Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI

DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh:

Kustiawan
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji

Abstract

The issue of regional autonomy and decentralization are the most interesting problem dis-
cussed in the countr.Regional autonomy is a state process that will never complete and
constantly changing, which is not interminable. If we trace the development of regional au-
tonomy and decentralization, it turns out the legislation on local government has changed as
much as 8 (eight) times, since the Law No. 1 of 1945 to Law No. 32 of 2004. A reality that the
power elite in Jakarta are not sensitive to the psycho-social atmosphere that has a significant
power that resulted in the implementation of decentralization run goes false. The existence
of the nation that the Law on Regional Autonomy as Law No.32 of 2004 was in many ways
the logic of federalism imposed on a unitary state. Federalist forms we can trace in our state
is ambiguous format. At the time of autonomy and decentralization has been implemented,
our thoughts focused on issues of special autonomy in Aceh, Papua Special Autonomy, and
The Special Region Yogyakarta, which is actually a real federalist form. The implementation
of Special Autonomy trigger ‘jealousy’ and ‘sense of injustice’ from other areas rich in natural
resources. Based on the background and the problems mentioned above, then the question
can be formulated in this study as follows: Is the necessary revision of Law Number 32 Year
2004 regarding Regional Autonomy and Decentralization in order to overcome the problems
of nationality in the Republic of Indonesia today?.

Keywords : Regional Autonomy, Decentralization, Federalism, Local Political

A. Pendahuluan sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui dengan


Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Melihat
merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan di pertumbuhan dan perkembangannya ternyata berlang-
negeri ini, disamping integrasi nasional, korupsi, partai sung tidak sesuai apa yang diinginkan para pendiri
politik, dan kohesi nasional. Otonomi daerah adalah republik ini. Tentu, tidaklah mengherankan bila Bagir
sebuah proses bernegara yang tidak akan pernah tuntas Manan (2004:27-29) mengatakan, “dalam tataran
dan mengalami perubahan secara terus menerus dan pelaksanaan, belum pernah otonomi dijalankan
tidak berkesudahan. Hal ini wajar karena tuntutan- sebagaimana mestinya”, Menurut Bagir, pemerintahan
tuntutan baru akan selalu muncul sesuai kebutuhan, pusat dan legislatif tetap gamang dan tidak tulus hati
maupun disebabkan adanya koreksi atas kelemahan dalam merumuskan dan menjalankan arti otonomi yang
formulasi pada faktor perubahan lingkungan baik inter- sesungguhnya dengan berbagai alasan pembenaran.
nal maupun eksternal. Peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
Sadar atau tidak sesungguhnya pertumbuhan daerah sudah mengalami perubahan sebanyak 8
otonomi daerah di Indonesia sejak masa kemerdekaan (delapan) kali1, sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga
sampai sekarang (masa reformasi) telah mengalami UU Nomor 32 Tahun 2004, hanya dalam rentang waktu
perubahan-perubahan secara fluktuatif (naik-turun) 65 tahun menunjukan permasalahan otonomi daerah

1
Peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud sebanyak delapan kali mengalami perubahan itu
adalah UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU
Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam 313
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang begitu kompleksitas. yang diberlakukan di negara kesatuan. Bentuk-bentuk


