ID Syura Dan Demokrasi Antara Teori Dan Pra PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.

17/Nomor 2

SYURA DAN DEMOKRASI:


ANTARA TEORI DAN PRAKTEKNYA DALAM DUNIA ISLAM

Anggi Wahyu Ari


Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
anggiwahyuari@gmail.com

Abstrak: Shura and democracy are two concepts that seem substantially almost exactly the same,
but these two concepts have differences because both have differences historically, culturally and
structurally. The differences are further aggravated by the suggestion and the image that grows in
some people that shura is identical with the teachings of Islam which is derived from Allah. In, fact
democracy is a product of man (the West) while Shura is Islamic concept of authority. This paper
tries to see how the difference between shura and democracy and whether the difference was highly
significant that what is thought by some people, that we have to replace the democratic system with
the shura.

Keywords: shura, democracy, politics, islam, west

Abstrak: Syura dan Demokrasi adalah dua konsep yang secara substansi hampir persis sama, akan
tetapi kedua konsep ini memiliki perbedaan karena keduanya lahir dari historis, kultural dan
struktural yang berbeda. Perbedaan ini diperparah lagi dengan sugesti dan image yang tumbuh di
tengah-tengah masyarakat bahwa syura identik dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT
sedangkan demokrasi merupakan produk manusia (Barat) yang sarat akan kepentingan. Tulisan ini
mencoba melihat bagaimana perbedaan antara syura dan demokrasi dan apakah perbedaan itu
sangat signifikan sehingga apa yang di pikirkan oleh sebagian masyarakat selama ini benar, bahwa
kita harus mengganti sistem demokrasi dengan syura.

Kata Kunci: syura, demokrasi, politik, islam, barat

A. Pendahuluan
Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada RasulNya, Muhammad SAW. kurang lebih lima
belas abad yang silam tidaklah berupa kumpulan ayat-ayat yang tersusun rapi sebagaimana adanya
sekarang. Ia diturunkan setahap demi setahap selama hampir 23 tahun. Sering setiap kali turun
dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi objektif masyarakat jazirah Arab masa itu. Terkadang ia turun
dalam rangka menjawab dan memberi solusi terhadap problematika sosial yang tengah berlangsung.
Terkadang, di satu sisi, ia terlihat memberikan legitimasi dan mengukuhkan suatu tradisi yang baik
dari masyarakat Arab masa itu, di sisi lain, ia terkesan mematahkan dan membatalkan suatu tradisi
tertentu terutama yang tidak sejalan dengan misinya, dan bahkan ada yang hanya sekedar memberi
jawaban atas sebuah pertanyaan “sederhana” yang diajukan oleh seorang Arab badui.1

1
Sebagai contoh lihatlah bagaimana al-Qur’an menjawab sebuah pertanyaan seorang Arab Badui yang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang berapa jumlah langit yang kemudian dijawab oleh Nabi Saw. berdasarkan wahyu, bahwa jumlahnya
ada tujuh. Angka tujuh adalah angka yang tertinggi yang mereka ketahui saat itu, dan dengan demikian “tujuh langit”
bagi mereka adalah “banyak langit”. Ternyata setelah al-Qur’an rampung diturunkan ditemui penjelasan kitab suci ini
menyangkut “tujuh langit” itu diulangnya sebanyak tujuh kali pula yaitu; al-Baqarah :29, al-Isra’:44, al-Mu’minun: 86,
Fushshilat:12, al-Thalaq:12 al-Mulk:3, dan Nuh:15. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan
Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. XIX, h. 31

231
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an diturunkan Allah di tengah-tengah masyarakat


