Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 27

Business Profits-

Pemajakan Atas Laba Usaha


dalam P3B

Pertemuan ke 10 - 2018
Business Profit – Art 7 OECD
1. Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State
unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a
permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as
aforesaid, the profits that are attributable to the permanent establishment in
accordance with the provisions of paragraph 2 may be taxed in that other State.

2. For the purposes of this Article and Article [23 A] [23 B], the profits that are
attributable in each Contracting State to the permanent establishment referred to in
paragraph 1 are the profits it might be expected to make, in particular in its dealings
with other parts of the enterprise, if it were a separate and independent enterprise
engaged in the same or similar activities under the same or similar conditions, taking
into account the functions performed, assets used and risks assumed by the enterprise
through the permanent establishment and through the other parts of the enterprise.
3. Where, in accordance with paragraph 2, a Contracting State adjusts the profits
that are attributable to a permanent establishment of an enterprise of one of the
Contracting States and taxes accordingly profits of the enterprise that have been
charged to tax in the other State, the other State shall, to the extent necessary to
eliminate double taxation on these profits, make an appropriate adjustment to the
amount of the tax charged on those profits. In determining such adjustment, the
competent authorities of the Contracting States shall if necessary consult each other.

4. Where profits include items of income which are dealt with separately in other
Articles of this Convention, then the provisions of those Articles shall not be
affectedby the provisions of this Article.
Pasal 7 OECD mengatur 4 hal pokok:
1. Prinsip dasar pemajakan untuk penghasilan usaha yaitu negara
sumber hanya bisa memajaki penghasilan usaha sepanjang ada
BUT yang terletak di negara sumber. Hak pemajakan negara
sumber juga dibatasi sebesar laba yang diatribusikan kepada BUT
tersebut (ayat 1)
2. Cara mengalokasikan laba kepada BUT, yaitu dengan cara
memperlakukan BUT seolah-olah sebagai perusahaan yang
independen dengan mempertimbangkan fungsi, asset dan resiko
(ayat 2)
3. Aturan mengenai corresponding adjustment, yaitu apabila suatu
negara melakukan koreksi atas laba BUT, maka untuk
menghindari pajak berganda negara lainnya juga akan melakukan
penyesuaian atas koreksi tersebut (ayat 3)
4. Apabila suatu penghasilan sudah diatur secara khusus di pasal
lain, maka ketentuan dalam pasal lain tersebut didahulukan
(ayat4)
Hak Pemajakan atas Penghasilan Usaha

Psl 7 ayat 1 OECD Model mengatur:


Laba dari perusahaan negara yang merupakan
penduduk negara pihak persetujuan hanya
akan dikenakan pajak di negara domisili,
kecuali jika perusahaan tsb menjalankan
usaha di negara sumber melalui suatu BUT.
Negara domisili mempunyai hak pemajakan
ekslusif atas penghasilan Laba Usaha.
Prinsip nya :
a. No PE No Tax, jika tdk ada BUT maka tdk ada
pajak yg dpt dikenakan oleh negara sumber.

b. Jika ada BUT, maka negara sumber dapat


mengenakan pajak, namun terbatas hanya
sebesar laba yang dapat diatribusikan kpd
BUT tsb.
Penjualan Lgsg dari LN ke Indonesia tanpa BUT

X Corp.

Negara X
Sales Product “X”
Income Indonesia

PT
ABC.

Laba atas penjualan dari X Corp ke Indonesia tdk dpt dipajaki


di Indonesia, krn di Indonesia tdk mempunyai BUT
Penjualan dgn adanya BUT

X Corp.

Negara X

Income Indonesia

BUT
Sales Product “X”
X Corp.
Income

Assets
PT PQR

PT ABC

Laba atas penjualan dari X Corp ke Indonesia dpt dipajaki di Indonesia krn
ada BUT di Indonesia. Laba yang dipajaki hanya sebatas Laba BUT
Atribusi Laba BUT Menurut OECD Model
Terdapat dua pendekatan dalam menginterpretasikan cara mengatribusikan laba BUT
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2,
1. relevant business activity approach
Dalam relevant business activity approach atribusi laba kepada BUT hanya atas bagian
partisipasi BUT atas aktifitas perusahaan secara keseluruhan. Apabila secara keseluruhan
perusahaan mengalami kerugian, maka tidak ada bagian laba yang akan diatribusikan kepada
BUT.
2. functionally sparate entity approach, antara BUT dan bagain lain dari perusahaan (kantor pusat
atau kantor lainnya) diperlakukan seolah-olah sebagai perusahaan yang terpisah dan
indipenden.
– Dalam pendekatan ini BUT dan bagian lain dari perusahaan dianggap seolah-olah melakukan transaksi.
– Nilai transaksi tersebut dihitung berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arms
lengtg principle).
– Dalam pendekatan ini bisa jadi keseluruhan perusahaan mengalami kerugian, namun
dianggap ada laba yang diatribusikan kepada BUT karena penentuan laba ini didasarkan
pada penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arms length principle).
OECD Model lebih cenderung pada pendekatan functionally sparate entity
approach.