Pada kenyataannya desentralisasi yang menjadi federalistis bisa kita lacak pada format kenegaraan kita
lokomotif demokrasi lokal ternyata menciptakan raja- yang rancu. Pada saat Otonomi dan desentralisasi
raja kecil di daerah karena pemerintahan daerah panen sudah diterapkan, pikiran kita tertuju pada permasalahan
kekuasaan. Rakyat daerah tetap saja tidak mempunyai Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan
keleluasaan, sehingga menimbulkan ketidakadilan, Keistemewaan Yogyakarta, yang sebenarnya
kecemburuan sosial, dan pelayanan umum yang tidak merupakan bentuk federalistis nyata. Pemberlakuan
maksimal. Inilah sesungguhnya yang menjadi perhatian Otonomi Khusus tersebut memicu ‘kecemburuan’ dan
kita bahwa ternyata logika kekuasaan pada format ‘rasa ketidakadilan’ dari daerah lain yang kaya dengan
ketatanegaraan kita masih terjadi kerancuan-kerancuan sumber daya alam. Ketiga, Munculnya persoalan-
paradigmatik yang menyebabkan kita terpaksa persoalan yang mengemuka seperti logika politik lokal
memerlukan format-format khusus dan istimewa pada yang seringkali memiliki alur sendiri tidak selalu sama
saat otonomi daerah itu diterapkan. Realitas sosiologis dengan logika politik nasional. Logika kekuasaan lokal
bangsa Indonesia memaksa kita untuk berupaya untuk masih dipengaruhi oleh logika kekuasaan kerajaan dan
me-reformat ulang logika kekuasaan negara menyang- kesultanan yang sebagian besar berlaku hingga saat
kut penerapan otonomi daerah yang seluas-luasnya ini yang dianggap sebagai entitas-entitas politik. Set-
yang benar. Logika kekuasaan bangsa Indonesia selalu ting politik lokal dalam masyarakat majemuk diwarnai
mencerminkan dominasi kelompok terkuat menekan logika etnisitas dan eksistensi lembaga dan kearifan
yang lemah atau sebaliknya memamerkan kekuatan lokal yang pernah berkibar, seperti Nagari di Sumbar,
daerah dengan jiwa atau semangat penaklukan. Hal ini Katumenggungan di Kalimantan, desa Pakriman di Bali.
juga bisa kita teropong melalui analisis seorang peneliti Berdasarkan uraian latar belakang dan perma-
barat yang sangat kompeten dengan masalah salahan tersebut diatas, timbul pertanyaan kritis. Apakah
nasionalisme Indonesia, yaitu Ben Anderson. diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Menurut Ben Anderson (Benedict, 1999), Nasiona- menyangkut Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
lisme Indonesia sering kali terlalu sarat dengan rangka menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan di
semangat penaklukan. Anderson menganalogkan hal Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini ?.
ini dengan semangat yang mendasari sebuah perang
terbesar dan tersistematis yang pernah dikobarkan oleh C. Kerangka Teoritis
bangsa Jawa melawan Belanda: Perang Diponegoro. Kerangka teoritis dalam penelitian ini mengandung
Semangat menaklukkan ini tampaknya masih sangat beberapa unsur atau aspek-aspek yang merupakan
kuat mencengkeram logika politik kekuasaan di Indo- variabel-variabel penting dalam penelitian ini, yaitu
nesia hingga sekarang. Sama halnya dengan bagai- konsep tentang Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan
mana para pendiri negeri ini ambisius memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia.
berpegang tangan di atas ide negara kesatuan daripada
negara federal yang kala itu hingga kini dianggap Otonomi Daerah
sebagai sebuah bentuk keterpecahbelahan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa konsep Otonomi
B. Permasalahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
Berdasarkan masalah yang dipaparkan dalam latar otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
belakang penelitian di atas, maka penulis berupaya pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
mengidentifikasi masalah sebagai berikut: sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bila kita
Pertama, Sebuah realitas bahwa elit kekuasaan di simak pernyataan Undang-Undang diatas sesungguh-
Jakarta tidak peka akan suasana psiko-sosial daerah nya daerah mempunyai legitimasi yang kuat dengan
yang memiliki kekuasaan yang cukup signifikan yang kekuatan hak, wewenang, dan kewajiban untuk
berakibat pada penerapan desentralisasi dijalankan mengurus sendiri dan mengatur daerahnya masing-
berjalan semu. Bahkan, desentralisasi pemerintahan masing dengan tujuan utama adalah meningkatkan
saat ini bisa kita lihat sebagai desentralisasi KKN kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang pada kenyataan- saing daerah.
nya memudahkan korupsi dari Jakarta (pusat) ke Untuk menyelenggarakan dan mengimplementasi-
daerah-daerah. Kedua, Adanya anggapan bahwa UU kan konsep otonomi daerah dalam pemerintahan, maka
tentang Otonomi Daerah seperti UU No.32 Tahun 2004 menurut Pasal 2 ayat 2 bahwa pemerintahan daerah
tersebut di banyak hal merupakan logika Federalisme mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
