Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

‫المضاجع اليك هزتنى الليل لى بدا إذا حتى الناس نهار نهارى‬

‫جامع بالليل والهم ويجمعنى وبالمنى بالحديث نهارى ااقضى‬


‫االصابع الراحتين فى تثبت كما محبة منك القلب فى أثبتت لقد‬
Siangku adalah siang manusia yang lain
Bila malam tiba, tidurku sering terganggu oleh wajahmu
Sepanjang siang aku habiskan dengan perbincangan manis dan harapan-harapan
Dan sepanjang malam-malamku, aku dicekam murung dan rindu
Cintaku padamu telah tertanam di relung kalbuku
Jari-jari dua tangan kami merekat

‫بك لما دواء تجد علك انظر‬. ‫الخالص لنفسك واطلب الكعبة باستار فتعلق‬. ‫ضحك ثو المجنون فبكى‬. ‫ وقال الكعبة بحلقة تعلق ثم‬: ‫روحى بعت‬
‫العشق حلقة فى‬. ‫ فواتى القوت هذا وبدون قُوتى والعشق‬. ‫العشق بغير لى القدر جرى فال‬. ‫ بمائه رونى رب فيا‬, ‫به االكتحال حلية لعينى وأدم‬.
‫عمرها فى فزده بالعشق عمرى قصرت وإن عشقها من زدنى رب ويا‬. ‫حبا لليلى زدنى اللهم‬. ‫أبدا ذكرها تنسنى وال‬.
“Lihatlah, semoga engkau menemukan obat bagi sakitmu. Peganglah kiswah (kain penutup) Ka’bah dan
berdoalah agar Allah menghilangkan rasa cintamu itu”.

‫ايها القلب عش خاليا ودع عنك محبة كل من ال وفآء له‬


“Duhai hatiku, hiduplah menyepi, tinggalkan mencintai orang yang tak setia”.

Qais mengekspresikan kekecewaannya itu dalam puisinya :


‫ندمت على ما كان منى ندامة كما يندم المغبون حين يبيع‬
“Aku menyesali apa yang telah terjadi, bagai penyesalan orang yang tertipu saat menjual”.

‫ انت شبيه عين ماء‬. ‫هذه الرسالة منى انا رهينة الدار وقعيدة البيت … اليك يامن حطم القيد وصار حرا فى السهول والجبال‬
‫ بيننا ال يجمع رأسى‬. ‫ وهذا زوجى‬. ‫ انى بدونك على الوفاء مقيمة‬. ‫ وال زلت مثل الفراشة تهيم شمع الوصال‬.‫الخضر تألقا‬
‫ يا من أذياله فى الطهر شبيهة‬.‫ و برعمة بستان لم تتفتح‬.‫ وانى لجوهرة لم تقربها ماسة وكنز مختوم لم يفض‬. ‫ورأسه فراش‬
‫ وعلى النأي منك لن يبقى طويال هذا الجسم‬.‫ تعال فاسقنى ماء الخلود كالخضر‬.‫الخضر‬.

‘Surat ini dari aku, seorang perempuan yang terpenjara di rumahnya, seorang perempuan yang
sepanjang hari hanya duduk di rumah… untukmu duhai kekasihku. Apa kabarmu? Bagaimana
hari-harimu, dengan siapakah engkau menjalani hari-harimu di lembah-lembah dan di gunung-
gunung itu. Aku kira engkau lebih bahagia daripada aku. Engkau bisa bebas pergi ke mana saja,
dengan siapa saja dan bisa makan apa saja, sedangkan aku?. Ketahuilah kekasihku, aku tak bisa
apa-apa, hanya menunggu hari demi hari tanpa jiwa, sambil terus mengingatmu dan
merindukanmu. Duhai kekasih jiwaku, yang hatimu bagai mata air Hidhir, mataair keabadian.
Aku masih seperti dulu. Meski aku telah menikah, namun aku bersumpah hatimu selalu ada di
hatiku, Meski aku tidur satu rumah dengan suamiku, tetapi kepalaku tak pernah menyentuh
kepalanya di atas ranjang (La Yajma’u Ra’si wa Ra’sahu firasy). Permataku masih tersimpan
utuh dan tak pernah disentuh siapapun. Hartaku yang paling berharga masih terkunci dan tak
pernah dibuka oleh siapapun. Bungaku di taman masih kuncup dan belum merekah. Duhai dikau
yang jernihnya bagai air mata air Khidhir. Kemarilah, tuangkan air keabadian Khidhir. Jauhku
darimu tak akan lama lagi”.
‫ وانا تراب‬. ‫ وكنز فى يد الغير‬. ‫ اليك يا من انت قرار نفسى انت تاج على رأس سواي‬. ‫هذه الرسالة منى انا المضطرب الولهان‬
‫ وان لم ينلنى منك غير وقع اقدام الفراق لم يَثُر من ارضى‬.‫ فإن سقيتنى بماء الوصال اتيت الورد وأطلعت الربيع‬.‫فى واديك‬
‫ وهأانذا أسير قيدى‬.‫سوى الغبار‬.

Ini surat dariku, aku yang gelisah dan gila, untukmu, duhai engkau yang ada di lubuk jiwaku.
Engkau adalah mahkota di kepada selain aku dan kekayaan di tangan orang lain. Aku hanyalah
debu di lembahmu. Bila engkau menuangkan untuk air peremuan, engkau membawakan
kembang dan menerbitkan musim semi. Bila aku memerolehmu selain berpisah jauh darimu,
bumi ini tak akan menumbuhkan apapun selain debu. Lihatlah, aku adalah tawanan yang
terbelenggu”.

