporariorum dan B.
tabaci yang diambil di bawah permukaan daun tomat. Pupa diletakkan selama 2-3
hari pada kurungan, imago segera muncul, dan imago tersebut yang digunakan
sebagai serangga vektor TICV dan/atau ToCV. Serangga vektor yang digunakan
dalam penularan virus ini yaitu imago yang telah bebas virus karena virus tidak
ditularkan pada generasi berikutnya.
23

Penularan Virus Penyebab Penyakit Kuning dengan Kutukebul


Hasil penelitian ini telah memastikan bahwa ToCV dan TICV berasosiasi
dengan kejadian penyakit kuning pada tanaman tomat. Demikian juga B. tabaci
dan T. vaporariorum merupakan dua spesies kutukebul yang ditemukan
mengkoloni tanaman tomat di lapangan. Penelitian selanjutnya dilakukan untuk
mengetahui asosiasi antara virus dan kutukebul. Pada pengujian pertama, setiap
spesies kutukebul diuji kemampuannya untuk menularkan virus dari tanaman
tomat terinfeksi ganda, sumber ToCV dan TICV ke bibit tomat sehat.
Hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 2 memperlihatkan
bahwa bila B. tabaci digunakan sebagai serangga penular maka hanya ToCV yang
terdeteksi pada tanaman tomat uji. Akan tetapi, bila T. vaporariorum digunakan
dalam penularan maka terdeteksi ToCV atau TICV pada tanaman tomat uji baik
secara terpisah maupun secara bersama-sama. Dari hasil penularan ini, dapat
dis impulkan bahwa B. tabaci hanya dapat menularkan ToCV, sedangkan T.
vaporariorum dapat menularkan ToCV maupun TICV. Hasil yang sama juga
telah didapatkan oleh Wisler & Duffus (2001) yang menyatakan bahwa ToCV
dapat ditularkan oleh B. tabaci biotipe A, biotipe B (juga dikenal sebagai B.
argentifolii), T. abutilonea dan T. vaporariorum, sedangkan TICV tidak dapat
ditularkan oleh B. tabaci.

Tabel 2 Penularan ToCV dan TICV melalui T. vaporariorum dan B. tabaci dari
tanaman sumber virus terinfeksi ganda1)
Jumlah tanaman yang terinfeksi
Jumlah Jumlah
oleh3)
Spesies tanaman tanaman tidak
ToCV &
kutukebul2) diinokulasi terinfeksi ToCV TICV
TICV
B. tabaci 10 2 (20%) 8 (80%) 0 (0%) 0 (0%)
T. vaporariorum 10 0 (0%) 6 (60%) 3 (30%) 1 (10%)
1)
Tanaman sumber virus adalah tanaman tomat yang terinfeksi oleh ToCV dan TICV dan
telah diverifikasi melalui RT-PCR; 2) Jumlah imago kutukebul yang digunakan adalah 10
ekor per tanaman uji; 3) Infeksi virus diverifikasi melalui RT-PCR dua minggu setelah
penularan dan tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala kuning (Gambar 5)

Menurut Wintermantel (2006), kespesifikan virus dan vektornya sangat


ditentukan oleh reseptor yang ada pada stilet serangga dengan CP dari virus
bersangkutan. ToCV memiliki kekhususan antara virus tanaman yang ditularkan
oleh 4 spesies kutukebul, dari 2 genus. CPm dari ToCV memiliki karakteristik
24