314 Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”. Yang ministrative decentralization adalah istilah lain dari ‘lo-
dimaksud dengan “asas otonomi dan tugas pem- cal state goverment’ yang melahirkan wilayah-wilayah
bantuan” itu adalah bahwa pelaksanaan urusan administratif (Gabriel, 1978:14).
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan Dari ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri undang Dasar 1945 beserta penjelasannya dapat
dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke disimpulkan bahwa: Wilayah Indonesia dibagi atas
pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom
dari pemerintahan kabupaten/kota ke desa. Peme- maupun bersifat administratif. Daerah-daerah itu
rintahan daerah provinsi bisa langsung memberikan mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan
penugasan terhadap pemerintahan kabupaten/kota atau bentuk sususan pemerintahannya ditetapkan dengan
penugasan pemerintahan kabupaten /kota ke desa, atau atas kuasa undang-undang. Pembentukan daerah-
penugasan yang dimaksud ini tentu bukan hal-hal yang daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam
berkaitan dengan kepentingan politik sehingga seorang menentukan susunan pemerintahannya harus dengan
bupati atau walikota bisa dijatukan gubernur, karena permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
jelas bahwa UU Nomor 32 tahun 2004 ini memberikan dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menilai, bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan
memilih atau memberhentikan kepala daerah sesuai tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah
Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indo-
desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan nesia salah satunya menganut asas negara kesatuan
otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerin- yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu
tah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan
dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan
otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam kewenangan dan pengawasan.
pelayanan kepada masyarakat(Widjaja, 2009:21-22).
Menurut Tri Ratnawati (Karim,dkk:2006:99) Undang- Desentralisasi
undang No. 22 tahun 1999 telah menciptakan otonomi Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
daerah yang rasional. Otonomi daerah yang rasional Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Desentralisasi
artinya otonomi yang di-design secara hati-hati ( tidak merupakan Penyerahan wewenang pemerintahan oleh
tergesa-gesa) dengan memperhatikan aspek-aspek Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
ekonomi, politis, geografis, dan budaya setempat yang mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
sangat beragam itu, disamping aspek kerjasama antar Kesatuan Republik Indonesia”. Bila ditinjau dari
daerah dan integrasi bangsa. perspektif ilmu politik, sesungguhnya desentralisasi
seringkali diartikan sebagai ‘transference of authority,
Negara Kesatuan Republik Indonesia legislative, judicial or administrative, from a higher level
Perumusan negara kesatuan sebagai suatu of government to a lower level, atau devolusi kekuasaan
ketentuan hukum yang berlaku dapat diketemukan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Namun
dalam Pasal 1 ayat (11) undang-undang dasar 1945 tidak semua bentuk desentralisasi adalah demokratis.
yang berbunyi ; “Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Dalam penjelasan Perkembangan Otonomi Daerah Sebelum
diterangkan bahwa: “negara” begitu bunyinya – Kemerdekaan sampai 1945
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Rumusan otonomi daerah yang kita kenal sekarang
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas belumlah dikenal pada masa kerajaan atau kesultanan.
persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi Pada masa kerajaan pola hubungan antara kerajaan
seluruh rakyat Indonesia. atau kesultanan dengan daerah taklukannya lebih pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menja- hubungan atasan dan bawahan atau pengakuan formal
tuhkan pilihan pada desentralisasi. Desentralisasi disini lewat pembayaran pajak secara reguler.Pelaksanaan
diartikan dalam pengertian yang luas, yang mencakup otonomi sebelum kedatangan penjajahan diperankan
political decentralization dan administrative decentrali- oleh penguasa atau raja yang sangat dominan atau
zation sesuai dengan konsep Gabriel U. Iglesias. dengan perkataan lain hegemoni kekuasaan raja
Menurut Iglesias, desentralisasi politik (political decen- berjalan secara terus-menerus dengan sistem monarki-
tralization) melahirkan daerah-daerah otonom dan ad- sentralistik. Pada masa penjajahan Belanda pada awal
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam 315
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

