123dok Karakteristik+Arang+Aktif+Tempurung+Biji+Nyamplung+ (Calophyllum+inophyllum+Linn) +dan+Aplikasinya+Seb PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 114

KARAKTERISTIK ARANG AKTIF TEMPURUNG BIJI

NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn) DAN


APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG

SANTIYO WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

 
 
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakteristik Arang Aktif
Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya
Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung adalah benar hasil karya saya sendiri dan
belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Santiyo Wibowo
NRP E251070084
ABSTRACT

SANTIYO WIBOWO. The Properties of Activated Carbons from Nyamplung


Shell (Calophyllum inophyllum Linn) as Adsorbent of Nyamplung Oil. Under
direction of WASRIN SYAFII and GUSTAN PARI

The waste of nyamplung shell could be converted to be activated carbons as


gaseous and liquid adsorbent. Nyamplung shell was carbonized into charcoal, then
activated by using 0%, 5% and 10% H3PO4 at two temperatures (700 and 800oC) and
two duration (60 and 120 minutes). The nyamplung shell, charcoal and activated
carbons structure were analized by using infrared spectrometer, X-ray difractometer
(XRD), scaning electron microscope (SEM), and GCMS Pyrolisis. The quality of
charcoal and activated carbons were tested by using SNI 01-1682-1996 and SNI 06-
3703-1995. The optimum activated carbons was applied as adsorbent for
purification of nyamplung oil at four levels; 5, 10, 15, 20% and 0% (control). The
result showed that carbonization and activation caused alteration of functional group,
pore opening, chemical reduction, and increasing of cristalinity degree of the
charcoal and activated carbons. The optimum condition to produced activated
carbons were soaking in H3PO4 10% at temperature 700 oC for 120 minutes. The
better treatment for purification of nyamplung oil was by using 20% activated
carbons.

Key words: activated carbons, nyamplung shell, nyamplung oil


RINGKASAN
SANTIYO WIBOWO. Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung
(Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak
Nyamplung. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan GUSTAN PARI.

Arang aktif merupakan salah satu bahan yang diperlukan industri dalam
proses poduksi, baik industri pangan maupun non pangan. Arang aktif digunakan
sebagai bahan penjerap (adsorbsi) untuk menghilangkan bau, gas beracun, dan
warna, atau sebagai bahan penyaring/penjenih air, pemurni dan pemucat, misalnya
pada industri pemurnian gula, gas, minyak dan lemak, minuman, pengolahan pulp,
pupuk, kimia, dan farmasi.
Tempurung nyamplung merupakan limbah dari pengusahaan minyak biji
nyamplung yang belum digali pemanfaatannya. Salah satu kemungkinan
pemanfaatannya adalah dikonversi menjadi arang aktif yang akan diaplikasikan pada
penjernihan minyak nyamplung. Saat ini minyak nyamplung hanya dimanfaatkan
sebagai bahan campuran pembuatan batik dan batu bata atau sebagai bahan bakar
alternatif. Di pihak lain minyak nyamplung mempunyai potensi sebagai bahan obat
dan kosmetik. Untuk memperoleh minyak yang berkualitas baik terutama sebagai
bahan obat dan kosmetik, minyak perlu dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian
bertujuan untuk menghilangkan rasa, bau, warna, kotoran, dan memperpanjang
umur simpan. Salah satu cara pemurnian minyak adalah menggunakan bahan
penyerap arang aktif.
Pada penelitian ini dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung, mendapatkan
kondisi yang optimal dalam pembuatan arang aktif tempurung biji nyamplung, dan
mengetahui pengaruh arang aktif terhadap sifat fisiko-kimia minyak nyamplung.
Tempurung biji nyamplung dikarbonisasi pada suhu 500 oC selama 5 jam.
Arang yang dihasilkan kemudian diberi perlakuan perendaman dengan 0, 5 dan 10%
H3PO4, selanjutnya diaktivasi pada suhu 700 dan 800 oC, selama 60 dan 120 menit.
Analisis pola struktur dilakukan terhadap tempurung, arang dan arang aktif
menggunakan FTIR, XRD, SEM, EDX dan GCMS Pyrolisis. Mutu arang diuji
dengan SNI 01-1682-1996 dan arang aktif diuji dengan SNI 06-3703-1995. Kondisi
optimal pembuatan arang aktif dihitung menggunakan index bilangan iod.
Selanjutnya diaplikasikan dalam pemurnian minyak nyamplung dengan konsentrasi
0, 5, 10, 15 dan 20%.
Hasil analisis pola struktur menunjukkan terjadinya perubahan pola pada
tempurung, arang dan arang aktif nyamplung. Ini dilihat dari perubahan gugus
fungsi, derajat kristalinitas, penampakan permukaan, perubahan unsur dan senyawa
kimia.
Kondisi optimal untuk memproduksi arang aktif tempurung nyamplung
dihasilkan pada proses menggunakan aktivator H3PO4 10%, suhu aktivasi 700 oC dan
lama aktivasi 120 menit. Arang aktif tersebut sudah memenuhi persyaratan SNI 06-
3703-1995. Penggunaan arang aktif tempurung biji nyamplung berpengaruh nyata
terhadap kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan peroksida dan kejernihan
minyak nyamplung tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan
dan iod. Arang aktif sebesar 20% memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
perlakuan lainnya karena menghasilkan minyak dengan kadar air, bilangan asam,
peroksida terendah, kejernihan tertinggi, dan meningkatkan pH minyak.

Kata kunci : arang aktif, tempurung biji nyamplung, minyak nyamplung


© Hak cipta milik IPB tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar pihak IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK ARANG AKTIF TEMPURUNG BIJI
NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn) DAN
APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG

SANTIYO WIBOWO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Science
pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung


(Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai
Adsorben Minyak Nyamplung

Nama : Santiyo Wibowo

NRP : E251070084

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Dr. Gustan Pari, M.Si, APU
Ketua Anggota

Diketahui:

Kordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Teknologi Hasil Hutan

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
MS

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, atas Rahmat
dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesakan karya ilmiah berjudul
Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum
Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung yang merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil
Hutan, Departemen Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama persiapan dan pelaksaaan penelitian sampai selesainya karya ilmiah
ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati dan
penghargaan kepada :
− Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing,
− Dr. Gustan Pari, M.Si, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.
− Ir. Deded Syarif Nawawi, M.Sc atas kesediaanya selaku dosen penguji,
− Ketua dan Sekretaris Program Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
− Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.
− Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Kimia
dan Energi Hasil Hutan dan Kepala Laboratorium Terpadu Puslitbang Hasil
Hutan Bogor yang telah memberikan ijin dan penggunaan fasilitas laboratorium.
− Seluruh Laboran di Lab. Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan Bogor.
− Rekan-rekan Research School Angkatan 2007 atas bantuan dan kebersamaannya.
− Kepada orang tua (Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari), mertua (Gafar BA
dan Djanewar), istri tercinta (Rozza Tri Kwatrina) dan buah hati tersayang (Nurul
Afiyah dan Alya Zahra Nazifah).
− Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan doa dan
materi yang diberikan.
Akhir kata semoga karya tulis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2009

Santiyo Wibowo

 
 
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 24 Agustus 1973 sebagai


anak pertama dari pasangan Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Teladan, Rawa
Laut, Bandar Lampung pada tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1989 dan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1992. Pada tahun 1992, penulis
diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Universitas Lampung dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1997.
Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di Pascasarjana IPB pada program mayor Ilmu Teknologi
Hasil Hutan.
Penulis menikah dengan Rozza Tri Kwatrina, S.Si dan dikaruniai oleh ALLAH
SWT dua orang putri bernama Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazifah.

 
 
KARAKTERISTIK ARANG AKTIF TEMPURUNG BIJI
NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn) DAN
APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG

SANTIYO WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

 
 
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakteristik Arang Aktif
Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya
Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung adalah benar hasil karya saya sendiri dan
belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Santiyo Wibowo
NRP E251070084
ABSTRACT

SANTIYO WIBOWO. The Properties of Activated Carbons from Nyamplung


Shell (Calophyllum inophyllum Linn) as Adsorbent of Nyamplung Oil. Under
direction of WASRIN SYAFII and GUSTAN PARI

The waste of nyamplung shell could be converted to be activated carbons as


gaseous and liquid adsorbent. Nyamplung shell was carbonized into charcoal, then
activated by using 0%, 5% and 10% H3PO4 at two temperatures (700 and 800oC) and
two duration (60 and 120 minutes). The nyamplung shell, charcoal and activated
carbons structure were analized by using infrared spectrometer, X-ray difractometer
(XRD), scaning electron microscope (SEM), and GCMS Pyrolisis. The quality of
charcoal and activated carbons were tested by using SNI 01-1682-1996 and SNI 06-
3703-1995. The optimum activated carbons was applied as adsorbent for
purification of nyamplung oil at four levels; 5, 10, 15, 20% and 0% (control). The
result showed that carbonization and activation caused alteration of functional group,
pore opening, chemical reduction, and increasing of cristalinity degree of the
charcoal and activated carbons. The optimum condition to produced activated
carbons were soaking in H3PO4 10% at temperature 700 oC for 120 minutes. The
better treatment for purification of nyamplung oil was by using 20% activated
carbons.

Key words: activated carbons, nyamplung shell, nyamplung oil


RINGKASAN
SANTIYO WIBOWO. Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung
(Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak
Nyamplung. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan GUSTAN PARI.

Arang aktif merupakan salah satu bahan yang diperlukan industri dalam
proses poduksi, baik industri pangan maupun non pangan. Arang aktif digunakan
sebagai bahan penjerap (adsorbsi) untuk menghilangkan bau, gas beracun, dan
warna, atau sebagai bahan penyaring/penjenih air, pemurni dan pemucat, misalnya
pada industri pemurnian gula, gas, minyak dan lemak, minuman, pengolahan pulp,
pupuk, kimia, dan farmasi.
Tempurung nyamplung merupakan limbah dari pengusahaan minyak biji
nyamplung yang belum digali pemanfaatannya. Salah satu kemungkinan
pemanfaatannya adalah dikonversi menjadi arang aktif yang akan diaplikasikan pada
penjernihan minyak nyamplung. Saat ini minyak nyamplung hanya dimanfaatkan
sebagai bahan campuran pembuatan batik dan batu bata atau sebagai bahan bakar
alternatif. Di pihak lain minyak nyamplung mempunyai potensi sebagai bahan obat
dan kosmetik. Untuk memperoleh minyak yang berkualitas baik terutama sebagai
bahan obat dan kosmetik, minyak perlu dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian
bertujuan untuk menghilangkan rasa, bau, warna, kotoran, dan memperpanjang
umur simpan. Salah satu cara pemurnian minyak adalah menggunakan bahan
penyerap arang aktif.
Pada penelitian ini dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung, mendapatkan
kondisi yang optimal dalam pembuatan arang aktif tempurung biji nyamplung, dan
mengetahui pengaruh arang aktif terhadap sifat fisiko-kimia minyak nyamplung.
Tempurung biji nyamplung dikarbonisasi pada suhu 500 oC selama 5 jam.
Arang yang dihasilkan kemudian diberi perlakuan perendaman dengan 0, 5 dan 10%
H3PO4, selanjutnya diaktivasi pada suhu 700 dan 800 oC, selama 60 dan 120 menit.
Analisis pola struktur dilakukan terhadap tempurung, arang dan arang aktif
menggunakan FTIR, XRD, SEM, EDX dan GCMS Pyrolisis. Mutu arang diuji
dengan SNI 01-1682-1996 dan arang aktif diuji dengan SNI 06-3703-1995. Kondisi
optimal pembuatan arang aktif dihitung menggunakan index bilangan iod.
Selanjutnya diaplikasikan dalam pemurnian minyak nyamplung dengan konsentrasi
0, 5, 10, 15 dan 20%.
Hasil analisis pola struktur menunjukkan terjadinya perubahan pola pada
tempurung, arang dan arang aktif nyamplung. Ini dilihat dari perubahan gugus
fungsi, derajat kristalinitas, penampakan permukaan, perubahan unsur dan senyawa
kimia.
Kondisi optimal untuk memproduksi arang aktif tempurung nyamplung
dihasilkan pada proses menggunakan aktivator H3PO4 10%, suhu aktivasi 700 oC dan
lama aktivasi 120 menit. Arang aktif tersebut sudah memenuhi persyaratan SNI 06-
3703-1995. Penggunaan arang aktif tempurung biji nyamplung berpengaruh nyata
terhadap kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan peroksida dan kejernihan
minyak nyamplung tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan
dan iod. Arang aktif sebesar 20% memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
perlakuan lainnya karena menghasilkan minyak dengan kadar air, bilangan asam,
peroksida terendah, kejernihan tertinggi, dan meningkatkan pH minyak.

Kata kunci : arang aktif, tempurung biji nyamplung, minyak nyamplung


© Hak cipta milik IPB tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar pihak IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK ARANG AKTIF TEMPURUNG BIJI
NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum Linn) DAN
APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN MINYAK NYAMPLUNG

SANTIYO WIBOWO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Science
pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung


(Calophyllum inophyllum Linn) dan Aplikasinya Sebagai
Adsorben Minyak Nyamplung

Nama : Santiyo Wibowo

NRP : E251070084

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Dr. Gustan Pari, M.Si, APU
Ketua Anggota

Diketahui:

Kordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Teknologi Hasil Hutan

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
MS

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, atas Rahmat
dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesakan karya ilmiah berjudul
Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum
Linn) dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Minyak Nyamplung yang merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Teknologi Hasil
Hutan, Departemen Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama persiapan dan pelaksaaan penelitian sampai selesainya karya ilmiah
ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati dan
penghargaan kepada :
− Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing,
− Dr. Gustan Pari, M.Si, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.
− Ir. Deded Syarif Nawawi, M.Sc atas kesediaanya selaku dosen penguji,
− Ketua dan Sekretaris Program Mayor Ilmu Teknologi Hasil Hutan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
− Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.
− Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Pengolahan Kimia
dan Energi Hasil Hutan dan Kepala Laboratorium Terpadu Puslitbang Hasil
Hutan Bogor yang telah memberikan ijin dan penggunaan fasilitas laboratorium.
− Seluruh Laboran di Lab. Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan Bogor.
− Rekan-rekan Research School Angkatan 2007 atas bantuan dan kebersamaannya.
− Kepada orang tua (Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari), mertua (Gafar BA
dan Djanewar), istri tercinta (Rozza Tri Kwatrina) dan buah hati tersayang (Nurul
Afiyah dan Alya Zahra Nazifah).
− Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan doa dan
materi yang diberikan.
Akhir kata semoga karya tulis ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2009

Santiyo Wibowo

 
 
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 24 Agustus 1973 sebagai


anak pertama dari pasangan Sanly Suratman dan Ratna Komala Sari.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Teladan, Rawa
Laut, Bandar Lampung pada tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1989 dan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Tanjung Karang, Lampung pada tahun 1992. Pada tahun 1992, penulis
diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Universitas Lampung dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1997.
Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di Pascasarjana IPB pada program mayor Ilmu Teknologi
Hasil Hutan.
Penulis menikah dengan Rozza Tri Kwatrina, S.Si dan dikaruniai oleh ALLAH
SWT dua orang putri bernama Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazifah.

 
 
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii


DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 2
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
1.3 Hipotesis ............................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arang ................................................................................................ 5


2.2 Arang Aktif ........................................................................................ 6
2.2.1 Aktivasi Arang Aktif Secara Kimia ..................................... ... 6
2.2.2 Aktivasi Arang Aktif Secara Fisika .......................... ............... 7
2.3 Sifat Adsorpsi Arang Aktif ............................................................ ... 8
2.4 Pemanfaatan Arang Aktif .................................................. ............... 9
2.5 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum) .............................. 10
2.6 Pemanfaatan Minyak Nyamplung ..................................................... 11
2.7 Penjernihan Minyak ......................................................................... 12

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ ... 13


3.2 Bahan dan Alat ................................................................................... 13
3.3 Metode Penelitian ........................................................................... ... 13
3.3.1 Analisa Tempurung Biji ........................................................... 13
3.3.2 Pembuatan Arang .................................................................... 14
3.3.3 Pembuatan Arang Aktif ....................................................... ... 16
3.3.4 Karakteristik pola struktur arang dan arang aktif .................... 18
3.3.5 Aplikasi Arang Aktif pada minyak bintangur .......................... 19
3.3.6 Pengujian Mutu Minyak Nyamplung ....................................... 19
3.4 Rancangan Percobaan Dan Analisa Data ........................................... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 26
4.1 Analisis Kimia Tempurung Biji Nyamplung................................... .... 26
4.2 Struktur Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif ................. 27
4.3 Mutu Arang dan Arang Aktif Tempurung Nyamplung ....................... 39
4.4 Kondisi Optimum Pembuatan Arang Aktif ......................................... 47
4.5 Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung ................................. 48

V. KESIMPULAN .......................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. .... 58

LAMPIRAN .................................................................................................... 64
 
 

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Rataan sifat fisiko kimia tempurung biji nyamplung .................. 26
2. Bilangan gelombang tempurung nyamplung, arang dan
arang aktif ................................................................................... 30
3. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku,
arang dan arang aktif tempurung nyamplung ............................. 32
4. Derajat kristalinitas beberapa bahan berlignoselulosa ................ 35
5. Diameter pori tempurung nyamplung, arang dan arang aktif ...... 36
6. Sifat arang tempurung biji nyamplung ........................................ 39
7. Mutu arang dan arang aktif tempurung nyamplung .................... 41
8. Analisis EDX tempurung nyamplung, arang dan arang aktif ..... 44
9. Hasil perhitungan terhadap total bilangan iodium arang aktif
tempurung nyamplung ............................................................... 48
10. Sifat fisiko kimia minyak nyamplung sebelum dan sesudah
perlakuan ..................................................................................... 49

11. Komponen senyawa minyak nyamplung ..................................... 56

 
 
 
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pohon, buah dan tempurung biji nyamplung ................................ 11


2. Retort pyrolisis listrik ................................................................... 14
3. Bagan Alur Penelitian ................................................................... 23
4. Spektrum serapan FT-IR tempurung, arang dan arang aktif
tempurung nyamplung .................................................................. 28
5. Difraksi sinar x tempurung nyamplung, arang dan arang aktif .... 33
6. Struktur permukaan tempurung nyamplung, arang dan arang
aktif pada penampang atas dengan pembesaran 2000x ................. 38
7. Kejernihan minyak nyamplung menggunakan arang aktif
a. kontrol, b. 5%, c. 10%, d. 15%, e. 20%................................. 54

 
 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Analisa kimia tempurung biji nyamplung ..................................... 64
2. Absorban FTIR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif.... ... 66
3. Komponen kimia tempurung nyamplung, arang dan arang aktif .. 69
4. Analisis Energy Dispersive X Ray Analyzer (EDX) tempurung
nyamplung ....................................................................................... 73
5. Rekapitulasi analisis keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
aktivasi terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung....... 76
6. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan
waktu terhadap kadar air arang aktif tempurung nyamplung ......... 77
7. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan
waktu terhadap zat terbang arang aktif tempurung nyamplung ... 78
8. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap kadar abu arang aktif tempurung nyamplung .............. ... 79
9. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap karbon terikat arang aktif tempurung nyamplung ............. 80
10. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap daya jerap iod arang aktif tempurung nyamplung ......... .... 81
11. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap daya jerap benzene arang aktif tempurung nyamplung ..... 82
12. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap kadar air minyak nyamplung .............................. 83
13. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan asam minyak nyamplung ...................... 84
14. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan penyabunan minyak nyamplung ......... 85
15. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah
Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan iod minyak nyamplung ......................... 83

 
 
 

16. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah


Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap bilangan peroksida minyak nyamplung ............ 86

17. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah


Duncan hasil pengamatan pengaruh jenis dan konsentrasi
adsorben terhadap kejernihan minyak nyamplung ........................... 87

