Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 205

Daftar Isi

Ziarah dan Makam


Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata
Pilgrimage and Tomb
from Ritual to Religious Tourism Industry — 1
Ala’i Nadjib

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan


Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat
Nahdlatul Wathan and Social-Religious Development
in Province of West Nusa Tenggara — 21
Fahrurrozi dan Lalu Muhammad Iqbal

Peranan FKDI - FSPPI dalam Pemberdayaan Muslim di


Tengah Kemajemukan Umat (Revitalisasi Bimbingan &
Penyuluhan Agama di Desa Karang Manik Kecamatan
Belitang II Kabupaten Oku Timur Prov. Sumatera Selatan)
The Role of FKDI -FSPPI in Empowering Muslim in the Midst of
Ummah Pluralism (Revitalization Guidance & Religious Counseling
in the Karang Manik Village Subdistrict Belitang II East OKU
Regency Prov. South Sumatra) — 53
Muhammad Kastawi

Pergulatan NU dan Negara:


Demokrasi Deliberatif Ala Warga NU (Studi
pengorganisasian Lakpesdam NU di Jepara dan Wonosobo)
The Struggle of Nahdlatul Ulama and The State:
Deliberative Democracy in the Style of NU
(NU - Lakpesdam Organizing Study in Jepara and Wonosobo)
— 79
Imran Sulistiyono
Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-


Quran
The Concept of Gender in Human Ecology in the Perspective of
Qur’an — 113
Nur Arfiyah Febriani

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan


Muhammad Rashîd Ridhâ Dalam Tafsîr Al-Manâr
Tracking the Roots of Neo-Sufism Muhammad ‘Abduh and
Muhammad Rashîd Ridhâ in Tafsîr al-Manâr — 157
Usep Taufik Hidayat
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _1

Pilgrimage and Tomb


from Ritual to Religious Tourism Industry

Ziarah dan Makam


dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata

Ala’i Nadjib
Sekolah Tinggi NU (STAINU) Jakarta
email: alainajib@yahoo.com

Abstract : Pilgrimage has been a tradition since ancient. When there is a death which is separation

from life, because of their different nature, pilgrimage is the media to visit the deceased.
During its development, the pilgrimage has run into various modifications, from a
purely religious rituals and human needs into industry or commodification of religion
festive. This paper is trying to look at the factors of social changes what makes different
shapes pilgrimage past and present. There are several points reviewed in this paper:
pilgrimage in the dimension of Islam, pilgrimage in Culture Change and Shifting
caused by factors; struggle for influence, commercialization tomb figures and religious
tourism.

Abstraksi : Ziarah telah menjadi tradisi umat manusia sejak dulu kala.Ketika ada kematian yang

merupakan perpisahan dengan yang hidup, karena mereka berbeda alam, ziarah adalah
media untuk mengunjungi yang sudah wafat.Dalam perkembangannya, ziarah telah
mengalami berbagai modifikasi, dari sebuah ritual murni keagamaan dan kebutuhan
manusia menjadi industri atau komidifikasi agama yang begitu meriah. Tulisan ini
hendak melihat faktor-faktor perubahan-perubahan sosial apa yang membuat ziarah
2_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

berbeda bentuknya dulu dan kini. Ada beberapa poin yang diulas dalam makalah
ini: ziarah dalam dimensi Islam, Ziarah dalam perubahan dan pergeseran budaya
disebabkan oleh faktor-faktor: perebutan pengaruh, komersialisasi makam dan tokoh
dan wisata religi.
Keywords: pilgrimage, tomb, social change, commercialization, religious tourism

A. Pendahuluan

Ziarah sebagai tradisi berkunjung kepada orang yang meninggal


sudah lama berlangsung dan terdapat tidak hanya dalam ajaran Islam.
Bagi umat Islam berziarah kepada orang yang sudah meninggal sudah
ada pada periode kenabian Muhammad. Bahkan jika ziarah dimaknai
sebagai mengunjungi tempat-tempat bersejarah, maka ka’bah adalah
center ziarah sepanjang masa sejak ia dibangun pada masa Ibrahim
hingga kini. Perebutan atau peperangan antara kaum penyembah
berhala dan pemeluk agama sebelum Muhammad Saw diutus menjadi
rasul diantaranya adalah mengembalikan fungsi ka’bah sebagaimana
mestinya, tempat suci bagi kaum monotheism.

Adalah Raja Abrahah yang secara terang-terangan melakukan


agresi ke Mekah. Sang pemimpin Sanaa (sekarang ibukota Yaman)
ini mempunyai pusat ziarah di sana. Namun Sanaa tidak lah seramai
Ka’bah, ia “sepi” di tengah kekuasaan Abrahah. Itulah salah satu alasan
yang membawa Abrahah memimpin pasukannya untuk menghancurkan
ka’bah agar Sanaa tak mempunyai saingan lagi1. Malang baginya, justru
pada saat bersamaan orang yang akan membersihkan dan mengembalikan
kesucian Ka’bah dilahirkan pada hari itu, Muhammad. Allah hendak
menjaga dan melindungi rasulnya dari usaha keji Abarahah, hingga ia
pun kalah. Peristiwa kehancuran pasukan Abrahah yang dikalahkan
pasukan burung ababil itu disebut tahun gajah dan diabadikan dalam
surah al-fiil.
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _3

Sementara itu, dalam perjalanan panjang agama-agama dan


kepercayaan yang berdiaspora melintasi berbagai wilayah, kepulauan,
kebudayaan bahkan geografis batas negara, ziarah telah bercampur
tujuan, fungsi dan makna yang dimaksudkan. Misalnya para pemeluk
agama Kristen Koptik di Mesir juga berziarah ke makam sayidatina
Nafisah binti Hasan (cucu Nabi Saw.) Bahkan di dalam Jakarta kita
menyaksikan makam seorang Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang
dikenal dengan makam Luar Batang, di samping sang penyiar Islam, ada
makam orang kepercayaan beliau yang juga berdakwah menyebarkan
Islam berasal dari kalangan Cina2. Makam itu sering diziarahi saudara-
saudara kita dari etnis Tionghoa yang notabene non muslim.3 Mungkin
seandainya Mekah dan Madinah terbuka untuk non muslim, makam
nabi dan sahabat tidak saja diziarahi tapi juga menjadi pusat penelitian
atau obyek arkeologi. Tempat suci memang mengundang magis dan
menimbulkan perhatian yang sangat.

Indonesia yang merupakan perlintasansejarah kepercayaan dan agama


agama besar tak luput dari tradisi ziarah dengan berbagai ragamnya.
Ziarah kepada para penyebar Islam yang disebut wali sembilan, wali,
habaib dan para ulama sudah masyhur dan menjadi agenda hidup
umat Islam. Tokoh atau magnet penarik ziarah juga terus bertambah
sepanjang masa. Mereka memang secara tak langsung sudah menjadi
magnet sejak hidup. Contoh yang fenomenal hingga hari ini adalah
almarhum Gus Dur yang wafatnya baru saja memasuki tahun ke-empat
kemarin. Makamnya tak pernah sepi dalam suasana apapun, mungkin
malah lebih ramai kalau ada hajat politik4.

Tulisan ini akan membahas tentang ziarah. Ziarah yang dimaksud


disini adalah berkunjung kepada orang yang sudah wafat. Lebih
dari sekedar mengunjungi kerabat yang meninggal. Namun ziarah
kepada para tokoh, ulama, baik yang sudah lama meninggal atau baru.
Namun membicarakan ziarah tak lengkap kalau tidak membicarakan
makam.Karenanya keduanya dua hal yang saling melengkapi dan tak
terpisahkan. Contoh-contoh makam atau pusat menjadi center peziarah
4_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dalam makalah ini akan diambil dari tokoh Indonesiabaik yang sudah
lama meninggal dan mengundang kontroversial seperti makam Mbah
Priok atau pun yang belum lama, seperti Gus Dur, Abdurrahman Wahid.

Ziarah memainkan dua tataran penting: kunjungan ke makam-


makam di satu pihak dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual
di lain pihak5. Karena ziarah tidak hanya terfokus pada satu tempat,
maka ada banyak aspek yang terkait. Aspek-aspek itu telah membentuk
mata rantai yang diam-diam telah saling membutuhkan, misalnya dalam
bentuk jasa-jasa barang; akomodasi, transportasi, konsumsi dll. Ziarah
ke Tanah Suci, misalnya, memerlukanorganizer, guide, pembimbing,
pendoa, agar bisa menuntun ke jalan spritual yang lebih baik. Jika
permintaan ziarah semakin tinggi, maka akan semakin banyak pula jasa-
jasa itu dibutuhkan. Ritual agama ini pun meningkat tajam pada musim-
musim tertentu. Menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri adalah
contoh pergerakan massive para peziarah. Di luar itu ziarah mungkin
bersifat personal dengan yang sudah dikubur, misalnya kunjungan-
kunjungan menjelang hajat politik maupun berhubungan dengan haul
atau ulang tahun kematian mereka yang wafat.

Ziarah dalam tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan menangkap


makna agama dan fenomena sosial yang terjadi, makna dan perubahan
yang terjadi.

B. Ziarah dalam Dimensi Islam


Islam memandang positif ziarah, sepanjang ziarah itu dilaksanakan
dengan tidak merusak akidah Islam yang prinsip, misalnya berbuat
syirik dengan meminta-minta kepada orang yang diziarah. Meminta
kepada yang sudah meninggal diperbolehkan, namun dengan makna
tawassul, tentuada cara melakukannya, agar sesuai dengan syariat
agama. Namun yang utama, apa yang dilakukan oleh para peziarah
utamanya adalah mendoakan mereka yang di maqbarah itu.Nabi Saw
sendiri mempunyai tradisi berziarah ke makam Baqi dan para sahabat
yang gugur di bukit uhud.
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _5

Adapun dalil naqli tentang ziarah kubur itu dapat dijelaskan sebagai
berikut;

‫روى ابن اىب شيبة ان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان يأ تى قبور‬
‫ السالم عليكم مبا‬:‫ فيقول‬, ‫الشهداء بأ حد على رأس كل حول‬
‫صلى) اهلل عليو وسلم كان يأ تى قبور‬
‫رسولواهاهللمسلم‬ ‫شيبة ان‬
‫الدار (ر‬ ‫صربمتابنفنعماىبعقىب‬
‫روى‬
‫ السالم عليكم مبا‬:‫ فيقول‬, ‫الشهداء بأ حد على رأس كل حول‬
Artinya :

) ‫مسلم‬ ‫م(رواه‬.‫ص‬
‫عقىباهللالدار‬
‫صربمتكانفنعمرسول‬
1) “ Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah
:‫البقيع لزيارة املوتى ويقول‬ ‫خيرج اىل‬ ‫وقد‬
ke kuburan syuhada di uhud setiap akhir tahun, beliau bersabda:
keselamatan atas kalian dengan kesabaranmu dan inilah sebaik-baik
‫ اسأل‬، ‫السالم عليكم دار قوم مؤمنني وانا انشاءاهلل بكم الحقون‬
tempat terakhir.”

:‫كنتويقول‬
‫هنيتكم عن‬ ‫املوتى‬: ‫السالم‬
‫البقيعو لزيارة‬ ‫عليو اىل‬
‫الصالة‬ ‫وقال خيرج‬
‫م‬.‫ص‬.‫العاقبة‬
‫رسول اهلل‬
‫كانلكم‬
‫وقد ىل و‬
‫اهلل‬
‫ اسأل‬، ‫مسلم)الحقون‬
‫انشاءاهلل بكم‬ ‫كم وانا‬
‫املوت (رواه‬ ‫مؤمنني‬
‫قومتذ كر‬،‫فزوروىا‬
‫عليكم دار‬
‫السالمالقبور‬
‫زيارة‬
‫ كنت هنيتكم عن‬: ‫ وقال عليو الصالة والسالم‬.‫اهلل ىل ولكم العاقبة‬
)‫مسلم‬
)‫يس (رواه امحد‬ ‫موتااه كم‬
‫على (رو‬
‫كمرأوااملوت‬
‫ اق‬:‫السالمكر‬
‫ تذ‬،‫فزوروىا‬
‫القبورالصالة و‬
‫يارة عليو‬
‫زقال‬
2) “(Pada suatu hari) Benar-benar Rasulullah keluar ke Baqi untuk ziarah
orang-orang mati, kemudian beliau berkata: “keselamatan atasmu
)‫ اقرأوا على موتا كم يس (رواه امحد‬: ‫قال عليو الصالة والسالم‬
kampungnya orang-orang mukmin (ahli kubur) dan sesungguhnya
kami akan menyusul kalian apabila telah dikehendaki oleh Allah dan
saya memohon kepada Allah kebahagian bagiku dan bagimu: dan beliau
bersabda: Saya pernah melarang kamu berziarah, maka berziarahlah
kamu. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan engkau kepada
kematian (HR.Imam Muslim)
)‫ تذ كر كم املوت (رواه مسلم‬،‫زيارة القبور فزوروىا‬
6_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

)‫ اقرأوا على موتا كم يس (رواه امحد‬: ‫قال عليو الصالة والسالم‬

3) Rasulullah Saw bersabda, bacalah surat Yasin kepada mayit-mayitmu.

‫و ما ارسلنا من رسول اال ليطاع باذن اهلل ولو اهنم اذ ظلموا انفسهم‬
‫جاءوك فاستغفرواهلل واستغفر هلم الرسول لوجدوا اهلل توابا رحيما‬
4) “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi
dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya
mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang“ (Q.S.
al-Nisa:64)

C. . Ziarah dalam Perubahan dan Pergeseran Budaya

Menilik pada teks-teks di atas, pada mulanya ziarah adalah mendoakan


kepada yang meninggal dan bisa juga ber-tawassul kepada yang
meninggal.Namun seiring berkembangnya masyarakat dan terjadinya
perubahan-perubahan sosial pada masyarakat.Ziarah dan makam pun
mengalami perubahan dan perluasan fungsi.Makam yang menjadi lokus
atau pusat tujuan misalnya semakin banyak berubah dari lokasi hingga
fungsi.Ziarah tak lagi menjadi tempat “curhat” dan mengingat kematian
atau pengharapan bagi orang-orang yang tak terpenuhi keadilannya di
dunia. Namun mereka juga berharap bahwa dengan ziarah mereka
percaya bahwa hanya kematian lah saatnya nanti mereka menerima
pembalasan yang adil dan abadi.

Menurut Clara B. Howery and Alfred A. Clarke,setidaknya ada 7 unsur


yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, yakni: 1) lingkungan
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _7

2) populasi 3) gagasan atau ide 4) peristiwa atau kejadian-kejadian 5)


inovasi budaya 6) tindakan manusia dan 7) teknologi.

Pada kasus ziarah ini, perubahan yang terjadi disebabkan oleh human
action atau tindakan manusia.Karena perubahan-perubahan yang terjadi
dibuat oleh manusia.Apa yang membuat makna meluas dari ziarah
yang isinya hanya doa dan doa. Ada faktor-faktor yang melengkapi
serangkaian tujuan dan makna ziarah yang bertambah.Hal-hal itu bisa
dipetakan sebagai berikut;

1. Perebutan Pengaruh

Tokoh dan makam bisa juga menjadi ajang kontestasi orang-orang yang
merasa berhak.Contoh yang dekat dengan kita dan fenomenal adalah
kontroversi makam Mbah Priok di kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara.
Seteru antara mereka yang menyebut dirinya sebagai ahli waris dan PT
Pelindo II, yang mendapat mandat negara untuk mengelola kawasan peti
kemas yang memang sangat dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan
merupakan pintu masuk keluarnya barang-barang ekspor dan impor. Ia
adalah wajah perdagangan Indonesia melalui jalur maritim.

Kontroversi dimulai dari eksistensi Habib Hasan al-Hadad atau


masyhur dengan sebutan Mbah Priok. Beliau diklaim sebagai penyebar
Islam di Batavia yang kapalnya terdampar di Priok dan beliau meninggal
disitu dalam tahun yang masih diperdebatkan. Menurut Tim Pencari
Data dan Fakta kasus makam Mbah Priok, Habib Hasan yang dilahirkan
di Palembang hendak bepergian berziarah ke makam habib Alaydrus di
Luar Batang dan Walisongo di Jawa.Namun kapalnya terkena ombak
dan meninggal ketika beliau hampir sampai kawasan Pondok Dayung,
kemudian dikenal TPU Dobo dan kawasan pelabuhan Tanjung Priok.

Sumber “permasalahan’ itu karena adanya buku Risalah Manaqib


Syech Sayyid Mbah Priok yang ditulis oleh ahli waris dari kerabat samping,
Habib Ahmad bin Zaenal Hadad10 dan beredar di area komplek makam
8_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

yang dulunya disebut TPU Dobo. Padahal makam beliau dan habib
yang ada disekitarnya atas permufakatan para habaib, al-Hadad dan
otoritas pemerintah, PT. Pelindo telah dipindahkan ke TPU Semper
Jakarta Utara pada 21 Agustus 1997.Pada 1998 area itu sudah bersih dari
makam. Meski banyak kesaksian bahwa makam Habib dan pengikutnya
serta kuburan yang lain sudah dipindah, ahli waris justru membangun
petilasan komplek makam pada 1999. Mereka yang diwakili oleh
Habib Muhammad bin Ahmad bin Zein Al Hadad dan Ali Alydrus
mengklaim bahwa mereka memiliki lahan sebanyak 5,4 hektar di lahan
eks TPU Dobo tersebut. Polemik itu sebenarnya usai terutama setelah
dibentuknya Tim TGPF MUI yang melibatkan banyak unsur; arkeolog,
sejarawan, komunitas Habib, keluarga/nasab al-Hada di Palembang dll
seperti di atas dan lewat beberapa pertemuan yang melahirkan testimoni-
testimnoni akan keberadaaan makam dan pemindahannya. Dalam
dokumen sejarah-dan penuturan para ahli di atas, tak ada kesesuaian
dan kecocokan data dengan sejarah Mbah Priok “Risalah Manaqib
Mbah Priok” yang diperjualbelikan di sekitar makam11 dan ditulis oleh
Muhammad bin Ahmad al-Hadad terbit 1999 di atas, cucu kemenakan
Habib Hasan

Namun era keterbukaan masa reformasi ikut menggugah kembali


ruang yang sebenarnya sudah tertutup dan dianggap selesai ini. Pada
musyawarah antara keluarga ahli waris dan kuasa hukumnya – MUI
DKI pada 5 Juni 2010, mereka diminta mengosongkan lahan ini. Namun
mereka enggan karena merasa pembayaran ganti rugi tanah belum
selesai.Mereka baru bicara setelah 10 tahun lebih kasus dengan argumen
era yang lalu adalah masa Orde Baru sehingga tidak kondusif kondusif
karena kuatnya rezim.

Legalitas tanah yang diklaim ahli waris pun bergulir terus, setelah
gugatan mereka ditolak oleh pengadilan, PT Pelindo II yang diberi
amanat untuk mengelola dan membanugun area peti kemas pelabuhan
tersebut dan sudah mengantongi izin mereka mulai menata area tersebut.
Sayang, pihak ahli waris malah mengajak ormas lain seperti FPI untuk
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _9

memperthankan tanah tersebut pada konflik pertama, 2004. Konflik ini


melibatkan PT Pelindo dan pihak-pihak pemerintah yang terkait seperti
Dinas Pemakaman DKI, TPU Dobo dan TPU Semper. Pada saat Pelindo
II mulai mengerjakan lokasi tersebut, ahli waris malah “menyandra”
pekerja PT Hutama Karya dari Pelindo II dan alat berat proyek.

Puncaknya adalah peristiwa tiga hari yang menewaskan tiga orang


dari pihak yang mengaku ahli waris maupun Satpol PP. Peristiwa
monumental itu terjadi pada 14 April 2010 lalu.Menguras emosi, energy,
dan nyawa dan ratusan juta melayang, karena mobil satpol dibakar
para pendukung habaib, sementara barang-barang yang mau diekspor
manjadi tertunda semua.

Para sejarawan dan habaib terutama keluarga di Palembang


sebenarnya sudah mengakui temuan-temuan TGPF dan mempersilahkan
makam dipindahkan ke TPU Semper.Karena peristiwa April itu,
mereka mempersilahkan PT Pelindo mengelola kawasan, namun
tetap menghormati makam. Kendati demikian, realitanya, hingga hari
ini pembangunan yang tadinya dimaksudkan untuk melestarikan
petilasannya malah dijadikan central ziarah dengan keberadaan makam-
makam yang entah bagaimana kisahnya, wallahu a’lam.

Tidak hanya ada makam Mbah Priok yang sebenarnya sudah


dipindahkan, disitu juga ada air keramat mbah priok yang diduga
berasal dari puncratan mata air waktu beliau terdampar.Para peziarah
mengambilnya untuk tujuan tertentu. Selain diziarahi, di hari tertentu
misalnya malam Jumat, berlangsung majelis dzikir yang dipimpin Habib
Ahmad bin Zaenal Hadad, sang penulis risalah yang “meresahkan”. Pihak
MUI pun menghimabau dan mencatat kegiatan-kegiatan keagamaan
yang isinya dianggap “menyimpang” oleh Tim TGPF. Misalnya nanti
Mbah Priok akan turun kembali ke bumi, akan makam dan minum
kopi bersama mereka. Makam Mbah Priok lebih mulia dari Ka’bah.
Bahkan Habib Ali Zainal Abidin Alydrus mendoakan mereka yang tidak
sepaham dengan Mbah Priok akan celaka dan masuk neraka, sembari
10_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mengakhiri dengan membaca surat al-fatihah. Makam itu juga katanya


lebih mulia dari masjid dan musala yang ada. Tentu saja ekslusifisme
seperti ini bisa memancing permusuhan dan dianggap sebagai hasutan,
ketidaksopanan terhadap yang lain.

Jelas sekali kelihatan ada kehendak “kekuasaan” para habaib untuk


mewujudkan eksistensi makam dan arogansi dibalik penggunaan gelar
habaib.Mereka juga nampaknya juga ingin membuat “keramat: baru
yang justru bisa merugikan kaum muslimin.12 Hari ini kalau kita kesana,
sungguh mengenaskan dan nampaknya kurang nyaman dan rawan
karena berada di bawah atap pembangunan jalan layang Tanjung Priok
dan dikelilingi oleh mobil-mobil besar pembawa peti kontiner yang
keluar masuk pelabuhan, hingar bingar seperti terasa jauh dari nilai-
nilai spiritual. Belum kalau malam Jumat di mana ada pengajian dan
dzikiran, parkiran container dan kendaraan itu menjadi lautan manusia.
Sementara di dalam makam para tukang bangunan masih riuh rendah
memperbaiki komplek.

2. Komersialisasi Makam dan Tokoh

Barangkali lazim kita lihat di makam-makam yang dikeramatkan ada


transaksi-transaksi yang diyakini semakin magis dan sakti bagi para
pengunjungnya. Misalnya, di makam itu ada orang yang secara jelas
keturunan wali atau tokoh tersebut maupun masih terbilang muridnya
mengaku-ngaku dekat dan bisa mendoakan peziarah untuk minta
wasilah dari yang diziarahi.

Contoh yang paling konkret adalah fungsi air minum yang didoakan
mereka dan diyakini punya khasiat untuk mengobati yang sakit atau doa-
doa yang lain, misalnya ingin dapat jodoh, ingin punya anak atau punya
masalah, dari keluarga sampai politik. Biasanya kalau mereka kesana
akan langsung ditanya oleh pendoa, minta doa apa? Dan sang penziarah
yang sudah membawa air, kalau pun tidak membawa bisa membelinya
di situ dan amplop tinggal menadahkan tangan mengamini doanya. Soal
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _11

berapa isi amplopnya biasanya para peziarah akan mafhum. Fenomena


atau transaksi seperti ini bisa kita lihat misalnya di makam Sunan Gunung
Jati atau di Makam Keramat Luar Batang dll.Barang yang didoakan pun
tidak hanya berupa air tapi juga bisa tasbih. Dimana tasbih-tasbih yang
sudah didoakan itu nantinya akan dipakai dzikir di rumah.

Sungguh cara ini menyuburkan profesi baru; pendoa. Para peziarah


itu sungguh berendah hati, merasa kotor dan jauh dari Allah, sehingga
perlu wasilah (perantara) namun mungkin tidak sebaliknya dengan hati
dan pikiran sang pendoa yang biasanya menampilkan diri dengan baju
putih dilengkapi kopyah atau sorban. Mirip dengan penggambaraan
para malaikat dan wali dalam kisah-kisah yang sampai ke tangan umat
Islam.

Jangan dikira bahwa para pendoa itu hanya di makam wali atau
mereka yang dikeramatkan. Di Tempat-tempat pemakaman umum pun
mereka eksis. Lihat saja, begitu keluarga almarhum memasuki area
makam mereka akan menghampiri sambil bertanya; ”Pak mau dipimpin
do’anya? Dan mereka lalu semacam menawarkan “paket” doanya
panjang atau pendek?

Bukan hanya profesi pendoa yang akrab dengan para peziarah. Kita
semua yang entah kapan waktunya akan meninggal juga mulai berpikir
dimana nanti saya akan dimakamkan? Orang kota terutama. Mengapa
karena para pengembang makam pun siap mengatur “rumah masa
depan” kita. Sudah hampir sepuluh tahun ini kita akrab mendengar
sebuah nama komplek pemakaman mewah di jalur pantura. Siapa saja
bisa dimakamkan disana asal punya uang yang cukup untuk memilih
blok dan unit sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Jangan bayangkan bahwa sebuah pekuburan adalah tempat yang
berlumut dan angker dengan rimbun kamboja. Tapi sebuah makam yang
ditawarkan adalah komplek yang hijau, teduh sangat private, karena tiap
blok dilengkapi dengan tempat ibadah pemeluknya dan kebutuhan
yang hidup atau pengantar yang meninggal. Mereka bisa duduk
12_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

sambil minum, memandang rumput hijau yang tertata rapi sambil


mengingat-ingat orang yang dicintainya dimakamkan dan bisa juga
minum minuman kesukaanya. Mereka juga tak perlu repot dan khawatir
dibuntuti para pendoa yang menawarkan jasanya. Hidup dan mati
ternayat sangat private dan bisa diprivate-kan. Hanya Tuhan dan yang
mati yang tahu hubungan private itu, yang hidup hanya melihatnya
dari luar ketika menziarahinya. Di kota itu dan akan segera diikuti kota
lain akan semakin banyak bermunculan komplek pemakaman eksklusif.
Bukan tidak mungkin yang meninggal lama-lama akan mendesak dan
“menggusur” komplek atau tempat tinggal mereka yang masih hidup.
Seiring dengan tingginya permintaan pengembang untuk menciptakan
komplek pemakaman-pemakaman baru.13Peran dan fungsi ini sungguh
semua karena tindakan manusia yang hidup yang mati hanya punya
urusan dengan yang Maha Kuasa.

