Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

BUDAYA NONGKRONG ANAK MUDA DI KAFE

(Tinjauan Gaya Hidup Anak Muda Di Kota Denpasar)

Ahmad Fauzi1), I Nengah Punia2), Gede Kamajaya3)


123)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Email: kumel.ozi@gmail.com1, punia@unud.ac.id2, kamajaya@unud.ac.id3

ABSTRACT

A growing number of cafes in Denpasar accompanied by hanging out (nongkrong)


culture which is becoming increasingly common among young people nowdays becomes an
interesting phenomenon to be analyzed. This research attempts to explain the relation between
the existence of cafes with hanging out culture which are formed in terms of how young people
assess the function of the exsistence of the café itself. Through the perspective of ‘consumption
society theory’ and qualitative research methods, it was found that the culture of hanging out in
the cafe for young people not only to enjoy a limited menu provided, but the young people as
consumers were also taking space as a form of self definition that exists as efforts to establish
their lifestyle. This research was conducted in three different cafes and focused on youth aged
18 to 24 years. Based on the results of research obtained that the spread of cafes in the city of
Denpasar was a response to the presence of young people exsistence that loaded to meet the
desires, tastes, and the establishment of their lifestyle. The café was not only become a place to
hang out functionally, but also interpreted has shifted from use values that led to sign values.
The café was no longer an essential place for mere physical or biological needs, but as a
symbol of self-existence and lifestyle of young people in Denpasar.