Arab dan oleh sebab itu merekalah masyarakat pertama yang mendapat sentuhan dan bimbingan
dari kitab suci ini. Masyarakat Arab, pada saat al-Qur'an turun, bukanlah masyarakat yang hampa
budaya melainkan masyarakat yang telah berbudaya. Oleh sebab itu cukup banyak kita temukan
ayat-ayat yang menyatakan betapa al-Qur’an, dalam batas-batas tertentu, melegitimasi dan
mengembangkan bentuk-bentuk kebudayaan bangsa Arab tersebut.
Para ahli menyebutkan bahwa di antara bentuk-bentuk kebudayaan atau kebiasaan Arab
jahiliyah tersebut ada yang negatif dan ada pula yang positif. Secara umum, kitab suci ini
menentang bentuk-bentuk kebudayaan yang negatif dan merestui dan bahkan memberikan
legitimasinya, meski dalam batas-batas tertentu, bentuk-bentuk kebudayaan yang positif dari
mereka. Al-Qur’an misalnya, menentang, di satu sisi, „ashabiyah kesukuan yang berlebihan yang
terpancar dari semangat jahiliyah akan tetapi, di sisi lain, kitab suci ini mengakui eksistensi
kelompok dan kesukuan dalam masyarakat. Bagaimanapun secara alamiah naluri manusia memiliki
rasa loyal terhadap suku, kaum kerabat atau kelompoknya. Selama loyalitas tersebut lahir dari suatu
kesadaran yang positif maka tentu saja ia masih dalam batas-batas toleransi. Akan tetapi pada
masyarakat Arab jahiliyah loyalitas kesukuan itu memuncak menjadi suatu kebiasaan yang kurang
baik, seperti dendam kusumat yang diwariskan kepada anak dan keturunannya, sehingga
mengakibatkan kerusuhan dan permusuhan yang tak habis-habisnya antara satu suku dengan suku
lainnya. Hal tersebut sangat jelas tergambar dalam motto mereka, seperti yang disinyalir oleh
Toshihiko Izutsu; "Help your brother (i,e, fellow-tribesman) whether he is being wronged or
wronging others" (Bantulah saudaramu 'yakni anggota suku' baik dia diperlakukan tidak adil atau
berlaku tidak adil pada orang lain).2
Apa yang ingin dipertegas di sini adalah bahwa justru dalam semangat loyalitas kesukuan
tersebut terdapat suatu tradisi yang baik yaitu semangat bermusyawarah, baik yang diadakan antar
pemimpin-pemimpin suku maupun antar intern suku. Tradisi bermusyawarah tersebut sudah
melembaga di kalangan masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu. Dan tradisi inilah kelihatannya
yang kemudian diterima dan dikembangkan oleh al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-petunjuknya. Di
dalam terminologi al-Qur’an kegiatan semacam ini disebut dengan syura.
Di Mekkah, menurut keterangan ahli sejarah, kegiatan musyawarah ini pernah
diselenggarakan di rumah Qushay bin Kilâb yang kemudian melembaga dan terkenal dengan
sebutan dâr al-nadwah, beranggotakan para pemuka kabilah (mala‟), kalangan orang-orang
berpengaruh, termasuk orang-orang kaya yang dipandang bijak atau cendikia. Mereka
bermusyawarah tidak hanya dalam memecahkan suatu masalah bersama, tetapi juga dalam memilih
pemimpin. Inilah tradisi unik di kalangan Arab badui dan golongan elite plutokrat. 3
Senada dengan ini, Fazlur Rahman juga berpendapat demikian seperti dikutip oleh Zul Asyri
LA: Syûra untuk pertama kali bukanlah berasal dari Islam karena sebelum masa Islam, orang-orang
Arab telah memiliki suatu lembaga yang disebut “Dewan Nadi”. Orang-orang tua dari suatu suku
atau kota (seperti Mekkah) bermusyawarah untuk memilih kepala suku atau kepala pemerintahan
mereka dan mengkonsultasikan urusan mereka. Lembaga inilah kemudian yang didemonstrasikan
al-Qur’an dengan penggunaan istilah syûra.4
Kalau deskripsi di atas diterima maka dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dalam hal ini
merestui dan melegitimasi sebuah tradisi yang sudah ada dan dianggap baik yakni musyawarah dan
bahkan memberinya substansi baru yang lebih bernilai dan bermakna. Substansi dan makna baru
dimaksud adalah apa yang telah pernah dipraktekkan Rasulullah SAW. lewat sunnahnya sebagai
wujud implementasi dari ajaran syura yang terdapat dalam teks ayat-ayat al-Qur’an.

2
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill University Press, 1966), h. 46
3
M. Dawam Raharjo, Majalah Ulum al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur‟an, Pada judul Syûra, No. 3, 1989, h. 28
4
Zul Asyri L.A. Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan al-Khulafâ al-Rasyidûn, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),
h. 16-17

