Professional Documents
Culture Documents
Disorientasi Pengembangan Intelektual Ptain?
Disorientasi Pengembangan Intelektual Ptain?
Fauzan Saleh
STAIN Kediri
Abstract
The article analyzes the trends and impact of intellectual orientation shift occurring at
PTAI recently. The development of Islamic knowledge at PTAI has been facing harder
challenge. More intellectual scholars are not really keen on deepening their Islamic
knowledge at tertiary education. This is contrary to the religious enthusiasm found in the
society recently. There are two religious viewpoint shifts in our society. People are to be
more religious by involving in Islamic teachings and halaqah, and, on the other hand,
they do not want to be left behind in gaining earthly advantages. Deeping religious
knowledge seriously does not attract them; therefore, Islamic study is not improving.
Religion is seen as a practical need that can be studied instantly. As a result, people tend
to focus on studies that are promising concrete earthly work. It seems that PTAI has been
able to see this social trend shift so as to maintain its existence. As a consequence,
orientation shift occurs and enlarged mandate takes place to accommodate them. In
respond to it, institution change is a must—from Institute for Islamic Studies to Islamic
University. In this instance, efforts have been done to legitimate the change. Eventually,
the question to raise is how about the development mission of religious studies
themselves then.
Pendahuluan
1
Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic
Education (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992), 95.
2
sebagai guru atau syeikh yang terpandang dan dengan itu pula mereka akan mendapatkan
job di berbagai perguruan tinggi ternama dengan gaji besar.2
Dewasa ini gejala yang sama tengah berlangsung dan seolah-olah menjadi trend
yang mesti diikuti oleh semua orang yang hidup di zaman persaingan bebas ini. Kita
tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran trend semacam ini, sebab itulah yang sedang
kita lakukan saat ini. Meski ada pengecualian, ketika orang menginvestasikan sebagian
uangnya untuk memasuki pendidikan tinggi, tentu ada keinginan bahwa kelak mereka
akan mendapat return dari uang yang diinvestasikannya. Return itu secara umum
diperoleh dalam bentuk karier atau pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya serta gaji
yang memadai sesuai dengan status sosialnya. Kesadaran seperti ini telah menandai
sebuah “reorientasi” (untuk tidak menyebut “disorientasi”) dalam pola fikir para pemuda
dalam menempuh pendidikan tinggi. Salahkah pergeseran orientasi seperti itu? Sama
sekali tidak, terutama jika kita melihatnya dari sudut pandang perubahan sosial yang
berlangsung sejak lima dasawarsa terakhir di negeri kita. Pergeseran orientasi ini telah
terjadi secara alamiah ketika bangsa kita dihadapkan pada perubahan-perubahan besar
yang melanda dunia, khususnya ketika umat manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan
diri dengan peralihan zaman dari era agriculture ke era industri dan postindustri.
Kita juga tidak ingin menyalahkan Muhammad ibn al-Hajj dengan keprihatinan
yang ia keluhkan di atas. Dia tentu memiliki argumen yang bagus dengan mengeluhkan
“disorientai” yang melanda para ulama’ pada zamannya. Ketika dewasa ini kita (dan juga
Kementerian Agama) merasa prihatin dengan menurunnya minat para pemuda Muslim
untuk memasuki perguruan tinggi agama yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional,
maka bisa jadi kita akan mengulang keprihatinan Ibn al-Hajj di atas. Jurusan-jurusan atau
program studi (Prodi) yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional sepi peminat sejak
kira-kira dua puluh tahun terakhir. Alasannya, ilmu-ilmu Islam murni ini tidak
menjanjikan karier di dunia kerja yang jelas. Sebagai konsekwensinya, perguruan tinggi
agama Islam harus merubah orientasinya: supaya tetap diminati calon mahasiswa,
jurusan-jurusan tersebut harus melakukan metamorfosa, tidak hanya mengajarkan ilmu-
ilmu Islam tradisional, tetapi juga harus mengikuti trend pasar kerja.