 
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan berkembangnya industri di berbagai bidang, kebutuhan


arang aktif juga semakin meningkat. Arang aktif diperlukan industri dalam
proses poduksi, baik industri pangan maupun non pangan. Umumnya arang aktif
digunakan sebagai bahan penyerap untuk menghilangkan bau, gas beracun, warna,
atau sebagai bahan penjenih air, pemurni dan pemucat, misalnya pada industri
pemurnian gula, pemurnian gas, minyak lemak, minuman, pengolahan pulp,
pupuk, kimia, dan farmasi (Djatmiko et al. 1985).
Kebutuhan arang aktif nasional cukup tinggi, lebih dari 200 ton per bulan
atau 2.400 ton per tahun, dimana sebagian diantaranya masih di impor untuk
keperluan khusus seperti industri pengolahan emas dan farmasi (Fitriani 2008).
Sementara itu Indonesia merupakan negara yang cukup banyak sumber bahan
baku arang dan arang aktif. Bahan baku pembuatan arang aktif berasal dari
bahan yang mengandung karbon baik organik maupun bahan anorganik.
Beberapa diantaranya adalah kayu, limbah kayu, tempurung kelapa, batu bara, dan
limbah pertanian seperti kulit buah kopi, sabut buah coklat, sekam padi, jerami,
tongkol dan pelepah jagung, bahkan bahan polimer seperti poliakrilonitril, rayon
dan resin fenol (Asano et al. 1999). Selain itu telah diteliti arang aktif dari ampas
limbah daun teh, kulit kayu Acacia mangium, tempurung biji kemiri, kayu dan
tempurung biji jarak pagar, sekam padi dan serbuk gergaji dari beberapa jenis
kayu (Sudradjat dan Suryani 2002; Pari et al. 2000; Sudradjat et al. 2005).
Bahan baku lainnya yang dapat dikembangkan sebagai arang aktif adalah
tempurung biji nyamplung (Calopyllum inophyllum Linn) yang merupakan limbah
dari pengolahan minyak nyamplung dan belum dimanfaatkan. Arang aktif
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penjernih minyak atau sebagai penyerap
(adsorben) gas dan bahan cairan lainnya.
Pengusahaan minyak nyamplung atau dikenal juga sebagai tamanu oil,
sudah dilakukan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dengan kapasitas produksi
sekitar 300 kg/hari atau ± 100 liter perhari dan digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan genteng. Beberapa daerah bahkan sudah mulai menanam

 
nyamplung dalam jumlah besar, seperti dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi
Papua yang telah menanam 15 (lima belas) ribu bibit tanaman nyamplung
(Anonim 2008a), kemudian KPH Banyumas Barat menanam nyamplung seluas ±
1000 ha (Anonim 2008c). Selanjutnya Departemen Kehutanan melalui Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, ikut berperan serta dalam
pengembangan energi alternatif biodiesel dari minyak biji tanaman nyamplung
dan pembuatan produk turunannya (Sudradjat 2007). Biji nyamplung
mengandung minyak yang cukup tinggi yaitu 71,4% (Heyne 1987), dan 75%
(Dweck dan Meadows 2002), berpotensi sebagai sumber pembuatan biodiesel,
pelumas, bio-oil dan oleo kimia seperti surfaktan, epoxy, polyurethane, bahan
obat dan kosmetik.
Untuk memperoleh minyak yang berkualitas baik terutama sebagai bahan
obat dan kosmetik, minyak perlu dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian
bertujuan untuk menghilangkan rasa, bau, warna dan kotoran, untuk
mempermudah proses pengolahan minyak selanjutnya dan memperpanjang umur
simpan (Ketaren 1986). Salah satu cara pemurnian minyak adalah menggunakan
bahan penyerap arang aktif. Menurut Jacob (1958) dalam Pari et al. (2000),
arang aktif dapat digunakan sebagai bahan pemucat atau penjernih minyak kasar
(crude oil) yang masih mengandung kotoran, yang dapat mempercepat terjadinya
kerusakan minyak. Pada penelitian ini dilakukan kajian pembuatan arang aktif
tempurung biji nyamplung yang diaplikasikan pada pemurnian minyak
nyamplung.

1.2 Perumusan Masalah

Dampak dari pengusahaan minyak biji nyamplung adalah limbah


tempurung biji yang diperkirakan mencapai sekitar 30 – 40% tempurung biji dan
belum digali pemanfaatannya. Salah satu kemungkinan pemanfaatannya adalah
dikonversi menjadi arang aktif sebagai bahan penjernih minyak. Pemanfaatan
minyak nyamplung di masyarakat masih terbatas sebagai campuran bahan
pembuatan batik dan sebagai bahan perendam genteng atau batu bata agar tidak
retak ketika dibakar. Saat ini, pemanfaatan minyak lebih diarahkan sebagai
bahan bakar alternatif biodiesel non pangan yang potensial.

 
Di lain pihak minyak juga mempunyai potensi dikembangkan sebagai
bahan obat dan kosmetik. Menurut Kilham (2004), beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa minyak nyamplung dapat bermanfaat sebagai antineuralgic,
antiinflammatory, antimicrobial, dan antioxidant serta digunakan untuk
pengobatan luar (topical healing) misalnya pada gangguan penyakti kulit, kulit
kering atau bersisik, luka diabetes, luka bakar, luka iris, arthritis (radang sendi),
rheumatism, neuralgia (sakit saraf otot), muscle aches (sakit otot) dan lainnya.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika, tamanu oil sudah dijual dengan merk
dagang True Tamanu dengan harga $29,95 per 1 oz (setara dengan 29,5 ml)
(Anonim 2008b).
Dari uraian di atas, permasalah yang ingin dijawab adalah:
1. Apakah tempurung biji nyamplung dapat dikonversi menjadi arang aktif dan
bagaimana pola struktur dan karakteristik mutunya?
2. Apakah arang aktif tempurung nyamplung dapat digunakan sebagai bahan
adsorben pemurni minyak nyamplung dan bagaimana pengaruhnya terhadap
sifat fisiko-kimia minyak nyamplung?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


1. Mengidentifikasi karakteristik arang aktif tempurung biji nyamplung.
2. Mendapatkan kondisi yang optimal dalam pembuatan arang aktif tempurung
biji nyamplung.
3. Mengetahui pengaruh arang aktif terhadap sifat fisiko-kimia minyak
nyamplung.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:


1. Tempurung biji nyamplung dapat dikonversi menjadi arang aktif.
2. Arang aktif tempurung biji nyamplung dapat memperbaiki mutu minyak

 
1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah limbah


tempurung biji nyamplung dan mendukung usaha industri tanpa limbah (zero
waste), serta menyediakan informasi pemanfaatan arang aktif tempurung biji
nyamplung sebagai adsorben minyak nabati.
 
 
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Arang

Arang adalah suatu bahan padat berpori yang mengandung 85-98%


karbon, yang dihasilkan dari pembakaran pada suhu tinggi dengan proses pirolisis
yaitu proses pembakaran bahan yang mengandung karbon komplek tanpa adanya
oksigen atau pembakaran tidak sempurna, sehingga bahan hanya terkarbonisasi
dan tidak teroksidasi menjadi karbondioksida. Sebagian besar pori-pori pada
arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya.
Bahan yang digunakan adalah bahan yang mengandung karbon baik organik
maupun anorganik yang berasal dari tumbuhan, hewan dan bahan tambang
(Goldberg 1985; Djatmiko et al. 1985; Heygreen & Bowyer 1996; Kinoshita
2001).
Pirolisis merupakan proses pemanasan tanpa adanya oksigen (Heygreen
& Bowyer 1996). Kinoshita (2001), menyatakan bahwa pirolisis adalah proses
pembakaran tidak sempurna bahan yang mengandung karbon komplek yang tidak
teroksidasi menjadi CO2. Pada saat pirolisis terjadi, energi panas mendorong
terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar
menjadi karbon atau arang. Berdasarkan tingkatannya, pirolisis terbagi menjadi
dua yaitu pirolisi primer dan sekunder. Pirolisis primer terbagi menjadi proses
lambat yaitu pada suhu 150-300oC yang menghasilkan arang, H2O, CO dan CO2
dan proses cepat, terjadi pada suhu 300-400oC, yang menghasilkan arang, gas dan
H2O. Pirolisis sekunder terjadi pada suhu di atas 600oC yang menghasilkan
karbon monoksida, gas hidrogen dan gas hidrokarbon (Paris et al. 2005 dalam
Gani 2007).
Hambali et al. (2007), menyatakan bahwa apabila digunakan pirolisis
cepat (fast pyrolysis) yaitu pemanasan dengan lama 0,5 – 2 detik pada suhu 400 –
600oC dan proses pemadaman yang cepat pada akhir proses, selain dihasilkan
arang, juga dihasilkan gas dan cairan yang disebut bio-oil yang merupakan salah
satu bahan bakar alternatif.

 
Proses pengarangan atau karbonisasi terbagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Tahap penguapan air, yang terjadi pada suhu 100-150oC
2. Tahap penguraian hemiselulosa dan selulosa pada suhu 200 – 240oC
menjadi larutan piroglinat yang merupakan asam organik dengan titik
didih rendah misalnya asam asetat, formiat dan metanol.
3. Tahap proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C, pada
suhu 240 – 400oC. Selain itu lignin mulai terurai menghasilkan ter,
menurunnya larutan piroglinat dan CO serta meningkatnya gas CO, CH4
dan gas hidrogen.
4. Tahap pembentukan lapisan aromatik, yang terjadi pada suhu lebih dari
400oC dan lignin masih terus terurai sampai suhu 500oC, sedangkan pada
suhu lebih dari 600oC terjadi proses pembesaran luas permukaan arang.
Selanjutnya arang dapat dimurnikan atau dijadikan arang aktif pada suhu
500 – 1000oC (Djatmiko et al. 1985).

2.2 Arang Aktif

Menurut Sudradjat dan Soleh (1994), arang aktif adalah arang hasil proses
lanjutan dimana konfigurasi atomnya dibebaskan dari ikatan unsur lain dan pori
dibersihkan dari senyawa atau kotoran lainnya (hidrokarbon, ter dan senyawa
organik lainnya) sehingga luas permukaannya bertambah besar menjadi sekitar
300 sampai 2000 m2/g yang menyebabkan daya adsorpsinya meningkat.
Perbedaan antara arang dengan arang aktif adalah pada bagian permukaannya.
Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang
menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas
dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori-pori yang terbuka, sehingga
dapat melakukan penjerapan (adsorption) (Smisek & Cerny 1970). Untuk
mengaktifkan arang menjadi arang aktif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
cara kimia dan fisika.

2.2.1 Aktivasi Arang Aktif Secara Kimia

Proses pengaktifan arang dengan cara kimia adalah dengan menggunakan


bahan kimia seperti Ca(OH)2, CaCl2, Ca2(PO4)2, HCN, HNO3, H3PO4, NaOH,

 
 

 
NaSO4, SO2, ZnCl2, Na2SO3, (NH4)2S2O8 (Kirk & Othmer 1940 dalam Djatmiko
et al. 1985; Jagtoyen & Derbyshire 1998; Castila et al. 2000; Sabio et al. 2003).
Pada cara kimia, sebelum dipanaskan arang direndam dalam larutan
larutan kimia selama 24 jam lalu ditiriskan, selanjutnya dipanaskan pada suhu
600-900oC selama 1 – 2 jam. Dengan suhu tinggi tersebut diharapkan bahan
pengaktif dapat masuk di antara lapisan atau plat heksagonal kristalit arang dan
membuka permukaan arang yang tertutup (Tanaike & Inagaki 1999).
Menurut Pari (2004), cara kimia sering menyebabkan pengotoran pada
produk arang aktif. Hal ini disebabkan bahan pengaktif kimia meninggalkan sisa
oksida yang tidak larut air pada saat proses pencucian. Untuk mengikat kembali
sisa bahan kimia atau abu yang menempel biasanya dilakukan pelarutan HCL
pada arang aktif.

2.2.2 Aktivasi Arang Aktif Secara Fisika

Aktivasi arang aktif secara fisika adalah proses untuk memperluas


dimensi struktur molekul dan memperluas permukaan produk arang dengan
o
menggunakan perlakuan panas pada temperatur 800-1000 C dengan mengalirkan
gas oksidasi seperti uap air dan CO2 (ACS 1996 dalam Manocha 2003) atau
hanya dengan pemanasan saja tanpa dialirkan uap air atau CO2 (Gani 2007).
Proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 pada suhu di bawah 800oC,
akan berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000oC dapat
menyebabkan kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Menurut Pari (2004)
prinsip pembuatan arang aktif secara fisika adalah dengan mengalirkan uap air
atau CO2 pada arang yang dipanaskan. Reaksi ini berjalan secara endotermis
sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Untuk meningkatkan efektifitas
aktivasi dapat dilakukan pemanasan permukaan luar unit aktivasi untuk
meratakan distribusi panas.

2.3 Sifat Adsorpsi Arang Aktif

Adsorbsi adalah pembentukan lapisan berupa gas atau cairan oleh molekul
dalam fasa fluida pada permukaan padatan oleh gaya tarik Van Der Waals.
Dimana terjadi perubahan kepekatan molekul, ion atau atom antar permukaan
dalam dua fase. Bila ke dua fase saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu

 
 

 
fase baru yang berbeda dengan masing-masing fase sebelumnya (Manocha 2003;
Pari 2004).
Faktor yang mepengaruhi daya serap (adsorpsi) arang aktif (Sembiring &
Sinaga 2003) yaitu :
1. Sifat arang aktif sebagai adsorben, yaitu ukuran dan kehalusan pori, semakin
kecil pori-pori arang aktif, luas permukaan semakin besar dan kecepatan
adsorpsi bertambah.
2. Sifat komponen yang diserap (adsorbat), yaitu ukuran dan polaritas molekul,
gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari
senyawa serapan.
3. Sifat larutan, yaitu temperatur dan pH, pada asam organik, adsorpsi akan
meningkat bila pH diturunkan (dengan penambahan asam mineral) yang
mengurangi ionisasi asam organik tersebut, sedangkan bila pH asam organik
dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang
sebagai akibat terbentuknya garam.
4. Lamanya proses adsorbsi atau waktu kontak.
Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk
mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik
dengan jumlah arang yang digunakan. Selain ditentukan oleh dosis arang
aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan
dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk
bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai
viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.

2.4 Pemanfaatan Arang Aktif

Terdapat tiga kelompok penggunaan arang aktif dalam industri (LIPI 1999),
yaitu:
1) Penggunaan untuk gas seperti;
pemurnian gas (desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk dan
asap), pengolahan LNG (desulfurisasi dan penyaringan bahan mentah),
katalisator (katalisator reaksi/pengangkut vinil klorida dan vinil asetat),
pengunaan lain (mengilangkan bau pada kamar pendingin atau mobil).

 
 

 
2) Penggunaan untuk cairan;
Industri obat dan makanan (menyaring dan menghilangkan warna), industri
minuman ringan dan keras (menghilangkan warna dan bau), kimia
perminyakan (zat perantara dan penyulingan bahan mentah), pembersih air
(menyaring dan menghilangkan warna, bau zat pencemar dalam air, sebagai
alat pelindung dan penukar resin dalam alat penyulingan air), pembersih air
buangan (membersihkan air buangan dari pencemar, warna, bau dan logam
berat), penambakan udang dan benur (pemurnian, menghilangkan bau dan
warna air tambak), pelarut yang digunakan kembali (penarikan kembali
berbagi pelarut, sisa metanol, etil asetat dan lainnya).
3) Penggunaan lainnya;
Industri pengolahan pulp (pemurnian dan penghilangan bau), industri
pengolahan pupuk (pemurnian), pengolahan emas (pemurnian), penyaringan
minyak makan dan glukosa (menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak).

Menurut Fitriani (2007), arang digunakan sebagai penghantar zat antikanker


pada tubuh manusia. Karbon aktif diubah menjadi sejenis batang berukuran
sepersejuta meter atau disebut nanohorn, yang salah satu ujung silindernya
meruncing. Pada ujung silinder tersebut, disempalkan atau dimasukkan butiran
1-2 obat kanker berukuran nanometer bernama cisplatin. Selanjutnya disuntikkan
ke tubuh pasien, dimana nanohorn masuk ke peredaran darah dan hanya
terakumulasi dalam sel kanker, tidak menyebar ke seluruh tubuh. Hal ini karena
sifat sel kanker lebih mudah menyerap benda berukuran 100 nanometer
dibandingkan sel tubuh lainnya. Setelah berkumpul di dalam sel kanker, obat
dalam kapsul nanohorn itu perlahan lepas untuk mematikan sel kanker. Sistem
penghantar obat itu lebih efektif untuk pemusnahan kanker dan tumor serta tanpa
efek samping.
Penelitian yang dilakukan Richard C. Kaufman, Ph.D dari National Health
Federation, Minessota Amerika Serikat. Arang terbukti bersifat antipenuaan dan
memperpanjang umur sebanyak 40% hewan percobaan. Hal ini disebabkan arang
menjaga sensitivitas tubuh dari bahan kimia dan racun yang merusak sel tubuh.
Arang juga menyeimbangkan metabolisme lemak, menurunkan kinerja sintesis
protein pemicu penuaan, penurunan RNA, penghambat arteriosklerosis dan

 
 
10 
 
fibrosis. Selain itu arang sebagai pereduksi kolesterol dimana sejumlah pasien
berkolesterol tinggi yang diberi konsumsi 8 g arang per hari turun 25% dari total
kolesterol, 41% kolesterol jahat LDL (low density lipoprotein), serta
melipatgandakan rasio HDL/LDL kolesterol. Hal ini karena arang menyerap
penyumbat jantung dan melancarkan peredaran darah koroner (British Journal of
Nutrition dalam Fitriani 2007).

2.5 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L)

Nyamplung atau bintangur termasuk dalam famili Guttiferae. Nama


daerah nyamplung di Sumatera adalah bintangor, bintol, mentangur, punaga, di
Jawa dikenal sebagai bunut, nyamplung, sulatri, di Kalimatan; bataoh, bentangur,
butoo, jempelung, jinjit, mahadingan, maharunuk, di Sulawesi; betau, bintula,
dinggale, pude, wetai, di Maluku; balitoko, bintao, biatur, petaule dan di NTT;
bentango, gentangir, matau, samplong (Martawijaya et al. 1981). Daerah
penyebaran di Indonesia adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi,
Maluku, NTT (Martawijaya et al. 1981).
Pohon nyamplung dapat mencapai tinggi 20 m, diameter 150 cm, batang
agak pendek, bercabang rendah dekat permukaan tanah (Gambar 1). Kayu
nyamplung dengan batang yang lurus digunakan sebagai kayu perkapalan, tiang
layar dan dayung, kayu yang berat digunakan untuk balok, tiang, papan lantai dan
perumahan, kayu yang ringan digunakan untuk papan, peti dan konstruksi di
bawah atap, roda dan sumbu gerobak, kano, bantalan, tong dan kepala pemukul
golf (Martawijaya et al. 1981).
Tanaman nyamplung merupakan tanaman multi guna, selain sebagai
penghasil kayu, juga menghasilkan buah yang dimanfaatkan sebagai penghasil
minyak nyamplung, dimana daging bijinya mengandung minyak mencapai 71,4%
(Nijverheid dan Handel dalam Heyne 1987) dan 75% (Dweek dan Meadowsi
2002). Selain itu kulit batang dan akar diketahui mengandung bahan bioaktif
yang berkasiat obat bahkan pada getah daun bintangur telah ditemukan senyawa
bioaktif costatolide A yang terbukti dapat menekan pertumbuhan virus HIV
(Anonim 2003).

