The economic power of 'zakat' to fight

poverty
The Jakarta Post, Jakarta | December 01 2001 | 7:31 AM

Muhammad Akhyar Adnan, Director, International Program, Faculty of Economics,

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Muslims have often been associated with poverty, which is certainly the case in Indonesia.
However, if the Islamic concept of zakat (Muslims tithes) is really applied this may not be the
case.

Zakat is one of the five pillars in Islam -- besides the syahadat (the profession of faith in
Allah and His Prophet, Muhammad), performing prayers, fasting (during Ramadhan) and the
pilgrimage to the holy city, Mecca.

The concept of zakat relates to the two dimensions of life -- the transcendental and the
horizontal, that is relations between people. Islam requires Muslims to give away at least 2.5
percent of their wealth -- whether it be in the form of food, agricultural or livestock products,
property, gold and silver and so forth. Its distribution is organized to target specific groups
such as orphans, as mentioned in the Koran.

The poor understanding of zakat among Muslims themselves is considered to be one of the
reasons why collections remain small here compared to the huge number of the poor.

Misconceptions range from the understanding of the concept to its distribution. Some confuse
zakat with charity, or sadaqah (alms).

Zakat, unlike charity, is mandatory. Those who can afford to must give away at least 2.5
percent of their wealth -- as this amount belongs to someone else who is less fortunate.

However many simply assume they are not rich enough -- but they would also refuse to be
classified as poor and therefore entitled to zakat and charity. One reason for the
misunderstanding may be because the term is sometimes used interchangeably with other
terms in the Koran.

Another misperception among Muslims is that zakat is an expense, and they try to pay as
little as possible, as with government tax. Obviously this is an incorrect view, simply because
the rationale behind tax is totally different from zakat.

Rather than an expense, the benefits of zakat should be viewed as a kind of investment for
oneself in this world and in the hereafter.
Furthermore, many classical fiqh (Islamic jurisprudence) books discuss zakat in terms of
specific societal conditions that no longer exist. Few books, if any, discuss zakat in the
context of contemporary economic development, where there are many professionals -- not
only farmers. Since there is no appropriate guide for these professionals about zakat
obligations, many of them do not fulfill it.

On the other hand, many farmers, particularly in this country, are poor, and cannot be
classified as those who are obliged to pay zakat.

The following illustration describes an ideal situation where all Muslims who have enough
wealth to pay their dues. Assume that in a tiny province like Yogyakarta, there are
approximately three million people.

Eighty percent, or 2,400,000 of them are Muslims. Assume that only 500,000 of them are
obliged to pay zakat. They might be categorized into three more levels: First, 200,000 people
with an income of Rp 4 million a month; second 200,000 who earn Rp 2 million a month; and
third, 100,000 who earn only Rp 1 million a month. The zakat collected, if everyone paid at
least 2.5 percent, would be Rp 32.5 billion a month, or US$3.18 million per year.

The collected funds could be used for establishing productive business units to help the poor
and needy in the form of employment opportunities.

In the above example, 8,000 small or medium scale businesses could be set up in one year,
assuming that one needed a capital of Rp 50 million. If every single company employed five
persons, zakat then would be able to provide about 40,000 new job opportunities a year.

The new law, Zakat Act No. 38/1999, which rules that zakat will be fully tax deductible
starting next year, acknowledges Muslims' contribution to the nation's development. With this
golden opportunity the zakat institutions and Muslims in general should participate in proving
the economic power of zakat to solve the fundamental problem of the Muslim community --
poverty.

However, the issue of the law's implementation must first be solved; particularly in regard to
the professionalism of the zakat institutions. The huge potential economic power shown
above will otherwise be meaningless, unless all parties involved try hard to minimize the
handicaps that exist today.
- See more at: http://m.thejakartapost.com/news/2001/12/01/the-economic-power-
039zakat039-fight-poverty.html#sthash.2WpLfiyM.dpuf
Kekuatan ekonomi 'zakat' untuk memerangi kemiskinan

The Jakarta Post, Jakarta | 1 Desember 2001 | 07:31

Muhammad Akhyar Adnan, Director, Program Internasional, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta

Muslim sering dikaitkan dengan kemiskinan, yang tentunya kasus di Indonesia. Namun, jika konsep
Islam zakat (Muslim persepuluhan) benar-benar diterapkan ini tidak mungkin terjadi.

Zakat adalah salah satu dari lima pilar dalam Islam - selain syahadat (pengakuan iman kepada Allah
dan Rasul-Nya, Muhammad), melakukan shalat, puasa (selama Ramadhan) dan ziarah ke kota suci,
Mekkah.