232
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

Persoalannya kemudian adalah bahwa pada hari ini kenyataan menunjukkan betapa kurang
proporsionalnya pemahaman sebagian besar umat Islam terhadap kitab sucinya ini. Mereka masih
memahami dan menganggap bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang maha lengkap dan
sempurna, mencakup segala-galanya dalam arti di dalamnya terdapat penjelasan tentang segala
sesuatu, sebutlah misalnya rincian penjelasan tentang sistem politik, sistem ekonomi, dan keuangan,
sistem kemasyarakatan, sistem pertanian dan seterusnya. Padahal, jumlah ayat dalam al-Qur’an
adalah 6. 226 ayat (menurut perhitungan ulama Kufah) jika diperhatikan secara seksama ke semua
ayat al-Qur’an tersebut maka para ulama memperkirakan hanya sekitar 500 ayat dari
keseluruhannya atau 8 % saja yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah dan
hidup kemasyarakatan. Ayat-ayat mengenai ibadah berjumlah 140 ayat dan mengenai
kemasyarakatan 228 ayat.5
Lepas dari klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an di atas, satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat
yang menyangkut pengaturan kehidupan bermasyarakat jumlahnya sangatlah terbatas. Kalau
pengklasifian di atas dapat diterima maka itu berarti hanya sekitar 228 ayat saja dari keseluruhan
ayat al-Qur’an yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu kalau pun ada ayat yang
menyebut, baik secara ekplisisit atau pun implisit, misalnya masalah ekonomi atau masalah
kenegaraan itu baru hanya berupa prinsip-prinsip dasar yang sangat universal. Dengan demikian
kurang tepat kalau dikatakan al-Qur’an mencakup segala-galanya dalam pengertian di atas.
Pendapat tersebut di samping tidak semua pakar tafsir menyetujuinya, tapi juga sulit diterima akal
sehat. Masyarakat bersifat dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti
perkembangan zaman. Karena perubahan dan perkembangan dalam masyarakat itu adalah hukum
Allah (sunnatullah) juga. Itulah barangkali rahasianya kenapa ayat-ayat yang menyangkut
pengaturan terhadap dinamika masyarakat sangat sedikit. Seolah-olah soal pengaturan hidup
kemasyarakatan lebih banyak diserahkan Tuhan kepada akal manusia. Tuhan hanya memberikan
prinsip-prinsip umum dan di atas prinsip-prinsip umum inilah umat Islam mengatur hidup
kemasyarakatannya.6
Seperti terlihat bahwa syura adalah salah satu konsep yang dicetuskan al-Qur’an untuk
mengatur manusia dalam menjalani hidup kemasyarakatannya. Akan tetapi sebagaimana diketahui
Kitab suci ini mencanangkannya dalam bentuk yang sangat umum sekali. Ia tidak menyodorkan
formulasi-formulasi khusus yang rinci dan konkret tentang implementasi konsep ini tapi
sepenuhnya diserahkan kepada interpretasi akal manusia. Dengan demikian penafsiran terhadap
terma syûra atau musyawarah ini akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai
dengan perkembangan fikiran, ruang dan waktu. Oleh sebab itu, dewasa ini, pergeseran pengertian
tersebut semakin eksis di kalangan pemikir Islam. Sebagian dari mereka ada yang mengaitkan
pengertiannya dengan teori politik modern seperti sistem republik, demokrasi, sistem perwakilan,
senat, formatur, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep “dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat”. Ini bersangkut paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah atau diperintah,
antara elite dan massa, antara orang awam dan ahli. 7
Musyawarah oleh para pemikir modern dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan yang
pokok, tidak saja karena nash-nya yang jelas dalam al-Qur’an tetapi juga diperkuat oleh hadis Nabi
SAW. yang merupakan sunnah atau keteladanannya. Tetapi di sini pula letak kesulitannya yaitu
ketika hendak menginterpretasikan arti dan makna dari musyawarah itu sendiri, karena di satu pihak
para pemikir mesti harus berusaha melihat konteks maknanya secara lebih spesifik, sesuai dengan
apa yang telah pernah dijalankan Nabi SAW. dan para sahabatnya. Di lain pihak, terutama para
pemikir politik dan kemasyarakatan sekarang, mereka lebih mengacu kepada bentuk-bentuk
musyawarah yang telah berkembang di zaman modern yang sudah barang tentu agak sulit
ditemukan contoh konkretnya pada awal-awal masa perkembangan Islam.

5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Mathba’ah al-Nashr, 1956), h. 35-36
6
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995 ), h. 28
7
M. Dawam Raharjo, Majalah Ulum al-Qur’an Op.cit., h. 28

233
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

Oleh karena itu, persoalan ini jadi amat menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan
perspektif al-Qur’an. Dengan kata lain bagaimana konsep al-Qur’an menyangkut terma syûra atau
musyawarah ini dan sejauh mana pula konsep ini mampu menampung dan mentolerir kreasi
pemikiran yang telah berkembang sedemikian rupa dan telah terimplementasikan dalam bidang
politik dan kemasyarakatan seperti sekarang ini.