Konsep atribusi laba tdk lepas dari konsep BUT yg diatur dlm pasal 5 baik berupa
BUT yg punya hub istimewa (associated PE) maupun PE yg tdk memiliki hub
istimewa (unassociated PE). Mis. Konsep BUT agen , meskipun agen
terpisah dari perusahaan, Agen tsb tetap dianggap BUT apabila agen tsb
bertindak atas nama perusahaan dan mempunyai kewenangan
menandatangani kontrak atas nama perusahaan.
Atribusi Faktual: : Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PPh

X Corp.

Negara X

Income Indonesia

BUT
Sales Product “X”
X Corp.
Income

Assets
PT PQR

PT ABC

Atribusi Faktual: penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut


dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai
Force Of attraction
• Prinsip ini berkaitan dgn kemungkinan negara
sumber memajaki laba yang berasal dari seluruh
transaksi yang dilakukan perusahaan, terlepas
apakah transaksi tsb diatribusikan atau tdk kpd
BUT.
• Dgn prinsip ini , penghasilan seperti laba Usaha,
Dividen, Bunga dan Royalti yag timbul dari negara
sumber dipajaki seluruhnya apabila penerima
manfaat mempunyai BUT di negara sumber tsb,
meskipun penghasilan tsb secara nyata tdk
diatribusikan kpd BUT tsb.
• Ketentuan Force Of Attraction ini ditolak dalam
praktik Internasional, paling tidak oleh sesama
negara anggota OECD.
Force of Attraction: Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PPh

Income X Corp.

Negara X

Indonesia
Sales Product “X” BUT
X Corp. Income

Sales Product “X”


KPP yang mengaudit PT
PT ABC ABC: jangan lupa
memproduksi Alat
Keterangan !!! PT PQR

Force of attraction: Income kantor pusat dari PT ABC menjadi objek


pajak BUT.
Authorized OECD Approach (AOA)
Pendekatan AOA adalah:
• Langkah I : menganalisis fungsi atau fakta untuk mengidentifikasi
aktivitas penting secara ekonomis dalam menjalankan usaha
melalui BUT.
• Langkah II: menentukan imbalan utk aktivitas tsb dgn menerapkan
analogi prinsip Transfer Pricing yg merujuk pd fungsi yg dijalankan,
aset yg digunakan, dan risiko yg ditanggung oleh perusahaan
melalui BUT dan melalui perusahaan terkait. Meliputi penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha thd transaksi internal antara
ktr pusat dan BUT nya.
Authorized OECD Approach (AOA)
Selain laingkah tsb , hal-hal yg perlu diperhatikan:
a. Hubungan thd Laba secara keseluruhan. ( Jika Perusahaan (Ktr
Pusat mengalami kerugian, tdk ada laba yg dapat ditribusikan kpd
BUT).
b. Transaksi Internal antara perusahaan dgn BUT nya. (saat terjadi
penyerahan barang/aset dari perusahaan (ktr pusat) kpd BUT
dianggap sbg transaksi internal yg tdk menimbulkan laba/rugi.
c. Pengurangan Biaya-biaya utk BUT. Pengurangan diperbolehkan utk
transaksi internal yg terjadi antara perusahaan dan BUT nya (mis.
Pengurangan biaya bunga berdasarkan jlh pinjaman yg
diatribusikan kpd BUT oleh Ktr Pusat.
Penentuan Laba BUT Menurut
UN Model
Pasal 7 UN Model mengatur beberapa hal pokok:

1. Prinsip dasar pemajakan untuk penghasilan usaha yaitu negara sumber


hanya bisa memajaki penghasilan usaha sepanjang ada BUT yang terletak
di negara sumber.
Hak pemajakan negara, sumber juga dibatasi sebesar laba yang
diatribusikan kepada BUT, penjualan barang yang sama atau sejenis dan
kegiatan yang sama atau sejenis dengan yang dilakukan BUT (ayat 1)
2. Cara mengalokasikan laba BUT (ayat 2)
3. Biaya terkait dengan BUT yang dapat dikurangkan dalam menghitung
laba (ayat 3)
4. Diperkenankan penggunaan suatu formula dalam menghitung laba (ayat
5)
5. Penerepan metode dalam menghitung laba BUT harus dilakukan secara
konsisten (ayat 5)
6. Apabila suatu penghasilan sudah diatur secara khusus di pasal lain, maka
ketentuan dalam pasal lain tersebut didahulukan (ayat 6)
Dalam UN Model diatur bahwa apabila suatu perusahaan
penduduk negara pihak persetujuan menjalankan usahanya
melalui BUT di negara lainnya, maka laba perusahaan itu dapat
dikenakan pajak di negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba
yang berasal dari:

a. Bentuk usaha tetap tersebut


b. Penjualan yang dilakukan di negara lainnya atas barang-
barang atau barang dagangan yang sama atau serupa
jenisnya dengan yang dijual melalui bentuk usaha tetap
itu, atau
c. Kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di negara
pihak lainnya itu yang sama atau serupa jenisnya dengan
yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap itu.
Ketentuan Undang Undang PPh
Tentang Objek Pajak BUT
Ketentuan UU PPh menggunakan pendekatan yang sejalan dengan UN
Model. Menurut Undang-Undang PPh, objek pajak BUT meliputi:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai - Atribusi Faktual (psl 5
ayat 1 a)
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang
dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia,
-Force of Attraction-(psl 5 ayat 1 b)
c. Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat (berupa
dividen, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan lain), sepanjang
terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud -Atribusi
karena hubungan efektif (pasal 5 ayat 1 c)
Ketentuan Undang Undang PPh
Tentang Objek Pajak BUT
Selain itu menurut UU PPh dlm menentukan besarnya laba
suatu BUT, biaya administrasi kntr pusat yg diperbolehkan utk
dibebankan adalah biaya yg berkaitan dgn usaha atau kegiatan
BUT, yg besarnya ditetapkan oleh DJP.
Sedangkan pembayaran kpd kantor Pusat yg tdk boleh
dibebankan sbg biaya adalah:
a. Royalty atau imbalan lainnya sehubungan dgn penggunaan
harta, paten, atau hak2 lainnya.
b. Imbalan sehubungan dgn jasa manajemen dan jasa lainnya.
c. Bunga, kecuali bunga yg berkenaan dgn usaha perbankan.

Perlakuan pajak utk BUT berdasarkan ketentuan domestik


Indonesia dipersamakan dgn pemajakan badan tarif psl 17 =
25%
Atribusi Faktual: Pasal 5 ayat (1) huruf a

X Corp.

Negara X

Income Indonesia

BUT
Sales Product “X”
X Corp.
Income

Assets
PT PQR

PT ABC

Atribusi Faktual: Objek Pajak BUT dari kegiatan atau harta BUT tersebut.
Force of Attraction: Pasal 5 ayat (1) huruf b

Income X Corp.

Negara X

Indonesia
Sales Product “X” BUT
X Corp. Income

Sales Product “X”


KPP yang mengaudit PT
PT ABC ABC: jangan lupa
memproduksi Alat
Keterangan !!! PT PQR

Force of attraction: Income kantor pusat dari PT ABC menjadi objek


pajak BUT.
Hubungan efektif: Pasal 5 ayat (1) huruf c

Betah Corp.
fee

License
Negara X Agreement

Management
Indonesia
Agreement

BUT
PT ABC
Betah Corp.
Bangunan
Hotel
Terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan kepada kantor pusat  fee adalah objek pajak
BUT.
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan
untuk Menghitung Laba BUT (Psl 5.2 &5.3)
1. Biaya untuk mendapatkan penghasilan yang
diatribusi ke BUT (atribusi faktual, force of
attraction, atau atribusi karena hubungan efektif).
Pasal 5 ayat (2)
2. Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan BUT (Kep.Dirjen Pajak
No.Kep-62/PJ./1995). Pasal 5 ayat (3) huruf a
3. Kecuali, pembayaran kepada kantor pusat berupa:
a. Royalti atau imbalan lain sehubungan dng
penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya,
b. jasa manajemen dan jasa lainnya,
c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan
usaha perbankan.
Pasal 5 ayat (3) huruf b
Menghitung Pajak: BUT
Bentuk Usaha Tetap