dengan virus yang ditularkan oleh T. vaporariorum dan B. tabaci. Selubung


protein minor pada ToCV, yang membentuk bagian ekor/ujung virion memiliki
peranan dalam penularan dengan kutukebul (Wintermantel et al. 2005). Terdapat
interaksi antara protein selubung virus dengan kutukebul saat terjadi penempelan
partikel virus dengan reseptor sehingga virus dpat tertular. Virus persisten, saat
diakuisisi akan berada dalam tubuh serangga vektor. Virus berada pada sel epitel
saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva serangga. Virus
bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus sampai ke stilet dan
masuk ke dalam tanaman sehat saat vektor makan cairan floem. Virus tersebut
memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi satu jam hingga satu hari dan periode
laten satu hari hingga beberapa minggu (Gray & Banerjee 1999).
Gejala TICV dan/atau ToCV pada tanaman tomat yaitu daun menguning
hanya terbatas pada tulang daun dan tulang daun tampak terlihat berwarna hijau
(Gambar 5). Gejala penyakit yang diinduksi oleh ToCV dilaporkan tidak dapat
dibedakan dengan gejala yang diinduksi oleh infeksi TICV (Dovas et al. 2002).
Selain itu, gejala yang muncul juga akan sama bila kedua virus ini bersama-sama
menginfeksi tanaman tomat (Wintermantel et al. 2008).

Gambar 5 Gejala kuning pada tanaman tomat yang telah diinokulasi dengan
ToCV (kiri) dan TICV (kanan)

Gejala lain penyakit kuning pada tanaman tomat meliputi menguningnya


daun, nekrosis, daun menggulung ke bawah, diikuti dengan kehilangan hasil
produksi buah, sehingga memunculkan masalah produksi dan pertumbuhan yang
serius pada tanaman tomat. Kehilangan hasil terjadi karena area fotosintesis pada
daun yang berkurang. Walaupun tidak tampak jelas gejala pada buah tomat, tetapi
25

produksi buah berkurang dengan mengecilnya ukuran buah dan menurunnya


jumlah buah.
Pengujian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui keefektifan B. tabaci
dalam menularkan ToCV dan keefektifan T. vaporariorum dalam menularkan
ToCV dan TICV. Pada penularan ini digunakan jumlah kutukebul yang berbeda
yaitu 1, 3, 5, dan 7 untuk setiap tanaman tomat yang diinokulasi. Tabel 3
memperlihatkan hasil penularan ToCV oleh B. tabaci. Persentase tanaman
terinfeksi pada uji penularan ToCV melalui kutukebul B. tabaci dengan jumlah 1,
3, dan 5 ekor kutukebul per tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
pada taraf nyata 5% (tanaman yang terinfeksi berturut-turut 13,33%; 20,00%;
33,33%). Akan tetapi persentase tanaman terinfeksi pada perlakuan 1-5 kutukebul
per tanaman ini berbeda nyata dengan persentase tanaman terinfeksi pada
perlakuan 7 kutukebul per tanaman dengan persentase tanaman terinfeksi semakin
meningkat menjadi 66,67%.

Tabel 3 Keefektifan B. tabaci menularkan ToCV pada tomat dari tanaman sumber
virus terinfeksi tunggal
Tanaman sumber Jumlah kutukebul Persentase Masa inkubasi
virus 1) per tanaman uji tanaman (hari)
terinfeksi2,3)
1 13,33b 10-12
3 20,00b 18-19
ToCV 5 33,33b 19-20
7 66,67a 19-21
10 80,004) 14-18
1)
Infeksi virus diverifikasi melalui RT-PCR (Gambar 6); 2) Rata-rata dari 3 ulangan;
3)
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang
ganda Duncan a = 0,05); 4) Perlakuan tidak diuji dengan Duncan (jumlah tanaman
berbeda dengan perlakuan jumlah kutukebul 1,3,5, dan 7)

ToCV secara efektif ditularkan oleh B. tabaci sehingga B. tabaci hanya


mampu menularkan ToCV dengan masa inkubasi 2-3 minggu. Satu ekor
kutukebul viruliferus sudah dapat menyebabkan tanaman sakit, dan semakin
banyak jumlah kutukebul keefektifan penularannya semakin meningkat. Semakin
banyak kutukebul yang melakukan inokulasi secara bersamaan pada satu tanaman
maka konsentrasi virus awal akan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain
yang hanya diinokulasi oleh 1 ekor kutukebul per tanaman. ToCV ditularkan oleh
B. tabaci secara efektif, tetapi TICV tidak dapat ditularkan oleh B. tabaci. Hal
26