 
 
11 
 

Gambar 1. Pohon, buah dan tempurung biji nyamplung

2.6 Pemanfaatan Minyak Nyamplung

Meskipun penelitian minyak nyamplung atau dikenal sebagai minyak


tamanu sudah dilaksanakan sejak tahun 1918, akan tetapi pemanfaatan minyaknya
baru berkembang pada sepuluh tahun/dekade terakhir terutama sebagai bahan
baku obat (Kilham 2008). Lebih lanjut Dweck dan Meadows (2002) melaporkan
bahwa minyak nyamplung dapat digunakan untuk pengobatan penyakit kulit,
menyembuhkan luka kecil seperti tergores juga efisien untuk luka serius seperti
luka bakar oleh api atau bahan kimia atau luka pasca operasi dan telah dikaji
secara klinis pada sejumlah kasus. Selain itu untuk alergi kulit, jerawat, gatal,
psoriasis, luka diabetes, infeksi kulit, untuk mengobati arthritis (radang sendi),
rheumatism, neuralgia (sakit safaf otot), muscle aches (sakit otot), serta sebagai
bahan kosmetik (Anonim 2008b). Tanaman nyamplung mengandung banyak
komponen kimia yang telah terbukti membantu perbaikan dan regenerasi jaringan
kulit. Kandungan terbesar adalah calophylloloide dan asam calophyllic, benzoic
dan oxi-benzoic acids dengan jumlah yang signifikan.
Di Indonesia, selama ini minyak nyamplung dimanfaatkan oleh
masyarakat di daerah Kebumen Jawa Tengah, hanya sebagai campuran bahan
pembuatan batik dan bahan perendam genteng atau batu bata sebelum dibakar,
yang bertujuan agar genteng atau batu bata tidak retak dan pecah pada waktu
pembakaran dengan suhu tinggi (Sahirman 2008).
Kemungkinan pemanfaatan lainnya adalah sebagai bahan baku energi
alternatif biodiesel, pelumas, bio-oil dan oleo kimia seperti surfaktan, epoxy,

 
 
12 
 
polyurethane (Sudradjat 2007). Hasil penelitian Sahirman (2008) melaporkan
bahwa biodiesel dari minyak nyamplung sebagian besar sudah memenuhi
persyaratan SNI 04-7182-2006 yaitu massa jenis, angka setana, titik nyala, korosi
kepngan tembaga, air dan sedimen, kandungan belerang, kandungan fosfor, kadar
gliserol, kadar alkil ester dan angkan iodium. Meskipun bilangan asam,
viscositas, residu karbon dan titik kabut beberapa parameter masih belum
memenuhi syarat.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika, saat ini minyak nyamplung sudah
dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan dan sudah diperjualbelikan secara bebas.
Salah satu merk dagang yang menggunakan minyak nyamplung adalah True
Tamanu dengan harga $29,95 per 1 oz (setara dengan 29,5 ml). Menurut
Soerawidjaja (2008), minyak nyamplung mengandung koumarin, diantaranya;
calophyllolide, inofilolid dan calophyllic acid yang berkhasiat sebagai anti radang
(anti inflammatory), anti koagulan, anti bakteri, serta 4-phenylcoumarin yang
berkhasiat sebagai canser chemopreventive agent.

2.7 Penjernihan Minyak

Penjernihan minyak dilakukan untuk menghilangkan rasa dan bau tidak


enak, warna yang tidak menarik, meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa
simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam
industri. Penjernihan minyak dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah
adsorben ke dalam minyak. Jenis adsorben yang digunakan antara lain tanah
pemucat (bleaching earth), lempung aktif (activated cley) dan arang (bleaching
carbon), arang aktif atau bahan kimia (Ketaren 1986). Kemampuan karbon aktif
sebagai bahan penjernih/pemucat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain;
ukuran partikel, porositas, kadar mineral yang terikut pada karbon aktif dan berat
atau ringannya senyawa molekul zat yang diserap misalnya bilangan iod yang
bermolekul ringan akan mudah diserap karbon aktif. Bila adsorben memiliki
berat jenis tinggi, ukuran partikel halus dan pH mendekati normal akan lebih
efektif dalam mengadsorbsi warna (Ketaren 1986).

 
 
13 
 
III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomasa


Puslitbang Hasil Hutan Bogor, Lab. Kimia Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor,
Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FMIPA UPI Bandung, Lab.
Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Juni 2009.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempurung biji


nyamplung dan minyak nyamplung kasar yang diperoleh dari Kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan antara lain iodin, benzena,
Na2S2O3, larutan kanji 1%, KOH, H3PO4 dan bahan kimia analisis lainnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah; reaktor pirolisis untuk
pengarangan, retort listrik untuk pembuatan arang aktif, timbangan analitik, oven,
spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) merk Shimadzu 8400,
SEM (Scaning Electron Microscopy) merk Evo 50, dan XRD (X-ray
Difractometer) merk Shimadzu 7000 series, GCMS (Gas Chromatography Mass
Spectrometry) Pyrolisis merk dan GCMS merk Shimadzu QP 5050 A,
spektroskopi UV-VIS 1700 series dan peralatan gelas untuk analisa kimia.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Analisa Tempurung Biji

Sebelum dikarbonisasi tempurung biji nyamplung dianalisa sifat fisiko


kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar holoselulosa, lignin, pentosan dan
ekstraktif (Lampiran 1).

 
 
14 
 
3.3.2 Pembuatan Arang

Tempurung biji nyamplung yang sudah kering diarangkan dalam retort


pirolisis listrik (Gambar 2). Tempurung biji nyamplung ditempatkan di dalam
tabung wadah silinder, kemudian dipasang di tengah retort. Selanjutnya labu
berleher tiga dipasang pada pipa pembuangan gas dan alat destilasi untuk
menampung senyawa hidrokarbon berberat molekul tinggi, tar dan cuka
tempurung. Tahap berikutnya listrik dihidupkan dan proses berjalan selama
sekitar 5 jam. Hasil arang kemudian dianalisa rendemen, kadar air, zat terbang,
abu, karbon terikat, daya jerap terhadap iodin dan benzena menggunakan standar
BSN (SNI 01-1682-1996).

Gambar 2. Retort pyrolisis listrik

1. Rendemen arang
Rendemen arang ditetapkan dengan menghitung perbandingan berat arang
terhadap berat bahan baku awal.
Rendemen (%) = Berat arang x 100
Berat bahan baku

2. Kadar air
Contoh sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan
dalam desikator, lalu ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar air (%) = Berat contoh awal – berat contoh akhir x 100
Berat contoh awal

 
 
15 
 
3. Kadar zat terbang
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui beratnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar zat terbang (%) = Berat contoh awal – berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal

4. Kadar abu
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam
tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar abu (%) = Berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal

5. Kadar karbon terikat


Kadar karbon terikat dihitung dengan cara pengurangan dari kadar abu dan
zat terbangnya.
Kadar karbon terikat (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)

6. Nilai kalor
Contoh kering oven ditimbang 1 gram, lalu diikat dengan kawat halus.
Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pembakaran pada alat kalorimeter dan
ditutup dengan rapat agar tidak ada udara yang masuk. Dicatat perubahan kalor
yang terjadi. Percobaan diulang sebanyak 3 kali.

7. Daya jerap terhadap iodin


Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iod 0,1 N dan dikocok selama
15 menit pada suhu kamar, selanjutnya larutan disaring. Larutan hasil saringan
dipipet 10 ml dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai berwarna kuning,
lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna
biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iod (mg/g) = [10 – (ml contoh x N Na2S2O3)] x 126,93 x fp
Berat contoh (g)

 
 
 
 
8. Daya jerap terhadap uap benzena
Contoh kering oven ditimbang 1gram dan dimasukkan ke dalam petridish,
lalu ditimbang lagi, kemudian diletakkan di dalam eksikator yang berisi uap
benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petridish, lalu
dibiarkan ± 15 menit lalu ditimbang.
Daya jerap uap benzena (%) = Berat contoh akhir – berat contoh awal x 100
Berat contoh awal

3.3.3 Pembuatan Arang Aktif

Arang tempurung biji nyamplung kemudian diaktivasi dengan retort


aktivasi kapasitas 300 g. Sebelumnya arang direndam dalam asam phosfat teknis
sesuai perlakuan yaitu 0, 5 dan 10% (b/v). Kemudian arang di aktivasi dengan
suhu 700 oC dan 800 oC selama 60 dan 120 menit. Arang aktif yang dihasilkan
kemudian dianalisis meliputi rendemen, kadar air, zat terbang, abu, karbon
terikat, daya jerap iodin dan benzena sesuai standar BSN (SNI 06-3730-1995).

1. Rendemen arang aktif


Rendemen arang aktif ditetapkan dengan menghitung perbandingan berat
arang aktif hasil aktivasi terhadap berat arang sebelum aktivasi.
Rendemen (%) = Berat arang hasil aktivasi x 100
Berat arang sebelum aktivasi

2. Kadar air
Contoh sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan
dalam desikator, lalu ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar air (%) = Berat contoh awal – berat contoh akhir x 100
Berat contoh awal

3. Kadar zat terbang


Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang telah diketahui beratnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur
listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
17 
 
Kadar zat terbang (%) = Berat contoh awal – berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal

4. Kadar abu
Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan porselin yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam
tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang sampai beratnya tetap.
Kadar abu (%) = Berat contoh sisa x 100
Berat contoh awal

5. Kadar karbon terikat


Kadar karbon terikat dihitung dengan cara pengurangan dari kadar abu dan
zat terbangnya.
Kadar karbon terikat (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang)

6. Daya jerap terhadap iodin


Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iod 0,1 N dan dikocok selama
15 menit pada suhu kamar, selanjutnya larutan disaring. Larutan hasil saringan
dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai berwarna kuning,
lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna
biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iod (mg/g) = [10 – (ml contoh x N Na2S2O3)] x 126,93 x fp
Berat contoh (g)

7. Daya jerap terhadap uap benzena


Contoh kering oven ditimbang 1gram dan dimasukkan ke dalam petri dish,
lalu ditimbang lagi, kemudian diletakkan di dalam eksikator yang berisi uap
benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petridish, lalu
dibiarkan ± 15 menit lalu ditimbang.
Daya jerap uap benzena (%) = Berat contoh akhir – berat contoh awal x 100
Berat contoh awal

 
 
18 
 
3.3.4 Karakteristik pola struktur arang dan arang aktif

Untuk mengetahui pola struktur arang dan arang aktif aktif digunakan
peralatan:
1. FTIR (Fourier Transform Infra Red); digunakan untuk mengetahui perubahan
gugus fungsi contoh akibat kenaikan suhu pada proses pirolisis dan aktivasi.
Caranya adalah dengan mencampur serbuk arang dengan KBr menjadi bentuk
pelet. Selanjutnya diukur serapannya pada bilangan gelombang 60-4000 cm-1
2. SEM (Scaning Electron Microscopy); digunakan untuk mengetahui topografi
permukaan dan ukuran pori contoh.
3. XRD (X-ray Difractometer); untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi,
lebar, jarak dan jumlah lapisan aromatik yang dilakukan dengan cara
menginterpretasikan pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh.
Penetapan derajat kristalinitas, tinggi (Lc), lebar (La), jarak (d) dan jumlah
lapisan aromatik (N) dilakukan menurut Kercher & Nagle (2003); Schukin et
al. (2002) yaitu:

Derajat kristalinitas (X) = Bagian kristalin x 100%


Bagian kristalin + bagian amorf

Jarak antar lapisan aromatik d(002) : = 2 d sin θ dan d =

Tinggi lapisan aromatik (Lc) pada θ 24-25: Lc (002) =

Lebar lapisan aromatik (La) pada θ 43 : La (100) =

Jumlah lapisan aromatik (N) : N =


= 0,15406 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Ca)

β = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian)

K = Tetapan untuk lembaran graphene (0,89)

θ = sudut difraksi

X = derajat kristalinitas

 
 
19 
 
3.3.5 Aplikasi Arang Aktif pada pemurnian minyak nyamplung

Sampel arang aktif yang memiliki nilai analisa fisiko-kimia terbaik diuji
cobakan pada minyak nyamplung. Arang aktif terlebih dahulu dicuci dengan air
suling sampai pH air cuciannya netral, lalu ditiriskan dan dihaluskan hingga lolos
saringan 120 mesh, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °C.
Penjernihan minyak dilakukan dengan mencampur arang aktif dengan
konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% (b/b) ke dalam 100 g minyak lalu diaduk dengan
shaker selama 1 jam. Minyak hasil pencampuran didiamkan selama ± 24 jam
kemudian disaring dengan kertas saring. Minyak sebelum dan sesudah perlakuan
dianalisa sifat fisiko-kimianya yaitu; kadar air, bilangan asam, bilangan peroksida,
bilangan iod dan kejernihan minyak serta kandungan senyawa minyak. Kemudian
dilakukan penelitian pemurnian minyak menggunakan bentonit sebagai
pembanding dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 20%.

3.3.6 Pengujian Mutu Minyak Nyamplung

a. Penentuan Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas (AOAC 1999a)


Minyak ditimbang sebanyak 5 gram dalam erlenmeyer 250 ml dan
ditambahkan 50 ml alkohol netral 95%, lalu dipanaskan selama 10 menit dalam
penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan 3-5 tetes indikator
phenolphalein 1%, larutan kemudian dititrasi dengan NaOH atau KOH 0,1 N
sampai berwarna merah jambu yang tidak hilang dalam 15 detik, dan dihitung
jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas
dalam satu gram atau lemak.

Bilangan Asam = V x N x 56,1


m

Kadar asam lemak bebas (FFA, %) = V x N x BM


10 x m

V = volume NaOH atau KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
N = normalitas NaOH/KOH
m = berat contoh (gram)
M = berat molekul asam lemak yang dinyatakan sebagai asam oleat yaitu 282

 
 
20 
 
b. Penentuan Bilangan peroksida (AOAC 1999b)

Contoh minyak sebanyak 5 ± 0,005 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer


250 ml, kemudian ditambahkan 30 ml larutan campuran kloroform dan asam
asetat glasial (2:3) dikocok sampai larut. Kemudian ditambahkan 0,5 ml
larutan KI jenuh dan dikocok selama satu menit, selanjutnya erlenmeyer dibilas
dengan 30 ml air destilata. Kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,1
N sampai warna kuning hampir hilang, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan
kanji 1% dan titrasi dilanjutkan sampai titik akhir (warna biru tepat hilang).
Jika Natrium tiosulfat 0,1 N yang digunakan kurang dari 0,5 ml, penentuan
bilangan peroksida diulangi dengan menggunakan Natrium tiosulfat 0,01 N.
Bilangan Peroksida = (mg O2/100 g minyak) = (S-B) N x 100
G
Dimana : S = jumlah titrasi contoh (ml)
B = jumlah blanko (ml)
N = normalitas natrium tiosulfat
G = bobot contoh

c. Bilangan Iod (SNI 01-3555-1994)

Contoh minyak yang sudah disaring ditimbang sebanyak 0,1 – 0,5 gram
dalam labu erlenmeyer 250 ml yang tertutup. Sebanyak 20 ml khoroform dan 25
larutan Wijs ditambahkan ke dalam contoh menggunakan pipet dengan hati-hati.
Erlenmeyer kemudian disimpan ditempat gelap selama 1 jam kemudian
ditambahkan 20 ml KI 15% dan 100 ml aquades. Titrasi dilakukan dengan larutan
tiosulfat 0,1 N dengan indikator kanji. Dengan cara yang sama dilakukan juga
titrasi blanko.
Bilangan Iod = (B – A) x N x 12,69
berat contoh
dimana : A = ml natrium tiosulfat untuk titrasi contoh
B = ml natrium tiosulfat untuk titrasi blanko
N = normalitas titer
12,69 = sepersepuluh dari berat atom iod

 
 
21 
 
d. Bilangan Penyabunan (SNI 01-3555-1994)

Contoh minyak ditimbang sejumlah 5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml,


kemudian ditambahkan 50 ml larutan KOH beralkohol 0,5 N. Selanjutnya
erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak dan contoh didihkan dengan
hati-hati sampai semua contoh tersabunkan dengan sempurna, yaitu jika diperoleh
larutan yang bebas dari butir-butir lemak. Larutan kemudian didinginkan, lalu
dititrasi dengan larutan HCL 0,5 N dengan indikator phenolphtalein 1%, sampai
warna merah jambu hilang. Dengan cara yang sama dilakukan juga titrasi blanko.
Bilangan penyabunan = (A-B) x N x 56,1
G

dimana : A = jumlah ml HCL 0,5 N untuk titrasi blanko


B = jumlah ml HCL 0,5 N untuk titrasi sampel
N = normalitas titer HCL
G = berat sample

e. Kejernihan Minyak (Ozcan and Ozcan 2004)

Kejernihan minyak dapat diukur dari persen transmitan dengan alat


spektrofotometer UV pada panjang gelombang tertentu. Semakin jernih minyak
maka semakin besar nilai persen transmitannya, yang menunjukkan semakin
banyak cahaya yang dapat diteruskan pada panjang gelombang tertentu. Tahap
pertama, spektrofotometer dan komputer yang terintegrasi dinyalakan. Kemudian
dilakukan scanning panjang gelombang minyak nyamplung sebelum diberi
perlakuan (adsorban 0% atau kontrol), lalu dipilih panjang gelombang
masksimum, sampai diperoleh nilai persen terendah. Setelah nilai panjang
gelombang maksimum diperoleh, larutan banko (etanol) dimasukkan dalam kuvet
dan ditempatkan pada tempat sampel, selanjutnya program dijalankan untuk
mendapatkan nilai persen transmisi 100. Setelah itu sampel minyak dimasukkan
ke dalam kuvet dan diukur persen transmisinya.

e. Analisis Kandungan Senyawa Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung sebelum dan sesudah perlakuan (yang mempunyai


sifat yang terbaik) dianalisis kandungan senyawa kimianya menggunakan GCMS

 
 
22 
 
Shimadzu QP 5050 A. Kondisi alat memakai suhu kolom 60 oC, suhu detector
300 oC, suhu injector 280 oC dan waktu analisa 35 menit. Minyak nyamplung
disaring dengan kertas saring, kemudian minyak diijeksikan ke dalam GC
sejumlah 0,2 μL sehingga terkromatografi dengan komponen yang terpisah.
Selanjutnya spektrum puncak kromatogram dari sampel akan dicocokkan oleh
spektrum yang ada dalam Library yang menyimpan berbagai jenis senyawa.
Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

 
 
23 
 
Tempurung biji
bintangur Analisa

Pengarangan (karbonisasi)
(± 500 oC, 5 jam)

Analisa arang 
Arang

Perlakuan perendaman dalam


H3PO4 (0%, 5%, 10% v/b) 24 jam 

Ditiriskan

Uap panas (Steam)


Aktivasi pada suhu 700 oC dan Arang aktif
± 125 oC ± 0,27 kg/jam
800 oC selama 1 dan 2 jam
0,025 mbar

Analisa mutu Arang aktif


dihaluskan (lolos
ayakan 100 mesh)

Mutu terbaik

Minyak nyamplung
kasar

Pencampuran Arang aktif 0, 5,


10, 15, 20 % (b/b) dan bentonit Analisa

Pengadukan, pemanasan (± 80
o
C, 1 jam), pengendapan, dan
penyaringan

Minyak Analisa

Gambar 3. Bagan alir penelitian

 
 
24 
 
3.4 Rancangan Percobaan Dan Analisa Data

1. Pembuatan Arang Aktif


Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan
dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah:
A = Konsentrasi H3PO4 0% (A1), 5% (A2) dan 10% (A3).
B = Suhu aktivasi, yaitu; 700 oC (B2), dan 800 oC (B3)
C = Waktu aktivasi, yaitu; 1 jam (C1) dan 2 jam (C2)

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijkl = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Ck + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijk

Yijkl = Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke- j
faktor B, dan taraf ke-k faktor C, yang terdapat pada ulangan ke-l
µ = nilai rataan umum
Ai = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i
Bj = Pengaruh sebenarnya perlakuan B pada taraf ke-j
Ck = Pengaruh sebenarnya perlakuan C pada taraf ke-k
ABij = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf
ke-j faktor B
ACik= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A dengan taraf
ke-k faktor C
BCjk= Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-j faktor B dengan taraf
ke-k faktor C
ABCijk = Pengaruh sebenarnya interaksi antara taraf ke-i faktor A, taraf ke-j

faktor B dan taraf ke-k faktor C


εijkl = Pengaruh sebenarnya daripada unit eksperiment ke- l dikarenakan
oleh kombinasi perlakuan.

Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan (Sudjana 1980).