‫ وإذا نأيت عن بصرى فأنت‬. ‫كيف أنت تحت اطباق الثرى ؟ وكيف أنت فى ظلمات القبر ؟ إذا غبت عنى فشمائلك مآل روحى‬
‫ ولئن رحلت فألمك فى النفس مقيم‬.‫” أمام عين بصيرتى‬

“Duhai belahan jiwaku, duhai jiwaku, bagaimana engkau di bawah tumpukan debu ini.
Bagaimana engkau di dalam kegelapan kubur ini. Meski aku tak lagi bisa memandang wajahmu,
tetapi seluruh jiwamu memenuhi ruhku. Meski engkau jauh dari pandangan mataku, namun aku
melihatmu dengan mata jiwaku. Dan meski engkau telah pergi, namun lukamu ada dalam
jiwaku”.

“Di sinilah berbaring dua jiwa yang sunyi, yang saling menyinta dalam kesetiaan dan dalam penantian.
Dua jiwa menyatu dalam cinta abadi. Mereka bertemu di surga keabadian”.

Cinta Platonis

Kisah cinta romantis (al-Hubb al-Udzry): Qais dan Layla, di atas kemudian menginspirasi para
sufi falsafi. Layla dijadikan simbol Sang Kekasih, dan Majnun simbol para pencari (al-Salik),
para pencinta (al-Muhibb). Perjalanan menuju penyatuan antara Salik dan Kekasih, simbol
Keindahan Tuhan, dilalui seperti perjalanan cinta Qais dan Layla. Inilah yang kemudian disebut
sebagai “Cinta Platonis”. Para sufi besar, seperti Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, Ibn Arabi,
Jalal al-Din Rumi, Samnun al-Muhibb, Zhunnun al-Mashri, Al-Siir al-Saqathi dan lain-lain
menempuh dan mengaruhi jalan itu. Wallahu A’lam.

Layla Majnun, Sebuah Kitab yang Tak Biasa (Muhammad


Al-Fayyadl, Penulis Derrida, LKis 2005)
9 Februari 2009 pukul 20.54

Aku baru saja berdiri dari tempat duduk ketika kusadari gagang kacamataku basah oleh sedikit
rembesan air mata. Sebuah buku telah menghisapku sedemikian dalam ke seluruh pori-pori
katanya, membuat apa yang terkatakan menjadi tak terkatakan, dan menjadikan waktu dan detak
jantung seperti sepakat untuk berhenti bersama. Aku tahu ini hanyalah fiksi, cerita yang telah
menjadi sebuah legenda dari masa ke masa, namun bagi otak bawah sadarku ini adalah fakta
yang nyata. Toh, apalah arti fakta dan fiksi di bawah dunia fana ini—yang barangkali hanyalah
“rekaan” bagi pikiran Dia Sang Maha di langit sana?

Layla Majnun bukan sebuah buku biasa. Tadi sore tanpa sengaja aku memilihnya, lalu
membelinya, dan membawanya ke ruang baca. Tak terpikirkan olehku bahwa aku akan membaca
novel yang judulnya sudah lama kutahu itu, dan bagiku tampak klise. Aku menyadari bahwa
sangkaanku salah: buku ini—jika kau pernah membacanya, sebaiknya kau tak beranjak sedikit
pun sampai kau benar-benar mengkhatamkannya.

Terpujilah untuk penerjemah dan penyunting buku ini, yang berhasil menyuguhkan suatu bacaan
yang sangat hidup dan “sempurna” ke sidang pembacanya. Kalian berdua adalah pasangan
serasi, ibarat Majnun dan Layla. Terpujilah untuk penerbit buku ini, yang mau menerbitkan buku
yang akan memperkaya khazanah kata. Terpujilah Nizami sang pengarang, seorang pujangga
Persia abad ke-12, yang mau menggubah kisah ini dengan kecemerlangan yang sulit ditandingi.
Dan tentu saja, tak akan pernah lupa, terpujilah untuk Dia yang menciptakan Layla dan Majnun
ke dunia ini, yang untuk cinta-Nya Nizami dan para pengarang-sufi lainnya berkarya.

Perlukah bagiku untuk menceritakan kembali isi buku yang tak biasa ini? Jika kau membaca
sendiri buku ini, kau akan mengerti kenapa kata-kata seperti harus meluap-luap untuk
menggambarkan nuansanya. Aku yang baru membacanya sekali, seperti ingin berteriak
kegirangan dan menari sejenak walau cuma dalam imajinasi. Bagaimana dengan William
Shakespeare, yang tergerak menulis Romeo and Juliet untuk meniru keindahan buku ini?
Bagaimana dengan Jalaluddin Rumi, yang menjadikan karya ini inspirasi terpenting bagi
Matsnawi-nya? Terbayangkankah betapa mereka tak cuma girang dan menangis, tapi juga
menari? Seperti al-Hallaj yang berteriak sempoyongan karena ketergilaannya pada Tuhan, sang
Mawlana—Rumi—pastilah ekstase setelah membaca karya ini.

Sejatinya Layla Majnun adalah kisah “tragis” tentang cinta yang tak sampai antara dua orang
manusia. Seseorang bernama Qays, dan seseorang lagi bernama Layla. Mereka bertemu, saling
jatuh cinta, namun hubungan mereka tak direstui. Mereka kemudian berpisah secara
menyakitkan, ketika cinta mereka sedang di puncak baranya. Qays begitu tergila-gila pada Layla
hingga menyebutnya sepanjang waktu, menyanyikan sajak-sajak cinta di mana pun ia berada-
hingga orang mencapnya “Majnun” alias sinting. Ia menelantarkan studinya karena cintanya
pada Layla, ia merendahkan harga dirinya karena cinta, dan menggelandang kesana kemari
hanya untuk mengungkapkan cintanya kepada Layla.