3. Wisata Religi

Salah satu wacana yang menarik tentang fenomena keagamaan


kini adalah tentang komodifikasi agama. Komodifikasi bisa berarti
komoditas. Komoditas adalah benda komersil yang menjadi obyek
perdagangan. Jadi komodifikasi bisa bermakna komersialisasi Islam,
atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas
yang dapat diambil keuntungannya.14

Komodifikasi agama muncul seiring tehnologi dan budaya yang


berkembang dan sangat mempengaruhi perilaku orang beragama. Greg
Feally menandai bahwa situasi ini tak luput dari pengaruhglobalisasi
dimana orang dapat dengan cepat mengakses informasi apa saja termasuk
soal keagamaan. Urbanisasi dan tingkat kemakmuran yang dicapai juga
berdampak pada ekspresi keagamaan.15 Generasi sekarang akan berbeda
dengan sebelumnya dalam beragama. Salah satu contoh yang sangat
dekat dnegan kita adalah wisata religi dalam berbagai bentuk: ziarah
dalam negeri maupun luar negeri: haji dan umroh.
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _13

Dulu orang berkunjung ke Ka’bah itu cita-cita tinggi. Karena ka’bah,


Mekah dan Madinah itu seperti imaji, informasinya hanya datang dari
kyai dan kitab suci. Perginya pun merintangi laut dengan kapal yang
tak secanggih sekarang, memakan waktu berbulan-bulan, diombang-
ambingkan air laut. Orang dulu pergi haji seperti pergi untuk
menjemput kematian. Karena tak ada yang mempersiapkan jaminan
keselamatannya seperti orang sekarang. Jadi haji itu benar-benar
perjuangan hidup dan mati.

Sekarang? tehnologi sangat membantu, meski Allah lah yang


memastikan segalanya. Ka’bah dan Mekah tidak jauh, ia ada dalam
genggaman. Dengan kemajuan tehnologi, 10 jam saja kita akan sampai,
tak perlu menunggu Dzulhijjah. Sebab ke Mekah telah menjadi paket
liburan dan wisata religi.

Ketika perjalanan ke tempat wisata menjadi bagian dari gaya hidup


dan berlibur dari kepenatan pekerjaan adalah agenda yang penting
untuk ditunaikan. Momen ini lalu ditangkap industri travel dan mereka
membuat paket-paket perjalanan wisata spiritual. Bukan tempat
gemerlap duniawi, namun napak tilas tempat-tempat bersejarah yang
mahal. Meski dikemas dan diorganisir sebagai bisnis, tetap saja acara
ini mengikat pesertanya pada rasa spiritual yang mengesampingkan
duniawi. Biasanya peserta dibawa kepada rasa haru dan khusuk pada apa
yang dilihat dan dilafadzkan. Tentu saja paket-paket ini tak melewatkan
wisata shoping sebagai pemanis dan kepantasan traveling. Disitulah
komodifikasi agama berlanjut.

Ka’bah hanya salah satu destinasi dan advertising tentangnya selama


ini telah berhasil mengalihkan kiblat wisata ke negeri-negeri yang penuh
castile. Biro perjalanan telah sedemikian canggih dalam mengemas paket-
paket untuk segala usia. Orang-orang muda tak lagi sungkan menyebut
berlibur ke Ka’bah. Karena bukan saja kiblat orang muslim, Ka’bah
dan kota-kota sekitarnya telah menjadi prestige sendiri. Peluang bisnis
pun ditangkap, bukan sekedar ziarah dan wisata religi, mereka pun
14_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

bisa membantu mereka yang ingin melangsungkan janji sakral disana:


pernikahan!.Dan disitulah komodifikasi agama terjadi, kebutuhan dan
pemenuhan bertemu, “pembeli” dan pasar tersedia.

Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra berpendapat bahwa Islam


sebagaimana agama agama besar yang lain, bukanlah agama yang
hanya bisa kita temukan dalam teks-teks kitab agama seperti Quran
dan Hadits tetapi juga gejala historis, sosial, budaya dan politik. Dengan
penganutnya yang lebih dari satu milyar, Islam juga mengalami apa
yang disebut gejala pasar. Islam mengalami proses komodifikasi yang
tak terelakkan.

Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai komoditas di semua


lini. Ziarah hanyalah salah satu aspek dan contoh. Puncaknya bisa
kita lihat pada bulan Ramadhan, bagaimana pasar dan agama dengan
simbol-simbolnya dikomersilkan. Umat Islam boleh mengernyitkan dahi
dan para ulama melarang pengunaannya. Agama tidak boleh dijadikan
barang dagangan dalam berbagai bentuknya. Para ulama atau da’i
tidak boleh mendapat profit dari kegiatan dakwahnya. Namun zaman
sudah berubah dan komodifikasi tidak bisa dihindarkan. Mereka yang
bergerak dalam bidang dakwah boleh jadi menolak istilah komodifikasi,
dan sebaliknya mungkin nyaman dengan istilah profesionalisasi,
profesional dalam dakwah, dan karena itu boleh saja berusaha mendapat
profit dari profesi dakwah mereka. Komodifikasi Islam boleh jadi
membuat kehidupan keislaman kelihatan penuh syiar dan kemeriahan.
Tetapi juga, bisa membuatnya menjadi dangkal karena bergerak
sesuai dengankemauan atau permintaan pasar. Jika yang terakhir ini
yang terjadi, semarak keagamaan niscayalah dapat kian kehilangan
maknanya16

Selain ziarah dalam ritual haji maupun umroh, Mbah Priok


sebagaimana diulas di atas, ziarah yang tak kalah fenomenalnya adalah ke
makam presiden RI ke-4, Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Kalau ada
destinasi ziarah wali ke-10, maka Gus Dur, adalah tujuannya, demikian
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _15

beberapa peziarah walisongo menyebutnya.Fenomena yang unik dan


komplek yang berkumpul pada dirinya telah menjadikan makam Gus
dur mempunyai nilai lebih dari pada pendahulunya.Di komplek makam
keluarga itu berkumpul para kerabat dan pendahulu Gus Dur.Ada
kakeknya KH.Hasyim Asy’ari ulama besar yang disegani bukan hanya
di kawasan Jombang tapi juga pernah bermukim dan mengajar lama di
Masjidil Haram, sekaligus beliau adalah pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama.Di situ pula ada KH.Wahid Hasyim, menteri agama yang
mempunyai banyak terobosan di Departemen Agama RI dalam waktu
singkat dan juga sebagai salah satu tokoh penting dalam pendirian
republik ini bersama ayahnya.Dialah ayah Gus Dur. Tentu disini ada
banyak kyai dan orang alim, para pendiri dan asatidz pesantren Tebuireng
dan kerabat Gus Dur yang lain. Menurut kerabat beliau, belum pernah
komplek makam seramai sejak Gus Dur wafat.

Tentu semua itu bukan tanpa sebab, karena pada dirinya terkumpul
banyak identitas; ketua NU tiga periode, tokoh demokrasi, pejuang hak-
hak asasi manusia, Bapak pluralisme dll. Sebagai presiden, hubungannya
yang sangat luas dengan berbagai kalangan, muslim non muslim, warga
Indonesia atau bukan, pedagang ataupun petani, miskin maupun kaya
telah membuat makam beliau tak pernah sepi dan terbuka 24 jam.17

Sejak berpulangnya Gus Dur pada tanggal 30 Desember 2009 lalu,


dari prosesi pemakamannya saja, beliau sudah menyita perhatian
publik. Belum pernah ada mantan presiden yang dimakamkan dengan
pelayat sebanyak itu, ribuan orang berjejal dan berebutan posisi untuk
menyaksikan dari dekat. Semenjak itu makamnya tak pernah sepi,
para saksi, orang-orang sepuh di Tebuireng menyatakan kesaksiaannya
atas perubahan yang terjadi pada area makam karena berdampak
pada banyak aspek. Para peziarah pun mulai berulah aneh.Mereka
mengambil tanah di gundukan makam beliau yang memang dibuat
sederhana.Banyak ulama khawatir tentang polah mereka, sehingga
akhirnya makam itu dikelilingi pagar besi.Mereka mulai menetapkan
adat dan tata krama berziarah yang sesuai dengan yang diajarkan dalam
16_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Islam dan tidak bercampur dengan segala yang mendekati syirik.Semua


disesuaikan dengan prinsip-prinsip ziarah yang dilakukan dalam ajaran
Sunni, misalnya bagaimana bertawassul yang benar.

Tak heran kalau setelah setahun meninggalnya beliau, 2010, makam


ini diganjar dengan anugerah wisata nusantara dari Pemda Jatim.Tentu
berbagai kriteria ditetapkan, termasuk ditilik dari pengunjungnya yang
rata-rata 3000 sehari, belum kalau hari-hari libur.

Karena banyaknya pengunjung itu pula, Pemda Jombang pada 2010


pun mulai merencanakan untuk merenovasi makam dalam rangka
meningkatkan fasilitas yang lebih baik dan akan menggelontorkan dana
sebesar 145 milyar. Perbaikan itu mulai dari pengerasan tanah tempat
parkir, pelebaran area parkir juga fasilitas toilet. Namun pembicaraan
tentang hal ini menurut keluarga perlu langkah-langkah dan perencanaan
yang matang karena akan melibatkan banyak pihak terutama warga
sekitar komplek pemakaman.

Makam Gus Dur yang diyakini sebagaian warganya sebagai makam


wali sungguh telah menimbulkan banyak efek positif dari fungsi
awalnya sebagai tempat mendoakan almarhum. Efek– efek positif itu
misalnya; pertama, uang infak yang ada di makam, menurut pengasuh
PP Tebuireng, mencapai 30 juta perbulan dan bisa sampai 50 juta kalau
sedang ramai. Karena itu, pesantren merasa perlu untuk mengelolanya.
Sehingga dibentuk LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng). Dari situ
mereka membagikan uang kepada fakir miskin dan anak yatim.Laporan
penggunaannya diterbitkan dalam bulletin LSPT.

Efek-Efek itu belum pada pedagang dadakan yang mungkin sekarang


permanen seperti di makam-makam wali lain, seperti warung makam,
cinderamata dll. Jadi inilah yang disebut bahwa orang yang sudah
meninggal masih bisa “menyejahterakan” yang hidup. Oh Gus Dur.
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _17

D. Penutup
Keberagamaan dalam berbagai bentuknya telah melahirkan simbol-
simbol yang menandai perilaku penganutnya. Simbol itu difungsikan
sesuai dengan masa dan waktu yang terus mengalami pergeseran.
Generasi sekarang, menjalankan agamanya dengan cara yang tidak sama
dengan zaman orang tua mereka. Ini semua tentu karena disebabkan
berbagai perubahan sosial yang terjadi, bisa meningkatkan kualitas bisa
juga sebaliknya. Komodifikasi agama dalam berbagai bentuk termasuk
ziarah adalah salah satu bentuk yang dinilai mengurangi mutu nilai
ibadah itu meski disisi lain memberi sejumlah kemudahan dan nilai syiar.

Demikianlah zaman telah berubah, makam pun bukan lagi tempat sunyi
yang dihuni mereka yang meninggal.Namun telah berubah fungsi dan
maknanya. Ia semakin banyak melibatkan yang hidup. Urusan kematian
bukan saja soal kafan dan menggali kubur, tapi adalah juga bagaimana
yang hidup melihat peluang–peluang yang ada dan bisa dimanfaatkan
dalam menghormati yang sudah meninggal itu. Dengan kata lain
yang wafat pun bisa diajak bekerjasama. Masyarakat memang sudah
berubah termasuk yang meninggal pun diajak berubah. Wallahu a’lam
18_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Abdallah Kamel, Omar,Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah


fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal.
Tradisi Tawassul, terj.,Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008

Ahmad, Akbar S. Ke Arah Antropologi Islam. terj.,Jakarta: DDII, 1994

Chambert-Loir, Henri & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam
(terj.) , Jakarta, Serambi, 1995

Fattah, Munawwir Abdul,Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LKiS,


2006

Huda, A.N. Nuril,Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) Menjawab Persoalan


Tradisi dan Kekinian. Mahrus eL-Mawa, dkk. (edit.), Jakarta:
LDNU-GP Press, 2006

Habib Ahmad bin Zein al-Hadad, Risalah Manaqib Syech Sayyid Mbah
Priyuk, ttp, tth

Lings, Martin, Muhammad, his Life Based on The Earliest Sources, London:
Innez Tradition International, tth

Muhalawi, Hanafi,Tempat-Tempat Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah (terj.)


Jakarta:Gema Insani Press, 2012.

Mufid, Syafii. dkk., Kasus Mbah Priok, Jakarta: Madani Institute, 2010
Ziarah dan Makam Dari Ritual Agama Sampai Industri Wisata _19

Endnotes

1. Martin Lings, Muhammad, his life based on the earliest sources, London Innez
Tradition International, h. 23.

2. Terletak tak jauh dari Pasar Ikan, Jakarta Utara atau Stasiun Kereta
Kota.

3. Pengalamana ziarah penulis pada pertengahan November 2013.


4. Kelihatan menjelang 2014, banyak pimpinan partai berziarah kesana,
termasuk partai yang getol menolak tradisi-tradisi kaum nahdliyin.
Jelas ini adalah ziarah politik.

5. Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah dan Wali di dunia


Islam terj., Jakarta, Serambi, 1995, h. 335

6. Tentang tawassul dan adab berziarah bisa dilihat dalam Omar


Abdallah Kamel.Kalimatun Hadi’ah Fit Tawassul, Kalimatun Hadi’ah
fi Ahkamil Qubur, Kalimatun Hadi’ah fiz Ziarah wa Syaddir Rihal terj.,
Jakarta: PP.Lakpesdam NU,2008

7. Hanafi Muhalawi, Tempat-Tempat Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah,


th. ttp

8. Dikutip dari Musnad Asyasy dalam Hanafi Muhalawi, Tempat-Tempat


Sejarah Bagi kehidupan Rasulullah terj. Jakarta: Gema Insani Press,
2012, h. 210

9. Makam Imam Syafi’i di Kairo misalnya, penuh dengan lipatan-lipatan


kertas seperti surat yang ditaruh oleh para peziarah. Makamnya
memang tidak ditutup. Penulis pernah pernah berkunjung kesana
dan menduga itu adalah surat curhat para pengagumnya.

10. Karena Sang Habib atau Mbah Priok meninggal pada usia 29 dan
belum menikah. Sehinnga yang dimaksud adalah ahli waris samping,
kemenakan, adik/kakak atau paman dst.
20_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

11. Kontroversi makam, h. 17


12. Lebih jelasnya baca Buku, Syafii Mufid dkk. Kasus Mbah Priok, Jakarta:
Madani Institute, 2010.

13. Ironisnya, di seberang makam mewah yang sudah lama berdiri


itu, ada tawaran baru pemakaman khusus muslim dengan moto
“ pemakaman pertama berkonsep syar’i” ini sungguh-sungguh
komodifikasi agama. Slogan ini juga mereduksi dan mendistorsi
sejarah makam-makam sebelumnya yang sudah berabad-abad
dihuni umat Islam.

14. Greg Fealy dalam artikelnya, Consuming Islam: Commodified


Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia, dalam
Greg Fealy & Sally Whiteeds), Expressing Islam: Religious Life and
Politics in IndonesiaSingapore: ISEAS, 2008), http://books.google.
co.id/books?id=_ h. 16-17 diakses tanggl 9 Oktober 2014

15. ibid, h.17


16. Azyumardi Azra, Komodifikasi Islam, Republika , 8 September 2008
17. Penulis pernah tiba di makam beliau jam 02.00 pagi dan minta
izin petugas gerbang untuk membukakan pintu gerbang komplek
makam.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _21

Nahdlatul Wathan and Social-Religious


Development in Province of West Nusa Tenggara

Nahdlatul Wathan dan Pembangunan


Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat

Fahrurrozi dan Lalu Muhammad Iqbal


Nahdlatul Wathan
email: iqbalmoerado@yahoo.com

Abstract: The Name Nahdlatul Wathan philosophically is equivalent with; the national

movement, the Motherland development, defense of nasionalism, social struggle,


primordialism association. The founder of NW, TGKH. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid has a strong spirit of nationalism to build the nation and the state.
His great teacher at As-Shoulatiyyah institution named Maulana Syeikh Muhammad
Hasan al-Masyyath once ever gave the name of the organization that proposed by his
students with two options; Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan or Nahdlat al-Islam
li al-Wathan, but the intelligence and the greatness of his soul decided the name the
Nahdlatul Wathan as a represantation of the faith to move in a very universal, not
only the religious aspects but also includes State and national spirit. The age 79th of
The NW, metamorphose has suffered through a long history of 4 era (The colonial era,
Old Order (Orde Lama), New Order (Orde Baru) and Reformation era), prove that the
Nahdlatul Wathan is an organization which have a great zeal to keep on fighting in the
middle ages and the changing society.
22_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi : al-Ismu Yadullu alâ al-Musammâ, nama menunjukkan identitas dirinya, ungkapan

tersebut layak untuk memotret kiprah organisasi Nahdltul Wathan yang secara filosofis
dari penamaannya menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi yang semakna
dengan; pergerakan kebangsaan, pembangunan tanah air, pembelaan terhadap
nasionalisme, pergumulan sosial, perkumpulan primordialisme, dan banyak arti lain
yang bisa diinterpretasikan untuk NAHDLATUL WATHAN. Pendiri organisasi ini,
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki semangat nasionalisme yang
kuat untuk terus membangun negara dan bangsanya dengan tidak mesti melabelkan
nama Islam dalam organisasi yang didirikannya. Meski guru besarnya di Madrasah
As-Shoulatiyyah, Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Masyyath, memberikan
nama organisasi yang diusulkan oleh muridnya ini dengan dua pilihan nama,
Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan, namun
kecerdasan dan kebesaran jiwanya memutuskan nama organisasi yang dibangunnya
menjadi Nahdlatul Wathan sebagai representasi keimanan untuk bergerak dalam
wilayah yang sangat universal, bukan saja aspek agama tapi meliputi negara dan
semangat kebangsaan.

Organisasi yang didirikannya telah menempuh waktu yang panjang 79 tahun,


sehingga Nahdlatul Wathan sebagai organisasi keagamaan yang tersebar di NTB
ini, telah mampu merubah tatanan keagamaan masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat NTB. NW telah mengalami metamorfose sejarah yang panjang melewati
4 zaman (zaman penjajahan, orde lama, orde baru dan era reformasi), membuktikan
bahwa Nahdlatul Wathan adalah organisasi yang memiliki semangat besar untuk
terus berjuang di tengah zaman dan masyarakat yang berubah-ubah.

Keywords: Nahdlatul Wathan, Development, Social-Religious, The Movement, Development.

A. Prolog

Ralp Dahrendorf mengatakan, bahwa masyarakat senantiasa berada


dalam proses perubahan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.1
Teori ini nampaknya tepat untuk digunakan dalam memahami
perkembangan organisasi di Nusa Tenggara Barat, dimana setting sosial
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _23

masyarakatnya secara kultur dan agama sangat pluralistik dan kompleks,


sehingga masyarakat yang berada dalam komunitas etnis, kultur, dan
agama bahkan organisasi masyarakat (ormas)2 yang beragam itu harus
mendapatkan sosialisasi berkesinambungan tentang arti keragaman
dalam keberagamaan. Upaya ini menjadi penting sebagai modal untuk
menciptakan keharmonisan dalam semua aspek kehidupan majemuk.

Ada dua bentuk pengkajian yang dilakukan oleh para penyelidik


kesejarahan Islam Indonesia yang dapat dilihat. Pertama, menampilkan
bentuk kajian menyeluruh dengan melihat semua organisasi yang ada
sebagai suatu kesatuan. Masing-masing organisasi tidak dilihat secara
tersendiri, melainkan diamati dalam kegiatan dan keterkaitannya
dengan organisasi lain, lalu dihubungkan dengan keterlibatan mereka
dalam pergerakan keagamaan di Indonesia. Kedua, menampilkan secara
terpisah. Peran dan perkembangan masing-masing organisasi dari segi
satu persatu dan mendalam, sehingga sosok masing-masingnya nampak
lebih utuh. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kegiatan dalam
bentuk kedua semakin banyak dilakukan, tidak hanya untuk kalangan
modernis, tetapi juga telah menjamah organisasi-organisasi kelompok
tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan di NTB dan
lain sebagainya.

Tulisan ini mengetengahkan sisi-sisi pembangunan sosial keagamaan


yang telah dilaksanakan oleh Nahdlatul Wathan sebagai sebuah
organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak dalam tiga ranah
penting: Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah.

B. Filosofis Nahdlatul Wathan Dalam Perspektif

Catatan Maulana Syeikh Muhammad Hasan al-Massyath tentang


penamaan organisasi yang diusulkan oleh TGH.Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dengan nama, Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau
Nahdlat al-Islam li al-Wathan.dapat dijadikan pijakan bahwa relasi antara
agama dan negara dalam konteks ini bersifat integral dan simbiosis
24_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mutualisme. Artinya, negara sebagai sebuah institusi memerlukan


agama sebagai basis moral untuk menegakkan berdirinya suatu institusi
negara. Sementara agama tidak akan berfungsi maksimal tanpa ada
dukungan dari negara. Jadi agama mengisi preferensi nilai-nilai normatif
dari sebuah negara.

Organsasi Nahdlatul Wathan (selanjutnya disebut NW) secara


embrional berasal dari Madrasah NW Diniyyah Islamiyyah (NWDI)
dan Madrasah Nadlatul Banat Diniyyah Islamiyyah (NBDI) didirikan
dalam suasana dan kondisi sosio-historis yang heroik, baik dalam
konteks penegakan agama Islam maupun kebangsaan. Kelahiran
organisasi tersebut sekaligus memberi respon terhadap konteks sosio-
historis masyarakat pada masa itu. Heroisme dalam aspek penegakan
agama Islam tercermin dari upaya yang secara simultan diikuti dengan
keyakinan dan keikhlasan untuk memperbaiki pemahaman dan cara
keberagamaan. Tujuannya jelas, yakni agar nilai-nilai, praktek, dan
budaya Islam dapat dihayati dan diamalkan dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Sedangkan heroisme dalam aspek kebangsaan
terrefleksikan dari upaya pembebasan masyarakat dari kebodohan dan
ketertindasan melalui pendidikan sebagai bekal untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa.

Atas dasar inilah, maka orientasi NW bertumpu pada upaya-upaya


untuk memadukan dan mensinergikan antara agama dan negara. Menurut
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, penyebutan istilah NW
mengandung dua makna filosofis sekaligus, yakni membangun negara
dan agama. Artinya bahwa agama dan negara diposisikan sama dalam
satu tarikan nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara,
begitu juga sebaliknya.

Namun untuk dapat mencapai makna filosofis ini, paling tidak


terdapat lima kesadaran yang direfleksikan dari kata Nahdlatul Wathan,
yaitu, 1) Wa’yu al-Din yaitu kesadaran beragama, 2).Wa’yu al-Ilmi, yaitu
kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, 3) Wa’yu al-Nidham,
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _25

yaitu, kesadaran berorganisasi, 4),Wa’yu al-Ijtima’, yaitu, kesadaran


sosial kemasyarakatan, dan 5),Wa’yu al-Wathan, yaitu kesadaran
berbangsa dan bernegara.3

C. Sejarah Penamaan Organisasi Nahdlatul Wathan

Kajian tentang Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kajian


terhadap peran dan perkembangan organisasi-organisasi keislaman
yang ada di Indonesia itu sendiri, terutama pada abad ke-20.4 Kajian ini
merupakan studi yang amat diperlukan, bila kita memang bermaksud
untuk menampilkan sosok Islam dalam wajah yang lebih komprehensif,
mengingat pada abad dua puluhlah umat Islam di kawasan Indonesia
mulai bergerak dalam skala nasional dan berkelompok dalam berbagai
organisasi modern keagamaan.5

Dalam aspek kesejarahan antara organisasi NW dan Nahdlatul


Ulama (selanjutnya disebut NU) terdapat kesamaan prinsip sejak
para tokoh pendiri organisasi Islam ini dibentuk. Secara organisatoris
hal ini dimulai ketika para tokoh pesantren, Wahab Hasbullah dan
Mas Mansoer mendirikan madrasah yang bernama NW pada 1916 di
Surabaya. Staf pengajar NW didominasi oleh ulama pesantren, seperti
Bisri Syansyuri (1886-1980), Abdul Hakim Leimunding dan Abdullah
Ubaid (1899-1938). Pada 1918, Wahab Hasbullah dan KH.Ahmad Dahlan
dari Kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum
diskusi ilmiah keagamaan yang mempertemukan kelompok pesantren
dan modernis. Pada tahun yang sama, Abdul Wahab Chasbullah dan
KH Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang bernama
Nahdlatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan
upaya saling pengertian antara kelompok Islam pesantren dan modernis
berubah menjadi persaingan yang mengelompok.6

Aspek penamaan organisasi yang muncul di NTB secara historis


terdapat kesamaan nama dengan organisasi yang didirikan oleh para
pendiri organisasi NU, klaimisasi ini dalam pengamatan penulis perlu
26_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

penelusuran lebih lanjut antara NU dan NW dalam segala aspek,


sehingga dengan demikian dapat diperoleh keabsahan data tentang
hubungan atau integrasi organisasi NU sebagai organisasi terbesar
di Indonesia yang secara nasional telah membentuk kepengurusan di
seluruh Indonesia dengan organisasi NW yang berpusat di NTB yang
secara kultural berdiri berdasarkan tuntunan zaman di mana pendirinya
berada.

Disadari betapa persoalan-persoalan organisasi makin hari cenderung


makin ruwet, khususnya persoalan manusianya itu sendiri yang acapkali
berlanjut menjadi tantangan pokok yang harus dihadapi oleh setiap
prangkat manajemen. Seyogyanya individu-individu yang berlaku
dalam organisasi dengan berbagai motif dan keinginan-keinginan yang
hendak dicapainya harus dipahami secara luas dan mendalam.7

Perlu disadari pula bahwa kehidupan berorganisasi atau berkelompok


merupakan naluri manusia sejak dilahirkan. Naluri ini yang mendorong
untuk selalu menyatukan hidupnya dengan orang lain dalam organisasi
atau kelompok. Naluri berkelompok dan berorganisasi itu juga yang
mendorong manusia untuk menyatukan dirinya dengan kelompok
yang lebih besar dalam kehidupan yang lain di sekelilingnya bahkan
mendorong manusia menyatu dengan alam fisiknya.

