Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 15

DISORIENTASI PENGEMBANGAN INTELEKTUAL PTAIN?

Pergeseran Wacana Studi Keislaman dalam Menghadapi Persaingan Pasar Kerja

Fauzan Saleh
STAIN Kediri

Abstract
The article analyzes the trends and impact of intellectual orientation shift occurring at
PTAI recently. The development of Islamic knowledge at PTAI has been facing harder
challenge. More intellectual scholars are not really keen on deepening their Islamic
knowledge at tertiary education. This is contrary to the religious enthusiasm found in the
society recently. There are two religious viewpoint shifts in our society. People are to be
more religious by involving in Islamic teachings and halaqah, and, on the other hand,
they do not want to be left behind in gaining earthly advantages. Deeping religious
knowledge seriously does not attract them; therefore, Islamic study is not improving.
Religion is seen as a practical need that can be studied instantly. As a result, people tend
to focus on studies that are promising concrete earthly work. It seems that PTAI has been
able to see this social trend shift so as to maintain its existence. As a consequence,
orientation shift occurs and enlarged mandate takes place to accommodate them. In
respond to it, institution change is a must—from Institute for Islamic Studies to Islamic
University. In this instance, efforts have been done to legitimate the change. Eventually,
the question to raise is how about the development mission of religious studies
themselves then.

Key words: Unintended consequences, scant department, joint decision of three


ministries, affirmative action, main mandate.

Pendahuluan

Jonathan Berkey, dalam uraiannya tentang “ Professors and Patrons: Careers in


the Islamic Academic World,” mengutip pendapat Muhammad ibn al-Hajj (w. 1336),
seorang ulama’ fiqih abad ke-14, mengatakan telah terjadi tindakan-tindakan memalukan
dan menyimpang yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Cairo. Ibn al-Hajj
mengeluhkan perilaku para ulama’ yang lebih mementingkan kekayaan dan status
duniawi di dalam meniti karier keulamaan mereka. Lebih lanjut dia mengatakan, jika di
masa lalu orang banyak membelanjakan hartanya untuk mecari ilmu, sekarang ini orang
berusaha mencari ilmu guna memperoleh harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya.
Sejak abad ke-14 itu pun sebenarnya telah terjadi “penyimpangan orientasi” di kalangan
para ulama.1 Tidak jauh berbeda dengan kecenderungan saat ini, mereka juga melihat
bahwa mencari ilmu dimaksudkan sebagai bentuk investasi masa depan, agar kehidupan
eknominya lebih terjamin. Dengan ilmu itu mereka kelak akan dapat meniti karier

1
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic
Education (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992), 95.
2

sebagai guru atau syeikh yang terpandang dan dengan itu pula mereka akan mendapatkan
job di berbagai perguruan tinggi ternama dengan gaji besar.2
Dewasa ini gejala yang sama tengah berlangsung dan seolah-olah menjadi trend
yang mesti diikuti oleh semua orang yang hidup di zaman persaingan bebas ini. Kita
tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran trend semacam ini, sebab itulah yang sedang
kita lakukan saat ini. Meski ada pengecualian, ketika orang menginvestasikan sebagian
uangnya untuk memasuki pendidikan tinggi, tentu ada keinginan bahwa kelak mereka
akan mendapat return dari uang yang diinvestasikannya. Return itu secara umum
diperoleh dalam bentuk karier atau pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya serta gaji
yang memadai sesuai dengan status sosialnya. Kesadaran seperti ini telah menandai
sebuah “reorientasi” (untuk tidak menyebut “disorientasi”) dalam pola fikir para pemuda
dalam menempuh pendidikan tinggi. Salahkah pergeseran orientasi seperti itu? Sama
sekali tidak, terutama jika kita melihatnya dari sudut pandang perubahan sosial yang
berlangsung sejak lima dasawarsa terakhir di negeri kita. Pergeseran orientasi ini telah
terjadi secara alamiah ketika bangsa kita dihadapkan pada perubahan-perubahan besar
yang melanda dunia, khususnya ketika umat manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan
diri dengan peralihan zaman dari era agriculture ke era industri dan postindustri.
Kita juga tidak ingin menyalahkan Muhammad ibn al-Hajj dengan keprihatinan
yang ia keluhkan di atas. Dia tentu memiliki argumen yang bagus dengan mengeluhkan
“disorientai” yang melanda para ulama’ pada zamannya. Ketika dewasa ini kita (dan juga
Kementerian Agama) merasa prihatin dengan menurunnya minat para pemuda Muslim
untuk memasuki perguruan tinggi agama yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional,
maka bisa jadi kita akan mengulang keprihatinan Ibn al-Hajj di atas. Jurusan-jurusan atau
program studi (Prodi) yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional sepi peminat sejak
kira-kira dua puluh tahun terakhir. Alasannya, ilmu-ilmu Islam murni ini tidak
menjanjikan karier di dunia kerja yang jelas. Sebagai konsekwensinya, perguruan tinggi
agama Islam harus merubah orientasinya: supaya tetap diminati calon mahasiswa,
jurusan-jurusan tersebut harus melakukan metamorfosa, tidak hanya mengajarkan ilmu-
ilmu Islam tradisional, tetapi juga harus mengikuti trend pasar kerja.

Menghadapi Persaingan
Menurut Jeje Abd. Rozaq, persoalannya ialah bagaimana PTAI bisa melahirkan
lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik, di samping
ilmu keagamaan yang menjadi kewajiban pokoknya, serta memiliki etos kerja yang
positif disertai iman dan taqwa yang mendalam. 3 Ini semua menjadi prasyarat bagi para
lulusan PTAI untuk mampu bersaing dengan lulusan perguruan tinggi umum untuk dapat
merebut pasaran kerja. Sejalan dengan persoalan di atas, ia menyebutkan berbagai
persoalan yang tengah dihadapi oleh PTAI dewasa ini. Secara umum permasalahan itu

2
Bandingkan dengan kenyataan yang terungkap dari hasil penelitian tentang peran yang dimainkan oleh
IAIN dalam menyemaikan dan menebarkan wacana baru keislaman di Indonesia, oleh tim peneliti dari
IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayautllah, Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa pendirian
IAIN, khususnya IAIN Jakarta, terkait erat dengan kepentingan pemerintah untuk mencetak pegawai yang
memiliki ketrampilan dalam pelayanan keagamaan. Lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan
Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), 61.
3
Jeje Abd. Rozaq, “Mensiasati Ruang Kosong Kompetisi PTAI dalam Rumah Indonesia.” Makalah
dipresentasikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), di Surakarta, 2-5 November
2009.
3

