Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

STUDENT SEMINAR AND EXPO 2016

REGULASI SISTEM IMPOR (ZONE BASED DAN COUNTRY BASED) DAN


KEBIJAKAN BARU TENTANG IMPOR BETINA PRODUKTIF GUNA
MENINGKATKAN POPULASI SAPI INDONESIA

Diusulkan oleh :
Nirmala Maulana Achmad (06619/2013)
Lena Putriana (06502/2013)
Afiya Afwa Nabila (06529/2013)
Denis Cyntia Melida Puspita Sari (06885/2015)
Dismas Sesotya Bumantara (06967/2015)

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA
2016
The Import Regulation System ( Zone based And Country Based ) And New Policy of Importing
Productive Female Cattle To Improve Cattle Population In Indonesia

Nirmala Maulana Achmad, Lena Putriana, Afiya Afwa Nabila, Denis Cyntia Melida Puspita Sari,
Dismas Sesotya Bumantara

Prof. Ir. I Gede Suparta Budisatria, M.Sc.,Ph.D.

Fakultas Peternakan UGM

The controversy about cattle import’s policy is being discussed today. The import system change from
country based to zone based created many critics. In fact, the main focus is actually to fulfill the need
of beef consumption. In spite of all critics, policy has an important role to determine the future.
Certain requirements of entering cattle to Indonesia are more important than argue against the country
based or zone based. On the other hand, the increasing of Indonesian cattle’s population is hiting by
the rampant problem of cutting productive cows in various regions of Indonesia.. This problem
resulted the increasing of cattle’s population which only 4,95 % in 2014 to 2015. The Act No. 18 Year
2009 on Animal Husbandry and Health Article 18 verse (2) said that productive cow is ban to be
slaughter because it is a good livestock producer. There is an exception for this regulation as far as it is
used for research, breeding, and for the control and prevention of animal diseases. Therefore, the
policy to import productive cow should be encouraged in order to increase the national beef cattle
population. The analysis was helped by some of books, journals, and other sources in order to create
food sovereignty in particular beef. A clear policy on the importing system and the imports regulation
of productive cow can improve beef cattle population Indonesia over the previous year.

