Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 382

ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP


PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO

(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


A155050011
ABSTRACT

SHERLY GLADYS JOCOM. An Analysis of the Impact and Strategy of


Corn-Based Agropolitant Development on the Regional Economy and Farmers’
Income Analysis in the Province of Gorontalo (Case study of Pohuwato Regency).
Under the direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI, and HIMAWAN
HARIYOGA.

This study was intended to identify the impact of the agropolitant


development in relation to the regional development of Pohuwato Regency. The
objective of the study was to analyze the impact of corn-based agropolitant
development on the regional economy and farmers’ income, measure the level of
people’s participation, and formulate the policies which can stimulate economic
development in the agropolitant area. The research results show that corn-based
agropolitant development has improved the regional economy of Pohuwato
Regency through a change in the structure of regional economy and increased the
farmers’ income although the major (prioritized) sectors such as agriculture, sub-
food crops, corn commodities and transportation are still low in competitiveness.
The people’s participation in the agropolitant area was at the level of consultation.
Therefore, the strategies for the development of regional economy in the
agropolitant area should include (1) formation of investment service centers, (2)
improvement in the promotion of UKM (small-medium scale businesses) and
business opportunity campaigns, (3) the exertion of product and market
diversification (4) provision of business permit / licenses under one roof ( one-
stop services office ), (5) improvement in facilities and quality of education as
well as public and social facilities, (6) optimization in the development of growth
centers in the rural areas (agropolitants), (7) improvement in cooperation policies
between regions, and (8) empowerment of community and farmers’ institutions.

Keywords : agropolitant, regional economy, community’s participation


RINGKASAN

SHERLY GLADYS JOCOM. Analisis Dampak dan Strategi


Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI, dan
HIMAWAN HARIYOGA.

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan


konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan
dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo
berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di
Kawasan Timur Indonesia. Namun demikian sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Gorontalo yang menjadi kawasan rintisan pengembangan agropolitan,
Kabupaten Pohuwato masih memiliki banyak permasalahan seperti tingginya
tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya
sarana–prasarana penunjang menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat dampak pengembangan program agropolitan dikaitkan dalam
pembangunan wilayah Kabupaten Pohuwato. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis dampak program agropolitan terhadap perekonomian wilayah dan
pendapatan masyarakat petani, mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan
merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan. Adapun alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan
Multiplier Long Run, Analisis Shift Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis
Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid
Assessment for Local Economic Development (RALED). Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2007.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan basis
jagung ternyata meningkatkan perekonomian wilayah melalui pergeseran struktur
perekonomian wilayah. Secara komparatif pengembangan agropolitan basis
jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih
sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total
perekonomiam wilayah, namun secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti
sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan
pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat
menghambat perekonomian wilayah.
Pengembangan agropolitan basis jagung juga meningkatkan pendapatan
masyarakat petani, melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha
tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usahatani di kawasan non agropolitan
sebesar Rp. 5.506.966,- per ha/tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan
kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%.
Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berada pada
tingkat konsultasi. Berdasarkan hasil analisis, total skor untuk aspek komunikasi
adalah 80,9 dan aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan
keputusan adalah 74,8 serta aspek kontrol terhadap kebijakan adalah 78,6.
Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan
masih berada pada taraf sebagai pelaksana program, belum melibatkan
masyarakat dalam proses perencanaan.
Berdasarkan hasil analisis Raled dan penentuan bobot gabungan diperoleh
bahwa dimensi PEL Kabupaten Pohuwato adalah sebesar 57,19. Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal
Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang
memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek kelompok sasaran yaitu sebesar 67,16
dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek proses manajemen
yaitu sebesar 50,99.
Hasil analisis Raled menunjukkan bahwa faktor pengungkit untuk aspek
kelompok sasaran adalah belum tersedianya pusat layanan investasi, promosi
produk UKM dari Pemda dan kampanye peluang berusaha yang masih relatif
rendah. Faktor pengungkit aspek faktor lokasi adalah belum berjalannya
pelayanan perijinan satu atap, kualitas dan fasilitas pendidikan yang masih rendah
serta fasilitas umum dan sosial yang belum memadai. Faktor pengungkit aspek
kesinergian dan fokus kebijakan adalah kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan kebijakan kerjasama antar
daerah/pemda. Untuk aspek pembangunan berkelanjutan faktor pengungkitnya
adalah belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk
dan pasar, kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
serta jumlah perusahaan yang memiliki bussiness plan. Selanjutnya untuk aspek
tata pemerintahan faktor pengungkitnya adalah manfaat asosiasi bagi anggotanya,
peran asosiasi terhadap kebijakan di bidang Pel dan prosedur pelayanan
administrasi publik. Faktor pengungkit untuk aspek proses manajemen adalah
jumlah stakeholder yang terlibat dalam perencanaan pel serta analisis dan
pemetaan potensi ekonomi.
Berdasarkan berbagai kondisi diatas, maka strategi pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan adalah (1) pembentukan pusat layanan investasi, (2)
peningkatan Promosi UKM dan Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda, (3)
upaya diversifikasi produk dan pasar, (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap,
(5) perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial, (6)
mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan
(Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah, (8)
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat.

Kata Kunci : agropolitan, perekonomian wilayah, partisipasi masyarakat.


©Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP
PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor
Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 19 Desember 2008 Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP
PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO

(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


A155050011
ABSTRACT

SHERLY GLADYS JOCOM. An Analysis of the Impact and Strategy of


Corn-Based Agropolitant Development on the Regional Economy and Farmers’
Income Analysis in the Province of Gorontalo (Case study of Pohuwato Regency).
Under the direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI, and HIMAWAN
HARIYOGA.

This study was intended to identify the impact of the agropolitant


development in relation to the regional development of Pohuwato Regency. The
objective of the study was to analyze the impact of corn-based agropolitant
development on the regional economy and farmers’ income, measure the level of
people’s participation, and formulate the policies which can stimulate economic
development in the agropolitant area. The research results show that corn-based
agropolitant development has improved the regional economy of Pohuwato
Regency through a change in the structure of regional economy and increased the
farmers’ income although the major (prioritized) sectors such as agriculture, sub-
food crops, corn commodities and transportation are still low in competitiveness.
The people’s participation in the agropolitant area was at the level of consultation.
Therefore, the strategies for the development of regional economy in the
agropolitant area should include (1) formation of investment service centers, (2)
improvement in the promotion of UKM (small-medium scale businesses) and
business opportunity campaigns, (3) the exertion of product and market
diversification (4) provision of business permit / licenses under one roof ( one-
stop services office ), (5) improvement in facilities and quality of education as
well as public and social facilities, (6) optimization in the development of growth
centers in the rural areas (agropolitants), (7) improvement in cooperation policies
between regions, and (8) empowerment of community and farmers’ institutions.

Keywords : agropolitant, regional economy, community’s participation


RINGKASAN

SHERLY GLADYS JOCOM. Analisis Dampak dan Strategi


Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI, dan
HIMAWAN HARIYOGA.

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan


konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan
dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo
berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di
Kawasan Timur Indonesia. Namun demikian sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Gorontalo yang menjadi kawasan rintisan pengembangan agropolitan,
Kabupaten Pohuwato masih memiliki banyak permasalahan seperti tingginya
tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya
sarana–prasarana penunjang menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat dampak pengembangan program agropolitan dikaitkan dalam
pembangunan wilayah Kabupaten Pohuwato. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis dampak program agropolitan terhadap perekonomian wilayah dan
pendapatan masyarakat petani, mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan
merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan. Adapun alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan
Multiplier Long Run, Analisis Shift Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis
Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid
Assessment for Local Economic Development (RALED). Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2007.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan basis
jagung ternyata meningkatkan perekonomian wilayah melalui pergeseran struktur
perekonomian wilayah. Secara komparatif pengembangan agropolitan basis
jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih
sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total
perekonomiam wilayah, namun secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti
sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan
pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat
menghambat perekonomian wilayah.
Pengembangan agropolitan basis jagung juga meningkatkan pendapatan
masyarakat petani, melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha
tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usahatani di kawasan non agropolitan
sebesar Rp. 5.506.966,- per ha/tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan
kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%.
Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berada pada
tingkat konsultasi. Berdasarkan hasil analisis, total skor untuk aspek komunikasi
adalah 80,9 dan aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan
keputusan adalah 74,8 serta aspek kontrol terhadap kebijakan adalah 78,6.
Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan
masih berada pada taraf sebagai pelaksana program, belum melibatkan
masyarakat dalam proses perencanaan.
Berdasarkan hasil analisis Raled dan penentuan bobot gabungan diperoleh
bahwa dimensi PEL Kabupaten Pohuwato adalah sebesar 57,19. Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal
Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang
memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek kelompok sasaran yaitu sebesar 67,16
dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek proses manajemen
yaitu sebesar 50,99.
Hasil analisis Raled menunjukkan bahwa faktor pengungkit untuk aspek
kelompok sasaran adalah belum tersedianya pusat layanan investasi, promosi
produk UKM dari Pemda dan kampanye peluang berusaha yang masih relatif
rendah. Faktor pengungkit aspek faktor lokasi adalah belum berjalannya
pelayanan perijinan satu atap, kualitas dan fasilitas pendidikan yang masih rendah
serta fasilitas umum dan sosial yang belum memadai. Faktor pengungkit aspek
kesinergian dan fokus kebijakan adalah kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan kebijakan kerjasama antar
daerah/pemda. Untuk aspek pembangunan berkelanjutan faktor pengungkitnya
adalah belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk
dan pasar, kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
serta jumlah perusahaan yang memiliki bussiness plan. Selanjutnya untuk aspek
tata pemerintahan faktor pengungkitnya adalah manfaat asosiasi bagi anggotanya,
peran asosiasi terhadap kebijakan di bidang Pel dan prosedur pelayanan
administrasi publik. Faktor pengungkit untuk aspek proses manajemen adalah
jumlah stakeholder yang terlibat dalam perencanaan pel serta analisis dan
pemetaan potensi ekonomi.
Berdasarkan berbagai kondisi diatas, maka strategi pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan adalah (1) pembentukan pusat layanan investasi, (2)
peningkatan Promosi UKM dan Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda, (3)
upaya diversifikasi produk dan pasar, (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap,
(5) perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial, (6)
mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan
(Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah, (8)
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat.

Kata Kunci : agropolitan, perekonomian wilayah, partisipasi masyarakat.


©Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP
PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor
Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 19 Desember 2008 Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal


9 November 1973 dari Ayah Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Menikah dengan
Steven Tolu, SE pada tanggal 31 Maret 2001.
Pendidikan sekolah dasar ditempuh penulis pada SD Kristen Tabita II
Manado dan tamat tahun 1986. Menamatkan pendidikan sekolah menengah
pertama pada SMPN 1 Manado pada tahun 1989. Pendidikan sekolah menengah
atas pada SMAN 1 Manado dan tamat tahun 1992, selanjutnya penulis menempuh
pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Ekonomi Pertanian Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan
tamat tahun 1997.
Tahun 2003 penulis diangkat menjadi CPNS di Universitas Sam Ratulangi
Manado dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan dan
diterima sebagai mahasiswa pada program studi Ilmu-Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dengan bantuan biaya BPPS Dikti.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL …..…………………………………………………….... xiv


DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... xix

I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah ..……………………..………………….. 6
1.3. Tujuan Penelitian …....……………………………………….. 11
1.4. Manfaat Penelitian …….……………………………………... 11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………….. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 13


2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan. ................................. 13
2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan............. 16
2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan........................................ 20
2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Lokal Perdesaan dan Kemitraan ................................................ 23
2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan .................. 25
2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan …….. 26
2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan ……... 30
2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi ………….......... 32
2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)…………… 33
2.10 Penelitian Terdahulu ………………………………………….. 37

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………… 41


3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................………………….... 41
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional …………………................ 42
3.3. Hipotesis ……………………………………………………… 46

IV. METODE PENELITIAN …………………………………............. 47


4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………. 47
4.2. Sumber Data …………………………………………………... 47
4.3. Metode Pengambilan Sampel ………………………………… 48
4.4. Metode Analisis ………………………………………………. 50
4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run
(MS), dan Multiplier Long Run (ML) 50
..............................
4.4.2. Analisis Shift-Share ......................................................... 51
4.4.2. Analisis Uji Beda Pendapatan .......................................... 53
4.4.3. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan ................................................................... 54
4.4.4. Analisis Rapid Assessment For Local Economic
Development (RALED) ................................................... 56

V. DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN ……………….. 58


5.1. Deskripsi Umum Agropolitan Provinsi Gorontalo……………. 58
5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato ………………………. 59
5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif …………………. 59
5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat …………………... 61
5.2.2.1. Kependudukan ………………………………… 61
5.2.2.2. Pendidikan …………………………………….. 62
5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah ……………………….. 63
5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah ………………. 63
5.2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi ………………………… 65
5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan …………. 66
5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan ……………………………….. 67
5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil ……………………... 67
5.3.3. Pola Penggunaan Lahan ………………………………... 70
5.3.4. Komoditi Unggulan ……………………………………. 70
5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan
Randangan …………………………………………………….. 71
5.4.1. Subsistem Penunjang …………………………………... 72
5.4.2. Subsistem Produksi …………………………………….. 72
5.4.3. Subsistem Pengolahan …………………………………. 73
5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar ……………………….... 73
5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan
Randangan …………………………………………………….. 74
5.5.1. Dinas Pertanian ………………………………………… 75
5.5.2. Dinas Kimpraswil ……………………………………… 76
5.3.3. Pemerintah Daerah ……………………………………... 77
5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan
Taluditi………………………………………………………… 78

VI. DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN ……………… 80


6.1. Analisis Ekonomi Wilayah ........................................................ 80
6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah ……………............. 90
6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek ............................ 90
6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang ........................... 93
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT…... 95
7.1. Karakteristik Masyarakat di Kawasan Agropolitan…............... 95
7.1.1. Aspek Ekonomi ……………………………………….... 95
7.1.2. Aspek Sosial……………………………………..……… 96
7.1.3. Aspek Budaya…………………………………………... 96
7.2 Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani 96
7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan…………. 101

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DI KAWASAN


AGROPOLITAN ………………………………………………….. 108
8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal 108
di Kabupaten Pohuwato ……………………………………….
8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran 110
8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ….... 113
8.1.3. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan
Fokus Kebijakan ……...................................................... 118
8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan
Berkelanjutan …………………………………………... 122
8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan. 127
8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen. 130
8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan
Agropolitan …………………………………………………… 133
8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran …………. 135
8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ………………. 136
8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus
Kebijakan……………………………………………….. 137
8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan 139
8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan ………….. 140
8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen …………. 141

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ......……………………………….. 143


9.1. Kesimpulan …………………………………………………… 143
9.2. Saran ………………………………………………………….. 144

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 146

LAMPIRAN ................................................................................................... 150


DAFTAR TABEL
Halaman

1 Investasi Kimpraswil di Kawasan Agropolitan Randangan ….. 5

2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas


Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005..... 7

3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut


Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005 ……………………….... 8

4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo… 9

5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo


Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2005 ………………. 9

6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis …………………………......... 24

7 Matriks Pendekatan Penelitian ……………………………….. 49

8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi


Menurut Arnstein …………………………………………….. 55

9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein ………………………… 56

10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah desa di Kabupaten


Pohuwato……………………………………………………… 60

11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di


Kabupaten Pohuwato ................................................................. 60

12 Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio


di Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 ……………………........ 61

13 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di


Kabupaten Pohuwato …………………………………………. 62

14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004


dan 2006 ……………………………………………………… 63

15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten


Pohuwato Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004–2006……... 64

16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di


Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 …………………………… 65
17 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun
2004 – 2006…………………………………………………… 66

18 Pekerjaan Fisik dan Non Fisik di Kawasan Agropolitan


Randangan Kabupaten Pohuwato……………………………... 68

19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan ………………… 70

20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan


Kabupaten Pohuwato……………………………...................... 71

21 Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi


Gorontalo Tahun 2002 – 2004………………………………... 75

22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005 ………….... 76

23 Kegiatan Dinas Kimpraswil dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan Randangan Tahun 2002 – 2006......................…... 77

24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan. 78

25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Taluditi…… 79

26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi


Gorontalo.................................................................................... 80

27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo Tahun


2001 – 2007 ............................................................................... 81

28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006....... 83

29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003


dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006……………....... 84

30 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum


Agropolitan, Tahun 2001 dan 2003............................................ 88

31 Hasil Analisis Shift–Share Provinsi Gorontalo Sesudah


Agropolitan, Tahun 2004 dan 2006…………………………… 89

32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di


Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003-
2006…………………………………………………………… 92

33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di


Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003-
2006…………………………………………………………… 93
34 Hasil Analisis Uji-t Perbandingan Pendapatan Kawasan
Agropolitan dan Non Agropolitan…………………………...... 97

35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan


Randangan ................................................................................. 98

36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan


Agropolitan dan Non Agropolitan.............................................. 99

37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan....... 103

38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan. 104

39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato... 109

40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun


2005............................................................................................ 117

41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan


Kabupaten Pohuwato.................................................................. 118

42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap


Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato.............. 134
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ...................................... 15

2 Heksagonal PEL......................................................................... 37

3 Kerangka Pemikiran Penelitian.................................................. 42

4 Kerangka Pendekatan Operasional…………………………..... 45

5 Lokasi Penelitian........................................................................ 47

6 Diagram Ekonomi Jagung …………………………………..... 59

7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006... 65

8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato .. 69

9 Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal di


Kabupaten Pohuwato.................................................................. 110

10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato ........ 111

11 Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 111

12 Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato................ 114

13 Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten 115


Pohuwato....................................................................................

14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten


Pohuwato ……………………………………………………... 119

15 Jumlah Perusahaan Industri Kecil Menengah dan Tenaga


Kerja Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun
2005............................................................................................ 120

16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di


Kabupaten Pohuwato …………………………………………. 122

17 Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 123

18 Faktor Pengungkit Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten


Pohuwato.................................................................................... 124
19 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten
Pohuwato.................................................................................... 126

20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi


Gorontalo ................................................................................... 126

21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato......... 128

22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten


Pohuwato.................................................................................... 130

23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ........ 131

24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 132
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan


2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2006.................... 150

2 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Provinsi Gorontalo Menurut Lapangan Usaha Tahun
2000-2006……………………………………………………... 151

3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Kabupaten Boalemo Menurut Lapangan Usaha Tahun
2000-2006……………………………………………………... 152

4 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Kabupaten Pohuwato Menurut Lapangan Usaha Tahun
2004-2006……………………………………………………... 153

5 Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung Kawasan


Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan Non Agropolitan
(Kecamatan Taluditi)………………………….......................... 154

6 Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non


Agropolitan……………………………………………………. 155

7 Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan……….... 156

8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo……… 158

9 Indikator Komponen Heksagonal PEL....................................... 159

10 Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan...... 164

11 Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri,


BUMD Provinsi Gorontalo ....................................................... 164

12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan.......... 165

13 Gambar Terminal Randangan.................................................... 165


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang
menunjukkan baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang
dapat menjadi pelajaran kita dalam mengembangkan strategi pengembangan
wilayah bagi Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan wilayah di Brazil, misalnya
yang menggunakan konsep “growth poles” telah menunjukkan kegagalan konsep
tersebut. Dengan adanya aglomerasi ekonomi dan peningkatan sumber daya
manusia yang pesat, kawasan Utara Brazil berkembang pesat sebagai pusat
kegiatan eksplorasi pertambangan dan bisnis perkebunan yang memacu
pertumbuhan investasi swasta dan teknologi ke wilayah tersebut. Pertumbuhan
ekonomi yang pesat ini berdampak pada semakin tertinggalnya pembangunan di
wilayah Selatan yang kemudian berdampak pada kesenjangan ekonomi dan sosial
antar dua wilayah tersebut (Haeruman, 2000)
Kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi
dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub-
kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula diramalkan akan menciptakan
trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak
penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah
hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar
(massive backwash effect). Kegagalan strategi pertumbuhan yaitu tidak terjadinya
trickle down effect dan spread effect karena aktifitas industri yang dikembangkan
ternyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di
wilayah hinterland-nya.
Salah satu alternatif pembangunan wilayah yang diharapkan dapat
menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti itu adalah pengembangan
wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal
dengan kawasan agropolitan. Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep
yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan
pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (khususnya di
Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain: (a)
2

terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota


yang padat; (b) pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja,
sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) tingkat pengangguran dan
setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d) pembagian pendapatan yang tidak
merata (kemiskinan); (e) kekurangan bahan pangan, akibat perhatian
pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid
industrialization); (f) penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani)
dan (g) terjadinya ketergantungan pada dunia luar.
Seperti di negara-negara berkembang lainnya, dalam perspektif
kewilayahan (regional) pembangunan di Indonesia mengalami ketidakadilan
yang cukup menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya disparitas
pembangunan wilayah/ruang berupa dikotomi perdesaan (rural) dengan perkotaan
(urban), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia
(KBI), Jawa dengan luar Jawa adalah bukti “ketidakseimbangan” pembangunan
(Rustiadi, et. al, 2005).
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam
konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Potensi
konflik menjadi semakin besar karena wilayah-wilayah yang dulu kurang
tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula dengan
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan
sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya
juga menjadi lemah karena urbanisasi yang luar biasa.
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di
perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan.
Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali
dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses
urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perdesaan malah
berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari
sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986). Implikasi dari
keadaan tersebut menyebabkan tingginya laju urbanisasi dan kemiskinan di
3

perdesaan. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa


terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995)
menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak
sektor pertanian, ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi
kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20%.
Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian
(Djakapermana, 2003).
Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk
pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus
mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai
nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor
sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta
(Yudhohusodo, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan
perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi
urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi
dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan.
Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara
pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem
kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan
produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual
(ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan
agropolitan.
Di Indonesia, agropolitan menjadi salah satu program pemerintah melalui
Departemen Pertanian dan menjadi pilihan bagi Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan otonomi-nya. Konsep ini telah mulai dilaksanakan sejak tahun
anggaran 2002. Pada tahap awal pengembangan kawasan agropolitan ini
dilakukan di beberapa kabupaten percontohan antara lain yaitu: Kabupaten Agam
(Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejanglebong (Provinsi Bengkulu),
Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.
Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barru (Provinsi
Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo).
4

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang


mengembangkan konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam
memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu
provinsi baru, Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang
diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Dilihat dari potensi sumber daya
alam, Gorontalo memiliki potensi yang layak dikembangkan dibidang pertanian,
peternakan dan perikanan. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3
program unggulan yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor
lainnya yang meliputi :
a. Pengembangan sumber daya manusia (SDM);
b. Pengembangan pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai provinsi
agropolitan, provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian;
c. Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor
perikanan dan pengembangan wilayah pesisir.
Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, pengembangan
sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan
agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas utama.
Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung
program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi plot (demplot)
dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka pendek (satu
tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan pembelajaran petani
serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam
peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.
Sementara untuk model pengembangan dilaksanakan dengan
menggunakan aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam
(PAT), peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off farm-nya dengan
optimalisasi pengelolaan hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk
sektor peternakan diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras
yang diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri
pengolahan dan pasca panennya.
5

Sejak ditetapkan sebagai daerah pengembangan agropolitan pada tahun


2002 Gorontalo mulai berbenah diri dimulai dengan penyusunan program dan
sosialisasi di Tilamuta (ibukota Kab. Boalemo), penetapan Kecamatan Randangan
sebagai Kawasan Agropolitan untuk menjadi prioritas pembangunan hingga
penetapan desa Motolohu sebagai desa pusat pertumbuhan. Selanjutnya pada
tahun 2003 dilaksanakan Perencanaan dan Penyusunan Master Plan dan
implementasinya beserta pengawasannya dilaksanakan dengan melibatkan
masyarakat di kawasan melalui lembaga pengelolaan agropolitan, Pemda setempat
melalui tim Pokja, LSM, Akademisi dan Swasta.

Untuk mendukung usaha pertanian yang efisien yang dapat mempercepat


pertumbuhan ekonomi maka diperlukan infrastruktur pendukung. Pembangunan
infrastruktur yang telah dilakukan antara lain peningkatan jalan poros desa,
perbaikan pasar desa, pembangunan kios pasar serta pembangunan pelataran dan
prasarana pasar. Pembangunan prasarana dan sarana perdesaan melalui
pengembangan agropolitan akan mendorong iklim berusaha yang kondusif antar
sesama pelaku ekonomi perdesaan, terutama usaha mikro dan usaha kecil dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.
Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi
ekonomi yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan
menarik potensi dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam berbagai
sektor usaha jasa maupun produksi.

Tabel 1 Investasi Kimpraswil pada Pengembangan Kawasan Agropolitan


di Kecamatan Randangan
No. Tahun Program Volume Biaya
1 2002 Peningkatan Jalan Poros 3.081 m 390.690.000
Desa
2 2002 Perbaikan Pasar Desa 3 Unit 299.940.000
3 2003 Peningkatan Jalan Poros 5.081 m 1.616.200.000
Desa
Pembangunan Kios Pasar
4 2003 20 Unit 200.000.000
Pembangunan Pelataran
5 2003 1 Paket 170.459.000
dan Prasarana Pasar
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2003
6

Pendekatan pambangunan ekonomi dan wilayah berbasis agropolitan


yang diimplementasikan dengan pilar utama penggerak ekonomi yaitu sektor
pertanian dan perikanan dipacu dan diharapkan dapat menarik perkembangan
sektor-sektor yang lainnya. Dalam konsep agropolitan, fungsi kota lebih
dititikberatkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi,
bukan sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu, desalah yang diarahkan sebagai
pusat pertumbuhan. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang baik, kota dan
desa harus berperan dan menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan selama ini belum
mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Karenanya, pengembangan kawasan agropolitan
diharapkan dapat memberikan solusi bagi masalah perdesaan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konsep pengembangan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan
wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan
wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses
interaksi kedua wilayah tersebut selama ini secara fungsional ada dalam posisi
yang saling memperlemah.
Berdasarkan hasil studi Hastoto (2003), dikemukakan bahwa
pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Gorontalo masih menunjukkan
adanya kesenjangan antar kabupaten/kota dalam provinsi maupun antara
kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dengan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi
Utara. Sejalan dengan hal tersebut hasil studi P4W (2002), mengemukakan bahwa
secara umum wilayah provinsi Gorontalo mengalami fenomena backwash effect,
dalam arti akumulasi aliran netto nilai tambah berlangsung keluar wilayah
terutama ke Bitung/Manado, Makasar atau langsung ke luar negeri. Penyebab
utama aliran netto nilai tambah negatif adalah karena keterbatasan akses
Gorontalo ke pasar ekspor langsung, kapasitas pengolahan (industri pengolahan)
setempat yang terbatas, disamping lemahnya kapasitas sumberdaya manusia dan
kelembagaan lokal.
7

Oleh karenanya untuk memacu pembangunan dan pengembangan


wilayahnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo menerapkan pendekatan konsep
agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Untuk mencapai
tujuan tersebut pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal dijadikan acuan
untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontolo. Pengembangan
agropolitan berbasis jagung merupakan salah satu langkah yang dilakukan
pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Diharapkan dengan pendekatan ini
partisipasi aktif masyarakat dapat terkristalisasi secara terpadu melalui
pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah
produksi serta peningkatan jumlah produksi pertanian. Sehingga pada gilirannya
akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Tabel 2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman


Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005
NO JENIS LUAS PANEN PRODUKSI PRODUKTIVITAS
KOMODITAS (Ha) (Ton) (Ku/Ha)
2001 2005 2001 2005 2001 2005
1. Padi 35.639 39.110 158.870 167.153 44,56 42,74
2. Jagung 36.610 107.525 81.720 400.046 22,32 37,13
3. Kedelai 1.845 2.907 2.173 4.038 11,78 13,89
4. Kacang tanah 3.202 4.341 3.627 5.378 11,33 12,39
5. Kacang hijau 248 595 249 726 10,04 12,20
6. Ubi kayu 1.185 1.048 12.233 12.211 103,23 116,52
7. Ubi jalar 618 352 5.325 3.308 86,17 93,99
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2006

Sebagai komoditi unggulan yang merupakan basis ekonomi di Provinsi


Gorontalo, komoditas jagung mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke
tahun baik dalam luas panen maupun jumlah produksi. Pada tahun 2005 luas
panen jagung mencapai 107.525 hektar dengan produksi mencapai 400.046 ton.
Luas panen komoditi unggulan jagung mencapai 68,98 persen dari total luas
panen Tanaman Pangan Di Provinsi Gorontalo. Perdagangan antar pulau dan
8

ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini.
Sejak dicanangkan sebagai provinsi pengembangan agropolitan,
perkembangan pembangunan Gorontalo menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi
muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang
menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari
Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat
menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3).

Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah)
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1.Pertanian 542.101,01 660.587,16 804.664,88 853.680,92 981.125,31
2.Pertambangan 14 .591,80 16.074,16 18.621,26 22.668,11 33.195,64
dan Penggalian
3.Industri 189.457,97 186.766,05 197.690,30 232.691,45 50.029,58
Pengolahan
4.Listrik,Gas dan 10.964,53 16.927,87 21.571,03 25.546,01 27.381,55
Air Bersih
5.Bangunan 127.022,00 171.100,04 172.349,21 184.062,42 218.937,40
6.Perdagangan, 272.192,33 330.452,99 348.528,02 371.749,37 410.987,30
Hotel & Rest
7.Pengangkutan 194.147,21 198.063,65 200.320,02 236.354,80 280.828,24
& Komunikasi
8.Keuangan 122.597,97 145.357,30 213.620,95 288.805,96 364.595,77
9.Jasa-jasa 349.749,47 423.086,86 502.354,01 585.985,29 819.785,13
Total 1.822.824,30 2.148.436,09 2.479.719,69 2.801.544,32 3.386.865,92
Sumber : BPS, 2006.

Pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat dari 5,38 % pada 2001


sebelum pengembangan agropolitan menjadi 7,06 % pada tahun 2005, lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah
seberapa besar agropolitan memiliki kontribusi dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi Gorontalo tersebut?
Pertumbuhan penduduk selang 4 tahun terakhir mengalami peningkatan
sebesar 1,83% per tahun. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, jumlah
angkatan kerja di Provinsi Gorontalo tiap tahun juga mengalami kenaikan.
9

Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja
menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005.

Tabel 4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo


Jumlah Penduduk 2002 2003 2004 2005
Penduduk Usia 15+ 568.863 581.763 602.175 617.746
Angkatan Kerja 329.358 347.365 368.985 388.184
Bekerja 285.966 312.882 323.625 350.191
Pengangguran 43.392 34.483 45.360 37.993
Sumber : BPS, 2006

Pertumbuhan perekonomian Gorontalo mengalami peningkatan, namun


sebaran kontribusi dari masing-masing sektor belum merata. Sektor pertanian
yang masih mendominasi dalam kontribusi PDRB merupakan salah satu ciri khas
dari kawasan perdesaan. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 setelah
pengembangan agropolitan sebesar 32,45% dari total PDRB diharapkan dapat
menjadi pendorong bagi perkembangan sektor-sektor yang lainnya.

Tabel 5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar


Harga Berlaku Tahun 2001-2005
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertanian 29,74 30,75 32,45 30,47 28,04
2. Pertambangan 0.80 0,75 0,75 0,81 0,95
dan Penggalian
3. Industri Pengolahan 10.39 8,69 7,97 8,31 7,18
4. Listrik,Gas dan 0.60 0,79 0,87 0,91 0,79
Air Bersih
5. Bangunan 6.97 7,96 6,95 6,57 6,29
6. Perdagangan, 14.93 15,38 14,06 13,27 11,89
Hotel & Rest
7. Pengangkutan 10.65 9,22 8,08 8,44 8,07
& Komunikasi
8. Keuangan 6.73 6,77 8,61 10,31 10,48
9. Jasa-jasa 19.19 19,69 20,26 20,92 26,31
Total 100 100 100 100 100
Sumber: BPS tahun 2006, diolah.
10

Disamping itu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti


dengan berkurangnya berbagai kesenjangan dalam wilayah. Kesenjangan yang
ada seperti kesenjangan pendapatan, fasilitas pelayanan, pertumbuhan ekonomi,
dan lainnya yang sering terjadi di perdesaan dapat menyebabkan terjadinya
keterbelakangan dan kemiskinan yang dalam jangka panjang pada akhirnya dapat
mengakibatkan kemandekan pertumbuhan itu sendiri.
Di kawasan pengembangan agropolitan sendiri dalam hal ini Kabupaten
Pohuwato masih terdapat banyak permasalahan seperti masih tingginya tingkat
kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya sarana–
prasarana penunjang yang ada menjadi factor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung di daerah ini.
Untuk melengkapi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap
pelaksanaan agropolitan di Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaannya tahun 2002,
dengan mengakomodasi penelitian yang pernah ada sebelumnya maka penelitian
ini dimaksudkan untuk melihat apakah pengembangan agropolitan berbasis
jagung yang dilaksanakan di Kabuapen Pohuwato Provinsi Gorontalo mampu
menggerakkan perekonomian wilayah serta meningkatkan pendapatan masyarakat
petani atau belum. Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat diperoleh gambaran
kondisi karakteristik perekonomian setelah 5 tahun pelaksanaan agropolitan
sehingga dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk
mengembangkan perekonomian kawasan agropolitan kedepan.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas
maka dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung berperan dalam
pertumbuhan ekonomi?
2. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berperan terhadap peningkatan
pendapatan petani jagung?
3. Sejauhmana masyarakat telah dilibatkan dalam program pengembangan
kawasan agropolitan berbasis jagung ?
4. Strategi Pembangunan seperti apa yang mampu mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan ?
11

1.3. Tujuan Penelitian :


1. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan basis jagung terhadap
perekonomian wilayah.
2. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani
jagung.
3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan
agropolitan basis jagung.
4. Merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan.

1.4. Manfaat Penelitian :


1. Dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi Pemerintah
dan instansi terkait dalam rangka pengembangan pertanian berbasis
agropolitan.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang
pembangunan wilayah .
3. Sebagai acuan dimasa datang untuk pihak-pihak yang mempunyai relevansi
dengan pengembangan kawasan berbasis agropolitan.
12

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Provinsi Gorontalo pada awalnya
berada di Kabupaten Boalemo yaitu di Kecamatan Randangan. Namun sejak
tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi Kabupaten Boalemo dan
Kabupaten Pohuwato. Karena keterbatasan biaya dan waktu maka penelitian ini
hanya dilakukan di Kabupaten Pohuwato. Pemilihan Kabupaten Pohuwato karena
pertimbangan bahwa setelah pemekaran Kecamatan Randangan sebagai kawasan
agropolitan secara administratif berada di Kabupaten Pohuwato. Sebagai kawasan
agropolitan, Kecamatan Randangan memiliki kondisi infrastruktur pendukung
yang relatif memadai.
Adapun sebagai pembanding di pilih kawasan yang belum tersentuh
dengan program agropolitan dalam hal ini Kecamatan Taluditi. Pemilihan
Kecamatan Taluditi sebagai Kawasan Non Agropolitan adalah karena Kecamatan
Taluditi masih berada dalam cakupan Kabupaten Pohuwato dan berbatasan secara
administratif dengan Kecamatan Randangan. Selain itu, infrastruktur pendukung
agropolitan belum berkembang di Kecamatan Taluditi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan


Wilayah menurut UU No. 24 tahun 1992 yang diperbaharui menjadi UU
No 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan menurut
Winoto (1999), wilayah diartikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri
tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan
berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan digambarkan
berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.
Sementara menurut Rustiadi et. al (2005), wilayah didefinisikan sebagai
unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian
dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik
dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull’, baik
untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi.
Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah).
Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang merujuk
kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan
kawasan. Menurut Rustiadi et. al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak
disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah
berdasarkan aspek administratif. Sedangkan penggunaan istilah kawasan di
Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu
unit wilayah. Karena itu batasan/definisi dari konsep kawasan adalah adanya
karakteristik hubungan dari fungsi-fungi dan komponen-komponen di dalam suatu
unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki fungsi-
fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai
dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
14

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et. al., 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat
beragam (heterogen).

Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah


diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti
(pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan, sedangkan plasma
adalah daerah belakang (peripheri/hinterland), yang mempunyai sifat-sifat
tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et. al., 2005). Pusat
wilayah berfungsi sebagai:
1. Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman);
2. Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri;
3. Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; dan
4. Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan
mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu
output tertentu.
Sedangkan hinterland berfungsi sebagai:

1. Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku;


2. Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi;
3. Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan umumnya
terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik,
pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang
baik. Misalnya, walaupun Solo dan Yogyakarta relatif lebih dahulu
berkembang tapi Jakarta, Bandung dan Medan terbukti lebih pesat
perkembangannya karena sangat ditunjang oleh hinterland yang
mendukung; dan
4. Penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis.
15

Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan yaitu


wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu
pada wilayah tersebut yang dapat bersifat alamiah maupun artificial dimana
keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral.
Sebagai contoh secara alamiah suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan hidroorologis
yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial, wilayah
Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang
cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral.

Nodal (pusat - hinterland )


Homogen

Sistem Sederhana Desa - Kota

Budidaya - Lindung

Wilayah Sistem/
Sistem ekonomi:
Fungsional Agropolitan, kawasan
produksi, kawasan industri

Sistem ekologi:
Sistem Komplek DAS, hutan, pesisir

Sistem Sosial - Politik:


cagar budaya, wilayah etnik

Umumnya disusun/dikembangkan
berdasarkan:
Perencanaan/ • Konsep homogen/fungsional:
Pengelolaan KSP, KATING, dan
sebagainya
• Administrasi-politik: propinsi,
Kabupaten, Kota

Gambar 1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah


16

Rustiadi et. al. (2005) mengemukakan pemahaman wilayah dapat dilihat


dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa wilayah merupakan
suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda. Namun
sayangnya pendekatan perencanan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih
didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah
sebagai sebuah sistem.

Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang


penantaan ruang, yang dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan
yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya
alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan
menurut Saefulhakim (2001), kawasan perdesaan dapat didefinisikan sebagai
suatu kesatuan sistem spasial yang aktifitas ekonomi utama masyarakatnya, dari
sisi suplai, berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam lokal (natural resource
based economy).

Sementara itu menurut Anwar (2001), pengertian wilayah perdesaan ini


mencakup (scope) sangat tergantung kepada luas cakupan batas definisinya. Pada
dasarnya cakupannya dipusatkan kepada ruang (daratan) yang menjadi tempat
kehidupan manusia dan komponen-komponen pendukungnya yang lebih besar
dari kawasan kota (ruang supra urban). Karena itu pembangunan wilayah
perdesaan dapat diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kepada
kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya
melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumber-sumber daya
lainnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui berbagai investasi
guna memperbesar kapasitas ekonomi lokal. Upaya ini bertujuan agar kapasitas
produksi dan produktivitas masyarakat keseluruhan wilayah nasional secara
agregat terus meningkat.

2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan


Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan
selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan
17

dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan


yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-
pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive
backwash effect). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan
pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah
Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan
sebagainya.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah (Rustiadi et. al, 2006). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah
karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang
luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota
ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah-
daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan
sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahan-
permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit
untuk diatasi.

Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula
dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi,
regional bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah
administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah
administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru
dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman
disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi,
2006).
18

Ketimpangan/disparitas pembangunan antar wilayah secara alamiah bisa


terjadi disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu :

1. Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu
wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding
wilayah yang lain.

2. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan


posisi geografis dibanding wilayah lain.

Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu
alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan
sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat
mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih,
sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan
SDS yang kurang baik.

Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial,


ekonomi dan politik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu
mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Dengan demikian jelas
bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak
negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari
pembangunan yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency),
pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias, yaitu kecenderungan proses
pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan kawasan perkotaan, dengan
mulai lebih memperhatikan masalah pengembangan kawasan perdesaan.

Pembangunan kawasan perdesaan merupakan hal yang harus mendapat


perhatian karena berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kawasan perdesaan
masih dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia (58%). Bahkan di pulau-pulau
besar kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua jumlah
penduduk yang bermukim di perdesaan masih berada diatas 70 persen. Menurut
Nasution (2004), pembangunan kawasan perdesaan tidak dapat dipungkiri
merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena
19

terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan akan tetapi


juga mengingat banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pembangunan.

Dari sisi produksi, desa menjadi penyedia sumberdaya manusia yang


merupakan faktor produksi utama selain teknologi dan modal. Dari sisi konsumsi,
penduduk yang besar sekaligus merupakan potensi pasar bagi produk-produk
komersial. Kenyataan ini berimplikasi bahwa pembangunan kawasan perdesaan
merupakan keniscayaan, kalau kesejahteraan masyarakat banyak yang menjadi
sasaran akhir dari setiap upaya pembangunan.

Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006),
adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri.
Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya
menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu
menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi
desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki
desa.

Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa
dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk
mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu:

Tahap Pertama :
1. Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).
2. Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.
3. Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk
dari desa ke kota.
4. Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong
ekspor pertanian yang selalu kompetitif.
5. Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan
dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.

Tahap Kedua :
20

6. Pembangunan regional berbasis kepada pemanfaatan sumberdaya


wilayah/kawasan berdasar keunggulan komparatif masing-masing wilayah.
7. Kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi ke arah
wilayah perdesaan.
8. Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis
perdesaan yang lebih kuat - dengan membangun trust fund di daerah-daerah
untuk membiayai dua kapital di atas.
9. Industrialisasi berbasis wilayah perdesaan/pertanian (melalui pembangunan
sistem mikropolitan):
• Industri pengolahan makanan dan pakan
• Industri pengolahan pertanian lainnya
• Industri peralatan dan input-input pertanian, serta barang konsumsi
lain
10. Secara berangsur mengurangi ketergantungan kepada kapital dan bantuan luar
negeri - untuk mencoba keluar dari “The Debt Trap”.

Dengan memperhitungkan beberapa faktor yang kait mengkait yang


mempengaruhi pembangunan perdesaan, terutama melalui kebijaksanaan
desentralisasi, diharapkan terjadi keseimbangan ekonomi secara spatial antara
wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus
mampu menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan


Secara konseptual Agropolitan terdiri dari kata agro (pertanian) dan kata
politan (polis=kota) sehingga agropolitan dapat diartikan kota dilahan pertanian.
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota pertanian
yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis
yang mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) daerah wilayah sekitarnya (Anonimous,
2002).
Konsep agropolitan berdasarkan Friedman (1975) yaitu terdiri dari distrik-
distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan
21

penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan
jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah
cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di
sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian
konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang
terintegrasi.

Menurut Saefulhakim (2004), secara terminologi agropolitan berasal dari


kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang
bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang kemudian
digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara
metropolis mempunyai pengertian sebagai sebuah titik pusat dari
beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian agropolis atau agro-metropolis
adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi
berbasis pertanian. Karena itu pengembangan agropolitan sendiri berarti
pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran AGROPOLIS
sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi
berbasis pertanian dimana tipologi pengembangan disesuaikan dengan
karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya.
Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran
pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan
pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan
produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang efisien;
2. Penguatan kelembagaan petani;
3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput,
pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);
22

4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;


5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;
Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak
saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu
usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana dan prasarana pertanian), agribisnis hilir
(pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya (Anonimous,
2002). Sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah,
kesenjangan antar kota dan desa dan kesenjangan pendapatan antara masyarakat,
mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif
serta akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut Rodinelli (1985), pengembangan agropolitan di wilayah
perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian
dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-
processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi
dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk
membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di
perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian
dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di
perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan
lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan
lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan
untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian
perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa
sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga
kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar
sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan
di kota-kota kecil-menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk
mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.
Sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan dapat saja
mencakup satu kecamatan administratif yang berbeda di setiap daerah. Kawasan
agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan
dalam satu kabupaten, beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa
23

kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas
provinsi.
Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep
agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu
pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui
Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan
agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi
Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra
produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu :
- Jalan-jalan akses (jalan usaha tani)
- Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing)
- Pengairan / jaringan irigasi
- Lembaga penyuluh dan alih teknologi
- Kios-kios sarana produksi
- Pemasaran.
Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu
pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep
agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi
Gorontalo.

2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal


Perdesaan dan Kemitraan.
Pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkerakyatan berarti
pembangunan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana
pemerintah harus memfasilitasinya. Akibat dari paradigma pembangunan di masa
lalu banyak kelembagaan tradisional /lokal yang sebelumnya merupakan bagian
dari perekonomian lokal menjadi rusak, bahkan hilang. Sebagai contoh, menurut
Sadjad (2004) hilangnya perlumbungan beras di desa yang digantikan oleh
BULOG menggeser kelembagaaan lokal dan mematikan desa sebagai desa
24

industri. Dibangunnya BULOG secara sentralistik, menyebabkan hilangnya


perlumbungan di desa, pemrosesan beras oleh rakyat, transportasi beras dari desa
ke kota. Kesemuanya itu merupakan proses industri yang dulunya terjadi di desa.
Hal ini menyebabkan kesempatan mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri
menjadi hilang di perdesaan. Oleh karena itu kelembagaan dan organisasi lokal
perlu dibangkitkan kembali dan diberdayakan untuk memperkuat pembangunan
sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan dan mandiri.
Menurut Suwandi (2004), penguatan kelembagaan dalam memberdayakan
kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif
terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan
kawasan agropolitan, penguatan permodalan perdesaan dan penguatan
kelembagaan ekonomi. Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting yang tentunya disesuaikan
dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing, seperti terlihat pada
Tabel 6 berikut :

Tabel 6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis


URAIAN PEMERINTAH MASYARAKAT DUNIA USAHA
Input √ √ √√
Modal, benih/bibit ,
Pupuk,pakan, obat
Pestisida
Alsin
Penunjang
Jalan, irigasi √√ - -
Pasar √√ - √
Air bersih √√ - -
Pengolahan hasil - √ √√
Iptek
Riset,Pengembangan √√ - -
Penyuluhan √ - √
Sistem informasi √ √ √
Sumber : Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang, 2006.

Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi (2006), untuk menghindari adanya


peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan diperlukan
penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sehingga penguatan
25

kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus
ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat
untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk
melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital
yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.
Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan
adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan
pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan
dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di
tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai
tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan
investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru
(multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan
penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal
(Rustiadi dan Hadi, 2006).
Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh
masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap
pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya.
Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang
terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut
dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public-
private- community partnership.

2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan


Sebagian literatur menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara
infrastrukur dengan tingkat perkembangan ekonomi. Beberapa berargumen bahwa
jenis infrastruktur tertentu seperti transportasi merupakan hal terpenting dalam
pembangunan ekonomi, disamping itu pendapat lain menyatakan bahwa faktor
lain seperti sumberdaya manusia dan lokasi merupakan faktor terpentingnya. Pada
dasarnya dapat dinyatakan bahwa tanpa infrastruktur pembangunan ekonomi tidak
26

dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang
canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007).
Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu
dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan.
Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin
keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah
berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya).
Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar
outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya
pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi
dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk
miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta
mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi
produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha.
Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama
dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat
dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau
lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut.
Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam
pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada
agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan
prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih
dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat
lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya
kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan
dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007).

2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan


Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan dilakukan
untuk mendorong pertumbuhan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang
27

tinggi, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan


distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta
pengrusakan sumber daya alam akan sangat berbahaya bagi kelangsungan
pembangunan itu sendiri.
Pergeseran pemikiran pembangunan mulai terjadi dimana selain
pertumbuhan, aspek pemerataan/keadilan dan keberlanjutan harus ikut
diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang harus dicapai maka
perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya pertumbuhan,
sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan
tersebut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.
Menurut Rustiadi (2003), dalam realitanya kondisi yang optimal dan ideal
ini susah untuk dirumuskan. Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-
masing berbeda sehingga kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif.
Karena itu pendekatan yang terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan
konsensus diantara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang
telah disepakati bersama. Sehingga dalam upaya untuk mencapai suatu
kesepakatan bersama inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi
penting. Partisipasi akan mendorong terjadinya pertukaran informasi sehingga
informasi yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif.
Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai
pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa
kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya
rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses
pembangunan dan menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup
tinggi.
Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan
pendekatan partisipasi dijadikan mainstream dalam penyelenggaraan
pembangunan di hampir semua negara. Namun sampai sekarang ternyata masih
terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Perubahan
paradigma pembangunan memang merupakan suatu proses yang memerlukan
waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya harus
dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu
28

semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di
lapangan.
Dalam kerangka pembangunan pedesaan (rural development), COHEN dan
UPHOFF dalam Darmawan et. al. (2003), memaknai konsep partisipasi sebagai:
“keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam
implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan
menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi
termasuk proses monitoring”.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program,
yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi,
sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. (2003), melihat partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar
pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
(participatory development) dari OECD adalah:
“kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara
beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana
pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini
berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar
dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan
bukan sekedar penerima sebuah program”.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka
pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan
hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-
aktif masyarakat.
Selanjutnya Arnstein, S.R (1969) menggolongkan partisipasi masyarakat
kedalam dalam 8 jenjang yaitu :
1. Manipulasi
2. Terapi
3. Menyampaikan informasi
4. Konsultasi
5. Peredaman (placation)
29

6. Kemitraan / partnership
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Pengawasan masyarakat
Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5
dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan
persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8
dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini
masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek
kebijaksanaan.
Dalam pengembangan kawasan agropolitan itu sendiri, peranan
masyarakat dapat berupa :
1) Perguruan Tinggi
a. Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra
pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan
riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi
diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan
pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha.
2) Lembaga Swadaya Masyarakat
Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan
kritis, sehingga diharapkan:
a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam
pengembangan kawasan agropolitan.
b. LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan
kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan
akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
3) Masyarakat dan dunia usaha:
Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus
didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan
community driven planning. Dengan pendekatan ini diharapkan:
30

a. Terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat dan dunia


usaha terhadap pengembangan kawasan agropolitan.
b. Masyarakat dan dunia usaha ikut merencanakan, menggerakkan,
melaksanakan dan juga mengontrol pelaksanaan program pengembangan
kawasan agropolitan.
c. Meningkatkan legitimasi program pembangunan kawasan agropolitan.
d. Masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku langsung dan objek dari
program pengembangan kawasan agropolitan.

2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan


Peranan pemerintah sangat berpengaruh terhadap pengembangan
agropolitan. Pengembangan agropolitan juga harus didasarkan pada UU No 26
tahun 2007 untuk menjamin keberlanjutannya secara spatial. Sesuai dengan
Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Rintisan
Pengembangan Kawasan Agropolitan (2002), peranan pemerintah untuk
memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan harus didasarkan pada UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun Perannya adalah
sebagai berikut :
a. Pemerintah Kabupaten/Kota
Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupatenk/kota, maka
penanggung jawab Program Pengembangan Agribisnis adalah
Bupati/Walikota. Oleh karena itu peran utama dari pemerintah
Kabupaten/Kota adalah :
(1) Merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan
dan pelaksanaan pengembangan agropolitan.
(2) Mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan
master plan, program dan melaksanakan program agropolitan.
(3) Mendorong tumbuh dan berkembangnya kelembagaan dan sarana dan
prasarana pendukung program agropolitan.
31

b. Pemerintah Provinsi
Kewenangan pemerintah provinsi adalah membantu/memfasilitasi Pemda
Kabupaten/Kota terutama dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya, melaksanakan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Dalam program pengembangan agropolitan ini peranan pemerintah provinsi
adalah :
(1) Merumuskan dan mengkoordinasi rencana program dan kebijakan
pengembangan agropolitan di wilayah provinsi.
(2) Memberikan pelayanan informasi (pasar, teknologi, agroinput,
permodalan, jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta
memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dalam pengembangan
agropolitan.
(3) Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan
pengembangan wilayah.
(4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia
(5) Membantu memecahkan masalah yang diminta oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(6) Membanun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis
c. Pemerintah Pusat
Tugas Pemerintah Pusat adalah membantu Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan program
agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut
lintas provinsi.
Dalam program pengembangan agropolitan, peranan pemerintah pusat adalah :
(1) Menyusun rencana, program dan kebijakan pengembangan agropolitan
dalam bentuk Pedoman Umum program pengembangan agropolitan
beserta pedoman/petunjuk-petunjuk pelaksanaanya.
(2) Merumuskan standar teknis, dan standar minimal terutama untuk sarana
prasarana dan pembiayaan pengembangan agropolitan.
32

(3) Memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan


jaringan informasi serta menfasilitasi kerjasama lintas provinsi dan
Internasional dalam pengembangan agropolitan.
(4) Mengembangkan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia.
( 5) Membangun prasarana sarana publik, yang bersifat strategis.
Dalam tahap awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus
memfasilitasi untuk terbentuknya satu unit pengembangan kawasan agropolitan.
Selanjutnya dalam perkembangan berikutnya peran pemerintah mulai dikurangi
dan hanya masuk pada sektor-sektor publik. Dalam perkembangan akhir, kawasan
agropolitan adalah kawasan yang mandiri dimana pemerintah hanya berperan
pada sektor-sektor yang benar-benar publik seperti : pertahanan dan keamanan,
penegakan hukum dan cenderung sebagai fasilitator.
Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), dalam kaitannya dengan pembangunan
wilayah agropolitan peranan dari pemerintah adalah untuk memberikan proteksi,
menyelenggarakan pembangunan, melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan
distribusi dan manajemen konflik.
Selanjutnya Anwar (2006), mengemukakan peranan pemerintah dalam
pembangunan adalah dalam memberikan modal permulaan untuk mereplikasi
pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya
dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak
swasta untuk turut serta membinanya.
Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga
di tingkat pusat dan daerah yang terkait dengan pengembangan kawasan. Karena
sifatnya yang multi lembaga, pengembangan kawasan agropolitan menuntut
adanya koordinasi antar lembaga yang bisa menjamin alokasi sumberdaya
pembangunan secara efektif dan efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya
departemen/lembaga sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti
dijalankannya tugas dan fungsi itu secara hemat.

2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi


Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi
strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah. Posisi strategis ini didasarkan
33

pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan
kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan
kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan
juga kemungkinan pemasaran hasil produksi.
Menurut Bustaman dan Susanto (2003), komoditas unggulan merupakan
komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani
baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak
secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona
agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang
berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga
berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi
artinya komoditas tersebut menguntungkan.
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya
bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas
kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).
Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga
dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya
industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik
daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah
sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri,
dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.

2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)


Pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah usaha untuk mengoptimalkan
sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan
organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu
wilayah tertentu. Tujuan PEL adalah untuk mengembangkan ekonomi suatu
34

wilayah yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya


lokal guna mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat,
antar sektor dan antar wilayah.
PEL mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat
maupun Eropa sejak tahun 1960, dimana dalam perkembangannya PEL telah
mengalami 3 tahapan besar atau gelombang pengembangan. Menurut Wolfe and
Creutzberg (2003) dalam Bappenas (2006), ketiga gelombang tersebut adalah
pertama, pendekatan tradisional (traditional approach); kedua, pengembangan
kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi.
Pendekatan tradisional terutama memfokuskan pada upaya menarik
perusahaan-perusahaan individual melalui input produksi yang murah,
infrastruktur yang bersbubsidi, penurunan subsidi langsung atau penurunan pajak.
Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan
menempatkan perusahaannya di lokasi-lokasi tertentu serta mampu
menggerakkkan perkembangan ekonomi lokal di lokasi-lokasi tersebut.
Pendekatan pengembangan kapasitas (capacity building approach)
mencoba mengembangkan infratruktur pendidikan dan teknologi dalam
membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan
kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi.
Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan
pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil
dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tiggi ke dunia
industri; dan peningkatan kemampuan (skill) pekerja dan manajemen.
Pendekatan ketiga menekankan pada peran penting dari kualitas
infrastruktur fisik, sosial dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas
tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan
arus informasi di suatu lokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam
proses pengembangan ekonomi lokal.
Di Indonesia, banyak program dan kegiatan yang berlabel pengembangan
ekonomi lokal (PEL) telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Program–program
tersebut yang pada umumnya menggunakan pendekatan pemberdayaan
35

masyarakat (community development), dimulai sejak digulirkannya program


Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994. Selanjutnya diikuti oleh program-
program yang lain diantaranya: Program Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Kemitraan dan Pengembangan
Ekonomi Lokal (KPEL), Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) serta
Agropolitan.
Namun sebagian besar program-program tersebut belum secara substansial
mengembangkan ekonomi lokal. Titik berat program lebih banyak diarahkan pada
pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek, serta bersifat top down dari
pemerintah pusat. Pada umumnya program-proram tersebut tidak berkelanjutan
(sustainable) setelah masa proyek berakhir. Oleh karenanya pada tahun 2006
dilakukan program revitalisasi pengembangan ekonomi lokal yaitu upaya
meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal dan upaya menggerakkan
kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan
perekonomian wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan.
Terdapat beberapa konsep yang menjadi dasar bagi revitalisasi PEL, salah
satunya adalah konsep Porter’s Diamond dari Michael Porter. Namun konsep
tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun
ruang (spatial). Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat
keharusan sehingga jika tidak ada, konsep tersebut relatif sama dengan konsep
ekonomi pada umumnya yang tidak memperhatikan ruang (spaceless world).
Berbeda dengan konsep Porter’s Diamond, konsep Heksagonal PEL yang
dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer (2004) telah memasukkan aspek ruang
dalam model PEL-nya (Bappenas, 2006).
Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Wilayah yang
dimaksud dapat berupa wilayah administratif ataupun wilayah/kawasan
pengembangan usaha/komoditi unggulan tertentu, termasuk kawasan agropolitan.
Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap
komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage
36

factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL.


Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi
pengembangan PEL.
Komponen PEL terdiri dari 6 unsur yang disebut dengan heksagonal.
Terdapat enam segitiga yang secara keseluruhan membentuk heksagonal, yang
berfungsi mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal
dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL
serta mempertimbangkan trade off dan kemungkinan konflik yang ada dalam
PEL. Heksagonal PEL terdiri dari :
1. Kelompok sasaran PEL
Kelompok sasaran PEL dibedakan atas tiga pelaku usaha yaitu pelaku
usaha lokal, investor luar dan pelaku usaha baru.
2. Faktor lokasi
Faktor lokasi menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha. Terdiri dari faktor lokasi terukur (tangible
factor), faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi pelaku usaha dan
faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi individu.
3. Kesinergian dan fokus kebijakan
Tiga hal yang saling berkaitan dalam kebijakan PEL adalah perluasan
ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta
pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda
namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan.
4. Pembangunan berkelanjutan
Tiga faktor penentu pembangunan berkelanjutan terdiri dari pembangunan
ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari
pendekatan PEL yang inovatif.
5. Tata kepemerintahan
Segitiga dalam ketatapemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku
usaha masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik
dan pengembangan organisasi pelaku usaha.
37

6. Proses manajemen
PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa
dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga
(benchmark) dan refleksi.
Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk
mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).

Gambar 2 Heksagonal PEL

Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat


analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL (Lampiran 9).
Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi
mandiri (self assessment).

2.10. Penelitian Terdahulu


Hasil penelitian Pribadi (2005) di Kawasan Agropolitan Cianjur
mengemukakan bahwa Program agropolitan sejauh ini berdampak positif yaitu
mampu meningkatkan nilai tambah terutama dari biaya transportasi yang lebih
rendah. Namun, pengembangan kawasan agropolitan tanpa memperhatikan
keterkaitan sosial ekonomi aktual yang terjadi antar hirarki wilayah di dalam
38

kawasan, akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan pemborosan anggaran


pembangunan. Hal ini karena, pada akhirnya banyak sarana-prasarana penunjang
pertanian yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal dan bahkan
biaya pemeliharaannya justru menjadi beban masyarakat. Pemanfaatan yang
tidak optimal ini terjadi karena lokasi penempatan fasilitas yang tidak sesuai
dengan pola aktivitas sosial ekonomi yang telah berkembang, dan apabila
masyarakat harus dipaksakan untuk memanfaatkannya maka yang terjadi adalah
aktivitas ekonomi masyarakat justru menjadi tidak efisien dan kurang
menguntungkan.
Pola jaringan jalan yang bersifat denritik kurang bisa mendorong
pengembangan kawasan perdesaan karena setiap unit wilayah desa harus langsung
berinteraksi dengan kawasan yang memiliki kapasitas skala ekonomi (economic of
scale) yang lebih besar. Akibatnya dalam konteks transaksi antar wilayah, desa
tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Pola jaringan yang bersifat
networking antar desa harus diperkuat, tetapi tidak harus dalam bentuk jalan
beraspal yang di-hotmix agar biaya pembangunannya tidak terlalu mahal. Jalan-
jalan desa yang bisa dilalui oleh motor ataupun kendaraan bak terbuka sudah
mencukupi untuk membangun jalur transportasi antar desa.
Sektor petanian sebagai sektor andalan di Kawasan Agropolitan Cianjur
pada dasarnya sangat tergantung pada terjaganya kualitas lingkungan. Namun
pada kenyataanya, kemampuan alami lahan di Kawasan Agropolitan Cianjur
sudah mulai menurun karena usaha tani yang intensif pada lahan sempit dengan
pola multiple cropping tanpa pernah mengistirahatkan lahan. Sementara
ketersediaan air di kawasan agropolitan juga sudah mulai terganggu karena
maraknya alih fungsi lahan menjadi villa dan bangunan. Kondisi ini akan
mengancam keberlanjutan dari pengembangan kawasan agropolitan.
Akses petani terhadap lahan ternyata semakin berkurang dengan
berkembangnya infrastruktur wilayah (listrik dan sarana jalan), meningkatnya
kepadatan penduduk, aksesibilitas yang dekat dengan kota (Jakarta dan Bogor),
banyaknya penduduk miskin dan pengangguran di perdesaan, serta lemahnya
kapasitas social capital dalam masyarakat. Pembangunan infrastruktur wilayah
39

(listrik dan sarana jalan) justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses
desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif.
Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa
Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan
Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi (tahun 2002) sampai dengan tahun ke 3
fasilitasi (tahun 2004) di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum
mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih
pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum
dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun
masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan
program belum dirasakan oleh masyarakat.
Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa
permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masing-
masing sektor dan bidang sebagai berikut:
a. Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya
masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga,
fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan
esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai
masalah ini sangat minim;
c. Rendahnya ketrampilan bisnis (jiwa entreprenuership) dari masyarakat
sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihan-
pelatihan;
d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan
informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini
masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya;
e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di
sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan;
f. Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
40

dan sinergisnya program yang dilaksanakan baik dari pusat, provinsi


maupun kabupaten.
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya,
adalah dalam penelitian ini tidak saja menggunakan analisis deskriptif seperti
pada penelitian terdahulu tetapi juga diperkuat dengan analisis kuantitatif.
Disamping itu dalam penelitian ini diterapkan suatu metode baru dalam
mengidentifikasi dan merumuskan strategi pembangunan dengan menggunakan
metode Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development
(RALED).
III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian


Agropolitan adalah konsep pembangunan perdesaan yang
mengintegrasikan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan
partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada
pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari pada konsep
pengembangan wilayah dengan menekankan pada pembangunan infrastruktur,
kelembagaan dan permodalan/investasi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan agropolitan
meliputi pengembangan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan
agroindustri, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah
infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran,
serta pemukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota;
kelestarian lingkungan terjaga; penguatan kelembagaan; perekonomian perdesaan
tumbuh berkembang; dan produktivitas pertanian meningkat.
Apabila hal ini dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah
perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan
pertanian sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect
selanjutnya adalah terbukanya lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat, mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi
dari desa ke kota, disparitas perkembangan desa-kota dapat ditekan, dan
pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata.
Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah.Penelitian ini dimaksudkan
untuk melihat apakah pengembangan agropolitan yang dilaksanakan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat petani dan perekonomian wilayah atau
belum. Selanjutnya akan diidentifikasi kebijakan seperti apa yang dapat
mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan ke depan. Secara garis
besar kerangka pemikiran umum tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
42

AGROPOLITAN

Pemberdayaan Pengembangan
Masyarakat Wilayah

Agribisnis Agroindustri Konservasi

Infra- Kelem- Kelestarian Ekonomi Produksi


struktur bagaan Lingkungan Perdesaan Pertanian

Pendapatan Pembangunan
Masyarakat Wilayah

Apakah terjadi
Belum peningkatan ? Ya

Identifikasi
Kebijakan

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2. Kerangka Pendekatan Operasional


Di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat
strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah
serta keterkaitan sektoral dan aspek spatial-nya. Perkembangan sektor strategis
tersebut akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan.
Dampak tidak langsung terwujud sebagai akibat perkembangan kegiatan sektor
tersebut yang berdampak kepada berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan
secara spatial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada tahap awal akan dilakukan analisis Location Quotient (LQ) untuk
mengetahui karakteristik pemusatan aktivitas di Provinsi Gorontalo dan di daerah
43

contoh yaitu kabupaten Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan.


