Professional Documents
Culture Documents
ID Syura Dan Demokrasi Antara Teori Dan Pra PDF
ID Syura Dan Demokrasi Antara Teori Dan Pra PDF
ID Syura Dan Demokrasi Antara Teori Dan Pra PDF
17/Nomor 2
Abstrak: Shura and democracy are two concepts that seem substantially almost exactly the same,
but these two concepts have differences because both have differences historically, culturally and
structurally. The differences are further aggravated by the suggestion and the image that grows in
some people that shura is identical with the teachings of Islam which is derived from Allah. In, fact
democracy is a product of man (the West) while Shura is Islamic concept of authority. This paper
tries to see how the difference between shura and democracy and whether the difference was highly
significant that what is thought by some people, that we have to replace the democratic system with
the shura.
Abstrak: Syura dan Demokrasi adalah dua konsep yang secara substansi hampir persis sama, akan
tetapi kedua konsep ini memiliki perbedaan karena keduanya lahir dari historis, kultural dan
struktural yang berbeda. Perbedaan ini diperparah lagi dengan sugesti dan image yang tumbuh di
tengah-tengah masyarakat bahwa syura identik dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT
sedangkan demokrasi merupakan produk manusia (Barat) yang sarat akan kepentingan. Tulisan ini
mencoba melihat bagaimana perbedaan antara syura dan demokrasi dan apakah perbedaan itu
sangat signifikan sehingga apa yang di pikirkan oleh sebagian masyarakat selama ini benar, bahwa
kita harus mengganti sistem demokrasi dengan syura.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada RasulNya, Muhammad SAW. kurang lebih lima
belas abad yang silam tidaklah berupa kumpulan ayat-ayat yang tersusun rapi sebagaimana adanya
sekarang. Ia diturunkan setahap demi setahap selama hampir 23 tahun. Sering setiap kali turun
dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi objektif masyarakat jazirah Arab masa itu. Terkadang ia turun
dalam rangka menjawab dan memberi solusi terhadap problematika sosial yang tengah berlangsung.
Terkadang, di satu sisi, ia terlihat memberikan legitimasi dan mengukuhkan suatu tradisi yang baik
dari masyarakat Arab masa itu, di sisi lain, ia terkesan mematahkan dan membatalkan suatu tradisi
tertentu terutama yang tidak sejalan dengan misinya, dan bahkan ada yang hanya sekedar memberi
jawaban atas sebuah pertanyaan “sederhana” yang diajukan oleh seorang Arab badui.1
1
Sebagai contoh lihatlah bagaimana al-Qur’an menjawab sebuah pertanyaan seorang Arab Badui yang bertanya kepada
Nabi Saw. tentang berapa jumlah langit yang kemudian dijawab oleh Nabi Saw. berdasarkan wahyu, bahwa jumlahnya
ada tujuh. Angka tujuh adalah angka yang tertinggi yang mereka ketahui saat itu, dan dengan demikian “tujuh langit”
bagi mereka adalah “banyak langit”. Ternyata setelah al-Qur’an rampung diturunkan ditemui penjelasan kitab suci ini
menyangkut “tujuh langit” itu diulangnya sebanyak tujuh kali pula yaitu; al-Baqarah :29, al-Isra’:44, al-Mu’minun: 86,
Fushshilat:12, al-Thalaq:12 al-Mulk:3, dan Nuh:15. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan
Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. XIX, h. 31
231
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
2
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill University Press, 1966), h. 46
3
M. Dawam Raharjo, Majalah Ulum al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur‟an, Pada judul Syûra, No. 3, 1989, h. 28
4
Zul Asyri L.A. Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan al-Khulafâ al-Rasyidûn, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),
h. 16-17
232
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
Persoalannya kemudian adalah bahwa pada hari ini kenyataan menunjukkan betapa kurang
proporsionalnya pemahaman sebagian besar umat Islam terhadap kitab sucinya ini. Mereka masih
