Case 11 Makalah Parasit

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 64

MAKALAH PARASIT

Ancylostoma “Cutaneous Larva Migran”


FBS 3

TUTORIAL A2
Disusun oleh :

1. Andya Yudhi Wirawan (1010211004)


2. Oki Fahmi Abri N. (1010211006)
3. Hendra Leofirsta (1010211013)
4. Viny Octofiad (1010211016)
5. Mentari (1010211018)
6. Dhisa Zanita Habsari (1010211020)
7. Laras Indri Palupi (1010211021)
8. Hasyati Dwi Kinasih (1010211023)
9. Rosiana Afida (1010211024)
10.Henny Hasyyati (1010211025)
11.Dionissa Shabira (1010211029)
12.Risdi Pramesta (0910211125)

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA


Jalan RS. Fatmawati, Pondok Labu, Jakarta Selatan 12450
Lembar Pengesahan Makalah

Saya yang bertanda tangan di bawah, menyatakan bahwa makalah ini sudah sesuai
dengan proses yang terjadi selama tutorial.

Jakarta, / /
Tutorial kelompok A2

( dr. Helsy )
Ancylostoma “Cutaneous Larva Migran”

On July 2003, Mrs. Reni, 36-year-old house wife visited a local dermatology clinic in RSPAD
Gatot Subroto, Jakarta, with linear and serpiginous skin lesions on both feet.
She had returned a trip to Garut some 10 days previously, and her skin symptoms appeared
8 days before her visit to our clinic. The routine laboratory findings were in the normal
range, and a pathological examinations of moderate perivascular lymphocytes and
eosinophils in the upper dermis.
Moreover, a nematode larva was detected in a scratched lesion specimen. Larva detected
from a skin with a long esophagus and a pointed tail. The larva was 650 x 30 µm in size with
a filariform esophagus of 175 µm. It’s body to esophagus length ratio was 3.7 : 1, and its
body length to width ratio was 21.7 : 1. The patient was treated with 400 mg/day of
albendazole for 5 days. Her skin lesions were clearly improved 2 weeks after this treatment.
For the identification of the isolated larva, we cultured A. caninum larvae in vitro and
compared both larvae under the light microscope. Filariform larvae of A. caninum collected
from egg-culture medium were 576-625 (average 605) x 23-25 (average 24) µm in size, and
had a filariform esophagus of 145-153 (average 150) µm in length. The ratios of body length
to esophagus length and of body length to body width were 4.0 : 1 and 25.2 : 1, respectively.
Ancylostoma “Cutaneous Larva Migran”

Pada bulan Juli tahun 2003, Ibu Reni berusia 36 tahun yang bekerja sebagai ibu rumah
tangga mengunjungi klinik dermatologi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta dengan kulit yang
terluka pada kedua kakinya.
Ia baru saja kembali dari garut 10 hari sebelumnya, dan gejala pada kakinya terlihat 8 hari
sebelum Ia berkunjung ke klinik. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dlam keadaan normal,
dan sebuah pemeriksaan patologi dari kulit yang di biopsi ditemukan infiltrasi sedang pada
jaringan perivaskular limfosit dan eosinofil pada lapisan dermis bagian atas.
Selain itu, sebuah larva nematoda di deteksi pada bagian kulit yang terluka. Larva di deteksi
dari sebuah kulit dengan esofagus yang panjang dan ekor yang melingkar. Larva dengan
ukuran 650 x 30 µm dengan filariform esofagus 175 µm. Rasio panjang tubuh dengan
esofagusnya 3.7 : 1, dan rasio panjang dengan lebar tubuhnya 21.7 : 1.
Pasien diobati dengan pemberian 400 mg/day albendazole untuk 5 hari dan luka akan hilang
selama 2 minggu setelah pengobatan
Untuk mengidentifikasi larva yang telah diisolasi, kami mengkultur larva A. caninum dengan
cara in vitro dan membandingkan kedua larva di bawah mikroskop cahaya. Larva filariform
dari A. caninum yang di dapat dari telur yang di kultur berukuran 576-625 (rata-rata 605) x
23-25 (rata-rata 24) µm, dengan ukuran panjang esofagus 145-153 (rata-rata 150) µm.
Dengan masing-masing rasio panjang tubuh dengan panjang esofagus dan panjang tubuh
dengan lebar tubuh 4.0 : 1 dan 25.2 : 1.
TERMINOLOGI
(Mentari)

1. Parasit
o Tanaman atau hewan yang hidup pada atau di dalam organisme hidup lain yang
memberikan beberapa keuntungan baginya.
o Komponen kembar siam asimetris yang kurang lengkap, lebih kecil, melekat dan
bergantung pada autosite.

2. Biopsied Skin
Pengambilan dan pemeriksaan, biasanya mikroskopik, jaringan tubuh yang hidup,
yang dilakukan untuk menegaskan diagnosis pasti.

3. Serpiginous Skin
Mempunyai tepi bergelombang atau banyak lekukan.

4. Infiltrasi
o Penimbunan bahan patologis dalam jaringan atau sel yang tidak normal atau
dalam jumlah yang berlebihan.
o Deposit larutan langsung ke dalam jaringan.

5. Perivascular Lymphocytes
o Perivascular
Di dekat atau sekitar pembuluh darah
o Lymphocytes
Leukosit mononuklear nonfagositik, ditemukan dalam darah, limfe, dan jaringan
limfoid, yang merupakan sel imunologi tubuh yang kompeten dan prekursornya.
6. Eosinophils
o Leukosit granular dengan nukleus yang biasanya terdiri dari dua lobus yang
dihubungkan oleh sebuah benang kromatin halus, dan sitoplasma yang
mengandung granul kasar dan bulat dengan ukuran seragam.
o Semua struktur, sel, atau unsur histologi yang mudah dipulas dengan eosin.

7. Nematode
Setiap anggota kelas Nematoda; disebut juga roundworm atau round worm dan
eelworm atau eel worm.

8. Filariform
Berbentuk benang; menyerupai filaria; menunjukkan tingkat perkembangan dalam
siklus kehidupan nematoda tertentu yang ditandai oleh terdapatnya esofagus
berdiameter sama yang sering, misalnya pada cacing tambang, merupakan stadium
infektifnya.

9. Albendazole
Suatu anthelmintik benzimidazole spektrum luas yang digunakan untuk melawan
berbagai cacing dan pengobatan penyakit hidatid dan neurosistiserkosis, juga untuk
mengobati infestasi cacing gelang atau cacing pipih pada hewan pemamah biak.

10. Ancylostoma canium


Cacing tambang yang paling umum pada anjing; cacing ini juga menginfeksi kucing,
dan larvanya dapat menyebabkan cutaneous larva migrans pada manusia.
PARASITOLOGY
(Dionissa shabira)

Definisi
Parasitologi ialah ilmu yang mempelajari jasad-jasad yang hidup untuk sementara atau tetap
di dalam atau pada permukaan jasad lain dengan maksud untuk mengambil makanan
sebagian atau seluruhnya dari jasad itu (parasitos= jasad yang mengambil makanan; logos=
ilmu).
I.Zooparasit = parasit yang berupa hewan, di bagi dalam:
a. Protozoa= hewan yang bersel satu seperti amoeba
b. Metazoa= hewan yang bersel banyak yang dibagi lagi dalam helmintes (cacing)
dan artropoda (serangga)
II.Fitoparasit = parasit yang berupa tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari:
a. Bakteri

b. Fungsi (jamur)

III. Spirochaeta dan Virus


Dalam parasitologi kedokteran dipelajari zooparasit yang termasuk dalam golongan
helmintes, protozoa, artropoda dan fitoparasityaitu fungus.

Terminologi
PARASITISME
Mencakup setiap hubungan timbal balik suatu spesies lain untuk kelangsungan
hidupnya. Dalam hal tersebut, satu jenis mendapat makanan dan lingkungan jasad lain yang
dirugikan dan mungkin dibunuhnya. Sebenarnya parasit tidak bermaksud membunuh
hospesnya tanpa membahayakan dirinya sendiri.
Menurut derajat parasitisme dapat dibagi menjadi:
• Komensalisme

Suatu jenis jasad mendapat keuntungan dari jasad lain akan tetapi jasad lain tersebut
tidak dirugikan.
• Mutualisme

Hubungan 2 jenis jasad yang keduanya dapat keuntungan.


• Simbiosis

Hubungan permanen antar dua jenis jasad dan tidak dapat hidup terpisah
• Pemangsa (predator)

adalah parasit yang membunuh terlebih dahulu mangsanya dan kemudian


memakannya.

