Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

PENGARUH USIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

Imelda*, Un Gerry Namyu*, Elva Patabang*, Vivian Chau*, Billy Jonathan*, Rosaria
Oktafiani Darmawan*, Stefanie*, Marina Dewi Utami*

*Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

ABTRACT
Background: 90% of people who are diabetics are type II which caused by overweight and the
lack of physical activity. Diabetes mellitus is a metabolic disorder which cause blood sugar to
rise due to impaired insulin function. Data from Riskesdas in 2007 revealed that the total
number of DM patients (Diabetes melitus) is 5.7% of the total population of Indonesia, where)
only 1.5% that got diagnosed.

Method: This study is a literature review using as many as 12 sources from books and 10
sources from google search

Results: The clinical diagnosis of DM is established when there are typical symptoms of DM
in the form of polyuria, polydipsia, polyphagia. Risk factors of DM is caused by genetic factors,
age, gender, weight, physical activity, diet, and stress. Diabetes can be treated with insulin
sensitizing drug classes, insulin secretion, and DPP-4. Diabetes mellitus can be prevented by
doing the diabetes prevention programs and also metformin which is consumed in the long
run.

Conclusion: Management of diabetes that is often used for hyperglycemic are sulfonyl urea
and metformin. The best prevention for DM is a change in lifestyle which is starting from
weight loss, activity and also reduction of food portion. Complications of DM include
metabolic ketoacidosis, diabetic nephropathy and diabetic angiopathy.

ABSTRAK

Latar Belakang : 90% penderita diabetes di seluruh dunia adalah penderita diabetes tipe II
yang disebabkan oleh kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Diabetes melitus
adalah penyakit gangguan metabolik yang memberikan kenaikan gula darah akibat gangguan
fungsi insulin. Data dari Riskesdas tahun 2007 diketahui bahwa jumlah total penderita DM
(Diabetes melitus) adalah 5,7% dari total penduduk Indonesia, di mana DM yang terdiagnosis
secara jelas (diagnosed DM) hanya 1,5%.

Metode : Penelitian ini merupakan kajian literatur menggunakan sebanyak 12 berasal dari
buku dengan 10 berasal dari penelusuran google

Hasil : Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia.Faktor resiko yang mencetuskan DM berupa faktor genetik, usia, jenis kelamin, berat
badan, aktivitas fisik, pola makan, dan stress. Pengobatan terhadap diabetes dapat
menggunakan obat golongan insulin sensitizing, sekretagok insulin, DPP-4. Pencegahan dari
diabetes melitus dapat menggunakan program pencegahan diabetes dan juga menggunakan
obat seperti metformin dalam jangka panjang.

Kesimpulan: Tatalaksana diabetes yang sering digunakan untuk hiperglikemik berupa sulfonil
urea dan metformin. Pencegahan terbaik merupakan perubahan cara pola hidup dimana dimulai
dari penurunan berat badan, aktivitas dan juga pengurangan porsi makan. Komplikasi dari DM
diantaranya adalah ketoasidosis metabolik, nefropati diabetik dan mikro angiopati diabetik.

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit diabetes secara global diderita oleh sekitar 9% orang dewasa
berusia 18 tahun ke atas pada tahun 2014. Sebanyak 90% penderita diabetes di seluruh dunia
adalah penderita diabetes tipe II yang sebagian besar dikarenakan kelebihan berat badan dan
kurangnya aktivitas fisik. World Health Organization (WHO) memproyeksikan diabetes akan
menjadi salah satu penyebab utama kematian, karena jumlahnya yang mengalami peningkatan.
Indonesia menduduki negara peringkat ke-4 terbesar dengan pertumbuhan penderita diabetes
sebesar 152% atau dari 8.426.000 orang pada tahun 2000 menjadi 21.257.000 orang pada tahun
2030.1
Data dari Riskesdas tahun 2007 diketahui bahwa jumlah total penderita DM (Diabetes
melitus) adalah 5,7% dari total penduduk Indonesia, di mana DM yang terdiagnosis secara jelas
(diagnosed DM) hanya 1,5%, sementara itu yang belum terdiagnosis (undiagnosed DM)
sebanyak 4,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi penyakit DM seperti fenomena gunung
es, di mana kondisi yang tergambarkan secara jelas sesungguhnya hanyalah bagian
permukaannya saja.2 Data dari IDF Montreal (2009) jumlah penduduk yang menderita DM
untuk usia 20–79 tahun pada tahun 2010, India menempati urutan teratas dengan 50,8 miliar.
Sementara itu Indonesia adalah 7,0 miliar. Dengan jumlah tersebut Indonesia menempati
peringkat ke sembilan dunia di bawah India, China, USA, Rusia, Brazil, Jerman, Pakistan dan
Jepang. Namun prediksi di tahun 2030 Indonesia naik di peringkat keenam di bawah Brazil
dengan angka 12,0 miliar, dengan jumlah penderita yang diprediksikan menjadi 87,0 miliar.3
Peningkatan angka penderita DM ini melonjak tajam ini perlu mendapatkan perhatian yang
serius dari berbagai pihak terutama bidang kesehatan.