ini menjelaskan adanya kespesifikan vektor untuk dua jenis Crinivirus tersebut
(Wisler et al. 1998).
Hasil di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa semakin banyak jumlah B.
tabaci yang digunakan maka persentase penularan ToCV semakin tinggi. Namun
dengan jumlah B. tabaci 7 ekor per tanaman uji, tingkat penularan belum
mencapai 100% dan bahkan bila menggunakan 10 ekor serangga per tanaman uji
pun tingkat penularannya hanya mencapai 80%. Untuk mencapai tingkat
penularan 100% tampaknya perlu menambah jumlah serangga lebih dari 10 ekor
per tanaman uji.
ToCV memiliki kekhususan antara virus tanaman yang ditularkan oleh 4
spesies kutukebul, dari 2 genus (Dalmon et al. 2008). Hal ini erat kaitannya
dengan kemampuan serangga vektor memperoleh virus, konsentrasi virus dalam
inangnya, dan kemampuan virus untuk melewati dinding usus tengah serta
bertahan di dalam hemolimfa serangga (Swenson 1967).

Tabel 4 Keefektifan T. vaporariorum menularkan ToCV dan TICV pada tomat


dari tanaman sumber virus terinfeksi tunggal
Tanaman sumber Jumlah kutukebul Persentase Masa inkubasi
virus 1) per tanaman uji tanaman (hari)
terinfeksi2,3)
1 6,67c 12
3 26,67b 14
ToCV 5 33,33b 16
7 60,00a 15-17
10 70,004) 11-13
1 13,33b 11
3 26,67ab 21-22
TICV 5 40,00ab 16-17
7 60,00a 18-19
10 100,004) 9-26
1)
Infeksi virus diverifikasi melalui RT-PCR (Gambar 6); 2) Rata-rata dari 3 ulangan;
3)
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (uji selang
ganda Duncan a = 0,05); 4) Perlakuan tidak diuji dengan Duncan (jumlah tanaman
berbeda dengan perlakuan jumlah kutukebul 1,3,5, dan 7)

ToCV dan TICV ditransmisikan dengan baik oleh T. vaporariorum dari


infeksi tunggal (Tabel 4). Penguijan penularan TICV melalui kutukebul T.
vaporariorum menunjukkan bahwa persentase tanaman terinfeksi oleh 1
kutukebul per tanaman yaitu 13,33% berbeda nyata pada taraf nyata 5% dengan
27

kejadian penyakit oleh 7 kutukebul per tanaman (60,00%), sedangkan persentase


tanaman terinfeksi pada perlakuan 3 dan 5 kutukebul per tanaman (26,67%;
40,00%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan 1 dan 7 kutukebul per tanaman.
Pada pengujian penularan ToCV melalui kutukebul T. vaporariorum
menunjukkan bahwa kejadian penyakit oleh 1 kutukebul per tanaman (6,67%)
lebih rendah dibandingkan pada perlakuan 3 dan 5 kutukebul per tanaman dengan
kejadian penyakit berturut-turut 26,67% dan 33,33%. Hal ini juga ditunjukkan
pada perlakuan 7 kutukebul per tanaman dengan kejadian penyakit 60%
menunjukkan hasil berbeda nyata dengan perlakuan 3 dan 5 kutukebul per
tanaman.
Keefektifan penularan ditentukan oleh jumlah kutukebul walaupun dengan
tingkat persentase tanaman terinfeksi yang beragam. Semakin sedikit jumlah
kutukebul per tanaman, semakin rendah jumlah tanaman terinfeksi. Hasil
penelitian Duffus et al. (1996) juga mendapatkan bahwa untuk satu ekor
kutukebul per tanaman uji, rata-rata jumlah tanaman terinfeksi hanya 8%.
Semakin banyak jumlah T. vaporariorum yang digunakan maka semakin tinggi
juga tingkat penularan yang terjadi. Untuk TICV dengan 10 ekor T. vaporariorum
penularan dapat dicapai hingga 100%, namun untuk ToCV perlu lebih dari 10
ekor untuk mencapai 100% penularan. Hasil penelitian Dalmon et al. (2008)
menunjukkan bahwa perlakuan 10-60 kutukebul per tanaman mampu menularkan
ToCV dengan jumlah tanaman terinfeksi 100%.
Berdasarkan hasil deteksi dari tiap-tiap perlakuan uji penularan melalui
verifikasi RT-PCR diperoleh pita DNA berukuran ± 700 bp yang merupakan pita
spesifik TICV dan ToCV (Gambar 6). Ini berarti bahwa memang benar pita
dengan ukuran ± 700 bp adalah protein selubung TICV dan ToCV. Pita DNA
pada nomor 1 sampai 9 menggunakan pasangan primer spesifik TICV, sedangkan
pita DNA nomor 11 sampai 18 menggunakan pasangan primer spesifik ToCV.
Pita DNA lajur 1 dan 10 terlihat bahwa hanya ToCV yang positif, hal ini
menjelaskan bahwa uji penularan tersebut hanya terinfeksi oleh infeksi tunggal
ToCV. Selanjutnya pada pita DNA lajur 2&11, 3&12, 4&13, 7&16, 9&18
terdeteksi infeksi ganda oleh TICV dan ToCV; sedangkan pita DNA lajur 5&14,
6&15, 8& 17 tampak jelas pada gel agarose hanya terinfeksi tunggal TICV.
28

