Gis TTS

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: http://www.researchgate.net/publication/265818234

Application of Geographical Information System


(GIS) for Mapping Landslide Susceptibility: A
Case Study of Timor Tengah Selatan, NTT
Province

ARTICLE

DOWNLOADS VIEWS

162 31

8 AUTHORS, INCLUDING:

Kalvein Rantelobo
Universitas Nusa Cendana
5 PUBLICATIONS 5 CITATIONS

SEE PROFILE

Available from: Kalvein Rantelobo


Retrieved on: 21 June 2015
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS),
Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

Application of Geographical Information System (GIS) for Mapping


Landslide Susceptibility: A Case Study of Timor Tengah Selatan, NTT
Province
HERRY Z. KOTTA1, GREGORIUS KLAU2 , SILVESTER TENA3, HENDRO LAMI4, YATURSANCE MANAFE5, NIXSON
MEOK6 , GODLIEF E. S. MIGE7 , K. RANTELOBO8
1
Jurusan Teknik Pertambangan - FST, Universitas Nusa Cendana, email: gradz3inki@yahoo.com
2
Dinas Pertambangan Prop. NTT, Jl. W. J. Lalamentik 15, Kupang, email: gregorius_klau@gmail.com
3,4,5,6,7,8 Jurusan Teknik Elektro – FST, Universitas Nusa Cendana, email: stena;hlami;ymanafe;nixson;rantelobo}@gmail.com

Abstract — Landslide is one of the most serious natural disasters causing great losses in term of materials and lives. Digital maps of
geology, ground slope, and dormant landslides are combined statistically in a geographic information system (GIS) to identify sites of
future land sliding over a broad area. The case study area is at Timor Tengah Selatan (TTS) District, Nusa Tenggara Timur (NTT)
Province, Indonesia. Landslide hazard potential and prediction model were assessed at regional scale 1:25.000 [1]. In this study,
weighting and ranking of importance of factors to landslide occurrence are used to identification landslide potential areas. It is based
on the observed relationship between each instability factor and the past landslide distribution. The obtained results allow to define
the main factors causing land sliding as: slope rate, hydro-geological structure, surface weathering factors, distance to active faults
and impact of human activities (land usage, plantation coverage etc). The degree of landslide hazard is expressed in relative term from
very low to very high hazard level, and represents the expectation of future landslide occurrence based on the conditions of that
particular area. It is obvious from the result map that the areas under high and very high hazard level are near the first and second
stream orders of the study area. Finally, landslide hazard maps were produced. The result from this study represents differing hazard
levels that show only the order of relative hazard at a particular site and not the absolute hazard.

Keywords GIS, landslide susceptibility, NTT privince, mapping, TTS district

I. PENDAHULUAN 6
G erakan massa tanah dan batuan atau yang lebih dikenal
sebagai longsor merupakan salah satu bencana yang
paling sering terjadi di Indonesia, terutama di musim
Kab. Timor Tengah Selatan

