1 24931 1 10 20150527 PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

ECOTROPHIC • 6 (2) : 87 - 93 ISSN: 1907-5626

KAJIAN KERUSAKAN SUMBERDAYA HUTAN


AKIBAT KEGIATAN PERTA MBANGAN
I PUTU GEDE A.RDHANA
Jurusan Biologi, FMIPA Unud
Email: crescentbali@indo.net.id

ABSTRACT
The study was conducted in order to assess the damages of forest resources due to mining activities. The
method which use in this article is the nonnative legal research concerning with the legislation approach, the
case study approach and the library approach. The result of this study indicated that be damage of forestry by
mining activities threatens convenient ecosystem of Indonesia seriously. The study materials show obtained
that the original forest area in Indonesia were 144 million hectares, but have been systematically shrinkaged
that remained only 130 million hectares now, even though the 42 million hectares were completely without
vegetation. Primary forest left only 43 million hectares from forest encroachment and as rate currently reaches
1.1 million hectares per year. The result study showed that according with the governor's report in 10 provincies
throughout Indonesia the forest destructions are dominated by mining activities. The facts in the fields also
showed that the mining locations clearly faced visiable forests of Indonesia destroyed by quarrying, waste disposal
and mining operations support activities. The governmental policies to allow mining activities in protective and
conservation forest will destruct of forest resources. To address the threat of forest destruction it is suggested
that the Government shall revitalize the implementation of provisions with Act No. 41 of 1999, the Act No. 19
of 2004 and the Presidential Decree. No. 41 of 2004, the Cabinet Act 24 of 2010 and the Presidential Decree
No. 28 of 2011 concerning with the preservation of forest resources are still maintained.

Key words: forest damage, mining activities, the revitalization of the legislation,forest conservation.

ABSTRAK
Tulisan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji kerusakan sumberdaya hutan akibat kegiatan
pertambangan. Metode yang digunakan adalah metode kajian hukum normatif dengan pendekatan ketentuan
peraturan, pendekatan studi kasus dan pendekatan kepustakaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kerusakan
hutan akibat aktivitas pertambangan sangat mencemaskan bahkan merupakan ancaman serius bagi kenyamanan
ekosistem Indonesia. Bahan kajian yang diperoleh menunjukkan bahwa kawasan hutan di Indonesia semula
adalah seluas 144 juta hektar, namun secara sistematik telah mengalami penyusutan yang saat ini hanya tersisa
130 juta hektar, bahkan 42 juta hektar sudah benar-benar gundul nyaris tidak bervegatasi. Hutan primer pun
hanya tersisa 43 juta hektar dan laju perambahan hutan saat ini mencapai 1,1 juta hektar per tahun. Hasil
kajian menunjukkan bahwa dari laporan Gubernur di 10 propinsi se-Indonesia kerusakan hutan di dominasi
oleh kegiatan pertambangan. Fakta dilapangan juga menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi pertambangan
terlihat jelas wajah hutan Indonesia hancur akibat penggalian, pembuangan limbah dan aktivitas penunjang
operasi tambang. Kebijakan pemerintah mengijinkan kegiatan pertambangan di kawasan lindung dan konservasi
akan mempercepat kehancuran sumberdaya hutan. Untuk menyikapi ancaman kerusakan hutan pemerintah
disarankan untuk merevitalisasi pelaksanaan Ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Undang-undang
No. 19 Tahun 2004 dan Keppres No. 41 Tahun 2004, PP No. 24 Tahun 2010 dan Perpres No. 28 Tahun 2011
agar kelestarian sumberdaya hutan masih tetap terjaga.

Kata kunci : kerusakan hutan, kegiatan pertambangan, revitalisasi perundang-undangan, pelestarian hutan.

PENDAHULUAN ini kawasan hutan telah menyusut menjadi 130 juta


hektar (70% dari luas daratan), dan secara sistematik
Luas kawasan hutan di Indonesia semula mencapai terns mengalami degradasi bahkan 42 juta hektar sudah
144 juta hektar sebagian besar digunakan untuk ka­ benar-benar gundul, nyaris tanpa vegetasi (Menhut,
wasan hutan produksi seluas 65 juta hektar kawasan dalam Atep Afia, H., 2010).
hutan lindung seluas 30 juta hektar dan 19 juta hektar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lebih lanjut
digunakan untuk perlindungan keanekaragaman hayati mengungkapkan bahwa hutan primer di Indonesia
dan sisanya seluas 30 juta hektar dicadangkan untuk hanya tersisa 43 juta hektar dan hutan terlantar sudah
konversi menjadi lahan pertanian, hutan tanaman dan mencapai 12 juta hektar. Diungkapkan pula bahwa laju
perkebunan (Baharudin Nurkin, 1999). Namun saat perambahan hutan saat ini mencapai 1,1 juta hektar

