Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/303223886

Identifikasi siswa beresiko mengalami kesulitan belajar spesifik


di taman kanak-kanak

Article · January 2009

CITATIONS READS
0 357

1 author:

Adriatik Ivanti
Universitas Pembangunan Jaya
13 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Gambaran Student Proximal Achievement Outcome Pada Mahsiswa Universitas “XXX” yang Berlatar Belakang Pendidikan Sekolah
Menengah Homeschooling View project

All content following this page was uploaded by Adriatik Ivanti on 19 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


IDENTIFIKASI SISWA BERESIKO MENGALAMI
KESULITAN BELAJAR SPESIFIK
DI TAMAN KANAK-KANAK

Adriatik Ivanti

Abstract
Early childhood stage is very critical. In this stage, children learn a lot of things and
gain experiences in an extraordinary pace. Therefore, many concerned-parents send
their young children to school earlier than their cohorts in the past. Unfortunately,
finding the right school is very cumbersome for those parents. There are too many
school choices, ranging from teaching methods to learning approaches. For instance,
one kindergarten emphasizes on academic substance, while the others introduce the
learning-by-playing method. Though there are some negative impacts of school
institution that focuses in academicals aspect, on the other hand there are also some
advantages that can be taken from that kind of learning method. One of the
advantages of kindergarten that focuses in reading, writing and spelling
(academically) is that both teachers and parents can early identify the symptoms of
specific learning abilities. Those symptoms can also be early recognized by if both
teachers and parent posses well understanding in regard of their children learning
characteristic as well as aware of children unusual or abnormal learning behaviour.
Early intervention by parents will help children to catch up their developmental lag.

Keywords: specific learning disabilities, specific learning disabilities identification at


kindergarten.

Pendahuluan
Saat ini, cukup banyak anak-anak yang berusia dua sampai lima
tahun yang sudah disekolahkan oleh orang tuanya. Fenomena yang terjadi
ini berkaitan erat dengan peningkatan jumlah wanita bekerja di sektor-
sektor industri maupun sektor pekerjaan lainnya (Berk, 2005). Meskipun
bekerja, para wanita tersebut tetap berusaha memberikan stimulasi yang
terbaik bagi anak-anaknya dengan cara menyekolahkan mereka. Dengan
demikian, kegiatan stimulasi yang biasa diberikan ibu untuk mengisi waktu
luang anak di pagi hari , tetap dapat diberikan di sekolah.
Terdapat berbagai macam bentuk atau program pendidikan anak
usia dini. Salah satunya adalah program yang mengedepankan siswa
sebagai pusat belajar, yang disebut sebagai child centre program (Berk,
2005). Dalam program ini, para siswa dibiarkan untuk memilih sendiri
aktivitas yang akan dilakukan di kelas dan sisa waktunya digunakan untuk
bermain. Di lain pihak, ada program yang menekankan bidang akademik,
seperti belajar membaca, menulis, dan berhitung. Guru pada program ini
menekankan belajar huruf, angka, warna, bentuk geometri, dan
kemampuan akademik lainnya (Berk, 2005).
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