penghujan. Bencana longsor memiliki dampak yang negatif


bagi kehidupan manusia, seperti rusaknya pemukiman,
konstruksi bangunan, jalan, lahan pertanian, dan bahkan dapat
menimbulkan korban jiwa.
Seperti juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia,
0 1cm
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) seringkali mengalami peristiwa 0 45 km
bencana longsor. Untuk mengurangi jumlah korban dan
kerugian atau bahkan mencegah terjadinya bencana longsor Gbr. 1. Peta Indeks Lokasi Penelitian
diperlukan suatu penelitian mengenai identifikasi dan analisis
kondisi geologi yang mengontrol bencana tersebut. Kondisi Berdasarkan pemaparan di atas, maksud dari penelitian ini
geologi tersebut meliputi: geomorfologi, jenis batuan, struktur adalah mengetahui tingkat kerentanan gerakan massa tanah
geologi, tataguna lahan dan sebaran kerapatan vegetasi. dan batuan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi
Dengan menambahkan data sebaran penggunaan lahan oleh Nusa Tenggara Timur. Untuk itu, sebagai tujuan penelitian
manusia, dapat dilakukan identifikasi tingkat kerentanan adalah untuk menghitung dan memetakan tingkat kerentanan
gerakan massa tanah yang dapat dipergunakan secara optimal gerakan massa tanah di daerah tersebut.
untuk menata suatu wilayah agar terlepas dari bencana
tersebut. II. DASAR TEORI
Lokasi penelitian terletak di bagian tengah dari pulau Timor A. Geographical Information System (GIS)
seperti pada Gbr.1.
GIS adalah suatu sistem informasi menyangkut keberadaan
obyek di permukaan bumi berikut informasi yang terkandung
di dalamnya yang mempunyai keterkaitan secara geografis
dengan obyek lainnya [2]. Badan Kordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) menjabarkan GIS
13
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS),
Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras siap untuk bergerak, namun belum dapat dipastikan kapan
komputer (hardware), perangkat lunak (software), data gerakan itu terjadi. Gerakan pada lereng baru benar-benar
geografi, dan personal yang didesain untuk memperoleh, dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan
menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang
menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak)
geografi. menjadi mulai bergerak. Pemicu ini umumnya berupa hujan,
Secara lebih komprehesif GIS didefinisikan sebagai suatu getaran-getaran atau aktivitas manusia pada lereng, ataupun
sistem yang terintegrasi menggunakan perangkat komputer proses masuknya air ke dalam lereng melalui kebocoran pada
untuk melakukan proses yang berkelanjutan dan menyeluruh saluran/kolam, dan sebagainya [9].
meliputi: pengumpulan data (capture); kompilasi
(compilation); penyimpanan data (storage); pembaharuan dan III. METHODE
perubahan; manipulasi (manipulation); pengaksesan data
(retrieval); analisis (analysis); dan penampilan data (display). A. Batasan Penelitian
Komponen yang terdapat pada GIS secara umum mencakup Mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya
tiga tahapan, yaitu: Mineral no. 1452 K/10/MEM/2000 [10], penelitian ini
1. Input, dapat berupa bahan data berupa citra/foto udara dan menggunakan pendekatan metode tidak langsung dan
data primer dari lapangan. langsung. Metode pemetaan gerakan massa secara tidak
2. Proses, mencakup sustu teknik query dari parameter- langsung artinya tidak dilakukan pemetaan langsung di
parameter input yang dilakukan secara overlay. Untuk lapangan, melainkan dilakukan berdasar kepada analisis peta-
melakukan analisis pada peta terlebih dahulu dilakukan peta pendukung yang telah tersedia sedangkan metode
penyamaan koordinat serta sistem proyeksi setiap langsung yaitu dilakukan pemetaan langsung di lapangan pada
parameter peta. Didalam penelitian ini dilakukan query titik-titik longsor. Setiap parameter pengontrol gerakan massa
dengan perhitungan data baik berupa penjumlahan, yang didapat, baik itu dari analisis peta geologi, peta
pengurungan, pembagian serta perkalian nilai dari peta. topografi, foto udara, dan citra satelit, dan data lapangan,
3. Output, yaitu berupa data peta yang disajikan guna tujuan kemudian dilakukan analisis tumpang-tindih (overlay) dan
tertentu. dilakukan perhitungan nilai bobot (weight value). Sehingga
hasil akhir dari penjumlahan setiap parameter yang telah
B. Analisis Spasial Data Geoteknis diberi bobot tersebut dapat dibagi kedalam kelas-kelas tingkat
Data spasial merupakan suatu data yang berisikan suatu kerentanan yang berkisar dari sangat rendah hingga tinggi [4] -
gambar/peta, yang bersifat kuantitatif (atribut) dan kualitatif [7].
(peta). Input dari sebuah data spasial yaitu berupa citra/foto B. Tahapan Penelitian
udara atau survey lapangan yang dilakukan dengan suatu pen-
skala-an yang kemudian dituangkan dalam suatu peta. Analisis GIS terhadap tingkat kerentanan gerakan massa di
Keunggulan data spasial adalah sebaran data dengan mudah Kabupaten TTS ini berdasarkan pada data-data sekunder dan
diketahui dan dapat dimodelkan sesuai keinginan sehingga data primer. Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan
mudah untuk dianalisis. Pengolahan data secara spasial pada dalam analisis GIS terhadap tingkat kerentanan gerakan massa
penelitian ini dilakukan dengan metode overlay (tumpang- di Kabupaten Timor Tengah Selatan digambarkan seperti pada
tindih) dengan terlebih dahulu melakukan pemberian diagram alir penelitian dalam Gbr. 2.
nilai/skor (skoring) dari setiap parameter [3].
Pada tahun 1988 Evans dan King [4] telah mempetakan
sebuah daerah kerentanan gerakan tanah berdasarkan korelasi
dari gerekan tanah yang sudah terjadi dengan kemiringan
lereng serta kondisi geomorfologi. Berbagai penelitian juga
telah membahas berbagai hal mengenai aplikasi GIS pada
daerah rentan longsor [5],[6] dan [7].