Keywords: cafes, hanging out culture, young people, consumption society

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini, merebaknya kafe mulai jadi beroperasi (Lim, 2014). Melalui beragam
pemandangan sehari-hari. Dapat dilihat dengan penyebutan, seperti kedai kopi, coffee shop,
banyaknya keberadaan kafe-kafe di tanah air. bahkan kafe sekalipun kian menjamur di
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Kafe berbagai kalangan masyarakat khususnya bagi
Restoran Indonesia-Jatim, di tahun 2012 anak muda. Maraknya kafe tersebut juga
terdapat peningkatan 15 sampai 20 persen dibarengi dengan tema dan tujuan tertentu.
jumlah kafe dan restoran di Kota Surabaya. Sebagai misal, beragam konsep dengan iringan
Diikuti pula dengan kafe-kafe yang berada di musik, terjangkaunya harga, hingga sajian menu
kota besar lainnya seperti Bandung, Makassar, dengan nuansa tradisional sampai modern
Yogyakarta, dan Denpasar. Bahkan, di Jakarta seakan menjadi daya tarik tersendiri. Hal
setidaknya terdapat lebih dari 300 kafe yang tersebut kian membuktikan animo masyarakat
yang tinggi terhadap keberadaan kafe, pada kegiatan ini pun cukup tinggi (Heryanto,
karena semakin menjamurnya kafe secara tidak 2008). Keberadaan orang memilih kafe sebagai
langsung menunjukkan minat pasar terhadap tempat ketiga dengan berbagai alasan tentu
keberadaan kafe. menjadi fenomena yang menarik dan
Salah satunya adalah fenomena berdampak bagi kehidupan sosial kita, terutama
menjamurnya kafe di kota Denpasar, di kota ini soal perubahan gaya hidup, pola konsumsi, dan
eksistensi kafe mulai diperhitungkan bagi anak- bentuk interaksi yang terjadi. Seakan menjadi
anak muda. Umumnya, kafe di sini sebagai hal yang lumrah ketika orang-orang
tempat bertatap muka atau ‘tempat ketiga’, baik memindahkan kegiatan sehari-hari mereka ke
itu dengan keluarga, teman ataupun rekan kafe seperti mengetik, membaca, mengobrol
bisnis. Di satu sisi, keberadaan Kota Denpasar bersama teman, ataupun sekedar mencari
sebagai titik sentral berbagai kegiatan hiburan.
perekonomian, pun juga terkenal sebagai tujuan Keberadaan kafe dalam keseharian
destinasi wisata dan kawasan strategis dengan masyarakat Kota Denpasar khususnya bagi
wisata malam seperti Kuta dan Legian. Tidak anak muda telah mendapat posisi tersendiri
dipungkiri, pembuktian ini kian berpengaruh sebagai salah satu alternatif memanfaatkan
terhadap kehidupan malam anak-anak muda di waktu luang ataupun tujuan yang lebih penting.
kota ini seperti nongkrong dan hangout. Hal ini Berbagai hal mungkin saja terjadi di dalamnya
dipahami sebagai bentuk tuntutan globalisasi oleh setiap individu yang datang ikut
yang berdampak signifikan terhadap cara hidup memberikan kontribusi terhadap proses
masyarakat. Salah satunya adalah kebutuhan konsumsi ruang kafe dewasa ini. Pola konsumsi
untuk ajang sosialisasi dengan komunitasnya. ruang yang terjadi pun dapat berubah seiring
Seiring berkembangnya zaman, kehidupan mengalirnya selera, motif dan berbagai
masyarakat perkotaan pun mulai mengalami kepentingan bagi setiap pelaku di dalamnya.
perubahan gaya hidup. Salah satunya, Tidak hanya itu, perubahan ruang kafe dan gaya
manifestasi gaya hidup saat ini adalah hidup juga ikut mempengaruhi bahkan
kebiasaan nongkrong di kafe bagi kelompok mengubah pola konsumsi serta motif individu
masyarakat tertentu. dalam mengunjungi kafe. Hal ini mengingat,
Gaya hidup yang mengalir melalui tendensi gaya hidup seseorang ditentukan
secangkir kopi menjadikan kafe sebagai pilihan melalui cara memilih, menggunakan benda atau
gaya hidup yang bisa didapatkan, diisi ulang, dalam proses kunsumsinya (Tomlinson, 1990:
atau bahkan ditingkatkan (Tucker, 2011: 6-7). 20). Lebih jauh, dinamika yang terjadi pada
Berbagai pilihan yang ditawarkan ‘tempat ngopi’ pemaknaan ruang serta konsumsi berdampak
menjadikan orang memiliki beragam pilihan pula pada sektor usaha jasa dan kuliner.
gaya hidup baru yang lebih cair, dan disadari Perubahan ini pun dapat mempengaruhi
atau tidak menjadi bagian dari kehidupan orientasi konsumsi seseorang sehingga kajian
mereka sehingga kecenderungan untuk terikat ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana
guna memprediksi maupun membaca arah pola berbagai aspek. Meskipun beberapa peneliti
konsumsi masyarakat saat ini dan yang akan sebelumnya lebih memfokuskan seputar ajang
datang. promosi dan deskripsi dasar seputar eksistensi
Berpijak melalui pemaparan latar kafe dan strategi pemasarannya. Penulis
belakang di atas, penelitian ini berupaya mendapati beberapa penelitan yang relevan
mengkaji lebih jauh keterkaitan antara tentunya dengan pembahasan yang hendak
merebaknya kafe-kafe di Kota Denpasar dengan diteliti.
minat anak-anak muda mengunjunginya. Herlyana (2012) dengan penelitiannya
Penelitian ini cukup menarik dilakukan berjudul Fenomena Coffee Shop sebagai Gejala
mengingat menjamurnya kafe-kafe di tanah air Gaya Hidup Baru Kaum Muda mengatakan
tengah menjadi fenomena yang menggejala, bahwa sebagian anak muda menyukai gaya
begitu juga motif atau tujuan anak-anak muda hidup yang cenderung berorientasi pada nilai
mengunjungi kafe menjadi hal yang menarik. kebendaan dan prestise. Hal ini dilihat melalui
Beberapa pertanyaan yang mendorong munculnya coffee shop yang berawal dari tren
dilakukannya penelitian ini antara lain; apakah meminum kopi berjenis latte dan cappucino
mereka (anak muda) mengunjungi kafe sekedar berpengaruh pada gaya hidup anak muda yang
untuk berkumpul (bersosialisasi) dengan bermula dari berubahnya lokasi ngopi.
sesamanya, menikmati menu-menu yang Bagaimana perubahan desain tempat, sajian
disajikan oleh kafe, menikmati suasana dan kopi yang modern, dan tentunya menarik
fasilitas kafe, atau yang lainnya. Di sisi lain, perhatian beberapa kalangan mempengaruhi
kenyataan bahwa kafe merupakan ruang kehidupan kaum muda. Adapun kesamaan
konsumsi yang menuntut konsumen dalam penelitian ini berfokus pada seputar
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, terlebih pengalaman anak muda dan indikasi gaya hidup
bagi anak-anak muda yang belum bekerja dan yang dilakukan. Namun, penelitian ini lebih
memiliki pemasukan sendiri, menjadi menekankan pada keterkaitan minat anak-anak
pertanyaan yang cukup mengusik untuk muda mengunjungi kafe
dijawab. Dengan kata lain, mengapa anak muda Penelitian serupa dilakukan Salendra
lebih memilih kafe daripada tempat berkumpul (2014) berjudul Coffee Shop as a Media for Self-
lainnya yang lebih murah. Lebih jauh, penelitian Actualization Today’s Youth berupaya
ini difokuskan pada fenomena konsumsi kafe memperlihatkan bahwa media aktualisasi diri
oleh anak-anak muda di kota Denpasar. remaja saat ini adalah budaya nongkrong di kafe
atau kedai kopi. Bentuk aktualisasi diri remaja
2. TINJAUAN PUSTAKA yang dilakukan saat berada di kafe atau kedai
2.1 Kajian Pustaka kopi dapat berupa macam-macam hal, salah

