Professional Documents
Culture Documents
123dok Analisis+dampak+dan+strategi+pengembangan+agropolitan+basis+jagung+terhadap+perekonomian+wilayah+ser PDF
123dok Analisis+dampak+dan+strategi+pengembangan+agropolitan+basis+jagung+terhadap+perekonomian+wilayah+ser PDF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota
Diketahui
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota
Diketahui
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.
I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah ..……………………..………………….. 6
1.3. Tujuan Penelitian …....……………………………………….. 11
1.4. Manfaat Penelitian …….……………………………………... 11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………….. 12
2 Heksagonal PEL......................................................................... 37
5 Lokasi Penelitian........................................................................ 47
ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini.
Sejak dicanangkan sebagai provinsi pengembangan agropolitan,
perkembangan pembangunan Gorontalo menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi
muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang
menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari
Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat
menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3).
Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah)
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1.Pertanian 542.101,01 660.587,16 804.664,88 853.680,92 981.125,31
2.Pertambangan 14 .591,80 16.074,16 18.621,26 22.668,11 33.195,64
dan Penggalian
3.Industri 189.457,97 186.766,05 197.690,30 232.691,45 50.029,58
Pengolahan
4.Listrik,Gas dan 10.964,53 16.927,87 21.571,03 25.546,01 27.381,55
Air Bersih
5.Bangunan 127.022,00 171.100,04 172.349,21 184.062,42 218.937,40
6.Perdagangan, 272.192,33 330.452,99 348.528,02 371.749,37 410.987,30
Hotel & Rest
7.Pengangkutan 194.147,21 198.063,65 200.320,02 236.354,80 280.828,24
& Komunikasi
8.Keuangan 122.597,97 145.357,30 213.620,95 288.805,96 364.595,77
9.Jasa-jasa 349.749,47 423.086,86 502.354,01 585.985,29 819.785,13
Total 1.822.824,30 2.148.436,09 2.479.719,69 2.801.544,32 3.386.865,92
Sumber : BPS, 2006.
Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja
menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et. al., 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat
beragam (heterogen).
Budidaya - Lindung
Wilayah Sistem/
Sistem ekonomi:
Fungsional Agropolitan, kawasan
produksi, kawasan industri
Sistem ekologi:
Sistem Komplek DAS, hutan, pesisir
Umumnya disusun/dikembangkan
berdasarkan:
Perencanaan/ • Konsep homogen/fungsional:
Pengelolaan KSP, KATING, dan
sebagainya
• Administrasi-politik: propinsi,
Kabupaten, Kota
Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula
dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi,
regional bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah
administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah
administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru
dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman
disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi,
2006).
18
1. Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu
wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding
wilayah yang lain.
Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu
alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan
sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat
mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih,
sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan
SDS yang kurang baik.
Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006),
adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri.
Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya
menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu
menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi
desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki
desa.
Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa
dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk
mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu:
Tahap Pertama :
1. Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).
2. Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.
3. Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk
dari desa ke kota.
4. Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong
ekspor pertanian yang selalu kompetitif.
5. Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan
dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.
Tahap Kedua :
20
penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan
jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah
cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di
sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian
konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang
terintegrasi.
kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas
provinsi.
Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep
agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu
pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui
Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan
agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi
Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra
produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu :
- Jalan-jalan akses (jalan usaha tani)
- Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing)
- Pengairan / jaringan irigasi
- Lembaga penyuluh dan alih teknologi
- Kios-kios sarana produksi
- Pemasaran.
Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu
pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep
agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi
Gorontalo.
kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus
ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat
untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk
melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital
yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.
Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan
adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan
pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan
dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di
tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai
tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan
investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru
(multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan
penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal
(Rustiadi dan Hadi, 2006).
Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh
masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap
pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya.
Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang
terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut
dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public-
private- community partnership.
dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang
canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007).
Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu
dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan.
Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin
keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah
berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya).
Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar
outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya
pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi
dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk
miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta
mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi
produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha.
Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama
dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat
dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau
lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut.
Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam
pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada
agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan
prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih
dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat
lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya
kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan
dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007).
semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di
lapangan.
Dalam kerangka pembangunan pedesaan (rural development), COHEN dan
UPHOFF dalam Darmawan et. al. (2003), memaknai konsep partisipasi sebagai:
“keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam
implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan
menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi
termasuk proses monitoring”.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program,
yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi,
sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. (2003), melihat partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar
pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
(participatory development) dari OECD adalah:
“kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara
beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana
pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini
berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar
dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan
bukan sekedar penerima sebuah program”.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka
pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan
hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-
aktif masyarakat.
Selanjutnya Arnstein, S.R (1969) menggolongkan partisipasi masyarakat
kedalam dalam 8 jenjang yaitu :
1. Manipulasi
2. Terapi
3. Menyampaikan informasi
4. Konsultasi
5. Peredaman (placation)
29
6. Kemitraan / partnership
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Pengawasan masyarakat
Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5
dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan
persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8
dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini
masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek
kebijaksanaan.
Dalam pengembangan kawasan agropolitan itu sendiri, peranan
masyarakat dapat berupa :
1) Perguruan Tinggi
a. Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra
pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan
riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi
diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan
pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha.
2) Lembaga Swadaya Masyarakat
Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan
kritis, sehingga diharapkan:
a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam
pengembangan kawasan agropolitan.
b. LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan
kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan
akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
3) Masyarakat dan dunia usaha:
Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus
didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan
community driven planning. Dengan pendekatan ini diharapkan:
30
b. Pemerintah Provinsi
Kewenangan pemerintah provinsi adalah membantu/memfasilitasi Pemda
Kabupaten/Kota terutama dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya, melaksanakan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Dalam program pengembangan agropolitan ini peranan pemerintah provinsi
adalah :
(1) Merumuskan dan mengkoordinasi rencana program dan kebijakan
pengembangan agropolitan di wilayah provinsi.
(2) Memberikan pelayanan informasi (pasar, teknologi, agroinput,
permodalan, jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta
memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dalam pengembangan
agropolitan.
(3) Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan
pengembangan wilayah.
(4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia
(5) Membantu memecahkan masalah yang diminta oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(6) Membanun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis
c. Pemerintah Pusat
Tugas Pemerintah Pusat adalah membantu Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan program
agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut
lintas provinsi.
Dalam program pengembangan agropolitan, peranan pemerintah pusat adalah :
(1) Menyusun rencana, program dan kebijakan pengembangan agropolitan
dalam bentuk Pedoman Umum program pengembangan agropolitan
beserta pedoman/petunjuk-petunjuk pelaksanaanya.
(2) Merumuskan standar teknis, dan standar minimal terutama untuk sarana
prasarana dan pembiayaan pengembangan agropolitan.
32
pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan
kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan
kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan
juga kemungkinan pemasaran hasil produksi.
Menurut Bustaman dan Susanto (2003), komoditas unggulan merupakan
komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani
baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak
secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona
agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang
berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga
berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi
artinya komoditas tersebut menguntungkan.
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya
bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas
kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).
Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga
dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya
industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik
daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah
sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri,
dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.
6. Proses manajemen
PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa
dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga
(benchmark) dan refleksi.
Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk
mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).
(listrik dan sarana jalan) justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses
desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif.
Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa
Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan
Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi (tahun 2002) sampai dengan tahun ke 3
fasilitasi (tahun 2004) di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum
mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih
pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum
dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun
masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan
program belum dirasakan oleh masyarakat.
Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa
permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masing-
masing sektor dan bidang sebagai berikut:
a. Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya
masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga,
fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan
esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai
masalah ini sangat minim;
c. Rendahnya ketrampilan bisnis (jiwa entreprenuership) dari masyarakat
sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihan-
pelatihan;
d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan
informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini
masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya;
e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di
sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan;
f. Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
40
AGROPOLITAN
Pemberdayaan Pengembangan
Masyarakat Wilayah
Pendapatan Pembangunan
Masyarakat Wilayah
Apakah terjadi
Belum peningkatan ? Ya
Identifikasi
Kebijakan
Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data Primer
Prov.Gorontalo Kab.Boalemo Prov.Gorontalo Kab.Pohuwato Melalui kuesioner
Peran dan Peran dan Peran dan Peran dan Dampak Peran Identifikasi
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan terhadap Masyarakat Prioritas
Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Pendapatan dalam Kebijakan
regional Wil. contoh regional Wil.contoh Masyarakat Agropolitan
Pengembangan ekonomi
Kawasan agropolitan
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian dapat diajukan sebagai berikut :
1. Diduga kontribusi komoditi unggulan jagung menonjol terhadap ekonomi
wilayah Provinsi Gorontalo
2. Pengembangan agropolitan basis jagung memberikan dampak positif
terhadap tingkat pendapatan petani.
IV. METODE PENELITIAN
Lokasi
Penelitian
4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS) dan
Multiplier Long Run(ML)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peranan/pengaruh sektoral dalam
pertumbuhan ekonomi. Disamping itu juga untuk melihat kontribusi jagung
sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Untuk mengetahui
potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat menggunakan
metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.
X ij / X i .
LQij =
X . j / X ..
Dimana :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato untuk
sector ke- j
Xi. = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato total
seluruh sektor
X.j = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo untuk
sector ke- j
X.. = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo total
seluruh sektor
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1 ) maka sektor tersebut
merupakan sektor basis sedangkan jika nilainya sama atau lebih kecil dari satu
(LQ < 1 ) berarti sektor yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada
kegiatan perekonomian wilayah provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
51
1
Ms =
YN
1−
YN + YB
Dengan :
MS = Multiplier Short Run / Pengganda jangka pendek
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
Dan koefisien pengganda jangka panjang dirumuskan sebagai berikut :
1
ML =
Y +I
1− N
YN + YB
Dengan :
ML = Multiplier Long Run / Pengganda jangka panjang
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
I = Investasi
a b c
53
Kaidah keputusan :
Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1)
Bila statistik hitung ≤ tα , maka terima H0 (tolak H1)
Tabel 8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein
Aspek Tingkatan Interval Skor
Penilaian
A. Komunikasi Tidak ada komunikasi 30 52,5 1
Komunikasi satu arah tetapi hanya
sedikit keputusan publik yang bisa 52,5 75 2
diklarifikasi
Komunikasi telah cukup, namun 75 97,5 3
masih bersifat satu arah
Ada dialog 97,5 120 4
B. Pengetahuan Tidak Tahu 30 52,5 1
masyarakat
Tahu 52,5 75 2
terhadap proses
pengambilan Mempengaruhi 75 97,5 3
keputusan
Berperan Besar 97,5 120 4
C. Kontrol Tidak ada 30 52,5 1
masyarakat
Hanya bisa memberikan komentar
terhadap
(less control power) 52,5 75 2
kebijakan
publik Bisa memberikan kritikan dan
masukan (Has power) 75 97,5 3
Bisa mengontrol sepenuhnya
(control powerly) 97,5 120 4
56
infrastruktur
Industri hilir Industri hulu
Sweetener Benih/
(Pemanis Pemuliaan
Starch Jagung
(Tepung) Pupuk
Bioproduct R&D,Diklat/workshop
Pengujian&sertifikasi
Corn oil
Jasa handling,
Asuransi/ Penyimpanan
Perbankan
Pakan ternak
Jasa Perbengkelan
3 Kelurahan. Adapun nama kecamatan, jumlah desa dan luas wilayah dapat dilihat
pada Tabel 10.
1 Popayato 1.392,90 15
2 Lemito 807,58 11
3 Randangan 449,82 10
4 Marisa 331,90 15
5 Paguat 803,32 12
6 Taluditi 159,97 6
7 Patilanggio 298,82 4
Jumlah 4.244,31 73
Sumber : Profil Kabupaten Pohuwato, 2006
5.2.2.2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan yaitu dengan
mencanangkan berbagai program seperti program wajib belajar, gerakan nasional
orang tua asuh, bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lain. Diharapkan
dengan program ini akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam
era globalisasi mendatang.
63
Tabel 14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006
7,3
7,24 7,25
7,2
7,1
7 Laju pertumbuhan
6,93 6,95
6,9
6,8
6,7
2003 2004 2005 2006
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
66
Sektor Pertumbuhan ( %)
2004 2005 2006
Pertanian 6,18 1,86 4,52
Pertambangan & Penggalian 4,33 4,16 2,50
Industri Pengolaha 7,94 6,18 1.74
Listrik, Gas dan Air Bersih 4,04 11,41 14,98
Bangunan 5,47 4,97 11,17
Perdagangan dan Akomodasi 5,77 30,17 1,37
Angkutan dan Komunikasi 7,54 2,17 7,84
Keuangan & Jasa Perusahaan 15,96 5,88 12,70
Jasa-jasa 6,99 4,15 32,69
PDRB 6,95 7,24 7,25
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
Pada tahun 2006, pertumbuhan yang paling besar dialami oleh sektor jasa-
jasa yaitu sebesar 32,69 persen jauh melesat dari tahun 2005 yang hanya 4,16
persen. Kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju
pertumbuhan sebesar 14,98 persen. Sektor yang mengalami kenaikan terendah
pada tahun 2006 adalah perdagangan dan akomodasi yaitu hanya sebesar 1,37
persen.
1 Sawah 140
2 Pekarangan 985
3 Tegalan/Kebun 863
4 Ladang/Huma 1.630
5 Perkebunan 594
6 Hutan Rakyat 1.115
7 Hutan Negara 29.177
8 Lain-lain Penggunaan 10.378
Total Luas Lahan 44.982
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006
Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa komoditi Jagung dan Padi
merupakan komoditi basis di Provinsi Gorontalo. Jagung sebagai komoditi
unggulan daerah merupakan sektor basis dimana nilai LQ jagung sebelum
agropolitan tahun 2000 sampai 2002 nilai LQ jagung mengalami trend yang
cenderung menurun yaitu bernilai 4,62 tahun 2000, dan 3,62 tahun 2002. Namun
setelah program agropolitan bergulir trend LQ komoditi jagung mulai mengalami
peningkatan yaitu bernilai 4,48 tahun 2003 dan 6,34 tahun 2006. Peningkatan nilai
LQ komoditi jagung disebabkan karena terjadinya perluasan lahan jagung dan
peningkatan produksi jagung, dimana dari tahun 2001 produksi jagung adalah
sebesar 81.720 ton meningkat menjadi 416.222 ton pada tahun 2006. Nilai LQ
komoditi jagung sempat mengalami penurunan pada tahun 2004. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena turunnya ekspor komoditi jagung pada tahun
2004 yang hanya mencapai 12.310 ton.