C. Mekanisme terjadinya gerakan tanah


Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang
terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi.
Beberapa kondisi tersebut meliputi kondisi morfologi, geologi,
struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Kondisi-
kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan
suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk
bergerak. Kondisi lereng demikian ini disebut sebagai kondisi
rentan untuk bergerak. Pengertian rentan di sini berarti
berpotensi (berbakat) atau berkecenderungan untuk bergerak,
namun belum mengalami gerakan [8]. Lereng yang telah
dikategorikan sebagai lereng yang rentan bergerak merupakan
suatu lereng dengan massa tanah/batuan penyusun yang sudah
Gbr. 2. Proses Pembuatan GIS kerentanan gerakan tanah
14
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS),
Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

IV. HASIL PENELITIAN gerakan massa pada Desa Sopo, yang terjadi pada kelokan
Data lapangan menunjukkan tanah longsor, tersebar di desa- sungai.
desa Oeekam, Baki, Tumu, Noebesa, Nobinobi, Bone, Sopo, Bila dicermati lebih teliti lagi, semua titik tersebut
Filli, Falas, Oenai, Napi, Oenlasi, Belle, Fatuulan, dan Kota berhubungan dengan proses erosi ke arah hulu (headward
Soe. Titik-titik longsor tersebut berada di bagian tengan erosion) dari sungai-sungai yang ada, sehingga tercipta suatu
wilayah administratif Kabupaten Timor Tengah Selatan. kondisi dimana tebing-tebing terjal langsung berbatasan
Analisis tumpang-tindih (overlay) dilakukan terhadap dengan daerah yang semula datar. Proses erosi ke arah hulu
kelima parameter, yaitu: litologi, struktur geologi, kelerengan, tersebut dapat berlangsung dengan mudah mengingat jenis
vegetasi, dan penggunaan lahan, yang telah diberikan bobot batuan yang dilalui oleh sungai tersebut merupakan batuan
sesuai dengan pengaruhnya terhadap keterjadian suatu gerakan yang bersifat mudah dierosi (kelas 4) (Gbr. 6)
massa (Tabel 1), klasifikasi tingkat kerentanan dapat diproses
seperti pada Tabel 2.
TABEL 1
BOBOT PARAMETER
Pameter Bobot
Struktur Geologi 1
Litologi 2
Kelerengan 3
Vegetasi 1
Penggunaan Lahan 1

TABEL 2
KLASIFIKASI KERENTANAN GERAKAN MASSA TANAH
Kelas Pameter Skor Total Gbr. 4. Sebaran titik tanah longsor (segitiga merah) pada peta
I Sangat Rendah 1–8 kelerengan
II Rendah 9 – 16
III Sedang 17 – 24
IV Tinggi 25 - 32

Hasil analisis tersebut menunjukkan didominasi sebaran 3


kelas saja, yaitu dari kisaran rendah (kelas 2) hingga sedang
(kelas 3) (Gambar 3). Tingkat kerentanan tinggi (kelas 4)
tersebar mengikuti zona patahan. Sedangkan tingkat
kerentanan rendah (kelas 1) hanya diidentifikasi sangat kecil
dan tersebar penyebarannya. Gbr. 3 juga menunjukkan bahwa
semua titik tersebut berada pada zona tingkat kerentanan
rendah hingga sedang. Terlihat bahwa hanya sebagian kecil
malah berada pada zona tingkat kerentanan tinggi.
Gbr. 5. Sebaran titik tanah longsor pada peta kontur