87
ECOTROPHIC • VOLUME 6 NOMOR 2 TAHUN 2011 ISSN : 1907 -5626

per tahun, sedangkan pada masa Orde Baru mencapai dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3 juta hektar per tahun. Adapun baban bukum primer yang digunakan
Secara teoritis memang hutan termasuk sumberdaya terutama berpusat dan bertitik tolak pada peraturan
alam yang dapat diperbaharui, misalnya dengan peng­ perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah
hijauan atau reboisasi. Namun dalam pelaksanaannya Peraturan Pemerintab (PP) No. 27 Tahun 1999 tentang
tidak semudah itu, menanam pohon kehutanan perlu Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), PERPU
pemeliharaan, bukan sekedar tanam lantas ditinggal No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang­
begitu saja. Selain itu, hutan primer memiliki plasma undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kebutanan, PP
nutfah yang sangat beragam, dengan ekosistem yang No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
harmonis. Beragam flora dan fauna ada didalamnya, Hutan, Peraturan� residen No. 28 Tahun;�ou
berinteraksi secara alamiah untuk mencapai keseim­ tentang Penggunaan Kawasan Hutan Llndung uituk
bangan. Penambangan Bawah Tanab, UU No. s Tabun :'1967
Kerusakan Hutan selama ini telah terjadi di sejumlah tentang Undang-und�ng Pokok Kehutanan, UU No.
Propinsi di Indonesia, sebanyak sepuluh Propinsi 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
melalui gubernurnya masing-masing telah melapor Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999
ke Menteri Kehutanan terkait dengan penggunaan tentang Kebutanan, UU No. 10 Tahun 2004 tentang
kawasan hutan yang tidak prosedural di wilayahnya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.
Laporan tersebut merespon surat Menteri Kehutanan 19 Tahun 2004 tentang PERPU No. 1 Tahun 2004, UU
No.95/Menhut-lV/2010 tanggal 25 Februari 2010 yang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU
ditujukkan kepada Gubernur se-Indonesia. No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Kesepuluh Gubernur yang sudah melapor yaitu: (1) Batubara, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Gubernur Aceh melaporkan 49 kasus tambang tanpa dan Pengelolaan Llngkungan Hidup.
ijin; (2) Gubemur Sumatera Utara melaporkan 23 kasus Berikutnya dipergunakan pula bahan bukum
perkebunan tanpa ijin, dan telah disidik dan dalam sekunder berupa pendapat para ahli hukum, hasil­
proses persidangan s kasus; (3) Gubernur Bangka hasil kajian, kegiatan ilmiah dan beberapa informasi
Belitung melaporkan 87 kasus tambang dan kebun dari media masa. Pendekatan masalah yang dipakai
tanpa ijin; (4) Gubernur Lampung melaporkan sebagian terbadap kajian ini, adalah beberapa pendekatan yang
besar kawasan hutan telah dirambah, termasuk yang dikenal dalam bukum normatif, yaitu pendekatan kasus
dikelola oleh PT. Inhutani V, dan terdapat 5 tambang (the case approach), pendekatan perundang-undangan
illegal; (5) Gubernur Kalimantan Timur melaporkan (the statute approach), pendekatan analisis konsep
223 kasus terdiri dari 42 kasus perkebunan, 181 hukum (analitical conceptual approach).
kasus pertambangan, dan 1 kasus di TN Kutai; (6) Jenis bahan hukum yang dipergunakan berupa bah­
Gubernur Kalimantan Tengah melaporkan 456 kasus an-bahan hukum primer seperti peraturan perundang­
tambang tanpa ijin dan 964.000 ha kebun tanpa ijin; undangan, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah,
(7) Gubernur Sulawesi Tenggara melaporkan 6 kasus sedangkan bahan-bahan bukum sekunder yaitu bahan­
perkebunan dan tambang tanpa ijin; (8) Gubernur bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan bukum
Papua Barat melaporkan 13 kasus tambang tanpa primer dapat membantu menganalisis dan memahami
ijin; (9) Gubernur Papua melaporkan 7 kasus tambang hukum primer adalah : a) basil karya ilmiah para sar­
tanpa ijin; (10) Gubernur Bali melaporkan terbitnya 58 jana; b) hasil kajian; c) laporan-laporan, media massa.
sertifikat di kawasan hutan (Menhut, 2010). Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
Laporan kerusakan hutan ini baru sebatas 10 baban-baban hukum primer dan baban bukum
propinsi se-Indonesia, bagaimana dengan 23 propinsi sekunder meliputi bibliografi merupakan bahan-bahan
yang lain. Kerusakan hutan ini didominasi oleh kegiatan bukum tersier. Adapun metode pengumpulan bahan
pertambangan, disamping itu ada beberapa kasus hukum dalam kajian ini adalah dengan menggunakan
perkebunan dan tambang tanpa ijin. Sementara fakta metode gabungan antara bola salju (snowball method)
di lapangan menunjukkan pertambangan merupakan dengan metode sistematis (systematic method). Dari
salah satu penyebab kerusakan hutan. Oleb karena basil pengumpulan bahan bukum, kemudian dianalisis,
itu dalam kajian ini permasalahan yang disampaikan dikontruksi dan diolah sesuai dengan rumusan masalah
adalah kajian kerusakan sumberdaya butan akibat yang telah ditetapkan, kemudian disajikan secara
kegiatan pertambangan. deskriptif (Asbshofa, B., 2004)