Padahal Qays adalah anak bangsawan kaya. Dan ayahnya, tahu dan sedih dengan kondisi Qays,
berminat melamar Layla, namun lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayah Layla. Qays
semakin majnun, semakin tenggelam dia dalam kegilaannya, dan orang-orang terus mencemooh
dan mencacinya karena ketidakwarasan itu, hingga kemudian ada seorang kesatria Arab bernama
Naufal membantu ingin merebut Layla dari sukunya dan mempertemukan Layla dengan Qays

Terjadi perang besar, suku Layla kalah, namun ayah Layla tak mau menyerahkan Layla kepada
Naufal. Qays tetap merana dalam kesendiriannya. Ia berkelana ke gurun-gurun pasir tanpa
kejelasan nasib, pikirannya terlalap api cinta, dan tubuhnya semakin menderita, kurus ceking dan
tinggal tulang belulang. Sementara, Layla diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu
Salam yang datang melamar ke keluarga Layla dan diterima. Layla pun dinikahkan dengan Ibnu
Salam, walaupun lelaki itu tak pernah dicintainya. Dan benar, selama bersama dengan Ibnu
Salam, kesucian Layla tetap terjaga; lelaki itu, meski jadi suaminya, tak pernah bisa
menyentuhnya.

Selama masa-masa perpisahan itu, Qays si Majnun hidup di hutan, berkawan dengan rimba,
dengan binatang-binatang, dan kehilangan akal kemanusiaannya. Terasing dari keluarganya, dari
sukunya, dan bahkan dari manusia, dia memilih hidup untuk merawat cinta, sendiri di ganasnya
hutan belantara. Sementara Layla berhari-hari memendam rindunya pada Qays, Qays membalas
rindunya pada Layla dengan sajak-sajak cinta yang dititipkannya pada alam raya. Hingga
keduanya mati, mereka hanya bertemu sekali di ujung perpisahan panjang itu. Layla mati, dan
Qays pun menyusul kekasihnya ke gerbang kematian. Demikianlah, seseorang kemudian
bermimpi melihat keduanya bercengkerama bersama dan saling bermesra ria di surga…

Tak ada yang pernah dapat menceritakan kembali keanggunan Layla Majnun hanya dalam satu-
dua halaman, kecuali kau menjelma Nizami, dan kalaupun ada yang mau meringkasnya, jangan
pernah percaya sebelum kau membacanya dengan mata kepala. Layla Majnun bagiku bukan
untuk diceritakan ulang; karya ini untuk dibaca dan dihayati, terutama jika kau pernah mencecap
apa yang disebut “cinta”.

Layla Majnun bukan kisah cinta biasa. Cinta antara jantan dan betina, antara dua jiwa yang
sekadar ingin bersama. Ia bukan cinta yang sering kali berselubung nafsu dan berahi. Jika saja
kau benar-benar merasakannya, mencecapnya hingga kata-kata terakhir di dalamnya, kau akan
tahu betapa karya ini sebenarnya berbicara tentang cinta yang lebih hakiki, cinta seorang hamba
pada Tuhannya.

Majnun adalah tipikal seorang hamba yang diperbudak oleh cintanya. Sedangkan Layla adalah
tipikal seorang kekasih yang mendamba untuk dicintai. Majnun adalah seorang pencari cinta,
sedangkan Layla adalah penunggu cinta. Majnun adalah budak cinta yang menghamba untuk
diizinkan mencintai, sedangkan Layla adalah majikan yang tak sabar untuk segera dicintai.
Bukankah semua ini cukup menggambarkan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya?

Tuhan, seperti pernah dikatakannya dalam sebuah hadis Qudsi, adalah Khazanah Tersembunyi.
Ia ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan seisinya. Ia mencipta bukan karena Ia butuh
kepada ciptaannya, tapi agar Ia kelak dikenal dan dirindu—serta dicumbu—oleh ciptaannya.

Layla Majnun memberi kita ruang untuk menafsiri cinta sesuka hati kita, seturut nurani
pembacanya. Namun, pembaca yang satu ini lebih memilih menafsiri dengan kegilaan yang
sudah lama tak dirasakannya—kegilaan yang dulu membuatnya begitu gandrung pada al-Hallaj
dan sufi-sufi sinting lainnya. Dalam kegilaannya, yang hanya sepersekian persen dari kegilaan
Majnun, pembaca yang satu ini menuliskan satu pasase di halaman pertama buku yang baru
dibelinya: sebuah tanda tangan dan sebuah doa “Semoga Allah selalu merahmati Nizami dengan
keluhuran karyanya…”.
(*Persembahan untuk edisi Layla Majnun [yang sementara ini tampaknya merupakan edisi
terbaik dalam bahasa Indonesia] karya Nizami, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ali Noer
Zaman dan disunting oleh Salahuddien Gz, Kayla Pustaka, Jakarta, cet. I Februari 2009… dan
juga persembahan untuk Layla-ku, “masihkah kau selalu jadi Layla bagi Majnun-mu?”)

‫أمر على الديار ديار ليلى‬


‫أقبل ذا الجدار وذا الجدار‬
‫وما حب الديار شغفن قلبي‬
‫ولكن حب من سكن الديار‬

‘Bukanlah tembok kota yang aku kucup


Tetapi cinta hatiku yang tinggal hidup.’

Suatu masa Laila berada di hadapan Qais. Akan tetapi Qais tidak pula memandang Laila.
Malahan ralit menatap rembulan. Sekali lagi orang mempersoal.

Jawab Qais:

‘Apa perlunya aku menatap Laila


Cukuplah menatap bulan yang sama ditatap Laila.’

