Lapisan Gross Up

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No.

10 (2014)

ANALISIS PPH PASAL 21 DENGAN METODE GROSS UP SEBAGAI


ALTERNATIF DAN REKONSILIASI FISKAL

Devi Gustia
deviigustia@gmail.com
Yazid Yud Padmono
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT
Tax is something which should be paid by the company in accordance with the income that has been earned on
certain period. Income tax is a tax which levied on the subject of taxes or income received or earned in a tax year.
To maximize the investors’ welfare which is carried out by maximizing company’s value is one of the company’s
ways. Minimizing tax burden without violating tax regulations and tax laws is commonly known as tax
planning. Gross up method is a method of calculating the amount of article 21 income tax by recognizing it as
an expense that is charged to the employees. This research is meant to analyze the implementation of article 21
income tax with Gross Up method as an alternative and fiscal reconciliation. This research is carried out at PT
Multi Clean Jaya Lestari Surabaya. The result of the research shows that fiscal reconciliation has been conducted
by PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya in presenting profit and loss statement. The recognition of revenues
and expenditures has been recorded in accordance with the prevailing tax regulation. Net Basic method is still
used by the company in the calculation of article 21 income tax. When using the gross up method in calculating
of article 21 income tax, the company managed to reduce the amount of corporate income tax.
Keyword : Fiscal Reconciliation, Article 21 Income Tax, Profit and Loss Statement, Gross Up

ABSTRAK
Pajak adalah sesuatu yang wajib di bayar oleh Perusahaan sesuai dengan penghasilan yang diperoleh
pada periode atau masa tertentu. Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Salah satu
tujuan perusahaan adalah memaksimalkan kesejahteraan investor dengan cara memaksimalkan nilai
perusahaan. Meminimalisasi beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang atau peraturan
perpajakan dikenal dengan Perencanaan Pajak (Tax Planning). Metode Gross Up adalah metode
perhitungan besarnya PPh Pasal 21 dengan diakui sebagai biaya yang dibebankan kepada karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan PPh Pasal 21 dengan metode Gross Up sebagai
alternatif dan rekonsiliasi fiskal. Penelitian ini dilaksanakan pada PT Multi Clean Jaya Lestari
Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya telah
melakukan pencatatan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Selain itu,
pengakuan pendapatan dan biaya telah dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Dalam perhitungan PPh Pasal 21, perusahaan masih menggunakan metode
Net Basic. Apabila menggunakan metode Gross Up dalam menghitung PPh Pasal 21, perusahaan dapat
mengurangi jumlah PPh Badan karena besarnya penghasilan atas gaji dan upah dapat diperhitungkan
sebagai biaya.
Kata kunci: rekonsiliasi fiskal, PPh pasal 21, laporan laba rugi, gross up

PENDAHULUAN
Pajak mempunyai kontribusi dari Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh
Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
Perkembangan peraturan perpajakan Indonesia senantiasa dinamis dan cepat
mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan iklim usaha dan kondisi
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

perekonomian. Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.Undang- undang Perpajakan
Tahun 2008 tersebut menerapkan sistem self assessment sebagai sistem pemungutan pajak
dimana Wajib Pajak diwajibkan mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
jumlah pajak yang terhutang.
Kita mengenal bermacam-macam pajak di Indonesia. Salah satu jenis pajak yag
dipungut oleh pemerintah adalah pajak penghasilan (PPh), yang dikenakan terhadap wajib
pajak baik terhadap pribadi maupun badan. Di Indonesia, potensi terbesar bagi peneriaan
pajak adalah pajak penghasilan (PPh) badan.
Salah satu tujuan pengusaha adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham
atau investor, dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan cara memperoleh laba
maksimum. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha adalah dengan
meminimalkan beban pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan, karena pajak
merupakan salah satu faktor pengurang laba. Besarnya pajak seperti kita ketahui, tergantung
pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan, semakin besar pula pajak yang
terutang. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan perencanaan pajak atau tax planning
yang tepat agar perusahaan membayar pajak dengan efisien.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut PPh
Pasal 21, merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Pembayaran PPh ini dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-
pihak tertentu. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh
Pasal 21/26 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan,
perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Di dalam perencanaan pajak (tax planning) terdapat beberapa cara untuk menurunkan
jumlah PPh Badan yang harus dibayar oleh perusahaan. Salah satunya adalah dengan cara
menghitung besarnya PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode Gross Up.
Perusahaan dapat membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible expenses,
sehingga menggunakan metode Gross Up di dalam perhitungan PPh Pasal 21. Metode Gross
Up adalah metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak
yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis PPh Pasal 21 dengan metode Gross Up
sebagai alternatif dan rekonsiliasi fiskal pada PT Multi Clean Jaya Lestari.