METODOLOGI PEMBAHASAN

Tipe kajian ini tergolong kedalam kajian hukum nor­ Kebijakan pemerintah mengizinkan kegiatan pertam­
matif dan penelitian bukum kepustakaan maka titik bangan di kawasan hutan lindung dan konserYasi,
berat penelitian mempergunakan bahan bukum bukan mempercepat "kiamat" Indonesia. Industri ini akan
data, sebingga data primer yang dipergunakan banya mengubah hamparan butan Indonesia menjadi padang
bersifat memperkuat, melengkapi dan menunjang, ke­ pasir dengan lubang-lubang beracun. Kondisi seperti
mudian sumber data sekunder dilakukan melalui sum­ ini mengancam umat manusia secara global.
ber data kepustakaan (library research) yang terdiri Ancaman serius ini tidak menyurutkan kehendak

88
Kajian Kerusakan Sumberdaya Hutan Akibat Kegiatan Pertambangan [I Putu Gede Ardhana]

pemerintah terbukti operasi pertambangan masih terns dari disetujuinya PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang
berlanjut dan mengincar kawasan hutan lindung dan perubahaan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang
konservasi. Dari beberapa data yang dikumpulkan Kehutanan oleh DPR RI, yang telah ditindaklanjuti
menunjukkan bahwa, saat ini terdapat 150 perusahaan dengan diterbitkannya Keppres No. 41 Tahun
yang telah mengantongi izin Departemen Energi dan 2004 yang mengijinkan 13 perusahaan melakukan
Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka penambangan di hutan lindung (Tabel 2). Pad.a saat itu,
tambang di kawasan-kawasan tersebut. Seratus lima salah satu pertimbangan pemerintah memberikan ijin
puluh perusahaan ini segera membuka usahanya pada penambangan kepada 13 perusahaan tersebut, adalah
kawasan hutan seluas 11.441.852 ha yang tersebar di dinilai UU No. 41 Tahun 1999 telah menimbulkan
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, ketidakpastian hukum dibidang pertambangan apabila
Maluku dan Papua. Departemen Kehutanan pada diberlakukannya sebelum UU tersebut berlaku.
waktu itu telah melakukan evaluasi terhadap 815 buah Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah
permohonan konversi lahan yang mencakup 11,4 juta berlakunya UU tersebut dan tidak diberlakukan surut
ha di kawasan lindung dan konservasi. Luas rencana ungkap pemerintah.
pertambangan dikawasan hutan lindung dan konservasi Peristiwa ini terjadi setelah melalui proses
disajikan dalam Tabel 1. persidangan dan berdasarkan pertimbangan, serta
keterangan para ahli, Mahkamah Konstitusi (MK)
Tabel 1. Luasan Rencana Pertambangan Dikawasan Hutan Lindung dan menilai bahwa gugatan tentang permohonan penolakan
Konservasi
PERPU No. 1 Tahun 2004 yang diajukan oleh
Hutan Lindung Hutan Konservasi masyarakat yang mewakili berbagai kepentingan dan
Pulau Konversi Konversi profesi, tidak cukup beralasan sehingga permohonan
Total tamban� Total tamban�
Sumatera 7.391.502 2.141.950 4.878.520 689.120 mereka ditolak. Dengan demikian, diharapkan semua
Jawa 728.6$1 468.233 273.300 pihak menghormati keputusan MK tersebut, khususnya
Sulawesi 4.821.237 996.445 4.821.237 184.617 para pengusaha pertambangan di hutan lindung yang
Nusa Tenggara 651.257 44.200 567.714 akan melanjutkan prosesnya pada tahap eksploitasi
Maluku 1.809.634 359.640 443.345 159.000 ungkapnya.
Kalimantan 6.858.792 1.767.580 4.458.887 Melihat dari latar belakang permasalahan diatas