B. Makna Syuro Dalam al-Qur’an


Syu>ro terambil dari akar kata sy, w, r, (‫)ش و ر‬yang berarti mengambil madu, menunjuk-kan
jalan yang benar, menghiasi, menasehati, memberitahu dan memberi isyarat, atau dapat juga
berartimenyatakan atau mengajukan sesuatu.8
Ada empat ayat yang berakar kata sy, w, r, yang tergelar dalam berbagai surat dalam al-
Qur’an. Secara kronologis masa turunnya dapat diurut sebagai berikut:
1. “Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan
hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa–dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah maka memberi
maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-Syurâ [42]:
36-38). 9
2. “Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya
berkata; “hai Maryam sesunguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar”.
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan
ibumu bukanlah seorang perempuan pezina. (Menanggapi hal itu) Maka Maryam menunjuk
(memberi isyarat) ke arah anaknya. Mereka berkata; bagaimana kami akan berbicara
dengan anak kecil yang masih dalam ayunan. Berkata Isa: “sesungguhnya aku ini hamba
Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi (QS. Maryam
30-27)
3. “Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf. Seseorang tidak akan dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah menderita karena anaknya pula dan pewaris pun
berkewajiban demikian. Maka apabila keduanya ingin menyapih (sebelum sampai dua
tahun) dengan kerelaan dan permusyawaratan dari keduanya maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan bayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat segala apa yang kamu kerjakan (QS. Al-
Baqoroh 233)
4. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu dapat berlaku lemah-lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar maka tentulah mereka akan menjauhkan diri
darimu. Oleh karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imrân [3]: 159).

8
Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 434-437 Lihat juga Al-Abu Luwais Ma’luf al-Yusu’i, Al-
Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lâm, (Bairur: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 407-408 Lihat juga, Al-Munawwir, Kamus Al-
Munawwar, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “al-Munawwir”, 1984) h. 802 Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. I, h. 469
9
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989), h. 789

234
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

Dari empat ayat di atas tampak jelas bahwa al-Qur’an tidak memberikan rincian yang tegas
tentang bagaimana kegiatan musyawarah ini dilaksanakan. Kitab suci ini hanya menggambar-kan
prinsip-prinsip umum tentang ajaran ini. Petunjuk al-Qur’an yang rinci lebih banyak tertuju pada
persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan dan perubahan. 10
maka syûra pada hakekatnya adalah ajaran dasar yang bersifat universal, oleh karenanya
menyangkut rinciannya diserahkan Tuhan kepada nalar (ijtihad)manusia sesuai dengan raung dan
waktu. Karena sifatnya yang sangat fleksibel itu maka penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran
ini akan selalu mengikuti pertumbuhan dan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri sesuai
dengan batasan ruang dan waktu.

C. Syuro dalam perspektif Sosio-Politik modern


Penafsiran terhadap istilah syûra atau musyawarah selalu mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Dewasa ini pengertian musyawarah sering dikaitkan dengan beberapa teori politik
modern, seperti sistim republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur dan
berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, yang bersangkut paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah, antara elite dan massa, antara rakyat dan pemerintah”.11
Perdebatan di sekitar makna musyawarah dalam hubungannya dengan konsep-konsep
dalam ilmu politik modern, menurut Fazlul Rahman, seperti yang dikutip oleh Dawam Raharjo,
mulai timbul semenjak masuknya pengaruh teori politik Barat ke dalam dunia Islam pada
pertengahan abad ke-19, yang pada pokoknya terdapat dua kubu dalam perbincangan tersebut.
Pertama, Mewakili aliran demokrasi-populis sedang kedua, menyuarakan paham elitis-royalis.
Nemik Kemal, salah seorang pemikir Turki, dinilai sebagai orang pertama yang membangkitkan
diskusi ini. Walaupun ia menulisnya dalam konteks kesultanan Usmaniyah namun pemikirannya itu
dapat disebut orisinil hingga sekarang yang mewakili pemikiran demokrasi-populis.12
Nemik Kemal yang memperjuangkan pemerintahan yang konstitusional di Turki
berpendapat bahwa sistem pemerintahan konstitusional tidaklah merupakan bid‟ah dalam ajaran
Islam. Dengan begitu, setelah mengadakan studi perbandingan antara konstitusi Prancis, Inggris dan
Amerika, ia berpendapat bahwa konstitusi Prancislah yang pantas dan layak dipakai sebagai model
dalam menyusun kontitusi kerajaan Usmani. Selanjutnya ia menganjurkan supaya dibentuk tiga
majlis dalam pemerintahan konstitusional kerajaan Usmani, yaitu Majlis negara (syura-yi devlet),
majlis nasional (syura-yi ummet) dan Senat (majlis ayan).13 Majlis Negara bertugas merancang
undang-undang dan Majlis Nasional membuat undang-undang atas rancangan yang diajukan oleh
Majlis Negara. Ada pun Senat tugasnya ialah menjadi pengantara antara antara kekuasaan legislatif
dan eksekutif dengan perpedoman kepada Undang-Undang Dasar dan prinsip kebebasan rakyat. Di
samping itu, senat juga mempunyai tugas mensyahkan segala undang-undang yang dibuat oleh
majlis nasional.
Pemikiran ini tentu saja masih dabatable jika dilihat dalam konteks sekarang tetapi
demikianlah seorang pemikir muda Islam ini, terinspirasi dari perkembangan pemikiran
ketatanegaran di negara modern pada masa itu, menginterpretasikan konsep syûra
yangterdapatdalam al-Qur’an.
Pada saat ini ada sekian banyak persolan menyangkut hubungan konsep ini dengan teori-
teori ilmu politik modern, antara lain misalnya;
1. Apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam.