 
 
25 
 
2. Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang


membandingkan arang aktif dan bentonit dengan perlakuan masing-masing 0,
5, 10, 15, dan 20%.
Model rancangan yang digunakan adalah;

Yij = µ + τi + εij
Yij = mutu minyak ke- j oleh karena perlakuan ke- i (i = 0,5,10,15,20)
µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya
τi = Pengaruh konsentrasi rata-rata arang aktif pada taraf ke-i
εij = Kekeliruan percobaan ke-j pada ulangan ke-j

 
 
 
 
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kimia Tempurung Biji Nyamplung

Hasil analisis kimia tempurung biji nyamplung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan sifat fisiko kimia tempurung biji nyamplung

Parameter Konsentrasi (%)


Kadar Air 9,97
Kadar Abu 0,61
Kadar Ekstraktif 2,59
Kadar Holoselulosa 87,64
Kadar Alpha selulosa 48,66
Kadar Pentosan 24,82
Kadar Lignin 36,69

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tempurung nyamplung yang


digunakan dalam penelitian ini cukup kering dengan kadar air 9,97%. Kadar
holoselulosa tempurung adalah 87,64%. Holoselulosa merupakan karbohidrat
dalam kayu yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Hasil ini lebih
besar dari polisakarida kayu pada umumnya yang berkisar antara 65-75% (Fengel
dan Wegener 1995). Hal ini menunjukkan bahwa tempurung nyamplung dapat
dikonversi menjadi arang atau arang aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Asano
et al. (1999), bahwa bahan baku pembuatan arang adalah bahan yang
mengandung karbon baik organik maupun anorganik.
Tempurung nyamplung mempunyai α selulosa sebesar 48,66% dan kadar
hemiselulosa yang ditentukan sebagai pentosan sebesar 24,82%. Selulosa α
digunakan sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang tersusun dari 5 jenis gula yaitu
3 heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa) dan 2 pentosa (xilosa dan arabinosa)
(Ahmadi 1990).
27 
 
Kandungan abu tempurung biji nyamplung cukup rendah yaitu 0,61%.
Sementara itu kadar ekstraktif tempurung nyamplung yang larut dalam alkohol
benzena adalah 2,59%. Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen
senyawa organik seperti minyak atsiri, terpenoid, steroid, lemak, lilin, fenol
(stilben, lignan, tanin terhidrolisis, tanin kondensasi, flavonoid) (Sjostrom 1998),
beberapa zat ekstaktif tempurung nyamplung yang teridentifikasi dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Lignin merupakan zat organik polimer yang penting dan banyak terdapat
dalam tumbuhan tingkat tinggi. Terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel
primer. Lignin dapat meningkatkan sifat kekuatan mekanik pada tumbuhan untuk
berdiri kokoh (Fengel dan Wagener 1995). Kadar lignin dalam tempurung
nyamplung adalah 36,69 %. Kadar lignin tersebut lebih tinggi dari kadar lignin
dalam kayu pada umumnya yang berkisar antara 20 – 25%. Adanya lignin yang
cukup tinggi dalam tempurung menyebabkan tempurung berstruktur kokoh dan
keras.

4.2. Struktur Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif

4.2.1. Gugus fungsi

Gugus fungsi tempurung nyamplung dianalisa menggunakan Fourier


Transform Infra Red (FT-IR). Perubahan gugus fungsi tempurung, arang dan
arang nyamplung yang disebabkan oleh pengaruh suhu karbonisasi, dan lama
aktivasi arang dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 2.
28 
 

 
Bilangan Gelombang (Cm -1)
Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Gambar 4. Spektrum FT-IR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif

Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 2, dapat dilihat bahwa spektrum FTIR


tempurung nyamplung mempunyai pita serapan pada bilangan gelombang 3430
cm-1 yang merupakan gugus fungsi OH, yang diperkuat dengan adanya pita
serapan pada 1323 cm-1 yang merupakan OH bending dan 1109 cm-1 yang
menunjukkan adanya vibrasi C-O dari OH sekunder. Serapan pada 2922 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi C-H (stretching/regangan) alifatik, juga serapan pada
bilangan gelombang 1462 dan 896 cm-1 yang menunjukkan vibrasi asimetris C-H.
Pita serapan pada 1741 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regangan gugus C=O.
dan diperkuat pita serapan 1251 cm-1 yang merupakan gugus C-O. Kemudian
29 
 
terdapat ikatan C=C cincin aromatik pada bilangan gelombang 1511 cm-1, dan
terdapat vibrasi C=C alifatik yang ditunjukkan dengan adanya pita serapan pada
bilangan gelombang 1624 cm-1 dan pita serapan 1161 cm-1 menunjukkan adanya
vibrasi C-O-C yang merupakan struktur eter yang mempunyai 6 cincin.
Selanjutnya pita serapan pada 1034 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-O dari
C-OH primer. Hasil ini sesuai dengan penelitian Bilba dan Quensanga (1996);
Serrano et al (1999); dan Pari (2004).
Tempurung nyamplung banyak mengandung senyawa kimia yang
mempunyai ikatan hidroksil OH, seperti dibuktikan dari besarnya serapan
absorban pada bilangan gelombang 3430, 1323 dan 1109 cm-1 (Lampiran 2) serta
hasil analisis GC-MS Pyrolisis yang menunjukkan adanya senyawa asam asetat,
furfuryl alkohol, keton, cyclopentanadion, senyawa phenol, pyrocatechol dan
senyawa lainnya (Lampiran 3).
Sementara itu hasil analisi FT-IR pada arang tempurung nyamplung dapat
dilihat bahwa telah terjadi perubahan pola spektrum serapan infra red (IR) dari
tempurung nyamplung menjadi arang yaitu terjadi pergeseran bilangan gelombang
dari 3430 cm-1 ke 3429 cm-1, 2922 cm-1 ke 2920 cm-1 , 1377 cm-1 ke 1378 cm-1,
1251 cm-1 ke 1256 dan bilangan gelombang 896 cm-1 ke 871 cm-1. Kemudian
terdapat bilangan gelombang yang hilang yaitu pada 1741, 1624, 1462, 1323,
1161, 1109, 1034 cm-1, dan terbentuknya serapan baru pada bilangan gelombang
2855 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H regangan dari gugus metil (CH3) dan
metilen (CH2), serta munculnya serapan baru pada 810 dan 751 cm-1 yang
merupakan C-H aromatik. Proses karbonisasi dan aktivasi juga telah membentuk
ikatan C=C aromatik di sekitar 1558-1580 cm-1. Hal ini membuktikan bahwa
karbonisasi dan aktivasi akan meningkatkan senyawa aromatik. Senyawa tersebut
merupakan penyusun struktur heksagonal arang dan arang aktif (Pari 2004).
Berdasarkan analisis besaran absorban (Lampiran 2), dapat diketahui
bahwa tingkat serapan (absorban) arang pada bilangan gelombang 3429 cm-1
hanya sekitar 1,619, lebih rendah dari absorban tempurung nyampung pada
bilangan gelombang 3430 cm-1 yang mempunyai absorban 2. Sementara itu pada
bilangan gelombang sekitar 2900 cm-1 terjadi kecenderungan peningkatan
serapan (absorban) pada arang dan arang aktif. Hal ini membuktikan bahwa
30 
 
karbonisasi dengan suhu yang semakin tinggi akan mengakibatkan perubahan
gugus fungsi yaitu terjadinya pergeseran, hilangnya bilangan gelombang serapan
atau tingkat serapannya berkurang dan terbentuknya senyawa radikal tidak stabil
yang selanjutnya bereaksi membentuk senyawa baru (Pari 2004; Demirbas 2005).

Tabel 2. Bilangan gelombang tempurung nyamplung, arang dan arang aktif

No Bahan baku Bilangan gelombang (cm-1)

1 Tempurung 3430 2922 1741 1624 1511 1462 1377 1323 1251
1161 1109 1034 896
2 Arang 3429 2920 2855 2366 2341 1580 1378 1256 871 810
751
Arang Aktif
3 A1S1W2 3431 2920 2853 2361 2337 1630 1459 1160 1059
874 671
4 A1S2W1 3433 2921 2853 2361 2337 1631 1559 1461 1161
1058 899 873 670 615
5 A1S2W2 3428 2920 2854 2361 2337 1630 1558 1461 1162
1057 874 708 671
6 A2S2W2 3420 2919 2850 2361 2337 1630 1560 1057 672
7 A3S1W1 3429 2919 2853 2361 2337 1632 1559 1112 670
8 A3S1W2 3429 2921 2852 2388 2346 1623 1561 1107 880
616
9 A3S2W2 3416 2918 2849 2360 2325 1563 1094 1066 604

Keterangan :

A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit


A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Adanya uap air pada proses aktivasi arang aktif dan pada saat penghalusan
arang aktif untuk persiapan sampel, ternyata masih berperan dengan
teridentifikasinya gugus OH pada arang aktif. Gugus tersebut dapat berasal dari
reaksi antara uap air dengan senyawa bebas pada permukaan arang yang
diaktivasi dan bukan berasal dari bahan baku tempurung nyamplung. Hal ini
dibuktikan dengan tingkat serapan arang aktif pada bilangan gelombang sekitar
31 
 
3400 cm-1 yang cenderung kembali meningkat dari absorban 1,619 (arang)
menjadi 2 pada arang aktif, meskipun beberapa diantaranya berfluktuatif
(Lampiran 2).
Arang aktif yang dihasilkan memiliki pola serapan dengan jenis ikatan
OH, C-H, C-O, dan C=C. Adanya ikatan OH dan C-O serta hasil GCMS
(Lampiran 3), yang mendeteksi adanya senyawa carbamic acid dan propinoic
acid yang mengandung gugus karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (OH), maka
arang aktif akan cenderung bersifat lebih polar, meskipun masih terdapat ikatan
C=C yang bersifat non polar.

4.2.2 Identifikasi Pola Struktur Kristalit

Analisis X-ray Difraktometer (XRD) bertujuan untuk mengetahui struktur


kristalit suatu bahan yaitu derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), tinggi
(Lc), lebar (La) antar lapisan aromatik dan jumlah (N) lapisan aromatiknya.
Prinsip X-ray diffraction adalah; pada waktu suatu material dikenai sinar X, maka
intensitas sinar yang diteruskan atau ditranmisikan akan lebih rendah dari
intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan
juga penghamburan oleh atom-atom dalam meterial tersebut. Berkas sinar X yang
dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan
ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar X yang
saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi. Hasil analisis
XRD tempurung, arang dan arang aktif tempurung nyamplung disajikan pada
Tabel 3 dan Gambar 5.

Dari Tabel 3 dapat diketahui derajat kristalit tempurung nyamplung lebih


rendah dari kristalit arang yaitu 18,92% dan 20,21%, selain itu terjadi pergeseran
intensitas sudut difraksi dari θ 22,5 menjadi θ 22,8 serta terbentuknya sudut baru
di θ 44,2. Ini menunjukkan bahwa karbonisasi tempurung nyamplung dapat
meningkatkan derajat kristalinitas dengan struktur kristalit yang berbeda.
Menurut Pari (2004) pada bahan baku, struktur kristalit didominasi oleh struktur
kristalit selulosa, sedangkan pada arang, struktur kristalit terbentuk dari senyawa
karbon yang membentuk lapisan heksagonal.
32 
 
Tabel 3. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku, arang dan arang
aktif tempurung nyamplung

No Perlakuan X θ (002) d θ (100) d Lc N La


o o
(%) () (nm) () (nm) (nm) (nm)

1 Tempurung 18,92 22,50 0,3948 - - - - -

2 Arang 20,21 22,80 0,3896 44,20 0,2047 1,412 6,90 25,964

3 A1S1W1 23,49 25,43 0,3500 42,95 0,2104 1,548 7,36 7,755

4 A1S1W2 24,36 24,50 0,3630 43,00 0,2101 1,674 7,97 6,712

5 A2S1W1 23,72 24,98 0,3561 43,86 0,2062 1,554 7,54 9,592

6 A2S1W2 23,86 25,56 0,3482 43,98 0,2057 1,779 8,65 8,542

7 A3S1W1 24,62 24,47 0,3635 43,13 0,2095 1,312 6,26 7,847

8 A3S1W2 23,33 24,41 0,3643 44,01 0,2055 1,737 8,45 8,868

9 A1S2W1 30,89 25,55 0,3483 42,93 0,2105 1,678 7,97 6,979

10 A1S2W2 29,65 25,64 0,3471 42,77 0,2112 1,611 7,63 6,643

11 A2S2W1 24,95 24,03 0,3700 44,05 0,2054 1,614 7,86 8,758

12 A2S2W2 26,14 24,77 0,3591 42,99 0,2102 1,693 8,05 7,756

13 A3S2W1 28,08 24,45 0,3637 43,89 0,2061 1,786 8,67 8,336

14 A3S2W2 27,66 24,75 0,3594 44,25 0,2045 1,693 8,28 8,249

Keterangan :

A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit


A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Dari data pada Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi suhu
aktivasi cenderung semakin meningkatkan derajat kristalinitas diikuti semakin
tingginya lapisan aromatik (Lc) tetapi menyebabkan lebar antara lapisan aromatik
(La) semakin rendah. Semakin lama waktu aktivasi menyebabkan derajat
kristalinitas semakin berkurang diikuti semakin tingginya tinggi (Lc) dan lebar
antar lapisan aromatik (La).
33 
 

Tempurung 
 
Arang 
A1S1W1 
A1S1W2 
A2S1W1 
A2S1W2 
A3S1W1 
A3S1W2 
A2S2W1 
A2S2W2 
A3S2W1 
A3S2W2 
 
 
A1S2W1 
A1S2W2 

Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Gambar 5. Difraksi sinar x tempurung nyamplung, arang dan arang aktif


34 
 
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Schukin et al. (2002); Pari (2004)
dan Gani (2007) yang menyimpulkan bahwa peningkatan suhu karbonisasi akan
meningkatkan derajat kristalinitas arang aktif. Peningkatan kristalinitas terjadi
karena adanya penyusutan struktur kristalit arang yang semakin teratur, dimana
akan menghasilkan celah diantara kristalit semakin lebar dan pori yang terbentuk
bertambah besar (Pari 2004).
Sementara itu aktivasi arang tanpa H3PO4 menunjukkan kecendrungan
peningkatan derajat kristalinitas sejalan dengan meningkatnya suhu aktivasi,
tetapi cenderung turun dengan semakin lamanya waktu aktivasi. Aktivasi arang
dengan H3PO4 5% menunjukkan kecenderungan peningkatan derajat kristalinitas
sejalan dengan meningkatnya suhu dan waktu aktivasi. Aktivasi arang dengan
H3PO4 10% menunjukkan kecendrungan yang sama dengan aktivasi tanpa H3PO4
yaitu derajat kristalinitas meningkat bila suhu naik, tetapi turun bila waktunya
semakin lama. Derajat kristalinitas tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi
tanpa H3PO4 atau 0%, suhu 800 oC dan waktu aktivasi 60 menit yaitu sebesar
30,89%, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Lebih rendahnya derajat
kristalinitas arang aktif yang menggunakan H3PO4 5% dan 10% dapat terjadi
karena adanya reaksi oksidasi dan reduksi antara bahan baku dengan asam fosfat
dimana asam fosfat tereduksi menjadi fosfat anhidrida yang bersifat dapat
menarik uap air (Sudradjat dan Suryani 2002). Sifat higroskopis tersebut diduga
lebih memudahkan penyerapan uap air dari ketel uap sehingga lebih melindungi
arang aktif dari panas.
Hasil analisis XRD menunjukkan derajat kristalinitas tempurung
nyamplung lebih rendah dibandingkan dengan bahan berlignoselulosa lainnya
(Tabel 4). Rendahnya kristalit diduga dipengaruhi oleh kadar lignin yang cukup
tinggi yaitu sebesar 36,59%. Hal ini dimungkinkan karena lignin merupakan
senyawa aromatik dengan struktur dasar bersifat amorf, kaku dan rapuh (Pari
2004; Tarmansyah 2007). Sehingga adanya kandungan lignin diduga dapat
menurunkan derajat kristalinitas dalam bahan. Tabel 4 berikut menyajikan
feneomena tersebut.
35 
 

Tabel 4. Derajat kristalinitas beberapa bahan berlignoselulosa

Karakteristik Sengon Jati Rami Pulp Selulosa Lignin Tempurung


(%) bambu Murni murni Nyamplung

Selulosa 49,4a 47,5a 80-90d 40-50 - - 48,66


Holoselulosa 75,76b 77,46 - - - - 87,64
b
a
Lignin 26,8 29,9a 0,5-1d - - - 36,69
Pentosan 15,6a 14,4a 3-4d - - - 24,82
Derajat 38,8c 34,9c 72d 59,9e 51,7c 4,3c 18,92
kristalinitas

Keterangan : a. Martawijaya et al. 1981, b. Irawaty 2006, c. Pari 2004,


d. Tarmansyah 2007, e. Fengel dan Wegener 1995.

Tabel 4 memperlihatkan bahwa kayu sengon dengan kadar selulosa 49,4%


dan lignin 26,8 % mempunyai derajat kristalinitas sebesar 38,8%, sementara itu
pada pulp bambu dengan lignin yang sudah dihilangkan mempunyai derajat
kristalinitas sebesar 59,9%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan yang mengandung
selulosa relatif tinggi dan mempunyai kadar lignin yang juga relatif tinggi, dapat
mempunyai derajat kristalinitas yang lebih rendah, dibandingkan bahan dengan
kandungan selulosa yang sama, tetapi kadar ligninnya relatif rendah.

4.2.3 Struktur Pori Tempurung Nyamplung, Arang dan Arang Aktif

Analisis struktur permukaan pori dilakukan menggunakan Scaning


Electron Microscope (SEM). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topografi
permukaan suatu bahan akibat perubahan suhu karbonisasi dan aktivasinya. Hasil
analisi SEM dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 6.
Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa tempurung nyamplung yang
belum dikarbonisasi tidak menunjukkan adanya pori-pori yang terbuka (Gambar
6). Setelah proses karbonisasi tempurung menjadi arang, mulai terbentuk pori-
pori dengan diameter 0,667 – 4,444 μ, tetapi masih didominasi pori beridiameter
< 5 μ.
36 
 

Tabel 5. Diameter pori tempurung nyamplung, arang dan arang aktif

Persentase Diameter Pori


No. Bahan Diameter Pori (μ) (%)

Baku Minimal Maksimal <5μ 5-15 μ > 15 μ

1. Arang 0,667 4,444 100 - -


Arang aktif

2. A1S1W1 0,44 3,33 100 - -


3 A1S1W2 0,44 8,22 94,59 5,41 -
4 A1S2W2 0,5 6,56 98,28 1,74 -
5. A2S1W1 0,6 9,67 99,63 0,37 -
6. A2S1W2 0,53 7,6 98,2 1,8 -
7. A3S1W1 0,365 10 94,64 5,37 -
8 A3S1W2 0,36 9,78 93,5 6,49 -
9 A2S2W1 0,4 9,38 95,86 4,14 -
10. A2S2W2 0,5 10,5 92,38 7,62 -
11 A3S1W1 0,44 9,56 86,08 13,91 -
12. A3S2W2 0,48 9,76 82,88 17,12 -

Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Berdasarkan Gambar 6 dan Tabel 5, dapat diketahui bahwa aktivasi arang


menjadi arang aktif cenderung menyebabkan peningkatan jumlah dan diameter
pori. Selain itu penggunaan asam phosphat pada konsentrasi 10% telah
membuka pori-pori menjadi lebih besar dan membuka pori-pori berukuran kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa asam phosphat dapat mengurangi senyawa
hidrokarbon yang masih menempel pada permukaan arang.
37 
 
 

Tempurung Arang

0%, 700 oC /60 0%, 700 oC/120


 

0%, 800 oC/120 5%, 700 oC/60

   

5%, 700 oC/120 10%, 700 oC/60


38 
 

   

10%, 700 oC/120 5%, 800 oC/60


   

5%, 800 oC/120 10%, 800 oC/60


 

10%, 800 oC/120


Keterangan :

0% = Konsentrasi H3PO4 0% 700 oC & 800 oC = Suhu 60 & 120 = Waktu aktivasi
5% = Konsentrasi H3PO4 5%
10% = Konsentrasi H3PO4 10%

Gambar 6. Struktur permukaan tempurung nyamplung, arang dan arang aktif


pada penampang atas dengan pembesaran 2000x

Menurut Novicio et al. (1998), terbentuknya pori karena adanya


penguapan zat terbang dari bahan baku karena adanya proses karbonisasi.
Karbonisasi telah menyebabkan komponen bahan terdegradasi menghasilkan
produk gas (CO, CO2, hidrogen dan metan), produk cair (tar, hidrokarbon, cuka
kayu, air) dan produk padatan yaitu arang (Vigouroux 2001 dalam Darmawan
39 
 
2008). Hasil analisis menunjukkan bahwa zat terbang arang cukup tinggi yaitu
19,85 (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan hasil GCMS Pyrolisis, dimana terdapat
sekitar 40 komponen zat terbang, dan selanjutnya zat terbang tersebut semakin
berkurang jumlahnya seiring meningkatnya suhu aktivasi (Lampiran 3). Secara
keseluruhan arang dan arang aktif tempurung nyamplung termasuk ke dalam
struktur makropori, karena mempunyai diameter pori lebih dari 0,025 μ.