TINJAUAN TEORETIS
Pajak
Sejak pajak mulai diperhitungkan sebagai salah satu pemasukan paling penting bagi
sebuah negara, banyak ahli ekonomi mengemukakan pendapatnya tentang definisi pajak.
Definisi pajak menurut Prof.Dr. Rochmat Soemitro, S.H adalah Pajak sebagai iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak, yaitu (1) fungsi budgetair (sumber keuangan negara)
artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai
pengeluaran baik rutin maupun pembangunan; (2) fungsi regularend (pengatur) artinya pajak
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial
dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak

Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Subjek
Pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No. 36
Prinsip Taxable dan Deductible merupakan prinsip yang lazim dipakai dalam perencanaan
pajakyang pada umumnya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya
yang boleh dikurangkan atau sebaliknya mengubah penghasilan yang merupakan objek
pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak, dengan konsekuensi terjadinya
perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut. (Zain, 2008:75). (1) Deductible
Expense, berdasar Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan; (2) Non Deductible Expense adalah adalah prinsip yang digunakan untuk
menentukan besarnya PKP bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak
boleh dengan biaya–biaya sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008. Untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap tidak boleh dikurangkan.
Tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokkan sebagai (a) Subjek Pajak orang pribadi; (b)
Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
(c) Subjek Pajak badan; (d) Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Objek Pajak Penghasilan


Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang
dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

Pengurangan Penghasilan
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan jumlah penghasilan tertentu yang
tidak dikenakan pajak. Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak kena Pajak. Penyesuaian PTKP dapat dilihat pada table berikut:
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

Tabel 1
Besaran PTKP
(dalam rupiah)

Keterangan Pasal 7 UU No.17 PMK PMK Pasal 7 UU No.36 PMK


Tahun 2000 No.564/KMK03 No.137/PMK.03/2 Tahun 2008 162/PMK.011/201
(mulai berlaku /2004 005 (mulai berlaku 2
1 Januari 2001) (mulai berlaku (mulai berlaku 1 Januari 2009) (mulai berlaku
1 Januari 2005) 1 Januari 2006) 1 Januari 2013)
WP Sendiri 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000 24.300.000
Tambahan
untuk WP 1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000 2.025.000
kawin
Tambahan
untuk
penghasilan 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000 24.300.000
istri
digabung
Tanggungan
1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000 2.025.000
(maks.3org)
Sumber: (Resmi, 2009)

Menghitung Pajak Penghasilan


Pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan mengalkikan tarif tertentu terhadap
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak digunakan sebagai dasar
mjenghitung PPh tersebut dihitung dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis
Wajib Pajak.
Secara umum, pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan formula sebagai
berikut:
PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan presentase tertentu yang digunakan untuk menghitung
besarnya PPh. Tarif PPh yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif
umum sesuai Pasal 17 UU No.17 Tahun 1983 (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan
yang terakhir adalah dalam UU No. 36 Tahun 2008) dan tarif lainnya.
Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi
menjadi dua, yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dan Wajib Pajak dalam negeri
badan dan bentuk usaha tetap.
a. Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh), yaitu:
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

Tabel 2
Tarif PPh untuk WP Orang Pribadi dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta 5% (lima persen)
rupiah)
Di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)
sampai dengan Rp250.000.000 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)
Di atas Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta 25% (dua puluh lima persen)
rupiah) sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus
juta rupiah)
Di atas Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)
Sumber: (Resmi, 2009)

b. Tarif PPh untuk Wajib Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (Pasal 17 ayat
(1) huruf b UU PPh) adalah 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi
25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai Tahun Pajak 2010. (Pasal 17 ayat (2a)
UU PPh).
Tarif pajak untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah kleseluruhan
saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah daripada tarif untuk Wajib Pajak Badan pada umumnya. (Pasal 17 (2b) UU
PPh).
Perhitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Jika Peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 maka perhitungan
PPhterutang yaitu sebagai berikut:

PPh Terutang = 50% X 25% X Seluruh Penghasilan Kena Pajak

2. Jika Peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan


Rp 50.000.000 penghitungan PPh terutangnya adalah sebagai berikut :

( 50% X 25% ) X Penghasilan 25% X Penghasilan


PPh Kena Pajak dari bagian kena Pajak dari bagian
Terutang = Peredaran bruto yang + peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas tidak memperoleh fasilitas

a. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas yaitu :

Rp 4.800.000
------------------------- X Penghasilan Kena Pajak
Peredaran Bruto

b. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto yang memperoleh fasilitas.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

Metode Perhitungan PPh Pasal 21


Terdapat 3 macam metode pemotongan pajak PPh Pasal 21, yaitu: (1) Net Method
merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya; (2) Gross Method merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan
menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya; (3) Gross-Up Method merupakan metode
pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama
besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan. Gross-up method
diformulasikan untuk menyamakan jumlah pajak yang akan dibayar dengan tunjangan
pajak yang diberikan perusahaan terhadap karyawannya.

Rumus metode Gross-Up


Terdapat 4 lapisan dalam perhitungan gross-up menurut pasal 17 UU PPh No.36
Tahun 2008 :
1) Lapisan pertama PKP Rp 0,0 s/d Rp 50.000.000
Tarif pajak penghasilan 5% dan tidak memiliki komponen pengurang
Tunjangan PPh = (PKP x 5%)
0,95
2) Lapisan kedua PKP Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000
Tunjangan PPh = (PKPx15%) – Rp 5.000.000
0,85
3) Lapisan ketiga PKP Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000
Tunjangan PPh = (PKPx25%) – Rp 30.000.000
0,75
4) Lapisan keempat PKP lebih dari Rp 500.000.000
Tunjangan PPh = (PKP x 30%) – Rp 55.000.000
0,70

Manajemen Pajak
Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan
benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh
laba dan likuiditas yang diharapkan (Sophar Lumbantoruan, 1996). Tujuan manajemen pajak
dapat dicapai melalui fungsi-fungsinya yaitu: (1) Perencanaan pajak adalah langkah awal
dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap
peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk
meminimumkan kewajiban pajak; (2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan apabila pada
tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk
melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementsikannya
baik secara formal maupun material; (3) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan
bahwa kewajiban pajak dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah
memenuhi persyaratan formal maupun material. Hal terpenting dalam pengendalian pajak
adalah pemeriksaan pembayaran pajak.

Perencanaan Pajak (Tax Planning)


Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan
agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Ada tiga hal
yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak: (1) Tidak melanggar ketentuan
perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak dipaksakan dengan melanggar ketentuan
perpajakan, bagi Wajib Pajak merupakan risiko dan yang sangat berbahaya dan justru
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

mengancam keberhasilan perecanaan pajak tersebut; (2) Secara bisnis masuk akal karena
perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh
(global strategy) perusahaan, baik jangka panjang maupun jangka pendek, maka perencanaan
pajak yang tidak masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri; (3) Bukti-bukti
pendukungnya memadai, misalnya dukungan perjanjian, faktur dan juga perlakuan
akuntansinya.

Motivasi Perencanaan Pajak


Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya
bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu: (1) Kebijakan Perpajakan (tax policy)
merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan.
Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya
suatu perencanaan pajak; (2) Subjek Pajak adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas
pembayaran deviden badan usaha kepada pemegang saham perseorangan yang
menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak
rendah sehingga sumber daya perusahaan dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain.
Disamping itu ada pertimbangan untuk menunda pembayaran deviden dengan cara
meningkatkan jumlah laba yang ditahan. Bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan
penundanaan pembayaran pajak; (3) Objek pajak adanya perlakuan perpajakan yang
berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha
perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah.Sebagai contoh, transaksi modal perseroan
atas dividend dan keuntungan modal; di mana atas pembyaran dividen kepada pemegang
saham perorangan diterapkan tariff progresif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
sedangkan keuntungan modal dikenakan pajak dengan tariff tetap sebesar 0,1% atau 0,6%
dari jumlah bruto nilai penjualan saham.
Karena objek pajak merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnya pajak, maka
untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak
lebih (karena bisa mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar
tidak harus membayar sanksi yang berarti pemborosan dana).

Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak


Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana
itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut in: (1) Menganalisis
informasi (basis data) yang ada. Hal ini hanya biasa dilakukan dengan mempertimbangkan
masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secacar total pajak
yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien; (2) Membuat
satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak; (3) Penggunaan satu atau lebih
negara tambahan; (4) Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak. Perlu dilakukannya
evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap
beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif
perencanaan; (5) Mencari kelemahan, kemudian memperbaiki rencana pajak. Perbandingan
berbagai rencana harus dibuat sebanyak mugkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang
diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan
peraturan/perundang-undangan. Tindakan perubahan (up to date planning) harus tetap
dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilannya
sangat kecil. Sepanjang penghematan pajak masih besar, rencana tersebut harus tetap
dijalankan, karena bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian
minimal. Pembuatan suatu rencana sebaiknya disertai dengan gambaran atau perkiraan
berapa peluang kesuksesan dan berapa laba setelah pajak yang akan diperoleh jika berhasil
maupun kerugian jika terjadi kegagalan; (6) Memutakhirkan rencana pajak yaitu engan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang
terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari
adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk
memperoleh manfaat yang potensial.

Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan


Sebelum melakukan strategi perencanaan pajak, terlebih dahulu harus dipahami
adanya perbedaan antara laba akutansi dan penghasilan kena pajak, perbedaan disini baik
dalam pengakuan pendapatan maupun biaya. (1) Laba Akuntansi (accounting income) atau
disebut juga laba komersial adalah pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia
bisnis. Laba akuntansi dihitung berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, di
Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK); (2) Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak atau PKP (taxable income) merupakan laba yang dihitung
berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya.

Strategi untuk Mengefisienkan Beban PPh Badan


1. Pemilihan Alternatif Dasar Pembukuan
Seperti halnya akuntans dasar pembukuan yang diakui oleh Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) adalah basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis).
Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat
timbulnya hak dan kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar.
Sedangkan pada basis kas, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat
terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang.Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka
menghitung PPh Badan sebagai berikut: (a) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu
periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang nontunai; (b)
Biaya-biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar; (c) Dalam
perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya yang
boleh dibebankan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
Jadi, perbedaan antara basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi menurut versi
perpajakan terletak pada biaya administrasi dan umum. Pada basis akrual, biaya
administrasi dan umum dibebankan pada saat timbulnya kewajiban; sedangkan pada
basis kas, biaya tersebut baru dibebankan pada saat terjadinya pembayaran. Dengan
demikian, dari sisi efisiensi beban pajak lebih menguntungkan memilih basis akrual.
2. Pengelolaan Transaksi yang Berhubungan dengan Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Perusahaan memiliki banyak peluang untuk melakukan efisiensi PPh Badan
terhadap biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan yang sangat
tergantung dari kondisi perusahaan sebagai berikut: (a) Pada perusahaan yang
memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas
Rp100.000.000) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mugkin
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena
pengeluaran ini tidak dapat dibebankan; (b) sebagai biaya. Untuk perusahaan yang PPh
Badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya memberikan kesejahteran karyawan
dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pemberian natura dan kenikmatan kepada
karyawan tidak termasuk objek PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian
natura dan kenikmatan tersebut tidak memengaruhi besarnya PPh Badan karena PPh
Badan Final dihitung dari presentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan
biaya-biaya; (c) Bagi peusahaan yang masih rugi, pemberi natura dan kenikmaan akan
menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

3. Pemilihan Metode Penilaian Persediaan


Penentuan metode penilaian persediaa cukup penting dalam perencanaan pajak
terutama untuk perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan perdagangan.
Untuk efisiensi pajak, terutama dalam kondisi perekonomian yang inflasi dimana harga
barang cenderung naik, maka metode rata-rata akan menghasilkan harga pokok
penjualan yang lebih tinggi dibanding dengan metode FIFO. Harga pokok penjualan
(HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih ecil sehingga
penghasilan kena pajak akan menjadi lebih kecil.
4. Pemilihan Metode Penyusutan Aset Tetap atas Aset Tak Berwujud
Penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak berwujud yang diakui oleh fiskus
sejak tahun 1995 terdiri atas dua metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo
menurun, yaitu: (a) Terhadap aktiva yang termasuk kelompok I s.d IV, wajib pajak
diperkenankan untuk memilih antara metode garis lurus (straight line method) atau
metode saldo menurun (decline balance method); (b) Terhadap aktiva kelompok bangunan,
wajib pajak harus menerapkan metode garis lurus; (c) Penggunaan metode penyusutan
harus dilakukan secara taat asas; (c) Masa mafaat dan tarif penyusutan aktiva untuk
masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut :

Tabel 3
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Tarif Garis Tarif Saldo
Berwujud Masa Manfaat Lurus Menurun

Non Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Non Permanen 10 Tahun 10% -
Sumber: (Resmi, 2009)

Untuk efisiensi beban pajak, sebelum menentukan metode mana yang akan
digunakan, terlebih dahulu seorang perencanaan pajak (tax planner) harus melihat
kondisi dari perusahaan yang bersangkutan. Jika kondisi perusahaan adalah laba dan
besarnya penghasilan kena pajak sudah mencapai tarif pajak yang tinggi atau tertinggi,
maka metode saldo menurun akan lebih menguntungkan. Sebaliknya jika kondisi
perusahaan rugi maka lebih baik memilih metode garis lurus.
5. Transaksi yang berkaitan dengan perusahaan sebagai Pemungut Pajak
Selain sebagai pembayar pajak, perusahaan juga sebagai pemotong pajak tehadap
pihak ketiga (withholding tax). Masalah yang sering kali timbul adalah pihak yang
bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong
withholding tax (misalnya PPh pasal 23 atas jasa konsultan), maka perusahaan akan
menanggung akibatnya jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan
dikenakan kewajiban untuk membayar withholding taxdimaksud ditambah denda bunga
atas keterlambatan penyetoran sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pokok pajak.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

10

Untuk mengatasinya, perusahaan sebaiknya me-mark up nilai transaksi supaya nilai


tersebut sudah termasuk pajak, karena jika perusahaan hanya membayar PPh Pasal 23
maka PPh yang dibayar oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
6. Optimalisasi Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dibayar
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan selain angsuran masa bulanan (PPh Pasal
25) atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah Pajak Penghasilan yang
dibayar maupun yang dipungut oleh pihak lain yang bersifat tidak final.
7. Rekonsiliasi SPT
Sebaiknya perusahaan melakukan rekonsiliasi secara periodik antara rekening-
rekening yang ada di SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal 21, dan SPT PPN. Jika ada
perbedaan segera dapat dilakukan koreksi, hal ini untuk menghindari pengenaan sanksi
berupa berikut ini: (a) Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah
prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya gaji dan
tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang
berkaitan dengan hubungan kerja, yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21. Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) ini terdiri atas gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada
karyawan dan penghasilan lain yang diberikan kepada pihak perorangan lainnya yang
menjadi objek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara yang ada dalam SPT
PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21; (b) Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
berkaitan dengan prosedur pengecekan yang dilakukan oleh KPP untuk mengecek
apakah jumlah omzet penjualan dalam SPT PPh Badan dengan jumlah omzet menurut
SPT PPN bulan Desember tahun yang bersangkutan sudah sama. Perlu diperhatikan
mengapa omzet oenjualan antara yang tercantum dalam SPT PPh Badan dengan SPT
PPN bisa berbeda.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Gambaran Obyek Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan analisis yang digunakan
adalah metode deskriptif.Metode Deskriktif adalah metode analisis yang menggambarkan
suatu keadaan secara objektif, sehingga memperoleh penyelesaian dari suatu masalah yang
dihadapi oleh perusahaan.Selain itu penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji
hipotesa atau teori, tetapi hanya menerapkan pengamatan dan penelitian yang memberikan
penjelasan terhadap suatu keadaan kemudian berusaha memberikan kesimpulan atas
pengamatan tersebut.
Sedangkan objek penelitian ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa
cleaning service. Perusahaan ini berlokasi di Jalan Panjang Jiwo No. 178-180 Surabaya.