Keberadaan suatu kelompok atau organisasi dalam masyarakat


dicerminkan oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya.
Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi hubungan sosial, pendidikan,
persuasi, pemecahan masalah, dan pembuatan keputusan, serta fungsi
terapi.8

Upaya penciptaan kedamaian salah satu diantaranya adalah


menciptakan peluang komunikasi dan dialog antar warga, antar
organisasi, melalui tokoh-tokohnya, baik tokoh agama, tokoh pimpinan
organisasi, maupun tokoh masyarakat atau memfasilitasi adanya
pertemuan yang memungkinkan terciptanya silaturrahmi antar
organisasi dan sesama warganya.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _27

Berbagai gagasan keagamaan terbuka dikembangkan jika pemeluk


agama atau penganut suatu paham keagamaan bisa bebas dari
pemberhalaan identitas keagamaannya. Kesalahpahaman yang sering
terjadi di kalangan penganut agama atau pengikut organisasi keagamaan
seperti NU, NW, lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan
identitas warga dari kedua organisasi tersebut, bukan oleh keyakinan
teologis yang sama-sama sunni. Artikulasi atau pengungkapan
kepentingan setiap anggota masyarakat yang empirik akan dipengaruhi
oleh konseptualisasi nilai kebenaran dan kebaikan yang sesuai akar sosial
budaya masing-masing organisasi. Formula kepentingan itu seringkali
diperkuat, dilegitimasi dan disimbolisasi oleh identitas ke-NU-an dan
ke-NW-an.9

Hubungan NU-NW menjadi rumit ketika mayoritas warga dari


kedua gerakan ini menjadikan organisasi sebagai identitas diri, bukan
sebagai wahana. Bukan kepentingan dan nilai etika Islam universal
yang didahulukan, tetapi kepentingan organisasi yang mudah
dimanipulasi atas nama kelompok tidak memiliki identitas, kedua
gerakan itu lebih mudah bekerjasama secara mutual-simbiosis, dan
akan segera bubar ketika keduanya mulai menampakkan identitas
mereka masing-masing. Persoalan ini menjadi lebih kompleks ketika
semua tradisi dan wilayah kehidupan social atau ritual telah dipetakan
ke dalam identitas NU atau NW.

Asal usul NW dapat dilacak dari catatan sejarah pendiriannya. Nama


ini pertama muncul sebagai proses bargaining (tawar menawar) antara
nama Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan
dengan Nahdlatul Wathan. Dua nama yang disebut pertama diusulkan
oleh gurunya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath. Sementara
nama NW merupakan hasil ijtihad TGH.M.Zainuddin berdasarkan
background sosio-historis masyarakat pulau Lombok pada khususnya
dan Indonesia pada umumnya.10
28_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

D. Nahdlatul Wathan Perspektif Gerakan Keagamaan (religious


movement).

1. Pergerakan Sosial-keagamaan Pra-Kemerdekaan RI (1936-1945)

Periode ini TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membuka


Pesantren al-Mujahidin, tepatnya tahun 1934 M. Pesantren al-Mujahidin
awalnya adalah sebuah musalla yang didirikan oleh ayahnya, Tuan Guru
Haji Abdul Madjid sebelum ia pulang ke Lombok. Sedianya mushalla
ini akan dijadikan sebagai tempat mengajarkan agama seperti layaknya
tuan guru-tuan guru pada umumnya saat itu.

2. Gerakan Perjuangan Kemerdekaan Gerakan al-Mujahidin.

Maulana Syeikh mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah


Islamiyyah (NWDI) 17 Agustus 1936 M dengan izin dari Pemerintah
Belanda, dan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 M/22 Agustus 1937
M (NWDI) diresmikan. Ia juga mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat
Diniyyah Islamiyyah (NBDI) 15 Rabi’ul Akhir 1362 H/ 21 April 1943 M.

Pergerakan keagamaan NWDI menyebar ke seluruh wilayah Lombok


sehingga dalam rentang waktu 1937-1945 telah berdiri sembilan buah
cabang madrasah NWDI.11

Gerakan dua madrasah tersebut membuktikan bahwa pergerakan


tanah air dimulai dari pengkaderan di madrasah yang diorientasikan
menjadi anjumi nahdlatil wathan, bintang-bintang pejuang NW dan hasil
dari kaderisasi tersebut terbukti dengan menyebarnya para alumni di
seluruh pelosok desa yang kemudian bergerak di wilayah masing-
masing sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Sehingga dalam
waktu yang relatif singkat madarasah NWDI-NBDI tersebar di mana-
mana.

3. Pergerakan Sosial-keagamaan Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)

Perjalanan NWDI-NBDI dalam perjuangan mempertahankan


eksistensi diri sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _29

keagamaan sangatlah berat, di mana penjajahan Belanda belum mengakui


kemerdekaan Indonesia, maka konsekuensinya adalah seluruh kekuatan
dan potensi yang dimiliki oleh anak bangsa dipertaruhkan untuk
membela kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini NWDI-
NBDI dan seluruh jajarannya mengambil bagian untuk membela tanah
air dan membela jati diri bangsa dan agama dari tangan penjajah.

Sejarah menceritakan bagaimana para murid-murid awal NWDI


berjuang mati-matian membela tanah air demi mempertahankan
kemerdekaan yang sudah diraih dengan tebusan jiwa dan raga.
Pendiri NBDI-NWDI dan NW tampil kepermukaan untuk memimpin
pertempuran melawan penjajahan yang ingin mempertahankan
jajahannya di bumi pertiwi, sehingga tebusan untuk membela negara
tersebut, adik kandung TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid menjadi saksi
atas perjuangan mereka dalam konteks mempertahankan kemerdekaan,
para syuhada’ yang merupakan penerus dan pelanjut NWDI antara lain,
TGH. Muhammad Faishal AM, Sayyid Saleh dan Abdullah, menjadi saksi
sejarah betapa berat dan kerasnya perjuangan Pendiri NWDI, NBDI dan
NW mempertahankan kedaulatan RI dari tangan penjajah.

4. Pergerakan Sosial-keagamaan di Orde Lama (1949-1965).

NW sebagai sebuah organisasi Islam yang lahir di Bumi Selaparang,


membuktikan dirinya sebagai organisasi yang tetap konsisten dalam
prinsip dan responsif terhadap perkembangan zaman, maka NW selalu
dapat menyesuaikan diri dengan era di mana NW itu berada. Keberadaan
NW di Orde Baru, jelas terjadi pasang surut atau terjadi dinamika di
dalamnya, tapi secara umum NW tetap eksis mempertahankan dirinya
sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah pendidikan, sosial dan
dakwah, meskipun era orde lama, stabilitas politik dalam negeri masih
kurang kondusif, tapi peluang itu bisa ditangkap oleh Pendiri NW ini
untuk memanfaatkan sebaik mungkin guna mempertahankan eksistensi
NW dan berikut perjuangannya dalam bidang sosial keagamaan.
30_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tidak sedikit keberhasilan yang diraih oleh NW pada era ini dalam
hal memajukan pendidikan, mensejahterakan rakyat melalui lembaga-
lembaga sosial yang dibina oleh NW.

5. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Orde Baru (1966-1998)

Peralihan orde lama ke orde baru sangat memberikan corak terhadap


pergerakan organisasi Nahdlatul Wathan. Dengan bertambah usianya
NW secara tidak langsung lebih matang dalam mengembang amanat
umat dan lebih siap untuk berkompetisi dengan organisasi-organisasi
yang lain. Era Orde Baru bagi NW dapat dikatakan sebagai era yang
paling banyak melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, sosial, dakwah
dan budaya, karena memang orde baru secara priodenisasi sangat lama
sekitar 32 tahun. Yang pasti di era ini NW telah banyak memberikan
sumbangan pembangunan untuk NTB dalam segala bidang, baik bidang
pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, pariwisata,dll.

6. Pergerakan Sosial-Keagamaan di Era Reformasi (1998-sekarang)

Kiprah NW tidak berhenti dengan meninggalnya pendiri NWDI,


NBDI dan NW pada tahun 1997 M. NW pasca pendiri adalah era
baru bagi masyarakat dan jamaah NW karena di masa itulah terjadi
transisi kepemimpinan yang berimplikasi pada perubahan situasi
yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Pada era ini
terjadi konflik internal yang memecah kepengurusan NW ke dalam
dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW Anjani yang diawali
dari muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah. Di era reformasi, NW
menemukan momentumnya dimana pejabat-pejabat publik strategis
baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh kade-kader
NW. Di era inilah dakwah NW lebih berkembang dengan intensitas
peran yang lebih luas di sektor sosial dan politik.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _31

E. Nahdlatul Wathan dalam Dimensi Gerakan Sosial


Keagamaan (social and religious movement)

NW memiliki peran penting di dalam mendorong terjadinya


perubahan keagamaan masyarakat Islam, dari Islam Sinkretis seperti
Wetu telu menuju Islam Paripurna (Islam Kaffah). Hal ini NW menempuh
tiga mekanisme dakwah untuk bisa merubah pemahaman dan praktek
keberagamaan masyarakat Islam NTB:

Pertama, Melalui Pendidikan Kemadrasahan dan Gerakan


Kemasjidan Gelar yang melekat pada pendiri NW dengan sebutan Abu
al-Mâdaris wa al-Masâjid, Menunjukkan bahwa peran TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul madjid dalam membangun sarana ibadah di pelosok-
pelosok kampung sangat besar. Sebab semangat keberagamaan
masyarakat tidak akan terbina tanpa ada bimbingan dari para tokoh yang
mereka jadikan sebagai panutan. Tercatat dalam agenda kerja TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid bahwa masjid yang beliau bangun bersama
masyarakat lebih dari seribu masjid yang beliau langsung meletakkan
batu pertamanya.12 Ini artinya organisasi NW telah berkiprah dalam
mengembangkan semangat keberagamaan melalui sentral kegiatan
keagamaan dalam sebuah komunitas masyarakat yang lazim disebut
masjid, di mana masjid sebagai icon suatu masyarakat dalam segala
riualitas keagamaan bahkan sosial. 13

Kedua, pengajaran keagamaan dengan mengadakan dakwah keliling


yang lazim disebut oleh warga NW dengan Majelis dakwah Hamzanwadi
dan majelis ta’lim NW. Majlis Dakwah Hamzanwadi yang langsung
dibawah asuhan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid, telah menyebar ke
seluruh polosok Bumi Gora NTB, sehingga tidak sedikit di mana ada
majelis dakwah Hamzanwadi di situ berdiri lembaga pendidikan dari
tingkat yang paling dasar bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi.
Sedangkan majelis ta’lim NW merupakan wahana kaderisasi yang
dilakukan oleh seluruh abituren atau alumni NW yang secara keahlian
32_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

telah mampu mengemban amanat organisasi NW yang secara spesifik


telah dikader lansung oleh pendiri NW TGKH. M. Zainuddin Abdul
Madjid. Dengan adanya dua majlis NW ini telah membuktikan dirinya
sebagai sebuah organisasi yang sangat intent membangun sumber daya
manusia yang siap membangun NTB khususnya dan Indonesia secara
umum.

Ketiga, Gerakan Penyebaran Kader-kader NW ke Pelosok Nusantara.


Kaderisasi yang dilakukan oleh pendiri NW selama ini sangat efektif
dan strategis, sebab kader yang diorientasikan menjadi Anjumi Nahdlatil
Wathan, bintang-bintang pergerakan tanah air telah banyak berkiprah
di pelosok nusantara ini. Kaderisasi utama yang dilakukan oleh pendiri
NW ini adalah melalui pendidikan, khususnya Pendidikan yang dibina
langsung oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yaitu Ma’had
Darul Qur’an wa al-Hadist al-Majidiyyah Assyafiiyyah (MDQH) yang
secara khusus mengadopsi sistem kuliah ala Madrasah as-Shaulatiyah
Makkah al-Mukarramah. Dengan sistem ini dapat melahirkan ratusan
alumni yang setiap tahun di lepas oleh Pendiri NW dan pelanjutnya,
untuk disebar ke berbagai daerah. Sehingga dengan sistem ini NW telah
berkembang di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Pulau Jawa, Jaya Pura, dan
lain-lain. Ini tidak terlepas dari peran alumni Ma’had yang telah dikader
oleh Pendiri NW untuk menyebarkan misi Izzil Islam wa al-Muslimin.

Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak


terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi
Nahdlatul Wathan:

Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan warganya


yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW, Pokoknya
NW Iman dan Taqwa.

Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara


internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan
institusi pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial
keagamaan lainnya.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _33

Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara


alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan Nahdlatul Wathan.14

NW sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan


telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembaharuan
sistem keagamaan di NTB.

F. Nahdlatul Wathan dalam Ranah Pembangunan

1. Sumber Daya Manusia (Human Resources Development) Melalui


Gerakan Pesantren

NW adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada bidang


pendidikan, sosial, dan dakwah islamiyah. Inti perjuangannya adalah
berupaya mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Perjuangan ini menjadi sangat strategis, karena pembangunan di bidang
SDM dapat terefleksi dalam bidang-bidang pembangunan lainnya.
Artinya, Kesuksesan di bidang-bidang pembangunan sangat bergantng
pada kualitas sumber daya manusia.15

Sebagai gambaran awal peran NWDI-NBDI yang disebut oleh


pendirinya, Dwi Tunggal Pantang Tanggal,16 dalam mencetak SDM yang
kemudian hari nanti menjadi motor penggerak pembangunan sosial
keagamaan di wilayah NTB ini. Out put dari madrasah NWDI pada
priode awal menjadi pelanjut dan pengembang dari visi, misi dan
perjuangan pendiri NWDI-NBDI yang nantinya dua madrasah tersebut
menjadi embrio lahirnya Organisasi Nahdlatul Wathan.

Untuk sekedar menyebut tokoh-tokoh agama yang telah berkiprah


banyak dalam pembangunan di NTB yang merupakan produk madrasah
paling awal di NTB ini.

Secara periodenisasi dari tahun ke tahun, TGKH M. Zainuddin Abdul


Madjid memberikan peranan penting dalam mencetak tokoh-tokoh
pendiri pondok pesantren di Lombok NTB sebagai berikut:
34_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI tahun


1934-an antara lain TGH. Mu’thi Musthafa pendiri pondok pesantren
al-Mujahidin Manben Lauq Lombok Timur, Ust Mas’ud Kelayu, Abu
Mu’minin, sedangkan angkatan kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang
terkenal antara lain TGH. Najamudin Ma’mun Pendiri pondok pesantren
Darul Muhajirin Praya, TGH. L. Muhammad Faishal Pendiri Pondok
Pesantren Manhal al-Ulum, Praya, merupakan satu-satunya murid beliau
yang diberi tugas dan amanat untuk menjadi ketua NU di Lombok,
sehingga NU masuk ke Lombok tidak terlepas dari peranan TGKH.
M. Zainuddin Abdul Madjid, Muhaddits Abdul Haris, Rais, Amrillah,
Salim, Abdurrahman, Nursam, Abdul Samad, kemudian alumni-alumni
ini mendirikan madrasah pertama di Praya, madrasah Nurul Yakin,
pada tahun 1943, di mana pengelolanya dipimpin oleh TGH. Muadz
Abdul Halim dan Pembinanya TGH. Najamuddin Makmun, berikutnya
Raden Tuan Sakra Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Sakra, Ust
Yusi Muhsin dan angkatan ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH.
Dahmuruddin Pengasuh Ponpes Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh
Yahya Kemudian disusul pada angkatan berikutnya sekitar 1950-1955
Yaitu Syeikh M Adnan kini menjadi syeikh di Madrasah al-Shaulatiyyah
Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, juga TGH. Zainal Abidin
Ali, pendiri pondok Pesantren Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur.17

Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an


terkenal pada era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok
pesantren al-Mukhtariyah Mamben, TGH. M.Zainuddin Mansyur, MA.
TGH. Zaini Pademare, TGH. Zainal Abidin Ali Sakra Pendiri Ponpes
Manbaul Bayan Sakra, Sedangkan angkatan keenam sekitar tahun 1960-
65-an TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc pendiri Ponpes Dar al-Nahdhoh
NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri Ponpes Islahul
Mu’minin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin Ahmad, pendiri
Ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri Ponpes
Nurul Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri Ponpes Nurul Haramain
NW Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri Ponpes al-Aziziyah Kapek
Pemenang dan lain-lain.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _35

Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir


dari angkatan terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH. M. Zainuddin
Abdul Madjid dan sekaligus kader-kader ini dijadikan sebagai asisten
beliau dalam banyak kegiatan keagamaan sekaligus sebagai penerus
pasca meninggalnya Syeikh Zainuddin pada tahun 1997 antara lain,
TGH. Mustamiudin Ibrahim pendiri Ponpes Suralaga, TGH. Habib
Thanthawi, pendiri Ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya,
TGH. Mahmud Yasin, Pendiri Ponpes Islahul Ummah NW Lendang
Kekah Mantang, TGH. M. Ruslan Zain An Nahdli pendiri Ponpes Darul
Kamal NW Kembang Kerang, Lombok Timur, TGH. M. Zahid Syarif
pendiri Ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada, TGH. Tajuddin
Ahmad pendiri Ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L.
Anas Hasyri pendiri Ponpes Darul Abror NW Gunung Raja’ Rensing,
TGH. M.Yusuf Ma’mun pendiri Ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi
Najamuddin pendiri Ponpes Raudlatutthalibin Pao’Motong Masbagik,
TGH. Khaeruddin Ahmad, Lc., pendiri Ponpes Unwanul Falah Pao’
Lombok dan ratusan pondok pesantren yang tersebar di pulau Lombok
didirikan oleh alumnus-alumnus pondok pesantern Darun Nahdlathain
NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M. Zainuddin Abd Majid (w.
thn 1997 M) dalam usia 102 tahun dalam hitungan Hijriyah dan 98 tahun
dalam hitungan masehi18

Rintisan TGKH M. Zainuddin Abdul Madjid dengan orientasi


baru, muncul TGH. Musthafa Khalidi dan TGH. Ibrahim Khalidi,
dua bersaudara mendirikan Pondok Pesantren Al-Islahuddiny Kediri
Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren inilah yang kemudian
mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang tradisonal
menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh TGH. M.
Zainuddin Abdul Madjid Pancor Lombok Timur. Pondok Pesantren ini
merupakan pesantren pertama yang mengadopsi sistem klasikal dalam
pengajarannya di kawasan Lombok Barat, baru disusul oleh pesantren-
pesantren berikutnya.
36_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Potret ini menggambarkan bahwa kontribusi organisasi NW di bawah


komando TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah secara
langsung memberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan
sumber daya manusia NTB yang tidak sedikit dari alumni-alumni NW
telah berkiprah banyak dalam pembangunan bangsa dan negara.

Gerakan Pondok Pesantren dalam mengembangkan semangat sosial


keberagamaan di NTB tercermin dalam banyaknya Pondok Pesantren
NW yang berkiprah bukan saja pada aspek pendidikan saja tapi bergerak
dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Data Pondok Pesantren yang
ada di Lombok NTB dengan komposisi, Pondok Pesantren di Kota
Mataram berjumlah, 22 buah, Lombok Barat, 77 buah, Lombok Tengah
80 buah, Lombok Timur 114 buah.19 Secara kuantitatif pondok pesantren
tersebut berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Wathan. Ini artinya separuh
dari lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan di
NTB didominasi oleh Organisasi NW yang secara otomatis lembaga
tersebut berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan, sosial dan
kemasyarakatan di NTB

G. Nahdlatul Wathan dan Inovasi-inovasi Baru dalam Ranah


Sosial Keagamaan

Dalam kaidah ushul fiqh, dan menjadi spirit dalam pengembangan


Pondok Pesantren dewasa ini, disebutkan: Al-Muhâfazhah ala al-Qadîm al-
Shâlih wa al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah, memelihara dan merajut tradisi-
tradisi yang lama dengan tetap mengadopsi sesuatu yang kontemporer
yang dianggap relevan. Makna dari kaidah itu telah direalisasikan secara
luas oleh organisasi NW dengan membuat sesuatu yang baru atau
suatu yang lama dalam format yang berbeda. Inovasi-inovasi ini jelas
mendapatkan ragam tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat,
tapi NW tetap mengorbitkan inovasi-inovasi yang sesuai dengan karakter
sosial masyarakat. Di antara inovasi-inovasi tersebut adalah sebagai
berikut:
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _37

1. Semangat Beramal: Melontar Dengan Uang

Ada tradisi yang dikembangkan oleh pendiri NW TGKH. M.


Zaenuddin Abdul Madjid yang tidak lazim dilakukan oleh tuan
guru-tuan guru yang lain yaitu tradisi melontar dengan uang di saat
akan berakhirnya pengajian yang dipimpin langsung oleh beliau atau
oleh wakil. Tradisi ini substansinya adalah mengajak masyarakat
secara sukarela mengeluarkan harta yang dimilikinya berupa uang
dari uang pecahan puluhan rupiah sampai ribuan rupiah. Tradisi ini
berpijak pada tradisi Nabi Muhammad SAW di saat mengajak para
sahabat untuk menyumbangkan sebagian harta yang dimilikinya
untuk membantu para sahabat dalam medan perjuangan. Para
sahabat secara sukarela mengeluarkan harta bendanya sesuai yang
diharapkan Nabi. Tradisi ini dikonkritkan oleh NW dengan format
yang berbeda sesuai keadaan dan karakteristik masyarakat Lombok
khususnya masyarakat kelas bawah yang secara esensial hanya
dengan sistem ini mereka bisa mengeluarkan infaq sadaqah kepada
perjuangan NW yang mungkin merasa malu untuk mengeluarkan
uang yang nominalnya sangat sedikit, sehingga dengan sistem
melontar diharapkan masyarakat tumbuh semangat untuk berkorban
demi kepentingan umat yang lebih banyak.

2. Semangat Berdoa: Hizib Berjama’ah

Hizib merupakan kumpulan bacaan yang terdiri dari sejumlah ayat,


hadits dan doa-doa. Hizib ini merupakan kekuatan spiritual khas
dan paling otentik dalam tradisi masyarakat Nahdlatul Wathan.
Kekuatan magnet hizib tidak lain berkat sosialisasi yang sangat inten
dari pendiri NW sekaligus perumus hizib sendiri.20

Awalnya hizib tersebut merupakan catatan kumpulan doa-doa yang


diamalkan secara pribadi oleh Maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin
Abdul Majid. Kemudian disebarkan pada rekan-rekannya dan santri-
santrinya di lingkungan madrasah dengan nama ‘’doa Nahdlatul
Wathan’’ yaitu pada akhir tahun 1360 H/1941 M, dengan harapan
38_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

semoga Allah SWT menjaga kesinambungan madrasah NWDI yang


didirikan. Jadi ada korelasi antara lahirnya doa-doa tersebut dengan
permohonan keselamatan program dakwah lewat jalur pendidikan
yang dirintis itu.

Dengan ketulusan pribadi mengamalkan doa-doa tersebut, yang juga


diikuti oleh murid-muridnya di NWDI dan NBDI maka cepat tersiar
doa tersebut kelapisan masyarakat, lebih-lebih setelah berbagai
macam ujian dan cobaan pada masa awal pertumbuhan madrasah
tetap tertanggulangi, maka secara otomatis khasiat doa-doa tersebut
makin diyakini oleh masyarakat NW. hingga kemudian setelah lebih
dua dasawarsa menjadi hizib yang tercetak dan lebih mudah bagi
siapa saja untuk membacanya. Kutipan panjang berikut mengisahkan
kronologisnya:

Maka sudah lebih dua puluh tahun lamanya hizib NW mendengung


di dunia madrasah NW Diniyah Islamiyah di pulau Selaparang
(Lombok) ini, yaitu mulai dari sejak beberapa bulan dari pendaratan
tentara Jepang (Nipon) di pulau Jawa dengan ganasnya yang
mengakibatkan Madrasah-madrasah (sekolah agama) di seluruh
kepulauan Indonesia lebih dari enam puluh persen (60%) gulung
tikar atau digulung langsung oleh Jepang atau oleh kaki tangan
Jepang (pengkhianatan nusa bangsa, tanah air dan agama). Setelah
berdirinya madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (madrasah
kaum hawa) pada 21 April 1943, disusun pula Hizib Nahdlatul Banat
yang didengungkan pagi–sore oleh kaum hawa. Setibanya Jepang di
daratan Lombok, alhamdulillah para pelajar NWDI dan NBDI sudah
setia setiap saat dengan hizib mereka, yang mengandung beberapa
ayat Allah, Hadits-hadits Rasulullah SAW dan beberapa as’ma
Allah, maka dengan limpah pertolongan Rabbul alamin dan dengan
berkah-berkah Asror (rahasia-rahasia) kedua hizib yang diwiridkan
(amalkan) pagi-sore itu, kedua Madrasah itu selamat (terpelihara)
dari pada keganasan ancaman Jepang dan ancaman kaki tangan
Jepang sekalipun berkali-kali mereka datang di Pancor (madrasah)
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _39

bermaksud menutup (membubarkan) madrasah tersebut, Walakin


Yadullah Fauqo aidihim, selanjutnya selamat pulalah kedunya dari
kekejaman ancaman NICA akibat penyerbuan guru-guru madrasah
NWDI serta beberapa muridnya pada kubu pertahanan NICA di
Selong yang membawa bukti sabil (syahidnya) saudara kandung kami
Ustadz Haji Muhammad Faishal Abdul Madjid yang menjelmakan
taman bahagia di Selong.