Menghadapi Persaingan
Menurut Jeje Abd. Rozaq, persoalannya ialah bagaimana PTAI bisa melahirkan
lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik, di samping
ilmu keagamaan yang menjadi kewajiban pokoknya, serta memiliki etos kerja yang
positif disertai iman dan taqwa yang mendalam. 3 Ini semua menjadi prasyarat bagi para
lulusan PTAI untuk mampu bersaing dengan lulusan perguruan tinggi umum untuk dapat
merebut pasaran kerja. Sejalan dengan persoalan di atas, ia menyebutkan berbagai
persoalan yang tengah dihadapi oleh PTAI dewasa ini. Secara umum permasalahan itu
2
Bandingkan dengan kenyataan yang terungkap dari hasil penelitian tentang peran yang dimainkan oleh
IAIN dalam menyemaikan dan menebarkan wacana baru keislaman di Indonesia, oleh tim peneliti dari
IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayautllah, Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa pendirian
IAIN, khususnya IAIN Jakarta, terkait erat dengan kepentingan pemerintah untuk mencetak pegawai yang
memiliki ketrampilan dalam pelayanan keagamaan. Lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan
Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), 61.
3
Jeje Abd. Rozaq, “Mensiasati Ruang Kosong Kompetisi PTAI dalam Rumah Indonesia.” Makalah
dipresentasikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), di Surakarta, 2-5 November
2009.
3
berupa (1) rendahnya mutu hasil pendidikan dan penelitian, (2) masalah mutu lulusan,
dan (3) sumbangan terhadap pengembangan ilmu (yang masih belum menggembirakan).
Namun berbagai problem tersebut berdampak cukup jauh pada kurang berhasilnya PTAI
dalam menunaikan tugas pokoknya, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:
1. Bergesernya aspirasi pendidikan masyarakat (baca: umat Islam) yang semula
sangat mementingkan ilmu agama, kemudian bergeser pada ilmu umum, sejalan
dengan dinamika kehidupan bangsa secara keseluruhan.
2. Semakin sempitnya peluang lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri
akibat kebijakan zero growth yang diterapkan pemerintah dalam rekruitmen
pegawai negeri.
3. Banyaknya lulusan PTAI yang tidak segera mendapatkan pekerjaan sesuai yang
diinginkan berakibat pada berkurangnya minat calon mahasiswa untuk belajar di
PTAI. Dalam pandangan mereka PTAI kurang bisa menjamin prospek masa depan
yang cerah. Lulusan SLTA yang mempunyai potensi akademik yang tinggi
cenderung memilih perguruan tinggi umum yang dianggap lebih menjanjikan.
4. Beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya juga
ikut membuat sebagian calon mahasiswa kurang berminat untuk mendalami ilmu
agama secara khusus.
5. Kurang berminatnya lulusan SLTA yang memiliki potensi akademik tinggi untuk
belajar di PTAI menyebabkan mutu kebanyakan mahasiswa PTAI kurang ideal.
Bahkan banyak PTAI yang terpaksa menerima mahasiswa dengan mutu ala
kadarnya, karena khawatir akan kekurangan mahasiswa jika mereka terlalu ketat
dalam menyaring calon mahasiswa.
6. Input mahasiswa yang kurang ideal ini selanjutnya berdampak pada sulitnya PTAI
untuk bisa menghasilkan lulusan yang bermutu.
Terlepas dari berbagai persoalan di atas, perubahan status fakultas daerah yang
harus lepas dari IAIN induk pada akhir 1990-an dan berganti nama menjadi Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)4 telah menjadi katup penyelamat bagi survival atau
keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi Islam di daerah-daerah. Dalam perubahan
status dan nama itu pemekaran menjadi dimungkinkan, sebab status sebagai STAIN
memberi peluang untuk membuka jurusan dan Program Studi (Prodi) baru yang lebih
berorientasi pasar kerja. STAIN Kediri, misalnya, yang dulu berawal dari Fakultas
Usuluddin IAIN Sunan Ampel di Kediri yang “tunduk” pada Rektor IAIN Sunan Ampel
Surabaya, dengan Keputusan Presiden tersebut, berubah status dan bertanggung jawab
langsung pada Menteri Agama. Dengan status baru ini STAIN Kediri mulai dapat
mengembangkan diri dan membuka jurusan-jurusan baru, dimulai dengan Jurusan
Ushuluddin dan Tarbiyah (1997), kemudian disusul Jurusan Syari’ah (2001). Masing-
masing jurusan ini terus berlomba untuk membuka program studi yang “layak jual” di
4
Tentang perubahan status dimaksud, lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997,
tanggal 21 Maret 1997, tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Salah satu konsideran yang
menjadi dasar pertimbangan ialah bahwa “untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan
di IAIN dipandang perlu melakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi
di luar IAIN induk.” Selanjutnya ditegaskan pula bahwa STAIN berada di lingkungan Departemen
(sekarang Kementerian) Agama, dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Agama. Jika dulu
sebagai fakultas daerah harus tunduk pada kebijakan Rektor IAIN dengan kewenangan yang amat terbatas,
maka dengan Keputusan Presiden tersebut STAIN memiliki keleluasaan dan kewenangan yang lebih luas
untuk mengembangkan diri dengan membuka jurusan atau program studi yang baru. Dalam Keputusan
Presiden ini tidak kurang dari 33 fakultas daerah yang lepas dari IAIN induk dan berubah menjadi STAIN.