Head Office
Luar Negeri

Indonesia
BUT

Revenue
Pasal 5(1) - Expenses
Pasal 5(2),5(3)
Branch
Profit
Penghasilan Kena
-
Pajak: Pasal 16(3)
X
PPh Terutang Tarif Pasal 17
BRANCH PROFIT TAX
Branch Profit Tax(PPh ps 26)= Tarif PPh ps 26 x Laba Setelah Pajak
Terutang
(Laba Setelah PPh Terutang= Penghasilan Kena Pajak Ps 16.3 UU PPh – PPh
Terutang)
• PPh psl 26 atas Laba Setelah Pajak yg diperoleh BUT yaitu
tambahan PPh yg dikenakan atas laba setelah pajak (net
income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau
sesuai tarif dlm Tax Treaty.
• Tambahan PPh tsb wajib dilunasi oleh BUT dlm waktu yg
bersamaan dgn pelunasan PPh Psl 29 (setoran akhir PPh
tahunan), yaitu paling lambat tgl 30 bln ke 4 setelah
berakhirnya tahun buku .
• Tambahan PPh atas laba setelah pajak yg diperoleh BUT tsb
tdk dikenakan apabila laba setelah pajak BUT tsb ditanamkan
kembali di Indonesia.
TARIF PPh PASAL 26
UNTUK P3B YANG BERLAKU EFEKTIF

DIVIDEN BRANCH
NO. COUNTRY INTEREST ROYALTIES SUBSTANTIAL PROFIT
PORTFOLIO TAX
HOLDING

1 Algeria 15% 15% 15% 15% 10%


2 Australia 10% 10%/15% 15% 15% 15%
3 Austria 10% 10% 15% 10% 12%
4 Bangladesh 10% 10% 15% 10% 10%
5 Belgium 10% 10% 15% 10% 10%
6 Brunei Darussalam 10% 15% 15% 15% 10%
7 Bulgaria 10% 10% 15% 15% 15%
8 Canada 10% 10% 15% 10% 15%
9 Czech 12,5% 12,5% 15% 10% 12,5%
10 China 10% 10% 10% 10% 10%
11 Croatia 10% 10% 10% 10% 10%
12 Denmark 10% 15% 20% 10% 15%
13 Egypt 15% 15% 15% 15% 15%
14 Finland 10% 10%/15% 15% 10% 15%
15 France 15% 10% 15% 10% 10%
16 Germany 10% 10%/15% 15% 10% 10%
17 Hungary 15% 15% 15% 15% N/A
18 Hongkong 10% 5% 10% 5% 5%
19 India 10% 15% 15% 10% 10%
20 Iran 10% 12% 7% 7% 7%
21 Italy 10% 10%/15% 15% 10% 12%
22 Japan 10% 10% 15% 10% 10%
23 Jordan 10% 10% 10% 10% N/A
24 Korea, Republic of 10% 15% 15% 10% 10%
Korea, Democratic
25 People’s Republic 10% 10% 10% 10% 10%
of
26 Kuwait 5% 20% 10% 10% 10%
27 Luxembourg 10% 12,5% 15% 10% 10%
28 Malaysia 10% 10% 10% 10% 12,5%
29 Maroko 10% 10% 20% 10% 10%
30 Mexico 10% 10% 10% 10% 10%
31 Mongolia 10% 10% 10% 10% 10%
Cakupan Pengertian Penghasilan Usaha
• Penghasilan usaha memiliki pengertian yang sangat luas meliputi semua
penghasilan dari kegiatan usaha yang diniatkan sebagai tujuan utama
operasional perusahaan.
• Pasal 7 ayat 4 OECD Model menyebutkan apabila dalam jumlah laba
terdapat pengahasilan-penghasilan lain yang diatur secara sendiri pada
pasal-pasal lain, maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan
terpengaruh ketentuan-ketentuan pasal ini (pasal 7 OECD Model tentang
pengahasilan usaha/business profit).
• Rumusan Pasal 7 ayat 4 OECD Model dibuat bertujuan supaya istilah “laba
usaha”/profit” tidak menimbulkan ketidakpastian.
Misalnya:
sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang perbankan memperoleh
penghasilan berupa bunga. Berdasarkan sifatnya ketika perusahaan ini dari
operasionalnya memperoleh laba, maka sebenarnya penghasilan bunga
tersebut merupakan bagian dari laba usaha kegiatan perbankan. Namun
dalam P3B atas penghasilan bunga telah diatur ketentuan khusus yaitu Pasal
11 OECD Model, maka dalam kasus ini penghasilan bunga untuk
perusahaan yang bergerak dalam bidang perbankan tidak dapat
dimasukkan dalam cakupan pengertian penghasilan usaha. Dengan
demikian perlakuan pajaknya tunduk pada ketentuan yang mengatur khusus
yaitu di Pasal 11.

You might also like