Taman kanak-kanak yang menekankan program akademik cukup


banyak dijumpai di Jakarta. Hal ini dikarenakan adanya beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi ketika mendaftar di SD, seperti siswa
diharuskan untuk sudah dapat membaca dan menulis. Namun, para guru
melaporkan bahwa siswa-siswa yang mendapatkan program akademik di
TK, biasanya menampilkan perilaku stres, kurang percaya diri, lebih sering
menghindari tugas-tugas yang sulit, dan memiliki perkembangan yang
lambat dalam kemampuan bahasa, akademik, motorik, dan sosial pada
akhir tahun sekolah (Marcon, Stipek, dalam Berk, 2005).
Namun sebenarnya terdapat manfaat dari kegiatan tersebut, selain
tentunya anak-anak dapat membaca dan menulis. Dengan dikenalkan
kegiatan akademik di usia ini (3-5/6 tahun), maka orang tua maupun guru
dapat mendeteksi secara dini kemungkinan kesulitan belajar membaca dan
menulis pada anak-anak mereka – yang dikenal sebagai kesulitan belajar
spesifik/specific learning disabilities.
Dengan deteksi dini maka orang tua maupun guru dapat melakukan
intervensi secepatnya sehingga siswa mendapatkan tindakan yang tepat.
Terdapat bukti bahwa bila diberikan intervensi secepatnya, anak-anak
tersebut dapat mengejar ketertinggalannya dan dapat berkembang seperti
anak-anak lainnya (Lerner, 2000). Hal ini berkaitan erat dengan sifat dari
perkembangan otak manusia itu sendiri. Otak manusia mengalami
perkembangan yang pesat ketika individu berada pada rentang usia 0 – 5
tahun. Pada rentang waktu ini, simpul saraf di otak berkembang sangat
cepat dan saling berhubungan satu dengan lainnya (Huttenlocher dalam
Lerner, 2000). Pada anak-anak yang memiliki kesulitan belajar spesifik,
terdapat beberapa saraf otak yang memang belum terhubung atau lemah.
Dengan adanya intervensi atau memberikan stimulasi yang konsisten
terhadap salah satu kekurangan pada diri anak, maka diharapakan
kegiatan tersebut dapat membuat simpul-simpul saraf yang belum
terhubung atau lemah ini menjadi lebih berkembang dan kuat (Sherman,
2004). Dengan demikian, efek negatif dari kesulitan belajar spesifik tersebut
dapat diminimalisir.
Coleman & Dover, Taylor, dkk menunjukkan bahwa penilaian guru
TK memiliki tingkat peramalan yang akurat dalam meramalkan
kemungkinan siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah di masa yang
akan datang (Sumarlis, 2008). Hal ini berkaitan dengan waktu yang cukup
banyak yang dihabiskan guru untuk mendampingi siswa belajar kegiatan
pra-akademik di sekolah. Dengan adanya kegiatan ini, maka guru dapat
memberikan penilaian terhadap kesiapan pra-akademik siswa-siswanya,
seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selain itu, permasalahan siswa-
siswa ketika belajar pun dapat terlihat dan kemudian disampaikan kepada
pihak orang tua.

38
Adriatik Ivanti
Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di Taman Kanak-Kanak

Kajian Teoritis
A. Definisi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar terbagi menjadi dua golongan, yaitu kesulitan
belajar umum dan kesulitan belajar spesifik. Unsur pembeda dari kedua
klasifikasi ini terletak dari penyebab timbulnya kesulitan belajar.
Pada kesulitan belajar umum, didefinisikan sebagai kesulitan
mengikuti proses belajar mengajar di sekolah yang disebabkan oleh dua
faktor, yaitu faktor internal (yaitu faktor psikologis yang berasal dari dalam
diri siswa) dan faktor eksternal (yaitu faktor yang berasal dari luar diri
siswa) (Soekadji, 1989). Faktor internal berkaitan dengan kondisi psikologis
siswa, seperti motivasi, kebutuhan berprestasi, regulasi belajar, dan lain
lain. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungan
sosial/budaya yang ada di sekeliling siswa, seperti kondisi keluarga, sosial
ekonomi, fasilitas, dan lain lain.
Sedangkan, kesulitan belajar spesifik – yang dikenal sebagai specific
learning disabilities adalah sekelompok gangguan yang dapat menyebabkan
seseorang mengalami kesulitan dalam mengintrepretasikan apa yang
dilihat, didengar, dan menghubungkan informasi dari berbagai bagian otak
(Giulian dan Pierangela, 2007). Dengan adanya masalah ini, maka dapat
menyebabkan seseorang kesulitan melakukan kegiatan belajar spesifik,
seperti membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, pemahaman, dan
melakukan penghitungan aritmatik (Giulian dan Pierangela, 2007).
Definisi lainnya – yang digunakan sampai saat ini – adalah
gangguan pada salah satu atau lebih proses psikologis dasar yang
melibatkan kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, baik tertulis
atau verbal, sehingga menyebabkan seseorang kesulitan untuk berpikir,
mendengar, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau melakukan
penghitungan matematika, termasuk kondisi adanya gangguan persepsi,
kerusakan otak, disfungsi otak minimal, disleksia, dan gangguan bahasa.
Namun, kesulitan belajar ini bukan disebabkan karena adanya hambatan
visual, auditori, atau motorik yang disebabkan dari retardasi mental,
gangguan emosional, atau kekurangan stimulasi dari lingkungan, budaya,
maupun ekonomi (Giulian dan Pierangela, 2007).
Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang
mengalami kesulitan belajar spesifik merupakan siswa yang memiliki
inteligensi rata-rata bahkan di atas rata-rata namun mengalami kesulitan
belajar membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. Penyebab utamanya
adalah terdapat gangguan pada sinyal-sinyal di otak ketika pemrosesan
informasi sehingga menggangu proses tersebut. Dengan demikian, kondisi
kesulitan belajar merupakan gangguan neurologis, yaitu adanya
perberbedaan antara proses kerja dan struktur otak .