METODE
Metode yang diterapkan pada penelitian ini berupa kajian literatur naratif dengan melakukan
pengkajian dari dua puluh dua sumber. Sepuluh dari artikel diperoleh dari penelusuran google.
Kata kunci yang dipakai pada saat pencarian adalah diabetes tipe 2 dan usia penderita diabetes
dengan hasil penelusuran terdapat 3,8 juta artikel. Dua belas diantaranya berasal dari buku
penyakit dalam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Etiologi

Faktor-faktor penyebab DM meliputi :

1. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting pada DM yang dapat mempengaruhi sel beta
dan mengubah kemampuannya untuk mengenali sekretoris insulin. Keadaan ini
meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang
dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pancreas.4
2. Usia
Diabetes mellitus tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Kejadian
usia lanjut dengan gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92%.5 Sekitar 6% individu
berusia 45-64 tahun dan 11% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita DM tipe
II. Usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah,
sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa
semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel,
berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ, yang dapat
mempengaruhi fungsi homeostasis.4
3. Jenis Kelamin
Penyakit DM ini sebagian besar dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki
karena terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-
hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM. Jumlah lemak pada laki-laki dewasa
rata-rata berkisar antara 15-20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-
25%. Jadi peningkatan kadar lemak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-
laki, sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali lipat.6
4. Berat badan
Obesitas adalah berat badan yang berlebih minimal 20% dari BB idaman atau indeks
massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas
terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di
seluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive.6
5. Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II. Mekanisme aktifitas fisik dapat
mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe II yaitu : 1) resistensi insulin; 2)
peningkatan toleransi glukosa; 3) Penurunan lemak adipose; 4) Pengurangan lemak
sentral; perubahan jaringan otot. Aktivitas fisik yang semakin jarang maka gula yang
dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai, akibatnya prevalensi peningkatan kadar
gula dalam darah juga akan semakin tinggi. 6
6. Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan,
merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan fungsi sel beta individu
yang rentan.4 Individu yang kelebihan berat badan harus melakukan diet untuk
mengurangi kebutuhan kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal.
Penurunan kalori yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan
berat badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan 2,5-
7 kg/bulan akan memperbaiki kadar glukosa darah.
7. Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh
sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus-pituitari
akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin releasing factor yang menstimulasi
pituitary anterior untuk memproduksi adenocorticotropic faktor (ACTH).
Adenocorticotropic menstimulasi produksi kortisol, kortisol adalah hormon yang dapat
menaikkan kadar gula darah.7

Epidemiologi

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari angka orang
dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar
berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan
prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit
putih pada umumnya, misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat menonjol seperti Singapura. Kekerapan diabetes sangat meningkat
dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di
beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara
hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai
35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indiana Pima di
AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli
Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi,
Indiana, Canada, Cina di Mauritius, Singapura, dan Taiwan. 8
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM adalah masalah
kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah penderita diabetes dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki
diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada tindakan
pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada
tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta penderita. Prevalensi diabetes se-Indonesia diduduki
oleh provinsi Jawa Timur karena diabetes merupakan 10 besar penyakit terbanyak. Jumlah
penderita DM menurut Riskesdas mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai tahun 2013
sebesar 330.512 penderita. 9,10
Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :

1. Resistensi insulin


2. Disfungsi sel B pancreas


Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim
disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan
kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga
terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B
langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.Pada awal
perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. 11,12

Manifestasi Klinis
Diabetes mellitus dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan tes kadar glukosa darah.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:3
 Keluhan klasik DM (Trias gejala klinik klasik yang khas pada diabetes mellitus) :
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
 Keluhan lain: lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulva pada wanita.
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM diantaranya :3
1. Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi
batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula dalam tubuh
relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk
mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada
malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa.
2. Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa oleh
urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan
3. Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena glukosa
dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi
4. Penurunan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil
dan membakar lemak sebagai cadangan energi.