4
masyarakat. Jurusan Tarbiyah, misalnya, dengan prodi-prodi yang laris di pasaran, seperti
bahasa Inggris, di samping Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab,
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Diikuti oleh jurusan lain yang berpotensi
mengembangkan prodi laris, seperti Ekonomi Islam (pada Jurusan Syari’ah), dan
Psikologi dan Komunikasi (pada Jurusan Ushuluddin), STAIN Kediri dapat bernapas lega
karena tidak ditinggalkan oleh para calon mahasiswa. Para calon mahasiswa itu melihat
bahwa meski berada di lingkungan pendidikan tinggi agama Islam, mereka bisa berharap
kelak akan dapat mengembangkan karier dan dapat memasuki pasar kerja, bersaing
dengan tamatan pendidikan tinggi umum yang lain.
Meski demikian, perubahan status tersebut belum membawa perbaikan berarti
bagi nasib dan perkembangan kajian ilmu-ilmu Islam murni atau kajian ilmu-ilmu
keislaman tradisional, terutama yang dikelola oleh Jurusan Ushuluddin. Yang terjadi di
lapangan justru semakin memprihatinkan. Dengan adanya prodi-prodi baru yang semakin
banyak diminati calon mahasiswa—karena menjanjikan lapangan kerja—prodi ilmu-ilmu
keislaman tradisional pada jurusan Ushuluddin (juga Dakwah dan Adab di institusi lain)
semakin sepi dan tetap kurang diminati. Tidak sedikit IAIN atau STAIN yang mengelola
jurusan-jurusan sepi peminat ini mengeluhkan kondisi tersebut dan merasa khawatir akan
keberlangsungan eksistensinya. Mereka telah melakukan berbagai upaya agar jurusan-
jurusan ini tetap laku dan diminati oleh calon mahasiswa. Program Studi Perbandingan
Agama barangkali merupakan unit yang paling merasakan dampak perubahan orientasi
ini. Dari segi namanya saja, orang sudah gamang dan tidak mendapatkan gambaran yang
jelas tentang ilmu apa yang diajarkan pada prodi tersebut. Selanjutnya, suatu pertanyaan
yang sangat wajar muncul: tamatannya akan jadi apa dan dapat diterima kerja di mana.
Belum lagi persoalan titel kesarjanaan yang akan diberikan kepada alumninya yang sudah
sekian kali berganti nama, mulai dari Doktorandus (Drs.), Sarjana Agama (S.Ag.),
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I), dan yang akan berlaku nanti, Sarjana Ushuluddin
(S.Ud.).5 Semua hal ini hanya akan menambah kebingungan masyarakat dan membuat
permasalahan menjadi semakin kompleks.
Tetapi metamorfosa seperti itu tidak hanya terjadi di lingkungan STAIN. Semua
perguruan tinggi agama Islam, termasuk IAIN besar (Jakarta, Jogja, Surabaya, Makasar),
telah merubah orientasi mereka. Bahkan sebagian IAIN dan satu STAIN telah melompat
begitu jauh merubah statusnya dari institut (dan sekolah tinggi) menjadi universitas.
Perubahan itu telah memberi peluang dan keleluasaan untuk membuka fakultas atau
jurusan-jurusan baru di luar tradisi keilmuan Islam yang menjadi mandat awalnya. Ilmu-
ilmu non-keislaman ikut mewarnai corak pengembangan intelektual di lingkungan
pendidikan tinggi agama Islam. Tujuannya, di samping yang resmi seperti tercantum
dalam statuta, sudah jelas: orientasi pasar kerja atau, lebih tepatnya, memperebutkan
pasar kerja. Hal ini tidak perlu dipungkiri, sebab perubahan orientasi ini menyangkut
nasib eksistensial lembaga yang bersangkutan, terlepas dari visi, misi dan tujuan suatu
lembaga pendidikan tinggi itu dibangun, sesuai dengan status yang disandangnya.6
5
Tentang perubahan gelar akademik terbaru di lingkungan PTAI, lihat Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di
Lingkungan Perguruan Tinggi Agama.