1900, pelaksanaan otonomi masih bersifat monopolistik lainnya di bawah Komando Panglima Angkatan Laut
dan sentralistis. Semua kekuasaan eksekutif, yudikatif, (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan
dan legislatif bertumpu pada Gubernur-Jendral sebagai pembagian wilayah ini, maka pusat pemerintahan
wakil raja Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan militer yang dilaksanakan
membagi wilayah administratifnya untuk menerapkan oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan
dekonsentrasi yang biasa disebut gewesten, afdelingan, sebutan Gunseikan. Sistem administrasi pemerintahan
onderafdelingan. adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan
Pada tahun 1903 pemerintahan Kerajaan Belanda berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin
menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van (Gubernur Jendral).
het bestuur in Nederlandsch Indie atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903. Otonomi Daerah Pada Masa Kemerdekaan Sejak
Undang-undang Desentralisasi 1903 yang tersebut di 1945 – 2010
atas memiliki makna bahwa daerah bisa membentuk Pada masa sehari sesudah Proklamasi Kemerde-
daerah otonom dan lembaga perwakilan seperti DPRD kaan, ditetapkan konstitusi negara kita adalah Undang-
di luar lembaga otonom yang ada sebelumnya yaitu Undang 1945. Untuk mempersiapkan kemerdekaan dan
Swapraja dan desa yang berdasarkan hukum adat. pembuatan Undang-Undang dibentuklah PPKI (Panitia
Bersamaan dengan berkembangnya desentralisasi itu Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam perumusan
pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan Politik pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, ada
Etis dalam mengembangkan daerah otonom. beberapa pokok bahasan yang terpenting adalah a)
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia antara Urusan rakyat; b) Hal Pemerintahan Daerah; c)
tahun 1942-1945, menerapkan sistem dekonsentrasi Pimpinan kepolisian; dan d) Tentara kebangsaan
dan sentralistik dengan mengadakan perubahan- (Riwukaho, 2001:30). Pada masa peralihan dari
perubahan kecil seperti penamaan daerah dan kekuasaan pemerintahan kolonial kepada pemerintahan
pejabatnya serta nama lembaga kemiliteran digantikan Indonesia ada dua periode penyelenggaraan pemerin-
ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun (pasukan tahan daerah hasil proses politik, yaitu Undang-Undang
angkatan laut), rikugun (Pasukan angkatan darat), No. 1 1945 dan undang-Undang no. 22 tahun 1948.
Nippon Banzai (hidup Jepang), Saikosikikan (Gubernur Berikut ini disajikan rumusan asas otonomi dalam
Jendral), Gunseikan (kepala Staff), dan lain-lain. Jepang UU tentang pemerintahan daerah sejak tahun 1945
membagi Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer. hingga tahun 2010. Rumusan prinsip atau isi otonomi
Petama, Sumatera di bawah Komando Panglima setiap undang-undang selalu berbeda satu sama lain
Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di yang menunjukkan pembuat undang-undang (DPR dan
Bukuttinggi. Kedua, Jawa dan Madura di bawah pemerintahan) tidak menghendaki kosistensi atau
Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang kesinambungan. Berikut ini dijabarkan rumusan-
berkedudukan di Jakarta.Keempat, daerah-daerah rumusan prinsip /asas otonomi sejak 1945-2010.
Rumusan prinsip atau asas otonomi dalam Undang Undang 1945-2010