Anamnesis
1. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
2. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat badan.
3. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda. Pengobatan yang pernah
diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang
telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
4. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan
dan program latihan jasmani.
5. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,
hipoglikemia).
6. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenital.
7. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung dan
pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
8. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
9. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
10. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
11. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.

Pemeriksaan Fisik
1. Pengukuran tinggi dan berat badan.
2. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
3. Pemeriksaan funduskopi.
4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
5. Pemeriksaan jantung.
6. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
7. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati, dan
adanya deformitas).
8. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis
diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis Dm harus diperhatiakn asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Ada perbedaan antara uji
diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >45 tahun, berat
badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi >
4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan
pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).13

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat
gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl diagnosis DM sudah
dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat
digunakan untuk pedoman diagnosis DM, pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih
mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan.14

Pemeriksaan Glukosa Urin, dalam keadaan normal kadar glukosa darah arteri sekitar
100mg/dL dan tidak terdapat glukosa dalam urin karena glukosa dalam filtrat glomeruli akan
direabsorpsi kembali secara aktif di tubuli proksimal. Laju filtrasi glukosa kira-kira
100mg/menit dan hampir semua glukosa akan direabsorpsi sebanding dengan jumlah glukosa
yang difiltrasi. Glukosuria dapat terjadi bila terdapat peningkatan kadar glukosa darah atau
penurunan transport maksimum (Tm) glukosa. Nilai ambang ginjal untuk glukosa adalah kadar
glukosa plasma terendah yang dapat menimbulkan glukosuria. Glukosuria yang disertai
peningkatan glukosa darah dapat dijumpai pada berbagai keadaan, misalnya diabetes mellitus,
tiroktoksikosis, feokromositoma, sindrom Cushing, peningkatan tekanan intrakranial.15

Pengontrolan DM dengan pemeriksaan kadar HbA1c juga direkomendasikan oleh


American Diabetic Association (ADA) karena dapat mengambarkan rerata gula darah selama
2-3 bulan terakhir sehingga bisa dijadikan acuan untuk perencanaan pengobatan. HbA1c
merupakan ikatan molekul glukosa pada hemoglobin secara non-enzimatik melalui proses
glikasi post translasi. Hemoglobin yang terglikasi terlihat dalam beberapa asam amino HbA
yang terdiri dari HbA1a, HbA1b dan HbA1c. Komponen yang terpenting dari glikasi
hemoglobin tersebut dalam penyakit Diabetes mellitus adalah HbA1c, digunakan sebagai
patokan utama untuk pengendalian penyakit DM karena HbA1c dapat mengambarkan kadar
gula darah dalam rentang 1 – 3 bulan karena usia sel darah merah yang terikat oleh molekul
glukosa adalah 120 hari. Kenormalan HbA1c dapat diupayakan dengan mempertahankan kadar
gula darah tetap normal sepanjang waktu. 3