Pada malam Jum’at Nisfu Sya’ban tahun 1363 H/1944 M telah


kejadian kebakaran umum di seluruh gubuk Bermi (kampung
tempat berdiamnya NW dan Nahdlatul Banat), alhamdulillah
kedua madrasah tersebut serta rumah-rumah pembangunannya
terpelihara sekalipun kampung tersebut menjadi lautan api dan
semua rumah-rumah (bangunan-bangunan) sekitarnya habis
menjadi abu. Dzalika fadlullahi Yu’tihi man yasya’ wallhu dzul fadlil
‘adzim. Demikian seterusnya pada masa-masa yang lampau selalu
kedua umm al-madâris (Nahdhatul Wathan dan Nahdhatul Banat)
ditimpa oleh bermacam-macam malapetaka, fitnahan dan hasutan,
tetapi tuhan Allah tetap melindungi. Penduduk Pancor sendiri sama
mengetahui berbagai macam peristiwa ajaib yang bersejarah itu
kecuali mereka yang buta mata hatinya atau pura-pura buta tuli bisu
(summum bukmun ‘umyun), atau memang sengaja ingin mengabai
jalannya perkembangan sejarah kedua madrasah tersebut. Itulah
madrasah NW dan madrasah Nahdlatul Banat beserta hizib NW dan
hizib Nahdlatul Banat, oleh kedua hizib ini sudah tersiar di sana-
sini dengan meluasnya, terutama setelah diresmikan berdirinya
organisasi Nahdhatul Wathan pada hari Ahad 15 Jumadil tsani 1372
H/1 Maret 1952 M, maka bertambah pesatlah tersiarnya sampai di
luar daerah Lombok di mana cabang NW berdiri.21

Tepatnya pada tahun 1962 untuk pertama kalinya Hizib tersebut


berhasil dicetak. Hal ini mengingat banyaknya permintaan khususnya
dari keluarga besar NW untuk lebih mudahnya mengamalkan
hizib tersebut.
40_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tradisi membaca hizib memang merupakan kebiasaan yang banyak


dijumpai di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah di manapun
berada dan berlabel organisasi keagamaan apapun juga. Hizib-hizib
sebenarnya adalah do’a-doa biasa, namun karena diciptakan oleh
ulama terkenal maka menjadi terkenal dan disukai oleh banyak orang.
Dalam kaitan ini hizib yang disusun oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul
Madjid adalah karya orisinilnya, meskipun tentu mengutip banyak
doa dari ulama terdahulu, disebut-sebut merupakan kumpulan doa-
doa 70 auliya’ yang diramunya dan disajikan dalam bentuk baru

Bacaan hizib dapat dilakukan secara sendiri atau berjama’ah. Apabila


sendiri maka sebelum pada bacaan inti terlebih dahulu membaca
fatihah tiga kali dengan niatnya dan membaca shalawat yang enam,
baru membaca hizib dan berdoa. Adapun jika hizib dibaca secara
berjama’ah misalnya pada malam jum’at maka tata caranya sebagai
berikut :

1. Membaca fatihah tiga kali, dengan niat masing-masing


ditujukan kepada: a) Nabi Muhammad SAW, Nabi yang
lain dan seluruh keluarganya berikut para sahabat. b)
penyusun hizib maulanasyeikh TGKH. M. Zainuddin Abdul
Madjid, silsilahnya ke atas dan orang yang mencintainya. c)
para auliya’, ulama’, guru-guru, dan kaum nahdliyyin dan
nahdhliyyat dan muslimin muslimat.

2. Membaca surat Yasin sekali oleh masing-masing hadirin

3. Membaca shalawat Nahdlatain, sekurang-kurangnya 10 kali,


lalu membaca shalawat lima lainnya masing-masing sekali,
yaitu a) shalat al-Fatih, b) shalat an-Nariyah, c) shalat al-Thib,
d) shalat al-aliyyil Qadri, e) shalat miftahi babi rahmatillah.

4. Membaca hizib

5. Membaca qasidah al-munfarijah dst sampai doa sulthanula


auliya’ syiekh Abdul Qadir Jaelani, ayudrikuni dhaimun…
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _41

6. Doa penutup. Dari teks yang dilengkapi tata cara tersebut


lebih-lebih lagi karena sosialisasi yang sangat inten, maka
kini tradisi hiziban masyarakat pesantren NW menjadi
sangat meluas.

3. Semangat Berulang Tahun: Hultah NWDI

Istilah HULTAH dipopulerkan oleh organisasi NW yang semakna


dengan istilah yang dipopulerkan oleh ormas-ormas Islam lainnya,
seperti Milad, Harlah, Dies Natalies, Haul, dll. Kata hultah sebenarnya
diambil dari bahasa Arab, Hâla, Yahûlu, Haûlan, yang berarti keadaan
yang sudah sampai setahun, atau sesuatu yang genap setahun,
kemudian ditambahkan dengan Ta’ mukhatab, menjadi Hulta,
yang berarti engkau merayakan hari yang ke setahun, kemudian
ditambahkan Ha’ dhamir, kata ganti orang pertama tunggal menjadi
Hultahu, diwakafkan menjadi Hultah. Referensi Ha’ itu ke yaum
milad sehingga menjadi hultah, yang secara umum diartikan engkau
merayakan hari kelahirannya.

Istilah HULTAH NWDI pertama kali dikenal pada ulang tahun NWDI
ke-15 pada tahun 1952. awalnya hanya berbentuk tasyakkuran, yang
diisi dengan pengajian singkat dan diakhiri dengan acara makan
bersama (begawe/begibung/-Bahasa Sasak). Dalam perkembangan
selanjutnya, HULTAH NWDI ini dijadikan sebagai acara pengajian
tahunan pendirinya dan media silaturrahmi dan komunikasi
antaralumni (abituren) dan jamah NW di seluruh Nusantara serta
dihadiri oleh pejabat dari instansi pemerintah, baik lokal maupun
nasional, bahkan juga undangan dari negara-negara sahabat dan
perwakilan badan-badan internasional seperti WHO, UNICEF, dan
lain-lain.

Hari ulang tahun atau biasa disebut oleh masyarakat NW dengan


sebutan Hultah. Hultah merupakan hari ijtima’ nasional yang
diselenggarakan oleh dewan pengurus Besar NW. Peringatan Hultah
42_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dan istilahnya merupakan inovasi baru bagi organisasi NW dalam


membangun kesadaran dan semangat bersama dalam memperingati
nilai-nilai perjuangan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh
Pendiri NW, sehingga Hultah menjadi urgen jika dikemas sesuai
dengan tuntutan awal diselenggarakan peringatan tahunan bagi
warga NW, dan ini membuktikan NW memberikan sumbangsih
yang tidak sedikit dalam bidang pengembangan sosial keagamaan di
NTB ini.

4. Tradisi Syafa’ah Al-Kubro

Banyak istilah yang dikembangkan oleh organisasi lain seperti,


Istighosah, Ratiban, Zikiran, dan lain-lain. Tradisi ini sebetulnya
telah dikembangkan oleh ulama’-ulama terdahulu, tapi yang berbeda
mungkin masalah istilah yang dipergunakan. Kalangan masyarakat
pesantren NW istilah zikir yang dilakukan secara berjama’ah di
saat pengajian, atau hajatan keluarga yang telah meninggal dunia,
diistilahkan dengan syafa’ah dan istilah ini menurut penulis, menjadi
term sosial yang berkembang di NTB karena dikembangkan oleh
NW. dengan demikian pengembangan sosial keagamaan dalam
aspek-aspek tertentu sangat didomisasi oleh organisasi NW.

Secara etimologi maupun terminology kata syafa’ah bermakna


memberikan pertolongan dengan membacakan do’a-do’a yang
diniatkan kepada apa yang dihajatkan oleh sohib al-hajah (yang
mengundang untuk melakukan kegiatan hajatan). Tradisi syafa’ah
ini terus-menerus dikembangkan oleh warga NW sebagai wasilah
zikir sekaligus ajang silaturrahim antar sesama muslim atau dalam
sekala besar tradisi syafa’ah dijadikan sebagai sarana untuk beramal
jariah bagi kalangan masyarakat NW.

Adapun prinsip dasar pelaksanaan syafa’ah atau zikir secara berjamaah


dalam konsep Islam tidak perlu diperdebatkan kembali cara dan
istilah yang digunakan, sebab masing-masing ulama, khususnya
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _43

kalangan ulama ahlussunnah wal jamaah secara ijma’ mengatakan


bahwa zikir berjama’ah itu termasuk sunnat yang diwariskan oleh
Nabi Muhammad SAW. Hanya saja yang masih diperdebatkan
mengenai tata cara zikir itu sendiri. Kalangan masyarakat pesantren
NW, tradisi syafa’ah dilakukan secara berjamaah dan suara jahar
(nyaring).

5. Semangat Emansipatoris: Pendidikan Untuk Kaum Perempuan

Ada beberapa lembaga yang secara khusus membina dan mendidik


kaum perempuan di Lembaga NW;

Pertama, Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah, madrasah


yang didirikan pada era penjajahan Jepang, 15 Rabi’ al-Akhir 1362
H/ 21 April 1943. madrasah inilah, madrasah pertama di NTB yang
mencetuskan pendidikan untuk kaum perempuan yang sebelumnya
tidak pernah dirintis oleh para tuan guru-tuan guru yang lain. Jadi
NW dapat dikatakan sebagai pelopor emansipatoris bagi kaum
perempuan yang mensejajarkan antara laki-laki dalam aspek
mendapatkan hak dan kewajiban untuk mendapatkan pendidikan
yang layak.

Alumni-alumni NBDI dapat mendorong terciptanya lembaga-


lembaga keperempuanan di tingkat kabupaten di Lombok, seperti,
Madrasah Sullam al-Banat di Sakra, Madrasah al-Banat di Wanasaba,
Madrasah Is’af al-Banat di Perian, Madrasah Sa’adatul Banat di Praya,
Madrasah Tanbih al-Muslimat di Praya,dll. Ini membuktikan bahwa
peranan NBDI yang kemudian dikoordinasikan dalam Organisasi
NW telah memberikan kontribusi nyata dalam mengangkat harkat
martabat perempuan NTB. Kiprah perempuan NTB jelas memberikan
nuansa baru dalam aspek pembangunan sosial keagamaan di tengah
komunitas mereka masing-masing.
44_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Kedua, Madrasah Muallimat 6 Tahun, yang didirikan pada tahun


1957, madrasah ini diorientasikan untuk menjadi guru-guru agama
di madrasah-madrasah yang didirikan oleh NW dan pemerintah.
Kontribusi nyata dari Madrasah Muallimat ini adalah lahirnya
srikandi-srikandi NW yang siap berjuang melawan kebodohan dan
kesenjangan sosial di tengah masyarakat, dan tidak sedikit dari
kader-kader muslimat NW yang berkiprah dalam segala bidang dan
keahlian.

Ketiga, Ma’had lil Banat, Perguruan Tinggi yang khusus untuk kaum
perempuan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid
pada tahun 1974 M. Lembaga ini merupakan lembaga yang secara
kurikulum mengacu pada kurikulum Madrasah as-Saulatiyyah
Makkah di mana TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dulu menuntut
ilmu, sehingga Ma’had lil Banat ini dijadikan sebagai lembaga yang
secara khusus mengkaji kitab-kitab klasik ala madrasah Saulatiyyah
dengan sistem belajar khalaqoh (duduk bersila), dan lembaga ini
dibentuk dalam tiga tingkatan. Kiprah alumni Ma’had Lil Banat ini
dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB secara umum telah
menyebar ke seluruh pelosok tanah air sembari mengemban amanat
ke-NW-an dan ke-Islam-an. 22
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _45

H. Epilog

Sebagai sebuah organisasi, NW telah mengambil peran yang sangat


besar terhadap pengembangan kualitas umat di NTB, baik kualitas
spiritual, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, bahkan politik. Bahkan
NW tidak hanya menjadi lokomotif bagi perkembangan umat, tetapi juga
menjadi perekat sosial dalam keragaman masyarakat NTB khususnya
dan masyarakat Indonesia secara nasional.

Kesuksesan NW dalam pembangunan sosial keagamaan di NTB tidak


terlepas dari modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh organisasi
NW;

Pertama, Norma dasar yang dimiliki oleh organisasi NW dan


warganya yaitu Iman dan Taqwa, yang tercermin pada pokoknya NW,
Pokoknya NW Iman dan Taqwa.

Kedua, adanya hubungan dan kerjasama yang kuat baik secara


internal dengan warga NW, maupun secara eksternal dengan institusi
pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial keagamaan
lainnya.

Ketiga, kuatnya rasa kebersamaan warga NW yang terbentuk secara


alamiah melalui ritual dan kegiatan-kegiatan NW.

Dengan demikian, tak salah jika kita menyebut NW sebagai organisasi


yang bergerak dalam ranah sosial keagamaan telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan dalam arti luas di
Nusa Tenggara Barat
46_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj),


Jakarta: CV Rajawali, 1998
Abd Aziz, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004,
Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada, 2006
Ma’shum Ahmad Abdul Madjid, BA, “Meneladani Kepemimpinan
Hamzanwadi”, Makalah disampaikan pada acara Kongress
HIMMAH NW V di Pancor pada tanggal 14 Mei 1994.
Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan,
Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.
Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70,
Jakarta: Nimas Multima, 1997.
Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia,
Jakarta: eLSAS, 2004.
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhlatul Ulama, Solo:
Jatasu Sala, 1985.
Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Jember : Masjid Sunan
Kalijaga, 2004.
Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,
Strategi Sampai Tradisi, Bandung : Rosda Karya, 2001.
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007.
Abdul Munir Mulkan, Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum
Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.
Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1.
Abdul Hayyi Nu’man & Sahafari As’ary, Organisasi NW Di Bidang
Pendidikan, Sosial dan Dakwah Islamiyah, Pancor: Toko Buku Kita,
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _47

1984, cet.1.
John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim: Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1.
------------ Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 2001, cet. 1.
Baharuddin, Nahdltul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta
Press, 2007, cet. 1.
Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang
Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang Pendidikan, Sosial dan
Dakwah, Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004.
------------Eksistensi Pondok Pesantren di NTB, dalam jurnal Pesantren
Studies, Jakarta: Depag RI, 2008.
Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola Dakwah TGKH. M.Zaenuddin Abdul
Majid, Laporan Penelitian,1999.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Hizib NW wa hizib Nahdlatul Banat,
Pancor: Toko Buku Kita, cet.ke-74
48_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Lihat Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj),


Jakarta: CV Rajawali, 1998, h. 30..lihat kutipannya juga dalam Abd Aziz
(Peny.), Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004, h. 66.

2. Konsep organisasi di kalangan para ahli sosiologi dan antropologi secara


umum mengatakan bahwa organisasi pada prinsipnya memiliki dua
dimensi penting, pertama adalah organisasi sosial dan kedua dikatakan
sebagai struktur sosial. Organisasi sosial termasuk di dalamnya organisasi
keagamaan seperti NU, NW, Muhammadiyah, di mana para ahli kerap
kali menyamakan begitu saja kedua konsep ini. Padahal organisasi sosial
cendrung digunakan secara longgar untuk merujuk kepada penjumlahan
total kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu.
Sedangkan struktur sosial biasanya dipergunakan ntuk merujuk konteks
sosial itu sendiri, atau lebih tepatnya bagi seperangkat hubungan sosial
yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam masyarakat. Lih.
Ahmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada, 2006, h. 170

3. Ma’shum Ahmad Abdul Madjid, BA, “Meneladani Kepemimpinan


Hamzanwadi”, Makalah disampaikan pada acara Kongress HIMMAH NW V
di Pancor pada tanggal 14 Mei 1994, lihat juga kutipannya, Muh. Nur, dkk,
Visi…h. 307

4. Karel A.Steenbrink membagi sejarah Islam di Indonesia kepada tiga


periode: pertama, sejak masuknya Islam sampai abad ke -17, kedua, abad
pertengahan (awal VOC) sampai abad ke-19, ketiga, abad ke-20 sampai
sekarang. Lihat, Muin Umar, ed, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam
Sorotan, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, h. 155.
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _49

5. Alaidin Kotto, Pemikiran Politik PERTI Persatuan Tarbiyah Islamiyah 45-70,


Jakarta: Nimas Multima, 1997, h. 1

6. Hilmi Muhammadiyah & Sulthan Fathoni, NU: Identitas Islam Indonesia,


Jakarta: eLSAS, 2004,,h. 118, lihat juga Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan Nahdhlatul Ulama, Solo: Jatasu Sala, 1985, h. 25. lihat juga buku
Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Jember : Masjid Sunan Kalijaga,
2004, h. 15.

7. Nanih Machendrawaty, et all, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,


Strategi Sampai Tradisi, (Bandung : Rosda Karya, 2001, h. 91

8. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi


Komunikasi Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007, h. 270

9. Secara redaksional ungkapan ini telah lama dicetuskan oleh Abdul Munir
Mulkan dalam bukunya Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum
Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003, h. 18, dengan ada penambahan penjelasan
dari penulis dengan memasukkan organisasi NW yang berbasis masa Islam
terbesar di NTB, di mana secara prinsip ada kesamaan dengan dua
organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.

10. Muhammad Nur, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-
1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. 1, h. 305. lihat juga, Abdul
Hayyi Nu’man & Sahafari As’ary, Organisasi NW Di Bidang Pendidikan, Sosial
dan Dakwah Islamiyah, Pancor : Toko Buku Kita, 1984, cet.1.h. 12.

11. Madrasah al-Sa’adah di Kelayu, 1942, Madrasah Nurul Yaqin, Praya, 1942
Madrasah Nurul Iman, di Mamben, 1943, Madrasah Shirat al-Mustaqiem,
di Rempung 1943, Madrasah Hidayatul Islam di Masbagek, 1943 Madrasah
Nurul Iman di Sakra, 1944, Madrasah Nurul Wathan di Mbung Papak, 1944,
Madrasah Tarbiyah al-Islam, di Wanasaba, 1944, Madrasah Fari’iyyah di
Pringgasela, 1945. Lihat, Muh. Nur, dkk, Visi…h. 189
50_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

12. John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai
‘’sebuah pulau dengan 1000 masjid’’ yang mungkin meremehkan
keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas, Lombok
sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam diterima secara
serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku
dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain
di negara ini. Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim:
Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung, 1999,
cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya; Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat
Sasak, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001, cet. 1, h. 86.

13. Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan jumlah masjid
829, Lombok Tengah 1.229 masjid, Lombok Timur, 1.574 masjid, Kota
Mataram 225 masjid.

14. Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press,
2007, cet. 1, h. 227

15. Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-


an perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh
kharismatik TGKH M.Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren
Darul Mujahidin tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren
tersebut dibubarkan oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren
tersebut telah dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran
tetap dilaksanakan oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang
beberapa tahun TGKH. Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah
yang bernama NW Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H
bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M khusus untuk putra dan Madrasah
Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan
dengan 21 April 1943 M khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama
di daerah Lombok yang menggunakan pengajaran sistem klasikal. Dari dua
madrasah inilah sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar
Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat _51

di NTB yang bernama organisasi NW (NW) pada tanggal 15 Jumadil


Akhir 1372 M bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki
cabang diseluruh daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan
di lingkungan organisasi didirikan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.

16. Istilah ini dipopulerkan oleh Maulana Syeikh Muhammad Zainuddin untuk
menjelaskan bahwa eksistensi dua madrasah ini akan tetap berjaya dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun. Istilah ini mencerminkan komitmet yang
kuat bagi pendirinya untuk tetap berjuang membela prinsip yang menjadi
acuan dalam berjuang mengembangkan amanat agama melalui pendidikan
madrasi yang awal mulanya mengalami tekanan dan rintangan dari segala
penjuru, namun prinsip yang beliau pegang teguh adalah dua madrasah ini
menyatu dalam satu prinsip yang tak akan bisa pudar dan hancur.

17. Lihat, Fahrurrozi, Eksistensi Pondok Pesantren di Lombok NTB: Studi Tentang
Peranan Pondok Pesantren NW dalam bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah,
Jakarta: PPS UIN Jakarta,2004,, h. 189, (Tesis tidak dipublikasikan), Lihat
juga, Eksistensi Pondok Pesantren di NTB, dalam jurnal Pesantren Studies,
Jakarta: Depag RI, 2008, h. 34

18. Fahrurrozi, Eksistens... h. 189, Lihat juga, Eksistensi Pondok....h. 35.


19. Sumber: Data Emis Depag dan Sekretariat FKSPP NTB, 2003-2004
20. Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Dan Pola Dakwah TGKH. M. Zaenuddin Abdul
Majid, Laporan Penelitian,1999, h. 86.

21. Teks aslinya tertulis dengan huruf Melayu Arab. Lihat Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, Hizib NW wa hizib Nahdlatul Banat, Pancor: Toko
Buku Kita, cet.ke-74, tt, h. 35-34. Naskah hizib ini dicetak ulang hampir tiap
tahun dan merupakan teks yang paling banyak beredar di kalangan warga
NW.

22. Semangat Perjuangan: eksplorasi prinsip-prinsip perjuangan TGH.


‫‪52_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014‬‬

‫‪Zainuddin dalam gubahan syairnya. Semangat kebangsaan. semangat‬‬


‫‪kebangsaan TGH.‬‬ ‫الكمال اخل‬
‫‪Muhammad Zainuddin‬‬ ‫انت عنوان‬
‫‪dalam‬‬ ‫انت يا فنجور بالدى‬
‫‪menakhodai‬‬ ‫‪NW‬‬
‫‪tercermin dalam ungkapan syairnya:‬‬ ‫الكمال اخل‬
‫كلان الضالل‬
‫انتمنعنو‬
‫بالدىلك‬
‫فنجور فداء‬ ‫انت يا‬
‫وطىن روحى‬
‫كلوانالضالل‬
‫الكمال اخل‬ ‫لك من‬
‫انت عن‬ ‫فنجورفداءبالدى‬
‫وطىن ياروحى‬
‫انت‬
‫ ‬ ‫وطىن روحى فداء لك من كل الضالل‬
‫ ‬ ‫‪Semangat‬حبزبنا حيي‬ ‫‪primordialisme:‬‬
‫على الوفا نستعد‬ ‫هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا‬
‫هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا على الوفا نستعد حبزبنا حيي‬
‫ ‬
‫هيا غنوا نشيدنا يا فىت ساسك باندونسيا بلغ االيام والليايل حنن اخوان الصفا كلنا على الوفا نستعد حبزبنا حيي‬
‫‪Semangat kepemudaan:‬‬

‫ ‬
‫حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل‬
‫حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل‬
‫حنن فتيان العلوم كل يوم ال ننوم امالنا فوق النجوم جهادنا للمسلمني اخل‬
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _53

The Role of FKDI -FSPPI in Empowering Muslim


in the Midst of Ummah Pluralism (Revitalization
Guidance & Religious Counseling in the Karang
Manik Village Subdistrict Belitang II East OKU
Regency Prov. South Sumatra)

Peranan FKDI -FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim


di Tengah Kemajemukan Umat (Revitalisasi
Bimbingan & Penyuluhan Agama di Desa Karang
Manik Kecamatan Belitang II Kabupaten OKU
Timur Prov. Sumatera Selatan)

Muhammad Kastawi
Penyuluh Agama Ahli KUA Kecamatan Belitang II Kabupaten OKU Timur
email: tawicairoku@yahoo.com

Abstract : History implicitly indicates that the Prophet Muhammad and his companions began to

build Islamic civilization started from the mosque. The spirit of their faith strengthened
by managerial system that are reliable. The partial prosperity of the mosque is
considered will reduce the existence of Muslims that spread in all corners of Indonesia.
This fact will lead to inequality conditions which impact on inequality mosque and
religious development in the community. Therefore, to improve the welfare of the
mosque through variety of activities is a must so that the mosque will actually function
for the ummah. Religious activities is not dominating mosque activity, but there also
have economic activity, education and organization activity. Thus, the mosque grew
as a center for community development.
54_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi : Sejarah secara implisit menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya

mulai membangun peradaban Islam dimulai dari masjid. Semangat keimanan mereka
diperkuat dengan membiasakan sistem manajerial yang handal. Kemakmuran Masjid
yang parsial dianggap akan mengurangi eksistensi kaum Muslim yang menyebar ke
seluruh pelosok daerah di Indonesia. Fakta ini akan menyebabkan ketimpangan kondisi
masjid yang berimbas pada ketimpangan pembangunan keagamaan di masyarakat.
Oleh karena itu, meningkatkan kesejahteraan masjid melalui beragam kegiatan
merupakan sebuah keharusan sehingga masjid benar-benar berfungsi bagi ummat.
Kegiatan keagamaan tidak mendominasi aktifitas kemasjidan, melainkan juga aktifitas
ekonomi, pendidikan dan keorganisasian. Dengan demikian, masjid tumbuh sebagai
pusat pembinaan umat.
Keywords: Empowerment, Guiding, Counseling, Preacher, Mosque

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis multidimensional,


yaitu suatu krisis yang meminjam istilah Frithjof Capra sebagai
krisis dimensi moral, intelektual dan spiritual. Krisis ini bersifat
multidimensional karena mencakup seluruh aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Krisis multidimensional ini bisa menjadi indikator
mundurnya peradaban bangsa, dan sebagai solusinya adalah menata
kembali basis peradaban yang semestinya dibangun.

Berdasarkan pembacaan terhadap sejarah kebudayaan, setidaknya


ada tiga basis yang menjadi fundamen atau dasar bangunan suatu
peradaban. Ketiga basis tersebut adalah kemanusiaan (humanitas),
keilmuan (intelektualitas), dan spiritualitas.1 Demikian pula terlihat
dalam kemunculan sejarah peradaban Islam. Peradaban Islam dapat
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _55

berkembang hingga puncak keemasannya karena adanya pengawalan


spiritualitas keagamaan, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam sejak
masa kenabian sampai akhir kekhalifahan Abbasiyah. Tetapi, ketika
pengawalan spiritualitas, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam
tersebut rontok oleh gaya hidup materialistik-hedonis, maka kemegahan
peradaban Islam mulai lemah hingga mencapai titik kejatuhannya.2

Dalam hal ini, seorang dai (Penyuluh Agama Islam Fungsional) di


Indonesia umumnya dan di OKU Timur khususnya –terlebih lagi di
Kecamatan Belitang II-- sangat berperan dalam pengawalan spiritualitas
keagamaan, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam, yaitu dengan
cara menyampaikan pesan-pesan moral tersebut kepada semua lapisan
masyarakat. Karena Penyuluh Agama Fungsional bersentuhan langsung
dengan anggota masyarakat. Penyuluh Agama merupakan ujung tombak
Kementerian Agama dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada
masyarakat. Penyuluh Agama Islam berkewajiban untuk menumbuh-
suburkan kegiatan-kegiatan Majelis Taklim, lembaga-lembaga
pendidikan seperti TKQ/TPQ, yang paling utama pemakmuran kegiatan-
kegiatan masjid (ta’mir masjid) yang berorientasi pada pencerahan dan
pencerdasan umat melalui kegiatan PHBI dan lain-lain.

Di samping itu, Penyuluh Agama Islam berfungsi sebagai tenaga


pendidikan Agama Islam yang ada di masyarakat, mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan
umat dan kerukunan antar umat beragama serta partisipasi umat dalam
pembangunan nasional.

Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy menyebutkan ada tiga


asas (dasar) terbentuknya masyarakat yang baru dalam konteks ketika
Rasulullah SAW dan para sahabat berhijrah ke Madinah. Masyarakat
yang baru tersebut sering diistilahkan dengan terma Masyarakat Madani
atau masyarakat yang berperadaban. Ketiga asas yang dibangun oleh
Rasul saat itu adalah membangun masjid, mempersaudarakan antara
kaum Muslimin, dan membuat aturan yang kuat untuk intern kaum
Muslimin dan kesepakatan (semacam MoU) dengan non Muslim saat itu.3
56_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Seiring dengan hal tersebut, Penyuluh Agama Islam Fungsional yang


tergabung dalam Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami
Pemuda-Pemudi Islam (FKDI-FSPPI) menjalankan dakwah Islam,
menyambung ukhuwah / tali silaturahmi melalui kegiatan dari satu
masjid ke masjid lain yang bertujuan sebagai pembinaan remaja Islam
masjid (Risma) untuk membentengi umat dari pendangkalan akidah
serta pemurtadan. Masyarakat Muslim Karang Manik harus mendapat
perhatian yang intens karena mereka hidup dan tinggal di tengah –
tengah kemajemukan umat. Dengan mempersaudarakan antara kaum
Muslimin dan menyambung ukhuwah/ tali silaturahmi antara sesama
mereka, sekaligus membimbing dan meningkatkan kualitas pemahaman
mereka sangatlah diperlukan.

Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan bagi orang yang mau


menyambung tali silaturrahmi:

.‫َم ْن َم َم َّب ْنَمن ُيُهْن َم َم َم ُه يِف يِفْن يِف يِف َم ُيُهْن َم َم َم ُه يِف َمَميِفيِف َمُيْنَم يِف ْن َم يِف َم ُه‬
Siapa yang suka untuk diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka
hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi. (HR. Bukhari 5986 & Muslim
2557).

‫يِف‬ ‫يِف َّب‬


Menyambung silaturrahmi memiliki keutamaan istimewa, yakni
‫يِف‬ ‫يِف يِفيِف‬ ‫َّب‬
‫ يِفَم تَم ُه‬،‫ َم تُهُي ْنؤِت ا يِفزَمكا َمة‬،‫ يِفَميِفتُهقْن ُهم ا َّبالَمَمة‬،‫تَمُي ْنعُه ُهد ا َم َمالَم تُه ْنش ُهك ب َمشْنئًا‬
merupakan salah satu sebab penting yang dapat mengantarkan seorang
.‫َم ْنيِف َم َم َّب ْنَمن ُيُهْن َم َم َم ُه يِف يِفْن َم ُيُهْن َم َم َم ُه يِف َمَميِفيِف َمُيْنَم ْن َم َم ُه‬
hamba menuju surga. Dari Abu Ayyub al-Anshori radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata: “Wahai Rasulullah, .‫ا َّب َمم‬
beritahukanlah kepadaku akan amalan yang dapat memasukkan aku ke
dalam surga dan menjauhkan diriku dari api neraka.” Lalu Nabi SAW
menjawab :

‫ض تَمن يِف‬،‫ ا َّبتُهُييِفْنؤيِفِتالا َّبُيزَمكُياقَمة‬،‫ تُهيِفق ُيم ان بيِفَّبعالَمهَمةيِفد‬،‫َمش ائًَّب يِفا‬.‫اا‬


‫تيِفَمُيَّبعا ُهدُي اَمَّبَّبك ُهالَمُه تُه ْناش يِفَمُهْنك بيِفيِف‬
‫َم َم ْن ُه‬ ‫َم‬ ‫ُه‬ ‫ُه‬ ‫ْن‬ ‫َم‬ ‫َم‬ ‫ْن‬ ‫َم‬
‫ْن ُه ْن َم‬ ‫ُه‬ ‫ْن‬ ‫َم‬ ‫ْن‬ ‫ْنَمُه َمَم َمُه َم ْن َم‬
‫ص َم َم َمَيْن َمش ْن َمن َمبُيَّب ُهه ْنم‬ ‫ُي‬ ‫َمن‬
‫ْن‬ ‫ اَّب يِف يِف ُه َمن ا َم ا َّب بيِفيِف‬.‫اا‬ . ‫م‬ ‫اْنَّبيِفيِف‬
‫ُه ْن َم‬ ‫ْن َم َم ْن َم َم ْن َم َم َم ُه‬ ‫َم‬ ‫َم‬
.‫اا‬‫اايِف يِف‬
‫َم َمَيَما ُهُي ْن َمن ُه ْن َم ْن َم‬
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _57

‫ تَم يِف‬،‫ تُهُي ْنؤيِفِت ا َّبزَمكا َمة‬،‫ تُهيِفق م ا َّبالَمَمة‬،‫تَمُيع ُهد ا َّب الَم تُه ْنش يِف ُهك بيِفيِف َمش ئًا‬
Engkau beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan
‫َم ُه‬ ‫َم‬ ‫ْن َم ْن ُه‬
sesuatu apapun, menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan menyambung tali ‫ْن ُه َم َم‬
silaturrahmi. (HR. Bukhari 1396 & Muslim 13)
.‫ا َّب يِف َمم‬
Menyambung tali silaturrahmi merupakan bentuk ketaatan kepada
Allah SWT. Allah SWT memuji orang-orang yang mengerjakan ketaatan
kepada-Nya, dan salah satu dari ketaatan kepadanya adalah menyambung
tali silaturrahmi. Dalam surat ar-Ra’du Allah SWT berfirman:

‫يِف يِف‬ ‫ اَّب يِف‬.‫اا‬ ‫يِفَّبَما ُيَم َم َّبك ُه ُه اْن َمْن يِف‬
‫ض ْن َمن‬ ‫ُه ُيُه ْن َمن بيِف َمع ْنهد ا َّب َمالَم َمُيْنُي ُهق ُه‬ ‫َم‬ ‫ْن‬ ‫َم ُه ْن َم‬
‫ص َم َم َمَيْن َمش ْن َمن َمبُيَّب ُهه ْنم‬ ‫ُي‬ ‫َمن‬ ‫ا َّب بيِفيِف‬ ‫َم‬ ‫ اَّب يِف يِف‬.‫اا‬ ‫يِف‬
‫ُه ْن َم‬ ‫ْن‬ ‫ُه‬ ‫اْن ْنَم َم َم ْن َم َم ْن َم َم َم‬
‫ا‬ ‫ن‬‫َم‬ ‫ُه‬
.‫اا‬ ‫اايِف يِف‬
‫َم َمَيَما ُهُي ْن َمن ُه ْن َم ْن َم‬
“Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak

‫يِف َّبن ا َّب ُهيِفُي ُّ اَّب يِف ُي َمقاتيِفُه َمن يِف يِف يِف يِف‬
perjanjian.  Dan orang-orang yang menyambung apa-apa yang Allah
‫ص ًّفا َمك َمنُيَّب ُهه ْنم بُيُهْنُيَما ٌن‬
‫َم َم‬
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhan-nya dan ‫َم ُه‬ ‫َم‬
takut kepada hisab yang buruk.” (QS. ar-Ra’du: 19-21)

Begitu mulia orang yang mendapatkan pujian dan sanjungan


.‫و‬ ٌ ‫ص‬ ‫ُه‬dari‫َم ْن‬
Allah ta’ala, dan sungguh celaka orang yang mendapatkan celaan dan
cercaan dari-Nya.

Pembahasan
A. Kondisi Obyektif Kabupaten OKU Timur

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) salah satu


kabupaten yang ada di Propinsi Sumatera Selatan. Kabupaten OKU
Timur terbentuk berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2003 sebagai
daerah pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan
jumlah wilayah kecamatan yang semula terbagi atas 10 kecamatan,
lalu berkembang menjadi 16 kecamatan dan pada tahun 2007 menjadi
58_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

20 kecamatan dengan 323 desa. Kabupaten OKU Timur beribu kota di


Martapura dan memiliki wilayah seluas ± 337.000 Ha atau ± 3.370 KM2.
Secara umum, keadaan wilayahnya terbagi atas tiga jenis topografi, yakni
dataran, bergelombang dan berbukit dengan variasi ketinggian antara
35-67 M di atas permukaan laut.

Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur berbatasan


dengan:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering


Ilir, Sumatera Selatan.

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering


Ulu Selatan dan Provinsi Lampung.

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering


Ulu, Sumatera Selatan.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering


Ilir, Sumatera Selatan.

Kabupaten OKU Timur dapat ditempuh dari Palembang melalui jalan


darat selama 4 jam dengan kondisi jalan hotmix. Menurut data BPS OKU
Timur, jumlah penduduk Kabupaten OKU Timur pada tahun 2011 adalah
609.982 jiwa. Kabupaten OKU Timur terdiri dari 137 unit pemukiman
transmigrasi (UPT) dengan jumlah transmigran sebanyak 45.067 Kepala
keluarga (KK) atau 175.530 jiwa. Salah satu sektor andalan adalah sektor
pertanian dengan komoditas unggulan padi. Besarnya potensi pertanian
di OKU Timur didukung oleh luasnya lahan pertanian yang mencapai
52.094 Ha dan infrastruktur irigasi yang memadai, dengan sumber
pengairan dari Sungai Komering dan Bendungan Perjaya. Di sektor
perkebunan, komoditi andalan dari Kabupaten OKU Timur adalah karet
dan kelapa sawit.4
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _59

B. Peta Wilayah Kecamatan Belitang II

1. Kondisi Geografis

Kecamatan Belitang II secara geografis terletak antara 104° 36’ 0” s/d


104° 42’ 0” BT dan 4° 4’ 0” s.d 4° 10’ 0”LS dengan luas Wilayah Kecamatan
19.984 ha, dengan batasan wilayah sebagai berikut:

Sebelah Timur : Kabupaten OKI

Sebelah Barat : Kecamatan Belitang Mulya

Sebelah Selatan : Kecamatan Belitang Jaya

Sebelah Utara : Kecamatan Semendawai Timur

2. Kondisi Sosial-Demografis

a. Komposisi Penduduk

Kecamatan Belitang II dengan jumlah penduduk 47.317 jiwa, dari


jumlah tersebut, mayoritas beragama Islam (40.364), Katolik (1.704),
Protestan (1.006), Hindu (3.221), Budha (231). Kecamatan Belitang II
dengan 24 desa ini termasuk daerah agraris dengan penduduk yang
berasal dari berbagai macam suku; dari suku Komering, Jawa, Sunda, Bali
dan lain sebagainya. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
bertani dan berkebun sebesar 60%. Sedangkan bidang perdagangan
kurang lebih sebesar 20%, swasta dan wirausaha 10 % dan lainnya
kurang lebih 10 %.

Berikut ini nama-nama desa yang ada di Kecamatan Belitang II:

Desa Sumber Rahayu, Desa Sri Bantolo,Desa Purwosari, Desa Tanjung


Kemuning, Desa Margo Mulyo, Desa Karang Manik, Desa Raman Jaya,
Desa Tegal Sari, Desa Sumber Jaya, Desa Sumber Sari, Desa Sumber
Harapan, Desa Keli Rejo, Desa Sumber Rejo, Desa Toto Rejo, Desa
Kemuning Jaya, Desa Bangun Rejo, Desa Srijaya, Desa Batu Mas, Desa
Suka Jaya, Desa Karang Jaya, Desa Dharma Buana, Desa Tegal Besar,
Desa Rejo Mulyo dan Desa Purworejo.
60_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

b. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan di Kecamatan Belitang II memperlihatkan kondisi


yang cukup baik, dari lulusan SD, SMP, SLTA, Pondok Pesantren dan
Perguruan tinggi.

c. Sosial Budaya

Budaya di Kecamatan Belitang II, secara garis besar lebih dominan


dengan budaya orang-orang pendatang (transmigrasi khususnya orang
jawa dan Bali), misalnya pertunjukan wayang kulit, kuda kepang Ngaben
dll. Sedangkan budaya suku asli sendiri sudah tidak terlalu menonjol,
kecuali budaya “lempar selendang” masih dipertahankan.

d. Sosial Keagamaan

Adapun data keagamaan di Kecamatan Belitang II yakni; Katolik


1.704 jiwa, Protestan 1.006 jiwa, Hindu 3.221 jiwa, Budha 231 jiwa.
Pemeluk agama Islam sebesar 40.364 jiwa, dengan Penyuluh Agama
Islam Fungsional sebanyak 1 orang dan Penyuluh Agama Islam Non
PNS sebanyak 14 orang. Sedangkan Organisasi Keagamaan yang eksis di
Kabupaten diantaranya ; Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan LDII.

e. Kondisi Sarana Peribadatan

Jumlah Sarana Peribadatan di Kecamatan Belitang II Masjid 65 buah,


Musholla 23 buah, Langgar sebanyak 87 buah, Gereja Katolik sebanyak 6
buah, Gereja Protestan sebanyak 10 buah, Pure sebanyak 12, dan Wihara
sebanyak 2 buah. Sedangkan TKQ-TPQ berjumlah 178 buah, dan Majelis
Taklim berjumlah 117 buah.

C. Metode Dakwah Rasulullah SAW

1. Hakikat Dakwah Islamiyah

Kata dakwah terambil dari kata da’aa–yad’uu, da’watan“ artinya seruan,


panggilan, ajakan dan tuntunan. “Dakwah merupakan upaya dalam
mengembangkan dan mengadakan perubahan terhadap mad’u ‘alaihi
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _61

(objek dakwah) sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu mardhotillah.”


5
Menurut Prof. Toha Yahya Omar, MA., dakwah adalah mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar, sesuai dengan
perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia
dan akhirat. 6

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa dakwah merupakan


suatu misi yang tidak mengandung unsur paksaan, dapat kita lihat dari
kata “mengajak” yang berada di awal kalimat tersebut yang mengandung
suatu pengertian upaya untuk memberikan penawaran terhadap tujuan
yang sebenarnya, yang tidak menuntut untuk dituruti.

Dakwah merupakan panggilan Allah dan Rasulullah untuk mengajak


umat manusia agar memiliki nilai-nilai yang suci dan mulia, sebagaimana
firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi
antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan. (QS.Al-Anfal: 24).

Dakwah memberikan kehidupan yang lebih tinggi dan mulia


sesuai dengan posisi manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan
kejadian. Untuk mengantisipasi munculnya anggapan-anggapan yang
keliru tentang aktivitas dakwah, maka perlu kiranya dakwah Islamiyah
dilakukan dengan bijaksana, yaitu mempunyai pengetahuan dan
pengertian yang mendalam tentang sesuatu pengetahuan, sehingga para
dai (Penyuluh Agama Islam Fungsional) dapat menggunakan metode-
metode atau strategi dakwahnya sesuai dengan situasi dan kondisi objek
atau sasaran dakwahnya.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Said Bin Ali Al-
Qathani dalam bukunya Dakwah Islam Dakwah Bijak, ia membagi
hikmah kepada 2 bagian, yaitu :

Pertama, hikmah teoritis yaitu mengamati inti suatu perkara dan


mengetahui kaitan - sebab akibatnya secara moral, perintah, takdir,
62_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

dan syara’. Hikmah ini merujuk kepada ilmu dan pengetahuan. Kedua,
Praktis yaitu meletakan sesuatu pada tempatnya. Hikmah ini merujuk
pada perbuatan yang adil dan benar. 7

Penyampaian dakwah secara bijaksana akan dapat lebih membawa


keberhasilan tanpa harus membuat sasaran dakwah tertekan. Langkah
berikutnya mari perhatikan definisi dakwah yang dikemukakan oleh
H.S.M.Nasaruddin dalam bukunya Teori dan Praktek dakwah Islamiyah
yang dikutif oleh Drs Abd.Rosyad dalam buku Manajemen Dakwah,
yakni “Setiap usaha atau aktivas dengan lisan atau tulisan dan lainnya,
yang bersifat menyeru mengajak memanggil manusia lainnya untuk
beriman dan menta’ati Allah SWT sesuai dengan garis-garis akidah dan
syari’at serta akhlak Islamiyah. 8 Metode dalam dakwah Islamiyah perlu
diperhatikan, bagaimanapun para dai di dalam upaya menyampaikan
ajaran Islam kepada sasarannya memerlukan perencanaan, pengaturan
dan persiapan yang matang, agar proses penyampaian dakwah dapat
diterima masyarakat.

Pengorganisasian melalui wadah lembaga dakwah termasuk


metode untuk menempatkan aspirasi para mubaligh agar dapat
dengan leluasa dan terarah dalam menyampaikan pesan-pesan agama
kepada masyarakat. Organisasi atau lembaga dakwah adalah sarana
untuk mendiskusikan permasalahan serta untuk menemukan terapi
atau strategi yang baik untuk merumus permasalahan umat. Untuk
melanggengkan suatu organisasi dakwah atau lembaga dakwah, maka
menurut A. Hasjmy “Haruslah berdiri diatas dua asas pokok, yaitu
keimanan dan persaudaraan. ” 9

Langkah dakwah dijelaskan Oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an


Surat An-Nahl ayat 125, Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _63

Menurut A.Faruq Nasution dalam Bukunya Aplikasi Dakwah dalam


studi Kemasyarakatan, bahwa Firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl
ayat: 125 tersebut mempunyai kriteria ciri-ciri dakwah sebagai berikut :

1. Bijaksana atau arif dalam penuturan dan sikap penyampaian.

2. Upaya merubah dengan penuh kesadaran terhadap sikap


lama yang masih sederhana, kearah yang lebih maju termasuk
pengertian dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama.

3. Disampaikan secara komunikatif, edukatif dan persuatif.”

Didasarkan pada Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-


Nahl ayat 125, maka metode dakwah yang urgen diarahkan oleh Allah
SWT dapat dibagi kepada tiga bentuk :

a. Dakwah secara hikmah

b. Dengan pelajaran atau nasehat yang baik.

c. Dengan berdebat ( Musyawarah ) serta bertukar fikiran secara


baik.

Muhammad Izzah Darwazah menekankan “kalau dakwah Islamiyah


ingin berhasil dengan baik, maka haruslah diikuti sepenuhnya, yaitu
secara hikmah, mau’izhah hasanah, hujjah dan jadal dengan cara yang
baik.” 10

2. Penyuluh Agama Fungsioanal dan FKDI sebagai Pelopor Forum


Sosial Keagamaan

Dalam konteks kekinian, keberadaan sebuah masjid berbanding


lurus dengan eksistensi seorang Penyuluh Agama Islam Fungsional dan
Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi
Islam (FKDI-FSPPI) yang ada di Belitang.

Kerjasama antara Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan


Belitang II –yang sekaligus pengurus FKDI-- dan Pengurus Forum
Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-Pemudi Islam
64_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

(FKDI-FSPPI) berjalan dengan baik, karena keduanya memiliki fungsi


strategis yang diharapkan mampu menjadi institusi sosial keagamaan
dalam mentransformasikan “kesalehan individual” menjadi “kesalehan
sosial” dalam kehidupan sehari-hari.

Bila diamati lebih lanjut, maka hal ini sejalan dengan konsep visi dan
misi FKDI-FSPPI. Visi FKDI-FSPPI yaitu: “Meningkatkan kehidupan
masyarakat yang Islami sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah».
Sedangkan misinya antara lain: Meningkatkan usaha-usaha dakwah
Islam di wilayah Belitang, Buay Madang dan Cempaka, Meningkatkan
komunikasi antar organisasi dakwah dan masjid, Memberdayakan umat
di seluruh bidang kehidupan untuk memperlancar usaha-usaha dakwah,
Membentengi umat Islam dari pengaruh-pengaruh buruk dari luar yang
mengancam keimanan umat langsung maupun tidak langsung.

Forum Komunikasi Dakwah Islam – Forum Silaturami Pemuda-


Pemudi Islam (FKDI-FSPPI) merupakan forum religius atau forum
keagamaan sekaligus forum sosial. Forum sosial adalah organisasi
norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap penting,
di antaranya melakukan Pembinaan generasi muda dan pemakmuran
Masjid.

Kegiatan Forum Komunikasi Dakwah Islam (FKDI) meliputi tiga hal


utama; pertama, pembinaan administrasi atau idarah. Hal ini meliputi
masalah organisasi, kepengurusan, personalia, perencanaan, dan
administrasi keuangan. Kedua, pembinaan kemakmuran atau imarah.
Meliputi masalah pembinaan peribadatan, pembinaan pendidikan formal
(baik pendidikan agama maupun pendidikan umum), pendidikan luar
sekolah, majelis taklim, pembinaan remaja, wanita, perpustakaan, taman
kanak-kanak, peringatan hari besar nasional & Islam dan ibadah sosial.

Ketiga, pembinaan sarana fisik atau ri’ayah. Hal ini meliputi perawatan
segala aspek sarana prasarana yang berhubungan dengan masjid dan
pelaksanaan kegiatan keagamaannya.11
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _65

D. Peranan Penyuluh Agama dan FKDI dalam Pemberdayaan Muslim


di Kecamatan Belitang II

Di antara masalah umat yang muncul adalah adanya keterputusan


di antara kaum muslim itu sendiri. Sejak dulu hingga kini ada
kecenderungan masyarakat yang memisahkan antara agama dengan
persoalan sosial pada umumnya. Terjadinya discrepancy (ketidaksesuaian)
antara keimanan, keislaman dan tindakan sosial kemasyarakatan.

Seorang muslim yang baik dan taat hanya ketika berada di masjid,
tetapi tidak merefleksikan ketaatan itu dalam tindakan sosial atau
muamalah. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kejahatan, kezaliman
ataupun ketidakadilan. Dengan kata lain ada fenomena pengamalan
kaum muslim cenderung berorientasi fiqh an-sich (fiqh minded).12

Usaha yang dilakukan Penyuluh Agama Fungsional -- sekaligus


pengurus FKDI-FSPPI -- bersama FKDI dalam Pemberdayaan Muslim di
Kecamatan Belitang II, di antaranya:

1. Rekayasa Sosial melalui Forum Komunikasi Dakwah Islam (FKDI)

Problem adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang


diinginkan) dan das sein (yang nyata, yang terjadi). Kita mencita-citakan
sebuah masyarakat yang menghormati hukum, ternyata menemukan
masyarakat yang sama sekali mengabaikan hukum. Akibatnya timbul
perbedaan antara yang ideal dan yang real, itu artinya mempunyai
problem. Problem itu bisa bersifat sosial dan individual. Masalah
individual terjadi kalau berkenaan dengan orang itu sendiri, namun jika
masalah itu muncul dari beberapa orang yang banyak maka itulah bukti
adanya masalah sosial. Problem individual bisa diantisipasi dengan
therapy individual, sedangkan problem sosial mesti diantisipasi dengan
usaha rekayasa sosial (social engineering). Ada beberapa problem sosial
yang disebutkan oleh para ilmuwan sosial sebagai sumber-sumber
perubahan: pertama, proverty (kemiskinan); kedua, crimes (kejahatan);
ketiga, conflict (pertikaian).13
66_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Terjadinya perubahan sosial di antara sebabnya adalah adanya ide


(the great ideas) yang dimiliki oleh masyarakat atau sebagian masyarakat.

Selain itu ada juga peran tokoh masyarakat (the great individuals)
yang bisa menggerakkan seluruh masyarakat tersebut. Adapun strategi
perubahan sosial bisa terjadi melalui berbagai cara di antaranya : people
power (strategi perubahan sosial melalui kekuasaan), normative reeducative
(aturan yang terlembagakan dalam pendidikan), serta persuasive strategi
(pendekatan persuasif).14

Hal ini juga sudah tercermin di OKU Timur, bahwa hasil zakat yang
terkumpul melali Baznas OKU Timur pertahunnya mampu menembus 3
milyar Rupiah, hal ini didukung dengan Perda Zakat Kab. OKU Timur.

Muslim Desa Karang Manik Kecamatan Belitang II hidup di tengah


kemajemukan umat, karena penganut 5 (lima agama) ada di desa ini.
Desa Karang Manik mayoritas penduduknya muslim (1560), Katolik
(24), Protestan (130), Hindu (449), Budha (34). Adapun sarana ibadah;
Masjid (1), langgar (4), Gereja (1), Pure (2), Wihara (1). Walau demikian,
kerukunan dan keharmonisan sosial di desa ini tetap tercipta dengan
baik. Hal ini terbukti semenjak terbentuknya desa ini yang menjadi
kepala desa beberapa kali dari komunitas suku Bali yang beragama
Hindu. Kehidupan beragama dapat berjalan damai berdampingan tanpa
ada konflik.

Profesi masyarakat Muslim Desa Karang Manik Kec. Belitang II rata-


rata adalah petani Karet dan Padi. Dengan demikian, satu hal yang menjadi
benang merah kebutuhan riil mereka seolah-olah terjawab dengan
mengarahkan kegiatan pada institusi sosial keagamaan yaitu masjid,
karena dari masjid inilah intensitas pertemuan anggota masyarakat,
semakin sering masyarakat itu berinteraksi di masjid maka berimbas
pada dampak positif akibat komunikasi tiap hari antar masyarakat.

Banyaknya Remaja Islam Masjid (Risma) di Belitang II yang tergabung


dalam FKDI termasuk di Desa Karang Manik. Hal ini membuktikan
jaringan shilaturahim yang kuat antar pengurus dan jamaah masjid
.‫ا َّب يِف َمم‬
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _67

di wilayah Desa Karang Manik khususnya. Uniknya lagi adalah, para


pengurus FKDI-FSPPI yang tergabung tersebut mayoritas adalah para
‫يِف يِف‬ ‫ اَّب يِف‬.‫اا‬
‫يِفَّبَما ُيَم َم َّبك ُه ُه اْن َمْن يِف‬
‫ض ْن َمن‬ ‫ُه ُهُي ْن َمن بيِف َمع ْنهد ا َّب َمالَم َمُيْنُي ُهق ُه‬
petani padi dan karet, ada juga guru, dokter, perawat, aktivis pemuda-
pemudi Islam (FSAD) sehingga memperkuat jaringan usaha di bidang ‫ْن َم‬ ‫َم ُه ْن َم‬
‫يِف‬
ekonomi pada khususnya. FKDI-FSPPI setiap tahunnya kegiatan sosial
‫اْن يِف َم َم َّب يِف يِف‬
‫ص َم َم َمَيْن َمش ْن َمن َمبُيَّب ُهه ْنم‬ ‫ا َّب ُه بيِف ْنَمن ُيُه ْن َم‬
di antaranya, Khitanan massal, Festival Aku anak Sholeh, Pembinaan
‫ َما ْن َم َم ُهْن َمن َم ا َمَم َم‬.‫اا‬ ‫ْن‬
Mualaf, Pembekalan Remaja Muslim dll. Masyarakat pun mendukung
.‫اا‬ ‫اايِف يِف‬
kegiatan-kegiatan sosial seperti ini.
‫َم َمَيَما ُهُي ْن َمن ُه ْن َم ْن َم‬
Fenomena masyarakat ini tentunya merupakan aktualisasi
pengamalan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Shaff : 4;

‫يِف يِف‬ ‫يِف‬ ‫يِف يِف‬


‫يِف َّبن ا َّب َم ُهُي ُّ اَّب َم ُيُه َمقات ُه َمن يِف َم يِف َم‬
‫ص ًّفا َمك َمنُيَّب ُهه ْنم بُيُهْنُيَما ٌن‬
.‫و‬ ٌ ‫ص‬ ‫َم ْن ُه‬
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya
dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh.15

Berdasarkan teori rekayasa sosial di atas, bahwa faktor berikutnya


yang mempengaruhi adanya perubahan sosial adalah munculnya
tokoh masyarakat (the great individuals) yang menjadi penggerak bagi
perubahan masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, sosok yang dimaksud
adalah seorang ulama sekaligus entrepreneur di bidang agrobisnis yaitu
KH. Drs. Makinuddin dengan Pesantren Nurussalam.16

Peranan KH. Drs. Makinuddin –sekaligus mantan ketua FKDI-


FSPPI -- yang menyatukan potensi pesantren dengan masyarakat petani
melalui slogan “kerjasama” (Al-Ittifaq) mampu mengubah masyarakat
komunalisme yang jumud ke arah masyarakat komunitarianisme yang
dinamis dan kemudian menorehkan modal sosial bagi kaum tani. Modal
sosial yang terjadi di kawasan Karang Manik (Belitang II) tersebut
mirip seperti yang dikatakan Robert Putman, “Menjadikan masyarakat
memiliki nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk
68_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

melakukan sesuatu bagi semua.” Sebagai ide abstrak, modal sosial tersebut
bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi yang secara praksis berupa
paguyuban untuk kegiatan sosial, koperasi untuk kegiatan ekonomi/
bisnis (BMT), lembaga swadaya untuk penguatan sumber daya manusia
dan institusi pendidikan. Pesantren Nurussalam yang notabene adalah
representasi lembaga pendidikan golongan masyarakat bawah yang
memiliki ciri-ciri komunalisme ala masyarakat desa kini telah mewujud
dalam bingkai komunitarianisme. Hal yang unik, bahwa gerakan itu
justru muncul dari ruang komunalisme pesantren, sebuah lembaga
pendidikan yang selama ini dikenal “gemar memisahkan diri” dari
tradisi masyarakat setempat.