B. Prevalensi Anak Kesulitan Belajar


Di Amerika, didapatkan data bahwa 2.9 juta siswa diklasifikasikan
sebagai siswa yang memiliki kesulitan belajar spesifik dan mendapatkan

39
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

fasilitas pendidikan anak berkebutuhan khusus (Giulian dan Pierangela,


2007). Sedangkan di Indonesia, prevalensi kesulitan belajar di tingkat SD
sebesar 5-20% (Sumarlis, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Abdurrahman dan Ibrahim pada tahun 1994 menemukan sebanyak 16.52%
dari 3.215 siswa SD mengalami kesulitan belajar (Abdurrahman, 1999).
Kazuhiko menemukan bahwa perbandingan siswa laki-laki dan perempuan
yang memiliki kesulitan belajar adalah 4:1 sampai 7:1 (Abdurrahman, 1999).

C. Karakteristik Siswa yang Memiliki Kesulitan Belajar Spesifik


Berdasarkan pengalaman praktek penulis, didapatkan data bahwa
keluhan yang diceritakan oleh orang tua berkisar di hal-hal sebagai berikut;
kurang dapatnya anak berkonsentrasi; malas menulis; menolak bila diminta
untuk mencatat; tulisan yang tidak terbaca karena tidak ada spasi; tulisan
yang bercampur dengan huruf besar maupun kecil; ketinggalan huruf ketika
menulis; membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menulis; membaca
kata maupun huruf dengan terbalik-balik; sulit membedakan huruf b, d, p,
q, 6, 9; menebak kata ketika membaca kalimat; sulit mengingat arah kiri-
kanan, sulit mengingat bunyi huruf, sering salah mendengar kata/kalimat
yang didiktekan, dan lain lain.
Pada kenyataannya, ketika dilakukan pengukuran potensi
intelektual (IQ) pada para siswa tersebut didapatkan hasil potensi
intelektual mereka berfungsi pada golongan rata-rata sampai di atas rata-
rata (dengan skala inteligensi yang dikenal dengan nama tes Wechsler).
Dengan potensi demikian, sebenarnya para siswa tersebut diperkirakan
tidak akan mengalami kesulitan mengikuti proses belajar-mengajar di kelas
dan keluhan-keluhan orang tua di atas tidak muncul.
Keluhan para orang tua di atas senada dengan apa yang dijabarkan
oleh Clements (dalam Giulian dan Pierangela, 2007). Ia menuliskan sepuluh
karakteristik yang muncul pada siswa yang memiliki kesulitan belajar, yaitu
hiperaktivitas, gangguan persepsi-motor, ketidakstabilan emosi, masalah
koordinasi, gangguan perhatian, impulsif, gangguan kapasitas memori dan
berpikir, kesulitan akademik, kemiskinan bahasa, dan tanda-tanda
neurologis.
Kemudian karakteristik tersebut ditambahkan oleh Lerner (dalam
Giulian dan Pierangela, 2007) yaitu gangguan perhatian, kemampuan motor
yang buruk, kesulitan melakukan pembicaraan, gangguan pada proses
psikologis dan memprosesan informasi, kesulitan membaca, kesulitan
menulis, keterampilan sosial yang kurang, dan gangguan berhitung.
Karakteristik dan keluhan orang tua yang dijelaskan diatas
sebenarnya merupakan karakteristik yang dilihat secara nyata atau
dipandang bermasalah ketika para siswa tersebut berada di sekolah dasar,
khususnya antara kelas dua dan kelas tiga. Hal ini dikarenakan pelajaran di
kelas-kelas tersebut mulai kompleks dan membutuhkan kemampuan yang
lebih dari anak untuk membaca dan menulis. Biasanya, para orang tua baru
membawa anak-anak mereka ke ahli ketika anak-anak tersebut berada di
kelas dua dan kelas tiga ini. Namun, pada orang tua-orang tua yang minim
40
Adriatik Ivanti
Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di Taman Kanak-Kanak

informasi, mereka baru membawa anak-anaknya tersebut ketika berada di


kelas lima atau kelas enam atau bahkan bila sudah ”terancam” dikeluarkan
dari sekolah.
Dengan terlambatnya orang tua membawa anak mereka ke ahli,
maka semakin lambat pula perkembangan atau perbaikan dari kondisi anak
yang berkesulitan belajar tersebut. Sedikit banyak, hal ini dipengaruhi oleh
sudah matangnya dan menetapnya perkembangan saraf otak di usia sekolah
dasar ini (Lerner, 2000).
Keterlambatan orang tua untuk memeriksakan anak berkesulitan
belajar sebenarnya tidak perlu terjadi bila para orang tua sadar informasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan anak dan masalah-
masalah psikologis yang berkaitan dengan akademik.