6
Perhatikan, misalnya, perubahan status STAIN Malang menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim. Di dalam
mengembangkan beberapa program studinya UIN Maliki mengklaim berupaya memadukan kajian Islam
dan ilmu-ilmu modern seperti Pendidikan IPS, Psikologi, Matematika, Kimia, Fisika, Teknik Informatika,
Manajemen, di samping bahasa dan sastra. Pengembangan prodi-prodi baru tersebut didasari suatu
5
pengetahuan, apa pun bidang dan jenisnya, tetap dijalani dengan sungguh-sungguh.
Bahkan yang lebih menonjol adalah kemauan keras untuk mengembangkan tradisi
intelektual di kalangan para mahasiswa. Ada proses yang secara tidak disengaja
(unintended) akan menyertai perkembangan belajar para mahasiswa itu, meskipun
mereka menempuh pendidikan di “jalur yang kurang menjanjikan.” Tepatnya, telah
terjadi unintended consequences dari proses pembelajaran yang mereka lalui, yaitu suatu
konsekwensi yang secara tak sengaja akan diperoleh oleh setiap orang yang terlibat di
dalam proses tersebut. Jika orang belajar di ITB atau ITS akan menjadi insinyur
(engineer, atau sarjana teknik) dan dengan gelar akademik itu orang akan mendapat
pekerjaan dengan gaji tinggi, maka belajar di perguruan tinggi agama, apalagi di
“fakultas/jurusan” kering seperti Adab dan Ushuluddin, tidak bisa memperoleh intended
consequence itu dengan mudah. Namun demikian, ia masih tetap beruntung karena ada
aspek unintended consequences, yaitu becoming educated, menjadi orang yang terpelajar.
Dalam ungkapan yang lebih jelas, Nurcholish Madjid menuturkan:
Pendidikan itu kan yang penting dilihat bukan intended consequence-nya—seperti
orang belajar ke ITB menjadi insinyur—melainkan, yang lebih penting, adalah
unintended consequence-nya: menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang
itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan
fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi
bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa
menjadi semakin besar bila aspek tradisi intelektualnya tersentuh. Pada mulanya
kan orang-orang pergi ke IAIN ingin jadi modin. Tapi, lama-kelamaan, karena
aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya
menjadi terpelajar.9
Dari kutipan di atas dapat kita baca, bahwa unintended consequences itulah yang
harus kita perhatikan ketika orang menempuh suatu program pendidikan. Apa pun
jurusan atau program studinya, asal dapat mengantarkan orang pada tahapan menjadi
terpelajar dan memperoleh sentuhan intelektual yang memadai, maka itu akan menjadi
modal amat penting untuk menjadi apa saja. Jika dicermati tidak sedikit orang yang studi
di IPB, ITS atau perguruan tinggi khusus seperti itu ternyata justru harus bekerja di luar
jalur keilmuan yang mereka tekuni di bangku kuliah. Sebagai contoh, tidak sedikit dari
mereka yang bergelar sarjana tehnik itu justru diterima bekerja di perbankan. Apa kaitan
antara ilmu yang ia pelajari di bangku kuliah dengan karir pekerjaannya? Kemudian,
bagaimana dia bisa menjalani pekerjaan itu padahal pekerjaan itu sama sekali di luar
disiplin ilmu yang ia tekuni di bangku kuliah? Barangkali memang harus diakui bahwa
peluang yang tersedia bagi tamatan IAIN/STAIN tidak seluas yang tersedia bagi tamatan
perguruan tinggi umum lainnya. Tetapi jika orang memperhatikan pentingnya sentuhan
intelektual yang membuka peluang untuk menjadi “apa saja,” seharusnya ia akan tetap
bersikap optimistis dan terus tekun belajar medalami ilmu apa pun, termasuk ketika ia
menjatuhkan pilihan untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman tradisional di PTAI.
