Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Chrysogonus Siddha Malilang dan Andrian Liem, Penanaman Nilai dan Moral pada Anak

Penanaman Nilai dan Moral pada Anak sebagai Modal Sociopreneur


Melalui Mendongeng

Chrysogonus Siddha Malilang


Pusat Pendidikan Holistik, Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Tanjung Duren Raya Nomor 4 Jakarta 11470
E-mail: chrysogonus.siddha@ukrida.ac.id

Andrian Liem
Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra
UC Town, Citraland Surabaya 60219
Email: andrian.liem@ciputra.ac.id

Abstract: In the developing countries like Indonesia, poverty-related problems –iliteracy and health
problems as well as socio-economic segregation– are still commonly found. Poverty manifests in
various forms and becomes the core of many social problems like unemployement. The unequal
economic distribution, social diversity, various political problems, and the archipelagic nature of
country may trigger the latent social conflicts. One way to overcome this explosive conflict is to
encourage the emergence of sociopreneur. A distinguishing feature of social entrepreneur is social
sensitivity and community awareness –commonly referred to as altruism. An altruistic personality
possesses five characteristics; high level of empathy, believing in a fair world, social responsibility,
internal locus of control, and low egocentrism. It has been proven that story telling is effective in
conveying values and moralities towards children. Children learn to be patient, imaginative, and
utilizing their emotion while listening to the stories. This paper also explore five stages of early
childhood to increase the efficacy of story telling in value education, such as reflective thinking and
discussion, comparing similar stories, responding through drawing and writing, dramatization, and
oral narration. Thus, this elaboration is expected to give better portrayal in effectively utilizing stories
for the value education in children to further encourage the birth of sociopreneurs in the future.

Keywords: stories, character, value, altruism, sociopreneur

Abstrak: Di negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak permasalahan terkait kemiskinan, misalnya
buta huruf, masalah kesehatan, serta kesenjangan sosial-ekonomi. Kemiskinan menjalar dalam beragam
bentuk dan menjadi inti dari permasalahan sosial. Ketidakmerataan ekonomi, keberagaman dalam
masyarakat, berbagai aspek politik, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar dapat
menjadi sumber konflik sosial laten. Salah satu cara untuk menghadapinya adalah mendorong lahirnya
sociopreneur. Salah satu karakter yang membedakan antara business entrepreneur dan social entre-
preneur adalah kepedulian sosial dan kesadaran komunitas, disebut dengan altruisme. Pribadi altruistik
memiliki lima karakteristik, yaitu empati yang tinggi, mempercayai dunia yang adil, tanggung jawab
sosial, locus of control internal, dan egosentrisme rendah. Telah terbukti bahwa mendongeng efektif
dalam menanamkan nilai dan moral pada anak-anak. Anak belajar untuk bersabar, berimajinasi, dan
menggunakan emosi saat mendengar dongeng. Dalam paparan ini dijelaskan lima tahap untuk masa
kanak-kanak awal agar mendongeng efektif untuk menanamkan nilai dan moral pada anak, yaitu
berpikir reflektif dan diskusi, membandingkan beberapa dongeng serupa, memberi respon dengan
menggambar dan menulis, dramatisasi, dan narasi oral. Oleh karena itu, melalui paparan ini, para
pendidik diharapkan mampu memanfaatkan dongeng secara efektif untuk menanamkan nilai dan
moral pada anak-anak sebagai modal mendorong lahirnya para sociopreneur.

Kata-kata kunci: dongeng, karakter, nilai, altruisme, sociopreneur

Zahra et al. (2008) menyatakan bahwa di yang buta huruf, memiliki masalah kesehatan,
negara berkembang masih banyak penduduk dan hidup dalam kemiskinan. Kesenjangan

13 13
Jurnal Entrepreneur dan Entrepreneurship, Volume 2, Nomor 1 dan 2, Maret 2013