berupa (1) rendahnya mutu hasil pendidikan dan penelitian, (2) masalah mutu lulusan,
dan (3) sumbangan terhadap pengembangan ilmu (yang masih belum menggembirakan).
Namun berbagai problem tersebut berdampak cukup jauh pada kurang berhasilnya PTAI
dalam menunaikan tugas pokoknya, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:
1. Bergesernya aspirasi pendidikan masyarakat (baca: umat Islam) yang semula
sangat mementingkan ilmu agama, kemudian bergeser pada ilmu umum, sejalan
dengan dinamika kehidupan bangsa secara keseluruhan.
2. Semakin sempitnya peluang lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri
akibat kebijakan zero growth yang diterapkan pemerintah dalam rekruitmen
pegawai negeri.
3. Banyaknya lulusan PTAI yang tidak segera mendapatkan pekerjaan sesuai yang
diinginkan berakibat pada berkurangnya minat calon mahasiswa untuk belajar di
PTAI. Dalam pandangan mereka PTAI kurang bisa menjamin prospek masa depan
yang cerah. Lulusan SLTA yang mempunyai potensi akademik yang tinggi
cenderung memilih perguruan tinggi umum yang dianggap lebih menjanjikan.
4. Beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya juga
ikut membuat sebagian calon mahasiswa kurang berminat untuk mendalami ilmu
agama secara khusus.
5. Kurang berminatnya lulusan SLTA yang memiliki potensi akademik tinggi untuk
belajar di PTAI menyebabkan mutu kebanyakan mahasiswa PTAI kurang ideal.
Bahkan banyak PTAI yang terpaksa menerima mahasiswa dengan mutu ala
kadarnya, karena khawatir akan kekurangan mahasiswa jika mereka terlalu ketat
dalam menyaring calon mahasiswa.
6. Input mahasiswa yang kurang ideal ini selanjutnya berdampak pada sulitnya PTAI
untuk bisa menghasilkan lulusan yang bermutu.
Terlepas dari berbagai persoalan di atas, perubahan status fakultas daerah yang
harus lepas dari IAIN induk pada akhir 1990-an dan berganti nama menjadi Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)4 telah menjadi katup penyelamat bagi survival atau
keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi Islam di daerah-daerah. Dalam perubahan
status dan nama itu pemekaran menjadi dimungkinkan, sebab status sebagai STAIN
memberi peluang untuk membuka jurusan dan Program Studi (Prodi) baru yang lebih
berorientasi pasar kerja. STAIN Kediri, misalnya, yang dulu berawal dari Fakultas
Usuluddin IAIN Sunan Ampel di Kediri yang “tunduk” pada Rektor IAIN Sunan Ampel
Surabaya, dengan Keputusan Presiden tersebut, berubah status dan bertanggung jawab
langsung pada Menteri Agama. Dengan status baru ini STAIN Kediri mulai dapat
mengembangkan diri dan membuka jurusan-jurusan baru, dimulai dengan Jurusan
Ushuluddin dan Tarbiyah (1997), kemudian disusul Jurusan Syari’ah (2001). Masing-
masing jurusan ini terus berlomba untuk membuka program studi yang “layak jual” di
4
Tentang perubahan status dimaksud, lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997,
tanggal 21 Maret 1997, tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Salah satu konsideran yang
menjadi dasar pertimbangan ialah bahwa “untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan
di IAIN dipandang perlu melakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi
di luar IAIN induk.” Selanjutnya ditegaskan pula bahwa STAIN berada di lingkungan Departemen
(sekarang Kementerian) Agama, dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Agama. Jika dulu
sebagai fakultas daerah harus tunduk pada kebijakan Rektor IAIN dengan kewenangan yang amat terbatas,
maka dengan Keputusan Presiden tersebut STAIN memiliki keleluasaan dan kewenangan yang lebih luas
untuk mengembangkan diri dengan membuka jurusan atau program studi yang baru. Dalam Keputusan
Presiden ini tidak kurang dari 33 fakultas daerah yang lepas dari IAIN induk dan berubah menjadi STAIN.
4

masyarakat. Jurusan Tarbiyah, misalnya, dengan prodi-prodi yang laris di pasaran, seperti
bahasa Inggris, di samping Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab,
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Diikuti oleh jurusan lain yang berpotensi
mengembangkan prodi laris, seperti Ekonomi Islam (pada Jurusan Syari’ah), dan
Psikologi dan Komunikasi (pada Jurusan Ushuluddin), STAIN Kediri dapat bernapas lega
karena tidak ditinggalkan oleh para calon mahasiswa. Para calon mahasiswa itu melihat
bahwa meski berada di lingkungan pendidikan tinggi agama Islam, mereka bisa berharap
kelak akan dapat mengembangkan karier dan dapat memasuki pasar kerja, bersaing
dengan tamatan pendidikan tinggi umum yang lain.
Meski demikian, perubahan status tersebut belum membawa perbaikan berarti
bagi nasib dan perkembangan kajian ilmu-ilmu Islam murni atau kajian ilmu-ilmu
keislaman tradisional, terutama yang dikelola oleh Jurusan Ushuluddin. Yang terjadi di
lapangan justru semakin memprihatinkan. Dengan adanya prodi-prodi baru yang semakin
banyak diminati calon mahasiswa—karena menjanjikan lapangan kerja—prodi ilmu-ilmu
keislaman tradisional pada jurusan Ushuluddin (juga Dakwah dan Adab di institusi lain)
semakin sepi dan tetap kurang diminati. Tidak sedikit IAIN atau STAIN yang mengelola
jurusan-jurusan sepi peminat ini mengeluhkan kondisi tersebut dan merasa khawatir akan
keberlangsungan eksistensinya. Mereka telah melakukan berbagai upaya agar jurusan-
jurusan ini tetap laku dan diminati oleh calon mahasiswa. Program Studi Perbandingan
Agama barangkali merupakan unit yang paling merasakan dampak perubahan orientasi
ini. Dari segi namanya saja, orang sudah gamang dan tidak mendapatkan gambaran yang
jelas tentang ilmu apa yang diajarkan pada prodi tersebut. Selanjutnya, suatu pertanyaan
yang sangat wajar muncul: tamatannya akan jadi apa dan dapat diterima kerja di mana.
Belum lagi persoalan titel kesarjanaan yang akan diberikan kepada alumninya yang sudah
sekian kali berganti nama, mulai dari Doktorandus (Drs.), Sarjana Agama (S.Ag.),
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I), dan yang akan berlaku nanti, Sarjana Ushuluddin
(S.Ud.).5 Semua hal ini hanya akan menambah kebingungan masyarakat dan membuat
permasalahan menjadi semakin kompleks.
Tetapi metamorfosa seperti itu tidak hanya terjadi di lingkungan STAIN. Semua
perguruan tinggi agama Islam, termasuk IAIN besar (Jakarta, Jogja, Surabaya, Makasar),
telah merubah orientasi mereka. Bahkan sebagian IAIN dan satu STAIN telah melompat
begitu jauh merubah statusnya dari institut (dan sekolah tinggi) menjadi universitas.
Perubahan itu telah memberi peluang dan keleluasaan untuk membuka fakultas atau
jurusan-jurusan baru di luar tradisi keilmuan Islam yang menjadi mandat awalnya. Ilmu-
ilmu non-keislaman ikut mewarnai corak pengembangan intelektual di lingkungan
pendidikan tinggi agama Islam. Tujuannya, di samping yang resmi seperti tercantum
dalam statuta, sudah jelas: orientasi pasar kerja atau, lebih tepatnya, memperebutkan
pasar kerja. Hal ini tidak perlu dipungkiri, sebab perubahan orientasi ini menyangkut
nasib eksistensial lembaga yang bersangkutan, terlepas dari visi, misi dan tujuan suatu
lembaga pendidikan tinggi itu dibangun, sesuai dengan status yang disandangnya.6
5
Tentang perubahan gelar akademik terbaru di lingkungan PTAI, lihat Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama.
6
Perhatikan, misalnya, perubahan status STAIN Malang menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim. Di dalam
mengembangkan beberapa program studinya UIN Maliki mengklaim berupaya memadukan kajian Islam
dan ilmu-ilmu modern seperti Pendidikan IPS, Psikologi, Matematika, Kimia, Fisika, Teknik Informatika,
Manajemen, di samping bahasa dan sastra. Pengembangan prodi-prodi baru tersebut didasari suatu
5