Gbr. 3. Area sebaran titik tanah longsor pada peta tingkat


kerentanan Gbr. 6. Sebaran titik tanah longsor pada peta geologi

Ketika sebaran titik longsor tersebut ditampilkan diatas peta Pada kasus kota Soe, meski yang longsor merupakan
kelerengan dan peta kontur (Gbr. 4 dan 5), tampak bahwa termasuk material batugamping terumbu (Ql) yang bersifat
sebagian besar peristiwa tersebut berlangsung pada daerah tidak mudah longsor (kelas 1), namun sungai yang terletak di
transisi antara kelas 3 (sedang) dan 4 (tinggi). Sebagian besar sebelah baratdaya kota tersebut menggerus batuan serpih
titik gerakan massa berada pada daerah dengan topografi Formasi Bobonaro (Tmb) yang bersifat sangat mudah longsor
relatif datar yang berada pada igir suatu lereng dengan tingkat (kelas 4). Karena batugamping terumbu berada diatas dan
kelerengan 3 hingga 4. Pengecualian berlaku kepada titik menumpang secara tidakselaras di atas batuan lempung
Formasi Bobonaro, maka kondisinya pun menjadi sangat labil.

15
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS),
Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931

Maka syarat-syarat terjadinya suatu gerakan massa pun V. KESIMPULAN


terpenuhi di daerah tersebut. Berdasarkan pada analisis tumpang-tindih terhadap
Situasi serupa juga terbangun pada titik-titik lainnya, seperti paramater kelerengan, geologi, vegetasi, penggunaan lahan,
di Desa Tumu, dimana batugamping Formasi Batuputih dan struktur geologi, terdapat 4 kelas tingkat kerentanan
(Tmpb) menumpang secara tidak selaras diatas batuan gerakan massa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu
Formasi Bobonaro. Desa Baki juga mengalami situasi serupa, sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi.
dimana batugamping Formasi Nakfunu (Kna) menumpang Meski suatu daerah dapat dinyatakan memiliki tingkat
secara tidak selaras diatas Formasi Bobonaro. kerentanan gerakan massa yang rendah atau sedang, tidak
Kondisi berbeda dimiliki oleh desa-desa Sopo, Filli, dan berarti daerah tersebut sepenuhnya aman dari ancaman tanah
Bone yang secara geologi tersusun oleh konglomerat Formasi longsor. Beberapa data observasi di lapangan menunjukkan
Noele (QTn) yang bersifat mudah longsor (kelas 4). Di lokasi- adanya peran kelerengan dan geologi yang sangat dominan
lokasi tersebut gerakan massa tanah terjadi pada kondisi dan unik didalam mengontrol terjadinya suatu tanah longsor.
batuan yang mudah longsor. Namun di Desa Tumu dan Sebagian besar tanah longsor yang terobservasi terjadi
Noebesa, gerakan massa tanah justru terjadi pada batugamping akibat penggerusan sungai kearah hulu (headward erosion)
terumbu (Ql) yang menumpang diatas Formasi Noele, yang bekerja sangat efektif pada batuan-batuan yang mudah
sehingga mekanismenya menyerupai apa yang terjadi di Kota tererosi, seperti litologi penyusun Formasi Bobonaro. Proses
Soe. Sebaran patahan tidak terlalu berpengaruh, meski di Desa erosi tersebut dengan mudah dan cepat memperbesar tingkat
Sopo terdapat 2 titik longsor yang berada tepat pada zona kelerengan yang ada, dan meruntuhkan batuan yang ada di
sesar yang dialiri oleh sungai (Gbr. 6). atas igirnya, meskipun batuan tersebut bersifat tidak mudah
Sedangkan vegetasi dan penggunaan lahan tidak begitu longsor dan dengan kelerengan yang landai, seperti pada kasus
banyak berpengaruh terhadap sebaran titik longsor (Gbr. 7 dan Kota Soe.
8). Sebagian besar titik longsor berada pada zona vegetasi Proses erosi kearah hulu ini memang tidak dapat dihentikan,
yang rapat hingga sedang (kelas 2 hingga 3), dimana tentunya karena merupakan suatu sistem keseimbangan lereng yang
diharapkan peran tumbuhan sebagai stabilisator serta penguat bersifat dinamis. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
massa tanah dan batuan. Ditinjau dari penggunaan lahan, memperlambatnya dengan menanam vegetasi yang tepat pada
sebagian kecil titik longsor berada pada pemukiman dan lereng-lereng sungai serta pembuatan retaining wall pada
perkebunan (kelas 4), seperti di Kota Soe, desa-desa Oenai, beberapa titik strategis. Prioritas hendaknya diberikan dengan
Napi, Oinlasi, Belle, dan Fatuulan. Selebihnya tersebar pada memperhatikan kelas-kelas formasi batuan terhadap tingkat
padang rumput (kelas 3). kerentanan erosinya.
Penelitian selanjutnya adalah pemetaan kerentanan gerakan
tanah pada daerah lain di propinsi NTT dengan menerapkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil pemetaan
tersebut direncanakan terhubung ke jaringan secara real-time
melalui basis data berbasis web. Sistem ini juga akan
menggunakan Decision Support Systems (DSS) yang dapat
diintegrasikan dengan basis data lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang turut membantu hingga penelitian ini dapat berlangsung,
Dr. Wirawan, DEA dan Prof. Dr. Ingg. T. Usagawa sebagai
Gbr. 7. Sebaran titik tanah longsor pada peta vegetasi
Peer; pihak DIKTI sebagai penyandang dana; serta PREDICT-
ITS, LPPM-ITS, Lembaga Penelitian UNDANA dan Lab.
Geodinamik-UGM atas segala bantuannya.