sosial-ekonomi juga mudah dijumpai pada syarakat. Untuk menghadapi konflik sosial
negara berkembang, termasuk di Indonesia. laten dan globalisasi tidak bisa menggunakan
Permasalahan kesenjangan tersebut harus pendekatan budaya kapitalis yang hanya me-
segera diatasi karena tingkat kelahiran di negara mentingkan keuntungan maksimal daripada
berkembang masih cukup tinggi dibanding pembangunan bangsa. Usaha yang hanya fokus
dengan negara maju (World Bank dalam Zahra untuk mengejar keuntungan, lambat laun akan
et al., 2008). membawa perpecahan sosial. Oleh karena itu,
Konsekuensi dari kemiskinan akan men- Mustapha et al. (2008) mendorong lahirnya
jalar dalam beragam bentuk dan menjadi inti sociopreneur di negara-negara berkembang un-
dari permasalahan sosial. Beberapa contoh dari tuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan
masalah sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari membangun bangsa.
kemiskinan adalah kelaparan, tingkat mortalitas
yang tinggi pada anak-anak, tingkat harapan
hidup yang pendek, dan kriminalitas (Zahra SOCIOPRENEUR
et al. 2008). Ciputra (2008) menambahkan Sociopreneur merupakan penggabungan
bahwa kemiskinan juga dapat berasal dari dari dua buah kata, yaitu social dan entrepre-
pengangguran. Kemiskinan dapat mendorong neur. Secara ringkas, Praszkier et al. (2009)
terjadinya masalah sosial hingga munculnya mendefinisikan sociopreneur sebagai individu
bencana sosial. Oleh karena itu jika tidak ada yang mampu membuat perubahan sosial dalam
tindak lanjut terhadap masalah pengangguran skala makro melalui pelibatan masyarakat akar
dan kemiskinan maka bencana sosial tersebut rumput. Martin dan Osberg (dalam Praszkier
akan menjadi kenyataan. Diperlukan usaha et al., 2009) menambahkan bahwa socio-
secepatnya untuk meningkatkan kesejahteraan preneur berbeda dengan aktivis sosial. Efek
sosial di negara berkembang (Zahra et al., perubahan sosial yang dilakukan oleh socio-
2008). preneur bersifat jangka panjang, stabil, dan
Hadi (2009) menjelaskan bahwa pertum- mendalam, sementara aktivis sosial hanya ber-
buhan ekonomi tergantung pada upaya pem- juang di tingkat permukaan saja.
berdayaan ekonomi dan interaksi antara peran- Sociopreneur memiliki potensi untuk me-
an kelembagaan untuk mengatasi konflik sosial nyelesaikan permasalahan sosial yang timbul
yang terjadi. Peranan kelembagaan dapat dije- di negara berkembang (Mustapha et al.,
laskan antara lain dengan eksistensi birokrasi 2008). Mereka berperan sebagai agen peru-
yang bersih, bebas korupsi, dan pranata hukum bahan sosial dengan mengambil peluang usaha
yang berwibawa dengan penegakan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, men-
yang konsisten. Sementara konflik sosial laten cari pendekatan inovatif, dan mendiseminasi-
dapat berasal dari ketidakmerataan ekonomi, kan pengetahuannya tersebut. Sociopreneur
keberagaman dalam masyarakat, berbagai aspek berusaha agar usaha yang dilakukannya terus
politik, serta kondisi geografis negara kepu- berjalan demi nilai-nilai sosial daripada me-
lauan yang tersebar. ngejar keuntungan semata (Brooks, 2009; Ro-
Mustapha et al. (2008) menekankan pen- berts & Woods, 2005; Santos, 2009; Tan et
tingnya kohesi dan keadilan sosial dalam ma- al., 2005).

14
Chrysogonus Siddha Malilang dan Andrian Liem, Penanaman Nilai dan Moral pada Anak

ALTRUISME ngaruhi dua pertiga perbedaan empati afektif.