Konsep zakat berkaitan dengan dua dimensi kehidupan - yang transendental dan horisontal, yaitu
hubungan antara orang-orang. Islam mewajibkan umat Islam untuk memberikan setidaknya 2,5
persen dari kekayaan mereka - apakah itu dalam bentuk makanan, pertanian atau peternakan
produk, properti, emas dan perak dan sebagainya. distribusinya diatur untuk menargetkan
kelompok-kelompok tertentu seperti anak yatim, seperti yang disebutkan dalam Alquran.

Pemahaman miskin zakat di kalangan umat Islam sendiri dianggap salah satu alasan mengapa koleksi
tetap kecil di sini dibandingkan dengan jumlah besar orang miskin.

Kesalahpahaman berkisar dari pemahaman konsep untuk distribusi. Beberapa membingungkan

zakat dengan amal atau sedekah (zakat).

Zakat, tidak seperti amal, adalah wajib. Mereka yang mampu harus memberikan setidaknya 2,5
persen dari kekayaan mereka - sebagai jumlah ini milik orang lain yang kurang beruntung.

Namun banyak hanya menganggap mereka tidak cukup kaya - tetapi mereka juga akan menolak
untuk tergolong miskin dan karenanya berhak zakat dan amal. Salah satu alasan untuk
kesalahpahaman mungkin karena istilah kadang-kadang digunakan bergantian dengan istilah lainnya
dalam Alquran.
persepsi lain di kalangan umat Islam adalah bahwa zakat adalah beban, dan mereka mencoba untuk
membayar sesedikit mungkin, karena dengan pajak pemerintah. Jelas ini adalah pandangan yang
salah, hanya karena alasan di balik pajak benar-benar berbeda dari zakat.

Bukan beban, manfaat zakat harus dilihat sebagai semacam investasi untuk diri sendiri di dunia ini
dan di akhirat.

Selain itu, banyak fiqh klasik (hukum Islam) buku membahas zakat dalam hal kondisi sosial tertentu
yang tidak lagi ada. Beberapa buku, jika ada, mendiskusikan zakat dalam konteks pembangunan
ekonomi kontemporer, di mana ada banyak profesional - tidak hanya petani. Karena tidak ada
panduan yang tepat untuk para profesional tentang kewajiban zakat, banyak dari mereka tidak
memenuhi itu.

Di sisi lain, banyak petani, khususnya di negeri ini, miskin, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai
orang-orang yang wajib membayar zakat.

Ilustrasi berikut menggambarkan situasi yang ideal di mana semua Muslim yang memiliki kekayaan
yang cukup untuk membayar iuran mereka. Asumsikan bahwa di sebuah provinsi kecil seperti
Yogyakarta, ada sekitar tiga juta orang.

Delapan puluh persen, atau 2.400.000 dari mereka adalah Muslim. Asumsikan bahwa hanya 500.000
dari mereka diwajibkan untuk membayar zakat. Mereka mungkin akan dikategorikan ke dalam tiga
tingkatan yang lebih: Pertama, 200.000 orang dengan pendapatan Rp 4 juta per bulan; kedua
200.000 yang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan; dan ketiga, 100.000 yang hanya berpenghasilan Rp
1 juta per bulan. zakat yang dikumpulkan, jika semua orang membayar setidaknya 2,5 persen, akan
menjadi Rp 32,5 miliar per bulan, atau US $ 3.180.000 per tahun.

Dana yang terkumpul dapat digunakan untuk membangun unit usaha produktif untuk membantu
orang miskin dan yang membutuhkan dalam bentuk kesempatan kerja.

Dalam contoh di atas, 8.000 usaha kecil atau menengah dapat dibentuk dalam satu tahun, dengan
asumsi bahwa satu membutuhkan modal Rp 50 juta. Jika setiap perusahaan tunggal mempekerjakan
lima orang, zakat maka akan mampu menyediakan sekitar 40.000 lapangan kerja baru setahun.
Undang-undang baru, Zakat UU No. 38/1999, yang mengatur bahwa zakat akan sepenuhnya
dikurangkan dari pajak mulai tahun depan, mengakui kontribusi Muslim 'untuk pembangunan
bangsa. Dengan kesempatan emas ini lembaga zakat dan umat Islam pada umumnya harus
berpartisipasi dalam membuktikan kekuatan ekonomi zakat untuk memecahkan masalah mendasar
dari komunitas Muslim - kemiskinan.

Namun, isu pelaksanaan hukum pertama harus diselesaikan; khususnya dalam hal profesionalisme
lembaga zakat. kekuatan besar potensi ekonomi yang ditunjukkan di atas dinyatakan akan menjadi
tidak berarti, kecuali semua pihak yang terlibat berusaha keras untuk meminimalkan cacat yang ada
saat ini.

- Lihat lebih lanjut di: http://m.thejakartapost.com/news/2001/12/01/the-economic-power-

039zakat039-fight-poverty.html#sthash.2WpLfiyM.dpuf