Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

Identitas Jurnal

Nama Penulis : Tomy Pasca Rifai


Judul Tulisan : Passive Euthanasia on Indonesia Law And Human Rights

Jurnal Asal : Muhammadiyah University


Jenis Artikel : Review Article

Tahun : 2017

Abstract

Discussion regarding passive euthanasia is strongly related to the law and


human rights as noted in the Article 6 (1) International Covenant on Civil and
Political Rights assert that “Every human being has the inherent right to life. This
right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”
which has been ratified by Indonesia Law No. 12 of 2005. Hence, this research
perspective mainly focuses on the law regarding medical issues especially the
passive euthanasia, which occurs indirectly from a doctor with the request or
consent of the patient and/or the family to refuse, discontinue, or reject medical
efforts. Further, there are two types of legal relationships between patients and
doctors in the health services, which is contractual and the therapeutic relationship
in relation to laws and regulations, i.e the regulation of the Minister of Health No.
37 of 2014, Law of Health No. 36 of 2009, Law of Medical Practices No. 29 of
2004 and the Indonesia code of medical ethics which states that "Every doctor
should always remember his duty to protect the lives of human beings". The
purpose is to study the procedures of with-drawing life supports, medical records,
and the informed consent. Furthermore, the major issue is that the legality of
passive euthanasia will mentality force the terminate-ill patient to perform passive
euthanasia (healthcare cost versus the right to live), hence we suggest to tighten
the procedures regarding passive euthanasia.

Keywords
Passive Euthanasia, With-Drawing Life Supports, Healthcare Cost, Right To Live

1
Abstrak

Diskusi tentang Euthanasia pasif sangat terkait dengan hukum dan hak
asasi manusia seperti yang tercantum dalam Pasal 6 (1) dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa “Setiap manusia
memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum.
Tidak salah satu harus sewenang-wenang dirampas hidupnya” yang mana telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Indonesia No. 12 tahun 2005. Oleh karena
itu, perspektif penelitian ini terutama berfokus pada hukum tentang masalah
medis terutama euthanasia pasif, yang terjadi secara tidak langsung dari dokter
dengan permintaan atau persetujuan dari pasien dan / atau keluarga untuk
menolak, menghentikan, atau menolak upaya medis. Selanjutnya, ada dua jenis
hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan, yang
merupakan kontrak dan hubungan terapeutik dalam kaitannya dengan hukum dan
peraturan, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2014, UU
Kesehatan No . 36 dari 2009, Hukum Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004 dan
kode etika medis Indonesia yang menyatakan bahwa "Setiap dokter harus selalu
ingat tugasnya untuk melindungi kehidupan manusia". Tujuannya adalah untuk
mempelajari prosedur dengan mendukung kehidupan, catatan medis, dan
informed consent. Selain itu, masalah utama adalah bahwa legalitas euthanasia
pasif akan memaksa pasien yang sakit untuk melakukan euthanasia pasif (biaya
kesehatan versus hak untuk hidup), maka dari itu kami sarankan untuk
memperketat prosedur mengenai euthanasia pasif.

Kata kunci:

Euthanasia pasif, terapi bantuan hidup, biaya perawatan kesehatan, hak untuk
hidup

2
Pendahuluan

Konsep euthanasia yang dikonseptualisasikan adalah hak untuk mati, hak


ini selalu dihadapkan pada hak untuk hidup yang dijamin oleh konstitusi.
Euthanasia telah melalui tahap pengembangan yang panjang dan menimbulkan
pro dan kontra serta dilema di beberapa negara, termasuk Indonesia. Seperti
dilema euthanasia tidak dapat dipisahkan dari aspek kemajuan sains di bidang
pengobatan. Euthanasia diartikan sebagai (eu = baik, Thanatos = kematian),
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari hak untuk menentukan nasib sendiri (hak
penentuan nasib sendiri) pada pasien. Hak ini adalah salah satu elemen utama hak
asasi manusia dan karena itu selalu menarik untuk dibicarakan.