Working Diagnosis
Resistrensi insulin dan sekresi insulin abnormal adalah pusat dari perkembangan DM
tipe 2. Walaupun kelainan utamanya masih kontroversial, kebanyakan studi mendukung
pandangan bahwa resistensi insulin mendahului kecacatan sekresi insulin tetapi diabetes hanya
berkembang jika sekresi insulin tidak memadai. DM tipe 2 mungkin mencakup sekelompok
kelainan dengan fenotipe mirip dengan hiperglikemia. DM tipe 2 dicirikan dengan kelainan
insulin sekresi, resistensi insulin, produksi glukosa oleh hati yang berlebihan dan kelainan
metabolisme lemak.16
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah. Apabila terdapat gejala khas DM dengan pemeriksaan glukosa darah yang
abnormal 1 kali sudah cukup untuk diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan jika tidak
ditemukan gejala khas diabetes maka diperlukan lebih dari 1 kali pemeriksaan glukosa darah
yang abnormal hasilnya. Diagnosis terhadap DM dapat ditegakkan dengan kriteria berikut :17
1. Gejala khas DM + glukosa darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala khas DM + glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. Glukosa plasma 2 jam setelah makan dengan TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Diagnosis Banding
Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes tipe 1 secara tradisional dianggap terjadi primer pada usia di bawah 18 tahun
tetapi kini diketahui bahwa diabetes tipe 1 dapat terjadi pada segala usia. Pada 1 hingga 2 tahun
pertama sesudah manifestasi klinis yang nyata, maka kebutuhan insulin eksogen mungkin
minimal atau belum dibutuhkan karena sekresi insulin endogen masih terjadi (keadaan ini
disebut periode bulan madu). Namun setelah itu setiap cadangan sel ß akan kelelahan dan
kebutuhan insulin meningkat secara drastic. Diabetes tipe 1 didominasi oleh tanda-tanda
berubahnya metabolisme yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Meskipun selera makan
meningkat, efek katabolic terus terjadi sehingga timbul penurunan berat badan dan kelemahan
otot. Tanda-tanda kimiawinya meliputi ketoasidosis, insulin plasma yang rendah atau tidka
ada, dan kenaikan kadar glukosa plasma. Gangguan metabolisme dan kebutuhan akan insulin
berhubungan langsung dengan stress fisiologik yang meliputi penyimpangan dari pola asupan
makanan yang normal, peningkatan aktivitas fisik, infeksi, dan pembedahan.18

Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)


Maturity Onset Diabetes of the Young atau yang biasa disebut MODY merupakan
bentuk diabetes yang disebabkan dari mutasi beberapa gen yang berbeda. MODY merupakan
suatu bentuk monogenic diabetes. Perubahan genetik yang berbeda dapat mengakibatkan
perubahan bentuk diabetes. MODY biasa didiagnosa dimasa akhir dari anak-anak , remaja dan
awal dewasa. Dari beberapa penelitian dalam beberapa tahun terakhir, MODY jg ditemukan
pada orang dewasa sekitar umur 50 tahun. Banyak orang yang menderita MODY sering salah
didiagnosa dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2. Dengan pengobatan yang baik dan pola hidup
yang teratur MODY dapat diatasi tentu nya dengan tidak melupakan anggota keluarga yang
lain , karena MODY merupakan kelainan genetik dan ada kemungkinan anggota keluarga yang
lain juga terkena penyakit ini.17

Latent Autoimun Diabetes of Adult (LADA)


Latent Autoimun Diabetes of Adult pertama kali di identifikasikan pada tahun 1993 untuk
menggambarkan onset yang lambat dari diabetes autoimun tipe 1 pada orang dewasa. Dewasa
yang terkena LADA sering disalah diagnose terkena diabetes mellitus tipe 2 dikarenakan faktor
usia. Lada merupakan penghancuran cellular-mediated autoimmune dari sel beta pancreas.
Penghancuran ini memiliki berbagai variasi dengan beberapa individu terkena serangan yang
tergolong cepat dan beberapa ada yang lambat. The National Institutes of Health (NIDDK)
mendefinisikan LADA adalah diabetes tipe 1 yang berkembang pada orang dewasa. Pasien
dengan LADA umumnya memiliki kadar sekresi insulin yang rendah atau C-peptide yang
semakin rendah seiring dengan perjalanan penyakit ke tingkat yang lebih parah. Penderita
LADA juga seringkali memiliki hasil yang positif terhadap Islet Cell Antibodies (ICA) dimana,
pada penderita diabetes tipe 2 jarang skali mendapatkan hasil yang positif.17