Gejala penurunan minat memasuki jurusan/prodi ilmu-ilmu keislaman tradisional
sudah terasa sejak akhir 1980-an. Ini barangkali tidak lepas dari perubahan-perubahan
besar pada kurikulum di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang mensejajarkan dirinya
9
Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan ModernisasiIslam, 145, dikutip dari hasil wawancara dengan
Nurcholish Madjid.
8
10
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam
Negeri No. 037/U/1975 tentag Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, tanggal 24 Maret 1975
menyebutkan, antara lain, bahwa dalam rangka pencapaian tujuan nasional pada umumnya dan
mencerdasakan kehidupan bangsa pada khususnya, serta memberi kesempatan yang sama kepada tiap-tiap
warga negara Indonesia untuk memperoleh dan untuk mendapat pengajaran yang sama bagi tiap-tiap warga
negara Indonesia perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar
lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai
ke Perguruan Tinggi. SKB Tiga Menteri ini bertujuan agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah
mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang sederajat,
sehingga ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
Disebutkan pula bahwa pelajaran umum pada Madrasah Aliyah sama dengan standar pengetahuan umum
pada Sekolah Menengah Atas. Penulis berterimakasih kepada Dr.Nur Ahid yang telah memberikan
informasi yang lengkap tentang SKB Tiga Menteri tersebut sebagaimana termuat dalam lampiran bukunya
Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).
11
Asumsi terakhir ini dapat dijjastifikasi, antara lain, dengan memperhatikan hasil ujian masuk STAIN
Kediri selama beberapa tahun terakhir, di mana nilai ujian untuk Pengetahuan Agama Islam (dan
kemampuan membaca al-Qur’an) rata-rata lebih bagus dari nilai mata ujian lainnya, yaitu Bahasa Arab dan
Bahasa Inggris. Hal terakhir ini tentu cukup menggembirakan, karena SLTA telah memberikan pendidikan
agama dengan cukup baik, sehingga nuansa keislaman tampak cukup kuat mewarnai, paling tidak,
“penampilan” para generasi muda ini ketika mereka melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi,
termasuk di perguruan tinggi umum.
9
12
Jeje Abd. Rozaq, “Mensiasati Ruang Kosong,” mengutip dari Lampiran Keputusan Menteri Agama
Nomor 506 Tahun 2003 tentang Pedoman Perumusan Visi dan Misi Satuan Organisasi /Kerja di Lingungan
Departemen Agama.
10
Qur’an
15
Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) adalah madrasah yang memenuhi delapan komponen Standar
Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki keunggulan dalam bidang pelayanan dan menghasilkan lulusan
yang diakui secara internasional. Sistim pendidikannya yang terpadu dengan sistim pendidikan pesantren
diharapkan dapat menjadi pusat keunggulan pendidikan Islam di masa mendatang. Proyek ini memiliki
tujuan yang cukup ambisius, menghasilkan lulusan madrasah yang melebihi standar nasional, atau lulusan
bertaraf internasional. Lihat brosur Program Rintisan MBI (Madrasah Bertaraf Internasional), Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Madrasah, Subdit Kelembagaan dan Kerjasama. Penulis
berterima kasih kepada Dr. Nur Ahid atas bantuannya untuk memberikan fotokopi dari brosur ini.
12
oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu umum harus berjuang
sendiri, tidak banyak mendapat dukungan fasilitas beasiswa, dan jika menyelesaikan
studinya tidak ada pekerjaan yang jelas untuk mereka. Sebagian besar mereka akan
bekerja di lingkungan istana untuk pengembangan ilmu sendiri di bawah patronase
penguasa yang peduli pada pengembangan ilmu pengetahuan. Di masyarakat sendiri
apresiasi pada pengembangan ilmu-ilmu umum ini sangat sedikit.
Dikotomi ilmu pengetahuan seperti ini barangkali tidak lepas dari pandangan al-
Ghazali (w. 1111) yang ingin membelokkan perhatian masyarakat Muslim agar lebih
fokus pada ilmu-ilmu keagamaan murni sebagai ilmu yang menjanjikan keselamatan dan
pengenalan akan hakekat yang sebenarnya. Semesntara itu, ilmu-ilmu umum, terutama
kajian filsafat, dipandang hanya akan membingungkan dan menggoyahkan iman. Filsafat
bahkan dituduhnya telah menjadikan agama sebagai perdebatan kering tanpa makna.