Menurut Brooks (2009), salah satu karak- Sementara faktor-faktor genetis berkontribusi
ter yang membedakan antara business entrepre- hanya sekitar sepertiga (Baron & Byrne, 2003).
neur dan social entrepreneur adalah kepedu- Batson (dalam Santrock, 2002) menjelas-
lian sosial dan kesadaran komunitas. Socio- kan bahwa keadaan-keadaan yang paling
preneur bersedia mencurahkan tenaga dan mungkin melibatkan altruisme adalah emosi
potensi mereka untuk menyejahterakan komu- yang empatis terhadap seseorang yang menga-
nitas. Terkait dengan hal tersebut, salah satu lami kebutuhan atau suatu relasi yang erat
mitos yang beredar adalah “sociopreneurs are antara dermawan dan penerima derma. Orang
born, not made.” Kenyataannya adalah bebe- yang berempati secara afektif merasakan apa
rapa orang secara alami memang cenderung yang orang lain rasakan (Darley dalam Baron
memiliki karakter sociopreneur. Walau demi- & Byrne, 2003), sedangkan secara kognitif
kian, karakteristik tersebut dapat dibentuk pada orang yang berempati memahami apa yang
semua orang. Karakter yang dimaksud me- orang lain rasakan dan mengapa (Azar dalam
nurut Tan et al. (2005) adalah altruisme. Baron & Byrne, 2003). Santrock (2002) men-
Altruisme merupakan tingkah laku yang deskripsikan lima karakteristik kepribadian al-
merefleksikan pertimbangan untuk tidak me- truistik yang ditemukan pada orang-orang di
mentingkan diri sendiri demi kebaikan orang Eropa yang secara aktif di tahun 1940-an
lain. Altruisme sejati adalah kepedulian yang menyelamatkan Yahudi dari pembunuhan Nazi
tidak mementingkan diri sendiri melainkan (Oliner & Oliner dalam Santrock, 2002). Lima
untuk kebaikan orang lain (Baron & Byrne, karakteristik tersebut dinyatakan dalam Tabel
2003). Fiske (dalam Baron & Byrne, 2003) 1.
menerangkan bahwa manusia pada dasarnya Anak-anak yang menunjukkan karakteris-
adalah makhluk sosial dan mampu berempati. tik altruisme pada masa kanak-kanak awal (mi-
Hal tersebut yang mendorong altruisme saat salnya terlibat dalam tingkah laku bekerja sama,
orang-orang berinteraksi satu sama lain dalam menolong, berbagi, dan menghibur), berpo-
hubungan sosial. tensi menjadi remaja yang cenderung disukai
Buck dan Ginsberg (dalam Baron & oleh teman-teman dan berprestasi secara aka-
Byrne, 2003) menyimpulkan bahwa tidak demis (Caprara et al. dalam Baron & Byrne,
terdapat bukti adanya suatu gen yang menen- 2003). Selain itu, Praszkier et al. (2009) me-
tukan altruisme. Namun pada manusia mau- ngatakan bahwa kepercayaan dari sosial dan
pun binatang (de Waal dalam Baron & Byrne, optimisme pada anak-anak memiliki kaitan
2003) memang terdapat kemampuan yang yang sangat erat. Elkington dan Hartigan (da-
berbasis gen untuk mengomunikasikan emosi lam Praszkier et al., 2009) menambahkan bah-
dan untuk membentuk ikatan sosial. Hal ter- wa anak dengan karakteristik altruisme tidak
sebut yang tampaknya diturunkan dan me- segan-segan berbagi ide yang mereka miliki
ningkatkan kemungkinan bahwa seseorang untuk direplikasi. Hal tersebut dilandasi keya-
akan menolong orang lain ketika masalah mun- kinan bahwa setiap orang memiliki kapasitas
cul. Faktor-faktor eksternal menjelaskan adanya untuk mengubah dunia (Dweck dalam Prasz-
perbedaan dalam empati kognitif dan meme- kier et al., 2009).

15
Jurnal Entrepreneur dan Entrepreneurship, Volume 2, Nomor 1 dan 2, Maret 2013

Tabel 1 Karakteristik Pribadi Altruistik

No Karakteristik Penjelasan
1. Empati yang Individu altruistik cenderung bertanggung-jawab, bersosialisasi, mene-
tinggi nangkan, toleran, memiliki kontrol diri, dan termotivasi untuk membuat
impresi yang baik.
2. Mempercayai Orang altruistik mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan
dunia yang percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan dan tingkah laku
adil yang buruk diberi hukuman.
3. Tanggung Menurut orang altruistik setiap orang bertanggung jawab untuk melaku-
jawab sosial kan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
4. Locus of con- Orang altruistik percaya bahwa mereka dapat memilih untuk bertingkah
trol internal laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik dan memi-
nimalkan yang buruk.
5. Egosentrisme Mereka yang menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris dan
rendah kompetitif.
Sumber: Oliner dan Oliner dalam Santrock (2002).