memahami dan menganggap bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang maha lengkap dan
sempurna, mencakup segala-galanya dalam arti di dalamnya terdapat penjelasan tentang segala
sesuatu, sebutlah misalnya rincian penjelasan tentang sistem politik, sistem ekonomi, dan keuangan,
sistem kemasyarakatan, sistem pertanian dan seterusnya. Padahal, jumlah ayat dalam al-Qur’an
adalah 6. 226 ayat (menurut perhitungan ulama Kufah) jika diperhatikan secara seksama ke semua
ayat al-Qur’an tersebut maka para ulama memperkirakan hanya sekitar 500 ayat dari
keseluruhannya atau 8 % saja yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah dan
hidup kemasyarakatan. Ayat-ayat mengenai ibadah berjumlah 140 ayat dan mengenai
kemasyarakatan 228 ayat.5
Lepas dari klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an di atas, satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat
yang menyangkut pengaturan kehidupan bermasyarakat jumlahnya sangatlah terbatas. Kalau
pengklasifian di atas dapat diterima maka itu berarti hanya sekitar 228 ayat saja dari keseluruhan
ayat al-Qur’an yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu kalau pun ada ayat yang
menyebut, baik secara ekplisisit atau pun implisit, misalnya masalah ekonomi atau masalah
kenegaraan itu baru hanya berupa prinsip-prinsip dasar yang sangat universal. Dengan demikian
kurang tepat kalau dikatakan al-Qur’an mencakup segala-galanya dalam pengertian di atas.
Pendapat tersebut di samping tidak semua pakar tafsir menyetujuinya, tapi juga sulit diterima akal
sehat. Masyarakat bersifat dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti
perkembangan zaman. Karena perubahan dan perkembangan dalam masyarakat itu adalah hukum
Allah (sunnatullah) juga. Itulah barangkali rahasianya kenapa ayat-ayat yang menyangkut
pengaturan terhadap dinamika masyarakat sangat sedikit. Seolah-olah soal pengaturan hidup
kemasyarakatan lebih banyak diserahkan Tuhan kepada akal manusia. Tuhan hanya memberikan
prinsip-prinsip umum dan di atas prinsip-prinsip umum inilah umat Islam mengatur hidup
kemasyarakatannya.6
Seperti terlihat bahwa syura adalah salah satu konsep yang dicetuskan al-Qur’an untuk
mengatur manusia dalam menjalani hidup kemasyarakatannya. Akan tetapi sebagaimana diketahui
Kitab suci ini mencanangkannya dalam bentuk yang sangat umum sekali. Ia tidak menyodorkan
formulasi-formulasi khusus yang rinci dan konkret tentang implementasi konsep ini tapi
sepenuhnya diserahkan kepada interpretasi akal manusia. Dengan demikian penafsiran terhadap
terma syûra atau musyawarah ini akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai
dengan perkembangan fikiran, ruang dan waktu. Oleh sebab itu, dewasa ini, pergeseran pengertian
tersebut semakin eksis di kalangan pemikir Islam. Sebagian dari mereka ada yang mengaitkan
pengertiannya dengan teori politik modern seperti sistem republik, demokrasi, sistem perwakilan,
senat, formatur, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep “dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat”. Ini bersangkut paut dengan masalah hubungan antara yang memerintah atau diperintah,
antara elite dan massa, antara orang awam dan ahli. 7
Musyawarah oleh para pemikir modern dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan yang
pokok, tidak saja karena nash-nya yang jelas dalam al-Qur’an tetapi juga diperkuat oleh hadis Nabi
SAW. yang merupakan sunnah atau keteladanannya. Tetapi di sini pula letak kesulitannya yaitu
ketika hendak menginterpretasikan arti dan makna dari musyawarah itu sendiri, karena di satu pihak
para pemikir mesti harus berusaha melihat konteks maknanya secara lebih spesifik, sesuai dengan
apa yang telah pernah dijalankan Nabi SAW. dan para sahabatnya. Di lain pihak, terutama para
pemikir politik dan kemasyarakatan sekarang, mereka lebih mengacu kepada bentuk-bentuk
musyawarah yang telah berkembang di zaman modern yang sudah barang tentu agak sulit
ditemukan contoh konkretnya pada awal-awal masa perkembangan Islam.