Papua 11.452.990 3.319.000 7.539.300 1.507.000 dengan lahirnya Undang-undang No. 19 Tahun 2004
Total 33.938.350 8.628.815 20.579.347 2.813.037
yang merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004
Sumber : Departemen Kehutanan, 2000
dan Keppres No. 41 Tahun 2004 dalam penyelenggaraan
pemerintah tentang kegiatan pertambangan pada
Dengan lahirnya Undang-undang No. 19 tahun 2004 kawasan hutan maka sehubungan dengan hal itu
merupakan peristiwa menandai dibukanya kembali sangat diperlukan pengkajian kerusakan sumberdaya
untuk menambang secara terbuka (open mining) di hutan akibat kegiatan pertambangan terutama tentang
kawasan hutan lindung bahkan sebagian ada yang kebijakan pemerintah dalam menyikapi pelestarian
tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Hal sumberdaya hutan.
tersebut berarti akan terbuka kembali iklim investasi Dengan lahirnya Undang-undang Kehutanan No. 41
dari sektor pertambangan. Dilain pihak peristiwa Tahun 1999 maka sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (4)
hukum tersebut mengancam pelestarian ekosistem clan diatur bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang
pelestarian keanekaragaman hayati pada kawasan hutan melakukan penambangan dengan pola pertambangan
yang akan ditambang mengingat kawasan hutan yang terbuka. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat
akan menjadi obyek kegiatan pertambangan termasuk (1) disebutkan pula bahwa kegiatan pembangunan
wilayah yang sangat sensitif dari sisi konservasi dan di luar kehutanan ditetapkan secara selektif untuk
telah ditunjuk fungsinya sebagai kawasan hutan lindung menghindari hilangnya fungsi kawasan hutan yang
atau konservasi (Ardhana, IPG., 2009). bersangkutan.
Seharusnya semua ketentuan Undang-undang No. Kegiatan pembangunan strategis tentang kegiatan
41/1999 tentang Kehutanan termasuk tentang adanya pertambangan di luar kegiatan kehutanan tidak dapat
larangan penambangan di hutan lindung dengan pola dielakan. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal
pertambangan terbuka, berlaku untuk semua pelaku 19 Undang-undang Kehutanan beserta penjelasannya
penambangan, setidak-tidaknya bagi yang sudah bahwa untuk kepentingan diluar pembangunan
memperoleh ijin sebelum berlakunya Undang-undang kehutanan dimungkinkan untuk melakukan perubahan
No. 41/1999 hams menyesuaikan (Dephut, 2005). peruntukkan dan perubahan fungsi kawasan. Walaupun
Namun demikian untuk membatasi dan mengatur demikian perubahan tersebut harus melalui serangkaian
penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penelitian terpadu yang melibatkan instansi terkait
pertambangan akan dilaksanakan atas dasar persetu­ yaitu UPI selaku Scientific Authority, lingkungan
juan Kementerian Kehutanan dalam bentuk ijin kegiat­ hidup, Kementerian yang terkait dan penetapannya
an atau ijin pinjam pakai kawasan hutan lindung (PP atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian
No. 24 Tahun 2010 dan PerPres No. 28 Tahun 2011). dimaksud meliputi aspek biofisik (perubahan iklim,
Pemberian ijin untuk melakukan penambangan di ekosistem, gangguan tata air) dan aspek sosial ekonomi
kawasan hutan lindung di atas merupakan konsekuensi masyarakat (Budi Riyanto, 2005). Disamping itu dalam