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

700 bp

M 10 11 12 13 14 15 16 17 18

700 bp

Gambar 6 Hasil amplifikasi DNA TICV dan ToCV dengan metode RT-PCR
menggunakan sepasang primer TICV dan ToCV. M (marker 1 kb);
lajur 1 (negatif TICV), lajur 2 - 9 (positif TICV); lajur 14, 15, 17
(negatif ToCV), lajur 10 -13, 16, 18 (positif ToCV)
29

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Penyakit kuning pada
tanaman tomat sudah banyak terjadi di daerah sentra produksi tomat terutama di
dataran tinggi Jawa Barat; (2) Dua spesies ToCV dan TICV dari genus Crinivirus,
ditemukan berasosiasi dengan penyakit kuning pada tanaman tomat; dan (3)
ToCV efektif ditularkan baik oleh B. tabaci maupun T. vaporariorum, sedangkan
TICV efektif ditularkan hanya oleh T. vaporariorum tetapi tidak dapat ditularkan
oleh B. tabaci.

Saran
Mengingat peranan penting dari kutukebul dalam epidemiologi penyakit
kuning maka disarankan dilakukan penelitian untuk mendapatkan metode
pengendalian kutukebul dalam rangka mengurangi insiden penyakit kuning ini.
30

DAFTAR PUSTAKA

Accotto GP, Vaira AM, Vecchiati M, Finetti Sialer MM, Gallitelli D and Davino
M. 2001. First report of tomato chlorosis virus in Italy. Plant Disease 85:
1208.
Anfoka GH, Abhary MK. 2007. Occurrence of Tomato infectious chlorosis virus
(TICV) in Jordan. Bulletin OEPP/EPPO 37: 186–190.
Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an
Indonesian Isolate of Tobacco leaf curl virus (Geminivirus) by Bemisia
tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol. J. 18(5) : 231-236.
Borror DJ, Triplehorn, Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6.
Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.
Botha J, Hardie D, Power G. 2000. Spiraling whitefly Aleurodicus disperses.
Exotic Threat to Western Australia. Fact Sheet no. 18/2000.
[CABI] Centre of Agriculture and Biological Institute. 1999. Crop Protection
Compendium. London: CABI.
Cardona C. 2002. Whiteflies and whitefly-borne Viruses in the Tropic. Di dalam
Whiteflies as pests of Annual Crops in the Tropical Highlands of Latin
America. hlm 269-273.
Carver M, Gross GF, Woodward TE. 1991. Hemiptera (bugs, leafhoppers,
cicadas, aphids, scale insects, etc). Di dalam The Insect of Australia. Edisi
ke-2. hlm: 429-509.
Costa AS. 1969. Whiteflies as Virus Vectors. Dalam K Maramorosch (ed.).
viruses, Vectors, and Vegetation. John Willey and Sons (Interscience), New
York: 659 p.
Dalmon A, Bouyer S, Cailly M et al., 2005. First report of tomato chlorosis virus
and tomato infectious chlorosis virus in France. Plant Disease 89, 1243.
Dalmon A, Fabre F, Guilbaud L, Lecoq H, Jackuemond M. 2008. Comparative
whitefly transmission of tomato chlorosis virus and tomato infectious
chlorosis virus from single or mixed infections. Plant Pathology.
Dovas, C. I., Katis, N. I., and Avgelis, A. D. 2002. Multiplex detection of
criniviruses associated with epidemics of a yellowing disease of tomato in
Greece. Plant Dis. 86:1345-1349.
Duffus JE, Liu HY, Coben S. 1994. Partial characterization of a new
closterovirus, the causal agent of cucurbit yellow stunting disorder. Page 49
in Sweetpotato Whitefly: 1994 Supplement to the Five-Year Plan US Dep.
Agric. Res. Serv. Publ.112.
Duffus, J.E, Liu H-Y, Wisler GC. 1996. Tomato infectious chlorosis virus - a new
clostero-like virus transmitted by Trialeurodes vaporariorum. European J.
of Plant Pathology 102: 219-226.
31