10
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudh‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996)h.
471
11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 440
12
Ibid, h. 441
13
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 109

235
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

2. Apakah majlis syûra itusama dengan parlemen model demokrasi Barat.


3. Apakah lembaga syûra lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat
bagi seorang penguasa atau kepala negara.
4. Apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam itu diharuskan memiliki suatu dewan
pertimbangan dan jika ya,
5. Apakah badan itu ditunjuk atau dipilih, apakah bersifat konsultatif atau mandataris.
6. Apakah keanggotaan lembaga syûra harus dipilih oleh rakyat ataukah cukup diangkat oleh
penguasa.
Dari sekian banyak persoalan yang diperdebatkan kesemuanya memang memerluknan
diskusi yang panjang dan pembahasan mendalam. Akan tetapi persoalan-persolaan tersebut muncul
dalam wacana pemikiran politik Islam, paling tidak, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor dominan
antara lain; pertama, karena al-Qur’an dan al-Sunnah tidak memberikan rincian yang konkret
mengenai konsep ini. Kedua, adalah kenyataan pada zaman modern ini bahwa bentuk dan sistem
kenegaraan di negeri-negeri Islam tidak semua menganut sistem republik-demokratis, tetapi masih
ada yang menganut sistem monarki seperti Saudi Arabia, Maroko, Yordania, Kuwait, Brunai
Darussalam dan lain-lain. Ketiga, terbukti pula bahwa negara monarki tidak selamanya
menghasilkan keburukkan sebagaimana juga tidak semua bentuk republik-demokratis
mendatangkan kebaikkan.
Merujuk kepada al-Qur’an, biasanya dua ayat yang berkakar kata sy-w-r (lihat QS.3:159
dan QS. 42:38) sering kali dianggap sebagai dasar tuntunan kepada penguasa untuk melakukan
musyawarah. Sistem kenegaraan berdasarkan musyawarah (atau tegasnya demokrasi-populis)
sering dipertentangkan dengan sistem pemerintahan perorangan yang sewenang-wenang dan
otoriter (atau tegasnya monarki-absolut). Yang pertama dianjurkan dan yang kedua dikecam. Para
ahli tafsir dan para penulis belakangan sering memahaminya demikian, akan tetapi yang pertama
tidak secara tegas diwajibkan (enjoined) dan sedang yang kedua tidak pula tegas-tegas diharamkan
(forbidden).14
Pada zaman kerajaan Turki Usmani terjadi pertentangan antara mereka yang hendak
mempertahankan istitusi kesultanan dengan mereka yang menginginkan pemerintahan yang
konstitusional. Yang pertama keberatan terhadap bentuk pemerintahan demoktratis karena menurut
mereka rakyat pada umumnya masih bodoh. Oleh karena itu tak dapat diharapkan melihat mana
yang benar dan mana salah dalam pembuatan undang-undang. Terhadap keberatan itu maka
golongan kedua memberikan jawaban secara umum bahwa di berbagai wilayah kerajaan Usmani
dapat dijumpai orang yang cukup arif dan dapat menangani urusan negara dengan baik.
Penolakan umat Islam itu pada intinya adalah keberatan mereka menerima subtansi dari
demokrasi yang dijalankan di Barat. Seperti terlihat dalam inti kritik Muhammad Iqbal terhadap
demokrasi Barat, seperti dikutip Fazlul Rahman, yang menyatakan bahwa masyarakat demokratis di
Barat itu cenderung mengarah kepada materialisme sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata orang
Barat tidak memiliki pandangan tentang tatanan sosial-moral yang lebih tinggi. Inilah yang
dimaksudkan M. Iqbal dengan sekularisme Barat yang dirasakannya sebagai perkembangan dari
Kristianitas yang berprinsip; “berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan berikan
pula kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan”.15
Dengan demikian M. Iqbal menolak demokrasi Barat lebih disebabkan oleh tidak adanya
perhatian mereka terhadap prinsip etika dan nilai spiritual pada sistem itu. Ini berarti yang
ditolaknya adalah orientasi dan sistem nilai dari demokrasi itu sendiri dan bukan pada bentuk-
bentuk dan proses-proses dari sistem itu. Oleh karena itu Fazlul Rahman menegaskan; “Tragis
sekali menyaksikan di depan mata kita logika Iqbal itu telah diputarbalikkan. Terlalu sering para