89
ISSN : 1907-5626
ECOTROPHIC • VotuME 6 NoMoR 2 TAHuN 2011

Tabel 2. Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Daftar Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang
Berada di Kawasan Hutan yang Telah Ditandatangani Sebelum Berlakunya Undang-undang Nomor 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang
Dapat Melanjutkan Kegiatannya Sampai Berakhirnya Perizinan atau Perjanjiannya
Lokasi Luas
data- Jenis Nama Perusa- Bah Ga- Tahap Kegiatan Wilayah
No. Persetujuan Pemerintah Tangg�;��;
-: Usaha haan f;
1 n Perizinan
Provinsi Kebupaten/Kota
Ha
1 82/EK/KEP/4/1967 7 April 1967 KKG-1 Freeport Inda- Tembaga, Produksi Papua Mimika 10.000
7 Aeril 1967 nesia Come. Emas, dme
B-392/Pres/12/1991 30 Desember 1991 KK G-V Freeport lndo- Tembaga, Eksplorasi Papua Mimika, Paniai, Jaya 202.950
26 Desember 1991 nesia Come. Emas, dme Wijaya, Puncak Jaya
2 B-121/Pres/9/71 4 Oktober 1971 KKG-11 KarimunGranit Granit Produksi Kepulauan Karimun 2.761
22 Seetember 1971 Riau
3 8-745/Pres/12/1995 15 Januari 1996 KKG-1 1 INCOTbk. Nikel produksi Sulsel, Sult- Luwu Utara, Kolaka, 218.528
29 Oesember 1995 eng, Sultra Kendari, Morowari
4 0978/Ji.292/U/1990 5 Oktober 1990 lndominco
PKP2B Batubara Produksi Kaltim KutaiTimur, Kota 25.121
5 Oktober 1990 G-1Mandiri Bontang
5 1053.K/20.13/ 9 Juli 1997 KP Aneka NikeI Produksi Maluku Halmahera Tengah 39.040
MPE/1997 Tambang Utara
9 Juli 1997 Tbk A
6 B-43/Pres/11/1086 2 Oesember 1986 KKG-IV Natarang Emas dmp Konstruksi Lampung Lampung Selatan, 12.790
6 November 1986 Mining Tanggamus, Lampung
Barat
7 B.143/Pres/3/1997 KKG-VI Nusa Halma- Emas dmp Produksi, Kon- Maluku
28 April 1997 Halmahera Utara, 29.622
17 Maret 1997 hera Minerals struksi, Eksplo- Utara Halmahera Barat
rasi
8 B-53/Pres/1/1998 19 Pebruari 1998 KKG-VII Pelsart Tam- Emas dmp Eksplorasi Kalsel Kotabaru, Banjar, 201.000
19 Januari 1998 bang Kencana Tanah Laut
9 850/A.1/1997 20 November 1997 PKP2B lnterex Sacra Batubara Studi Kelayakan Kaltim dan Pasir,Tabalong 15.650
20 November 1997 G-111 Raya Kalsel
10 B-53/Pres/1/1998 19 Pebruari 1998 KKG-VII Weda Bay NikeI eksplorasi (De- Maluku Halmahera tengah 76.280
19 januari 1998 Nickel tail) Utara
11 B-53/Pres/1/1998 19 Pebruari 1998 KK G-VII Gag Nike! NikeI Eksplorasi (De- Papua Sarong 13.136
19 januari 1998 tail)
12 B-53/Pres/1/1998 19 Pebruari 1998 KKG-VII Sorikmas Min- Emas dmp Eksploraso (De- Sumut Mandailing, Natal 66.200
19 januari 1998 ing tail)
13 1170/20.01/UPG/1999 7 September 1999 KP Aneka Tambang NikeI Eksplorasi (de- Sulawesi Kendari 14.570
7 seetember 1999 T bk(B) tail) Tenggara
Keterangan:
dmp : dan mineral pengikutnya
KK Kontrak Karya G-IV Generasi IV
PKP2B : Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara G·V Generasi V
KP Kuasa Pertambangan G-VI Generasi VI
G-1 Generasi I G·VII Generasi VII
G-11 Generasi II
G-111 Generasi Ill Sumber : Departemen Kehutanan, 2004

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 sudah sangat jelas kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan,
dan kuat disebutkan bahwa untulc mempertahankan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
kondisi kawasan hutan lindung, pembangunan yang penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan
akan dilaksanakan harus tetap menjamin kelestarian demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur,
fungsi lingkungan hidup yang ada disekitarnya sehingga pengalokasi, pemberi ijin, perencana, pengelola,
pembangunan dapat berjalan dengan berkesinambungan peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.
"Sustainable development" yang sampai saat ini masih Semangat desentralisasi dalam Undang-undang ini
terus menjadi topik pembahasan dalam forum-forum dimuat dalam Pasal 66. dalam rangka penyelenggaraan
Konferensi Tingkat Tinggi Internasional. kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun
pemerintah memegang peran penting dalam kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan
penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan
4 ayat (1) UU Kehutanan menyebutkan bahwa semua umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah
hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk pusat. Pemerintah daerah pun tidak terlibat dalam
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan
oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran tentang desentralisasi semacam ini bertentangan
rakyat. Penguasaan hutan oleh Negara memberikan dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
wewenang kepada pemerintah pusat untulc mengatur Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 10 ayat (1).
dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan Ditinjau dari aspek kelembagaan, Undang-undang
hutan, kawasan hutan dan basil hutan, menetapkan ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada
status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum berwenang menetapkan status dan fungsi hutan.
antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan
mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi dengan penguasaan tanah tidak ada satu pun ketentuan