Eutanasia dapat diklasifikasikan dalam tipe sebagai berikut:

a) Euthanasia Aktif yaitu Euthanasia yang sengaja dilakukan oleh dokter atau
profesional kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
pasien. Dilarang (termasuk di Indonesia), kecuali di negara-negara yang telah
memperbolehkannya melalui undang-undang.

b) Euthanasia Pasif yaitu Dokter atau tenaga medis medis lainnya, tidak lagi
memberikan pertolongan medis dengan sengaja untuk memperpanjang hidup
pasien, dengan menghentikan infus, menghentikan pasokan makanan,
menghentikan alat bantu pernapasan atau menunda operasi.

c) Euthanasia Otomatis yaitu Seorang pasien menolak secara tegas perawatan


medis dan dia tahu ini akan mempersingkat atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan, ia membuat persetujuan (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia
otomatis pada dasarnya adalah euthanasia pasif saat diminta.

Euthanasia memiliki pro dan kontra. Pro dan kontra euthanasia, yaitu:

Pro (alasan untuk euthanasia)

1. Nyeri yang tak tertahankan sebagai alasan untuk euthanasia: Mungkin argumen
utama yang mendukung euthanasia adalah bahwa orang yang terlibat sangat
kesakitan.

3
2. Menuntut "hak untuk melakukan bunuh diri". Dengan kata lain, euthanasia
bukan tentang hak untuk mati. Ini tentang hak untuk bunuh diri.

3. Orang tidak harus dipaksa untuk tetap hidup. Ada saatnya ketika upaya
penyembuhan yang berkelanjutan tidak bersifat welas asih, bijaksana, atau
sehat secara medis.

Kontra (argumen menentang euthanasia)

1. Euthanasia tidak hanya untuk orang-orang yang "sakit parah." Ada dua masalah
mengenai definisi "terminal state" dan perubahan yang telah terjadi untuk
memperpanjang euthanasia bagi mereka yang tidak "sakit parah."

2. Euthanasia dapat menjadi sarana penahanan biaya perawatan kesehatan.


Mungkin salah satu perkembangan paling penting dalam beberapa tahun
terakhir adalah meningkatnya penekanan pada penyedia layanan kesehatan
untuk mengendalikan biaya. Dalam kalimat seperti itu, euthanasia pasti bisa
menjadi alat penahanan biaya.

3. Euthanasia hanya akan bersifat sukarela. Namun, tekanan emosional dan


psikologis bisa menjadi sangat kuat bagi orang yang depresi atau tergantung.
Jika pilihan euthanasia dianggap sebagai keputusan yang baik untuk menerima
perawatan, banyak orang akan merasa bersalah karena tidak memilih kematian.
Pertimbangan keuangan, ditambahkan ke keprihatinan tentang "menjadi
beban," bisa berfungsi sebagai kekuatan kuat yang akan menuntun seseorang
untuk "memilih" euthanasia atau bunuh diri yang dibantu.

4. Eutanasia adalah penolakan terhadap pentingnya dan nilai kehidupan manusia.


Orang yang mendukung euthanasia sering mengatakan bahwa itu sudah
dianggap diperbolehkan untuk mengambil kehidupan manusia dalam keadaan
tertentu seperti membela diri - tetapi mereka kehilangan poin bahwa ketika
seseorang membunuh untuk membela diri mereka menyelamatkan hidup yang
tidak bersalah - baik mereka sendiri atau seseorang yang lain. Dengan

4
euthanasia tidak ada kehidupan seseorang yang diselamatkan - hidup hanya
diambil.

Euthanasia aktif dilarang dan dapat dihukum oleh hukum Indonesia,


namun, praktek pelayanan kesehatan masih berlanjut dengan penghentian
pengobatan (euthanasia pasif) yang legal jika tindakan euthanasia pasif mengikuti
prosedur dalam hukum.

Selanjutnya, dalam kode etik kedokteran Indonesia menegaskan bahwa;


"Seorang dokter harus selalu berusaha untuk menjalankan profesi mereka sesuai
dengan standar profesional tertinggi". Oleh karena itu, dokter yang melakukan
kegiatan medis sebagai profesi medis harus sesuai dengan ilmu kedokteran
terbaru, hukum dan agama.