4.3. Mutu Arang dan Arang Aktif Tempurung Nyamplung

4.3.1 Sifat Arang

Karbonisasi tempurung nyamplung dilakukan menggunakan retort atau


reaktor pirolisis (Gambar 1). Rendemen rata-rata arang tempurung nyamplung
yang dihasilkan adalah 37,22 % (Tabel 6). Rendemen arang bergantung pada
jenis bahan baku dan teknik pengolahan yang dilakukan. Menurut Sudardjat dan
Soleh (1994), teknik karbonisasi menggunakan retort dapat memberikan
rendemen yang lebih tinggi yaitu 25 – 30%, dibandingkan teknik pengarangan
menggunakan kiln 20 – 25%. Hal ini disebabkan pada cara retort, sumber
pemanasan selain berasal dari bahan yang diarangkan, juga berasal dari dinding
bagian luar dengan cara dibakar atau menggunakan listrik, selain itu retort
dirancang agar tidak ada atau sangat sedikit sekali kehadiran udara. Sedangkan
pada cara kiln atau dapur pengarangan berdinding batu bata dan beton,
kemungkinan kehadiran udara cukup besar. Adanya udara dalam proses
karbonisasi dapat menyebabkan bahan mengalami oksidasi sehingga bahan tidak
berubah menjadi arang tetapi lebih banyak menjadi abu. Rataan sifat arang
tempurung biji nyamplung disajikan dalam Tabel 4.

Tabel. 6. Sifat arang tempurung biji nyamplung


No. Jenis uji Arang SNI 01-1682-1996
1 Zat terbang (%) 19,85 maks.15
2 Air (%) 3,7 maks.6
3 Abu (%) 4,09 maks.3
4 Warna hitam merata hitam merata
5 Benda asing tidak ada tidak boleh ada
6 Rendemen (%) 37,22 -
7 Karbon terikat 76,06 -
8 Daya serap iod (mg/g) 448,06 -
9 Daya serap benzena (%) 6,31 -
10 Nilai kalor (kal/g) 6.096,63 -
40 
 
Berdasarkan SNI 01-1682-1996, arang yang dihasilkan hanya memenuhi
kriteria pada kadar air, warna dan benda asing, sedangkan zat terbang dan kadar
abu belum memenuhi persyaratan. Tingginya kadar abu dapat disebabkan oleh
sifat dan struktur bahan baku (Sudradjat dan Suryani 2002). Kadar zat terbang
arang cukup tinggi dan melebihi persyaratan. Hal ini menunjukkan bahwa pada
permukaan arang masih mengandung deposit hidrokarbon yang menempel dan
menutupi keaktifan pori-pori arang, yang menyebabkan daya serap arang terhadap
iod dan benzena rendah. Tetapi daya serap tersebut masih lebih tinggi jika
dibandingkan daya serap iod arang tempurung kemiri sebesar 191 mg/g, dan
sedikit lebih rendah dari daya serap benzena arang kemiri yang besarnya 7,35%
(Darmawan 2008). Nilai rataan kalor arang tempurung biji nyamplung adalah
6.069,63 kal/g. Nilai kalor tersebut lebih tinggi jika dibandingkan nilai kalor
arang kayu Pinus mercusii dan Acacia mangium yang masing-masing sebesar
4.547 dan 4.514 kal/g (Nurhayati 2000).

4.3.2 Sifat Arang Aktif

Arang aktif yang dihasilkan, secara umum telah memenuhi standar SNI
06-3703-1995 (Tabel 7). Mutu arang aktif yang diamati pada penelitian ini yaitu:

1. Rendemen

Rendemen arang aktif tempurung nyamplung berkisar antara 9,5 – 60,5%


(Tabel 7). Rendemen tertinggi diperoleh pada arang yang diaktivasi dengan
perendaman H3PO4 10%, suhu 700 o C, selama 60 menit (A3S1W1) yaitu sebesar
60,5% dan yang terendah adalah arang yang diaktivasi tanpa perendaman H3PO4,
suhu 800 oC selama 120 menit yaitu sebesar 9,5%. Terdapat kecenderungan
semakin tinggi suhu dan lama waktu aktivasi, rendemen semakin sedikit. Hasil
ini lebih rendah bila dibandingkan rendemen arang aktif dari tempurung kemiri
yang berkisar antara 50,5-88,5% (Darmawan 2008). Rendahnya rendemen yang
dihasilkan disebabkan oleh reaksi kimia yang terjadi antara karbon yang terbentuk
dengan uap air (H2O) semakin meningkat, sejalan dengan makin meningkatnya
suhu dan lama aktivasi, sehingga karbon yang bereaksi menjadi CO2 dan H2O
juga semakin banyak, dan sebaliknya karbon yang dihasilkan semakin sedikit
(Lee et al. 2003). Penggunaan aktivator H3PO4 berpengaruh nyata terhadap
41 
 
rendemen arang aktif. Menurut Hartoyo dan Pari (1993), bahan kimia yang
ditambahkan dalam aktivasi arang aktif dapat memperlambat laju reaksi pada
proses oksidasi. Dengan demikian selain berfungsi sebagai aktivator, H3PO4 juga
berfungsi sebagai pelindung arang dari suhu yang tinggi.

Tabel 7. Mutu arang dan arang aktif tempurung nyamplung

Perlakuan Rendemen Kadar Zat Kadar Karbon Daya serap


Air terbang Abu terikat
(%) (%) (%) (%) Iod Benzena
(mg/g) (%)
A1S1W1 51,5 10,97 7,01 8,14 84,85 729,07 10,97
A1S1W2 22,5 11,39 8,41 8,30 83,29 728,24 11,97
A2S1W1 56 8,73 7,20 4,68 88,12 662,11 10,59
A2S1W2 51 7,72 6,45 4,32 89,23 787,83 13,07
A3S1W1 60,5 7,15 6,92 4,27 88,81 705,19 13,74
A3S1W2 52 8,25 7,41 4,27 88,32 839,11 13,65
A1S2W1 18 12,61 8,14 15,13 76,73 770,73 12,44
A1S2W2 9,5 8,02 9,19 17,32 73,48 774,13 9,29
A2S2W1 29,5 8,31 6,75 4,01 89,24 1034,03 14,49
A2S2W2 14 10,97 7,03 8,28 84,69 1038,03 18,57
A3S2W1 39,5 10,01 6,36 4,35 90,5 905,09 16,56
A3S2W2 19 9,57 6,42 6,37 87,21 805,01 19,12
SNI 06-3703-1995 <15 <25 <10 >65 >750 -

Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor aktivator, suhu,


lama aktivasi dan interaksi antara aktivator-suhu-waktu memberikan pengaruh
yang nyata terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung. Interaksi
aktivator-suhu, aktivator-waktu, dan interaksi suhu-waktu tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang aktif tempurung nyamplung
(Lampiran 5).
42 
 
Hasil uji Duncan terhadap pengaruh aktivator menunjukkan bahwa
pemberian aktivator H3PO4 menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dari pada
tanpa aktivator. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara pemberian
H3PO4 5% dengan 10%. Faktor suhu menunjukkan bahwa suhu 800 oC
o
menghasilkan rendemen arang aktif yang lebih rendah dari pada 700 C.
Demikian juga dengan pengaruh waktu, semakin lama waktu aktivasi semakin
rendah rendemen yang dihasilkan. Pada interaksi aktivator-suhu-waktu
menunjukkan tidak semua interaksinya menyebabkan perbedaan rendemen yang
nyata. Perlakuan A3S1W1 berada satu grup dengan A2S1W1, A3S1W2 dan
A1S1W1 yang menghasilkan rendemen antara 51,5 – 60,5%, A2S2W1 berada
dalam satu grup dengan A3S2W1 dan A2S1W2 dengan rendemen 29,5 – 51%,
kemudian A1S2W2, A2S2W2, A1S2W1, A3S2W2 dan A1S1W2 berada dalam
satu grup menghasilkan rendemen terendah antara 9,5 – 22,5% (Lampiran 5).

2. Kadar air
Kadar air yang dikehendaki pada arang aktif adalah yang bernilai
serendah-rendahnya, karena akan mempengaruhi daya serap terhadap gas atau
cairan (Pari 1996). Kadar air arang aktif tempurung nyamplung berkisar antara
7,15 – 12,61% Nilai kadar air ini memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia
(1995) karena kurang dari 15%. Kadar air terendah diperoleh pada arang aktif
yang diaktivasi dengan H3PO4 10%, suhu 700 oC selama 60 menit yaitu 7,15%,
dan yang tertinggi diperoleh pada arang arang aktif tanpa H3PO4, suhu 800 oC dan
lama aktifasi 60 menit. Kadar air arang aktif secara umum lebih besar dari kadar
air arang. Hal ini disebabkan oleh struktur pori arang aktif yang lebih besar dan
lebih bersifat higroskopis jika dibandingkan dengan arang. Selain itu menurut
Hendaway (2003), kadar air arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara,
lama proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan. Seperti diketahui bahwa
preparasi sampel arang dan arang aktif berupa penghalusan dan pengayakannya
dilakukan pada ruang terbuka.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa faktor
aktivator, suhu, waktu, interaksi aktivator-suhu, aktivator-waktu, suhu-waktu dan
interaksi aktivator-suhu-waktu memberikan pengaruh yang tidak nyata.
43 
 
3. Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan berkisar antara 6,36 – 9,19%
(Tabel 7). Nilai kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena kurang dari 25%. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa aktivator, suhu, waktu dan interaksinya
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang (Lampiran 7) .
Kadar zat terbang terendah diperoleh pada perlakuan aktivasi H3PO4 10%, suhu
800 oC selama 60 menit dan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi
H3PO4 0%, suhu 800 oC selama 120 menit. Kadar zat terbang yang tinggi
menunjukkan bahwa permukaan arang aktif mengandung zat terbang yang berasal
dari hasil interaksi antara karbon dengan uap air (Pari 2004). Hal tersebut dapat
mengurangi daya serapnya terhadap gas atau larutan.
Terdapat kecenderungan kadar zat terbang semakin meningkat dengan
semakin meningkatnya suhu dan lama aktivasi. Sementara itu peningkatan
konsentrasi H3PO4 cenderung menurunkan kadar zat terbang. Hal ini
menunjukkan bahwa residu-residu senyawa hidrokarbon yang menempel pada
permukaan arang aktif sudah banyak yang terekstraksi, dan pada saat proses
aktivasi dengan uap H2O, senyawa hidrokarbon yang tereduksi oleh H3PO4
tersebut ikut terlepas. Salah satu fungsi bahan pengaktif asam fosfat adalah tidak
menyebabkan residu hidrokarbon membentuk senyawa organik oksigen yang
dapat bereaksi dengan kristalit karbon (Hassler 1963 dalam Sudardjat dan Suryani
2002).

4. Kadar Abu
Kadar abu arang aktif yang dihasilkan berkisar antara 4,01 – 17,32%.
Nilai tersebut umumnya memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995),
karena kurang dari 10%, kecuali arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0%, suhu 800
o
C, 60 menit dan perlakuan aktivasi H3PO4 0%, suhu 800 oC, 120 menit (Tabel 7).
Kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan aktivator H3PO4 5%, suhu 800 oC,
60 menit, dan kadar tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivator H3PO4 0%, suhu
800 oC, selama 120 menit. Tingginya kadar abu ini disebabkan oleh adanya
44 
 
proses oksidasi terutama pada suhu tinggi (Sudradjat dan Suryani 2002; Pari
2004).
Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa aktivator, suhu,
waktu dan interaksi aktivator-suhu dan interaksi suhu-waktu memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar abu. Sedangkan interaksi aktivator-waktu
dan interaksi aktivator-suhu-waktu tidak berbeda nyata.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian aktivator H3PO4
menghasilkan kadar abu yang lebih rendah bila dibandingkan tanpa pemberian
asam fosphat. Tetapi konsentrasi H3PO4 5% tidak berbeda nyata dengan H3PO4
10%. Demikian juga dengan suhu 800 oC menghasilkan kadar abu yang lebih
tinggi dari suhu 700 oC. Sedangkan lama aktivasi antara 60 menit dan 120 menit
tidak berbeda nyata. Tetapi interaksi suhu dan waktu menunjukkan bahwa pada
suhu 800 oC dengan lama 120 menit akan meningkatkan kadar abu dibandingkan
suhu 800 oC 60 menit, sedangkan pada suhu 700 oC, antara lama waktu 60 dan
120 menit tidak berbeda nyata.
Beberapa unsur anorganik tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
(A3W2S2) berdasarkan analisis Energy Dispersive X-ray Analysis (EDX) dapat
dilihat pada Tabel 8
Tabel 8. Analisis EDX tempurung nyamplung, arang dan arang aktif
Elemen Tempurung Arang Arang Aktif
(wt.%) A3S2W2
C 39,36 58,65 70,57
O 60,05 38,91 17
P - - 2,56
K 0,31 1,59 2,64
Ca 0,19 0,32 2,17
Na 0,02 0,28 1,18
Si 0,02 0,02 1,04
S 0,04 0,06 0,27
Al 0,01 - 0,02
Mg - 0,15 0,63
Fe - - 1,49
Pb - - 0,42

Dari Tabel 8, diketahui bahwa unsur anorganik tempurung biji nyamplung


dan arang adalah C, K, Na, Ca, Mg dan S serta terdeteksinya P, Fe dan Pb pada
arang aktif yang diberi perlakuan H3PO4 10%, 800 oC, selama 120 menit
45 
 
(A3S2W2). Hasil maping scan EDX (Lampiran 4) menunjukkan bahwa unsur
yang terdapat dalam tempurung, arang dan arang aktif tersebar secara tidak
merata. Perbedaan kadar unsur anorganik lebih disebabkan oleh kondisi sampel,
dimana pada sample tempurung belum mengalami degradasi oleh panas,
sementara arang dan arang aktif sudah melalui tahapan pemanasan pada suhu
yang tinggi. Degradasi oleh suhu tinggi menyebabkan deposit atau endapan unsur
anorganik lebih banyak menempel pada bahan.
Sementara itu unsur oksigen mengalami penurunan konsentrasi yang
cukup besar dari tempurung, arang dan arang aktif. Hal ini diduga disebabkan
oleh terdegradasinya sejumlah senyawa kimia seperti phenol, carboxylic acid, dan
carbonyl group yang merupakan grup fungsional oksigen (Guo et al. 2007) pada
saat proses karbonisasi dan aktivasi. Ini dibuktikan dari hasil analisis FTIR, yaitu
hilangnya beberapa bilangan gelombang dalam tempurung nyamplung setelah di
karbonisasi dan di aktivasi (Table 2). Demikian juga hasil GCMS Pyrolisis
(Lampiran 3) yang menunjukkan semakin berkurangnya senyawa kimia yang
teridentifikasi pada arang aktif, dibandingkan pada tempurung biji nyamplung.

5. Kadar Karbon

Kadar karbon terikat setelah aktivasi berkisar antara 73,48-90,49%. Nilai


tersebut memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena kadarnya
lebih dari 65%. Kadar karbon tertinggi diperoleh pada perlakuan aktivasi H3PO4
10%, suhu 800 oC selama 60 menit dan terendah diperoleh pada perlakuan
aktivasi H3PO4 0%, suhu 800 oC selama 60 menit. Terdapat kecendrungan
dengan meningkatnya suhu dan lama aktivasi, kadar karbonnya semakin turun,
tetapi semakin meningkatnya konsentrasi H3PO4 kadar karbon arang aktif
semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaradjat dan Suryani
(2002) bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengaktif H3PO4 kadar karbon
arang aktif yang dihasilkan akan semakin besar.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar karbon dipengaruhi
oleh aktivator, suhu, waktu dan interaksi aktivator-suhu, sedangkan interaksi
aktivator-waktu dan interaksi aktivator-suhu-waktu tidak berpengaruh nyata
(Lampiran 9). Selanjutnya dari hasil uji beda Duncan menunjukkan bahwa kadar
46 
 
karbon yang diaktivasi dengan H3PO4 5% dan 10% tidak berbeda nyata, tetapi
berbeda nyata dengan tanpa H3PO4. Kemudian uji Duncan terhadap suhu dan
waktu menunjukkan tidak ada perbedaan antara suhu 700 oC dengan 800 oC, dan
waktu 60 menit dengan 120 menit. Sementara itu interaksi aktivator-suhu
menunjukkan bahwa interaksi H3PO4 0% dan suhu 800 oC menghasilkan karbon
terikat berbeda dengan aktivator-suhu lainnya.

6. Daya Serap Terhadap Iodin

Daya serap arang aktif terhadap iodin berkisar antara 662,11-1038,03


mg/g. Secara umum nilai tersebut sudah memenuhi SNI-06-3730-1995 (BSN
1995), karena lebih dari 750 mg/g, kecuali pada beberapa perlakuan (Tabel 6).
Daya serap iodin tertinggi diperoleh pada perlakuan Aktivasi H3PO4 5%, suhu 800
o
C selama 120 menit dan terendah diperoleh pada perlakuan aktivasi H3PO4 5%,
suhu 700 oC selama 60 menit. Besarnya daya serap iodin berkaitan dengan
terbentuknya pori pada arang aktif yang semakin banyak (Pari 2004).
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa aktivator,
suhu, interaksi aktivator-suhu, interaksi suhu-waktu dan interaksi aktivator –suhu-
waktu berpengaruh nyata, sedangkan waktu dan interaksi aktivator-waktu tidak
berbeda nyata. Selanjutnya hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi H3PO4 5% tidak berbeda nyata dengan 10%, tetapi berbeda nyata
dengan konsentrasi 0%. Peningkatan konsentrasi H3PO4 sampai 5% dapat
meningkatkan daya serap iod, tapi kemudian menurun pada konsentrasi 10%
terutama pada suhu 800 oC. Hal ini diduga disebabkan pada konsentrasi 10% dan
suhu 800 oC, terbentuk lebih banyak oksida logam hasil interaksi H3PO4 dengan
tungku aktivasi, sehingga menutupi pori-pori arang aktif.

7. Daya Serap Terhadap Benzena

Besarnya daya serap arang aktif terhadap benzena berkisar antara 10,59 –
19,12%. Nilai tersebut tidak ada yang memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995
(BSN 1995), karena nilainya kurang dari 25%.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa suhu,
waktu, interaksi aktivator-suhu, aktivator-waktu dan interaksi aktivator-suhu-
47 
 
waktu, memberikan hasil yang tidak nyata, sedangkan faktor aktivator dan
interaksi suhu-waktu memberikan hasil yang berbeda nyata. Selanjutnya hasil uji
Duncan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara aktivator
H3PO4 0, 5 dan 10%. Demikian juga dengan perlakuan suhu-waktu, memberikan
hasil yang tidak berbeda nyata terhadap daya serap benzena. Walaupun demikian
terdapat kecenderungan dengan meningkatnya konsentrasi H3PO4, serta
meningkatnya suhu dan lama aktivasi akan meningkatkan daya serap benzena.
Benzena digunakan untuk menguji sifat kepolaran arang aktif, dimana
benzena lebih bersifat non polar (Pari 2004). Rendahnya daya serap benzena
mengindikasikan bahwa arang aktif tempurung nyamplung yang dihasilkan lebih
cenderung bersifat polar. Polaritas arang aktif dapat disebabkan oleh proses
aktivasi menggunakan bahan kimia H3PO4. Asam phosfat akan menghasilkan
bahan terdekomposisi berupa P2O5 yang menempel dan terikat pada permukaan
arang aktif sehingga akan bersifat lebih polar (Pari et al. 2006). Ini dibuktikan
dari hasil analisis EDX yang mendeteksi adanya unsur phospor dalam arang aktif
(Lampiran 4). Kemudian hasil analisis FTIR (Tabel 2), menunjukkan bahwa
arang aktif yang dihasilkan memiliki pola serapan dengan jenis ikatan OH, C-H,
C-O, dan C=C, serta hasil GCMS (Lampiran 3), yang mendeteksi adanya senyawa
carbamic acid dan propinoic acid yang bersifat polar.