90
Kajian Kerusakan Sumberdaya Hutan Akibat Kegiatan Pertambangan [I Putu Gede Ardhana}

yang menyebutkan perlunya koordinasi antara hutan. Sementara fakta di lapangan menunjukkan,
Kementerian Kehutanan dengan Badan Pertanahan pertambangan merupakan salah satu penyebab
Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan kerusakan hutan.
perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas ba­
lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang gaimana wajah hutan Indonesia yang hancur karena
tindih pengaturan dalam wilayah yang sama terutama penggalian, pembuangan limbah batuan dan limbah
pada kegiatan penambangan dikawasan hutan lindung tailing serta aktivitas penunjang operasi tambang lain­
yang sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan nya. Beberapa perusahaan yang akan menghentikan
konservasi. kegiatan tambangnya, menyatakan tidak mampu men­
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam Undang­ ghutankan kembali bekas lubang tambang dan kolam
undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana limbah mereka.
tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur Lubang-lubang itu dibiarkan terus menganga dan
juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang menjadi danau asam beracun pasca penambangan.
tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi Begitu pula kolam limbah tailing akan menjadi
ada juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan hamparan pasir yang mengandung logam berat dalam
melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute kurun waktu sangat panjang.
resolution) (Nurjaya, 2008). PT. Kelian Equatorial Mining misalnya, menutup
Lahirnya PERPU dalam penyelenggaraan pemerin­ tambangnya di Kelian, Kalimantan Timur pada tahun
tahan diperlukan apabila benar-benar dalam keadaan 2003. perusahaan milik Rio Tinto ini akan membiarkan
yang mendesak untuk kepentingan Negara dan bangsa lubang tambangnya seluas 1.766.250 m2 sedalam 600
Indonesia. Sedangkan dalam pengelolaan hutan tidak meter tanpa mampu dihutankan kembali. Keterbatasan
pernah mengalami dalam keadaan genting dan mende­ teknologi dan besarnya biaya yang mereka pakai sebagai
sak mengapa harus diterbitkan PERPU No. 1 Tahun alasan menelantarkan tanah yang porak poranda
2004 dan kemudian menjadi Undang-undang No. 19 setelah sumberdayanya mereka nikmati dan tak lagi
Tahun 2004. Adapun alasan dikeluarkan PERPU terse­ bisa dipungut hasilnya.
but adalah untuk mengakomodir perijinan dan perjan­ Hal yang sama dilakukan PT. Freeport Indonesia.
jian yang telah ada agar pemerintah tidak dituntut oleh Limbah tailing Freeport yang dibuang langsung
para investor di International Arbitrase. Sebenarnya ke Sungai Ajkwa telah mematikan ratusan hektar
alasan tersebut sangat tidak rasional karena Undang­ hutan di kawasan operasi tambangnya. Sementara
undang No. 41 seperti yang disebutkan di atas tidak Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang
berlaku surut artinya perijinan yang telah ada pada menutup tambangnya di tahun 2003, menyebutkan
tahap ekploitasi tetap berlanjut sesuai ijin. Padahal den­ meninggalkan enam lubang tambang besar dan dalam
gan menggunakan mekanisme Pasal 19 Undang-undang yaitu: Mesel, Nibong, Limpoga, Nona Hua dan Pasolo
No. 41 tahun 1999, hal yang terkait dengan kegiatan dengan luas totalnya 26 ha.
pertambangan dapat di atasi dengan pertimbangan Mesel merupakan daerah bekas tambang terluas
yang sangat selektif dengan melibatkan Tim Terpadu dengan lubang besar sepanjang 700 meter, lebar 500
dan persetujuan DPR untuk mempertimbangkan aspek meter dan kedalaman maksimum 250 meter. Sedang
lingkungan. Semestinya pemerintah dapat member­ kedalaman lubang lain diperkirakan 100-110 meter.
lakukan PERPU dengan alasan bahwa kondisi hutan Lebih tragis lagi mereka hanya akan mereklamasi
pada saat ini sedang mengalami tantangan dan anca­ sebesar 15,4% dari wilayah bekas penambangan.
man yang cukup berat dan sangat mengkhawatirkan Banyak perusahaan lain juga tidak mampu atau tidak
yang dapat mengakibatkan kemunduran. mau menghutankan kembali bekas galian tambang
Pertambangan batubara misalnya, menjadi ancaman mereka seperti, PT Indo Muro Kencana di Kalimantan
utama bagi kelestarian sumberdaya hutan karena cadan­ Timur, PT Adaro di Kalimantan Selatan, PT Timah di
gan pertambangan batubara di Indonesia terbukti san­ Bangka dan Belitung, PT Barisan Tropical Mining di
gat besar sekitar 4,4 milyar ton dan perkiraan cadangan Sumatera Selatan, PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan
untuk semua Negara ASEAN adalah sekitar 27,7 milyar Timur dan banyak lainnya.
ton dari perkiraan 35 milyar ton demikian besarnya Semua perusahaan ini akan meninggalkan lubang­
dan hampir sebagian besar terletak langsung di bawah lubang tambang yang menyerupai danau diakhir operasi
hutan hujan tropis yang sangat kaya dengan keanek­ pertambangan mereka, di kawasan yang dulunya
aragaman hayati. Produksi tahunan batubara, sebagian hutan (Walhi, 2002). Begitu pula seperti yang telah
besar di Sumatera, naik dari kira-kira 337 ribu ton tahun disampaikan di atas tentang laporan kerusakan hutan
1980 menjadi 22,5 juta ton tahun 1992 (Marr, 1993). dari 10 propinsi se-Indonesia juga memperkuat fakta
Rencana pembangunan yang sedang berjalan sekarang di lapangan yang menunjukkan kegiatan pertambangan
menetapkan perluasan produksi menjacli 71 juta ton merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan.
menjelang tahun 1999 (GOI, 1994).(Soerjani, M., 1997) Ancaman utama inilah yang semestinya sebagai
Disamping itu sampai saat ini sudah ada sekitar dasar pemerintah untuk menentukan kebijakan
150 Kontrak Pertambangan dengan seijin pemerintah, pertambangan dalam menerbitkan PERPU di
telah mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar kawasan hutan lindung. Dengan demikian PERPU
untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah seharusnya disusun Pemerintah dengan tujuan untuk