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Mathba’ah al-Nashr, 1956), h. 35-36
6
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995 ), h. 28
7
M. Dawam Raharjo, Majalah Ulum al-Qur’an Op.cit., h. 28
233
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
Oleh karena itu, persoalan ini jadi amat menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan
perspektif al-Qur’an. Dengan kata lain bagaimana konsep al-Qur’an menyangkut terma syûra atau
musyawarah ini dan sejauh mana pula konsep ini mampu menampung dan mentolerir kreasi
pemikiran yang telah berkembang sedemikian rupa dan telah terimplementasikan dalam bidang
politik dan kemasyarakatan seperti sekarang ini.
8
Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990), h. 434-437 Lihat juga Al-Abu Luwais Ma’luf al-Yusu’i, Al-
Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lâm, (Bairur: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 407-408 Lihat juga, Al-Munawwir, Kamus Al-
Munawwar, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “al-Munawwir”, 1984) h. 802 Lihat juga M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. I, h. 469
9
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989), h. 789
234
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
Dari empat ayat di atas tampak jelas bahwa al-Qur’an tidak memberikan rincian yang tegas
tentang bagaimana kegiatan musyawarah ini dilaksanakan. Kitab suci ini hanya menggambar-kan
prinsip-prinsip umum tentang ajaran ini. Petunjuk al-Qur’an yang rinci lebih banyak tertuju pada
persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan dan perubahan. 10
maka syûra pada hakekatnya adalah ajaran dasar yang bersifat universal, oleh karenanya
menyangkut rinciannya diserahkan Tuhan kepada nalar (ijtihad)manusia sesuai dengan raung dan
waktu. Karena sifatnya yang sangat fleksibel itu maka penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran
ini akan selalu mengikuti pertumbuhan dan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri sesuai
dengan batasan ruang dan waktu.
10
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudh‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996)h.
471
11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 440
12
Ibid, h. 441
13
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 109
235
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
14
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj. The Political Language of Islam, oleh Ihsan Ali Fauzi), (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 195
15
Fazlur Rahman, Prinsip-prinsip Syura dan Peranan Ulama Dalam Islam, (ed), Muntaz Muhammad, Bandung: Mizan
1994), h. 125
236
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
pemikir dan pemimpin kita menyatakan bahwa karena demokrasi Barat secara mendasar adalah
salah, maka demokrasi secara keseluruhan adalah salah dan Islam tidak menyetujuinya.” 16
Oleh karena itu rekonstruksi pemikiran ke arah yang lebih objektif amatlah diperlukan.
Memang tak dapat disangkal telah banyak para pemikir Islam kontemporer yang telah ber-ijtihad
mengembangkan cakrawala pemahaman keagamaan terutama tentang terminologi-terminologi al-
Qur’an terutama yang terkait erat dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan, termasuk di dalamnya
terminologi syura.
16
Ibid., h. 126
17
Departemen Pendikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 220
18
Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat dimuka bumi seorang khalifah”
19
Artinya: “Wahai Daud sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi”
237
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
kekhalifahan dimaksud baru hanya sebatas rencana atau ide tetapi juga ketika itu tidak ada pihak
lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut.20
Pengangkatan Daud seperti dikisahkan dalam ayat di atas itulah sebenarnya bentuk
“kontrak-sosial” yang dimaksudkan al-Qur’an. Dengan demikian meski antara demokrasi dan syura
sama-sama mengakui adanya kontrak-sosial namun syura dalam Islam tidak hanya sebatas itu,
pengangkatan itu dikaitkannya dengan “perjanjian Ilahi”.