VI. DAFTAR PUSTAKA.


[1] Peta Rupabumi Digital Indonesia 1 : 25.000, Lembar Niki Niki, Oinlasi,
Malla, Oof dan Foto, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL), Jakarta, 2004.
[2] Liu, Jian-Guo, Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing,
West Sussex, UK, Wiley, 2009.
[3] J. Chacon, C. Irigaray, T. Fernadez, and R.El Hamdouni, “Engineering
Geology Maps: Lanslides and GIS,” Bulletin Eng. Geology Enviroment,
No. 65, pp. 342-411, Oct. 2006.
[4] J. P. King and N. C. Evan, “The Natural Terrain Landslide Study: Debris
Avalanche Susceptibility,” Technical Note No. TN 1/98, Geotechnical
Gbr. 8. Sebaran titik tanah longsor pada peta penggunaan
Engineering Office, Hongkong, 1998.
lahan [5] Richard J. Pike, Russell W. Graymer and Steven Sobieszczyk, “A
Simple GIS Model for Mapping Landslide Susceptibility,” Concepts and
Modelling in Geomorphology: International Perspectives, Tokyo, pp.
185-197, 2003.

16
Proceedings of National Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (1st APTECS),
Surabaya, 22 Dec. 2009, ISSN 2086-1931
[6] Suree Teerarungsigul, Chongpan Chonglakmani and Friedrich Kuehn,
“Landslide Prediction Model Using Remote Sensing, GIS and Field
Geology: A Case Study of Wang Chin District, Phrae Province,
Northern Thailand,” in Proc. 2007 International Conference on Geology
of Thailand: Towards Sustainable Development and Sufficiency
Economy, pp. 156-168.
[7] K.C. Ng, K.M. Chiu, K.K.S. Ho and V.M.C. Chan, “Application of GIS
to landslide risk management in Hong Kong,” in Proc. 2008
GéoEdmonton2008, pp. 434-441.
[8] Grim, R.E., Clay Mineralogy, Second Edition, McGraw-Hill Book
Company, New York, USA, 1968.
[9] Karnawati, D., Gerakan Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya, Diktat Kuliah GeologiTeknik, Jurusan Teknik
Geologi, FT UGM. (tidak dipublikasikan), 2001.
[10] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No : 1452
K/10/MEM/2000, Tentang Pedoman Teknis Pemetaan Zona Kerentanan
Gerakan Tanah, 2000.

17

You might also like