Fenomena keberadaan kafe di satunya dengan mengupdate status atau foto di

beberapa kota besar tanah air menarik berbagai media sosial mereka sehingga akan

beberapa peneliti untuk mengkajinya melalui diketahui oleh banyak orang. Pengakuan atas
diri yang eksis pada remaja didapat melalui kopi multinasional yang hadir dengan nuansa
bentuk penyesuaian tren yang ada, seperti baru dalam menikmati secangkir kopi ala Barat
budaya nongkrong di kafe atau kedai kopi. di Indonesia. Bagaimana ritual meminum kopi di
Kesamaan dalam penelitian ini terletak pada Indonesia dipadukan dengan jenis minuman
fokus perilaku remaja (nongkrong) yang tren kopi yang disiapkan dengan metode espresso
dilakukan di kafe atau kedai kopi sebagai salah bar, seperti penambahan gula, susu, karamel,
satu alternatif pilihan media aktualisasi diri pada foam dan ada pula yang tersaji dalam keadaan
anak muda. dingin sehingga kehadiran Starbucks kemudian
Berikutnya, penelitian Dimyati (2009) memprakarsai budaya kafe di kota besar tanah
dengan judul Komunitas Kafe sebagai Gaya air, yang sekaligus menjembatani kultur
Hidup (Studi Tentang Motif Mahasiswa dan meminum kopi di Indonesia yang secara lokal
Konstruksi Kuliner Kafe di Yogyakarta) berdialog dengan budaya asing melalui
menyimpulkan bahwa gerai-gerai kafe yang ada kemunculannya tersebut. Berbeda dengan
di Yogyakarta dapat membentuk suatu Kusasi (2010), penelitian ini berupaya
komunitas kafe, yang mana di dalamnya setiap menjelaskan bagaimana lahirnya kultur kafe di
mahasiswa dapat mengekspresikan bentuk Kota Denpasar terkait dengan budaya meminum
kehidupannya, baik melalui kontruksi kafe kopi ala Starbucks berpengaruh tidaknya
sebagai suatu objek yang menarik dan diminati dengan motif dan tujuan anak-anak muda
hingga menjadi sebuah gaya hidup. Berbeda mengunjungi kafe-kafe yang ada.
dengan Dimyati (2009), penelitian ini berupaya
menggambarkan perilaku berikut penjelasan 2.2 Kafe
yang berkaitan dengan bagaimana pengguna Secara terminologis, kata café berasal
ruang kafe membawa diri mereka ke dalam dari bahasa Perancis—coffee, yang berarti kopi
ruang tersebut, sehingga berbagai peran dan (Oldenburg, 1989: 126). Di Indonesia, kata café
perilaku secara tidak langsung menjadi bagian kemudian disederhanakan kembali menjadi kafe
dari kebutuhan sosial, dan ruang kafe yang (Herlyana, 2012). Pengertian harafiahnya
mereka kunjungi secara langsung maupun tidak mengacu pada (minuman) kopi, yang kemudian
menjadi panggung sosial yang memperlihatkan di Indonesia kafe lebih dikenal sebagai tempat
berbagai peran di dalamnya yang turut menikmati kopi dengan berbagai jenis minuman
mendefinisikan bagaimana orang tersebut non-alkohol lainnya seperti soft drink berikut
menjadikan dirinya aktor dalam sebuah drama sajian makanan ringan lainnya. Senada dengan
sosial. definisi kafe yang diutarakan oleh S. Medlik
Berbeda halnya Kusasi (2010: 132-136) (1996: 30) yaitu “Café is establishment providing
dalam bukunya berjudul Globucksisasi: Meracik food and refreshment for consumption and the
Globalisasi melalui Secangkir Kopi yang melihat premises to general public”. Lebih lanjut, Hornby
dari segi tinjauan budaya global. Dalam hal ini, (2005) mengartikan café (kafe) dalam dua
Starbucks adalah selaku perusahaan warung terminologi: “a place where you can buy drink
and simple meals”; yakni tempat di mana kita warung kopi pun menjadi tempat nongkrong
bisa membeli minuman dan makanan kecil, dan yang murah lagi merakyat.
“small shop (store that sells sweets, food, Budaya nongkrong dapat dipahami
newspaper, etc) usually stay open later than tersendiri bagi setiap pelakunya. Ada yang
other shop or store”; di mana kafe lebih menyebutkan nongkrong sebagai media
mengacu pada kedai atau warung yang menjual penghibur diri dan berekspresi, ada pula
tidak hanya minuman dan makanan tetapi juga sebagai sarana bersosialisasi. Meskipun,
koran, buku dan buka hingga larut malam. anggapan negatif muncul berkenaan dengan
Berdasarkan pengertian tersebut di atas kafe aktivitas tersebut seperti tidak produktifnya
memiliki ciri seperti tempat yang nyaman untuk waktu, tanpa tujuan dan maksud yang jelas.
menikmati aneka makanan dan minuman berikut Namun, budaya nongkrong menjadi aktivitas
suasana nyaman untuk berkumpul. yang dinamis dan memiliki makna serta pesan
tersendiri bagi para pelakunya.
2.3 Budaya Nongkrong
Budaya nongkrong merupakan bentuk 2.4 Anak Muda
ragam budaya yang ada di Indonesia. Pada umumnya, masa remaja atau diri
Keberagaman bentuk budaya tersebut dilihat anak muda merupakan masa-masa yang paling
sebagai sikap, cara hidup, dan nilai-nilai dalam menyenangkan. Fase perkembangan pada diri
suatu kelompok tertentu. Ini dipahami pula anak muda menjadi masa yang rentan dan kritis.
sebagai pola aktivitas tertentu yang sudah Pada tahap ini, diri remaja atau anak muda
menjadi kebiasaan, yaitu nongkrong. Meskipun mulai mencari jati diri yang akan menentukan
kehadirannya dipandang sebelah mata, budaya kehidupannya dimasa dewasa nanti. Hal ini
nongkrong tetap eksis menjadi bentuk ekspresi disebabkan karena masa muda merupakan
keberagaman masyarakat di kala mengisi masa-masa penyempurnaan dari tahap-tahap
kekosongan waktu seperti berkumpul, perkembangan sebelumnya. Secara umum
berbincang, dan bahkan sambil menikmati definisi anak muda atau remaja untuk
hidangan tertentu. Di satu sisi, tendensi budaya masyarakat Indonesia memiliki batasan usia
nongkrong yang terlihat seperti budaya pemalas antara 11 tahun hingga 24 tahun dan belum
dan tidak berguna, memiliki potensi besar untuk menikah (Sarwono, 2013: 11-14).
mengurangi stres. Lebih lanjut, budaya Umumnya, para psikolog selama ini
nongkrong juga berperan dalam meningkatkan memberi label pada diri anak muda sebagai
kreativitas dalam berpikir dan berkarya. masa storm dan stress, di mana pada masa
Kreativitas ini kemudian dituangkan dalam tersebut anak muda mulai menjalani proses
berbisnis dan usaha. Misalkan saja, banyaknya evolusi menuju kedewasaan. Jika dikaitkan
kafe atau kedai kopi sekarang menjadi wadah dalam tahapan sosialisasi, usia muda (11
dalam memfasilitasi budaya nongkrong anak- sampai 24 tahun) terkategori dalam tahap game
anak muda. Tidak hanya itu, tersebarnya stage (siap bertindak) di mana individu mulai
mampu mengenali perannya secara pribadi dan Konsumsi tersebut, menyandarkan pada
bersiap menuju tahap generalized stage dinamika konstruksi tanda atau image serta
(kedewasaan) yang mulai menjalankan interpretasi akan tanda tersebut. Pada fetisisme
perannya serta menempatkan diri di komoditas (pemuja) pun, kebutuhan individu
masyarakat. banyak didominasi oleh objek kenikmatan
(kepuasan semu) yang diperoleh dari komoditas