Tabel 27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo 2001 - 2007
No Tahun Eksport (Ton) Antar Pulau (Ton)
1 2001 6.300 -
2 2002 6.700 -
3 2003 18.950 48.754
4 2004 12.310 15.244
5 2005 35.960 91.601
6 2006 21.573 109.606
7 2007* 41.116 49.871
Ket : * Keadaan tanggal 15 Juli 2007
Sektor pertanian dari tabel diatas sejak tahun 2000 memiliki nilai LQ lebih
besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor
andalan memang sudah menjadi sektor basis sejak belum adanya program
agropolitan. Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung juga
berkontribusi terhadap ekonomi Kabupaten Pohuwato karena nilai LQ berada
diatas 1 sehingga dikategorikan sebagai sektor basis meskipun dua tahun terakhir
terlihat mengalami trend yang menurun. Menurunnya nilai LQ komoditi jagung di
kabupaten Pohuwato kemungkinan disebabkan oleh tingginya produksi yang
berpengaruh pada harga produk, dimana pada akhir tahun 2004 harga jagung
sempat mengalami fluktuasi yang tajam dan sempat hanya dinilai seharga Rp. 675
atau berada dibawah harga dasar pembelian pemerintah yaitu sebesar Rp. 700,-.
Hal ini disebabkan karena kurangnya kontrol pemerintah terhadap harga
pembelian dari para pedagang pengumpul atau tengkulak.
85
bahwa di samping sektor primer sektor-sektor sekunder dan tersier juga memiliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Kabupaten Pohuwato.
memiliki nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian terendah pada
tahun 2006 yaitu sebesar 2,34 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 2,83.
Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar
Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten
Pohuwato sebesar Rp. 234 pada tahun 2006 dan Rp. 283 pada tahun 2005.
Komoditi Jagung sebagai komiditi unggulan daerah juga memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah meskipun mengalami
kecenderungan yang menurun dimana nilai koefisien jangka panjang komoditi
jagung mencapai nilai tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 160,02 untuk
Provinsi Gorontalo dan tahun 2004 yaitu sebesar 23,21 untuk Kabupaten
Pohuwato. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada komoditi
jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 16.002,- dan Rp.2.321,- untuk Kabupaten
Pohuwato.
Kecenderungan penurunan koefisien pengganda pendapatan ini dapat
dipahami karena belum maksimalnya kinerja dari aspek-aspek yang dapat
menunjang terkait dari sektor hulu sampai sektor hilir. Misalnya, Masih terbatas
pengetahuan petani dan keterbatasan modal menyebabkan pemupukan belum
dilakukan sesuai dengan komposisi yang seharusnya. Hal ini akan berdampak
pada belum maksimalnya produktivitas dari kemampuan optimum benih yang
seharusnya, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tambah petani.
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT
Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata
95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di
kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan.
Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai
statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan
Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di
Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang.
Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui
pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani
dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida.
Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat
98
aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal
jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan
mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor,
tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani
langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul.
Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya
industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala
kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan
agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan
yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan
pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol
jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena
masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu
sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada
pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di
kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor
pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh
terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja
juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian.
Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan
adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam
pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal
ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang
dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan.
Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi
yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses
pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian
menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan
hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga
komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah
menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan
102
lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan
rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas
lingkungan.
pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang
memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan
bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan
aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi
lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena
masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah
pasca panen dan pemasaran hasil.
Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan
diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek
pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6.
Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein
diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk
aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan
publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan).
masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan
masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan.
Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program
pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan
menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan
Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang
mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti
pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh
masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan
apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan
LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan
responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini
sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai
media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas”
Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan
kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan
dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan
partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana
masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam
pembangunan.
Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap
program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam
masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak
mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada
tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional
regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa
lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman
(inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma
perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada
(baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan
106
Kelompok Sasaran
100
80
67.16
60
Proses Manajemen Faktor Lokasi
40
50.99 20
59.5
53.49
51.09
Kesinergian dan Fokus
Tata Pemerintahan 51.91 Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan
Untuk lebih spesifik melihat faktor pengungkit dari masing masing aspek
atau dimensi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, maka perlu
dilihat faktor pengungkit dari masing-masing aspek tersebut.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
Keamanan
pengembangan yang baru berkembang, aspek promosi ini sangat diperlukan oleh
dunia usaha untuk memperluas pasar sehingga UKM daerah dapat lebih
berkembang. Salah satu penyebab dari minimnya atau kurangnya promosi UKM
dari Pemda kemungkinan disebabkan karena saat ini konsentrasi pemerintah
daerah masih terfokus pada pembangunan sarana-sarana fisik pelayanan publik
berupa pembangunan pembangunan kantor-kantor pemerintah yang di pusatkan
dalam satu kawasan pembangunan blok plan. Kedepannya agar PEL dapat
berkembang baik maka pemerintah daerah perlu melakukan promosi UKM seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi terhadap promosi agropolitan.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
Kualitas Lingkungan
Kualitas Pemukiman
Infrastruktur Energi
Infrastruktur Komunikasi
Sarana Transportasi
0 10 20 30 40 50 60 70
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
dengan 146 ruang kelas, dari jumlah tersebut 84,93% berada dalam keadaan
layak pakai 9,58% rusak ringan dan 5,47% rusak berat. Sedangkan untuk
pendidikan menengah (setara SMA) jumlah gedung 11 unit dengan 80 ruang
kelas dimana 78,85% berada dalam kondisi layak pakai dan 21,25% berada
dalam kondisi rusak ringan. Berdasarkan Uraian data tersebut nampak bahwa
kebijakan pendidikan kedepan harus memprioritaskan peningkatan kualitas
gedung pendidikan dan kualitas pengajar guna menunjang proses belajar
mengajar.
kimpraswil menyebutkan bahwa baru sekitar 50% ketersediaan jembatan yang ada
dari kebutuhan yang seharusnya selama 5 tahun yang akan datang.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 20 40 60 80 100 120
Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
di bidang non pertanian juga dapat lebih berkembang seperti UKM dan Industri
kecil sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi lokal di wilayah tersebut.
Berdasarkan survey lapangan di Kawasan Agropolitan Randangan, aktivitas di
bidang pertanian masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Akan
tetapi belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis jagung
menyebabkan UKM dan IKM di kawasan agropolitan belum berkembang
sehingga kemungkinan membuat faktor ini menjadi faktor pengungkit pertama.
Investasi UKM dan IKM di kabupaten masih sangat terbatas padahal masih
banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dan digali. Jika dibandingkan
dengan kabupaten lain di Provinsi Gorontalo, jumlah perusahaan IKM masih
dibawah Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Masih
terbatasnya jumlah perusahaan yang berinvestasi menyebabkan serapan TK di
sektor non pertanian pun menjadi rendah, sehingga tidak dapat mendorong
pertumbuhan wilayah .
8000
7000
6000
5000
2000
1000
0
Boalemo Gorontalo Pohuw ato Bone Kota
Bolango Gorontalo
Leverage of Attributes
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)
pertanian lainnya terlebih sub sektor tanaman pangan dan perkebunan masih
belum mendapat perhatian dari investor. Hal ini terbukti dengan belum
berkembangnya baik industri skala kecil, menegah maupun besar untuk
berinvestasi dalam sektor pertanian basis jagung. Kebanyakan hasil produksi
pertanian masyarakat dalam hal ini komoditi jagung masih di pasarkan dalam
bentuk biji jagung (jagung pipilan) sebagai bahan mentah produksi. Proses
pengolahan jagung selanjutnya masih sebatas pada perbaikan kualitas/ mutu biji
jagung yang dilakukan oleh pedagang pengumpul baik dengan cara alami melalui
penjemuran dengan sinar matahari maupun melalui teknologi dengan
menggunakan mesin pengering. Proses pengolahan jagung belum menyentuh pada
proses perubahan bentuk Jika dilihat dari potensi yang ada sektor ini sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai suatu industri yang terintegrasi. Sehingga
menjadi tugas pemerintah daerah untuk mempromosikan dan menjual potensi
yang ada agar dilirik oleh investor.