Menyangkut masalah ini, dalam ayat lain (QS.2.124)21 pun ditemukan ketika Allah hendak
mengangkat Ibrahim a.s sebagai imam. Lantas, Apa yang dimaksud dengan “perjanjian ilahi”
tersebut? Apakah dalam bentuk sistem teokrasi (theocracy), di mana kekuasaan diperoleh dari
Tuhan dan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, atau dalam sistem demokrasi
(democracy) di mana kekuasaan diperoleh dari rakyat dan oleh karena itu hanya akan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat?
Para ulama berbeda pendapat menyangkut maksud dari “perjanjian Ilahi” (al-„ahdu) di
atas. Sebagian mereka berpendapat bahwa “perjanjian Ilahi” dimaksud adalah menyangkut
“pengangkatan-kenabian” („ahdual-nubuwah). Sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu
menyangkut “pengangkatan-kepemimpinan” („ahd al-Imamah) secara umum. Jadi kelompok
pertama memahami frase ayat “perjanjian-Ku tidak akan menyentuh orang-orang yang zhalim”
demikian; Orang zhalim dan orang musyrik tidak dapat diangkat menjadi Nabi, meski dia dari
keturunannya. Sedang kelompok kedua memahami frase tersebut demikian; bahwa Tuhan tidak
akan “mengangkat” siapa saja dari keturunanmu (Ibrahim) yang zhalim sebagai pemimpin ummat
(imam). Bahkan sebagian lain berpendapat apabila pemimpin tersebut adalah orang zhalim maka
tidak wajib dipatuhi malah kalau perlu harus dilawan.22
Kezhaliman adalah salah satu sifat jelek manusia yang berlaku universal. Artinya siapa
saja manusianya berpotensi bersifat demikian. Dalam konteks berbangsa dan bernegara maka
kezhaliman bisa berwujud, ketidakadilan, otoritarianism, atau bahkan korupsi (corrupt). Pemimpin
pemerintahan yang tidak adil, otoriter dan korup berarti adalah pemimpin yang zhalim. Ia
menzhalimi rakyatnya, oleh karena itu ia harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan rakyat
yang memilihnya. Bagaimana wujud pertanggungjawabannya tersebut, tentu sesuai dengan tatanan
hukum dan konstitusi yang berlaku dalam negara tersebut. Inilah subtansi dari konsep demokrasi
yang berlaku secara umum pada zaman sekarang.
Di sinilah kira-kira apa yang maksud dengan kritikan Muhammad Iqbal terahadap
demokrasi di Barat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu bahwa inti kritik Muhammad
Iqbal terhadap demokrasi Barat, seperti dikutip Fazlul Rahman, adalah bahwa masyarakat
demokratis di Barat itu cenderung mengarah kepada materialisme sehingga dapat dikatakan bahwa
rata-rata orang Barat tidak memiliki pandangan tentang tatanan sosial-moral yang lebih tinggi.
Dengan demikian M. Iqbal menolak demokrasi Barat lebih disebabkan oleh tidak adanya perhatian
mereka terhadap prinsip etika dan nilai spiritual pada sistem itu bukan pada bentuk-bentuk dan
proses-proses dari sistem itu.
Sementara itu, ajaran syûra dalam Islam mengajarkan bahwa para penguasa, pada
hakekatnya, di satu sisi, “diangkat” dan diberi kekuasan oleh Allah dalam satu ikatan yang disebut
dengan “perjanjian ilahi” (al-„Ahdu al-Ilahiy), seperti yang telah disebutkan di atas. Di sisi lain, ia
diangkat dan diberi kekuasaan oleh anggota masyarakat dengan satu ikatan perjanjian pula. Ikatan
dan perjanjian itu dalam terminologi agama biasa disebut dengan “bai‟ah”, dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Oleh karenanya sebagai pemegang janji dari Tuhan –yang dalam istilah agama biasa
20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1994), 158-159
21
Artinya: “Sesungguhnya Aku akan mengangkatmu menjadi Imam (pemimpin) bagi manusia. Ibrahim berkata; saya
bermohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagian keturunanku, Allah berfirman, perjanjian-Ku
tidak akan menyentuh orang-orang yang zhalim.