2.5 Landasan Teori tersebut (Ripstein, 1987). Dalam konteks ini,

Dalam melakukan studi serta melihat maraknya budaya nongkrong anak

pembahasan tentang fenomena budaya muda di kafe, tak pelak memunculkan asumsi

nongkrong anak muda di kafe, penulis terhadap fenomena konsumerisme pada

menggunakan teori yang dikemukakan dimensi spasial. Mereka para pengguna kafe

Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, (konsumen) menyandarkan perilaku terhadap

namun penelitian ini lebih difokuskan pada apa yang mereka pakai, kunjungi, dan gunakan.

dimensi spasial konsumerisme sebagai telaah Berfoto, update status di berbagai media sosial

dari beberapa ranah konsumsi. Lebih jauh, seolah pembuktian diri yang ‘eksis’ terhadap

fenomena tersebut dipetakan kembali sesuai masyarakat sekitar maupun dunia maya

ranah konsumsi yang menjadi pembentuk (facebook, instagram, path, dan sebagainya).

konsumerisme sebagai cara hidup. Kebutuhan yang demikian dikaburkan oleh

Bagi Baudrillard, kultur modern saat ini suatu kepuasan semu yang menjadikannya

memasuki era konsumerisme atau konsumsi sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu, di mana

yang bersumber dan dihasilkan melalui dunia kebutuhan tersebut hadir dalam konsumerisme

Barat (Ashcroft et al., 2000: 296). Tahun 1970- yang memiliki wujud berupa nilai-nilai yang

an, Baudrillard memperlihatkan bahwa kita didapat dalam hubungannya dengan relasi

(masyarakat) tidak lagi hidup berdasarkan pada sosial. Semisal, dalam hal ini seperti status

pertukaran barang dengan nilai guna, melainkan sosial, prestise, maupun citra yang melekat

pada komoditas sebagai nilai tanda dan simbol pada sebuah komoditas. Artinya, seluruh

yang penggunaannya bersifat sewenang- lanskap kontemporer ditentukan melalui

wenang. Menurutnya, dalam masyarakat kegiatan konsumsi yang bermakna bagi dirinya

konsumtif, orang-orang mudah memperoleh dan lingkungan sekitar.

kenikmatan atau kesenangan dengan cara Titik terpenting dalam studi

membeli atau mengonsumsi sistem tanda yang konsumerisme adalah bagaimana konsumsi

dimiliki bersama (a share system of signs) tersebut diinterpretasikan dan dikonstruksi

(Putranto, 2005: 242). melalui pijakan pengalaman sehari-hari. Melihat

Dalam hal ini, mengikuti kajian bagaimana budaya nongkrong di kafe sebagai

Baudrillard (dalam Tomlinson, 1990: 14), efek gaya hidup menggambarkan fenomena

nyata dari konsumsi kontemporer terlihat pada konsumsi ruang akibat meningkatnya

“The passage from use value to sign value”. fleksibilitas bentuk produksi yang bergantung
pada permintaan konsumen. Dalam konteks ini, dalam individu yang sama; budaya lokal dan
bagaimana aktualisasi diri pada anak-anak global.
muda terlihat melalui aktivitas konsumsi di Jenis data yang digunakan dalam
dalam kafe melalui bentuk penyesuaian seperti penelitian ini menggunakan data kualitatif dalam
meng-update status, berfoto, dan bahkan check bentuk narasi melalui informasi ataupun
in place di berbagai media sosial. Hal ini, tak keterangan yang diperoleh secara langsung dari
ubahnya konsumen kian selektif dengan apa anak-anak muda (konsumen aktif) yang
yang mereka konsumsi hanya bersifat berdomisili di Kota Denpasar, baik itu laki-laki
permukaan saja, bukan lagi pada substansinya. ataupun perempuan. Berikut data sekunder,
Ini menunjukkan bagaimana para konsumen data-data yang sifatnya didapat melalui pihak
berada di bawah penindasan permainan lain. Dalam artian, sebagai penunjang yang
komoditas sebagai tanda. Alhasil, lebih jauh apa diperoleh melalui analisis pustaka berupa
yang terpenting bagi konsumen adalah nilai penelitina terdahulu yang berkaitan dengan
simbolis dari barang-barang tersebut objek penelitian yang mendukung data
(Soedjatmiko, 2008: 44). lapangan.
Analisis data yang digunakan penelitian ini
3. Metode Penelitian adalah analisis deskriptif kualitatif. Lebih lanjut,