Maka yang dipentingkan adalah qalbu, dzauq dan amaliyah yang dapat membawa
ketenangan jiwa manusia. Ilmu-ilmu yang tidak menopang tujuan tersebut hendaknya
dijauhkan dari perhatian umat. Kalaupun masih perlu dikembangkan maka status dan
gradasinya hanya sekedar dalam posisi “fardlu kifayah.” Mulai saat itu, hanya mereka
yang mau belajar ilmu-ilmu keagamaan murni yang mendapat bantuan beasiswa dan
tinggal di asrama dengan segala fasilitas yang menyenangkan.
Kiranya kecenderungan seperti itu masih tetap berlangsung hingga saat ini di
negara-negara Timur Tengah, seperti yang terjadi di Madinah, Arab Saudi dan di al-
Azhar, Cairo, Mesir. Mengapa kebanyakan, atau tepatnya hampir seluruh, mahasiswa
Indonesia yang belajar di al-Azhar mengambil jurusan ilmu-ilmu agama murni (Syari’ah,
Ushuluddin dan Qism al-Lughah)? Jawabannya jelas, hanya pada fakultas-fakultas agama
inilah mereka dapat sekolah dengan gratis dan mendapat beasiswa. Jika ada mahasiswa
Indonesia yang belajar di Fakultas Tarbiyah di al-Azhar, maka, selain jumlahnya sedikit,
mereka jelas dari kalangan yang cukup mapan secara ekonomi, sebab di Fakultas
Tarbiyah pun orang harus bayar SPP, alias tidak gratis. 16 Suatu hal yang menarik, dengan
jumlah mahasiswa Indonesia mencapai ribuan di al-Azhar—khusus pada ketiga fakultas
di atas—ternyata dinamika intelektual mereka cukup tinggi. Salah seorang tokoh
mahasiswa pernah menyatakan pada penulis saat penulis berkunjung ke Cairo (2003)
bahwa “kita memang sekolah di al-Azhar (dengan segala keterbatasan ruang lingkup
keilmuan yang mereka dapati—pen.), tetapi kita belajar di Mesir.” Mesir memang masih
tetap menjadi kiblat pengembangan peradaban Islam di abad modern ini. Karena itulah
ungkapan teman tadi menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dengan tidak hanya fokus
pada pelajaran yang mereka geluti di bangku kuliah, mereka tertantang untuk belajar
kepada banyak tokoh yang terpandang dan memiliki reputasi akademik dunia, seperti
Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Mohammed Abid al-Jabiri, untuk menyebut
sebagian nama. Mereka juga aktif melakukan diskusi kelompok untuk mempertajam daya
kritis mereka..Dengan kegiatan seperti itu mereka menjadi semakin conversant dengan
berbagai persoalan kontemporer seperti pluralisme agama, hak asasi manusia, kesetaraan
gender dan dekonstruksi pemikiran yang digagas oleh Michel Foucault.17
16
Pengamatan penulis ini dibenarkan oleh Qomaruz Zaman, Lc. M.Pd.I., dosen STAIN Kediri dan alumni
Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Cairo, dalam wawancara tanggal 8 April 2010.
17
Penulis cukup terkesan dengan dinamika intelektual kawan-kawan di Cairo selama melakukan kunjungan
ke kota itu. Penulis juga memperoleh kesempatan untuk menghadiri berbagai forum diskusi yang mereka
adakan dan diundang sebagai pembicara. Pemikiran kritis dari para tokoh intelektual kontemporer sudah
banyak menjadi acuan mereka dalam berbagai kesempatas diskusi tersebut. Untuk karya Foucault, lihat
13
Penutup
Apa makna yang dapat kita tangkap dari proses di atas? Sekali lagi, mengacu pada
pandangan Nurcholish Madjid di atas, yang penting dalam proses belajar di Perguruan
Tinggi ialah unintended consequences-nya, bukan sekedar pencapaian formal dari sebuah
proses pembelajaran yang berujung pada perolehan ijazah dan titel akademik dari
lembaga tersebut. Belajar adalah sebuah proses panjang dan bersifat multidimensional.