“Kesuksesan” ulama dari Belitang dalam dunia agrobisnis dan


kegiatan sosial telah menandaskan, ada kekuatan kepemimpinan sejati
dari seorang kiai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat
untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektar tanah yang pada tahun
1980-an tandus, yang hanya ditumbuhi ilalang dan hanya beberapa yang
ditanami singkong, kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan
ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan
bisnis lainnya.

2. Strategi Pemberdayaan

Ada beberapa cara pembentukan perilaku manusia, di antaranya :

a. Cara pembentukan perilaku dengan mengkondisikan atau


kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti
yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut.

b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight). Di samping


pembentukan dengan mengkondisikan atau kebiasaan, pembentukan
perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Seperti
membiasakan berdisiplin agar tidak mengganggu orang lain.

c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Hal ini bisa


Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _69

dijadikan contoh orang tua atau guru yang menjadi model untuk
anak-anak atau murid-muridnya. 17

Aspek kehidupan yang pertama dan utama dilakukan untuk menuju


pemberdayaan adalah dari sisi ibadah terutama shalat. Ada rumusan
yang menjadi ciri khas dalam komunitas FKDI-FSPPI tersebut adalah
upaya pembiasaan praktek shalat secara berjamaah pada awal waktu di
Masjid. Sekilas rumusan tersebut dianggap hal yang lumrah walaupun
semestinya memang harus demikian. Tetapi pengamalan yang disertai
dengan keyakinan tentu akan dirasakan perbedaannya. Secara empiris
memang demikian, hampir rata-rata di setiap masjid bisa terlihat
fenomena seperti itu terutama di pusat pemberdayaannya yaitu Masjid
Jami’ Baiturrohman desa Karang Manik.

Aspek berikutnya adalah sisi pola kepemimpinan. Dalam terminologi


ajaran Islam, kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan nilai teladan
yang baik (uswah hasanah). Secara normatif, nilai uswah hasanah yang
ideal adalah Rasulullah SAW sebagaimana dalam firman Allah SWT
dalam QS. Al-Ahzab : 21;

‫ان َم ُهك ْنم يِف َم ُه يِفل ا َّب يِف ُه ْن َمةٌ َم َم َمةٌ يِف َم ْن َمك َم‬
‫ان َمُيْن ُهج ا َمَّب‬ ‫َمَمق ْند َمك َم‬
.‫َماْنَمُي ْن َمم ْناْلَم يِفخَم َم ذَم َمكَم ا َّب َم َمكيِف ًريا‬
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Di antara rumusan kepemimpinan yang baik antara lain:

Pertama, meyakinkan. Artinya memberikan keyakinan pada


masyarakat mengenai program yang akan kita laksanakan beserta segala
konsekuensinya. Keyakinan ini merupakan dasar sebelum mengerjakan
sesuatu walaupun tidak mudah untuk menerapkannya.
70_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Kedua, menggalang. Setelah meyakinkan masyarakat, berikutnya


kekuatan masyarakat yang sudah ada itu hendaknya digalang untuk
menjadi sebuah kekuatan atau modal baru.

Ketiga, menggerakkan. Modal atau kekuatan yang baru tersebut


lebih bermakna dan akan terasa jika sudah bisa digerakkan. Peranan
FKDI-FSPPI dalam masyarakat ini merupakan wujud nyata dari hasil
keyakinan dan penggalangan sebelumnya.

Keempat, memantau. Hasil perbuatan atau pergerakan tersebut tentu


harus dievaluasi melalui pemantauan yang proporsional. Adakalanya
masyarakat diberikan reward (pujian) sebagai bentuk apresiasi positif
hasil pekerjaan mereka, juga punishment (sanksi) yang akan memperbaiki
kinerja mereka.

Kelima, melindungi. Masyarakat yang menjadi Kelompok Binaan


perlu diberikan perlindungan, advokasi, dan sebagainya. Perlindungan
tersebut akan menjadi bentuk kenyamanan mereka dalam beraktifitas.
Perlindungan yang dimaksud bisa dalam bentuk perlindungan fisik,
psikis, materi, semangat, dan sebagainya.

Dalam hal ini, pengaruh pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma


agama, adat, serta sosial adalah suatu keharusan bagi masyarakat.

Dalam tinjauan hubungan sibernetik antara nilai-nilai kultural (juga


keagamaan) dan tindakan, nilai-nilai berfungsi sebagai pengontrol dan
pengawas (lebih dominan) terhadap tindakan, baik pribadi maupun
kelompok. Walaupun begitu, kehati-hatian tetap diperlukan untuk tidak
begitu saja menarik garis lurus antara sejumlah nilai tertentu dengan
seperangkat tindakan tertentu.18

3. Program-program FKDI-FSPPI

Sebagai organisasi FKDI-FSPPI yang sudah terbentuk dengan baik


maka akan berdampak pada beberapa program pemberdayaan riil
masyarakat. Di antara beberapa program yang sudah terlaksana dan
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _71

menjadi ciri khas secara keseluruhan dari anggota FKDI-FSPPI tersebut


antara lain :

a. Bidang Ibadah

Dalam pengamalan ibadah ritual sehari-hari pada dasarnya berjalan


sesuai dengan aturan dari pembuat syari’at (shâhib al-syâri’). Hanya dari
proses waktu yang sudah berjalan, maka terbentuklah sebuah kebiasaan
positif dan menyebar serta mengakar di kalangan masyarakat.

Contoh ibadah shalat, pendidikan karakter yang ditanamkan adalah


membiasakan diri untuk bisa shalat secara berjamaah pada awal waktu
dan dilaksanakan di masjid masing-masing. Fenomena ini sangat terasa
indah dilihat tatkala datang adzan yang menandakan waktu shalat tiba,
maka seluruh anggota masyarakat yang sedang beraktifitas apapun
segera menunda pekerjaannya dan bergegas menuju ke masjid.

Kesadaran melaksanakan ibadah haji, menunaikan zakat atau


bahkan mengeluarkan infaq, shadaqah juga sudah menjadi kebiasaan di
kalangan jamaah masjid yang terbentuk dalam FKDI tersebut. Fenomena
lain adalah praktek melaksanakan ibadah qurban sudah hampir ada
merata di masyarakat.

b. Bidang Pendidikan

Pola pendidikan berbasis masjid yang ada di kalangan masyarakat


adalah bentuk Majelis Ta’lim dengan beragam segmentasinya; bapak-
bapak, ibu-ibu, remaja/pemuda, dan anak-anak. Setiap masjid yang ada
di Kecamatan Belitang II khususnya Desa Karang Manik mempunyai
jadwal pengajian dan rata-rata melaksanakan tidak kurang dari
seminggu sekali bahkan ada yang seminggu dua kali pembinaan. Dengan
demikian, bisa diasumsikan pada setiap masjid itu ada Majelis Taklim
dan berjalan dengan baik, TKQ/ TPQ, lengkap dengan sarana prasarana
yang mendukungnya.
72_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

c. Bidang Sosial

Sejalan dengan pelaksanaan peringatan hari besar Islam, maka ada


nilai plus yang masyarakat lakukan melalui FKDI-FSPPI ini yaitu dengan
melaksanakan bakti sosial. Setiap memasuki bulan Rabiul Awal, FKDI-
FSPPI menggelar acara sunatan massal. Acara ini dilaksanakan dengan
penuh nuansa kekeluargaan tanpa menghilangkan aspek profesionalitas,
akuntabilitas dan transparansi biaya/dana. Sumber dana digali dari
masyarakat itu sendiri dengan sistem lelang amal. Masing-masing
anggota masyarakat yang berkehendak dan mau beramal dipersilahkan
dengan kemampuan masing-masing. Peserta sunat massal pun berasal
dari masyarakat sekitar Desa Karang Manik dan dari luar desa.

d. Bidang Ekonomi

Bidang ekonomi ini merupakan program unggulan masyarakat yang


ditawarkan FKDI-FSPPI. Hal ini dikarenakan sumber daya alam yang
tersedia dan mendukung pada program ini. Selain itu, hal yang paling
pokok adalah tersedianya lembaga perekonomian yang memfasilitasi
segala bentuk kebutuhan dan aktifitas ekonomi mereka.
Lembaga tersebut adalah BMT Nurussalam. Selain dipercayai oleh
jamaah masjid yang menyebar di sekitar Desa Karang Manik, BMT
Nurussalam juga tegak berdiri di atas organisasi pertanian yang kokoh

Ada 5 (lima) kelompok tani yang merupakan pendukung utama


BMT Nurussalam, yaitu : (1) Kelompok Tani Monosuko, (2) Kelompok
Tani Sejahtera, (3) Kelompok Tani Maju Jaya, (4) Al-Mabrur, (5) CV Al-
Falah. Setiap kelompok tani terdiri dari 90 petani. Mereka memiliki lahan
sendiri dan masing-masing ketua kelompok sudah menjadi pengusaha
karet dan Padi organik serta menjadi koordinator untuk memaksimalkan
kinerja para petani yang lain. Cara ini dilakukan demi pembaruan
manajemen ke arah yang lebih efektif.
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _73

E. Kesimpulan dan Saran

Muslim Kecamatan Belitang II mayoritas adalah petani karet dan


padi. Hal itu tentunya mempengaruhi pola hidup dan kehidupan mereka
dalam beberapa aspek, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan
sebagainya. Namun demikian, pemberdayaan muslim yang dilakukan
oleh berbagai pihak sangat disambut dengan antusias oleh anggota
masyarakat tersebut.

Pemberdayaan yang berbasis masyarakat adalah dengan melakukan


aktivitas pemberdayaan tersebut dimulai dari institusi sosial keagamaan
yaitu masjid bersama FKDI-FSPPI. Konsep kemakmuran masjid dan
pemberdayaan yang ditawarkan FKDI-FSPPI dapat diaktulisasikan
dalam kehidupan riil masyarakat. Dengan demikian, masjid dan FKDI-
FSPPI bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat
Belitang II, serta masyarakat Muslim Belitang II pun bisa menghidupkan
masjid mereka dengan berbagai kegiatan keagamaan yang bermanfaat.
74_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Daftar Pustaka

Al-Bukhari. Tt, Shahih Al-Bukhari, Kairo: Wizaarotul auqof al-Mishriyah.

Ali Al-Qothani, Said, Dakwah Islam Dakwah Bijak, Gema Insani Press,
Jakarta,1994.

A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta.

Anggaran Rumah Tangga FKDI-FSPPI, 2003

Amstrong, Karen, , Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan Pustaka Utama, 2004.

Ariffien, Zaenal dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan
Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2007, cet. II,
Agustus.

Azra, Azyumardi, Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000, cet. I,


September.

Buthy, Muhammad Said Ramdhan Al, Fiqh Al-Sirah, Beirut: Daar Al-
Kutub Al-Islamiyah, 1990

Capra, Frithjof, Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang, 2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syamil


Cipta Media, tth.

Kecamatan Belitang II Dalam Angka 2013.

Kementerian Agama RI, Dirjen Bimas Islam Direktorat Penerangan


Agama Islam, Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Agama
Islam, Jakarta, 2011
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _75

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,


1997.

Kusnawan, Aep (penyunting), Ilmu Dakwah (kajian berbagai aspek).


Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, cet. I, Februari.

Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:


LKis, 2009, cet. III.

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina,


1999, cet. V, Desember.

___________________, Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 2000,


cet. II, April.

Maulany, Rahmat, Dahsyatnya Kekuatan Masjid, Bandung: Elkom


Publisher, 2008.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia.


Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. XIV.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000, cet. IV.

Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya,


2000, cet. II, Mei.

Ridwan, Kholil, Fiqhud dakwah , Makalah Pelatihan Kader Dakwah I, Baturaja,


2002.

Rosyad, Abu Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang,


Jakarta,1993.

Schimmel, Annemarie, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam Secara


Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996.

Shabuni, Muhammad Ali Al, Shafwat Al-Tafasir, Beirut: Daar Al-Kutub


76_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Al-‘Ilmiyah, tth.

Shaleh, Ashaf HM, Takwa (Makna dan Hikmahnya dalam Al-Qur’an). Jakarta:
Erlangga, 2006, cet. II.

Sentosa, Muhammad Djarot, Komunikasi Qur’aniyah. Bandung: Pustaka


Islamika, 2005, cet. I, Maret.

Walgito, Bimo., Psikologi Sosial (suatu pengantar), Yogyakarta: CV. Andi


Offset, tth.

Yahya Omar, Toha, Ilmu Dakwah, Jakarta, 1971.

Yani, Ahmad, Panduan Memakmurkan Masjid, kajian Praktis bagi Aktivis


Masjid, Jakarta: DEA Press dan Khairu Ummat, 1999.

Internet :

http://www.okutimurkab.bps.go.id

kecamatanbelitang II.wordpress.com

Petanggan.wordpress.com
Peranan FKDI - FSPPI Dalam Pemberdayaan Muslim i Tengah Kemajemukan Umat _77

Endnotes

1. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan
Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2000, cet. II, h. 34.

2. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah..., h. 35. Baca
juga : Harun Nasution (peny.), Sejarah Ringkas Islam, Jakarta: UI-
Press, 1984; A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muhammad
Labib Ahmad, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997; Hasan Ibrahim Hasan,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

3. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, Fiqh Al-Siirah, Beirut: Daar al-


Kutub al-Islamiyyah, 1990, h. 193.

4. http://www.okutimurkab.bps.go.id
5. Kholil Ridwan, Lc, “Fiqhud dakwah “, Makalah Pelatihan Kader Dakwah
I, Baturaja, 2002.
6. Prof.Toha Yahya Omar.MA., Ilmu Dakwah, Jakarta: ttp, 1971, h. 1.
7. Said Bin Ali Al-Qothani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, Jakarta: Gema
Insani Press,1994, h. 27.

8. Drs.Abu Rosyad, Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1993, h.9

9. A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan


Bintang, h.59.

10. A. Hasjmy, Ibid, h.55.


11. Anggaran Rumah Tangga FKDI Belitang
12. Azyumardi Azra, Islam Substantif, Bandung: Mizan, 2000, cet. I,
September, h. 42, 123.

13. Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya,


2000, cet. II, Mei, h. 55-58.
78_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

14. Ibid, h. 46-53.


15. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., h. 551
16. Pendapat penulis tentunya didasarkan pada data dan fakta serta konfirmasi
di lapangan ke berbagai pihak yang berkompeten, selain itu terdapat pula
referensi yang banyak yang semakin menguatkan pemikiran di atas. Pada
akhirnya, penulis pun tidak mendengar hanya dari perkataan orang
dan pendapat orang malahan bisa berdialog langsung dengan beliau,
bermitra kerja dengan beliau dan keluarga besar pesantrennya khus-
usnya selama melakukan tugas bimbingan dan penyuluhan di Keca-
matan Belitang II.

17. Walgito, Bimo., Psikologi Sosial (suatu pengantar), Yogyakarta: CV.


Andi Offset, h.18-19.

18. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 2000,


cet. II, April, h. 6.
Pergulatan NU dan Negara _79

The Struggle of Nahdlatul Ulama and The State:


Deliberative Democracy in the Style of NU
(NU- Lakpesdam Organizing Study in Jepara and
Wonosobo)

Pergulatan NU dan Negara:


Demokrasi Deliberatif ala Warga NU
(Studi Pengorganisasian Lakpesdam NU di Jepara
dan Wonosobo)

Imran Sulistiyono,
Lakpesdam NU Community Wonosobo
email: isulistiono.ronggo21@gmail.com

Abstract : NU members in Jepara and Wonosobo create a participatory forum, it is called as the

citizens forum. By involving other stakeholders, they do variety things to give their
voice in influencing public policy. Moreover, they have a big forum that they call as the
Great Council of the Jepara People and the Wonosobo People Congress. The movement
led by religious figures and NU young activists in Lakpesdam. This is another form
of the practice of deliberative democracy in Indonesia. The practice of deliberative
democracy is the same thing that occurred in other countries. At least there are three
examples that are often heralded. Such as regular meeting of the Washington (USA)
citizens to define public interest that would be mandated to the new mayor. Other
example is Panchayat in India as participatory system of people in the village-level.
Finally, the last example is public council in Porto Alegre Brazil, they systematically
pay attention to the basic needs and aspirations of the community. The need is further
80_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

detail that would be included in the state budget.

Abstraksi : Warga NU di Jepara dan Wonosobo membuat forum yang partisipatif, yang disebut

sebagai forum warga. Dengan melibatkan stake holder yang lain, mereka melakukan
berbagai hal untuk turut serta bersuara dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Bahkan, mereka mempunyai forum besar yang mereka sebut sebagai Musyawarah
Besar Rakyat Jepara dan Kongres Rakyat Wonosobo. Gerakan yang dimotori oleh
tokoh agama dan juga aktivis muda NU di Lakpesdam ini merupakan bentuk lain dari
praktik demokrasi deliberatif yang terjadi di Indonesia. Praktik demokrasi deliberatif
semacam ini sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara luar. Setidaknya
ada tiga contoh yang sering digembar-gemborkan. Ada pertemuan reguler warga
Washington (Amerika Serikat) untuk merumuskan kepentingan masyarakat yang
akan dimandatkan kepada walikota yang baru. Ada Panchayat di India sebagai sistem
partisipasi masyarakat dari tingkat desa. Dan ada dewan rakyat di Porto Alegre Brazil,
mereka secara sistematis dan aspiratif memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat.
Kebutuhan tersebut selanjutnya didetilkan dalam bentuk angka-angka yang kelak
harus dimasukkan dalam anggaran belanja daerah.
Keywords: Deliberative Democracy, Public Council, Citizen and State, Public Policy.
.

A. Pendahuluan
NU tidak berpolitik praktis. Itu jelas. Tapi, bukan berarti NU tidak
berpolitik. Kiai Sahal Mahfudz menyebutnya, politik NU adalah politik
kelas tinggi. Maksudnya yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan,
dan politik etika. Sebagai departementasi NU, Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU mempunyai
tanggung jawab besar dalam menjalankan amanah organisasi ini.

Karena itu, pada aras politik ketatanegaraan, Lakpesdam perihatin


dengan politisasi agama di ruang-ruang politik praktis yang bermula dari
konservatisme. Untuk itu, pengembangan cara pandang yang moderat
menjadi isu yang diusung Lakpesdam. Maraknya arus konservatisme
Pergulatan NU dan Negara _81

beragama merupakan ancaman tersendiri bagi paham Aswaja yang


mencap dirinya sebagai ideologi moderat. Moderatisme Aswaja ini
digunakan dalam cara pandang warga NU, kemudian ditularkan pada
segenap warga negara Indonesia. Termasuk dalam hal bernegara.

Dalam konteks ini, Lakpesdam berupaya untuk meningkatkan


kemampuan warga nahdliyin, khususnya dalam merespon ketidakadilan
terkait pengurangan kemiskinan, kekerasan dan konflik sosial. Ini
ditempuh dengan melalui pendidikan politik dan fasilitasi advokasi
kebijakan publik untuk meningkatkan posisi tawar  masyarakat dalam 
merespon isu-isu pemiskinan, ketidakadilan, peminggiran, dan konflik
sosial. Di antara cara yang dilakukan adalah dengan mengembangkan
modeldemokrasi deliberatif.

Meski bukan istilah baru, demokrasi deliberatif belum banyak dikenal


masyarakat Indonesia, apalagi warga NU di desa. Tapi soal praktik, lain
cerita. Ada forum-forum rembug warga di desa yang ternyata sudah
menjalankan konsep yang diadopsi dari Habermas, pemikir Frankfrut
School Jerman ini.1 Setidaknya, konsep demokrasi deliberatifsudah
dilakukan oleh warga NU di Jepara dan Cilacap atas upaya
pengorganisasian yang diinisiasi oleh Lakpesdam NU. Lalu, pertanyaan
yang muncul adalah mengapa menggunakan model deliberatif?

Konsep demokrasi deliberatif berkembang karena ada


anggapan,demokrasi representasi yang dihasilkan melalui pemilu lima
tahunan itu dinilai kurang aspiratif-representatif. Legislatif dan eksekutif
yang terpilih, tidak sepenuhnya dapat menangkap suara rakyat yang
sesungguhnya. Yang terjadi adalah aspirasi representasi kepentingan
elit politik. Karena itu, demokrasi yang ada saat ini sangat formalis-
prosedural dan cenderung memandang bahwa produk hukum lebih
penting daripada proses legislasi hukum.

Inilah yang ditentang dalam konsep demokrasi deliberatif.Inti


pandangan dalam demokrasi deliberatif adalah bagaimana mengaktifkan
individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi,
82_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu


mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik.
Dalam praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan
tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan
penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara
para pihak dan warganegara. Partisipasi warga (citizen participation)
merupakan inti dari demokrasi deliberatif.

Demokrasi deliberatif sering dipertentangkan dengan demokrasi


perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur
pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas
dan minoritas.Jika demokrasi perwakilan ditandai kompetisi politik,
kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif
atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi,
dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu
dan mufakat.2Demokrasi langsung mengandalkan pemilu, sistem
keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik,
sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan
partisipasi langsung warganegara.

Salah satu konsep penting dalam demokrasi deliberatif adalah


pentingnya mengembangkan diskursus. Sederhananya, diskursus adalah
bentuk komunikasi yang reflektif dalam mentematisasi sebuah problem
tertentu.Dalam konteks inilah rembug warga (town hall meeting), atau
forum warga (istilah yang digunakan oleh Lakpesdam NU), memainkan
perannya untuk menterjemahkan demokrasi deliberatif di tingkat lokal.

Forum warga menjadi wahana artikulasi partisipasi warga dalam


mentematisasi permasalahan yang dijumpai di daerahnya. Forum warga
juga menjadi penyambung keterputusan hubungan antara institusi
formal demokrasi dengan para konstituen yang diwakilinya pada
lembaga formal demokrasi yang lahir dari proses pemilihan umum.
Meskipun telah menghasilkan para legislator sebagai representasi rakyat,
namun proses demokrasi prosedural tersebut tidaklah cukup. Dalam
Pergulatan NU dan Negara _83

kenyataannya, sering terjadi keputusan-keputusan atau kebijakan politik


yang dihasilkan oleh wakil rakyat justru tidak mencerminkan suara
dari publik. Oleh karena itu, forum warga merupakan prakarsa untuk
melengkapi dan menyambungkan komunikasi politik antara institusi
kewargaan dengan institusi demokrasi formal.

B. Demokrasi:Representatifatau Deliberatif?

Sistem demokrasi sering terkerangkeng dalam penandaan-penandaan


demokrasi yang sempit. Seolah ketika pemilihan umum sudah
terselenggara, maka itu menjadi tanda (indikasi) bahwa demokrasi telah
berjalan. Tidak ada pertanyaan apakah prosesnya sudah dilakukan
secara fair dan adil. Selain itu, demokrasi menjadi hanya ritual empat
atau lima tahunan bagi rakyat. Demokrasi menjadi hanya pemilu yang
dilaksanakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Pemahaman yang demikian minimalis tentang demokrasitelah


mengelabuhi makna partisipasi rakyat yang menjadi tujuan demokrasi.
Setidaknya partisipasi warga negara hanya ada dalam 3 kotak: a) memilih
tanpa kenal siapa yang dipilih, b) memilih tanpa memberi daftar tugas
kepada yang dipilih, dan c) partisipasi hanya dilaksanakan pada saat
pemilihan.3 Padahal dalam rentang antar waktu pemilihan, di situlah
sebenanya waktu penyelenggaraan pemerintahan dan perumusan segala
kebijakan yang berkaitan langsung dengan masyarakat.

Keadaan seperti ini memunculkan sikap tidak mau tahu dan


pesimis di kalangan masyarakat bahwa penyelenggaraan demokrasi
tidak langsung akan memberikan jawaban bagi kepentingan mereka.
Di beberapa negara, pemilihan umum yang merupakan tanda utama
demokrasi perwakilan kurang mendapat sambutan. Setidaknya hal
tersebut ditandai oleh 4 hal: a) perhitungan yang fair memberikan
angka “golongan putih” lebih besar atau hampir separuh angka yang
memberi suara, b) adanya money politics yang mempengaruhi pilihan,
c) tidak ada rasa optimis masyarakat bahwa pemilu bisa mengubah nasib
84_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mereka ke depan, banyak yang memandang sekedar rutinitas dan hura-


hura politik, dan d) masyarakat tidak peduli siapa yang akan menjadi
pemenang.4

Berbagai kelemahan demokrasi model perwakilan seperti di atas,


menjadi latar munculnya aliran demokrasi lain yang bernama demokrasi
deliberatif. Jika selama ini demokrasi perwakilan dianggap merupakan
akhir dari demokrasi karena secara teknis harus demikian, demokrasi
deliberatif memberikan pilihan-pilihan lain untuk menunjukkan bahwa
jalan lain demokrasi adalah mungkin (another democracy is possible).
Berikut ini adalah perbedaan dua model demokrasi: perwakilan (liberal)
dan deliberatif.