Anak-anak dengan kepercayaan interper- bangan khusus kepada orang-orang yang ber-
sonal yang tinggi menunjukkan perilaku al- ada dalam suatu kondisi yang tidak mengun-
truisme yang lebih banyak dibanding dengan tungkan. Pada pertengahan hingga akhir tahun-
mereka yang cenderung untuk tidak memper- tahun sekolah dasar, anak-anak juga percaya
cayai orang lain (Cadenhead & Richman da- bahwa keadilan berarti perlakuan khusus bagi
lam Baron & Byrne, 2003). Damon (dalam orang-orang yang berhak mendapatkannya.
Santrock, 2002) menerangkan bahwa umum- Situasi spesifik seperti apa yang dapat
nya anak-anak melakukan sharing selama tiga meningkatkan atau menghambat perkembang-
tahun pertama kehidupan atas pertimbangan- an empati? Menurut Lord (dalam Baron &
pertimbangan yang bersifat non-empatis, se- Byrne, 2003), salah satu jawabannya adalah
perti memperoleh kesenangan dari ritual per- peran sekolah dalam mengembangkan pro-
mainan sosial. Selanjutnya di usia sekitar empat gram pendidikan karakter. DeRosier dan Mer-
tahun, suatu kombinasi antara kesadaran em- cer (2007) menjelaskan bahwa pendidikan ka-
patis dan keinginan dorongan orang dewasa rakter di Amerika telah dimulai sejak tahun
menghasilkan suatu rasa kewajiban dalam diri 1920-an dan berlanjut dengan model pendi-
anak untuk berbagi dengan orang lain. Pada dikan moral di tahun 1960-an. Pendidikan
awal-awal tahun sekolah dasar, anak-anak se- tersebut terbukti efektif dalam menanamkan
cara sungguh-sungguh mulai mengekspresikan moral dan menekan perilaku negatif seperti
gagasan yang lebih objektif tentang keadilan. perilaku anti-sosial dan penyalahgunaan narko-
Gagasan tersebut melibatkan prinsip-prin- ba (Solomon et al. dalam DeRosier & Mer-
sip keadilan (equality), prestasi (merit), dan cer, 2007). Pendidikan moral secara umum
kebajikan (benevolence). Keadilan berarti setiap juga mampu meningkatkan altruisme, keteram-
orang diperlakukan sama, prestasi berarti mem- pilan sosial, penalaran moral, kepercayaan diri,
beri hadiah ekstra atas kerja keras atau perilaku dan prestasi akademis (Berkowitz et al. dalam
terpuji, dan kebajikan berarti memberi pertim- DeRosier & Mercer, 2007).

16
Chrysogonus Siddha Malilang dan Andrian Liem, Penanaman Nilai dan Moral pada Anak

Selain dari dunia nyata, model yang me- MENDONGENG DALAM PENANAMAN
nolong pembentukan norma sosial dalam altru- NILAI DAN MORAL
isme adalah media (Sprafkin et al. dalam Ba-
Dongeng adalah bagian dari tradisi sastra
ron & Byrne, 2003). Forge dan Phemister
lisan yang sangat penting dalam pembentukan
(dalam Baron & Byrne, 2003) menunjukkan
dan pengembangan sebuah kelompok masya-
bahwa anak-anak prasekolah yang menonton
rakat. Zipes (2002) dalam penelitiannya me-
program seperti Sesame Street atau Barney
ngemukakan bahwa dongeng tidak hanya
and Friends lebih cenderung menunjukkan
sebuah pemersatu budaya dalam masyarakat
altruisme daripada anak-anak yang tidak me-
dan membantu anggota masyarakat tersebut
nonton acara serupa. Walau demikian, orang-
untuk memahami fenomena-fenomena sosial
tua adalah model yang lebih berpengaruh di-
yang terjadi tetapi juga sebagai sebuah cerita
banding dengan media. Coles (dalam Baron
yang mengumpulkan bayangan kolektif akan
& Byrne, 2003) menekankan pentingnya pe-
sebuah masyarakat ideal. Dalam bayangan
ran orang tua dalam membentuk perilaku-
kolektif itulah terkandung nilai-nilai dan mo-
perilaku seperti itu dengan mengajarkan anak
ralitas yang harus diturunkan dari generasi ke
untuk menjadi “baik” dan untuk berpikir me-
ngenai orang lain selain dari diri sendiri. generasi.
Menurut Coles (dalam Baron & Byrne, Dari sebuah alat pembangun kelompok
2003) pendidikan dari orang tua penting pada sosial, dongeng kemudian diadaptasi menjadi
tingkat usia manapun. Akan tetapi Coles per- sebuah alat pendidikan untuk anak-anak.
caya bahwa masa sekolah dasar merupakan Kebiasaan ini banyak ditemukan di daerah
masa yang penting di mana anak dapat me- Asia, utamanya karena tidak banyak cerita
ngembangkan atau gagal mengembangkan yang dikhususkan untuk anak-anak, di mana
suatu kesadaran. Tanpa model dan pengalaman dongeng-dongeng tadi diadaptasi untuk kon-
yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah sumsi anak-anak (Nikolajeva, 1996). Oleh kare-
bertumbuh menjadi remaja yang egois dan na kesamaan tujuan penyampaian nilai maka
kasar, selanjutnya menjadi orang dewasa yang dongeng menjadi cukup efektif untuk mena-
sama sekali tidak menyenangkan. Orangtua namkan nilai dan moralitas kepada anak-anak.
tidak dapat hadir dalam semua interaksi anak Beberapa studi yang dilakukan atas ak-
dan teman sebayanya. Oleh karena itu, orang- tivitas mendongeng sendiri telah membuktikan
tua dapat memberi nasihat dan dorongan, karakteristik pedagogisnya. Sebuah studi me-
serta menerapkan contoh perilaku baik yang nunjukkan adanya peningkatan pemahaman
dapat dibawa anak ke dalam interaksi mereka etika (Leming dalam DeRosier & Mercer,
dan teman sebayanya. National Association 2007) dan menurunnya perilaku agresif (Tegla-
for the Education of Young Children atau si & Rothman dalam DeRosier & Mercer,
NAEYC (dalam Santrock, 2002) menyebut- 2007). Sanchez (2005) menambahkan bahwa
kan bahwa kegiatan-kegiatan yang cocok untuk beberapa dongeng dapat digunakan untuk
mengembangkan bahasa, literasi, dan moral menanamkan nilai dan moral pada anak sejak
adalah dengan mendengar dan membaca cerita dini. Melalui dongeng, anak diajak belajar
seperti dongeng. mendengarkan, memperhatikan, dan memba-