Analisis ini diperlukan untuk mengetahui pusat-pusat aktivitas sektor terutama di
kabupaten Pohuwoto sebagai kawasan agropolitan sebelum dan sesudah
pemekaran. Pergeseran pusat-pusat aktivitas antara sebelum dan sesudah program
akan memberikan gambaran sektor mana saja yang kinerjanya mengalami
penurunan, sektor yang kinerjanya tetap unggul dan sektor yang muncul sebagai
sektor unggulan baru.
Analisis ini selanjutnya dilengkapi dengan analisis Shift-share yang dapat
menunjukkan seberapa besar dinamika perekonomian wilayah dan sektor-sektor
ekonomi Provinsi Gorontalo berpengaruh terhadap sektor ekonomi di kabupaten
Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan. Kedua analisis ini akan
memberikan informasi keunggulan komparatif dan kompetitif dari sektor-sektor
perekonomian di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato baik sebelum dan
sesudah program agropolitan.
Kedua analisis diatas kemudian dilengkapi dengan analisis deskriptif
terhadap perkembangan PDRB di kedua wilayah tersebut. Analisis deskriptif ini
penting untuk mengetahui pola pola perkembangan ekonomi wilayah sebelum dan
sesudah program agropolitan.
Dari ketiga analisis pertama ini diharapkan dapat diperoleh gambaran
sampai sejauh mana program pengembangan agropolitan berperan terhadap
perekonomian wilayah.
Sementara itu untuk mengetahui dampak langsung dari pengembangan
agropolitan terhadap masyarakat terlebih khusus pendapatan masyarakat petani,
maka akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner.Karena
pertimbangan kesulitan dalam menggali informasi tentang pendapatan masyarakat
petani sebelum pelaksanaan agropolitan maka perbandingan pendapatan
dilakukan dengan kawasan yang belum tersentuh program agropolitan dengan
menggunakan analisis uji beda rata-rata t- student.
Selain itu analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat juga akan
dilakukan terhadap proses pelaksanaan pembangunan kawasan agropolitan.
Tingkat partisipasi masyarakat tersebut akan dilihat berdasarkan indikator-
indikator tertentu menurut tangga partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein.
44

Analisis tingkat partisipasi ini akan menggambarkan derajat partisipasi


masyarakat dalam pengembangan agropolitan.
Dalam mengembangkan ekonomi kawasan agropolitan, seringkali
pemerintah ingin membenahi semua aspek yang terkait dalam kawasan. Disisi lain
pemerintah mempunyai keterbatasan dalam kemampuan dan dana, sehingga
diperlukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan agropolitan agar dapat
lebih terarah dan efisien untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Untuk
mengetahui dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dari
pemerintah yang disebut sebagai faktor pengungkit akan dilakukan analisis
Heksagonal Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Analisis ini digunakan untuk
mengetahui kondisi ekonomi kawasan agropolitan, sehingga dapat diketahui aspek
mana saja yang menjadi prioritas untuk dibenahi. Heksagonal PEL terdiri dari 6
aspek yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) kesinergian dan fokus
kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6)
proses manajemen. Untuk melihat faktor-faktor pengungkit dalam Heksagonal
PEL digunakan teknik Rapid Assessment for Local Economic Development
(RALED). Analisis ini menggunakan data primer berupa persepsi dari semua
stakeholder yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan.
Secara ringkas tahapan-tahapan studi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
45

SEBELUM AGROPOLITAN SETELAH AGROPOLITAN

Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data Primer
Prov.Gorontalo Kab.Boalemo Prov.Gorontalo Kab.Pohuwato Melalui kuesioner

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis beda Analisis Par- Analisis


pendapatan tisipasi Masy Heksagonal
LQ LQ LQ , MS, ML LQ , MS, ML PEL

Analisis Analisis Analisis Analisis Uji t-student Analisis RALED


SSA SSA SSA SSA Kualitatif

Peran dan Peran dan Peran dan Peran dan Dampak Peran Identifikasi
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan terhadap Masyarakat Prioritas
Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Pendapatan dalam Kebijakan
regional Wil. contoh regional Wil.contoh Masyarakat Agropolitan

Dampak agropolitan Dampak agropolitan


Berdasar data sekunder Berdasar data primer

Pengembangan ekonomi
Kawasan agropolitan

Gambar 4 Kerangka Pendekatan Operasional


46

3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian dapat diajukan sebagai berikut :
1. Diduga kontribusi komoditi unggulan jagung menonjol terhadap ekonomi
wilayah Provinsi Gorontalo
2. Pengembangan agropolitan basis jagung memberikan dampak positif
terhadap tingkat pendapatan petani.
IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan analisis deskriptif


kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk melengkapi analisis
kuantitatif yang fokus pada aspek output dan outcome. Selanjutnya, untuk aspek
proses pengembangan agropolitan akan dijelaskan secara deskriptif.

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Gorontalo yaitu di Kabupaten


Pohuwato yang merupakan daerah pengembangan kawasan agropolitan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 hingga bulan Agustus
2008, meliputi tahapan persiapan hingga pelaporan.

Lokasi
Penelitian

Gambar 5 Lokasi Penelitian

4.2. Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan
data sekunder yang diuraikan sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapang dan
wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan
kuesioner di kawasan agropolitan dan di kawasan yang belum
terpengaruh program agropolitan. Disamping itu untuk data
48

stakeholder digunakan data seluruh stakeholder yang terkait dengan


pengembangan ekonomi kawasan agropolitan.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait
seperti BPS, Dinas Pertanian, Bappeda, Dinas Prasarana dan
Pemukiman dan instansi-instansi terkait lainnya yang telah tersedia
dalam bentuk dokumen dan studi literatur.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini digunakan dua tahap pengambilan sampel (multistage


sampling) (Juanda, 2007). Dimana untuk penentuan lokasi kecamatan agropolitan
dan non agropolitan metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling,
yaitu berdasarkan penetapan kawasan agropolitan dan ketersediaan infrastruktur
pendukung agropolitan. Selanjutnya penarikan sampel dilakukan secara acak di
masing-masing kecamatan. Responden adalah petani yang mengusahakan
komoditas unggulan kawasan agropolitan yaitu komoditas jagung. Jumlah
responden petani adalah sebanyak 60 orang, dimana 30 orang responden berasal
dari kawasan agropolitan dan 30 orang lainnya berasal dari kawasan non
agropolitan.
Untuk sampel stakeholder, pengambilan sampel dilakukan kepada seluruh
stakeholder yang tergabung dalam forum kemitraan PEL yang sudah terbentuk di
daerah penelitian yang terdiri dari usahawan (swasta dan perbankan), (eksekutif
dan legislatif), Organisasi Masyarakat (LSM, media massa, organisasi sosial
lainnya), Perguruan Tinggi. Pengumpulan data dengan mengguankan kuesioner
dilakukan secara partisipatif dalam suatu focus group discussion (FGD).
Tabel 7 Matriks Pendekatan Penelitian
No Tujuan Aspek Variabel Alat Responden Non Sumber
Analisis responden Data
1 Menganalisis dampak Keragaan PDRB, Pertumbuhan PDRB, - Analisis LQ, - Data BPS, Bappeda
pengembangan agropolitan Struktur Pertumbuhan sektor-sektor MS, ML sekunder
terhadap perekonomian Perekonomian perekonomian, Pertumbuhan - Analisis SSA
wilayah penduduk, Pertumbuhan angkatan
wilayah - Analisis
kerja, Peningkatan Investasi
Deskriptif
2 Menganalisis dampak Pendapatan Pendapatan usaha tani Kegiatan - Analisis Uji Petani - Wawancara
agropolitan terhadap Usaha tani petani sehubungan dengan Beda rata-rata t- kawasan kepada
pendapatan petani agropolitan. student agropolitan masyarakat
dan non petani
agropolitan
3 Menganalisis tingkat Tingkat Komunikasi (dialog), - Kualitatif Petani - Wawancara
partisipasi masyarakat partisipasi Pengetahuan masyarakat terhadap menurut tangga kawasan kepada
sebagai pelaku pembangunan masyarakat proses pengambilan keputusan, partisipasi agropolitan masyarakat
di kawasan agropolitan Kontrol masyarakat terhadap Arnstein dalam kawasan
kebijakan publik agropolitan

4 Merumuskan strategi Identifikasi - Kelompok Sasaran - Analisis Bappeda, - Bappeda,


pembangunan yang dapat prioritas - Faktor Lokasi Heksagonal PEL Pemerintah Pemerintah
mendorong pengembangan kebijakan - RALED Daerah, daerah
- Kesinergian dan
Kawasan Agropolitan pemerintah petani, pelaku
Fokus Kebijakan Key Informan
usaha, LSM
- Pembangunan Berkelanjutan (stakeholer)
- Tata Pemerintahan
- Proses Manajemen
50

4.4. Metode Analisis


Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan
yang diangkat. Metode analisis yang dipakai antara lain:

4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS) dan
Multiplier Long Run(ML)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peranan/pengaruh sektoral dalam
pertumbuhan ekonomi. Disamping itu juga untuk melihat kontribusi jagung
sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Untuk mengetahui
potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat menggunakan
metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

X ij / X i .
LQij =
X . j / X ..

Dimana :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato untuk
sector ke- j
Xi. = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato total
seluruh sektor
X.j = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo untuk
sector ke- j
X.. = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo total
seluruh sektor

Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1 ) maka sektor tersebut
merupakan sektor basis sedangkan jika nilainya sama atau lebih kecil dari satu
(LQ < 1 ) berarti sektor yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada
kegiatan perekonomian wilayah provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
51

Analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time-series/trend, artinya untuk melihat


beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan.
Selanjutnya untuk mengetahui besarnya sumbangan sektor/aktifitas
ekonomi basis terhadap sektor/aktifitas lain dalam suatu wilayah atau dampak
sektor/aktifitas basis perekonomian wilayah digunakan Koefisien Pengganda.
Koefisien Pengganda Jangka Pendek dirumuskan sebagai berikut :

1
Ms =
YN
1−
YN + YB

Dengan :
MS = Multiplier Short Run / Pengganda jangka pendek
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
Dan koefisien pengganda jangka panjang dirumuskan sebagai berikut :

1
ML =
Y +I
1− N
YN + YB

Dengan :
ML = Multiplier Long Run / Pengganda jangka panjang
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
I = Investasi

4.4.2. Analisis Shift Share


Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik
analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu
dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah yang lebih luas)
dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share
52

menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu


wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan lebih luas.
Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu
aktifitas di suatu sub-wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam
wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang
dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika
lokal sub-wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab
dari dinamika wilayah secara umum (laju pertumbuhan agregat).
Dengan demikian dari hasil analisis shift-share akan diperoleh gambaran
kinerja aktifitas di suatu wilayah yang dapat dijelaskan dari 3 komponen, yaitu :
1. Komponen Laju Pertumbuhan Agregat (Komponen Agregat). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen propotional shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara
relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total
wilayah yang menunjukkan dinamika sektoral/aktifitas total dalam
wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran
ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu
aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas
tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
(keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub-
wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub-wilayah lain.
Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut :

⎛ X..(t1) ⎞ ⎛ X..i(t1) X..(t1) ⎞ ⎛ Xij(t1) X.i(t1) ⎞


SSA = ⎜⎜ −1⎟ + ⎜
⎟ ⎜
− ⎟ + ⎜⎜

− ⎟⎟
X X
⎝ ..(t 0) ⎠ ⎝ ..i(t 0) X X
..(t 0) ⎠ ⎝ ij (t 0) X.i (t 0) ⎠

a b c
53

dimana : a = komponen agregat / share


b = komponen proportional shift
c = komponen defferential shift, dan
X.. = jumlah PDRB total seluruh sektor dalam total wilayah
X.i = jumlah PDRB sektor tertentu dalam total wilayah
Xij = jumlah PDRB sektor tertentu dalam unit wilayah tertentu
ti = nilai tahun akhir
t0 = nilai tahun awal

4.4.3.Analisis Uji Beda Pendapatan


Selanjutnya untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan
terhadap pendapatan masyarakat petani dilakukan analisis perbandingan rata-rata
pendapatan usaha tani jagung antara kawasan agropolitan dan non agropolitan
dengan menggunakan uji t-student pada taraf 5%. Analisis data dilakukan dengan
bantuan program aplikasi Minitab for Window Release 14 .
Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
H0 : µ1 = µ2 yakni rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan sama dengan
rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan, artinya tidak ada perbedaan
antara pendapatan petani kawasan agropolitan dan non agropolitan.
H1 : µ1 > µ2 yakni rata rata pendapatan petani kawasan agropolitan lebih besar
dari rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan. Artinya terdapat
perbedaan rata-rata pendapatan petani antara kawasan agropolitan dan non
agropolitan.
Dengan Satistik Uji t (Steel and Torrie 1981) sebagai berikut :
− −
( x1 − x 2 )
t=
S− −
( x1 − x2 )
dimana :

x1 = rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan

x2 = rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan
− −
S = Standar deviasi ( x1 - x 2 )
54

Kaidah keputusan :
Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1)
Bila statistik hitung ≤ tα , maka terima H0 (tolak H1)

4.4.4. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan


Pengukuran terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kawasan agropolitan akan didasarkan pada tangga partisipasi yang dikemukakan
oleh Arnstein (1969). Analisa derajat partisipasi arnstein, menggunakan metode
skoring dalam menentukan tingkat partisipasi dengan menggunakan variabel (1)
derajat Komunikasi, (2) pengetahuan masyarakat atas proses pengambilan
keputusan, (3) kontrol masyarakatatas kebijakan perencanaan.
Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat komunikasi adalah :
1. Informasi : Apakah anda mendapat informasi tentang adanya pelaksanaan
program agropolitan.
2. Forum pengambilan keputusan : Dalam forum apa keputusan diambil
dalam lingkungan desa.
3. Jumlah orang yang berpartisipasi : Menurut anda berapa persen orang yang
tahu dan diajak berembuk mengenai sebuah proyek yang akan berlangsung
dilingkungan anda (agropolitan).
4. Intervensi yang dilakukan aparat : seberapa besar campur tangan/intervensi
aparat dalam proses fasilitasi program agropolitan?
Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat pengetahuan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan adalah :
1. Konsep partisipatif : Menurut anda apakah perencanaan yang ada di desa
(dalam pengembangan agropolitan) sudah melibatkan masyarakat?
2. Tingkat kepuasan : Apakah anda puas dengan prosedur dan proses
pengambilan keputusan dalam perencanaan pengembangan agropolitan?
3. Prosedur untuk berpartisipasi : Menurut anda apakah dalam perencanaan
pengembangan agropolitan yang dilakukan selama ini, warga dan
organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat
didalamnya?
55

4. Tingkat partisipasi dalam kelompok : Jika keputusan diambil dalam


kelompok, bagaimana keputusan tersebut dibuat?
Variabel yang digunakan untuk mengukur kontrol masyarakat terhadap kebijakan
pembangunan adalah :
1. Akses terhadap forum perencanaan : Apakah warga dan arganisasi
masyrakat lainnya dapat dengan mudah terlibat/ikutserta dalam forum
perencanaan agropolitan?
2. Kritik atas mekanisme forum perencanaan: Apakah anda pernah memberi
masukan kepada pemerintah atau pihak yang anda anggap
bertanggungjawab untuk merubah prosedur dan proses pengambilan
keputusan?
3. Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek : Menurut anda
bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program
agropolitan?

Tabel 8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein
Aspek Tingkatan Interval Skor
Penilaian
A. Komunikasi Tidak ada komunikasi 30 52,5 1
Komunikasi satu arah tetapi hanya
sedikit keputusan publik yang bisa 52,5 75 2
diklarifikasi
Komunikasi telah cukup, namun 75 97,5 3
masih bersifat satu arah
Ada dialog 97,5 120 4
B. Pengetahuan Tidak Tahu 30 52,5 1
masyarakat
Tahu 52,5 75 2
terhadap proses
pengambilan Mempengaruhi 75 97,5 3
keputusan
Berperan Besar 97,5 120 4
C. Kontrol Tidak ada 30 52,5 1
masyarakat
Hanya bisa memberikan komentar
terhadap
(less control power) 52,5 75 2
kebijakan
publik Bisa memberikan kritikan dan
masukan (Has power) 75 97,5 3
Bisa mengontrol sepenuhnya
(control powerly) 97,5 120 4
56

Adapun tahapan perhitungan ketiga variabel tersebut dilakukan dengan cara :


1. Pemberian skor dengan skala 1 – 4 (s)
2. Menghitung distribusi frekwensi (f)
3. Memberikan bobot penilaian terhadap variabel berdasarkan pengaruh
variabel terhadap aspek yang dinilai (b)
4. Mencari interval berdasarkan kuartil atas perhitungan terhadap s x f x b
dengan cara mengurangkan nilai tertinggi (jika semua memili skala
tertinggi) dan nilai terendah (jika semua memilih skala terendah).
5. Membandingkan hasil dengan indeks Arnstein.

Tabel 9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein

Derajat Nilai Faktor Indeks Kelompok


Partisipasi A B C
Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Tingkat
Otoritas
Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11
Masyarakat
Partnership/Kemitraan 4 3 2-3 9-10
Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Tingkat
Tokenisme
Konsultasi 3-4 2 2 7-8
Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8
Terapi 2 1 1 4 Non
Partisipasi
Manipulasi 1 1 1 3
Sumber : Arnstein 1969
A = Komunikasi
B = Pengetahuan Masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
C = Kontrol Masyarakat terhadap kebijakan publik

4.4.5. Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED)


Untuk mengkaji prioritas kebijakan yang dapat mendorong
pengembangan kawasan agropolitan digunakan teknik analisis RALED. Teknik
RALED didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan
atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling (MDS). Dimensi dalam
RALED didekati dengan menggunakan Heksagonal PEL, yang terdiri dari 6 aspek
yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) Kesinergian dan fokus
kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6)
proses manajemen. Penggunaan analisis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
57

agropolitan merupakan salah satu program pemerintah yang menggunakan


pendekatan pengembangan ekonomi lokal. Sementara itu Heksagonal PEL
merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis dan
menggambarkan kondisi ekonomi lokal pada suatu wilayah/kawasan, termasuk
kawasan agropolitan. Keunggulan analisis ini adalah bahwa indikator
pengembangan ekonomi lokal yang digunakan, yang berjumlah 87 indikator
merupakan penjabaran dari keenam aspek tersebut termasuk aspek lokasi maupun
ruang sehingga mampu menggambarkan keadaan perekonomian lokal secara
komprehensif. Namun demikian, keterbatasan analisis ini adalah karena data yang
digunakan merupakan data persepsi dari masing-masing stakeholder sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam menterjemahkannya (interpretasi). Berdasarkan
hasil pemetaan dari kondisi PEL tersebut kemudian dapat diidentifikasi
komponen Heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit, yaitu faktor
yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Selanjutnya berdasarkan
faktor pengungkit inilah maka dapat disusun strategi pengembangan selanjutnya.
Dalam analisis ini, data yang dipakai adalah persepsi dari semua
stakeholder yang terkait dalam pengembangan kawasan agropolitan dan data
sekunder sebagai data penunjang. Data ini selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development
(RALED). Adapun tahapan dalam analisis Raled adalah sebagai berikut :
1. Analisis dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS)
2. Analisis Sensitivitas
3. Analisis Montecarlo
Selanjutnya untuk mengetahui kondisi atau status PEL secara keseluruhan
dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy
Prosess (AHP).
V. DISKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1. Deskripsi Agropolitan Provinsi Gorontalo


Dalam rangka memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayahnya
Provinsi Gorontalo mengembangkan konsep agropolitan. Sebagai langka awal
pengembangan agopolitan, pemerintah membuat masterplan pemwilayahan
komoditas. Hal ini dilatarbelakangi karena kondisi lahan di suatu wilayah atau
kawasan sangat beragam yang dipengaruhi oleh factor iklim, tanah, topografi dan
hidrologi. Sehingga keragaman ini akan sangat perpengaruh terhadap tipe potensi
lahan dan jenis tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Selanjutnya
komoditas pertanian akan mampu berproduksi maksimal di lahan yang cocok atau
sesuai dengan prasyarat tumbuhnya. Atas dasar pertimbangan tersebut jagung
akhirnya dipilih sebagai komoditas unggulan daerah sebagai titik masuk dari
pengembangan agropolitan, disamping karena jagung juga merupakan komoditi
yang sudah dikembangkan secara turun temurun oleh masyarakat gorontalo dan
merupakan makanan pokok masyarakat gorontalo.
Program ini dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Gorontalo. Kabupaten Pohuwato merupakan salah satu dari 8 program rintisan
pengembangan agropolitan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat pada tahun
2002, dimana dengan berkoordinasi dengan dinas pertanian dan dinasi kimpraswil
dilakukan pembangunan sarana prasarana untuk menunjang pengembangan
agropolitan.
Sejalan dengan perkembangan yang ada pemeritah juga sementara
merancang agar jagung sebagai komoditi unggulan dapat menjadi penggerak
ekonomi dari sector-sektor lain yang terkait didalamnya melalui ‘ekonomi jagung’
(Muhammad, F. 2008). Dalam jangka panjang akan dibangun industri hulu dan
hilir yang berbasis jagung. Akan tetapi rencana ini belum tertuang dalam
masterplan agropolitan termasuk zonasi pusat-pusat produksi, pengolahan hasil
dan pemasaran. Kondisi eksisting yang ada dilapang pusat-pusat produksi,
pengolahan hasil dan pemasaran mengacu pada RTRW Provinsi Gorontalo
dimana pusat-pusat produksi berada dalam Kawasan Andalan Kabupaten
Boalemo (sebelum pemekaran) dan Kapet Kabupaten Gorontalo sedangkan pusat
59

pengolahan dan pemasaran berada di kawasan andalan Kota Gorontalo


(Lampiran 8 ).

infrastruktur
Industri hilir Industri hulu

Sweetener Benih/
(Pemanis Pemuliaan

Ethanol Mesin pertanian/


Pengolahan

Starch Jagung
(Tepung) Pupuk

Bioproduct R&D,Diklat/workshop
Pengujian&sertifikasi

Corn oil
Jasa handling,
Asuransi/ Penyimpanan
Perbankan
Pakan ternak
Jasa Perbengkelan

Gambar 6 Diagram Ekonomi Jagung

5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato


5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif
Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten yang berada di ujung barat
Provinsi Gorontalo dengan letak geografis antara 0,27o – 1,01o Bujur Timur dan
121,23o – 122,44o Lintang Utara, dengan iklim 24,4 – 33,2 o
C. Adapun batas
wilayah Kabupaten Pohuwato adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Buol Sulawesi Tengah, sebelah selatan beratasan denga Teluk Tomini, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Boalemo.
Luas wilayah Kabupaten Pohuwato adalah 4.244,31 km2 atau 34,75
persen dari luas wilayah Provinsi Gorontalo. Wilayah administrasi pemerintahan
Kabupaten Pohuwato mencakup 7 kecamatan yang terdiri dari 69 desa, 1 UPT dan
60

3 Kelurahan. Adapun nama kecamatan, jumlah desa dan luas wilayah dapat dilihat
pada Tabel 10.

Tabel 10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah Desa di Kabupaten Pohuwato


No Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Desa

1 Popayato 1.392,90 15
2 Lemito 807,58 11
3 Randangan 449,82 10
4 Marisa 331,90 15
5 Paguat 803,32 12
6 Taluditi 159,97 6
7 Patilanggio 298,82 4
Jumlah 4.244,31 73
Sumber : Profil Kabupaten Pohuwato, 2006

Aktifitas pertanian di Kabupaten Pohuwato dilaksanakan untuk


meningkatkan produktifitas pertanian. Adapun komoditi yang dikembangkan
bermacam-macam terdiri dari tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan.
Namun yang menjadi prioritas dari pemerintah daerah adalah mengembangkan
komoditi tanaman pangan dalam hal ini padi dan jagung sebagai komoditi basis.
Sebagai produk unggulan, komoditi jagung banyak diusahakan di lahan kering
yang banyak terdapat di kabupaten Pohuwato.

Tabel 11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di Kabupaten


Pohuwato
No Kecamatan Luas Sawah Bukan Sawah Jumlah
(Ha) (Ha) (Ha)
1 Popayato 80 139.210 139.290
2 Lemito 11 80.747 30.758
3 Randangan 140 44.842 44.982
4 Marisa 1.266 31.924 33.190
5 Paguat 480 79.852 80.332
6 Taluditi 850 44.132 15.997
7 Patilanggio 208 29.674 29.882
Total 3.035 421.396 424.431
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
61

Topografi Kabupaten Pohuwato umumnya adalah dataran rendah,


sebagian kecil berbukit dan bergunung. Tingkat kemiringan yakni 0 – 40o,
sedangkan ketinggiannya berkisar antara 0 – 1800 dari permukaan laut (dpl).
Faktor pengendali iklim yang banyak berpengaruh terhadap keberhasilan usaha
pertanian adalah curah hujan dan temperatur. Berdasarkan data Biro Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Pohuwato tahun 2006, curah hujan di Kabupaten
Pohuwato bervariasi berkisar antara 3 – 204 mm. Pada tahun 2006 suhu rata-rata
pada siang hari berkisar antara 31,2 – 33,4o C sedangkan suhu pada malam hari
berkisar 21,8 – 24,1o C dengan kelembaban relative berkisar antara 71 - 85 persen.

5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat


5.2.2.1. Kependudukan
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006) jumlah penduduk Kabupaten
Pohuwato adalah 114.650 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
1,2 persen per tahun. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin
laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang
masing masing terdiri dari 57.721 penduduk laki-laki dan 56.929 penduduk
perempuan. Hal ini tercermin dari rasio jenis kelamin penduduk Pohuwato lebih
dari 100 yaitu 101 persen. Ini berarti dari setiap 100 orang perempuan terdapat
101 laki-laki. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di
Kabupaten Pohuwato dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Penduduk menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio di


Kabupaten Pohuwato Tahun 2006
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Sex ratio
1 Popayato 10.998 11.000 100
2 Lemito 7.295 7.105 103
3 Randangan 6.756 6.315 107
4 Taluditi 3.132 3.189 98
5 Patilanggio 4.140 3.891 106
6 Marisa 15.927 15.889 100
7 Paguat 9.473 9.539 99
Jumlah 57.721 56.929 101
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
62

Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar penduduk Kabupaten


Pohuwato adalah berusia muda, karena 69,03 persen penduduknya berada
dibawah 35 tahun. Jumlah penduduk terbanyak yaitu pada umur 10 – 14 tahun
yang mencapai 12,14 persen. Dilihat dari sex ratio, kelompok umur 10 – 14 tahun
memperlihatkan sex ratio yang besar dan pada kelompok umur ini jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan.

Tabel 13 Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kabupaten


Pohuwato
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0 - 4 6.205 6.407 12.612
5 - 9 5.795 6.862 12.657
10 - 14 8.104 5.815 13.919
15 - 19 5.385 4.807 10.192
20 - 24 4.121 5.670 9.791
25 - 29 4.797 5.350 10.147
30 - 34 4.618 5.208 9.826
35 - 39 5.206 4.665 9.871
40 - 44 4.208 3.690 7.899
45 - 49 2.672 2.487 5.159
50 - 54 2.626 2.270 4.896
55 - 59 1.495 1.337 2.832
60 - 64 1.086 1.024 2.110
65 + 1.403 1.337 2.740
Jumlah 57.721 56.929 114.650
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006

5.2.2.2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan yaitu dengan
mencanangkan berbagai program seperti program wajib belajar, gerakan nasional
orang tua asuh, bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lain. Diharapkan
dengan program ini akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam
era globalisasi mendatang.
63

Tingkat kesadaran penduduk kabupaten Pohuwato terhadap arti


pentingnya pendidikan relatif tingi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk
yang dapat menikmati pendidikan formal dari pendidikan taman kanak-kanak
sampai sekolah lanjut tingkat atas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2004 jumlah murid yang dapat menikmati pendidikan adalah sebanyak
23.206 orang siswa meningkat menjadi 27.340 siswa pada tahun 2006 atau
mengalami pertumbuhan sebesar 7,8 persen. Demikian halnya dengan jumlah
guru di Kabupaten Pohuwato cukup mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya jumlah murid. Selama periode 2004 – 2006 ratio murid guru pada
tingkat taman kanak-kanak hingga SLTP di Kabupaten Pohuwato sedikit
mengalami penurunan, tapi untuk tingkat pendidikan SLTA tidak mengalami
banyak perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa penyediaan tenaga pengajar
kurang bisa mengimbangi pertambahan pelajar.

Tabel 14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006

NO Tingkat Pendidikan 2004 2006


Jumlah Jumlah
Guru Murid Ratio Guru Murid Ratio
Murid Murid
& Guru & Guru
1 Sekolah Taman 39 1.529 39 94 2.195 23
Kanak-kanak
2 Sekolah Dasar 474 15.812 33 689 17.180 24
/Ibtidaiyah
SLTP/Tsanawiyah
3 160 4.187 26 298 5.076 17
SLTA/Aliyah/
4 93 1.678 18 162 2.889 17
Kejuruan
Jumlah 766 23.206 1.243 27.340
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006.

5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah


5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah
Kabupaten Pohuwato adalah kabupaten baru dalam wilayah Provinsi
Gorontalo yang merupakan daerah agraris. Hal ini menyebabkan tidak mustahil
jika struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian
64

(berdasarkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB). Terlebih lagi, paket


kebijakan pemerintah daerah selama ini lebih menitik beratkan pada sektor
pertanian/agraris diantaranya dengan program-program agropolitan dan
terobosan-terobosan baru yang menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector
di kabupaten ini bahkan juga di Provinsi Gorontalo. Sejak periode 2004 - 2006
kontribusi sektor yang terbesar terhadap pembentukan PDRB adalah sektor
pertanian, meskipun mengalami trend yang menurun. Tahun 2006 kontribusi
sektor pertanian mencapai 40,91 persen sektor perdagangan dan akomodasi
sebesar 17,50 persen, sektor jasa-jasa sebesar 13,45 persen dan sektor keuangan
sebesar 11,73 persen sedangkan sektor lainnya kurang dari 10 persen

Tabel 15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten Pohuwato Atas


Dasar Harga Berlaku Tahun 2004 - 2006
Sektor 2004 2005 2006
Pertanian 46,82 45,65 40,91
Pertambangan & Pengagalian 0.93 0,88 0,80
Industri Pengolahan 5,94 6,20 5,73
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,82 0,96 0,93
Bangunan 6,28 6,21 5,79
Perdagangan & Akomodasi 18,84 18,75 17,50
Angkutan dan Komunikasi 3,49 3,26 3,16
Keuangan dan Jasa Perusahaan 8,87 10,02 11,73
Jasa-jasa 8,00 8,07 13,45
PDRB 100,00 100,00 100,00
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

Besarnya peranan sektor pertanian bukan hanya terlihat pada


kontribusinya terhadap PDRB, tetapi juga dari segi penyediaan lapangan
pekerjaan. Dimana berdasarkan Susenas 2006 diperoleh bahwa kebanyakan
penduduk laki-laki bekerja disektor pertanian yaitu sebesar 70,20 persen
sementara disektor perdagangan hanya sebesar 7,06 persen. Untuk penduduk
perempuan lebih merata yaitu sekitar 49,65 persen bekerja di sektor pertanian dan
masing-masing sebesar 17,73 persen dan 22,34 persen bergelut disektor
perdagangan dan jasa.
65

Tabel 16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerja Utama di Kabupaten


Pohuwato, Tahun 2006
Sektor Laki-Laki Perempuan
Pertanian 70,20 49,65
Pertambangan & Pengagalian 2,82 0,71
Industri Pengolahan 3,39 7,80
Listrik, Gas dan Air Bersih 2,54 1,06
Perdagangan & Akomodasi 7,06 17,73
Angkutan dan Komunikasi 8,05 0,35
Keuangan dan Jasa Perusahaan 0,28 0,35
Jasa-jasa 5,65 22,34
PDRB 100 100
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

5.2.3.2 Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan
pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan merupakan salah satu
sarana untuk mencapai kehidupan yang layak bagi penduduk suatu wilayah.
Pertumbuhan ekonomi dapat tercermin dari kenaikan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari tahun sebelumnya. Perekonomian di
Kabupaten Pohuwato tumbuh sebesar 7,25 persen pada tahun 2006. Pertumbuhan
ekonomi yang sebesar ini diharapkan dapat dirasakan secara merata oleh
masyarakat luas sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat yang hidup
makmur sejahtera dapat tercapai.

Gambar 7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006

7,3
7,24 7,25
7,2
7,1
7 Laju pertumbuhan
6,93 6,95
6,9
6,8
6,7
2003 2004 2005 2006
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
66

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten


Pohuwato mengalami peningkatan sejak tahun 2004. Sedangkan secara sektoral,
terlihat bahwa sektor–sektor mengalami pertumbuhan yang positif namun
cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan sektor pertanian
terlihat mengalami fluktuasi, pada tahun 2005 mengalami penurunan yaitu hanya
sebesar 1,86 persen dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2006 sebesar
4,52 persen.

Tabel 17 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006

Sektor Pertumbuhan ( %)
2004 2005 2006
Pertanian 6,18 1,86 4,52
Pertambangan & Penggalian 4,33 4,16 2,50
Industri Pengolaha 7,94 6,18 1.74
Listrik, Gas dan Air Bersih 4,04 11,41 14,98
Bangunan 5,47 4,97 11,17
Perdagangan dan Akomodasi 5,77 30,17 1,37
Angkutan dan Komunikasi 7,54 2,17 7,84
Keuangan & Jasa Perusahaan 15,96 5,88 12,70
Jasa-jasa 6,99 4,15 32,69
PDRB 6,95 7,24 7,25
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

Pada tahun 2006, pertumbuhan yang paling besar dialami oleh sektor jasa-
jasa yaitu sebesar 32,69 persen jauh melesat dari tahun 2005 yang hanya 4,16
persen. Kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju
pertumbuhan sebesar 14,98 persen. Sektor yang mengalami kenaikan terendah
pada tahun 2006 adalah perdagangan dan akomodasi yaitu hanya sebesar 1,37
persen.

5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan


Kawasan Agropolitan randangan terletak di Kabupaten Pohuwato yang
merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di Provinsi Gorontalo. Peta
Kawasan Agropolitan Kabupaten Pohuwato disajikan pada Halaman 69.
67

Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato memiliki luas


sekitar 44.982 ha atau sekitar 10,60 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari
Luas Kawasan agropolitan Randangan, sekitar 10,87 persen dari luas kawasan
agropolitan di tanami dengan komoditi jagung (lahan jagung 4.889,5 ha dan lokasi
pendukung lainnya seperti pasar, terminal. Warung dan ruko 36.053,43 m2).
Sistem jaringan jalan kawasan Agropolitan berpola linier sepanjang jalan utama
Trans Sulawesi.

5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan


Jumlah penduduk di kawasan agropolitan randangan 13.071 orang dengan
tingkat pertumbuhan 1,2 persen per tahun dengan mata pencaharian dominan
sebagai petani (70%) dan sisanya pedagang, nelayan, tukang, PNS, swasta, dan
lain-lain. Penduduk Kawasan Agropolitan Randangan terdiri dari berbagai suku
bangsa yang terdiri dari masyarakat transmigran dan masyarakat Gorontalo.
Perekonomian penduduk pada umumnya beraktifitas pada kegiatan jual
beli hasil pertanian yang didominasi pembeli (tengkulak), hal ini akan sangat
merugikan petani karena petani berada pada posisi tawar yang lemah. Selain itu
sarana dan prasarana penunjang pemasaran hasil pertanian yang belum sempurna,
sehingga mereka terpaksa menjualnya pada tengkulak. Aktifitas sosial dan budaya
penduduk kawasan ditunjang dengan keberadaaan fasilitas penunjang seperti
lapangan olahraga, rekreasi, peribadatan, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan
sarana air bersih sebagai media interaksi sosial.

5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil


Proyek fisik yang dibangun dalam kawasan ini berupa jaringan jalan
penghubung dari sentra produksi di lahan perkebunan jagung dengan lebar seketar
3 m dan perkerasan penetrasi aspal. Keseluruhan panjang jalan yang dibangun
adalah 6,8 Km. Proses usulan untuk pengaspalan jalan ini berasal dari usulan
warga melalui wakil kelompok, kemudian disampaikan pada proyek agropolitan.
Fasilitas lainnya yang dibangun adalah : terminal agropolitan di kota Randangan
oleh dinasKimpraswil dan perpanjangan penetrasi jalan di dalam kawasan. Konsep
ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat di kawasan.
68

Prasarana Sarana Kimpraswil (PSK) yang dibangun di wilayah


Agropolitan berupa jalan penghubung sentra produksi ke jalan penghubung ke
pusat Kecamatan yakni kota Randangan, disamping itu juga dibangun fasilitas
terminal agrobisinis di kota randangan. Pembangunan PSK sudah dibangun sejak
tahun 2002 dan masih terus berlangsung.

Tabel 18 Pekerjaan Fisik dan Non-Fisik di Kawasan Agropolitan Randangan


Kabupaten Pohuwato
Provinsi /
No Kabupaten / Kec. / Pekerjaan Volume
Kawasan
1 GORONTALO
Kab.Pohuwato PENYUSUNAN RENCANA TEKNIS
1.Penyusunan Master Plan Kawasan
Kec.Randangan Agropolitan 1 Paket
2.Identifikasi kebutuhan P&S Kimpraswil 1 Paket
untuk mendukung Kawasan
Agropolitan
3.Penyusunan DED Kws, Agropolitan
TA. 2003 1 Paket
PEKERJAAN FISIK :
1.Peningkatan jalan poros desa (Lapen) 8,081 M'
2.Pembangunan kios pasar 20 unit
3.Pelataran dan prasarana pasar 1 unit
Sumber: Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005.
Gambar 8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato
70

5.3.3. Pola Penggunaan Lahan


Kawasan Agropolitan Randangan terdapat di Kabupaten Pahuwato.
Kawasan ini sebelumnya dikenal sebagai Kawasan Agropolitan Boalemo. Dengan
dimekarkannya Kabupaten Boalemo menjadi Kabupaten Pohuwato dan
Kabupaten Boalemo maka posisi kawasan agropolitan saat ini ada di Kabupaten
Pohuwato dengan pusat tetap di Kecamatan Randangan. Secara agroklimat lokasi
Kawasan Agropolitan Randangan sangat cocok untuk komoditi tanaman jagung,
demikian juga dari sistem budaya pertanian maka usaha tani di bidang komoditi
tanaman jagung merupakan kegiatan pertanian turun temurun mengingat makanan
pokok masyarakat berasal dari jagung. Penggunaan lahan Kecamatan Randangan
sebagai kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato disajikan
pada Tabel 19.

Tabel 19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan


No Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan

1 Sawah 140
2 Pekarangan 985
3 Tegalan/Kebun 863
4 Ladang/Huma 1.630
5 Perkebunan 594
6 Hutan Rakyat 1.115
7 Hutan Negara 29.177
8 Lain-lain Penggunaan 10.378
Total Luas Lahan 44.982
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006

5.3.4. Produk/ Komodoti Unggulan


Komoditas unggulan di kawasan agropolitan dan non agropolitan adalah
jagung, namun petani juga mengusahakan tanaman lain seperti padi, palawija,
sayuran, kelapa, kopi dan kakao. Selama ini pemasaran hasil usaha taninya
dipasarkan di sekitar kawasan di sekitar Gorontalo, namun sebagian hasil taninya
juga diekspor ke negara tetangga, seperti Philipina dan Malaysia melalui
perusahaan eksportir di wilayah itu. Kawasan Agropolitan Randangan terletak di
Kabupaten Pohuwato yang merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di
71

Provinsi Gorontalo. Kawasa Agropolitan Randangan mencakup 10 desa dengan


pusat pengembangan di Ibu Kota Kecamatan Randangan yaitu desa Motolohu.
Komoditas unggulan berupa pertanian jagung.

Tabel 20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten


Pohuwato
Komoditas Daerah Sistem Usaha
Pengembangan Kawasan
Unggulan Pemasaran Agribisnis
Padi, jagung, Filipina, Agribisnis hulu, Sarana prasarana
palawija, sayuran, Malaysia dan Usaha tani, kawasan, SDM,
kelapa, kopi dan sekitar pengolahan hasil, pemodalan, kelembagaan
kakao Gorontalo pemasaran hasil dan usaha tani
dan jasa
penunjang
Sumber : Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005

Sarana Prasarana yang ada dalam kawasan agropolitan berupa prasarana


jalan, sarana pendidikan, agama, kesehatan pasar dan jalan. Panjang prasarana
jalan yang dibangun pada tahun anggara 2002 oleh Kimpraswil Pusat lebar 3
meter dengan panjang total 6,8 km, selain itu dibangun terminal agribisnis seluas
1 Ha serta silo yang dibangun oleh PT. Fitra Mandiri sebuah BUMD dari
Provinsi Gorontalo yang bergerak dalam bidang pengumpulan jagung (pembeli).
Komoditas unggulan berupa Jagung yang dikembangkan di kawasan ini. Sebagian
besar masyarakat di kawasan agropolitan menanam jagung baik di lahan
pekarangan maupun di lahan kebun yang jaraknya cukup jauh (4 km) dari
lingkungan pemukiman. Selain itu dilakukan juga penanaman di sela-sela
tanaman kelapa.

5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan


Karakteristik aktivitas pertanian pada dasarnya dapat dipilah berdasarkan
bagian-bagian subsistem dari suatu sistem agribisnis secara keseluruhan. Berikut
ini adalah karakteristik aktivitas pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan
berdasarkan karakteristik subsistem penunjang, subsistem produksi, subsistem
pengolahan dan subsistem distribusi/pasar.
72

5.4.1. Subsistem Penunjang


Berdasarkan data-data sekunder yang berhasil dikumpulkan dan hasil
wawancara dengan para petani di Kawasan Agropolitan, nampak bahwa subsistem
penunjang seperti lembaga keuangan, keberadaan dan fungsinya masih sangat
terbatas. Berdasarkan hasil wawancara hampir 100% responden menyatakan
bahwa mereka tidak pernah melakukan pinjaman ke lembaga keuangan tertentu.
Mereka lebih banyak memakai modal sendiri atau meminjam dari pedagang
pengumpul desa (tengkulak). Dari data sekunder di peroleh keberadaan bank di
Kabupaten Pohuwato cukup tersedia, di Marisa sebagai ibukota Kabupaten
Pohuwato terdapat 7 Bank baik swasta maupun bank pemerintah. Di Kecamatan
Randangan sendiri terdapat 1 unit Bank Rakyat Indonesia, namun keberadaan
Bank Rakyat Indonesia unit Kecamtan Randangan belum berpengaruh karena
belum tersedianya skim kredit untuk para petani. Lembaga KUD sebagai sarana
keuangan petani juga belum banyak membantu karena lemahnya manajemen
sehingga belum dapat berfungsi secara baik. Hal ini tentunya akan sangat
menghambat perkembangan pertanian di kawasan agropolitan apabila tidak segera
diupayakan solusinya. Untuk lembaga penyuluhan rata-rata sudah terdapat di
setiap desa, dan fungsinya cukup dapat dirasakan oleh petani, hal ini dapat dilihat
dengan adanya penggunaan tekonolgi dalam proses produksi sehingga terjadi
peningkatan produksi. Namun. Akses terhadap capital market yang sangat terbatas
tentunya akan menghambat transformasi pertanian ke arah agribisnis.

5.4.2. Subsistem Produksi

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, diketahui bahwa


untuk subsistem produksi dan penunjangnya relatif tidak terlalu bermasalah.
Dengan adanya penyuluhan membuat petani mulai beralih pada penggunaan
tekologi dalam proses produksi. Upaya penyuluhan yang dilakukan mulai
direspon oleh petani sehingga terjadi peningkatan hasil produksi. Ketersediaan
saprotan (sarana produksi pertanian) juga cukup baik, mulai dari benih, pupuk,
dan pestisida. Petani bisa dengan mudah membeli saprotan di pasar terdekat,
selain itu juga terdapat banyak toko atau kios yang menjual saprotan.
73

Permasalahan yang dihadapi dalam proses produksi adalah waktu


penanaman yang relatif bersamaan. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan dan
penawaran akan sangat perpengaruh terhadap harga jual komoditas. Disaat panen
raya maka harga akan cenderung untuk turun.
Kelemahan utama dari subsistem produksi yang demikian adalah sulitnya
suatu kawasan untuk melakukan pengaturan penanaman dalam satu kawasan guna
menghindari fluktuasi harga pasar. Selain itu untuk memperoleh volume produksi
yang bisa mencukupi skala ekonomi pertanian yang berorientasi industri juga sulit
untuk dilakukan. Akibatnya subsistem produksi ini sangat dipengaruhi oleh
fluktusi harga pasar dan akibat lainnya adalah industri pengolahan menjadi tidak
berkembang di kawasan tersebut karena volume bahan baku yang tidak stabil dan
tidak mencukupi.

5.4.3. Subsistem Pengolahan


Subsistem pengolahan di kawasan agropolitan sampai sejauh ini ternyata
belum banyak berkembang. Dalam beberapa kesempatan memang sempat
dipamerkan produk olahan beberapa produk olahan seperti keripik singkong,
dodol jagung. Namun hasil pengolahan ini masih dalam tahapan industri kecil
rumah tangga dimana volume produksinya masih kecil, pasarnya masih terbatas
dan belum luas, serta produksinya juga belum kontinyu. Khusus untuk dodol
jagung, karena masih terbatasnya teknologi yang digunakan sehingga belum dapat
dipasarkan secara luas karena masalah daya tahan dan kualitas sehingga hanya
diproduksi jika ada pesanan atau order.
Belum berkembangnya industri pengolahan menyebabkan petani lebih
suka menjual langsung produknya ke pasar. Selain karena didesak kebutuhan,
penjualan hasil panen dalam bentuk biji jagung langsung ke pasar sampai sejauh
ini juga masih besar tingkat permintaannya. Meskipun harga seringkali
mengalami fluktuasi, namun pasar untuk komoditas jagung dalam bentuk biji
jagung sudah relatif lebih jelas dan sudah berlangsung sekian lama.

5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar


Kawasan agropolitan Randangan mempunyai 1 pasar permanen sebagai
tempat penjualan atau outlet penjualan jagung yang terletak di Pusat Desa
74

Pertumbuhan yaitu Desa Motolohu. Tetapi sebagian besar aktivitas pemasaran di


kawasan agropolitan masih dikuasai oleh pedagang perantara/tengkulak. Sistem
pemasaran jagung di kawasan agropolitan masih didominasi oleh tengkulak.
Distribusi pemasaran jagung di kawasan agropolitan meliputi : pedagang
pengumpul tingkat desa selanjutnya pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan
ke eskportir di wilayah tersebut.
Hal ini menyebabkan petani berada dalam posisi yang lemah dalam
menentukan harga dimana petani hanya sebagai pengambil harga saja, atau harga
masih ditentukan oleh pihak pedagang. STA yang ada di kawasan agropolitan
masih belum berfungsi dengan baik. Dimana petani masih enggan menjual hasil
produksi ke STA karena harga jualnya masih berada di bawah harga jual
pedagang pengumpul.

5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan Randangan


Peranan pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan kawasan
agropolitan didasarkan pada UU No 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007
sebagai penyempurnaan dari UU No 22 tahun 1999 dan PP No 25 tahun 2000,
dimana masing-masing mempunyai tugas dan wewenangnya sendiri. Peran
Pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga di tingkat
pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten yang terkait dengan pengembangan
kawasan.
Hasil studi dari SK Sarana dan Prasana Desa Departemen PU (2005),
selama 3 tahun di fasilitasi oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provisi maunpun Pemerintah Kabupaten, berdasarkan hasil survey lapangan
berbagai program yang dilaksanakan baik fisik maupun non-fisik pada berbagai
bidang ekonomi, pertanian, perkebunan, kehutanan, transportasi, koperasi usaha
kecil dan menengah serta bidang-bidang lainnya. Program fisik yang paling
banyak dilaksanakan di berbagai kawasan adalah pembangunan infrastruktur
jalan, sub terminal, pasar desa, pasar kabupaten, pasar agropolitan, dan saluran
irigasi sedangkan program non-fisik antara lain adalah peningkatan wawasan dan
etos kerja serta peningkatan keterampilan masyarakat.
75

5.5.1. Dinas Pertanian


Dalam rangka menunjang program pembangunan pertanian yang menjadi
prioritas di Gorontalo, Dinas Pertanian sebagai pelaksana teknis dari program
agropolitan melaksanakan berbagai program untuk menunjang kelancaran
pengembangan kawasan agropolitan melalui dinas pertanian. Adapun penjabaran
dari berbagai progran tersebut dapat dilihat pada tabel berkut :

Tabel 21 Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi Gorontalo


Tahun 2002-2004
No Bidang / Sektor / Kegiatan Lokasi Dana (xRp.000)
Pengembangan agropolitan
1. Pengembangan ekstensifikasi jagung 4 kab, 1 kota 1.032.527
2. Pengembangan intensifikasi jagung 4 kab, 1 kota 2.527.750
3. Promosi pembangunan pertanian 4 kab, 1 kota 86.916
4. Pengadaan buffer stok pestisida 4 kab, 1 kota 75.000
5. Pengembangan alat dan mesin pertanian 4 kab, 1 kota 825.000
6. Pembinaan kelompok tani penangkar 4 kab, 1 kota 21.400
benih jagung
7. Pembinaan UPJA 4 kab, 1 kota 18.655
8. Posko Agropolitan 4 kab, 1 kota 520.479
9. Show windows 4 kab, 1 kota 250.000
10. Pameran ALSINTAN Provinsi 25.000
11. Pembangunan blending plant pupuk Provinsi 2.000.000
12. Pengembangan peralatan dan lahan pertanian Provinsi 5.000.000
13. Pengadaan mesin dryer jagung Provinsi 1.500.000
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, 2004

Khusus kawasan agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato , berbagai


kegiatan atau program telah dilaksanakan oleh instasi yang terkait dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Dinas Pertanian dan Dinas Permukiman dan
Prasarana Wilayah berkoordinasi dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Karena sifatnya yang lintas sektoral, pengembangan agropolitan menuntut adanya
koordinasi antar departemen yang bisa menjamin alokasi sumberdaya
pembangunan secara efektif efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya
departemen sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti dijalankannya tugas
dan fungsi itu secara hemat. Adapun Program yang dilaksanakan oleh Dinas
Pertanian terkait dengan tugas dan fungsinya yaitu memperkuat atau
76

meningkatkan kegiatan dalam on farm (peningkatan produksi) dan penguatan


kelembagaan petani.

Tabel 22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005
No Kegiatan / Program Dana (000)
Pengembangan agropolitan
1. Bantuan benih jagung hibrida/komposit dan arana lainnya 1.423.279
2. Pelatihan Penangkar benih jagung 5.000
3. Pelatihan sekolah lapang pengendali hama terpadu hama terpadu 10.000
4. Peningkatan mutu intensifikasi padi sawah seluas 100 ha di 3 97.000
kecamatan
5. Pemanfaatan lahan tidur untuk tanaman jagung 200.000
6. Bantuan bibit vanili bagi KK tani prasejahtera 100.000
7. Penunjang kegiatan posko agropolitan jagung 46.000
Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Petani
1. Peningkatan SDM petani Kakao 32.000
2. Penyediaan dana pendamping Dana Pemguatan Modal 262.000
3. (DPM) Lembaga
4. Pemberdayaan penyuluh dan kelembagaan penyuluh 150.000
5. Pengadaan sarana transportasi roda 2 bagi penyuluh 35.000
Sumber : Lakip Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato, 2005

5.5.2. Dinas Kimpraswil


Untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan diperlukan sarana
dan prasarana yang memadai. Untuk menunjang kegiatan disektor pertanian,
penyediaan sarana dan prasarana fisik sangat diperlukan untuk menunjang
aksebilitas masyarakat terhadap sumberdaya dan pasar. Dinas Kimpraswil
melaksanakan beberapa program guna menunjang pelaksanaan pengembangan
agropolitan sesuai dengan fungsinya sebagai penyedia sarana dan prasarana
publik. Adapun beberapa kegiatan dari Dinas Kimpraswil sebagai ujung tombak
pelaksanaan agropolitan adalah sebagai berikut :
77

Tabel 23 Kegiatan Dinas Kimprawil dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan Randangan Tahun 2002 - 2006
No. Tahun Program Volume Biaya
1 2002 Peningkatan Jalan Poros Desa 3.081 m 390.690.000
2 2002 Perbaikan Pasar Desa 3 Unit 299.940.000
3 2003 Peningkatan Jalan Poros Desa 5.081 m 1.616.200.000
4 2003 Pembangunan Kios Pasar 20 Unit
5 2003 Pembangunan Pelataran dan 1 Paket 200.000.000
Prasarana Pasar 170.459.000
6 2004 Pembangunan Terminal 1 Paket
Randangan
Pembangunan Pasar Hewan
7 2006 1 Paket
Pemagaran Keliling
8 2006 1 Paket
Peningkatan jalan usaha tani
9 2006 1.700 m 216.485.000
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2006

5.5.3. Fasilitasi Pemerintah Daerah


Selanjutnya untuk menjaga harga dari permainan tengkulak, pemerintah
daerah dalan hal ini pemerintah provinsi Gorontalo melaksanakan kebijakan
kepastian harga di tingkat petani melalui Limited Government Intervention
Policy. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah menetapkan harga dasar jagung
ditingkat petani sebesar Rp 700,- per kg yang sebelumnya hanya dihargai sebesar
Rp.400,- per kg melalui Surat Keputusan Gubernur No 370 Tahun 2002 tentang
Harga Jual Jagung dalam Wilayah Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2006 SK ini
kemudian di perbaharui melalui SK Gubernur No 119 tahun 2006 tentang Harga
jual jagung dalam wilayah provinsi Gorontalo, dengan penetapan harga Rp 850 di
tingkat petani dan Rp 950 di tingkat pedagang (gudang). Dengan adanya jaminan
harga dari pemerintah membuat petani memperoleh kepastian harga sehingga
meningkatkan keinginan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu secara
perlahan pergerakan harga mulai terlihat dimana sejak tahun 2005 harga jagung
tidak pernah berada di bawah angka Rp.1000,- per kg.
Dengan semakin meningkatnya harga jual jagung semakin mendorong
petani untuk meningkatkan hasil produksi sehingga tujuan pemerintah untuk
meningkatkan perluasan dan produksi jagung menjadi semakin dipermudah.
78

Tabel 24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan


Kawasan
Aspek Agropolitan Non Agropolitan
(Kecamatan (Kecamatan
Randangan Taluditi)
Luas Lahan (Ha) 44.982 Ha 15.997
Jumlah Penduduk (orang) 13.071 6.321
Komoditas Utama
- Tanaman Pangan Jagung Jagung
- Perkebunan Kelapa Kacao
Kelembambagaan Pertanian
- Jumlah kelompok tani (unit) 65 46
- Jumlah Penyuluh Lapangan (orang) 13 9
Infrastruktur
- Jalan desa tersedia tersedia
- Jalan Usaha tani tersedia belum tersedia
- Telekominukasi tersedia belum tersedia
- Ketersediaan Pasar tersedia tersedia
- Listrik tersedia tersedia
Lembaga Keungan
- Bank tersedia belum tersedia
- Koperasi Unit Desa tersedia tersedia
Sumber : - BPS Kabupaten Pohuwato
- Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato

5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi


Kawasan non agropolitan yaitu Kecamatan Taluditi memiliki luas 15.997
ha atau sekitar 3,77 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari luas Kecamatan
Taluditi sekitar 17,41 persen dari luas kawasan ditanamani dengan tanaman
jagung. Jumlah penduduk Kecamatan Taluditi sebagai kawasan non sebanyak
6.321 orang dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan kecamatan
Randangan. Sama halnya dengan kawasan agropolitan Randangan mata
pencaharian penduduk kawasan non agropolitan adalah dominan petani yaitu
mendekati 70 persen dan sisanya adalah sebagai pedagang, tukang, PNS, swasta
dan lain-lain.
Perekonomian penduduk pada umumnya bertumpu pada aktivitas jual beli
produk pertanian yang didominasi oleh pedagang perantara tingkat desa
(tengkulak). Sarana prasarana penunjang pemasaran belum tersedia dengan baik
79

di kawasan non agropolitan. Demikian halnya dengan prasarana kesehatan,


pendidikan dan prasarana sosial lainnya. Sarana prasarana kimpraswil berupa
jalan akses atau jalan usaha tani belum tersedia meskipun jalan-jalan penghubung
antar desa sudah tersedia secara memadai. Adapun penggunaan lahan di kawasan
non agropolitan adalah sebagai berikut :

Tabel 25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi


No Penggunaan Lahan Kawasan
Non Agropolitan
1 Sawah 850
2 Pekarangan 626
3 Tegalan/Kebun 5.150
4 Ladang/Huma 527
5 Perkebunan 2.479
6 Hutan Rakyat 310
7 Hutan Negara 211
8 Lain-lain Penggunaan 5.844
Total Luas Lahan 15.997
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006

Komoditas yang banyak dikembangkan di kawasan ini adalah jagung serta


komoditi perkebunan kakao dan kopi. Pemasaran komoditas jagung dikawasan ini
sama seperti kawasan agropolitan randangan didominasi oleh tengkulak yang
berperan sebagai pengumpul jagung tingkat desa. Karena kekurangan modal
usaha, petani kawasan non agropolitan biasanya meminjam kepada pedagang desa
dengan konsekuensi hasil tani harus dijual kepada pedagang tersebut.
VI. DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN

6.1. Analisis Ekonomi Wilayah


Analisis basis ekonomi atau sering disebut analisis komparatif wilayah
Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato melalui analisis LQ dipandang perlu
untuk mengetahui sektor-sektor unggulan wilayah. Disamping itu juga untuk
mengetahui apakah komoditi unggulan jagung yang dijadikan sebagai entry point
pengembangan agropolitan merupakan sektor basis atau non basis. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya, analisis LQ sering digunakan untuk mengestimasi sektor
yang memiliki karakteristik yang dapat membawa sejumlah unit uang kepada
masyarakat melalui ekspor barang dan jasa. Dari hasil analisis LQ dari setiap
sektor yang ada berdasarkan nilai PDRB Provinsi Gorontalo tahun 2000 sampai
tahun 2006, terlihat bahwa ada 4 sektor yang merupakan sektor basis karena
memiliki nilai LQ lebih dari 1 yaitu sektor pertanian, bangunan, pengangkutan
dan jasa-jasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sub sektor
tanaman bahan makanan merupakan sektor basis sebelum dan sesudah program
agropolitan, dengan nilai LQ yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Tahun 2000 nilai LQ sektor pertanian adalah sebesar 1,99 dan setelah
program agropolitan nilai LQ terus meningkat dimana LQ tertinggi terjadi pada
tahun 2006 mencapai 2,17. Hal ini di mungkinkan karena luas lahan pertanian di
Provinsi Gorontalo masih sangat potensial untuk dikembangkan. Dimana dari
luas wilayah Provinsi Gorontalo 1.221.544 Ha terdapat potensi lahan pertanian
sebesar 443.140,28 Ha yang terdiri dari 383.769 Ha lahan kering dan 28.260 Ha
lahan sawah.

Tabel 26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi Gorontalo


No Kabupaten/Kota Lahan Sawah Lahan Kering Total Lahan
(Ha) (Ha) (Ha)
1 Kab. Gorontalo 3.981 157.113,62 184.667,85
2 Kab. Boalemo 18.458 64.426,38 72.174,38
3 Kab. Pohuwato 3.035 112.159,00 133.819,00
4 Kab. Bone Bolango 1.846 44.496,06 45.951,05
5 Kota Gorontalo 940 5.574,00 6.528,00
Jumlah 28.260 383.769,06 443.140,28
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007
81

Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa komoditi Jagung dan Padi
merupakan komoditi basis di Provinsi Gorontalo. Jagung sebagai komoditi
unggulan daerah merupakan sektor basis dimana nilai LQ jagung sebelum
agropolitan tahun 2000 sampai 2002 nilai LQ jagung mengalami trend yang
cenderung menurun yaitu bernilai 4,62 tahun 2000, dan 3,62 tahun 2002. Namun
setelah program agropolitan bergulir trend LQ komoditi jagung mulai mengalami
peningkatan yaitu bernilai 4,48 tahun 2003 dan 6,34 tahun 2006. Peningkatan nilai
LQ komoditi jagung disebabkan karena terjadinya perluasan lahan jagung dan
peningkatan produksi jagung, dimana dari tahun 2001 produksi jagung adalah
sebesar 81.720 ton meningkat menjadi 416.222 ton pada tahun 2006. Nilai LQ
komoditi jagung sempat mengalami penurunan pada tahun 2004. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena turunnya ekspor komoditi jagung pada tahun
2004 yang hanya mencapai 12.310 ton.

Tabel 27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo 2001 - 2007
No Tahun Eksport (Ton) Antar Pulau (Ton)
1 2001 6.300 -
2 2002 6.700 -
3 2003 18.950 48.754
4 2004 12.310 15.244
5 2005 35.960 91.601
6 2006 21.573 109.606
7 2007* 41.116 49.871
Ket : * Keadaan tanggal 15 Juli 2007

Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007.