HOSPES
Menurut macamnya hospes dapat dibagi menjadi:
• Hospes definitif

Hospes tempat parasit hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak secara seksual.
Contoh: manusia merupakan hospes def dari Trematoda Gondii.

• Hospes perantara

Hospes tempat parasit tumbuh mejadi bentuk infekstif yang siap ditularkan kepada manusia
(hospes).
Contoh: Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai
hospes perantara dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air
sebagai hospes perantara kedua.

• Hospes reservoar

Hewan yang mengandung parasit dan merupakan sumber infeksi bagi manusia.
Contoh: manusia yang memakan hewan atau tumbuhan yang mengandung parasit,
misalnya cestoda yang hidup di tubuh manusia, dan yg sebagai sumbernya hewan yang
mengandung parasit tersebut.
• Hospes paratenik

Hewan yang mengandung stadium infektif parasit tanpa menjadi dewasa; dan stadium
infektif ini dapat ditularkan dan menjadi dewasa pada hospes definif.
Contoh: pada cacing tambang, manusia atau hewan yg menjadi hospes definitifnya, dan
stadium yang menginfeksi yaitu telur yang mengandung larva.

VEKTOR
Yaitu suatu jasad (biasanya serangga) yang dapat menularkan parasit pada manusia dan
hewan.
Misalnya: nyamuk Anopheles yang menularkan parasit malaria dan Culex sebagai vektor
filariasis.
Vektor dibagi menjadi :
 Vektor biologi: serving as the site of some developmental events in the life cycle of
the parasite
 Vektor mekanik:or nonessential to the life cycle of the parasite

Vektor Mekanik
 Musca (lalat)
 ordo diptera, kelas insekta.
ex : Musca domestica (lalat rumah)
berperan: vektor mekanik
amebiasis,disentri,toksoplasmosis & penyakit cacing usus
tempat perindukan: timbunan sampah,tinja manusia & binatang
 Periplaneta
ordo dyctioptera, kelas insekta
ex: Periplaneta americana
 berperan :
vektor mekanik amebiasis,lambliasis,taksoplasmosis, askariasis,isosporiasis
Xenopsylla cheopis
Phlebotomus verrucarum

Vektor biologi:
- Ornithoros moubata
- Orninthodoros hermsi
- Pediculus humanus corporis
- Aedes aegypty
- Aedes abopictus
- Culex tritaeniorthyncus

Wuchereria
Brugia timori
bancrofti

Brugia malayi

Ornithodoros moubata
Ornithodoros hermsi

Pediculus humanus corporis


Aedes aegypty Aedes albopictus

Culex tritaeniorhyncus

DAUR HIDUP
Dalam daur hidup ditemukan sebagai stadium, pada helmintes dikenal stadium
dewasa, telur dan larva, sedangkan pada protozoa dikenal stadium trofoxoit
(vegetatif dan kista).
• Helminthes : dewasa  telur  larva  hospes definitive  hospes reservoar 
hospes perantara
• Protozoa : trofozoit  kista .

TATA NAMA
Cara menulis nama parasit mengikuti International Code of Zoological Nomenclatur. Tiap
parasit digolongkan ke dalam :
filum, kelas, ordo, famili, genus dan spesies.
Secara Binomial (Linnaeus 1758)
Untuk spesies ditentukan dua nama, misalnya Ascaris lumbricoides.
Nama genus dan nama spesies : Ascaris lumbricoides
(Ascaris - genus; lumbricoides - spesies) A. lumbricoides
Tata nama sama dengan mikrobiologi secara binomial, yakni memakai genus dan sp.

Klasifikasi parasit secara khusus


Menurut tempat hidupnya
 Ektoparasit / di luar tubuh (infestasi)
 Endoparasit / di dalam tubuh (infeksi)

Menurut keperluan akan hospes


 Parasit obligat (hidup dalam hospes)

contoh: Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Necator americanus (cacing tambang).


 Parasit fakultatif (bisa hidup tanpa hospes definitif(hospes tempat parasit hidup ) )

contoh: nyamuk betina bisa hidup walaupun tidak menghisap darah


 Parasit insidentif (tidak menginfeksi manusia tetapi tiba-tiba ada dalam
tubuh manusia)

contoh : Brugia panangi


 Parasit temporer (organisme yang sewaktu-waktu menjadi parasit, jika butuh
makan akan menjadi parasit).

contoh : Lintah.

Klasifikasi parasit secara medis/kedokteran


 Helmintologi (ilmu yg mempelajari parasit berupa cacing)

 Protozoologi (ilmu yg mempelajari tentang hewan bersel satu)

 Entomologi (ilmu yg mempelajari tentang vektor)

 Mikologi (ilmu yg mempelajari tentang jamur)


HELMINTOLOGI
(Dhisa Z. H., Oki Fahmi, Rosiana A., Hendra L., Viny Octoviad)

1) NEMATODA
a. Nematoda Usus
 Ascaris lumbricoides
Hospes : Manusia
Penyakit : Askariasis
Morfologi : - ♂ : panjang 15 - 30 cm
lebar 0,2 – 0,4 cm
- ♀ : panjang 20 – 35 cm
lebar 0,3 – 0,6 cm
- Dewasa hidup di rongga usus halus, umur 1 – 2 tahun
- Jumlah telur per hari : 100.000-200.000 telur
- Cara Penularan : Port d’entree : mulut, fekal oral
Port d’extree : anus, telur di feses
- Bentuk infektif : telur infektif (matang)
Daur hidup :


• Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi dapat berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu -/+ 3 minggu.
• Bentuk infektif ini → tertelan manusia → menetas di usus halus → larva
menembus dinding usus halus → pembuluh darah atau saluran limfe → di
alirkan ke jantung → mengikuti aliran darah → ke paru-paru → larva di
paru menembus dinding pembuluh darah → dinding alveolus → masuk
rongga alveolus → naik ke trakea ( melewati bronkiolus dan bronkus) →
faring → rangsang → batuk (karena rangsangan ini) → larva tertelan ke
esofagus → menuju usus halus → di usus halus larva berubah menjadi
cacing dewasa
• Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu
-/+ 2 bulan.

Patologi dan Gejala Klinis :


- Stadium Larva : Terjadi pada saat larva berada di paru, pada penderita yang
rentan dapat menimbulkan perdarahan kecil pada dinding alveoulus dan
timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk , demam dan
eosinofilia.Pada foto toraks tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3
minggu .Keadaan ini disebut sindrom Loeffler.
- Stadium Dewasa : Gangguan-gangguan ringan, seperti mual , nafsu makan
berkurang , diare atau konstipasi.
Infeksi berat (terutama pada anak) dapat terjadi malabsorbsi yang dapat
malnutrisi.Efek yang lebih serius jika cacing-cacing menggumpal dalam usus
sehingga obstruksi usus (ileus).
Dalam keadaan tertentu, cacing dapat mengembara dalam saluran empedu,
apendiks atau bronkus sehingga menimbulkan gejala yang berbahaya dan
memerlukan tindakan operatif.

Diagnosis : Pemeriksaan tinja secara langsung


- Adanya telur dalam tinja
- Cacing dewasa keluar dari mulut / hidung, maupun tinja

Pengobatan : - Piperasi
- Pirantel Pamoat 10 mg/kg BB
- Mebendazol 500 mg atau Albendazol 400 mg
Pencegahan : - Cuci tangan sebelum makan
- Selalu menjaga kebersihan kuku
- Defekasi pada kakus
Distribusi Geografik :
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Dengan prevalensi di Indonesia sekitar 60-
90%.

Epidemiologi :
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci dan
di tempat pembuangan sampah. Di Negara tertentu biasa memakai tinja
sebagai pupuk. Kelembaban tinggi 25◦-30◦C tempat yang baik untuk
berkembangnya telur A. lumbricoide.