Penelitian ini menggunakan metode proses analisis data dilakukan melalui tahapan
reduksi data, penyajian data, hingga mencapai
penelitian kualitatif. Lokasi dari penelitian ini
tahap simpulan atau verifikasi.
terletak Di Kota Denpasar dengan memilih 3
jenis kafe yang dilihat berdasarkan
4. Hasil dan Pembahasan
karakteristiknya masing-masing. Dipilihnya kota
Denpasar sebagai lokasi penelitian karena 4.1 Aksesibilitas Wilayah
belum adanya peneliti yang mengkaji Melihat perkembangan kota, di satu sisi

keterkaitan fenomena budaya nongkrong di kafe telah banyak memberikan berbagai perubahan

dengan anak-anak muda di Kota Denpasar. Di pada ruang-ruang perkotaan. Ruang-ruang

lain pihak, secara teoritis, Denpasar sebagai perkotaan dituntut untuk bisa mewadahi

kota berbudaya sesuai dengan visinya, pun berbagai aktivitas manusia yang terus

sebagai kotamadya Provinsi Bali dengan berkembang dan semakin kompleks dari waktu

berlandaskan budaya Bali merupakan tempat ke waktu. Hal ini mengindikasikan pentingnya

bertemunya budaya global dan budaya lokal. penciptaan aktivitas kota yang simultan dan

Dalam hal ini, globalisasi menciptakan adaptasi sinergis baik dari sisi waktu ataupun

dan akomodasi budaya melalui proses pemanfaatan ruang agar secara optimal

glokalisasi. Munculnya globalisasi dianggap mewadahi berbagai aktivitas manusia.

mengganggu pembentukan identitas, atau Hal ini tidak terlepas dari perkembangan

sebaliknya justru menghadirkan identitas pola perilaku masyarakat di Kota Denpasar.

budaya ganda, yakni masuknya dua identitas Sebagaian besar masyarakat melakukan
aktivitas pada siang hari untuk bekerja atau pun Keberhasilan suatu usaha kafe tidak
mengenyam pendidikan dan memilih untuk hanya terletak dari ramainya pengunjung yang
beristirahat di malam hari. Namun, aktivitas datang, tetapi konsep yang ditawarkan masing-
tersebut tidak selalu dilakukan dengan masing pengelola kafe menjadi titik tolak
menghabiskan waktu di rumah saja, melainkan kesuksesan usahanya guna menciptakan
juga beraktivitas di luar rumah seperti diferensiasi unik serta positioning yang jelas
bersosialisasi dan menikmati hiburan (leisure sehingga para konsumen mampu menbedakan
activity). Ini lah penyebab berubahnya ruang- dengan para pesaingnya. Keberadaan kafe saat
ruang perkotaan yang berfungsi untuk ini juga beradu strategi penjualan dengan cara
mewadahi aktivitas masyarakatnya pada malam menyediakan fasilitas sesuai dengan gaya hidup
hari. Berbagai perkembangan terhitung sangat dan kebutuhan masyarakatnya, pun berbagai
pesat, begitupun dengan berbagai jenis aktivitas macam konsep yang menarik salah satunya
mulai dari berdirnya kafe, coffee shop, ataupun bertemakan garden. The Night Market Café and
fasilitas hiburan lainnya yang beragam dan Co Working Space merupakan satu-satunya
sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. kafe yang mengusung konsep piknik di tengah
Kehadiran kafe menjadi salah satu kota. Pemilihan konsep garden menjadi strategi
pusat pengembangan ekonomi kreatif dengan yang unik dan menarik serta berbeda dari kafe-
memanfaatkan peluang yang ada. Munculnya kafe yang ada.
kafe, coffee shop, ataupun sejenisnya tersebut Berbeda halnya dengan salah satu kafe
dilihat berdasarkan berubahnya kawasan hunian yang berada di seputaran Jl Merdeka Renon,
menjadi komersil seiring dengan perkembangan yakni Mangsi Coffee yang berdiri pada tahun
kegiatan masyarakat kota seperti kebutuhan 2013. Berdirinya kafe ini berawal dari kisah
akan tempat bersosialisasi dan aktualisasi gaya owner bernama Windu Segara Senet yang
hidup masyarakatnya. Di satu sisi, pergeseran memiliki sebuah pabrik kopi, dan berangkat dari
gaya hidup masyarakat yang menjadikan kecintaanya bersama sang ayah terhadap kopi
kegiatan hiburan sebagai bagian dari kebutuhan Bali. Melalui ciri khasnya, kopi signature yakni
hidup, membuat para pelaku bisnis food kopi yang dicampur rempah-rempah menjadi
services melirik usaha kafe. Di mana, kehadiran titik tolok keberhasilan usahanya yang berbeda
kafe dinilai paling sesuai dengan gaya hidup dari kafe-kafe pada umumnya. Pada akhirnya,
masyarakat perkotaan saat ini. Suasana ide dari sebuah kopi signature menjadi identitas
nyaman, pilihan menu yang berkualitas dan bagi Mangsi Coffee itu sendiri
berbagai fasilitas yang menarik tentu merupakan Sementara itu, 9/11 Café and Concept
alasan bagi masyarakat untuk memilih kafe Store yang beralama di Jl Teuku Umar Barat
tersebut. menyuguhkan konsep all in one yang menarik
untuk tempat tongkrongan, dan meeting point
4.2 Karakteristik Kafe sembari menikmati hidangan. 9/11 Café and
Konsep tematik Concept Store memberikan nuansa cozy dan
homey berikut penataan lampu yang sangat Sebagai misal, kafe sebagai tempat
menarik di malam hari dengan bangunan dan yang mengutamakan kenyamanan bagi
interior-nya yang didominasi oleh kayu. Selain para pengunjungnya, terlihat dari berbagai
itu, terdapat pula barber shop di lantai atasnya
desain interior yang elegan, suasana yang
dengan penambahan nuansa distro (distribution
romantis dan nyaman (cozy), berikut
store) yang sejalan dengan nama kafe itu sendiri
penambahan fasilitas penunjang seperti Wi-
cafe dan store. Terdapat pula berbagai jenis
Fi, smooking room dan juga pendingin
varian menu yang ditawarkan, mulai indonesian
food dan western serta sajian minuman ruangan. Sebuah tempat yang simpel bagi
bernuansa kopi. kehidupan modern serta tempat nongkrong
Umumnya, eksistensi kafe di berbagai yang memiliki satu event-event tertentu
sudut Kota Denpasar tidak hanya ditentukan yang terjadwal. Jenis konsep ruangan yang
melalui suatu produk ataupun ‘kekhasan’ yang ditawarkan pun berupa lounge café, dengan
dimiliki, melainkan pula tingkat kenyamanan penempatam sofa-sofa empuk beserta meja
serta nuansa yang di bangun pengelola kafe
kopi di dalam ruangan ataupun berbagai
dapat secara langsung diperoleh setiap
konsep meja dan kursi taman untuk bagian
pengunjung yang datang. Bagaimana setiap
outdoornya.
kafe mampu mengkonstruksi desain ruangan
Begitupula, hadirnya kafe juga
dengan komposisi yang berbeda satu sama lain
untuk memikat kenyamanan para pelangganya. memberikan nuansa kemewahan dalam
menikmati secangkir kopi. Beragam jenis
Konstruksi Tata Ruang dan Sajian Menu minuman lain disediakan dengan cara yang
yang Ditawarkan praktis dalam kemasan yang sangat
Pemilihan tempat pendirian kafe di memikat. Ini juga menandakan bahwa
sudut-sudut kota, mall ataupun pusat operasionalisasi nilai tanda yang dikelola
perbelanjaan, serta tempat hiburan dan lain pihak kafe berhasil ditanamkan melalui
sebagainya di Kota Denpasar bukan lah segelas kopi terhadap konsumennya
tanpa alasan. Bidikan utama pengelola kafe melalui tampilan kemasan yang ditunjang
di tempat-tempat tersebut adalah kaum dengan cita rasa produknya.
muda dan para eksekutif, sebab segala Peran pengelola menjadikan kafe