Lebih lanjut, euthanasia pasif mungkin memiliki relevansi dengan hak


yaitu hak pasien, hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak
untuk memilih dokter, hak untuk memilih rumah sakit, hak untuk kerahasiaan
medis, hak untuk menolak pengobatan, hak untuk menolak prosedur medis, hak
untuk menghentikan pengobatan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan
Menteri Kesehatan No. 37 tahun 2014 tentang penentuan kematian dan
pemanfaatan donor organ, UU Kesehatan No. 36 dari 2009 dan Undang-undang
Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang berusaha
untuk menggambarkan dan menguraikan isu-isu yang berkaitan dengan euthanasia
pasif di Indonesia, khususnya untuk mempelajari peraturan Menteri Kesehatan
No. 37 tahun 2014 tentang penentuan kematian dan pemanfaatan donor organ.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang didasarkan
pada undang-undang, teori, dan konsep yang berkaitan dengan penulisan
penelitian.
Sumber data berasal dari data literatur, sedangkan jenis data lainnya
berupa data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan mencari literatur serta

5
peraturan dan norma yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Dalam pengumpulan data, penulis mengambil langkah-langkah
sebagai berikut: Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan oleh serangkaian
film dokumenter dengan membaca, mengutip buku-buku, mempelajari undang-
undang, dokumen dan informasi lain yang terkait dengan masalah yang akan
dibahas. Untuk menganalisis data yang dikumpulkan penulis menggunakan
analisis kualitatif.
Analisis dilakukan untuk menggambarkan realitas yang ada berdasarkan
hasil penelitian dalam bentuk penjelasan, dari analisis, dapat disimpulkan secara
induktif, cara berpikir tersebut dalam membuat kesimpulan untuk masalah yang
dibahas secara umum berdasarkan fakta-fakta yang khusus.

Hasil dan diskusi


Kerangka dalam penelitian ini dengan menunjuk pada realitas euthanasia di
praktek perawatan kesehatan. Praktek ini diwujudkan dalam bentuk kelalaian
medis dan / atau penghentian pengobatan, atau aktivitas apa pun untuk
mempercepat kematian. Tindakan semacam itu dikenal sebagai euthanasia pasif.
Pada dasarnya, euthanasia dilarang dan bertentangan dengan nilai-nilai agama,
etika sosial dan medis yang terkandung dalam kode etik kedokteran Indonesia.
Namun, kompleksitas hubungan hukum dalam perawatan kesehatan yang
terwujud dalam transaksi terapeutik, membuatnya sangat sulit untuk
mengkualifikasi tindakan euthanasia pasif sebagai kejahatan. Karena kerangka
hubungan hukum yang konsep euthanasia pasif adalah prosedur medis yang legal
dalam hubungan dokter - pasien dan keluarga dalam rangka transaksi terapeutik.
Hubungan tersebut meliputi hubungan hukum administratif, hukum perdata
dan pidana dalam kaitannya dengan kesehatan. Euthanasia pasif terkait erat
dengan penarikan pengobatan medis. Ini umumnya belum dikenal luas di
kalangan masyarakat. Kelalaian Medis adalah salah satu tindakan medis untuk
memberikan perawatan kesehatan tidak sesuai dengan prosedur standar yang ada.
Terdapat 2 realita layanan perawatan kesehatan, yaitu realita penarikan
pengobatan medis dan penghentian pengobatan. Kedua peristiwa tersebut, dapat

6
dikategorikan sebagai tindakan euthanasia pasif. Euthanasia dapat diklasifikasikan
menjadi euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Jika tindakan medis dokter yang
dilakukan secara langsung telah mengakibatkan kematian pasien, misalnya
dengan memberikan obat yang dapat membunuh pasien, maka dokter dapat
dianggap sebagai tindakan euthanasia aktif. Tetapi jika tindakan dilakukan oleh
dokter kepada pasien yang tidak langsung menyebabkan kematian pasien, seperti
dengan menghentikan dukungan hidup (life support device), maka tindakan dokter
dapat dianggap sebagai tindakan euthanasia pasif.
Masalah yang dihadapi dalam perawatan kesehatan (terutama dokter dan
keluarga pasien) adalah untuk menentukan kapan pengobatan untuk pasien tidak
lagi memiliki harapan untuk sembuh. Selanjutnya, keputusan yang sulit masih
harus dilakukan, karena jika perawatan masih diberikan kepada pasien yang tidak
lagi memiliki harapan untuk sembuh, maka tindakan obat dokter dapat benar-
benar dianggap tidak etis (rasa sakit yang tak tertahankan sebagai alasan untuk
euthanasia). Kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah obat
atau perawatan berguna atau tidak. Semua ini akan didasarkan pada pengetahuan,
keterampilan, teknologi dan pengalaman yang dimiliki oleh dokter yang terkait
dengan kualitas hidup pasien. Keadaan (kualitas hidup) pasien harus dirasakan
dalam konteks budaya dan sistem nilai yang dianut, termasuk tujuan hidup dan
harapan hidup.
Dimensi kualitas hidup pasien adalah gejala fisik, kemampuan fungsional
(Kegiatan), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan dengan
perawatan (termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual
dan fungsi dalam pekerjaan. Dalam Pasal 14 Ayat 1, 2, 3 dan 4 dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang
Penetapan Maut dan Organ Pemanfaatan Donor, menjelaskan ketentuan
penghentian atau penundaan terapi pertolongan hidup adalah:
(1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat
penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-
sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.