3600000
3400000
Pendapatan per
3200000 kapita
3000000
2004 2005 2006
IPM
72
71
70
69
68
67 IPM
66
65
64
63
o
lo
lo
o
o
ng
em
al
at
ta
ta
nt
on
on
la
l
hu
or
oa
Bo
or
or
.G
Po
.B
.G
G
e
ab
on
ab
a
b.
ov
ot
Ka
.B
K
Pr
K
ab
K
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
faktor ini sebagai pemicu utama. Hal ini dapat dilihat dimana berdasarkan kajian
partisipasi terlihat bahwa partisipasi masyarakat masih dalam taraf konsultasi.
Diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan
dapat melihat ini sebagai faktor penting yang dapat mendorong perkembangan
ekonomi lokal wilayah, sehingga dalam setiap perencanaan kebijakan pihak dunia
usaha mulai dari pelaku UKM, IKM sampai usaha skala besar dan perbankan
sebagai pelaku dari dan penerima efek dari setiap kebijakan yang ada dilibatkan
sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kawasan. Kurangnya
keterlibatan dunia usaha dan perbankan merupakan salah datu faktor penghambat
berkembangnya ekonomi lokal suatu kawasan.
kemauan keras dari mayarakat serta koordinasi yang baik dari berbagai elemen
dalam pemeritahan dan dunia usaha merupakan sinergi yang dapat membawa
kinerja agropolitan lebih baik lagi kedepan. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan terlihat bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan
Kabupaten Pohuwato masih pada taraf pengembangan sentra produksi pertanian.
Masalah ketersediaan lapangan disektor non pertanian, permukiman penduduk,
sanitasi dan infrastrukur urban lainnya belum banyak tersedia di perdesaan.
Karenaya perlu lebih diintensifkan lagi pengembangan sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial yang memadai sehingga masyarakat pohuwato dapat merasa
nyaman berada di Pohuwato karena berbagai fasilitas yang tersedia sehingga
dapat menekan laju migrasi penduduk ke kota.
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang dampak agropolitan basis
jagung di Kabupaten Pohuwato dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Program agropolitan basis jagung meningkatkan perekonomian wilayah
Kabupaten Pohuwato melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah.
Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung di Kabupaten
Pohuwato mampu menarik atau menggerakkan sektor industri pengolahan,
listrik dan air besih sebagai sektor sekunder dan sektor perdagangan
sebagai sektor tersier sehingga dapat memberikan multiplier effect yang
besar terhadap total perekonomian wilayah. Akan tetapi secara kompetitif
sektor-sektor unggulan seperti sub tanaman bahan makanan, komoditi
jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing
yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah.
2. Program agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato, meningkatkan
pendapatan usahatani petani di kawasan agropolitan melalui kegiatan
penyuluhan, tersedianya infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga
dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan pendapatan
usahatani di kawasan non agropolitan. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan usahatani non
agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun dan Rp5.506.966,-
per ha/tahun.
3. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan tingkat
partisipasi Arnstein berada pada tingkat konsultasi. Hal ini berarti bahwa
partisispasi masyarakat masih sebatas pada taraf pelaksana saja karena
masyarakat masih belum banyak dilibatkan dalam taraf perencanan
program. Program agropolitan masih sangat bersifat top down karena
intervensi pemerintah dalam setiap kegiatan masih sangat dominan.
4. Berdasarkan hasil analisis program agropolitan sedikit banyak sudah dapat
mendorong pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Status
PEL di Kabupaten Pohuwato digolongkan dalam kategori baik. Untuk
144
9.2. Saran
1. Pengembangan Agropolitan memerlukan kerjasama lintas sektoral dan
sinkronisasi kebijakan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
2. Perlu dibentuk pusat pelayanan investasi terlebih khusus investasi jagung
untuk menarik investor menanamkan modalnya di kawasan pengembangan,
serta meningkatkan kebijakan yang merangsang masuknya investasi swasta.
3. Mengoptimalkan kerjasama dengan kabupaten lain terkait penggunaan
infrastruktur dan pengembangan agropolitan jagung baik untuk memenuhi
kontinuitas produksi maupun dari segi pemasaran melalui kegiatan-kegiatan
pelatihan, magang dan studi banding misalnya dengan Kabupaten Boalemo.
4. Kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi dengan
melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan sampai proses monitoring
dan evaluasi. Perlu adanya pendampingan yang efektif untuk setiap kegiatan-
kegiatan produktif dalam masyarakat sampai masyarakat betul-betul menjadi
masyarakat yang mandiri.
5. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar instasi dalam
pemerintah maupun pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat petani
dalam pengembangan agropolitan sehingga sarana-prasarana yang ada dapat
dimanfaatkan dengan efisien, misalnya dengan menjalin koordinasi yang baik
dengan Dinas Perhubungan untuk pengoperasian terminal di Kecamatan
Randangan.
145
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Jaip Vol .35 No, 4. pp
216-224.
BPS Kabupaten Pohuwato, 2006. Pohuwato Dalam Angka 2006. Kerjasama BPS
dan Bappeda Kabupaten Pohuwato.
Bustaman, S. dan Susanto, N.A. 2003. Potensi Lahan dan Alternatif Komoditas
Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Pada Setiap Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Ambon
Darmawan Arya. Setiahadi. Pribadi, D.O. Iman Laode. 2003. Studi Kebijakan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan.
Kementerian Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.
Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor.
Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan
Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta.
Rustiadi, et. al. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah
Tata Ruang. Program Studi PWD, Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Sadjad , S. 2004. Desa itu Industri. Makalah pada Workshop Agropolitan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Total 74,75
Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
c Kontrol Terhadap Kebijakan
Apakan warga dan organisasi masyarakat lainnya dapat
1 dengan
mudah terlibat/ ikut serta dalam forum perencanaan
a. Sangat Sulit 1 9 0,3 2,7 30.0
b. Sulit 2 10 0,3 6 33.3
c. Mudah 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat Mudah 4 3 0,3 3,6 10.0
19,5
Apakah anda pernah memberikan masukan kepada
2 pemerintah atau
pihak yang anda anggap bertanggungjawab untuk merubah prosedur
dan proses pengambilan keputusan
a. Tidak pernah 1 5 0,4 2 16.7
b. Pernah dan tidak mendapat tanggapan 2
c. Pernah dan mendapat sedikit tanggapan 3 8 0,4 9,6 26.7
d. Pernah dan mendapat tanggapan 4 10 0,4 16 33.3
27,6
3 Menurut anda, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan proyek agropolitan
a. Tidak baik 1
b. Cukup baik 2 4 0,3 2,4 13.3
c. Baik 3 7 0,3 6,3 23.3
d. Sangat baik 4 19 0,3 22,8 63.3
31,5
Total 78,6
Lampiran 8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo
159
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi
Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus
Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Tesis
Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan
Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta
Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo
(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama : Sherly Gladys Jocom
NIM : A155050011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota
Diketahui
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi
pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis
ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis
Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat
Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara
keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala
Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota
yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam
Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program
Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya
terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal
ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti
melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah
diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan
kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai
perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam
mendampingi penulis menjalani studi. Kepada kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya
membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan
material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan
kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini
bermanfaat.