Sebagai proses multidimensi maka mahasiswa dituntut untuk mampu mengembangkan
diri dengan segala kemungkinan yang tengah dihadapi. Belajar adalah “proses untuk
menjadi” yang tidak pernah berhenti. Apa pun faktor yang dapat menunjang bagi
keberhasilan proses itu harus mendapat perhatian yang serius. Pengembangan bakat dan
minat mahasiswa merupakan faktor yang amat menentukan bagi keberhasilan proses
untuk menjadi tersebut. Di sini mahasiswa perlu didorong untuk dapat mengambil
manfaat yang seluas-luasnya dari semua fasilitas di kampus, bukan sekedar dalam bentuk
sarana fisik yang tersedia tetapi juga suasana dan atmosfer akademik yang sengaja
diciptakan untuk memperkuat proses menjadi tersebut. Jika mahasiswa tidak mau
memanfaatkan suasana tersebut dia kelak hanya akan menjadi “tukang” yang diproduksi
sekedar untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, dan dia, mohon maaf, hanya layak untuk
menjadi “kuli” bagi proses produksi di lingkungan kerjanya.
Mengacu pada salah satu konsideran yang digunakan oleh Presiden Suharto dalam
keputusannya tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tahun
1997, bahwa
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan,18
maka proses pembelajaran di PTAI harus dapat menjamin terwujudnya manusia yang
bukan saja memiliki kepandaian dan keterampilan akademik, tetapi juga manusia yang
beriman dan bertaqwa serta memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri.
Berkepribadian yang tangguh dan mandiri merupukan tujuan yang sangat ideal
dari sebuah proses pembelajaran. Tujuan yang ideal itu tidak mudah terwujud jika
seorang mahasiswa tidak memiliki idealisme untuk menjadi dirinya sendiri (being fully
one’s self) secara utuh. Karena itulah perlu disadari bahwa pada hakekatnya program
studi atau jurusan dengan segala disiplin ilmu yang disajikannya untuk mahasiswa hanya
wahana untuk menjalani sebuah proses pembelajaran. Pada jurusan apa pun, jika orang
benar-benar menghayati pembelajaran sebagai proses untuk menjadi, maka tidak sulit
bagi orang tersebut untuk meraih sukes dalam hidupnya. Persoalannya ialah bahwa pada
era di mana kecenderungan pragmatisme semakin menguat dewasa ini maka semakin
sulit menumbuhkan idealisme pada generasi muda. Apalagi jika keseharian mereka telah
dikepung oleh budaya konsumerisme yang telah menjurus pada gaya hidup hedonistis
dalam berperilaku, tanpa menyadari jati diri mereka yang sebenarnya.
The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1972).
18
Lihat, “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri,” tanggal 21 Maret 1997.
14
19
Dana Abadi Umat (DAU), seperti dijelaskan dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,
adalah dana yang dikumpulkan oleh pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya
penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Saat
ini pengumpulan dana ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001. Dana Abadi Umat
berfungsi, antara lain untuk membantu umat Islam dalam bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial,
ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, di samping untuk penyelenggaraan ibadah haji.
Selanjutnya, mekanisme pengelolaan Dana Abadi Umat ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 4 Tahun
2008 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat, tanggal 26 Januari 2008. Adanya Dana Abadi Umat ini
ternyata memberi inspirasi pada Kementerian Pendidikan Nasional untuk menggagas adanya Dana Abadi
Pendidikan. Dengan dibatalkannya Undang-ndang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah
Konstitusi, Kementerian Pendidikan harus memikirkan bagaimana aspek sosial pendidikan tdak dabaikan.,
sehingga pendidikan tidak dikelola layaknya sebuah korporasi. “Rencana [membentuk Dana Abadi
Pendidikan] ini langkah konkret mengatasi masyarakat miskin bersekolah—salah satu masalah berkaitan
perlunya kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat.” Dengan demikian masyarakat
akan terlindungi dari dampak negatif kecenderungan komersialisai dan liberalisasi pendidikan. Lihat “Tata
Ulang Pendidikan Nasional,” Kompas, 10 April 2010.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahid, Nur. Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia. Kediri: STAIN Kediri Press,
2009.
Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New
York: Pantheon Books, 1972.
Jabali, Fuad dan Jamhari (eds.), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:
Logos, 2002.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997, tanggal 21 Maret 1997,
tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan
Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi
Agama.
Rozaq, Jeje Abd. “Mensiasati Ruang Kosong Kompetisi PTAI dalam Rumah Indonesia.”
Makalah dipresentasikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS), di Surakarta, 2-5 November 2009.
Suprayogo, Imam. Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan.
Malang: UIN Malang, 2004.