7
(2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan
kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala
Rumah Sakit.
(3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim
dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus
diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang
mewakili pasien.
Selanjutnya, pada Pasal 15 Ayat 1 dan 2 dari undang-undang tersebut
menegaskan bahwa:
(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim
dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.

8
Kesimpulan
Kesimpulannya, jika pasien dalam keadaan yang tidak dapat sembuh
karena sakit (terminal state) dan tindakan kedokteran telah sia-sia (Futile) maka
euthanasia pasif dapat dilakukan yang penghentian atau penarikan terapi bantuan
hidup. Selanjutnya, keluarga pasien juga dapat meminta dokter untuk menunda
atau menarik terapi bantuan hidup atau bertanya mengenai penilaian kondisi
pasien. Sementara itu, keputusan untuk menghentikan atau menangguhkan terapi
tindakan bantuan hidup medis dilakukan oleh tim dokter yang merawat pasien
dengan berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medis atau
Komite Etika.
Namun, meskipun para dokter dan tenaga medis dapat melakukan
euthanasia pasif secara hukum karena sesuai dengan prosedur yang dibenarkan
oleh hukum, penulis menyarankan agar dokter dan tenaga medis untuk kembali
pada kode etik medis di Pasal 10 dari Keputusan Menteri Kesehatan No. 434 /
Menkes / SK / X / 1983 Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2012
menyatakan: "Setiap dokter harus selalu mengingat kewajibannya untuk
melindungi kehidupan manusia".
"Konsultasi kematian" dari euthanasia pasif berdasarkan pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Penetapan
Kematian dan Pemanfaatan Donor Organ, dilakukan oleh tim dokter yang
ditunjuk oleh Komite medis atau Komite Etika, namun tidak ada Standar Prosedur
Operasi umum. (SPO) mengenai hal itu. Oleh karena itu, penting bahwa ada
penelitian lebih lanjut untuk mempelajari SPO yang digunakan oleh komite medis
atau komite etik.

9
ANALISIS JURNAL

Kelebihan jurnal:
1. Judul penelitian telah menggambarkan penelitian secara ringkas.
2. Identitas jurnal tergambar jelas
3. Abstrak mampu menjelaskan metode penelitian dan hasil secara singkat
dan jelas.
4. Metode penelitian dan pembahasan pada jurnal ini cukup baik, metode
dalam pengambilan sampel penelitian dijelaskan dengan terperinci oleh
peneliti.
5. Metode ini mudah, cepat dan mudah digunakan dan hanya membutuhkan
referensi/buku-buku.
6. Sumber data berasal dari data literatur, sedangkan jenis data lainnya
berupa data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan mencari literatur
serta peraturan dan norma yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini.
7. Hasil dan kesimpulan dipaparkan secara baik dalam jurnal ini.

10
Kekurangan jurnal:
1. Penelitian ini hanya melihat dari sudut pandang hukum, tidak melihat dari
sudut pandang nilai-nilai agama, etika sosial dan medis yang terkandung
dalam kode etik kedokteran Indonesia.

Kesimpulan:
Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan bahwa jurnal ini merupakan
jurnal deskriptif dan isi dalam jurnal ini hanya dapat digunakan sebagai ilmu
pengetahuan saja oleh para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Rifai, P,T.,. Passive Euthanasia on Indonesia Law And Human Rights .


Muhammadiyah Law Review 1 (2) 2017

12

You might also like