I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah ..……………………..………………….. 6
1.3. Tujuan Penelitian …....……………………………………….. 11
1.4. Manfaat Penelitian …….……………………………………... 11
1.5. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………….. 12
2 Heksagonal PEL......................................................................... 37
5 Lokasi Penelitian........................................................................ 47
ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini.
Sejak dicanangkan sebagai provinsi pengembangan agropolitan,
perkembangan pembangunan Gorontalo menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi
muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang
menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari
Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat
menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3).
Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah)
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
1.Pertanian 542.101,01 660.587,16 804.664,88 853.680,92 981.125,31
2.Pertambangan 14 .591,80 16.074,16 18.621,26 22.668,11 33.195,64
dan Penggalian
3.Industri 189.457,97 186.766,05 197.690,30 232.691,45 50.029,58
Pengolahan
4.Listrik,Gas dan 10.964,53 16.927,87 21.571,03 25.546,01 27.381,55
Air Bersih
5.Bangunan 127.022,00 171.100,04 172.349,21 184.062,42 218.937,40
6.Perdagangan, 272.192,33 330.452,99 348.528,02 371.749,37 410.987,30
Hotel & Rest
7.Pengangkutan 194.147,21 198.063,65 200.320,02 236.354,80 280.828,24
& Komunikasi
8.Keuangan 122.597,97 145.357,30 213.620,95 288.805,96 364.595,77
9.Jasa-jasa 349.749,47 423.086,86 502.354,01 585.985,29 819.785,13
Total 1.822.824,30 2.148.436,09 2.479.719,69 2.801.544,32 3.386.865,92
Sumber : BPS, 2006.
Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja
menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et. al., 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat
beragam (heterogen).
Budidaya - Lindung
Wilayah Sistem/
Sistem ekonomi:
Fungsional Agropolitan, kawasan
produksi, kawasan industri
Sistem ekologi:
Sistem Komplek DAS, hutan, pesisir
Umumnya disusun/dikembangkan
berdasarkan:
Perencanaan/ • Konsep homogen/fungsional:
Pengelolaan KSP, KATING, dan
sebagainya
• Administrasi-politik: propinsi,
Kabupaten, Kota
Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula
dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi,
regional bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah
administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah
administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru
dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman
disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi,
2006).
18
1. Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu
wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding
wilayah yang lain.
Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu
alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan
sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat
mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih,
sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan
SDS yang kurang baik.
Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006),
adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri.
Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya
menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu
menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan
Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi
desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki
desa.
Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa
dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk
mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu:
Tahap Pertama :
1. Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).
2. Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.
3. Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk
dari desa ke kota.
4. Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong
ekspor pertanian yang selalu kompetitif.
5. Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan
dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.
Tahap Kedua :
20
penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan
jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah
cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di
sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian
konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang
terintegrasi.
kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas
provinsi.
Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep
agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu
pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui
Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan
agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi
Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra
produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu :
- Jalan-jalan akses (jalan usaha tani)
- Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing)
- Pengairan / jaringan irigasi
- Lembaga penyuluh dan alih teknologi
- Kios-kios sarana produksi
- Pemasaran.
Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu
pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep
agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi
Gorontalo.
kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus
ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat
untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk
melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital
yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.
Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan
adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan
pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan
dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di
tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai
tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan
investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru
(multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan
penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal
(Rustiadi dan Hadi, 2006).
Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh
masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap
pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya.
Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang
terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut
dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public-
private- community partnership.
dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang
canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007).
Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu
dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan.
Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin
keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah
berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya).
Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar
outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya
pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi
dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk
miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta
mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi
produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha.
Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama
dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat
dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau
lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut.
Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam
pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada
agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan
prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih
dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat
lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya
kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan
dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007).
semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di
lapangan.
Dalam kerangka pembangunan pedesaan (rural development), COHEN dan
UPHOFF dalam Darmawan et. al. (2003), memaknai konsep partisipasi sebagai:
“keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam
implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan
menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi
termasuk proses monitoring”.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program,
yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi,
sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. (2003), melihat partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar
pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
(participatory development) dari OECD adalah:
“kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara
beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana
pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini
berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar
dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan
bukan sekedar penerima sebuah program”.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka
pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan
hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-
aktif masyarakat.
Selanjutnya Arnstein, S.R (1969) menggolongkan partisipasi masyarakat
kedalam dalam 8 jenjang yaitu :
1. Manipulasi
2. Terapi
3. Menyampaikan informasi
4. Konsultasi
5. Peredaman (placation)
29
6. Kemitraan / partnership
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Pengawasan masyarakat
Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5
dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan
persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8
dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini
masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa
sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek
kebijaksanaan.
Dalam pengembangan kawasan agropolitan itu sendiri, peranan
masyarakat dapat berupa :
1) Perguruan Tinggi
a. Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra
pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan
riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi
diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan
pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha.
2) Lembaga Swadaya Masyarakat
Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan
kritis, sehingga diharapkan:
a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam
pengembangan kawasan agropolitan.
b. LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan
kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan
akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
3) Masyarakat dan dunia usaha:
Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus
didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan
community driven planning. Dengan pendekatan ini diharapkan:
30
b. Pemerintah Provinsi
Kewenangan pemerintah provinsi adalah membantu/memfasilitasi Pemda
Kabupaten/Kota terutama dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
Kabupten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya, melaksanakan
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Dalam program pengembangan agropolitan ini peranan pemerintah provinsi
adalah :
(1) Merumuskan dan mengkoordinasi rencana program dan kebijakan
pengembangan agropolitan di wilayah provinsi.
(2) Memberikan pelayanan informasi (pasar, teknologi, agroinput,
permodalan, jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta
memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dalam pengembangan
agropolitan.
(3) Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan
pengembangan wilayah.
(4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia
(5) Membantu memecahkan masalah yang diminta oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(6) Membanun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis
c. Pemerintah Pusat
Tugas Pemerintah Pusat adalah membantu Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan program
agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut
lintas provinsi.
Dalam program pengembangan agropolitan, peranan pemerintah pusat adalah :
(1) Menyusun rencana, program dan kebijakan pengembangan agropolitan
dalam bentuk Pedoman Umum program pengembangan agropolitan
beserta pedoman/petunjuk-petunjuk pelaksanaanya.
(2) Merumuskan standar teknis, dan standar minimal terutama untuk sarana
prasarana dan pembiayaan pengembangan agropolitan.
32
pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan
kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan
kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan
juga kemungkinan pemasaran hasil produksi.
Menurut Bustaman dan Susanto (2003), komoditas unggulan merupakan
komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani
baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak
secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona
agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang
berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga
berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi
artinya komoditas tersebut menguntungkan.
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya
bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas
kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).
Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga
dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan
kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya
industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik
daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah
sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri,
dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.
6. Proses manajemen
PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa
dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga
(benchmark) dan refleksi.
Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk
mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).
(listrik dan sarana jalan) justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses
desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif.
Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa
Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum (2005), mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan
Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi (tahun 2002) sampai dengan tahun ke 3
fasilitasi (tahun 2004) di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum
mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih
pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum
dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun
masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan
program belum dirasakan oleh masyarakat.
Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa
permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masing-
masing sektor dan bidang sebagai berikut:
a. Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya
masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga,
fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan
esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai
masalah ini sangat minim;
c. Rendahnya ketrampilan bisnis (jiwa entreprenuership) dari masyarakat
sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihan-
pelatihan;
d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan
informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini
masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya;
e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di
sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan;
f. Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
40
AGROPOLITAN
Pemberdayaan Pengembangan
Masyarakat Wilayah
Pendapatan Pembangunan
Masyarakat Wilayah
Apakah terjadi
Belum peningkatan ? Ya
Identifikasi
Kebijakan
Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data PDRB Data Primer
Prov.Gorontalo Kab.Boalemo Prov.Gorontalo Kab.Pohuwato Melalui kuesioner
Peran dan Peran dan Peran dan Peran dan Dampak Peran Identifikasi
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan terhadap Masyarakat Prioritas
Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Aktivitas eko Pendapatan dalam Kebijakan
regional Wil. contoh regional Wil.contoh Masyarakat Agropolitan
Pengembangan ekonomi
Kawasan agropolitan
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian dapat diajukan sebagai berikut :
1. Diduga kontribusi komoditi unggulan jagung menonjol terhadap ekonomi
wilayah Provinsi Gorontalo
2. Pengembangan agropolitan basis jagung memberikan dampak positif
terhadap tingkat pendapatan petani.
IV. METODE PENELITIAN
Lokasi
Penelitian
4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS) dan
Multiplier Long Run(ML)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peranan/pengaruh sektoral dalam
pertumbuhan ekonomi. Disamping itu juga untuk melihat kontribusi jagung
sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Untuk mengetahui
potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat menggunakan
metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara
kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.
X ij / X i .
LQij =
X . j / X ..
Dimana :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato untuk
sector ke- j
Xi. = jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato total
seluruh sektor
X.j = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo untuk
sector ke- j
X.. = jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo total
seluruh sektor
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1 ) maka sektor tersebut
merupakan sektor basis sedangkan jika nilainya sama atau lebih kecil dari satu
(LQ < 1 ) berarti sektor yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada
kegiatan perekonomian wilayah provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
51
1
Ms =
YN
1−
YN + YB
Dengan :
MS = Multiplier Short Run / Pengganda jangka pendek
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
Dan koefisien pengganda jangka panjang dirumuskan sebagai berikut :
1
ML =
Y +I
1− N
YN + YB
Dengan :
ML = Multiplier Long Run / Pengganda jangka panjang
YN = Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB = Pendapatan sektor/aktifitas basis
I = Investasi
a b c
53
Kaidah keputusan :
Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1)
Bila statistik hitung ≤ tα , maka terima H0 (tolak H1)
Tabel 8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein
Aspek Tingkatan Interval Skor
Penilaian
A. Komunikasi Tidak ada komunikasi 30 52,5 1
Komunikasi satu arah tetapi hanya
sedikit keputusan publik yang bisa 52,5 75 2
diklarifikasi
Komunikasi telah cukup, namun 75 97,5 3
masih bersifat satu arah
Ada dialog 97,5 120 4
B. Pengetahuan Tidak Tahu 30 52,5 1
masyarakat
Tahu 52,5 75 2
terhadap proses
pengambilan Mempengaruhi 75 97,5 3
keputusan
Berperan Besar 97,5 120 4
C. Kontrol Tidak ada 30 52,5 1
masyarakat
Hanya bisa memberikan komentar
terhadap
(less control power) 52,5 75 2
kebijakan
publik Bisa memberikan kritikan dan
masukan (Has power) 75 97,5 3
Bisa mengontrol sepenuhnya
(control powerly) 97,5 120 4
56
infrastruktur
Industri hilir Industri hulu
Sweetener Benih/
(Pemanis Pemuliaan
Starch Jagung
(Tepung) Pupuk
Bioproduct R&D,Diklat/workshop
Pengujian&sertifikasi
Corn oil
Jasa handling,
Asuransi/ Penyimpanan
Perbankan
Pakan ternak
Jasa Perbengkelan
3 Kelurahan. Adapun nama kecamatan, jumlah desa dan luas wilayah dapat dilihat
pada Tabel 10.
1 Popayato 1.392,90 15
2 Lemito 807,58 11
3 Randangan 449,82 10
4 Marisa 331,90 15
5 Paguat 803,32 12
6 Taluditi 159,97 6
7 Patilanggio 298,82 4
Jumlah 4.244,31 73
Sumber : Profil Kabupaten Pohuwato, 2006
5.2.2.2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan yaitu dengan
mencanangkan berbagai program seperti program wajib belajar, gerakan nasional
orang tua asuh, bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lain. Diharapkan
dengan program ini akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam
era globalisasi mendatang.
63
Tabel 14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006
7,3
7,24 7,25
7,2
7,1
7 Laju pertumbuhan
6,93 6,95
6,9
6,8
6,7
2003 2004 2005 2006
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
66
Sektor Pertumbuhan ( %)
2004 2005 2006
Pertanian 6,18 1,86 4,52
Pertambangan & Penggalian 4,33 4,16 2,50
Industri Pengolaha 7,94 6,18 1.74
Listrik, Gas dan Air Bersih 4,04 11,41 14,98
Bangunan 5,47 4,97 11,17
Perdagangan dan Akomodasi 5,77 30,17 1,37
Angkutan dan Komunikasi 7,54 2,17 7,84
Keuangan & Jasa Perusahaan 15,96 5,88 12,70
Jasa-jasa 6,99 4,15 32,69
PDRB 6,95 7,24 7,25
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
Pada tahun 2006, pertumbuhan yang paling besar dialami oleh sektor jasa-
jasa yaitu sebesar 32,69 persen jauh melesat dari tahun 2005 yang hanya 4,16
persen. Kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju
pertumbuhan sebesar 14,98 persen. Sektor yang mengalami kenaikan terendah
pada tahun 2006 adalah perdagangan dan akomodasi yaitu hanya sebesar 1,37
persen.
1 Sawah 140
2 Pekarangan 985
3 Tegalan/Kebun 863
4 Ladang/Huma 1.630
5 Perkebunan 594
6 Hutan Rakyat 1.115
7 Hutan Negara 29.177
8 Lain-lain Penggunaan 10.378
Total Luas Lahan 44.982
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006
Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa komoditi Jagung dan Padi
merupakan komoditi basis di Provinsi Gorontalo. Jagung sebagai komoditi
unggulan daerah merupakan sektor basis dimana nilai LQ jagung sebelum
agropolitan tahun 2000 sampai 2002 nilai LQ jagung mengalami trend yang
cenderung menurun yaitu bernilai 4,62 tahun 2000, dan 3,62 tahun 2002. Namun
setelah program agropolitan bergulir trend LQ komoditi jagung mulai mengalami
peningkatan yaitu bernilai 4,48 tahun 2003 dan 6,34 tahun 2006. Peningkatan nilai
LQ komoditi jagung disebabkan karena terjadinya perluasan lahan jagung dan
peningkatan produksi jagung, dimana dari tahun 2001 produksi jagung adalah
sebesar 81.720 ton meningkat menjadi 416.222 ton pada tahun 2006. Nilai LQ
komoditi jagung sempat mengalami penurunan pada tahun 2004. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena turunnya ekspor komoditi jagung pada tahun
2004 yang hanya mencapai 12.310 ton.