Keyword: regulation, import, population, female cattle


BAB I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia di dunia, terlebih di Indonesia.
Penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2000 telah mencapai 206 juta
jiwa (sensus) dengan laju pertumbuhan 1,25% per tahun (Purnomo, 2007) . Tahun 2006 jumlah
penduduk telah mencapai 222 juta jiwa, dan data terakhir pada 2013 telah menyebutkan 249,9 juta
jiwa. Oleh karena itu kebutuhan pangan juga meningkat. Pangan yang berkualitas sangat dibutuhkan
saat ini untuk meningkatkan Human Development Index (HDI) yang saat ini Indonesia berada di
urutan 110 dari 188 negara (Human Development Report, 2015). Peternakan merupakan
penyumbang pangan berkualitas karena di dalamnya terdapat daging, susu, dan telur. Berbagai
kebijakan digalakkan demi terciptanya kedaulatan peternakan, terlebih untuk komoditas sapi potong.
Usaha peningkatan produksi ternak sapi potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akan
daging terus digalakkan. Keran impor terus dibuka lebar agar pemenuhan daging dalam negeri
terpenuhi. Secara Nasional ternak sapi yang dipelihara secara intensif mencapai 15.494.288 ekor.
Jumlah tersebut meningkat sebanyak 5,21 % dari tahun 2014 ke 2015 (BPS, 2015). Permasalahan
yang dihadapi yaitu kondisi peternakan yang ada di Indonesia masih peternak rakyat. Model
peternak rakyat hanya memiliki satu sampai lima ekor sapi dengan tujuan pemeliharan tersebut
adalah untuk tabungan. Peternak akan menjual sapi yang dimiliki jika peternak membutuhkan uang
sehingga terjadi kekosongan dalam RPH. Terlebih permintaan akan daging sapi terus meningkat
terutama saat lebaran atau hari besar lainnya. Produksi sapi dalam negeri juga terbentur masalah
pemotongan hewan betina produktif. Di Nusa Tenggara Timur, fakta di lapangan adalah kebanyakan
populasi sapi betina (BPS Provinsi NTT, 2011).
Pemerintah dalam hal ini mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menekan kebutuhan
konsumsi daging di tanah air. Kebijakan pangan melalui paket Kebijakan Ekonomi Jilid lX
pemerintah memutuskan untuk memperluas impor sapi/kerbau. Kebijakan ini dilanjutkan dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2016 tentang pengubahan kebijakan kesehatan
hewan dari country based ke zone based. Impor sapi potong dengan adanya peraturan tersebut bisa
dilakukan dari negara yang dinyatakan WTO bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) secara zone
based. Berdasarkan peraturan tersebut banyak pihak terutama peternak dan dokter kesehatan hewan
kurang setuju karena pembukaan impor apalagi dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan
Kuku akan menimbulkan masalah baru di Indonesia.
Impor dari negara dengan status bebas PMK secara zone based tersebut dilakukan dengan
harapan Indonesia tidak tergantung dan dimainkan oleh negara pengekspor pasokan sapi potong dari
Australia. Cita-cita lama yang belum terwujudkan berupa swasembada daging diharapkan bisa
segera terealisasikan. Namun bahaya PMK yang dikhawatirkan oleh beberapa pihak masih menjadi
perdebatan apalagi Indonesia telah berusaha sejak lama untuk mendapatkan status bebas PMK secara
country based. Kini penularan akibat penyakit tersebut dikhawatirkan akan muncul lagi di Indonesia.
b. Rumusan Masalah
1) Apa itu kebijakan ?
2) Kenapa harus ada kebijakan ?
3) Untuk apa kebijakan impor tersebut perlu dilakukan ?
4) Bagaimana kebijakan yang harus dilakukan kedepan?
c. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat dari tulisan ini yaitu sebagai :
1) Pertimbangan pemerintah dalam penentuan kebijakan.
2) Menjadikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah merupakan kebijakan yang tepat sasaran dan
tidak merugikan peternak lokal.
3) Menumbuhkan semangat baru dan optimisme bahwa Indonesia mampu swasembada daging
sesuai dengan cita-cita yang telah lama diinginkan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

UU No.41 Tahun 2014 menyatakan bahwa peternakan adalah segala urusan yang berkaitan
dengan sumber daya fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan mesin
peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan,
pembiayaan, serta sarana dan prasarana. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor22/M-DAG/Per/5/2013 menyatakan bahwa impor hewan dapat dilakukan untuk:
a. Meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. Mengatasi kekurangan benih, bibit dan/atau bakalan/ ternak potong di dalam negeri; dan/atau
d. Memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
Kebijakan dan program kesehatan hewan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan hewan
dari ancaman penyakit hewan,melindungi lingkungan, dan memfasilitasi perdagangan. Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau, aspek kesehatan hewan memegang peranan penting
khususnya dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan produksi dan reproduksi dari hewan. Pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan perlu disiagakan dengan adanya kebijakan teknis yang mengatur tentang penyakit seperti
PMK (Suseno, 2014).