Dua Model Demokrasi

No Item Perwakilan (Liberal) Deliberatif


1 Sumber Tradisi liberal ala Barat Komunitarian ala masyarakat
lokal
2 Basis Individualisme Komunalisme
3 Semangat Kebebasan individu Kebersamaan secara kolektif
4 Wadah Lembaga perwakilan, Komunitas, commune, rapat
partai politik, dan desa, rembug desa, forum warga,
pemilihan umum asosiasi sosial, paguyuban, dll
5 Metode Voting secara kompetitif Musyawarah

Sistem demokrasi ini bisa berjalan dengan baik, tidak hanya prosedural,
bila partisipasi rakyat terus menguat. Untuk memaksimalkan partisipasi
rakyat, minimal ada 2 hal yang harus terus diusahakan. Pertama,
bagaimana partisipasi bisa terjadi terus menerus tanpa terikat waktu
(reguler) dan momen tertentu. Karena partisipasi adalah yang menandai
apakah benar sebuah kedaulatan masih di tangan rakyat ataukah tidak.
Jika partisipasi hanya ada dalam waktu dan momen tertentu, berarti
sebatas itu kedaulatan ada di tangan rakyat. Berarti dalam kurun pendek
itulah demokrasi yang sesungguhnya berjalan, padahal demokrasi
adalah tata cara (mekanisme) penyelenggaraan pemerintahan yang terus
Pergulatan NU dan Negara _85

menerus mesti dipegang.

Kedua, bagaimana partisipasi bisa dilaksanakan mendekati sebuah


dialog langsung tanpa perantara (perwakilan). Bagaimana dalam proses
pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya, masyarakat memiliki akses
pertemuan secara langsung dengan penyelenggara pemerintahan untuk
menyampaikan kehendak dan kepentingannya. Tujuannya adalah
sedapat mungkin kebutuhan dan kepentingan rakyat bisa tertampung
dan dilaksanakan.

Demokrasi deliberatif adalah jalan lain yang diharapkan mampu


memenuhi dua usaha di atas, sebagai pelengkap demokrasi perwakilan.
Kata “deliberasi” berasal dari kata latin deliberatio yang artinya
“konsultasi”, “menimbang-nimbang” atau “musyawarah”. Demokrasi
bersifat deliberatif, jika proses pembuatan kebijakan publik terlebih
dahulu diuji melalui sebuah perbincangan atau konsultasi publik
atau diskursus publik. Dalam teori demokrasi klasik, sebuah produk
hukum dipandang lebih penting dari pada proses pembuatan hukum
itu sendiri. Jika legislatif atau eksekutif menghasilkan undang-undang
atau peraturan pemerintah, dianggap sudah sah dan memenuhi standar
demokrasi karena mereka mewakili kehendak umum yang memilih
mereka dalam posisi tersebut. Demokrasi Deliberatif memandang bahwa
bukan “kehendak umum” yang sudah terwakili yang menjadi sumber
legitimasi (keabsahan), melainkan proses pembentukan keputusan
tersebut yang harus selalu terbuka terhadap revisi melalui perbincangan
dan pertimbangan publik yang argumentatif.5

Singkatnya, demokrasi deliberatif menghendaki sebuah proses


diskusi publik sebelum sebuah kebijakan diputuskan. Dalam proses ini
negara (melalui lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tersambung
secara dialogis (diskursif) dengan proses pembentukan aspirasi dan
opini masyarakat dalam ruang publik. Dengan demikian, demokrasi
deliberatif memberikan kerangka kerja bagi pemerintah dimana warga
bekerja sama dengan yang lainnya, melalui dialog untuk ikut memberikan
86_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

penilaian menyangkut tindakan terbaik terhadap masalah publik yang


ada. Hasil proses deliberasi ini menjadi alat penting dalam menentukan
keputusan publik.

Demokrasi deliberatif mengambil jalur reformasi dan menolak


revolusi.6 Karena revolusi justru mematikan partisipasi. Sebuah revolusi
biasanya dilakukan dengan cara kekerasan dan agresi untuk mengubah
sistem dalam waktu yang cepat. Di sini peran pemimpin lebih kuat
dari pada partisipasi masyarakat. Demokrasi deliberatif memandang
negara adalah partner, bukan oposisional langsung. Demokrasi
deliberatif memandang bahwa negara selama ini sudah mendengar
suara publik (rakyat), akan tetapi dirasa masih kurang. Tidak realistis
kita menghancurkan negara begitu saja, karena tanpa negara hanya akan
terjadi tirani massa, dan yang diuntungkan adalah demagog. Benih-
benih totalitarianisme tidak akan berkembang bila proses deliberasi
publik sungguh dijalankan. Setiap kelompok akan berusaha merebut
hati publik secara rasional (argumentatif) secara fair dan menempatkan
nilai-nilai politik inklusif seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas di atas segala kepentingan eksklusif.

C. Praktik Demokrasi Deliberatif

Praktik demokrasi deliberatif dalam bentuknya yang paling


sederhana, sebenarnya sudah dilakukan oleh PP Lakpesdam NU melalui
Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah
sejak 2001. Program ini memfokuskan pada penguatan partisipasi warga
negara dalam pembangunan sistem demokrasi Indonesia yang selama
era orde baru telah mengalami pendangkalan, baik makna maupun
substansinya.

Penguatan partisipasi warga tersebut diwujudkan dengan keterlibatan


mereka secara sadar dalam setiap pengambilan kebijakan dan dalam
mengontrol pelaksanaan kebijakan, dari tingkat desa, kecamatan, sampai
kabupaten, sehingga terwujud pemerintahan daerah yang otonom,
Pergulatan NU dan Negara _87

transparan, demokratis, partisipatif dengan tetap memengang prinsip


efektifitas dan efisiensi kinerja.

Indikator nyata penguatan partisipasi warga tercermin dari


kemampuan warga mengorganisir diri dan mengkompromikan
kepentingan-kepentingan mereka dalam sebuah wadah bernama
“Forum Warga”, adanya sumbangan pemikiran masyarakat sipil (bukan
masyarakat politik dan birokrat), baik dalam bentuk kritik, gagasan
dan usulan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance), terbukanya ruang-ruang publik yang diinisiasi oleh warga,
serta penyelesaian-penyelesaian masalah sektoral secara musyawarah.
Berikut adalah petikan praktik demokrasi deliberatif yang diinisiasi oleh
warga dan Forum Warga:

1. Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara

Setidaknya ada tiga alasan mengapa Musyawarah Besar (Mubes)


Rakyat Jepara penting dilakukan. Pertama, partisipasi rakyat dalam
pengambilan kebijakan publik dapat meningkatkan kinerja pemerintah,
meningkatkan akuntabilitas dan meminimalisir complain. Karena
pelibatan rakyat dalam setiap pengambilan kebijakan (perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan) akan menimbulkan efek rasa memiliki
terhadap pemerintahan dan produk yang dihasilkan. Seperti tiga sasanti
jawa, rumongso melu handar beni, wajib melu hangrungkebi, mulat sariro
hangrasa wani (merasa memiliki, wajib ikut membela, berani bertanggung
jawab).

Kedua, sistem demokrasi representatif (perwakilan) banyak memiliki


kelemahan. Karena ada kecenderungan para wakil rakyat yang terpilih
tidak memiliki hubungan harmonis dengan konstituen. Komunikasi
intensif hanya dibangun pada waktu kampanye menjelang pemilu.
Padahal, medan perjuangan yang sesungguhnya adalah bagaimana
menjembatani kepentingan dan aspirasi rakyat selama kurun waktu
5 tahun pasca pemilu. Sedangkan partai politik belum menjalankan
88_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

fungsinya sebagai pejuang kepentingan rakyat sekaligus pendidik bagi


rakyat.

Ketiga, ruang publik yang terbuka, adil, demokratis merupakan


wahana pembelajaran dan pendidikan politik bagi rakyat agar dapat
memahami persoalan dan menentukan pilihan terbaik bagi diri,
masyarakat dan lingkungannya mengenai kebijakan publik.7

Berdasarkan pengamatan dan penelitian Forum Warga, sebagian


besar masyarakat belum mengetahui bagaimana cara menyampaikan
aspirasi dan kebutuhannya kepada pemangku kebijakan. Sebagai salah
satu indikator, masyarakat banyak tidak tahu atau tidak terinformasikan
tentang kegiatan musrenbangdes/musrenbangcam/musrenbangda di
wilayah masing-masing. Sehingga banyak keluhan dan persoalan yang
belum mendapat porsi dan perhatian dalam perencanaan pembangunan
dan penganggaran daerah. Misalnya persoalan layanan kesehatan (public
services), pengelolaan dan monitoring dana kompensasi BBM, PHK
buruh, kelangkaan dan mahalnya bahan baku meubel, dan akses untuk
difable.

Penyelenggaraan Musyawarah Besar Rakyat Jepara tidak lepas dari


niatan baik untuk ikut serta mewujudkan visi besar Kabupaten Jepara,
yaitu “Terwujudnya Citra Kabupaten Jepara yang Maju, Sejahtera,
Damai, Demokraris, dan Mandiri, yang Didukung Oleh Sumber Daya
Manusia yang Berkualitas, Religius dan Berakhlak Mulia serta Potensi
Ekonomi Strategis Daerah yang Produktif, Kompetitif dan Berwawasan
Lingkungan dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dengan demikian, diperlukan kerjasama semua elemen masyarakat


untuk menginisiasi ruang-ruang publik-alternatif yang dapat mewadahi
dan mengakomodasi berbagai aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
tidak terakomodir dalam proses-proses legal-formal perencanaan dan
penganggaran daerah. Penciptaan ruang publik yang terkonsolidasi
merupakan kekuatan efektif untuk melakukan kontrol terhadap proses
penyelenggaraan pemerintah yang transparan dan akuntabel. Adapun
Pergulatan NU dan Negara _89

tujuan mubes ini adalah:

’’ Terbentuk ruang publik yang dapat mewadahi aspirasi dan


kepentingan masyarakat di luar prosedur legal formal, yang dapat
melengkapi prosedur yang telah ada.

’’ Mendorong pemangku kebijakan untuk dapat mengakui ruang


publik yang diinisiasi warga dan mempertimbangkan hasil-hasil
inisiasi tersebut sebagai pijakan dalam pembuatan kebijakan.

’’ Melakukan penyadaran dan pendidikan politik warga serta


meningkatkan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

’’ Membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan


kepada masyarakat dalam hal mencari format dan strategi
monitoring PKPS BBM.

Mubes Rakyat Jepara diikuti oleh sekitar 400 orang dari berbagai latar
belakang yang sangat beragam, misalnya: forum warga se-Kabupaten
Jepara, petani, buruh, pemuda, pesantren, guru, instansi pemerintah,
DPRD, dan lain-lain. Beberapa lembaga undangan yang dapat disebutkan
antara lain Lakpesdam NU Jepara, P2KP, Forum Warga Jepara, Forum
Kajian Buruh Jepara, LP Ma’arif NU Jepara, IPPHTI, PMII Cabang Jepara,
LSKAR, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jepara, IPNU, IPPNU,
Fatayat, Muslimat, Anshor, Gapensi, Gapeknas, Lembaga Masyarakat
Desa Hutan, Forum Lintas Nelayan dan Pesisir, Forum Lintas Pelaku,
PGRI, Persatuan Guru Tidak Tetap, Forum Mikul Dhuwur Mendem
Jero, PD Muhammadiyyah, Nasyiatul Aisyiyaj, Pemuda Katholik,
Pemuda Protestan, Agama Hindu, Asosiasi Perajin Jepara, KPKP, Akar
Karimun, Gabungan Organisasi Wanita, BEM INISINU, BEM STIENU,
BEM STPDNU, dan Difable. Sedangkan dari pihak instansi negara yang
diundang antara lain adalah Bupati Jepara, DPRD Jepara, BPD, Dinas
Pendapatan Daerah, Dinas Kesehatan Daerah, Departemen Agama, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas LHPE, Perhutani, Disperindagkop,
Disnaker, Distanak, Rumah Sakit Umum Kartini, Paguyuban Pamong
90_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Desa, Dewan Pendidikan Jepara, dan Dinas Pekerjaan Umum Daerah.

Sedangkan, kegiatan ini diselenggarakan oleh sebuah Aliansi Civil


Society Organization (CSO) yang sengaja dibentuk, dan terdiri dari :
Forum Warga (FW) Kabupaten Jepara, PCNU Jepara, PC. Lakpesdam
NU Jepara, PP. Lakpesdam NU, P2KP, FKBJ, LP. Ma’arif NU Jepara,
IPPHTI, LSKaR dan PC PMII Jepara.

Penentuan pokok masalah yang dibahas dalam Mubes kali ini


didasarkan pada angket penjaringan aspirasi masyarakat, dua bulan
sebelum pelaksanaan Mubes. Dalam jajak pendapat tersebut diperoleh
data sebagai berikut:

e. Lain-lain
4%

a.
Pendidikan
37%
d. Ekonomi
Rakyat /
Usaha kecil
menengah
44%

b.
Kesehatan
c. 6%
Lingkungan
& SDA
9%

Dari gambar tersebut, menunjukkan 44% responden


menginginkan ekonomi rakyat/ usaha kecil menengah sebagai salah satu
prioritas perbincangan dalam Mubes, 37% menginginkan pendidikan,
9% lingkungan dan sumber daya alam, 6% kesehatan, 4% lainnya muncul
usulan yang beragam.8

Sebaran Masalah dan Jumlah Responden selengkapnya sebagai


Pergulatan NU dan Negara _91

berikut:

Pendidikan gratis Rencana Pembangunan


1 122 17 20
semua jenjang PLTN

Peningkatan Penambangan pasir


2 113 18 15
kesejahteraan guru dan galian C

Penambahan Pengelolaan pulau-


3 50 19 20
anggaaran BOP pulau kecil

Pengelolaan
Pengelolaan pariwisata
4 madrasah dan 76 20 35
daerah
pesantren

Penanganan anak Penanganan limbah


5 118 21 23
putus sekolah industri

Peningkatan SDM Dampak pembangunan


6 85 22 16
guru PLTU

Peningkatan sarana Akses permodalan bagi


7 141 23 78
Pendidikan pengusaha kecil

Pendidikan alternatif Bantuan peralatan


8 51 24 43
untuk rakyat produksi bagi nelayan

Pengelolaan JPS- Subsidi Saprodi (


9 47 25 54
Bantuan Kesehatan pertanian )

Penciptaan lapangan
10 Pelayanan Askes 19 26 129
kerja

Mahalnya berobat di Peningkatan


11 29 27 42
Puskesmas/RSU kesejahteraan buruh
92_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Penanggulangan
12 Mahalnya harga obat 25 28 kemiskinan & 168
pengangguran

Rendahnya mutu Persaingan harga


13 41 29 64
pelayanan Kesehatan kurang sehat

Pentingnya peran Mahalnya harga kayu/


14 26 30 62
puskesmas keliling bahan baku meubel

Perbedaan pelayanan
15 bagi pemegang kartu 22 31 Lain-lain 35
JPS

16 Kerusakan ikosistem 33
laut dan pesisir

Berdasarkan data penjaringan aspirasi tersebut diatas, kemudian


ditentukan pembagian Komisi, Sub Komisi, dan Isu-isu pendukung
sebagi berikut:

No Isu Utama Isu Pendukung / Kembangan Masalah


1 Pendidikan - Pendidikan gratis untuk SMA/MA
- Kesejahteraan guru swasta
- Pengelolaan madrasah dan pesantren
- Penanganan anak putus sekolah
- Peningkatan SDM guru
- Peningkatan sarana dan prasarana
pendidikan swasta
- Pendidikan alternatif untu rakyat (petani,
buruh, nelayan)
- Rendahnya minat belajar / kesadaran
pendidikan
Pergulatan NU dan Negara _93

2 Lingkungan - Kerusakan ekosistem laut dan pesisir


- Rencana Pembangunan PLTN
- Pembangunan SUTET
- Penambangan pasir dan galian C
- Pengelolaan pulau kecil
- Pengelolaan pariwisata daerah
- Penanganan limbah industri meubel/tenun
troso
- Limbah asap PLTU
- Rencana Pembangunan kilang minyak
Tanggul Tlare
3 Kesehatan - Pengelolaan JPS-BK
- Pelayanan Askes
- Komersialisasi Puskesmas dan RSU
- Mahalnya harga obat dirumah sakit
daripada di apotek
- Pengelolaan puskesmas tidak professional
- Pentingnya peran puskesmas keliling
- Standart pelayanan kesehatan bagi
penerima JPS dan Askes
4 Ekonomi - Akses permodalan bagi pengusaha kecil
rakyat kecil - Bantuan peralatan (nelayan)
- Subsidi Saprodi ( pertanian)
- Penciptaan lapangan kerja
- Nasib buruh meubel (10 perusahaan
meubel besar, lihat data)
- Kesejahteraan masyarakat kecil/ hak
ekosob (janda, fakir miskin, buruh, anak
yatim)
- Persoalan industri permeubelan Jepara
(persaingan harga, mahalnya harga kayu,
lemahnya managemen)
94_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

5 Hukum - Peningkatan partisipasi masyarakat dalam


proses perencanaan dan penganggaran
daerah.
- Penetapan Perda Partisipasi Jepara.
- Penanganan dan pengurangan tindak
kriminalitas.
- Transparansi dalam penegakan hukum.

Alur Mubes
Rakyat Jepara 2005

Registrasi
Daftar Ulang

Opening Pleno 3.
Ceremony:
 Sidang Pleno Umum
 Penyampaian Hasil Komisi
 Dihadiri Pemangku Kebijakan
Pleno 1 : Pleno 2 :  Ada penandatanganan berita
acara oleh Bupati, DPRD, Dinas,
 Masing-masing  Sidang Komisi : Departemen terkait Rekomendasi
Sub Komisi dibagi pertemuan Sub-sub  Pengukuhan Team pengawal
berdasar issue komisi Dokumen Publik
Besar  Hasil :  Ada Batas Waktu untuk realisasi
 Pembagian Komisi o 5 Prioritas usulan (untuk memudahkan
Berdasar atas masalah dan 15 Monitoring )
jumlah peserta Usulan Solusi  Merumuskan Format Kerja Team
max. 30 Orang o Memilih wakil Pengawal sampai adanya
 Hasil : 5 prioritas presentasi Rencana kerja berikut waktu
masalah dan 15 o Tim perumus pelaksanaan monitoring dan
Usulan solusi dan team pelaksanaan Mubes ke 2
pengawal
Pergulatan NU dan Negara _95

1. Kongres Rakyat Wonosobo (KRW)

Di Kabupaten Wonosobo, Forum Deliberatif diadakan dalam bentuk


Kongres Rakyat Wonosobo yang menghadirkan multi stakeholder, seperti:
buruh, petani, pelaku pendidikan, insan penyelenggara kesehatan,
pelaku sektor ekonomi kecil, pemuda/remaja, mahasiswa, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, pimpinan instansi serta
pimpinan lembaga politik di kabupaten Wonosobo.

Kongres Rakyat Wonosobo ini mengambil tema “Wonosobo


Menyongsong Perubahan Menuju Rakyat yang Demokratis dan
Sejahtera”. Kongres ini dimaksudkan sebagai forum curah aspirasi
warga yang bersifat terbuka dan pencarian berbagai alternatif solusi
atas permasalahan-permasalahan yang ada di Wonosobo. Alternatif
pemecahan tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan dalam pembuatan kebijakan publik agar sesuai dengan aspirasi
masyarkat.9

Secara kebetulan, KRW I ini waktunya berdekatan dengan Pemilihan


Kepala Daerah Langsung (PILKADA) Kabupaten Wonosobo. Siapapun
yang akan menjadi kepala daerah berikutnya, diharapkan akan
memegang teguh hasil Kongres sebagai referensi dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan daerah.Tujuan KRW ini adalah:

 Meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi warga negara.

 Terbentuk ruang publik bebas (free public sphere) yang dilakukan


secara periodik dengan melibatkan multi stakeholder di Kabupaten
Wonosobo.

 Terumuskan mekanisme perumusan kebijakan yang memperhatikan


aspirasi (kepentingan) rakyat dan berorientasi jangka panjang.

Kongres Rakyat Wonosobo (KRW) diikuti oleh sekitar 500 orang dari
berbagai latar belakang yang sangat beragam. Sesuai dengan sifanya
sebagai forum deliberatif, ia terbuka bagi siapapun penduduk Wonosobo.
96_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Beberapa unsur yang hadir antara lain dari Forum Warga Kecamatan
Watumalang, Kertek, Wonosobo dan Selomerto, KPF Serbuk, Kelompok
Tani, Ormas Keagamaan, Ormas Kepemudaan, Instansi Pemerintah,
Organisasi Profesi, Organisasi Perempuan, Lembaga Kemahasiswaan,
Lembaga dan Aktivis Pendidikan, Lembaga dan Aktivis Kesehatan,
Kepala Desa, BPD, Partai Politik, dan Perorangan atau Individu.

KRW diselenggarakan oleh sebuah aliansi Civil Society Organization


(CSO) yang sengaja dibentuk, dan terdiri dari: PC. Lakpesdam NU
Wonosobo, Forum Warga (FW) Kabupaten Wonosobo, Serikat Petani
Kedu dan Banyumas (SEPKUBA), KPF. SERBUK, Persatuan Buruh
Migran Wonosobo (PBMW), JPPR-ISIS Wonosobo, dan PP. Lakpesdam
NU Jakarta.Dalam KRW ini ada beberapa pokok masalah yang
didiskusikan melalui pembagian komisi dan sub komisi.10Ada 7 komisi,
masing-masing terdiri 3 sub komisi. Masing-masing sub komisi memiliki
beberapa agenda perbincangan sebagai berikut:

AGENDA
KOMISI
SUB KOMISI PERBINCANGAN
Pemerintahan - Anggaran - Perencanaan sampai
Pendapatan pelaksanaan anggaran
dan Belanja (mekanisme penganggaran)
Daerah tidak melibatkan berbagai
(APBD) komponen masyarakat,
seperti 1) Pelaksanaan Mega
Proyek tanpa tender. 2)
Pelaksanaan proyek yang
tidak sesuai dengan
Perencanaan.
- Mark-up anggaran dan
tumpang tindih (overlapping)
alokasi anggaran, serta dana
operasional pejabat yang
sangat besar tidak sebanding
dengan alokasi anggaran
untuk pelayanan
masyarakat.
- Alokasi dana desa yang
tidak berdasarkan pada
kebutuhan pembangunan
tumpang tindih (overlapping)
alokasi anggaran, serta dana
operasional pejabat yang
Pergulatan
sangat besar tidakNUsebanding
dan Negara _97
dengan alokasi anggaran
untuk pelayanan
masyarakat.
- Alokasi dana desa yang
tidak berdasarkan pada
kebutuhan pembangunan
desa yang bersangkutan.
- Pengelolaan dana
perimbangan desa tidak
dikelola dengan baik dan
tidak transparan, sementara
tidak ada tata cara
(mekanisme) pelaporan yang
jelas.
- Tata Cara - Birokrasi pelayanan (seperti
(Mekanisme) membuat KTP, Akte
Pelayanan Kelahiran, dan Perijinan)
Publik dari desa–kabupaten yang
berbelit dan mahal
- Tidak ada tata cara yang
jelas membuat pengaduan
(mekanisme komplain).
- Sistem penempatan pejabat
di beberapa posisi penting
pemerintahan
- Tata Ruang - Pasar (pembakaran, relokasi,
pembagian los, harga los,
iuran keamanan),
Transportasi (jalur
semrawut, persaingan
angkot dan ojek), Kebersihan
(sampah), dan Keamanan
Kota.
- Obyek wisata yang tidak
terawat dan terkelola
dengan baik, misalnya:
Telaga Warna di Dieng.
98_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Pendidikan - Anggaran dan - Iuran sekolah bermacam-


Biaya macam dan sangat mahal
Pendidikan sehingga membebani orang
tua, seperti SPP, uang
gedung, uang praktek, uang
seragam, dan buku pelajaran
- Sarana pendidikan yang
sangat terbatas, seperti
banyak gedung/ bangunan
Sekolah Dasar (SD) yang
tidak layak, media belajar
mengajar seperti
laboratorium IPA dan
bahasa yang tidak terdapat
di sebagian sekolah.
- Alokasi anggaran
pendidikan yang kecil dan
pilih kasih antara
pendidikan formal dan non
formal.
- Biaya operasional sekolah
(BOS).
- Kualitas - Rendahnya gaji guru, sistem
Pendidikan penggajian, tidak jelas masa
dan pengabdian guru kontrak
Kesejahteraan dan wiyata bhakti, sumber
Pendidik daya/ kemampuan
penguasaan materi pelajaran
yang masih rendah, dan
banyak guru yang rangkap
mata pelajaran.
- Beban mata pelajaran yang
terlalu banyak.
Pergulatan NU dan Negara _99

- Pesantren dan - Ijazah pesantren tidak diakui


Pendidikan setara dengan ijazah sekolah
Luar Sekolah formal
- Penyeragaman kurikulum
pesantren
Kesehatan - Anggaran - Anggaran kesehatan sangat
Kesehatan kecil
- Pengelolaan kompensasi
dana BBM untuk kesehatan
- Pelayanan - Biaya berobat dan perawatan
Kesehatan di RS Pemerintah/Swasta
yang mahal.
- Orang miskin wajib
membayar ongkos kesehatan
sama dengan yang kaya.
- Pembedaan (diskriminasi)
layanan kesehatan untuk
orang miskin dan orang
kaya.
- Kartu sehat (JPS) untuk
orang miskin tidak
dijalankan semestinya
- Akses Masyarakat tidak
Informasi menerima/mendapatkan info
Kesehatan kesehatan dari pemerintah.
Usaha Kecil - Pedagang Kaki - Akses modal dari perbankan
dan Lima (PKL) yang dipersulit.
Menengah dan Pedagang - PKL rawan tergusur.
(UKM) Pasar - PKL rawan konflik dengan
pedagang pasar.
- Membayar ongkos resmi dan
tidak resmi (pungli atau
uang keamanan), tetapi
keamanan tidak terjamin
100_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

- Industri - Akses modal dari perbankan


Rumah yang dipersulit.
Tangga (Home - Bahan baku yang sulit
Industry) didapatkan dan mahal.
- Terbatasnya lokasi pedagang
hasil produksi (pemasaran).
- Kalah bersaing harga dengan
produksi luar negeri/luar
daerah.
- Koperasi dan - Manajemen yang tidak
Lembaga professional.
Keuangan - Kredit macet.
Rakyat - Bunga/ jasa pinjaman terlalu
besar, sehingga
memberatkan.
- Modal yang terbatas.
Pemuda dan - Kekerasan dan - Pemakaian Narkoba
Remaja Obat Terlarang ditingkatan pemuda dan
remaja (pelajar).
- Adanya penjualan dan
penyewaan VCD Porno.
- Kekerasan (tawuran anak
sekolah dan pemuda antar
kampung)
- Kesehatan reproduksi
remaja
- Pengangguran - Tingginya angka anak putus
dan Anak sekolah.
Putus Sekolah - Tingginya angka pemuda
pengangguran.
- Tidak ada sarana (ruang)
kreatifitas anak muda
(olahraga, seni, dll).
Pergulatan NU dan Negara _101