Tabel 27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo 2001 - 2007
No Tahun Eksport (Ton) Antar Pulau (Ton)
1 2001 6.300 -
2 2002 6.700 -
3 2003 18.950 48.754
4 2004 12.310 15.244
5 2005 35.960 91.601
6 2006 21.573 109.606
7 2007* 41.116 49.871
Ket : * Keadaan tanggal 15 Juli 2007
Sektor pertanian dari tabel diatas sejak tahun 2000 memiliki nilai LQ lebih
besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor
andalan memang sudah menjadi sektor basis sejak belum adanya program
agropolitan. Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung juga
berkontribusi terhadap ekonomi Kabupaten Pohuwato karena nilai LQ berada
diatas 1 sehingga dikategorikan sebagai sektor basis meskipun dua tahun terakhir
terlihat mengalami trend yang menurun. Menurunnya nilai LQ komoditi jagung di
kabupaten Pohuwato kemungkinan disebabkan oleh tingginya produksi yang
berpengaruh pada harga produk, dimana pada akhir tahun 2004 harga jagung
sempat mengalami fluktuasi yang tajam dan sempat hanya dinilai seharga Rp. 675
atau berada dibawah harga dasar pembelian pemerintah yaitu sebesar Rp. 700,-.
Hal ini disebabkan karena kurangnya kontrol pemerintah terhadap harga
pembelian dari para pedagang pengumpul atau tengkulak.
85
bahwa di samping sektor primer sektor-sektor sekunder dan tersier juga memiliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Kabupaten Pohuwato.
memiliki nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian terendah pada
tahun 2006 yaitu sebesar 2,34 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 2,83.
Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar
Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten
Pohuwato sebesar Rp. 234 pada tahun 2006 dan Rp. 283 pada tahun 2005.
Komoditi Jagung sebagai komiditi unggulan daerah juga memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah meskipun mengalami
kecenderungan yang menurun dimana nilai koefisien jangka panjang komoditi
jagung mencapai nilai tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 160,02 untuk
Provinsi Gorontalo dan tahun 2004 yaitu sebesar 23,21 untuk Kabupaten
Pohuwato. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada komoditi
jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah
Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 16.002,- dan Rp.2.321,- untuk Kabupaten
Pohuwato.
Kecenderungan penurunan koefisien pengganda pendapatan ini dapat
dipahami karena belum maksimalnya kinerja dari aspek-aspek yang dapat
menunjang terkait dari sektor hulu sampai sektor hilir. Misalnya, Masih terbatas
pengetahuan petani dan keterbatasan modal menyebabkan pemupukan belum
dilakukan sesuai dengan komposisi yang seharusnya. Hal ini akan berdampak
pada belum maksimalnya produktivitas dari kemampuan optimum benih yang
seharusnya, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tambah petani.
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT
Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata
95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di
kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan.
Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai
statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan
Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di
Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang.
Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui
pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani
dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida.
Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat
98
aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal
jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan
mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor,
tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani
langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul.
Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya
industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala
kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan
agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan
yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan
pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol
jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena
masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu
sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada
pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di
kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor
pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh
terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja
juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian.
Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan
adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam
pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal
ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang
dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan.
Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi
yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses
pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian
menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan
hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga
komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah
menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan
102
lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan
rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas
lingkungan.
pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang
memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan
bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan
aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi
lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena
masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah
pasca panen dan pemasaran hasil.
Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan
diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek
pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6.
Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein
diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk
aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan
publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan).
masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan
masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan.
Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program
pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan
menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan
Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang
mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti
pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh
masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan
apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan
LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan
responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini
sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai
media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas”
Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan
kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan
dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan
partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana
masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam
pembangunan.
Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap
program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam
masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak
mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada
tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional
regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa
lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman
(inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma
perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada
(baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan
106
Kelompok Sasaran
100
80
67.16
60
Proses Manajemen Faktor Lokasi
40
50.99 20
59.5
53.49
51.09
Kesinergian dan Fokus
Tata Pemerintahan 51.91 Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan
Untuk lebih spesifik melihat faktor pengungkit dari masing masing aspek
atau dimensi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, maka perlu
dilihat faktor pengungkit dari masing-masing aspek tersebut.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
Keamanan
pengembangan yang baru berkembang, aspek promosi ini sangat diperlukan oleh
dunia usaha untuk memperluas pasar sehingga UKM daerah dapat lebih
berkembang. Salah satu penyebab dari minimnya atau kurangnya promosi UKM
dari Pemda kemungkinan disebabkan karena saat ini konsentrasi pemerintah
daerah masih terfokus pada pembangunan sarana-sarana fisik pelayanan publik
berupa pembangunan pembangunan kantor-kantor pemerintah yang di pusatkan
dalam satu kawasan pembangunan blok plan. Kedepannya agar PEL dapat
berkembang baik maka pemerintah daerah perlu melakukan promosi UKM seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi terhadap promosi agropolitan.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
Kualitas Lingkungan
Kualitas Pemukiman
Infrastruktur Energi
Infrastruktur Komunikasi
Sarana Transportasi
0 10 20 30 40 50 60 70
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
dengan 146 ruang kelas, dari jumlah tersebut 84,93% berada dalam keadaan
layak pakai 9,58% rusak ringan dan 5,47% rusak berat. Sedangkan untuk
pendidikan menengah (setara SMA) jumlah gedung 11 unit dengan 80 ruang
kelas dimana 78,85% berada dalam kondisi layak pakai dan 21,25% berada
dalam kondisi rusak ringan. Berdasarkan Uraian data tersebut nampak bahwa
kebijakan pendidikan kedepan harus memprioritaskan peningkatan kualitas
gedung pendidikan dan kualitas pengajar guna menunjang proses belajar
mengajar.
kimpraswil menyebutkan bahwa baru sekitar 50% ketersediaan jembatan yang ada
dari kebutuhan yang seharusnya selama 5 tahun yang akan datang.
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 20 40 60 80 100 120
Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
di bidang non pertanian juga dapat lebih berkembang seperti UKM dan Industri
kecil sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi lokal di wilayah tersebut.
Berdasarkan survey lapangan di Kawasan Agropolitan Randangan, aktivitas di
bidang pertanian masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Akan
tetapi belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis jagung
menyebabkan UKM dan IKM di kawasan agropolitan belum berkembang
sehingga kemungkinan membuat faktor ini menjadi faktor pengungkit pertama.
Investasi UKM dan IKM di kabupaten masih sangat terbatas padahal masih
banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dan digali. Jika dibandingkan
dengan kabupaten lain di Provinsi Gorontalo, jumlah perusahaan IKM masih
dibawah Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Masih
terbatasnya jumlah perusahaan yang berinvestasi menyebabkan serapan TK di
sektor non pertanian pun menjadi rendah, sehingga tidak dapat mendorong
pertumbuhan wilayah .
8000
7000
6000
5000
2000
1000
0
Boalemo Gorontalo Pohuw ato Bone Kota
Bolango Gorontalo
Leverage of Attributes
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)
pertanian lainnya terlebih sub sektor tanaman pangan dan perkebunan masih
belum mendapat perhatian dari investor. Hal ini terbukti dengan belum
berkembangnya baik industri skala kecil, menegah maupun besar untuk
berinvestasi dalam sektor pertanian basis jagung. Kebanyakan hasil produksi
pertanian masyarakat dalam hal ini komoditi jagung masih di pasarkan dalam
bentuk biji jagung (jagung pipilan) sebagai bahan mentah produksi. Proses
pengolahan jagung selanjutnya masih sebatas pada perbaikan kualitas/ mutu biji
jagung yang dilakukan oleh pedagang pengumpul baik dengan cara alami melalui
penjemuran dengan sinar matahari maupun melalui teknologi dengan
menggunakan mesin pengering. Proses pengolahan jagung belum menyentuh pada
proses perubahan bentuk Jika dilihat dari potensi yang ada sektor ini sangat
potensial untuk dikembangkan sebagai suatu industri yang terintegrasi. Sehingga
menjadi tugas pemerintah daerah untuk mempromosikan dan menjual potensi
yang ada agar dilirik oleh investor.