Tidak terhenti di sini. Syeikh tersebut kemudian mengaitkan bagaimana dengan kesungguhan
cinta yang tulus suci, lahirlah akhlak yang murni. Seorang kekasih sentiasa merindukan yang
dicintainya, mengingat dalam doa, diperjuangkan siang dan malam.

Kalimat terakhir Syeikh tersebut menyentak kalbu.

“Jikalau beginilah keadaan cinta sesama manusia, bagaimanakah pula cinta kalian terhadap
Rasulullah s.a.w?”

“Sesungguhnya cinta tulus antar manusia adalah awal perjalanan menuju pengenalan kepada Tuhan,
memasuki pengalaman mencintai-Nya dan limpahan anugerah dan kemurahan-Nya.” Ibnu Arabi

Erich Fromm, mulailah mencintai. Sebab cinta itu memberi bukan menerima. Bila tak mampu memberi
cinta, bisa jadi sedang terjangkit ketidakmampuan menghasilkan cinta.

//… Wahai Layla, cinta telah membuatku lemah tak berdaya // seperti anak hilang jauh dari kelurga dan
tidak memiliki apa-apa // Cinta laksana air yang menetes menimpa bebatuan // Waktu berlalu dan
bebatuan itu akan hancur berkepingan // berserak bagai kaca berpecahan // begitulah cinta yang kau
bawa padaku // dan kini telah hancur binasa hatiku // hingga orang-orang memanggilku si gila yang
suka merintih dan menangis pedih // Mereka mengatakan aku telah tersesat // Duhai, mana mungkin
cinta akan menyesatkan // Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan // Diterpa panas mentari
siang // Bagiku cinta adalah keindahan // yang membuat mata tak bisa terpejam // pemuda mana yang
bisa selamat dari api cinta //

Kata Majnun, “Mereka menganggap cinta adalah dosa. Cinta bagi mereka adalah noda yang harus
dibasuh”. “Padahal”, lanjut Majnun, “cinta telah masuk ke dalam sanubari tanpa kami undang. Bagai
ilham dari langit yang datang menerjang. Lalu bersemayam dalam jiwa. Dan kini kami akan mati
karenanya karena cinta telah melilit seluruh jiwa. Katakan padaku, siapa orangnya yang bisa bebas dari
penyakit cinta?”

sebenarnya Nizami sedang memberi gambaran bahwa jika seseorang sedang jatuh cinta dengan Allah,
maka akan keluar secara otomatis dari mulutnya nama Allah. Sengaja atau tidak, pasti akan keluar nama
Allah. Kalau dihatinya telah tumbuh nama Allah, tidak bisa dipaksa. Pondasinya adalah cinta. Kalau
sudah cinta, tidak perlu dipaksa, otomatis nama Allah akan keluar ketika cinta ada dalam diri. Inilah
kenapa latihan jatuh cinta itu perlu, agar diri paham bahwa ternyata seperti ini cinta itu.

Lain kesempatan Layla membalas surat Majnun, “Semua yang tampak dari manusia adalah
kebencian, namun cinta telah memberikan kekuatan. Orang-orang mencemooh hubungan kita.
Sesungguhnya mereka tidak tahu betapa kerinduan yang tersimpan di dalam dada.”

Begitulah cinta. Seseorang tidak akan bisa menipu dirinya ketika ia sedang jatuh cinta. Mungkin
ia bisa menipu banyak orang, tapi tidak untuk dirinya. Kata Kahlil Gibran, seorang penyair dari
Lebanon, “Pasrahlah! Ketika cinta telah memanggilmu.”

“Cinta di dadaku bukanlah untuk rumah, tapi cinta di dadaku adalah untuk siapa yang ada di
dalamnya.” Syair ini yang sangat terkenal dari Majnun

“… Aku mencintai Layla, namun halangan menghadangku untuk bertandang. Aku menyayanginya dan
tidak bisa berpaling dari selain dia. Bagaimana bisa aku bisa berpaling darinya, sedang hatiku telah
tergadai padanya. Aku bertaubat padamu Rabbi karena kepadamu jua aku kembali. Wahai Raja Diraja
para pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta ini, aku hanya memohon kepadamu satu hal saja,
tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku akan tetap
hidup.”

Majnun terus mendaras doanya, “Ya, Allah, tambahkanlah kerinduan dan kecintaanku padanya.
Seandainya semakin berkurang umurku karena cinta maka tambahlah umurnya, Layla. Wahai Tuhan,
tambahkanlah cintaku kepada Layla dan jangan membuatku lupa untuk mengingatnya selamanya.” Doa
ini diafiliasikan oleh Nizami bukan pada orang, manusia, tapi pada Allah. Meminta kepada Allah agar
jatuh cinta pada-Nya, dianugerahi rasa cinta pada Allah, cinta ilahiat.

“Wahai dunia, begitukah balasanmu pada pecinta yang tulus ini? Begitukah balasan yang aku terima
dari kesetiaan dan pengorbananku? Kemarin aku merasa senang karena bayang-bayang Layla masih
hadir dalam mimpiku. Namun kini, bayangan itu pun engkau renggut. Apalagi yang aku miliki
sekarang?” Hati Majnun merasa tercabik-cabik. Ia merasa apa yang telah ia usahakan selama ini sia-sia,
termasuk doa-doa yang selalu dirapalkan tiada henti.

Sebelum meninggal, Layla berpesan kepada ibunya.