No. Undang-undang Rumusan prinsip / asas otonomi


1. UU No.1 Tahun 1945 Kemerdekaan pengaturan rumah tangga Daerah “asal tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas
daripadanya”.
2. UU No.22 Tahun 1948 a. Hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri berdasarkan hak
otonomi dan hak medebewend
b. titik berat otonomi ada pada desa atau kota kecil

3. UU No.1 Tahun 1957 Otonomi formil: wewenang daerah mengurusin rumah tanggatidak dibatasi
4. Penpres No.6/59 & Melanjutkan politik desentralisasi (terirorial) dan dekosentrahisasi, dimana
Penpres No. 5 1960 mekanisme mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri, dengan
memperhatikan kemampuan masing-masing daerah.
5. UU No.18 Tahun 1965 a. A. Otonomi teritorial yang riil dan seluas-luasnya, serta menjalankan politik
b. dekosentrasi sebagai komplemen yang vital
316 Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

(Sumber: Marbun, B.N, Op. Cit., Hlm. 45)

Penjelasan dan deskripsi yang panjang menggam- desentralisasi, dan Negara Kesatuan Republik Indone-
barkan perjalanan kebijaksanaan otonomi atau sia (NKRI). Langkah-langkah dalam menganalisis data
desentralisasi di Indonesia yang telah diperjuangkan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pertama-
semenjak negeri ini merdeka. Akan tetapi, ada satu hal tama, melukiskan variabel, mengidentifikasi teori secara
yang menjadi pelajaran berharga bagi Negara Kesatuan sistematis, penemuan pustaka, dan menganalisis
Republik Indonesia adalah perubahan kebijaksanaan dokumen yang meliputi informasi yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh konfigurasi fokus penelitian. Kedua, semua data yang didapat
politik nasional yang berkembang dari waktu ke waktu. dilakukan analisis secara kualitatif tanpa mengunakan
Oleh karenanya, perkembangan politik di Jakarta atau angka-angka atau model statistik, matematika,
pusat yang dinamis dan mengarah pada demokratisasi, ekomotorik, dan model-model tertentu seperti
tentu sangat menguntungkan bagi iklim demokrasi di penghitungan eksakta lainnya.
tingkat lokal yang menjadi tulang punggung demokrasi
daerah. Namun, sebaliknya bila pusat cenderung ke E. Pembahasan dan Hasil Penelitian
arah otoritarianisme maka akan memunculkan Berikut ini beberapa hasil penelitian kajian Undang-
pemerintahan yang sentralistik, yang sangat membawa Undang tentang pemerintahan daerah mengenai
implikasi yang tidak menguntungkan bagi perkem- otonomi daerah dan desentralisasi dalam bingkai
bangan pembangunan dan demokrasi daerah secara Negara Kesatuan Republik Indonesia.
keseluruhan.
Kajian Teoritis UU No. 5 Tahun 1974
D. Metodologi Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, tentang
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pokok-pokok pemerintahan di daerah tersebut
kualitatif dengan menganalisis perkembangan pene- merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari UU
rapan Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Negara nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan pergantian orde
Kesatuan Republik Indonesia yang berpedoman pada lama ke orde baru. Konfiguasi politik orde baru yang
Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah yang otoritarian melahirkan Undang-undang pemerintahan
berlaku saat ini, yaitu UU No. 32 Tahun 2004. Penelitian daerah seperti itu. Presiden merupakan penentu agenda
ini termasuk jenis penelitian dasar (basic research) dan kebijaksanaan publik di Indonesia, terutama karena re-
termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian sources yang dimilikinya. (Syaukani, dkk, 2009:124-
dasar yang dimaksud adalah penelitian yang berupa 125).
penegasan kembali atau pembuktian dari suatu Menurut Syaukani, dkk (Syaukani, dkk, 2009:145-
pernyataan atau teori yang sudah ada sehingga berguna 150), ada beberapa karateristik yang menonjol dari
untuk memperkuat pernyataan atau teori yang semula prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5
(Riyanto, 2004: 4). Sumber data penelitian yang Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke
digunakan sebagaimana lazimnya peneliti, yaitu: dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
Pertama, Data Primer, yaitu bahan-bahan yang administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah
mengikat yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, Data diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat
sekunder, merupakan data-data penunjang seperti I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan
peraturan perundangan mengenai otonomi daerah, kemudian wilayah administrative berupa provinsi,
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam 317
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD kebebasan pers da “keran-keran” demokrasi di tingkat
Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan lokal bersamaan kebebasan pers dan sistem multipartai
bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan (Karim,dkk, 2003:73).
Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi
pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal
eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/
melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun,
Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat 2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik In-
terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah donesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan
ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini
Daerah sebagaimana umumnya dengan undang- masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
undang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999).
mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai
“Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang me- Daerah Administratif.
nandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam
Berdasarkan penjelasan diatas, konsep otorita- Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu
rianisme dan sentralisme sangat dominan dalam Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua,
penyelenggaraan pemerintahan daerah UU No. 5 Tahun Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat
1974. Tidak heran bahwa logika asas yang digunakan otonomi daerah dipokuskan kepada Daerah Kabupaten
dalam UU ini secara bersama-sama dengan seimbang dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga,
dan serasi menganut Asas Dekonsentrasi, Asas Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak
Desentralisasi, Asas Pembantuan. Dengan pengunaan Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam
tiga asas sekaligus, sesungguhnya mengaburkan sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih
makna otonomi daerah dan dalam prakteknya ternyata tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat
pemerintah bertitik berat pada asas dekosentrasi. Hal yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima,
ini menurut B.N Marbun ( Marbun, 2010: 90) disebabkan No Mandate Without Funding. Penyelenggaraan tugas
kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran
adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah Kabupaten/ Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan
Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah
hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan
diputuskan oleh pemerintah. Di sisi lain, Undang-Undang atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/
ini tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat
tingkat desa. {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun
1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money
Kajian Teoritis UU Nomor 22 Tahun 1999 follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang
Titik balik penting dalam sejarah desentralisasi di seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka
Indonesia adalah tahun 1999. Di mana bangsa Indo- Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber
nesia yang berupaya keras untuk mengubah pola dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang
hubungan pusat-daerah yang paternalistik dan bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat.
sentralistik yang terjadi pada masa orde baru dengan Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
penerapan UU Nomor 5 tahun 1974. Perubahan- Setelah UU No.22 Tahun 1999 berlaku lebih kurang
perubahan yang cukup signifikan menjadi pola 4 (empat) tahun, muncul berbagai distorsi dalam
hubungan pusat-daerah yang bersifat kemitraan dan implementasinya, bahkan muncul “ketegangan” antara
sentralistik yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 Pusat dan Daerah berkaitan dengan kebijakan Pusat
dan UU No. 25 tahun 1999. yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi Daerah.
Undang-undang ini sesungguhnya merupakan misalnya Peraturan Pemerintah tentang urusan otonomi
produk pemerintahan Bj. Habibie yang hampir untuk Kabupaten dan Kota. Akan tetapi Pemerintah
merupakan “anti-tesis” dari UU Nomor 5 tahun 1974 justru mengeluarkan Keputusan Presiden No.5 Tahun
tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan
berlaku di masa pemerintahan Soeharto. Sejak Kabupaten/Kota, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 lalu UU menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.130-
tersebut telah ikut berperan dalam membuka 67 Tahun 2002 tanggal 20 Pebruari 2002 tentang
318 Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Kesatuan. Keempat, DPRD dan Pemerintah daerah
(Ni’matul, 2007:73). “mabuk” reformasi dan membuat Perda yang tumpang
Menurut Tri Ratnawati, beberapa penyebab tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
problematika UU nomor 22 tahun 1999 ini adalah Kelima, Maraknya korupsi di DPRD seluruh Indonesia.
pertama, salah asumsi oleh para penyusun UU Nomor Keenam, DPRD bertindak “overacting” berhadapan
22 tahun 1999. UU ini dibuat dengan asumsi normal dengan Kepala Daerah terutama menyangkut Laporan
seperti membayangkan seolah-olah setelah Soeharto Pertanggungjawaban (LPJ) setiap akhir tahun dan pada
‘lengser’ maka demokrasi, politik, dan ekonomi akan masa akhir jabatan Kepala Daerah. Ketujuh, Aman-
berjalan lurus dan mulus, namun kenyataaannya tidak. demen UUD 1945 oleh MPR.
Kedua, adalah inherent dalam UU Nomor 22 tahun 1999 Namun, yang paling penting dikritisi dalam Undang-
itu sendiri. Undang tentang Pemerintahan daerah ini adalah
Dalam UU ini bisa dilihat banyaknya inkosistensi masalah Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus
antar pasal-pasal, disamping adanya pasal yang multi Papua, dan Daerah istimewa yogyakarta tidak secara
tafsir. Secara keseluruhan UU tersebut kurang rinci dan detail alasan yang kuat mengapa diberikan
fungsional (sulit diimplementasikan) karena terlalu otonomi khusus pada Aceh dan Papua, bahkan dapat
banyak peraturan pelaksana yang diminta untuk dikatakan tidak ada secara tertulis penekanan daerah-
menindaklanjutinya. Ketiga, berkaitan dengan masalah daerah khusus tersebut dalam Undang-Undang nomor
persepsi para elit. Otonomi daerah yang seharusnya 32 tahun 2004 ini. Yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat
dilihat para elit (pusat maupun daerah) sebagai instru- (19) UU. Nomor 32 tahun 2004 ini menyebutkan
ment kesejahteraan masyrakat, demokratisasi, dan Kawasan khusus yang dimaksud untuk kepentingan
integrasi bangsa, digampangkan dengan hanya bagi- nasional. Pertanyaannya adalah mengapa ada wilayah
bagi kekuasaan. Kelima, Belum terciptanya organisasi yang diberikan otonomi khusus dan ada yang tidak.
pemerintahan daerah yang efisien dalam melayani Inilah yang perlu disikapi dengan bijak dan adil, serta
publik, dan belum terlihatnya ‘tingkah laku’ pejabat harus ada tolak ukur daerah yang dikatakan khusus dan
pemerintah yang reformis dan professional (Karim, dkk, tertulis dalam undang-undang dengan keputusan
2003:98-99). Inilah beberapa hal sekelumit masalah konstitusional dan konsensus nasional.
yang timbul setelah berlakunya UU Nomor 22 tahun Bila dikaji lebih jauh latar belakang dan alasan
1999 dari banyak masalah yang terjadi ini timbul dari diberikanya Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Daerah
sebuah variabel latar belakang politik yang unik. Otonomi Istimewa Yogyakarta oleh pemerintah beserta peraturan
daerah ini muncul, akibat adanya respons tekanan dan perundangannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
tuntutan publik akan pelaksanaan clean government and Pertama adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap
good governance, diilhami oleh asumsi teoritis bahwa Papua didasari secara dasar hukumnya pada Undang-
otonomi daerah akan menciptakan masa depan yang Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001
lebih baik bagi Indonesia Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam
UU tersebut menyebutkan ada beberapa pokok-pokok
Kajian Teoritis UU Nomor 32 Tahun 2004 penting yang latar belakang pemerintah pusat
Gagasan baru pengganti UU Nomor 22 tahun 1999 mempertimbangkan Otonomi Khusus Papua terutama2:
yang dimaksud adalah UU nomor 32 Tahun 2004. Belum bahwa poin kedua penyelenggaraan pemerintahan dan
genap 4 tahun perjalanan efektif UU No.22 Tahun 1999, pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama
Pemerintah telah mengeluarkan UU No.32 Tahun 2004 ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
tentang Pemerintah Daerah. Menurut Marbun, B.N, ada sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
beberapa latar Belakang Situasi dan Nuansa Pem- rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
bentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Peme- penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menam-
rintahan Daerah sebagai berikut (Marbun, 2010:107- pakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di
108): Pertama, Adanya pergeseran suasana dan Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; dan poin
pergeseran kekuatan politik di Indonesia tergambar keempat, bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan
dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara
32 Tahun 2004 Kedua, Suasana reformasi mendapat damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
tafsir yang kurang tepat. Ketiga, Masalah Otonomi dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang
Khusus bagi Aceh dan Papua dan prinsip Negara berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak

2
Lihat Undang-Undang 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam 319
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Asasi Manusia penduduk asli Papua. tentu kasusnya berbeda dengan kedua daerah otonomi
Melihat alasan yang dikemukan diatas sesungguh- khusus tersebut. Hal tersebut karena Yogyakarta
nya keadaan masyarakat Papua biasa, tidak ada yang dibentuk pertama kali sebagai daerah istimewa
bersifat khusus. Semua hal-hal khusus yang dikemukan berdasakan UU No. 3 tahun 1950, yang menyebutkan
diatas juga sebenarnya ada pada/ pernah dialami daerah “pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta”.Karena
lain di Indonesia. Seperti kekayaan alam Papua belum kekhususan dn keragaman budaya Yogyakarta,
dimanfaatkan. Hal tersebut juga terjadi pada daerah disamping pernah menjadi ibukota Negara Republik In-
yang kaya dengan Sumber Daya Alam seperti donesia, yang dianggap menyelamatkan negara
Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, dan lain-lain. kesatuan dari penjajahan Belanda.
Kemungkinan kekwatiran terbesar pemerintah pusat Melihat implementasi otonomi daerah dan desen-
pada keinginan kelompok berpengaruh di Papua, yaitu tralisasi sejak 1945 sampai sekarang, masih banyak
Majelis Rakyat Papua yang ingin merdeka dan juga ada terdapat politikus, atau sekelompok ahli tata negara,
kepentingan Amerika di Papua. Jadi masalah Papua yang menghendaki Negara Kesatuan Republik Indone-
sudah masuk pada tataran internasional. sia secara sentralistik dengan alasan bahwa praktek
Kedua, adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap otonomi luas berpotensi melahirkan kehendak pemi-
Aceh didasari secara dasar hukumnya pada Undang- sahan diri dari NKRI dan alasan lainnya. Mengapa hal
undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tersebut bisa terjadi, apakah benar bahwa sesung-
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh. Dalam UU guhnya kelahiran UU nomor 32 tahun 2004 tentang
tersebut menyebutkan beberapa pokok-pokok penting otonomi daerah ini tidak didasarkan pada kehendak
yang melatarbelakang pemerintah pusat memper- politik (political will) yang tulus dari pemerintah?, karena
timbangkan Otonomi Khusus Aceh berdasarkan3: Poin kebijaksanaan itu hanya sebagai respon untuk meredam
kedua, bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah In-
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan donesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI.
syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat. Bila ditelaah Undang-undang tersebut terdapat
Dan Poin Ketiga, bahwa penyelenggaraan pemerin- beberapa pemikiran rasionalitas, yaitu: Pertama, istilah
tahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum kewenangan pemerintahan daerah diubah menjadi
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, urusan pemerintahan daerah. Bahasa ’kewenangan’
keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan memiliki nuansa politik sebagai kedaulatan. Sedangkan
hak asasi manusia; serta poin Kelima, bencana alam bahasa ’urusan’ dipahami hanya pada aspek adminis-
gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah tratif saja. Kedua, pola pengendalian pemerintahan yang
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa In- hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat
donesia untuk membangun kembali masyarakat dan kuat. Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai
wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; desentralisasi. Seperti PP No. 38 Tahun 2007 Tentang
Bila ditelaah lebih jauh alasan pemerintah mem- Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah
berikan otonomi khusus Aceh tersebut dapat dipahami Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan, PP No.
terlalu lamanya konflik dengan pusat berlangsung dan 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
terjadinya mala petaka gempa bumi dan tsunami di Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai
Aceh. Ini artinya rasa kasihan yang sangat kuat dari terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis,
segenap rakyat Indonesia terhadap penderitaan yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999.
masyarakat Aceh. Sebenarnya kejadian gempa bumi Pilihan terhadap desentralisasi ini dalam rangka
juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Kerinci efektivitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan
Provinsi jambi tahun 1995, Gempa bumi di Padang, dan pemerintahan guna mengembangkan demokratisasi di
daerah lainnya. Namun menurut penulis kemungkinan daerah, sehingga daerah menjadi kuat. Dengan prinsip
besar pada pandangan hidup rakyat Aceh berdasarkan otonomi yang luas kepada daerah, maka diharapkan
Syari’at Islam yang kebetulan Indonesia sebagian besar integrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik In-
penduduk Islam. Maka pemerintah kuatir kehilangan donesia terpelihara dengan baik. Dengan demikian
aset Islam di Aceh. harga diri dan martabat masyarakat di Daerah akan kuat
Berkaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan kembali seperti pada awal negara kesatuan ini