17
Jurnal Entrepreneur dan Entrepreneurship, Volume 2, Nomor 1 dan 2, Maret 2013

yangkan menjadi tokoh dalam cerita tersebut mengasah daya konseptual mereka. Selain itu,
(Harris, 2007). Anak belajar untuk bersabar, dengan mendongeng anak dapat dilatih daya
berimajinasi, dan menggunakan emosi saat ingatnya karena menggunakan metode pembe-
mendengar cerita (Hilder dalam Harris, 2007; lajaran eksperensial (DeRosier & Mercer,
Nelli dalam Virtue & Vogler, 2008). 2007). Pendidikan nilai dan moral juga dapat
Selain di dunia pendidikan, mendongeng dilakukan melalui dongeng (Lee, 2011; Vitz
juga digunakan dalam dunia kesehatan. Berg- dalam DeRosier & Mercer, 2007). Kirmani
ner (2007) menjelaskan bahwa melalui men- dan Frieman (1997) menekankan bahwa do-
dongeng, petugas kesehatan dapat menjalin ngeng dapat menyeimbangkan berita kekeras-
kedekatan dan komunikasi dengan pasien anak- an, kriminalitas, dan hal buruk lainnya yang
anak sekaligus melakukan pemeriksaan. Secara dilihat oleh anak-anak di media massa.
lebih luas, Cox dan Albert (dalam Parker, Dongeng dari berbagai dunia dapat mela-
2006) menambahkan bahwa mendongeng di- tih anak untuk mengenal dan menghargai kera-
pakai dalam program komunitas seperti pro- gaman budaya (Kirmani & Frieman, 1997).
mosi kesehatan dan pencegahan penyakit, Sementara dongeng dari budaya tempat anak
mengatasi dukacita, dan proses teurapeutik berasal dapat menjadi medium pendidikan non-
lainnya. Hartling et al. (2010) menguatkan formal tentang kearifan lokal yang diwariskan
bahwa bercerita dapat digunakan sebagai alat turun-temurun (Lee, 2011; Virtue & Vogler,
diagnostik, terapi, dan edukasi pasien. 2008). Piaget menemukan bahwa anak di masa
Seperti yang telah diungkapkan bahwa awal perkembangannya lebih mudah mema-
melalui dongeng, guru dapat menangkap per- hami konsep abstrak, misalnya moralitas, jika
hatian anak-anak, mendorong imajinasi, dan diberi contoh yang konkret (Ginsburg & Op-