Melihat kecenderungan pasar kerja yang harus secara cermat diperhitungkan


tersebut, pembukaan jurusan/prodi umum di lingkungan PTAI sudah menjadi tren, dan
bahkan menjadi kebutuhan. Kita dapat memaklumi hal itu, sebab tuntutan utama ialah
bagaimana lembaga tetap survive lebih dahulu. Dan itu berarti harus membuka peluang
seluas-luasnya bagi lembaga untuk dapat menerima mahasiswa sebanyak mungkin. Yang
penting jurusan atau prodi itu laku dan diminati calon mahasiswa. Konsekwensinya, misi
keilmuan bisa dimodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar. Selain itu, resiko yang tak kalah
seriusnya ialah prodi-prodi pokok yang mengajarkan ilmu-ilmu dasar keislaman semakin
kurang diminati dan kekurangan mahasiswa. Di beberapa tempat, fakultas atau jurusan
Ushuluddin, misalnya, harus tutup karena memang tidak ada calon mahasiswa yang
daftar. Selanjutnya, ketika hanya prodi-prodi umum yang laku, maka pada prodi tersebut
ilmu-ilmu keislaman semakin sedikit porsi sks-nya, dan berperan sekedar sebagai
“pendamping” bagi disiplin ilmu umum dalam prodi tersebut. Ini tidak lepas dari tuntutan
kurikulum yang harus diakomodasi oleh prodi yang bersangkutan agar lulusannya dapat
diterima oleh pasar kerja.
Prodi-prodi umum ini, supaya lulusannya dapat diakui kompetensi keilmuannya,
harus memperbanyak matakuliah yang diajarkan pada prodi sejenis di lingkungan
perguruan tinggi umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Prodi Bahasa
Inggris di STAIN Kediri, misalnya, dalam rangka meningkatkan kompetensi mahasiswa
dalam bahasa Inggris harus memodifikasi silabinya dari tahun ke tahun. Karena tuntutan
memperbanyak materi bahasa Inggris ini pula maka matakuliah yang dipandang kurang
menunjang pencapaian target kompetensi tersebut terpaksa harus digusur. Sayangnya,
yang dikorbankan adalah matakuliah keagamaan yang sebenarnya sangat penting bagi
seluruh mahasiswa PTAI guna memantapkan wawasan keagamaan mereka dan sangat
diperlukan bagi pembentukan pribadinya selaku mahasiswa Muslim. Dalam buku Silabus
Jurusan Tarbiyah STAIN Kediri tahun 2008, misalnya, mata kuliah Pemikiran Modern
Dalam Islam (PMDI) dan Filsafat Islam telah dihapuskan dari silabi Prodi Tadris Bahasa
Inggris, untuk memberi ruang yang lebih banyak bagi materi bahasa Inggris. Padahal,
dengan materi kuliah PMDI ini mahasiswa akan mengenali persoalan-persoalan yang
harus dihadapi oleh dunia Islam di abad modern ini dan bagaimana umat Islam harus
merespon berbagai tantangan yang datang dari gempuran ideologi Barat, terutama dalam
bentuk faham sekularisme dan materialisme. Dengan demikian sebenarnya matakuliah ini
dimaksudkan selain untuk memperluas wawasan keagamaan mahasiswa juga untuk
menanamkan semangat keislaman agar mereka memiliki jiwa dan keberanian untuk
membela kepentingan Islam.

Icon Pengembangan Ilmu Keagamaan


Di UIN Jogjakarta dan Jakarta, yang di masa lalu Fakultas Ushuluddin merupakan
fakultas yang bergengsi karena bobot akademiknya, sekarang juga sudah mengalami
penurunan. Bergengsinya Fakultas Ushuluddin di kedua PTAI besar itu tidak lepas dari
tokoh yang menjadi icon Ushuluddin saat itu, yaitu Harun Nasution untuk IAIN Jakarta,
dan Mukti Ali untuk IAIN Jogjakarta. Kedua tokoh yang meskipun tidak mengawali
keyakinan bahwa model pendidikan seperti ini akan mampu mengantarkan para lulusannya memiliki
pengetahuan, kepribadian dan wawasan yang lebih utuh dengan memadukan antara iman dan taqwa di satu
sisi dengan ilmu pengetahuan dan tekonologi di sisi yang lain. Lihat, Imam Suprayogo, “Pendidikan
Integralistik: Memadu Sains dan Agama” Kata Pengantar pada buku Memadu Sains dan Agama Menuju
Universitas Islam Masa Depan (Malang: UIN Malang, 204), xi.
6