“Sebelum aku pulang esok atau lusa, bila mana aku mati, kenakan aku baju pengantin yang
paling bagus. Jangan bungkus aku dengan kain kafan. Carilah kain berwarna merah muda,
bagai darah segar sorang syahid. Lalu riaslah wajah dan tubuhku secantik mungkin bagaikan
pengantin yang paling cantik seluruh bumi. Alis Majnun dan bulu mataku ambillah dari debu
yang melekat di kaki kekasihku. Dan jangan usapkan ke tubuhku minyak wangi kasturi atau
minyak wangi apa pun. Usaplah dengan air mata Majnun, kekasihku. Wahai ibu, katakan pada
pengembara yang selalu diliputi kesengsaraan itu, semua sudah usai. Layla, sahabatnya yang
dalam kesedihan itu sekarang sudah tiada. Ia telah bebas dari belenggu duniawi. Hatinya hanya
diberikan kepadamu dan dia mati untukmu.”

Jadi sebenarnya ini adalah kisah tentang cinta ilahiat. Cinta kepada Tuhan yang sudah sangat mendalam.
Inilah yang membuat para sufi mabuk Allah, yang membuat para sufi ketika berada dipuncak
kenikmatan cinta yang keluar dari mulutnya hanya Allah. Sungguh, Nizami membungkus ceritanya
dengan apik. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus mencintai dan memberi cinta, terutama
terus latihan mencintai Allah.

“the unexamined life is not worth living” (hidup yang tidak diuji adalah kehidupan yang tidak berharga).
Socrates

Hidup tidak boleh dibiarkan mengalir begitu saja, tidak boleh dibiarkan berjalan apa-adanya tanpa tahu
harus kemana atau untuk apa atau mengapa harus demikian. Hidup harus diuji, harus diketahui,
direncanakan, dan dipahami, kemudian dijalankan dalam alternatif terbaiknya.

Budaya yang populer mengindikasikan gaya hidup yang ikut-ikutan dan kehilangan daya kritis untuk
berpikir secara mandiri.
Secara umum harus dikatakan bahwa sebagian besar manusia hidup dalam ‘kemapanan’, status quo,
sungai kehidupan yang airnya tidak mengalir, tidak berkembang secara kualitatif, tidak mampu
memberlakukan semboyan ‘hari ini harus lebih baik dari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini’.
Kita seakan mandeg. Kita adalah robot.

Plato:

Banyak di antara kita yang tidak tahu apa itu keindahan atau kebajikan, tetapi mereka
menganggap telah tahu, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa; sementara saya, kalau tidak tahu
apa-apa tidak akan pernah merasa sudah tahu. Maka kelihatannya saya sedikit lebih bijaksana
dibandingkan mereka, sejauh saya tidak pernah membayangkan bahwa saya sudah tahu tentang
sesuatu yang saya sama sekali tidak tahu.

“Being ignorant is not so much a shame, as being unwilling to learn”, demikian kata Benjamin Franklin,
sesepuh dan foundingfathers Amerika. Kalau diterjemah secara letterlijk kalimat tersebut berarti
“Menjadi bodoh itu tidak terlalu memalukan dibandingkan menjadi tidak mau belajar”.

Nabi saw panutan kita berabda, “Katakanlah kebenaran walau pahit”. Hadis ini apabila
dicermati memuat dua proposisi besar. Pertama, ada kebenaran yang memang pahit untuk
diterima. Kedua, sepahit apapun kebenaran yang kau temukan, hadapi dan nyatakanlah.
Sampaikanlah kebenaran itu kepada siapapun yang terjangkau olehmu, sepahit apapun rasanya.

Lain dari itu, hadis Nabi saw di atas juga mengisyaratkan pentingnya kebenaran dan
penyampaian kebenaran. Berarti dalam kebenaran tidak cukup jika kita hanya menikmatinya
sendiri, namun dengan berbagai media yang mungkin, sampaikanlah kebenaran, meskipun
menyakitkan.

Ada sebuah kutipan yang entah ada di buku atau novel mana yang masih saya ingat, kira-kira begini
bunyinya: “You want to come into my life, the door is open. You want to get out of my life, the door is
open. Just one request: don’t stand at the door, you are blocking the traffic.” (Engkau ingin masuk dalam
kehidupanku, pintu terbuka. Engkau ingin pergi dari hidupku, pintu juga telah terbuka. Hanya satu
pintaku: Jangan berdiri di pintu, engkau menghalangi jalan!)

Kenalilah Dirimu, itulah jargon lain dari Socrates

Maka sebenarnya, kehadiran filsafat bagi saya sebenarnya adalah untuk menantang kita,
beranikah kita mempertanyakan dan menguji kembali segala yang selama ini kita anggap ‘sudah
semestinya demikian’? Mengapa harus makan sehari tiga kali? Mengapa tidur harus sekitar
delapan jam sehari? Mengapa di pagi hari harus mandi? Mengapa jam kantor harus dimulai
pukul delapan? Mengapa anak kecil tidak boleh berbicara sambil menatap mata orang dewasa?
Mengapa wanita harus ‘diakhirkan’ atau ‘didahulukan’ dalam berbagai urusan? Mengapa harus
lelaki yang berkewajiban mencari nafkah? Mengapa harus wanita yang mengurusi urusan rumah
tangga? Mengapa harus ada negara? Mengapa orang harus beragama? Mengapa orang butuh
ikatan perkawinan?, dan seterusnya.

Beranikah kita menjawab tantangan filsafat ini? Mungkin tidak semuanya berani, karena harus
diakui bahwa hampir semua manusia dalam kehidupannya hanyalah sekadar ‘membebek’ saja
terhadap berbagai tradisi yang selama ini sudah berjalan ‘mapan’. Menguji kembali berbagai hal
yang selama ini berjalan mapan seringkali akan menempatkan Anda berseberangan dengan
mayoritas orang, dan risiko untuk ini tidak kecil.

Socrates sendiri—adalah untuk membawa dunia ke arah ketertiban yang tingkatnya lebih tinggi, yaitu
ketertiban yang diiringi dengan kesadaran serta kepedulian dan pemahaman manusia terhadap
kehidupan mereka sendiri.