Berdasarkan perkembangan diatas mengindikasikan bahwa sejak program


agropolitan bergulir sektor pertanian termasuk sub sektor bahan makanan dan
komoditi jagung mampu memberikan kontribusi yang cukup terhadap
perekonomian wilayah Gorontalo, karena mampu mendatangkan sejumlah
pendapatan dari luar wilayah Gorontalo.
Sektor pertambangan dan sektor listrik dan air bersih bukan merupakan
sektor basis di Provinsi Gorontalo. Hal ini kemungkinan disebabkan karena SDM
Gorontalo masih sangat terbatas, dimana pengelolaan sektor ini masih
82

menggunakan teknologi sederhana sehingga hasilnya belum mampu mencapai


produktivitas yang maksimal.
Selanjutnya sektor industri pengolahan, perdagangan dan keuangan yang
terkait erat dengan program agropolitan basis jagung merupakan sektor non basis
di Provinsi Gorontalo. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena belum
berkembangnya industri yang terintegrasi di provinsi Gorontalo yang terkait dari
sektor hulu sampai ke hilir. Kebanyakan produk pertanian yang merupakan input
bagi sektor industri merupakan komoditi ekspor yang dikirim sebagai bahan
mentah. Demikian halnya dengan komoditas jagung yang merupakan entry point
dari program agropolitan masih diekspor sebagai produk bahan mentah sehingga
belum ada keterkaitan ke depan yang dapat menarik sektor-sektor ekonomi yang
lain. Kedepannya harus dikembangkan industri pengolahan yang berbasis pada
potensi daerah seperti pengolahan industri tepung jagung atau pakan ternak
sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi perekonomian
wilayah.
Untuk sektor bangunan dan pengangkutan juga merupakan sektor basis di
Gorontalo meskipun dari tahun ke tahun mengalami trend yang menurun. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena Provinsi Gorontalo masih didominasi oleh
daerah pertanian yang identik dengan perdesaan sehingga jika di bandingkan
dengan daerah industri atau perkotaan perkembangan sektor bangunan dan
pengangkutan lebih besar di perkotaan dibanding perdesaan. Setelah
pengembangan agropolitanpun terlihat kecenderungan penurunan nilai LQ kedua
sektor ini, hal ini mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan kedua sektor ini di
daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan.
Sektor jasa-jasa merupakan sektor basis di Provinsi Gorontalo, nilai LQ
sektor ini sedikit mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini mengindikasikan bahwa perkembangan sektor jasa-jasa cukup baik di Provinsi
Gorontalo dan sejak pengembangan agropolitan terlihat bahwa sektor jasa mulai
berkembang. Lebih lanjut mengenai perkembangan nilai LQ Provinsi Gorontalo
dapat dilihat pada Tabel 28.
83

Tabel 28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006


Lapangan Usaha Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian 1,99 2,02 2,08 2,07 1,95 2,10 2,17
Tan.Bahan Makanan 1,61 1,63 1,72 1,79 1,77 1,95 2,04
- Jagung 4.62 4,11 3,62 4,48 4,29 5.75 6,34
- Padi 1,91 1,42 1,03 1,03 0,96 1,29 0,93
Pertambangan 0,06 0,07 0,08 0,09 0,09 0,10 0,11
Industri Pengolahan 0,45 0,37 0,36 0,35 0,33 0,34 0,30
Listrik dan Air Bersih 0,94 0,97 0,94 0,91 0,91 0,93 0,87
Bangunan 1,47 1,42 1,36 1,35 1,23 1,24 1,26
Perdagangan 0,99 0,98 0,96 0,91 0,83 0,83 0,82
Pengangkutan 2,03 2,09 1,73 1,60 1,62 1,62 1,53
Keuangan 0,79 0,77 0,81 0,94 0,99 0,92 0,92
Jasa-jasa 1,58 1,75 1,86 1,90 1,78 2,03 2,06
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Pengembangan agropolitan berbasis jagung juga memberikan pengaruh


yang cukup signifikan terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Pohuwato
sebagai kawasan Agropolitan, dimana sejak memisahkan diri dari kabupaten
Boalemo sebagai kabupaten induk sejak tahun 2003 mulai terlihat gejala
pergeseran basis ekonomi. Sebelum agropolitan tahun 2000 sampai tahun 2002
Pohuwato masih merupakan bagian dari Kabupaten Boalemo, berdasarkan
analisis LQ ternyata terdapat 3 sektor yang merupakan basis perekonomian
wilayah Kabupaten Boalemo yaitu sektor pertanian, bangunan dan jasa-jasa. Dan
sejak tahun 2004 setelah program agropolitan, disaat Pohuwato sudah merupakan
daerah otonom yang berdiri sendiri sebagai suatu kabupaten, terlihat bahwa
terdapat 5 sektor yang menjadi basis perekonomian wilayah yaitu sektor
pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, dan perdagangan.
Sektor jasa yang sebelumnya menjadi sektor basis di kabupaten Boalemo menjadi
sektor non basis di Kabaputen Pohuwato. Hal ini dimungkinkan karena sebagai
kabupaten yang baru dimekarkan sektor jasa belum berkembang dengan baik di
84

Kabupaten Pohuwato. Hasil analisis LQ Kabupaten Boalemo dan Pohuwato di


sajikan dalam Tabel 29.

Tabel 29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003 dan


Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 - 2006
Kabupaten Boalemo Kabupaten Pohuwato

Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006


Pertanian 1,24 1,24 1,24 1,30 1,71 1,55 1,50
Tan.Bahan Makanan 1,11 1,28 1,35 1,56 1,64 1,59 1,55
- Jagung 3,05 3,86 3,98 4,11 5,41 2,83 3,08
- Padi 0,48 0,60 0,85 1,15 0,65 0,81 0,42
Pertambangan 0,80 0,76 0,69 0,61 0,84 0,76 0,70
Industri Pengolahan 0,50 0,59 0,60 0,59 7,53 6,95 6,36
Listrik dan Air Bersih 0,45 0,58 0,64 0,95 1,31 1,32 1,50
Bangunan 1,33 1,34 1,33 1,29 1,12 1,07 1,06
Perdagangan 0,68 0,77 0,76 0,76 1,11 1,32 1,24
Pengangkutan 0,60 0,53 0,60 0,59 0,37 0,33 0,33
Keuangan 0,87 0,90 0,89 0,82 0,85 0,74 0,94
Jasa-jasa 1,42 1,22 1,14 1,07 0,48 0,45 0,50
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Sektor pertanian dari tabel diatas sejak tahun 2000 memiliki nilai LQ lebih
besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor
andalan memang sudah menjadi sektor basis sejak belum adanya program
agropolitan. Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung juga
berkontribusi terhadap ekonomi Kabupaten Pohuwato karena nilai LQ berada
diatas 1 sehingga dikategorikan sebagai sektor basis meskipun dua tahun terakhir
terlihat mengalami trend yang menurun. Menurunnya nilai LQ komoditi jagung di
kabupaten Pohuwato kemungkinan disebabkan oleh tingginya produksi yang
berpengaruh pada harga produk, dimana pada akhir tahun 2004 harga jagung
sempat mengalami fluktuasi yang tajam dan sempat hanya dinilai seharga Rp. 675
atau berada dibawah harga dasar pembelian pemerintah yaitu sebesar Rp. 700,-.
Hal ini disebabkan karena kurangnya kontrol pemerintah terhadap harga
pembelian dari para pedagang pengumpul atau tengkulak.
85

Pergeseran basis ekonomi wilayah setelah pengembangan agropolitan


terjadi pada sektor Industri pengolahan, listrik dan air bersih serta sektor
perdagangan. Munculnya basis ekonomi baru ini erat kaitannya dengan
pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato. Hal ini disebabkan karena
program agropolitan memiliki keterkaitan dengan ke 3 sektor ini sebagai
penunjang keberhasilan program agropolitan itu sendiri. Dimana sektor industri
pengolahan dan perdagangan merupakan sektor yang memiliki keterkaitan
kedepan sedangkan listrik dan air bersih merupakan input untuk sektor industri
pengolahan.
Sejak pengembangan agropolitan sektor industri pengolahan menjadi basis
ekonomi daerah Kabupaten Pohuwato. Ini dimungkinkan karena keberhasilan
kegiatan pertanian di kabupaten Pohuwato menyebabkan terjadinya kenaikan
pendapatan masyarakat petani sehingga daya beli masyarakat meningkat. Hal ini
mendorong berkembangnya industri makanan dan minuman skala rumah tangga
di Kabupaten Pohuwato. Bergesernya sektor perdagangan menjadi basis ekonomi
di Kabupaten Pohuwato dimungkinkan karena dengan semakin meningkatnya
produksi pertanian menyebabkan meningkatnya kegiatan perdagangan produk
pertanian terlebih komoditi jagung sebagai produk unggulan daerah.
Sektor listrik dan air bersih juga menjadi sektor basis setelah
pengembangan agropolitan, hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya
tingkat kehidupan masyarakat sejak pengembangan agropolitan sehingga
meningkatkan konsumsi terhadap listrik dan air bersih.
Hasil analisis LQ diatas, memperlihatkan bahwa masing-masing sektor di
Provinsi Gorontalo maupun di Kabupaten Boalemo dan Pohuwato penyebarannya
tidak seragam. Hal ini dimungkinkan karena masing-masing wilayah memiliki
karakteristik dan sumber daya yang berbeda, sehingga kontribusi dari masing-
masing sektor juga berbeda antar wilayah. Dengan adanya perbedaan karakteristik
yang dimiliki, maka upaya pengembangan wilayah haruslah berdasarkan pada
sektor basis yang mempunyai kemampuan memberikan peningkatan pada
perputaran konsumsi yang ada di wilayah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato yang pada akhirnya akan meningkatkan multiplier effect bagi
perekonomian daerah.
86

Karena besarnya peran sektor basis terhadap proses peningkatan output


suatu wilayah melalui proses multiplier, maka sektor basis sering disebut sebagai
leading sector bagi perekonomian daerah. Berdasarkan pemahaman tersebut maka
sektor yang merupakan basis diidentikkan dengan sektor-sektor yang mampu
dikirim ke luar daerah dan dapat menciptakan aliran pendapatan yang berasal dari
luar daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai siklus konsumsi di
wilayah tersebut.
Dari hasil analisis LQ terlihat bahwa perekonomian Gorontalo tidak
mengalami pergeseran basis ekonomi karena tidak terjadi perubahan atau
penambahan sektor basis. Dimana sejak tahun 2000 sampai 2006 hanya terdapat 4
sektor yang menjadi basis ekonomi wilayah yaitu sektor pertanian, bangunan,
pengangkutan dan jasa-jasa. Berbeda halnya dengan Provinsi Gorontalo, di
Kabupaten Pohuwato sejak program agropolitan dicanangkan mulai terjadi
perubahan atau pergeseran basis ekonomi dimana sektor yang menjadi basis
bukan saja berasal dari sektor primer yang mengandalkan sumber daya alam saja
tetapi juga berasal dari sektor sekunder (industri pengolahan, listrik dan
bangunan) dan sektor tersier (perdagangan) yang mengandalkan aktivitas
ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat sudah mulai
berkembang tidak hanya dalam kelompok sektor primer saja tapi sudah merambah
sampai ke kelompok tersier.
Perubahan atau pergeseran basis ekonomi di Kabupaten Pohuwato setelah
pengembangan agropolitan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain
karena sejak pengembangan agropolitan proses on farm dalam masyarakat cukup
berhasil sehingga terjadi peningkatan produksi dan produktivitas lahan pertanian
yang mengakibatkan peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan daya beli masyarakat sehingga aktivitas ekonomi dalam
hal ini perdagangan dapat bergerak. Peningkatan pendapatan masyarakat juga
berpengaruh terhadap industri pengolahan makanan di kabupaten Pohuwato.
Dimana peningkatan pendapatan masyarakat mendorong berkembangnya industri
pengolahan makanan di wilayah ini. Program agropolitan yang mengadakan
penyuluhan dan pelatihan petani penangkar benih juga mendorong bertumbuhnya
industri skala RT dalam penyediaan benih jagung. Selanjutnya peningkatan
87

pendapatan dapat menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan


listrik dan air bersih sehingga terjadi peningkatan konsumsi listrik dan air bersih.
Kendala yang dihadapi oleh Provinsi Gorontalo secara keseluruhan dan
Kabupaten Pohuwato adalah belum berkembangnya industri pengolahan yang
berbasis pada pertanian dalam hal ini komoditi unggulan jagung, dimana hasil
pertanian terlebih khusus komoditi jagung masih diekspor dalam bentuk biji
jagung sebagai bahan baku industri. Permintaan terhadap jagung yang sangat
besar dari daerah lain maupun luar negeri membuka peluang pasar yang bagus
buat komoditi jagung. Dalam jangka pendek, hal ini sangat menguntungkan bagi
Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato karena kelebihan produksi dapat
diekspor sehingga menghasilkan devisa bagi penerimaan daerah yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah tumbuh cepat. Namun dalam jangka
panjang, perlu dirangsang investasi untuk pengembang industri pengolahan
berbasis komoditi unggulan, karena selain dapat menambah nilai tambah juga
dapat mengatasi masalah tenaga kerja diluar sektor pertanian. Pada dasarnya
pembangunan perdesaan tidak akan berhasil sebelum sektor non pertaniannya
berkembang. Hal ini disebabkan karena produktifitas dari sektor primer pertanian
secara relatif cenderung lemah (Rustiadi , 2006).
Selanjutnya melengkapi analisis LQ, untuk melihat pengaruh dari masing-
masing sektor ekonomi terhadap perekonomian Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato dapat dijelaskan dengan analisis shift-share (SSA). Hasil perhitungan
dengan menggunakan SSA untuk tahun 2001 dan 2003 menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo sebelum
pengembangan agropolitan adalah sebesar 0,1378. Jika diamati lebih lanjut lajut,
Sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan,
perdagangan dan sektor pengangkutan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah dari dibandingkan laju pertumbuhan total di Provinsi
Gorontalo. Laju pertumbuhan sektor pertanian 0,0016 lebih rendah dibandingkan
dengan laju pertumbuhan di Provinsi Gorontalo. Sedangkan sektor-sektor seperti
sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, pertambangan, keuangan
dan jasa-jaas memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibandingkan
dengan laju laju pertumbuhan total di Provinsi Gorontalo. Dalam hal ini laju
88

pertumbuhan komoditi jagung 0,2472 lebih besar dibandingkan dengan laju


pertumbuhan di provinsi Gorontalo.
Nilai pergeseran differensial menunjukkan tingkat kompetisi berbagai
sektor perekonomian sebelum pengembangan agropolitan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertambangan, bangunan,
perdagangan, keuangan dan jasa-jasa sebelum agropolitan mempunyai tingkat
competitiveness lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lain. Sehingga untuk
mengembangkan sektor tersebut tidak akan memberikan nilai tambah yang
optimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan sektor sektor
jasa-jasa 0,1527 lebih kecil dibandingkan tingkat tingkat pertumbuhan sektor
tersebut secara umum di Provinsi Gorontalo. Sebaliknya sektor-sektor seperti
pertanian dan turunannya, industri pengolahan, listrik dan air bersih serta
pengangkutan mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar, dalam
arti akan lebih meningkatkan nilai tambah jika di kembangkan.

Tabel 30 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum Agropolitan


Tahun 2001 dan 2003

Pertumbuhan ekonomi 0,1378


Lapangan Usaha Pergeseran Pergeseran
proporsional Differensial

Pertanian -0,0016 0,0568


Tanaman Bahan Makanan 0,0677 0,2627
- Jagung 0,2472 0,0875
Pertambangan 0,1678 -0,2626
Industri Pengolahan -0.0302 0,0074
Listrik dan Air Bersih -0,0233 0,7195
Bangunan -0,0238 -0,0439
Perdagangan -0,0834 -0,0062
Pengangkutan -0,1715 0,1061
Keuangan 0,3255 -0,1260
Jasa-jasa 0,0842 -0,1527
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2001 dan 2003, diolah.
89

Hasil analisis pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo dengan analisis


shift-share pada tahun 2004 dan 2006 (setelah agropolitan) menunjukkan bahwa
laju pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo adalah sebesar
0,1502 yang berarti terjadi peningkatan dibanding periode sebelumnya (sebelum
agropolitan. Setelah program agropolitan ada 7 sektor yang memiliki laju
pertumbuhan yang lebih besar dari laju pertumbuhan total Provinsi yaitu sektor
pertanian, sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor
pertambangan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan sektor jasa-jasa. Hal
ini mengindikasikan bahwa setelah pengembangan agropolitan terjadi perbaikan
kinerja dari sektor-sektor ekonomi di provinsi Gorontalo. Sektor yang mengalami
perubahan atau perbaikan kinerja yaitu sektor pertanian, sektor bangunan, sektor
perdagangan dan sektor pengangkutan.

Tabel 31 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sesudah Agropolitan


Tahun 2004 dan 2006

Pertumbuhan ekonomi 0,1502


Lapangan Usaha Pergeseran Pergeseran
proporsional Differensial
Pertanian 0,0097 -0,0952
Tanaman Bahan Makanan 0,0408 -0,0166
- Jagung 0,9082 -0,8323
Pertambangan 0,0698 -0,1523
Industri Pengolahan -0,1649 0,0951
Listrik dan Air Bersih -0,0793 0,2099
Bangunan 0,0285 -0,0116
Perdagangan -0,0292 0,1988
Pengangkutan 0,0500 -0,0984
Keuangan -0,1142 0,1574
Jasa-jasa 0,1208 0,1111
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2004 dan 2006, diolah.

Selanjutnya setelah pengembangan agropolitan yaitu periode tahun 2004


dan 2006, terjadi perubahan tingkat kompetisi (competitiveness) di Kabupaten
Pohuwato, dimana sektor pertanian dan turunannya (Sub sektor tanaman bahan
makanan dan komoditi jagung) mengalami kinerja yang menurun. sedangkan
90

sektor-sektor tersier yaitu perdagangan, keuangan dan jasa-jasa terjadi


peningkatan kinerja. Hal ini mengindikasikan terjadi setelah agropolitan terjadi
pergeseran keunggulan kompetitif dari sektor primer yang mengandalkan Sumber
daya alam ke sektor sekunder dan tersier yang mengandalkan aktifitas ekonomi.
Namun demikian terlihat juga bahwa sektor pertanian yang menjadi sektor
unggulan masih setelah agropolitan justru mengalami penurunan kinerja yang
menggambarkan daya saing sektor tersebut masih rendah dan perlu mendapat
perhatian serius, karena dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap
perekonomian wilayah.

6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah


Menurut konsep basis ekonomi wilayah, bahwa pertumbuhan ekonomi
pada suatu wilayah terjadi karena adanya efek pengganda (multiplier effect) dari
pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh melalui penjualan barang dan
jasa yang dihasilkan wilayah itu atas penjualan keluar wilayah. Besarnya effek
pengganda pendapatan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam wilayah
tersebut yang ditunjukkan oleh koefisien pengganda pendapatan yang
dihasilkannya. Untuk itu besarnya koefisien pengganda dapat diukur dengan
menggunakan model analisis sebagai berikut :

6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek


Dalam model basis ekonomi, multiplier adalah perbandingan antara
pendapatan non basis dengan total pendapatan daerah sehingga nilai ini
menggambarkan mengenai aktivitas yang dilakukan penduduk pada suatu daerah
dalam perekonomian terhadap total pendapatan. Hasil perhitungan koefisien
pengganda jangka pendek dengan menggunakan model yang telah dikemukakan
sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel memperlihatkan fluktuasi
koefisien pengganda jangka pendek dari tahun 2003 sampai 2006 Provinsi
Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Namun besar kecilnya koefisien pengganda
jangka pendek tidak hanya tergantung pada sektor basis, tetapi juga tergantung
pada sektor non basis. Sehingga fluktuasi nilai pengganda jangka pendek akan
dipengaruhi oleh keseimbangan pertumbuhan antara sektor non basis dan sektor
basis.
91

Nilai koefisien pengganda jangka pendek sektor pertanian dan sub


sektor tanaman bahan makanan serta komoditi jagung Kabupaten Pohuwato lebih
rendah dibandingan dari Provinsi Gorontalo. Nilai pengganda jangka pendek
sektor pertanian Provinsi Gorontalo mencapai nilai tertinggi pada tahun 2005
yaitu sebesar 3,28. Yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor
pertanian sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah
sebesar Rp.328,-. Dan mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,10
yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp.
100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp.310,-.
Sedangkan nilai pengganda jangka pendek sektor pertanian Kabupaten Pohuwato
mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 2,17. Ini berarti bahwa
setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar Rp.100,- akan
menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp. 217,-. Selanjutnya nilai
koefisien pengganda jangka pendek komoditi jagung Provinsi Gorontalo
mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 yaitu sebesar 30,22 dan mencapai nilai
terandah tahun 2005 yaitu sebesar 15,63. Hal ini berarti bahwa pada setiap
perubahan pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp. 3.022,- pada tahun 2004 dan
Rp.1.563.- tahun 2005. Sedangkan untuk Kabupaten Pohuwato, nilai pengganda
pendapatan jangka pendek mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 sebesar 5,59
dan nilai terendah tahun 2006 yaitu sebesar 5,24. Hal ini berarti setiap perubahan
pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan
pada pendapatan daerah sebesar Rp. 559,- pada tahun 2004 dan Rp. 524,- pada
tahun 2006.
Sektor industri pengolahan di Provinsi Gorontalo memiliki nilai LQ < 1
sehingga tidak dapat dilakukan pergitungan koefisien pengganda jangka pendek.
Keadaan ini berarti bahwa sektor ini dalam perekonomian Gorontalo hanya
mampu mensuplai hasilnya untuk kebutuhan dalam perekonomian sendiri atau
bahkan kurang dari yang dibutuhkan oleh perekonomian Provinsi Gorontalo.
Sedangkan nilai koefisien pengganda pendapatan jangka pendek sektor industri
pengolahan di Kabupaten Pohuwato mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006
yaitu sebesar 16,07 dan terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 15,10. Hal ini
92

berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor industri pengolahan


sebesar Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Kabupaten Pohuwato sebesar Rp. 1.607,- pada tahun 2006 dan Rp. 1.510,- pada
tahun 2004. Selanjutnya sektor listrik dan air bersih memberikan dampak
pengganda jangka pendek yang paling tinggi di Kabupaten Pohuwato yaitu pada
sebesar 128,00 pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan
pendapatan pada sektor listrik dan air bersih sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp.12.800,-

Tabel 32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di Provinsi


Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006
Provinsi Gorontalo Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2004 2005 2006
Pertanian 3,17 3,10 3,28 3,26 2,01 2,12 2,17
Tan.Bahan
Makanan 7,39 7,62 7,14 7,02 4,64 4,47 4,54
- Jagung 29,65 30,22 15,63 16,12 5,59 5,51 5,24
- Padi 20,32 - 21,88 - - - -
Pertambangan - - - - - - -
Industri Pengolahan - - - - 15,10 15,25 16,07
Listrik dan Air Bersih - - - - 128,00 123,23 114,94
Bangunan 13,00 13,94 13,61 12,99 12,42 12,69 12,24
Perdagangan - - - - 6,67 5,49 5,81
Pengangkutan 11,57 10,58 9,90 9,68 - - -
Keuangan - - - - - - -
Jasa-jasa 5,73 6,08 5,38 5,25 - - -
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Dari nilai pengganda pendapatan jangka pendek terlihat bahwa sektor


pertanian dan terlebih khusus komoditi unggulan jagung memiliki kontribusi yang
cukup besar terhadap perekonomian Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
meskipun dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan menurun. Berdasarkan
hasil analisis (Tabel 32), terlihat bahwa sektor-sektor primer di Kabupaten
Pohuwato memiliki koefisien pengganda jangka pendek yang lebih kecil
dibandingkan dengan sektor-sektor sekunder dan tersier. Hal ini mengindikasikan
93

bahwa di samping sektor primer sektor-sektor sekunder dan tersier juga memiliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Kabupaten Pohuwato.

6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang


Berdasarkan model pada metodologi maka perhitungan analisis jangka
panjang dapat dilihat pada Tabel 33. Dari tabel terlihat bahwa nilai koefisien
pengganda jangka panjang masing-masing sektor sangat fluktuatif. Sektor
pertanian memiliki nilai koefisien pengganda yang cenderung stabil sepanjang
tahun. Namun sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan,
pengangkutan dan jasa cenderung fluktuatif.

Tabel 33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di Provinsi


Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006
Provinsi Gorontalo Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2004 2005 2006
Pertanian 3,63 3,44 3,65 3,89 2,77 2,83 2,34
Tan.Bahan
Makanan 10,50 9,55 9,17 10,82 12,54 9,58 5,31
- Jagung 160,02 153,42 30.30 83,69 23,21 16,05 6,30
- Padi 108,21 67,89 - - - -
Pertambangan - - - - - - -
Industri Pengolahan - - - - 14,35 18,66 33,10
Listrik dan Air Bersih - - - - 7,80 9,00 42,91
Bangunan 27,08 22,15 23,52 37,17 18,04 24,78 20,12
Perdagangan - - - - 71,53 15,91 7,14
Pengangkutan 21,52 14,72 14,28 18,80 - - -
Keuangan - - - - - - -
Jasa-jasa 7,43 7,25 6,45 7,12 - - -
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007.

Nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian Provinsi


Gorontalo mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,44 dan
tertinggi pada tahun 2006 sebesar 3,89. Angka ini berarti bahwa untuk setiap
perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah Gorontalo sebesar Rp.344,- pada tahun 2004
dan sebesar Rp. 389,- pada tahun 2006. Sedangkan Kabupaten Pohuwato
94

memiliki nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian terendah pada
tahun 2006 yaitu sebesar 2,34 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 2,83.
Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar
Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten
Pohuwato sebesar Rp. 234 pada tahun 2006 dan Rp. 283 pada tahun 2005.
Komoditi Jagung sebagai komiditi unggulan daerah juga memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah meskipun mengalami
kecenderungan yang menurun dimana nilai koefisien jangka panjang komoditi
jagung mencapai nilai tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 160,02 untuk
Provinsi Gorontalo dan tahun 2004 yaitu sebesar 23,21 untuk Kabupaten
Pohuwato. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada komoditi
jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 16.002,- dan Rp.2.321,- untuk Kabupaten
Pohuwato.
Kecenderungan penurunan koefisien pengganda pendapatan ini dapat
dipahami karena belum maksimalnya kinerja dari aspek-aspek yang dapat
menunjang terkait dari sektor hulu sampai sektor hilir. Misalnya, Masih terbatas
pengetahuan petani dan keterbatasan modal menyebabkan pemupukan belum
dilakukan sesuai dengan komposisi yang seharusnya. Hal ini akan berdampak
pada belum maksimalnya produktivitas dari kemampuan optimum benih yang
seharusnya, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tambah petani.
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT

7.1. Karakteristik Masyarakat


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring serta manfaat yang dapat
dirasakan masyarakat dalam setiap program atau kegiatan pembangunan.
Berdasarkan hasil penelitian dari Rompon (2006), ada berbagai penyebab
sehingga kurangnya partisipasi dalam kegiatan pembangunan yaitu faktor internal
yang berkaitan dengan terbatasnya waktu dan faktor eksternal yang berkaitan
dengan kurangnya transparansi penyampaian informasi dalam kegiatan
pembangunan. Disamping itu faktor lain yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat terkait dengan keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

7.1.1. Aspek Ekonomi


Sebagai kawasan pertanian sebagaian besar masyarakat dikawasan
agropolitan memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil sebagai
PNS, pedagang, tukang, nelayan dan lain-lain. Seluruh responden yang terdata
dalam penelitian ini 100% memiliki mata pencaharian utama sebagai petani
pemilik. Dimana 33,33% petani memiliki luas lahan kurang dari 2 Ha, 55,33%
memiliki luas lahan 2 Ha dan 13,33% memiliki lahan lebih dari 2 Ha. Tingkat
pendapatan petani bervariasi antara Rp.7.000.000 per ha per tahun sampai
Rp.12.000.000,- per ha per tahun, dimana sebanyak 43,33% petani memiliki
pendapatan kurang dari Rp.10.000.000,- per ha per tahun dan 56,66% petani
memiliki pendapatan diatas Rp.10.000.000,- per ha per tahun. Karena program
agropolitan sangat terkait dengan petani sebagai pelaku utama maka keterlibatan
petani baik sebagai individu maupun dalam kelompok tani terlihat jelas, misalnya
dengan bergabungnya petani dalam kelompok tani dan aktif menghadiri kegiatan
penyuluhan. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini petani berkaitan dengan
manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini, dimana petani mendapat banyak
informasi tentang usaha tani, teknologi tepat guna dan informasi tentang bantuan
yang diberikan oleh pemerintah sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
96

7.1.2. Aspek Sosial


Dari aspek sosial yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan
dan ketrampilan masyarakat petani, terlihat bahwa sebagian besar petani
dikawasan agropolitan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Responden
petani dalam penelitian memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi yaitu 23,33%
petani memiliki tingkat pendidikan setara SMA sedangkan sisanya 43,33% setara
SMP dan 33,33% SD. Disamping itu, SDM dibidang pertanian yang ada selama
ini bekerja belum berdasarkan pengetahuan dan kemampuan teknis yang
memadai, tetapi hanya berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara
inkremental. Keadaan in sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat
dalam setiap kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan agropolitan.

7.1.3. Aspek Budaya


Budaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat. Dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat. Nilai solidaritas sosial, kekeluargaan,
kebersamaan dan kegotong royongan diantara warga masih melekat dalam
masyarakat tani kawasan agropolitan. Budaya gotong-royong dalam masyarakat
Gorontalo dikenal dengan sebutan huyula . Di bidang pertanian budaya ini terlihat
dari penyiapan lahan hingga panen yang dilakukan secara gotong-royong. Begitu
pula untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, hajatan maupun tertimpa
musibah, masyarakat secara bersama-sama membantu mereka yang mempunyai
hajatan atau tertimpa musibah.

7.2. Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani

Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan


pendapatan masyarakat petani. Untuk mengetahui dampak pengembangan
agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan
pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dan non agropolitan. Kawasan non-
agropolitan yang diambil yaitu di Kecamatan Taluditi yang merupakan daerah
hinterland-nya yang berada dalam satu kabupaten yang sama yaitu kabupaten
Pohuwato. Dalam analisis ini akan dilihat apakah pembangunan infrastruktur yang
97

dilakukan dikawasan agropolitan berdampak terhadap peningkatan pendapatan


petani. Hasil analisis usahatani pada wilayah sampel menunjukkan terdapat
kecenderungan rata-rata tingkat pendapatan petani per hektar per tahun di
kawasan agropolitan lebih tinggi di bandingkan dengan kawasan non agropolitan.
Rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan agropolitan sebesar
Rp.10.080.016,-/ ha per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di
kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- / ha per tahun. Hal ini berarti
bahwa pembangunan infrastruktur agropolitan antara lain dengan pembangunan
jalan dan pasar di kawasan agropolitan mempunyai efek yang berarti terhadap
rata-rata peningkatan pendapatan petani. Lebih jauh hasil uji beda rata-rata dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 34 Hasil Analisis Uji t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan


dan Non Agropolitan
Uraian N Mean Standar Standar
Deviasi Error
Agropolitan 30 10080017 1727609 315417
Non agropolitan 30 5506967 1000130 182598
T –value 12,55
T – tabel 2,045
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007

Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata
95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di
kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan.
Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai
statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan
Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di
Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang.
Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui
pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani
dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida.
Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat
98

memasarkan produksi pertanian langsung di lahan pertanian (dikebun) sehingga


mengurangi atau meminimalisasi ongkos produksi petani. Dalam hal ini biaya
transportasi menjadi tanggungan dari pedagang. Hal ini tidak terjadi di desa non
agropolitan, tidak tersedianya fasilitas jalan usaha tani di Kecamatan Taluditi
menyebabkan tingginya biaya produksi di tingkat petani karena biaya transportasi
dibebankan kepada petani. Hal ini menyebabkan share dari petani / keuntungan
petani yang menjadi pendapatan petani menjadi kecil. Di desa non agropolitan
transaksi atau penjualan hasil panen tidak dilakukan di lahan/lapang tetapi harus
dilakukan digudang, di rumah pedagang perantara atau di jalan desa yang dapat
dijangkau oleh transportasi. Biaya pengangkutan dari kebun ke tempat transaksi
menjadi beban petani. Petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang tinggi
karena tidak tersedianya jalan akses ke pasar dari lokasi produksi. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa petani di desa non agropolitan harus
mengeluarkan biaya pengangkutan rata-rata Rp.1.728.667,- per hektar per tahun
untuk mengangkut hasil panen.

Tabel 35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan

Tahun Luas Lahan Produksi Produktivitas


(Ha) (Ton) (Ton/Ha)
2002 3.717 8.803 2,37
2003 6.517 29.326 4,50
2004 8.418 37.881 4,50
2005 10.263 51.109 5,00
Sumber : - Kecamatan Randangan dalam Angka
- Dinas Pertanian

Pelaksanaan penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pemasaran


dan transportasi signifikan meningkatkan pendapatan petani. Secara hipotetik
faktor yang mempengaruhi pendapatan petani diantaranya adalah meningkatnya
produktivitas, menurunnya biaya usaha tani diantaranya biaya transportasi dan
meningkatnya harga jual komoditi pertanian. Penyuluhan pertanian yang
dilaksanakan sangat membantu petani dalam transfer teknologi sehingga terjadi
peningkatan produktivitas dan hasil produksi. Ini sangat berpengaruh terhadap
peningkatan pendapatan petani karena sebelum agropolitan produksi jagung hanya
99

mencapai 1 - 2 ton per hektar namun setelah program agropolitan terjadi


peningkatan produksi sebesar 5-6 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena petani
mulai menerapkan teknologi dengan menggunakan bibit unggul dan pemupukan
dalam produksi.
Tersedianya infrastruktur transportasi dan pemasaran yang memadai
menyebabkan petani dapat menekan biaya produksi. Di kawasan agropolitan
dengan dibangunnya jalan usaha tani sampai ke sentra-sentra produksi
(hamparan/kebun), memudahkan pengangkutan hasil panen petani dan menekan
biaya transportasi. Fakta dilapangan juga terlihat bahwa rata-rata harga komoditi
jagung di kawasan agropolitan relatif lebih tinggi dari rata-rata harga komoditi
jagung di kawasan non agropolitan.
Jika dilihat dari sumber pendapatan petani responden kawasan agropolitan
dan non agropolitan terlihat bahwa pendapatan dari pertanian merupakan sumber
pendapatan terbesar dan 50 persen lebih sumber pendapatan petani responden
berasal dari usahatani jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan
infrastruktur agropolitan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
masyarakat petani di kawasan agropolitan.

Tabel 36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan


Agropolitan dan Non Agropolitan
Sumber Pendapatan Randangan % Taluditi %
(Rp/Tahun) (Rp/Tahun)
A. On Farm
• Jagung 151.200.250 63,04 82.604.500 53,22
• Kelapa 22.537.500 9,40
• Kakao 42.000.000 26,67
B. Off Farm
• Upah pertanian dan non 30.600.000 12,76 25.200.000 16,24
pertanian
C. Non Farm
• Warung 35.500.000 14,80
• Transportasi (musiman) 6.000.000 3,87
Jumlah 239.837.750 100 155.204.500 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2007


100

Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu tentang evaluasi


agropolitan terlihat bahwa pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato
relatif lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari
Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya melalui program
agropolitan dengan menerapkan berbagai instrumen misalnya dengan aa kebijakan
intervensi harga dari pemerintah.
Namun demikian meskipun terjadi peningkatan pendapatan petani, namun
terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan agropolitan di Kecamatan
Randangan. Pertama, kemampuan permodalan petani yang masih terbatas
sehingga penggunaan pupuk masih belum sesuai dengan dosis. Petani masih
melaksanakan budidaya sesuai dengan kemampuan modal yang ada. Program
agropolitan belum dapat meningkatkan akses petani terhadap permodalan. Petani
masih menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pedagang
pengumpul/tengkulak. Peran perbankan sebagai sarana penunjang pengembangan
agribisnis belum terlihat, karena belum tersedianya skim kredit untuk pertanian
dan petani masih enggan untuk meminjam di bank karena prosedur yang berbelit
dan memerlukan agunan.
Permasalahan kedua adalah sistem pemasaran yang masih dikuasai oleh
tengkulak atau pedagang pengumpul. Petani di kawasan agropolitan cenderung
lebih memilih pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya karena
untuk menekan biaya transportasi. Dengan terbukanya jalan usaha tani, pedagang
dapat mengambil hasil produksi langsung di hamparan petani/kebun sehingga
ongkos transportasi menjadi beban dari pedagang. Disatu sisi keberadaan
pedagang pengumpul membantu petani dalam aspek penyediaan modal namun di
sisi yang lain keberadaan pedagang pengumpul/tengkulak menyebabkan petani
hanya sebagai penerima harga (price taker) karena harga komoditi ditentukan oleh
pedagang.
Ketiga adalah belum berfungsinya kelembagaan petani dalam proses
pemasaran hasil, sehingga petani masih menjual hasil produksinya secara
personal. Hal ini menyebabkan petani tidak mempunyai kemampuan dalam
menegosiasikan harga dengan pedagang. Keberadaan KUD, kelompok tani dan
gabungan kelompok tani (gapoktan) masih terbatas pada penyediaan saprodi dan
101

aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal
jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan
mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor,
tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani
langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul.
Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya
industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala
kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan
agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan
yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan
pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol
jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena
masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu
sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada
pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di
kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor
pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh
terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja
juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian.
Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan
adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam
pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal
ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang
dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan.
Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi
yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses
pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian
menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan
hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga
komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah
menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan
102

lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan
rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas
lingkungan.

7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan


Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dilakukan sebagai
perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah yang ada dalam masyarakat
serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut.
Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembangunan berarti
memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk merumuskan masalah-
masalah yang ada di masyarakat, memobilisir sumberdaya setempat dan
mengembangkan kelompok organisasi masyarakat setempat. Dampak positif dari
proses partisipasi ini antara lain adalah bahwa masyarakat dapat mengerti
permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang diambil.
Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Cofen dan Uphoff (1977) dalam
Harahap (2001) adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, keterlibatan dalam
pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau
bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program
dan keterlibatan dalam evaluasi program. Berdasarkan definisi diatas, maka
partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan adalah partisipasi yang interaktif
dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian
kekuasaan dan pengawasan oleh masyarakat.
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam menunjang program
agropolitan diwujudkan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu,
masyarakat dalam hal ini petani berpartisipasi dengan turut terlibat dalam setiap
kegiatan yang terkait dengan program dan melaksanakan penerapkan teknologi
tepat guna dan penggunaan bibit unggul dalam usahatani sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Secara kelembagaan, melalui gabungan kelompok tani
atau gapoktan adalah terjadinya pertukaran informasi antar sesama kelompok tani
tentang usaha tani dan informasi harga. Namun fakta dilapang terlihat bahwa
tujuan pembentukan kelembagaan dalam hal ini kelompok tani masih terbatas
103

pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang
memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan
bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan
aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi
lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena
masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah
pasca panen dan pemasaran hasil.
Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan
diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek
pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6.
Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein
diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk
aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan
publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan).

Tabel 37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan


No Aspek Variabel Total
Skor
1. Komunikasi • Informasi
• Forum pengambilan keputusan
• Jumlah orang yang berpartisipasi 80,9
• Intervensi yang dilakukan aparat
2. Pengetahuan masyarakat • Konsep partisipasi
terhadap forum pengambilan • Tingkat kepuasan
keputusan
• Prosedur untuk berpartisipasi 74,8
• Tingkat partisipasi dalam kelompok
3. Kontrol terhadap kebijakan • Akses terhadap forum perencanaan
publik • Kriritk atas mekanisme forum
perencanaan 78,6
• Keterlibatan masyarakat dalam
implementasi proyek
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007).
104

Hasil analisis dengan menggunakan derajat partisipasi Arnstein,


menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Kecamatan Randangan
sebagai kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, ini dapat dilihat pada
Tabel 38. Berdasarkan hasil analisis dan jawaban dari responden terlihat bahwa
66,6% responden mengetahui adanya program agropolitan yang dilaksanakan.
Dari segi komunikasi terlihat bahwa program-program dalam lingkup desa pada
dasarnya sudah melalui diskusi baik kelompok tani maupun dalam forum desa.
Meskipun demikian intervensi dari pemerintah masih terlihat cukup dominan.
Hal ini direpresentasikan dengan 83.3% responden yang mengemukakan bahwa
masyarakat masih melakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah baik
melalui penyuluh pertanian maupun melalui petugas tingkat kecamatan. Dimana
kegiatan masyarakat harus disesuaikan dengan program-program yang dijalankan
oleh pemerintah. Keadaan SDM yang masih sangat rendah baik pendidikan dan
keahlian membuat hal ini dimungkinkan terjadi. Jadi meskipun terjadi
komunikasi, namun masih bersifat satu arah. Karena pada hakekatnya agar
program dapat tersosialisasi sampai pada masyarakat maka cara yang digunakan
adalah disampaikan melalui kelompok tani atau melalui pertemuan desa dalam
penyuluhan.

Tabel 38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan

Derajat Nilai Faktor Indeks Kelompok


Partisipasi A B C
Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Tingkat
Otoritas
Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11
Masyarakat
Partnership/Kemitraan 4 3 2-3 9-10
Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Tingkat
Tokenisme
Konsultasi 3-4 2 2 7-8
Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8
Terapi 2 1 1 4 Non
Partisipasi
Manipulasi 1 1 1 3
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007)

Dari segi pengetahuan masyarakat terhadap pengambilan keputusan


masyarakat tidak mengerti dan tidak pernah terlibat didalamnya. Yang diketahui
105

masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan
masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan.
Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program
pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan
menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan
Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang
mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti
pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh
masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan
apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan
LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan
responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini
sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai
media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas”
Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan
kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan
dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan
partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana
masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam
pembangunan.
Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap
program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam
masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak
mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada
tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional
regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa
lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman
(inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma
perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada
(baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan
106

konsep partisipasi tersebut secara benar. Kekakuan kelembagaan menyebabkan


organisasi yang ada menjalankan kebiasaan yang ada dalam arti tidak mengalami
perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses musrembang belum benar -
benar efektif berjalan masih sebatas sebagai ritual belaka. Hal ini sejalan dengan
penelitian Riyanto (2003), yang mengemukakan bahwa paradigma partisipasi
yang ada ternyata belum didukung oleh praksis yang memadai bahkan cenderung
bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, upaya pemerintah daerah
untuk membuka diri ternyata tidak diikuti oleh sebuah pemberlakuan mekanisme
yang baik, atau terkesan setengah hati dan malahan menciptakan sebuah program
kegiatan yang bertentangan dengan prinsip paradigmanya sendiri; hasilnya adalah
sebuah bentuk konsultasi yang tidak genuine dan belum partisipatif.
Program agropolitan merupakan program yang bersifat top down karena
program ini merupakan program dari pusat yang ditujukan untuk mengatasi
masalah disparitas pembanguan perdesaan dan perkotaan. Dalam era otonomi
daerah program ini selanjutnya di delegasikan kepada pemerintah daerah untuk
dilaksanakan untuk memacu perkembangan daerah perdesaan. Namun sangat
disayangkan dalam pelaksanaannya di daerah sifat ini masih terus melekat,
dimana keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan masih sangat kurang
diakomodasi. Perencanaan partisipatif yang menjadi inti dari desentralisasi
terkesan hanya sekedar untuk mencukupi syarat keharusan saja. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Pohuwato, intervensi pemerintah masih sangat besar
sehingga keterlibatan masyarakat hanya terbatas dalam pelaksanaan kegiatan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan merupakan merupakan
keikutsertaan dan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat di dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan yang telah tercapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak
hanya diukur dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembagunan
tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan
program pembangunan serta kemauan masyarakat untuk secara mandiri
melestarikan dan mengembangkan hasil program pembangunan. Sebagai bentuk
kegiatan, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan mencakup
partisipasi dalam perencanaan kegiatan, pembuatan keputusan pelaksanaan
107

kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan serta pemanfaatan hasil


pembangunan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan dan keberlanjutan proyek
pembangunan. Karenanya seharusnya pemerintah sebagai perencana dan pembuat
kebijakan dalam pembangunan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan
yang ada melalui keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI
DI KAWASAN AGROPOLITAN
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan data-data kuantitatif
yang ada diketahui bahwa sejak program agropolitan basis jagung yang
dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato telah memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani dan perekonomian wilayah.
Hal ini terlihat di tingkat mikro terjadi peningkatan pendapatan petani jagung
karena hadirnya berbagai fasilitas penunjang dalam kegiatan agribisnis dan di
tingkat makro terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor sektor primer
ke sektor sekunder dan tersier. Namun permasalahan yang perlu mendapat
perhatian serius dari pemerintah daerah adalah belum maksimalnya keterlibatan
masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan masih rendahnya daya saing
wilayah yang ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja dari masing-masing
sektor unggulan yang ada di Kabupaten Pohuwato dibandingkan dengan total
wilayah yaitu Provinsi Gorontalo. Rendahnya daya saing wilayah dapat
menyebabkan lambatnya perkembangan ekonomi lokal wilayah Kabupaten
Pohuwato. Oleh karenanya untuk memperbaiki keadaan atau kondisi tersebut
perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya sehingga dapat
dirumuskan strategi pengembangannya.

8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di


Kabupaten Pohuwato
Untuk mengetahui apakah pengembangan agropolitan di Kabupaten
Pohuwato dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka harus diketahui
kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Dan
untuk mengetahui status dan kondisi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten
Pohuwato, dilakukan analisis terhadap enam komponen atau unsur yang disebut
sebagai Heksagonal PEL yaitu : kelompok sasaran PEL, faktor lokasi, kesinergian
dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses
manajemen. Keseluruhan komponen PEL dalam Heksagonal tersebut bertujuan
untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Dengan
mengetahui faktor-faktor pengungkit dari masing-masing aspek dalam
pengembangan ekonomi lokal maka dapat diidentifikasi strategi untuk
109

mengembangkan ekonomi pada suatu kawasan pengembangan. Hal ini karena


strategi pengembangan ekonomi disusun berdasarkan faktor pengungkit tersebut.
Berdasarkan hasil analisis RALED secara keseluruhan status Pengembangan
Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Hal ini
berdasarkan hasil analisis bobot gabungan dimensi PEL yaitu sebesar 57,19 (lihat
Tabel 39). Namun hasil dari masing-masing dimensi atau aspek PEL Kabupaten
Pohuwato secara parsial berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dimensi atau
Aspek kelompok sasaran memiliki nilai indeks tertinggi yaitu sebesar 67,16
diikuti oleh aspek faktor lokasi dengan nilai indeks 59,50. Aspek kesinergian dan
fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses
manajemen memiliki nilai indeks yang lebih rendah dibandingkan kedua aspek
lainnya meskipun tidak dapat dikatakan sebagai indeks yang buruk karena sudah
berada pada kisaran 50 tetapi memerlukan penanganan yang lebih teliti lagi,
karena sangat rentan terhadap goncangan.

Tabel 39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato


No Dimensi/Aspek Nilai Bobot Jumlah
PEL Indeks Gabungan
1 Kelompok Sasaran 67,16 0,252949095 16,98806124
2 Faktor Lokasi 59,50 0,190570254 11,33893014
3 Kesinergian dan Fokus Kebijakan 53,49 0,158997939 8,50479974
4 Pembangunan Berkelanjutan 51,91 0,072503375 3,763650181
5 Tata Pemerintahan 51,09 0,202353005 10,33821502
6 Proses Manajemen 50,99 0,122626332 6,252716677
JUMLAH 57,18637299
Sumber : Hasil olahan data primer, 2007

Selanjutnya berdasarkan hasil dari masing-masing aspek dalam


Pengembangan Ekonomi Lokal dengan menggunakan analisis RALED maka
dibuat perbandingan masing-masing nilai aspek dalam bentuk Diagram Radar atau
diagram laba-laba seperti berikut :
110

Status Pengem bangan Ekonom i Lokal


Kabupaten Pohuw ato

Kelompok Sasaran
100

80
67.16
60
Proses Manajemen Faktor Lokasi
40

50.99 20
59.5

53.49
51.09
Kesinergian dan Fokus
Tata Pemerintahan 51.91 Kebijakan

Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 9 Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal


di Kabupaten Pohuwato

Untuk lebih spesifik melihat faktor pengungkit dari masing masing aspek
atau dimensi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, maka perlu
dilihat faktor pengungkit dari masing-masing aspek tersebut.

8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran


Hasil analisa dengan menggunakan perangkat lunak RALED menunjukkan
bahwa indeks dari aspek kelompok sasaran mencapai angka 67,16 atau berada
diatas angka 50. Hal ini menunjukkan atau mengindikasikan bahwa kondisi aspek
kelompok sasaran dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato
menunjukkan status atau kondisi baik. Secara skematis status aspek kelompok
sasaran ataupun ordinasi aspek kelompok sasaran disajkan pada Gambar 10.
Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dapat ditentukan faktor
pengungkit (leverage factor) dari aspek kelompok sasaran. Kegunaan faktor
pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat
dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk dapat meningkatkan
status kelompok sasaran menuju status yang lebih baik.
111

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato

Hasil analisis faktor atribut/atribut pengungkit (leverage factor) untuk aspek


kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan pada gambar 11.

Leverage of Attributes

Kecepatan pengurusan ijin bagi investasi


baru
Insentif pemda dalam bentuk pemberian
dana stimulan, dan keringanan biaya
Pendampingan dan monitoring bisnis pelaku
usaha baru
Fasilitasi Pelatihan Kewirausahaan bagi
Pelaku Usaha Baru
Upaya Pemda untuk Peningkatan Teknologi,
Manajemen dan Kelembagaan Lokal
Promosi Produk UKM dari Pemda
Attribute

Upaya Fasilitasi Permodalan dari Pemda

Pusat Layanan Investasi

Kampanye Peluang Berusaha

Keamanan

Kepastian Berusaha dan Hukum

Informasi Prospek Bisnis

Peraturan tentang Kemudahan Investasi

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 11 Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato


112

Gambar 11 menunjukan bahwa indikator yang menjadi faktor pengungkit


utama untuk aspek kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah sebagai berikut :

1) Pusat layanan investasi


Pusat pelayanan investasi mempunyai peran penting dalam pengembangan
ekonomi lokal karena dapat memberikan informasi bagi calon investor luar
mengenai potensi investasi agribisnis dan agroindustri jagung di kawasan
pengembangan. Pusat pelayanan investasi dapat memberikan jasa layanan
konsultasi investasi bagi investor dari luar wilayah yang belum mengetahui
tantang peta potensi investasi di kawasan pengembangan. Munculnya faktor
pengungkit utama pusat pelayanan investasi diduga disebabkan karena belum
tersedianya informasi tentang peta kondisi potensi investasi terlebih khusus
investasi agibisnis dan agroindustri jagung yang mendukung di Kabupaten
Pohuwato serta belum berkembangnya jasa konsultasi investasi di wilayah
tersebut. Belum maksimalnya kinerja dinas perindustrian, koperasi dan
penamanan modal tercermin dari masih kurangnya investasi dari pihak swasta di
Kabupaten Pohuwato. Sampai pada tahun 2005 investasi di Kabupaten Pohuwato
hanya sebesar Rp. 457.682.077.596,- dan dari total investasi tersebut 73%
bersumber dari pemerintah dan hanya 27% dari pihak swasta. Selanjutnya
dukungan APBD untuk mengembangkan perekonomian Kabupaten Pohuwato
sebagian besar masih ditujukan untuk pengembangan infrastruktur penunjang
sedangkan untuk pengembangan pertanian sendiri masih relatif kurang yaitu
hanya sebesar 2,76% pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 5,98% pada tahun
2005. Disamping itu salah satu faktor penghambat masuknya investasi juga
disebabkan karena investasi merupakan kewenangan dari provinsi sehingga
kabupaten/kota sangat tergantung pada provinsi.

2) Promosi Produk UKM dari Pemda


Faktor pengungkit kedua, disebabkan karena masih minimnya promosi
produk UKM agribisnis dan agroindustri oleh Pemerintah Daerah. Produk-produk
hasil olahan pertanian seperti dodol jagung yang sedang dikembangkan oleh
BPPT, keripik dan emping yang diproduksi oleh rumah tangga belum mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Semestinya sebagai daerah
113

pengembangan yang baru berkembang, aspek promosi ini sangat diperlukan oleh
dunia usaha untuk memperluas pasar sehingga UKM daerah dapat lebih
berkembang. Salah satu penyebab dari minimnya atau kurangnya promosi UKM
dari Pemda kemungkinan disebabkan karena saat ini konsentrasi pemerintah
daerah masih terfokus pada pembangunan sarana-sarana fisik pelayanan publik
berupa pembangunan pembangunan kantor-kantor pemerintah yang di pusatkan
dalam satu kawasan pembangunan blok plan. Kedepannya agar PEL dapat
berkembang baik maka pemerintah daerah perlu melakukan promosi UKM seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi terhadap promosi agropolitan.

3) Kampanye Peluang Berusaha.


Selanjutnya faktor pengungkit ke tiga yaitu kampanye peluang berusaha
dibidang agribisnis dan agroindustri jagung. Rendahnya intensitas sosialisasi
peluang berusaha komoditas jagung menjadikan komoditi ini belum berkembang
dalam diversifikasi produk. Dalam arti pasar produk ini masih sebatas sebagai
produk ekspor yang belum diolah. Padahal jagung merupakan salah satu produk
strategis karena selain dapat diekspor jagung merupakan bahan mentah bagi
produk-produk lainnya seperti tepung jagung, bubur jagung, pakan ternak dan
sebagainya. Prioritas pemerintah yang terfokus pada pembangunan fisik
pelayanan publik menyebabkan aspek kampanye peluang berusaha belum
maksimal dilakukan oleh perintah daerah. Satu hal yang luput dicontoh dari
Pemda Kabupaten Pohuwato yaitu pembelajaran dari apa yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi, dimana promosi dan kampanye peluang berusaha yang
gencar menyebabkan mata seluruh Indonesia bahkan dunia melirik ke pPovinsi
Gorontalo. Kampanye peluang berusaha yang kontinyu dilakukan baik melalui
media massa maupun melalui pameran, seminar dan pada berbagai kesempatan
akan membuat investor tertarik dan melakukan investasi sehingga dapat
memperbaiki status PEL kearah yang lebih baik.

8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi


Faktor lokasi merupakan salah satu syarat keharusan dalam ekonomi
wilayah. Faktor ini menggambarkan bagaimana daya tarik dari sebuah lokasi bagi
penyelenggaraan suatu kegiatan usaha. Kondisi aspek faktor lokasi dalam
114

pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau


kondisi baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status faktor
lokasi dengan menggunakan analisis RALED yang mencapai 59,50 atau berada
diatas angka 50. Secara skematis status aspek faktor lokasi di sajikan pada
Gambar 12.

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 12 Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato

Selanjutnya dari indeks atau status tersebut dapat ditentukan faktor


pengungkit (leverage factor) dari aspek faktor lokasi. Dengan mengetahui faktor
pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi yang
dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau
meningkatkan status faktor lokasi menuju status yang lebih baik. Gambar 13
menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk aspek faktor lokasi di
Kabupaten Pohuwato.
115

Leverage of Attributes

Fasilitas umum dan fasilitas sosial

Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas dari fasilitas pendidikan

Kualitas Lingkungan

Kualitas Pemukiman

Pelayanan perijinan satu atap


Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pemerintah dan Swasta bukan Perguruan Tinggi
Lembaga penelitian perguruan tinggi
Peluang kerjasama dalam industri sejenis
maupun industri hulu-hilir
Industri yang memiliki mata rantai lengkap dari
hulu ke hilir untuk suatu komoditas
Citra dari dari kota/kabupaten

Citra dari lokasi (sentra usaha)


Attribute

Peran dan kebijakan pemerintah pusat kepada


daerah
Peran dan kebijakan pemerintah propinsi kepada
daerah
Iklim perekonomian lokal

Jumlah penyaluran kredit

Jumlah Lembaga keuangan lokal

Tenaga Kerja Terdidik

Tenaga Kerja Terampil

Upah TK dibanding Daerah Sekitar

Infrastruktur Energi

Infrastruktur Komunikasi

Sarana Transportasi

Akses ke Pelabuhan Udara

Akses ke Pelabuhan Laut

Kondisi Jaringan Jalan

0 10 20 30 40 50 60 70
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 13 Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis RALED diketahui bahwa yang menjadi faktor


pengungkit aspek faktor lokasi di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah sebagai berikut :

1) Pelayanan Perijinan satu atap


Belum berjalannya pelayanan perijinan satu atap di Kabupaten Pohuwato
menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama. Rantai birokrasi yang
116

terlalu panjang dan berbelit-belit dalam pengurusan perijinan dalam berinvetasi


kemungkinan menyebabkan pengembangan ekonomi lokal belum dapat
berkembang maksimal. Lamanya pengurusan perijinan menyebabkan salah satu
faktor penentu masuknya investasi di suatu kawasan. Oleh karenanya kedepan
diperlukan kemudahan dalam pengurusan perijinan, terutama terkait dengan
investasi agribisnis jagung yaitu dengan memperpendek jalur birokrasi melalui
pelayanan perijinan satu atap sehingga dapat menjadi pembuka jalan untuk
masuknya investasi swasta di Kabupaten Pohuwato.

2) Kualitas dari Fasilitas Pendidikan


Kualitas dari Fasilitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap
pengembangan ekonomi lokal, ketersediaan fasilitas yang memadai dapat
meningkatkan kualitas SDM dalam suatu wilayah. Kualitas pendidikan di
Kabupaten Pohuwato yang masih rendah dan belum mampu memenuhi
kebutuhan kompetensi peserta didik menjadi salah satu faktor munculnya kualitas
dari fasilitas pendidikan sebagai faktor pengungkit. Rendahnya kualitas
pendidikan terutama disebabkan karena :
• Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kualitas maupun
kuantitas.
• kesejahteraan pendidik yang masih rendah,
• fasilitas belajar yang masih belum mencukupi secara memadai,
• biaya operasional pendidikan yang belum tersedia secara memadai.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato, tingkat
kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD 90,46% untuk
SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% . Disamping itu
keadaan prasarana pendidikan di Kabupaten Pohuwato sampai dengan tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel 40. Pada tabel terlihat bahwa tingkat pendidikan
anak usia dini terdiri dari 43 unit gedung dengan 73 kelas, jumlah kelas yang
layak dipakai hanya 71,23% sedangkan 20,55% berada dalam kondisi rusak
ringat dan 8,42% rusak berat. Keadaan prasarana pendidikan dasar terdiri dari
103 unit gedung dengan jumlah kelas sebanyak 613, dimana 88,09% layak
dipakai dan 9,13% berada dalan keadaan rusak ringan dan 2,77% rusak berat.
Untuk tingkat pendidikan lanjutan (setara SLTP) terdiri dari 27 unit gedung
117

dengan 146 ruang kelas, dari jumlah tersebut 84,93% berada dalam keadaan
layak pakai 9,58% rusak ringan dan 5,47% rusak berat. Sedangkan untuk
pendidikan menengah (setara SMA) jumlah gedung 11 unit dengan 80 ruang
kelas dimana 78,85% berada dalam kondisi layak pakai dan 21,25% berada
dalam kondisi rusak ringan. Berdasarkan Uraian data tersebut nampak bahwa
kebijakan pendidikan kedepan harus memprioritaskan peningkatan kualitas
gedung pendidikan dan kualitas pengajar guna menunjang proses belajar
mengajar.

Tabel 40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun 2005


No Jenis Jumlah Jumlah Kondisi Ruang Belajar
Pendidikan Gedung Ruang Layak % Rusak % Rusak %
Kelas Pakai Ringan Berat
1. TK 43 73 52 71,23 15 20,55 6 8,42
Jlh PAUD 43 73 52 71.23 15 20,55 6 8,42

2. SD 99 594 530 89,23 50 8,42 14 2,36


3. MI 4 19 10 52,63 6 31,58 3 15,79
Jlh Dikdas 103 613 540 88,09 56 9,13 17 2,77

4. SMP 17 110 100 90,91 10 9,09 0 0.00


5. MTs 10 36 24 66,67 4 11,11 8 22,22
Jlh Dikdas 27 146 124 84,93 14 9,58 8 5,47
2

6. SMA 5 47 35 74,47 12 25,53 0 0


7. SMK 2 18 16 88,89 2 11,11 0 0
8. MA 4 15 12 80,00 3 20,00 0 0
Jumlah 11 80 63 78,75 17 21,25 0 0
Dikmen

Sumber : Diknas Pohuwato, 2005.

3 ) Fasilitas Umum dan Sosial


Sebagai kabupaten yang baru yang masih berbenah diri masih banyak
fasilitas umum dan sosial yang belum tersedia secara memadai sehingga hal ini
kemungkinan menjadi penyebab munculnya faktor fasilitas umum dan sosial
sebagai faktor pengungkit. Ketersediaan fasilitas jembatan untuk menunjang
kelancaran transportasi dalam menunjang proses pemasaran komoditas unggulan
jagung masih belum mencukupi di Kabupaten Pohuwato. Data dari dinas
118

kimpraswil menyebutkan bahwa baru sekitar 50% ketersediaan jembatan yang ada
dari kebutuhan yang seharusnya selama 5 tahun yang akan datang.

Tabel 41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan Kabupaten Pohuwato

No Kecamatan Kebutuhan (5 Thn) Ketersediaan


1 Marisa 15 bh 8 bh
2 Paguat 14 bh 8 bh
3 Patilanggio 9 bh 8 bh
4 Randangan 11 bh 6 bh
5 Taluditi 15 bh 9 bh
6 Lemito 14 bh 8 bh
7 Popayato 17 bh 4 bh
Total 95 bh 52 bh
Sumber : Dinas kimpraswil Kabupaten Pohuwato

Untuk menunjang kelancaran pemasaran produk ungggulan jagung


diperlukan ketersediaan jembatan, jalan usaha tani, serta jalan provinsi yang
tersedia dalam kualitas baik sehingga usaha agribisnis jagung dapat terlaksana
dengan baik dan semakin menarik investor untuk berinvestasi di Kabupaten
Pohuwato

8.1.3.Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan


Berdasarkan hasil analisis RALED untuk aspek kesinergian dan fokus
kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato diperoleh indeks mencapai 53,49. Ini
menunjukan bahwa status aspek kesinergian dan kokus kebijakan di Kabupaten
Pohuwato berada dalam kondisi marginal atau pas-pasan. Hal ini disebabkan
karena meskipun sudah berada diantara range 50-75 yang dikategorikan baik, tapi
indeks ini hanya sedikit berada dibatas bawah range sehingga sangat rentan dan
memerlukan perhatian yang lebih.
Secara skematis hasil analisis Raled untuk aspek Kesinergian dan Fokus
Kebijakan dapat dilihat pada Gambar 14 berikut :
119

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries

0 BAD GOOD References

0 20 40 60 80 100 120
Anchors

-20

-40

DOWN

-60

Fisheries Sustainability

Gambar 14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato

Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dengan analisis RALED


dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor
pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat
memperbaiki atau meningkatkan status aspek kesinergian dan fokus kebijakan
mejadi lebih baik lagi. Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage
attributes) untuk aspek kesinergian dan fokus kebijakan di Kabupaten Pohuwato
ditunjukkan dalam Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan
prioritasnya yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek kesinergian dan
fokus kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato adalah :

1) Kebijakan Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan


perkotaan CBD
Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) diharapkan
dapat mengembangkan ekonomi lokal suatu kawasan. Hal ini disebakan karena
kota pertanian dikawasan agropolitan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru yang
dapat menarik dan menghela desa-desa disekitarnya sebagai daerah hinterland.
Dengan adanya agropolitan yang berbasis jagung diharapkan aktivitas masyarakat
120

di bidang non pertanian juga dapat lebih berkembang seperti UKM dan Industri
kecil sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi lokal di wilayah tersebut.
Berdasarkan survey lapangan di Kawasan Agropolitan Randangan, aktivitas di
bidang pertanian masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Akan
tetapi belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis jagung
menyebabkan UKM dan IKM di kawasan agropolitan belum berkembang
sehingga kemungkinan membuat faktor ini menjadi faktor pengungkit pertama.
Investasi UKM dan IKM di kabupaten masih sangat terbatas padahal masih
banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dan digali. Jika dibandingkan
dengan kabupaten lain di Provinsi Gorontalo, jumlah perusahaan IKM masih
dibawah Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Masih
terbatasnya jumlah perusahaan yang berinvestasi menyebabkan serapan TK di
sektor non pertanian pun menjadi rendah, sehingga tidak dapat mendorong
pertumbuhan wilayah .