 Toxocara canis dan Toxocara cati


Hospes : Toxocara canis  anjing
Toxocara cati  kucing
Penyakit : Visceral larva migrans
Morfologi : - T. canis ♂ : 3,6 – 8,5 cm
♀ : 5,7 – 10 cm
Sayap servikal berbentuk lanset
- T. cati ♂ : 2,5 – 7,8 cm
♀ : 2,5 – 14 cm
Sayap lebih lebar, kepala spt ular
kobra
- Hospes Paratenik : manusia, cacing tanah, semut
- Cara Penularan : Port d’entree : mulut, fekal oral
Port d’extree : anus, telur di feses
- Bentuk infektif : telur infektif (matang)
Daur Hidup :

• telur keluar dari tinja anjing/kucing  berkembang menjadi telur


infektif di tanah  hospes definitif (anjing/kucing) tertular/menelan
hospes paratenik (cacing tanah, semut)  penularannya scr
transplasental dr induk anjing yg terinfeksi/melalui air susu induk yg
terinfeksi  telur tertelan manusia (hospes paratenik lain)  larva
menembus dinding usus  ikut dlm peredaran darah menuju organ
tubuh (hati, jantung, paru, otak, mata)  di manusia, larva tidk
berkembang lagi.

Patologi dan Gejala Klinis :


Pada manusia, larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-
alat dalam,khususnya hati,penyakit yang disebabkan di sebut visceral larva
migrans, dengan gejala eosinofilia , demam dan hepatomegali.

Diagnosis : - Diagnosis serologi melalui deteksi antiobodi IgG trhdp


antigen ekskretori-sekretori larva T. canis disertai eosinovilia
- Teknik USG, CT Scan, dan MRI utk mendeteksi lesi
granulomatosa yg berisi larva Toxocora.
Pengobatan : - Albendazol 400 mg pada VLM
- Pada OLM dilakukan operasi vitrektomi, pengobatan dengan
anthelmintik, dan kortikosteroid.

Pencegahan : - Mencegah pembuangan tinja anjing dan kucing secara


sembarangan
- Hewan yang terinfeksi diobati dengan mebendazol atau
invermectin
- Pengawasan terhadap anak yang memiliki kebiasaan
makan tanah
- Peningkatan kebersihan pribadi
Distribusi Geografik :
Cacing tersebar secara kosmopolit. Dengan prevalensi di Jakarta 38,3% pada
anjing dan 36% pada kucing.

Epidemiologi :
Memiliki agent yaitu telur T. canis pada anjing atau T.cati pada kucing hidup
di tanah yang cocok.

 Necator americanus dan A. duodenale


Hospes : Manusia
Penyakit : Nekatoriasis & ankilostomiasis
Morfologi : ♂ 1 cm
♀ 0,8 cm
- Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan
mulut yang besar melekat pada mukosa dinding
usus.
- Bentuk badan menyerupai huruf S & mmpunyai benda kitin
 N. americanus
- Bentuk badan menyerupai huruf C & ada dua pasang gigi
 A. duodenale
- Rongga mulut besar
- Hospes Definitif : Manusia
- Cara Penularan : Port d’entree : kulit, infeksi larva
Port d’extree : anus, telur di feses
- Bentuk infektif : larva filariform

Daur Hidup :

• Cacing betina bertelur -/+ 9000 butir perhari, besarnya kira-kira 60 x 40 mikron.
• Telur dikeluarkan dengan tinja.
• Setelah menetas (1 – 1,5 hari) keluar larva rabditiform, panjangnya kira-kira 250
mikron.
• Setelah 3 hari tumbuh menjadi larva filariform, panjangnya -/+ 600 mikron, dapat
menembus kulit dan dapat hidup selama 7 – 8 minggu di tanah.
• Telur  larva rabditiform  larva filariform  menembus kulit  kapiler darah
jantung kanan  paru  bronkus trakea  laring  usus halus.
Patologi dan Gejala Klinis :
Gejala nekatoriasis & ankilostomiasis :
- Stadium larva : Larva filariform yang banyak menembus kulit dapat
menyebabkan perubahan pada kulit yang disebut ground
itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Infeksi A. duodenale scr oral
mnyebabkan penyakit wakana dgn gejala mual, muntah, iritasi, dll.
- Stadium dewasa : Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing juga
kondisi keadaan gizi ( protein dan Fe). N.americanus dapat menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale 0,08
– 0,34 cc . Biasanya terjadi anemis hipokrom mikrositer.Disamping itu terjadi
eosinofilia.
Diagnosis : - menemukan telur dlm tinja segar, larva dlm tinja lama
- utk membedakan N. americanus dgn A. duodenale
dilakukan dgn biakan Harada-Mori
Pengobatan : Pirantel Pamoat 10 mg/kg BB
Pencegahan : - Kurangi pemakaian pupuk yang terbuat dari tinja
- Memakai alas kaki ketika berada di tanah
Distribusi geografik :
Prevalensi di Indonesia cukup tinggi (khususnya di daerah perkebunan 70%).

Epidemiologi :
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur dengan suhu
optimum untuk N. americanus suhu 28◦-32◦C dan A. duodenale 23◦-25◦C.

 Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum


Hospes : Manusia, kucing, anjing
Penyakit : Creeping eruption
Morfologi : A. braziliense 
ada 2 pasang gigi yg tdk sama besar
♂ 4,7 – 6,3 mm
♀ 6,1 – 8,4 mm
A. canium 
ada 3 pasang gigi
♂ 10mm
♀ 14 mm

Daur Hidup :

Telur keluar dr tinja kucing/anjing  menetas dlm 1 atau 2 hari 


larva rhabditiform  dlm 5 sampai 10 hari  larva filariform (infektif) 
kontak dgn hewan :  menembus kulit  pembuluh darah  jantung 
paru-paru  alveolus  bronkiolus  ditelan  usus halus  mjd dewasa
 kontak dgn manusia :  larva menmbus kulit  bermigrasi  tdk
brkembang lagi.

Patologi dan Gejala Klinis :


Manusia, larva tidak tumbuh menjadi dewasa melainkan menimbulkan
kelainan kulit yang disebut creeping eruption , creeping disease atau
cutaneous larva migrans.
Creeping eruption : Suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan
intrakutan serpiginosa.
Proses terbentuk, larva filariform menembus kulit terjadi papel keras , meral
dan gatal.Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit
yang tampak seperti garis merah,sedikit menimbul, gatal sekali dan
bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit.Sepanjang garis
yang berkelok-kelok , terdapat vesikel – vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi
sekunder karena kulit digaruk.

Diagnosis : Dengan gambaran klinis pada kulit & biopsi


Pengobatan : Semprotan kloretil, dan Albendazol 400 mg
Pencegahan : - Memakai alas kaki ketika berada di tanah
- Peningkatan kebersihan terhadap kucing dan anjing

Distribusi Geografik :
Ditemukan di daerah tropic dan subtropik. Di Jakarta ditemukan pada kucing
72% A.braziliense sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18% A.
braziliense dan 68% A. caninum.

Epidemiologi :
Pada manusia larva tidak menjadi dewasa, tetapi menyebabkan kelainan
kulit atau creaping eruption.
 Trichuris trichiura
Hospes : Manusia
Penyakit : Trikuriasis
Morfologi : ♂ 4 cm, ♀ 5 cm
- Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya 3/5
dari panjang seluruh tubuh.
- Bagian posterior bentuknya lebih gemuk.
- Hidup di colon asendens dan sekum

Daur Hidup :

• Cacing betina dapat bertelur antara 3000 – 10.000 butir, ukurannya 50 – 54 mikron x
32 mikron.
• Telur matang dalam waktu 3 – 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai (tanah yang
lembap dan tempat yang teduh).
• Telur matang (yg berisi lava) tertelan hospes  larva keluar melau dinding telur 
masuk ke usus halus  sesudah dewasa cacing turun kebagian distal  masuk ke
daerah kolon terutama sekum.
• Masa pertumbuhan dari telur tertelan sampai cacing dewasa bertelur 30 – 90 hari.
Patologi dan Gejala Klinis :
Tidak mengalami siklus paru
Infeksi berat terjadi pada anak-anak ,tersebar di seluruh kolon dan rectum .
kadang-kadang terlihat di mukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat
mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Iritasi dan peradangan dapat terjadi dalam mukosa usus karena cacing
memasukkan kepalanya dan dapat menimbulkan trauma mukosa usus.

Diagnosis : Dibuat dgn menemukan telur dlm tinja.


Pengobatan : - Albendazol 400 mg (dosis tunggal)
- Mebendazol 100 mg (dua kali sehari selama tiga hari
berturut-turut)
Pencegahan : - Pembuatan jamban yang baik dan benar
- Pendidikan tentang sanitasi
- Meningkatkan kebersihan pribadi
- Mencuci sayuran yang dimakan mentah
Distribusi Geografis :
Bersifat kosmopolit, terutama ditemukan didaerah panas dan lembab.

Epidemiologi :
Faktor penting untuk penyebarannya adalah kontaminasi tanah dgn tinja.
Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh.