sesuatu yang menimbulkan kesan modern bagian dari gaya hidup tak luput dari efek
globalisasi yang menyebabkan gaya hidup barat
dan membawa prestise cenderung diminati.
(westernisasi) masuk kedalam budaya kita
Terlebih, desain ruangan dan beberapa
karena gaya western yang melekat di kafenya
fasilitas di kafe tersebut terbilang cukup
menjadi daya tarik tersendiri bagi para
mempengaruhi terhadap pembentukan
konsumen. Melalui banyaknya orang-orang
gaya hidup seseorang. yang membuka bisnis usaha kafe tidak lagi
menjual kopi itu sendiri melainkan lebih pada sebagai simbol dan tanda yang signifikansinya
gaya hidupnya, cukup dengan sajian kopi atau bersifat sewenang-wenang (arbitrer) dan
minuman lain yang nikmat, tempat yang nyaman tergantung kesepakatan. Sebagai misal,
dan bahkan dengan berbagai fasilitas yang anggapan bahwa kafe merupakan tempat
memanjakan para konsumen untuk dapat nongkrong yang elite, prestise, berikut
berlama-lama di tempat tersebut. Sebab, segala merepresentasikan kelas atas hanyalah
sesuatu yang menimbulkan kesan modern dan merupakan simbol yang ditanamkan melalui
prestise cenderung diminati anak muda, dan pihak kafe saja. Terlebih, konsep ruang kafe
umumnya masyarakat secara luas. tersebut juga melahirkan pemaknaan yang
sifatnya merubah. Bagaimana nuansa yang ada
4.3 Persepsi Anak Muda terhadap pada kafe saat ini sarat kita maknai sebagai
Keberadaan Kafe tempat yang memberikan rasa nyaman, mewah,

Keberadaan kafe-kafe diberbagai sudut serta prestisius, padahal sebetulnya perasaan