Gambar 15 Jumlah Perusahaan Industri Kecil, Menengah dan Tenaga Kerja


Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2005

8000

7000

6000

5000

4000 Jumlah Perusahaan


Tenaga kerja
3000

2000

1000

0
Boalemo Gorontalo Pohuw ato Bone Kota
Bolango Gorontalo

Sumber : Gorontalo dalam angka, 2007

2) Kebijakan kerjasama antar daerah /pemda


Selanjutnya untuk lebih menigkatkan ekonomi lokal suatu wilayah
diperlukan kerjasama antar wilayah sehingga dapat memobilisasi potensi daerah
untuk dikembangkan. Kerjasama antar daerah baik di bidang pertanian,
perdagangan, perhubungan dan bidang lainnya sangat diperlukan agar alokasi
sumberdaya dapat lebih efisien dan efektif. Pada hakekatnya kerjasama antar
wilayah sudah menjadi kebijakan di Kabupaten Pohuwato akan tetapi dalam
121

prakteknya egoisme daerah masih terlihat dan menguasai dalam keseharian


pemerintahan. Untuk pengembangan wilayah secara keseluruhan terlihat dengan
adanya rencana pemerintah untuk membangun pelabuhan laut di Kabupaten
Pohuwato dalam RPJM 2005-2010. Padahal di Kabupaten tetangga Boalemo
terdapat pelabuhan laut yang dapat digunakan untuk aktivitas perdagangan dan
bongkar muat. Jika hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik, dalam arti Pemda
Kabupaten Pohuwato dapat menjalin kerjasama dengan Kabupaten Boalemo
dengan membagi share yang adil atas penggunaan pelabuhan maka dapat terjalin
suatu hubungan dan kerjasama yang baik antar daerah sehingga dapat membentuk
suatu keterkaitan yang saling menguntungkan. Model kerjasama yang seperti ini
masih belum berjalan sehingga masing-masing wilayah ingin membangun outlet
sendiri-sendiri yang memerlukan dana yang tidak sedikit sehingga anggaran
pemerintah masih belum teralokasi untuk kepentingan publik yang lebih luas dan
mendasar. Sedangkan kerjasama dalam pengembangan agribisnis jagung masih
dalam tataran provinsi dimana terjalinya kerjasama antar provinsi dalam hal ini
Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kerjasama tersebut dalam hal
pemasaran dan penyediaan bibit, dimana Provinsi Gorontalo menyediakan bibit
komposit hasil penangkaran dan hasil produksi dari provinsi-provinsi tersebut di
jual ke Provinsi Gorontalo. Akan tetapi kerjasama seperti ini belum terjadi pada
tataran kabupaten, baik untuk memenuhi skala produksi maupun skala ekonomi.
Dengan memberikan perhatian dan memperbaiki kedua faktor diatas
maka diharapkan dapat membuat pengembangan ekonomi lokal Kabupaten
Pohuwato ke arah yang lebih baik.
122

Leverage of Attributes

Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar


sentra usaha
Kebijakan tata ruang PEL

Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda


Kebijakan pengembangan komunitas
sep:perbaikan lingkungan, perbaikan kampung
Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di
perdesaan (agropolitan) dan perkotaan
Kebijakan pembangunan kawasan industri
hinterland/ industri
Kebijakan pengurangan kemiskinan secara
partisipatif
Kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis
Attribute

kemitraan dengan dunia usaha


Kebijakan Pengembangan keahlian

Kebijakan informasi bursa tenaga kerja


Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar
pelaku ekonomi
Kebijakan peningkatan peran Perusahaan Daerah

Kebijakan pemberdayaan UKM

Kebijakan persaingan usaha

Kebijakan promosi daerah

Kebijakan peningkatan investasi

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di


Kabupaten Pohuwato

8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan


Kondisi aspek pembangunan berkelanjutan dalam Pengembangan
Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal.
Hal ini ini berdasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status aspek
pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan analisis RALED yang
mencapai 51,91 atau berada sedikit di atas angka 50. Secara skematis status aspek
pembanguna berkelanjutan di sajikan pada Gambar 17 berikut :
123

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 17 Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis faktor pengungkit diperoleh beberapa faktor


utama yang merupakan faktor sensitif dari aspek pembangunan berkelanjutan.
Faktor pengungkit ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk melakukan intervensi yang dianggap perlu dan penting
dalam rangka peningkatan pengembangan ekonomi lokal di daerah tersebut.
Gambar 18 menunjukkan faktor pengungkit untuk aspek pembangunan
berkelanjutan.
124

Leverage of Attributes

Kebijakan konservasi sumber daya alam dalam


PEL

Pengelolaan dan pendaur ulangan limbah

Kebijakan pemecahan permasalahan lingkungan

PEL mempertimbangkan Keberadaan adat dan


kelembagaan lokal
Attribute

Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas


hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal

Jumlah perusahaan yang melakukan Inovasi


pengembangan produk dan pasar

Jumlah perusahaan yang telah memiliki Business


plan

Pengembangan industri pendukung untuk


keberlanjutan sistem industri

Sistem industri yang berkelanjutan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 18 Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan di


Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan analisis RALED, diperoleh beberapa faktor pengungkit utama


untuk aspek pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan
prioritasnya yaitu sebagai berikut :

1) Jumlah Perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar,


Belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk
dan pasar menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama dalam aspek
ini. Pada tahun 2006 Pohuwato terdapat 617 industri hasil pertanian dan
kehutanan, 785 industri kerajinan rumah tangga, 31 industri logam mesin dan
kimia serta 5 aneka industri. Di Kabupaten Pohuwato jumlah perusahaan yang
berinvestasi pada pengolahan komoditas jagung masih belum ada. Pengolahan
komoditas jagung masih sebatas pada proses perubahan dari jagung tongkol
menjadi jagung pipilan, dimana proses ini pun terjadi di tingkat petani.
Kebanyakan perusahaaan yang berinvestasi masuk pada sektor perikanan karena
daerah ini juga memiliki potensi yang besar di sektor ini. Potensi di sektor
125

pertanian lainnya terlebih sub sektor tanaman pangan dan perkebunan masih
belum mendapat perhatian dari investor. Hal ini terbukti dengan belum
berkembangnya baik industri skala kecil, menegah maupun besar untuk
berinvestasi dalam sektor pertanian basis jagung. Kebanyakan hasil produksi
pertanian masyarakat dalam hal ini komoditi jagung masih di pasarkan dalam
bentuk biji jagung (jagung pipilan) sebagai bahan mentah produksi. Proses
pengolahan jagung selanjutnya masih sebatas pada perbaikan kualitas/ mutu biji
jagung yang dilakukan oleh pedagang pengumpul baik dengan cara alami melalui
penjemuran dengan sinar matahari maupun melalui teknologi dengan
menggunakan mesin pengering. Proses pengolahan jagung belum menyentuh pada
proses perubahan bentuk Jika dilihat dari potensi yang ada sektor ini sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai suatu industri yang terintegrasi. Sehingga
menjadi tugas pemerintah daerah untuk mempromosikan dan menjual potensi
yang ada agar dilirik oleh investor.

2) Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan


masyarakat lokal
Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan komoditas pertanian
di Kabupaten Pohuwato secara mikro sudah mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat petani namun secara absolut masih belum menghasilkan pendapatan
yang memadai untuk hidup layak. Hal ini di lihat dari tingkat pendapat
masyarakat yang masih rendah, meskipun dari tahun ke tahun mulai ada
peningkatan. Tahun 2004 pendapatan per kapita masyarakat adalah sebesar Rp.
3.217.901 meningkat menjadi Rp. 3.570.205 pada tahun 2006. Hal ini berarti
bahwa banyak masyarakat Kabupaten Pohuwato prasejahtera yang hanya
memiliki pendapatan kurang lebih $ 1 per hari.
Potensi sumber daya alam Pohuwato cukup banyak namun secara ekonomi
belum dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat karena
pemanfaatannya belum optimal.
126

Pendapatan per kapita

3600000

3400000
Pendapatan per
3200000 kapita

3000000
2004 2005 2006

Gambar 19 Perkembangan pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Pohuwato

Salah satu indikator kesejahteraan adalah Indeks Pembangunan Manusia


(IPM). Berdasarkan hasil dari kajian Bappenas (2008), IPM Kabupaten Pohuwato
masih berada di bawah IPM Provinsi Gorontalo yaitu hanya sebesar 67,4
meskipun berada diatas kabupaten Boalemo dengan nilai indeks 66,4. Terkait
dengan tingkat pendapatan masyarakat Pohuwato, pengembangan agribisnis basis
jagung di kabupaten pohuwato sedikit banyak sudah mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat meskipun belum maksimal.

Gambar 20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi


Gorontalo

IPM

72
71
70
69
68
67 IPM
66
65
64
63
o

lo
lo

o
o

ng
em
al

at

ta
ta

nt

on
on

la
l

hu
or

oa

Bo

or
or

.G

Po
.B

.G
G

e
ab

on
ab
a

b.

ov
ot

Ka

.B
K

Pr
K

ab
K

Sumber : Human Development Index Provinsi Gorontalo, Bappenas 2008


127

3) Jumlah perusahaan yang memiliki Bussiness Plan


Pada dasarnya perusahaan yang memiliki bussiness plan adalah
perusahaan-perusahaan kelas menengah dan besar yang berinvestasi pada sektor
pertanian secara umum dalam hal ini sektor perikanan. Sedangkan untuk industri
jagung sendiri belum ada perusahaan yang berkecimpung didalamnya. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, industri pengolahan jagung yang berkembang
di pohuwato masih sebatas pada perubahan jagung tongkol menjadi jagung pipilan
dan perbaikan kualitas biji jagung. Karena belum berkembangnya industri
pengolahan basis jagung di Pohuwato menyebabkan perusahaan yang memiliki
bussiness plan pun belum ada. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah,
dimana perlu dirangsang kreativitas masyarakat untuk menghasilkan produk-
produk olahan berdasarkan basis pertanian masyarakat setempat. Hal ini perlu
dilakukan untuk menunjang sektor pertanian, karena pertanian yang tangguh perlu
didukung oleh industri pengolahan berbasis pertanian. Investasi-investasi swasta
perlu dirangsang melalui kemudahan dalam berinvestasi serta berbagai instrumen
lain seperti kebijakan fiskal dan sebagainya.

8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan.


Kondisi aspek Tata Perintahan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di
Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal (pas-pasan). Hal
ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status Tata Pemerintahan
dengan menggunakan analisis RALED ysng mencapai 51,09. Secara skematis
status aspek Tata Pemerintahan di sajikan pada Gambar 21 berikut ini :
128

RALED Ordination

60
UP
40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability

Gambar 21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato

Selanjutnya dari indeks atau status tersebut sapat ditentukan faktor


pengungkit (leverage factor) dari aspek Tata Pemerintahan. Dengan mengetahui
faktor pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi
yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau
mningkatkan status aspek Tata Pemerintahan menuju status yang lebih baik.
Gambar 22 berikut menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk
aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato.
Adapun faktor pengungkit utama aspek Tata Pemerintahan berdasarkan
hasil analisis adalah sebagai berikut :

(1) Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya


Hasil penelitian dilapang menemukan bahwa keadaan asosiasi dan
organisasi industri yang dibentuk hanya untuk mencukupi syarat perlu saja.
Keberadaan kelembagaan kelompok tani yang ada di kawasan agropolitan secara
kuantitas memang mengalami kemajuan karena semakin meningkat tapi secara
kualitas keberadaannya masih belum banyak memberikan manfaat untuk
memberdayakan masyarakat tani. Hal ini disebabkan karena fungsi dan tujuan dari
kelembagaan ini masih sebatas pada informasi untuk pengelolaan usaha tani
belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Petani belum mampu
129

memanfaatkan kelembagaan ini sabagai wadah untuk memberdayakan diri


misalnya kelompok tani yang ada membentuk suatu asosiasi petani jagung yang
akan bermanfaat dalam menegosiasikan harga komoditi tersebut dengan pihak
pembeli. Kelembagaan kelompok tani ini justru terlihat lebih banyak bermanfaat
bagi pihak pemerintah, yaitu memudahkan kontrol dalam pemberian bantuan dan
evaluasi.

(2) Peran asosiasi industri/komoditi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan


pemerintah di bidang PEL,
Kelembagaan KUD yang sudah ada di desa pun masih belum banyak
memberikan manfaat bagi anggotanya karena masih bersifat top down, disamping
keterbatasan SDM dalam manajemen dan SDM Petani yang masih rendah. Hal ini
menyebabkan manfaat dari asosiasi dan lembaga tersebut tidak dapat dirasakan
oleh anggota-anggotanya. Fenomena ini sudah sangat umum terjadi di Indonesia,
dimana pembentukan suatu organisasi atau asosiasi hanya untuk melengkapi
presyaratan semata saja bukan merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai
tujuan. Hal ini menyebabkan organisasi tidak bertahan lama dan hanya muncul
disaat ada kegiatan saja. Keadaan ini menyebabkan manfaat asosiasi tidak banyak
dirasakan oleh para anggotanya. Hal ini juga yang menjadi penyebab peran
asosiasi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL
belum banyak. Karena kebanyakan para pengurus hanya berperan sebagai rent
seeker untuk kepentingan sendiri.

(3) Prosedur pelayanan administrasi publik.


Masih lemahnya prosedur pelayanan administrasi publik merupakan
masalah dan kendala dalam pengembangan ekonomi di Kabupaten Pohuwato.
Pengurusan administrasi yang panjang dan berbelit menjadi penghalang masuknya
investasi dan respek masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. Diharapkan
dengan adanya intervensi atau perlakuan terhadap ke tiga faktor tersebut, sehingga
masyarakat sudah dapat lebih merasakan manfaat dari asosiasi tempat mereka
bernaung dan perbaikan terhadap pelayanan publik maka diharapkan dapat
meningkatkan status aspek tata pemerintahan ke tingkat yang lebih baik.
130

Leverage of Attributes

Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya

Peran Asosiasi industri/komoditi/ Forum bisnis


terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di
Status Asosiasi industri/
komoditi/ Forum Bisnis

Prosedur pelayanan administrasi publik


Attribute

Restrukturisasi organisasi pemerintah

Reformasi sistem insentif pengembangan SDM


aparatur

Kemitraan di bidang pembiayaan usaha

Kemitraan di bidang promosi dan perdagangan

Kemitraan di bidang infrastruktur

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten


Pohuwato

8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen.


Kondisi aspek proses Manajemen dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di
Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi baik. Data hasil analisis
RALED di Kabupaten Pohuwato untuk aspek Proses Manajeman menunjukkan
indeks yang mencapai 50,99 dimana merupakan batas range kategori aman,
sehingga dapat dikategorikan dalam posisi marginal atau pas-pasan. Secara
skematis status aspek Proses Manajemen terlihat dapam Gambar 23.
131

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato

Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dengan analisis RALED


dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor
pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat
memperbaiki atau meningkatkan status aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan
menjadi lebih baik lagi.
Hasil analisis faktor /atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan dalam Gambar 24
berikut.
132

Leverage of Attributes

Penggunaan hasil evaluasi dalam perbaikan


perencanaan
Frekuensi dilakukan diskusi bagi proses
pemecahan permasalahan
Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri (self
evaluation)
Keterlibatan stakeholder dalam proses
monitoring dan evaluasi
Keterlibatan Stakholder dalam proses
penyusunan indikator evaluasi

Kesesuaian implementasi dengan perencanaan


Attribute

Sinkronisasi lintas sektoral dan spasial dalam


perencanaan PEL
Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses
perencanaan PEL
Penggunaan hasil diagnosis sebagai dasar
perencanaan PEL

Identifikasi stakeholder PEL

Kepastian Berusaha dan Hukum

Penilaian terhadap daya saing wilayah

Analisis dan pemetaan potensi ekonomi

0 0.5 1 1.5 2 2.5


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed
(on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten


Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan prioritasnya yang menjadi


faktor pengungkit utama untuk aspek Proses Manajemen PEL di Kabupaten
Pohuwato adalah :

1) Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan PEL.


Keterlibatan seluruh stakeholder yang terkait dalam perencanaan
pengembangan ekonomi lokal sangat penting untuk keberhasilan program.
Keterlibatan dari para pengusaha sebagai pelaku dan stakeholder utama serta
dunia perbankan dan masyarakat petani sangat menentukan keberhasilan
berkembangnya ekonomi lokal di satu wilayah. Disamping itu jajaran pemerintah
sebagai pembuat kebijakan juga sangat menentukan dalam kelangsungan dan
keberlanjutan ekonomi lokal. Belum maksimalnya partisipasi dari seluruh
stakeholder dalam perencanaan pengembangan ekonomi lokal menjadi penyebab
133

faktor ini sebagai pemicu utama. Hal ini dapat dilihat dimana berdasarkan kajian
partisipasi terlihat bahwa partisipasi masyarakat masih dalam taraf konsultasi.
Diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan
dapat melihat ini sebagai faktor penting yang dapat mendorong perkembangan
ekonomi lokal wilayah, sehingga dalam setiap perencanaan kebijakan pihak dunia
usaha mulai dari pelaku UKM, IKM sampai usaha skala besar dan perbankan
sebagai pelaku dari dan penerima efek dari setiap kebijakan yang ada dilibatkan
sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kawasan. Kurangnya
keterlibatan dunia usaha dan perbankan merupakan salah datu faktor penghambat
berkembangnya ekonomi lokal suatu kawasan.

8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan Agropolitan


Berdasarkan hasil analisis kondisi dan status pengembangan ekonomi
lokal di kabupaten Pohuwato berdasarkan aspek kelompok sasaran, faktor lokasi,
kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan
dan proses manajemen diketahui bahwa status pengembangan ekonomi lokal
secara keseluruhan berada dalam kondisi baik. Namun untuk lebih meningkatkan
kondisi pengembangan ekonomi kearah yang lebih baik lagi diperlukan rencana
pengelolaan guna menciptakan kegiatan pembangunan yang dapat
mengembangkan perekonomian kawasan secara berkelanjutan sebagaimana yang
tertuang dalam Visi dan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato. Hasil-hasil
analisis selanjutnya dibandingkan dengan keadaan eksisting yang ada sehingga
dapat dilihat apa yang menjadi kebutuhan daerah, kebijakan mana saja yang
belum dilaksanakan dan mana yang harus dioptimalkan.
Adapun visi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah ”Terwujudnya
masyarakat Pohuwato yang produktif, tangguh dan sejahtera yang dilandasi oleh
iman dan taqwa”. Sedangkan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah :
1. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengamalan ajaran agama dan
budaya dalam segala aspek kehidupan.
2. Meningkatkan produktifitas dan daya saing ekonomi daerah
3. Mewujudkan pemerintahan yang baik
134

4. Meningkatkan peran masyarakat sebagai mitra dan pelaku utama


pembangunan daerah.
Salah satu misi diatas adalah untuk meningkatkan produktifitas dan daya
saing ekonomi daerah. Untuk mencapai misi tersebut maka perlu ditingkatkan
pengembangan ekonomi lokal di kawasan terbebut. Untuk mengembangkan
ekonomi lokal, perlu disusun rencana pengembangan ekonomi lokal berdasarkan
faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh dalam keberlanjutan sumberdaya yang
dikaitkan dengan rencana strategis dari pemerintah Kabupaten Pohuwato. Secara
lebih lengkap, faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap
pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato ditunjukan pada Tabel 42.

Tabel 42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap Pengembangan


Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato
No Dimensi/Aspek Pel Faktor Pengungkit
1 Kelompok Sasaran • Pusat layanan investasi
• Promosi produk UKM dari pemda
• Kampanye peluang berusaha
2 Faktor Lokasi • Pelayanan perijinan satu atap
• Kualitas dari fasilitas pendidikan
• Fasilitas umum dan sosial
3 Kesinergian dan Fokus Kebijakan • Kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan (agropolitan)
• Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda
4 Pembangunan Berkelanjutan • Jumlah perusahaan yang melakukan
inovasi pengembangan produk dan pasar
• Kontribusi Pel terhadap peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat lokal
• Jumlah perusahaan yang memiliki business
plan
5 Tata Pemerintahan • Manfaat asisiasi /organisasi bagi
anggotanya,
• Peran asosiasi industri/komoditi terhadap
perbaikan kebijakan pemerintah dibidang
Pel
• Prosedur pelayanan administrasi publik
6 Proses Manajemen • Jumlah stakeholder yang terlibat dalam
proses perencanaan Pel
• Analisis dan pemetaan potensi ekonomi
135

8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran


8.2.1.1. Pengadaan Pusat layanan investasi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagai daerah pemekaran baru
Kabupeten Pohuwato masih berbenah diri. Oleh karenanya banyak aspek
pelayanan publik yang belum ada dan berjalan dengan baik . Dan salah satunya
adalah belum tersedianya pusat layanan investasi didaerah ini. Belum adanya data
base tentang potensi daerah dan potensi investasi terlebih khusus investasi
agribisnis dan agroindustri jagung daerah yang dapat diakses oleh investor
menyebabkan suatu daerah sulit atau mengalami perkembangan yang lambat atau
stagnan karena kurangnya investasi dari pihak swasta.
Sehingga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini
adalah membentuk suatu pusat layanan investasi dimana didalamnya dapat
diakses berbagai informasi potensi daerah dalam hal ini potensi agribisnis dan
agroindustri jagung di kabupaten pohuwato, informasi potensi investasi yang
sedang dan akan berkembang dan adanya insentif serta kemudahan investasi dari
pemerintah bagi investor yang akan berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri
jagung. Informasi ini sebaiknya dapat diakses dengan mudah oleh para investor
melalui internet sehingga dapat diakses oleh investor dari berbagai negara. Atau
dapat pula mencontoh dengan negara India yang mendirikan lembaga Pusat
Investasi India di negara maju guna menarik modal asing swasta (Jhingan,1994).

8.2.1.2. Promosi produk UKM dari pemda


Berbagai produk UKM yang berkembang dimasyarakat perlu
disosialisasikan sehingga mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah.
Keterbatasan modal dari pengusaha UKM menyebabkan sosialisasi atau promosi
ini kurang diperhatikan. Produk biji jagung dan hasil olahan jagung yang
merupakan produk andalan daerah ini seperti dodol jagung yang merupakan
industri kecil rumah tangga perlu disosialisasikan sehingga dapat menjadi produk
andalan wilayah yang dapat memberikan nilai tambah pada pendapatan
masyarakat kawasan. Oleh karenanya perlu adanya promosi dari pemerintah
daerah tentang berbagai produk UKM termasuk didalamnya produk olahan jagung
sehingga dapat menjadi daya tarik bagi ekonomi kawasan dan mendorong
ekonomi wilayah.
136

8.2.1.3. Kampanye peluang berusaha


Selanjutnya untuk lebih mengembangkan perekonomian kawasan, perlu
disosialisasikan atau diinformasikan berbagai peluang usaha dari berbagai skala
usaha yaitu usaha skala kecil, menengah dan besar. Hal ini diperlukan agar
masyarakat dan dunia usaha dapat melihat sektor-sektor mana saja yang dapat
dimasuki dalam agribisnis dan agroindustri jagung, baik dari sektor hulu sampai
ke sektor hilir. Dengan demikian akan membuat makin banyak masyarakat lokal
dan investor luar daerah untuk tertarik dan berinvestasi di Kabupaten Pohuwato.

8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi


8.2.2.1. Pelayanan perijinan satu atap
Proses pelayanan publik yang berbelit dengan birokrasi yang rumit
menjadi faktor penghalang dalam masuknya investasi disuatu daerah. Di
Kabupaten Pohuwato hal ini sering menjadi permasalahan, dimana panjangnya
birokrasi dan lamanya dalam pengurusan perijinan menjadi penghambat bagi
investor untuk berinvestasi. Belum adanya investor yang berinvestasi dalam
sektor agribisnis dan agroindustri jagung menjadi tantangan bagi Pemerintah
Daerah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada. Untuk memudahkan proses
penyelenggaraan perijinan agar lebih efisien dan efektif diperlukan pelayanan
perijinan satu atap sehingga calon investor merasa dimudahkan dan tertarik untuk
berinvestasi di Kabupaten Pohuwato, disamping itu perlu adanya ransangan
insentif bagi investor yang berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri jagung.

8.2.2.2. Kualitas dari fasilitas pendidikan


Rendahnya kualitas pendidikan di kabupaten Pohuwato terutama
disebabkan kaena : (1) Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara
kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten
Pohuwato, tingkat kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD
90,46% untuk SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% (2)
kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar yang masih belum
mencukupi secara memadai, dan (4) biaya operasional pendidikan yang belum
tersedia secara memadai. Disamping itu banyaknya jumlah sekolah yang berada
dalam keadaan rusak menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit.
137

Pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah


dengan memberikan perhatian yang lebih pada sektor ini dengan cara
mengalokasikan dana yang lebih untuk sektor ini sehingga pemerintah dapat
menyediakan pelayanan pendidikan dasar cuma-cuma bagi masyarakat
prasejahtera atau masyarakat miskin dengan kualitas fasilitas pendidikan yang
baik. Selanjutnya meningkatkan, memperluas dan memeratakan pendidikan dan
kesempatan belajar terutama didaerah terpencil dan masyarakat miskin. Dengan
demikian maka masyarakat desa dapat tetap berada di desa karena ketersediaan
pendidikan sudah dapat diperoleh di desa.

8.2.2.3.Fasilitas umum dan sosial


Belum tersedianya fasilitas umum dan sosial yang memadai diseluruh
kecamatan merupakan permasalahan yang banyak terdapat di Kabupaten
Pohuwato. Minimnya fasilitas kesehatan dan sarana prasarana rekreasi dan
olahraga, sangat berpengaruh terhadap produktivitas masyarakat desa karena
masyarakat yang sehat akan menghasilkan kinerja yang baik dan berkontribusi
terhadap pembangunan kawasan. Belum baiknya fasilitas jalan dan jembatan
menjadi masalah dalam masyarakat karena terkait dengan mata pencaharian dari
sebagian besar masyarakat. Karenanya salah satu usaha untuk meningkatkan
pengembangan ekonomi lokal adalah dengan melengkapi pengadaan fasilitas
umum dan sosial yang lebih berkualitas bagi masyarakat desa. Diharapkan
dengan tersedianya fasilitas-fasilitas ini maka ketersediaan tenaga kerja yang
berkualitas dapat tersedia sehingga menghasilkan kinerja yang baik dalam
kegiatan proses produksi agribisnis dan agoindustri jagung.

8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan


8.2.3.1.Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan
(agropolitan)
Belum maksimalnya kinerja agropolitan di Kabupaten Pohuwato
disebabkan karena belum belum adanya koordinasi yang baik dari berbagai
instansi yang terkait dengan agropolitan. Disamping itu masyarakat sebagai faktor
kunci pelaksanaan agropolitan memegang peran besar dalam keberhasilan
pengembangan ekonomi lokal di kabupaten pohuwato. Semangat, motivasi dan
138

kemauan keras dari mayarakat serta koordinasi yang baik dari berbagai elemen
dalam pemeritahan dan dunia usaha merupakan sinergi yang dapat membawa
kinerja agropolitan lebih baik lagi kedepan. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan terlihat bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan
Kabupaten Pohuwato masih pada taraf pengembangan sentra produksi pertanian.
Masalah ketersediaan lapangan disektor non pertanian, permukiman penduduk,
sanitasi dan infrastrukur urban lainnya belum banyak tersedia di perdesaan.
Karenaya perlu lebih diintensifkan lagi pengembangan sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial yang memadai sehingga masyarakat pohuwato dapat merasa
nyaman berada di Pohuwato karena berbagai fasilitas yang tersedia sehingga
dapat menekan laju migrasi penduduk ke kota.

8.2.3.2.Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda


Permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Pohuwato sebagai kabupaten
pemekaran baru masih sangat kompleks. Aspirasi untuk memisahkan diri menjadi
kabupaten baru merupakan salah satu semangat dari masyarakat dan pemerintah
untuk terus mengembangkan daerahnya. Namun egosentris daerah masih melekat
dalam pemerintahan Kabupaten Pohuwato. Otonomi Daerah memang dapat
membuat suatu kabupaten dapat berkembang cepat karena keputusan mengenai
pengelolaan daerah dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah, tidak tergantung
pada intervensi pusat. Namun di satu sisi dapat pula membuat daerah stagnan, jika
Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan dan pembangunan tanpa melihat
keterkaitan dengan daerah lain dalam hal ini keterkaitan regional. Kerjasama
regional sangat diperlukan dalam pengembangan ekonomi lokal karena dengan
adanya kerjasama maka alokasi dana pembangunan dapat dilakukan lebih efisien
dan efektif. Perlu didorong kerjasama dengan kabupaten lain misalnya Kabupaten
Boalemo terkait dengan produksi jagung sehingga dapat memenuhi skala ekonomi
dan produksi. Sehingga kontinuitas produk dapat terjaga dan kelangsungan
agribisnis dapat berkesinambungan.
139

8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan

8.2.4.1.Jumlah perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk


dan pasar
Belum berkembangnya industri pengolahan produk, menyebabkan jumlah
perusahan yang melakukan inovasi produk belum berkembang di Kabupaten
Pohuwato. Kondisi eksisting yang ada terlihat bahwa produk unggulan jagung
masih memiliki pasar yang terbatas, dimana konsentrasi pemerintah masih tertuju
sebagai produk eksport dalam bentuk biji jagung. Padahal jagung dapat
dikembangkan menjadi produk olahan yang memiliki prospek yang besar melalui
diversifikasi produk. Oleh karenaya, perlu dikembangkan keberagaman produk
sehingga pasar menjadi semakin terbuka. Hal ini dapat mendorong pengembangan
ekonomi lokal kearah yang lebih baik. Disamping itu, terlihat bahwa pasar
komoditas jagung lebih banyak memenuhi permintaan luar kawasan baik secara
regional maupun internasional. Padahal diketahui bersama selain sebagai bahan
baku industri, jagung merupakan bahan pangan dan merupakan makanan pokok
masyarakat Gorontalo yaitu beras jagung yang dalam bahasa lokal sebagai
Baalobinthe. Namun karena adanya ’politik perberasan’ menyebabkan beras
menjadi superior dibandingkan beras jagung sehingga posisinya menjadi
termarginalkan. Dengan semakin baiknya image jagung sekarang ini sangat
membuka peluang pengembangan pasar lokal untuk komoditas ini sebagai bahan
pangan. Karena itu perlu diarahkan penggunaan pangan alternatif beras jagung
sebagai makanan pokok masyarakat sehingga dapat merangsang investasi industri
penggilingan beras jagung di tingkat masyarakat .

8.2.4.2.Kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan


kesejahteraan masyarakat lokal
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pengembangan ekonomi lokal
di Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Namun demikian tingkat
pendapatan masyarakat Pohuwato masih rendah jika dibandingkan dengan daerah
lainnya.. Karena itu diperlukan upaya-upaya memaksimalkan potensi ekonomi
daerah sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat Pohuwato secara
keseluruhan. Perlu adanya fokus terhadap program-program yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat petani
140

dengan mengadakan berbagai pelatihan–pelatihan baik dalam budidaya maupun


dalam kewirausahaan. Perlu lebih diperhatikan usaha-usaha kecil masyarakat dan
perlu dirangsang penciptaan usaha-usaha baru oleh masyarakat lokal dengan
memanfaatkan sumber daya lokal.

8.2.4.3.Jumlah perusahaan yang memiliki business plan


Masih belum berkembangnya industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato
menyebabkan kurangnya investasi di Kabupaten Pohuwato, hal ini berdampak
pada kurangnya jumlah perusahaan yang memiliki business plan. Ke depannya
perlu dirangsang masuknya investasi swasta yang memiliki perencanaan bisnis
yang matang dan memiliki keterkaitan kedepan dan kebelakang yang besar
dengan basis pertanian yang ada di Kabupaten Pohuwato.

8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan


8.2.5.1.Manfaat asosiasi /organisasi bagi anggotanya
Berdasarkan fakta dilapangan terlihat bahwa berkembangnya kelembagaan
atau organisasi petani yaitu kelompok tani dan KUD belum banyak memberikan
manfaat pemberdayaan bagi masyarakat petani. Keberadaan kelembagaan tersebut
belum dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai sarana atau wadah untuk
menguatkan eksistensi petani sebagai produsen penghasil komoditi andalan
jagung. Akan tetapi keberadaan kelompok tani baru sebatas sebagai sarana bagi
kelembagaan penyuluh untuk menyampaikan informasi pengusahaan usaha tani
dan sebagai alat kontrol bagi pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan
yang ada.
Keadaan ini menyebabkan manfaat organsisasi belum dirasakan oleh
anggotanya. Kedepanya perlu ditumbuhkan motivasi dan keinginan dari petani
agar dapat memanfaatkan organisasi yang ada sebagai wadah penguatan posisi
petani dalam menegosiasikan harga produk jagung melalui asosiasi petani jagung
atau sejenisnya.

8.2.5.2.Peran asosiasi industri/komoditi terhadap perbaikan kebijakan


pemerintah dibidang Pel
Karena manfaatnya belum dapat dirasakan oleh anggotanya,
menyebabkan peran dari asosiasi ini belum banyak bermanfaat terhadap perbaikan
141

kebijakan pemerintah. Ini disebabkan karena kelembagaan kebanyakan hanya


dibentuk sebagai syarat perlu saja bagi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan
atau programnya, sehingga kehadirannya belum banyak berkontribusi. Oleh
karenanya perlu di perkuat eksistensi dari berbagai kelembagaan yang ada agar
dapat keberadaannya dapat bermanfaat bagi anggotanya sehingga secara tidak
langsung melalui wadah ini masyarakat dapat berkontribusi terhadap perbaikan
kebijakan di bidang pel.

8.2.5.3.Prosedur pelayanan administrasi publik


permasalahan yang dihadapi Kabupaten Pohuwato adalah masih lemahnya
prosedur pelayanan administrasi publik, dimana masih banyaknya terjadi
penyimpangan. Biaya pengurusan KTP yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku
merupakan salah satu masalah yang perlu diatasi. Tingginya biaya pengurusan dan
lama pengurusan administrasi publik menjadi wacana yang harus mendapat
perhatian pemerintah.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan sanksi pagi
petugas yang melakukan pelanggaran serta menginformasikan kepada masyarakat
bagaimana prosedur yang seharusnya dalam setiap pengurusan pelayanan
administrasi publik seperti pengurusan KTP, akte, maupun ijin berusaha.

8.2.6. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen


8.2.6.1.Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan Pel
Permasalahan yang terkait di Kabupaten Pohuwato adalah masih
minimnya kesadaran dari masing-masing stakeholder terhadap upaya
pengembangan ekonomi lokal. Rendahnya kualitas SDM stakeholder merupakan
salah satu faktor penyebab hal ini bisa terjadi. Sebagian masyarakat masih
beranggapan bahwa urusan ekonomi merupakan tanggungjawab pemerintah dan
pelaku usaha. Padahal masalah pengembangan ekonomi merupakan
tanggungjawab seluruh komponen masyarakat.

8.2.6.2.Analisis dan pemetaan potensi ekonomi


Tidak adanya pemetaan potensi ekonomi merupakan salah satu masalah
yang ada di Kabupaten Pohuwato. Padahal analisis dan pemetaan potensi ekonomi
merupakan salah satu panduan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan
142

pembangunan daerah supaya terarah dan tepat sasaran. Oleh karenanya


pengadaan analisis dan pemetaan potensi ekonomi Daerah perlu dilakukan dan
disosialisasikan serta dijabarkan kepada masing-masing instansi terkait sehingga
dapat dirancang kebijakan yang sesuai dengan analisis dan peta potensi daerah.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang dampak agropolitan basis
jagung di Kabupaten Pohuwato dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Program agropolitan basis jagung meningkatkan perekonomian wilayah
Kabupaten Pohuwato melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah.
Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung di Kabupaten
Pohuwato mampu menarik atau menggerakkan sektor industri pengolahan,
listrik dan air besih sebagai sektor sekunder dan sektor perdagangan
sebagai sektor tersier sehingga dapat memberikan multiplier effect yang
besar terhadap total perekonomian wilayah. Akan tetapi secara kompetitif
sektor-sektor unggulan seperti sub tanaman bahan makanan, komoditi
jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing
yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah.
2. Program agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato, meningkatkan
pendapatan usahatani petani di kawasan agropolitan melalui kegiatan
penyuluhan, tersedianya infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga
dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan pendapatan
usahatani di kawasan non agropolitan. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan usahatani non
agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun dan Rp5.506.966,-
per ha/tahun.
3. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan tingkat
partisipasi Arnstein berada pada tingkat konsultasi. Hal ini berarti bahwa
partisispasi masyarakat masih sebatas pada taraf pelaksana saja karena
masyarakat masih belum banyak dilibatkan dalam taraf perencanan
program. Program agropolitan masih sangat bersifat top down karena
intervensi pemerintah dalam setiap kegiatan masih sangat dominan.
4. Berdasarkan hasil analisis program agropolitan sedikit banyak sudah dapat
mendorong pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Status
PEL di Kabupaten Pohuwato digolongkan dalam kategori baik. Untuk
144

mengembangkan dan meningkatkan pengembangan ekonomi lokal


dikawasan agropolitan diperlukan beberapa strategi yaitu : (1)
pembentukan pusat layanan investasi (2) peningkatan Promosi UKM dan
Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda (3) upaya diversifikasi produk
dan pasar (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap (5) perbaikan
fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial (6)
mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan
(Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah (8)
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat

9.2. Saran
1. Pengembangan Agropolitan memerlukan kerjasama lintas sektoral dan
sinkronisasi kebijakan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
2. Perlu dibentuk pusat pelayanan investasi terlebih khusus investasi jagung
untuk menarik investor menanamkan modalnya di kawasan pengembangan,
serta meningkatkan kebijakan yang merangsang masuknya investasi swasta.
3. Mengoptimalkan kerjasama dengan kabupaten lain terkait penggunaan
infrastruktur dan pengembangan agropolitan jagung baik untuk memenuhi
kontinuitas produksi maupun dari segi pemasaran melalui kegiatan-kegiatan
pelatihan, magang dan studi banding misalnya dengan Kabupaten Boalemo.
4. Kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi dengan
melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan sampai proses monitoring
dan evaluasi. Perlu adanya pendampingan yang efektif untuk setiap kegiatan-
kegiatan produktif dalam masyarakat sampai masyarakat betul-betul menjadi
masyarakat yang mandiri.
5. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar instasi dalam
pemerintah maupun pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat petani
dalam pengembangan agropolitan sehingga sarana-prasarana yang ada dapat
dimanfaatkan dengan efisien, misalnya dengan menjalin koordinasi yang baik
dengan Dinas Perhubungan untuk pengoperasian terminal di Kecamatan
Randangan.
145

6. Perlu adanya pengawasan dalam pelaksanaan RTRW agar keberlanjutan


agropolitan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat terjaga serta perlu
adanya revisi terhadap masterplan agropolitan sesuai dengan rencana
pengembangan pusat-pusat produksi, pengolahan dan pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah.

Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah.

2002. Penjelasan Program Strategi Nasional Bidang Pengembangan


Perkotaan dan Perdesaan, Bahan Sosialisasi Agropolitan Tingkat Propinsi
dan Kabupaten. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

2002. Pedoman Umum Pengembangan Agropolitan dan Pedoman


Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.

2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang

Ahmad, W.M. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Pembangunan di Tingkat


Komunitas. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial


melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-kota Menengah
dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan
Pengembangan Perdesaan Bogor.

Anwar, A. 2006. Pembangunan Mikropolitan dalam Mendorong Kegiatan Sektor


Pertanian dan Sektor Komplemennya di Wilayah Perdesaan. pp 101-109. in
Rustiadi, et al. (2006), Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan Desa-
Kota Berimbang. Crespent Press.

Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Jaip Vol .35 No, 4. pp
216-224.

Bappenas. 2006. Panduan Nasional Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal


(PEL). Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.
Jakarta.

2006. Manual Operasional Penentuan Status dan Faktor Pengungkit


PEL. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Jakarta.

BPS Provinsi Gorontalo, 2007. Propinsi Gorontalo Dalam Angka 2007.


Kerjasama BPS dan Bappeda Gorontalo.
147

BPS Kabupaten Pohuwato, 2006. Pohuwato Dalam Angka 2006. Kerjasama BPS
dan Bappeda Kabupaten Pohuwato.

Bustaman, S. dan Susanto, N.A. 2003. Potensi Lahan dan Alternatif Komoditas
Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Pada Setiap Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Ambon

Darmawan Arya. Setiahadi. Pribadi, D.O. Iman Laode. 2003. Studi Kebijakan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan.
Kementerian Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2007. Mewujudkan Revitaslisasi


Pertanian Melalui Pembangunan 9 (sembilan) Pilar Agropolitan Menuju
Pertanian Modern di Gorontalo. Gorontalo.

Djakapermana,R.E. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka


Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik
Indonesia.Jakarta.

Douglas, M. 1986. Regional Networks Development UNHCS-Bappenas

Friedman, J. and M. Douglas. 1975. Development : Toward a New Strategy for


Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre.Nagoya.Japan.

Harahap MK. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan


Mangrove. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Hastoto, E. 2003. Analisis Disparitas Pembangunan Regional di Provinsi Sulawesi


Utara dan Provinsi Gorontalo. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Haeruman, H, Js. 2000. Pembangunan Daerah Melalui Pengembangan Wilayah.


Prosiding Diseminasi dan Diskusi Progran-Program Pengembangan
Wilayah dan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Bogor.

Jhingan, M.L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor.

Muhammad, F. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah.


Kompas Gramedia. Jakarta.

Nasution, L. 2004. Agropolitan dan Permasalahan Pertanahan Perdesaan dan


Pertanian. Seminar Nasional Pengembangan agropolitan sebagai Strategi
Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. IPB.Bogor.
148

Pranonto, S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model


Pengembangan Agropolitan. Disertasi. IPB. Tidak dipublikasikan.

Pribadi, D.O. 2005. Pembangunan Agropolitan melalui Pengembangan Kota-kota


Kecil Menengah,Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan
Akses Masyarakat Terhadap Lahan. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap


Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia.
Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Rodinelli, D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial


Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London.

Rompon, M.S. 2006. Kajian Pengembangan Sektor Pariwisata Dalam Rangka


Meningkatkan Keragaan Perekonomian Wilayah Kabupaten Tana Toraja.
Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Rustiadi, et. al. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional


Berimbang. P4W IPB dan Bapenas. Bogor.

Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan
Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta.

Rustiadi, et. al. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah
Tata Ruang. Program Studi PWD, Pasca Sarjana IPB.Bogor.

Rustiadi, E., Hadi, S. 2006. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi


Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang.pp1-31.in Rustiadi
et al (2006) Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan Desa-Kota
Berimbang. Crespent Press.

Rustiadi , E. 2007. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam


Mendukung Konsep Agropolitan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya
Menuju Desa 2030. LPPM. IPB.

Rustiadi, E., Dardak, E.E. 2008. Agropolitan : Strategi Pengembangan Pusat


Pertumbuhan pada Kawasan Perdesaan. Crestpent Press.

Sadjad , S. 2004. Desa itu Industri. Makalah pada Workshop Agropolitan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Saefulhakim, S. 2001. Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada


Lokakarya Pembahasan Kriteria Kerusakan Hutan, Lahan dan Air di Jawa
Barat. Bogor.

Saefulhakim, S. 2004. Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan


Ekonomi Regional melalui Keterkaitan Desa-Kota. Makalah Workshop
“Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan
Wilayah secara Berimbang”. Bogor.
149

Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. 2005.


Advisory Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun
Fasilitasi. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Suwandi. 2004. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Perdesaan di Kawasan


Agropolitan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Tim Pusat Pengkajian Perncanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W). 2002.


Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-Regional Berimbang.
Bappenas dan Fakultas Pertanian IPB Bogor.

Yudhohusodo, S .2002 Laporan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Jakarta.


LAMPIRAN
Lampiran 1

PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000


MENURUT LAPANGAN USAHA ( Dalam Jutaan )
TAHUN 2000 - 2006
LAPANGAN USAHA Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 216.831.500 225.685.700 232.973.400 240.387.300 247.163.600 253.726.000 261.296.800
a. Tanaman Bahan Makanan 112.355.600 113.019.600 115.925.500 119.164.800 122.611.700 125.801.800 129.211.200
- Jagung * 9.117.832 9.729.490 10.604.571 11.878.850 12.789.256 19.481.366 16.148.182
- Padi * 47.507.932 59.594.183 74.402.607 75.390.975 78.211.924 62.234.364 98.849.196
PERTAMBANGAN DAN 167.692.200 168.244.300 169,932,000 167.603.800 160.100.500 165.085.400 168.729.900
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 385.597.900 398.323.900 419,388,100 441.754.900 469.952.400 491.421.800 514.192.200
LISTRUK, GAS DAN AIR
BERSIH 8.393.800 9.058.300 9,868,200 10.349.200 10.897.600 11.584.100 12.263.600
BANGUNAN 76.573.400 80.080.400 84,469,800 89.621.800 96.334.400 103.483.700 112.762.200
PERDAGANGAN, HOTEL DAN 224.452.200 234.273.000 243,409,300 256.516.600 271.142.200 293.877.200 311.903.500
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 65.012.100 70.276.100 76,173,200 85.458.400 96.896.700 109.467.100 124.399.000
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN & 115.463.000 123.085.500 130,928,100 140.374.400 151.123.300 161.384.300 170.495.600
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 129.753.800 133.957.400 138,982,300 145.104.900 152.906.100 160.626.500 170.612.100
TOTAL PDRB 1.389.769.900 1.442.984.600 1,506,124,400 1.577.171.300 1.656.516.800 1.750.656.100 1.846.654.900
Sumber : - BPS
* merupakan data hasil proksi
Lampiran 2

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000


PROVINSI GORONTALO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 – 2006
( Dalam Jutaan )
LAPANGAN USAHA TAHUN
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 458.526,55 490.838,68 533.707,94 557.677,66 575.307,36 618.182,00 667.260,00
Tanaman Bahan Makanan 191.290,64 198.468,02 219.218,40 239.243,33 260.353,32 283.917,00 310.060,00
- Jagung * 44.680,87 43.082,16 42.238,45 59.667,79 65.573,02 129.728,92 134.974,55
- Padi * 96.260,62 90.916,80 84.403,53 87.073,85 90.230,68 92.669,01 106.471,49
PERTAMBANGAN DAN 11.254,89 12.923,08 14.614,92 16.871,44 17.438,24 19.121,56 21.274,00
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 182.508,95 158.145,31 166.851,96 175.163,11 184.178,38 192.881,75 181.447,00
LISTRIK, GAS DAN AIR
BERSIH 8.384,73 9.462,84 10.196,98 10.545,61 11.803,95 12.446,23 12.640,00
BANGUNAN 118.970,00 122.136,54 126.673,28 136.056,51 142.125,89 148.999,86 167.512,00
PERDAGANGAN, HOTEL
DAN 240.435,72 248.651,84 257.727,97 262.172,86 268.829,67 281.981,00 301.344,00
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 139.861,31 158.274,83 145.180,38 152.937,82 187.254,42 204.780,61 224.738,00
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN
& 96.520,00 101.670,13 116.897,16 148.772,95 178.719,35 172.323,00 185.139,00
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 216.812,58 252.868,50 283.477,31 308.990,03 326.106,02 377.00700 414.462,00
TOTAL PDRB 1.473.274,72 1.554.971,75 1.655.327,91 1.769.187,99 1.891.763,26 2.027.723,01 2.175.816,00
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Prov.Gorontalo
Lampiran 3
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000
KABUPATEN BOALEMO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2006
( Dalam Jutaan )
Tahun
LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 68.061,20 72.884,13 79.132,11 86.948,70 92.296,50 98.975,56 103.882,53
Tanaman Bahan Makanan 25.262,15 30.363,45 35.479,85 44.579,37 51.032,88 58.035,71 62.427,79
- Jagung* 16.262,00 19.918,00 20.181,00 29.329,00 33.588,00 27.411,00 25.355,00
- Padi * 7.290,00 8.762,00 11.701,00 12.620,00 14.799,00 23.911,00 28.373,00
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 1.068,87 1.181,85 1.206,28 1.232,56 1.112,05 1.078,74 1.127,76
INDUSTRI PENGOLAHAN 10.983,85 11.123,50 12.039,46 12.402,70 12.794,71 12.982,30 13.643,44
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 447,24 653,38 785,20 1.198,23 1.363,11 1.529,28 1.572,12
BANGUNAN 18.855,35 19.612,84 20.149,62 20.987,84 18.279,38 18.180,97 18.839,12
PERDAG., HOTEL & RESTORAN 19.588,44 22.811,11 23.516,33 23.910,03 28.986,46 33.378,29 36.501,52
PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 9.990,42 9.988,39 10.410,48 10.711,38 11.070,68 10.942,78 11.706,27
KEU. PERSEWAAN, & JASA
10.015,51 10.933,40 12.459,01 14.620,81 17.113,68 16.896,73 21.078,58
PERUSAHAAN
JASA-JASA 36.884,49 37.031,14 38.771,77 39.594,21 41.654,50 44.806,48 46.285,57
TOTAL PDRB 175.895,37 186.219,73 198.470,26 211.606,46 224.671,07 238.771,13 254.636,91
Sumber : BPS Kabupaten Boalemo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Boalemo
153

Lampiran 4

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO


ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000
KABUPATEN POHUWATO MENURUT LAPANGAN USAHA
TAHUN 2004 – 2006 ( Dalam Jutaan )

LAPANGAN USAHA Tahun


2004 2005 2006
PERTANIAN 169.276 172.432 180.220
a. Tanaman Bahan Makanan 73.441 81.633 86.240
- Jagung * 60.953 66.255 74.732
- Padi * 10.017 13.546 8.066
PERTAMBANGAN DAN 2.512 2.616 2.682
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 22.551 23.945 24.362
LISTRIK, GAS DAN AIR
BERSIH 2.660 2.963 3.407
BANGUNAN 27.415 28.778 31.993
PERDAGANGAN, HOTEL DAN 51.042 66.454 67.364
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 11.969 12.228 13.187
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN
DAN 26.156 27.694 31.213
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 26.887 28.004 37.160
TOTAL PDRB 340.467 365.116 391.587
Sumber : BPS Kabupaten Boalemo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Pohuwato
154

Lampiran 5

Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung


Kawasan Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan
Non Agropolitan (Kecamatan Taluditi)

Agropolitan Non Agropolitan


Nomor (Kecamatan Randangan) (Kecamatan Taluditi)
Responden Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan
(Rp/Ha) Per Tahun (Rp/Ha) Per Tahun
(Rp/Ha) (Rp/Ha)
1 5.895.000 11.790.000 2.730.000 5.460.000
2 6.515.000 13.030.000 3.525.000 7.050.000
3 4.126.000 8.252.000 3.242.500 6.485.000
4 6.225.000 12.450.000 2.085.000 4.170.000
5 5.579.000 11.158.000 2.110.000 4.220.000
6 4.876.000 9.752.000 3.007.500 6.015.000
7 4.116.250 8.232.500 3.233.000 6.466.000
8 5.600.000 11.200.000 2.015.000 4.030.000
9 4.227.500 8.455.000 2.425.000 4.850.000
10 5.908.000 11.816.000 3.037.000 6.074.000
11 3.924.000 7.848.000 2.720.000 5.440.000
12 5.049.000 10.098.000 2.670.000 5.340.000
13 4.656.500 9.313.000 2.340.000 4.680.000
14 5.109.000 10.218.000 2.025.000 4.050.000
15 4.539.000 9.078.000 2.926.000 5.852.000
16 5.593.000 11.186.000 3.040.000 6.080.000
17 3.910.000 7.820.000 2.899.000 5.798.000
18 3.733.000 7.466.000 3.145.000 6.290.000
19 4.002.500 8.005.000 2.544.000 5.088.000
20 5.330.000 10.660.000 4.150.000 8.300.000
21 7.040.000 14.080.000 2.889.000 5.778.000
22 5.341.500 10.683.000 2.960.000 5.920.000
23 3.807.500 7.615.000 2.814.000 5.628.000
24 5.285.000 10.570.000 3.330.000 6.660.000
25 5.622.500 11.245.000 2.590.000 5.180.000
26 5.447.500 10.895.000 2.207.500 4.415.000
27 4.577.500 9.155.000 2.290.000 4.580.000
28 5.200.000 10.400.000 2.012.500 4.025.000
29 4.250.000 8.500.000 2.675.000 5.350.000
30 5.715.000 11.430.000 2.967.500 5.935.000
Jumlah 151.200.250 302.400.500 82.604.500 165.209.000
Rata-rata 5.040.008,33 10.080.016,67 2.753.483,33 5.506.966,67
155

Lampiran 6

Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan

Two-sample T for Agropolitan vs Non-agropolitan

N Mean StDev SE Mean


Agropolitan 30 10080017 1727609 315417
Non-agropolitan 30 5506967 1000130 182598

Difference = mu (Agropolitan) - mu (Non-agropolitan)


Estimate for difference: 4573050
95% CI for difference: (3839434, 5306666)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 12,55 P-Value = 0,000
DF = 46
156

Lampiran 7 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan


Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
A Aspek Komunikasi
1 Apakah anda mendapatkan informasi tentang adanya pelaksanaan
pengembangan apropolitan
a. Tidak 1 10 0,3 3 33.3
b. Ya 4 20 0,3 24 66.7
27
Dalam forum apa keputusan diambil dalam lingkungan
2 desa
a. Tidak ada 1 5 0,2 1 16.7
b. Diskusi perorangan 2 3 0,2 1,2 10.0
c. Diskusi dalam kelompok tani 3 15 0,2 9 50.0
d. Diskusi dalam forum desa 4 7 0,2 5,6 23.3
16,8
3 Menurut anda berapa orang yang tahu dan diajak berembuk
menngenai sebuah proyek yang akan berlangsung di lingkungan
anda (a.l. agropolitan)
a. Dibawah 10 % 1 5 0,3 1,5 16.7
b. Antara 10 - 30 % 2 7 0,3 4,2 23.3
c. Antara 30 - 50 % 3 16 0,3 14,4 53.3
d. Lebih dari 50 % 4 2 0,3 2,4 6.7
22,5
4 Seberapa besar intervensi dari aparat terhadap proses fasilitasi
program?
a. Sangat Dominan 1 7 0,2 1,4 23.3
b. Dominan 2 8 0,2 3,2 26.7
c. Tidak terlalu Dominan 3 10 0,2 6 33.3
d. Tidak Dominan 4 5 0,2 4 16.7
14,6
Total 80,9
B Pengetahuan Masyarakat Atas Forum Pengambilan Keputusan
1 Menurut anda apakah perencanaan yang ada dalam pengembangan
agropolitan sudah melibatkan masyarakat ( sdh mencerminkan
konsep partisipatif)
a. Tidak 1 13 0,25 3,25 43.3
b. Ya 4 17 0,25 17 56.7
20,25
2 Apakah anda puas dengan prosedur dan proses pengambilan
keputusan dalam forum perencanaan agropolitan?
a. Tidak puas 1 6 0,25 1,5 20.0
b. kurang puas 2 16 0,25 8 53.3
c. Puas 3 8 0,25 6 26.7
d. Sangat puas 4
15,5
3 Menurut anda apakah dalam perencanaan pengembangan
pembangunan (agropolitan) yang dilakukan selama ini, warga dan
organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat
didalamnya.
a. Tidak tahu 1 4 0,3 1,2 13.3
b. Tahu tapi hanya sedikit 2 18 0,3 10,8 60.0
c. Tahu dan ikut terlibat 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat tahu dan ikut terlibat 4
19,2

4 Jika keputusan diambil dalam kelompok, bagaimana keputusan itu


dibuat?
a. Ditentukan oleh ketua saja 1 3 0,2 0,6 10.0
Didiskusikan dalam kelompok tapi hasil akhir
b. ditentukan oleh 2 4 0,2 1,6 13.3
ketua 0.0
Didiskusikan dan ditentukan oleh sebagian dari
c. forum 3 4 0,2 2,4 13.3
Didiskusikan dan hasil ditentukan oleh seluruh
d. forum 4 19 0,2 15,2 63.3
19,8
157

Total 74,75

Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
c Kontrol Terhadap Kebijakan
Apakan warga dan organisasi masyarakat lainnya dapat
1 dengan
mudah terlibat/ ikut serta dalam forum perencanaan
a. Sangat Sulit 1 9 0,3 2,7 30.0
b. Sulit 2 10 0,3 6 33.3
c. Mudah 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat Mudah 4 3 0,3 3,6 10.0
19,5
Apakah anda pernah memberikan masukan kepada
2 pemerintah atau
pihak yang anda anggap bertanggungjawab untuk merubah prosedur
dan proses pengambilan keputusan
a. Tidak pernah 1 5 0,4 2 16.7
b. Pernah dan tidak mendapat tanggapan 2
c. Pernah dan mendapat sedikit tanggapan 3 8 0,4 9,6 26.7
d. Pernah dan mendapat tanggapan 4 10 0,4 16 33.3
27,6
3 Menurut anda, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan proyek agropolitan
a. Tidak baik 1
b. Cukup baik 2 4 0,3 2,4 13.3
c. Baik 3 7 0,3 6,3 23.3
d. Sangat baik 4 19 0,3 22,8 63.3
31,5
Total 78,6
Lampiran 8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo
159

Lampiran 9 Indikator Komponen Heksagonal PEL

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Kelompok Investor luar Peraturan(Perda/Perkada/SK
Sasaran Ka.SKPD) tentang kemudahan dalam
bentuk:
a. Insentif fiskal
b. Penyerdehanaan Perijinan
c. Penyediaan Lokasi/Lahan
d. Ketenagakerjaan
Informasi prospek bisnis
(buku/booklet/leaflet peluang
investasi, official web site)
Kepastian berusaha dan hukum (a.l.
ijin lokasi usaha, tata ruang, arbitrase,
persaingan usaha, peradilan niaga)
Keamanan(penjarahan, konflik
sosial,premanisme, dan buruh
mogok)
Kampanye peluang usaha melalui :
1. Media massa(media cetak,
elektronik, web site)
2. Kegiatan interaktif(temu
usaha/pameran/seminar potensi
daerah)
Pusat pelayanan investasi dengan jasa
layanan konsultasi investasi
Pelaku Usaha lokal Upaya fasilitasi permodalan bagi
dunia usaha oleh pemda
Promosi produk UKM untuk
memperluas pasar oleh pemda
Upaya pemda untuk peningkatan
teknologi, manajemen, dan
kelembagaan usaha lokal (aspek ijin
usaha, badan hukum, organisasi
usaha)
Pelaku Usaha Baru Fasilitasi pelatihan kewirausahaan
bagi pengusaha baru (kemampuan
teknik dan entrepreneurship)
Pendampingan dan monitoring bisnis
pelaku usaha baru
Insentif pemda dalam bentuk
pemberian dana stimulan dan
keringanan biaya perijinan
Kecepatan pengurusan ijin bagi
investasi baru
160

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Faktor Lokasi Faktor Lokasi Kondisi jaringan jalan
Terukur Akses ke pelabuhan laut
Akses ke pelabuhan udara
Sarana transportasi
Infrastruktur komunikasi
Infrastruktur energi
Upah tenaga kerja dibanding daerah
sekitar
Tenaga kerja terampil
Tenaga kerja terdidik (Jumlah
angkatan kerja lulusan SLTA
dibanding total angkatan kerja)
Jumlah lembaga keuangan lokal
(Bank umum, BPR,LKM,KSP/USP)
Jumlah penyaluran kredit (modal
kerja dan investasi)
perbankan/lembaga keuangan bukan
bank
Iklim perekonomian lokal
Faktor Lokasi Tidak Peran dan kebijakan pemerintah
Terukur provinsi kepada daerah
Peran dan kebijakan pemerintah pusat
kepada daerah
Citra dari lokasi (sentra usaha)
Citra dari kota/kabupaten
Industri yang memiliki mata rantai
lengkap dari hulu ke hilir untuk suatu
komoditas
Peluang kerjasama dalam industri
sejenis maupun dalam industri ulu-
hilir
Lembaga penelitian perguruan tinggi
Lembaga penelitian dan
pengemabngan pemerintah dan
swasta bukan perguruan tinggi
Pelayanan perijinan satu atap
Peluang bekerja bagi tenaga kerja
lokal dibanding dengan pendatang
161

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Faktor Lokasi Faktor Lokasi Tidak Kualitas permukiman
Terukur Individual Kualitas lingkungan
Kualitas fasilitas pendidikan
Kualitas pelayanan kesehatan
Kualitas fasilitas umum dan sosial
Keterkaitan dan Perluasan Ekonomi Kebijakan Peningkatan Investasi
Fokus Kebijakan promosi daerah
Kebijakan Kebijakan persaingan usaha (a.l.
tentang pembatasan lokasi pasar
modern/ supermarket/hypermarket
Kebijakan perbaiakan UKM (a.l.
kemitraan dan subkontrak)
Kebijakan peningkatan peran
Perusahaan Daerah
Kebijakan pengembangan jaringan
usaha antar pelaku ekonomi
Kebiajkan informasi bursa tenaga
kerja
Kebijakan pengembangan keahlian
(peningkatan ketrampilan)
Pemberdayaan Kebijakan pemberdayaan masyarakat
Masyarakat dan berbasis kemitraan dengan dunia
Pengembangan usaha (memanfaatkan dana CSR)
Komunitas Kebijakan pengurangan kemiskinan
secara partisipatif
Pembangunan Kebijakan pembangunan kawasan
Wilayah industri hinterland / industri
Kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan
(agropolitan) dan perkotaan (central
business district)
Kebijakan pengembangan komunitas
sprt: perbaikan lingkungan, perbaikan
kampung
Kebijakan kerjasama antar
daerah/pemda
Keijakan tata ruang PEL
Kebijakan pengembangan jaringan
usaha antar sentra usaha
Sistem industri yang berkelanjutan
(adanya keterkaitan pengadaan bahan
baku, prodksi dan pengolahan)
162

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Pembangunan Ekonomi Perkembangan industri pendukung
Berkelanjutan untuk keberlanjutan sistem industri
Jumlah perusahaan yang telah
memiliki business plan
Jumlah perusahaan yang melakukan
inovasi pengembangan produk dan
pasar
Sosial Kontribusi PEL terhadap peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat lokal
PEL mempertimbangan keberadaan
adat dan kelembagaan lokal
Lingkungan Kebijakan pemecahan permasalahan
lingkungan (a.l. penerapan amdal)
Pengelolaan dan pendaur ulangan
limbah (a.l. produk organik)
Kebijakan konservasi sumber daya
alam dalam PEL
Tata Kemitraan Kemitraan di bidang infrastruktur
Kepemerintahan Pemerintah dan (a.l. BOT)
Dunia Usaha Kemitraan di bidang promosi dan
perdagangan
Kemitraan di bidang pembiayaan
usaha ( a.l : pinkaman, penyaluran
kredit, PKBL)
Reformasi Sektor Reformasi sistem insentif
Publik pengembangan SDM aparatur(a.l.:
remunerasi, jenjang karir
Restrukturisasi organisasi pemerintah
Prosedur pelayanan administrasi
publik :
1. sederhana
2. jelas
3. cepat
4. terjangkau
Pengembangan Status asosiasi industri/komoditi/
Organisasi forum bisnis
Peran asosiasi
industri/komoditi/forum bisnis
terhadap perbaikan kebijakan
pemerintah di bidang PEL
Manfaat asosiasi /organisasi bagi
anggotanya
163

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Proses Diagnosa Secara Analisis dan pemetaan potensi
Manajemen Partisipatif ekonomi
Penilaian terhadap daya saing
wilayah
Pemetaan kondisi politis lokal
Identifiaksi stakeholder PEL
Perencanaan dan Penggunaan hasis diagnosis sebagai
Implementasi dasar perencanaan PEL
Partisipatif Jumlah stakeholder yang terlibat
dalam proses perencanaan PEL
Sinkronisasi lintas sektoral dan
spasila dalam proses perencanaan
PEL
Kesesuaian implementasi dengan
perencanaan
Keterlibatan stakeholder dalam
proses penyusunan indikator evaluasi
Monitoring dan Keterlibatan stakeholder dalam
Evaluasi secara proses monitoring dan evaluasi
Partisipatif Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri
(self evaluation)
Frekuensi dilakukan diskusi bagi
proses pemecahan permasalahan
Penggunaan hasil evaluasi dalam
perbaikan perencanaan
164

Lampiran 10 Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan

Lampiran 11 Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri,


BUMD Provinsi Gorontalo
165

Lampiran 12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan

Lampiran 13 Gambar Terminal Randangan


ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP
PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO

(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


A155050011
ABSTRACT

SHERLY GLADYS JOCOM. An Analysis of the Impact and Strategy of


Corn-Based Agropolitant Development on the Regional Economy and Farmers’
Income Analysis in the Province of Gorontalo (Case study of Pohuwato Regency).
Under the direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI, and HIMAWAN
HARIYOGA.