14
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj. The Political Language of Islam, oleh Ihsan Ali Fauzi), (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 195
15
Fazlur Rahman, Prinsip-prinsip Syura dan Peranan Ulama Dalam Islam, (ed), Muntaz Muhammad, Bandung: Mizan
1994), h. 125

236
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

pemikir dan pemimpin kita menyatakan bahwa karena demokrasi Barat secara mendasar adalah
salah, maka demokrasi secara keseluruhan adalah salah dan Islam tidak menyetujuinya.” 16
Oleh karena itu rekonstruksi pemikiran ke arah yang lebih objektif amatlah diperlukan.
Memang tak dapat disangkal telah banyak para pemikir Islam kontemporer yang telah ber-ijtihad
mengembangkan cakrawala pemahaman keagamaan terutama tentang terminologi-terminologi al-
Qur’an terutama yang terkait erat dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, termasuk di dalamnya
terminologi syura.

D. Antara Syura dan Demokrasi


Kalau kita bermaksud membandingkan syura dan demokrasi maka terlebih dahulu harus
diperjelas apa yang dimaksud dengan demokrasi. Dalam bahasa Indosesia; demokrasi diartikan, 1)
Bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilnya; pemerintahan rakyat. 2) Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. 17
Pembahasan mengenai demokrasi sudah terlalu banyak ditulis dan diperdebatkan oleh para
pakar, namun untuk keperluan tulisan ini, penulis tidak akan terlalu jauh melangkah memasuki
rincian makna dari demokrasi yang beragam itu. Namun yang diperlukan disini adalah adakah
kesamaan dan perbedaan antara terminologi syûra dan demokrasi? Kalau sama di mana letak
persamaannya dan kalau berbeda di mana pula letak perbedaannya?
Dari segi aplikasi pengangkatan pimpinan atau penguasa, terdapat persamaan antara syura
dan demokrasi? Persamaannya ialah kedua konsep ini sama-sama mengakui pengangkatan
pemimpin melalui “kontrak sosial”. Bagaimana subtansi dan bentuk dari “kontrak sosial” itu dalam
demokrasi? Saya rasa, tanpa mengesampingkan pentingnya makna ini, namun saya menganggap
penelitian tentang makna demokrasi sudah banyak dibicarakan di berbagai tulisan-tulisan ilmiah di
dalam ilmuilmu social dan politik modern. Sehingga, menurut hemat saya, tidak perlu
membicarakannya panjang lebar di dalam masalah ini.
Yang menarik adalah bagaimana subtansi dan bentuk “kontrak sosial” tersebut dalam
ajaran Islam. Pemimpin biasa diterjemahkan dengan khalîfah. Dalam al-Qur’an kata khalîfah dalam
bentuk tunggal (mufrad atau singular) ditemukan dua kali, masing-masing dalam surat al-Baqarah
2:3118 dan surat Shâd 38:2619. Ayat (QS.2:31) ini menunjuk Adam sebagai khalîfah sedang ayat
(QS.38:26) menunjuk Daud. Kalau kita perhatikan kedua redaksi tersebut keduanya hampir mirip.
Apa yang dapat diambil dari sini; pertama, Adam dan Daud sama-sama diberi pengetahuan oleh
Allah sebelum diangkat menjadi khlaifah. Hal ini difahami dari redaksi ayat-ayat tersebut; Wa
„allama Adam al-asmâ‟ kullahâ, untuk Adam dan Wa âtâhullah al-mulka wa al-hikmata wa
„allamahu mimma yasâ‟ untuk Daud
Dalam konteks pengangkatan keduanya sebagai khalîfah, perhatikan redaksi; Innî jâil fi al-
ardhi khalîfah dan Innâ ja‟alnâka khalîfah fi al-ardhi. Untuk pegangkatan Adam Allah pergunakan
kata Innî(sesungguhnya Aku) dan jâil (akan mengangkat). Sedangkan untuk pengangkatan Daud
dipergunakan-Nya kata Innâ (sesungguhnya Kami) dan kataja‟alnâka (kata kerja masa lampau/past
tense yang berarti telah menjadikanmu). Penggunaan bentuk plural yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelakunya mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang
ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalîfah terdapat
keterlibatan pihak lain selain Allah yakni masyarakat. Ada pun Adam, maka di sini wajar apabila
pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal, bukan saja disebabkan karena ketika itu