karier akademiknya di Fakultas Ushuluddin ini ternyata telah mendapatkan basis


pengembangan keilmuannya di lingkungan Ushuluddin. Keduanya telah berjasa besar
dalam mewarnai perkembangan intelektual pendidikan tinggi Islam. Mereka berdua tidak
saja melahirkan para intelektual muda yang banyak berkpirah dalam pengembangan
diskursus keislaman yang amat dinamis tetapi juga telah membawa perubahan-perubahan
besar dalam iklim intelektual di dunia pendidikan tinggi Islam di Tanah Air, khususnya
melalui pendidikan Pascasarjana yang mulai berkembang sejak era 1980-an.7
Memang di samping kedua tokoh ini masih ada tokoh penting lain yang ikut
mendorong kemajuan intelektual di lingkungan PTAIN. Tokoh penting itu adalah
Nurcholish Madjid.8 Dia sendiri mengawali karir akademiknya sebagai mahasiswa di
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebenarnya, Fakultas Adab tidak jauh
berbeda kondisinya dengan Fakultas Ushuluddin saat ini, sama-sama fakultas yang sudah
kurang diminati calon mahasiswa. Bahkan, seperti dituturkan Nurcholish sendiri, ia
merasakan bahwa secara keseluruhan kondisi pembelajaran dan dinamika intelektual
IAIN saat itu sering dipandang dengan sebelah mata oleh mahasiswa perguruan tinggi
umum. Kondisinya “memelas,” menurut ungkapan dia. Kata-kata itu sendiri
menunjukkan maksud sangat miskin, memprihatinkan dan mengundang belas kasihan.
Sekalipun demikian, semangat belajar yang diikuti oleh para mahasiswa saat itu sangat
tinggi. Keinginan untuk menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu dasar Islam, termasuk
sastra dan sejarah peradaban Arab, masih cukup tinggi di kalangan masyarakat. Kita tidak
tahu data statistik yang menunjukkan berapa jumlah mahasiswa Fakultas Adab atau
Ushuluddin di Jakarta maupun Jogjakarta saat itu. Namun, dari perkembangan kurikulum
maupun silabi yang ditawarkan menunjukkan betapa muatan ilmu-ilmu keislaman masih
sangat dominan dan padat.
Terlepas bahwa Nurcholish saat itu berangkat dari fakultas yang sekarang telah
mengalami stigma “sepi peminat” tersebut, semangat belajarnya tidak kalah dengan para
mahasiswa saat ini. Belajar di perguruan tinggi bukan dengan niatan untuk mendapat
civil effect menjadi pegawai negeri, tetapi benar-benar untuk menjadi manusia yang
terpelajar, becoming educated. Karena tanpa beban bahwa kelak tidak mesti menjadi
pegawai negeri itulah maka semangat belajar dan keinginan untuk memperdalam ilmu
7
Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembaruan Islam yang paling berpengaruh di kalangan
terpelajar Muslim di Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok intelektual Muslim yang liberal dan telah
banyak menawarkan cara pandang yang rasional, terbuka dan ilmiah terhadap kajian keislaman, seperti
yang ia tuangkan dalam berbagai karyanya yang banyak dikaji oleh para calon cendekiawan Muslim,
khususnya di lingkungan PTAIN. Tentang Mukti Ali, tokoh ini sudah banyak dikenal sebagai salah seorang
intelektual Muslim yang kritis dan berpengaruh di kalangan Muslim terpelajar di Jogjakarta, jauh sebelum
ia diangkat menjadi Menteri Agama, tahun 1970-an. Di antara jasa-jasanya, dia dikenal sebagai tokoh yang
berhasil mengembangkan studi agama-agama, sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia yang paling awal. Kemunculan kedua tokoh terkemuka ini telah mengangkat pamor
Fakultas Ushuluddin menjadi fakultas yang “bergengsi” baik di Jakarta maupun Jogjakarta. Lihat Fuad
Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam, 143.
8
Nurcholish Madjid (1939-2005), sebagaimana tertulis pada sampul jaket Ensiklopedi Norcholish Madjid
(2006), dikenal sebagai cendekiawan yang gigih memperjuangkan gagasan pluralisme Islam dan sebagai
perumus “wajah Islam Indonesia” yang empati dan inklusif melalui penyerasian tiga tema besar: keislaman,
kemoderenan, dan keindonesiaan. Dengan keberanian moralnya yang nothing to lose, dia tampil dengan
gagasan-gagasan yang segar dan membebaskan. Jika ia pernah dianggap sebagai sosok yang kontroversial,
maka kontroversi, baginya, adalah suatu hukum alam yang tak mungkin dibelokkan. Kontroversi adalah
bentuk kritis dari interaksi antar-manusia. Dia tidak ingin menjadi nothing, bukan demi popularitas, tetapi
karena itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah.
7

pengetahuan, apa pun bidang dan jenisnya, tetap dijalani dengan sungguh-sungguh.
Bahkan yang lebih menonjol adalah kemauan keras untuk mengembangkan tradisi
intelektual di kalangan para mahasiswa. Ada proses yang secara tidak disengaja
(unintended) akan menyertai perkembangan belajar para mahasiswa itu, meskipun
mereka menempuh pendidikan di “jalur yang kurang menjanjikan.” Tepatnya, telah
terjadi unintended consequences dari proses pembelajaran yang mereka lalui, yaitu suatu
konsekwensi yang secara tak sengaja akan diperoleh oleh setiap orang yang terlibat di
dalam proses tersebut. Jika orang belajar di ITB atau ITS akan menjadi insinyur
(engineer, atau sarjana teknik) dan dengan gelar akademik itu orang akan mendapat
pekerjaan dengan gaji tinggi, maka belajar di perguruan tinggi agama, apalagi di
“fakultas/jurusan” kering seperti Adab dan Ushuluddin, tidak bisa memperoleh intended
consequence itu dengan mudah. Namun demikian, ia masih tetap beruntung karena ada
aspek unintended consequences, yaitu becoming educated, menjadi orang yang terpelajar.
Dalam ungkapan yang lebih jelas, Nurcholish Madjid menuturkan:
Pendidikan itu kan yang penting dilihat bukan intended consequence-nya—seperti
orang belajar ke ITB menjadi insinyur—melainkan, yang lebih penting, adalah
unintended consequence-nya: menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang
itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan
fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi
bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa
menjadi semakin besar bila aspek tradisi intelektualnya tersentuh. Pada mulanya
kan orang-orang pergi ke IAIN ingin jadi modin. Tapi, lama-kelamaan, karena
aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya
menjadi terpelajar.9

Dari kutipan di atas dapat kita baca, bahwa unintended consequences itulah yang
harus kita perhatikan ketika orang menempuh suatu program pendidikan. Apa pun
jurusan atau program studinya, asal dapat mengantarkan orang pada tahapan menjadi
terpelajar dan memperoleh sentuhan intelektual yang memadai, maka itu akan menjadi
modal amat penting untuk menjadi apa saja. Jika dicermati tidak sedikit orang yang studi
di IPB, ITS atau perguruan tinggi khusus seperti itu ternyata justru harus bekerja di luar
jalur keilmuan yang mereka tekuni di bangku kuliah. Sebagai contoh, tidak sedikit dari
mereka yang bergelar sarjana tehnik itu justru diterima bekerja di perbankan. Apa kaitan
antara ilmu yang ia pelajari di bangku kuliah dengan karir pekerjaannya? Kemudian,
bagaimana dia bisa menjalani pekerjaan itu padahal pekerjaan itu sama sekali di luar
disiplin ilmu yang ia tekuni di bangku kuliah? Barangkali memang harus diakui bahwa
peluang yang tersedia bagi tamatan IAIN/STAIN tidak seluas yang tersedia bagi tamatan
perguruan tinggi umum lainnya. Tetapi jika orang memperhatikan pentingnya sentuhan
intelektual yang membuka peluang untuk menjadi “apa saja,” seharusnya ia akan tetap
bersikap optimistis dan terus tekun belajar medalami ilmu apa pun, termasuk ketika ia
menjatuhkan pilihan untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman tradisional di PTAI.
Gejala penurunan minat memasuki jurusan/prodi ilmu-ilmu keislaman tradisional
sudah terasa sejak akhir 1980-an. Ini barangkali tidak lepas dari perubahan-perubahan
besar pada kurikulum di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang mensejajarkan dirinya

9
Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan ModernisasiIslam, 145, dikutip dari hasil wawancara dengan
Nurcholish Madjid.
8

dengan SMP/SMA yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan Nasional.