 Enterobius vermicularis / Oxyuris vermicularis


Hospes : Manusia
Penyakit : Enterobiasis / oksiuriasis
Morfologi : ♀ 8-13 mm x 0,4 mm
♂ 2-5 mm
- Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum yang disebut
alae.
- ekornya panjang dan runcing pada btina, ekor melingkar
seperti tanda tanya (?) pada jantan.
- Habitatnya di rongga sekum, usus besar, dan di usus halus.
Daur Hidup :

• Cacing betina mengandung 11.000 – 15.000 butir telur.


• Telur matang setelah 6 jam dikeluarkan, pada suhu badan.
• Tertelan telur matang  menetas di duodenum  larva rabditiform  menjadi
dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum  bertelur di sekum.

Patologi dan Gejala Klinis :


Relatif tidak berbahaya , jarang menimbulkan lesi yang berarti.Gejala klinis
yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus,perineum dan vagina oleh
cacing bertina gravid yang bermigrasi ke anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus local.Peradangan terjadi di daerah tempat cacing
berada karena menimbulkan rasa gatal dan membuat penderita menggaruk
di daerah tersebut dan dapat menyebabkan infeksi(umumnya terjadi di
sekitar daerah anus ) , dapat juga terjadi di tuba fallopi sehingga
menimbulkan peradangan.Gejala lain yang ditemukan berupa nafsu makan
turun,berat badan turun, cepat marah,enuresis,cepat marah,gigi
menggeretak ,insomnia dan masturbasi.

Diagnosis : - Menemukan telur dn cacing dewasa


- Telur diambil dgn alat anal swab yg ditempelkan sekitar
anus pd pagi hari sebelum anak buang air besar dn mencuci
pantat (cebok).
Pengobatan : - Piperazin (Tidak efektif terhadap telur)
- Pirantel Pamoat (Tidak efektif terhadap telur)
- Mebendazol (efektif terhadap semua stadium)
Pencegahan : - Kuku hendaknya selalu pendek
- Mencuci tangan sebelum makan
- Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti
setiap hari
Distribusi Geografis :
Parasit ini kosmopolit tetapi banyak ditemukan didaerah dingin daripada di
daerah panas. Hal itu mungkin disebabkan orang yang tinggal didaerah dingin
jarang mandi dan mengganti baju dalam.

Epidemiologi :
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Telur cacing bisa
menempel dimana saja biasa ditemukan (92%) di lantai, meja , kursi , buffet,
tempat duduk kakus, bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam.

 Trichinella spiralis
Hospes : Manusia, tikus, anjing,
babi, beruang
Penyakit : Trikiniasis
Morfologi :- Cacing dewasa berbentuk halus seperti rambut.
- ♂ 1,5 mm, ♀ 3-4 mm
- Ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat.
Daur Hidup :

• Cacing betina dpt mngeluarkan 1500 larva


• Daging yg kurang matang mngandung larva cacing  ditelan 
masuk ke usus  cacing dewasa di mukosa usus  melepaskan larva
 ke dalam limfe dn peredaran darah  seluruh tubuh (otot
diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, dll)  pd minggu ke-4 larva
menjadi kista dlm otot brgaris melintang.

Patologi dan Gejala Klinis :


- Stadium larva: Gejala yang disebabkan tergantung pada organ yang
dihinggapi ,misalnya dapat menyebabkan sembab sekitar mata ,sakit
persendian,gejala pernafasan ,kelainan jantung dan kelainan susunan
saraf.Bila masa akut telah lalu ,biasanya penderita sembuh secara perlahan-
lahan bersamaan dengan dibentuknya kista dalam otot.
Larva tersebar di otot kira-kira 7 – 28 hari sesudah infeksi.Pada saat ini timbul
gejala nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai
demam,eosinofilia dan hipereosinofilia.

Infeksi berat dapat menimbulkan kematian dalam waktu 2 – 3 minggu , tapi


biasanya kematian terjadi dalam waktu 4 – 8 minggu sebagai akibat kelainan
paru,otak maunpun jantung

Stadium dewasa ; terjadi gejala seperti sakit perut , diare , mual dan muntah
akibat invasi cacing ke mukosa usus.

Diagnosis :
Tes kulit dengan memakai antigen yg terbuat dr larva Trichinella dapat
mmberikan reaksi positif pada minggu ke-3 atau ke-4.
Pengobatan : Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama beberapa hari
Pencegahan : - Pengolahan daging babi yang lebih baik
- Memusnahkan sisa penjagalan yang mengandung potongan
daging mentah

Distribusi Geografis :
Cacing ini kosmopolit, tetapi di negeri yang beragama islam parasit ini jarang
ditemukan pada manusia. Di Eropa dan Amerika Serikat parasit ini banyak
ditemukan karena penduduknya banyak yang mengonsumsi daging babi yang
kurang matang (sosis).

Epidemiologi :
Pengelolahan daging babi sebelum dimakan manusia sangat penting karena
larva infektifnya terdapat pada otot daging. Larva akan mati pada suhu 60◦C
atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati pada daging yang
diasin atau diasap.
b. Nematoda Jaringan
 Wuchereria bancrofti
Hospes : Manusia
Penyakit : Filariasis bankrofti
Morfologi : - Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan
kelenjar limfe.
- Bentuk halus seperti benang dan berwarna putih susu.
- Yang betina berukuran 65 – 100 mm x 0,25 mm dan yang
jantan 40 mm x 0,1 mm.
- Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung
dengan ukuran 250 – 300 mikron x 7-8 mikron.
Daur Hidup :

• Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang sangat panjang.


• Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu.
• Pada manusia diduga -/+ 7 bulan.
• Mikrofilaria terisap oleh nyamuk  melepaskan sarungnya di dalam lambung 
menembus dinding lambung nyamuk  bersarang di otot-otot toraks  larva
stadium I  larva stadium II  larva stadium III  ke rongga abdomen  ke kepala
 alat tusuk nyamuk  nyamuk menggigit manusia  larva masuk melalui luka
tusuk ke dalam tubuh hospes  bersarang di saluran limfe  larva stadium IV 
larva stadium V (cacing dewasa)
• Umur cacing dewasa filaria 10 – 15 tahun kemudian.

Patologi dan Gejala Klinis :


Stadium microfilaria : Biasanya tidak menimbulkan kelainan , dalam keadaan
tertentu dapat menimbulkan occult filariasis.
Stadium akut : Ditandai dengan gejala peradangan pada saluran dan kelenjar l
imfe,berupa limfadenitis dan limfangitis retrogard.Gejala peradangan hilang timbul
beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua
minggu.Yang paling sering dijumpai adalah peradangan pada system limfatik alat
kelamin pria , menimbulkan funikulitis , epididimitis dan orkitis.Menimbulkan
peradangan pada saluran sperma dengan gejala membengkak menyerupai tali dan
sangat nyeri pada perabaan,.Kadang – kadang saluran sperma yang meradang ini
menyerupai hernia inkarserata.PAda stadium menahun gejala klinis yang
palingsering dijumpai adalah hidrokel.Kadang-kadang dijumpai gejala limfedema dan
elephantiasis yang dapat mengenai seluruh tungkai , seluruh lengan , buah zakar ,
payudara dan vulva. Kadang-kadang dapat pula terjadi kiluria .

Diagnosis : - Diagnosis parasitologi


- Radiognosis
- Diagnosis imunologi
Pengobatan : Dietil Karbamasin Sitrat (DEC)
Pencegahan : Lindungi kulit dari gigitan nyamuk

Distribusi Geografis :
Parasit tersebar luas didaerah yang beriklim tropis diseluruh dunia.
Epidemiologi :
Bisa dijumpai pada perkotaan atau pedesaan. Di Indonesia parasit ini lebih
sering di jumpai di pedesaan daripada diperkotaandan penyebarannya
bersifat fokal. Tidak bisa diobati hanya bisa dicegah dengan obat dan
menghindari digigit oleh nyamuk culex.

 Brugia malayi dan Brugia timori


Hospes : Manusia dan hewan
Penyakit : Filariasis brugia
Morfologi : - Cacing dewasa hidup di saluran di saluran dan pembuluh
limfe.
- Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu.
- Yang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm (B. malayi), 21 – 39
mm x 0,1 mm (B. timori) dan yang jantan 22 – 23 mm x 0,09
mm (B. malayi), 13 – 23 mm x 0,08 mm (B. timori).
- Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung.
- Ukuran mikrofilaria. B. malayi 200 – 260 mikron x 8 mikron
dan B. timori 280 – 310 mikron x 7 mikron.
Daur Hidup :
• Masa pertumbuhan pada nyamuk -/+ 10 hari dan pada manusia -/+ 3 bulan.
• Di dalam tubuh nyamuk mengalami mikrofilaria  larva stadium I  larva stadium
II.
• Perkembangan kedua parasit tersebut sama dengan perkembangan W. bancfroti.