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan aktivitas ilmiah yang sistematis, terarah dan
bertujuan. Maka data atau informasi yang dikumpulkan harus relevan dengan persoalan
yang dihadapi, artinya data itu berkaitan, mengena dan tepat.Didalam penelitian ini untuk
dapat memperoleh data yang relevan agar sesuai dengan permasalahan yang dihadapi,
maka digunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Observasi, yaitu mengadakan peninjauan langsung ke objek penelitian untuk
mendapatkan data primer.
2. Wawancara, yaitu upaya mendapatkan informasi secara lisan yaitu dengan
melakukan tanya jawab kepada beberapa pejabat perusahaan yang berwenang dan
yang bersangkutan dengan penelitian.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

11

3. Dokumentasi, yaitu mencatat data-data yang diperlukan berupa data perusahaan


atau laporan keuangan dan profil perusahaan yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.

Satuan Kajian
1. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Metode Gross Up merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan
memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang
akan dipotong dari karyawan. Gross-up method diformulasikan untuk menyamakan
jumlah pajak yang akan dibayar dengan tunjangan pajak yang diberikan perusahaan
terhadap karyawannya.

Teknik Analisis Data


Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipergunakan dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Tujuannya adalah
menganalisis data studi kasus dengan cara membuat suatu penjelasan tentang kasus yang
bersangkutan.Teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data-data yang diperlukan mengenai analisis PPh Pasal 21 dengan
menggunakan metode Gross Up sebagai alternative dan rekonsiliasi fiskal PT Multi
Clean Jaya Lestari.
2. Mengolah data yang telah diperoleh, sebagai bahan untuk menganalisa masalah.
3. Menyusun laporan analisis PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode Gross Up
sebagai alternatif dan rekonsiliasi fiskal PT Multi Clean Jaya Lestari
4. Membuat kesimpulan hasil pembahasan serta memberikan saran kepada PT Multi
Clean Jaya Lestari.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Biaya gaji karyawan dikoreksi sebesar Rp. 28.252.000, karena karyawan outsourcing
memiliki pinjaman kepada perusahaan sebesar Rp. 28.252.000.
2. Biaya bahan bakar kendaraan dikoreksi sebesar Rp. 6.118.469. Biaya bahan bakar
kendaraan digunakan untuk kepentingan digunakan untuk kepentingan pribadi
karyawan bukan untuk kepentingan perusahaan.
3. Biaya pemeliharaan kendaraan dikoreksi sebesar Rp. 10.003.158. Biaya pemeliharaan
kendaraan dikoreksi karena salah satu karyawan diluar jam kerja menggunakan
kendaraan perusahaan digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya dan
mengalami kerusakan, sehingga biaya tersebut sepenuhnya dibebankan oleh
karyawan yang bersangkutan.
4. Biaya penyusutan dikoreksi sebesar Rp. 3.692.923, biaya tersebut disusutkan
menyesuaikan dengan kondisi peralatan kantor yang sudah terpakai.
5. Biaya administrasi dikoreksi sebesar Rp. 3.839.505, karena terdapat pengurangan
biaya administrasi perusahaan.
6. Biaya umum dikoreksi sebesar Rp. 225.190.974, karena terdapat pengurangan biaya
umum yang dikeluarkan perusahaan.
7. Biaya diluar usaha dikoreksi sebesar Rp. 1.178.589. karena biaya tersebut oleh
perusahaan sengaja dikurangi untuk menekan pengeluaran perusahaan.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

12

Pemberian tunjangan pengobatan sebagai fasilitas kesehatan yang diberikan


perusahaan kepada karyawan. Atas tunjangan tersebut merupakan biaya yang boleh
menjadi pengurang penghasilan bruto bagi perusahaan karena biaya tunjangan tersebut
merupakan penghasilan bagi karyawan. Akan tetapi pemberian tunjangan kesehatan
tersebut akan lebih baik jika menggunakan metode Gross Up karena akan membuat
karyawan tidak membayar pajak lebih banyak dan juga bagi perusahaan tetap busa menjadi
biaya. Jadi akan sama-sama menguntungkan.
Dalam hal ini peneliti memberikan perhitungan analisa biaya yang akan dikeluarkan
sebelum tunjangan kesehatan diberikan, sesudah tunjangan kesehatan diberikan dengan
metode Gross Up terhadap pajak terhutang karyawan dengan asumsi jumlah karyawan tetap
sejumlah 15 orang dan karyawan outsourcing sebanyak 15 orang. Asumsi lain adalah
tunjangan kesehatan setiap karyawan diberikan tunjangan sebesar Rp. 600.000 setiap
tahunnya.
Untuk melakukan perhitungan PPh karyawan dengan menggunakan Metode Gross
Up, maka harus ditentukan dahulu penghasilan kena pajak dari masing-masing karyawan
berdasarkan UU No. 36 tahun 2008. Karena dalam perhitungan mulai tahun 2009 digunakan
formulasi Gross Up PPh Pasal 21 yang terbagi menjadi 4 lapisan serta sesuai dengan lapisan
tarif yang terdapat dalam Pasal 17 UU Pajak Penghasilan (Taris Progresif) UU No. 36 Tahun
2008.
Strategi yang digunakan adalah dengan perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode
Gross Up juga dapat mengakibatkan gaji bruto karyawan akan naik yang mengakibatkan
laba perusahaan menjadi turun, sehingga pajak yang ditanggung oleh perusahaan akan
turun, serta tidak terdapat selisih antara biaya fiskal dan komersial yang ditanggung
perusahaan. Menerapkan metode Gross Up pada perhitungan PPh Pasal 21 karyawan,
penambahan beban gaji pada perusahaan tidak menjadi beban bagi perusahaan karena
kenaikan ini akan menurunkan laba sebelum pajak, sehingga Pajak Penghasilan Badan
perusahaan akan turun.
Berikut ini peneliti jelaskan cara perhitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan
Metode Gross Up:

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up:


A. K/1
Gaji setahun Rp 63.100.000
Tunjangan kesehatan Rp 600.000
Penghasilan bruto 1 tahun Rp 63.700.000
Pengurang
Biaya jabatan Rp 981.000
Rp 981.000
Penghasilan Netto 1 tahun Rp 62.719.000
PTKP
WP Rp 15.840.000
K/1 Rp 2.640.000
Rp 18.480.000
PKP Rp 44.239.000
Pajak terhutang
5% x Rp 44.239.000 = Rp 2.211.950
Metode Gross Up
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

13

Rp 44.239.000 x 5%
= Rp 2.328.368
0,95

Diaplikasikan dalam PPh Pasal 21


A. K/1
Gaji setahun Rp 63.100.000
Tunjangan pajak Rp 2.328.368
Tunjangan kesehatan Rp 600.000
Penghasilan bruto 1 tahun Rp 66.028.368
Pengurang
Biaya jabatan Rp 981.000
Rp 981.000
Penghasilan Netto 1 tahun Rp 65.047.368
PTKP
WP Rp 15.840.000
K/1 Rp 2.640.000
Rp 18.480.000
PKP Rp 46.567.368

Pajak terhutang
5% x Rp 46.567.368 = Rp 2.328.368

Tabel 4
Perbandingan perhitungan PPh Pasal 21
Metode Net Basic dengan metode Gross Up
PT Multi Clean Jaya Lestari Tahun 2012
(dalam rupiah)
No Nama Status Metode Net Basic Metode Gross Up Selisih
1. A K/1 Rp 2.211.950 Rp 2.328.368 Rp 116.418
2. B K/0 Rp 2.249.250 Rp 2.367.632 Rp 118.382
3. C K/2 Rp 2.014.350 Rp 2.120.368 Rp 106.018
4. D TK Rp 2.038.100 Rp 2.145.368 Rp 107.268
5. E K/2 Rp 1.761.650 Rp 1.854.368 Rp 92.718
6. F TK Rp 1.926.000 Rp 2.027.368 Rp 101.368
7. G TK Rp 1.900.350 Rp 2.000.368 Rp 100.018
8. H TK Rp 1.611.550 Rp 1.696.368 Rp 84.818
9. I K/2 Rp 1.704.650 Rp 1.794.368 Rp 89.718
10. J K/2 Rp 1.696.100 Rp 1.785.368 Rp 89.268
11. K K/2 Rp 1.924.100 Rp 2.025.368 Rp 101.268
12. L K/2 Rp 1.902.250 Rp 2.002.368 Rp 100.118
13. M K/3 Rp 1.697.050 Rp 1.786.368 Rp 89.318
14. N K/3 Rp 1.878.500 Rp 1.977.368 Rp 98.868
15. O K/3 Rp 1.716.050 Rp 1.806.368 Rp 90.318
16. P K/1 Rp 160.550 Rp 169.000 Rp 8.450
17. Q K/0 Rp 229.650 Rp 241.737 Rp 12.087
18. R TK Rp 236.400 Rp 248.842 Rp 12.442
19. S TK Rp 243.150 Rp 255.947 Rp 12.797
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