Manusia tidak boleh hidup hanya dengan mengandalkan rutinitas, ikut apa kata orang, merasa
tahu padahal tidak tahu, dan merasa bisa padahal belum tentu. Manusia harus disadarkan dan
dibangunkan dari keseharian yang membuat mereka terlena dan tidak suka ambil pusing terlalu
dalam dengan segala yang mereka lakukan dan mereka pikirkan.

Manusia harus digugah dari ketenggelaman mereka dalam kesibukan duniawi yang membuat
mereka tidak lagi peka terhadap baik-buruknya, benar-salahnya, dan layak-tidak layaknya apa
yang mereka pikirkan, mereka lakukan dan mereka angankan. Dengan melakukan re-evaluasi
terhadap hidup inilah manusia akan menemukan kebermaknaan kehidupannya, bukan sekadar
menjadi komponen dalam sebuah mesin besar yang tidak punya nilai tawar dan nilai pilih selain
hanya ikut berjalan sesuai program tertentu yang telah dipatenkan.

Maka menurut saya, perbedaan paling esensial antara manusia dan binatang terletak pada
kemampuannya memaknai hidup, mengatur hidupnya agar tidak terjebak dalam kesia-siaan. Untuk bisa
membuat hidupnya bermakna pertama-partama orang harus menyadari dulu apa yang harus dan
seharusnya ia lakukan, sekaligus mampu memahami benar-salah, baik-buruk atau layak-tidak layaknya
yang ia lakukan itu. Dengan kesadaran dan pemahaman ini maka hidup yang dijalaninya akan memiliki
‘harga’, bernilai untuk dibela dan dipertanggung-jawabkan.

Melalui kemampuan memaknai hidup inilah manusia diharapkan mampu melepaskan dirinya
dari jeratan mekanisasi hidup dan cara pandang dan perilaku yang stereotipe tentang hidup.
Kemiskinan, kekayaan, ketertindasan, kemerdekaan, kebahagiaan, dan juga kesedihan dalam
kehidupan pada dasarnya adalah persoalan pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai
hidupnya sendiri. Dan untuk bisa melakukan itu, filsafat menawarkan dirinya sebagai kendaraan.
Kenalilah Dirimu!

Mungkin membaca misi filsafat yang mendorong setiap orang untuk menguji hidupnya sendiri
membuat Anda takut kepada filsafat, atau memiliki ketidaksetujuan tertentu kepada filsafat.
Boleh saja jika kemudian karena ketidaksetujuan itu Anda bertekad untuk tidak melibatkan sama
sekali filsafat dalam hidup Anda. Tetapi Anda perlu mencatat bahwa setiap orang, termasuk
Anda, sebenarnya berhak dan layak untuk masuk dan bergelut dalam dunia filsafat. Setidaknya
setiap orang memiliki filosofi hidup sendiri-sendiri, misalnya ada orang yang memiliki prinsip
hidup ‘kuliah dulu-baru menikah’, ‘sikat dulu, urusan belakangan’, ‘jangan sampai saya tidak
jujur kepada orang tua’, ‘berbohong asal membawa keuntungan itu tidak apa-apa’, ‘setiap
tindakan harus menghasilkan uang’, ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’, atau ‘kumpul
ora kumpul sing penting mangan’, atau ‘lebih baik mati dari pada malu’, dan mungkin ada pula
yang memiliki filosofi ‘lebih baik malu dari pada tidak punya duit’. Itulah filosofi hidup.

Langkah pertama, sadarilah segala filosofi hidup dan realitas hidup Anda. Langkah kedua bernalar atau
berpikirlah secara serius, teratur, terfokus, dan mendalam tentang segala filosofi Anda tadi, baik latar
belakangnya, tujuannya, yang harus atau tidak boleh dilakukan berdasarkan filosofi hidup tadi, dan
seterusnya.

resapilah makna cinta Qais berikut ini :

Kerabat dan handai- taulanku mencela


Karena aku telah dimabukkan oleh dia
Ayah, putera- putera paman dan bibik
Mencela dan menghardik aku
Mereka tak bisa membedakan cinta dan hawa nafsu
Nafsu mengatakan pada mereka, keluarga kami berseteru
Mereka tidak tahu, dalam cinta tak ada seteru atau sahabat
Cinta hanya mengenal kasih sayang
Tidakkah mereka mengetahui?
Kini cintaku telah terbagi
Satu belahan adalah diriku
Sedang yang lain ku berikan untuknya
Tiada tersisa selain untuk kami

Wahai burung- burung merpati yang terbang diangkasa


Wahai negeri Irak yang damai
Tolonglah aku !
Sembuhkan rasa gundah- gundah yang membuat kalbu tersiksa
Dengarkanlah tangisanku
Suara batinku

Waktu terus berlalu, usia makin dewasa


Namun jiwaku yang telah terbakar rindu
Belum sembuh jua
Bahkan semakin parah

Bila kami ditakdirkan berjumpa


Akan kugandeng lengannya
Berjalan bertelanjang kaki menuju kesunyian
Sambil memanjatkan doa- doa pujian kepada Allah SWT
Ya Raab, telah kujadikan dia
Angan- angan dan harapku
Hiburlah diriku dengan cahaya matanya
Seperti Kau hiasi dia untukku
Atau buatlah dia membenciku
Dan keluarganya dengki padaku
Sedang aku akan tetap mencintainya
Meski sulit aku rasa

Mereka mencela dan menghina diriku


Dan mengatakan aku hilang ingatan
Sedang dia sering terdiam mengawasi bintang
Menanti kedatanganku

Aduhai, betapa mengherankannya


Orang- orang mencela cinta
Dan menganggapnya sebagai penyakit
Yang meluluh- lantakan dinding ketabahan