Patologi dan Gejala Klinis :


Stadium akut : 1. Demam
2. Gejala peradangan saluran dan kelenjar limfa ( hilang timbul )
Limfadenitis : - Menyerang kelenjar inguinal
- Timbul setelah penderita bekerja berat
- Berlangsung 2 – 5 hari , dapat sembuh dengan sendirinya.
- Dapat menimbulkan limfangitis retrogard jika gejala menjalar ke
bawah dan mengenai saluran limfe.
- Dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan
dapat menjalar ke jaringan sekitar ( limfangitis retrogard) dapat
menimbulkan infiltrasi pada pangkal paha.
- Dapat menimbulkan gejala limfadema
- Dapat berkembang menjadi bisul
- Peradangan yang berulang dapat menimbulkan elephantiasis.

Diagnosis : Dibuktikan dgn menemukan mikrofilaria di dalam darah tepi.


Pengobatan : Dietil Karbamasin Sitrat (DEC)
Pencegahan : Lindungi kulit dari gigitan nyamuk
Distribusi Geografis :
B. malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai Jepang termasuk
Indonesia. B. timori terdapat di Indonesia timur di Pulau Timut, Flores, Rote,
Alor dan beberapa pulau kecil di NTT.

Epidemiologi :
Hanya terdapat di daerah pedesaan biasa yang terkena penyakit ini petani
dan nelayan, biasa terdapat di pantai atau aliran sungai dan rawa rawa.
 Loa loa (cacing mata)
Hospes : Manusia
Penyakit : Loaiasis
Morfologi : - Yang betina berukuran 50 – 70 mm x 0,5 mm dan yang
jantan 30-34 mm x 0,35 – 0,43 mm.
- Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria.
- Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300 mikron
x 6 – 8,5 mikron.

Daur Hidup :

• Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops.


• Mikrofilaria yang beredar dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10
hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva infektif dan siap
ditularkan pada hospes lainnya.
• Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam waktu 1-4 tahun kemudian
berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.
Patologi dan Gejala Klinis :
Stadium Mikrofilaria : Dalam darah tidak menimbulkan masalah.
Stadium dewasa : - Dalam jaringan subkutan tidak bermasalah
- Ditemukan di seluruh tubuh  Menimbulkan iritasi di konjungtiva mata
dan pangkal hidung -> Cacing mengeluarkan secret -> Membuat penderita
jadi hipersensitif-> Radang temporer (Callabar sweeling) atau pembengkakan
jaringan dengan gejala tidak sakit ,letaknya di tangan dan lengan,sebesar
telur ayam dan dapat hilang dalam beberapa minggu.

Diagnosis : - Menemukan mikrofilaria dlm darah yg diambil pd siang hari


- Menemukan cacing dewasa dr konjungtiva mata/jaringan
subkutan
Pengobatan : DEC 2 mg/kg BB, tiga kali sehari sesudah makan selama 14
hari
Pencegahan : Menghindari gigitan lalat atau pemberian obat sebulan sekali,
selama 3 hari berturut-turut

Distribusi Geografis :
Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujan (rain forest)
dan sekitarnya; ditemukan di Afrika tropic bagian barat dari Sierra leone
sampai Angola, lembah sungai Kongo, republic Kongo, Kamerun dan Nigeria
bagian selatan.

Epidemiologi :
Daerah endemi adalah daerah lalat Chrysops silaea dan Chrysops dimidiate
yang mempunyai tempat perindukan di hutan yang berhujan dengan
kelembaban tinggi. Lalat ini menyerang manusia, yang sering masuk hutan,
biasanya pada pria dewasa.
 Onchocerca volvulus
Hospes : Manusia
Penyakit : Onkoserkosis
Morfologi:
- Cacing dewasa hidup dalam jaringan ikat, melingkar satu dengan lainnya
seperti benang kusut .
- Cacing betina berukuran 33,5 – 50 mm x 270 – 400 mikron dan cacing jantan
19 – 42 mm x 190 – 210 mikron.
- Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen, dan transparan.
- Mikrofilaria mempunyai 2 macam ukuran yaitu 285 – 368 x 6-9 mikron dan
150 – 287 x 5-7 mikron.

Daur hidup :

• Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria di jaringan subkutan  mencari jalan ke


kulit  lalat Simulium mengisap darah  mikrofilaria terisap lalat  menembus
lambung lalat  otot toraks  larva infektif  alta penusuk lalat (probosis) 
menusuk manusia  larva masuk jaringan ikat  dewasa dalam tubuh hospes 
mengeluarkan mikrofilaria.
Patologi dan Gejala Klinis :
Menyebabkan onkosersiaris : -> tipe forest : Dominan kelainan kulit
-> tipe savannva : Dominan kelainan mata
Stadium microfilaria : - Ketika dikeluarkan cacing betina
- Ketika beredar dalam kulit
Masalah yang timbul : -> Menimbulkan gangguan saraf-saraf optic dan retina
Akibat : Reaksi mekanik dan reaksi secret
Toksin yang dihasilkan microfilaria yang mati
Toksin cacing dewasa
Gejala awal : Fotofobia
Lakrimasi
Biefaro
> Menimbulkan reaksi radang , meningkat seiring banyaknya
microfilaria yang mati.
> Pada kasus menahun dapat terjadi keratitis berbintik,glaucoma ,
atrofi dan diakhiri kebutaan.
> Sering di temukan limbitis dan pigmentasi coklat
> Timbul pruritic dermatitis karena gerakan microfilaria dan toksin
yang dilepaskan dari kulit
> Timbul rash berupa lingkaran-lingkaran kecil
> TImbul edema kulit -> kulit menebal -> likenifikasi
> Hanging groin ( kulit yang kehilangan elastisitasnya )
Stadium dewasa : Hidup di jaringan ikat  Merangsang pembentukkan serat-serat yang
mengelilingi cacing dalam jaringan.
Masalah yang timbul : - Lesi mengenai kulit dan mata
- Benjolan-benjolan dalam jaringan subkutan ( onkoserkoma) .
Onkoserkoma : Ukuran kecil ke besar
Terletak di scapula , iga , tengkorak , siku-siku
Benjolan dapat digerakan dan tidak sakit
Diagnosis :
• Klinis
• Parasitologik
• Ultrasonografinodul
• Pelacak DNA
• Mazotti test
Pengobatan : - Ivermectin (Efek kuat terhadap microfilaria)
- Suramin (Yang dapat membunuh cacing dewasa O. volvulus)
Pencegahan : Menghindari gigitan lalat Simulium dan memakai pakaian
tebal yang menutupi seluruh kulit

Distribusi Geografis :
Parasit ini banyak ditemukan pada penduduk Afrika, dari
pantai barat Sierra leone menyebar ke republic Kongo, Angola,
Sudan sampai Afrika Timur

Epidemiologi :
Tempat perindukan vector (Simulium) terdapat didaerah
pegunungan yang mempunyai air sungai yang deras. Bisa
menginfeksi manusia dewasa maupun anak anak dan infeksi
yang menahun bisa mengakibatkan kebutaan.

2) TREMATODA
a. Trematoda Hati
 Fasciola Hepatica
Hospes : Manusia, kambing, sapi
Penyakit : Fasioliasis
Morfologi : - pipih seperti daun
- 30 x 13 mm
- bagian anterior brbentuk seperti kerucut dan pada puncak
kerucut trdapat batil isap
Daur Hidup :

• Telur dikeluarkan dr tinja dlm keadaaan belum matang  di air


matang dlm 9-15 hari  berisi mirasidium  telur menetas 
mirasidium mencari keong air  di keong air terjadi : M – S – R1 – R2
– SK  serkaria keluar dn mencari hospes perantara II (tumbuh-
tumbuhan air)  membentuk metaserkaria  ditelan sapi 
menetas  larva/cacing hidup di sel epitel sal. empedu.

Patologi dan Gejala Klinis :


Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan
parenkim hati.Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan
sumbatan,sehingga menimbulkan sirosis periportal.