Fereres A, Moreno A. 2009. Behavioural aspects influencing plant virus


transmission by homopteran insects. Virus Research 141: 158–168.
Font I, Marti´nez-Culebras P, Jorda MC, Louro D, Vaira AM, Accotto GP. 2002.
First report of Tomato infectious chlorosis virus in Spain. Plant Dis 86:696.
Forbes AR. 1969. The stylets of the green peach aphid, Myzus persicae
(Homoptera: Aphididae). Can. Entomol. 101, 31–41.
Gray SM, Banerjee N. 1999. Mechanism of arthropod transmission of plant and
animal viruses. Microbiol Mol Biol Rev 3: 128-148.
Hartono S, Natsuaki T, Sayama H, Atarashi H, Okuda S. 2003. Yellowing disease
of tomatoes caused by Tomato infectious chlorosis virus newly recognized
in Japan. J Gen Plant Pathol 69:61–64.
Hartono S, Wijonarko A. 2007. Karakterisasi Biologi Molekuler Tomato
Infectious Chlorosis Virus Penyebab Penyakit Kuning pada Tanaman Tomat
di Indonesia. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus 2: 139 – 146.
Hill D. 1987. Agriculture Insect Pest of the Tropics and Their Control.
Cambridge University Press.
Hoddle MS. 2004. The Biology and Management of Silverleaf Whitefly. Bemisia
argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on Greenhouse
Grown Ornamentals. http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html#biology.
[19 Januari 2009].
Isaacs R, Willis MA, Byrne DN. 1999. Modulation of whitefly take-off and flight
orientation by wind speed and visual cues. Physiol. Entomol. 24, 311–318.
Jacquemond M, Verdin E, Dalmon A, Guilbaud L, Gognalons P. 2008.
Serological and molecular detection of tomato chlorosis virus and tomato
infectious chlorosis virus in tomato. Plant Pathology. : 1365-3059.
Jones DR, 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. European Journal of
Plant Pathology 109: 195–219.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crop in Indonesia. PA van der Laan,
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoouve.
Kataya ARA, Stavridou E, Farhan K. Livieratos IC. 2008. Nucleotide sequence
analysis and detection of a Greek isolate of tomato chlorosis virus. Plant
Pathology 57: 819–824.
Kennedy JS, Day MF, Eastop VF. 1962. A Conspectus of Aphids as Vectors of
Plant Viruses. Commonwealth Institute of Entomology, London.
Kessing JLM, Mau RFL. 2009. Trialeurodes vaporariorum. http// www.
Extento.hawaii.edu/dbase/crop/type/t.vap.htm. [Januari 2009].
Klaassen VA, Boeshore M, Koonin L, Tian T, Falk B. 1995. Genome structure
and phylogenetic analysis of lettuce infectious yellow virus, a whitefly-
transmitted bipartite cloterovirus. Virology 208: 99-110.
32