Materi pendidikan agama Islam tinggal 20% dari porsi yang diberikan pada sistim
pendidikan sejenis di masa lalu. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
(Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri), tamatan Madrasah Aliyah,
dengan perubahan struktur kurikulum seperti di atas, dapat dengan mudah diterima di
perguruan tinggi umum.10 Konsekwensinya, semakin banyak tamatan Aliyah memilih
melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum. Tinggal sisa-sisanya saja yang, karena—
terutama faktor ekonomi—tidak punya banyak pilihan, harus merelakan diri mendaftar di
perguruan tiggi agama. Tidak banyak dari tamatan Aliyah yang benar-benar secara sadar
ingin melanjutkan studi ke PTAI dengan niatan memperdalam ilmu agama.
Memang harus diakui bahwa dengan adanya SKB tiga menteri tersebut semakin
banyak pula calon mahasiswa di PTAI yang berasal dari SMA umum (termasuk SMK).
Ini tentu merupakan suatu bentuk nilai tambah yang penting untuk menjadi perhatian
kita. Kecenderungan tersebut bisa dimaknai dari beberapa sudut pandang. Ketika para
tamatan sekolah umum (non-Madrasah Aliyah) itu memberanikan diri untuk
mendaftarkan diri ke PTAI, asumsi pertama yang dapat diangkat ialah mereka merasa
mempunyai cukup bekal ilmu agama untuk memasuki PTAI, meskipun di lapangan
terbukti berbeda. Hal ini tidak lepas dari adanya anggapan bahwa tuntutan pengetahuan
agama di PTAI. sebagai prasyarat sekarang sudah tidak seketat sebelumnya. Dengan
berbekal ilmu agama yang mereka dapatkan di SLTA umum, ditambah modal
kemampuan membaca al-Qur’an yang cukup bagus maka prasyarat pengetahuan agama
itu dapat mereka kuasai dengan baik.11 Bisa juga karena mereka melihat di PTAI pun
tersedia peluang yang cukup bagus untuk mengembangkan diri, sebab PTAI sudah
membuka prodi-prodi baru yang dapat “menampung” minat mereka sesuai dengan latar
belakang pendidikan SLTA mereka. Fakta seperti inilah antara lain yang dibaca oleh
pengelola PTAI sebagai peluang untuk merebut pasaran calon mahasiswa, sehingga
tampak adanya persaingan antara PTAI dengan PT umum yang bernaung di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional.

10
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam
Negeri No. 037/U/1975 tentag Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, tanggal 24 Maret 1975
menyebutkan, antara lain, bahwa dalam rangka pencapaian tujuan nasional pada umumnya dan
mencerdasakan kehidupan bangsa pada khususnya, serta memberi kesempatan yang sama kepada tiap-tiap
warga negara Indonesia untuk memperoleh dan untuk mendapat pengajaran yang sama bagi tiap-tiap warga
negara Indonesia perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar
lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai
ke Perguruan Tinggi. SKB Tiga Menteri ini bertujuan agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah
mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang sederajat,
sehingga ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
Disebutkan pula bahwa pelajaran umum pada Madrasah Aliyah sama dengan standar pengetahuan umum
pada Sekolah Menengah Atas. Penulis berterimakasih kepada Dr.Nur Ahid yang telah memberikan
informasi yang lengkap tentang SKB Tiga Menteri tersebut sebagaimana termuat dalam lampiran bukunya
Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).
11
Asumsi terakhir ini dapat dijjastifikasi, antara lain, dengan memperhatikan hasil ujian masuk STAIN
Kediri selama beberapa tahun terakhir, di mana nilai ujian untuk Pengetahuan Agama Islam (dan
kemampuan membaca al-Qur’an) rata-rata lebih bagus dari nilai mata ujian lainnya, yaitu Bahasa Arab dan
Bahasa Inggris. Hal terakhir ini tentu cukup menggembirakan, karena SLTA telah memberikan pendidikan
agama dengan cukup baik, sehingga nuansa keislaman tampak cukup kuat mewarnai, paling tidak,
“penampilan” para generasi muda ini ketika mereka melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi,
termasuk di perguruan tinggi umum.
9

Kenyataan di atas sekaligus menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Madrasah


Aliyah pun lambat laun akan menular ke PTAI. Porsi pendidikan agama semakin sempit,
“digusur” oleh ilmu-ilmu lain sesuai dengan disiplin yang dikembangkan oleh prodi.
Ilmu-ilmu keislaman diberikan sebatas “standar minimal,” tidak lebih dari sekitar 30 sks
dari kurang lebih 160 sks yang harus dipenuhi untuk jenjang S1. Persis seperti siswa di
tingkat Aliyah, mahasiswa di PTAI prodi “umum” lebih mengutamakan ilmu-ilmu
pengembangan ketrampilan sesuai dengan jenis prodinya, dengan menempatkan ilmu-
ilmu keislaman sekedar sebagai matakuliah “pengembangan kepribadian.” Artinya, ilmu
keislaman tidak perlu dikaji sangat mendalam, tetapi sekedar cukup untuk dapat memberi
landasan (seperlunya?) agar mahasiswa tersebut tetap merasakan dirinya belajar di PTAI.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan porsi seperti itu visi, misi dan tujuan lembaga
dapat dipenuhi dengan baik? Bukankah PTAI hanya ikut meramaikan kecenderungan
yang sedang berkembang saat ini bahwa pendidikan tinggi adalah “pabrik” tenaga kerja
yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan pasar industri?

Nilai Agama sebagai Landasan Moral-Spiritual


Padahal, penyelenggaran pendidikan di lingkungan Kementerian Agama secara
umum tidak lepas dari misi dan tugas pokok kementerian tersebut seperti tertuang dalam
Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Agama, yaitu membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan. Di
dalam pelaksanaan tugas tersebut diharapkan agar filosofi dan nilai-nilai agama menjadi
parameter perilaku kehidupan, menjadi inspirator dan katalisator pembangunan, serta
motivator bagi terciptanya toleransi kehidupan beragama serta kehidupan yang harmonis
di antara umat yang berbeda agama. Lebih lanjut, uraian tentang tugas dan fungsi itu
dijabarkan dalam Keputusan Menteri Agama nomor 512 Tahun 2003 tentang Visi dan
Misi Kementerian Agama. Tentang visi dijelaskan bahwa Kementerian Agama berusaha
menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moral spiritual dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun misinya disebutkan antara lain: (1)
Meningkatkan kualitas pendidikan agama, (2) Meningkatkan kualitas pelayanan ibadah,
(3) Memberdayakan lembaga keagamaan, (4) Memperkokoh kerukunan umat beragama,
(5) Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan, serta (6) Penghormatan atas
keanekaragaman keyakinan keagamaan.12
Sejalan dengan pokok fikiran di atas, Arif Furchan, sebagaimana dikutip Jeje Abd.
Rozaq lebih lanjut, pendidikan agama yang dikelola Kementerian Agama, terutama
Perguruan Tingginya, harus dapat memberikan layanan pendidikan tinggi agama Islam
yang bermutu, melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan dirugikan akibat
adanya “mal-praktik” di bidang pelayanan pendidikan tinggi agama, dan menjadikan
pendidikan tinggi agama sebagai sumber perumusan, penyebarluasan, dan pendidikan
filosofi dan nilai-nilai agama, sehingga dapat digunakan oleh masyarakat sebagai
parameter perilaku kehidupan, menjadi inspirator dan katalisator pembangunan, serta
motivator bagi terciptanya toleransi kehidupan beragama dan bermanfaat bagi upaya