D. Deteksi Dini Siswa Beresiko Kesulitan Belajar Spesifik


Pada kenyataannya, kesulitan belajar spesifik yang terlihat di kelas
dua dan kelas tiga tersebut dapat dianalogikan sebagai penyakit influenza
yang sering menyerang seseorang. Sebelum influenza itu sendiri menyerang,
biasanya terdapat gejala-gejala awal, seperti hidung tersumbat, tubuh pegal
linu, bersin berkesinambungan, sakit kepala, dan sebagainya. Begitu pun
dengan kesulitan belajar spesifik tersebut.
Terdapat tanda-tanda awal kesulitan belajar spesifik yang
sebenarnya dapat diidentifikasi dini oleh para orang tua dan guru – yaitu
ketika mereka berada pada rentang usia 0 – 5 tahun. Adapun tanda-tanda
tersebut meliputi (Lerner, 2000) :
1. Kemampuan motorik kasar
Kemampuan motorik kasar adalah kemampuan anak untuk dapat
mempergunakan otot-otot besarnya dalam beraktivitas, seperti
berjalan, melompat, berlari, melempar, menangkap, dan lain lain.
Dilaporkan bahwa siswa yang beresiko kesulitan belajar biasanya
kesulitan melakukan aktivitas yang banyak melibatkan otot besar.
Mereka terlambat tengkurap, duduk, tidak merangkak, terlambat
berjalan. Kalaupun sudah dapat berjalan, maka perilaku berjalan
yang ditampilkan terlihat kurang seimbang, sering jatuh, kikuk, dan
lain lain. Dengan adanya kondisi tersebut, orang tua maupun guru
TK sudah harus aware bila ada siswa-siswanya yang mengalami
keterlambatan motorik kasar.
Peran orang tua dalam hal deteksi dini yang berkaitan dengan
motorik kasar ini adalah melakukakan observasi terhadap sejarah
perkembangan motorik anak mereka sejak lahir – usia 1 tahun.
Orang tua wajib memperhatikan pada usia berapa anak mereka
dapat tengkurap, merayap, merangkak, duduk, berdiri, berjalan,
berlari, dan melompat. Bila usia tersebut dibandingkan dengan usia
normalnya anak-anak melakukan hal di atas tergolong terlambat,
maka orang tua sudah harus waspada terhadap berbagai
kemungkinan kesulitan belajar.

41
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

2. Kemampuan motorik halus


Kemampuan motorik halus melibatkan kegiatan yang menggunakan
otot kecil dan digunakan untuk menggerakan jari serta pergelangan
tangan, termasuk di dalamya koordinasi mata-tangan. Anak-anak
yang memiliki motorik halus yang kurang biasanya kesulitan dalam
belajar memakai baju sendiri, belajar makan, kesulitan belajar
memasangkan dan melepaskan kancing baju, dan kesulitan
menggunakan pensil atau krayon. Kesulitan tersebut
termanisfestasi ke dalam bentuk kesulitan bermain puzzle,
membangun balok, menggunting, menulis, dan lain lain.
3. Persepsi : visual, auditori, dan kinestetik.
Persepsi adalah proses mengenali dan menginterpretasikan
informasi-informasi dari luar yang masuk melalui panca indera.
Proses ini berkaitan erat dengan inteligensi individu dalam
memberikan arti terhadap informasi yang masuk melalui panca
indera tersebut. Persepsi ini berkaitan dengan konsep gestalt atau
keseluruhan. Konsep gestalt ini menyatakan bahwa individu dapat
memberi arti/makna terhadap dunia bila mereka dapat
mengorganisasikan informasi dari lingkungan secara keseluruhan.
Bila tidak, maka informasi tersebut tidak bermakna dan tidak dapat
dimengerti. Kegagalan melakukan persepsi biasanya ditemukan
pada siswa yang berkesulitan belajar spesifik.
Informasi dari lingkungan masuk melalui lima panca indera.
Namun, pada siswa berkesulitan belajar ditemukan bahwa persepsi
yang datang melalui pengelihatan (visual), pendengaran (audiotori),
dan perabaan/gerakan (taktil-kinestetik) merupakan sumber
masalah siswa tersebut.
Bila siswa-siswa pra sekolah atau TK mengalami masalah pada
persepsi visual, maka perilaku yang tampak sulit membedakan
bentuk huruf, sulit membedakan angka, sulit mencari huruf-huruf
yang sama, mirror-writing, dan sebagainya.
Sedangkan anak-anak pra sekolah atau TK yang mengalami
masalah para persepsi auditori biasanya mereka kesulitan
membedakan bunyi huruf, sulit menggabungkan bunyi huruf ketika
belajar membaca, kesulitan mengingat hal-hal yang disampaikan
melalui bahasa, kesulitan mengingat arahan atau instruksi yang
memiliki tahapan, dan sebagainya.
Pada siswa-siswa pra sekolah yang mengalami gangguan persepsi
taktil-kinestetik biasanya kesulitan membedakan halus-kasar, sulit
mengidentifikasi jari-jarinya ketika dipegang oleh individu lain, dan
sebagainya.
Bila menemukan karakteristik di atas, diharapkan para guru atau
orang tua sudah harus mewaspadai kondisi tersebut dan langsung
memeriksakan dengan segera.