BAB III. METODE PENULISAN


Metode penulisan yang digunakan dalam paper ini antara lain melalui teknik kualitatif berupa
pengumpulan data dan informasi, dan teknik mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi
secara deskriptif. Pengumpulan data dan informasi menggunakan metode studi kepustakaan. Kami
dapatkan dari telaah berbagai jurnal maupun sumber-sumber lain seperti buku, koran, maupun media
lain.
Analisis data dan informasi dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif analitik model
korelasi. Data dan informasi yang telah didapat dari berbagai sumber dideskripsikan secara jelas dan
rinci. Selanjutnya data dan informasi disajikan secara konsep dan teori dan berbagai contoh yang
mendukung. Data yang didapat dikomparasikan dengan informasi terkait masalah penelitian dan
dikaitkan dengan teori yang ada sehingga menghasilkan benang merah masalah ini. Selanjutnya
diperolah suatu gagasan baru. Gagasan baru dideskripsikan sejara jelas sesuai dengan masalah yang
tertera dalam rumusan masalah. Diharapkan gagasan baru dapat menjadi referensi dan aplikasi nyata
bagi penelitian selanjutnya. Metode penulisan selanjutnya adalah Content analysis document,
yakni teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2007).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sapi-sapi impor selama ini yang masuk ke Indonesia rata-rata berasal dari Australia.
Kebijakan impor yang ada sudah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2009. Kebijakan ini mengatur
bahwa prinsip yang dianut oleh Indonesia ialah country based. Hasan (2016) menyatakan bahwa
country based ialah seluruh negara yang bersangkutan dengan impor sudah terbebas dari penyakit
mulut dan kuku.
Fakta yang di dapat dari berita kedutaan besar Australia (2016), bahwa Indonesia pada empat
bulan pertama di tahun 2016 akan mengimpor 200.000 ekor sapi. Ironisnya dengan jumlah yang
sekian banyak, pemerintah menganggap bahwa hal tersebut belum dapat memenuhi permintaan
daging di Indonesia, sehingga pemerintah mengubah kebijakan impor menjadi zone based, dimana
pengertiannya menurut Hasan (2016) yaitu ada satu atau lebih negara impor yang bebas dari
penyakit mulut dan kuku. Pemerintah melakukan hal tersebut karena dianggap lebih cepat memenuhi
kuota permintaan daging sapi di Indonesia.
Kebijakan zone based ini dilakukan setelah UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan direvisi dengan UU No. 41 tahun 2014. Hasil dari revisi ini menjadikan syarat
induk dapi yang diekspor cukup berasal dari zona bebas penyakit hewan menular, tak harus seluruh
wilayah dari negara asal itu bebas penyakit tersebut. Negara-negara yang akan mengekspor sapi di
Indonesia ialah India dan Brazil yang diketahui bahwa disana belum terbebas dari penyakit mulut
dan kuku. Menjadi tantangan bagi negara kita adalah masalah keamanan pangan.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus
Aphthovirus yang merupakan virus yang berjangkit disebagian besar belahan dunia, seringkali
menyebabkan epidemi yang luas pada sapi dan babi piaraan. Gejala klinis yang ditimbulkan dapat
berfariasi tergantung galur virus PMK yang menyerang, gejala klinis yang pertama muncul adalah
kenaikan suhu tubuh diikuti lemas, nafsu makan turun, pada saat lepuh-lepuh terbentuk didalam
mulut salivasi akan meningkat dan disertai terbentuknya busa disekitar bibir serta leleran saliva yang
menggantung. Lepuh dapat terlihat pada permukaan bibir sebelah dalam, guzi, lidah bagian samping
dan belakang. Kulit dicelah teracak menjadi bengkak, merah dan panas sehingga hewan tidak bias
berdiri, lepuh-lepuh ini mudah pecah sehingga isinya mudah keluar dan meninggalkan keropeng
bersisik, adanya infeksi sekunder akan menunda kesembuhan lesi. (Kementrian Pertanian, 2014).
Ditinjau dari segi ekonomi dan sosial, peternak dan masyarakat belum siap dari perubahan
kebijakan tersebut. Dilihat dari segi ekonomi, harga daging sapi maupun kerbau akan turun drastis.
Hal itu memang diinginkan masyarakat, namun daging terjangkit kasus penyakit bawaan dan
berakibat buruk bagi produsen. Dari segi sosial, peternak dan dokter hewan di lapangan akan
kewalahan mengatasi penularan penyakit. Beberapa peternak bahkan sudah memprotes perubahan