12
Jeje Abd. Rozaq, “Mensiasati Ruang Kosong,” mengutip dari Lampiran Keputusan Menteri Agama
Nomor 506 Tahun 2003 tentang Pedoman Perumusan Visi dan Misi Satuan Organisasi /Kerja di Lingungan
Departemen Agama.
10

mewujudkan kehidupan yang harmonis antar-umat beragama.13 Semua pokok fikiran di


atas secara umum menegaskan bahwa pendidikan agama, khususnya di tingkat Perguruan
Tinggi Agama Islam, menuntut adanya pengkajian ilmu-ilmu agama secara mendalam
dan serius. Oleh karena itu, jika kecenderungan yang berkembang saat ini ialah ilmu
agama sekedar sebagai “pendamping” bagi ilmu-ilmu umum (baca: Biologi, Matematika,
Psikologi, Komunikasi, dan Bahasa Inggris) di PTAI maka dikhawatirkan akan terjadi
pendangkalan terhadap pendidikan agama itu sendiri. Apalagi jika dilihat bahwa jurusan
yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional semakin sepi peminat.
Yang jelas Kementerian Agama telah merasakan gejala seperti itu. Meskipun
kondisi tersebut telah berlangsung selama kurang lebih tiga dekade, baru sekaranglah
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mau menunjukkan perhatiannya terhadap persoalan
tersebut secara serius. Perhatian itu diwujudkan dengan diselenggarakannya program
terobosan dalam bentuk pemberian bea siswa khusus kepada para mahasiswa yang
bersedia masuk ke “prodi langka peminat.” Anggaran yang disediakan untuk itu cukup
besar, tetapi dengan gambaran yang masih belum jelas akan keberlanjutan program
tersebut. Program ini antara lain dilatarbelakangi oleh beberapa kenyataan yang cukup
memprihatinkan, seperti:
1. Jumlah mahasiswa/peminat program studi tertentu di tiga
fakultas/jurusan (Ushuluddin, Dakwah dan Adab) mengalami
penurunan dari tahun ke tahun
2. Ketidakjelasan masa depan lulusan fakultas/jurusan/prodi
tertentu di bidang ilmu-ilmu murni berkaitan dengan lapangan
pekerjaan yang tersedia
3. Berkurangnya minat masyarakat Muslim (pendukung PTAI) untuk
mengirimkan anak-anaknya ke UIN/IAIN/STAIN untuk mendalami
ilmu-ilmu agama ‘tradisional-murni’
4. Pengelola/pimpinan PTAI kurang memberikan perhatian
sewajarnya terhadap fakultas/jurusan/prodi yang mengalami
kejenuhan atau kurang peminat.
Selanjutnya, program ini dilaksanakan dengan tujuan, antara lain:
1. Menyelenggarakan ‘program khusus‘ (affirmative action, crass-program) untuk
mendorong, mendongkrak, menstimulasi dan menambah jumlah mahasiswa pada
fakultas/jurusan/prodi tertentu PTAIN yang mengalami kekurangan peminat
2. Merevitalisasi ilmu-ilmu keislaman ‘tradisional-murni’ melalui penguatan dan
jaminan keberlangsungan Program Studi ilmu-ilmu keislaman di PTAIN, dan
3. Memperkuat lembaga PTAIN sesuai dengan main-mandate yang dimiliki sebagai
lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama.14
13
Ibid., mengutip dari Arif Furchan, Memetakan Persoalan Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi, Misi dan
Program Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI (Jakarta: Ditpertais, 2004), 4.
14
Materi dipresentasikan dalam rangka sosialisasi “Beasiswa Mahasiswa Program Studi
Langka Peminat Tahun Anggaran 2009” oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, di Jakarta, tanggal 12
Agustus 2009. Program ini dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan/sarjana (S1) yang
sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi (
1).Penguasaan dasar-dasar ilmu keislaman secara baik (2).Terampil berkomunikasi
minimal dengan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan dan tulisan, dan (3).Hafal al-
11

Melihat gambaran persoalan yang melatarbelakangi dan yang menjadi tujuan


program ini tampak jelas bahwa Kementerian Agama telah menyadari betapa kajian ilmu-
ilmu keislaman murni akan semakin ditinggalkan oleh para calon mahasiswanya. Gejala
tersebut dapat dibaca sebagai kecenderungan adanya “disorientasi” di dalam
pengembangan intelektual di lingkungan PTAI. Meskipun tidak dijelaskan apa dampak
yang akan timbul dari berkurangnya minat calon mahasiswa untuk mendalami ilmu-ilmu
agama murni tersebut, kita dapat merasakan akan terjadi pendangkalan secara kognitif
terhadap ilmu-ilmu keislaman tradisonal. Hal ini tentu akan memperlemah posisi PTAI
sebagai lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama yang merupakan mandat utamanya.
Namun kebijakan ini tampaknya juga masih bersifat ad hoc atau masih dalam
rangka uji coba. Hal ini tercermin antara lain dari rencana anggaran yang disebutkan
bahwa “program ini dibiayai dari DIPA Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI Tahun Anggaran 2009.” Artinya,
untuk kelanjutannya, masih belum jelas apakah pada tahun-tahun berikutnya program ini
akan dibiayai dari DIPA lagi atau tidak, Jika dibandingkan dengan proyek pengadaan
guru agama atau penyetaraan guru-guru agama di tingkat SD/MI atau Tsanawiyah maka
tampak sekali penanganan “prodi langka peminat” ini kurang diprioritaskan. Proyek
peningkatan mutu madrasah yang ditangani oleh Subdit Kelembagaan dan Kerjasama,
Direktorat Pendidikan Madrasah, Kementerian Agama sudah sangat mantap. Di samping
berbagai program peningkatan kualifikasi Sarjana (S1) bagi guru madrasah ibtidaiyah dan
pendidikan agama Islam di sekolah melalui program Dual Mode System (DMS),
peningkatan mutu madrasah juga dilakukan dengan berbagai program kerjasama dengan
institusi-institusi asing, Bahkan, tidak mau kalah dengan Kementerian Pendidikan
Nasional, peningkatan mutu Madrasah Tsanawiyah-Aliyah ini sudah mengarah pada
pembentukan Madrasah Bertaraf Internasional.15 Hal ini terasa kontras sekali dengan
penanganan prodi langka peminat tersebut.