3600000
3400000
Pendapatan per
3200000 kapita
3000000
2004 2005 2006
IPM
72
71
70
69
68
67 IPM
66
65
64
63
o
lo
lo
o
o
ng
em
al
at
ta
ta
nt
on
on
la
l
hu
or
oa
Bo
or
or
.G
Po
.B
.G
G
e
ab
on
ab
a
b.
ov
ot
Ka
.B
K
Pr
K
ab
K
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 BAD GOOD References
0 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
RALED Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
Real Fisheries
0 GOOD References
0 BAD 20 40 60 80 100 120 Anchors
-20
-40
DOWN
-60
Fisheries Sustainability
Leverage of Attributes
faktor ini sebagai pemicu utama. Hal ini dapat dilihat dimana berdasarkan kajian
partisipasi terlihat bahwa partisipasi masyarakat masih dalam taraf konsultasi.
Diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan
dapat melihat ini sebagai faktor penting yang dapat mendorong perkembangan
ekonomi lokal wilayah, sehingga dalam setiap perencanaan kebijakan pihak dunia
usaha mulai dari pelaku UKM, IKM sampai usaha skala besar dan perbankan
sebagai pelaku dari dan penerima efek dari setiap kebijakan yang ada dilibatkan
sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kawasan. Kurangnya
keterlibatan dunia usaha dan perbankan merupakan salah datu faktor penghambat
berkembangnya ekonomi lokal suatu kawasan.
kemauan keras dari mayarakat serta koordinasi yang baik dari berbagai elemen
dalam pemeritahan dan dunia usaha merupakan sinergi yang dapat membawa
kinerja agropolitan lebih baik lagi kedepan. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan terlihat bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan
Kabupaten Pohuwato masih pada taraf pengembangan sentra produksi pertanian.
Masalah ketersediaan lapangan disektor non pertanian, permukiman penduduk,
sanitasi dan infrastrukur urban lainnya belum banyak tersedia di perdesaan.
Karenaya perlu lebih diintensifkan lagi pengembangan sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial yang memadai sehingga masyarakat pohuwato dapat merasa
nyaman berada di Pohuwato karena berbagai fasilitas yang tersedia sehingga
dapat menekan laju migrasi penduduk ke kota.
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang dampak agropolitan basis
jagung di Kabupaten Pohuwato dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Program agropolitan basis jagung meningkatkan perekonomian wilayah
Kabupaten Pohuwato melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah.
Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung di Kabupaten
Pohuwato mampu menarik atau menggerakkan sektor industri pengolahan,
listrik dan air besih sebagai sektor sekunder dan sektor perdagangan
sebagai sektor tersier sehingga dapat memberikan multiplier effect yang
besar terhadap total perekonomian wilayah. Akan tetapi secara kompetitif
sektor-sektor unggulan seperti sub tanaman bahan makanan, komoditi
jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing
yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah.
2. Program agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato, meningkatkan
pendapatan usahatani petani di kawasan agropolitan melalui kegiatan
penyuluhan, tersedianya infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga
dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan pendapatan
usahatani di kawasan non agropolitan. Rata-rata pendapatan usahatani di
kawasan agropolitan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan usahatani non
agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun dan Rp5.506.966,-
per ha/tahun.
3. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan tingkat
partisipasi Arnstein berada pada tingkat konsultasi. Hal ini berarti bahwa
partisispasi masyarakat masih sebatas pada taraf pelaksana saja karena
masyarakat masih belum banyak dilibatkan dalam taraf perencanan
program. Program agropolitan masih sangat bersifat top down karena
intervensi pemerintah dalam setiap kegiatan masih sangat dominan.
4. Berdasarkan hasil analisis program agropolitan sedikit banyak sudah dapat
mendorong pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Status
PEL di Kabupaten Pohuwato digolongkan dalam kategori baik. Untuk
144
9.2. Saran
1. Pengembangan Agropolitan memerlukan kerjasama lintas sektoral dan
sinkronisasi kebijakan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
2. Perlu dibentuk pusat pelayanan investasi terlebih khusus investasi jagung
untuk menarik investor menanamkan modalnya di kawasan pengembangan,
serta meningkatkan kebijakan yang merangsang masuknya investasi swasta.
3. Mengoptimalkan kerjasama dengan kabupaten lain terkait penggunaan
infrastruktur dan pengembangan agropolitan jagung baik untuk memenuhi
kontinuitas produksi maupun dari segi pemasaran melalui kegiatan-kegiatan
pelatihan, magang dan studi banding misalnya dengan Kabupaten Boalemo.
4. Kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi dengan
melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan sampai proses monitoring
dan evaluasi. Perlu adanya pendampingan yang efektif untuk setiap kegiatan-
kegiatan produktif dalam masyarakat sampai masyarakat betul-betul menjadi
masyarakat yang mandiri.
5. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar instasi dalam
pemerintah maupun pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat petani
dalam pengembangan agropolitan sehingga sarana-prasarana yang ada dapat
dimanfaatkan dengan efisien, misalnya dengan menjalin koordinasi yang baik
dengan Dinas Perhubungan untuk pengoperasian terminal di Kecamatan
Randangan.
145
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Jaip Vol .35 No, 4. pp
216-224.
BPS Kabupaten Pohuwato, 2006. Pohuwato Dalam Angka 2006. Kerjasama BPS
dan Bappeda Kabupaten Pohuwato.
Bustaman, S. dan Susanto, N.A. 2003. Potensi Lahan dan Alternatif Komoditas
Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Pada Setiap Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Ambon
Darmawan Arya. Setiahadi. Pribadi, D.O. Iman Laode. 2003. Studi Kebijakan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan.
Kementerian Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.
Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor.
Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan
Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta.
Rustiadi, et. al. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah
Tata Ruang. Program Studi PWD, Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Sadjad , S. 2004. Desa itu Industri. Makalah pada Workshop Agropolitan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Total 74,75
Bobot
No Aspek Skor Frekwensi (B) SxFxB %
(S) (F) %
c Kontrol Terhadap Kebijakan
Apakan warga dan organisasi masyarakat lainnya dapat
1 dengan
mudah terlibat/ ikut serta dalam forum perencanaan
a. Sangat Sulit 1 9 0,3 2,7 30.0
b. Sulit 2 10 0,3 6 33.3
c. Mudah 3 8 0,3 7,2 26.7
d. Sangat Mudah 4 3 0,3 3,6 10.0
19,5
Apakah anda pernah memberikan masukan kepada
2 pemerintah atau
pihak yang anda anggap bertanggungjawab untuk merubah prosedur
dan proses pengambilan keputusan
a. Tidak pernah 1 5 0,4 2 16.7
b. Pernah dan tidak mendapat tanggapan 2
c. Pernah dan mendapat sedikit tanggapan 3 8 0,4 9,6 26.7
d. Pernah dan mendapat tanggapan 4 10 0,4 16 33.3
27,6
3 Menurut anda, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan proyek agropolitan
a. Tidak baik 1
b. Cukup baik 2 4 0,3 2,4 13.3
c. Baik 3 7 0,3 6,3 23.3
d. Sangat baik 4 19 0,3 22,8 63.3
31,5
Total 78,6
Lampiran 8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo
159