91
ECOTROPHIC • VOLUME 6 NOMOR 2 TAHUN 2011 ISSN · 1907-5626

moratorium pemanfaatan hasil hutan untuk keperluan 1. Dalam memproses perijinan yang diajukan, tetap
komersial dalam jangka waktu tertentu agar hutan berpegang pada asas kelestarian (Pasal 32).
dapat bernafas dan memulihkan kondisinya. Bukan 2. Penggunaan kawasan hutan lindung harus
sebaliknya justru menerbitkan PERPU yang sangat berdasarkan persetujuan Menteri Kehutanan (Pasal
Kontroversial sebagaimana PERPU No. 1 Tahun 38 ayat (3) ).
2004 yang selanjutnya menjadi Undang-undang No. 3. Di kawasan hutan lindung dilarang melakukan
19 Tahun 2004. penambangan dengan pola penambangan terbuka
Dengan lahirnya PERPU No. 1 Tahun 2004 yang (Pasal 38 ayat (4)).
kemudian di syahkan menjadi Undang-undang No. 4. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan
19 Tahun 2004 yang berakibat melemahkan posisi pengawasan kehutanan (Pasal 60 ayat (1)).
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dalam pengelolaan 5. Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan
Hutan Lindung. Lahirnya Undang-undang ini terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan
cenderung kebijakan Pemerintah mengarah ke faham oleh pemerintah daerah (Pasal 61).
antroposentris sempit yang tidak peduli terhadap 6. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan,
lingkungan dan merupakan kemunduran dari sisi pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan
kebijakan lingkungan. kepada pemerintah daerah (Pasal 66 ayat (1)).
Dasar hukum untuk pengelolaan kawasan 7. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat
lindung diperkuat dengan disahkannya Undang­ melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang
undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 70 ayat (2));
Ekosistemnya No. 5 Tahun 1990. Telah mengatur
prinsip perlindungan antara lain perlindungan jenis Dan untuk pemegang ijin pertambangan dikawasan
yang meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis­ hutan lindung antara lain:
jenis yang tidak dilindungi. Undang-undang ini 1. Mengajukan permohonan ijin penggunaan kawasan
dimaksudkan sebagai kerangka menyeluruh untuk hutan lindung (Pasal 64 dan 65 Undang-undang No.
pelestarian keanekaragaman hayati dan penggunannya 4 Tahun 2009). Selanjutnya harus melalui Studi
bertujuan melindungi sistem pendukung kehidupan; Analisis Dampak Lingkungan (PP No. 27 Tahun
melindungi keanekaragaman jenis tanaman dan hewan, 1999).
termasuk ekosistemnya; dan melestarikan tumbuhan 2. Melampirkan peta lokasi dan luas kawasan yang
dan hewan yang dilindungi. Undang-undang ini lahir di mohon rencana kegiatan eksplorasi didalam
pada tanggal 10 Agustus 1990, setelah ada kesadaran kawasan hutan lindung (Permen No. P.12/Menhut­
perlunya melindungi ekosistem dan perlindungan jenis II/2004).
tumbuhan dan satwa yang berguna bagi pelestarian 3. Revitalisasi kewajiban dan tanggung jawab
alam. Kesadaran tersebut baru muncul setelah 23 (dua pemegang ijin pertambangan (Pasal 35 ayat (1)
puluh tiga) tahun sejak lahirnya Undang-undang No. 5 dan (2), Pasal 45 ayat (2) dan (3), Pasal 48 ayat
Tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan. (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Pasal
Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam 95 (a) dan (e), Pasal 96 (c) dan (e), Pasal 97, 98
hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dan 99 Undang-undang No. 4 Tahun 2009).
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber 4. Revitalisasi sanksi pelanggaran terhadap pemegang
daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan ijin pertambangan (Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3)
unsur non hayati (habitat dan relung) di sekitarnya dan Pasal 78).
yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. 5. Dan revitalisasi pelaksanaan ketentuan PP No.
Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan 24 Tahun 2010 dan PerPres No. 28 Tahun 2011
ekosistemnya pada dasarnya saling bergantung antara (Ardhana, IPG. 2011).
satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi
sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur Saran
akan berakibat terganggunya ekosistem sumberdaya Untuk menyikapi ancaman kerusakan sumberdaya
hutan. hutan akibat kegiatan pertambangan diperlukan
revitalisasi pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun
SIMPULAN DAN SARAN 1999, Undang-undang No. 19 Tahun 2004 dan Keppres
No. 41 Tahun 2004, PP No. 24 Tahun 2010 dan PerPres
Sirnpulan No. 28 Tahun 2011.
Dari hasil kajian kerusakan sumberdaya hutan akibat Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif
kegiatan pertambangan dapat disimpulkan bahwa hendaknya memiliki kepedulian terhadap keberadaan
pemerintah disarankan agar melakukan revitalisasi hutan dalam menyikapi ancaman serius terhadap
pelaksanaan ketentuan peraturan pemerintah dan kerusakan sumberdaya hutan.
pemegang ijin pertambangan terutama ketentuan hak, Etika lingkungan mestinya sebagai dasar pijakan
kewajiban dan tanggung jawab untuk mengatur dan dalam mengelola sumberdaya hutan, dengan
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi
dan hasil-hasil hutan (UU No. 41 Tahun 1999, Pasal agar terhindar dari malapetaka bagi kelestarian
4 ayat (2) untuk pemerintah antara lain: sumberdaya hutan.