Penatalaksanaan Medikamentosa
Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Dari golongan ini yang banyak dipakai adalah metformin yang dapat diberikan 2-3 kali
sehari kecuali dalam bentuk extended release. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi
glukosa di usus sesudah asupan makanan. Selain itu juga dapat menstimulasi produksi
glucagon like peptide (GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan fngsi sel alfa pancreas
sehingga menurunkan produksi glucagon serum dan mengurangi hiperglikemia saat puasa.
Metformin juga berpengaruh pada lipid, tekanan darah, dan juga pada plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pakreas sehingga
tidak menyebabkan hipoglikemia. Biasanya dapat digunakan sebagai monoterapi mauppun
dalma bentuk kombinasi dengan sulfonil urea, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa
glukosidase dan glitazone. Pemakaian monoterapi metformin menjadi pilihan utama pada awal
pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat.
Kombinasi metformin dan insulin juga data dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan
glikemia yang sukar dikendalikan. Pemakaian metformin dikontraindikasikan pada penderita
gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alcohol berlebihan serta penyandang gagal
jantung yang memerlukan terapi.19

Glitazone
Thiazolidinediones merupakan agonis peroksisom proliferator activated receptors
gamma (PPAR-ɣ) yang sangat selektif dan poten. Glitazone menurunkan konsentrasi insulin
lebih besar daripada metformin dan meningkatkan efesiensi dan respon sel beta pancreas
dengan menurunkan lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol
LDL dan HDL namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazone menurunkan trigliserida
dan meningkatkan HDL. Glitazon sendiri dapat sedikit menurunkan tekanan darah,
meningkatkan fibrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel. Rosiglitazon dan pioglitazon dapat
digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok
insulin. Pemakaian bersama insulin tidak disarankan karena dapat mengakibatkan peningkatan
berat badan yang berlebih dan retensi cairan. Dosis rosiglitazon 4 dan 8 mg sehari (dosis
tunggal atau dosis terbagi 2x sehari). Pemakaian glitazone dihentikan bila terdapat kenaikan
enzim hati lebih dari 3 kali batas atas normal. Pemakaiannya juga harus hati-hati pada pasien
dengan riwayat penyakit hati, gagal jantung kelas 3 dan 4 dan pada edema.19

Golongan sekretagok insulin


Sulfonilurea
Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin.
Sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta
pancreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan sehingga hanya bermanfaat pada pasien
yang masih mampu mensekresi insulin. Pembagian SU menjadi 3 generasi, yaitu :
- Generasi I : acetohexamide, tolbutamide, klorpropamide
- Generasi II : glibenklamide, glipizide, gliclazide
- Generasi III : glimepiride

Pemakaian SU umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Dosis permulaan SU tergantung apda beratnya hiperglikemia. Bila GDP <
200mg/dL sebaiknya SU diberikan dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi secara bertahap
setelah 1-2 minggu. Sedangkan bila GDP > 200mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih
besar. Obat sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan karena dapat diabsorpsi lebih baik.
Jika pemberiannya 1 kali sehari sebaiknya diberikan pada pagi hari atau pada saat makan
makanan porsi terbesar.19

Glinid
Glinid memiliki lama kerja yang pendek maka digunakan sebagai obat prandial.
Repaglinid dan nateglinid diberikan 2-3 kali sehari dimana repaglinid dapat menurunkan GDP
karena masa tinggalnya pada reseptor SUR lebih lama dibandingkan dengan nateglinid.
Keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa post-prandial dengan efek
hipoglikemia yang minimal.19

Penghambat Alfa Glukosidase


Acarbose berkerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia post-prandial. Obat ini bekerja pada lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Acarbose
memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim
alfa glukosidase yang terdapat pada dinding eritrosit yang terletak pada bagian proksimal usus
halus. Dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin, metformin,
glitazone, atau SU. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus segera diberikan pada saat
makanan utama.19

Incretin
Terdapat hormone incretin yang dikeluarkan oleh saluran cerna yaitu glucose
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon like peptide-1 (GLP-1). KEduanya
dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan sehingga meningkatkan sekresi insulin.
Selain membantu meningkatkan respn sekresi insulin oleh makanan, GLP-1 jug amenekan sel
alfa pancreas dalam mensekresi glucagon, memperlambat pengosongan lambung dan memiliki
efek anoreksia sentral sehingga menurunkan hiperglikemia.19

Penghambat Dipeptydil Peptidase IV (DPP-4)