Tabel 2 Tahap Mendongeng Efektif

No. Tahap Deskripsi


1. Berpikir reflektif dan Setelah dongeng dibacakan, anak-anak diajak berdiskusi tentang cerita yang telah
diskusi mereka dengar. Poin-poin diskusi adalah perilaku dari setiap tokoh, konsekuensi
perilaku tersebut, dan dibandingkan dengan perilaku dari anak-anak itu sendiri.
2. Membandingkan Anak-anak dapat membandingkan dua cerita dongeng yang serupa. Mereka dapat
beberapa dongeng belajar membandingkan karakter para tokoh, plot, latar, dan ide utama cerita.
serupa Tahap ini dapat mendorong anak untuk berpikir kritis dalam mencari persamaan
dan perbedaan dari beberapa cerita serupa.
3. Memberi respons de-
Anak-anak dapat mengekspresikan interpretasi mereka tentang cerita dan tokoh
ngan menggambar
dongeng melalui gambar dan tulisan.
dan menulis
4. Dramatisasi Dongeng dengan mudah dapat diubah ke dalam bentuk drama. Anak-anak tidak
harus selalu menjadi pemainnya karena dapat juga menggunakan boneka jari atau
boneka tangan. Melalui drama boneka tersebut, anak juga dilatih untuk berbicara
ketika menjadi tokoh cerita.
5. Narasi oral Setelah mendengarkan dan melakukan dramatisasi, anak dapat melakukan narasi
tentang dongeng yang didengarnya. Melalui narasi, nilai dan moral yang
terkandung di dalam dongeng dapat terinternalisasi lebih dalam pada anak-anak.
Mereka juga dapat berlatih menggunakan berbagai macam ekspresi wajah dan
suara, bahasa tubuh, serta meningkatkan perbendaharaan kata.
Sumber: Lee (2011).

18
Chrysogonus Siddha Malilang dan Andrian Liem, Penanaman Nilai dan Moral pada Anak

Tabel 3 Dongeng Dunia Pilihan


No. Judul Dongeng Asal Dongeng Karakteristik Sociopreneur
1. Pegang Erat-erat atau Melekat Erat-erat? Jepang • Empati yang tinggi
(Hold Tight, and Stick Tight) • Mempercayai dunia yang adil
2. Sumur Dewa Haiti • Tanggung jawab sosial Egosentrisme
(dalam Old Tales for a New Day) rendah
3. Gluskabe Menangkap Binatang Penobscot • Empati yang tinggi
(Gluskabe’s Childhood) • Mempercayai dunia yang adil
4. Kambing Gunung Temlahan Tsimshian • Empati yang tinggi
(The Feast of the Mountain Goats) • Mempercayai dunia yang adil
• Tanggung jawab sosial
• Locus of control internal
• Egosentrisme rendah
5. Bajak Emas Rumania • Mempercayai dunia yang adil
(dalam Rumanian Folk Tales) • Tanggung jawab sosial
6. Terlalu Banyak Langit Nigeria • Mempercayai dunia yang adil
(dalam In the Beginning ... Creation Stories • Tanggung jawab sosial
for Young People)
7. Sedikit Lagi Portugis • Mempercayai dunia yang adil
(dalam Tales of the Old Country) • Locus of control internal
• Egosentrisme rendah
Sumber: Diolah berdasarkan MacDonald (1992).

per dalam Kirmani & Frieman, 1997). Salah untuk menanamkan nilai dan moral pada anak
satu hal yang digunakan untuk memberi con- sebagai modal sociopreneur.
toh yang konkret adalah dongeng dengan
tokoh binatang maupun manusia.
KESIMPULAN
Lee (2011) menjelaskan bagaimana guru-
guru prasekolah di Korea menggunakan do- Di negara berkembang, termasuk Indone-
ngeng untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional sia, masih banyak permasalahan terkait kemis-
pada anak didik mereka. Melalui dongeng, kinan, misalnya buta huruf dan masalah kese-
anak dapat mengalami katarsis emosi dan hatan, serta kesenjangan sosial-ekonomi. Per-
menginternalisasi nilai sosial melalui koneksi masalahan tersebut harus segera diatasi karena
dengan karakter di dalam dongeng. Tiga nilai tingkat kelahiran di negara berkembang masih
sosial yang diajarkan pada anak-anak sejak cukup tinggi dibanding dengan negara maju.
dini adalah memiliki moral yang baik, kebijak- Kemiskinan menjalar dalam beragam bentuk
sanaan, dan perilaku yang baik (Yoon dalam dan menjadi inti dari permasalahan sosial ter-
Lee, 2011). Menurut Lee terdapat lima tahap masuk pengangguran.
untuk masa kanak-kanak awal agar mendo- Pertumbuhan ekonomi tergantung pada
ngeng efektif untuk menanamkan nilai dan upaya pemberdayaan ekonomi dan interaksi
moral pada anak. Lima tahap tersebut dinya- antara peranan kelembagaan untuk mengatasi
takan dalam Tabel 2. konflik sosial yang terjadi. Konflik sosial laten
Tabel 3 menyajikan contoh dongeng yang dapat berasal dari ketidakmerataan ekonomi,
dikumpulkan MacDonald (1992) yang cocok keberagaman dalam masyarakat, berbagai aspek