Diagnosis : - Menemukan telr dlm tinja, cairan duodenum


- reaksi serulogi (ELISA)
Pengobatan : Prazikuantel dan Albendazol
Pencegahan : Memasak tumbuhan air hingga matang sehingga tidak
mengandung metasekaria

Distribusi Geografis :
Di Amerika Latin, Perancis dan Negara Negara sekitar Laut Tengah banyak
ditemukan.

Epidemiologi :
Infeksi terjadi jika memakan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria.

b. Trematoda Paru
 Paragonimus westermani
Hospes : Manusia, kucing, luak,
anjing, harimau, serigala
Penyakit : Paragonimiasis
Morfologi : - hidup dalam kista di paru
- bundar lonjong menyerupai biji kopi
- ukuran 8-12 x 4-6 mm, warna coklat tua
Daur Hidup :
• Telur keluar bersam tinja  menetas dlm 16 hari  mirasidium
mencari keong air  di keong air berkembang : M – S – R1 – R2 – SK
 serkaria keluar dn mencari hospes perantara II (ketam/udang batu)
 jd metaserkaria  manusia memakan yg belum matang  hospes
definitf  jd cacing dewassa di duodenum  menembus dinding usus
 ke paru-paru.

Patologi dan Gejala Klinis :


Cacing dewasa berada dalam kista di paru , maka gejala dimulai dengan
adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah (Endemic
hemoptysis) .Cacing dewasa dapat pula bermigrasi kea lat-alat lain dan
menimbulkan abses pada alat tersebut ( Hati , limpa,otak , otot , dinding
usus)

Diagnosis : menemukan telur dlm sputum/cairan pleura


Pengobatan : Prazikuantel dan Bitionol
Pencegahan : - Penyuluhan tentang cara masak ketam yang baik
- Pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan
sawah

Distribusi Geografis :
Cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam,
Thailand, India, Malaysia, Afrika dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan
autokton pada binatang, sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor
saja.

Epidemiologi :
Penyakit ini berhubungan dengan kebiasaan makan ketam yang tidak
dimasak dengan baik.
c. Trematoda Usus
 Famili Enchinostomatidae
Hospes : Manusia, tikus, anjing,
burung, ikan
Penyakit : Ekinostomiasis
Morfologi : - ada duri-duri leher
- berbentuk lonjong, ukuran 2,5-13 mm x 0,4-2,5 mm
- cacing dewasa hidup di usus halus
- warna merah keabu-abuan
Daur Hidup :

• Telur stlh 3 minggu dalam air berisi mirasidium  menetas 


mirasidium keluar dan berenang untuk hinggap di hospes perantara I
(keong kecil)  di HP I mirasidium berubah jd sporokista  redia
induk  redia anak  serkaria  lepas ke air  hinggap di HP II
(keong besar)  jd metaserkaria aktif.
Patologi dan Gejala Klinis :
Tidak menimbulkan gejala yang berat,menyebabkan kerusakan yang ringan
pada mukosa usus. Infeksi berat menimbulkan radang kataral pada dinding
usus atau ulserasi.

Diagnosis : Menemukan telur dalam tinja


Pengobatan : Tetrakloroetilen, atau Prazikuantel
Pencegahan : Konsumsi keong sawah yang sudah dimasak hingga matang
Distribusi Geografis :
Ditemukan di filipina, Cina, Indonesia dan India.
Epidemiologi :
Keong sawah sebaiknya dimasak hingga matang, bila tidak, metaserkaria dpt
hidup dn tumbuh mjd cacing dewasa.

d. Trematoda Darah
 Schistosoma japonicum
Hospes : Manusia, anjing, kucing,
rusa, tikus sawah, sapi
Penyakit : Skistosomiasis japonica
Morfologi : ♂ 1,5 cm, ♀ 1,9 cm
- hidup di vena mesenterika superior
Daur Hidup :
• Telur dikeluarkan brsama tinja  menetas di air  mirasidium 
serkaria  infeksi ke manusia  skistosomula  mjd cacing dewasa
di hati .

Patologi dan Gejala Klinis :


 KELAINAN TERGANTUNG DARI BERAT RINGANNYA INFEKSI
 STADIUM I : URTIKARIA, DERMATITIS
 STADIUM II : SINDROMA DISENTERI
 STADIUM III (MENAHUN) SIROSIS HATI, HEPATO-SPLENOMEGALI
EMASIASI  MENINGGAL

Diagnosis : Menemukan telur dalam tinja dan biopsi rektum


Pengobatan : Niridazol, Prazikuantel
Pencegahan : Perbaikan kesehatan lingkungan dan penerangan kesehatan

Distribusi Geografis :
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam,
Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah
yaitu daerah Danau Lindu dan Lembah Napu.

Epidemiologi :
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan juga pada hewan-hewan
lain sebagai hospes reservoir; hospes perantaranya yaitu keong air.

3) CESTODA
a. Pseudophyllidea
 Diphyllobothrium latum
Hospes : Manusia, anjing, kucing,
walrus, singa laut
Penyakit : Difilobotriasis
Morfologi : - berwarna gading, dapat sampai 10 m
- terdiri atas 3000-4000 buah proglotid (segmen-segmen)
Daur Hidup :
Patologi dan Gejala Klinis :
Gejala saluran pencernaan seperti diare, tidak nafsu makan, dan tidak enak
perut.

Diagnosis : Menemukan telur/progloitid di dlm tinja


Pengobatan : Atabrin disertai Na-bikarbonas, Niclosamid, Paromomisin,
Prazikuantel
Pencegahan : - Anjing sebaiknya diberi obat cacing
- Masak ikan air tawar hingga matang sempurna
Distribusi Geometris :
Parasit ini ditemukan di Amerika, Kanada, Eropa, daerah danau di Swiss,
Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika, Malagasi dan Siberia.

Epidemiologi :
Dijumpai dinegara yang banyak mengkonsumsi ikan salem mentah atau
kurang matang. Banyak binatang seperti anjing, kucing dan babi berperan
sebagai hospes reservoir dan perlu diperhatikan.

b. Cyclophyllidea
 Taenia saginata
Hospes : Manusia, sapi, kerbau
Penyakit : teniasis saginata
Morfologi : - terdiri atas kepala (skoleks),
leher, dan strobila (raangkaian proglotid) sebanyak 1000-
2000 buah
- panjang 4-12 m
- lubang kelamin letaknya selang-seling pada sisi kanan/kiri
strobila
Daur Hidup :

• Telur melekat di rumput bersama tinja  dimakan ternak 


menembus dinding usus ikut aliran darah ke jaringan ikat di sela-
sela otot  larva sistiserkus.

Patologi dan Gejala Klinis :


Cacing dewasa menyebabkan gejala klinis yang ringan , seperti sakit ulu
hati,perut merasa mual,muntah,mencret,pusing atau gugup.Gejala-gejala
tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak
lewat dubur bersama dengan atau tanpa tinja.

Diagnosis : Ditemukan proglotid yg aktif bergerak dlm tinja/keluar


spontan
Pengobatan : - Obat lama: Kuinakrin, Amodiakuin, Niklosamid
- Obat baru: Prazikuantel dan Albendazol
Pencegahan : Mendinginkan daging sampai -10o C, Iridiasi, dan memasak
daging sampai matang
Distribusi Geografik :
Penyebaran cacing secara kosmopolit, didapatkan di Eropa, Timur Tengah,
Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika latin, Rusia dan juga Indonesia, yaitu Bali
dan Jakarta.

Epidemiologi :
T. saginata sering ditemukan pada penduduk yang sering mengkonsumsi
sapi/kerbau dengan memakannya setengah matang.

 Tenia solium
Hospes : Manusia dan babi
Penyakit : Teniasis solium
Morfologi : - panjang 2-4 m
- terdiri atas 800-1000
ruas proglotid
- strobila terdiri dari proglotid yg belum dewasa (imatur),
dewasa (matur), dan telur (gravid)
Daur Hidup :
• Telur keluar melalui robekan pd proglotid  termakan hospes
perantara  menembus dinding usus halur  aliran darah 
menyangkut di jaringan otot babi dimakan manusia  larva
sistiserkus melekat di dinding usus halus V dlm 3 bulan mjd dewasa V
melepaskan proglotid dn telur.

Patologi dan Gejala Klinis :


Larva sering menghinggapi jaringan subkutis, mata,jaringan otak,otot jantung
,hati , paru, dan rongga perut.Sering tidak menimbulkan gejala namun
kadang-kadang dapat menimbulkan miositis , demam tinggi dan
eosinofilia.Sering menimbulkan kalsifikasi (pengapuran) namun tak
menimbulkan masalah.