Aku berseru pada singgahsana langit


Berikan kami kebahagiaan dalam cinta
Singkaplah tirai derita
Yang selalu membelenggu kalbu

Bagaimana mungkin aku tidak gila


Bila melihat gadis bermata indah
Yang wajahnya bak matahari pagi bersinar cerah
Menggapai balik bukit, memecah kegelapan malam
Keluarga berkata
Mengapakah hatinya wahai ananda?
Mengapa engkau mencintai pemuda
Sedang engkau tidak melihat harapan untuk bersanding dengannya
Cinta, kasih dan sayang telah menyatu
Mengalir bersama aliran darah di tubuhku
Cinta bukankah harapan atau ratapan
Walau tiada harapan, aku akan tetap mencintainya
Sungguh beruntung orang yang memiliki kekasih
Yang menjadi karib dalam suka maupun duka
Karena Allah akan menghilangkan
Dari kalbu rasa sedih, bingung dan cemas
Aku tak mampu melepas diri
Dari jeratan tali kasih asmara
Karena surga menciptakan cinta untukku
Dan aku tidak mampu menolaknya

Sampaikan salamku kepada dia,


wahai angin malam
Katakan, aku akan tetap menunggu

Hingga ajal datang menjelang

Imam Ibnul Qayyim-semoga Allah senantiasa merahmatinya-dalam kitabnya yang berjudul, “ad-
DA’wa ad-Dawa” (Peyakit dan Penawarnya), mengungkapkan bahwa perasaan cinta kepada
wanita itu ada tiga bagian.

1. Berupa perasaan cinta yang bernilai ibadah. Yaitu, kecintaan seorang suami terhadap
istrinya. Perasaan cinta ini merupakan perasaan cinta yang bermanfaat karena perasaan
cinta itu akan lebih mendorong terwujudnya tujuan-tujuan mulia yang telah Allah
syariatkan dalam ikatan pernikahan. Perasaan itu juga akan mampu menjaga pandangan
mata dan hati dari melihat wanita selain istrinya (bukan mahramnya). oleh karena itu,
perasaan cinta ini di puji oleh Allah dan di sanjung oleh manusia.
2. Perasaan cinta yang di larang oleh Allah. yaitu, kecintaan seorang laki-laki kepada wanita
yang bukan mahramnya.
3. Perasaan cinta yang mubah (dibolehkan oleh Allah). Yaitu, sebagaimana cintanya
seorang laki-laki tatkala digambarkan perihal seorang wanita cantik kepadanya, atau tiba-
tiba saja dia melihat seorang wanita cantik tanpa di sengaja, lantaran hatinya pun bergetar
dan terpaut kepadanya,sementara perasaan cinta itu tidak menjerumuskannya kedalam
perbuatan dosa dan maksiat. Karena peristiwa ini terjadi di luar kemampuan seseorang
sehingga ia pun tidak berdosa (di hukum).

Namun alangkah bermanfaat baginya, sekiranya ia mau menahan diri dan mencegah dari hal itu
serta meyibukan diri dengan aktivitas-aktivitas yang lebih berguna. Dan hendaknya ia juga
senantiasa menjaga rahasia, menjaga kesucian diri dari hal-hal yang haram (iffah) dan bersabar
atas segala musibah yang menimpanya. Dengan begitu niscaya Allah akan memberinya balasan
pahala untuknya dan mengganti kesabaran serta iffahnya itu dengan imbalan yang jauh lebih
baik lagi.
Imam Ibnul Qayyim-semoga Allah senantiasa merahmatinya-juga bertutur perihal cinta sebagai
berikut,

“Cinta yang terpuji ialah cinta yang bisa mendatangkan kepada pemilik cinta itu hal-hal yang
memberinya manfaat di dunia maupun di akhirat. Maka cinta yang seperti ini merupakan muara
sebuah kebahagiaan. Adapun cinta yang tercela adalah cinta yang bisa mendatangkan kepada
pemiliknya hal-hal yang membawanya kepada kerugian dunia dan akhirat. Dan cinta seperti ini
adalah sumber penderitaan dan duka lara.”

Sebetulnya orang selalu salah menafsirkan tentang cinta. Bahwa sesungguhnya cinta sudah ada
dari sejak kita lahir kedunia dan sudah menjadi suratan takdir manusia.

Cinta tak dapat dimiliki karena cinta miliknya

Manusia sering mencintai melebihi cintanya kepada tuhanNya yang berujung pada penderitaan
dan mati dengan keteragisan.

Ingatlah kawan janganlah kita melebihi cinta kita terhadap Sang Pencipta bahwa sesungguhnya
iyalah Maha Cinta dan cinta hanya milikNya karena cinta yang singgah terhadap insyan ibarat
kapal yang singgah di pelabuhan dan akan berangkat pergi sewaktu-waktu.

Setiap pemandangan yang nampak oleh manusia menjadi kemarahan

Setiap pemandangan itu sangat berpengaruh bagi pemiliknya.

Aku teringat dirimu sementara tombak-tombak laksana unta-unta lapar yang hendak
memangsaku dan pedang-pedang terhunus untuk mengalirkan darahku dengan suka cita.