19
Jurnal Entrepreneur dan Entrepreneurship, Volume 2, Nomor 1 dan 2, Maret 2013

politik, serta kondisi geografis negara kepulau- awal perkembangannya, anak lebih mudah
an yang tersebar. Untuk menghadapi konflik memahami konsep abstrak (misalnya moralitas)
sosial laten dan globalisasi tidak bisa mengguna- jika diberi contoh yang konkret. Salah satu
kan pendekatan budaya kapitalis yang hanya hal yang digunakan untuk memberi contoh
mementingkan keuntungan maksimal daripada yang konkret adalah dongeng dengan tokoh
pembangunan bangsa. Usaha yang dapat dila- binatang maupun manusia. Ada lima tahap
kukan adalah mendorong lahirnya sociopre- untuk masa kanak-kanak awal agar mendo-
neur untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ngeng efektif untuk menanamkan nilai dan
dan membangun bangsa. moral pada anak, yaitu berpikir reflektif dan
Salah satu karakter yang membedakan diskusi, membandingkan beberapa dongeng
antara business entrepreneur dan social entre- serupa, memberi respons dengan menggambar
preneur adalah kepedulian sosial dan kesadaran dan menulis, dramatisasi, dan narasi oral. Oleh
komunitas. Beberapa orang secara alami me- karena itu, melalui paparan ini, para pendidik
mang cenderung memiliki karakter sociopre- diharapkan mampu memanfaatkan dongeng
neur. Walau demikian karakteristik tersebut secara efektif untuk menanamkan nilai dan
dapat dibentuk pada semua orang. Karakter moral pada anak-anak sebagai modal mendo-
yang dimaksud tersebut adalah altruisme, di rong lahirnya para sociopreneur.
mana manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial dan mampu berempati. Pribadi altruistik
memiliki lima karakteristik, yaitu empati yang DAFTAR RUJUKAN
tinggi, mempercayai dunia yang adil, tang-
Baron, R.A. & Byrne, D. 2003. Social Psychol-
gung jawab sosial, locus of control internal,
ogy (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon.
dan egosentrisme rendah.
Bergner, R.M. 2007. Therapeutic Storytelling
Anak belajar untuk bersabar, berimajinasi,
Revisited. American Journal of Psycho-
dan menggunakan emosi saat mendengar do-
therapy, 61 (2): 149–162.
ngeng. Dongeng juga dapat menyeimbangkan
Brooks, A.C. 2009. Social Entrepreneurship: a
berita kekerasan, kriminalitas, dan hal buruk
Modern Approach to Social Venture Cre-
lain lainnya yang dilihat oleh anak-anak di
ation. Upper Saddle River, NJ: Pearson
media massa. Selain itu, dongeng juga diguna-
kan dalam dunia kesehatan untuk program Education, Inc.
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, Ciputra. 2008. Ciputra Quantum Leap: Entre-
mengatasi duka cita, proses teurapeutik lain- preneurship Mengubah Masa Depan Bangsa
nya, alat diagnostik, terapi, dan edukasi pasien. dan Masa Depan Anda. Jakarta: Elex Me-
Dongeng dari berbagai dunia dapat mela- dia Komputindo.
tih anak untuk mengenal dan menghargai kera- DeRosier, M.E. & Mercer, S.H. 2007. Improv-
gaman budaya. Sementara dongeng dari bu- ing Student Social Behavior: the Effec-
daya tempat anak berasal dapat menjadi me- tiveness of a Storytelling-Based Character
dium pendidikan nonformal tentang kearifan Education Program. Journal of Research
lokal yang diwariskan turun-temurun. Di masa in Character Education, 5 (2): 131–148.