3
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
320 Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibentuk. Semakin kuat daerah maka negara-bangsa pemerintah pusat dan daerah. Daerah merasa
akan semakin maju. Namun, sebaliknya bila pemerintah diperlakukan secara tidak adil oleh pusat. Disamping
tidak mampu membina dan bahkan membiarkan daerah itu, konsep otonomi khusus bagi aceh, Otonomi Khusus
tanpa adanya sokongan di seluruh aspek, serta daerah Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta masih menjadi
diperlakukan ketidakadilan, maka celah atau peluang momok dan kegelisahan bagi daerah lainnya yang
bagi daerah untuk memisahkan diri dari NKRI akan kuat mempunyai sumber daya alam yang kaya seperti
bahkan membesar. Kalimantan, Riau, Kepaulauan Riau, dan daerah lainnya.
Pada akhirnya masa depan otonomi daerah ini Kedua, diperlukan penataan kembali penyeleng-
terletak pada posisi daerah yang kuat. Bila daerah garaan otonomi daerah dalam UU nomor 32 tahun 2004
diberikan otonomi yang seluas-luasnya akan menopang tersebut dengan memetakan kembali implementasi
integrasi nasional dan keutuhan kesatuan Republik In- sesuai dengan substansi desentralisasi dan otonomi
donesia. Dengan demikian keinginan beberapa daerah pasca UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal tersebut
kalangan kelompok politik di Indonesia untuk membuat dilakukan untuk mencegah munculnya gerakan-gerakan
negara federal di Indonesia sulit terealisasi. Untuk di pusat yang tidak menghendaki otonomi daerah di In-
memudahkan otonomi ini, maka pemerintahan wajib donesia ini ‘subur’ dan ‘berkembang’. Sehingga di
memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang daerah akan timbul gejolak dan dinamika persoalan-
kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah persoalan otonomi dan desentralisasi dari masyarakat
agar dalam melaksanakan otonomi dapat secara efisien daerah yang tidak mustahil berbuat deskruptif dan
dan efektif sesuai peraturan perundangan yang berlaku. membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Dengan demikian pilihan kita terhadap desentralisasi Indonesia akibat dari terjadi ketidakkonsistenan dan
dalam negara kesatuan semestinya dilakukan secara ketidakselarasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
baik, sehat, dan bertanggungjawab. Inilah pilihan ke terhadap peraturan UUD 1945 Pasal 18 tentang
depan yang tepat dengan Negara Kesatuan yang Pemerintahan Daerah di lapangan.
didesentralisasikan bisa memperkuat integrasi nasional.
Daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang Saran
serasi dengan pemerintah. Agar otonomi daerah dapat Ada beberapa saran-saran yang perlu diperhatikan,
dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak yaitu Pertama, agar pemerintahan Pusat pro-aktif
dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan mengkaji lebih dalam bagaimana sebenarnya penye-
yang berupa pemberian pedoman seperti dalam lenggaraan otonomi di daerah-daerah, mengapa muncul
penelitian, pengembangan, perencanaan dan peng- gejolak masyarakat daerah, bukan melakukan tindakan
awasan. represif dengan kekuatan militer. Kedua, berdasarkan
atas berbagai masalah ketidakkonsistenan, kese-
F. Kesimpulan larasan, dan ketidaksejalannya UU Nomor 32 tahun
Setelah penulis medeskripsikan dan menjelaskan isi 2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945 Negara Republik
penelitian ini sesuai dengan permasalahan dalam Indonesia tentang Pemerintahan Daerah. Maka penulis
penelitian tersebut, maka penulis menarik beberapa menyarankan diperlukan penulusuran lebih jauh
kesimpulan sebagai berikut: implementasi apa yang dimaksud dengan ketentuan-
Pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ketentuan penyelengaraan otonomi daerah menurut UU
tentang Pemerintahan Daerah menyangkut Otonomi Nomor 32 tahun 2004 sebagai upaya meluruskan
Daerah dan Desentralisasi dalam rangka menyikapi kembali peraturan-peraturan yang ada dalam UU Nomor
persoalan-persoalan kebangsaan di Negara Kesatuan 32 tahun 2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945, sehingga
Republik Indonesia sekarang ini perlu direvisi. Karena maksud dan tujuan otonomi daerah ini menjadi jelas.
masih ada celah atau kelemahan dalam undang-undang Ketiga, Judicial review UU Nomor 32 tahun 2004 ke
tersebut terutama dalam hal implementasi dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dilakukan bila
kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ditemukan di lapangan masalah UU tersebut yang
ternyata tidak sesuai dengan konsep kebijaksanaannya. mengarah pada disintegrasi bangsa, dan lain se-
Akibatnya terjadi ketidakharmonisan hubungan antara bagainya.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam 321
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R.O’G, (1999), “ Indonesian Jakarta Granit, 2004.


Nationalism Today and in the Future”. Indone- Widjaja, HAW, (2009), Otonomi Daerah Dan Daerah
sia, no. 67, April. Otonom, RajaGrafindo persada, Jakarta.
Riwukaho, Josef, (2001), Prospek Otonomi Daerah di Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid (2009),
Negara Republik Indonesia. Jakarta: Raja Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Grafindo Persada Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Marbun, B.N, (2010), Otonomi Daerah 1945 – 2010 Wignyosoebroto, Soetandyo, (2004), “Desentralisasi
Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Jakarta Belanda”, Banyumedia.
Abdul Gaffar Karim (Ed), (2006), Kompleksitas Said, Mas’ud, (2007), “Driving Forces dan Arah Baru
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, Otonomi Daerah di Indonesia”, Jurnal Ilmu
Jurusan ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Indonesia (MIPI), No. 24.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Manan, Bagir, (2004), Menyongsong Fajar Otonomi
Iglesias,U Gabriel, regionalization and Regional Develop Daerah, Pusat Studi Hukum UII,
ment in the Philippines, UP-CPA, Manila, 1978. Yogyakarta.
Riyanto, Adi Metodologi Penelitian Social Dan Hukum,

You might also like