42
Adriatik Ivanti
Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di Taman Kanak-Kanak

4. Kemampuan komunikasi dua arah dan bahasa


Kesulitan untuk mengikuti pembicaraan, memahami, dan
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dua arah merupakan
tanda lain dari kesulitan belajar spesifik. Biasanya, mereka
kesulitan untuk memahami instruksi verbal, kesulitan memulai
percakapan, menjelaskan atau menceritakan pengalaman, dan
berkomunikasi dua arah dengan orang lain.
Kesulitan berkomunikasi ini dapat terlihat ketika siswa-siswa
tersebut berada pada rentang usia dua atau tiga tahun, dimana
biasanya siswa-siswa normal di usia tersebut sudah dapat berbicara
dan berkomunikasi. Gangguan komunikasi tersebut meliputi
gangguan sadar bunyi suara, terlambat bicara, gangguan pada
struktur kalimat ketika berbicara, kemiskinan kosa kata, dan
kemampuan yang kurang dalam memahami bahasa atau
pembicaraan orang lain.
Bila tidak ditangani dengan segera, ketidakmampuan ini akan terus
berlanjut sampai mereka masuk usia sekolah dasar.
Ketidakmampuan berkomunikasi ini akan menyebabkan mereka
kesulitan untuk memahami kalimat – baik yang diutarakan maupun
yang tertulis, yang banyak digunakan dalam proses belajar
mengajar di sekolah – dan mempengaruhi kemampuan membaca,
menulis, serta mengeja.
Siswa-siswa pra sekolah atau TK yang mengalami keterlambatan
bicara ini biasanya dapat mengejar ketertinggalannya di kemudian
hari, namun dilaporkan mereka mengalami kesulitan belajar
membaca ketika di SD.
5. Masalah rentang perhatian.
Beberapa siswa-siswa pra sekolah atau TK yang mengalami
kesulitan belajar, dilaporkan pula mengalami masalah mudah
teralih perhatian. Maksudnya adalah rentang perhatian mereka
sangat pendek sehingga tugas-tugas di sekolah tidak selesai
dikerjakan.
Gangguan perhatian ini meliputi perilaku hiperaktif, mudah teralih
perhatian, dan impulsif. Siswa yang hiperaktif, perilaku mereka
didominasi oleh aktivitas motor yang berlebihan, tidak dapat duduk
dengan tenang, berlari-lari tanpa tujuan, bergerak secara konstan di
kelas atau bahkan ke luar dari kelas, dan banyak membuat suara-
suara.
Siswa yang mengalami masalah mudah teralih perhatian, biasanya
mereka kesulitan konsentrasi menyelesaikan tugas, mudah
memalingkan wajah bila ada suara-suara di sekeliling kelas, cepat
berpindah antara satu kegiatan ke kegiatan lain.
Sedangkan, siswa yang impulsif menunjukkan perilaku tidak dapat
mengkontrol respon yang mereka berikan, bertindak sebelum
berpikir sehingga mereka tidak memikirkan konsekuensi atas

43
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

perilaku yang mereka munculkan, spontan menjawab pertanyaan,


dan tidak sabar ketika mengantri.