Li RH, Wisler GC, Liu HY, and Duffus JE. 1998. Comparison of diagnostic
techniques for detecting tomato infectious chlorosis virus. Plant Dis. 82:84-
88.
Liu H-Y, Wisler GC, Duffus JE. 2000. Particle lengths of whitefly-transmitted
criniviruses. Plant Disease 84: 803-805.
Louro, D., Accotto, G. P., and Vaira, A. M. 2000. Occurrence and diagnosis of
tomato chlorosis virus in Portugal. Eur. J. Plant Pathol. 106:589-592.
Lozano G, Moriones E, Navas-Castillo J. 2006. Complete nucleotide sequence of
the RNA2 of the crinivirus tomato chlorosis virus. Archives of Virology
151: 581-587.
Lozano G, E. Moriones, J. Navas-Castillo. 2007. Complete sequence of the RNA1
of a European isolate of tomato chlorosis virus. Archives of Virology 152:
839–841.
Masse D, Lefeuvre P, Delatte H, Karime ALA, Hostachy B, Reynaud B, Lett JM.
2008. Tomato chlorosis virus: first report in Mayotte Island. Plant
Pathology 57: 388.
Markham PG, Bedford ID, Liu S, Pinner MS. 1994. The transmission of
geminiviruses by Bemisia tabaci. Pesticide Science 42: 123-128.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M, Boscia D, Candresse T, Coutts
RHA, Dolija VV, Duffus JE, Falk BW, Gonsalves D, Jelkmann W, Karasev
AV, Minafra A, Murant A, Namba S, Niblett CL, Vetten HJ and Yoshikawa
N. 2000. In: van Regenmortel MHV, Fauquet CM, Bishop DHL, Carstens
EB, Estes MK, Lemon SM, Maniloff J, Mayo MA, McGeoch DJ, Pringle
CR and Wickner RB (eds) Virus Taxonomy, Seventh Report of the
International Committee on Taxonomy of Viruses (pp 943–952) Academic
Press, San Diego.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M. 2002. The family Closteroviridae
revised. Archives of Virology 147: 2039-2044.
Martin JH. 1987. An Identificaton guide to common whitefly pest spesies of the
world (Hompotera: Aleyrodidae). Trop Pest Manag 33(4): 298 – 322.
Martin JH. 1999. The whitefly fauna of Australia (Sternorrhyncha: Aleyrodidae)
a taxonomic account anf identification guide. CSIRO Entomologycal
Technical Paper 38. 197 hlm.
Martin JH, Mifsud D, Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera:
Aleyrodidae) of Europe and Mediterranean basin. Buletin of Entomological
Research 90: 407-448.
Morales FJ. 2001. Conventional breeding for resistance to Bemisia tabaci-
transmitted geminiviruses. Crop Prot 20: 825-843.
Muniyappa V, Reddy DVR. 1983. Transmission of Cowpea mild mottle virus by
Bemisia tabaci in non persistent manner. Plant Dis 67: 391 – 393.
Nault LR, Ammar ED. 1989. Leafhopper and planthopper transmission of plant
viruses. Ann. Rev. Entomol. 34: 503–529.
33

