Professional Documents
Culture Documents
Sedimen Acara 3
Sedimen Acara 3
SPHERCITY
V = 0.52 xDl xDi x Ds
No Dl Di Ds
𝟑 𝐃𝐬 𝟐 𝟑 𝐃𝐢. 𝐃𝐬
Klasifikasi Folk (1968)
√ √
𝐃𝐥. 𝐃𝐢 𝐃𝐥𝟐
Ds/Dl dL − dI 3 d2𝑠
No Dl Di Ds
dL − dS 𝞧P = √
𝑑𝑙.𝑑𝑖
1 5,5 4 1,9 0,35 0,48 0,94
2 5,4 3,2 2 0,37 0,63 0,95
3 5,8 3,5 2,5 0,43 0,71 0,96
4 4,2 3,1 1,8 0,43 0,58 0,95
5 6,5 3,5 2,5 0,38 0,71 0,96
6 4 3,1 2 0,50 0,65 0,96
7 4,7 4,4 2 0,43 0,45 0,95
8 4,8 3,1 2 0,42 0,65 0,96
9 6,9 3,8 1,6 0,23 0,42 0,93
10 6,8 5 2,5 0,37 0,50 0,95
11 7,4 4,5 2 0,27 0,44 0,93
12 7,8 5,4 2,7 0,35 0,50 0,94
13 6,4 4,6 2,3 0,36 0,50 0,94
14 8 5,2 2,7 0,34 0,52 0,94
15 5,5 5,1 1,9 0,35 0,37 0,93
16 6 3,5 2,5 0,42 0,71 0,96
17 6,6 4,1 2,3 0,35 0,56 0,95
18 6,2 5,3 2,8 0,45 0,53 0,95
19 6,7 4,1 2,3 0,34 0,56 0,95
20 5,6 3,7 2 0,36 0,54 0,95
21 5,3 3,1 1,3 0,25 0,42 0,47
22 4,5 2,3 1,3 0,29 0,57 0,55
23 6 3,6 1,9 0,32 0,53 0,55
24 3,2 1,8 1,2 0,38 0,67 0,63
25 3,3 2,4 0,9 0,27 0,38 0,47
dL − dI 3 d2𝑠
No Dl Di Ds Ds/Dl dL − dS 𝞧P = √
𝑑𝑙.𝑑𝑖
26 5,2 3,5 2,4 0,46 0,69 0,68
27 5 3,4 2,3 0,46 0,68 0,68
28 6,2 4,6 4 0,65 0,87 0,82
29 4,1 3,7 2,5 0,61 0,68 0,74
30 5,5 3,8 2,4 0,44 0,63 0,65
31 9,9 5,3 4 0,40 0,75 0,67
32 8,8 6,8 5 0,57 0,74 0,75
33 10 6,7 3,8 0,38 0,57 0,60
34 6,9 5,4 3,1 0,45 0,57 0,64
35 11 6,5 4 0,37 0,62 0,61
36 4,1 3,7 2,5 0,61 0,68 0,74
37 5,2 3,5 2,4 0,46 0,69 0,68
38 4 3 2,7 0,68 0,90 0,85
39 5,2 4,8 2,8 0,54 0,58 0,68
40 5 3,4 2,3 0,46 0,68 0,68
41 4,1 3,1 2 0,49 0,65 0,68
42 5,5 3,8 2,4 0,44 0,63 0,65
43 6,2 3,4 2,2 0,35 0,65 0,61
44 7,7 4,5 3,6 0,47 0,80 0,72
45 6,2 4,6 4 0,65 0,87 0,82
46 7,5 4,8 2,8 0,37 0,58 0,95
47 5,9 4,8 2,1 0,36 0,44 0,94
48 4,4 4 2 0,45 0,50 0,95
49 5,2 4,6 1,6 0,31 0,35 0,93
50 5,8 5,1 2,2 0,38 0,43 0,94
Compact Bladed Bladed Very Bladed Compact Elongate Elongated
Jumlah 1 30 2 6 11
% 2 60 4 12 22
Dari 50 sampel kerakal yang di ukur, didapatkan dominan termasuk dalam klasifikasi bladed
(memipih Panjang), yang memiliki ukuran panjang yang tidak sama. Dapat diketahui bahwa
lingkungan pengendapan dari kerakal tersebut adalah di darat jauh dari sumber (singkapan). Hal
ini sesuai dengan tempat pengambilan sampel yang terdapat di darat.
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK Nama : Muh. Sarjan Djalil
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI NIM : F12117003
Acara 3 : Granularitas
Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga
dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang, menengah
dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan bentuk butir. Cara yang paling
sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan perbandingan b/a dan c/b
untuk mengelaskan butir dalam empat bentuk yaitu oblate, prolate, bladed clan equant (Gambar
II.1, Tabel II.1). Dalam hal ini, a : panjang (sumbu terpanjang), b : lebar (sumbu menengah) dan
c : tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam bahasa Indonesia belum
dibakukan sehingga seringkali penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan
bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang berukuran kerakal sampai berangkal
(pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara tig
dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus dilakukan, terutama pads bongkah dengan
diameter yang mencapai puluhan sampai ratusan centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati
secara tiga dimensi, pendekatan secara kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison)
bisa juga dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.
Gambar I Klasifikasi butiran pebel (kerakal — berangkal) berdasarkan perbandingan antar sumbu (Zingg, 1935,
diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)
Dimana Vp: volume butiran yang diukur dan Vcs: volume terkecil suatu bola yang
melingkupi partikel tersebut (circumscribing sphere). Krumbein (1941) kemudian
menyempurnakan persamaan tersebut dengan memberikan nilai volume bola dengan π/6D3,
dimana D adalah diameter bola. Dengan menggunakan asumsi bahwa butiran secara tiga
dimensi dapat diukur panjang sumbu-sumbunya, maka diameter butiran dijabarkan dalam
bentuk DL, DI, dan DS, dimana L, I, S menunjukkan sumbu panjang, menengah, dan pendek.
Setelah memasukkan niali pada perhitungan Wadell, maka sphericity dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (ψ1) yang
dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel
dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept
sphericity tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran
yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk
prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru
didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity
yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi maksimum.
Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola
dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara ringkas dapat
ditulis dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah clan pendek
sebagaimana dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus
yang diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid dibandingkan dengan intercept
sphericity, terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan
es.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987)
menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada
semua bentuk butir. Partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang
sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968) mengelaskan
sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel II.
Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari
batuan cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami
perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran
yang berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir
juga lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk
butir pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini
disebabkan sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang
melimpah pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran
setelah mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen
batuan (lithic) bolehjuga dilakukan
Tabel III. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968)
Bentuk butir akan berpengaruh pads kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara
umum batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan
pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat
transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung
tertahan lebih lama pada media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk jugs berpengaruh
pada transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan
prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh
analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987)
menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak aapat digunakan untuk menafsirkan
suatu lingkungan pengendapan.