This study was intended to identify the impact of the agropolitant


development in relation to the regional development of Pohuwato Regency. The
objective of the study was to analyze the impact of corn-based agropolitant
development on the regional economy and farmers’ income, measure the level of
people’s participation, and formulate the policies which can stimulate economic
development in the agropolitant area. The research results show that corn-based
agropolitant development has improved the regional economy of Pohuwato
Regency through a change in the structure of regional economy and increased the
farmers’ income although the major (prioritized) sectors such as agriculture, sub-
food crops, corn commodities and transportation are still low in competitiveness.
The people’s participation in the agropolitant area was at the level of consultation.
Therefore, the strategies for the development of regional economy in the
agropolitant area should include (1) formation of investment service centers, (2)
improvement in the promotion of UKM (small-medium scale businesses) and
business opportunity campaigns, (3) the exertion of product and market
diversification (4) provision of business permit / licenses under one roof ( one-
stop services office ), (5) improvement in facilities and quality of education as
well as public and social facilities, (6) optimization in the development of growth
centers in the rural areas (agropolitants), (7) improvement in cooperation policies
between regions, and (8) empowerment of community and farmers’ institutions.

Keywords : agropolitant, regional economy, community’s participation


RINGKASAN

SHERLY GLADYS JOCOM. Analisis Dampak dan Strategi


Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI, dan
HIMAWAN HARIYOGA.

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan


konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan
dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo
berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di
Kawasan Timur Indonesia. Namun demikian sebagai salah satu kabupaten di
Provinsi Gorontalo yang menjadi kawasan rintisan pengembangan agropolitan,
Kabupaten Pohuwato masih memiliki banyak permasalahan seperti tingginya
tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya
sarana–prasarana penunjang menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat dampak pengembangan program agropolitan dikaitkan dalam
pembangunan wilayah Kabupaten Pohuwato. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis dampak program agropolitan terhadap perekonomian wilayah dan
pendapatan masyarakat petani, mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan
merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan. Adapun alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan
Multiplier Long Run, Analisis Shift Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis
Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid
Assessment for Local Economic Development (RALED). Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2007.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan basis
jagung ternyata meningkatkan perekonomian wilayah melalui pergeseran struktur
perekonomian wilayah. Secara komparatif pengembangan agropolitan basis
jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih
sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total
perekonomiam wilayah, namun secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti
sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan
pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat
menghambat perekonomian wilayah.
Pengembangan agropolitan basis jagung juga meningkatkan pendapatan
masyarakat petani, melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha
tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usahatani di kawasan non agropolitan
sebesar Rp. 5.506.966,- per ha/tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan
kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%.
Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berada pada
tingkat konsultasi. Berdasarkan hasil analisis, total skor untuk aspek komunikasi
adalah 80,9 dan aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan
keputusan adalah 74,8 serta aspek kontrol terhadap kebijakan adalah 78,6.
Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan
masih berada pada taraf sebagai pelaksana program, belum melibatkan
masyarakat dalam proses perencanaan.
Berdasarkan hasil analisis Raled dan penentuan bobot gabungan diperoleh
bahwa dimensi PEL Kabupaten Pohuwato adalah sebesar 57,19. Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal
Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang
memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek kelompok sasaran yaitu sebesar 67,16
dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek proses manajemen
yaitu sebesar 50,99.
Hasil analisis Raled menunjukkan bahwa faktor pengungkit untuk aspek
kelompok sasaran adalah belum tersedianya pusat layanan investasi, promosi
produk UKM dari Pemda dan kampanye peluang berusaha yang masih relatif
rendah. Faktor pengungkit aspek faktor lokasi adalah belum berjalannya
pelayanan perijinan satu atap, kualitas dan fasilitas pendidikan yang masih rendah
serta fasilitas umum dan sosial yang belum memadai. Faktor pengungkit aspek
kesinergian dan fokus kebijakan adalah kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan kebijakan kerjasama antar
daerah/pemda. Untuk aspek pembangunan berkelanjutan faktor pengungkitnya
adalah belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk
dan pasar, kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
serta jumlah perusahaan yang memiliki bussiness plan. Selanjutnya untuk aspek
tata pemerintahan faktor pengungkitnya adalah manfaat asosiasi bagi anggotanya,
peran asosiasi terhadap kebijakan di bidang Pel dan prosedur pelayanan
administrasi publik. Faktor pengungkit untuk aspek proses manajemen adalah
jumlah stakeholder yang terlibat dalam perencanaan pel serta analisis dan
pemetaan potensi ekonomi.
Berdasarkan berbagai kondisi diatas, maka strategi pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan adalah (1) pembentukan pusat layanan investasi, (2)
peningkatan Promosi UKM dan Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda, (3)
upaya diversifikasi produk dan pasar, (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap,
(5) perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial, (6)
mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan
(Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah, (8)
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat.

Kata Kunci : agropolitan, perekonomian wilayah, partisipasi masyarakat.


©Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP
PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS
PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI
DI PROVINSI GORONTALO
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)

SHERLY GLADYS JOCOM

Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor
Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 19 Desember 2008 Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

Sherly Gladys Jocom


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal


9 November 1973 dari Ayah Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Menikah dengan
Steven Tolu, SE pada tanggal 31 Maret 2001.
Pendidikan sekolah dasar ditempuh penulis pada SD Kristen Tabita II
Manado dan tamat tahun 1986. Menamatkan pendidikan sekolah menengah
pertama pada SMPN 1 Manado pada tahun 1989. Pendidikan sekolah menengah
atas pada SMAN 1 Manado dan tamat tahun 1992, selanjutnya penulis menempuh
pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Ekonomi Pertanian Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan
tamat tahun 1997.
Tahun 2003 penulis diangkat menjadi CPNS di Universitas Sam Ratulangi
Manado dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan dan
diterima sebagai mahasiswa pada program studi Ilmu-Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dengan bantuan biaya BPPS Dikti.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL …..…………………………………………………….... xiv


DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... xix

I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah ..……………………..………………….. 6
1.3. Tujuan Penelitian …....……………………………………….. 11
1.4. Manfaat Penelitian …….……………………………………... 11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………….. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 13


2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan. ................................. 13
2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan............. 16
2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan........................................ 20
2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Lokal Perdesaan dan Kemitraan ................................................ 23
2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan .................. 25
2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan …….. 26
2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan ……... 30
2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi ………….......... 32
2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)…………… 33
2.10 Penelitian Terdahulu ………………………………………….. 37

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………… 41


3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................………………….... 41
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional …………………................ 42
3.3. Hipotesis ……………………………………………………… 46

IV. METODE PENELITIAN …………………………………............. 47


4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………. 47
4.2. Sumber Data …………………………………………………... 47
4.3. Metode Pengambilan Sampel ………………………………… 48
4.4. Metode Analisis ………………………………………………. 50
4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run
(MS), dan Multiplier Long Run (ML) 50
..............................
4.4.2. Analisis Shift-Share ......................................................... 51
4.4.2. Analisis Uji Beda Pendapatan .......................................... 53
4.4.3. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan ................................................................... 54
4.4.4. Analisis Rapid Assessment For Local Economic
Development (RALED) ................................................... 56

V. DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN ……………….. 58


5.1. Deskripsi Umum Agropolitan Provinsi Gorontalo……………. 58
5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato ………………………. 59
5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif …………………. 59
5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat …………………... 61
5.2.2.1. Kependudukan ………………………………… 61
5.2.2.2. Pendidikan …………………………………….. 62
5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah ……………………….. 63
5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah ………………. 63
5.2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi ………………………… 65
5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan …………. 66
5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan ……………………………….. 67
5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil ……………………... 67
5.3.3. Pola Penggunaan Lahan ………………………………... 70
5.3.4. Komoditi Unggulan ……………………………………. 70
5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan
Randangan …………………………………………………….. 71
5.4.1. Subsistem Penunjang …………………………………... 72
5.4.2. Subsistem Produksi …………………………………….. 72
5.4.3. Subsistem Pengolahan …………………………………. 73
5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar ……………………….... 73
5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan
Randangan …………………………………………………….. 74
5.5.1. Dinas Pertanian ………………………………………… 75
5.5.2. Dinas Kimpraswil ……………………………………… 76
5.3.3. Pemerintah Daerah ……………………………………... 77
5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan
Taluditi………………………………………………………… 78

VI. DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN ……………… 80


6.1. Analisis Ekonomi Wilayah ........................................................ 80
6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah ……………............. 90
6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek ............................ 90
6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang ........................... 93
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT…... 95
7.1. Karakteristik Masyarakat di Kawasan Agropolitan…............... 95
7.1.1. Aspek Ekonomi ……………………………………….... 95
7.1.2. Aspek Sosial……………………………………..……… 96
7.1.3. Aspek Budaya…………………………………………... 96
7.2 Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani 96
7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan…………. 101

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DI KAWASAN


AGROPOLITAN ………………………………………………….. 108
8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal 108
di Kabupaten Pohuwato ……………………………………….
8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran 110
8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ….... 113
8.1.3. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan
Fokus Kebijakan ……...................................................... 118
8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan
Berkelanjutan …………………………………………... 122
8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan. 127
8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen. 130
8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan
Agropolitan …………………………………………………… 133
8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran …………. 135
8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ………………. 136
8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus
Kebijakan……………………………………………….. 137
8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan 139
8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan ………….. 140
8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen …………. 141

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ......……………………………….. 143


9.1. Kesimpulan …………………………………………………… 143
9.2. Saran ………………………………………………………….. 144

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 146

LAMPIRAN ................................................................................................... 150


DAFTAR TABEL
Halaman

1 Investasi Kimpraswil di Kawasan Agropolitan Randangan ….. 5

2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas


Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005..... 7

3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut


Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005 ……………………….... 8

4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo… 9

5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo


Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2005 ………………. 9

6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis …………………………......... 24

7 Matriks Pendekatan Penelitian ……………………………….. 49

8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi


Menurut Arnstein …………………………………………….. 55

9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein ………………………… 56

10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah desa di Kabupaten


Pohuwato……………………………………………………… 60

11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di


Kabupaten Pohuwato ................................................................. 60

12 Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio


di Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 ……………………........ 61

13 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di


Kabupaten Pohuwato …………………………………………. 62

14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004


dan 2006 ……………………………………………………… 63

15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten


Pohuwato Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004–2006……... 64

16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di


Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 …………………………… 65
17 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun
2004 – 2006…………………………………………………… 66

18 Pekerjaan Fisik dan Non Fisik di Kawasan Agropolitan


Randangan Kabupaten Pohuwato……………………………... 68

19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan ………………… 70

20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan


Kabupaten Pohuwato……………………………...................... 71

21 Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi


Gorontalo Tahun 2002 – 2004………………………………... 75

22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005 ………….... 76

23 Kegiatan Dinas Kimpraswil dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan Randangan Tahun 2002 – 2006......................…... 77

24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan. 78

25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Taluditi…… 79

26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi


Gorontalo.................................................................................... 80

27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo Tahun


2001 – 2007 ............................................................................... 81

28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006....... 83

29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003


dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006……………....... 84

30 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum


Agropolitan, Tahun 2001 dan 2003............................................ 88

31 Hasil Analisis Shift–Share Provinsi Gorontalo Sesudah


Agropolitan, Tahun 2004 dan 2006…………………………… 89

32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di


Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003-
2006…………………………………………………………… 92

33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di


Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003-
2006…………………………………………………………… 93
34 Hasil Analisis Uji-t Perbandingan Pendapatan Kawasan
Agropolitan dan Non Agropolitan…………………………...... 97

35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan


Randangan ................................................................................. 98

36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan


Agropolitan dan Non Agropolitan.............................................. 99

37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan....... 103

38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan. 104

39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato... 109

40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun


2005............................................................................................ 117

41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan


Kabupaten Pohuwato.................................................................. 118

42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap


Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato.............. 134
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ...................................... 15

2 Heksagonal PEL......................................................................... 37

3 Kerangka Pemikiran Penelitian.................................................. 42

4 Kerangka Pendekatan Operasional…………………………..... 45

5 Lokasi Penelitian........................................................................ 47

6 Diagram Ekonomi Jagung …………………………………..... 59

7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006... 65

8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato .. 69

9 Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal di


Kabupaten Pohuwato.................................................................. 110

10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato ........ 111

11 Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 111

12 Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato................ 114

13 Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten 115


Pohuwato....................................................................................

14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten


Pohuwato ……………………………………………………... 119

15 Jumlah Perusahaan Industri Kecil Menengah dan Tenaga


Kerja Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun
2005............................................................................................ 120

16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di


Kabupaten Pohuwato …………………………………………. 122

17 Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 123

18 Faktor Pengungkit Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten


Pohuwato.................................................................................... 124
19 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten
Pohuwato.................................................................................... 126

20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi


Gorontalo ................................................................................... 126

21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato......... 128

22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten


Pohuwato.................................................................................... 130

23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ........ 131

24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten


Pohuwato ................................................................................... 132
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan


2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2006.................... 150

2 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Provinsi Gorontalo Menurut Lapangan Usaha Tahun
2000-2006……………………………………………………... 151

3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Kabupaten Boalemo Menurut Lapangan Usaha Tahun
2000-2006……………………………………………………... 152

4 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan


2000 Kabupaten Pohuwato Menurut Lapangan Usaha Tahun
2004-2006……………………………………………………... 153

5 Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung Kawasan


Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan Non Agropolitan
(Kecamatan Taluditi)………………………….......................... 154

6 Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non


Agropolitan……………………………………………………. 155

7 Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan……….... 156

8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo……… 158

9 Indikator Komponen Heksagonal PEL....................................... 159

10 Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan...... 164

11 Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri,


BUMD Provinsi Gorontalo ....................................................... 164

12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan.......... 165

13 Gambar Terminal Randangan.................................................... 165


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang
menunjukkan baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang
dapat menjadi pelajaran kita dalam mengembangkan strategi pengembangan
wilayah bagi Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan wilayah di Brazil, misalnya
yang menggunakan konsep “growth poles” telah menunjukkan kegagalan konsep
tersebut. Dengan adanya aglomerasi ekonomi dan peningkatan sumber daya
manusia yang pesat, kawasan Utara Brazil berkembang pesat sebagai pusat
kegiatan eksplorasi pertambangan dan bisnis perkebunan yang memacu
pertumbuhan investasi swasta dan teknologi ke wilayah tersebut. Pertumbuhan
ekonomi yang pesat ini berdampak pada semakin tertinggalnya pembangunan di
wilayah Selatan yang kemudian berdampak pada kesenjangan ekonomi dan sosial
antar dua wilayah tersebut (Haeruman, 2000)
Kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi
dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub-
kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula diramalkan akan menciptakan
trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak
penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah
hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar
(massive backwash effect). Kegagalan strategi pertumbuhan yaitu tidak terjadinya
trickle down effect dan spread effect karena aktifitas industri yang dikembangkan
ternyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di
wilayah hinterland-nya.
Salah satu alternatif pembangunan wilayah yang diharapkan dapat
menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti itu adalah pengembangan
wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal
dengan kawasan agropolitan. Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep
yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan
pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (khususnya di
Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain: (a)
2

terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota


yang padat; (b) pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja,
sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) tingkat pengangguran dan
setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d) pembagian pendapatan yang tidak
merata (kemiskinan); (e) kekurangan bahan pangan, akibat perhatian
pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid
industrialization); (f) penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani)
dan (g) terjadinya ketergantungan pada dunia luar.
Seperti di negara-negara berkembang lainnya, dalam perspektif
kewilayahan (regional) pembangunan di Indonesia mengalami ketidakadilan
yang cukup menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya disparitas
pembangunan wilayah/ruang berupa dikotomi perdesaan (rural) dengan perkotaan
(urban), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia
(KBI), Jawa dengan luar Jawa adalah bukti “ketidakseimbangan” pembangunan
(Rustiadi, et. al, 2005).
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam
konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Potensi
konflik menjadi semakin besar karena wilayah-wilayah yang dulu kurang
tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula dengan
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan
sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya
juga menjadi lemah karena urbanisasi yang luar biasa.
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di
perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan.
Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali
dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses
urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perdesaan malah
berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari
sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986). Implikasi dari
keadaan tersebut menyebabkan tingginya laju urbanisasi dan kemiskinan di
3

perdesaan. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa


terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995)
menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak
sektor pertanian, ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi
kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20%.
Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian
(Djakapermana, 2003).
Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk
pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus
mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai
nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor
sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta
(Yudhohusodo, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan
perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi
urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi
dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan.
Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara
pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem
kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan
produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual
(ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan
agropolitan.
Di Indonesia, agropolitan menjadi salah satu program pemerintah melalui
Departemen Pertanian dan menjadi pilihan bagi Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan otonomi-nya. Konsep ini telah mulai dilaksanakan sejak tahun
anggaran 2002. Pada tahap awal pengembangan kawasan agropolitan ini
dilakukan di beberapa kabupaten percontohan antara lain yaitu: Kabupaten Agam
(Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejanglebong (Provinsi Bengkulu),
Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.
Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barru (Provinsi
Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo).
4

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang


mengembangkan konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam
memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu
provinsi baru, Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang
diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Dilihat dari potensi sumber daya
alam, Gorontalo memiliki potensi yang layak dikembangkan dibidang pertanian,
peternakan dan perikanan. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3
program unggulan yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor
lainnya yang meliputi :
a. Pengembangan sumber daya manusia (SDM);
b. Pengembangan pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai provinsi
agropolitan, provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian;
c. Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor
perikanan dan pengembangan wilayah pesisir.
Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, pengembangan
sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan
agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas utama.
Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung
program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi plot (demplot)
dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka pendek (satu
tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan pembelajaran petani
serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam
peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.
Sementara untuk model pengembangan dilaksanakan dengan
menggunakan aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam
(PAT), peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off farm-nya dengan
optimalisasi pengelolaan hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk
sektor peternakan diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras
yang diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri
pengolahan dan pasca panennya.
5

Sejak ditetapkan sebagai daerah pengembangan agropolitan pada tahun


2002 Gorontalo mulai berbenah diri dimulai dengan penyusunan program dan
sosialisasi di Tilamuta (ibukota Kab. Boalemo), penetapan Kecamatan Randangan
sebagai Kawasan Agropolitan untuk menjadi prioritas pembangunan hingga
penetapan desa Motolohu sebagai desa pusat pertumbuhan. Selanjutnya pada
tahun 2003 dilaksanakan Perencanaan dan Penyusunan Master Plan dan
implementasinya beserta pengawasannya dilaksanakan dengan melibatkan
masyarakat di kawasan melalui lembaga pengelolaan agropolitan, Pemda setempat
melalui tim Pokja, LSM, Akademisi dan Swasta.

Untuk mendukung usaha pertanian yang efisien yang dapat mempercepat


pertumbuhan ekonomi maka diperlukan infrastruktur pendukung. Pembangunan
infrastruktur yang telah dilakukan antara lain peningkatan jalan poros desa,
perbaikan pasar desa, pembangunan kios pasar serta pembangunan pelataran dan
prasarana pasar. Pembangunan prasarana dan sarana perdesaan melalui
pengembangan agropolitan akan mendorong iklim berusaha yang kondusif antar
sesama pelaku ekonomi perdesaan, terutama usaha mikro dan usaha kecil dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.
Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi
ekonomi yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan
menarik potensi dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam berbagai
sektor usaha jasa maupun produksi.

Tabel 1 Investasi Kimpraswil pada Pengembangan Kawasan Agropolitan


di Kecamatan Randangan
No. Tahun Program Volume Biaya
1 2002 Peningkatan Jalan Poros 3.081 m 390.690.000
Desa
2 2002 Perbaikan Pasar Desa 3 Unit 299.940.000
3 2003 Peningkatan Jalan Poros 5.081 m 1.616.200.000
Desa
Pembangunan Kios Pasar
4 2003 20 Unit 200.000.000
Pembangunan Pelataran
5 2003 1 Paket 170.459.000
dan Prasarana Pasar
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2003
6

Pendekatan pambangunan ekonomi dan wilayah berbasis agropolitan


yang diimplementasikan dengan pilar utama penggerak ekonomi yaitu sektor
pertanian dan perikanan dipacu dan diharapkan dapat menarik perkembangan
sektor-sektor yang lainnya. Dalam konsep agropolitan, fungsi kota lebih
dititikberatkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi,
bukan sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu, desalah yang diarahkan sebagai
pusat pertumbuhan. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang baik, kota dan
desa harus berperan dan menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan selama ini belum
mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Karenanya, pengembangan kawasan agropolitan
diharapkan dapat memberikan solusi bagi masalah perdesaan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konsep pengembangan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan
wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan
wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses
interaksi kedua wilayah tersebut selama ini secara fungsional ada dalam posisi
yang saling memperlemah.
Berdasarkan hasil studi Hastoto (2003), dikemukakan bahwa
pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Gorontalo masih menunjukkan
adanya kesenjangan antar kabupaten/kota dalam provinsi maupun antara
kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dengan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi
Utara. Sejalan dengan hal tersebut hasil studi P4W (2002), mengemukakan bahwa
secara umum wilayah provinsi Gorontalo mengalami fenomena backwash effect,
dalam arti akumulasi aliran netto nilai tambah berlangsung keluar wilayah
terutama ke Bitung/Manado, Makasar atau langsung ke luar negeri. Penyebab
utama aliran netto nilai tambah negatif adalah karena keterbatasan akses
Gorontalo ke pasar ekspor langsung, kapasitas pengolahan (industri pengolahan)
setempat yang terbatas, disamping lemahnya kapasitas sumberdaya manusia dan
kelembagaan lokal.
7

Oleh karenanya untuk memacu pembangunan dan pengembangan


wilayahnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo menerapkan pendekatan konsep
agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Untuk mencapai
tujuan tersebut pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal dijadikan acuan
untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontolo. Pengembangan
agropolitan berbasis jagung merupakan salah satu langkah yang dilakukan
pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Diharapkan dengan pendekatan ini
partisipasi aktif masyarakat dapat terkristalisasi secara terpadu melalui
pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah
produksi serta peningkatan jumlah produksi pertanian. Sehingga pada gilirannya
akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Tabel 2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman


Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005
NO JENIS LUAS PANEN PRODUKSI PRODUKTIVITAS
KOMODITAS (Ha) (Ton) (Ku/Ha)
2001 2005 2001 2005 2001 2005
1. Padi 35.639 39.110 158.870 167.153 44,56 42,74
2. Jagung 36.610 107.525 81.720 400.046 22,32 37,13
3. Kedelai 1.845 2.907 2.173 4.038 11,78 13,89
4. Kacang tanah 3.202 4.341 3.627 5.378 11,33 12,39
5. Kacang hijau 248 595 249 726 10,04 12,20
6. Ubi kayu 1.185 1.048 12.233 12.211 103,23 116,52
7. Ubi jalar 618 352 5.325 3.308 86,17 93,99
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2006

Sebagai komoditi unggulan yang merupakan basis ekonomi di Provinsi


Gorontalo, komoditas jagung mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke
tahun baik dalam luas panen maupun jumlah produksi. Pada tahun 2005 luas
panen jagung mencapai 107.525 hektar dengan produksi mencapai 400.046 ton.
Luas panen komoditi unggulan jagung mencapai 68,98 persen dari total luas
panen Tanaman Pangan Di Provinsi Gorontalo. Perdagangan antar pulau dan
8

ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini.
Sejak dicanangkan sebagai provinsi pengembangan agropolitan,
perkembangan pembangunan Gorontalo menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi
muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang
menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari
Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat
menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3).

Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah)
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1.Pertanian 542.101,01 660.587,16 804.664,88 853.680,92 981.125,31
2.Pertambangan 14 .591,80 16.074,16 18.621,26 22.668,11 33.195,64
dan Penggalian
3.Industri 189.457,97 186.766,05 197.690,30 232.691,45 50.029,58
Pengolahan
4.Listrik,Gas dan 10.964,53 16.927,87 21.571,03 25.546,01 27.381,55
Air Bersih
5.Bangunan 127.022,00 171.100,04 172.349,21 184.062,42 218.937,40
6.Perdagangan, 272.192,33 330.452,99 348.528,02 371.749,37 410.987,30
Hotel & Rest
7.Pengangkutan 194.147,21 198.063,65 200.320,02 236.354,80 280.828,24
& Komunikasi
8.Keuangan 122.597,97 145.357,30 213.620,95 288.805,96 364.595,77
9.Jasa-jasa 349.749,47 423.086,86 502.354,01 585.985,29 819.785,13
Total 1.822.824,30 2.148.436,09 2.479.719,69 2.801.544,32 3.386.865,92
Sumber : BPS, 2006.

Pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat dari 5,38 % pada 2001


sebelum pengembangan agropolitan menjadi 7,06 % pada tahun 2005, lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah
seberapa besar agropolitan memiliki kontribusi dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi Gorontalo tersebut?
Pertumbuhan penduduk selang 4 tahun terakhir mengalami peningkatan
sebesar 1,83% per tahun. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, jumlah
angkatan kerja di Provinsi Gorontalo tiap tahun juga mengalami kenaikan.
9

Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja
menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005.

Tabel 4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo


Jumlah Penduduk 2002 2003 2004 2005
Penduduk Usia 15+ 568.863 581.763 602.175 617.746
Angkatan Kerja 329.358 347.365 368.985 388.184
Bekerja 285.966 312.882 323.625 350.191
Pengangguran 43.392 34.483 45.360 37.993
Sumber : BPS, 2006

Pertumbuhan perekonomian Gorontalo mengalami peningkatan, namun


sebaran kontribusi dari masing-masing sektor belum merata. Sektor pertanian
yang masih mendominasi dalam kontribusi PDRB merupakan salah satu ciri khas
dari kawasan perdesaan. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 setelah
pengembangan agropolitan sebesar 32,45% dari total PDRB diharapkan dapat
menjadi pendorong bagi perkembangan sektor-sektor yang lainnya.

Tabel 5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar


Harga Berlaku Tahun 2001-2005
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertanian 29,74 30,75 32,45 30,47 28,04
2. Pertambangan 0.80 0,75 0,75 0,81 0,95
dan Penggalian
3. Industri Pengolahan 10.39 8,69 7,97 8,31 7,18
4. Listrik,Gas dan 0.60 0,79 0,87 0,91 0,79
Air Bersih
5. Bangunan 6.97 7,96 6,95 6,57 6,29
6. Perdagangan, 14.93 15,38 14,06 13,27 11,89
Hotel & Rest
7. Pengangkutan 10.65 9,22 8,08 8,44 8,07
& Komunikasi
8. Keuangan 6.73 6,77 8,61 10,31 10,48
9. Jasa-jasa 19.19 19,69 20,26 20,92 26,31
Total 100 100 100 100 100
Sumber: BPS tahun 2006, diolah.
10

Disamping itu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti


dengan berkurangnya berbagai kesenjangan dalam wilayah. Kesenjangan yang
ada seperti kesenjangan pendapatan, fasilitas pelayanan, pertumbuhan ekonomi,
dan lainnya yang sering terjadi di perdesaan dapat menyebabkan terjadinya
keterbelakangan dan kemiskinan yang dalam jangka panjang pada akhirnya dapat
mengakibatkan kemandekan pertumbuhan itu sendiri.
Di kawasan pengembangan agropolitan sendiri dalam hal ini Kabupaten
Pohuwato masih terdapat banyak permasalahan seperti masih tingginya tingkat
kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya sarana–
prasarana penunjang yang ada menjadi factor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung di daerah ini.
Untuk melengkapi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap
pelaksanaan agropolitan di Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaannya tahun 2002,
dengan mengakomodasi penelitian yang pernah ada sebelumnya maka penelitian
ini dimaksudkan untuk melihat apakah pengembangan agropolitan berbasis
jagung yang dilaksanakan di Kabuapen Pohuwato Provinsi Gorontalo mampu
menggerakkan perekonomian wilayah serta meningkatkan pendapatan masyarakat
petani atau belum. Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat diperoleh gambaran
kondisi karakteristik perekonomian setelah 5 tahun pelaksanaan agropolitan
sehingga dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk
mengembangkan perekonomian kawasan agropolitan kedepan.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas
maka dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung berperan dalam
pertumbuhan ekonomi?
2. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berperan terhadap peningkatan
pendapatan petani jagung?
3. Sejauhmana masyarakat telah dilibatkan dalam program pengembangan
kawasan agropolitan berbasis jagung ?
4. Strategi Pembangunan seperti apa yang mampu mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan ?
11

1.3. Tujuan Penelitian :


1. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan basis jagung terhadap
perekonomian wilayah.
2. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani
jagung.
3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan
agropolitan basis jagung.
4. Merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan
ekonomi kawasan agropolitan.

1.4. Manfaat Penelitian :


1. Dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi Pemerintah
dan instansi terkait dalam rangka pengembangan pertanian berbasis
agropolitan.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang
pembangunan wilayah .
3. Sebagai acuan dimasa datang untuk pihak-pihak yang mempunyai relevansi
dengan pengembangan kawasan berbasis agropolitan.
12

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Pengembangan Kawasan Agropolitan di Provinsi Gorontalo pada awalnya
berada di Kabupaten Boalemo yaitu di Kecamatan Randangan. Namun sejak
tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi Kabupaten Boalemo dan
Kabupaten Pohuwato. Karena keterbatasan biaya dan waktu maka penelitian ini
hanya dilakukan di Kabupaten Pohuwato. Pemilihan Kabupaten Pohuwato karena
pertimbangan bahwa setelah pemekaran Kecamatan Randangan sebagai kawasan
agropolitan secara administratif berada di Kabupaten Pohuwato. Sebagai kawasan
agropolitan, Kecamatan Randangan memiliki kondisi infrastruktur pendukung
yang relatif memadai.
Adapun sebagai pembanding di pilih kawasan yang belum tersentuh
dengan program agropolitan dalam hal ini Kecamatan Taluditi. Pemilihan
Kecamatan Taluditi sebagai Kawasan Non Agropolitan adalah karena Kecamatan
Taluditi masih berada dalam cakupan Kabupaten Pohuwato dan berbatasan secara
administratif dengan Kecamatan Randangan. Selain itu, infrastruktur pendukung
agropolitan belum berkembang di Kecamatan Taluditi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan


Wilayah menurut UU No. 24 tahun 1992 yang diperbaharui menjadi UU
No 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan menurut
Winoto (1999), wilayah diartikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri
tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan
berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan digambarkan
berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.
Sementara menurut Rustiadi et. al (2005), wilayah didefinisikan sebagai
unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian
dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik
dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull’, baik
untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi.
Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah).
Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang merujuk
kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan
kawasan. Menurut Rustiadi et. al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak
disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah
berdasarkan aspek administratif. Sedangkan penggunaan istilah kawasan di
Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu
unit wilayah. Karena itu batasan/definisi dari konsep kawasan adalah adanya
karakteristik hubungan dari fungsi-fungi dan komponen-komponen di dalam suatu
unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki fungsi-
fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai
dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
14

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et. al., 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat
beragam (heterogen).

Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah


diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti
(pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan, sedangkan plasma
adalah daerah belakang (peripheri/hinterland), yang mempunyai sifat-sifat
tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et. al., 2005). Pusat
wilayah berfungsi sebagai:
1. Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman);
2. Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri;
3. Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; dan
4. Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan
mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu
output tertentu.
Sedangkan hinterland berfungsi sebagai:

1. Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku;


2. Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi;
3. Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan umumnya
terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik,
pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang
baik. Misalnya, walaupun Solo dan Yogyakarta relatif lebih dahulu
berkembang tapi Jakarta, Bandung dan Medan terbukti lebih pesat
perkembangannya karena sangat ditunjang oleh hinterland yang
mendukung; dan
4. Penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis.
15

Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan yaitu


wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu
pada wilayah tersebut yang dapat bersifat alamiah maupun artificial dimana
keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral.
Sebagai contoh secara alamiah suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan hidroorologis
yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial, wilayah
Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang
cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral.

Nodal (pusat - hinterland )


Homogen

Sistem Sederhana Desa - Kota

Budidaya - Lindung

Wilayah Sistem/
Sistem ekonomi:
Fungsional Agropolitan, kawasan
produksi, kawasan industri

Sistem ekologi:
Sistem Komplek DAS, hutan, pesisir

Sistem Sosial - Politik:


cagar budaya, wilayah etnik

Umumnya disusun/dikembangkan
berdasarkan:
Perencanaan/ • Konsep homogen/fungsional:
Pengelolaan KSP, KATING, dan
sebagainya
• Administrasi-politik: propinsi,
Kabupaten, Kota

Gambar 1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah


16

Rustiadi et. al. (2005) mengemukakan pemahaman wilayah dapat dilihat


dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa wilayah merupakan
suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda. Namun
sayangnya pendekatan perencanan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih
didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah
sebagai sebuah sistem.

Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang


penantaan ruang, yang dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan
yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya
alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan
menurut Saefulhakim (2001), kawasan perdesaan dapat didefinisikan sebagai
suatu kesatuan sistem spasial yang aktifitas ekonomi utama masyarakatnya, dari
sisi suplai, berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam lokal (natural resource
based economy).

Sementara itu menurut Anwar (2001), pengertian wilayah perdesaan ini


mencakup (scope) sangat tergantung kepada luas cakupan batas definisinya. Pada
dasarnya cakupannya dipusatkan kepada ruang (daratan) yang menjadi tempat
kehidupan manusia dan komponen-komponen pendukungnya yang lebih besar
dari kawasan kota (ruang supra urban). Karena itu pembangunan wilayah
perdesaan dapat diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kepada
kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya
melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumber-sumber daya
lainnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui berbagai investasi
guna memperbesar kapasitas ekonomi lokal. Upaya ini bertujuan agar kapasitas
produksi dan produktivitas masyarakat keseluruhan wilayah nasional secara
agregat terus meningkat.

2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan


Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan
selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan
17

dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan


yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-
pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive
backwash effect). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan
pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah
Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan
sebagainya.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah (Rustiadi et. al, 2006). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah
karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang
luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota
ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah-
daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan
sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahan-
permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit
untuk diatasi.

Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula
dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi,
regional bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah
administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah
administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru
dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman
disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi,
2006).
18

Ketimpangan/disparitas pembangunan antar wilayah secara alamiah bisa


terjadi disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu :

1. Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu
wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding
wilayah yang lain.

2. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan


posisi geografis dibanding wilayah lain.

Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu
alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan
sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat
mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih,
sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan
SDS yang kurang baik.

Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial,


ekonomi dan politik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu
mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Dengan demikian jelas
bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak
negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari
pembangunan yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency),
pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias, yaitu kecenderungan proses
pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan kawasan perkotaan, dengan
mulai lebih memperhatikan masalah pengembangan kawasan perdesaan.

Pembangunan kawasan perdesaan merupakan hal yang harus mendapat


perhatian karena berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kawasan perdesaan
masih dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia (58%). Bahkan di pulau-pulau
besar kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua jumlah
penduduk yang bermukim di perdesaan masih berada diatas 70 persen. Menurut
Nasution (2004), pembangunan kawasan perdesaan tidak dapat dipungkiri
merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena
19

terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan akan tetapi


juga mengingat banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pembangunan.

Dari sisi produksi, desa menjadi penyedia sumberdaya manusia yang


merupakan faktor produksi utama selain teknologi dan modal. Dari sisi konsumsi,
penduduk yang besar sekaligus merupakan potensi pasar bagi produk-produk
komersial. Kenyataan ini berimplikasi bahwa pembangunan kawasan perdesaan
merupakan keniscayaan, kalau kesejahteraan masyarakat banyak yang menjadi
sasaran akhir dari setiap upaya pembangunan.

Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006),
adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri.
Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya
menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu
menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi
desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki
desa.

Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa
dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk
mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu:

Tahap Pertama :
1. Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).
2. Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.
3. Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk
dari desa ke kota.
4. Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong
ekspor pertanian yang selalu kompetitif.
5. Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan
dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.

Tahap Kedua :
20

6. Pembangunan regional berbasis kepada pemanfaatan sumberdaya


wilayah/kawasan berdasar keunggulan komparatif masing-masing wilayah.
7. Kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi ke arah
wilayah perdesaan.
8. Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis
perdesaan yang lebih kuat - dengan membangun trust fund di daerah-daerah
untuk membiayai dua kapital di atas.
9. Industrialisasi berbasis wilayah perdesaan/pertanian (melalui pembangunan
sistem mikropolitan):
• Industri pengolahan makanan dan pakan
• Industri pengolahan pertanian lainnya
• Industri peralatan dan input-input pertanian, serta barang konsumsi
lain
10. Secara berangsur mengurangi ketergantungan kepada kapital dan bantuan luar
negeri - untuk mencoba keluar dari “The Debt Trap”.

Dengan memperhitungkan beberapa faktor yang kait mengkait yang


mempengaruhi pembangunan perdesaan, terutama melalui kebijaksanaan
desentralisasi, diharapkan terjadi keseimbangan ekonomi secara spatial antara
wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus
mampu menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan


Secara konseptual Agropolitan terdiri dari kata agro (pertanian) dan kata
politan (polis=kota) sehingga agropolitan dapat diartikan kota dilahan pertanian.
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota pertanian
yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis
yang mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) daerah wilayah sekitarnya (Anonimous,
2002).
Konsep agropolitan berdasarkan Friedman (1975) yaitu terdiri dari distrik-
distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan
21

penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan
jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah
cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di
sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian
konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang
terintegrasi.

Menurut Saefulhakim (2004), secara terminologi agropolitan berasal dari


kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang
bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang kemudian
digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara
metropolis mempunyai pengertian sebagai sebuah titik pusat dari
beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian agropolis atau agro-metropolis
adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi
berbasis pertanian. Karena itu pengembangan agropolitan sendiri berarti
pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran AGROPOLIS
sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi
berbasis pertanian dimana tipologi pengembangan disesuaikan dengan
karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya.
Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran
pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan
pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan
produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang efisien;
2. Penguatan kelembagaan petani;
3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput,
pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);
22

4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;


5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;
Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak
saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu
usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana dan prasarana pertanian), agribisnis hilir
(pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya (Anonimous,
2002). Sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah,
kesenjangan antar kota dan desa dan kesenjangan pendapatan antara masyarakat,
mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif
serta akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut Rodinelli (1985), pengembangan agropolitan di wilayah
perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian
dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-
processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi
dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk
membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di
perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian
dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di
perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan
lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan
lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan
untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian
perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa
sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga
kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar
sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan
di kota-kota kecil-menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk
mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.
Sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan dapat saja
mencakup satu kecamatan administratif yang berbeda di setiap daerah. Kawasan
agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan
dalam satu kabupaten, beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa
23

kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas
provinsi.
Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep
agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu
pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui
Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan
agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi
Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra
produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu :
- Jalan-jalan akses (jalan usaha tani)
- Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing)
- Pengairan / jaringan irigasi
- Lembaga penyuluh dan alih teknologi
- Kios-kios sarana produksi
- Pemasaran.
Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu
pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep
agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi
Gorontalo.

2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal


Perdesaan dan Kemitraan.
Pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkerakyatan berarti
pembangunan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana
pemerintah harus memfasilitasinya. Akibat dari paradigma pembangunan di masa
lalu banyak kelembagaan tradisional /lokal yang sebelumnya merupakan bagian
dari perekonomian lokal menjadi rusak, bahkan hilang. Sebagai contoh, menurut
Sadjad (2004) hilangnya perlumbungan beras di desa yang digantikan oleh
BULOG menggeser kelembagaaan lokal dan mematikan desa sebagai desa
24

industri. Dibangunnya BULOG secara sentralistik, menyebabkan hilangnya


perlumbungan di desa, pemrosesan beras oleh rakyat, transportasi beras dari desa
ke kota. Kesemuanya itu merupakan proses industri yang dulunya terjadi di desa.
Hal ini menyebabkan kesempatan mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri
menjadi hilang di perdesaan. Oleh karena itu kelembagaan dan organisasi lokal
perlu dibangkitkan kembali dan diberdayakan untuk memperkuat pembangunan
sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan dan mandiri.
Menurut Suwandi (2004), penguatan kelembagaan dalam memberdayakan
kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif
terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan
kawasan agropolitan, penguatan permodalan perdesaan dan penguatan
kelembagaan ekonomi. Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting yang tentunya disesuaikan
dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing, seperti terlihat pada
Tabel 6 berikut :

Tabel 6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis


URAIAN PEMERINTAH MASYARAKAT DUNIA USAHA
Input √ √ √√
Modal, benih/bibit ,
Pupuk,pakan, obat
Pestisida
Alsin
Penunjang
Jalan, irigasi √√ - -
Pasar √√ - √
Air bersih √√ - -
Pengolahan hasil - √ √√
Iptek
Riset,Pengembangan √√ - -
Penyuluhan √ - √
Sistem informasi √ √ √
Sumber : Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang, 2006.

Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi (2006), untuk menghindari adanya


peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan diperlukan
penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sehingga penguatan
25

kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus
ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat
untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk
melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital
yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.
Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan
adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan
pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan
dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di
tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai
tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan
investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru
(multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan
penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal
(Rustiadi dan Hadi, 2006).
Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh
masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap
pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya.
Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang
terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut
dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public-
private- community partnership.

2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan


Sebagian literatur menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara
infrastrukur dengan tingkat perkembangan ekonomi. Beberapa berargumen bahwa
jenis infrastruktur tertentu seperti transportasi merupakan hal terpenting dalam
pembangunan ekonomi, disamping itu pendapat lain menyatakan bahwa faktor
lain seperti sumberdaya manusia dan lokasi merupakan faktor terpentingnya. Pada
dasarnya dapat dinyatakan bahwa tanpa infrastruktur pembangunan ekonomi tidak
26

dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang
canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007).
Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu
dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan.
Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin
keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah
berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya).
Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar
outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya
pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi
dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk
miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta
mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi
produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha.
Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama
dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat
dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau
lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut.
Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam
pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada
agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan
prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih
dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat
lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya
kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan
dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007).

2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan


Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan dilakukan
untuk mendorong pertumbuhan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang
27

tinggi, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan


distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta
pengrusakan sumber daya alam akan sangat berbahaya bagi kelangsungan
pembangunan itu sendiri.
Pergeseran pemikiran pembangunan mulai terjadi dimana selain
pertumbuhan, aspek pemerataan/keadilan dan keberlanjutan harus ikut
diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang harus dicapai maka
perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya pertumbuhan,
sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan
tersebut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.
Menurut Rustiadi (2003), dalam realitanya kondisi yang optimal dan ideal
ini susah untuk dirumuskan. Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-
masing berbeda sehingga kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif.
Karena itu pendekatan yang terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan
konsensus diantara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang
telah disepakati bersama. Sehingga dalam upaya untuk mencapai suatu
kesepakatan bersama inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi
penting. Partisipasi akan mendorong terjadinya pertukaran informasi sehingga
informasi yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif.
Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai
pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa
kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya
rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses
pembangunan dan menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup
tinggi.
Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan
pendekatan partisipasi dijadikan mainstream dalam penyelenggaraan
pembangunan di hampir semua negara. Namun sampai sekarang ternyata masih
terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Perubahan
paradigma pembangunan memang merupakan suatu proses yang memerlukan
waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya harus
dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu
28

semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di
lapangan.
Dalam kerangka pembangunan pedesaan (rural development), COHEN dan
UPHOFF dalam Darmawan et. al. (2003), memaknai konsep partisipasi sebagai:
“keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam
implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan
menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi
termasuk proses monitoring”.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program,
yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi,
sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. (2003), melihat partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar
pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
(participatory development) dari OECD adalah:
“kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara
beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana
pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini
berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar
dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan
bukan sekedar penerima sebuah program”.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka
pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan
hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-
aktif masyarakat.
Selanjutnya Arnstein, S.R (1969) menggolongkan partisipasi masyarakat
kedalam dalam 8 jenjang yaitu :
1. Manipulasi
2. Terapi
3. Menyampaikan informasi
4. Konsultasi
5. Peredaman (placation)
29

6. Kemitraan / partnership
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Pengawasan masyarakat
Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5
dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan
persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8
dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini
masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek
kebijaksanaan.
Dalam pengembangan kawasan agropolitan itu sendiri, peranan
masyarakat dapat berupa :
1) Perguruan Tinggi
a. Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra
pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan
riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi
diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan
pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha.
2) Lembaga Swadaya Masyarakat
Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan
kritis, sehingga diharapkan:
a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam
pengembangan kawasan agropolitan.
b. LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan
kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan
akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
3) Masyarakat dan dunia usaha:
Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus
didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan
community driven planning. Dengan pendekatan ini diharapkan:
30

a. Terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat dan dunia


usaha terhadap pengembangan kawasan agropolitan.
b. Masyarakat dan dunia usaha ikut merencanakan, menggerakkan,
melaksanakan dan juga mengontrol pelaksanaan program pengembangan
kawasan agropolitan.
c. Meningkatkan legitimasi program pembangunan kawasan agropolitan.
d. Masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku langsung dan objek dari
program pengembangan kawasan agropolitan.

2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan


Peranan pemerintah sangat berpengaruh terhadap pengembangan
agropolitan. Pengembangan agropolitan juga harus didasarkan pada UU No 26
tahun 2007 untuk menjamin keberlanjutannya secara spatial. Sesuai dengan
Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Rintisan
Pengembangan Kawasan Agropolitan (2002), peranan pemerintah untuk
memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan harus didasarkan pada UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun Perannya adalah
sebagai berikut :
a. Pemerintah Kabupaten/Kota
Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupatenk/kota, maka
penanggung jawab Program Pengembangan Agribisnis adalah
Bupati/Walikota. Oleh karena itu peran utama dari pemerintah
Kabupaten/Kota adalah :
(1) Merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan
dan pelaksanaan pengembangan agropolitan.
(2) Mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan
master plan, program dan melaksanakan program agropolitan.
(3) Mendorong tumbuh dan berkembangnya kelembagaan dan sarana dan
prasarana pendukung program agropolitan.
31

b. Pemerintah Provinsi
Kewenangan pemerintah provinsi adalah membantu/memfasilitasi Pemda
Kabupaten/Kota terutama dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya, melaksanakan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Dalam program pengembangan agropolitan ini peranan pemerintah provinsi
adalah :
(1) Merumuskan dan mengkoordinasi rencana program dan kebijakan
pengembangan agropolitan di wilayah provinsi.
(2) Memberikan pelayanan informasi (pasar, teknologi, agroinput,
permodalan, jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta
memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dalam pengembangan
agropolitan.
(3) Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan
pengembangan wilayah.
(4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia
(5) Membantu memecahkan masalah yang diminta oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(6) Membanun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis
c. Pemerintah Pusat
Tugas Pemerintah Pusat adalah membantu Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan program
agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut
lintas provinsi.
Dalam program pengembangan agropolitan, peranan pemerintah pusat adalah :
(1) Menyusun rencana, program dan kebijakan pengembangan agropolitan
dalam bentuk Pedoman Umum program pengembangan agropolitan
beserta pedoman/petunjuk-petunjuk pelaksanaanya.
(2) Merumuskan standar teknis, dan standar minimal terutama untuk sarana
prasarana dan pembiayaan pengembangan agropolitan.
32

(3) Memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan


jaringan informasi serta menfasilitasi kerjasama lintas provinsi dan
Internasional dalam pengembangan agropolitan.
(4) Mengembangkan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia.
( 5) Membangun prasarana sarana publik, yang bersifat strategis.
Dalam tahap awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus
memfasilitasi untuk terbentuknya satu unit pengembangan kawasan agropolitan.
Selanjutnya dalam perkembangan berikutnya peran pemerintah mulai dikurangi
dan hanya masuk pada sektor-sektor publik. Dalam perkembangan akhir, kawasan
agropolitan adalah kawasan yang mandiri dimana pemerintah hanya berperan
pada sektor-sektor yang benar-benar publik seperti : pertahanan dan keamanan,
penegakan hukum dan cenderung sebagai fasilitator.
Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), dalam kaitannya dengan pembangunan
wilayah agropolitan peranan dari pemerintah adalah untuk memberikan proteksi,
menyelenggarakan pembangunan, melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan
distribusi dan manajemen konflik.
Selanjutnya Anwar (2006), mengemukakan peranan pemerintah dalam
pembangunan adalah dalam memberikan modal permulaan untuk mereplikasi
pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya
dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak
swasta untuk turut serta membinanya.
Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga
di tingkat pusat dan daerah yang terkait dengan pengembangan kawasan. Karena
sifatnya yang multi lembaga, pengembangan kawasan agropolitan menuntut
adanya koordinasi antar lembaga yang bisa menjamin alokasi sumberdaya
pembangunan secara efektif dan efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya
departemen/lembaga sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti
dijalankannya tugas dan fungsi itu secara hemat.

2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi


Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi
strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah. Posisi strategis ini didasarkan
33

pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan
kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan
kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan
juga kemungkinan pemasaran hasil produksi.
Menurut Bustaman dan Susanto (2003), komoditas unggulan merupakan
komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani
baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak
secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona
agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang
berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga
berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi
artinya komoditas tersebut menguntungkan.
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya
bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas
kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).
Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga
dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya
industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik
daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah
sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri,
dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.

2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)


Pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah usaha untuk mengoptimalkan
sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan
organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu
wilayah tertentu. Tujuan PEL adalah untuk mengembangkan ekonomi suatu
34

wilayah yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya


lokal guna mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat,
antar sektor dan antar wilayah.
PEL mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat
maupun Eropa sejak tahun 1960, dimana dalam perkembangannya PEL telah
mengalami 3 tahapan besar atau gelombang pengembangan. Menurut Wolfe and
Creutzberg (2003) dalam Bappenas (2006), ketiga gelombang tersebut adalah
pertama, pendekatan tradisional (traditional approach); kedua, pengembangan
kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi.
Pendekatan tradisional terutama memfokuskan pada upaya menarik
perusahaan-perusahaan individual melalui input produksi yang murah,
infrastruktur yang bersbubsidi, penurunan subsidi langsung atau penurunan pajak.
Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan
menempatkan perusahaannya di lokasi-lokasi tertentu serta mampu
menggerakkkan perkembangan ekonomi lokal di lokasi-lokasi tersebut.
Pendekatan pengembangan kapasitas (capacity building approach)
mencoba mengembangkan infratruktur pendidikan dan teknologi dalam
membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan
kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi.
Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan
pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil
dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tiggi ke dunia
industri; dan peningkatan kemampuan (skill) pekerja dan manajemen.
Pendekatan ketiga menekankan pada peran penting dari kualitas
infrastruktur fisik, sosial dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas
tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan
arus informasi di suatu lokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam
proses pengembangan ekonomi lokal.
Di Indonesia, banyak program dan kegiatan yang berlabel pengembangan
ekonomi lokal (PEL) telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Program–program
tersebut yang pada umumnya menggunakan pendekatan pemberdayaan
35

masyarakat (community development), dimulai sejak digulirkannya program


Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994. Selanjutnya diikuti oleh program-
program yang lain diantaranya: Program Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Kemitraan dan Pengembangan
Ekonomi Lokal (KPEL), Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) serta
Agropolitan.
Namun sebagian besar program-program tersebut belum secara substansial
mengembangkan ekonomi lokal. Titik berat program lebih banyak diarahkan pada
pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek, serta bersifat top down dari
pemerintah pusat. Pada umumnya program-proram tersebut tidak berkelanjutan
(sustainable) setelah masa proyek berakhir. Oleh karenanya pada tahun 2006
dilakukan program revitalisasi pengembangan ekonomi lokal yaitu upaya
meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal dan upaya menggerakkan
kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan
perekonomian wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan.
Terdapat beberapa konsep yang menjadi dasar bagi revitalisasi PEL, salah
satunya adalah konsep Porter’s Diamond dari Michael Porter. Namun konsep
tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun
ruang (spatial). Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat
keharusan sehingga jika tidak ada, konsep tersebut relatif sama dengan konsep
ekonomi pada umumnya yang tidak memperhatikan ruang (spaceless world).
Berbeda dengan konsep Porter’s Diamond, konsep Heksagonal PEL yang
dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer (2004) telah memasukkan aspek ruang
dalam model PEL-nya (Bappenas, 2006).
Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Wilayah yang
dimaksud dapat berupa wilayah administratif ataupun wilayah/kawasan
pengembangan usaha/komoditi unggulan tertentu, termasuk kawasan agropolitan.
Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap
komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage
36

factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL.


Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi
pengembangan PEL.
Komponen PEL terdiri dari 6 unsur yang disebut dengan heksagonal.
Terdapat enam segitiga yang secara keseluruhan membentuk heksagonal, yang
berfungsi mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal
dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL
serta mempertimbangkan trade off dan kemungkinan konflik yang ada dalam
PEL. Heksagonal PEL terdiri dari :
1. Kelompok sasaran PEL
Kelompok sasaran PEL dibedakan atas tiga pelaku usaha yaitu pelaku
usaha lokal, investor luar dan pelaku usaha baru.
2. Faktor lokasi
Faktor lokasi menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha. Terdiri dari faktor lokasi terukur (tangible
factor), faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi pelaku usaha dan
faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi individu.
3. Kesinergian dan fokus kebijakan
Tiga hal yang saling berkaitan dalam kebijakan PEL adalah perluasan
ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta
pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda
namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan.
4. Pembangunan berkelanjutan
Tiga faktor penentu pembangunan berkelanjutan terdiri dari pembangunan
ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari
pendekatan PEL yang inovatif.
5. Tata kepemerintahan
Segitiga dalam ketatapemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku
usaha masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik
dan pengembangan organisasi pelaku usaha.
37

6. Proses manajemen
PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa
dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga
(benchmark) dan refleksi.
Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk
mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).

Gambar 2 Heksagonal PEL

Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat


analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL (Lampiran 9).
Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi
mandiri (self assessment).

2.10. Penelitian Terdahulu


Hasil penelitian Pribadi (2005) di Kawasan Agropolitan Cianjur
mengemukakan bahwa Program agropolitan sejauh ini berdampak positif yaitu
mampu meningkatkan nilai tambah terutama dari biaya transportasi yang lebih
rendah. Namun, pengembangan kawasan agropolitan tanpa memperhatikan
keterkaitan sosial ekonomi aktual yang terjadi antar hirarki wilayah di dalam
38

kawasan, akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan pemborosan anggaran


pembangunan. Hal ini karena, pada akhirnya banyak sarana-prasarana penunjang
pertanian yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal dan bahkan
biaya pemeliharaannya justru menjadi beban masyarakat. Pemanfaatan yang
tidak optimal ini terjadi karena lokasi penempatan fasilitas yang tidak sesuai
dengan pola aktivitas sosial ekonomi yang telah berkembang, dan apabila
masyarakat harus dipaksakan untuk memanfaatkannya maka yang terjadi adalah
aktivitas ekonomi masyarakat justru menjadi tidak efisien dan kurang
menguntungkan.
Pola jaringan jalan yang bersifat denritik kurang bisa mendorong
pengembangan kawasan perdesaan karena setiap unit wilayah desa harus langsung
berinteraksi dengan kawasan yang memiliki kapasitas skala ekonomi (economic of
scale) yang lebih besar. Akibatnya dalam konteks transaksi antar wilayah, desa
tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Pola jaringan yang bersifat
networking antar desa harus diperkuat, tetapi tidak harus dalam bentuk jalan
beraspal yang di-hotmix agar biaya pembangunannya tidak terlalu mahal. Jalan-
jalan desa yang bisa dilalui oleh motor ataupun kendaraan bak terbuka sudah
mencukupi untuk membangun jalur transportasi antar desa.
Sektor petanian sebagai sektor andalan di Kawasan Agropolitan Cianjur
pada dasarnya sangat tergantung pada terjaganya kualitas lingkungan. Namun
pada kenyataanya, kemampuan alami lahan di Kawasan Agropolitan Cianjur
sudah mulai menurun karena usaha tani yang intensif pada lahan sempit dengan
pola multiple cropping tanpa pernah mengistirahatkan lahan. Sementara
ketersediaan air di kawasan agropolitan juga sudah mulai terganggu karena
maraknya alih fungsi lahan menjadi villa dan bangunan. Kondisi ini akan
mengancam keberlanjutan dari pengembangan kawasan agropolitan.
Akses petani terhadap lahan ternyata semakin berkurang dengan
berkembangnya infrastruktur wilayah (listrik dan sarana jalan), meningkatnya
kepadatan penduduk, aksesibilitas yang dekat dengan kota (Jakarta dan Bogor),
banyaknya penduduk miskin dan pengangguran di perdesaan, serta lemahnya
kapasitas social capital dalam masyarakat. Pembangunan infrastruktur wilayah
39

(listrik dan sarana jalan) justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses
desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif.
Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa
Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan
Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi (tahun 2002) sampai dengan tahun ke 3
fasilitasi (tahun 2004) di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum
mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih
pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum
dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun
masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan
program belum dirasakan oleh masyarakat.
Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa
permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masing-
masing sektor dan bidang sebagai berikut:
a. Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya
masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga,
fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan
esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai
masalah ini sangat minim;
c. Rendahnya ketrampilan bisnis (jiwa entreprenuership) dari masyarakat
sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihan-
pelatihan;
d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan
informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini
masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya;
e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di
sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan;
f. Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
40

dan sinergisnya program yang dilaksanakan baik dari pusat, provinsi


maupun kabupaten.
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya,
adalah dalam penelitian ini tidak saja menggunakan analisis deskriptif seperti
pada penelitian terdahulu tetapi juga diperkuat dengan analisis kuantitatif.
Disamping itu dalam penelitian ini diterapkan suatu metode baru dalam
mengidentifikasi dan merumuskan strategi pembangunan dengan menggunakan
metode Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development
(RALED).
III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian


Agropolitan adalah konsep pembangunan perdesaan yang
mengintegrasikan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan
partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada
pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari pada konsep
pengembangan wilayah dengan menekankan pada pembangunan infrastruktur,
kelembagaan dan permodalan/investasi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan agropolitan
meliputi pengembangan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan
agroindustri, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah
infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran,
serta pemukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota;
kelestarian lingkungan terjaga; penguatan kelembagaan; perekonomian perdesaan
tumbuh berkembang; dan produktivitas pertanian meningkat.
Apabila hal ini dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah
perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan
pertanian sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect
selanjutnya adalah terbukanya lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat, mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi
dari desa ke kota, disparitas perkembangan desa-kota dapat ditekan, dan
pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata.
Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah.Penelitian ini dimaksudkan
untuk melihat apakah pengembangan agropolitan yang dilaksanakan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat petani dan perekonomian wilayah atau
belum. Selanjutnya akan diidentifikasi kebijakan seperti apa yang dapat
mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan ke depan. Secara garis
besar kerangka pemikiran umum tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
42

AGROPOLITAN

Pemberdayaan Pengembangan
Masyarakat Wilayah

Agribisnis Agroindustri Konservasi

Infra- Kelem- Kelestarian Ekonomi Produksi


struktur bagaan Lingkungan Perdesaan Pertanian

Pendapatan Pembangunan
Masyarakat Wilayah

Apakah terjadi
Belum peningkatan ? Ya

Identifikasi
Kebijakan

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2. Kerangka Pendekatan Operasional


Di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat
strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah
serta keterkaitan sektoral dan aspek spatial-nya. Perkembangan sektor strategis
tersebut akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan.
Dampak tidak langsung terwujud sebagai akibat perkembangan kegiatan sektor
tersebut yang berdampak kepada berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan
secara spatial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran.
Pada tahap awal akan dilakukan analisis Location Quotient (LQ) untuk
mengetahui karakteristik pemusatan aktivitas di Provinsi Gorontalo dan di daerah
43

contoh yaitu kabupaten Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan.