Navas-Castillo, J., Camero, R., Bueno, M., and Moriones, E. 2000. Severe
yellowing outbreaks in tomato in Spain associated with infections of
Tomato chlorosis virus. Plant Dis. 84:835-837.
Parrella G. 2007. Interveinal Yellowing Caused by tomato infectious chlorosis
virus in Lettuce and Escarole in Southern Italy. J. Phytopathology 156: 190–
192.
Parrella G, Scassillo L. 2006. Nuove segnalazioni di Crinivirus su pomodoro in
coltivazioni protette della Campania e della Calabria. Inf Fitopat 6:33–34.
Rahayuwati S. 2009. Variasi morfologi puparium dan DNA penyandi gen
mitokondria sitokrom oksidase I Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera:
Aleyrodidae). [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Segev, L., Wintermantel, W. M., Polston, J. E., and Lapidot, M. 2004. First report
of tomato chlorosis virus in Israel. Plant Dis. 88:1160.
Smith PE. 2009. Whitefly: identification and biology in New Zealand greenhouse
tomato crops. Factsheet 1. Horticulture New Zeland. Fresh tomato product
group.
Swenson KG. 1967. Plant virus transmission by insect. Di dalam: Maramorosch
K, Koprowski H, Editor. Methods in Virology. Academic Press. Hlm 267-
307.
Sylvester ES. 1956. Beet yellows virus transmission by the Green peach aphid. J.
Econ. Entomol. 49, 789–800.
Tsai WS, Shih SL, Green SK, Hanson P. 2004. First report of the occurrence of
tomato chlorosis virus and tomato infectious chlorosis virus in Taiwan.
Plant Disease 88, 311.
Verhoeven JTJ, Willemen TM, Roenhorst JW, van der Vlugt RAA. 2003. First
report of tomato infectious chlorosis virus in tomato in Indonesia. Plant Dis
87:872.
Vaira AM, Accotto GP, Vecchiati M, Bracaloni M. 2002. tomato infectious
chlorosis virus causes leaf yellowing and reddening of tomato in Italy.
Phytoparasitica 30:290–294.
Watson MA, Robers FM. 1939. A comparative study of the transmission of
Hyoscyamus virus 3, potato virus Y and cucumber virus 1 by the vectors
Myzus persicae (Sulz), M. circumflexus (Buckton), and Macrosiphum gei
(K). Proc. R. Soc. Lond. B 127, 543–577.
Wintermantel WM, Cortez AA, Anchieta AG, Gulati-Sakhuja A, Hladky LL.
2008. Co-infection by two Crinivirus alters accumulation of each virus in a
host-specific manner and influences efficiency of virus transmission.
Phytopathology doi:10.1094/PHYTO-98-12-1340.
Wintermantel WM. 2006. Vector specificity of criniviruses in tomato and virus
competitiveness during mixed infection. Proceedings of the 4th
International Bemisia Workshop and International Whitefly Genomics
Workshop, Salinas, CA, USA. USDA Agriculture Research Service, 74.
34

Wintermantel WM, Wisler GC, 2006. Vector specificity, host range, and genetic
diversity of tomato chlorosis virus. Plant Disease 90, 814–9.
Wintermantel WM, Wisler GC, Anchieta AG, Liu H-Y, Karasev AV, Tzanetakis
IE. 2005. The complete nucleotide sequence and genome organization of
tomato chlorosis virus. Archives of Virology 150: 2287-2298.
Wintermantel WM. 2004. Emergence of greenhouse whitefly (Trialeurodes
vaporariorum) transmitted criniviruses as threats to vegetable and fruit
production in North America. APSnet feature
(www.apsnet.org/online/feature/whitefly/).
Wisler GC, Liu HY, Klaassen VA, Duffus JE, Falk BW. 1996. tomato infectious
chlorosis virus has a bipartite genome and induces phloem limited
inclusions characteristic of the closteroviruses. Phytopathology 86:622–626.
Wisler, GC., Duffus, JE., Liu, HY. and Li, RH. 1998. Ecology and epidemiology
of whitefly-transmitted closteroviruses. Plant Disease 82: 270-280.
Wisler GC, Li RH, , Lowry DS, Duffus JE. 1998. tomato clorosis virus: a new
whitefly-transmitted, phloem-limited, bipartite closterovirus of tomato.
Phytopatology 88: 402-409.
Wisler GC, Duffus JE. 2001. Transmission properties of whitefly-borne
criniviruses and their impact on virus epidemiology. In: Harris KF, Smith
OP, Duffus JE (eds), Virusi nsect–plant interactions. Academic Press, San
Diego, pp 293–308.
Xie M, Chen YH, Wan FH. 2006. Responses of two whitefly species.
Trialeurodes vaporariorum (Westwood) anf Bemisia tabaci (Gennadius) B-
biotype, to low temperature. J of Insect Sci 8: 1-53.
35

KEEFEKTIFAN KUTUKEBUL DALAM MENULARKAN


VIRUS PENYEBAB PENYAKIT KUNING
PADA TANAMAN TOMAT

EVA DWI FITRIASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

You might also like