Penghambatan enzim DPP-4 diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-1
sehingga membantu menurunkan hiperglikemia. Ada dua macam penghambat DPP-4 saat ini
yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal dapat menurunkan HbA1C dan memiliki
efek pada glukosa puasa dan post prandial. Dapat juga digunakan sebagai terapi alternative bila
terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-4 tidak
mengakibatkan hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan
adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala.19

Komplikasi17
Ketoasidosis metabolic
Terjadi peningkatan absolute atau relative kadar glucagon yang menyebabkan
pelepasan asam-asam lemak bebas yang berlebihan dari jaringan adipose dan oksidasi hepatic
yang menghasilkan benda keton. Ketonemia dan ketonuria dengan dehidrasi dapat
menimbulkan ketoasidosis metabolik sistemik yang dapat berakibat pada kematian.
Koma hiperosmolar nonketotik
Biasanya terjadi dalam keadaan dehidrasi berat yang dikarenakan dieresis
hiperglikemik yang terus-menerus dan ketidakmampuan untuk minum air yang cukup.
Penyakit mikrovaskular diabetic
Aterosklerotik dipercepat pada aorta dan pembuluh arteri berukuran besar serta sedang,
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, stroke serebri, aneurisma aorta dan gangrene
pada ekstremitas bawah.
Mikroangiopati diabetic
Diabetes mellitus menyebabkan penebalan difus membrane basalis. Penebalan ini
terlihat nyata pada pembuluh kapiler dalam kulit, otot skeletal, retina, glomerulus ginjal, dan
medulla ginjal. Keadaan tersebut dapat mengenai struktur non-vaskuler seperti tubulus ginjal,
kapsula Bowman, saraf perifer dan plasenta. Walaupun terjadi penebalan pada membrane
basalis, namun pada pasien DM pembuluh kapilernya lebih permeable (mudah bocor) terhadap
protein plasma dibandingkan dengan pembuluh kapiler orang normal. Mikroangiopati
mendasar terjadinya nefropati diabetic dan beberapa bentuk neuropati lainnya.
Nefropati diabetic
Ginjal merupakan organ yang mengalami kerusakan paling berat pada pasien DM dan
salah satu penyebab kematian diabetes yang utama adalah gagal ginjal. Dimana terjadi kelainan
pada glomerulusnya (sklerosis mesangial yang difus, glomerulosklerosis noduler yang disebut
lesi Kimmerlstiel-Wilson, lesi eksudatif yang mengakibatkan proteinuria progresif dan gagal
ginjal kronik.
Komplikasi Okular Diabetik
Retinopati nonproliferatif terdiri dari perdarahan intra-retina serta pre-retina, eksudasi,
edema, penebalan kapiler retina dan mikroaneurisma. Retinopati proliferative merupakan
proses neovaskularisasi dan fibrosis pada retina dengan kecenderungan yang tinggi untuk
menimbulkan kebutaan.
Neuropati Diabetik
Neuropati perifer simetrik yang mengenai saraf motorik dan sensorik ekstremitas
bawah disebabkan oleh jejas sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan akson saraf.
Neuropati otonom dapat menimbulkan impotensi seksual dan disfungsi usus serta kandung
kemih. Kelainan neurologic yang bersifat fokal (mononeuropati diabetic) paling besar
kemungkinannya disebabkan oleh mikroangiopati.17

Preventif
Untuk mencegah terjadinya diabetes, golongan masyarakat terutama dengan BMI (Body Mass
Index) di atas 25kg/m2 dengan faktor resiko seperti riwayat keluarga dengan diabetes, adanya
riwayat hipertensi gestasional, ataupun kebiasaan hidup yang menetap. Perubahan gaya hidup
dapat mencega dan mengurangi resiko diabetes tipe 2. Menurut Ahmad et al., Untuk golongan
berat badan overweight ataupun obesitas dibutuhkan pengurangan berat badan untuk
mengurangi resiko diabetes. Berjalan cepat juga dapat mengurangi resiko diabetes walaupun
tidak mengurangi berat badan. Mengurangi porsi makan dan jumlah kalori yang dikonsumsi
dan juga meningkatkan konsumsi buah, sayur dan juga serat. Jika pelaksanaan perubahan gaya
hidup tidaklah berhasil maka dapat diberikan obat metformin.20
Analisis yang dilakukan oleh Dunkley AJ et al., bahwa berdasarkan berbagai penelitian
program untuk mencegah diabetes seperti NICE (p = 0.008) atau IMAGE (p = 0.008)memiliki
perbedaan yang signifikan untuk mencegah diabetes. Dukungan secara sosial juga memberikan
perbedaan secara signifikan terhadap subjek (p = 0.037).21
Penelitian yang dilakukan oleh didapatkan bahwa perubahan gaya hidup memiliki persentase
lebih besar yaitu 58% dibandingkan dengan obat metformin yang dikonsumsi selama 3 tahun
yaitu 31% untuk mencegah terjadinya diabetes tipe 2.22