Analisis ini diperlukan untuk mengetahui pusat-pusat aktivitas sektor terutama di
kabupaten Pohuwoto sebagai kawasan agropolitan sebelum dan sesudah
pemekaran. Pergeseran pusat-pusat aktivitas antara sebelum dan sesudah program
akan memberikan gambaran sektor mana saja yang kinerjanya mengalami
penurunan, sektor yang kinerjanya tetap unggul dan sektor yang muncul sebagai
sektor unggulan baru.
Analisis ini selanjutnya dilengkapi dengan analisis Shift-share yang dapat
menunjukkan seberapa besar dinamika perekonomian wilayah dan sektor-sektor
ekonomi Provinsi Gorontalo berpengaruh terhadap sektor ekonomi di kabupaten
Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan. Kedua analisis ini akan
memberikan informasi keunggulan komparatif dan kompetitif dari sektor-sektor
perekonomian di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato baik sebelum dan
sesudah program agropolitan.
Kedua analisis diatas kemudian dilengkapi dengan analisis deskriptif
terhadap perkembangan PDRB di kedua wilayah tersebut. Analisis deskriptif ini
penting untuk mengetahui pola pola perkembangan ekonomi wilayah sebelum dan
sesudah program agropolitan.
Dari ketiga analisis pertama ini diharapkan dapat diperoleh gambaran
sampai sejauh mana program pengembangan agropolitan berperan terhadap
perekonomian wilayah.
Sementara itu untuk mengetahui dampak langsung dari pengembangan
agropolitan terhadap masyarakat terlebih khusus pendapatan masyarakat petani,
maka akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner.Karena
pertimbangan kesulitan dalam menggali informasi tentang pendapatan masyarakat
petani sebelum pelaksanaan agropolitan maka perbandingan pendapatan
dilakukan dengan kawasan yang belum tersentuh program agropolitan dengan
menggunakan analisis uji beda rata-rata t- student.
Selain itu analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat juga akan
dilakukan terhadap proses pelaksanaan pembangunan kawasan agropolitan.
Tingkat partisipasi masyarakat tersebut akan dilihat berdasarkan indikator-
indikator tertentu menurut tangga partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein.
44

Analisis tingkat partisipasi ini akan menggambarkan derajat partisipasi


masyarakat dalam pengembangan agropolitan.
Dalam mengembangkan ekonomi kawasan agropolitan, seringkali
pemerintah ingin membenahi semua aspek yang terkait dalam kawasan. Disisi lain
pemerintah mempunyai keterbatasan dalam kemampuan dan dana, sehingga
diperlukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan agropolitan agar dapat
lebih terarah dan efisien untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Untuk
mengetahui dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dari
pemerintah yang disebut sebagai faktor pengungkit akan dilakukan analisis
Heksagonal Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Analisis ini digunakan untuk
mengetahui kondisi ekonomi kawasan agropolitan, sehingga dapat diketahui aspek
mana saja yang menjadi prioritas untuk dibenahi. Heksagonal PEL terdiri dari 6
aspek yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) kesinergian dan fokus
kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6)
proses manajemen. Untuk melihat faktor-faktor pengungkit dalam Heksagonal
PEL digunakan teknik Rapid Assessment for Local Economic Development
(RALED). Analisis ini menggunakan data primer berupa persepsi dari semua
stakeholder yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan.
Secara ringkas tahapan-tahapan studi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
45

SEBELUM AGROPOLITAN SETELAH AGROPOLITAN

Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data Primer
Prov.Gorontalo Kab.Boalemo Prov.Gorontalo Kab.Pohuwato Melalui kuesioner

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis beda Analisis Par- Analisis


pendapatan tisipasi Masy Heksagonal
LQ LQ LQ , MS, ML LQ , MS, ML PEL

Analisis Analisis Analisis Analisis Uji t-student Analisis RALED


SSA SSA SSA SSA Kualitatif

Peran dan Peran dan Peran dan Peran dan Dampak Peran Identifikasi
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan terhadap Masyarakat Prioritas
Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Pendapatan dalam Kebijakan
regional Wil. contoh regional Wil.contoh Masyarakat Agropolitan

Dampak agropolitan Dampak agropolitan


Berdasar data sekunder Berdasar data primer

Pengembangan ekonomi
Kawasan agropolitan

Gambar 4 Kerangka Pendekatan Operasional


46

3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian dapat diajukan sebagai berikut :
1. Diduga kontribusi komoditi unggulan jagung menonjol terhadap ekonomi
wilayah Provinsi Gorontalo
2. Pengembangan agropolitan basis jagung memberikan dampak positif
terhadap tingkat pendapatan petani.
IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan analisis deskriptif


kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk melengkapi analisis
kuantitatif yang fokus pada aspek output dan outcome. Selanjutnya, untuk aspek
proses pengembangan agropolitan akan dijelaskan secara deskriptif.

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Gorontalo yaitu di Kabupaten


Pohuwato yang merupakan daerah pengembangan kawasan agropolitan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 hingga bulan Agustus
2008, meliputi tahapan persiapan hingga pelaporan.

Lokasi
Penelitian

Gambar 5 Lokasi Penelitian

4.2. Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan
data sekunder yang diuraikan sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapang dan
wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan
kuesioner di kawasan agropolitan dan di kawasan yang belum
terpengaruh program agropolitan. Disamping itu untuk data
48

stakeholder digunakan data seluruh stakeholder yang terkait dengan


pengembangan ekonomi kawasan agropolitan.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait
seperti BPS, Dinas Pertanian, Bappeda, Dinas Prasarana dan
Pemukiman dan instansi-instansi terkait lainnya yang telah tersedia
dalam bentuk dokumen dan studi literatur.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini digunakan dua tahap pengambilan sampel (multistage


sampling) (Juanda, 2007). Dimana untuk penentuan lokasi kecamatan agropolitan
dan non agropolitan metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling,
yaitu berdasarkan penetapan kawasan agropolitan dan ketersediaan infrastruktur
pendukung agropolitan. Selanjutnya penarikan sampel dilakukan secara acak di
masing-masing kecamatan. Responden adalah petani yang mengusahakan
komoditas unggulan kawasan agropolitan yaitu komoditas jagung. Jumlah
responden petani adalah sebanyak 60 orang, dimana 30 orang responden berasal
dari kawasan agropolitan dan 30 orang lainnya berasal dari kawasan non
agropolitan.
Untuk sampel stakeholder, pengambilan sampel dilakukan kepada seluruh
stakeholder yang tergabung dalam forum kemitraan PEL yang sudah terbentuk di
daerah penelitian yang terdiri dari usahawan (swasta dan perbankan), (eksekutif
dan legislatif), Organisasi Masyarakat (LSM, media massa, organisasi sosial
lainnya), Perguruan Tinggi. Pengumpulan data dengan mengguankan kuesioner
dilakukan secara partisipatif dalam suatu focus group discussion (FGD).
Tabel 7 Matriks Pendekatan Penelitian
No Tujuan Aspek Variabel Alat Responden Non Sumber
Analisis responden Data
1 Menganalisis dampak Keragaan PDRB, Pertumbuhan PDRB, - Analisis LQ, - Data BPS, Bappeda
pengembangan agropolitan Struktur Pertumbuhan sektor-sektor MS, ML sekunder
terhadap perekonomian Perekonomian perekonomian, Pertumbuhan - Analisis SSA
wilayah penduduk, Pertumbuhan angkatan
wilayah - Analisis
kerja, Peningkatan Investasi
Deskriptif
2 Menganalisis dampak Pendapatan Pendapatan usaha tani Kegiatan - Analisis Uji Petani - Wawancara
agropolitan terhadap Usaha tani petani sehubungan dengan Beda rata-rata t- kawasan kepada
pendapatan petani agropolitan. student agropolitan masyarakat
dan non petani
agropolitan
3 Menganalisis tingkat Tingkat Komunikasi (dialog), - Kualitatif Petani - Wawancara
partisipasi masyarakat partisipasi Pengetahuan masyarakat terhadap menurut tangga kawasan kepada
sebagai pelaku pembangunan masyarakat proses pengambilan keputusan, partisipasi agropolitan masyarakat
di kawasan agropolitan Kontrol masyarakat terhadap Arnstein dalam kawasan
kebijakan publik agropolitan

4 Merumuskan strategi Identifikasi - Kelompok Sasaran - Analisis Bappeda, - Bappeda,


pembangunan yang dapat prioritas - Faktor Lokasi Heksagonal PEL Pemerintah Pemerintah
mendorong pengembangan kebijakan - RALED Daerah, daerah
- Kesinergian dan
Kawasan Agropolitan pemerintah petani, pelaku
Fokus Kebijakan Key Informan
usaha, LSM
- Pembangunan Berkelanjutan (stakeholer)
- Tata Pemerintahan
- Proses Manajemen
50

4.4. Metode Analisis


Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan
yang diangkat. Metode analisis yang dipakai antara lain:

4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS) dan
Multiplier Long Run(ML)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peranan/pengaruh sektoral dalam
pertumbuhan ekonomi. Disamping itu juga untuk melihat kontribusi jagung
sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Untuk mengetahui
potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat menggunakan
metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.

X ij / X i .
LQij =
X . j / X ..

Dimana :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato untuk
sector ke- j
Xi. = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato total
seluruh sektor
X.j = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo untuk
sector ke- j
X.. = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo total
seluruh sektor

Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1 ) maka sektor tersebut
merupakan sektor basis sedangkan jika nilainya sama atau lebih kecil dari satu
(LQ < 1 ) berarti sektor yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada
kegiatan perekonomian wilayah provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
51

Analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time-series/trend, artinya untuk melihat


beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan.
Selanjutnya untuk mengetahui besarnya sumbangan sektor/aktifitas
ekonomi basis terhadap sektor/aktifitas lain dalam suatu wilayah atau dampak
sektor/aktifitas basis perekonomian wilayah digunakan Koefisien Pengganda.
Koefisien Pengganda Jangka Pendek dirumuskan sebagai berikut :

1
Ms =
YN
1−
YN + YB

Dengan :
MS = Multiplier Short Run / Pengganda jangka pendek
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
Dan koefisien pengganda jangka panjang dirumuskan sebagai berikut :

1
ML =
Y +I
1− N
YN + YB

Dengan :
ML = Multiplier Long Run / Pengganda jangka panjang
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
I = Investasi

4.4.2. Analisis Shift Share


Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik
analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu
dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah yang lebih luas)
dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share
52

menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu


wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan lebih luas.
Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu
aktifitas di suatu sub-wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam
wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab
terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang
dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika
lokal sub-wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab
dari dinamika wilayah secara umum (laju pertumbuhan agregat).
Dengan demikian dari hasil analisis shift-share akan diperoleh gambaran
kinerja aktifitas di suatu wilayah yang dapat dijelaskan dari 3 komponen, yaitu :
1. Komponen Laju Pertumbuhan Agregat (Komponen Agregat). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen propotional shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara
relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total
wilayah yang menunjukkan dinamika sektoral/aktifitas total dalam
wilayah.
3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran
ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu
aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas
tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
(keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub-
wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub-wilayah lain.
Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut :

⎛ X..(t1) ⎞ ⎛ X..i(t1) X..(t1) ⎞ ⎛ Xij(t1) X.i(t1) ⎞


SSA = ⎜⎜ −1⎟ + ⎜
⎟ ⎜
− ⎟ + ⎜⎜

− ⎟⎟
X X
⎝ ..(t 0) ⎠ ⎝ ..i(t 0) X X
..(t 0) ⎠ ⎝ ij (t 0) X.i (t 0) ⎠

a b c
53

dimana : a = komponen agregat / share


b = komponen proportional shift
c = komponen defferential shift, dan
X.. = jumlah PDRB total seluruh sektor dalam total wilayah
X.i = jumlah PDRB sektor tertentu dalam total wilayah
Xij = jumlah PDRB sektor tertentu dalam unit wilayah tertentu
ti = nilai tahun akhir
t0 = nilai tahun awal

4.4.3.Analisis Uji Beda Pendapatan


Selanjutnya untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan
terhadap pendapatan masyarakat petani dilakukan analisis perbandingan rata-rata
pendapatan usaha tani jagung antara kawasan agropolitan dan non agropolitan
dengan menggunakan uji t-student pada taraf 5%. Analisis data dilakukan dengan
bantuan program aplikasi Minitab for Window Release 14 .
Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
H0 : µ1 = µ2 yakni rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan sama dengan
rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan, artinya tidak ada perbedaan
antara pendapatan petani kawasan agropolitan dan non agropolitan.
H1 : µ1 > µ2 yakni rata rata pendapatan petani kawasan agropolitan lebih besar
dari rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan. Artinya terdapat
perbedaan rata-rata pendapatan petani antara kawasan agropolitan dan non
agropolitan.
Dengan Satistik Uji t (Steel and Torrie 1981) sebagai berikut :
− −
( x1 − x 2 )
t=
S− −
( x1 − x2 )
dimana :

x1 = rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan

x2 = rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan
− −
S = Standar deviasi ( x1 - x 2 )
54

Kaidah keputusan :
Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1)
Bila statistik hitung ≤ tα , maka terima H0 (tolak H1)

4.4.4. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan


Pengukuran terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kawasan agropolitan akan didasarkan pada tangga partisipasi yang dikemukakan
oleh Arnstein (1969). Analisa derajat partisipasi arnstein, menggunakan metode
skoring dalam menentukan tingkat partisipasi dengan menggunakan variabel (1)
derajat Komunikasi, (2) pengetahuan masyarakat atas proses pengambilan
keputusan, (3) kontrol masyarakatatas kebijakan perencanaan.
Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat komunikasi adalah :
1. Informasi : Apakah anda mendapat informasi tentang adanya pelaksanaan
program agropolitan.
2. Forum pengambilan keputusan : Dalam forum apa keputusan diambil
dalam lingkungan desa.
3. Jumlah orang yang berpartisipasi : Menurut anda berapa persen orang yang
tahu dan diajak berembuk mengenai sebuah proyek yang akan berlangsung
dilingkungan anda (agropolitan).
4. Intervensi yang dilakukan aparat : seberapa besar campur tangan/intervensi
aparat dalam proses fasilitasi program agropolitan?
Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat pengetahuan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan adalah :
1. Konsep partisipatif : Menurut anda apakah perencanaan yang ada di desa
(dalam pengembangan agropolitan) sudah melibatkan masyarakat?
2. Tingkat kepuasan : Apakah anda puas dengan prosedur dan proses
pengambilan keputusan dalam perencanaan pengembangan agropolitan?
3. Prosedur untuk berpartisipasi : Menurut anda apakah dalam perencanaan
pengembangan agropolitan yang dilakukan selama ini, warga dan
organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat
didalamnya?
55

4. Tingkat partisipasi dalam kelompok : Jika keputusan diambil dalam


kelompok, bagaimana keputusan tersebut dibuat?
Variabel yang digunakan untuk mengukur kontrol masyarakat terhadap kebijakan
pembangunan adalah :
1. Akses terhadap forum perencanaan : Apakah warga dan arganisasi
masyrakat lainnya dapat dengan mudah terlibat/ikutserta dalam forum
perencanaan agropolitan?
2. Kritik atas mekanisme forum perencanaan: Apakah anda pernah memberi
masukan kepada pemerintah atau pihak yang anda anggap
bertanggungjawab untuk merubah prosedur dan proses pengambilan
keputusan?
3. Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek : Menurut anda
bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program
agropolitan?

Tabel 8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein
Aspek Tingkatan Interval Skor
Penilaian
A. Komunikasi Tidak ada komunikasi 30 52,5 1
Komunikasi satu arah tetapi hanya
sedikit keputusan publik yang bisa 52,5 75 2
diklarifikasi
Komunikasi telah cukup, namun 75 97,5 3
masih bersifat satu arah
Ada dialog 97,5 120 4
B. Pengetahuan Tidak Tahu 30 52,5 1
masyarakat
Tahu 52,5 75 2
terhadap proses
pengambilan Mempengaruhi 75 97,5 3
keputusan
Berperan Besar 97,5 120 4
C. Kontrol Tidak ada 30 52,5 1
masyarakat
Hanya bisa memberikan komentar
terhadap
(less control power) 52,5 75 2
kebijakan
publik Bisa memberikan kritikan dan
masukan (Has power) 75 97,5 3
Bisa mengontrol sepenuhnya
(control powerly) 97,5 120 4
56

Adapun tahapan perhitungan ketiga variabel tersebut dilakukan dengan cara :


1. Pemberian skor dengan skala 1 – 4 (s)
2. Menghitung distribusi frekwensi (f)
3. Memberikan bobot penilaian terhadap variabel berdasarkan pengaruh
variabel terhadap aspek yang dinilai (b)
4. Mencari interval berdasarkan kuartil atas perhitungan terhadap s x f x b
dengan cara mengurangkan nilai tertinggi (jika semua memili skala
tertinggi) dan nilai terendah (jika semua memilih skala terendah).
5. Membandingkan hasil dengan indeks Arnstein.

Tabel 9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein

Derajat Nilai Faktor Indeks Kelompok


Partisipasi A B C
Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Tingkat
Otoritas
Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11
Masyarakat
Partnership/Kemitraan 4 3 2-3 9-10
Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Tingkat
Tokenisme
Konsultasi 3-4 2 2 7-8
Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8
Terapi 2 1 1 4 Non
Partisipasi
Manipulasi 1 1 1 3
Sumber : Arnstein 1969
A = Komunikasi
B = Pengetahuan Masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
C = Kontrol Masyarakat terhadap kebijakan publik

4.4.5. Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED)


Untuk mengkaji prioritas kebijakan yang dapat mendorong
pengembangan kawasan agropolitan digunakan teknik analisis RALED. Teknik
RALED didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan
atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling (MDS). Dimensi dalam
RALED didekati dengan menggunakan Heksagonal PEL, yang terdiri dari 6 aspek
yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) Kesinergian dan fokus
kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6)
proses manajemen. Penggunaan analisis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
57

agropolitan merupakan salah satu program pemerintah yang menggunakan


pendekatan pengembangan ekonomi lokal. Sementara itu Heksagonal PEL
merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis dan
menggambarkan kondisi ekonomi lokal pada suatu wilayah/kawasan, termasuk
kawasan agropolitan. Keunggulan analisis ini adalah bahwa indikator
pengembangan ekonomi lokal yang digunakan, yang berjumlah 87 indikator
merupakan penjabaran dari keenam aspek tersebut termasuk aspek lokasi maupun
ruang sehingga mampu menggambarkan keadaan perekonomian lokal secara
komprehensif. Namun demikian, keterbatasan analisis ini adalah karena data yang
digunakan merupakan data persepsi dari masing-masing stakeholder sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam menterjemahkannya (interpretasi). Berdasarkan
hasil pemetaan dari kondisi PEL tersebut kemudian dapat diidentifikasi
komponen Heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit, yaitu faktor
yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Selanjutnya berdasarkan
faktor pengungkit inilah maka dapat disusun strategi pengembangan selanjutnya.
Dalam analisis ini, data yang dipakai adalah persepsi dari semua
stakeholder yang terkait dalam pengembangan kawasan agropolitan dan data
sekunder sebagai data penunjang. Data ini selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development
(RALED). Adapun tahapan dalam analisis Raled adalah sebagai berikut :
1. Analisis dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS)
2. Analisis Sensitivitas
3. Analisis Montecarlo
Selanjutnya untuk mengetahui kondisi atau status PEL secara keseluruhan
dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy
Prosess (AHP).
V. DISKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1. Deskripsi Agropolitan Provinsi Gorontalo


Dalam rangka memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayahnya
Provinsi Gorontalo mengembangkan konsep agropolitan. Sebagai langka awal
pengembangan agopolitan, pemerintah membuat masterplan pemwilayahan
komoditas. Hal ini dilatarbelakangi karena kondisi lahan di suatu wilayah atau
kawasan sangat beragam yang dipengaruhi oleh factor iklim, tanah, topografi dan
hidrologi. Sehingga keragaman ini akan sangat perpengaruh terhadap tipe potensi
lahan dan jenis tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Selanjutnya
komoditas pertanian akan mampu berproduksi maksimal di lahan yang cocok atau
sesuai dengan prasyarat tumbuhnya. Atas dasar pertimbangan tersebut jagung
akhirnya dipilih sebagai komoditas unggulan daerah sebagai titik masuk dari
pengembangan agropolitan, disamping karena jagung juga merupakan komoditi
yang sudah dikembangkan secara turun temurun oleh masyarakat gorontalo dan
merupakan makanan pokok masyarakat gorontalo.
Program ini dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Gorontalo. Kabupaten Pohuwato merupakan salah satu dari 8 program rintisan
pengembangan agropolitan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat pada tahun
2002, dimana dengan berkoordinasi dengan dinas pertanian dan dinasi kimpraswil
dilakukan pembangunan sarana prasarana untuk menunjang pengembangan
agropolitan.
Sejalan dengan perkembangan yang ada pemeritah juga sementara
merancang agar jagung sebagai komoditi unggulan dapat menjadi penggerak
ekonomi dari sector-sektor lain yang terkait didalamnya melalui ‘ekonomi jagung’
(Muhammad, F. 2008). Dalam jangka panjang akan dibangun industri hulu dan
hilir yang berbasis jagung. Akan tetapi rencana ini belum tertuang dalam
masterplan agropolitan termasuk zonasi pusat-pusat produksi, pengolahan hasil
dan pemasaran. Kondisi eksisting yang ada dilapang pusat-pusat produksi,
pengolahan hasil dan pemasaran mengacu pada RTRW Provinsi Gorontalo
dimana pusat-pusat produksi berada dalam Kawasan Andalan Kabupaten
Boalemo (sebelum pemekaran) dan Kapet Kabupaten Gorontalo sedangkan pusat
59

pengolahan dan pemasaran berada di kawasan andalan Kota Gorontalo


(Lampiran 8 ).

infrastruktur
Industri hilir Industri hulu

Sweetener Benih/
(Pemanis Pemuliaan

Ethanol Mesin pertanian/


Pengolahan

Starch Jagung
(Tepung) Pupuk

Bioproduct R&D,Diklat/workshop
Pengujian&sertifikasi

Corn oil
Jasa handling,
Asuransi/ Penyimpanan
Perbankan
Pakan ternak
Jasa Perbengkelan

Gambar 6 Diagram Ekonomi Jagung

5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato


5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif
Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten yang berada di ujung barat
Provinsi Gorontalo dengan letak geografis antara 0,27o – 1,01o Bujur Timur dan
121,23o – 122,44o Lintang Utara, dengan iklim 24,4 – 33,2 o
C. Adapun batas
wilayah Kabupaten Pohuwato adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Buol Sulawesi Tengah, sebelah selatan beratasan denga Teluk Tomini, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Boalemo.
Luas wilayah Kabupaten Pohuwato adalah 4.244,31 km2 atau 34,75
persen dari luas wilayah Provinsi Gorontalo. Wilayah administrasi pemerintahan
Kabupaten Pohuwato mencakup 7 kecamatan yang terdiri dari 69 desa, 1 UPT dan
60

3 Kelurahan. Adapun nama kecamatan, jumlah desa dan luas wilayah dapat dilihat
pada Tabel 10.

Tabel 10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah Desa di Kabupaten Pohuwato


No Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Desa

1 Popayato 1.392,90 15
2 Lemito 807,58 11
3 Randangan 449,82 10
4 Marisa 331,90 15
5 Paguat 803,32 12
6 Taluditi 159,97 6
7 Patilanggio 298,82 4
Jumlah 4.244,31 73
Sumber : Profil Kabupaten Pohuwato, 2006

Aktifitas pertanian di Kabupaten Pohuwato dilaksanakan untuk


meningkatkan produktifitas pertanian. Adapun komoditi yang dikembangkan
bermacam-macam terdiri dari tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan.
Namun yang menjadi prioritas dari pemerintah daerah adalah mengembangkan
komoditi tanaman pangan dalam hal ini padi dan jagung sebagai komoditi basis.
Sebagai produk unggulan, komoditi jagung banyak diusahakan di lahan kering
yang banyak terdapat di kabupaten Pohuwato.

Tabel 11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di Kabupaten


Pohuwato
No Kecamatan Luas Sawah Bukan Sawah Jumlah
(Ha) (Ha) (Ha)
1 Popayato 80 139.210 139.290
2 Lemito 11 80.747 30.758
3 Randangan 140 44.842 44.982
4 Marisa 1.266 31.924 33.190
5 Paguat 480 79.852 80.332
6 Taluditi 850 44.132 15.997
7 Patilanggio 208 29.674 29.882
Total 3.035 421.396 424.431
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
61

Topografi Kabupaten Pohuwato umumnya adalah dataran rendah,


sebagian kecil berbukit dan bergunung. Tingkat kemiringan yakni 0 – 40o,
sedangkan ketinggiannya berkisar antara 0 – 1800 dari permukaan laut (dpl).
Faktor pengendali iklim yang banyak berpengaruh terhadap keberhasilan usaha
pertanian adalah curah hujan dan temperatur. Berdasarkan data Biro Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Pohuwato tahun 2006, curah hujan di Kabupaten
Pohuwato bervariasi berkisar antara 3 – 204 mm. Pada tahun 2006 suhu rata-rata
pada siang hari berkisar antara 31,2 – 33,4o C sedangkan suhu pada malam hari
berkisar 21,8 – 24,1o C dengan kelembaban relative berkisar antara 71 - 85 persen.

5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat


5.2.2.1. Kependudukan
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006) jumlah penduduk Kabupaten
Pohuwato adalah 114.650 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
1,2 persen per tahun. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin
laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang
masing masing terdiri dari 57.721 penduduk laki-laki dan 56.929 penduduk
perempuan. Hal ini tercermin dari rasio jenis kelamin penduduk Pohuwato lebih
dari 100 yaitu 101 persen. Ini berarti dari setiap 100 orang perempuan terdapat
101 laki-laki. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di
Kabupaten Pohuwato dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Penduduk menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio di


Kabupaten Pohuwato Tahun 2006
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Sex ratio
1 Popayato 10.998 11.000 100
2 Lemito 7.295 7.105 103
3 Randangan 6.756 6.315 107
4 Taluditi 3.132 3.189 98
5 Patilanggio 4.140 3.891 106
6 Marisa 15.927 15.889 100
7 Paguat 9.473 9.539 99
Jumlah 57.721 56.929 101
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
62

Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar penduduk Kabupaten


Pohuwato adalah berusia muda, karena 69,03 persen penduduknya berada
dibawah 35 tahun. Jumlah penduduk terbanyak yaitu pada umur 10 – 14 tahun
yang mencapai 12,14 persen. Dilihat dari sex ratio, kelompok umur 10 – 14 tahun
memperlihatkan sex ratio yang besar dan pada kelompok umur ini jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan.

Tabel 13 Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kabupaten


Pohuwato
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0 - 4 6.205 6.407 12.612
5 - 9 5.795 6.862 12.657
10 - 14 8.104 5.815 13.919
15 - 19 5.385 4.807 10.192
20 - 24 4.121 5.670 9.791
25 - 29 4.797 5.350 10.147
30 - 34 4.618 5.208 9.826
35 - 39 5.206 4.665 9.871
40 - 44 4.208 3.690 7.899
45 - 49 2.672 2.487 5.159
50 - 54 2.626 2.270 4.896
55 - 59 1.495 1.337 2.832
60 - 64 1.086 1.024 2.110
65 + 1.403 1.337 2.740
Jumlah 57.721 56.929 114.650
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006

5.2.2.2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan yaitu dengan
mencanangkan berbagai program seperti program wajib belajar, gerakan nasional
orang tua asuh, bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lain. Diharapkan
dengan program ini akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam
era globalisasi mendatang.
63

Tingkat kesadaran penduduk kabupaten Pohuwato terhadap arti


pentingnya pendidikan relatif tingi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk
yang dapat menikmati pendidikan formal dari pendidikan taman kanak-kanak
sampai sekolah lanjut tingkat atas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2004 jumlah murid yang dapat menikmati pendidikan adalah sebanyak
23.206 orang siswa meningkat menjadi 27.340 siswa pada tahun 2006 atau
mengalami pertumbuhan sebesar 7,8 persen. Demikian halnya dengan jumlah
guru di Kabupaten Pohuwato cukup mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya jumlah murid. Selama periode 2004 – 2006 ratio murid guru pada
tingkat taman kanak-kanak hingga SLTP di Kabupaten Pohuwato sedikit
mengalami penurunan, tapi untuk tingkat pendidikan SLTA tidak mengalami
banyak perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa penyediaan tenaga pengajar
kurang bisa mengimbangi pertambahan pelajar.

Tabel 14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006

NO Tingkat Pendidikan 2004 2006


Jumlah Jumlah
Guru Murid Ratio Guru Murid Ratio
Murid Murid
& Guru & Guru
1 Sekolah Taman 39 1.529 39 94 2.195 23
Kanak-kanak
2 Sekolah Dasar 474 15.812 33 689 17.180 24
/Ibtidaiyah
SLTP/Tsanawiyah
3 160 4.187 26 298 5.076 17
SLTA/Aliyah/
4 93 1.678 18 162 2.889 17
Kejuruan
Jumlah 766 23.206 1.243 27.340
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006.

5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah


5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah
Kabupaten Pohuwato adalah kabupaten baru dalam wilayah Provinsi
Gorontalo yang merupakan daerah agraris. Hal ini menyebabkan tidak mustahil
jika struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian
64

(berdasarkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB). Terlebih lagi, paket


kebijakan pemerintah daerah selama ini lebih menitik beratkan pada sektor
pertanian/agraris diantaranya dengan program-program agropolitan dan
terobosan-terobosan baru yang menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector
di kabupaten ini bahkan juga di Provinsi Gorontalo. Sejak periode 2004 - 2006
kontribusi sektor yang terbesar terhadap pembentukan PDRB adalah sektor
pertanian, meskipun mengalami trend yang menurun. Tahun 2006 kontribusi
sektor pertanian mencapai 40,91 persen sektor perdagangan dan akomodasi
sebesar 17,50 persen, sektor jasa-jasa sebesar 13,45 persen dan sektor keuangan
sebesar 11,73 persen sedangkan sektor lainnya kurang dari 10 persen

Tabel 15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten Pohuwato Atas


Dasar Harga Berlaku Tahun 2004 - 2006
Sektor 2004 2005 2006
Pertanian 46,82 45,65 40,91
Pertambangan & Pengagalian 0.93 0,88 0,80
Industri Pengolahan 5,94 6,20 5,73
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,82 0,96 0,93
Bangunan 6,28 6,21 5,79
Perdagangan & Akomodasi 18,84 18,75 17,50
Angkutan dan Komunikasi 3,49 3,26 3,16
Keuangan dan Jasa Perusahaan 8,87 10,02 11,73
Jasa-jasa 8,00 8,07 13,45
PDRB 100,00 100,00 100,00
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

Besarnya peranan sektor pertanian bukan hanya terlihat pada


kontribusinya terhadap PDRB, tetapi juga dari segi penyediaan lapangan
pekerjaan. Dimana berdasarkan Susenas 2006 diperoleh bahwa kebanyakan
penduduk laki-laki bekerja disektor pertanian yaitu sebesar 70,20 persen
sementara disektor perdagangan hanya sebesar 7,06 persen. Untuk penduduk
perempuan lebih merata yaitu sekitar 49,65 persen bekerja di sektor pertanian dan
masing-masing sebesar 17,73 persen dan 22,34 persen bergelut disektor
perdagangan dan jasa.
65

Tabel 16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerja Utama di Kabupaten


Pohuwato, Tahun 2006
Sektor Laki-Laki Perempuan
Pertanian 70,20 49,65
Pertambangan & Pengagalian 2,82 0,71
Industri Pengolahan 3,39 7,80
Listrik, Gas dan Air Bersih 2,54 1,06
Perdagangan & Akomodasi 7,06 17,73
Angkutan dan Komunikasi 8,05 0,35
Keuangan dan Jasa Perusahaan 0,28 0,35
Jasa-jasa 5,65 22,34
PDRB 100 100
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

5.2.3.2 Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan
pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan merupakan salah satu
sarana untuk mencapai kehidupan yang layak bagi penduduk suatu wilayah.
Pertumbuhan ekonomi dapat tercermin dari kenaikan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari tahun sebelumnya. Perekonomian di
Kabupaten Pohuwato tumbuh sebesar 7,25 persen pada tahun 2006. Pertumbuhan
ekonomi yang sebesar ini diharapkan dapat dirasakan secara merata oleh
masyarakat luas sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat yang hidup
makmur sejahtera dapat tercapai.

Gambar 7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006

7,3
7,24 7,25
7,2
7,1
7 Laju pertumbuhan
6,93 6,95
6,9
6,8
6,7
2003 2004 2005 2006
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
66

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten


Pohuwato mengalami peningkatan sejak tahun 2004. Sedangkan secara sektoral,
terlihat bahwa sektor–sektor mengalami pertumbuhan yang positif namun
cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan sektor pertanian
terlihat mengalami fluktuasi, pada tahun 2005 mengalami penurunan yaitu hanya
sebesar 1,86 persen dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2006 sebesar
4,52 persen.

Tabel 17 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006

Sektor Pertumbuhan ( %)
2004 2005 2006
Pertanian 6,18 1,86 4,52
Pertambangan & Penggalian 4,33 4,16 2,50
Industri Pengolaha 7,94 6,18 1.74
Listrik, Gas dan Air Bersih 4,04 11,41 14,98
Bangunan 5,47 4,97 11,17
Perdagangan dan Akomodasi 5,77 30,17 1,37
Angkutan dan Komunikasi 7,54 2,17 7,84
Keuangan & Jasa Perusahaan 15,96 5,88 12,70
Jasa-jasa 6,99 4,15 32,69
PDRB 6,95 7,24 7,25
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006

Pada tahun 2006, pertumbuhan yang paling besar dialami oleh sektor jasa-
jasa yaitu sebesar 32,69 persen jauh melesat dari tahun 2005 yang hanya 4,16
persen. Kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju
pertumbuhan sebesar 14,98 persen. Sektor yang mengalami kenaikan terendah
pada tahun 2006 adalah perdagangan dan akomodasi yaitu hanya sebesar 1,37
persen.

5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan


Kawasan Agropolitan randangan terletak di Kabupaten Pohuwato yang
merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di Provinsi Gorontalo. Peta
Kawasan Agropolitan Kabupaten Pohuwato disajikan pada Halaman 69.
67

Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato memiliki luas


sekitar 44.982 ha atau sekitar 10,60 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari
Luas Kawasan agropolitan Randangan, sekitar 10,87 persen dari luas kawasan
agropolitan di tanami dengan komoditi jagung (lahan jagung 4.889,5 ha dan lokasi
pendukung lainnya seperti pasar, terminal. Warung dan ruko 36.053,43 m2).
Sistem jaringan jalan kawasan Agropolitan berpola linier sepanjang jalan utama
Trans Sulawesi.

5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan


Jumlah penduduk di kawasan agropolitan randangan 13.071 orang dengan
tingkat pertumbuhan 1,2 persen per tahun dengan mata pencaharian dominan
sebagai petani (70%) dan sisanya pedagang, nelayan, tukang, PNS, swasta, dan
lain-lain. Penduduk Kawasan Agropolitan Randangan terdiri dari berbagai suku
bangsa yang terdiri dari masyarakat transmigran dan masyarakat Gorontalo.
Perekonomian penduduk pada umumnya beraktifitas pada kegiatan jual
beli hasil pertanian yang didominasi pembeli (tengkulak), hal ini akan sangat
merugikan petani karena petani berada pada posisi tawar yang lemah. Selain itu
sarana dan prasarana penunjang pemasaran hasil pertanian yang belum sempurna,
sehingga mereka terpaksa menjualnya pada tengkulak. Aktifitas sosial dan budaya
penduduk kawasan ditunjang dengan keberadaaan fasilitas penunjang seperti
lapangan olahraga, rekreasi, peribadatan, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan
sarana air bersih sebagai media interaksi sosial.

5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil


Proyek fisik yang dibangun dalam kawasan ini berupa jaringan jalan
penghubung dari sentra produksi di lahan perkebunan jagung dengan lebar seketar
3 m dan perkerasan penetrasi aspal. Keseluruhan panjang jalan yang dibangun
adalah 6,8 Km. Proses usulan untuk pengaspalan jalan ini berasal dari usulan
warga melalui wakil kelompok, kemudian disampaikan pada proyek agropolitan.
Fasilitas lainnya yang dibangun adalah : terminal agropolitan di kota Randangan
oleh dinasKimpraswil dan perpanjangan penetrasi jalan di dalam kawasan. Konsep
ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat di kawasan.
68

Prasarana Sarana Kimpraswil (PSK) yang dibangun di wilayah


Agropolitan berupa jalan penghubung sentra produksi ke jalan penghubung ke
pusat Kecamatan yakni kota Randangan, disamping itu juga dibangun fasilitas
terminal agrobisinis di kota randangan. Pembangunan PSK sudah dibangun sejak
tahun 2002 dan masih terus berlangsung.

Tabel 18 Pekerjaan Fisik dan Non-Fisik di Kawasan Agropolitan Randangan


Kabupaten Pohuwato
Provinsi /
No Kabupaten / Kec. / Pekerjaan Volume
Kawasan
1 GORONTALO
Kab.Pohuwato PENYUSUNAN RENCANA TEKNIS
1.Penyusunan Master Plan Kawasan
Kec.Randangan Agropolitan 1 Paket
2.Identifikasi kebutuhan P&S Kimpraswil 1 Paket
untuk mendukung Kawasan
Agropolitan
3.Penyusunan DED Kws, Agropolitan
TA. 2003 1 Paket
PEKERJAAN FISIK :
1.Peningkatan jalan poros desa (Lapen) 8,081 M'
2.Pembangunan kios pasar 20 unit
3.Pelataran dan prasarana pasar 1 unit
Sumber: Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005.
Gambar 8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato
70

5.3.3. Pola Penggunaan Lahan


Kawasan Agropolitan Randangan terdapat di Kabupaten Pahuwato.
Kawasan ini sebelumnya dikenal sebagai Kawasan Agropolitan Boalemo. Dengan
dimekarkannya Kabupaten Boalemo menjadi Kabupaten Pohuwato dan
Kabupaten Boalemo maka posisi kawasan agropolitan saat ini ada di Kabupaten
Pohuwato dengan pusat tetap di Kecamatan Randangan. Secara agroklimat lokasi
Kawasan Agropolitan Randangan sangat cocok untuk komoditi tanaman jagung,
demikian juga dari sistem budaya pertanian maka usaha tani di bidang komoditi
tanaman jagung merupakan kegiatan pertanian turun temurun mengingat makanan
pokok masyarakat berasal dari jagung. Penggunaan lahan Kecamatan Randangan
sebagai kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato disajikan
pada Tabel 19.

Tabel 19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan


No Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan

1 Sawah 140
2 Pekarangan 985
3 Tegalan/Kebun 863
4 Ladang/Huma 1.630
5 Perkebunan 594
6 Hutan Rakyat 1.115
7 Hutan Negara 29.177
8 Lain-lain Penggunaan 10.378
Total Luas Lahan 44.982
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006

5.3.4. Produk/ Komodoti Unggulan


Komoditas unggulan di kawasan agropolitan dan non agropolitan adalah
jagung, namun petani juga mengusahakan tanaman lain seperti padi, palawija,
sayuran, kelapa, kopi dan kakao. Selama ini pemasaran hasil usaha taninya
dipasarkan di sekitar kawasan di sekitar Gorontalo, namun sebagian hasil taninya
juga diekspor ke negara tetangga, seperti Philipina dan Malaysia melalui
perusahaan eksportir di wilayah itu. Kawasan Agropolitan Randangan terletak di
Kabupaten Pohuwato yang merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di
71

Provinsi Gorontalo. Kawasa Agropolitan Randangan mencakup 10 desa dengan


pusat pengembangan di Ibu Kota Kecamatan Randangan yaitu desa Motolohu.
Komoditas unggulan berupa pertanian jagung.

Tabel 20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten


Pohuwato
Komoditas Daerah Sistem Usaha
Pengembangan Kawasan
Unggulan Pemasaran Agribisnis
Padi, jagung, Filipina, Agribisnis hulu, Sarana prasarana
palawija, sayuran, Malaysia dan Usaha tani, kawasan, SDM,
kelapa, kopi dan sekitar pengolahan hasil, pemodalan, kelembagaan
kakao Gorontalo pemasaran hasil dan usaha tani
dan jasa
penunjang
Sumber : Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005

Sarana Prasarana yang ada dalam kawasan agropolitan berupa prasarana


jalan, sarana pendidikan, agama, kesehatan pasar dan jalan. Panjang prasarana
jalan yang dibangun pada tahun anggara 2002 oleh Kimpraswil Pusat lebar 3
meter dengan panjang total 6,8 km, selain itu dibangun terminal agribisnis seluas
1 Ha serta silo yang dibangun oleh PT. Fitra Mandiri sebuah BUMD dari
Provinsi Gorontalo yang bergerak dalam bidang pengumpulan jagung (pembeli).
Komoditas unggulan berupa Jagung yang dikembangkan di kawasan ini. Sebagian
besar masyarakat di kawasan agropolitan menanam jagung baik di lahan
pekarangan maupun di lahan kebun yang jaraknya cukup jauh (4 km) dari
lingkungan pemukiman. Selain itu dilakukan juga penanaman di sela-sela
tanaman kelapa.

5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan


Karakteristik aktivitas pertanian pada dasarnya dapat dipilah berdasarkan
bagian-bagian subsistem dari suatu sistem agribisnis secara keseluruhan. Berikut
ini adalah karakteristik aktivitas pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan
berdasarkan karakteristik subsistem penunjang, subsistem produksi, subsistem
pengolahan dan subsistem distribusi/pasar.
72

5.4.1. Subsistem Penunjang


Berdasarkan data-data sekunder yang berhasil dikumpulkan dan hasil
wawancara dengan para petani di Kawasan Agropolitan, nampak bahwa subsistem
penunjang seperti lembaga keuangan, keberadaan dan fungsinya masih sangat
terbatas. Berdasarkan hasil wawancara hampir 100% responden menyatakan
bahwa mereka tidak pernah melakukan pinjaman ke lembaga keuangan tertentu.
Mereka lebih banyak memakai modal sendiri atau meminjam dari pedagang
pengumpul desa (tengkulak). Dari data sekunder di peroleh keberadaan bank di
Kabupaten Pohuwato cukup tersedia, di Marisa sebagai ibukota Kabupaten
Pohuwato terdapat 7 Bank baik swasta maupun bank pemerintah. Di Kecamatan
Randangan sendiri terdapat 1 unit Bank Rakyat Indonesia, namun keberadaan
Bank Rakyat Indonesia unit Kecamtan Randangan belum berpengaruh karena
belum tersedianya skim kredit untuk para petani. Lembaga KUD sebagai sarana
keuangan petani juga belum banyak membantu karena lemahnya manajemen
sehingga belum dapat berfungsi secara baik. Hal ini tentunya akan sangat
menghambat perkembangan pertanian di kawasan agropolitan apabila tidak segera
diupayakan solusinya. Untuk lembaga penyuluhan rata-rata sudah terdapat di
setiap desa, dan fungsinya cukup dapat dirasakan oleh petani, hal ini dapat dilihat
dengan adanya penggunaan tekonolgi dalam proses produksi sehingga terjadi
peningkatan produksi. Namun. Akses terhadap capital market yang sangat terbatas
tentunya akan menghambat transformasi pertanian ke arah agribisnis.

5.4.2. Subsistem Produksi

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, diketahui bahwa


untuk subsistem produksi dan penunjangnya relatif tidak terlalu bermasalah.
Dengan adanya penyuluhan membuat petani mulai beralih pada penggunaan
tekologi dalam proses produksi. Upaya penyuluhan yang dilakukan mulai
direspon oleh petani sehingga terjadi peningkatan hasil produksi. Ketersediaan
saprotan (sarana produksi pertanian) juga cukup baik, mulai dari benih, pupuk,
dan pestisida. Petani bisa dengan mudah membeli saprotan di pasar terdekat,
selain itu juga terdapat banyak toko atau kios yang menjual saprotan.
73

Permasalahan yang dihadapi dalam proses produksi adalah waktu


penanaman yang relatif bersamaan. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan dan
penawaran akan sangat perpengaruh terhadap harga jual komoditas. Disaat panen
raya maka harga akan cenderung untuk turun.
Kelemahan utama dari subsistem produksi yang demikian adalah sulitnya
suatu kawasan untuk melakukan pengaturan penanaman dalam satu kawasan guna
menghindari fluktuasi harga pasar. Selain itu untuk memperoleh volume produksi
yang bisa mencukupi skala ekonomi pertanian yang berorientasi industri juga sulit
untuk dilakukan. Akibatnya subsistem produksi ini sangat dipengaruhi oleh
fluktusi harga pasar dan akibat lainnya adalah industri pengolahan menjadi tidak
berkembang di kawasan tersebut karena volume bahan baku yang tidak stabil dan
tidak mencukupi.

5.4.3. Subsistem Pengolahan


Subsistem pengolahan di kawasan agropolitan sampai sejauh ini ternyata
belum banyak berkembang. Dalam beberapa kesempatan memang sempat
dipamerkan produk olahan beberapa produk olahan seperti keripik singkong,
dodol jagung. Namun hasil pengolahan ini masih dalam tahapan industri kecil
rumah tangga dimana volume produksinya masih kecil, pasarnya masih terbatas
dan belum luas, serta produksinya juga belum kontinyu. Khusus untuk dodol
jagung, karena masih terbatasnya teknologi yang digunakan sehingga belum dapat
dipasarkan secara luas karena masalah daya tahan dan kualitas sehingga hanya
diproduksi jika ada pesanan atau order.
Belum berkembangnya industri pengolahan menyebabkan petani lebih
suka menjual langsung produknya ke pasar. Selain karena didesak kebutuhan,
penjualan hasil panen dalam bentuk biji jagung langsung ke pasar sampai sejauh
ini juga masih besar tingkat permintaannya. Meskipun harga seringkali
mengalami fluktuasi, namun pasar untuk komoditas jagung dalam bentuk biji
jagung sudah relatif lebih jelas dan sudah berlangsung sekian lama.

5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar


Kawasan agropolitan Randangan mempunyai 1 pasar permanen sebagai
tempat penjualan atau outlet penjualan jagung yang terletak di Pusat Desa
74

Pertumbuhan yaitu Desa Motolohu. Tetapi sebagian besar aktivitas pemasaran di


kawasan agropolitan masih dikuasai oleh pedagang perantara/tengkulak. Sistem
pemasaran jagung di kawasan agropolitan masih didominasi oleh tengkulak.
Distribusi pemasaran jagung di kawasan agropolitan meliputi : pedagang
pengumpul tingkat desa selanjutnya pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan
ke eskportir di wilayah tersebut.
Hal ini menyebabkan petani berada dalam posisi yang lemah dalam
menentukan harga dimana petani hanya sebagai pengambil harga saja, atau harga
masih ditentukan oleh pihak pedagang. STA yang ada di kawasan agropolitan
masih belum berfungsi dengan baik. Dimana petani masih enggan menjual hasil
produksi ke STA karena harga jualnya masih berada di bawah harga jual
pedagang pengumpul.

5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan Randangan


Peranan pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan kawasan
agropolitan didasarkan pada UU No 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007
sebagai penyempurnaan dari UU No 22 tahun 1999 dan PP No 25 tahun 2000,
dimana masing-masing mempunyai tugas dan wewenangnya sendiri. Peran
Pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga di tingkat
pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten yang terkait dengan pengembangan
kawasan.
Hasil studi dari SK Sarana dan Prasana Desa Departemen PU (2005),
selama 3 tahun di fasilitasi oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provisi maunpun Pemerintah Kabupaten, berdasarkan hasil survey lapangan
berbagai program yang dilaksanakan baik fisik maupun non-fisik pada berbagai
bidang ekonomi, pertanian, perkebunan, kehutanan, transportasi, koperasi usaha
kecil dan menengah serta bidang-bidang lainnya. Program fisik yang paling
banyak dilaksanakan di berbagai kawasan adalah pembangunan infrastruktur
jalan, sub terminal, pasar desa, pasar kabupaten, pasar agropolitan, dan saluran
irigasi sedangkan program non-fisik antara lain adalah peningkatan wawasan dan
etos kerja serta peningkatan keterampilan masyarakat.
75

5.5.1. Dinas Pertanian


Dalam rangka menunjang program pembangunan pertanian yang menjadi
prioritas di Gorontalo, Dinas Pertanian sebagai pelaksana teknis dari program
agropolitan melaksanakan berbagai program untuk menunjang kelancaran
pengembangan kawasan agropolitan melalui dinas pertanian. Adapun penjabaran
dari berbagai progran tersebut dapat dilihat pada tabel berkut :

Tabel 21 Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi Gorontalo


Tahun 2002-2004
No Bidang / Sektor / Kegiatan Lokasi Dana (xRp.000)
Pengembangan agropolitan
1. Pengembangan ekstensifikasi jagung 4 kab, 1 kota 1.032.527
2. Pengembangan intensifikasi jagung 4 kab, 1 kota 2.527.750
3. Promosi pembangunan pertanian 4 kab, 1 kota 86.916
4. Pengadaan buffer stok pestisida 4 kab, 1 kota 75.000
5. Pengembangan alat dan mesin pertanian 4 kab, 1 kota 825.000
6. Pembinaan kelompok tani penangkar 4 kab, 1 kota 21.400
benih jagung
7. Pembinaan UPJA 4 kab, 1 kota 18.655
8. Posko Agropolitan 4 kab, 1 kota 520.479
9. Show windows 4 kab, 1 kota 250.000
10. Pameran ALSINTAN Provinsi 25.000
11. Pembangunan blending plant pupuk Provinsi 2.000.000
12. Pengembangan peralatan dan lahan pertanian Provinsi 5.000.000
13. Pengadaan mesin dryer jagung Provinsi 1.500.000
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, 2004

Khusus kawasan agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato , berbagai


kegiatan atau program telah dilaksanakan oleh instasi yang terkait dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Dinas Pertanian dan Dinas Permukiman dan
Prasarana Wilayah berkoordinasi dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Karena sifatnya yang lintas sektoral, pengembangan agropolitan menuntut adanya
koordinasi antar departemen yang bisa menjamin alokasi sumberdaya
pembangunan secara efektif efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya
departemen sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti dijalankannya tugas
dan fungsi itu secara hemat. Adapun Program yang dilaksanakan oleh Dinas
Pertanian terkait dengan tugas dan fungsinya yaitu memperkuat atau
76

meningkatkan kegiatan dalam on farm (peningkatan produksi) dan penguatan


kelembagaan petani.

Tabel 22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005
No Kegiatan / Program Dana (000)
Pengembangan agropolitan
1. Bantuan benih jagung hibrida/komposit dan arana lainnya 1.423.279
2. Pelatihan Penangkar benih jagung 5.000
3. Pelatihan sekolah lapang pengendali hama terpadu hama terpadu 10.000
4. Peningkatan mutu intensifikasi padi sawah seluas 100 ha di 3 97.000
kecamatan
5. Pemanfaatan lahan tidur untuk tanaman jagung 200.000
6. Bantuan bibit vanili bagi KK tani prasejahtera 100.000
7. Penunjang kegiatan posko agropolitan jagung 46.000
Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Petani
1. Peningkatan SDM petani Kakao 32.000
2. Penyediaan dana pendamping Dana Pemguatan Modal 262.000
3. (DPM) Lembaga
4. Pemberdayaan penyuluh dan kelembagaan penyuluh 150.000
5. Pengadaan sarana transportasi roda 2 bagi penyuluh 35.000
Sumber : Lakip Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato, 2005

5.5.2. Dinas Kimpraswil


Untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan diperlukan sarana
dan prasarana yang memadai. Untuk menunjang kegiatan disektor pertanian,
penyediaan sarana dan prasarana fisik sangat diperlukan untuk menunjang
aksebilitas masyarakat terhadap sumberdaya dan pasar. Dinas Kimpraswil
melaksanakan beberapa program guna menunjang pelaksanaan pengembangan
agropolitan sesuai dengan fungsinya sebagai penyedia sarana dan prasarana
publik. Adapun beberapa kegiatan dari Dinas Kimpraswil sebagai ujung tombak
pelaksanaan agropolitan adalah sebagai berikut :
77

Tabel 23 Kegiatan Dinas Kimprawil dalam Pengembangan Kawasan


Agropolitan Randangan Tahun 2002 - 2006
No. Tahun Program Volume Biaya
1 2002 Peningkatan Jalan Poros Desa 3.081 m 390.690.000
2 2002 Perbaikan Pasar Desa 3 Unit 299.940.000
3 2003 Peningkatan Jalan Poros Desa 5.081 m 1.616.200.000
4 2003 Pembangunan Kios Pasar 20 Unit
5 2003 Pembangunan Pelataran dan 1 Paket 200.000.000
Prasarana Pasar 170.459.000
6 2004 Pembangunan Terminal 1 Paket
Randangan
Pembangunan Pasar Hewan
7 2006 1 Paket
Pemagaran Keliling
8 2006 1 Paket
Peningkatan jalan usaha tani
9 2006 1.700 m 216.485.000
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2006

5.5.3. Fasilitasi Pemerintah Daerah


Selanjutnya untuk menjaga harga dari permainan tengkulak, pemerintah
daerah dalan hal ini pemerintah provinsi Gorontalo melaksanakan kebijakan
kepastian harga di tingkat petani melalui Limited Government Intervention
Policy. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah menetapkan harga dasar jagung
ditingkat petani sebesar Rp 700,- per kg yang sebelumnya hanya dihargai sebesar
Rp.400,- per kg melalui Surat Keputusan Gubernur No 370 Tahun 2002 tentang
Harga Jual Jagung dalam Wilayah Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2006 SK ini
kemudian di perbaharui melalui SK Gubernur No 119 tahun 2006 tentang Harga
jual jagung dalam wilayah provinsi Gorontalo, dengan penetapan harga Rp 850 di
tingkat petani dan Rp 950 di tingkat pedagang (gudang). Dengan adanya jaminan
harga dari pemerintah membuat petani memperoleh kepastian harga sehingga
meningkatkan keinginan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu secara
perlahan pergerakan harga mulai terlihat dimana sejak tahun 2005 harga jagung
tidak pernah berada di bawah angka Rp.1000,- per kg.
Dengan semakin meningkatnya harga jual jagung semakin mendorong
petani untuk meningkatkan hasil produksi sehingga tujuan pemerintah untuk
meningkatkan perluasan dan produksi jagung menjadi semakin dipermudah.
78

Tabel 24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan


Kawasan
Aspek Agropolitan Non Agropolitan
(Kecamatan (Kecamatan
Randangan Taluditi)
Luas Lahan (Ha) 44.982 Ha 15.997
Jumlah Penduduk (orang) 13.071 6.321
Komoditas Utama
- Tanaman Pangan Jagung Jagung
- Perkebunan Kelapa Kacao
Kelembambagaan Pertanian
- Jumlah kelompok tani (unit) 65 46
- Jumlah Penyuluh Lapangan (orang) 13 9
Infrastruktur
- Jalan desa tersedia tersedia
- Jalan Usaha tani tersedia belum tersedia
- Telekominukasi tersedia belum tersedia
- Ketersediaan Pasar tersedia tersedia
- Listrik tersedia tersedia
Lembaga Keungan
- Bank tersedia belum tersedia
- Koperasi Unit Desa tersedia tersedia
Sumber : - BPS Kabupaten Pohuwato
- Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato

5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi


Kawasan non agropolitan yaitu Kecamatan Taluditi memiliki luas 15.997
ha atau sekitar 3,77 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari luas Kecamatan
Taluditi sekitar 17,41 persen dari luas kawasan ditanamani dengan tanaman
jagung. Jumlah penduduk Kecamatan Taluditi sebagai kawasan non sebanyak
6.321 orang dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan kecamatan
Randangan. Sama halnya dengan kawasan agropolitan Randangan mata
pencaharian penduduk kawasan non agropolitan adalah dominan petani yaitu
mendekati 70 persen dan sisanya adalah sebagai pedagang, tukang, PNS, swasta
dan lain-lain.
Perekonomian penduduk pada umumnya bertumpu pada aktivitas jual beli
produk pertanian yang didominasi oleh pedagang perantara tingkat desa
(tengkulak). Sarana prasarana penunjang pemasaran belum tersedia dengan baik
79

di kawasan non agropolitan. Demikian halnya dengan prasarana kesehatan,


pendidikan dan prasarana sosial lainnya. Sarana prasarana kimpraswil berupa
jalan akses atau jalan usaha tani belum tersedia meskipun jalan-jalan penghubung
antar desa sudah tersedia secara memadai. Adapun penggunaan lahan di kawasan
non agropolitan adalah sebagai berikut :

Tabel 25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi


No Penggunaan Lahan Kawasan
Non Agropolitan
1 Sawah 850
2 Pekarangan 626
3 Tegalan/Kebun 5.150
4 Ladang/Huma 527
5 Perkebunan 2.479
6 Hutan Rakyat 310
7 Hutan Negara 211
8 Lain-lain Penggunaan 5.844
Total Luas Lahan 15.997
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006

Komoditas yang banyak dikembangkan di kawasan ini adalah jagung serta


komoditi perkebunan kakao dan kopi. Pemasaran komoditas jagung dikawasan ini
sama seperti kawasan agropolitan randangan didominasi oleh tengkulak yang
berperan sebagai pengumpul jagung tingkat desa. Karena kekurangan modal
usaha, petani kawasan non agropolitan biasanya meminjam kepada pedagang desa
dengan konsekuensi hasil tani harus dijual kepada pedagang tersebut.
VI. DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN

6.1. Analisis Ekonomi Wilayah


Analisis basis ekonomi atau sering disebut analisis komparatif wilayah
Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato melalui analisis LQ dipandang perlu
untuk mengetahui sektor-sektor unggulan wilayah. Disamping itu juga untuk
mengetahui apakah komoditi unggulan jagung yang dijadikan sebagai entry point
pengembangan agropolitan merupakan sektor basis atau non basis. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya, analisis LQ sering digunakan untuk mengestimasi sektor
yang memiliki karakteristik yang dapat membawa sejumlah unit uang kepada
masyarakat melalui ekspor barang dan jasa. Dari hasil analisis LQ dari setiap
sektor yang ada berdasarkan nilai PDRB Provinsi Gorontalo tahun 2000 sampai
tahun 2006, terlihat bahwa ada 4 sektor yang merupakan sektor basis karena
memiliki nilai LQ lebih dari 1 yaitu sektor pertanian, bangunan, pengangkutan
dan jasa-jasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sub sektor
tanaman bahan makanan merupakan sektor basis sebelum dan sesudah program
agropolitan, dengan nilai LQ yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Tahun 2000 nilai LQ sektor pertanian adalah sebesar 1,99 dan setelah
program agropolitan nilai LQ terus meningkat dimana LQ tertinggi terjadi pada
tahun 2006 mencapai 2,17. Hal ini di mungkinkan karena luas lahan pertanian di
Provinsi Gorontalo masih sangat potensial untuk dikembangkan. Dimana dari
luas wilayah Provinsi Gorontalo 1.221.544 Ha terdapat potensi lahan pertanian
sebesar 443.140,28 Ha yang terdiri dari 383.769 Ha lahan kering dan 28.260 Ha
lahan sawah.

Tabel 26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi Gorontalo


No Kabupaten/Kota Lahan Sawah Lahan Kering Total Lahan
(Ha) (Ha) (Ha)
1 Kab. Gorontalo 3.981 157.113,62 184.667,85
2 Kab. Boalemo 18.458 64.426,38 72.174,38
3 Kab. Pohuwato 3.035 112.159,00 133.819,00
4 Kab. Bone Bolango 1.846 44.496,06 45.951,05
5 Kota Gorontalo 940 5.574,00 6.528,00
Jumlah 28.260 383.769,06 443.140,28
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007
81

Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa komoditi Jagung dan Padi
merupakan komoditi basis di Provinsi Gorontalo. Jagung sebagai komoditi
unggulan daerah merupakan sektor basis dimana nilai LQ jagung sebelum
agropolitan tahun 2000 sampai 2002 nilai LQ jagung mengalami trend yang
cenderung menurun yaitu bernilai 4,62 tahun 2000, dan 3,62 tahun 2002. Namun
setelah program agropolitan bergulir trend LQ komoditi jagung mulai mengalami
peningkatan yaitu bernilai 4,48 tahun 2003 dan 6,34 tahun 2006. Peningkatan nilai
LQ komoditi jagung disebabkan karena terjadinya perluasan lahan jagung dan
peningkatan produksi jagung, dimana dari tahun 2001 produksi jagung adalah
sebesar 81.720 ton meningkat menjadi 416.222 ton pada tahun 2006. Nilai LQ
komoditi jagung sempat mengalami penurunan pada tahun 2004. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena turunnya ekspor komoditi jagung pada tahun
2004 yang hanya mencapai 12.310 ton.

Tabel 27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo 2001 - 2007
No Tahun Eksport (Ton) Antar Pulau (Ton)
1 2001 6.300 -
2 2002 6.700 -
3 2003 18.950 48.754
4 2004 12.310 15.244
5 2005 35.960 91.601
6 2006 21.573 109.606
7 2007* 41.116 49.871
Ket : * Keadaan tanggal 15 Juli 2007

Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007.

Berdasarkan perkembangan diatas mengindikasikan bahwa sejak program


agropolitan bergulir sektor pertanian termasuk sub sektor bahan makanan dan
komoditi jagung mampu memberikan kontribusi yang cukup terhadap
perekonomian wilayah Gorontalo, karena mampu mendatangkan sejumlah
pendapatan dari luar wilayah Gorontalo.
Sektor pertambangan dan sektor listrik dan air bersih bukan merupakan
sektor basis di Provinsi Gorontalo. Hal ini kemungkinan disebabkan karena SDM
Gorontalo masih sangat terbatas, dimana pengelolaan sektor ini masih
82

menggunakan teknologi sederhana sehingga hasilnya belum mampu mencapai


produktivitas yang maksimal.
Selanjutnya sektor industri pengolahan, perdagangan dan keuangan yang
terkait erat dengan program agropolitan basis jagung merupakan sektor non basis
di Provinsi Gorontalo. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena belum
berkembangnya industri yang terintegrasi di provinsi Gorontalo yang terkait dari
sektor hulu sampai ke hilir. Kebanyakan produk pertanian yang merupakan input
bagi sektor industri merupakan komoditi ekspor yang dikirim sebagai bahan
mentah. Demikian halnya dengan komoditas jagung yang merupakan entry point
dari program agropolitan masih diekspor sebagai produk bahan mentah sehingga
belum ada keterkaitan ke depan yang dapat menarik sektor-sektor ekonomi yang
lain. Kedepannya harus dikembangkan industri pengolahan yang berbasis pada
potensi daerah seperti pengolahan industri tepung jagung atau pakan ternak
sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi perekonomian
wilayah.
Untuk sektor bangunan dan pengangkutan juga merupakan sektor basis di
Gorontalo meskipun dari tahun ke tahun mengalami trend yang menurun. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena Provinsi Gorontalo masih didominasi oleh
daerah pertanian yang identik dengan perdesaan sehingga jika di bandingkan
dengan daerah industri atau perkotaan perkembangan sektor bangunan dan
pengangkutan lebih besar di perkotaan dibanding perdesaan. Setelah
pengembangan agropolitanpun terlihat kecenderungan penurunan nilai LQ kedua
sektor ini, hal ini mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan kedua sektor ini di
daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan.
Sektor jasa-jasa merupakan sektor basis di Provinsi Gorontalo, nilai LQ
sektor ini sedikit mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini mengindikasikan bahwa perkembangan sektor jasa-jasa cukup baik di Provinsi
Gorontalo dan sejak pengembangan agropolitan terlihat bahwa sektor jasa mulai
berkembang. Lebih lanjut mengenai perkembangan nilai LQ Provinsi Gorontalo
dapat dilihat pada Tabel 28.
83

Tabel 28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006


Lapangan Usaha Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian 1,99 2,02 2,08 2,07 1,95 2,10 2,17
Tan.Bahan Makanan 1,61 1,63 1,72 1,79 1,77 1,95 2,04
- Jagung 4.62 4,11 3,62 4,48 4,29 5.75 6,34
- Padi 1,91 1,42 1,03 1,03 0,96 1,29 0,93
Pertambangan 0,06 0,07 0,08 0,09 0,09 0,10 0,11
Industri Pengolahan 0,45 0,37 0,36 0,35 0,33 0,34 0,30
Listrik dan Air Bersih 0,94 0,97 0,94 0,91 0,91 0,93 0,87
Bangunan 1,47 1,42 1,36 1,35 1,23 1,24 1,26
Perdagangan 0,99 0,98 0,96 0,91 0,83 0,83 0,82
Pengangkutan 2,03 2,09 1,73 1,60 1,62 1,62 1,53
Keuangan 0,79 0,77 0,81 0,94 0,99 0,92 0,92
Jasa-jasa 1,58 1,75 1,86 1,90 1,78 2,03 2,06
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Pengembangan agropolitan berbasis jagung juga memberikan pengaruh


yang cukup signifikan terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Pohuwato
sebagai kawasan Agropolitan, dimana sejak memisahkan diri dari kabupaten
Boalemo sebagai kabupaten induk sejak tahun 2003 mulai terlihat gejala
pergeseran basis ekonomi. Sebelum agropolitan tahun 2000 sampai tahun 2002
Pohuwato masih merupakan bagian dari Kabupaten Boalemo, berdasarkan
analisis LQ ternyata terdapat 3 sektor yang merupakan basis perekonomian
wilayah Kabupaten Boalemo yaitu sektor pertanian, bangunan dan jasa-jasa. Dan
sejak tahun 2004 setelah program agropolitan, disaat Pohuwato sudah merupakan
daerah otonom yang berdiri sendiri sebagai suatu kabupaten, terlihat bahwa
terdapat 5 sektor yang menjadi basis perekonomian wilayah yaitu sektor
pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, dan perdagangan.
Sektor jasa yang sebelumnya menjadi sektor basis di kabupaten Boalemo menjadi
sektor non basis di Kabaputen Pohuwato. Hal ini dimungkinkan karena sebagai
kabupaten yang baru dimekarkan sektor jasa belum berkembang dengan baik di
84

Kabupaten Pohuwato. Hasil analisis LQ Kabupaten Boalemo dan Pohuwato di


sajikan dalam Tabel 29.