16
Ibid., h. 126
17
Departemen Pendikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 220
18
Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat dimuka bumi seorang khalifah”
19
Artinya: “Wahai Daud sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi”

237
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

kekhalifahan dimaksud baru hanya sebatas rencana atau ide tetapi juga ketika itu tidak ada pihak
lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.20
Pengangkatan Daud seperti dikisahkan dalam ayat di atas itulah sebenarnya bentuk
“kontrak-sosial” yang dimaksudkan al-Qur’an. Dengan demikian meski antara demokrasi dan syura
sama-sama mengakui adanya kontrak-sosial namun syura dalam Islam tidak hanya sebatas itu,
pengangkatan itu dikaitkannya dengan “perjanjian Ilahi”.
Menyangkut masalah ini, dalam ayat lain (QS.2.124)21 pun ditemukan ketika Allah hendak
mengangkat Ibrahim a.s sebagai imam. Lantas, Apa yang dimaksud dengan “perjanjian ilahi”
tersebut? Apakah dalam bentuk sistem teokrasi (theocracy), di mana kekuasaan diperoleh dari
Tuhan dan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, atau dalam sistem demokrasi
(democracy) di mana kekuasaan diperoleh dari rakyat dan oleh karena itu hanya akan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat?
Para ulama berbeda pendapat menyangkut maksud dari “perjanjian Ilahi” (al-„ahdu) di
atas. Sebagian mereka berpendapat bahwa “perjanjian Ilahi” dimaksud adalah menyangkut
“pengangkatan-kenabian” („ahdual-nubuwah). Sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu
menyangkut “pengangkatan-kepemimpinan” („ahd al-Imamah) secara umum. Jadi kelompok
pertama memahami frase ayat “perjanjian-Ku tidak akan menyentuh orang-orang yang zhalim”
demikian; Orang zhalim dan orang musyrik tidak dapat diangkat menjadi Nabi, meski dia dari
keturunannya. Sedang kelompok kedua memahami frase tersebut demikian; bahwa Tuhan tidak
akan “mengangkat” siapa saja dari keturunanmu (Ibrahim) yang zhalim sebagai pemimpin ummat
(imam). Bahkan sebagian lain berpendapat apabila pemimpin tersebut adalah orang zhalim maka
tidak wajib dipatuhi malah kalau perlu harus dilawan.22
Kezhaliman adalah salah satu sifat jelek manusia yang berlaku universal. Artinya siapa
saja manusianya berpotensi bersifat demikian. Dalam konteks berbangsa dan bernegara maka
kezhaliman bisa berwujud, ketidakadilan, otoritarianism, atau bahkan korupsi (corrupt). Pemimpin
pemerintahan yang tidak adil, otoriter dan korup berarti adalah pemimpin yang zhalim. Ia
menzhalimi rakyatnya, oleh karena itu ia harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan rakyat
yang memilihnya. Bagaimana wujud pertanggungjawabannya tersebut, tentu sesuai dengan tatanan
hukum dan konstitusi yang berlaku dalam negara tersebut. Inilah subtansi dari konsep demokrasi
yang berlaku secara umum pada zaman sekarang.
Di sinilah kira-kira apa yang maksud dengan kritikan Muhammad Iqbal terahadap
demokrasi di Barat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu bahwa inti kritik Muhammad
Iqbal terhadap demokrasi Barat, seperti dikutip Fazlul Rahman, adalah bahwa masyarakat
demokratis di Barat itu cenderung mengarah kepada materialisme sehingga dapat dikatakan bahwa
rata-rata orang Barat tidak memiliki pandangan tentang tatanan sosial-moral yang lebih tinggi.
Dengan demikian M. Iqbal menolak demokrasi Barat lebih disebabkan oleh tidak adanya perhatian
mereka terhadap prinsip etika dan nilai spiritual pada sistem itu bukan pada bentuk-bentuk dan
proses-proses dari sistem itu.
Sementara itu, ajaran syûra dalam Islam mengajarkan bahwa para penguasa, pada
hakekatnya, di satu sisi, “diangkat” dan diberi kekuasan oleh Allah dalam satu ikatan yang disebut
dengan “perjanjian ilahi” (al-„Ahdu al-Ilahiy), seperti yang telah disebutkan di atas. Di sisi lain, ia
diangkat dan diberi kekuasaan oleh anggota masyarakat dengan satu ikatan perjanjian pula. Ikatan
dan perjanjian itu dalam terminologi agama biasa disebut dengan “bai‟ah”, dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Oleh karenanya sebagai pemegang janji dari Tuhan –yang dalam istilah agama biasa