Dengan suka cita akan kuhadapi pedang-pedang itu karena ia berkilau laksana kilauan gigi-gigi
manismu di saat engkau terseyum.

sabda Nabi saw:


Artinya: “Cinta kepada sesuatu akan membuatmu buta dan tuli”.(Hadis marfu’ diriwayatkan oleh Abu
Daud no. 4465, Imam Ahmad no. 20705)
Jarir dalam syairnya berkata:
“ Tak kulihat semua kekasih tercinta
Atau sebagiannya jikalau aku sudah rela
Mata yang ridho takan melihat cela
Keburukan selalu tampak bagi mata yang benci

TANDA DAN BUKTI CINTA


#. Menghujamkan pandangan mata
#. Malu-malu jika orang yang dicintai memandanganya
#. Banyak memgingat orang yang di cinta, membicarakan dan meyebut namanya.
#. Tunduk kepada perintah orang yang di cintai dan memdahulukannya dari pada kepentinganya sendiri.
#. Orang yang mencintai bersabar menghadapi gangguan orang yang di cintai.
#. Memperhatikan perkataan orang yang dicintai dan mendengarkanya.
#. Segera menghampiri orang yang dicintai.
#. Mencintai apapun yang dicintai kekasihnya.
#. Mencintai tempat dan rumah kekasih.
#. Jalan yang dilalui terasa pendek meskipun panjang saat mengunjungi orang yang dicintai.
#. Salah tingkah jika di kunjungi atau mengunjungi orang yang dicintai.
#. Kaget dan gemetar tatkala berhadapan dengan yang dicintai atau ketika namanya disebut.
#. Cemburu kepada yang dicintai.
#. Berkorban untuk mendapatkan keridhoan yang dicintai.
#. Meyenangi apapun yang meyenangkan yang dicintai.
#. Suka meyendiri.
# Tunduk dan patuh kepada yang dicintai.
#. Helaan nafas yang panjang dan lebih kerap entah karena susah, sedih atau gembira.
#. Menghindari hal-hal yang dicintai dan membuatnya marah.
#. Adanya kecocokan antara yang mencintai dan yang dicintai.

MANAJEMEN CINTA
Islam memandang klasifikasai cinta sebagaimana yang Allah terangkan dalam firmannya: “Jika bapak-
bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai
adalah yang lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang yang pasik.(QS. at-Taubah : 24)
Didalam ayat ini telah sangat jelas sekali bagi kita bahwa Allah Ta’ala menempatkan kecintaan kepada-
Nya, Rasul-Nya dan jihad dijalan-Nya di atas kecintaan dari manusia dan harta benda.
Ibnu Taimiyyah berkata : “Tiada kebahagiaan dan kelejatan sempurna bagi hati, selain dalam cinta
kepada Allah, dan upaya mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya. Sementara
cinta tidak akan ada kecuali dengan berpaling dari semua kecin taan kepada selain-Nya.

MENCINTAI ALLAH TA’ALA


Ada siklus yang unik berkenaan dengan mencintai Allah. Untuk bisa mencintai Allah haruslah dicintai
oleh Allah, sedangkan untuk dicintai oleh Allah haruslah mencintai Allah.
Ibnu Qayyim meyebutkan ada sepuluh perkara yang akan menghantarkan manusia untuk meraih
kecintaan Allah. Yaitu :
#. Membaca dan mentadaburi Al-Qur’an.
#. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan Sunah.
#. Berdzikir kepada-Nya dengan hti lisan dan amal perbuatan.
#. Mendahulukan kecintaan kepada-Nya dari pada kecintaan diri sendiri walaupun berat tantangan-Nya.
#. Mentadaburu asma dan sifat-Nya.
#. Merenungi kebaikan dan anugrah Allah yang diberikan kepada kita.
#. Bersipuh total dihadapan-Nya.
#. Bermunajat (meyendiri) dengan-Nya di sepertiga malam yang terakhir.
#. Duduk bersama orang-orang sholih, berbicara dan beramal yang bermanfaat.
#. Menjauhi semua hal yang menjauhkan hati dengan-Nya.
Selanjutnya jika hati telah tertambat pada si pujaan hati…. malam terkenang, makan tak sedap tidurpun
tak nyenyak adakah solusi dari semua itu ???
Imam Ibnu Jauzy Al Baghdady berkata : Ketika nafsu seseorang memuncak maka alangkah baiknya ia
melaksanakan beberapa hal :
1. Menjauhi hal-hal yang membangkitkan nafsu hewani.
2. Shiyam (puasa).
3. Nikah.

IDOLA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
meyebut Allah. (QS al Ahzaab :21)
BUAH CINTA SEJATI
Seandainya buah cinta sejati itu hanya satu. Yaitu yang disebutkan oleh Rasulullah dalam
hadisnya di bawah ini, itupun cukup.
“Tiga hal, jika terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman ; hendaknya
Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya. Mencintai orang lain semata-mata kare
Allah dan benci kembali kepada kekufuran seperti kebenciannya dilempak ke dalam api neraka”.
(HR. Al- Bukhari)
Untuk itu marilah kita berusaha untuk meraih cinta yang abadi dan sejati, yaitu meraih cinta
Allah dan Rasul-Nya, dan mendasari seluruh apa yang kita cintai karena Allah, dan sesuai
syari’at yang telah ditetapkan-Nya.
Sebuah pepatah mengatakan : Cintailah orang yang kamu cintai sekedar saja, karena suatu saat ia
akan menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja
karena bisa jadi suatu saat ia bisa menjadi orang yang paling kamu cintai.

Dan marilah kita senantiasa berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala :


“ Ya Allah, aku memohon cinta Mu, juga cinta orang-orang yang mencintai Mu, juga amalan
yang mengantarkanku kepada cint-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sebagai sesuatu yang
lebih aku cintai dari pada diriku dendiri, keluargaku, dan dari pada air yang sejuk”. (HR. at
Tirmizi, No. 3412)
Referensi :
1. Raudhatul Muhibbin, Ibnu Qayyim al Jauziyyah.
2. Al Jawabul kaafi, Ibnu Qayyim al Jauziyyah.
3. Tahdzib Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al Jauziyyah.
4. Kaifa Tahammusu Liqiyami al- Laili.
5. Histeria Sang Idola.

You might also like