Warisan Masa Lalu


Selain karena perubahan trend atau “disorientasi” yang tengah berlangsung saat
ini, bahwa belajar adalah investasi masa depan, harus diakui pula bahwa proses ini adalah
bagian dari “warisan” masa lalu. Terpinggirkannya kajian Islam tradisional di PTAI tidak
lepas dari kecenderungan dikotomis dalam pembidangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Tetapi berbeda dengan yang berlangsung saat ini, di abad tengah, ilmu-ilmu keislaman
mendapat perhatian begitu luas dan diprioritaskan, mengalahkan ilmu-ilmu umum.
Mereka yang belajar ilmu-ilmu keislaman ini selalu mendapat beasiswa dan kelak jka
mereka tamat dari pendidikannya mereka akan mendapatkan job dengan gaji yang
menjanjikan sebagai qadi atau hakim agama, suatu jabatan yang amat bergengsi. Selain
itu, status sosial sebagai ulama’ yang menguasai ilmu-ilmu agama ini sangat dihormati

Qur’an
15
Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) adalah madrasah yang memenuhi delapan komponen Standar
Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki keunggulan dalam bidang pelayanan dan menghasilkan lulusan
yang diakui secara internasional. Sistim pendidikannya yang terpadu dengan sistim pendidikan pesantren
diharapkan dapat menjadi pusat keunggulan pendidikan Islam di masa mendatang. Proyek ini memiliki
tujuan yang cukup ambisius, menghasilkan lulusan madrasah yang melebihi standar nasional, atau lulusan
bertaraf internasional. Lihat brosur Program Rintisan MBI (Madrasah Bertaraf Internasional), Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Madrasah, Subdit Kelembagaan dan Kerjasama. Penulis
berterima kasih kepada Dr. Nur Ahid atas bantuannya untuk memberikan fotokopi dari brosur ini.
12

oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu umum harus berjuang
sendiri, tidak banyak mendapat dukungan fasilitas beasiswa, dan jika menyelesaikan
studinya tidak ada pekerjaan yang jelas untuk mereka. Sebagian besar mereka akan
bekerja di lingkungan istana untuk pengembangan ilmu sendiri di bawah patronase
penguasa yang peduli pada pengembangan ilmu pengetahuan. Di masyarakat sendiri
apresiasi pada pengembangan ilmu-ilmu umum ini sangat sedikit.
Dikotomi ilmu pengetahuan seperti ini barangkali tidak lepas dari pandangan al-
Ghazali (w. 1111) yang ingin membelokkan perhatian masyarakat Muslim agar lebih
fokus pada ilmu-ilmu keagamaan murni sebagai ilmu yang menjanjikan keselamatan dan
pengenalan akan hakekat yang sebenarnya. Semesntara itu, ilmu-ilmu umum, terutama
kajian filsafat, dipandang hanya akan membingungkan dan menggoyahkan iman. Filsafat
bahkan dituduhnya telah menjadikan agama sebagai perdebatan kering tanpa makna.
Maka yang dipentingkan adalah qalbu, dzauq dan amaliyah yang dapat membawa
ketenangan jiwa manusia. Ilmu-ilmu yang tidak menopang tujuan tersebut hendaknya
dijauhkan dari perhatian umat. Kalaupun masih perlu dikembangkan maka status dan
gradasinya hanya sekedar dalam posisi “fardlu kifayah.” Mulai saat itu, hanya mereka
yang mau belajar ilmu-ilmu keagamaan murni yang mendapat bantuan beasiswa dan
tinggal di asrama dengan segala fasilitas yang menyenangkan.
Kiranya kecenderungan seperti itu masih tetap berlangsung hingga saat ini di
negara-negara Timur Tengah, seperti yang terjadi di Madinah, Arab Saudi dan di al-
Azhar, Cairo, Mesir. Mengapa kebanyakan, atau tepatnya hampir seluruh, mahasiswa
Indonesia yang belajar di al-Azhar mengambil jurusan ilmu-ilmu agama murni (Syari’ah,
Ushuluddin dan Qism al-Lughah)? Jawabannya jelas, hanya pada fakultas-fakultas agama
inilah mereka dapat sekolah dengan gratis dan mendapat beasiswa. Jika ada mahasiswa
Indonesia yang belajar di Fakultas Tarbiyah di al-Azhar, maka, selain jumlahnya sedikit,
mereka jelas dari kalangan yang cukup mapan secara ekonomi, sebab di Fakultas
Tarbiyah pun orang harus bayar SPP, alias tidak gratis. 16 Suatu hal yang menarik, dengan
jumlah mahasiswa Indonesia mencapai ribuan di al-Azhar—khusus pada ketiga fakultas
di atas—ternyata dinamika intelektual mereka cukup tinggi. Salah seorang tokoh
mahasiswa pernah menyatakan pada penulis saat penulis berkunjung ke Cairo (2003)
bahwa “kita memang sekolah di al-Azhar (dengan segala keterbatasan ruang lingkup
keilmuan yang mereka dapati—pen.), tetapi kita belajar di Mesir.” Mesir memang masih
tetap menjadi kiblat pengembangan peradaban Islam di abad modern ini. Karena itulah
ungkapan teman tadi menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dengan tidak hanya fokus
pada pelajaran yang mereka geluti di bangku kuliah, mereka tertantang untuk belajar
kepada banyak tokoh yang terpandang dan memiliki reputasi akademik dunia, seperti
Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Mohammed Abid al-Jabiri, untuk menyebut
sebagian nama. Mereka juga aktif melakukan diskusi kelompok untuk mempertajam daya
kritis mereka..Dengan kegiatan seperti itu mereka menjadi semakin conversant dengan
berbagai persoalan kontemporer seperti pluralisme agama, hak asasi manusia, kesetaraan
gender dan dekonstruksi pemikiran yang digagas oleh Michel Foucault.17
16
Pengamatan penulis ini dibenarkan oleh Qomaruz Zaman, Lc. M.Pd.I., dosen STAIN Kediri dan alumni
Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Cairo, dalam wawancara tanggal 8 April 2010.
17
Penulis cukup terkesan dengan dinamika intelektual kawan-kawan di Cairo selama melakukan kunjungan
ke kota itu. Penulis juga memperoleh kesempatan untuk menghadiri berbagai forum diskusi yang mereka
adakan dan diundang sebagai pembicara. Pemikiran kritis dari para tokoh intelektual kontemporer sudah
banyak menjadi acuan mereka dalam berbagai kesempatas diskusi tersebut. Untuk karya Foucault, lihat
13