20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1994), 158-159
21
Artinya: “Sesungguhnya Aku akan mengangkatmu menjadi Imam (pemimpin) bagi manusia. Ibrahim berkata; saya
bermohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagian keturunanku, Allah berfirman, perjanjian-Ku
tidak akan menyentuh orang-orang yang zhalim.
22
Tafsir Al-Thabari, juz. I, h. 530

238
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

disebut dengan pemikul amânah– maka penguasa tersebut wajib melaksanakan atau menunaikan
janji atau amanahnya tersebut dengan baik. Karena “ikatan perjanjian” yang ia buat pada hakekat
dilakukan dalam dua jalur yaitu ikatan perjanjian kepada masyarakat dan sekaligus juga kepada
Tuhan. Maka bentuk pertanggungjawabannya pun berlaku dua arah yaitu pertanggungjawaban
kepada masyarakat dan juga kepada Tuhan. Kalau amanah ditunaikannya dengan baik, artinya, ia
berlaku adil, jujur, bijaksana dan tidak menzhalimi rakyatnya maka hasilnya akan baik pula.
Mungkin saja ia akan dipuja dan dipuji, diberi gelar kehormatan sebagai “bapak bangsa”, “bapak
pembangunan” atau apalah namanya. Jasanya akan selalu diingat dan dicatat dengan tinta emas
sebagai pemimpin yang baik dan bahkan mungkin namanya akan dikenang sepanjang masa meski
ia telah tiada.
Sebaliknya apabila amanah tidak ditunaikan dengan baik, dalam arti ia bertindak otoriter,
tidak adil, tiran dan menzhalimi rakyat maka akan berlaku atasnya “azab”. Azab tersebut boleh jadi
berlaku di dunia dan kasat mata, seperti ia dikecam sebagai pemimpin yang tidak adil, korup,
otoriter dan bahkan dicampakkan keluar atau dihukum gantung oleh masyarakatnya, yang lebih
menyedihkan lagi kecaman-kecaman tersebut tidak saja dialamatkan pada dirinya dan berlaku
sepanjang hanyatnya tapi juga bagi anak dan cucunya. Sedangkan di akherat kelak ia pasti dituntut
Tuhan dengan balasan yang setimpal sesuai kezhaliman yang dilakukannya di atas dunia.
Perbedaan yang mungkin dapat dideteksi antara syûra dan demokrasi adalah menyangkut
persoalan dan permasalahan yang akan dibahas. Dalam demokrasi semua persolan apa pun dapat
dibahas dan diputuskan. Tidak demikian hal dalam syûra yang diajarkan Islam. Permasalahan yang
telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti –seperti masalah ibadah– tidak
diperkenankan untuk dibahas dan dimusyawarahkan. Ia mesti diterima dengan sikap tunduk dan
patuh (sam‟an wa thâ‟atan). Di samping itu dalam syûra diajarkan bahwa semua hasil keputusan
musyawarah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Ilahi.

E. Kesimpulan
Syura dan demokrasi adalah konsep yang lahir dari historis, cultural, dan structural yang
berbeda. Secara umum kedua konsep ini sama dan baik untuk mengatur interaksi manusia dengan
sesamanya. Kalau pun terdapat perbedaan maka perbedaan itu lebih disebabkan latar belakang
pemahaman dari masing-masing orang yang hendak memahaminya. Dan seperti yang saya
sampaikan tadi, boleh jadi perbedaan ini disebabkan latar belakang historis dari sumber kedua
konsep tadi. Misalnya kalangan Islam melihat bahwa konsep syura bersumber dari kitab suci al-
Qur’an dan tradisi Nabi Muhammad SAW.. sementara konsep demokrasi lahir dari pengalaman
Barat mencari identitas diri dalam berbangsa dan bernegara. Kalau demikian hal maka kesimpulan
dari perbandingan ini adalah kedua konsep ini “serupa tapi tak sama”.

Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Mathba’ah al-Nashr, 1956)
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj. The Political Language of Islam, oleh Ihsan Ali Fauzi),
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989)
Departemen Pendikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1990)
Fazlur Rahman, Prinsip-prinsip Syura dan Peranan Ulama Dalam Islam, (ed), Muntaz
Muhammad, Bandung: Mizan 1994)
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995)
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975)
Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990)

239
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,


(Jakarta: Paramadina, (1996)
M. Dawam Raharjo, Majalah Ulum al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur‟an, Pada judul Syûra,
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudh‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996)
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994)
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill University Press,
1966
Zul Asyri L.A. Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan al-Khulafâ al-Rasyidûn, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1990),

240

You might also like