Tabel 29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003 dan


Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 - 2006
Kabupaten Boalemo Kabupaten Pohuwato

Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006


Pertanian 1,24 1,24 1,24 1,30 1,71 1,55 1,50
Tan.Bahan Makanan 1,11 1,28 1,35 1,56 1,64 1,59 1,55
- Jagung 3,05 3,86 3,98 4,11 5,41 2,83 3,08
- Padi 0,48 0,60 0,85 1,15 0,65 0,81 0,42
Pertambangan 0,80 0,76 0,69 0,61 0,84 0,76 0,70
Industri Pengolahan 0,50 0,59 0,60 0,59 7,53 6,95 6,36
Listrik dan Air Bersih 0,45 0,58 0,64 0,95 1,31 1,32 1,50
Bangunan 1,33 1,34 1,33 1,29 1,12 1,07 1,06
Perdagangan 0,68 0,77 0,76 0,76 1,11 1,32 1,24
Pengangkutan 0,60 0,53 0,60 0,59 0,37 0,33 0,33
Keuangan 0,87 0,90 0,89 0,82 0,85 0,74 0,94
Jasa-jasa 1,42 1,22 1,14 1,07 0,48 0,45 0,50
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Sektor pertanian dari tabel diatas sejak tahun 2000 memiliki nilai LQ lebih
besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor
andalan memang sudah menjadi sektor basis sejak belum adanya program
agropolitan. Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung juga
berkontribusi terhadap ekonomi Kabupaten Pohuwato karena nilai LQ berada
diatas 1 sehingga dikategorikan sebagai sektor basis meskipun dua tahun terakhir
terlihat mengalami trend yang menurun. Menurunnya nilai LQ komoditi jagung di
kabupaten Pohuwato kemungkinan disebabkan oleh tingginya produksi yang
berpengaruh pada harga produk, dimana pada akhir tahun 2004 harga jagung
sempat mengalami fluktuasi yang tajam dan sempat hanya dinilai seharga Rp. 675
atau berada dibawah harga dasar pembelian pemerintah yaitu sebesar Rp. 700,-.
Hal ini disebabkan karena kurangnya kontrol pemerintah terhadap harga
pembelian dari para pedagang pengumpul atau tengkulak.
85

Pergeseran basis ekonomi wilayah setelah pengembangan agropolitan


terjadi pada sektor Industri pengolahan, listrik dan air bersih serta sektor
perdagangan. Munculnya basis ekonomi baru ini erat kaitannya dengan
pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato. Hal ini disebabkan karena
program agropolitan memiliki keterkaitan dengan ke 3 sektor ini sebagai
penunjang keberhasilan program agropolitan itu sendiri. Dimana sektor industri
pengolahan dan perdagangan merupakan sektor yang memiliki keterkaitan
kedepan sedangkan listrik dan air bersih merupakan input untuk sektor industri
pengolahan.
Sejak pengembangan agropolitan sektor industri pengolahan menjadi basis
ekonomi daerah Kabupaten Pohuwato. Ini dimungkinkan karena keberhasilan
kegiatan pertanian di kabupaten Pohuwato menyebabkan terjadinya kenaikan
pendapatan masyarakat petani sehingga daya beli masyarakat meningkat. Hal ini
mendorong berkembangnya industri makanan dan minuman skala rumah tangga
di Kabupaten Pohuwato. Bergesernya sektor perdagangan menjadi basis ekonomi
di Kabupaten Pohuwato dimungkinkan karena dengan semakin meningkatnya
produksi pertanian menyebabkan meningkatnya kegiatan perdagangan produk
pertanian terlebih komoditi jagung sebagai produk unggulan daerah.
Sektor listrik dan air bersih juga menjadi sektor basis setelah
pengembangan agropolitan, hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya
tingkat kehidupan masyarakat sejak pengembangan agropolitan sehingga
meningkatkan konsumsi terhadap listrik dan air bersih.
Hasil analisis LQ diatas, memperlihatkan bahwa masing-masing sektor di
Provinsi Gorontalo maupun di Kabupaten Boalemo dan Pohuwato penyebarannya
tidak seragam. Hal ini dimungkinkan karena masing-masing wilayah memiliki
karakteristik dan sumber daya yang berbeda, sehingga kontribusi dari masing-
masing sektor juga berbeda antar wilayah. Dengan adanya perbedaan karakteristik
yang dimiliki, maka upaya pengembangan wilayah haruslah berdasarkan pada
sektor basis yang mempunyai kemampuan memberikan peningkatan pada
perputaran konsumsi yang ada di wilayah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato yang pada akhirnya akan meningkatkan multiplier effect bagi
perekonomian daerah.
86

Karena besarnya peran sektor basis terhadap proses peningkatan output


suatu wilayah melalui proses multiplier, maka sektor basis sering disebut sebagai
leading sector bagi perekonomian daerah. Berdasarkan pemahaman tersebut maka
sektor yang merupakan basis diidentikkan dengan sektor-sektor yang mampu
dikirim ke luar daerah dan dapat menciptakan aliran pendapatan yang berasal dari
luar daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai siklus konsumsi di
wilayah tersebut.
Dari hasil analisis LQ terlihat bahwa perekonomian Gorontalo tidak
mengalami pergeseran basis ekonomi karena tidak terjadi perubahan atau
penambahan sektor basis. Dimana sejak tahun 2000 sampai 2006 hanya terdapat 4
sektor yang menjadi basis ekonomi wilayah yaitu sektor pertanian, bangunan,
pengangkutan dan jasa-jasa. Berbeda halnya dengan Provinsi Gorontalo, di
Kabupaten Pohuwato sejak program agropolitan dicanangkan mulai terjadi
perubahan atau pergeseran basis ekonomi dimana sektor yang menjadi basis
bukan saja berasal dari sektor primer yang mengandalkan sumber daya alam saja
tetapi juga berasal dari sektor sekunder (industri pengolahan, listrik dan
bangunan) dan sektor tersier (perdagangan) yang mengandalkan aktivitas
ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat sudah mulai
berkembang tidak hanya dalam kelompok sektor primer saja tapi sudah merambah
sampai ke kelompok tersier.
Perubahan atau pergeseran basis ekonomi di Kabupaten Pohuwato setelah
pengembangan agropolitan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain
karena sejak pengembangan agropolitan proses on farm dalam masyarakat cukup
berhasil sehingga terjadi peningkatan produksi dan produktivitas lahan pertanian
yang mengakibatkan peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan daya beli masyarakat sehingga aktivitas ekonomi dalam
hal ini perdagangan dapat bergerak. Peningkatan pendapatan masyarakat juga
berpengaruh terhadap industri pengolahan makanan di kabupaten Pohuwato.
Dimana peningkatan pendapatan masyarakat mendorong berkembangnya industri
pengolahan makanan di wilayah ini. Program agropolitan yang mengadakan
penyuluhan dan pelatihan petani penangkar benih juga mendorong bertumbuhnya
industri skala RT dalam penyediaan benih jagung. Selanjutnya peningkatan
87

pendapatan dapat menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan


listrik dan air bersih sehingga terjadi peningkatan konsumsi listrik dan air bersih.
Kendala yang dihadapi oleh Provinsi Gorontalo secara keseluruhan dan
Kabupaten Pohuwato adalah belum berkembangnya industri pengolahan yang
berbasis pada pertanian dalam hal ini komoditi unggulan jagung, dimana hasil
pertanian terlebih khusus komoditi jagung masih diekspor dalam bentuk biji
jagung sebagai bahan baku industri. Permintaan terhadap jagung yang sangat
besar dari daerah lain maupun luar negeri membuka peluang pasar yang bagus
buat komoditi jagung. Dalam jangka pendek, hal ini sangat menguntungkan bagi
Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato karena kelebihan produksi dapat
diekspor sehingga menghasilkan devisa bagi penerimaan daerah yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah tumbuh cepat. Namun dalam jangka
panjang, perlu dirangsang investasi untuk pengembang industri pengolahan
berbasis komoditi unggulan, karena selain dapat menambah nilai tambah juga
dapat mengatasi masalah tenaga kerja diluar sektor pertanian. Pada dasarnya
pembangunan perdesaan tidak akan berhasil sebelum sektor non pertaniannya
berkembang. Hal ini disebabkan karena produktifitas dari sektor primer pertanian
secara relatif cenderung lemah (Rustiadi , 2006).
Selanjutnya melengkapi analisis LQ, untuk melihat pengaruh dari masing-
masing sektor ekonomi terhadap perekonomian Gorontalo dan Kabupaten
Pohuwato dapat dijelaskan dengan analisis shift-share (SSA). Hasil perhitungan
dengan menggunakan SSA untuk tahun 2001 dan 2003 menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo sebelum
pengembangan agropolitan adalah sebesar 0,1378. Jika diamati lebih lanjut lajut,
Sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan,
perdagangan dan sektor pengangkutan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah dari dibandingkan laju pertumbuhan total di Provinsi
Gorontalo. Laju pertumbuhan sektor pertanian 0,0016 lebih rendah dibandingkan
dengan laju pertumbuhan di Provinsi Gorontalo. Sedangkan sektor-sektor seperti
sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, pertambangan, keuangan
dan jasa-jaas memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibandingkan
dengan laju laju pertumbuhan total di Provinsi Gorontalo. Dalam hal ini laju
88

pertumbuhan komoditi jagung 0,2472 lebih besar dibandingkan dengan laju


pertumbuhan di provinsi Gorontalo.
Nilai pergeseran differensial menunjukkan tingkat kompetisi berbagai
sektor perekonomian sebelum pengembangan agropolitan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertambangan, bangunan,
perdagangan, keuangan dan jasa-jasa sebelum agropolitan mempunyai tingkat
competitiveness lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lain. Sehingga untuk
mengembangkan sektor tersebut tidak akan memberikan nilai tambah yang
optimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan sektor sektor
jasa-jasa 0,1527 lebih kecil dibandingkan tingkat tingkat pertumbuhan sektor
tersebut secara umum di Provinsi Gorontalo. Sebaliknya sektor-sektor seperti
pertanian dan turunannya, industri pengolahan, listrik dan air bersih serta
pengangkutan mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar, dalam
arti akan lebih meningkatkan nilai tambah jika di kembangkan.

Tabel 30 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum Agropolitan


Tahun 2001 dan 2003

Pertumbuhan ekonomi 0,1378


Lapangan Usaha Pergeseran Pergeseran
proporsional Differensial

Pertanian -0,0016 0,0568


Tanaman Bahan Makanan 0,0677 0,2627
- Jagung 0,2472 0,0875
Pertambangan 0,1678 -0,2626
Industri Pengolahan -0.0302 0,0074
Listrik dan Air Bersih -0,0233 0,7195
Bangunan -0,0238 -0,0439
Perdagangan -0,0834 -0,0062
Pengangkutan -0,1715 0,1061
Keuangan 0,3255 -0,1260
Jasa-jasa 0,0842 -0,1527
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2001 dan 2003, diolah.
89

Hasil analisis pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo dengan analisis


shift-share pada tahun 2004 dan 2006 (setelah agropolitan) menunjukkan bahwa
laju pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo adalah sebesar
0,1502 yang berarti terjadi peningkatan dibanding periode sebelumnya (sebelum
agropolitan. Setelah program agropolitan ada 7 sektor yang memiliki laju
pertumbuhan yang lebih besar dari laju pertumbuhan total Provinsi yaitu sektor
pertanian, sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor
pertambangan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan sektor jasa-jasa. Hal
ini mengindikasikan bahwa setelah pengembangan agropolitan terjadi perbaikan
kinerja dari sektor-sektor ekonomi di provinsi Gorontalo. Sektor yang mengalami
perubahan atau perbaikan kinerja yaitu sektor pertanian, sektor bangunan, sektor
perdagangan dan sektor pengangkutan.

Tabel 31 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sesudah Agropolitan


Tahun 2004 dan 2006

Pertumbuhan ekonomi 0,1502


Lapangan Usaha Pergeseran Pergeseran
proporsional Differensial
Pertanian 0,0097 -0,0952
Tanaman Bahan Makanan 0,0408 -0,0166
- Jagung 0,9082 -0,8323
Pertambangan 0,0698 -0,1523
Industri Pengolahan -0,1649 0,0951
Listrik dan Air Bersih -0,0793 0,2099
Bangunan 0,0285 -0,0116
Perdagangan -0,0292 0,1988
Pengangkutan 0,0500 -0,0984
Keuangan -0,1142 0,1574
Jasa-jasa 0,1208 0,1111
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2004 dan 2006, diolah.

Selanjutnya setelah pengembangan agropolitan yaitu periode tahun 2004


dan 2006, terjadi perubahan tingkat kompetisi (competitiveness) di Kabupaten
Pohuwato, dimana sektor pertanian dan turunannya (Sub sektor tanaman bahan
makanan dan komoditi jagung) mengalami kinerja yang menurun. sedangkan
90

sektor-sektor tersier yaitu perdagangan, keuangan dan jasa-jasa terjadi


peningkatan kinerja. Hal ini mengindikasikan terjadi setelah agropolitan terjadi
pergeseran keunggulan kompetitif dari sektor primer yang mengandalkan Sumber
daya alam ke sektor sekunder dan tersier yang mengandalkan aktifitas ekonomi.
Namun demikian terlihat juga bahwa sektor pertanian yang menjadi sektor
unggulan masih setelah agropolitan justru mengalami penurunan kinerja yang
menggambarkan daya saing sektor tersebut masih rendah dan perlu mendapat
perhatian serius, karena dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap
perekonomian wilayah.

6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah


Menurut konsep basis ekonomi wilayah, bahwa pertumbuhan ekonomi
pada suatu wilayah terjadi karena adanya efek pengganda (multiplier effect) dari
pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh melalui penjualan barang dan
jasa yang dihasilkan wilayah itu atas penjualan keluar wilayah. Besarnya effek
pengganda pendapatan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam wilayah
tersebut yang ditunjukkan oleh koefisien pengganda pendapatan yang
dihasilkannya. Untuk itu besarnya koefisien pengganda dapat diukur dengan
menggunakan model analisis sebagai berikut :

6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek


Dalam model basis ekonomi, multiplier adalah perbandingan antara
pendapatan non basis dengan total pendapatan daerah sehingga nilai ini
menggambarkan mengenai aktivitas yang dilakukan penduduk pada suatu daerah
dalam perekonomian terhadap total pendapatan. Hasil perhitungan koefisien
pengganda jangka pendek dengan menggunakan model yang telah dikemukakan
sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel memperlihatkan fluktuasi
koefisien pengganda jangka pendek dari tahun 2003 sampai 2006 Provinsi
Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Namun besar kecilnya koefisien pengganda
jangka pendek tidak hanya tergantung pada sektor basis, tetapi juga tergantung
pada sektor non basis. Sehingga fluktuasi nilai pengganda jangka pendek akan
dipengaruhi oleh keseimbangan pertumbuhan antara sektor non basis dan sektor
basis.
91

Nilai koefisien pengganda jangka pendek sektor pertanian dan sub


sektor tanaman bahan makanan serta komoditi jagung Kabupaten Pohuwato lebih
rendah dibandingan dari Provinsi Gorontalo. Nilai pengganda jangka pendek
sektor pertanian Provinsi Gorontalo mencapai nilai tertinggi pada tahun 2005
yaitu sebesar 3,28. Yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor
pertanian sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah
sebesar Rp.328,-. Dan mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,10
yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp.
100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp.310,-.
Sedangkan nilai pengganda jangka pendek sektor pertanian Kabupaten Pohuwato
mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 2,17. Ini berarti bahwa
setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar Rp.100,- akan
menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp. 217,-. Selanjutnya nilai
koefisien pengganda jangka pendek komoditi jagung Provinsi Gorontalo
mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 yaitu sebesar 30,22 dan mencapai nilai
terandah tahun 2005 yaitu sebesar 15,63. Hal ini berarti bahwa pada setiap
perubahan pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp. 3.022,- pada tahun 2004 dan
Rp.1.563.- tahun 2005. Sedangkan untuk Kabupaten Pohuwato, nilai pengganda
pendapatan jangka pendek mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 sebesar 5,59
dan nilai terendah tahun 2006 yaitu sebesar 5,24. Hal ini berarti setiap perubahan
pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan
pada pendapatan daerah sebesar Rp. 559,- pada tahun 2004 dan Rp. 524,- pada
tahun 2006.
Sektor industri pengolahan di Provinsi Gorontalo memiliki nilai LQ < 1
sehingga tidak dapat dilakukan pergitungan koefisien pengganda jangka pendek.
Keadaan ini berarti bahwa sektor ini dalam perekonomian Gorontalo hanya
mampu mensuplai hasilnya untuk kebutuhan dalam perekonomian sendiri atau
bahkan kurang dari yang dibutuhkan oleh perekonomian Provinsi Gorontalo.
Sedangkan nilai koefisien pengganda pendapatan jangka pendek sektor industri
pengolahan di Kabupaten Pohuwato mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006
yaitu sebesar 16,07 dan terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 15,10. Hal ini
92

berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor industri pengolahan


sebesar Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Kabupaten Pohuwato sebesar Rp. 1.607,- pada tahun 2006 dan Rp. 1.510,- pada
tahun 2004. Selanjutnya sektor listrik dan air bersih memberikan dampak
pengganda jangka pendek yang paling tinggi di Kabupaten Pohuwato yaitu pada
sebesar 128,00 pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan
pendapatan pada sektor listrik dan air bersih sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp.12.800,-

Tabel 32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di Provinsi


Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006
Provinsi Gorontalo Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2004 2005 2006
Pertanian 3,17 3,10 3,28 3,26 2,01 2,12 2,17
Tan.Bahan
Makanan 7,39 7,62 7,14 7,02 4,64 4,47 4,54
- Jagung 29,65 30,22 15,63 16,12 5,59 5,51 5,24
- Padi 20,32 - 21,88 - - - -
Pertambangan - - - - - - -
Industri Pengolahan - - - - 15,10 15,25 16,07
Listrik dan Air Bersih - - - - 128,00 123,23 114,94
Bangunan 13,00 13,94 13,61 12,99 12,42 12,69 12,24
Perdagangan - - - - 6,67 5,49 5,81
Pengangkutan 11,57 10,58 9,90 9,68 - - -
Keuangan - - - - - - -
Jasa-jasa 5,73 6,08 5,38 5,25 - - -
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007

Dari nilai pengganda pendapatan jangka pendek terlihat bahwa sektor


pertanian dan terlebih khusus komoditi unggulan jagung memiliki kontribusi yang
cukup besar terhadap perekonomian Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
meskipun dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan menurun. Berdasarkan
hasil analisis (Tabel 32), terlihat bahwa sektor-sektor primer di Kabupaten
Pohuwato memiliki koefisien pengganda jangka pendek yang lebih kecil
dibandingkan dengan sektor-sektor sekunder dan tersier. Hal ini mengindikasikan
93

bahwa di samping sektor primer sektor-sektor sekunder dan tersier juga memiliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Kabupaten Pohuwato.

6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang


Berdasarkan model pada metodologi maka perhitungan analisis jangka
panjang dapat dilihat pada Tabel 33. Dari tabel terlihat bahwa nilai koefisien
pengganda jangka panjang masing-masing sektor sangat fluktuatif. Sektor
pertanian memiliki nilai koefisien pengganda yang cenderung stabil sepanjang
tahun. Namun sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan,
pengangkutan dan jasa cenderung fluktuatif.

Tabel 33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di Provinsi


Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006
Provinsi Gorontalo Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2004 2005 2006
Pertanian 3,63 3,44 3,65 3,89 2,77 2,83 2,34
Tan.Bahan
Makanan 10,50 9,55 9,17 10,82 12,54 9,58 5,31
- Jagung 160,02 153,42 30.30 83,69 23,21 16,05 6,30
- Padi 108,21 67,89 - - - -
Pertambangan - - - - - - -
Industri Pengolahan - - - - 14,35 18,66 33,10
Listrik dan Air Bersih - - - - 7,80 9,00 42,91
Bangunan 27,08 22,15 23,52 37,17 18,04 24,78 20,12
Perdagangan - - - - 71,53 15,91 7,14
Pengangkutan 21,52 14,72 14,28 18,80 - - -
Keuangan - - - - - - -
Jasa-jasa 7,43 7,25 6,45 7,12 - - -
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007.

Nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian Provinsi


Gorontalo mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,44 dan
tertinggi pada tahun 2006 sebesar 3,89. Angka ini berarti bahwa untuk setiap
perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp.100 akan menyebabkan
perubahan pada pendapatan daerah Gorontalo sebesar Rp.344,- pada tahun 2004
dan sebesar Rp. 389,- pada tahun 2006. Sedangkan Kabupaten Pohuwato
94

memiliki nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian terendah pada
tahun 2006 yaitu sebesar 2,34 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 2,83.
Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar
Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten
Pohuwato sebesar Rp. 234 pada tahun 2006 dan Rp. 283 pada tahun 2005.
Komoditi Jagung sebagai komiditi unggulan daerah juga memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah meskipun mengalami
kecenderungan yang menurun dimana nilai koefisien jangka panjang komoditi
jagung mencapai nilai tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 160,02 untuk
Provinsi Gorontalo dan tahun 2004 yaitu sebesar 23,21 untuk Kabupaten
Pohuwato. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada komoditi
jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 16.002,- dan Rp.2.321,- untuk Kabupaten
Pohuwato.
Kecenderungan penurunan koefisien pengganda pendapatan ini dapat
dipahami karena belum maksimalnya kinerja dari aspek-aspek yang dapat
menunjang terkait dari sektor hulu sampai sektor hilir. Misalnya, Masih terbatas
pengetahuan petani dan keterbatasan modal menyebabkan pemupukan belum
dilakukan sesuai dengan komposisi yang seharusnya. Hal ini akan berdampak
pada belum maksimalnya produktivitas dari kemampuan optimum benih yang
seharusnya, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tambah petani.
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT

7.1. Karakteristik Masyarakat


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring serta manfaat yang dapat
dirasakan masyarakat dalam setiap program atau kegiatan pembangunan.
Berdasarkan hasil penelitian dari Rompon (2006), ada berbagai penyebab
sehingga kurangnya partisipasi dalam kegiatan pembangunan yaitu faktor internal
yang berkaitan dengan terbatasnya waktu dan faktor eksternal yang berkaitan
dengan kurangnya transparansi penyampaian informasi dalam kegiatan
pembangunan. Disamping itu faktor lain yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat terkait dengan keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

7.1.1. Aspek Ekonomi


Sebagai kawasan pertanian sebagaian besar masyarakat dikawasan
agropolitan memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil sebagai
PNS, pedagang, tukang, nelayan dan lain-lain. Seluruh responden yang terdata
dalam penelitian ini 100% memiliki mata pencaharian utama sebagai petani
pemilik. Dimana 33,33% petani memiliki luas lahan kurang dari 2 Ha, 55,33%
memiliki luas lahan 2 Ha dan 13,33% memiliki lahan lebih dari 2 Ha. Tingkat
pendapatan petani bervariasi antara Rp.7.000.000 per ha per tahun sampai
Rp.12.000.000,- per ha per tahun, dimana sebanyak 43,33% petani memiliki
pendapatan kurang dari Rp.10.000.000,- per ha per tahun dan 56,66% petani
memiliki pendapatan diatas Rp.10.000.000,- per ha per tahun. Karena program
agropolitan sangat terkait dengan petani sebagai pelaku utama maka keterlibatan
petani baik sebagai individu maupun dalam kelompok tani terlihat jelas, misalnya
dengan bergabungnya petani dalam kelompok tani dan aktif menghadiri kegiatan
penyuluhan. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini petani berkaitan dengan
manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini, dimana petani mendapat banyak
informasi tentang usaha tani, teknologi tepat guna dan informasi tentang bantuan
yang diberikan oleh pemerintah sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
96

7.1.2. Aspek Sosial


Dari aspek sosial yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan
dan ketrampilan masyarakat petani, terlihat bahwa sebagian besar petani
dikawasan agropolitan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Responden
petani dalam penelitian memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi yaitu 23,33%
petani memiliki tingkat pendidikan setara SMA sedangkan sisanya 43,33% setara
SMP dan 33,33% SD. Disamping itu, SDM dibidang pertanian yang ada selama
ini bekerja belum berdasarkan pengetahuan dan kemampuan teknis yang
memadai, tetapi hanya berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara
inkremental. Keadaan in sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat
dalam setiap kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan agropolitan.

7.1.3. Aspek Budaya


Budaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat. Dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat. Nilai solidaritas sosial, kekeluargaan,
kebersamaan dan kegotong royongan diantara warga masih melekat dalam
masyarakat tani kawasan agropolitan. Budaya gotong-royong dalam masyarakat
Gorontalo dikenal dengan sebutan huyula . Di bidang pertanian budaya ini terlihat
dari penyiapan lahan hingga panen yang dilakukan secara gotong-royong. Begitu
pula untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, hajatan maupun tertimpa
musibah, masyarakat secara bersama-sama membantu mereka yang mempunyai
hajatan atau tertimpa musibah.

7.2. Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani

Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan


pendapatan masyarakat petani. Untuk mengetahui dampak pengembangan
agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan
pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dan non agropolitan. Kawasan non-
agropolitan yang diambil yaitu di Kecamatan Taluditi yang merupakan daerah
hinterland-nya yang berada dalam satu kabupaten yang sama yaitu kabupaten
Pohuwato. Dalam analisis ini akan dilihat apakah pembangunan infrastruktur yang
97

dilakukan dikawasan agropolitan berdampak terhadap peningkatan pendapatan


petani. Hasil analisis usahatani pada wilayah sampel menunjukkan terdapat
kecenderungan rata-rata tingkat pendapatan petani per hektar per tahun di
kawasan agropolitan lebih tinggi di bandingkan dengan kawasan non agropolitan.
Rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan agropolitan sebesar
Rp.10.080.016,-/ ha per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di
kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- / ha per tahun. Hal ini berarti
bahwa pembangunan infrastruktur agropolitan antara lain dengan pembangunan
jalan dan pasar di kawasan agropolitan mempunyai efek yang berarti terhadap
rata-rata peningkatan pendapatan petani. Lebih jauh hasil uji beda rata-rata dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 34 Hasil Analisis Uji t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan


dan Non Agropolitan
Uraian N Mean Standar Standar
Deviasi Error
Agropolitan 30 10080017 1727609 315417
Non agropolitan 30 5506967 1000130 182598
T –value 12,55
T – tabel 2,045
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007

Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata
95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di
kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan.
Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai
statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan
Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di
Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang.
Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui
pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani
dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida.
Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat
98

memasarkan produksi pertanian langsung di lahan pertanian (dikebun) sehingga


mengurangi atau meminimalisasi ongkos produksi petani. Dalam hal ini biaya
transportasi menjadi tanggungan dari pedagang. Hal ini tidak terjadi di desa non
agropolitan, tidak tersedianya fasilitas jalan usaha tani di Kecamatan Taluditi
menyebabkan tingginya biaya produksi di tingkat petani karena biaya transportasi
dibebankan kepada petani. Hal ini menyebabkan share dari petani / keuntungan
petani yang menjadi pendapatan petani menjadi kecil. Di desa non agropolitan
transaksi atau penjualan hasil panen tidak dilakukan di lahan/lapang tetapi harus
dilakukan digudang, di rumah pedagang perantara atau di jalan desa yang dapat
dijangkau oleh transportasi. Biaya pengangkutan dari kebun ke tempat transaksi
menjadi beban petani. Petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang tinggi
karena tidak tersedianya jalan akses ke pasar dari lokasi produksi. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa petani di desa non agropolitan harus
mengeluarkan biaya pengangkutan rata-rata Rp.1.728.667,- per hektar per tahun
untuk mengangkut hasil panen.

Tabel 35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan

Tahun Luas Lahan Produksi Produktivitas


(Ha) (Ton) (Ton/Ha)
2002 3.717 8.803 2,37
2003 6.517 29.326 4,50
2004 8.418 37.881 4,50
2005 10.263 51.109 5,00
Sumber : - Kecamatan Randangan dalam Angka
- Dinas Pertanian

Pelaksanaan penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pemasaran


dan transportasi signifikan meningkatkan pendapatan petani. Secara hipotetik
faktor yang mempengaruhi pendapatan petani diantaranya adalah meningkatnya
produktivitas, menurunnya biaya usaha tani diantaranya biaya transportasi dan
meningkatnya harga jual komoditi pertanian. Penyuluhan pertanian yang
dilaksanakan sangat membantu petani dalam transfer teknologi sehingga terjadi
peningkatan produktivitas dan hasil produksi. Ini sangat berpengaruh terhadap
peningkatan pendapatan petani karena sebelum agropolitan produksi jagung hanya
99

mencapai 1 - 2 ton per hektar namun setelah program agropolitan terjadi


peningkatan produksi sebesar 5-6 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena petani
mulai menerapkan teknologi dengan menggunakan bibit unggul dan pemupukan
dalam produksi.
Tersedianya infrastruktur transportasi dan pemasaran yang memadai
menyebabkan petani dapat menekan biaya produksi. Di kawasan agropolitan
dengan dibangunnya jalan usaha tani sampai ke sentra-sentra produksi
(hamparan/kebun), memudahkan pengangkutan hasil panen petani dan menekan
biaya transportasi. Fakta dilapangan juga terlihat bahwa rata-rata harga komoditi
jagung di kawasan agropolitan relatif lebih tinggi dari rata-rata harga komoditi
jagung di kawasan non agropolitan.
Jika dilihat dari sumber pendapatan petani responden kawasan agropolitan
dan non agropolitan terlihat bahwa pendapatan dari pertanian merupakan sumber
pendapatan terbesar dan 50 persen lebih sumber pendapatan petani responden
berasal dari usahatani jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan
infrastruktur agropolitan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
masyarakat petani di kawasan agropolitan.

Tabel 36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan


Agropolitan dan Non Agropolitan
Sumber Pendapatan Randangan % Taluditi %
(Rp/Tahun) (Rp/Tahun)
A. On Farm
• Jagung 151.200.250 63,04 82.604.500 53,22
• Kelapa 22.537.500 9,40
• Kakao 42.000.000 26,67
B. Off Farm
• Upah pertanian dan non 30.600.000 12,76 25.200.000 16,24
pertanian
C. Non Farm
• Warung 35.500.000 14,80
• Transportasi (musiman) 6.000.000 3,87
Jumlah 239.837.750 100 155.204.500 100

Sumber : Hasil olahan data primer, 2007


100

Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu tentang evaluasi


agropolitan terlihat bahwa pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato
relatif lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari
Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya melalui program
agropolitan dengan menerapkan berbagai instrumen misalnya dengan aa kebijakan
intervensi harga dari pemerintah.
Namun demikian meskipun terjadi peningkatan pendapatan petani, namun
terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan agropolitan di Kecamatan
Randangan. Pertama, kemampuan permodalan petani yang masih terbatas
sehingga penggunaan pupuk masih belum sesuai dengan dosis. Petani masih
melaksanakan budidaya sesuai dengan kemampuan modal yang ada. Program
agropolitan belum dapat meningkatkan akses petani terhadap permodalan. Petani
masih menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pedagang
pengumpul/tengkulak. Peran perbankan sebagai sarana penunjang pengembangan
agribisnis belum terlihat, karena belum tersedianya skim kredit untuk pertanian
dan petani masih enggan untuk meminjam di bank karena prosedur yang berbelit
dan memerlukan agunan.
Permasalahan kedua adalah sistem pemasaran yang masih dikuasai oleh
tengkulak atau pedagang pengumpul. Petani di kawasan agropolitan cenderung
lebih memilih pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya karena
untuk menekan biaya transportasi. Dengan terbukanya jalan usaha tani, pedagang
dapat mengambil hasil produksi langsung di hamparan petani/kebun sehingga
ongkos transportasi menjadi beban dari pedagang. Disatu sisi keberadaan
pedagang pengumpul membantu petani dalam aspek penyediaan modal namun di
sisi yang lain keberadaan pedagang pengumpul/tengkulak menyebabkan petani
hanya sebagai penerima harga (price taker) karena harga komoditi ditentukan oleh
pedagang.
Ketiga adalah belum berfungsinya kelembagaan petani dalam proses
pemasaran hasil, sehingga petani masih menjual hasil produksinya secara
personal. Hal ini menyebabkan petani tidak mempunyai kemampuan dalam
menegosiasikan harga dengan pedagang. Keberadaan KUD, kelompok tani dan
gabungan kelompok tani (gapoktan) masih terbatas pada penyediaan saprodi dan
101

aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal
jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan
mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor,
tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani
langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul.
Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya
industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala
kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan
agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan
yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan
pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol
jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena
masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu
sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada
pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di
kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor
pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh
terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja
juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian.
Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan
adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam
pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal
ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang
dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan.
Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi
yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses
pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian
menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan
hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga
komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah
menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan
102

lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan
rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas
lingkungan.

7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan


Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dilakukan sebagai
perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah yang ada dalam masyarakat
serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut.
Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembangunan berarti
memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk merumuskan masalah-
masalah yang ada di masyarakat, memobilisir sumberdaya setempat dan
mengembangkan kelompok organisasi masyarakat setempat. Dampak positif dari
proses partisipasi ini antara lain adalah bahwa masyarakat dapat mengerti
permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang diambil.
Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Cofen dan Uphoff (1977) dalam
Harahap (2001) adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, keterlibatan dalam
pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau
bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program
dan keterlibatan dalam evaluasi program. Berdasarkan definisi diatas, maka
partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan adalah partisipasi yang interaktif
dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian
kekuasaan dan pengawasan oleh masyarakat.
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam menunjang program
agropolitan diwujudkan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu,
masyarakat dalam hal ini petani berpartisipasi dengan turut terlibat dalam setiap
kegiatan yang terkait dengan program dan melaksanakan penerapkan teknologi
tepat guna dan penggunaan bibit unggul dalam usahatani sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Secara kelembagaan, melalui gabungan kelompok tani
atau gapoktan adalah terjadinya pertukaran informasi antar sesama kelompok tani
tentang usaha tani dan informasi harga. Namun fakta dilapang terlihat bahwa
tujuan pembentukan kelembagaan dalam hal ini kelompok tani masih terbatas
103

pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang
memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan
bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan
aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi
lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena
masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah
pasca panen dan pemasaran hasil.
Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan
diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek
pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6.
Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein
diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk
aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan
publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan).

Tabel 37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan


No Aspek Variabel Total
Skor
1. Komunikasi • Informasi
• Forum pengambilan keputusan
• Jumlah orang yang berpartisipasi 80,9
• Intervensi yang dilakukan aparat
2. Pengetahuan masyarakat • Konsep partisipasi
terhadap forum pengambilan • Tingkat kepuasan
keputusan
• Prosedur untuk berpartisipasi 74,8
• Tingkat partisipasi dalam kelompok
3. Kontrol terhadap kebijakan • Akses terhadap forum perencanaan
publik • Kriritk atas mekanisme forum
perencanaan 78,6
• Keterlibatan masyarakat dalam
implementasi proyek
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007).
104

Hasil analisis dengan menggunakan derajat partisipasi Arnstein,


menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Kecamatan Randangan
sebagai kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, ini dapat dilihat pada
Tabel 38. Berdasarkan hasil analisis dan jawaban dari responden terlihat bahwa
66,6% responden mengetahui adanya program agropolitan yang dilaksanakan.
Dari segi komunikasi terlihat bahwa program-program dalam lingkup desa pada
dasarnya sudah melalui diskusi baik kelompok tani maupun dalam forum desa.
Meskipun demikian intervensi dari pemerintah masih terlihat cukup dominan.
Hal ini direpresentasikan dengan 83.3% responden yang mengemukakan bahwa
masyarakat masih melakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah baik
melalui penyuluh pertanian maupun melalui petugas tingkat kecamatan. Dimana
kegiatan masyarakat harus disesuaikan dengan program-program yang dijalankan
oleh pemerintah. Keadaan SDM yang masih sangat rendah baik pendidikan dan
keahlian membuat hal ini dimungkinkan terjadi. Jadi meskipun terjadi
komunikasi, namun masih bersifat satu arah. Karena pada hakekatnya agar
program dapat tersosialisasi sampai pada masyarakat maka cara yang digunakan
adalah disampaikan melalui kelompok tani atau melalui pertemuan desa dalam
penyuluhan.

Tabel 38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan

Derajat Nilai Faktor Indeks Kelompok


Partisipasi A B C
Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Tingkat
Otoritas
Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11
Masyarakat
Partnership/Kemitraan 4 3 2-3 9-10
Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Tingkat
Tokenisme
Konsultasi 3-4 2 2 7-8
Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8
Terapi 2 1 1 4 Non
Partisipasi
Manipulasi 1 1 1 3
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007)

Dari segi pengetahuan masyarakat terhadap pengambilan keputusan


masyarakat tidak mengerti dan tidak pernah terlibat didalamnya. Yang diketahui
105

masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan
masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan.
Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program
pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan
menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan
Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang
mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti
pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh
masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan
apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan
LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan
responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini
sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai
media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas”
Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan
kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan
dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan
partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana
masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam
pembangunan.
Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap
program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam
masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak
mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada
tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional
regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa
lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman
(inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma
perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada
(baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan
106

konsep partisipasi tersebut secara benar. Kekakuan kelembagaan menyebabkan


organisasi yang ada menjalankan kebiasaan yang ada dalam arti tidak mengalami
perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses musrembang belum benar -
benar efektif berjalan masih sebatas sebagai ritual belaka. Hal ini sejalan dengan
penelitian Riyanto (2003), yang mengemukakan bahwa paradigma partisipasi
yang ada ternyata belum didukung oleh praksis yang memadai bahkan cenderung
bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, upaya pemerintah daerah
untuk membuka diri ternyata tidak diikuti oleh sebuah pemberlakuan mekanisme
yang baik, atau terkesan setengah hati dan malahan menciptakan sebuah program
kegiatan yang bertentangan dengan prinsip paradigmanya sendiri; hasilnya adalah
sebuah bentuk konsultasi yang tidak genuine dan belum partisipatif.
Program agropolitan merupakan program yang bersifat top down karena
program ini merupakan program dari pusat yang ditujukan untuk mengatasi
masalah disparitas pembanguan perdesaan dan perkotaan. Dalam era otonomi
daerah program ini selanjutnya di delegasikan kepada pemerintah daerah untuk
dilaksanakan untuk memacu perkembangan daerah perdesaan. Namun sangat
disayangkan dalam pelaksanaannya di daerah sifat ini masih terus melekat,
dimana keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan masih sangat kurang
diakomodasi. Perencanaan partisipatif yang menjadi inti dari desentralisasi
terkesan hanya sekedar untuk mencukupi syarat keharusan saja. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Pohuwato, intervensi pemerintah masih sangat besar
sehingga keterlibatan masyarakat hanya terbatas dalam pelaksanaan kegiatan.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan merupakan merupakan
keikutsertaan dan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat di dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan yang telah tercapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak
hanya diukur dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembagunan
tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan
program pembangunan serta kemauan masyarakat untuk secara mandiri
melestarikan dan mengembangkan hasil program pembangunan. Sebagai bentuk
kegiatan, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan mencakup
partisipasi dalam perencanaan kegiatan, pembuatan keputusan pelaksanaan
107

kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan serta pemanfaatan hasil


pembangunan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan dan keberlanjutan proyek
pembangunan. Karenanya seharusnya pemerintah sebagai perencana dan pembuat
kebijakan dalam pembangunan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan
yang ada melalui keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI
DI KAWASAN AGROPOLITAN
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan data-data kuantitatif
yang ada diketahui bahwa sejak program agropolitan basis jagung yang
dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato telah memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani dan perekonomian wilayah.
Hal ini terlihat di tingkat mikro terjadi peningkatan pendapatan petani jagung
karena hadirnya berbagai fasilitas penunjang dalam kegiatan agribisnis dan di
tingkat makro terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor sektor primer
ke sektor sekunder dan tersier. Namun permasalahan yang perlu mendapat
perhatian serius dari pemerintah daerah adalah belum maksimalnya keterlibatan
masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan masih rendahnya daya saing
wilayah yang ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja dari masing-masing
sektor unggulan yang ada di Kabupaten Pohuwato dibandingkan dengan total
wilayah yaitu Provinsi Gorontalo. Rendahnya daya saing wilayah dapat
menyebabkan lambatnya perkembangan ekonomi lokal wilayah Kabupaten
Pohuwato. Oleh karenanya untuk memperbaiki keadaan atau kondisi tersebut
perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya sehingga dapat
dirumuskan strategi pengembangannya.

8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di


Kabupaten Pohuwato
Untuk mengetahui apakah pengembangan agropolitan di Kabupaten
Pohuwato dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka harus diketahui
kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Dan
untuk mengetahui status dan kondisi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten
Pohuwato, dilakukan analisis terhadap enam komponen atau unsur yang disebut
sebagai Heksagonal PEL yaitu : kelompok sasaran PEL, faktor lokasi, kesinergian
dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses
manajemen. Keseluruhan komponen PEL dalam Heksagonal tersebut bertujuan
untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Dengan
mengetahui faktor-faktor pengungkit dari masing-masing aspek dalam
pengembangan ekonomi lokal maka dapat diidentifikasi strategi untuk
109

mengembangkan ekonomi pada suatu kawasan pengembangan. Hal ini karena


strategi pengembangan ekonomi disusun berdasarkan faktor pengungkit tersebut.
Berdasarkan hasil analisis RALED secara keseluruhan status Pengembangan
Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Hal ini
berdasarkan hasil analisis bobot gabungan dimensi PEL yaitu sebesar 57,19 (lihat
Tabel 39). Namun hasil dari masing-masing dimensi atau aspek PEL Kabupaten
Pohuwato secara parsial berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dimensi atau
Aspek kelompok sasaran memiliki nilai indeks tertinggi yaitu sebesar 67,16
diikuti oleh aspek faktor lokasi dengan nilai indeks 59,50. Aspek kesinergian dan
fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses
manajemen memiliki nilai indeks yang lebih rendah dibandingkan kedua aspek
lainnya meskipun tidak dapat dikatakan sebagai indeks yang buruk karena sudah
berada pada kisaran 50 tetapi memerlukan penanganan yang lebih teliti lagi,
karena sangat rentan terhadap goncangan.

Tabel 39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato


No Dimensi/Aspek Nilai Bobot Jumlah
PEL Indeks Gabungan
1 Kelompok Sasaran 67,16 0,252949095 16,98806124
2 Faktor Lokasi 59,50 0,190570254 11,33893014
3 Kesinergian dan Fokus Kebijakan 53,49 0,158997939 8,50479974
4 Pembangunan Berkelanjutan 51,91 0,072503375 3,763650181
5 Tata Pemerintahan 51,09 0,202353005 10,33821502
6 Proses Manajemen 50,99 0,122626332 6,252716677
JUMLAH 57,18637299
Sumber : Hasil olahan data primer, 2007

Selanjutnya berdasarkan hasil dari masing-masing aspek dalam


Pengembangan Ekonomi Lokal dengan menggunakan analisis RALED maka
dibuat perbandingan masing-masing nilai aspek dalam bentuk Diagram Radar atau
diagram laba-laba seperti berikut :
110

Status Pengem bangan Ekonom i Lokal


Kabupaten Pohuw ato

Kelompok Sasaran
100

80
67.16
60
Proses Manajemen Faktor Lokasi
40

50.99 20
59.5

53.49
51.09
Kesinergian dan Fokus
Tata Pemerintahan 51.91 Kebijakan

Pembangunan Berkelanjutan

Gambar 9 Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal


di Kabupaten Pohuwato

Untuk lebih spesifik melihat faktor pengungkit dari masing masing aspek
atau dimensi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, maka perlu
dilihat faktor pengungkit dari masing-masing aspek tersebut.

8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran


Hasil analisa dengan menggunakan perangkat lunak RALED menunjukkan
bahwa indeks dari aspek kelompok sasaran mencapai angka 67,16 atau berada
diatas angka 50. Hal ini menunjukkan atau mengindikasikan bahwa kondisi aspek
kelompok sasaran dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato
menunjukkan status atau kondisi baik. Secara skematis status aspek kelompok
sasaran ataupun ordinasi aspek kelompok sasaran disajkan pada Gambar 10.
Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dapat ditentukan faktor
pengungkit (leverage factor) dari aspek kelompok sasaran. Kegunaan faktor
pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat
dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk dapat meningkatkan
status kelompok sasaran menuju status yang lebih baik.
111

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato

Hasil analisis faktor atribut/atribut pengungkit (leverage factor) untuk aspek


kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan pada gambar 11.

Leverage of Attributes

Kecepatan pengurusan ijin bagi investasi


baru
Insentif pemda dalam bentuk pemberian
dana stimulan, dan keringanan biaya
Pendampingan dan monitoring bisnis pelaku
usaha baru
Fasilitasi Pelatihan Kewirausahaan bagi
Pelaku Usaha Baru
Upaya Pemda untuk Peningkatan Teknologi,
Manajemen dan Kelembagaan Lokal
Promosi Produk UKM dari Pemda
Attribute

Upaya Fasilitasi Permodalan dari Pemda

Pusat Layanan Investasi

Kampanye Peluang Berusaha

Keamanan

Kepastian Berusaha dan Hukum

Informasi Prospek Bisnis

Peraturan tentang Kemudahan Investasi

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 11 Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato


112

Gambar 11 menunjukan bahwa indikator yang menjadi faktor pengungkit


utama untuk aspek kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah sebagai berikut :

1) Pusat layanan investasi


Pusat pelayanan investasi mempunyai peran penting dalam pengembangan
ekonomi lokal karena dapat memberikan informasi bagi calon investor luar
mengenai potensi investasi agribisnis dan agroindustri jagung di kawasan
pengembangan. Pusat pelayanan investasi dapat memberikan jasa layanan
konsultasi investasi bagi investor dari luar wilayah yang belum mengetahui
tantang peta potensi investasi di kawasan pengembangan. Munculnya faktor
pengungkit utama pusat pelayanan investasi diduga disebabkan karena belum
tersedianya informasi tentang peta kondisi potensi investasi terlebih khusus
investasi agibisnis dan agroindustri jagung yang mendukung di Kabupaten
Pohuwato serta belum berkembangnya jasa konsultasi investasi di wilayah
tersebut. Belum maksimalnya kinerja dinas perindustrian, koperasi dan
penamanan modal tercermin dari masih kurangnya investasi dari pihak swasta di
Kabupaten Pohuwato. Sampai pada tahun 2005 investasi di Kabupaten Pohuwato
hanya sebesar Rp. 457.682.077.596,- dan dari total investasi tersebut 73%
bersumber dari pemerintah dan hanya 27% dari pihak swasta. Selanjutnya
dukungan APBD untuk mengembangkan perekonomian Kabupaten Pohuwato
sebagian besar masih ditujukan untuk pengembangan infrastruktur penunjang
sedangkan untuk pengembangan pertanian sendiri masih relatif kurang yaitu
hanya sebesar 2,76% pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 5,98% pada tahun
2005. Disamping itu salah satu faktor penghambat masuknya investasi juga
disebabkan karena investasi merupakan kewenangan dari provinsi sehingga
kabupaten/kota sangat tergantung pada provinsi.

2) Promosi Produk UKM dari Pemda


Faktor pengungkit kedua, disebabkan karena masih minimnya promosi
produk UKM agribisnis dan agroindustri oleh Pemerintah Daerah. Produk-produk
hasil olahan pertanian seperti dodol jagung yang sedang dikembangkan oleh
BPPT, keripik dan emping yang diproduksi oleh rumah tangga belum mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Semestinya sebagai daerah
113

pengembangan yang baru berkembang, aspek promosi ini sangat diperlukan oleh
dunia usaha untuk memperluas pasar sehingga UKM daerah dapat lebih
berkembang. Salah satu penyebab dari minimnya atau kurangnya promosi UKM
dari Pemda kemungkinan disebabkan karena saat ini konsentrasi pemerintah
daerah masih terfokus pada pembangunan sarana-sarana fisik pelayanan publik
berupa pembangunan pembangunan kantor-kantor pemerintah yang di pusatkan
dalam satu kawasan pembangunan blok plan. Kedepannya agar PEL dapat
berkembang baik maka pemerintah daerah perlu melakukan promosi UKM seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi terhadap promosi agropolitan.

3) Kampanye Peluang Berusaha.


Selanjutnya faktor pengungkit ke tiga yaitu kampanye peluang berusaha
dibidang agribisnis dan agroindustri jagung. Rendahnya intensitas sosialisasi
peluang berusaha komoditas jagung menjadikan komoditi ini belum berkembang
dalam diversifikasi produk. Dalam arti pasar produk ini masih sebatas sebagai
produk ekspor yang belum diolah. Padahal jagung merupakan salah satu produk
strategis karena selain dapat diekspor jagung merupakan bahan mentah bagi
produk-produk lainnya seperti tepung jagung, bubur jagung, pakan ternak dan
sebagainya. Prioritas pemerintah yang terfokus pada pembangunan fisik
pelayanan publik menyebabkan aspek kampanye peluang berusaha belum
maksimal dilakukan oleh perintah daerah. Satu hal yang luput dicontoh dari
Pemda Kabupaten Pohuwato yaitu pembelajaran dari apa yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi, dimana promosi dan kampanye peluang berusaha yang
gencar menyebabkan mata seluruh Indonesia bahkan dunia melirik ke pPovinsi
Gorontalo. Kampanye peluang berusaha yang kontinyu dilakukan baik melalui
media massa maupun melalui pameran, seminar dan pada berbagai kesempatan
akan membuat investor tertarik dan melakukan investasi sehingga dapat
memperbaiki status PEL kearah yang lebih baik.

8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi


Faktor lokasi merupakan salah satu syarat keharusan dalam ekonomi
wilayah. Faktor ini menggambarkan bagaimana daya tarik dari sebuah lokasi bagi
penyelenggaraan suatu kegiatan usaha. Kondisi aspek faktor lokasi dalam
114

pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau


kondisi baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status faktor
lokasi dengan menggunakan analisis RALED yang mencapai 59,50 atau berada
diatas angka 50. Secara skematis status aspek faktor lokasi di sajikan pada
Gambar 12.

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 12 Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato

Selanjutnya dari indeks atau status tersebut dapat ditentukan faktor


pengungkit (leverage factor) dari aspek faktor lokasi. Dengan mengetahui faktor
pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi yang
dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau
meningkatkan status faktor lokasi menuju status yang lebih baik. Gambar 13
menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk aspek faktor lokasi di
Kabupaten Pohuwato.
115

Leverage of Attributes

Fasilitas umum dan fasilitas sosial

Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas dari fasilitas pendidikan

Kualitas Lingkungan

Kualitas Pemukiman

Pelayanan perijinan satu atap


Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pemerintah dan Swasta bukan Perguruan Tinggi
Lembaga penelitian perguruan tinggi
Peluang kerjasama dalam industri sejenis
maupun industri hulu-hilir
Industri yang memiliki mata rantai lengkap dari
hulu ke hilir untuk suatu komoditas
Citra dari dari kota/kabupaten

Citra dari lokasi (sentra usaha)


Attribute

Peran dan kebijakan pemerintah pusat kepada


daerah
Peran dan kebijakan pemerintah propinsi kepada
daerah
Iklim perekonomian lokal

Jumlah penyaluran kredit

Jumlah Lembaga keuangan lokal

Tenaga Kerja Terdidik

Tenaga Kerja Terampil

Upah TK dibanding Daerah Sekitar

Infrastruktur Energi

Infrastruktur Komunikasi

Sarana Transportasi

Akses ke Pelabuhan Udara

Akses ke Pelabuhan Laut

Kondisi Jaringan Jalan

0 10 20 30 40 50 60 70
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 13 Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis RALED diketahui bahwa yang menjadi faktor


pengungkit aspek faktor lokasi di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah sebagai berikut :

1) Pelayanan Perijinan satu atap


Belum berjalannya pelayanan perijinan satu atap di Kabupaten Pohuwato
menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama. Rantai birokrasi yang
116

terlalu panjang dan berbelit-belit dalam pengurusan perijinan dalam berinvetasi


kemungkinan menyebabkan pengembangan ekonomi lokal belum dapat
berkembang maksimal. Lamanya pengurusan perijinan menyebabkan salah satu
faktor penentu masuknya investasi di suatu kawasan. Oleh karenanya kedepan
diperlukan kemudahan dalam pengurusan perijinan, terutama terkait dengan
investasi agribisnis jagung yaitu dengan memperpendek jalur birokrasi melalui
pelayanan perijinan satu atap sehingga dapat menjadi pembuka jalan untuk
masuknya investasi swasta di Kabupaten Pohuwato.

2) Kualitas dari Fasilitas Pendidikan


Kualitas dari Fasilitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap
pengembangan ekonomi lokal, ketersediaan fasilitas yang memadai dapat
meningkatkan kualitas SDM dalam suatu wilayah. Kualitas pendidikan di
Kabupaten Pohuwato yang masih rendah dan belum mampu memenuhi
kebutuhan kompetensi peserta didik menjadi salah satu faktor munculnya kualitas
dari fasilitas pendidikan sebagai faktor pengungkit. Rendahnya kualitas
pendidikan terutama disebabkan karena :
• Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kualitas maupun
kuantitas.
• kesejahteraan pendidik yang masih rendah,
• fasilitas belajar yang masih belum mencukupi secara memadai,
• biaya operasional pendidikan yang belum tersedia secara memadai.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato, tingkat
kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD 90,46% untuk
SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% . Disamping itu
keadaan prasarana pendidikan di Kabupaten Pohuwato sampai dengan tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel 40. Pada tabel terlihat bahwa tingkat pendidikan
anak usia dini terdiri dari 43 unit gedung dengan 73 kelas, jumlah kelas yang
layak dipakai hanya 71,23% sedangkan 20,55% berada dalam kondisi rusak
ringat dan 8,42% rusak berat. Keadaan prasarana pendidikan dasar terdiri dari
103 unit gedung dengan jumlah kelas sebanyak 613, dimana 88,09% layak
dipakai dan 9,13% berada dalan keadaan rusak ringan dan 2,77% rusak berat.
Untuk tingkat pendidikan lanjutan (setara SLTP) terdiri dari 27 unit gedung
117

dengan 146 ruang kelas, dari jumlah tersebut 84,93% berada dalam keadaan
layak pakai 9,58% rusak ringan dan 5,47% rusak berat. Sedangkan untuk
pendidikan menengah (setara SMA) jumlah gedung 11 unit dengan 80 ruang
kelas dimana 78,85% berada dalam kondisi layak pakai dan 21,25% berada
dalam kondisi rusak ringan. Berdasarkan Uraian data tersebut nampak bahwa
kebijakan pendidikan kedepan harus memprioritaskan peningkatan kualitas
gedung pendidikan dan kualitas pengajar guna menunjang proses belajar
mengajar.

Tabel 40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun 2005


No Jenis Jumlah Jumlah Kondisi Ruang Belajar
Pendidikan Gedung Ruang Layak % Rusak % Rusak %
Kelas Pakai Ringan Berat
1. TK 43 73 52 71,23 15 20,55 6 8,42
Jlh PAUD 43 73 52 71.23 15 20,55 6 8,42

2. SD 99 594 530 89,23 50 8,42 14 2,36


3. MI 4 19 10 52,63 6 31,58 3 15,79
Jlh Dikdas 103 613 540 88,09 56 9,13 17 2,77

4. SMP 17 110 100 90,91 10 9,09 0 0.00


5. MTs 10 36 24 66,67 4 11,11 8 22,22
Jlh Dikdas 27 146 124 84,93 14 9,58 8 5,47
2

6. SMA 5 47 35 74,47 12 25,53 0 0


7. SMK 2 18 16 88,89 2 11,11 0 0
8. MA 4 15 12 80,00 3 20,00 0 0
Jumlah 11 80 63 78,75 17 21,25 0 0
Dikmen

Sumber : Diknas Pohuwato, 2005.

3 ) Fasilitas Umum dan Sosial


Sebagai kabupaten yang baru yang masih berbenah diri masih banyak
fasilitas umum dan sosial yang belum tersedia secara memadai sehingga hal ini
kemungkinan menjadi penyebab munculnya faktor fasilitas umum dan sosial
sebagai faktor pengungkit. Ketersediaan fasilitas jembatan untuk menunjang
kelancaran transportasi dalam menunjang proses pemasaran komoditas unggulan
jagung masih belum mencukupi di Kabupaten Pohuwato. Data dari dinas
118

kimpraswil menyebutkan bahwa baru sekitar 50% ketersediaan jembatan yang ada
dari kebutuhan yang seharusnya selama 5 tahun yang akan datang.

Tabel 41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan Kabupaten Pohuwato

No Kecamatan Kebutuhan (5 Thn) Ketersediaan


1 Marisa 15 bh 8 bh
2 Paguat 14 bh 8 bh
3 Patilanggio 9 bh 8 bh
4 Randangan 11 bh 6 bh
5 Taluditi 15 bh 9 bh
6 Lemito 14 bh 8 bh
7 Popayato 17 bh 4 bh
Total 95 bh 52 bh
Sumber : Dinas kimpraswil Kabupaten Pohuwato

Untuk menunjang kelancaran pemasaran produk ungggulan jagung


diperlukan ketersediaan jembatan, jalan usaha tani, serta jalan provinsi yang
tersedia dalam kualitas baik sehingga usaha agribisnis jagung dapat terlaksana
dengan baik dan semakin menarik investor untuk berinvestasi di Kabupaten
Pohuwato

8.1.3.Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan


Berdasarkan hasil analisis RALED untuk aspek kesinergian dan fokus
kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato diperoleh indeks mencapai 53,49. Ini
menunjukan bahwa status aspek kesinergian dan kokus kebijakan di Kabupaten
Pohuwato berada dalam kondisi marginal atau pas-pasan. Hal ini disebabkan
karena meskipun sudah berada diantara range 50-75 yang dikategorikan baik, tapi
indeks ini hanya sedikit berada dibatas bawah range sehingga sangat rentan dan
memerlukan perhatian yang lebih.
Secara skematis hasil analisis Raled untuk aspek Kesinergian dan Fokus
Kebijakan dapat dilihat pada Gambar 14 berikut :
119

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries

0 BAD GOOD References

0 20 40 60 80 100 120
Anchors

-20

-40

DOWN

-60

Fisheries Sustainability

Gambar 14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato

Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dengan analisis RALED


dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor
pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat
memperbaiki atau meningkatkan status aspek kesinergian dan fokus kebijakan
mejadi lebih baik lagi. Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage
attributes) untuk aspek kesinergian dan fokus kebijakan di Kabupaten Pohuwato
ditunjukkan dalam Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan
prioritasnya yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek kesinergian dan
fokus kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato adalah :

1) Kebijakan Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan


perkotaan CBD
Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) diharapkan
dapat mengembangkan ekonomi lokal suatu kawasan. Hal ini disebakan karena
kota pertanian dikawasan agropolitan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru yang
dapat menarik dan menghela desa-desa disekitarnya sebagai daerah hinterland.
Dengan adanya agropolitan yang berbasis jagung diharapkan aktivitas masyarakat
120

di bidang non pertanian juga dapat lebih berkembang seperti UKM dan Industri
kecil sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi lokal di wilayah tersebut.
Berdasarkan survey lapangan di Kawasan Agropolitan Randangan, aktivitas di
bidang pertanian masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Akan
tetapi belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis jagung
menyebabkan UKM dan IKM di kawasan agropolitan belum berkembang
sehingga kemungkinan membuat faktor ini menjadi faktor pengungkit pertama.
Investasi UKM dan IKM di kabupaten masih sangat terbatas padahal masih
banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dan digali. Jika dibandingkan
dengan kabupaten lain di Provinsi Gorontalo, jumlah perusahaan IKM masih
dibawah Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Masih
terbatasnya jumlah perusahaan yang berinvestasi menyebabkan serapan TK di
sektor non pertanian pun menjadi rendah, sehingga tidak dapat mendorong
pertumbuhan wilayah .