Kota Denpasar telah mempengaruhi sikap dan nyaman berikut nuansa mewah dan prestise

perilaku anak-anak muda untuk singgah, belum tentu dapat kita rasakan jika sebelumnya

mampir, bahkan nongkrong berlama-lama tidak pernah merasa mengunjungi terlebih

sembari menghabiskan waktu bersama teman merasakannya, akan tetapi, konsep

ataupun berdua dengan pacar. Tidak hanya itu, kenyamanan ruang kafe ‘mendahuluinya’

keberadaannya pun tak jarang sebagai ajang melalui berbagai iklan, media, terlebih wacana

eksistensi diri anak-anak muda melalui berbagai yang sengaja dimunculkan untuk mengusik

akses yang ditampilkannya diberbagai media serta menggoda sehingga membuat orang

sosial seperi berfoto, update status, serta check bertanya-tanya dan ingin mencobanya. Seolah,

in place sebagai momen yang ditujukan pada keberadaan kafe dengan nilai kemewahannya

lingkungan sosialnya secara virtual. Secara sengaja dikeluarkan di permukaan bukan lagi di

tidak langsung peran media sosial semakin dalam.

penting dan kuat pengaruhnya dalam kehidupan


4.4 Penyebab Anak Muda Nongkrong
bermasyarakat. Khususnya, kehidupan ekonomi
di Kafe
dan sosial lebih berputar pada konsumsi simbol-
Faktor Kenyamanan
simbol begitupun dengan gaya hidup yang
Saat ini keberadaan kafe bukan lagi
menekankan pada citra (image) dan bukan lagi
sekedar pemuas dahaga atau rasa lapar.
pada nilai guna atau kemanfaatn.
Melainkan bagi sebagian anak muda, kafe
Dalam kacamata ini, Baudrillard
merupakan sarana untuk membangun
memandang keberadaan kafe-kafe yang
kehidupan sosialnya, baik itu nongkrong atau
mempengaruhi sikap dan perilaku anak muda
yang biasa disebut meet up, bergaul ataupun
(nongkrong) tidak lagi berdasarkan pada nilai
sekedar mengaktualisasikan gaya hidupnya.
guna sebagaimana mestinya, melainkan
Terlebih, gaya hidup nongkrong di kafe dapat
kehadiran kafe merupakan komoditas utama
menaikkan prestise mereka. Melalui berbagai
alasan, mengapa orang suka datang dan Tindakan meng-update status ketika
nongkrong ke kafe. Namun, satu hal yang pasti, berada di kafe saat ini sudah banyak dan sering
mereka betah berlama-lama karena konsep dilakukan oleh anak muda masa kini sehingga
suasana yang cozy, mengandung keakraban, kita menganggapnya tindakan yang wajar,
terlebih jenis camilan ringan atau minuman yang namun jika diteliti lebih mendalam itu adalah
disajikan lebih bervariatif. Tentunya, ini jika kafe sebuah pengungkapan diri di mana beberapa
yang dipilih sesuai dengan harapan para kelompok anak muda dalam gambar tersebut
konsumennya. ingin dilihat dan diapresiasi oleh orang lain.
Selain foto diri dan bersama teman yang
Media Aktualisasi Diri
diunggah ke media sosial, juga banyak anak
Sebagai anak muda, mengikuti tren
muda beraktualisasi diri dengan mengunggah
yang ada merupakan suatu bentuk aktualisasi
foto produk dari sebuah kafe yang dibeli dengan
diri yang dilakukan untuk membentuk konsep
menampilkan sebuah brand.
diri mereka terhadap orang lain. Selain faktor
Perilaku mengunggah poto makanan
kenyaman dan pengaruhnya terhadap gaya
atau minuman dengan menampilkan brand kafe
hidup, bentuk aktualisasi diri juga merupakan
yang cukup terkenal banyak dilakukan oleh anak
bagian dari satu kebutuhan yang wajib dipenuhi.
muda saat ini, dengan mengunggah poto brand
Salahnya satunya adalah kebiasan anak muda
tersebut mereka seperti ingin memberitahukan
untuk nongkrong di kafe yang erat kaitannya
kepada orang banyak bahwa mereka sedang
dengan bagian dari kebutuhan aktualisasi diri
berada di sebuah tren yang sedang happening
mereka.
yaitu nongkrong di kafe. Lebih lanjut,
Dapat dilihat, bagi sebagian anak muda
keragaman bentuk dan fungsi kafe bagi anak
kebutuhan nongkrong atau pergi ke kafe
muda tidak hanya dilihat berdasarkan jenis
berbeda dengan kebutuhan orang-orang
makanan atau minuman yang ditawarkan, tetapi
dewasa yang umumnya hanya untuk
individu yang ada beserta kegiatan yang terjadi
mengonsumsi kopi ataupun hanya sebatas
di dalamnya ikut mempengaruhi proses
melepas penat, atau bertemu rekan bisnisnya.
konsumsi dewasa ini.
Untuk anak muda saat ini, pergi dan nongkrong
Pemahaman area konsumsi (sites of
di kafe merupakan sebuah budaya populer
consumption) sebagai pembentuk
tersendiri di mana ketika berada di dalam kafe
konsumerisme cara hidup, dalam hal ini budaya
tersebut selain membeli makan dan minuman
nongkrong anak muda di kafe, tak pelak
tetapi juga membeli nilai-nilai prestise yang
memunculkan dimensi spasial konsumerisme
ditimbulkan dari kepopuleran budaya ngafe
sebagai gaya hidup. Sebagai area konsumsi,
tersebut sehingga tak jarang anak muda masa
kafe sejatinya yang selama ini identik dengan
kini nongkrong di kafe hanya untuk memperoleh
tempat meminum kopi, bercengkerama sembari
status sosial yang dianggap tinggi oleh orang
ditemani minuman atau hidangan ringan pada
lain.
perkembangannya tidak hanya sebatas pada
kegiatan itu saja. Persoalan minum kopi, pun 5. Kesimpulan
minuman sejenis lainnya tidak hanya sebatas Berikut simpulan yang dapat penulis
untuk melepaskan dahaga, melainkan terjadinya rangkum mengenai gaya hidup nongkrong anak
berbagai motif dan dinamika yang dimiliki muda, dan menjawab rumusan masalah yang
seseorang ketika mengunjungi sebuah kafe ikut sudah di tetapkan sebelumnya.
mempengaruhi ragam perilaku konsumen kafe 1) Persepsi anak-anak muda terhadap
terhadap ruang kafe itu sendiri. Oleh karenanya, merebaknya kafe kerap diasosiasikan
kafe saat ini sarat dimaknai sebagai ruang yang menjadi bagian dari gaya hidup.
tidak hanya sebatas pada penyediaan kopi Fenomena merebaknya kafe diberbagai
sebagai simbol keberadaan sebuah ruang, sudut Kota Denpasar merupakan
namun kafe telah menjadi satu penanda jawaban atas keberadaan serta
momentum di mana kebudayaan baru mulai eksistensi anak muda yang
terbentuk (Palupi, 2016:134). menjadikannya sarana pelepasan
Pada akhirnya, perilaku nongkrong anak hasrat, selera, serta ajang pembentukan
muda di kafe menjadi faktor pendukung gaya budaya serta gaya hidupnya.
hidup seseorang dalam kaitannya dengan Keberadaannya pun menjadi sarana
perilaku mengonsumsi ruang kafe. baru konsumsi bagi anak muda yang
Terbentuknya iklim nyaman, suasana sekaligus sebagai bentuk distinction
pendukung seperti kesan yang (jarak) antara kelas dominan dengan
merepresentasikan jiwa muda, penambahan kelas lainnya.
desain bar, cenderung atraktif, tersedianya 2) Baik secara fungsional kafe tidak hanya
fasilitas Wi-Fi, dan juga berpendingin ruangan sebagai tempat menikmati kopi, tempat
menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku bertemu muka atau nongkrong belaka,
anak-anak muda untuk menjadikan kafe sebagai melainkan kafe saat ini sarat di maknai
tempat nongkrong favoritnya. Kehadiran kesan telah mengalami pergeseran nilai guna
yang modern, begitupun tata ruang, pemilihan (use values) yang mengarah pada nilai
warna yang tepat, aksesoris pendukung dengan tanda (sign values). Bukan lagi terletak
berbagai konsep (vintage) menambah kesan pada kebutuhan fungsional masing-
homey yang memaksa setiap pengunjung betah masing individu di dalamnya, melainkan
untuk berlama-lama di dalam ruang kafe berbagai motif dan kepentingan yang
tersebut. Sejatinya, nuansa homey sengaja sifatnya lebih personal menjadi bagian
diciptakan agar pengunjung yang datang dari proses konsumsi ruang kafe
merasakan seperti berada di rumah sendiri tersebut. Pada akhirnya, pola konsumsi
dengan pengalaman dan kebiasaan yang juga mengalami pergeseran seiring
berbeda. pesatnya beragam eksterioritas yang
saat ini memenuhi ruang dan tempat
kafe sebagai kemasan yang unik,
modern, terlebih mencitrakan setiap Batubara, Jose RL. (2010). Adolescent
individu yang ada di dalamnya. Development (Perkembangan
Remaja). Jurnal Sari Pediatri, Vol 12
Daftar Pustaka No 1, Juni 2010