20
Chrysogonus Siddha Malilang dan Andrian Liem, Penanaman Nilai dan Moral pada Anak

Hadi, O.H. 2009. Nation and Character Build- Praszkier, R., Nowak, A. & Zablocka-Bursa, A.
ing: Melalui Pemahaman Wawasan Ke- 2009. Social Capital Built by Social Entre-
bangsaan. Jakarta: Direktorat Politik, Ko- preneurs and the Specific Personality Traits
munikasi, dan Informasi Bappenas. that Facilitate the Process. Psychologia
Harris, R. B. 2007. Blending Narratives: a Story- Spoleczna, tom 4, 1–2 (10): 42–54.
telling Strategy for Social Studies. The Roberts, D. & Woods, C. 2005. Changing the
Social Studies, 98 (3): 111–116. World on a Shoestring: the Concept of
Hartling, L., Scott, S., Pandya, R., Johnson, D., Social Entrepreneurship. University of
Bishop, T. & Klassen, T.P. 2010. Storytel- Auckland Business Review, Autumn: 45–
ling as a Communication Tool for Health 51.
Consumers: Development of an Interven- Sanchez, T. 2005. The Story of the Boston
tion for Parents of Children with Croup. Massacre: a Storytelling Opportunity for
Stories to Communicate Health Informa- Character Education. Social Studies, 96
tion. BMC Pediatrics, 10 (1): 64–74. (6): 265–269.
Kirmani, M.B. & Frieman, B.B. 1997. Diversity Santos, F.M. 2009. A Positive Theory of Social
in Classrooms: Teaching Kindness through Entrepreneurship. INSEAD Social Innova-
Folktales. International Journal of Early tion Centre Working Paper No. 2009/23/
Childhood, 29 (2): 39–43. EFE/ISIC. (Online), (http://www.insead.
edu/facultyresearch/research/doc.cfm?did
Lee, G.L. 2011. Best Practices of Teaching
=41727), accessed November 10, 2012.
Traditional Beliefs using Korean Folk Lite-
Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development:
rature. Procedia Social and Behavioral Sci-
Perkembangan Masa Hidup (Jilid 1, Edisi
ences, 15: 417–421.
5). Terjemahan Juda Damanik dan Achmad
MacDonald., M.R. 1992. Cerita-cerita Pelestarian
Chusairi. 2002. Jakarta: Erlangga.
Lingkungan: Cerita Rakyat dari Berbagai
MacDonald, M.R. 1992. Cerita-cerita Pelestarian
Penjuru Dunia. Terjemahan Florentina
Lingkungan: Cerita Rakyat dari Berbagai
Christi Wardani. 2004. Yogyakarta: Kani-
Penjuru Dunia. Terjemahan Florentina
sius.
Christi Wardani. 2004. Yogyakarta: Kani-
Mustapha, R., Zapata, V. & Jung-Kim, J. 2008.
sius.
Promoting Human Capital through Social
Tan, W., Williams, J. & Tan, M. 2005. Defining
Entrepreneurship: a Comparative Study
the ‘Social’ in ‘Social Entrepreneurship’:
of Indonesia and China. Jurnal Pendidikan,
Altruism and Entrepreneurship. Interna-
33: 61–79.
tional Entrepreneurship and Management
Nikolajeva, M. 1996. Children’s Literature
Journal, 1 (3): 353–365.
Comes of Age: Towards a New Aesthetic. Virtue, D.C. & Vogler, K.E. 2008. The Pedago-
London: Garland Publishing. gical Value of Folk Literature as a Cul-
Parker, T.S. 2006. Changing Emotion: the Use tural Resource for Social Studies Instruc-
of Therapeutic Storytelling. Journal of tion: an Analysis of Folktales from Den-
Marital and Family Therapy, 32 (2): 155– mark. Journal of Social Studies Research,
166. 32 (1): 28–39.

21
Jurnal Entrepreneur dan Entrepreneurship, Volume 2, Nomor 1 dan 2, Maret 2013

Zahra, S.A., Rawhouser, H.N., Bhawe, N., Zipes, J. 2002. Breaking The Magic Spell: Radi-
Neubaum, D.O. & Hayton, J.C. 2008. cal Theories of Folk and Fairy Tales (Re-
Globalization of Social Entrepreneurship
vised and expanded ed.). Lexington, KY:
Opportunities. Strategic Entrepreneurship
University Press of Kentucky.
Journal, 2 (2): 117–131.

22

You might also like