Diagnosis : Menemukan telur dan proglotid


Pengobatan : - Prazikuantel (Untuk penyakit teniasis solium)
- Prazikuantel, Albendazol, atau pembedahan (Untuk
sistiserkosis)
Pencegahan : Mendinginkan daging sampai -10o C, Iridiasi, dan memasak
daging sampai matang

Distribusi Geografis :
Penyebaran cacing secara kosmopolit, akan tetapi jarang ditemukan dinegara
islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di Negara yang mempunyai banyak
peternakan babi seperti di Amerika, Eropa dan beberapa daerah di Indonesia
seperti Papua,Bali dan Sumatra Utara.

Epidemiologi :
Cara menyantap daging yang setengah matangdan pengertian dari
kebersihan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun
sistiserkus selulose.
Cacing Pita yang Kurang Penting di Indonesia

 Hymenolepis nana
Hospes : Manusia dan tikus
Penyakit : Himenolepiasis
Morfologi : - ukuran trkecil dr cestoda
- panjang 25-40 mm lebar 1 mm
- telur menetas di rongga usus halus sbelum dilepaskan
brsama dgn tinja (autoinfeksi interna)
Daur Hidup :
Patologi dan Gejala Klinis :
Biasanya tidak menimbulkan gejala, hanya menimbulkan iritasi pada dinding
usus halus.Pada anak kecil , infeksi berat dapat menimbulkan keluhan
neurologi,sakit perut dengan atau tanpa diare.

Diagnosis : Menemukan telur dalam tinja


Pengobatan : Prazikuantel, Niklosamid, Amodiakuin
Pencegahan : Peningkatan kebersihan perorangan dan keluarga
Distribusi Geografis :
Penyebarannya kosmopolit, lebih banyak di daerah panas daripada di daerah
dingin dan juga di temukan di Indonesia

Epidemiologi :
H. nana biasanya tidak memerlukan hospes perantara, infeksi kebanyakan
melalui tangan ke mulut secara langsung. Infeksi pada manusia biasanya
disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi.
 Echinococcus granulosus
Hospes : Manusia dan anjing
Penyakit : Hidatidosis
Morfologi : - ukuran 3-6 mm
- melekat di vilus
usus halus anjind dan hospes definitif lain
- hanya punya 1 proglotid imatur, 1 proglotid matur, dan 1
proglotid gravid
- skoleks ada 4 batil isap
Daur Hidup :
Patologi dan Gejala Klinis :
Gejala-gejala yang ditimbulkan larva cacing disebabkan oleh beberapa hal:
- Desakan kista hidatid
- Cairan kista yang dapat menimbulkan reaksi alergi
- Pecahnya kista,sehingga cairan kista masuk peredaran darah dan dapat
menimbulkan renjatan anafilatik yang mungkin dapat mengakibatkan
kematian.

Diagnosis : - tes pencitraan ( CT scan, MRI, radiologi, dll)


- uji serologi (ELISA)
Pengobatan : - Pembedahan dan Kemoterapi
- Intervensi pra dan pasca kemoterapi dengan Albendazol
atau Mebendazol
Pencegahan : Peningkatan kebersihan terhadap hewan ternak
Distribusi Geografis :
Parasit ini ditemukan di Australia Selatan, Afrika, Amerika selatan, Eropa, Asia
Tengah, RRC, Jepang, Filipina,dan negara-negara arab.

Epidemiologi :
Biasanya didaerah ternak domba dan yang berhubungan erat dengan anjing.
Imunologi Parasit
(Hasyati Dwi Kinasih)

 Parasit merupakan organisme yang berlindung dalam atau diorganisme dan


mendapatkan keuntungan dari pejamu. Banyak parasit yang hidup ditubuh manusia
memiliki siklus hidup yang kompleks, maka imunitas yang digunakan juga harus
kompleks.
 Golongan parasit berupa protozoa
(malaria,tripanosoma,taksoplasma,lesmania,amuba), metazoa (cacing), dan
ektoparasit ( kutu,tungau).

Imunologi pada infeksi parasit ada dua, yaitu :


1. Imunitas non spesifik
2. Imunitas spesifik

IMUNITAS SPESIFIK PADA INFEKSI PARASIT


Protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat, biokimiawi, siklus hidup dan
patogenesisnya. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian penjamu akan
merugikan parasit itu sendiri. Imunitas spesifik yang digunakan ketika infeksi parasit
ialah humoral (diperantarai antibodi) dan selular (diperantarai limfosit T). Tetapi,
antibodi yang paling berperan dalam imunitas spesifik ialah IgE.

 Infeksi cacing/parasit
Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4, IL-5, dan IL-
13. IL-4 dan IL-13 merangsang pembentukan IgE dan IL-5 merangsang
perkembangan dan aktivitas eosinofil. IgE berikatan dengan permukaan
cacing di ikat eosinofil,selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi
granul enzim yang menghancurkan parasit.
Sementara itu, IgE juga dapat berikatan dengan sel mast ataupun basofil
yang nantinya akan mensekresikan histamine yang menimbulkan respon
alergi, lalu menimbulkan spasme usus sehingga dengan cara tersebut,
cacing/parasit dapat dikeluarkan dari tubuh, khususnya saluran cerna
 Granuloma
Pada beberapa infeksi,cacing maupun parasit lainnya tidak dapat
dihancurkan oleh sistem imun. Dalam hal ini badan berusaha
mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel
inflamasi. makrofag yang di kerahkan, melepas fakor fibrogenik dan
merangsang pembentukan jaringan granuloma dan fibrotik.

 Respon Th1 dan Th2 pada infeksi parasit


Respon terhadap infeksi seperti pada lemaia berhubungan dengan respon
Th1 dan Th2.dalam menentukan perjalanan penyakit,peranan Th1 dan
Th2 pada banyak penyakit parasit lebih kompleks.

 Pembentukan NO
Makrofag merupakansel terpenting yang memproduksi sitokin untuk
mengontrol dan menyingkirkan parasit. Makrofag juga memproduksi NO
yang sangat berperan untuk menyingkirkan parasit. IFN- γ juga
merupakan salah satu sitokin penting yang dapat menghasilkan NO. IFN- γ
dan IFN- α bekerja sinergis dalam meningkatkan produksi NO.
Mekanisme Parasit Menghindar Sistem Imun
(Andya Yudhi)

A. Imunitas nonspesifik

Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui


mekanisme yang berbeda, mikroba teresbut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang
biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem
imun pejamu. Respons imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi
banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan
beberapa diantaranya dapat hidup dalam makrofag.
Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidial untuk membunuh mikroba
yang terlalu besar untuk dimakan. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplmen melalui
jalur alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis
komplemen.
Mekanisme Parasit Menghindar Sistem Imun
Parasit dapat menghindarkan diri dari respons imun pejamu melalui berbagai mekanisme
sebagai berikut:
1. Pengaruh lokasi
Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara
anatomis tidak terjangkau oleh sistem imun, misalnya parasit intraselular seperti
T.cruzi, lesmania, plasmodium, T.spiralis, E.histolitika atau yang hidup dalam lumen
saluran cerna seperti cacing.

2. Parasit mengubah antigen


Tripanosoma Afrika, dapat merubah antigen mantel permukaannya melalui proses
yang disebut variasi antigenik. Beberapa parasit malaria juga dapat menunjukkan
variasi tersebut.
Ada 2 bentuk variasi antigenik:
Pertama, perubahan yang tergantung dari fase perkembangannya. Dalam fase
pematangannya parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif. Pada
waktu respons imun berkembang terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi,
mengekspresikan antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi sasaran untuk
eliminasi imun.
Kedua, variasi antigen parasit yang terjadi terus menerus dalam antigen permukaan
utamanya terlihat pada T.brucei dan T.rodesiensi. Variasi yang terus menerus terjadi
itu diduga ditimbulkan oleh adanya variasi terprogram dalam ekspresi gen yang
menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain menutupi dirinya dengan antibodi
sehingga sistem imun pejamu tidak mengenalnya.

3. Supresi sistem imun pejamu


Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar dapat juga mengurangi efek
respons sistem imun pejamu.
Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur kelenjar dan
mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria dan
tripanosomasiasis Afrika yang disebabkan oleh produksi sitokin imunosupresif oleh
makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T.