4.4. Kondisi Optimum Pembuatan Arang Aktif

Menurut Hartoyo et al. (1990), kondisi optimum didefinisikan sebagai


perlakuan yang dapat memberikan hasil arang aktif terbaik yang didasarkan pada
rendemen dan daya serap iodium atau disebut total bilangan iodin (total iodine
index). Total bilangan iodin (mg/g) merupakan perkalian rendemen (%) dengan
daya serap iodium (mg/g). Dari hasil perhitungan total bilangan iodin (Tabel 9)
menunjukkan bahwa kondisi optimum pembuatan arang aktif dari tempurung biji
nyamplung adalah arang aktif yang dibuat pada aktivasi 10% H3PO4, suhu 700 oC
selama 120 menit dengan total bilangan iodin sebesar 436,335 mg/g. Selain itu
dari hasil analisis terhadap sifat fisika-kimia, semua parameternya memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995).
48 
 
Tabel 9. Hasil perhitungan terhadap total bilangan iodium arang aktif tempurung
nyamplung
Perlakuan Rendemen Daya serap Iod Total bilangan iodin
(mg/g) mg/g
A1S1W1 51,5 729,07 375,471
A1S1W2 22,5 728,24 163,854
A2S1W1 56 662,11 370,781
A2S1W2 51 787,83 409,669
A3S1W1 60,5 705,19 426,645
A3S1W2 52 839,11 436,335
A1S2W1 18 770,73 138,731
A1S2W2 9,5 774,13 73,543
A2S2W1 29,5 1034,03 305,037
A2S2W2 14 1060,79 148,512
A3S2W1 39,5 905,09 357,513
A3S2W2 19 805,01 152,952

Keterangan :
A1 = Konsentrasi H3PO4 0% S1 = Suhu 700 oC W1 = Waktu aktivasi 60 menit
A2 = Konsentrasi H3PO4 5% S2 = Suhu 800 oC W2 = Waktu aktivasi 120 menit
A3 = Konsentrasi H3PO4 10%

4.5. Aplikasi Arang Aktif pada Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung yang digunakan dalam penelitin ini berasal dari


pengrajin minyak nyamplung di Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen Jawa
Tengah. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak nyamplung sebelum dan setelah
perlakuan pemurnian dengan arang aktif dan bentonit tersebut disajikan Tabel 10.

1. Kadar Air

Kadar air minyak nyamplung sebelum perlakuan adalah 0,367% dan


setelah perlakuan, diperoleh kadar air yang bervariasi yaitu berkisar 0,239 –
0,324% dengan kadar air terendah dihasilkan dari perlakuan menggunakan arang
aktif tempurung nyamplung 20% yaitu sebesar 0,239% dan kadar air tertinggi
dihasilkan dari penggunaan bentonit 20%.
49 
 
Tabel 10. Sifat fisiko kimia minyak nyamplung sebelum dan setelah perlakuan
Konsen Kadar Bilangan Bilangan Bilangan Bilangan Kejerni
trasi air asam Penyabunan Iod Peroksida han
adsorben (%) (mg mg KOH/g (mg/g) (mg/
(%) KOH/g) 100 g) (%T)

1 0,367 45,756 203,189 90,915 0,853 22,55


5 0,323 43,284 201,090 88,216 0,696 75,53
10 0,287 41,752 201,424 88,417 0,593 87,07
2
15 0,271 41,45 201,957 87,619 0,526 90,06
20 0,239 40,413 200,424 85,295 0,466 95,81
5 0,273 43,864 203,189 87,994 1,319 94,17
10 0,254 43,656 202,99 86,813 1,303 94,14
3
15 0,265 42,861 201,557 86,822 1,259 94,14
20 0,324 42,969 200,124 84,469 0,996 90,02

Keterangan : 1. Minyak sebelum perlakuan (kontrol)


2. Minyak setelah perlakuan arang aktif
3. Minyak setelah perlakuan bentonit

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa penggunaan


adsorben berpengaruh nyata terhadap kadar air minyak. Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa pemberian arang aktif sebesar 20% memberikan hasil yang
berbeda dengan perlakuan arang aktif 5%, 10%, kontrol dan bentonit 20% tetapi
tidak berbeda dengan arang aktif 15%, bentonit 5, 10 dan 15%.
Kadar air minyak cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi
arang aktif yang digunakan, sedangkan pada pemberian bentonit 5-10%
cenderung menurunkan kadar air tetapi pada konsentrasi 15 – 20% cenderung
meningkatkan kadar air. Hal ini sesuai dengan penelitian Darmawan (2006), yang
meneliti minyak kemiri bahwa kadar air minyak cenderung meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi bentonit.

2. Bilangan asam

Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH atau NAOH 0,1 N yang
dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak
50 
 
atau lemak. Bilangan asam digunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas
yang terdapat dalam minyak atau lemak yang dihitung berdasarkan berat molekul
asam lemak atau campuran asam lemak (Ketaren 1989).
Bilangan asam minyak nyamplung sebelum pemurnian adalah 45,76 mg
KOH /gram dan setelah pemurnian berkisar antara 40,41 – 43,86 mg KOH /gram.
Bilangan asam terendah diperoleh pada perlakuan arang aktif 20% dan yang
tertinggi diperoleh pada perlakuan bentonit 5%. Pemberian adsorben arang aktif
dan bentonit secara umum telah berhasil menurunkan kadar bilangan asam dalam
minyak (Tabel 10). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan
bahwa penggunaan adsorben berpengaruh nyata terhadap bilangan asam minyak.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pemberian arang aktif 15% dan 20% tidak
berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Bilangan asam minyak nyamplung lebih tinggi jika dibandingkan dengan
minyak nabati lainnya seperti minyak jarak pagar yang hanya mempunyai
bilangan asam 8,81 mg KOH/g atau minyak sawit yang hanya berkisar antara 2 –
5 mg KOH/g (Widyawati 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya
kandungan resin yang terdapat dalam minyak nyamplung yang mencapai 15%
dari minyak (Soerawidjaja 2008). Karakteristik resin pada umumnya mempunyai
bilangan asam yang sangat tinggi, seperti resin kopal dengan bilangan asam
mencapai 125 – 150 mg KOH/g (BSN 2001) atau resin gondorukem yang
mempunyai bilangan asam mencapai 160 – 190 mg KOH/g (BSN 2001).
Sehingga adanya resin dalam minyak nyamplung diduga memberi kontribusi yang
cukup besar terhadap tingginya kadar bilangan asam. Selain itu dapat disebabkan
juga oleh teknik pasca panen dan ekstraksi minyak yang dilakukan pengrajin
minyak nyamplung masih bersifat tradisonal. Pemanenan buah yang dilakukan
pengrajin adalah dengan cara mengumpulkan buah yang rontok dari pohon dan
ekstraksi minyak dilakukan dengan cara menambahkan air panas agar minyak
mudah dipres. Bilangan asam minyak nyamplung dalam penelitian ini lebih
rendah dibandingkan hasil penelitian Sahirman (2008) yang memperoleh bilangan
asam minyak nyamplung sebesar 59,94 mg KOH/g.
Mekanisme penurunan bilangan asam oleh arang aktif disebabkan arang
aktif mempunyai pori-pori dalam jumlah yang sangat besar (Gambar 6) dan
51 
 
permukaannya luas. Adsorpsi terjadi secara fisik karena adanya perbedaan energi
atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Walls) yang dimiliki pori-pori
tersebut sehingga mampu menangkap/mengikat molekul asam lemak bebas yang
terdapat dalam minyak nyamplung.

3. Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan adalah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk


menyabunkan sejumlah contoh minyak. Besarnya bilangan penyabunan
tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah
akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi dari pada minyak yang
mempunyai berat molekul tinggi (Setyowati 2000). Bilangan penyabunan minyak
nyamplung sebelum pemurnian adalah 203,189 mg KOH/g dan setelah pemurnian
berkisar antara 200,12 – 203,189 mg KOH/g. Hasil analisi sidik ragam (Lampiran
14) menunjukkan bahwa perlakuan adsorben tidak berpengeruh nyata terhadap
bilangan penyabunan. Tetapi secara umum pemberian adsorben arang aktif dan
bentonit pada minyak nyamplung dapat menurunkan bilangan penyabunan.
Bilangan penyabunan terendah dihasilkan dari pemberian bentonit 20%, dan arang
aktif 20%, yaitu 200,12 dan 200,42 mg KOH/g.

4. Bilangan Iod

Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100
gram minyak/lemak. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak/lemak mampu
menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh, besarnya jumlah iod
yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh.
Makin besar bilangan iod maka jumlah ikatan rangkap semakin besar (Setyowati
2000).
Bilangan iod merupakan parameter mutu minyak untuk menyatakan
derajat ketidakjenuhan minyak atau lemak, dan digunakan untuk menggolongkan
jenis minyak pengering dengan bilangan iod lebih dari 130 dan bukan pengering
dengan bilangan iod di bawah 100 (Ketaren 1989). Selain itu menurut
(Widyawati 2007), minyak yang mengandung bilangan iod yang tinggi, lebih dari
100, akan mudah teroksidasi sehingga dalam penyimpanan akan mudah
52 
 
menimbulkan bau tengik dan sebaliknya minyak/ lemak yang memiliki bilangan
iod rendah, lebih tahan terhadap kerusakan akibat oksidasi.
Pada minyak nyamplung nilai bilangan iod cukup tinggi, tetapi masih di
bawah 100, sehingga dapat digolongkan sebagai minyak tidak mengering.
Bilangan iod minyak nyamplung sebelum perlakuan adalah 90,91 g/100 g, dan
setelah pemberian arang aktif dan bentonit adalah berkisar antara 84,469 – 88,417
g/100 g. Bilangan iod terendah dihasilkan dari pemberian bentonit 20%, dan
tertinggi dihasilkan dari pemberian arang aktif 10%. Penambahan adsorben arang
aktif dan bentonit cenderung menurunkan bilangan iod (Tabel 9). Hal ini diduga
karena adanya reaksi antara adsorben dengan minyak yang menyebabkan
terputusnya ikatan rangkap, sehingga menurunkan nilai bilangan iod. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan adsorben berpengaruh nyata
terhadap bilangan iod. Hasil uji Duncan (Lampiran 15) menunjukkan bahwa
pemberian bentonit 20% menghasilkan bilangan iod yang berbeda dengan
perlakuan lainnya.

5. Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida didefinisikan sebagai jumlah meq peroksida dalam


setiap 100 g atau 1000 g (1kg) minyak atau lemak. Bilangan peroksida
menunjukkan indeks jumlah minyak atau lemak yang sudah mengalami oksidasi.
Bilangan peroksida minyak nyamplung sebelum perlakuan adalah 0,85 mg/100 g
dan setelah pemberian adsorben arang aktif dan bentonit bilangan peroksida
minyak berkisar antara 0,466 – 1,319 mg/100 g. Bilangan peroksida terendah
diperoleh pada pemberian arang aktif 20%, dan bilangan peroksida tertinggi
diperoleh pada perlakuan adsorben bentonit 5% (Tabel 9).
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 16) menunjukkan bahwa perlakuan
adsorben memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida minyak.
Selanjutnya hasil uji Duncan menunjukkan bahwa arang aktif tempurung
nyamplung 15 dan 20% tidak berbeda tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Terdapat kecenderungan semakin tinggi konsentrasi arang aktif akan
menurunkan bilangan peroksida minyak, tetapi pada pemberian adsorben bentonit,
bilangan peroksida cenderung meningkat. Penurunan bilangan peroksida
53 
 
dikarenakan arang aktif mengandung sejumlah unsur kation (Tabel 8) dan adanya
pori-pori yang menimbulkan gejala kapiler dan gaya Van der Waals (Azah dan
Rudyanto 1984 dalam Rumidatul 2006; Pari 2004), sehingga dapat
menangkap/menyerap oksigen yang terikat oleh ikatan rangkap asam lemak tidak
jenuh.

6. Kejernihan

Minyak nyamplung sebelum dimurnikan dengan adsorben mempunyai


kejernihan yang rendah dengan transmisi 22,55 %. Setelah dilakukan adsorbsi
menggunakan arang aktif dan bentonit diperoleh kejernihan berkisar antara 75,53
– 95,81%. Kejernihan tertinggi diperoleh pada perlakuan arang aktif 20%, dan
yang terendah diperoleh pada perlakuan arang aktif 5%. Hasil sidik ragam
(Lampiran 17) menunjukkan bahwa pemberian adsorben berpengaruh nyata
terhadap kejernihan minyak nyamplung. Selanjutnya hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa adsorben arang aktif dengan konsentrasi 20% menghasilkan
kejernihan tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.
Pada perlakuan pemurnian dengan arang aktif, terdapat kecenderungan
semakin tinggi konsentrasi arang aktif, kejernihan (%T) makin tinggi. Sedangkan
pada bentonit terdapat kencenderungan semakin tinggi konsentrasi bentonit,
kejernihan menurun (Tabel 10). Tetapi pada konsentrasi 5%, bentonit
menghasilkan kejernihan (persen transmisi) yang lebih tinggi yaitu 94,17%
dibandingkan arang aktif 5% yang hanya sebesar 75,53%.
Menurut Marwati (2005) salah satu penyebab kekeruhan minyak adalah
adanya kandungan air dalam minyak. Sementara itu dari Tabel 10, ditunjukkan
bahwa konsentrasi bentonit 5-15% mempunyai kemampuan menyerap air yang
lebih baik dari pada arang aktif dengan konsentrasi 5 – 10%. Sehingga
penggunaan bentonit sampai kadar tertentu dapat lebih menjernihkan minyak
nyamplung. Hal ini sesuai dengan pendapat Patterson (1992) dalam Marwati
(2005), bahwa bentonit mempunyai kemampuan lebih mudah menyerap air.
Selain itu bentonit mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan arang
aktif karena lebih banyak memiliki ikatan hidroksil (Vlasova et al. 2003).
54 
 

a b c d e
Gambar 6. Kejernihan minyak nyamplung menggunakan arang aktif
a. kontrol, b. 5% c. 10% d. 15% e. 20%

7. Komponen Kimia Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung merupakan produk zat ekstraktif dari tanaman


nyamplung. Seperti halnya minyak nabati, minyak nyamplung mengandung
sejumlah senyawa kimia. Hasil analisis GCMS minyak nyamplung sebelum dan
sesudah perlakuan (Tabel 11), terlihat bahwa asam lemak merupakan komponen
terbesar penyusun minyak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sahirman (2008),
bahwa minyak nyamplung tersusun oleh beberapa komponen asam lemak utama
yaitu asam oleat, palmitat, stearat, dan linoleat. Dari hasil analisis diketahui
bahwa perlakuan adsorban menggunakan arang aktif 20%, menyebabkan kadar
asam linoleat meningkat dari 59,5% menjadi 65,59%. Hal ini dimungkinkan
karena arang aktif mempunyai struktur yang berpori dan permukaannya sangat
luas, selain itu dipengaruhi oleh sifat polaritas permukaan arang aktif dan bahan
yang diserap (Pari 2004). Berdasarkan analisis FTIR dan GCMS diketahui
bahwa arang aktif tempurung nyamplung cenderung lebih bersifat polar yang akan
menyerap senyawa dengan kepolaran yang mirip atau sejenis. Sementara itu
menurut Siswandono (2008), semakin bilangan rantai samping atom karbon (C),
maka bagian molekul yang non polar akan semakin tinggi bila dibandingkan
rantai karbon yang lebih pendek. Asam lemak linoleat (C18:2) memiliki 18 rantai
karbon, lebih panjang dari asam palmitat (C16:0) yang hanya memiliki 16 rantai
carbon. Sehingga diduga, asam palmitat lebih banyak terserap arang aktif
55 
 
dibandingkan asam linoleat (C18:2) yang lebih non polar. Ini dibuktikan dengan
konsentrasi yang linoleat yang meningkat setelah perlakuan arang aktif.
Sedangkan asam palmitat, asam sinamat dan senyawa lainnya yang mempunyai
derajat kenonpolaran lebih rendah dapat terserap arang aktif, ini dibuktikan
dengan berkurangnya konsentrasi senyawa tersebut (Tabel 11). Menurut Letawe
et al. (1998), asam linoleat merupakan asam lemak essential yang baik
dimanfaatkan untuk kulit sebagai anti inflammatory,  obat jerawat dan sebagai
pelembab kulit.  
  Hasil analisis GCMS juga mendeteksi adanya senyawa Cinnamic acid atau
asam sinamat, farnesol, dan benzopyran di dalam minyak nyamplung, baik
sebelum maupun sesudah perlakuan. Salah satu manfaat asam sinamat adalah
sebagai antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan kulit. Senyawa farnesol
merupakan golongan sesquiterpen alkohol yang berfungsi sebagai antimikroba
(Derengowski et al. 2009). Sedangkan senyawa benzopyran juga diduga berperan
sebagai antioksidan, salah satu contohnya adalah turunan benzopyran seperti 1,4-
dihydro - spiro[benzofuran 3(2H),3-[3H-2] benzopyran]-1,6,6,7-tetrol, yang
merupakan antioksida dengan kinerja yang lebih baik dari antioksidan alpha
tocopherol, betacarotene, and BHT (Butylated hydroxytoluene) (Safitri et al.
2008).
Hasil analisis pH menunjukkan bahwa minyak sebelum perlakuan
mempunyai pH 5 (asam) dan setelah perlakuan dengan 20% arang aktif,
diperoleh pH 7 (netral). Hal ini disebabkan arang aktif nyamplung mempunyai
sifat basa (pH 9). Arang aktif yang bersifat basa dapat menarik atau menerima
ion-ion H+ dari minyak yang lebih banyak mengandung ion H+ (asam), sehingga
pH minyak cenderung menjadi netral. Menurut teori asam basa Bronsted-Lowry
dalam Keenan et al. (1992), basa adalah senyawa aksepor/penerima ion hidrogen
(H+), dan asam adalah senyawa yang mendonorkan ion hidrogen (H+) kepada
senyawa lain.
Dengan demikian pemberian adsorben arang aktif selain dapat
memperbaiki sifat minyak juga dapat meningkatkan pH minyak nyamplung.
Sehingga pemanfaatan minyak nyamplung tidak hanya sebagai bahan campuran
56 
 
pembuatan batik dan genteng atau sebagai bahan bioenegi saja tetapi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetik dan obat.