kebijakan tersebut. Peternak sapi di Blitar memprotes kebijakan pemerintah yang hendak
menerapkan kebijakan impor daging berbasis zone based. Keinginan pemerintah membuat harga
daging di dalam negeri murah, justru akan menekan harga sapi potong di dalam negeri. Indonesia
belum siap apabila menganut prinsip zone based. (Iskandar, 2016).
Terlepas dari efek yang ditimbulkan, pemerintah bisa membuat kebijakan yang rapi untuk
mengatasi masalah yang akan ditimbulkan. Pemerintah perlu membentuk 1) Otoritas veteriner yang
khusus menangani regulasi baru ini. 2) Pulau karantina tersendiri untuk sapi-sapi yang berasal dari
negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku sehingga dapat diseleksi induk sapinya dan
kemudian di data mana yang sehat mana yang tidak, sehingga dapat langsung disebar luaskan. 3)
Mengevaluasi kesepakatan ekspor-impor ternak agar tidak merugikan keuangan negara. 4)
Pemerintah harus berani mengimpor betina produktif yang khusus dikembangbiakkan khusus untuk
menaikkan populasi.
Otoritas Veteriner
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia menyebutkan nomor 47 tahun 2014, otoritas
veteriner dapat diartikan sebagai kelembagaan kewenangan pemerintah dalam pengambilan
keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan profesionalisme profesi
dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari menentukan
kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan, sampai pada pengendalian teknis operasional
di lapangan.
Otoritas veteriner disini merupakan kerjaan baru bagi dokter hewan yang ada di Indonesia.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan kesehatan Hewan. Pada Pasal 68 ayat
1, dokter hewan mempunyai wewenang sebagai penyelenggara kesehatan hewan di seluruh wilayah
NKRI. Perlu adanya otoritas veteriner yang khusus menangani regulasi zone based agar ternak impor
yang terjangkit penyakit tidak menular ke ternak lokal sebelum dipasarkan. Hal ini dapat membuka
lapangan kerja yang lebih luas, khususnya pada sarjana kedokteran hewan dan peternakan.
Pulau Karantina dan Sistem Kesepakatan Ekspor-Impor
Sampai saat ini belum jelas dimana letak pulau karantina untuk regulasi zone based.
Pemerintah baru berencana kapan dan dimana pulau karantina dibentuk. Pulau Naduk di Bangka,
Pulau Simoang di Sulawesi, dan di Kepulauan Riau menjadi tempat dibentuknya pulau karantina
(Ariyanti, 2015). Namun jika dilihat dari aliran perdagangan, pulau karantina dibentuk di tempat yang
tidak jauh dari Jawa dan Sumatera. Karena dua pulau tersebut yang menjadi konsumen terbanyak
daging ternak saat ini, khususnya sapi. Hal ini dapat menekan biaya transport antar pulau di dalam
negeri.
Kesepakatan tentang ekspor-impor juga harus dievaluasi lagi. Terlebih menggunakan sistem
zone based yang rawan terhadap penyakit. Pemerintah harus berani memotong perjanjian dengan
pengekspor jika ada ternak dari negara pengekspor dan menyangsi negara tersebut. Seperti yang sudah
dilakukan pada Australia, memangkas kouta impor (Dewi, 2015).
Impor Betina Produktif Siap Kawin
Banyaknya sapi betina daripada sapi jantan di lapangan menimbulkan masalah. Salah satunya
pemotongan betina produktif di RPH. Hal ini wajar karena masyarakat memang butuh . Masalah
tersebut berbenturan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi degan cepat.
Hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan
serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011, populasi sapi potong NTT mencapai 778,6 ribu
ekor; sapi perah 32 ekor dan kerbau 150,0 ribu ekor. Komposisi jenis kelamin antara populasi sapi
potong, sapi perah dan kerbau menunjukkan pola yang relatif sama, dimana jumlah terbesar adalah
pada jenis kelamin betina. Proporsi betina terhadap total populasi masing-masing jenis ternak adalah
: sapi potong betina sekitar 68,4 persen, sapi perah betina 53,1 Persen dan kerbau betina 68,3 persen.
Hal ini dapat disimpulkan tidak ada perlakuan terhadap sapi betina yang khusus untuk meningkatkan
populasi nasional. Maka dari itu, perlu dilakukan impor sapi betina siap kawin. Tentunya ditambah
dengan pulau karantina dan tenaga tambahan otoritas veteriner.