Buku Herlyana, Elly. (2012). Fenomena Coffee Shop

Hornby, A S. (2005). Oxford Advance Learner’s Sebagai Gejala Gaya Hidup Baru

Dictionary of Current English 7 th Kaum Muda. Jurnal THAQÃFIYYÃT,

Edition. London: Oxford University Vol. 13, No. 1 Juni 2012

Press Salendra. (2014). Coffee Shop as a Media for

Kusasi, Rahayu. (2010). Globucksisasi: Meracik Self-Actualization Today’s Youth.

Globalisasi melalui Secangkir Kopi. Jurnal Messenger, Volume VI, Nomor

Depok: Kepik Ungu 2, Juli 2014

Medlik, S. (1996). Dictionary of Travel, Tourism Skripsi dan Tesis


and Hopitality. UK: Butterworth- Dimyati, Nur Suffi. Komunitas Kafe Sebagai
Heinemann Gaya Hidup (Studi Tentang Motif
Oldenburg, Ray. (1989). The Great Good Place: Mahasiswa dan Kontruksi Kuliner
Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Kafe di Yogyakarta). Skripsi.
Bars, Hair Salons, and other Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN
Hangouts at The Heart of a Sunan Kalijaga
Community. London: Da Capo Press Palupi, Nining. (2016). “Dekonstruksi Coffee
Putranto, H. (2005). ‘Analisis Budaya dari Shop”. Tesis. Denpasar: Program
Pascamodernisme dan Pascasarjana Universitas Udayana
Pascamodernitas’ dalam Sutrisno, M.
& Putranto, H. (eds). Teori-Teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius,
229-256
Tomlinson, Alan (ed). (1990). Consumption,
Identity, and Style: Marketing,
meanings, and the packaging of
pleasure. London & New York:
Routledge
Tucker, Catherine M. (2011). Coffee Culture:
Local Experiences, Global
Connections. New York: Routledge
Jurnal

You might also like