Tabel 11. Komponen senyawa minyak nyamplung


Minyak sebelum Konsetrasi Sesudah Konsentrasi
perlakuan (%) perlakuan (%)

1 8-Annulene 0,43 8-Annulene 1,01

2 Cinnamic acid 1,80 Cinnamic acid 0,91

3 7 Aza-A-nor B,B 0.07 Hexadecanoid 0,16


dihomo 5 alpha- acid, methyl ester
cholestan-6-one
4 Palmitic acid 12,56 Palmitic acid 10,13

5 Linoleic acid 59,5 Linoleic acid 65,59

6 Oleat acid 9,87 Oleat acid 9,92

7 Farnesol 0,31 Farnesol 0,21

8 2H-1-benzopyran 13,28 2H-1-benzopyran 11,73

9 5 alpha-Cholestan-6- 2,18 Oryzalin 0,34


one, oxime

pH 5 (asam) 7 (netral)
57 
 
V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Tempurung nyamplung dapat dikonversi menjadi arang dan arang aktif,
dimana pada proses karbonisasi dan aktivasi terjadi perubahan struktur bahan,
yang mengakibatkan hilangnya sejumlah zat penyusun tempurung dan
terbentuknya struktur baru. Hal ini dilihat dari terjadinya perubahan gugus
fungsi, derajat kristalinitas, terbentuknya pori dan senyawa kimia.
2. Kondisi optimal untuk memproduksi arang aktif tempurung nyamplung
dihasilkan pada proses menggunakan aktivator H3PO4 10%, suhu aktivasi 700
o
C dan lama aktivasi 120 menit.
3. Penggunaan arang aktif tempurung biji nyamplung berpengaruh nyata
terhadap kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan peroksida dan
kejernihan minyak nyamplung tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap
bilangan penyabunan. Arang aktif sebesar 20% memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan perlakuan lainnya karena menghasilkan minyak dengan
kadar air, bilangan asam, peroksida terendah, kejernihan tertinggi, dan
meningkatkan pH minyak.
58 
 
DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2003. Bintangur, penekan virus HIV dari Kalimantan. http:// www.
situshijau.co.id/tulisan.php?act = detail &id=167&idkolom=1. [19 April
2008].

[Anonim]. 2008a. Gubernur, Bupati dan Presdir PT.FI Tanam Pohon. Radar
Timika Online. http://www.radartimika.com/article/Utama/7313/. [19 Juni
2008].

[Anonim]. 2008b. New Chapter True Tamanu Oil 1 fl oz. http://www.vitacost.


com/New-Chapter-True-Tamanu-Oil. [07 Agustus 2008].
[Anonim]. 2008c. Tanam Nyamplung ±1.000 Ha di tahun 2008.
http://www.kphbanyumasbarat.perumperhutani.com/index.php?option =com
_content&task=view&id=45&Itemid=2. [07 Agustus 2008].

[AOAC]. 1999a. AOAC Official Methods 940.28: Free Fatty Acid. Official
Methods of Analysis of AOAC International. 5th Revision. Vol 2. AOAC
International. Meryland.

[AOAC]. 1999b. AOAC Official Methods 965.33: Peroxide Value of Oil and
Fats. Official Methods of Analysis of AOAC International. 5th Revision.
Vol 2. AOAC International. Meryland.

Asano N, Nishimura J, Nishimiya K, Hata T, Imamura Y, Ishihara S, Tomita B.


1999. Formaldehide reduction in indoor environments by wood charcoals.
Wood Researchs No.86. Kyoto University.

Bilba K, Quensanga A. 1996. Fourier transform infrared spectroscopi study of


thermal degradation of sugar cane bagasse. Journal of Analytical and
Applied Pyrolysis. 38 : 61-73.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara uji minyak dan lemak. Jakarta:
BSN. (SNI 1-3555-1994).

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. Arang tempurung kelapa. Jakarta:


BSN. (SNI 01-1682-1996).

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. Arang aktif teknis. Jakarta: BSN.
(SNI 06-3730-95).

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2001. Kopal. Jakarta. BSN. (SNI 01-
5009.10-2001).
59 
 
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2001. Gondorukem. Jakarta: BSN. (SNI
01-5009.12-2001)

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. Interscience Publ. New


York.

Castila CM, Ramon MVL, Marin FC. 2000. Changes in surface chemistry of
activated carbons by wet oxidation. Carbon 38 : 1995 – 2001.

Darmawan, S. 2008. Sifat arang aktif tempurung kemiri dan pemanfaatannya


sebagai penyerap emisi formaldehida papan serat berkerapatan sedang
[tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Demirbas A. 2005. Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate


conditions. Journal of Analitical and Applied Pyrolysis 73:39-43.
http://serials.cib.unibo.it/cgi-ser/start/it/spogli/df-s.tcl?prog_art= 2936418
& language=ITALIANO&view=articoli. [17 Mei 2008].

Derengowski LS, De-Silva CDS, Braz S, De-Sousa TM, Báo SN, Kyaw CM and
Pereira IS. 2009. Antimicrobial effect of farnesol, a Candida albicans
quorum sensing molecule, on Paracoccidioides brasiliensis growth and
morphogenesis. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials. 8
(13):1476-86.

Djatmiko B, Ketaren S, Setyahartini S. 1985. Pengolahan Arang dan


Kegunaannya. Bogor. Agro Industri Press.

Dweck AC, Meadows T. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum) the African,


Asian Polynesia and Pasific Panacea. International Journal of Cosmetic
Science. 24 : 1 – 8.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia Ultrastruktur Reaksi-reaksi.


Sastrohamidjojo H, penerjemah; Yogyakarta. Gajah Mada University
Press. Terjemahan dari: Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik Jilid 2. Pujaatmaka AH,
penerjemah; Jakarta. Erlangga. Terjemahan dari Organic Chemistry,
Third Edition.

Fitriani V. 2007. Pemupukan dengan Arang. http://tipsmenanam.blogspot.com/


2007/08/ pemupukan-dengan-arang.html.  [28 April 2008].

Fitriani V. 2008. Karbon aktif tempurung kelapa. http://karbonaktif.blogspot. com.


[4 April 2009].
60 
 
Gani A. 2007. Konversi sampah organik menjadi komarasca (kompos-arang
aktif-asap cair) dan aplikasinya pada tanaman daun dewa [disertasi].
Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Goldberg ED. 1985. Black Carbon in The Environment. Properties and


Distribution. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Guo J, Luo Y, Lua AC, Chi R, Ychen, Bao X, Xiang S. 2007. Adsortion of
hydrogen sulphide (H2S) by activated carbons derived from oil-palm shell.
Carbon 45 : 330-336.

Hambali E, Mujdalifah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007.


Teknologi Bioenergi. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Hartoyo, Hudaya, N Fadli. 1990. Pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa
dan kayu bakau dengan cara aktifasi uap. Jurnal Penelitian Hutan 8 (1): 8-
16

Hartoyo, Pari G. 1993. Peningkatan rendemen dan daya serap arang aktif dengan
cara kimia dosis rendah dan gasifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11
(5): 205-208.

Hendaway ANA. 2003. Influence of HNO3 oxidation on te structure and


adsorptive properties of corncob-based activated carbon. Carbon 41:713-
722.

Heygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar.
Hadikusomo SA, penerjemah; Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: Forest Product and wood science, an introduction.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kehutanan Depeartemen Kehutanan.

Irawaty D. 2006. Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol [tesis]. Bogor.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Jagtoyen M, Derbyshaire F. 1998. Activated carbon from yellow poplar and


white oak by H3PO4 activation. Carbon 36 (7-8): 1085-1097.

Kercher AK, Negle DC. 2003. Microstructural evolution during charcoal


carbonization by X-ray diffraction analysis. Carbon (41): 15 - 27

Keenan CW, Kleinfelter DC, Wood JH. 1992. Ilmu Kimia Untuk Universitas.
Erlangga. Jakarta.
61 
 
Ketaren. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI. Press. Jakarta.

Kilham, C. 2008. Oil of tamanu (Calophyllum inophyllum).


http://www.newchapter.com/articles/view/oil-of-tamanu-calophyllum-
inophyllum. [17 Mei 2008].

Kinoshita K. 2001. Electrochemical uses of carbon. http://electrochem.cwru. edu/


ed/encycl/art-c01-carbon.htm. [13 Mei 2008].

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1999. Arang aktif dari tempurung
kelapa. http://www.pdii.lipi.go.id/arang_aktif_tempurung_kelapa.htm.
[17 Mei 2008].

Letawe C, Boone M, Pierard GE. 1998. Digital image analysis of the effect of
topically applied linoleic acid on acne microcomedones. Clinical &
Experimental Dermatology 23(2): 56–58. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
entrez/query.fcgi?db=pubmed&cmd=Retrieve&dopt=AbstractPlus&list_ui
ds=9692305&itool=iconabstr&query_hl=17&itool=pubmed_docsum. [14
Agustus 2009].

Manocha. 2003. Prorous carbon. Sadhana 28 (1-2):335-348. http://www.ias.ac.in/


sadhana/Pdf2003Apr/Pe1070.pdf. [28 April 2008].

Martawijaya A, Sujana IK, Kosasi K, Soewanda AP. 1981. Atlas Kayu


Indonesia. Jilid 1. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Bogor.

Marwati, T. 2005. Kajian proses adsorpsi dan pengkelatan pada pemucatan


minyak daun cengkeh [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Novicio LP, Hata T, Kajimoto T, Imamura Y, Ishihara S. 1998. Removal of


mercury from aqueous solution of mercuric chloride using wood powder
carbonized at hig temperatur. Journal of Wood Research. 85: 48-55.

Nurhayati T. 2009. Produksi arang dan destilat kayu mangium dan tusam dari
tungku kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 18 (3): 137-151.

Ozcan AS, Ozcan A. 2004. Adsorption of acid dyes from aqueous solution onto
acid-activated bentonit. J.Colloid Interface Sci (276): 39-46.

Pari G. 1996. Pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian sengon dengan cara
kimia. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 14 (8): 308-320.

Pari G, Nurhayati T, Hartoyo. 2000. Kemungkinan pemanfaatan arang aktif


kulit kayu Acacia Mangium Willd untuk pemurnianm minyak kelapa
sawit. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 18 (1): 40-53.
62 
 
Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai
adsorben formaldehida kayu lapis [disertasi]. Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pari G, Hendra D, Pasaribu RA. 2006. Pengaruh lama waktu aktivasi dan
konsentrasi asam fosfat terhadap mutu arang aktif kulit kayu Acacia
mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24(1):33-46.

Rumidatul A. 2006. Efektivitas arang aktif sebagai adsorben pada pengolahan air
limbah [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sabio M, Almansa C, Reinoso FR. 2003. Phosporic acid activated cabon discs
for methane adsorption. Cabon 41 : 2113 – 2119.

Safitri, R, Tarigan P, Freisleben HJ, Rumampuk RJ, Murakami A. 2008. Anti


oxidant activity in vitro of two aromatic coumpound from Caesalpinia
sappan L. BioFactor 19: 71-77. http://www3.interscience.wiley.com/
journal/121573674/abstract?CRETRY=1&SRETRY=0. [24 Agustus
2009].
Sahirman. 2008. Perancangan proses dua tahap (eksterifikasi dan transesterifikasi)
untuk produksi biodiesel dari minyak biji bintangur (Calophyllum
inophyllum) [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Schukin LI, Kornievich MV, Vartapetjan RS, Beznisko SI. 2002. Low
temperature plasma oxidation of activated carbons. Carbon 40 : 2021-
2040.

Sembiring MT, Sinaga TS. 2003. Arang aktif, pengenalan dan proses
pembuatannya. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Serrano VG, Almeida FP, Valle CJD, Vilegas JP. 1999. Formation of oxygen
structur by air activation. A study by FT-IR spectroscopy. Carbon 37 :
1517-1528.

Setyowati K. 2000. Produksi minyak jarak (Ricinus communis L) sebagai bahan


baku industri pelumas dan plastik serta substitusi tung oil. Laporan Hibah
Bersaing Perguruan Tinggi. IPB. Bogor.

Siswandono, 2008. Hubungan struktur, kelarutan dan aktivitas biologi obat.


http://www.farmasi.unair.ac.id/emodule/kimiafarma. [10 Agustus 2009]

Sjostrom, E. 1998. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi kedua.


Sastrohamidjojo H, penerjemah; Yogyakarta. Gajah Mada Universiti
Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry, Fundamentals and Applications.
63 
 
Smisek M, Cerny S. 1970. Active Carbon: Manufacture, properties, and
application. New York. Elsevier Publishing Co.

Soerawidjaja TH. 2008. Mendayagunakan potensi ekonomi nyamplung


(Calophyllum inophyllum L). Seminar Nasional Nyamplung Sumber
Energi Biofuel yang Potensial. Jakarta, 23 Septemebr 2008.

Sudjana. 1980. Disain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung

Sudradjat R, Soleh S. 1994. Petunjuk teknis pembuatan arang aktif. Pusat


Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Sudradjat R, Suryani A. 2002. Pembuatan dan pemanfaatan arang aktif dari


ampas daun teh. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20 (1): 1 – 11.

Sudradjat R, Anggorowati, Setiawan D. 2005. Pembuatan arang aktif dari kayu


jarak pagar (Jatropha curcas L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23 (4):
299-315.

Sudradjat R. 2007. Teknologi pengolahan minyak bintangur dan kesambi


menjadi biodiesel. Proposal Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Tanaike O, Inagaki M. 1999. Degradation of carbon materials by intercalation.


Carbon 37 (1) : 121 – 125.

Tarmansyah US. 2007. Pemanfaatan serat rami untuk pembuatan selulosa.


http://www.buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp. [20 Juli 2009].
Vlasova M, Patino GD, Kakazey N, Patino MD, Romero DJ, Mendez YE. 2003.
Structural-phase transformations in bentonite after acid treatment. Science
of Sintering 35: 155-166.

Widyawati, Y. 2007. Disain proses dua tahap esterifikasi-transesterifikasi


(setran) pada pembuatan metil ester (biodiesel) dari minyak jarak pagar
(Jatropha curcas L) [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
 
 

LAMPIRAN

 
64 

Lampiran 1. Analisa kimia tempurung biji nyamplung

A. Ekstraktif

Sebanyak 2 g sampel serbuk tempurung dimasukkan ke dalam cawan


saring. Selanjutnya cawan saring dimasukkan ke dalam Soxhlet sedemikian
sehingga ujung cawan saring lebih tinggi dari ujung sifon dan sampel didalamnya
lebih rendah. Ekstraksi dilakukan dengan 200 ml alkohol - benzena (1 : 2) selama
4-6 jam. Setelah selesai, cawan dikeluarkan dan dihisap dengan pompa vakum,
lalu dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan benzena dan dihisap lagi dengan
pompa vakum. Selanjutnya cawan saring dan isinya dikeringkan dalam tanur pada
suhu 100-105 oC dan ditimbang sampai beratnya konstan.

% kadar ekstraktif = berat awal-berat kering tanur x 100%


berat kering tanur

B. Penentuan holoselulosa (Browning 1967)

Sampel tempurung biji nyamplung bebas ekstraktif ekuivalen 2 g berat


kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 100 ml air destilat, 1g
sodium klorit dan 1 ml asam asetat glasial. Panaskan dengan water bath pada suhu
80oC. Jaga agar permukaan air dalam water bath lebih tinggi dari permukaan
larutan dalam erlenmeyer. Tambahkan 1 g sodium klorit dan 0,2 ml asam asetat
setiap interval pemanasan selama 1 jam, dan penambahan dilakukan sebanyak 4
kali. Saring sampel dengan menggunakan glass filter, cuci dengan menggunakan
air panas. Tambahkan 25 ml asetat 10 %, lalu dicuci dengan air panas hingga
bebas asam. Sampel dioven pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan,
dinginkan dan timbang.

Holoselulosa, % = berat holoselulosa x 100%


berat serbuk bebas ekstraktif

C. Lignin

Sebanyak 1,0 ± 0,1 g serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas


piala. Tambahkan larutan asam sulfat 72 % sebanyak 15 ml. Penambahan asam
dilakukan secara perlahan dan bertahap sambil diaduk dengan suhu dijaga pada ±
1oC. Setelah tercampur sempurna, simpan gelas piala pada suhu 20 ± 1oC selama 2
65 

jam sambil diaduk sesekali. Tambahkan sekitar 300 – 400 ml air ke dalam
erlenmeyer 1000 ml dan pindahkan sampel dari gelas piala ke dalam erlenmeyer.
Bilas dan encerkan larutan dengan air hingga dicapai konsentrasi asam sulfat 3%,
yaitu hingga total volume 575 ml. Didihkan larutan selama 4 jam dan jaga agar
volume larutan konstan dengan menambahkan air panas. Saring lignin dengan
gelas filter dan cuci dengan air panas hingga bebas asam. Keringkan sampel lignin
dalam oven pada suhu 105 ± 3oC hingga beratnya konstan, dinginkan dan timbang.

Lignin, % = berat lignin x 100%


berat serbuk bebas ekstraktif

D. Selulosa
Ke dalam erlenmeyer 300 ml yang berisi g serbuk bebas ekstraktif
ditambahkan 125 ml HNO3 3,5%. Kemudian diekstrak pada waterbath dengan
suhu 80 oC selama 12 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan cawan saring dan
dikeringudarakan. Cawan saring dimasukkan ke dalam gelas piala 200 ml dan
ditambahkan 125 ml larutan NaOH + Na2SO3 (20:20 g dalam 1 liter). Selanjutnya
diekstrak pada suhu 50 oC selama 2 jam. Setelah itu serbuk kayu dikeluarkan dari
gelas piala, disaring dan ditambahkan NaClO2 10% sampai berwarna putih. Lalu
ditambahkan 100 ml CH3COOH 10% dan dicuci sampai bebas asam. Terakhir
ditambahkan 50 ml etanol. Kemudian cawan dikeringkan pada suhu 100-105 oC
dan ditimbang sampai beratnya konstan.
% kadar selulosa = berat selulosa x 100%
berta serbuk bebas ekstraktif
66 

Lampiran 2. Absorban FTIR tempurung nyamplung, arang dan arang aktif

No Sampel Bilangan Transmisi Absorban


Gelombang (%)
1 Tempurung 1 3431 0,01 2
Nyamplung 2 2922 0,174 0,759451
3 1741 0,155 0,809668
4 1642 0,146 0,835647
5 1512 0,141 0,850781
6 1463 0,134 0,872895
7 1427 0,123 0,910095
8 1377 0,105 0,978811
9 1323 0,135 0,869666
10 1251 0,072 1,142668
11 1161 0,054 1,267606
12 1109 0,029 1,537602
13 1034 0,012 1,920819
14 896 0,392 0,406714

2 Arang 1 3429 0,024 1,619789


2 2920 0,083 1,080922
3 2856 0,096 1,017729
4 2366 0,165 0,782516
5 2341 0,172 0,764472
6 1580 0,01 2
7 1379 0,012 1,920819
8 1256 0,021 1,677781
9 871 0,178 0,74958
10 810 0,188 0,725842
11 751 0,198 0,703335

3 A1S1W2 1 3431 0,01 2


2 2920 0,083 1,080922
3 2853 0,095 1,022276
4 2361 0,059 1,229148
5 2337 0,065 1,187087
6 1630 0,041 1,387216
7 1459 0,025 1,60206
8 1160 0,023 1,638272
9 1059 0,018 1,744727
10 874 0,095 1,022276
11 671 0,164 0,785156
67 

Lampiran 2. Lanjutan

Bilangan Transmisi
No Sampel Gelombang (%) Absorban
4 A1S2W1 1 3433 0,01 2
2 2922 0,107 0,970616
3 2853 0,154 0,812479
4 2361 0,13 0,886057
5 2337 0,154 0,812479
6 1631 0,1 1
7 1560 0,103 0,987163
8 1461 0,05 1,30103
9 1161 0,063 1,200659
10 1058 0,035 1,455932
11 899 0,253 0,596879
12 873 0,252 0,598599
13 670 0,298 0,525784

5 A1S2W2 1 3428 0,01 2


2 2920 0,066 1,180456
3 2854 0,083 1,080922
4 2361 0,075 1,124939
5 2337 0,083 1,080922
6 1630 0,052 1,283997
7 1558 0,039 1,408935
8 1461 0,014 1,853872
9 1162 0,022 1,657577
10 1057 0,012 1,920819
11 874 0,109 0,962574
12 708 0,201 0,696804
13 671 0,189 0,723538

6 A2S2W2 1 3420 0,032 1,49485


2 2919 0,075 1,124939
3 2850 0,079 1,102373
4 2361 0,036 1,443697
5 2337 0,04 1,39794
6 1630 0,039 1,408935
7 1560 0,027 1,568636
8 1057 0,01 2
9 672 0,172 0,764472
68 