Gambar 15 Jumlah Perusahaan Industri Kecil, Menengah dan Tenaga Kerja


Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2005

8000

7000

6000

5000

4000 Jumlah Perusahaan


Tenaga kerja
3000

2000

1000

0
Boalemo Gorontalo Pohuw ato Bone Kota
Bolango Gorontalo

Sumber : Gorontalo dalam angka, 2007

2) Kebijakan kerjasama antar daerah /pemda


Selanjutnya untuk lebih menigkatkan ekonomi lokal suatu wilayah
diperlukan kerjasama antar wilayah sehingga dapat memobilisasi potensi daerah
untuk dikembangkan. Kerjasama antar daerah baik di bidang pertanian,
perdagangan, perhubungan dan bidang lainnya sangat diperlukan agar alokasi
sumberdaya dapat lebih efisien dan efektif. Pada hakekatnya kerjasama antar
wilayah sudah menjadi kebijakan di Kabupaten Pohuwato akan tetapi dalam
121

prakteknya egoisme daerah masih terlihat dan menguasai dalam keseharian


pemerintahan. Untuk pengembangan wilayah secara keseluruhan terlihat dengan
adanya rencana pemerintah untuk membangun pelabuhan laut di Kabupaten
Pohuwato dalam RPJM 2005-2010. Padahal di Kabupaten tetangga Boalemo
terdapat pelabuhan laut yang dapat digunakan untuk aktivitas perdagangan dan
bongkar muat. Jika hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik, dalam arti Pemda
Kabupaten Pohuwato dapat menjalin kerjasama dengan Kabupaten Boalemo
dengan membagi share yang adil atas penggunaan pelabuhan maka dapat terjalin
suatu hubungan dan kerjasama yang baik antar daerah sehingga dapat membentuk
suatu keterkaitan yang saling menguntungkan. Model kerjasama yang seperti ini
masih belum berjalan sehingga masing-masing wilayah ingin membangun outlet
sendiri-sendiri yang memerlukan dana yang tidak sedikit sehingga anggaran
pemerintah masih belum teralokasi untuk kepentingan publik yang lebih luas dan
mendasar. Sedangkan kerjasama dalam pengembangan agribisnis jagung masih
dalam tataran provinsi dimana terjalinya kerjasama antar provinsi dalam hal ini
Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kerjasama tersebut dalam hal
pemasaran dan penyediaan bibit, dimana Provinsi Gorontalo menyediakan bibit
komposit hasil penangkaran dan hasil produksi dari provinsi-provinsi tersebut di
jual ke Provinsi Gorontalo. Akan tetapi kerjasama seperti ini belum terjadi pada
tataran kabupaten, baik untuk memenuhi skala produksi maupun skala ekonomi.
Dengan memberikan perhatian dan memperbaiki kedua faktor diatas
maka diharapkan dapat membuat pengembangan ekonomi lokal Kabupaten
Pohuwato ke arah yang lebih baik.
122

Leverage of Attributes

Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar


sentra usaha
Kebijakan tata ruang PEL

Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda


Kebijakan pengembangan komunitas
sep:perbaikan lingkungan, perbaikan kampung
Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di
perdesaan (agropolitan) dan perkotaan
Kebijakan pembangunan kawasan industri
hinterland/ industri
Kebijakan pengurangan kemiskinan secara
partisipatif
Kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis
Attribute

kemitraan dengan dunia usaha


Kebijakan Pengembangan keahlian

Kebijakan informasi bursa tenaga kerja


Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar
pelaku ekonomi
Kebijakan peningkatan peran Perusahaan Daerah

Kebijakan pemberdayaan UKM

Kebijakan persaingan usaha

Kebijakan promosi daerah

Kebijakan peningkatan investasi

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di


Kabupaten Pohuwato

8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan


Kondisi aspek pembangunan berkelanjutan dalam Pengembangan
Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal.
Hal ini ini berdasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status aspek
pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan analisis RALED yang
mencapai 51,91 atau berada sedikit di atas angka 50. Secara skematis status aspek
pembanguna berkelanjutan di sajikan pada Gambar 17 berikut :
123

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 17 Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis faktor pengungkit diperoleh beberapa faktor


utama yang merupakan faktor sensitif dari aspek pembangunan berkelanjutan.
Faktor pengungkit ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk melakukan intervensi yang dianggap perlu dan penting
dalam rangka peningkatan pengembangan ekonomi lokal di daerah tersebut.
Gambar 18 menunjukkan faktor pengungkit untuk aspek pembangunan
berkelanjutan.
124

Leverage of Attributes

Kebijakan konservasi sumber daya alam dalam


PEL

Pengelolaan dan pendaur ulangan limbah

Kebijakan pemecahan permasalahan lingkungan

PEL mempertimbangkan Keberadaan adat dan


kelembagaan lokal
Attribute

Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas


hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal

Jumlah perusahaan yang melakukan Inovasi


pengembangan produk dan pasar

Jumlah perusahaan yang telah memiliki Business


plan

Pengembangan industri pendukung untuk


keberlanjutan sistem industri

Sistem industri yang berkelanjutan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 18 Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan di


Kabupaten Pohuwato

Berdasarkan analisis RALED, diperoleh beberapa faktor pengungkit utama


untuk aspek pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan
prioritasnya yaitu sebagai berikut :

1) Jumlah Perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar,


Belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk
dan pasar menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama dalam aspek
ini. Pada tahun 2006 Pohuwato terdapat 617 industri hasil pertanian dan
kehutanan, 785 industri kerajinan rumah tangga, 31 industri logam mesin dan
kimia serta 5 aneka industri. Di Kabupaten Pohuwato jumlah perusahaan yang
berinvestasi pada pengolahan komoditas jagung masih belum ada. Pengolahan
komoditas jagung masih sebatas pada proses perubahan dari jagung tongkol
menjadi jagung pipilan, dimana proses ini pun terjadi di tingkat petani.
Kebanyakan perusahaaan yang berinvestasi masuk pada sektor perikanan karena
daerah ini juga memiliki potensi yang besar di sektor ini. Potensi di sektor
125

pertanian lainnya terlebih sub sektor tanaman pangan dan perkebunan masih
belum mendapat perhatian dari investor. Hal ini terbukti dengan belum
berkembangnya baik industri skala kecil, menegah maupun besar untuk
berinvestasi dalam sektor pertanian basis jagung. Kebanyakan hasil produksi
pertanian masyarakat dalam hal ini komoditi jagung masih di pasarkan dalam
bentuk biji jagung (jagung pipilan) sebagai bahan mentah produksi. Proses
pengolahan jagung selanjutnya masih sebatas pada perbaikan kualitas/ mutu biji
jagung yang dilakukan oleh pedagang pengumpul baik dengan cara alami melalui
penjemuran dengan sinar matahari maupun melalui teknologi dengan
menggunakan mesin pengering. Proses pengolahan jagung belum menyentuh pada
proses perubahan bentuk Jika dilihat dari potensi yang ada sektor ini sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai suatu industri yang terintegrasi. Sehingga
menjadi tugas pemerintah daerah untuk mempromosikan dan menjual potensi
yang ada agar dilirik oleh investor.

2) Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan


masyarakat lokal
Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan komoditas pertanian
di Kabupaten Pohuwato secara mikro sudah mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat petani namun secara absolut masih belum menghasilkan pendapatan
yang memadai untuk hidup layak. Hal ini di lihat dari tingkat pendapat
masyarakat yang masih rendah, meskipun dari tahun ke tahun mulai ada
peningkatan. Tahun 2004 pendapatan per kapita masyarakat adalah sebesar Rp.
3.217.901 meningkat menjadi Rp. 3.570.205 pada tahun 2006. Hal ini berarti
bahwa banyak masyarakat Kabupaten Pohuwato prasejahtera yang hanya
memiliki pendapatan kurang lebih $ 1 per hari.
Potensi sumber daya alam Pohuwato cukup banyak namun secara ekonomi
belum dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat karena
pemanfaatannya belum optimal.
126

Pendapatan per kapita

3600000

3400000
Pendapatan per
3200000 kapita

3000000
2004 2005 2006

Gambar 19 Perkembangan pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Pohuwato

Salah satu indikator kesejahteraan adalah Indeks Pembangunan Manusia


(IPM). Berdasarkan hasil dari kajian Bappenas (2008), IPM Kabupaten Pohuwato
masih berada di bawah IPM Provinsi Gorontalo yaitu hanya sebesar 67,4
meskipun berada diatas kabupaten Boalemo dengan nilai indeks 66,4. Terkait
dengan tingkat pendapatan masyarakat Pohuwato, pengembangan agribisnis basis
jagung di kabupaten pohuwato sedikit banyak sudah mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat meskipun belum maksimal.

Gambar 20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi


Gorontalo

IPM

72
71
70
69
68
67 IPM
66
65
64
63
o

lo
lo

o
o

ng
em
al

at

ta
ta

nt

on
on

la
l

hu
or

oa

Bo

or
or

.G

Po
.B

.G
G

e
ab

on
ab
a

b.

ov
ot

Ka

.B
K

Pr
K

ab
K

Sumber : Human Development Index Provinsi Gorontalo, Bappenas 2008


127

3) Jumlah perusahaan yang memiliki Bussiness Plan


Pada dasarnya perusahaan yang memiliki bussiness plan adalah
perusahaan-perusahaan kelas menengah dan besar yang berinvestasi pada sektor
pertanian secara umum dalam hal ini sektor perikanan. Sedangkan untuk industri
jagung sendiri belum ada perusahaan yang berkecimpung didalamnya. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, industri pengolahan jagung yang berkembang
di pohuwato masih sebatas pada perubahan jagung tongkol menjadi jagung pipilan
dan perbaikan kualitas biji jagung. Karena belum berkembangnya industri
pengolahan basis jagung di Pohuwato menyebabkan perusahaan yang memiliki
bussiness plan pun belum ada. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah,
dimana perlu dirangsang kreativitas masyarakat untuk menghasilkan produk-
produk olahan berdasarkan basis pertanian masyarakat setempat. Hal ini perlu
dilakukan untuk menunjang sektor pertanian, karena pertanian yang tangguh perlu
didukung oleh industri pengolahan berbasis pertanian. Investasi-investasi swasta
perlu dirangsang melalui kemudahan dalam berinvestasi serta berbagai instrumen
lain seperti kebijakan fiskal dan sebagainya.

8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan.


Kondisi aspek Tata Perintahan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di
Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal (pas-pasan). Hal
ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status Tata Pemerintahan
dengan menggunakan analisis RALED ysng mencapai 51,09. Secara skematis
status aspek Tata Pemerintahan di sajikan pada Gambar 21 berikut ini :
128

RALED Ordination

60
UP
40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability

Gambar 21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato

Selanjutnya dari indeks atau status tersebut sapat ditentukan faktor


pengungkit (leverage factor) dari aspek Tata Pemerintahan. Dengan mengetahui
faktor pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi
yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau
mningkatkan status aspek Tata Pemerintahan menuju status yang lebih baik.
Gambar 22 berikut menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk
aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato.
Adapun faktor pengungkit utama aspek Tata Pemerintahan berdasarkan
hasil analisis adalah sebagai berikut :

(1) Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya


Hasil penelitian dilapang menemukan bahwa keadaan asosiasi dan
organisasi industri yang dibentuk hanya untuk mencukupi syarat perlu saja.
Keberadaan kelembagaan kelompok tani yang ada di kawasan agropolitan secara
kuantitas memang mengalami kemajuan karena semakin meningkat tapi secara
kualitas keberadaannya masih belum banyak memberikan manfaat untuk
memberdayakan masyarakat tani. Hal ini disebabkan karena fungsi dan tujuan dari
kelembagaan ini masih sebatas pada informasi untuk pengelolaan usaha tani
belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Petani belum mampu
129

memanfaatkan kelembagaan ini sabagai wadah untuk memberdayakan diri


misalnya kelompok tani yang ada membentuk suatu asosiasi petani jagung yang
akan bermanfaat dalam menegosiasikan harga komoditi tersebut dengan pihak
pembeli. Kelembagaan kelompok tani ini justru terlihat lebih banyak bermanfaat
bagi pihak pemerintah, yaitu memudahkan kontrol dalam pemberian bantuan dan
evaluasi.

(2) Peran asosiasi industri/komoditi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan


pemerintah di bidang PEL,
Kelembagaan KUD yang sudah ada di desa pun masih belum banyak
memberikan manfaat bagi anggotanya karena masih bersifat top down, disamping
keterbatasan SDM dalam manajemen dan SDM Petani yang masih rendah. Hal ini
menyebabkan manfaat dari asosiasi dan lembaga tersebut tidak dapat dirasakan
oleh anggota-anggotanya. Fenomena ini sudah sangat umum terjadi di Indonesia,
dimana pembentukan suatu organisasi atau asosiasi hanya untuk melengkapi
presyaratan semata saja bukan merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai
tujuan. Hal ini menyebabkan organisasi tidak bertahan lama dan hanya muncul
disaat ada kegiatan saja. Keadaan ini menyebabkan manfaat asosiasi tidak banyak
dirasakan oleh para anggotanya. Hal ini juga yang menjadi penyebab peran
asosiasi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL
belum banyak. Karena kebanyakan para pengurus hanya berperan sebagai rent
seeker untuk kepentingan sendiri.

(3) Prosedur pelayanan administrasi publik.


Masih lemahnya prosedur pelayanan administrasi publik merupakan
masalah dan kendala dalam pengembangan ekonomi di Kabupaten Pohuwato.
Pengurusan administrasi yang panjang dan berbelit menjadi penghalang masuknya
investasi dan respek masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. Diharapkan
dengan adanya intervensi atau perlakuan terhadap ke tiga faktor tersebut, sehingga
masyarakat sudah dapat lebih merasakan manfaat dari asosiasi tempat mereka
bernaung dan perbaikan terhadap pelayanan publik maka diharapkan dapat
meningkatkan status aspek tata pemerintahan ke tingkat yang lebih baik.
130

Leverage of Attributes

Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya

Peran Asosiasi industri/komoditi/ Forum bisnis


terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di
Status Asosiasi industri/
komoditi/ Forum Bisnis

Prosedur pelayanan administrasi publik


Attribute

Restrukturisasi organisasi pemerintah

Reformasi sistem insentif pengembangan SDM


aparatur

Kemitraan di bidang pembiayaan usaha

Kemitraan di bidang promosi dan perdagangan

Kemitraan di bidang infrastruktur

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten


Pohuwato

8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen.


Kondisi aspek proses Manajemen dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di
Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi baik. Data hasil analisis
RALED di Kabupaten Pohuwato untuk aspek Proses Manajeman menunjukkan
indeks yang mencapai 50,99 dimana merupakan batas range kategori aman,
sehingga dapat dikategorikan dalam posisi marginal atau pas-pasan. Secara
skematis status aspek Proses Manajemen terlihat dapam Gambar 23.
131

RALED Ordination

60

UP

40
Other Distingishing Features

20

Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors

-20

-40

DOWN

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato

Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dengan analisis RALED


dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor
pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat
memperbaiki atau meningkatkan status aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan
menjadi lebih baik lagi.
Hasil analisis faktor /atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan dalam Gambar 24
berikut.
132

Leverage of Attributes

Penggunaan hasil evaluasi dalam perbaikan


perencanaan
Frekuensi dilakukan diskusi bagi proses
pemecahan permasalahan
Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri (self
evaluation)
Keterlibatan stakeholder dalam proses
monitoring dan evaluasi
Keterlibatan Stakholder dalam proses
penyusunan indikator evaluasi

Kesesuaian implementasi dengan perencanaan


Attribute

Sinkronisasi lintas sektoral dan spasial dalam


perencanaan PEL
Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses
perencanaan PEL
Penggunaan hasil diagnosis sebagai dasar
perencanaan PEL

Identifikasi stakeholder PEL

Kepastian Berusaha dan Hukum

Penilaian terhadap daya saing wilayah

Analisis dan pemetaan potensi ekonomi

0 0.5 1 1.5 2 2.5


Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed
(on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten


Pohuwato

Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan prioritasnya yang menjadi


faktor pengungkit utama untuk aspek Proses Manajemen PEL di Kabupaten
Pohuwato adalah :

1) Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan PEL.


Keterlibatan seluruh stakeholder yang terkait dalam perencanaan
pengembangan ekonomi lokal sangat penting untuk keberhasilan program.
Keterlibatan dari para pengusaha sebagai pelaku dan stakeholder utama serta
dunia perbankan dan masyarakat petani sangat menentukan keberhasilan
berkembangnya ekonomi lokal di satu wilayah. Disamping itu jajaran pemerintah
sebagai pembuat kebijakan juga sangat menentukan dalam kelangsungan dan
keberlanjutan ekonomi lokal. Belum maksimalnya partisipasi dari seluruh
stakeholder dalam perencanaan pengembangan ekonomi lokal menjadi penyebab
133

faktor ini sebagai pemicu utama. Hal ini dapat dilihat dimana berdasarkan kajian
partisipasi terlihat bahwa partisipasi masyarakat masih dalam taraf konsultasi.
Diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan
dapat melihat ini sebagai faktor penting yang dapat mendorong perkembangan
ekonomi lokal wilayah, sehingga dalam setiap perencanaan kebijakan pihak dunia
usaha mulai dari pelaku UKM, IKM sampai usaha skala besar dan perbankan
sebagai pelaku dari dan penerima efek dari setiap kebijakan yang ada dilibatkan
sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kawasan. Kurangnya
keterlibatan dunia usaha dan perbankan merupakan salah datu faktor penghambat
berkembangnya ekonomi lokal suatu kawasan.

8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan Agropolitan


Berdasarkan hasil analisis kondisi dan status pengembangan ekonomi
lokal di kabupaten Pohuwato berdasarkan aspek kelompok sasaran, faktor lokasi,
kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan
dan proses manajemen diketahui bahwa status pengembangan ekonomi lokal
secara keseluruhan berada dalam kondisi baik. Namun untuk lebih meningkatkan
kondisi pengembangan ekonomi kearah yang lebih baik lagi diperlukan rencana
pengelolaan guna menciptakan kegiatan pembangunan yang dapat
mengembangkan perekonomian kawasan secara berkelanjutan sebagaimana yang
tertuang dalam Visi dan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato. Hasil-hasil
analisis selanjutnya dibandingkan dengan keadaan eksisting yang ada sehingga
dapat dilihat apa yang menjadi kebutuhan daerah, kebijakan mana saja yang
belum dilaksanakan dan mana yang harus dioptimalkan.
Adapun visi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah ”Terwujudnya
masyarakat Pohuwato yang produktif, tangguh dan sejahtera yang dilandasi oleh
iman dan taqwa”. Sedangkan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah :
1. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengamalan ajaran agama dan
budaya dalam segala aspek kehidupan.
2. Meningkatkan produktifitas dan daya saing ekonomi daerah
3. Mewujudkan pemerintahan yang baik
134

4. Meningkatkan peran masyarakat sebagai mitra dan pelaku utama


pembangunan daerah.
Salah satu misi diatas adalah untuk meningkatkan produktifitas dan daya
saing ekonomi daerah. Untuk mencapai misi tersebut maka perlu ditingkatkan
pengembangan ekonomi lokal di kawasan terbebut. Untuk mengembangkan
ekonomi lokal, perlu disusun rencana pengembangan ekonomi lokal berdasarkan
faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh dalam keberlanjutan sumberdaya yang
dikaitkan dengan rencana strategis dari pemerintah Kabupaten Pohuwato. Secara
lebih lengkap, faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap
pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato ditunjukan pada Tabel 42.

Tabel 42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap Pengembangan


Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato
No Dimensi/Aspek Pel Faktor Pengungkit
1 Kelompok Sasaran • Pusat layanan investasi
• Promosi produk UKM dari pemda
• Kampanye peluang berusaha
2 Faktor Lokasi • Pelayanan perijinan satu atap
• Kualitas dari fasilitas pendidikan
• Fasilitas umum dan sosial
3 Kesinergian dan Fokus Kebijakan • Kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan (agropolitan)
• Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda
4 Pembangunan Berkelanjutan • Jumlah perusahaan yang melakukan
inovasi pengembangan produk dan pasar
• Kontribusi Pel terhadap peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat lokal
• Jumlah perusahaan yang memiliki business
plan
5 Tata Pemerintahan • Manfaat asisiasi /organisasi bagi
anggotanya,
• Peran asosiasi industri/komoditi terhadap
perbaikan kebijakan pemerintah dibidang
Pel
• Prosedur pelayanan administrasi publik
6 Proses Manajemen • Jumlah stakeholder yang terlibat dalam
proses perencanaan Pel
• Analisis dan pemetaan potensi ekonomi
135

8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran


8.2.1.1. Pengadaan Pusat layanan investasi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagai daerah pemekaran baru
Kabupeten Pohuwato masih berbenah diri. Oleh karenanya banyak aspek
pelayanan publik yang belum ada dan berjalan dengan baik . Dan salah satunya
adalah belum tersedianya pusat layanan investasi didaerah ini. Belum adanya data
base tentang potensi daerah dan potensi investasi terlebih khusus investasi
agribisnis dan agroindustri jagung daerah yang dapat diakses oleh investor
menyebabkan suatu daerah sulit atau mengalami perkembangan yang lambat atau
stagnan karena kurangnya investasi dari pihak swasta.
Sehingga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini
adalah membentuk suatu pusat layanan investasi dimana didalamnya dapat
diakses berbagai informasi potensi daerah dalam hal ini potensi agribisnis dan
agroindustri jagung di kabupaten pohuwato, informasi potensi investasi yang
sedang dan akan berkembang dan adanya insentif serta kemudahan investasi dari
pemerintah bagi investor yang akan berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri
jagung. Informasi ini sebaiknya dapat diakses dengan mudah oleh para investor
melalui internet sehingga dapat diakses oleh investor dari berbagai negara. Atau
dapat pula mencontoh dengan negara India yang mendirikan lembaga Pusat
Investasi India di negara maju guna menarik modal asing swasta (Jhingan,1994).

8.2.1.2. Promosi produk UKM dari pemda


Berbagai produk UKM yang berkembang dimasyarakat perlu
disosialisasikan sehingga mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah.
Keterbatasan modal dari pengusaha UKM menyebabkan sosialisasi atau promosi
ini kurang diperhatikan. Produk biji jagung dan hasil olahan jagung yang
merupakan produk andalan daerah ini seperti dodol jagung yang merupakan
industri kecil rumah tangga perlu disosialisasikan sehingga dapat menjadi produk
andalan wilayah yang dapat memberikan nilai tambah pada pendapatan
masyarakat kawasan. Oleh karenanya perlu adanya promosi dari pemerintah
daerah tentang berbagai produk UKM termasuk didalamnya produk olahan jagung
sehingga dapat menjadi daya tarik bagi ekonomi kawasan dan mendorong
ekonomi wilayah.
136

8.2.1.3. Kampanye peluang berusaha


Selanjutnya untuk lebih mengembangkan perekonomian kawasan, perlu
disosialisasikan atau diinformasikan berbagai peluang usaha dari berbagai skala
usaha yaitu usaha skala kecil, menengah dan besar. Hal ini diperlukan agar
masyarakat dan dunia usaha dapat melihat sektor-sektor mana saja yang dapat
dimasuki dalam agribisnis dan agroindustri jagung, baik dari sektor hulu sampai
ke sektor hilir. Dengan demikian akan membuat makin banyak masyarakat lokal
dan investor luar daerah untuk tertarik dan berinvestasi di Kabupaten Pohuwato.

8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi


8.2.2.1. Pelayanan perijinan satu atap
Proses pelayanan publik yang berbelit dengan birokrasi yang rumit
menjadi faktor penghalang dalam masuknya investasi disuatu daerah. Di
Kabupaten Pohuwato hal ini sering menjadi permasalahan, dimana panjangnya
birokrasi dan lamanya dalam pengurusan perijinan menjadi penghambat bagi
investor untuk berinvestasi. Belum adanya investor yang berinvestasi dalam
sektor agribisnis dan agroindustri jagung menjadi tantangan bagi Pemerintah
Daerah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada. Untuk memudahkan proses
penyelenggaraan perijinan agar lebih efisien dan efektif diperlukan pelayanan
perijinan satu atap sehingga calon investor merasa dimudahkan dan tertarik untuk
berinvestasi di Kabupaten Pohuwato, disamping itu perlu adanya ransangan
insentif bagi investor yang berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri jagung.

8.2.2.2. Kualitas dari fasilitas pendidikan


Rendahnya kualitas pendidikan di kabupaten Pohuwato terutama
disebabkan kaena : (1) Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara
kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten
Pohuwato, tingkat kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD
90,46% untuk SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% (2)
kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar yang masih belum
mencukupi secara memadai, dan (4) biaya operasional pendidikan yang belum
tersedia secara memadai. Disamping itu banyaknya jumlah sekolah yang berada
dalam keadaan rusak menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit.
137

Pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah


dengan memberikan perhatian yang lebih pada sektor ini dengan cara
mengalokasikan dana yang lebih untuk sektor ini sehingga pemerintah dapat
menyediakan pelayanan pendidikan dasar cuma-cuma bagi masyarakat
prasejahtera atau masyarakat miskin dengan kualitas fasilitas pendidikan yang
baik. Selanjutnya meningkatkan, memperluas dan memeratakan pendidikan dan
kesempatan belajar terutama didaerah terpencil dan masyarakat miskin. Dengan
demikian maka masyarakat desa dapat tetap berada di desa karena ketersediaan
pendidikan sudah dapat diperoleh di desa.

8.2.2.3.Fasilitas umum dan sosial


Belum tersedianya fasilitas umum dan sosial yang memadai diseluruh
kecamatan merupakan permasalahan yang banyak terdapat di Kabupaten
Pohuwato. Minimnya fasilitas kesehatan dan sarana prasarana rekreasi dan
olahraga, sangat berpengaruh terhadap produktivitas masyarakat desa karena
masyarakat yang sehat akan menghasilkan kinerja yang baik dan berkontribusi
terhadap pembangunan kawasan. Belum baiknya fasilitas jalan dan jembatan
menjadi masalah dalam masyarakat karena terkait dengan mata pencaharian dari
sebagian besar masyarakat. Karenanya salah satu usaha untuk meningkatkan
pengembangan ekonomi lokal adalah dengan melengkapi pengadaan fasilitas
umum dan sosial yang lebih berkualitas bagi masyarakat desa. Diharapkan
dengan tersedianya fasilitas-fasilitas ini maka ketersediaan tenaga kerja yang
berkualitas dapat tersedia sehingga menghasilkan kinerja yang baik dalam
kegiatan proses produksi agribisnis dan agoindustri jagung.

8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan


8.2.3.1.Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan
(agropolitan)
Belum maksimalnya kinerja agropolitan di Kabupaten Pohuwato
disebabkan karena belum belum adanya koordinasi yang baik dari berbagai
instansi yang terkait dengan agropolitan. Disamping itu masyarakat sebagai faktor
kunci pelaksanaan agropolitan memegang peran besar dalam keberhasilan
pengembangan ekonomi lokal di kabupaten pohuwato. Semangat, motivasi dan
138

kemauan keras dari mayarakat serta koordinasi yang baik dari berbagai elemen
dalam pemeritahan dan dunia usaha merupakan sinergi yang dapat membawa
kinerja agropolitan lebih baik lagi kedepan. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan terlihat bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan
Kabupaten Pohuwato masih pada taraf pengembangan sentra produksi pertanian.
Masalah ketersediaan lapangan disektor non pertanian, permukiman penduduk,
sanitasi dan infrastrukur urban lainnya belum banyak tersedia di perdesaan.
Karenaya perlu lebih diintensifkan lagi pengembangan sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial yang memadai sehingga masyarakat pohuwato dapat merasa
nyaman berada di Pohuwato karena berbagai fasilitas yang tersedia sehingga
dapat menekan laju migrasi penduduk ke kota.

8.2.3.2.Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda


Permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Pohuwato sebagai kabupaten
pemekaran baru masih sangat kompleks. Aspirasi untuk memisahkan diri menjadi
kabupaten baru merupakan salah satu semangat dari masyarakat dan pemerintah
untuk terus mengembangkan daerahnya. Namun egosentris daerah masih melekat
dalam pemerintahan Kabupaten Pohuwato. Otonomi Daerah memang dapat
membuat suatu kabupaten dapat berkembang cepat karena keputusan mengenai
pengelolaan daerah dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah, tidak tergantung
pada intervensi pusat. Namun di satu sisi dapat pula membuat daerah stagnan, jika
Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan dan pembangunan tanpa melihat
keterkaitan dengan daerah lain dalam hal ini keterkaitan regional. Kerjasama
regional sangat diperlukan dalam pengembangan ekonomi lokal karena dengan
adanya kerjasama maka alokasi dana pembangunan dapat dilakukan lebih efisien
dan efektif. Perlu didorong kerjasama dengan kabupaten lain misalnya Kabupaten
Boalemo terkait dengan produksi jagung sehingga dapat memenuhi skala ekonomi
dan produksi. Sehingga kontinuitas produk dapat terjaga dan kelangsungan
agribisnis dapat berkesinambungan.
139

8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan

8.2.4.1.Jumlah perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk


dan pasar
Belum berkembangnya industri pengolahan produk, menyebabkan jumlah
perusahan yang melakukan inovasi produk belum berkembang di Kabupaten
Pohuwato. Kondisi eksisting yang ada terlihat bahwa produk unggulan jagung
masih memiliki pasar yang terbatas, dimana konsentrasi pemerintah masih tertuju
sebagai produk eksport dalam bentuk biji jagung. Padahal jagung dapat
dikembangkan menjadi produk olahan yang memiliki prospek yang besar melalui
diversifikasi produk. Oleh karenaya, perlu dikembangkan keberagaman produk
sehingga pasar menjadi semakin terbuka. Hal ini dapat mendorong pengembangan
ekonomi lokal kearah yang lebih baik. Disamping itu, terlihat bahwa pasar
komoditas jagung lebih banyak memenuhi permintaan luar kawasan baik secara
regional maupun internasional. Padahal diketahui bersama selain sebagai bahan
baku industri, jagung merupakan bahan pangan dan merupakan makanan pokok
masyarakat Gorontalo yaitu beras jagung yang dalam bahasa lokal sebagai
Baalobinthe. Namun karena adanya ’politik perberasan’ menyebabkan beras
menjadi superior dibandingkan beras jagung sehingga posisinya menjadi
termarginalkan. Dengan semakin baiknya image jagung sekarang ini sangat
membuka peluang pengembangan pasar lokal untuk komoditas ini sebagai bahan
pangan. Karena itu perlu diarahkan penggunaan pangan alternatif beras jagung
sebagai makanan pokok masyarakat sehingga dapat merangsang investasi industri
penggilingan beras jagung di tingkat masyarakat .

8.2.4.2.Kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan


kesejahteraan masyarakat lokal
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pengembangan ekonomi lokal
di Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Namun demikian tingkat
pendapatan masyarakat Pohuwato masih rendah jika dibandingkan dengan daerah
lainnya.. Karena itu diperlukan upaya-upaya memaksimalkan potensi ekonomi
daerah sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat Pohuwato secara
keseluruhan. Perlu adanya fokus terhadap program-program yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat petani
140

dengan mengadakan berbagai pelatihan–pelatihan baik dalam budidaya maupun


dalam kewirausahaan. Perlu lebih diperhatikan usaha-usaha kecil masyarakat dan
perlu dirangsang penciptaan usaha-usaha baru oleh masyarakat lokal dengan
memanfaatkan sumber daya lokal.

8.2.4.3.Jumlah perusahaan yang memiliki business plan


Masih belum berkembangnya industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato
menyebabkan kurangnya investasi di Kabupaten Pohuwato, hal ini berdampak
pada kurangnya jumlah perusahaan yang memiliki business plan. Ke depannya
perlu dirangsang masuknya investasi swasta yang memiliki perencanaan bisnis
yang matang dan memiliki keterkaitan kedepan dan kebelakang yang besar
dengan basis pertanian yang ada di Kabupaten Pohuwato.

8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan


8.2.5.1.Manfaat asosiasi /organisasi bagi anggotanya
Berdasarkan fakta dilapangan terlihat bahwa berkembangnya kelembagaan
atau organisasi petani yaitu kelompok tani dan KUD belum banyak memberikan
manfaat pemberdayaan bagi masyarakat petani. Keberadaan kelembagaan tersebut
belum dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai sarana atau wadah untuk
menguatkan eksistensi petani sebagai produsen penghasil komoditi andalan
jagung. Akan tetapi keberadaan kelompok tani baru sebatas sebagai sarana bagi
kelembagaan penyuluh untuk menyampaikan informasi pengusahaan usaha tani
dan sebagai alat kontrol bagi pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan
yang ada.
Keadaan ini menyebabkan manfaat organsisasi belum dirasakan oleh
anggotanya. Kedepanya perlu ditumbuhkan motivasi dan keinginan dari petani
agar dapat memanfaatkan organisasi yang ada sebagai wadah penguatan posisi
petani dalam menegosiasikan harga produk jagung melalui asosiasi petani jagung
atau sejenisnya.

8.2.5.2.Peran asosiasi industri/komoditi terhadap perbaikan kebijakan


pemerintah dibidang Pel
Karena manfaatnya belum dapat dirasakan oleh anggotanya,
menyebabkan peran dari asosiasi ini belum banyak bermanfaat terhadap perbaikan
141

kebijakan pemerintah. Ini disebabkan karena kelembagaan kebanyakan hanya


dibentuk sebagai syarat perlu saja bagi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan
atau programnya, sehingga kehadirannya belum banyak berkontribusi. Oleh
karenanya perlu di perkuat eksistensi dari berbagai kelembagaan yang ada agar
dapat keberadaannya dapat bermanfaat bagi anggotanya sehingga secara tidak
langsung melalui wadah ini masyarakat dapat berkontribusi terhadap perbaikan
kebijakan di bidang pel.

8.2.5.3.Prosedur pelayanan administrasi publik


permasalahan yang dihadapi Kabupaten Pohuwato adalah masih lemahnya
prosedur pelayanan administrasi publik, dimana masih banyaknya terjadi
penyimpangan. Biaya pengurusan KTP yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku
merupakan salah satu masalah yang perlu diatasi. Tingginya biaya pengurusan dan
lama pengurusan administrasi publik menjadi wacana yang harus mendapat
perhatian pemerintah.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan sanksi pagi
petugas yang melakukan pelanggaran serta menginformasikan kepada masyarakat
bagaimana prosedur yang seharusnya dalam setiap pengurusan pelayanan
administrasi publik seperti pengurusan KTP, akte, maupun ijin berusaha.

8.2.6. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen


8.2.6.1.Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan Pel
Permasalahan yang terkait di Kabupaten Pohuwato adalah masih
minimnya kesadaran dari masing-masing stakeholder terhadap upaya
pengembangan ekonomi lokal. Rendahnya kualitas SDM stakeholder merupakan
salah satu faktor penyebab hal ini bisa terjadi. Sebagian masyarakat masih
beranggapan bahwa urusan ekonomi merupakan tanggungjawab pemerintah dan
pelaku usaha. Padahal masalah pengembangan ekonomi merupakan
tanggungjawab seluruh komponen masyarakat.

8.2.6.2.Analisis dan pemetaan potensi ekonomi


Tidak adanya pemetaan potensi ekonomi merupakan salah satu masalah
yang ada di Kabupaten Pohuwato. Padahal analisis dan pemetaan potensi ekonomi
merupakan salah satu panduan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan
142

pembangunan daerah supaya terarah dan tepat sasaran. Oleh karenanya


pengadaan analisis dan pemetaan potensi ekonomi Daerah perlu dilakukan dan
disosialisasikan serta dijabarkan kepada masing-masing instansi terkait sehingga
dapat dirancang kebijakan yang sesuai dengan analisis dan peta potensi daerah.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang dampak agropolitan basis
jagung di Kabupaten Pohuwato dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Program agropolitan basis jagung meningkatkan perekonomian wilayah
Kabupaten Pohuwato melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah.
Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung di Kabupaten
Pohuwato mampu menarik atau menggerakkan sektor industri pengolahan,
listrik dan air besih sebagai sektor sekunder dan sektor perdagangan
sebagai sektor tersier sehingga dapat memberikan multiplier effect yang
besar terhadap total perekonomian wilayah. Akan tetapi secara kompetitif
sektor-sektor unggulan seperti sub tanaman bahan makanan, komoditi
jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing
yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah.
2. Program agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato, meningkatkan
pendapatan usahatani petani di kawasan agropolitan melalui kegiatan
penyuluhan, tersedianya infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga
dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan pendapatan
usahatani di kawasan non agropolitan. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan usahatani non
agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun dan Rp5.506.966,-
per ha/tahun.
3. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan tingkat
partisipasi Arnstein berada pada tingkat konsultasi. Hal ini berarti bahwa
partisispasi masyarakat masih sebatas pada taraf pelaksana saja karena
masyarakat masih belum banyak dilibatkan dalam taraf perencanan
program. Program agropolitan masih sangat bersifat top down karena
intervensi pemerintah dalam setiap kegiatan masih sangat dominan.
4. Berdasarkan hasil analisis program agropolitan sedikit banyak sudah dapat
mendorong pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Status
PEL di Kabupaten Pohuwato digolongkan dalam kategori baik. Untuk
144

mengembangkan dan meningkatkan pengembangan ekonomi lokal


dikawasan agropolitan diperlukan beberapa strategi yaitu : (1)
pembentukan pusat layanan investasi (2) peningkatan Promosi UKM dan
Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda (3) upaya diversifikasi produk
dan pasar (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap (5) perbaikan
fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial (6)
mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan
(Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah (8)
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat

9.2. Saran
1. Pengembangan Agropolitan memerlukan kerjasama lintas sektoral dan
sinkronisasi kebijakan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
2. Perlu dibentuk pusat pelayanan investasi terlebih khusus investasi jagung
untuk menarik investor menanamkan modalnya di kawasan pengembangan,
serta meningkatkan kebijakan yang merangsang masuknya investasi swasta.
3. Mengoptimalkan kerjasama dengan kabupaten lain terkait penggunaan
infrastruktur dan pengembangan agropolitan jagung baik untuk memenuhi
kontinuitas produksi maupun dari segi pemasaran melalui kegiatan-kegiatan
pelatihan, magang dan studi banding misalnya dengan Kabupaten Boalemo.
4. Kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi dengan
melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan sampai proses monitoring
dan evaluasi. Perlu adanya pendampingan yang efektif untuk setiap kegiatan-
kegiatan produktif dalam masyarakat sampai masyarakat betul-betul menjadi
masyarakat yang mandiri.
5. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar instasi dalam
pemerintah maupun pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat petani
dalam pengembangan agropolitan sehingga sarana-prasarana yang ada dapat
dimanfaatkan dengan efisien, misalnya dengan menjalin koordinasi yang baik
dengan Dinas Perhubungan untuk pengoperasian terminal di Kecamatan
Randangan.
145

6. Perlu adanya pengawasan dalam pelaksanaan RTRW agar keberlanjutan


agropolitan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat terjaga serta perlu
adanya revisi terhadap masterplan agropolitan sesuai dengan rencana
pengembangan pusat-pusat produksi, pengolahan dan pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah.

Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah.

2002. Penjelasan Program Strategi Nasional Bidang Pengembangan


Perkotaan dan Perdesaan, Bahan Sosialisasi Agropolitan Tingkat Propinsi
dan Kabupaten. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

2002. Pedoman Umum Pengembangan Agropolitan dan Pedoman


Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.

2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007


tentang Penataan Ruang

Ahmad, W.M. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Pembangunan di Tingkat


Komunitas. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial


melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-kota Menengah
dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan
Pengembangan Perdesaan Bogor.

Anwar, A. 2006. Pembangunan Mikropolitan dalam Mendorong Kegiatan Sektor


Pertanian dan Sektor Komplemennya di Wilayah Perdesaan. pp 101-109. in
Rustiadi, et al. (2006), Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan Desa-
Kota Berimbang. Crespent Press.

Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Jaip Vol .35 No, 4. pp
216-224.

Bappenas. 2006. Panduan Nasional Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal


(PEL). Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.
Jakarta.

2006. Manual Operasional Penentuan Status dan Faktor Pengungkit


PEL. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Jakarta.

BPS Provinsi Gorontalo, 2007. Propinsi Gorontalo Dalam Angka 2007.


Kerjasama BPS dan Bappeda Gorontalo.
147

BPS Kabupaten Pohuwato, 2006. Pohuwato Dalam Angka 2006. Kerjasama BPS
dan Bappeda Kabupaten Pohuwato.

Bustaman, S. dan Susanto, N.A. 2003. Potensi Lahan dan Alternatif Komoditas
Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Pada Setiap Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Ambon

Darmawan Arya. Setiahadi. Pribadi, D.O. Iman Laode. 2003. Studi Kebijakan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan.
Kementerian Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2007. Mewujudkan Revitaslisasi


Pertanian Melalui Pembangunan 9 (sembilan) Pilar Agropolitan Menuju
Pertanian Modern di Gorontalo. Gorontalo.

Djakapermana,R.E. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka


Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik
Indonesia.Jakarta.

Douglas, M. 1986. Regional Networks Development UNHCS-Bappenas

Friedman, J. and M. Douglas. 1975. Development : Toward a New Strategy for


Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre.Nagoya.Japan.

Harahap MK. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan


Mangrove. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Hastoto, E. 2003. Analisis Disparitas Pembangunan Regional di Provinsi Sulawesi


Utara dan Provinsi Gorontalo. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Haeruman, H, Js. 2000. Pembangunan Daerah Melalui Pengembangan Wilayah.


Prosiding Diseminasi dan Diskusi Progran-Program Pengembangan
Wilayah dan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Bogor.

Jhingan, M.L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor.

Muhammad, F. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah.


Kompas Gramedia. Jakarta.

Nasution, L. 2004. Agropolitan dan Permasalahan Pertanahan Perdesaan dan


Pertanian. Seminar Nasional Pengembangan agropolitan sebagai Strategi
Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. IPB.Bogor.
148

Pranonto, S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model


Pengembangan Agropolitan. Disertasi. IPB. Tidak dipublikasikan.

Pribadi, D.O. 2005. Pembangunan Agropolitan melalui Pengembangan Kota-kota


Kecil Menengah,Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan
Akses Masyarakat Terhadap Lahan. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap


Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia.
Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Rodinelli, D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial


Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London.

Rompon, M.S. 2006. Kajian Pengembangan Sektor Pariwisata Dalam Rangka


Meningkatkan Keragaan Perekonomian Wilayah Kabupaten Tana Toraja.
Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan.

Rustiadi, et. al. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional


Berimbang. P4W IPB dan Bapenas. Bogor.

Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan
Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta.

Rustiadi, et. al. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah
Tata Ruang. Program Studi PWD, Pasca Sarjana IPB.Bogor.

Rustiadi, E., Hadi, S. 2006. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi


Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang.pp1-31.in Rustiadi
et al (2006) Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan Desa-Kota
Berimbang. Crespent Press.

Rustiadi , E. 2007. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam


Mendukung Konsep Agropolitan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya
Menuju Desa 2030. LPPM. IPB.

Rustiadi, E., Dardak, E.E. 2008. Agropolitan : Strategi Pengembangan Pusat


Pertumbuhan pada Kawasan Perdesaan. Crestpent Press.

Sadjad , S. 2004. Desa itu Industri. Makalah pada Workshop Agropolitan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Saefulhakim, S. 2001. Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada


Lokakarya Pembahasan Kriteria Kerusakan Hutan, Lahan dan Air di Jawa
Barat. Bogor.

Saefulhakim, S. 2004. Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan


Ekonomi Regional melalui Keterkaitan Desa-Kota. Makalah Workshop
“Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan
Wilayah secara Berimbang”. Bogor.
149

Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. 2005.


Advisory Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun
Fasilitasi. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Suwandi. 2004. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Perdesaan di Kawasan


Agropolitan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Tim Pusat Pengkajian Perncanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W). 2002.


Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-Regional Berimbang.
Bappenas dan Fakultas Pertanian IPB Bogor.

Yudhohusodo, S .2002 Laporan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Jakarta.


LAMPIRAN
Lampiran 1

PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000


MENURUT LAPANGAN USAHA ( Dalam Jutaan )
TAHUN 2000 - 2006
LAPANGAN USAHA Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 216.831.500 225.685.700 232.973.400 240.387.300 247.163.600 253.726.000 261.296.800
a. Tanaman Bahan Makanan 112.355.600 113.019.600 115.925.500 119.164.800 122.611.700 125.801.800 129.211.200
- Jagung * 9.117.832 9.729.490 10.604.571 11.878.850 12.789.256 19.481.366 16.148.182
- Padi * 47.507.932 59.594.183 74.402.607 75.390.975 78.211.924 62.234.364 98.849.196
PERTAMBANGAN DAN 167.692.200 168.244.300 169,932,000 167.603.800 160.100.500 165.085.400 168.729.900
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 385.597.900 398.323.900 419,388,100 441.754.900 469.952.400 491.421.800 514.192.200
LISTRUK, GAS DAN AIR
BERSIH 8.393.800 9.058.300 9,868,200 10.349.200 10.897.600 11.584.100 12.263.600
BANGUNAN 76.573.400 80.080.400 84,469,800 89.621.800 96.334.400 103.483.700 112.762.200
PERDAGANGAN, HOTEL DAN 224.452.200 234.273.000 243,409,300 256.516.600 271.142.200 293.877.200 311.903.500
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 65.012.100 70.276.100 76,173,200 85.458.400 96.896.700 109.467.100 124.399.000
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN & 115.463.000 123.085.500 130,928,100 140.374.400 151.123.300 161.384.300 170.495.600
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 129.753.800 133.957.400 138,982,300 145.104.900 152.906.100 160.626.500 170.612.100
TOTAL PDRB 1.389.769.900 1.442.984.600 1,506,124,400 1.577.171.300 1.656.516.800 1.750.656.100 1.846.654.900
Sumber : - BPS
* merupakan data hasil proksi
Lampiran 2

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000


PROVINSI GORONTALO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 – 2006
( Dalam Jutaan )
LAPANGAN USAHA TAHUN
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 458.526,55 490.838,68 533.707,94 557.677,66 575.307,36 618.182,00 667.260,00
Tanaman Bahan Makanan 191.290,64 198.468,02 219.218,40 239.243,33 260.353,32 283.917,00 310.060,00
- Jagung * 44.680,87 43.082,16 42.238,45 59.667,79 65.573,02 129.728,92 134.974,55
- Padi * 96.260,62 90.916,80 84.403,53 87.073,85 90.230,68 92.669,01 106.471,49
PERTAMBANGAN DAN 11.254,89 12.923,08 14.614,92 16.871,44 17.438,24 19.121,56 21.274,00
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 182.508,95 158.145,31 166.851,96 175.163,11 184.178,38 192.881,75 181.447,00
LISTRIK, GAS DAN AIR
BERSIH 8.384,73 9.462,84 10.196,98 10.545,61 11.803,95 12.446,23 12.640,00
BANGUNAN 118.970,00 122.136,54 126.673,28 136.056,51 142.125,89 148.999,86 167.512,00
PERDAGANGAN, HOTEL
DAN 240.435,72 248.651,84 257.727,97 262.172,86 268.829,67 281.981,00 301.344,00
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 139.861,31 158.274,83 145.180,38 152.937,82 187.254,42 204.780,61 224.738,00
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN
& 96.520,00 101.670,13 116.897,16 148.772,95 178.719,35 172.323,00 185.139,00
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 216.812,58 252.868,50 283.477,31 308.990,03 326.106,02 377.00700 414.462,00
TOTAL PDRB 1.473.274,72 1.554.971,75 1.655.327,91 1.769.187,99 1.891.763,26 2.027.723,01 2.175.816,00
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Prov.Gorontalo
Lampiran 3
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000
KABUPATEN BOALEMO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2006
( Dalam Jutaan )
Tahun
LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PERTANIAN 68.061,20 72.884,13 79.132,11 86.948,70 92.296,50 98.975,56 103.882,53
Tanaman Bahan Makanan 25.262,15 30.363,45 35.479,85 44.579,37 51.032,88 58.035,71 62.427,79
- Jagung* 16.262,00 19.918,00 20.181,00 29.329,00 33.588,00 27.411,00 25.355,00
- Padi * 7.290,00 8.762,00 11.701,00 12.620,00 14.799,00 23.911,00 28.373,00
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 1.068,87 1.181,85 1.206,28 1.232,56 1.112,05 1.078,74 1.127,76
INDUSTRI PENGOLAHAN 10.983,85 11.123,50 12.039,46 12.402,70 12.794,71 12.982,30 13.643,44
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 447,24 653,38 785,20 1.198,23 1.363,11 1.529,28 1.572,12
BANGUNAN 18.855,35 19.612,84 20.149,62 20.987,84 18.279,38 18.180,97 18.839,12
PERDAG., HOTEL & RESTORAN 19.588,44 22.811,11 23.516,33 23.910,03 28.986,46 33.378,29 36.501,52
PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 9.990,42 9.988,39 10.410,48 10.711,38 11.070,68 10.942,78 11.706,27
KEU. PERSEWAAN, & JASA
10.015,51 10.933,40 12.459,01 14.620,81 17.113,68 16.896,73 21.078,58
PERUSAHAAN
JASA-JASA 36.884,49 37.031,14 38.771,77 39.594,21 41.654,50 44.806,48 46.285,57
TOTAL PDRB 175.895,37 186.219,73 198.470,26 211.606,46 224.671,07 238.771,13 254.636,91
Sumber : BPS Kabupaten Boalemo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Boalemo
153

Lampiran 4

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO


ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000
KABUPATEN POHUWATO MENURUT LAPANGAN USAHA
TAHUN 2004 – 2006 ( Dalam Jutaan )

LAPANGAN USAHA Tahun


2004 2005 2006
PERTANIAN 169.276 172.432 180.220
a. Tanaman Bahan Makanan 73.441 81.633 86.240
- Jagung * 60.953 66.255 74.732
- Padi * 10.017 13.546 8.066
PERTAMBANGAN DAN 2.512 2.616 2.682
PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN 22.551 23.945 24.362
LISTRIK, GAS DAN AIR
BERSIH 2.660 2.963 3.407
BANGUNAN 27.415 28.778 31.993
PERDAGANGAN, HOTEL DAN 51.042 66.454 67.364
RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN 11.969 12.228 13.187
KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN
DAN 26.156 27.694 31.213
JASA PERUSAHAAN
JASA-JASA 26.887 28.004 37.160
TOTAL PDRB 340.467 365.116 391.587
Sumber : BPS Kabupaten Boalemo
* NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Pohuwato
154

Lampiran 5

Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung


Kawasan Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan
Non Agropolitan (Kecamatan Taluditi)

Agropolitan Non Agropolitan


Nomor (Kecamatan Randangan) (Kecamatan Taluditi)
Responden Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan
(Rp/Ha) Per Tahun (Rp/Ha) Per Tahun
(Rp/Ha) (Rp/Ha)
1 5.895.000 11.790.000 2.730.000 5.460.000
2 6.515.000 13.030.000 3.525.000 7.050.000
3 4.126.000 8.252.000 3.242.500 6.485.000
4 6.225.000 12.450.000 2.085.000 4.170.000
5 5.579.000 11.158.000 2.110.000 4.220.000
6 4.876.000 9.752.000 3.007.500 6.015.000
7 4.116.250 8.232.500 3.233.000 6.466.000
8 5.600.000 11.200.000 2.015.000 4.030.000
9 4.227.500 8.455.000 2.425.000 4.850.000
10 5.908.000 11.816.000 3.037.000 6.074.000
11 3.924.000 7.848.000 2.720.000 5.440.000
12 5.049.000 10.098.000 2.670.000 5.340.000
13 4.656.500 9.313.000 2.340.000 4.680.000
14 5.109.000 10.218.000 2.025.000 4.050.000
15 4.539.000 9.078.000 2.926.000 5.852.000
16 5.593.000 11.186.000 3.040.000 6.080.000
17 3.910.000 7.820.000 2.899.000 5.798.000
18 3.733.000 7.466.000 3.145.000 6.290.000
19 4.002.500 8.005.000 2.544.000 5.088.000
20 5.330.000 10.660.000 4.150.000 8.300.000
21 7.040.000 14.080.000 2.889.000 5.778.000
22 5.341.500 10.683.000 2.960.000 5.920.000
23 3.807.500 7.615.000 2.814.000 5.628.000
24 5.285.000 10.570.000 3.330.000 6.660.000
25 5.622.500 11.245.000 2.590.000 5.180.000
26 5.447.500 10.895.000 2.207.500 4.415.000
27 4.577.500 9.155.000 2.290.000 4.580.000
28 5.200.000 10.400.000 2.012.500 4.025.000
29 4.250.000 8.500.000 2.675.000 5.350.000
30 5.715.000 11.430.000 2.967.500 5.935.000
Jumlah 151.200.250 302.400.500 82.604.500 165.209.000
Rata-rata 5.040.008,33 10.080.016,67 2.753.483,33 5.506.966,67
155

Lampiran 6

Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan

Two-sample T for Agropolitan vs Non-agropolitan

N Mean StDev SE Mean


Agropolitan 30 10080017 1727609 315417
Non-agropolitan 30 5506967 1000130 182598

Difference = mu (Agropolitan) - mu (Non-agropolitan)


Estimate for difference: 4573050
95% CI for difference: (3839434, 5306666)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 12,55 P-Value = 0,000
DF = 46
156

Lampiran 7 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan


Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
A Aspek Komunikasi
1 Apakah anda mendapatkan informasi tentang adanya pelaksanaan
pengembangan apropolitan
a. Tidak 1 10 0,3 3 33.3
b. Ya 4 20 0,3 24 66.7
27
Dalam forum apa keputusan diambil dalam lingkungan
2 desa
a. Tidak ada 1 5 0,2 1 16.7
b. Diskusi perorangan 2 3 0,2 1,2 10.0
c. Diskusi dalam kelompok tani 3 15 0,2 9 50.0
d. Diskusi dalam forum desa 4 7 0,2 5,6 23.3
16,8
3 Menurut anda berapa orang yang tahu dan diajak berembuk
menngenai sebuah proyek yang akan berlangsung di lingkungan
anda (a.l. agropolitan)
a. Dibawah 10 % 1 5 0,3 1,5 16.7
b. Antara 10 - 30 % 2 7 0,3 4,2 23.3
c. Antara 30 - 50 % 3 16 0,3 14,4 53.3
d. Lebih dari 50 % 4 2 0,3 2,4 6.7
22,5
4 Seberapa besar intervensi dari aparat terhadap proses fasilitasi
program?
a. Sangat Dominan 1 7 0,2 1,4 23.3
b. Dominan 2 8 0,2 3,2 26.7
c. Tidak terlalu Dominan 3 10 0,2 6 33.3
d. Tidak Dominan 4 5 0,2 4 16.7
14,6
Total 80,9
B Pengetahuan Masyarakat Atas Forum Pengambilan Keputusan
1 Menurut anda apakah perencanaan yang ada dalam pengembangan
agropolitan sudah melibatkan masyarakat ( sdh mencerminkan
konsep partisipatif)
a. Tidak 1 13 0,25 3,25 43.3
b. Ya 4 17 0,25 17 56.7
20,25
2 Apakah anda puas dengan prosedur dan proses pengambilan
keputusan dalam forum perencanaan agropolitan?
a. Tidak puas 1 6 0,25 1,5 20.0
b. kurang puas 2 16 0,25 8 53.3
c. Puas 3 8 0,25 6 26.7
d. Sangat puas 4
15,5
3 Menurut anda apakah dalam perencanaan pengembangan
pembangunan (agropolitan) yang dilakukan selama ini, warga dan
organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat
didalamnya.
a. Tidak tahu 1 4 0,3 1,2 13.3
b. Tahu tapi hanya sedikit 2 18 0,3 10,8 60.0
c. Tahu dan ikut terlibat 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat tahu dan ikut terlibat 4
19,2

4 Jika keputusan diambil dalam kelompok, bagaimana keputusan itu


dibuat?
a. Ditentukan oleh ketua saja 1 3 0,2 0,6 10.0
Didiskusikan dalam kelompok tapi hasil akhir
b. ditentukan oleh 2 4 0,2 1,6 13.3
ketua 0.0
Didiskusikan dan ditentukan oleh sebagian dari
c. forum 3 4 0,2 2,4 13.3
Didiskusikan dan hasil ditentukan oleh seluruh
d. forum 4 19 0,2 15,2 63.3
19,8
157

Total 74,75

Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
c Kontrol Terhadap Kebijakan
Apakan warga dan organisasi masyarakat lainnya dapat
1 dengan
mudah terlibat/ ikut serta dalam forum perencanaan
a. Sangat Sulit 1 9 0,3 2,7 30.0
b. Sulit 2 10 0,3 6 33.3
c. Mudah 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat Mudah 4 3 0,3 3,6 10.0
19,5
Apakah anda pernah memberikan masukan kepada
2 pemerintah atau
pihak yang anda anggap bertanggungjawab untuk merubah prosedur
dan proses pengambilan keputusan
a. Tidak pernah 1 5 0,4 2 16.7
b. Pernah dan tidak mendapat tanggapan 2
c. Pernah dan mendapat sedikit tanggapan 3 8 0,4 9,6 26.7
d. Pernah dan mendapat tanggapan 4 10 0,4 16 33.3
27,6
3 Menurut anda, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan proyek agropolitan
a. Tidak baik 1
b. Cukup baik 2 4 0,3 2,4 13.3
c. Baik 3 7 0,3 6,3 23.3
d. Sangat baik 4 19 0,3 22,8 63.3
31,5
Total 78,6
Lampiran 8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo
159

Lampiran 9 Indikator Komponen Heksagonal PEL

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Kelompok Investor luar Peraturan(Perda/Perkada/SK
Sasaran Ka.SKPD) tentang kemudahan dalam
bentuk:
a. Insentif fiskal
b. Penyerdehanaan Perijinan
c. Penyediaan Lokasi/Lahan
d. Ketenagakerjaan
Informasi prospek bisnis
(buku/booklet/leaflet peluang
investasi, official web site)
Kepastian berusaha dan hukum (a.l.
ijin lokasi usaha, tata ruang, arbitrase,
persaingan usaha, peradilan niaga)
Keamanan(penjarahan, konflik
sosial,premanisme, dan buruh
mogok)
Kampanye peluang usaha melalui :
1. Media massa(media cetak,
elektronik, web site)
2. Kegiatan interaktif(temu
usaha/pameran/seminar potensi
daerah)
Pusat pelayanan investasi dengan jasa
layanan konsultasi investasi
Pelaku Usaha lokal Upaya fasilitasi permodalan bagi
dunia usaha oleh pemda
Promosi produk UKM untuk
memperluas pasar oleh pemda
Upaya pemda untuk peningkatan
teknologi, manajemen, dan
kelembagaan usaha lokal (aspek ijin
usaha, badan hukum, organisasi
usaha)
Pelaku Usaha Baru Fasilitasi pelatihan kewirausahaan
bagi pengusaha baru (kemampuan
teknik dan entrepreneurship)
Pendampingan dan monitoring bisnis
pelaku usaha baru
Insentif pemda dalam bentuk
pemberian dana stimulan dan
keringanan biaya perijinan
Kecepatan pengurusan ijin bagi
investasi baru
160

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Faktor Lokasi Faktor Lokasi Kondisi jaringan jalan
Terukur Akses ke pelabuhan laut
Akses ke pelabuhan udara
Sarana transportasi
Infrastruktur komunikasi
Infrastruktur energi
Upah tenaga kerja dibanding daerah
sekitar
Tenaga kerja terampil
Tenaga kerja terdidik (Jumlah
angkatan kerja lulusan SLTA
dibanding total angkatan kerja)
Jumlah lembaga keuangan lokal
(Bank umum, BPR,LKM,KSP/USP)
Jumlah penyaluran kredit (modal
kerja dan investasi)
perbankan/lembaga keuangan bukan
bank
Iklim perekonomian lokal
Faktor Lokasi Tidak Peran dan kebijakan pemerintah
Terukur provinsi kepada daerah
Peran dan kebijakan pemerintah pusat
kepada daerah
Citra dari lokasi (sentra usaha)
Citra dari kota/kabupaten
Industri yang memiliki mata rantai
lengkap dari hulu ke hilir untuk suatu
komoditas
Peluang kerjasama dalam industri
sejenis maupun dalam industri ulu-
hilir
Lembaga penelitian perguruan tinggi
Lembaga penelitian dan
pengemabngan pemerintah dan
swasta bukan perguruan tinggi
Pelayanan perijinan satu atap
Peluang bekerja bagi tenaga kerja
lokal dibanding dengan pendatang
161

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Faktor Lokasi Faktor Lokasi Tidak Kualitas permukiman
Terukur Individual Kualitas lingkungan
Kualitas fasilitas pendidikan
Kualitas pelayanan kesehatan
Kualitas fasilitas umum dan sosial
Keterkaitan dan Perluasan Ekonomi Kebijakan Peningkatan Investasi
Fokus Kebijakan promosi daerah
Kebijakan Kebijakan persaingan usaha (a.l.
tentang pembatasan lokasi pasar
modern/ supermarket/hypermarket
Kebijakan perbaiakan UKM (a.l.
kemitraan dan subkontrak)
Kebijakan peningkatan peran
Perusahaan Daerah
Kebijakan pengembangan jaringan
usaha antar pelaku ekonomi
Kebiajkan informasi bursa tenaga
kerja
Kebijakan pengembangan keahlian
(peningkatan ketrampilan)
Pemberdayaan Kebijakan pemberdayaan masyarakat
Masyarakat dan berbasis kemitraan dengan dunia
Pengembangan usaha (memanfaatkan dana CSR)
Komunitas Kebijakan pengurangan kemiskinan
secara partisipatif
Pembangunan Kebijakan pembangunan kawasan
Wilayah industri hinterland / industri
Kebijakan pengembangan pusat
pertumbuhan di perdesaan
(agropolitan) dan perkotaan (central
business district)
Kebijakan pengembangan komunitas
sprt: perbaikan lingkungan, perbaikan
kampung
Kebijakan kerjasama antar
daerah/pemda
Keijakan tata ruang PEL
Kebijakan pengembangan jaringan
usaha antar sentra usaha
Sistem industri yang berkelanjutan
(adanya keterkaitan pengadaan bahan
baku, prodksi dan pengolahan)
162

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Pembangunan Ekonomi Perkembangan industri pendukung
Berkelanjutan untuk keberlanjutan sistem industri
Jumlah perusahaan yang telah
memiliki business plan
Jumlah perusahaan yang melakukan
inovasi pengembangan produk dan
pasar
Sosial Kontribusi PEL terhadap peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat lokal
PEL mempertimbangan keberadaan
adat dan kelembagaan lokal
Lingkungan Kebijakan pemecahan permasalahan
lingkungan (a.l. penerapan amdal)
Pengelolaan dan pendaur ulangan
limbah (a.l. produk organik)
Kebijakan konservasi sumber daya
alam dalam PEL
Tata Kemitraan Kemitraan di bidang infrastruktur
Kepemerintahan Pemerintah dan (a.l. BOT)
Dunia Usaha Kemitraan di bidang promosi dan
perdagangan
Kemitraan di bidang pembiayaan
usaha ( a.l : pinkaman, penyaluran
kredit, PKBL)
Reformasi Sektor Reformasi sistem insentif
Publik pengembangan SDM aparatur(a.l.:
remunerasi, jenjang karir
Restrukturisasi organisasi pemerintah
Prosedur pelayanan administrasi
publik :
1. sederhana
2. jelas
3. cepat
4. terjangkau
Pengembangan Status asosiasi industri/komoditi/
Organisasi forum bisnis
Peran asosiasi
industri/komoditi/forum bisnis
terhadap perbaikan kebijakan
pemerintah di bidang PEL
Manfaat asosiasi /organisasi bagi
anggotanya
163

ASPEK SUB ASPEK INDIKATOR


Proses Diagnosa Secara Analisis dan pemetaan potensi
Manajemen Partisipatif ekonomi
Penilaian terhadap daya saing
wilayah
Pemetaan kondisi politis lokal
Identifiaksi stakeholder PEL
Perencanaan dan Penggunaan hasis diagnosis sebagai
Implementasi dasar perencanaan PEL
Partisipatif Jumlah stakeholder yang terlibat
dalam proses perencanaan PEL
Sinkronisasi lintas sektoral dan
spasila dalam proses perencanaan
PEL
Kesesuaian implementasi dengan
perencanaan
Keterlibatan stakeholder dalam
proses penyusunan indikator evaluasi
Monitoring dan Keterlibatan stakeholder dalam
Evaluasi secara proses monitoring dan evaluasi
Partisipatif Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri
(self evaluation)
Frekuensi dilakukan diskusi bagi
proses pemecahan permasalahan
Penggunaan hasil evaluasi dalam
perbaikan perencanaan
164

Lampiran 10 Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan

Lampiran 11 Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri,


BUMD Provinsi Gorontalo
165

Lampiran 12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan

Lampiran 13 Gambar Terminal Randangan

You might also like