22
Tafsir Al-Thabari, juz. I, h. 530
238
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
disebut dengan pemikul amânah– maka penguasa tersebut wajib melaksanakan atau menunaikan
janji atau amanahnya tersebut dengan baik. Karena “ikatan perjanjian” yang ia buat pada hakekat
dilakukan dalam dua jalur yaitu ikatan perjanjian kepada masyarakat dan sekaligus juga kepada
Tuhan. Maka bentuk pertanggungjawabannya pun berlaku dua arah yaitu pertanggungjawaban
kepada masyarakat dan juga kepada Tuhan. Kalau amanah ditunaikannya dengan baik, artinya, ia
berlaku adil, jujur, bijaksana dan tidak menzhalimi rakyatnya maka hasilnya akan baik pula.
Mungkin saja ia akan dipuja dan dipuji, diberi gelar kehormatan sebagai “bapak bangsa”, “bapak
pembangunan” atau apalah namanya. Jasanya akan selalu diingat dan dicatat dengan tinta emas
sebagai pemimpin yang baik dan bahkan mungkin namanya akan dikenang sepanjang masa meski
ia telah tiada.
Sebaliknya apabila amanah tidak ditunaikan dengan baik, dalam arti ia bertindak otoriter,
tidak adil, tiran dan menzhalimi rakyat maka akan berlaku atasnya “azab”. Azab tersebut boleh jadi
berlaku di dunia dan kasat mata, seperti ia dikecam sebagai pemimpin yang tidak adil, korup,
otoriter dan bahkan dicampakkan keluar atau dihukum gantung oleh masyarakatnya, yang lebih
menyedihkan lagi kecaman-kecaman tersebut tidak saja dialamatkan pada dirinya dan berlaku
sepanjang hanyatnya tapi juga bagi anak dan cucunya. Sedangkan di akherat kelak ia pasti dituntut
Tuhan dengan balasan yang setimpal sesuai kezhaliman yang dilakukannya di atas dunia.
Perbedaan yang mungkin dapat dideteksi antara syûra dan demokrasi adalah menyangkut
persoalan dan permasalahan yang akan dibahas. Dalam demokrasi semua persolan apa pun dapat
dibahas dan diputuskan. Tidak demikian hal dalam syûra yang diajarkan Islam. Permasalahan yang
telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti –seperti masalah ibadah– tidak
diperkenankan untuk dibahas dan dimusyawarahkan. Ia mesti diterima dengan sikap tunduk dan
patuh (sam‟an wa thâ‟atan). Di samping itu dalam syûra diajarkan bahwa semua hasil keputusan
musyawarah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Ilahi.
E. Kesimpulan
Syura dan demokrasi adalah konsep yang lahir dari historis, cultural, dan structural yang
berbeda. Secara umum kedua konsep ini sama dan baik untuk mengatur interaksi manusia dengan
sesamanya. Kalau pun terdapat perbedaan maka perbedaan itu lebih disebabkan latar belakang
pemahaman dari masing-masing orang yang hendak memahaminya. Dan seperti yang saya
sampaikan tadi, boleh jadi perbedaan ini disebabkan latar belakang historis dari sumber kedua
konsep tadi. Misalnya kalangan Islam melihat bahwa konsep syura bersumber dari kitab suci al-
Qur’an dan tradisi Nabi Muhammad SAW.. sementara konsep demokrasi lahir dari pengalaman
Barat mencari identitas diri dalam berbangsa dan bernegara. Kalau demikian hal maka kesimpulan
dari perbandingan ini adalah kedua konsep ini “serupa tapi tak sama”.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Mathba’ah al-Nashr, 1956)
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (terj. The Political Language of Islam, oleh Ihsan Ali Fauzi),
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1989)
Departemen Pendikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1990)
Fazlur Rahman, Prinsip-prinsip Syura dan Peranan Ulama Dalam Islam, (ed), Muntaz
Muhammad, Bandung: Mizan 1994)
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995)
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975)
Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990)
239
ISSN: 2443-0919 JIA/Desember 2016/Th.17/Nomor 2
240