Lampiran 2. Lanjutan

7 A3S1W1 1 3429 0,01 2


2 2919 0,074 1,130768
3 2853 0,082 1,086186
4 2361 0,039 1,408935
5 2337 0,044 1,356547
6 1632 0,037 1,431798
7 1559 0,035 1,455932
8 1112 0,011 1,958607
9 670 0,147 0,832683

8 A3S1W2 1 3429 0,023 1,638272


2 2921 0,067 1,173925
3 2849 0,071 1,148742
4 2388 0,052 1,283997
5 2346 0,057 1,244125
6 1623 0,036 1,443697
7 1561 0,029 1,537602
8 1107 0,01 2
9 880 0,058 1,236572

9 A3S2W2 1 3416 0,054 1,267606


2 2918 0,082 1,086186
3 2849 0,083 1,080922
4 2360 0,052 1,283997
5 2325 0,051 1,29243
6 1563 0,029 1,537602
7 1094 0,01 2
8 1066 0,011 1,958607
9 604 0,189 0,723538
69 

Lampiran 3. Komponen kimia tempurung nyamplung, arang dan arang aktif


hasil GCMS Pyrolisis

No Tempurung Nyamplung Arang


1 Amonium carbamate Amonium carbamate
2 1-Deuterobutane 2-Propinoic acid
3 2-Butanone (Mehyl ethyl ketone) Napthalen (White tar)
4 Acetic acid (Methyl acetat) 1,3-Undecafluorocyclohexylpropan-
1,3 Dione
5 2,3-Butanedion (Diacetyl) Sarpagan-16-carboxylic acid
6 Propanoic acid Phosporous acid
7 Acetic acid (Ethylic acid) Benzyl 3-oxo-5-phenylthiopentanoate
8 2-Butenal 4-Methylamino-3-octane
9 2,3-Pentanedion 2-Hexadecanone
10 1,4-Dioxin, 2,3-dihydro Acethyl-Gly-Phe-Hydroxyl
11 1-penten-3-one (Ethyl vinil ketone) Dopamine 3-0-Sulfate
12 2-Methyl butenal 1H-Benzimidazol
13 Butanedial (Succinaldehyde) 9H-Fluorene, 9-methylene
14 Methyl pyruvate 1-Tetradecanol
15 1,4-Dioxadiene 2-Heptadecanone
16 2-Furancarboxaldehyde (Furfural) (22-Z)-Dehydrocholesterol-1-ether
17 2-Furanmethanol (Furfuryl alkohol) 9-Octadecane
18 2-Hexanon, 3,4-dimethyl 2-Propenoic acid
19 1,2-Ethanediol, diacetat Pregnane-3
20 2-cyclopentene-1,4-dione 2-Phenanthrenecarboxaldehyde
21 2-Butenoic acid, methyl ester 4-Butyl-1,4-hexahydrothiazepine
22 2(5H)-Furanone Stearic acid
23 1,2-Cyclopentanedione Silane
24 2-Pentanone (Methyl propil ketone Tetracosahexaene
25 N-amino32-hydroxypropanamidate -
26 cycooctan, 1-(Diethylboryl) -
27 3-Methylhydantoin -
28 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3- -
methyl
29 3-Hydroxy-5-Methyl-2(5H)- -
Furanone
30 Phenol, 2-methoxy (Guaiacol -
31 Pentanal -
32 Ethycyclopentenolone -
33 2,4(3H,5H)-Furandione, 3-methyl -
34 7-methyl-1,4-dioxaspirol[2.4]heptan-5- -
one
35 2,5-dioxo-3-isopropyl-6- -
methylpiperazine
36 Benzaldehyde, 3,4-dihydroxy -
37 2-Methoxy-4-methylphenol -
38 1,2-Benzenediol (Pyrocatechol) -
39 Soleron -
70 

Lampiran 3. Lanjutan

No Tempurung Nyamplung Arang


40 1-Pentanol, 2-methyl -
41 2-Furancarboxaldehyde,5-(hydroxymethyl (HMF) -
42 Cytidine, 2-dioxy (Deoxycytidine) -
43 Acetat 9-Oxabicyclo -
44 3-methoxy-pyrocatechol -
45 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy (p-Ethylguaiacol) -
46 Neomethyl acetat -
47 3,3-Dimethyl-4-hydroxy-2-Butanone -
48 Phenol, 4-ethenyl-2-methoxy -
49 2-Acetoxy-5-Methylpyrazine -
50 Phenol, 2,6-dimethoxy -
51 Phenol, 2-methoxy-3-2-propenyl -
52 5-Propyl-Guaiacol -
53 2-Ethyl-5-N-prophylphenol -
54 2-Ethyl-3-methoxy-2-cyclopentanone -
55 Vanilin -
56 Benzoic acid, 4-hydroxy, methyl ester -
57 1,2,4-Trimethoxybenzene -
58 Isoeugenol -
59 Acetovanilone -
60 Propano 3 methoxy-4-hydroxyphenon -
61 3-Trimethylsilyloxy Phenol -
62 2-propanone -
63 Beta D-Ribopyranosid -
64 4-Methyl-2,5-Dimethoxybenzaldehide -
65 Cyclopentanepropanoic acid -
66 4-Oxo- Beta-Isodamascol -
67 Methyl ether -
68 Syringaldehide -
69 Coniferyl alkohol -
70 4-methoxy-3-(methoxymethyl) phenol -
71 3-(2,5-Dimethoxy-Phenyl)-Propionic acid -
72 4,4-dimethyl-1phenyl-1-penten-3-one -
71 

Lampiran 3. Lanjutan

Arang aktif
No A1S1W2 A1S2W2 A3S1W2 A3S2W2
1 Carbondiokside Carbamic Carbamic acid 2-Propinoic acid
acid
2 Tetranitromethane 4,4-Dimethyl-5- Dl-Alanylglycin
Alpha-D1-
Androstan-3-
Beta-OL-7-One
3 Monomethyl Ester of Hahnfett
Oxalic acid
4 Carbamic acid Tert-
butylmethylsyly
5 Alpha-Tocopheryl- Tetracosahexaene
beta-D-Manosid
6 4-Bromo-7,7- Silane
Dichlorobicyclo
7 Methyl 3-methyl-5-
oxy-2-phenoxy
hexanedithioate
8 Farnesol
72 

Lampiran 3. Lanjutan

Kromatogram GCMS Pyrolisis tempurung nyamplung

Kromatogram GCMS Pyrolisis arang tempurung nyamplung

Kromatogram GCMS Pyrolisis arang aktif tempurung nyamplung A3S2W2


73 

Lampiran 4. Analisis Energy Dispersive X Ray Analyzer (EDX) tempurung


nyamplung

El AN Series unn. C norm. C Atom.C Error


[wt.%] [wt.%] [at.%] [%]
------------------------------------------------
O 8 K-series 60.05 60.05 53.26 18.6
C 6 K-series 39.36 39.36 46.51 12.6
K 19 K-series 0.31 0.31 0.11 0.0
Ca 20 K-series 0.19 0.19 0.07 0.0
S 16 K-series 0.04 0.04 0.02 0.0
Na 11 K-series 0.02 0.02 0.01 0.0
Si 14 K-series 0.02 0.02 0.01 0.0
Al 13 K-series 0.01 0.01 0.00 0.0
------------------------------------------------
Total: 100.00 100.00 100.00 
 
Spectrum :  Maping Scan Tempurung Nyamplung 
 

 
 

Lampiran 4. Lanjutan ( Spektrum EDX arang tempurung nyamplung)


74 

 
El AN Series unn. C norm. C Atom. C Error
[wt.%] [wt.%] [at.%] [%]
-------------------------------------------
C 6 K-series 58.65 58.65 66.12 18.6
O 8 K-series 38.91 38.91 32.93 12.4
K 19 K-series 1.59 1.59 0.55 0.1
Na 11 K-series 0.28 0.28 0.17 0.0
Ca 20 K-series 0.32 0.32 0.11 0.0
Mg 12 K-series 0.15 0.15 0.08 0.0
S 16 K-series 0.06 0.06 0.03 0.0
Si 14 K-series 0.02 0.02 0.01 0.0
-------------------------------------------
Total: 100.00 100.00 100.00 
 
 
Spectrum :  Maping Scane Arang Nyamplung 
 

Lampiran 4. Lanjutan (Spektrum EDX arang aktif tempurung nyamplung


(A3S2W2))
75 

 
 
El AN Series unn. C norm. C Atom. C Error
[wt.%] [wt.%] [at.%] [%]
-------------------------------------------
C 6 K-series 70.57 70.57 80.54 23.0
O 8 K-series 17.00 17.00 14.57 6.1
P 15 K-series 2.56 2.56 1.13 0.1
K 19 K-series 2.64 2.64 0.93 0.1
Ca 20 K-series 2.17 2.17 0.74 0.1
Na 11 K-series 1.18 1.18 0.70 0.1
Si 14 K-series 1.04 1.04 0.51 0.1
Fe 26 K-series 1.49 1.49 0.37 0.2
Mg 12 K-series 0.63 0.63 0.35 0.1
S 16 K-series 0.27 0.27 0.12 0.1
Pb 82 M-series 0.42 0.42 0.03 0.1
Al 13 K-series 0.02 0.02 0.01 0.0
-------------------------------------------
Total: 100.00 100.00 100.00
 
Spectrum : Maping Arang Aktif Tempurung Nyamplung

 
Lampiran 5. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu aktivasi
terhadap rendemen arang aktif tempurung biji nyamplung
76 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 1275.250 2 637.625 21.676 .000 3,88
Suhu 4482.667 1 4482.667 152.385 .000 4,75
Waktu 1261.500 1 1261.500 42.884 .000 4,75
Aktivator * Suhu 72.583 2 36.292 1.234 .326 3,88
Aktivator * Waktu 72.250 2 36.125 1.228 .327 3,88
Suhu * Waktu 0.667 1 0.667 0.023 .883 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 336.583 2 168.292 5.721 .018 3,88
Error 353.000 12 29.417
Total 37676.000 24

Uji Duncan interaksi Aktivator-Suhu-Waktu


Perlakuan Rata-rata Grup Duncan
A3S1W1 60.500 A
A2S1W1 56.000 AB
A3S1W2 52.000 ABC
A1S1W1 51.500 ABCD
A2S1W2 51.000 ABCDE
A3S2W1 39.500 CDEF
A2S2W1 29.500 FG
A1S1W2 22.500 GH
A3S2W2 19.000 GH
A1S2W1 18.000 GH
A2S2W2 14.000 GH
A1S2W2 9.500 GH
 

Lampiran 6. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan waktu


terhadap kadar air arang aktif tempurung nyamplung
77 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 18.105 2 9.053 1.408 .282 3,88
Suhu 5.196 1 5.196 0.808 .386 4,75
Waktu 0.409 1 0.409 0.064 .805 4,75
Aktivator * Suhu 8.636 2 4.318 0.672 .529 3,88
Aktivator * Waktu 8.656 2 4.328 0.673 .528 3,88
Suhu * Waktu 1.690 1 1.690 0.263 .617 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 20.374 2 10.187 1.585 .245 3,88
Error 77.140 12 6.428
Total 2282.918 24

 
 
Lampiran 7. Rekapitulasi analisa keragaman pengaruh aktivator, suhu dan waktu
terhadap zat terbang arang aktif tempurung nyamplung

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 10.050 2 5.025 3.241 .075 3,88
Suhu 0.041 1 0.041 0.027 .873 4,75
Waktu 1.073 1 1.073 0.692 .422 4,75
Aktivator * Suhu 3.013 2 1.507 0.972 .406 3,88
Aktivator * Waktu 2.224 2 1.112 0.717 .508 3,88
Suhu * Waktu 0.011 1 0.011 0.007 .936 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 0.669 2 0.335 0.216 .809 3,88
Error 18.604 12 1.550
Total 1305.857 24

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Lampiran 8. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu terhadap kadar
abu arang aktif tempurung nyamplung
78 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 273.985 2 136.992 216.295 .000 3,88
Suhu 76.963 1 76.963 121.515 .000 4,75
Waktu 11.437 1 11.437 18.058 .001 4,75
Aktivator * Suhu 58.993 2 29.497 46.572 .000 3,88
Aktivator * Waktu 1.022 2 0.511 0.807 .469 3,88
Suhu * Waktu 12.577 1 12.577 19.858 .001 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 2.269 2 1.135 1.791 .209 3,88
Error 7.600 12 .633
Total 1778.159 24

Uji Duncan interaksi aktivator H3PO4dan suhu terhadap kadar abu


Perlakuan Rata-rata Grup Duncan
A1S2 16,225 A
A1S1 8,221 B
A2S2 6,146 C
A3S2 5,362 CD
A2S1 4,497 CD
A3S1 4,271 CD
 
Uji Duncan interaksi suhu dan waktu terhadap kadar abu
Perlakuan Rata-rata Grup Duncan
S2W2 10,658 A
S2W1 7.830 B
S1W1 5,696 C
S1W2 5,629 C

Lampiran 9. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan


hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu terhadap
karbon terikat arang aktif tempurung nyamplung
79 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 404.689 2 202.345 50.961 .000 3,88
Suhu 71.914 1 71.914 18.112 .001 4,75
Waktu 24.145 1 24.145 6.081 .030 4,75
Aktivator * Suhu 94.828 2 47.414 11.941 .001 3,88
Aktivator * Waktu 0.514 2 0.257 0.065 .938 3,88
Suhu * Waktu 17.163 1 17.163 4.323 .060 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 4.206 2 2.103 0.530 .602 3,88
Error 47.647 12 3.971
Total 175586.921 24

 
Uji Duncan interaksi aktivator-suhu terhadap karbon terikat
Perlakuan Rata-rata Grup Duncan
A3S2 88,855 A
A2S1 88,675 AB
A3S1 88,565 AB
A2S2 86,962 AB
A1S1 84,070 B
A1S2 75,106 C
 
 

Lampiran 10. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu terhadap daya
serap iod arang aktif tempurung nyamplung

Sumber Keragaman JK DB KT F Hitung Sig. F. 5%


80 

Aktivator 67531.862 2 33765.931 19.747 .000 3,88


Suhu 127757.046 1 127757.046 74.713 .000 4,75
Waktu 4585.697 1 4585.697 2.682 .127 4,75
Aktivator * Suhu 83416.217 2 41708.109 24.391 .000 3,88
Aktivator * Waktu 4381.025 2 2190.513 1.281 .313 3,88
Suhu * Waktu 20560.770 1 20560.770 12.024 .005 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 14192.019 2 7096.009 4.150 .043 3,88
Error 20519.547 12 1709.962
Total 1.628E7 24

Uji Duncan interaksi aktivator-suhu-waktu terhadap daya serap Iod


 
Perlakuan Rata-rata Grup Duncan
A2S2W2 1038,030 A
A2S2W1 1034,030 A
A3S2W1 905,092 B
A3S1W2 839,107 BC
A3S2W2 805,009 CD
A2S1W2 787,674 CDE
A1S2W2 774,128 CDEF
A1S2W1 770,730 CDEFG
A1S1W1 729,074 DEFGH
A1S1W2 728,241 DEFGH
A3S1W1 705,286 EFGH
A2S1W1 662,109 H

Lampiran 11. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh aktivator, suhu dan waktu terhadap daya
serap benzena arang aktif tempurung nyamplung
81 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Aktivator 74.357 2 37.178 3.989 .047 3,88
Suhu 2.111 1 2.111 .226 .643 4,75
Waktu 18.508 1 18.508 1.986 .184 4,75
Aktivator * Suhu 26.852 2 13.426 1.440 .275 3,88
Aktivator * Waktu 40.061 2 20.030 2.149 .159 3,88
Suhu * Waktu 81.638 1 81.638 8.758 .012 4,75
Aktivator * Suhu * Waktu 61.432 2 30.716 3.295 .072 3,88
Error 111.852 12 9.321
Total 4620.617 24

Uji Duncan interaksi suhu-waktu terhadap daya serap benzena

Perlakuan Rata-rata Grup Duncan


S2W1 15,661 A
S1W2 14,498 A
S1W1 12,565 A
S2W2 10,216 A

Lampiran 12. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh perlakuan adsorben terhadap kadar air
minyak nyamplung
82 

Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat F Hitung Sig.
Bebas Tengah 5%
Perlakuan .040 8 .005 11.066 .000 2,5
Galat .008 18 .000452
Total .048 26

 
Uji Duncan perlakuan adsorbansi terhadap kadar air minyak

Perlakuan Rata-rata Grup Duncan


Kontrol A0 0,366 A
Bentonit 20% A8 0,324 BC
Arang aktif 5% A1 0,324 BC
Arang aktif 10% A2 0,287 BC
Bentonit 5% A5 0,273 DE
Arang aktif 15% A3 0,271 DE
Benonit 15% A7 0,265 DE
Benonit 10% A6 0,254 DE
Arang aktif 20% A4 0,239 E
 

Lampiran 13. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh perlakuan adsorben terhadap bilangan
asam minyak nyamplung
83 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Perlakuan 62.159 8 7.770 5.663 .001 2,5
Galat 24.695 18 1.372
Total 86.854 26

Uji Duncan perlakuan adsorbansi terhadap bilangan asam minyak


 
Perlakuan    Rata‐rata  Grup 
Duncan 
Kontrol  A0  45,756 A 
Bentonit  5%  A8  43,864 AB 
Bentonit 10%  A1 43,656 BCD
Arang aktif  5%  A2  43,284 CD 
Bentonit 205%  A5  42,969 CD 
Bentonit  15%  A3 42,861 CD
Arang aktif 10%  A7  41,752 CD 
Arang aktif 15%  A6  41,45 DE 
Arang aktif 20%  A4  40,413 E 

Lampiran 14. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh perlakuan adsorben terhadap bilangan
penyabunan minyak nyamplung
84 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Perlakuan 32.125 8 4.016 1.802 .143 2,5
Galat 40.114 18 2.229
Total 72.239 26

Lampiran 15. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh perlakuan adsorben terhadap bilangan
iod minyak nyamplung
85 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Perlakuan 84.470 8 10.559 69.551 .000 2,5
Galat 2.733 18 .152
Total 87.202 26

Uji Duncan perlakuan adsorbansi terhadap bilangan iod minyak

Perlakuan Rata-rata Grup Duncan


Kontrol 90,915 A
Arang aktif 10% 88,417 B
Arang aktif 5% 88,216 BC
Bentonit 5% 87,994 BC
Arang aktif 15% 87,619 C
Bentonit 15% 86,822 D
Bentonit 10% 86,813 D
Arang aktif 20% 85,295 E
Bentonit 20% 84,469 F
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Lampiran 16. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan perlakuan adsorben terhadap bilangan peroksida
minyak nyamplung
86 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Perlakuan 2.825 8 .353 275.792 .000 2,5
Galat .023 18 .001
Total 2.848 26

Uji Duncan perlakuan adsorbansi terhadap bilangan peroksida minyak

Perlakuan  Rata‐rata  Grup Duncan 


Bentonit 5% 1,319  A 
Bentonit 10% 1,302  A 
Bentonit 15% 1,259 A
Bentonit 20% 0,996  B 
Kontrol 0,853  C 
Arang aktif 5% 0,696  D 
Arang aktif 10% 0,583 E
Arang aktif 15% 0,526  EF 
Arang aktif 20% 0,466  F 
 

Lampiran 17. Rekapitulasi analisa keragaman dan uji kelompok wilayah Duncan
hasil pengamatan pengaruh perlakuan adsorben terhadap
kejernihan minyak nyamplung
 
87 

Jumlah Derajat Kuadrat F Tabel


Sumber Keragaman F Hitung Sig.
Kuadrat Bebas Tengah 5%
Perlakuan 13085.046 8 1635.631 1870163.061 .000 2,5
Galat .016 18 .00088889
Total 13085.062 26

Uji Duncan perlakuan adsorbansi terhadap kejernihan minyak

Perlakuan  Rata‐rata Grup Duncan


Arang aktif 20% 95,81 A
Bentonit 5% 94,17 B
Bentonit 10% 94,14 B
Bentonit 15% 94,14 B
Arang aktif 15% 90,06 C
Bentonit 20% 90,02 C
Arang aktif 10% 87,07 D
Arang aktif 5% 75,53 E
Kontrol 22,55 F

You might also like