BAB V. PENUTUP
Bergantinya regulasi impor ternak dari country based ke zone based menimbulkan banyak
kritik dan dinilai kurang tepat oleh banyak kalangan. Meski belum terjadi efek negatif sampai saat ini,
namun jika dilihat dari data yang ada hal ini akan menimbulkan efek negatif yang lebih besar,
utamanya untuk peningkatan populasi sapi dalam negeri. Pemerintah harus memiliki terobosan baru
untuk mengatasi hal ini, seperti 1) Pembetukan otoritas veteriner yang khusus menangani regulasi zone
based. 2) Membentuk pulau karantina dengan posisi yeng tepat. 3) Melakukan sanksi/punishment
terhadap negara pengekspor jika tidak sesuai perjanjian, dan 4) Melakukan impor sapi betina siap
kawin khusus untuk peningkatan populasi nasional demi terciptanya swasembada daging.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, Fiki. 2015. Darmin : Indonesia Punya Pulau Karantina Sapi di 2016.
http://bisnis.liputan6.com/read/2402139/darmin-indonesia-punya-pulau-karantina-sapi-di-
2016 (diakses 2 Oktober 2016)
BPS Provinsi NTT. 2011. Rilis Hasil PSPK 2011. Kementerian Pertanian – Badan Pusat Statistik.
NTT.
Dewi, Ni Kumara Santi. 2015. RI Pangkas Kuota, Australia Alihkan Ekspor Sapi ke Tiongkok.
http://www.viva.co.id/haji/read/652006-ri-pangkas-kuota--australia-alihkan-ekspor-sapi-ke-
tiongkok (diakses 2 Oktober 2016)
Gedung Karantina Pertanian. 2016. Gedung Karantina Berbasis Zona Dalam Perspektif Perdagangan
Internasional. http://soekarnohatta.karantina.pertanian.go.id/beta/media/artikel/kebijakan-
berbasis-zona-dalam-perspektif-perdagangan-internasional (diakses 28 September 2016)
Hasan, Syamsuddin. 2014. Pembahasan Atasi Bibit Sapi Deadlock.
www.antaranews.com/berita/438309/pembahasan-atasi-bibit-sapi-deadlock (diakses
29 September 2016)
Human Development Report. 2015. Work for human development : Briefing note for countries on the
2015 Human Development Report. UNDP Indonesia. Indonesia.
Iskandar, Rachmat. 2016. Kebijakan Impor dari Country Based ke Zone based, Akan Mendemotivasi
Peternak. http://m.galamedianews.com/nasional/77497/kebijakan-impor-dari-country-based-
ke-zone-based-akan-mendemotivasi-peternak.html (diakses 30 September 2016)
Kedutaan Besar Australia. 2016. Kouta Sapi untuk Indonesia diumumkan unutk Awal 2016.
indonesia.embassy.gov.au/aktindonesia/SM16_001.html (diakses 29 September 2016)
Kementrian Pertanian. 2014. Penyidikan penyakit eksotik dalam rangka kegiatan perlindugnan hewan
terhadap penyakit eksotik (PMK dan BSE). Balai Veteriner. Bukittinggi.
Mentri Perdagangan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 22/M-DAG/PER/5/2013 Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Moleong, Lexi J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Remaja Rosda Karya.
Bandung.
Presiden Republik Indonesia. 2016. Pemasukan Ternak Dan/Atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu
Yang Berasal Dari Negara Atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Purnomo, Djoko. 2007. Kebutuhan Pangan, Ketersediaan Lahan Pertanian Dan Potensi Tanaman.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ekologi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Republik Indonesia. 2014. Undang- Undang No. 41 Tahun 2014. Perubahan Atas Undang-Undang
No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Suseno, Pebi Purwo. 2014. Dukungan kesehatan hewan bagi pebangunan peternakan Indonesia.
Derektorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
LAMPIRAN

Surat Pernyataan Orisinalitas

You might also like