Penutup
Apa makna yang dapat kita tangkap dari proses di atas? Sekali lagi, mengacu pada
pandangan Nurcholish Madjid di atas, yang penting dalam proses belajar di Perguruan
Tinggi ialah unintended consequences-nya, bukan sekedar pencapaian formal dari sebuah
proses pembelajaran yang berujung pada perolehan ijazah dan titel akademik dari
lembaga tersebut. Belajar adalah sebuah proses panjang dan bersifat multidimensional.
Sebagai proses multidimensi maka mahasiswa dituntut untuk mampu mengembangkan
diri dengan segala kemungkinan yang tengah dihadapi. Belajar adalah “proses untuk
menjadi” yang tidak pernah berhenti. Apa pun faktor yang dapat menunjang bagi
keberhasilan proses itu harus mendapat perhatian yang serius. Pengembangan bakat dan
minat mahasiswa merupakan faktor yang amat menentukan bagi keberhasilan proses
untuk menjadi tersebut. Di sini mahasiswa perlu didorong untuk dapat mengambil
manfaat yang seluas-luasnya dari semua fasilitas di kampus, bukan sekedar dalam bentuk
sarana fisik yang tersedia tetapi juga suasana dan atmosfer akademik yang sengaja
diciptakan untuk memperkuat proses menjadi tersebut. Jika mahasiswa tidak mau
memanfaatkan suasana tersebut dia kelak hanya akan menjadi “tukang” yang diproduksi
sekedar untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, dan dia, mohon maaf, hanya layak untuk
menjadi “kuli” bagi proses produksi di lingkungan kerjanya.
Mengacu pada salah satu konsideran yang digunakan oleh Presiden Suharto dalam
keputusannya tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tahun
1997, bahwa
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan,18

maka proses pembelajaran di PTAI harus dapat menjamin terwujudnya manusia yang
bukan saja memiliki kepandaian dan keterampilan akademik, tetapi juga manusia yang
beriman dan bertaqwa serta memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri.
Berkepribadian yang tangguh dan mandiri merupukan tujuan yang sangat ideal
dari sebuah proses pembelajaran. Tujuan yang ideal itu tidak mudah terwujud jika
seorang mahasiswa tidak memiliki idealisme untuk menjadi dirinya sendiri (being fully
one’s self) secara utuh. Karena itulah perlu disadari bahwa pada hakekatnya program
studi atau jurusan dengan segala disiplin ilmu yang disajikannya untuk mahasiswa hanya
wahana untuk menjalani sebuah proses pembelajaran. Pada jurusan apa pun, jika orang
benar-benar menghayati pembelajaran sebagai proses untuk menjadi, maka tidak sulit
bagi orang tersebut untuk meraih sukes dalam hidupnya. Persoalannya ialah bahwa pada
era di mana kecenderungan pragmatisme semakin menguat dewasa ini maka semakin
sulit menumbuhkan idealisme pada generasi muda. Apalagi jika keseharian mereka telah
dikepung oleh budaya konsumerisme yang telah menjurus pada gaya hidup hedonistis
dalam berperilaku, tanpa menyadari jati diri mereka yang sebenarnya.

The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1972).
18
Lihat, “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri,” tanggal 21 Maret 1997.
14

Pengembangan prodi langka peminat yang tengah menjadi garapan Direktorat


Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama, tampak akan sulit mencapai hasil yang
diharapkan jika hanya ditangani secara ad hoc dan tidak berkelanjutan. Mengaca pada al-
Azhar dan perguruan tingg lain di Timur Tengah maka idealnya pengelolaan program
studi langka peminat yang menangani ilmu-ilmu keislaman tradisional ini seharusnya
ditopang oleh pemberian beasiswa yang cukup bagi para mahasiswa. Memang terasa
mahal biaya yang harus disiapkan. Tetapi perlu diingat bahwa negara dengan jumlah
umat Islam yang mayoritas ditambah adanya sejumlah organisasi massa keagamaan yang
beraneka ragam ini mestinya, secara kalkulatif kasar, mampu mengumpulkan harta wakaf
untuk membiayai pengembangan ilmu-ilmu keislaman tradisional di PTAIN-nya. Apalagi
dengan adanya Dana Abadi Umat (DAU) di bawah Kementerian Agama yang mestinya
dapat dikelola menjadi sumber pendanaan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman
tradisional, seperti yang berlaku di al-Azhar. Salah satu tujuan adanya Dana Abadi Umat
adalah untuk membantu keperluan umat, termasuk untuk membiayai pendidikan dan
dakwah, di samping untuk pnyelenggaraan ibadah haji itu sendiri. 19 Jika dana itu dapat
dikelola dengan baik, dan diarahkan untuk membiayai pengembangan ilmu-ilmu
keagamaan tradisional, barangkali kita tidak akan menghadapi kesulitan seperti sekarang
ini. Dengan cara seperti ini pula dapat diharapkan kecenderungan “disorientasi” yang
menjadi pokok permasalahan dalam diskusi ini sedikit banyak dapat diatasi.

19
Dana Abadi Umat (DAU), seperti dijelaskan dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,
adalah dana yang dikumpulkan oleh pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya
penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Saat
ini pengumpulan dana ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001. Dana Abadi Umat
berfungsi, antara lain untuk membantu umat Islam dalam bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial,
ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, di samping untuk penyelenggaraan ibadah haji.
Selanjutnya, mekanisme pengelolaan Dana Abadi Umat ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 4 Tahun
2008 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat, tanggal 26 Januari 2008. Adanya Dana Abadi Umat ini
ternyata memberi inspirasi pada Kementerian Pendidikan Nasional untuk menggagas adanya Dana Abadi
Pendidikan. Dengan dibatalkannya Undang-ndang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah
Konstitusi, Kementerian Pendidikan harus memikirkan bagaimana aspek sosial pendidikan tdak dabaikan.,
sehingga pendidikan tidak dikelola layaknya sebuah korporasi. “Rencana [membentuk Dana Abadi
Pendidikan] ini langkah konkret mengatasi masyarakat miskin bersekolah—salah satu masalah berkaitan
perlunya kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat.” Dengan demikian masyarakat
akan terlindungi dari dampak negatif kecenderungan komersialisai dan liberalisasi pendidikan. Lihat “Tata
Ulang Pendidikan Nasional,” Kompas, 10 April 2010.
15

DAFTAR PUSTAKA

Ahid, Nur. Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia. Kediri: STAIN Kediri Press,
2009.

Berkey, Jonathan. The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History


of Islamic Education. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992.

Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New
York: Pantheon Books, 1972.

Jabali, Fuad dan Jamhari (eds.), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:
Logos, 2002.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997, tanggal 21 Maret 1997,
tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.

Munawar-Rachman, Budhy (ed.) Ensiklopedi Norcholish Madjid Jakarta: Paramadina dan


Mizan, 2006.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan
Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi
Agama.

Rozaq, Jeje Abd. “Mensiasati Ruang Kosong Kompetisi PTAI dalam Rumah Indonesia.”
Makalah dipresentasikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS), di Surakarta, 2-5 November 2009.

Suprayogo, Imam. Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan.
Malang: UIN Malang, 2004.

“Tata Ulang Pendidikan Nasional,” Kompas, 10 April 2010.

You might also like