14

20. T TK Rp 225.850 Rp 237.737 Rp 11.887


21. U K/0 Rp 233.300 Rp 245.579 Rp 12.279
22. V K/1 Rp 197.400 Rp 207.789 Rp 10.389
23. W TK Rp 184.800 Rp 194.543 Rp 9.743
24. X TK Rp 146.650 Rp 154.368 Rp 7.718
25. Y TK Rp 206.050 Rp 216.905 Rp 10.855
26. Z K/1 Rp 134.950 Rp 142.053 Rp 7.103
27. AA K/1 Rp 115.650 Rp 121.560 Rp 5.910
28. BB K/1 Rp 183.300 Rp 192.947 Rp 9.647
29. CC TK Rp 276.300 Rp 290.542 Rp 14.242
30. DD TK Rp 267.450 Rp 281.526 Rp 14.076
Total Rp 31.273.350 Rp 32.918.859 Rp 1.645.509

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa perhitungan PPh Pasal 21 dengan
menggunakan Metode Gross Up lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan dengan
Metode Net Basic.
Sebagai bahan analisis pada penelitian ini, maka berikut ini peneliti memberikan ringkasan
dampak penerapan Metode Gross Up atas perhitungan PPh Pasal 21.

Tabel 5
Ringkasan Dampak Penerapan Metode Gross Up
Atas Perhitungan PPh Pasal 21
PT Multi Clean Jaya Lestari Tahun 2012
(dalam rupiah)
Sebelum Metode Sesudah Metode
Klasifikasi Selisih Selisih
Gross Up Gross Up
Penghasilan bruto Rp 1.175.469.000 Rp 1.180.165.000 Rp 4.696.000 Meningkat
PKP Rp 625.467.000 Rp 630.163.000 Rp 3.987.000 Meningkat
PPh Pasal 21 terutang Rp 31.273.350 Rp 32.918.859 Rp 1.645.509 Meningkat
Tunjangan pajak
dengan Gross Up - Rp 32.918.859 - -

Dari hasil analisa dan pembahasan dapat dijelaskan bahwa dengan penggunaan
Metode Gross Up, tunjangan pajak yang diberikan oleh perusahaan sebesar Rp. 31.273.350;
besarnya nilai tersebut sama dengan PPh Pasal 21 terutang karyawan.

Dapat dirumuskan : Tunjangan Pajak = PPh Pasal 21

Dengan diterapkannya metode Gross Up maka beban PPh Pasal 21 pada perusahaan
digantikan oleh tunjangan PPh Pasal 21.

SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya sudah melakukan koreksi fiskal, sesuai dengan
peraturan perpajakan. Selisih koreksi yang dilakukan sebesar Rp 1.408.800 dan
berpengaruh pada PPh Badan.
2. PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya dalam menghitung PPh Pasal 21 masih
menggunakan metode Net Basic. Apabila PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya
menggunakan metode Gross Up, maka terdapat perbedaan perhitungan PPh Pasal 21
sebesar Rp 1.645.509. Tujuan penggunaan metode Gross Up adalah besarnya PPh Pasal
21 dengan diakui sebagai biaya yang dibebankan kepada karyawan.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 (2014)

15

SARAN
Dari hasil analisis dan pembahasan, peneliti memberikan saran diantaranya sebagai
berikut:
1. Laporan keuangan yang disajikan oleh PT Multi Clean Jaya Lestari Surabaya supaya
tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2. Bagi peneliti selanjutnya yang diharapkan menambahkan variabel dan objek penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, S. 2013. Akuntansi Perpajakan. Edisi ke-3. Salemba Empat. Jakarta.
Muljono, D dan B. Wicaksono. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan. Andi Yogyakarta.
Pohan, C. A. 2013. Manajemen Perpajakan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Resmi, S. 2009. Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi ke-5. Salemba Empat.Jakarta.
Silitonga, L. 2013. Penerapan Tax Planning Atas Pajak Penghasilan Badan Pada CV. Andi
Offset Cabang Manado. Jurnal EMBA 1 (3):829-839.
Suandy, E. 2011. Perencanaan Pajak. Edisi ke-5. Salemba Empat. Jakarta.
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Mitra Wacana Media. Jakarta.
Zain, M. 2007. Manajemen Perpajakan. Edisi ke-3. Salemba Empat. Jakarta.

●●●

You might also like