Edukasi
Menurunkan berat badan sekitar 5-10% untuk mengurangi resiko diabetes secara substansial.
Berjalan cepat selama 30 menit lima kali seminggu juga dapat mengurangi resiko diabetes
walaupun tidak mengurangi berat badan. Mengurangi porsi makan dan jumlah kalori yang
dikonsumsi dan juga meningkatkan konsumsi buah, sayur dan juga serat.20
Prognosis
Dubia et bonam, bahwa dengan kegiatan preventif yang diikuti dengan baik oleh subjek
memberikan resiko diabetes menurun.20,21

Kesimpulan
Jenis diabetes yang paling sering ditemukan berupa diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme. Tatalaksana diabetes yang sering digunakan untuk hiperglikemik
berupa sulfonil urea dan metformin. Pencegahan terbaik merupakan perubahan cara pola hidup
dimana dimulai dari penurunan berat badan, aktivitas dan juga pengurangan porsi makan.
Komplikasi dari DM diantaranya adalah ketoasidosis metabolik, nefropati diabetik dan mikro
angiopati diabetik.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization (WHO). Fact sheets of diabetes media centre. [edisi 2015,
diakses 14 April 2018]. Diunduh dari :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian diabetes melitus dan penyakit
metabolik. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular; 2008.
3. Rudijanto A, Yuwono A, Shahab A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2015. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia; 2015:3-1.
4. Price SA. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006:78-4.
5. Rochman W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: FK
UI; 2006.
6. Soegondo S. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus terkini. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2007.
7. Guyton, Arthur C. Fisiologi kedokteran. Edisi 11. Alih Bahasan Brahm U Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
8. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: FKUI; 2006.
9. International Diabetes Federation. IDF diabetes atlas. [edisi 7, diakses 14 April 2018].
Diunduh dari : http://www. diabetes atlas. org/.
10. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin diabetes. [edisi 2014, diakses 14 April 2018].
Diunduh dari :
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin-diabetes.
pdf.
11. Bennett P.Epidemiology of type 2 diabetes mellitus. In Le Roithet.al, Diabetes Millitus
Fundamental and Clinical Text. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

2008;43(1): 544-7. 


12. Hastuti, Rini T. Faktor-faktor risiko ulkus diabetika pada penderita diabetes melitus
studi kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [disertasi]. Semarang: Universitas

Diponegoro; 2008. 


13. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Ilmu penyakit
dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014:2323-4.
14. Ndraha S. Diabetes melitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Jakarta: Medicinus.
2014;27(2): 9.
15. Sudiono H, Iskandar, Sinsanta. Urinalisis. Jakarta: Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Ukrida; 2009:43.
16. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
principle of internal medicine. Edisi 18. USA: McGraw-Hill; 2012:2968-75.
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010:1873-2052.
18. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbin & Cotran. Edisi 7. Jakarta:
EGC; 2009:669-78.
19. Suherman SK. Insulin dan antidiabetika oral. Dalam: Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011:481-95.
20. Ahmad LA, Crandall JP. Type 2 diabetes prevention: a review. Clinical Diabetes. 2010
;28(2):53-9.
21. Dunkley AJ, Bodicoat DH, Greaves CJ, Russell C, Yates T, et al. Diabetes prevention
in the real world: effectiveness of pragmatic lifestyle interventions for the prevention
of type 2 diabetes and of impact of adherence to guideline recommendations. Diabetes
Care. 2014;37:922-33.
22. Diabetes Prevention Program Research Group. Reduction in the incidence of type 2
diabetes with lifestyle intervention or metformin. N Engl J Med. 2002;346(6):393-403.

You might also like