4. Resistensi
Parasit menjadi resisten terhadap respons imun selama menginfestasi pejamu. Larva
skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan
tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh komponen dan CTL. Dasar
biokimiawinya belum diketahui.

5. Hidup dalam sel pejamu


Protozoa menghindari respons imun dengan memilih hidup dalam sel pejamu atau
dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Parasit kadang
juga melepaskan tutuo antigennya, spontan atau setelah berikatan dengan antibodi
sehingga menjadikannya resisten terhadap efektor sistem imun.
Identifikasi Parasit (Helminthes)
(Laras Indri P.)

A . Isolasi
 Definisi :1)pemisahan fisik suatu bagian ,missal melalui biakan jaringan /interposisi
bahan inert
2)perkembangbiakan mikro organism sampai diperoleh biakan murni
 Tujuan :untuk mendapatkan cacing murni yang selanjutnya akan dilakukan untuk
proses pembiakan ,ananlisis komponen kimia,penggolongan cacing
 Table isolasi cacing parasit dari jaringan yang terinfeksi

Bagian tubuh Organism pulasan keterangan

Usus NEMATODA

Enterobius vermicularis H&E Pd potongan


(sekum,umbai cacing) melintang
terdapat tanda
khas yaitu alae di
bagian lateral

Ascaris lumbricoides H&E Ukurannya


(usus besar,dinding otot
kecil,sal.empedu,hati,rongga yg terbentuk oleh
peritoneum) serat otot yang
panjang &tak
teratur

Strongy loides stercoralis H&E Pd potongan dpt


(duodenum,jejunum bagian dilihatbentuk
atas ) betinadewasa
,telur yg
bersegmen &larva
Cacing tanbang H&E Kutikulanya relative
(dalam usus kecil tebal,mulut terbuka lebar
bagian atas) melekat pada mukosa
Trichuris trichiura H&E Terlihat bagian yg
(usus besar) tebal(pegangan
cambuk)dan bagian
anterior yg langsing
Trichinella spiralis H&E Vili usus yang bengkak
(duodenum ,usus
kecil)
CESTODA
Taenia saginata H&E Dpt terlihatproglotid yg
terlepas /telur did lm
apendiks
Taenia solium H&E Bentuk larva &dewasa
dpt terlihat pd potongan
usus
Echinococcus H&E Dinding kista bagian luar
granulosus Tahan asam berlapis-lapis&tak berinti
,kait bersifat tahan asam
TREMATODA
Schistosoma H&E Cacing dewasa &telurnya
mansoni dpt terlihat dlm vena
S .japonicum mesentarika
S .haematobium
Hati NEMATODA
Capillaria hepatica H&E Parenkim hati telurnya
menetap di hati&siklus
hidupnya tidak berlanjut
did lm tubuh
Toxocara cati H&E Granuloma eosinofilik
,dpt trejd nekrosis
CESTODA
Echinococcus H&E Tidak mempunyai kait
multilocularis Tahan asam
TREMATODA
Fasciola hepatica H&E Divertikula usus dpt
terlihat telur
Clonorchis sinensis H&E Terdapat infiltrasi
eosinofilik&penebalan
dinding saluran
Kandung kencing TREMATODA
Schistosoma H&E Terdapat duri di ujung
haematobium telur
Paru-paru NEMATODA
Storongyloides H&E Dapat ditemukan larva
stercoralis yang bermigrasi dapat
Ascaris lumbricoides menimbulkan granuloma
Cacing tambang eosinofilik
Wuchereria bancrofti
TERMATODA
Paragonimus H&E Reaksi jaringan paru2 yg
westermani terisolasi dlm kapsul
fibrosa yg tebal.berisi
telur
Otot-oto rangka NEMATODA
Trichinella spiralis H&E Larva berbentuk spiral
CESTODA
Taenia solium H&E Kista berbentuk lonjong
terdapat skoleks&4batil
isap
Kulit &jaringan NEMATODA
subkutan
Wuchereria bancrofti H&E Dewasa dlm sal limfe;dpt
Brugia malayi didiagnosis dlm
Loa loa potongan jaringan
Onchocerca volvulus ;microfilaria dlm darah
Mansonella ozzardi Dewasa dlm jar
Larva cacing subkutan;microfilaria dlm
tambang darah
Dewasa dalm nodul
subkutan;microfilaria dlm
kulit
Dewasa dlm rongga
tubuh;microfilaria dlm
darah
Tidak ditemukan di dalm
kulit
CESTODA
Spirometra spp. H&E Larva sering kali terdapat
pd jaringan
subkutan/otot2
Spargium proliferum H&E Memiliki cabang2
metastatik&penyebaran
ke seluruh jaringan
Saluran Limfatik Wuchereria bancrofti H&E Kerusakan mulai dari
Brugia Malayi sensitisasi peradangan
sampai elefantiasis
(hiperplasia jaringan)

Testis Wuchereria bancrofti H&E Cacing dapat mengalami


perkapuran dan saluran
limfatik berubah menjadi
jaringan kolagen
Sistem Saraf Angiostrongylus H&E Menimbulkan eosinofilik
cantonensis meningitis; banyak
serabut otot dibawah
kutikula; infiltrasi seluler
terdiri dr eosinofil &
mononuklear

Toxocara spp. H&E Daerah nektorik atau


granuloma pada
peradangan membran
periretina

Taenia solium H&E Dapat merangsang


enkapulasi fibrosa; dapat
terjadi reaksi selular yg
jelas ketika larva mula
mati

Echinococcus H&E Dinding dengan lapisan


granulosus tipis dan mempunyai
afinitas terhadap
pewarnaan asam atau
basa

Schistosoma H&E Hipremi dari meningens


japonicum yang melapisi granuloma
dalam otak
Kultur Parasit
(Henny Hasyyati)

1. Pembiakan larva dengan cara modifikasi Harada-Mori


Metode ini digunakan untuk menemukan dan mengidentifikasikan larva cacing
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis dan
Trichostrongylus.sp.
Dengan teknik ini telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah. Kemudian larva akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung
kantong plastic.

Bahan yang diperlukan :


a) Kantong plastic es mambo yang dibuat ujungnya sempit tertutup berukuran ±
17 x 3 cm.
b) Kertas saring yang dibuat ujungnya runcing berukuran ± 15 x 2,5 cm
c) Air bersih
d) Api lilin
e) Lidi
f) Tinja

Cara kerja :
a) Oleskan tinja secukupnya pada bagian tengah kertas saring
b) Masukan kertas saring yang sudah dioles tinja kedalam kantong plastic lebih
dahulu, sehingga ujung runcing kertas saring masuk bagian sempit kantong
plastic.
c) Masukan air ± 2 cc ke dalam kantong plastic; kertas saring dengan olesan
tinja menjadi basah dan air akan tertampung diujung sempit kantong plastic.
d) Tutuplah kantong plastic dengan memakai api lilin
e) Biarkan selama 4-7 hari pada suhu kamar (25-30oC)
f) Periksalah larva dalam air di ujung sempit kantong plastic dengan binokuler
pembesaran kecil (3x, 2x)

2. Cara pembiakan larva


Bahan yang diperlukan :
a) Cawan petri dengan garis tengah ± 9cm
b) Kertas saring yang bundar
c) Pasir yang bersih dan steril ( dengan cara memanaskan)
d) Air
e) Gelas kimia kecil ( ± 30ml)

Cara kerja :
a) Kira-kira 10 cc tinja dicampur air dalam gelas kimia kecil sehingga menjadi
bubur
b) Pada dasar cawan petri diletakkan kertas saring yang lebarnya melibihi sedikit
dasar cawan petri
c) Teruhlah pasir diatas kertas saring ini
d) Tuangkan bubur tinja secara merata pada pasir tadi, jika perlu ditambah
dengan air, sehingga seluruh biakan menjadi lembab
e) Biakan ini ditutup dan dibiarkan 2-4 hari dalam suhu kamar

Bila sudah sampai waktunya, maka larva harus diisolasi dari biakan itu, dengan
menggunakan alat baermann.
KA RISDY..................
DAFTAR PUSTAKA

 Buku Ajar PARASITOLOGI KEDOKTRAN FKUI, edisi keempat


 Kamus Kedokteran Dorland, edisi 33
 Penuntun Praktikum Parasitologi Kedokteran FK-UPNVJ 2010
 Atlas Parasitologi Kedokteran
 http://www.dpd.cdc.gov/dpdx
 IMUNOLOGI DASAR FKUI, edisi revisi ke tujuh

You might also like