92
Kajian Kerusakan Sumberdaya Hutan Akibat Kegiatan Pertambangan [I Putu Gede ArdhanaJ

Ditinjau dari aspek sosial masyarakat yang bermukim Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam
diwilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan dalam PerspektifAntropologi Hukum. Prestasi Pustaka,
Jakarta
perlu diberikan informasi dan dimintakan persetujuan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis
bagi rencana pemberian ijin pertambangan, agar Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
tidak merugikan masyarakat setempat terutama bagi Peraturan Pemerintah, Pengganti Undang-undangNo.1 Tahun
masyarakat adat. 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
DAFfAR PUSTAKA Peraturan Pemerintah,No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan
Ardhana, IPG. 2009. Sinkronisasi kegiatan pertambangan pada Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan
kawasan hutan. Jurnal Lingk'llngan Hidup Bumi Lestari, Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah
No. 9. Vol 2: 288-289. PPLH-Lemlit Unud, Denpasar Tanah
Ardhana, IPG. 2011, Revitalisasi pelaksanaan ketentuan per­ Republik Indonesia, Undang-undangNo. 5 Tahun 1967 tentang
aturan pemerintah dan pemegang ijin pertambangan Undang-undang Pokok Kehutanan.
dalam menyikapi pelestarian keanekaragaman hayati di Republikindonesia, Undang-undangNo. 5 Tahun 1990 tentang
kawasan hutan. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
No. 1. Vol 11: 93-104. PPLH-Lemlit Unud, Denpasar Republik Indonesia, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 ten­
Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka tang Kehutanan
Cipta, Jakarta Republik Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 2004
Atep A. H. 2010. http://green.kompasiana.com/penghijau­ tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
an/2010/u/15/keru-sakan-hutan-makin-parah-siapa­ Republik Indonesia, Undang-undang No. 19 Tahun 2004 ten­
bertanggungjawab tang PERPU No. 1 Tahun 2004.
Budi Riyanto. 2005. Bunga Rampai Undang-undang No. 19 Republik Indonesia, Undang-undangNo. 32 Tahun 2004 ten­
Tahun 2004 dalam PerspektifEtika Lingkungan. Hukum tang Pemerintah Daerah
Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Lembaga Pengkajian Republik Indonesia, Undang-undangNo. 4 Tahun 2009 tentang
Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor Pertambangan Mineral dan Batubara.
Departemen Kehutanan. 2005. Aktualisasi Kebijakan Kehu­ Republik Indonesia, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 ten­
tanan Kumpulan Siaran Pers Tahun 2005. Departemen tang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kehutanan, Jakarta Soerjani, M. 1997. Pembangunan dan Lingkungan Meniti
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable Development.
atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang berada di Jakarta: !PPL
Kawasan Hutan Walhi, 2002, Tanah Air. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup
Menhut, 2010, http://w artapedia.com/lingkungan/ Indonesia No.2/th XXII/2002, Walhi. Jakarta
konservasi/214-menhut-kasus-kerusakan-hutan-di-
10-Propinsi-harus-dituntaskan.html

93

You might also like