E. Tahapan Proses Identifikasi Dini dan Asesmen


Terdapat empat langkah terpisah namun berkaitan dalam proses
identifikasi dan asesmen siswa-siswa pra sekolah atau TK, yaitu (Lerner,
2000) :
1. Child-find
Tahapan ini merujuk pada cara yang digunakan untuk menemukan
siswa-siswa yang beresiko mengalami kesulitan belajar, seperti
memasang poster, iklan, pengumuman mengenai kesulitan belajar
spesifik yang dipasang di pra sekolah atau TK. Hal ini dilakukan
agar para orang tua, guru, dan lingkungan menyadari adanya
bentuk gangguan belajar. Dengan adanya informasi-informasi yang
ditempel di tempat umum, diharapkan orang tua atau guru waspada
terhadap kemungkinan tersebut.
2. Screening
Setelah ditemukan, selanjutkan dilakukan pemeriksaan terhadap
siswa yang diduga memiliki kesulitan belajar spesifik ini.
Pemeriksaan ini meliputi kemampuan penglihatan dan pendengaran
siswa, kemampuan bicara dan bahasa, kemampuan motorik,
kemandirian, kematangan sosial-emosional, dan perkembangan
kognitif siswa. Untuk melakukan hal ini, biasanya sekolah
menggunakan sistem wawancara dan pengisian kuesioner kepada
orang tua yang memiliki anak beresiko kesulitan belajar.
Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara maupun kuesioner dibuat
untuk mendeteksi secara cepat resiko kesulitan belajar ini.
3. Diagnosing
Dalam tahapan ini sudah melibatkan ketentuan/diagnosa terhadap
kasus yang dihadapi, seperti apakah kasus yang dihadapi
merupakan klasifikasi dari kesulitan belajar spesifik atau tidak. Jika
ternyata merupakan kasus kesulitan belajar spesifik dapat
ditentukan pula area belajar spesifik mana yang bermasalah dan
yang dapat dijadikan kekuatan, apakah pembuatan program
pendidikan diperlukan atau tidak, dan lain lain.
4. Evaluating
Tahap terakhir ini digunakan khusus untuk mengukur
perkembangan siswa, seperti menentukan apakah siswa yang
bersangkutan memerlukan sekolah khusus atau dapat bersekolah di
sekolah umum namun dengan program pendidikan individual, atau
menyiapkan program transisi untuk dapat bersekolah di sekolah
umum.

44
Adriatik Ivanti
Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di Taman Kanak-Kanak

Diskusi
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas tergambar bahwa kesulitan
belajar spesifik tidak muncul secara tiba-tiba di kelas dua atau tiga SD.
Namun, kesulitan belajar tersebut sudah memberikan ”tanda-tanda” awal
ketika individu yang bersangkutan berada pada rentang usia 0 – 5 tahun.
Dalam makalah ini, khususnya ketika mereka di taman kanak-kanak – usia
4 sampai 6 tahun – yang mengedepankan program akademik.
Proses identifikasi seperti ini membutuhkan sensitivitas orang tua
dan para pengasuh. Peran mereka berada di tahap pertama dari proses
identifikasi dan asesmen. Hal ini dikarenakan mereka merupakan ujung
tombak penemuan siswa beresiko, maka pengetahuan yang memadai
mengenai tumbuh kembang anak, ”trend” penyakit-penyakit terkini dari
bidang pendidikan, psikologi, maupun kedokteran, sangat diperlukan oleh
mereka. Pengetahuan ini dapat membantu mereka ”menangkap”
keganjilan/keanehan yang dialami oleh siswa-siswa secara dini.
Selain itu, hal yang harus diperhatikan– mengingat guru dan orang
tua merupakan orang awam – adalah mendengarkan hati nurani dan feeling
yang mereka rasakan ketika melihat anak atau anak didiknya belajar.
Misal: mereka menemukan secara konsisten siswa-siswa di TK B yang
menulis mirror-writing, kesulitan mengingat bunyi huruf, bengong di kelas,
malas menulis, dan sebagainya. Orang tua atau guru diharapkan tidak
mengabaikan perasaan yang mereka rasakan ketika melihat keganjilan
tersebut. Dengan mengabaikan perasaan tersebut, dapat ”menahan” mereka
untuk segera mencari pertolongan bagi anak-anaknya. Semakin dini orang
tua atau guru menyadari, semakin dini mereka dapat memberikan
intervensi untuk membantu anak-anak mereka tumbuh dan berkembang
seperti anak-anak normal lainnya.
Namun, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh
penulis – sebagai profesional yang berhubungan dengan screening dan
diagnosing bagi siswa-siswa pra sekolah atau usia TK ini. Permasalahan ini
berkaitan erat dengan sifat dari perkembangan manusia itu sendiri. Sudah
sangat jamak terdengar mengenai slogan ”anak-anak tumbuh dan
berkembang secara berbeda, mereka memiliki waktunya sendiri dalam
tumbuh dan berkembang”. Bila ditarik esensi utama dari kalimat tersebut
adalah kematangan dari anak-anak sangat tergantung dengan waktu yang
sudah digariskan kepada mereka sendiri. Misal, anak A sudah dapat
berjalan ketika usia 10 bulan, belum tentu anak B akan berjalan di usia
tersebut juga. Mereka memiliki waktu-waktunya sendiri.
Dalam ilmu Psikologi Perkembangan, memang sudah terdapat
milestone perkembangan di masing-masing rentang kehidupan manusia,
baik dalam perkembangan motorik, perkembangan kognitif, dan
perkembangan sosial emosional. Sudah terdapat batasan-batasan khusus
pula kapan seorang anak dapat berjalan, dapat tersenyum, dapat bermain,
dapat belajar membaca/menulis, dan sebagainya. Walaupun demikian, tidak
terdapat laporan resmi secara detil mengenai pada usia berapa anak dapat

45
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

menulis tidak terbalik atau rentang konsentrasi menjadi lebih panjang.


Dengan demikian, kendala screening dan diagnosing terletak pada
keputusan untuk menentukan apakah perilaku yang dilaporkan atau
dikeluhkan oleh orang tua merupakan developmental lag atau tanda khusus
dari disorder yang ”akan” mereka miliki, mengingat usia mereka masih
sangat muda. Misal: siswa di TK A yang berusia kurang lebih empat atau
lima tahun kerap menunjukkan mirror-writing dan sering bengong di kelas,
sedangkan teman-teman sekelasnya tidak menunjukkan hal tersebut. Kasus
lainnya bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya terdapat satu
anak di TK B yang selalu dibimbing individual ketika pelajaran
membaca/mengeja dan menulis. Pada awalnya, keputusan mengenai apakah
perilaku ini merupakan akibat dari proses kematangan yang belum
sempurna atau sebenarnya merupakan tanda khusus dari disorder
dirasakan sangat sulit untuk dibuat. Dengan demikian, kehatian-hatian
untuk memberikan diagnosa sangat diperlukan. Bila diagnosa salah
diberikan, maka akan menyebabkan labeling yang salah di sepanjang
rentang kehidupan anak tersebut.
Dengan demikian, untuk mempermudah penegakkan diagnosa,
sangat membantu bila para profesional melihat data siswa yang meliputi
sejarah kelahiran anak, riwayat penyakit ibu dan anak, sejarah
perkembangan motorik dan perkembangan bahasa siswa. Selain itu, dalam
proses assessment, observasi perilaku anak dengan kegiatan bermain juga
diperlukan. Kegiatan ini dapat membantu profesional untuk melihat
perkembangan motorik – kasar atau halus – dari anak tersebut. Dengan
menggabungkan seluruh data di atas, hal ini juga membantu para
profesional untuk menentukan apakah siswa tersebut beresiko atau tidak
terhadap kesulitan belajar spesifik.
Selain itu, memang sangat dibutuhkan banyak kasus/klien dan
banyak waktu belajar untuk para profesional yang berkecimpung dalam
asesmen siswa-siswa usia TK ini. Dengan seringnya bertemu banyak
kasus/klien, sensitivitas akan mudah sekali muncul, bahkan ketika pertama
kali melihat klien. Dengan perkataan lain, memang sangat dibutuhkan ”jam
terbang” dalam kegiatan praktek. Selain itu, dibutuhkan pula ahli lain yang
sudah terlebih dahulu berkecimpung dalam bidang ini untuk melakukan
supervisi para profesional yang baru.
Masalah lainnya yang dihadapi adalah kurangnya alat tes yang
terstandardisasi – bila dibandingkan di negara barat – yang dapat
digunakan untuk membantu deteksi masalah, terutama untuk wilayah
Indonesia. Kalaupun ada, biayanya sangat mahal karena harus membeli
dari luar negeri. Dengan demikian, penulis berusaha untuk
mengoptimalkan alat tes yang ada, yaitu alat tes inteligensi individual dan
beberapa alat bantu lembar observasi perilaku anak, untuk membantu
deteksi masalah spesifik. Alat tes ini dipelajari lebih mendalam sehingga
dapat digunakan untuk mendeteksi atau profiling siswa-siswa yang beresiko
mengalami kesulitan belajar spesifik. Untuk siswa-siswa yang lebih muda,

46
Adriatik Ivanti
Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di Taman Kanak-Kanak

screening lebih banyak digunakan dengan melakukan observasi kualitatif


serta wawancara dengan orang tua.

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala
kesulitan belajar sudah dapat dikenali sejak dini, terutama di Taman
Kanak-Kanak yang sudah banyak mengajarkan kemampuan pra-akademik.
Hal ini sangat tergantung dari kesensitifan orang tua dalam mengasuh serta
mendidik, dan banyaknya informasi penting mengenai tumbuh kembang
anak serta penyakit-penyakit psikologi yang diketahui. Selain itu peran
guru TK juga sangat dibutuhkan untuk deteksi dini ini karena penilaian
guru TK memiliki tingkat peramalan yang akurat dalam meramalkan
kemungkinan siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah di masa yang
akan datang. Dengan deteksi dini, semakin cepat diberikan penanganan
khusus untuk membantu siswa-siswa ini berkembang selayaknya anak
normal lainnya di usia mereka tersebut.

B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, dapat disarankan beberapa hal agar
kondisi di atas dapat diatas dengan baik. Adapun sarannya adalah sebagai
berikut :
1. Bagi profesi psikolog yang berkecimpung dalam bidang kesulitan
belajar spesifik diharapkan mulai mensosialisasikan mengenai
kesulitan belajar spesifik ini. Mulai, dari membuat poster atau flyer
yang disebarkan di sekolah-sekolah taman kanak-kanak sampai
kepada penyuluhan-penyuluhan terhadap guru-guru TK. Dengan
demikian, para guru TK dapat mulai belajar mengenali hal tersebut
dan diharapkan dapat mengenali secara dini gejala tersebut bila
terjadi pada anak didiknya.
2. Bagi lembaga yang berkecimpung dalam bidang kesulitan belajar
spesifik, diharapkan dapat bekerja sama dengan LSM yang peduli
dengan masalah kesulitan belajar spesifik ini. Dengan demikian,
bantuan dana untuk menyebarluaskan informasi dan penyuluhan
terhadap guru-guru dapat dioptimalkan.
3. Bagi pemerintah, diharapkan mulai memberikan perhatian serius
terhadap masalah kesulitan belajar spesifik ini. Hal ini dapat
dilakukan dengan mulai menambah jumlah sekolah kesulitan
belajar khusus agar masyarakat luas yang membutuhkan bantuan
dapat menjangkau fasilitas tersebut dengan mudah, mengingat saat
ini sekolah yang mengkhususkan diri pada kesulitan belajar spesifik
hanya ada satu sekolah di Jakarta.

47
Jurnal Universitas Paramadina Vol.6 No. 1, April 2009: 37-48

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta :


Rineka Cipta.

Baumel, Jan. Learning disabilities in children-an overview,


http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Berk, Laura E. 2005. Infants, children, and adolescents. 5th ed. USA: Pearson
Education, Inc

Hall, Susan. Is it a reading disorder or developmental lag?,


http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Harwell, Joan M. 2001. Complete learning disabilities handbook: ready-to-use


strategies & activities for teaching students with learning disabilities. 2nd ed.
San Fransisco: John Willey & Sons, Inc.

Lerner, Janet. 2000. Learning disabilities: theory, diagnosis, and teaching strategies.
8th ed. USA: Houghton Mifflin Company.

Pierangelo, R. , Giulian, G. 2008. Learning disabilities: A practical approach to


foundation, assessment, diagnosis, and teaching.

Shaywitz, Sally. Should my child be evaluated for dyslexia?,


http://www.greatschool.net, October 14, 2008

Sherman, Gordon. 2004. What is the environment’s effect on reading problem,


http://schwabLearning.org, August 16, 2004.

Sukadji, Soetarlinah. 1989. Kesulitan belajar. Kumpulan naskah kuliah. Depok:


Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia.

Sumarlis, Vitriani. 2008. Deteksi dini resiko kesulitan belajar, Makalah yang
disampaikan pada seminar dan workshop Mendidik dan mempersiapkan
masa depan yang lebih baik bagi anak-anak berkesulitan belajar. Jakarta :
24-25 Mei 2008.

48

View publication stats

You might also like