Pertanian - Pertanahan - Sengketa tanah (masyarakat


dan perhutani).
- Hak Guna Usaha (HGU)
dikuasai oleh pemilik modal.
- Perda “Pengelolaan Sumber
Daya Hutan Berbasis
Masyarakat” dibatalkan oleh
Mendagri.
- Penanganan - Harga hasil panen yang
dan murah, tidak ada standar
Pemasaran harga yang jelas.
Hasil - Pasar dikuasai tengkulak
Pertanian dan masuknya produk luar
di bawah harga lokal.
- Tidak ada perlindungan
(proteksi) terhadap produk-
produk pertanian lokal.
- Anggaran dan subsidi
pertanian yang sangat kecil.
- Pengairan dan - Terjadi penyeragaman
Budidaya tanaman.
Pertanian - Penyuluh pertanian (PPL)
menjadi agen obat-obat
kimiawi dan alat-alat
pertanian.
- PPL tidak memperkenalkan
model pertanian yang ramah
lingkungan dan
berkelanjutan.
- Dinas pertanian tidak bisa
memberikan jawaban atas
problem pertanian lokal.
- Tidak ada pengembangan
produk unggulan.
- Sarana irigasi banyak yang
sudah rusak
- Sarana produksi (pupuk,
bibit, dan alat-alat) pertanian
yang mahal.
- Pertanian berbasis lokal
memberikan jawaban atas
problem pertanian lokal.
- Tidak ada pengembangan
102_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014 produk unggulan.
- Sarana irigasi banyak yang
sudah rusak
- Sarana produksi (pupuk,
bibit, dan alat-alat) pertanian
yang mahal.
- Pertanian berbasis lokal
(komoditas dan alat lokal).
Perburuhan - Perlindungan - Tidak ada perlindungan
Buruh terhadap buruh migran
(dalam rekruitmen banyak
penipuan dan pemerasan,
penampungan yang tidak
layak, penempatan tidak
sesuai dengan yang
dijanjikan, dan pemulangan
tanpa jaminan keamanan).
- Perlindungan yang minim
terhadap buruh formal
(buruh industri dan jasa
pelayan toko): upah tidak
sesuai dengan UMK dan
tidak mendapatkan program
jamsostek.
- Status buruh kontrak yang
tidak terbatas waktu,
misalnya menjadi buruh
kontrak seumur hidup (tidak
bisa menjadi buruh tetap).
- Pemaksaan menjadi buruh
sub kontrak.
- Tidak ada perlindungan
terhadap buruh perempuan,
misalnya tidak ada cuti haid
dan cuti hamil.
- Lemahnya posisi tawar
buruh di depan majikan.
- Kinerja - Tidak ada langkah membuat
Disnakertrans kebijakan daerah untuk
melindungi buruh formal,
buruh informal, dan buruh
migran.
terhadap buruh perempuan,
misalnya tidak ada cuti haid
dan cuti hamil.
Pergulatan NU dan Negara _103
- Lemahnya posisi tawar
buruh di depan majikan.
- Kinerja - Tidak ada langkah membuat
Disnakertrans kebijakan daerah untuk
melindungi buruh formal,
buruh informal, dan buruh
migran.
- Tidak serius dalam
menangani kasus
perburuhan dan lebih
berpihak pada pengusaha
dari pada buruh.
- Menjadi agen tenaga kerja,
baik buruh migran maupun
formal.
- Tidak dilakukannya
pengawasan terhadap
pelaksanaan UU
Ketenagakerjaan
- Penyelesaian - Peliburan buruh tanpa
Masalah kepastian produksi kembali
Perburuhan (PT Dieng Djaya)
- Pembayaran upah yang
tidak sesuai dengan UMK
(PT Patuha Agro
Rekananda)
- Ketidak jelasan status dan
hubungan kerja antara
buruh dengan Pengusaha
(PLTA Sub Unit Garung)
104_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Hasil KRW I adalah 5 prioritas masalah dan 15 usulan solusi dari


masing-masing komisi yang ada. Jadi jumlah secara keseluruhan ada
35 prioritas masalah dan 105 usulan solusi. Hasil selengkapnya dapat
dilihat dalam lampiran.Seluruh prioritas masalah dan usulan solusi yang
disusun sendiri oleh masyarakat Wonosobo tersebut, merupakan bahan/
materi kontrak politik yang ditandatangani oleh para calon Bupati
dan Wakil Bupati Wonosobo periode 2005-2010 untuk ditindaklanjuti
(direalisasikan) pada masa pemerintahannya, serta menjadi dokumen
publik yang bisa diakses oleh siapa saja.

Pilkada Kabupaten Wonosobo periode 2005-2010 diikuti oleh tiga


pasangan calon bupati dan wakil bupati, Drs. H. Trimawan Nugrahadi,
Msi berpasangan dengan Drs. KH. Muchotob Hamzah, MM, Heru
Irianto, SE berpasangan dengan H. Saptoyuwono, dan Drs. H. A. Kholiq
Arief berpasangan dengan Drs. H. Muntohar, MM. Ketiga calon bupati
tidak ada yang datang dalam acara tersebut, mereka hanya mengirimkan
calon wakil bupatinya. Namun, dari ketiga calon wakil bupati, hanya Drs.
H. Muntohar, MM yang bersedia menandatangani Dokumen KRW I. Dia
berjanji akan berusaha melaksanakan aspirasi masyarakat melalui KRW
I dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaanya, jika kelak ia menjadi
wakil bupati. Sebagai upaya untuk memantau hasil-hasil KRW sampai
pada tingkat realisasi, Kongres mengamanatkan untuk membentuk
Komite Monitoring yang dibentuk oleh Kongres.11
Pergulatan NU dan Negara _105

Alur Kongres Rakyat Wonosobo

D. Kesimpulan
Dari beberpa praktik yang sudah dilakukan oleh warga NU dan
masyarakat umum di Jepara dan Wonosobo, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan model
demokrasi deliberatif sebagai berikut.

Pertama, Warga memiliki pengetahuan dan perspektif yang berharga


tentang isu-isu publik melebihi apa yang dibayangkan. Isu publik
berbeda dengan isu privat, selama ini kedua ruang tersebut sering
dicampur-campur begitu saja. Hal ini menyebabkan banyak pejabat yang
menitipkan kepentingan pribadi dengan fasilitas kepentingan umum
(publik). Korupsi merupakan tindakan penyelewengan kekuasaan
yang memaksakan kepentingan pribadi agar dibiayai dengan dana
kepentingan umum.
106_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Masyarakat juga tidak semua memahami batasan wilayah publik dan


privat. Apalagi pemerintah tidak cukup tegas menunjukkan batasan
publik dan bukan publik. Batasannya sering kabur dan berubah-ubah.
Pengalaman Indonesia selama rezim orde baru, publik dan bukan
publik sangat ditentukan oleh departemen penerangan sesuai petunjuk
presiden.

Demokrasi deliberatif memungkinkan masyarakat menambah


wawasan dan penegertian yang lebih matang tentang isu-isu publik.
Melalui diskusi publik, masyarakat bisa mendapatkan pemahaman mana
yang bisa dibicarakan bersama sebagai kepentingan publik dan mana
yang cukup disimpan rapat sebagai kasus pribadi. Bagi penyelenggara
negara, isu publik yang dibicarakan masyarakat sekaligus merupakan
kontrol dan ruang tawar menawar agar masalah-masalah masyarakat
sungguh-sungguh ditangani.

Kedua, kehadiran warga dalam proses deliberasi dapat mengurangi


konflik antara stakeholder yang bersaing, dan dukungan publik yang
besar membuat pelaksanaan (implementasi) kebijakan lebih mudah.

Elemen masyarakat sipil tidak sedikit. Mereka bisa merupakan


kelompok-kelompok berbasis kepentingan agama, etnis, afilisasi
politik, profesi, dan lain sebagainya. Tanpa koordinasi dan konsolidasi
masyarakat sipil, mereka dapat dimanfaatkan dan dimobilisir oleh
kepentingan di luar diri mereka sendiri. Demokrasi deliberatif mengajak
sebanyak mungkin bagian masyarakat sipil memikirkan semua persoalan
untuk kemaslahatan bersama-sama, bukan kelompok-kelompok. Dengan
demikian, potensi konflik kepentingan skala kelompok diperkecil.
Masyarakat diajak berpikir rasional untuk menyelesaikan permasalahan
yang berkenaan dengan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri.

Ini berbeda jauh dibanding praktek demokrasi perwakilan yang


menghentikan partisipasi pada wakil di lembaga eksekutif dan legislatif,
kemungkinan besar yang terjadi adalah kotak-kotak partisipasi sempit
dan pisah-pisah (parsial) yang dititipkan secara diam-diam melalui wakil
Pergulatan NU dan Negara _107

dan tidak terkontrol hasilnya. Akhirnya yang tampak melalui media


adalah pertarungan antar anggota parlemen atau dengan eksekutif yang
tidak jelas kepentingannya dan tidak terbaca ke mana arah perdebatan
yang berlangsung.

Jika sebuah permasalahan publik (umum) didiskusikan oleh lebih


banyak orang, tentu rumusan hasil proses tersebut akan didukung lebih
banyak orang. Dan pertimbangan publik dalam diskusi, jika dijadikan
rujukan perumusan dan pelaksanaan sebuah kebijakan tentu saja akan
mendapat respon yang positif dan dukungan kuat dari kalangan lebih
luas. Hal ini mengurangi resiko tiadanya dukungan publik seperti yang
terjadi dalam beberapa kebijakan.

Ketiga, keterlibatan warga dalam proses deliberasi dapat membentuk


kesadaran publik terhadap isu-isu penting dan banyak keuntungan
dalam jangka panjang, seperti pembangunan kepercayaan, peningkatan
partisipasi politik, dan penguatan institusi politik.

Komunikasi mengandaikan adanya kepercayaan masing-masing pihak


yang terlibat. Partisipasi aktif yang tumbuh baik di kalangan masyarakat,
satu sisi menumbuhkan rasa percaya diri bahwa keinginan mereka harus
dibicarakan dalam area publik dan diharapkan dapat berpengaruh dalam
proses penetapan kebijakan publik. Sisi lain menandakan tumbuhnya
kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara.

Bagi negara, bertemu dan mendengarkan secara langsung suara


masyarakat melalui forum-forum deliberasi jelas jauh lebih efektif dan
tepat sasaran. Pengambil kebijakan dapat mengerti apa yang seharusnya
diputuskan mereka berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan
pelayanan masyarakat atau warga negara. Dengan cara ini, para eksekutif
dan legislatif tidak perlu terlalu capek melalui birokrasi partisipasi
seperti lewat anak buah yang sering kali manipulatif.

Asas kepercayaan dalam komunikasi yang aktif bermakna pula


penghargaan terhadap institusi politik. Berbagai pihak tidak menyalurkan
aspirasinya dengan cara non koordinatif dan dengan cara sendiri-sendiri.
108_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Melainkan semua harus berpartisipasi menggunakan jalur yang jelas


dan disepakati bersama. Dengan cara demikian, semua pihak merasa
dalam posisi yang setara dan taat di bawah peraturan institusi politik
yang sudah ada.

Keempat, partisipasi secara langsung dalam proses pengambilan


keputusan publik dapat menutupi kelemahan demokrasi perwakilan:
derajat keterwakilan dan tirani mayoritas.Diakui demokrasi representatif
(perwakilan) masih menyisakan banyak kelemahan. Misalnya: tidak ada
jaminan apapun bahwa wakil yang dipilih akan benar-benar mewakili
kehendak dan kepentingan masyarakat pemilih, tidak ada mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas antara pemilih dan terpilih, dan tidak
ada cara untuk menangani pengkhianatan amanat yang dilakukan
oleh wakil terhadap masyarakat pemilih. Hal-hal seperti ini kurang
mendapatkan jawaban atau penjelasan yang memuaskan dari demokrasi
model perwakilan. Karena itu, bentuk pengambilan keputusan kebijakan
publik secara langsung (demokrasi deliberatif) dipandang sebagai
jawaban yang akan menyempurnakan kelemahan demokrasi perwakilan.

Demokrasi deliberatif dengan sendirinya juga menolak terhadap


kemungkinan tirani mayoritas. Karena yang penting bukan kuantitas
suara dalam pengambilan keputusan, melainkan sejauh mana sebuah
argumentasi bisa disampaikan secara rasional dan menampung
permasalahan publik (dirasakan sebanyak-banyaknya anggota
masyarakat). Gagasan atau usulan demikian dalam forum deliberatif
bisa datang dari manapun, minoritas maupun mayoritas. Dalam
konteks seperti ini, proses deliberatif sekaligus dapat menjadi wahana
pembelajaran bagi mayoritas untuk menghargai dan melindungi
kepentingan minoritas juga. []
Pergulatan NU dan Negara _109

Daftar Pustaka

AmericaSpeaks’ 21st Century Town Meeting, www.americaspeak.org atau


www.americaspeaks.org/library.html.

Anton Wisnu Nugroho dan Subur Tjahjono, Franky, Abstraksi Menuju


Kosmopolitanisme, Kompas, Sabtu, 13 Agustus 2005

Archon Fung  and  Erik Olin Wright, Experiments in Empowered


Deliberative Democracy, June 1999, lihat http://www.
internationalbudget.org/cdrom/papers/systems/ParticipatoryBudgets/
DeliberativeDemocracy.htm

Carolyn Hendriks, Deliberative Citizens’ Forums and Interest Groups Roles,


Tensions and Incentives, Bahan Bacaan Jambore Forum Warga di
Asrama Haji Sukolilo Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo 2-3 Agustus 2005

Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005

Dokumen Rembug Warga Cilacap, 29 Desember 2005

Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Beberapa


Sumber, Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat
Sipil Lakpesdam NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005

F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan Praktik, Rapat


Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam
NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005

F Budi Hardiman, Menyimak Filsafat Politik Habermas, Demokrasi


Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto? Bahan
Bacaan Jambore Forum Warga di Asrama Haji Sukolilo
Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

F Budi Hardiman, Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam


Masyarakat Majemuk, Bahan Bacaan Jambore Forum Warga di
110_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Asrama Haji Sukolilo Surabaya, 28 Maret-2 April 2005

Ihsan Herudin, Model Perencanaan Anggaran Partisipatif di Porto


Alegre: Sebuah Tinjauan Empiris, Tanpa Tahun

Jay Bregman, Theoretical Frameworks of Deliberative Democracy, 04


Februari 2000, lihat pada http://cyber.law.harvard.edu/projects/
deliberation/theory/#24

Laporan “Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil”, PP Lakpesdam


Jakarta, Tahun 2001-2003

Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, University


College Dublin, 2000

Maurizio Passerin d’Entrèves, Multiculturalism and Deliberative


Democracy, University of Manchester, Barcelona 1999
Pergulatan NU dan Negara _111

Endnotes

1. Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, University College


Dublin, 2000, h. 40.

2. Maeve Cooke,Five Arguments for Deliberative Democracy, h. 51. Lihat juga,


Maurizio Passerin d’Entrèves, Multiculturalism and Deliberative Democracy,
Barcelona: University of Manchester, 1999, h. 33.

3. Jay Bregman, Theoretical Frameworks of Deliberative Democracy, 04 Februari


2000, lihat pada http://cyber.law.harvard.edu/projects/deliberation/theo-
ry/#24, h. 72.

4. Anton Wisnu Nugroho dan Subur Tjahjono, Abstraksi Menuju Kosmopolitan-


isme, Kompas, Sabtu, 13 Agustus 2005.

5. F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan Praktik, Rapat Kerja
ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU di Jogjakarta, 2005,
h. 29.

6. Maeve Cooke, Five Arguments for Deliberative Democracy, h. 81.

7. Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005, h.


56. Lihat juga, Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Be-
berapa Sumber, Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil
Lakpesdam NU di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005, h. 105.

8. Dokumen Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat Jepara, 3 Desember 2005, h.


86.

9. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 22. Lihat juga,
Fuad Fachruddin, Deliberative Democracy: Ringkasan dari Beberapa Sumber,
Rapat Kerja ke-3 Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil Lakpesdam NU
112_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

di Jogjakarta, 23-26 Agustus 2005, h. 90.

10. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 46.

11. Dokumen Kongres Rakyat Wonosobo, 2-3 Agustus 2005, h. 62.


Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _113

The Concept of Gender in Human Ecology in the


Perspective of Qur’an

Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia


Perspektif al-Quran

Nur Arfiyah Febriani


Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta
email: royyana12@yahoo.com

Abstract : Quranic perspectives on gender-oriented ecology propose eco-humanist theocentric

theory. This is based on the Quranic description regarding the interconnection and
harmonious interaction between a human and him/her self (habl ma‘a nafsih), a
human with another human (habl ma‘a ikhwânih), a human with the universe (habl
ma‘a bî’atih), and a human with God (habl ma‘a Allâh), regardless male or female.
On the other hand, this conclusion is different with the expression of some feminists
who believe in the correlation between environmental damage with men’s domination
over women. In the Qur’an, human beings are generally described as having similar
potencies to destroy the environment as well as to conserve it.
The Quranic perspective on gender-oriented ecology in human ecology system is
found in three representations of gender identity, namely: 1) biology paired features,
2) various terms refer to men and women interactions, and 3) the balance of femininity
114_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

and masculinity within every human being, indicating the possible equal quality of
intellectuality, emotion and roles in their social life.

Abstraksi : Perspektif al-Qur’an mengenai ekologi berwawasan gender mengusung teori

ekohumanis teosentris. Hal ini berdasarkan deskripsi al-Qur’an mengenai interkoneksi


dan interaksi harmonis antara manusia dengan dirinya sendiri (habl ma‘a nafsih),
manusia dengan sesama manusia (habl ma‘a ikhwânih), manusia dengan alam
raya (habl ma‘a bî’atih) dan manusia dengan Allah (habl ma‘a Khâliqih), tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dengan ditemukannya isyarat
keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia, temuan
Disertasi ini berbeda dengan pendapat tokoh feminis yang menganggap kerusakan
lingkungan memiliki korelasi dengan sikap dominatif laki-laki terhadap perempuan.
Dalam al-Qur’an, manusia secara umum dideskripsikan memiliki potensi yang sama
dalam merusak sekaligus melakukan upaya konservasi lingkungan.
Perspektif al-Qur’an mengenai wawasan gender dalam ekologi manusia, ditemukan
dalam tiga isyarat identitas gender, yaitu: 1) keberpasangan secara biologis, 2)
berbagai istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dalam interaksinya,
dan 3) keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap individu manusia,
yang mengindikasikan potensi intelektual dan emosional serta peran yang sama dalam
interaksi sosialnya.

Keywords: human ecology, gender, social interaction, al-Quran

A. Muqaddimah
Isu kerusakan lingkungan menjadi salah satu isu global yang
meresahkan bagi masyarakat dunia saat ini. Beberapa riset tentang
kerusakan bumi yang dilakukan oleh McElroy,2 WALHI,3 dan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada akhir tahun
2007,4 melaporkan kerusakan lingkungan yang semakin menghawatirkan
di seluruh belahan bumi. Berbagai macam bentuk kerusakan alam seperti
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _115

bencana banjir, tanah longsor, pencemaran lingkungan dan lain-lain,


membuktikan faktor penyebab kerusakan lingkungan yang disebabkan
prilaku manusia yang kurang harmonis dalam interaksinya dengan alam.

Hal ini disinyalir dari akibat pemahaman yang kurang komprehensif


tentang pemahaman teks keagamaan, minimnya pengetahuan tentang
alam, serta cara pandang manusia terhadap alam. Keseluruhan
pemahaman dan cara pandang rigid (sempit) tersebut yang kemudian
menimbulkan paradigma antroposentris. Paradigma antroposentris
adalah paradigma yang memandang bahwa alam semesta tercipta untuk
kebahagiaan hidup umat manusia sebagai pusatnya.5 Paradigma yang
kering nilai spiritual ini, memiliki implikasi logis terhadap ulah manusia
dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta perilaku manusia yang
tidak menghormati eksistensi alam sebagai sesama makhluk ciptaan
Tuhan.

Selanjutnya, eksploitasi sumber daya alam identik dengan aktivitas


laki-laki dalam dunia kerjanya, terlebih karakter maskulin yang umum
dimiliki laki-laki seperti eksploitatif, arogan dan ambisius, seakan
mengabsahkan laki-laki sebagai jenis manusia yang dominan dalam
berbagai interaksinya, baik dengan sesama manusia maupun lingkungan.

Oleh karena sebab sikap dominatif laki-laki dalam interaksinya


kepada sesama manusia dan lingkungan inilah, yang pada akhirnya
menurut para tokoh ekofeminis seperti Nawal Amar dan Carolyn
Merchant membuat laki-laki layak dipersalahkan sebagai aktor pemicu
berbagai bentuk kerusakan lingkungan. Cara pandang ekofeminis ini
adalah salah satu cara pandang yang unik dan menarik bagi penulis
untuk dikembangkan dalam penelitian ini.6

Keunikan cara pandang tokoh ekofeminis ini terdapat pada


pergeseran isu seputar ketimpangan gender. Karena dalam beberapa
dasawarsa terakhir, isu gender yang banyak mencuat yaitu seputar isu
mengenai ketimpangan gender seperti dalam hak waris perempuan,
perwalian, saksi, konstruk sosial dan lain-lain.7 Di antara tokoh yang
116_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

memperdebatkan isu ini misalnya yaitu: Laila Ahmad,8 Bonnie Fox,9


Barbara Freyer Stowasser,10 Nasr Hamid Abu Zaid,11 dan Kamil Zahirî.12

Sementara itu, dalam kajian ekologi manusia, budaya patriarki telah


membawa laki-laki pada terbentuknya karakter maskulin, seperti: lebih
aktif, kompetitif, ambisius, dan agresif dalam interaksinya kepada
sesama manusia dan lingkungannya seperti yang diungkap sebelumnya.
Hal inilah yang menjadikan laki-laki dianggap menjadi penyebab
utama kerusakan lingkungan. Hipermasklinitas dan dominasi laki-laki
terhadap perempuan disinyalir menjadi faktor penyebab laki-laki juga
bertindak sama terhadap bumi yang diidentikan dengan perempuan
karena keduanya memiliki kesamaan karakter yang pasif dan submisif.

Demikian dalam kajian ekologi alam. Bumi memang lebih dinilai


sebatas makhluk yang pasif dan reseptif yang tak lain merupakan
representasi dari karakter feminin, karakter yang selama ini diidentikan
dengan karakter perempuan.13 Itulah mengapa menurut para tokoh
ekofeminis, pola interaksi laki-laki yang arogan, diskriminatif dan
dominatif terhadap perempuan juga berimbas pada pola interaksi laki-
laki terhadap bumi dengan pola interaksi yang arogan dan eksploitatif.
Ironisnya, hal ini masih diperburuk dengan mengakarnya paradigma
antroposentris yang kering nilai spiritual dalam melegalkan arogansi
manusia untuk mengeksploitasi alam dengan dalih kepentingan
ekonomi.14

Jika dipahami, permasalahan kerusakan lingkungan yang


dihubungkan dengan sterotip antara laki-laki dan perempuan di atas,
diakibatkan polapikir yang masih sangat sempit di dalam memandang
dan mengklasifikasi antara karakter laki-laki dan perempuan. Oleh sebab
itu, di dalam Disertasi penulis dibahas suatu sub bahasan dengan tema:
“Identitas Gender dengan Kata Sifat/karakter Feminin dan Maskulin”
dalam setiap individu manusia, yang ternyata dalam dideskripsikan al-
Quran memiliki keseimbangan. Pemahaman ini diambil karena setiap
ayat yang mengisyaratkan tentang karakter manusia didapati dalam
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _117

bentuk umum sebagai indikasi bahwa ayat itu berlaku bagi laki-laki
dan perempuan. Artinya, Al-Quran mempersilahkan kepada kecerdasan
manusia untuk memilih karakter mana yang akan mempresentasikan
kepribadiannya. Dengan demikian sterotip bagi laki-laki dan perempuan
adalah pandangan yang keliru, karena baik karakter feminin dan
maskulin dalam setiap individu manusia memiliki sisi/nilai positif dan
negatif sebagaimana akan digambarkan secara ringkas dalam tabel di
dalam makalah ini.

Demikian dengan anggapan mengenai karakter yang dimiliki


oleh masing-masing makhluk ciptaan Allah, yang ternyata jika ditelisik
juga mengisyaratkan keseimbangan karakter feminin dan maskulin
dalam setiap makhluk ciptaan Allah. Bedanya antara karakter manusia
dan suatu makhluk yang terdapat di alam raya yang dideskripsikan
di dalam al-Quran bahwa, karakter suatu makhluk hanya memiliki
karakter yang positif. Ini karena alam raya tidak akan membelot dari
ketentuan yang sudah Allah tetapkan atasnya. Manusia tentu dapat
mengambil pelajaran dari tunduknya semua makhluk di alam raya yang
mencipta harmoni untuk dapat mengemban tugas yang Allah embankan
kepada masing-masing makhluk. Oleh sebab itu pula di dalam makalah
ini, penulis akan sekilas menjelaskan tentang keseimbangan karakter
feminin dan maskulin yang dimikili oleh setiap individu manusia.

B. Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia

1. Ekologi Manusia

Ekologi manusia adalah ilmu yang mempelajari tentang interaksi


antara manusia dengan keseluruhan ekosistem yang terdapat di
lingkungannya.15 Ekologi manusia dan ekologi alam menjadi dua kajian
menarik, karena saat ini banyak terjadi gejala inharmonisasi interaksi
antara manusia dengan lingkungannya. Dampak negatifnya berupa
berbagai macam bentuk kerusakan lingkungan, yang menjadi salah satu
isu sentral saat ini dan membutuhkan solusi komprehensif dalam usaha
konservasi alam.
118_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Menariknya, seorang tokoh feminis Nawal Amar membaca kerusakan


ekologi memiliki hubungan dengan sikap hipermaskulinitas laki-laki
dalam mengelola lingkungan. Padahal, al-Qur’an mengindikasikan
bahwa kerusakan alam sejak dulu diakibatkan oleh ulah manusia secara
umum. Selain itu, data kerusakan alam dan penyebabnya yang dilansir
IPCC sebagaimana yang akan diungkap di depan, menjelaskan tentang
keterlibatan manusia secara umum dalam merusak lingkungan.

Untuk itu, ekologi dalam perspektif al-Qur’an perlu memberikan


penjelasan tentang keterkaitan gender dalam isu kerusakan lingkungan
secara lebih komprehensif. Sehingga pemahaman rigid yang
menimbulkan perdebatan dan cenderung saling menyalahkan antara
laki-laki dan perempuan, dapat menemukan titik terang dan dapat
dirumuskan solusi yang baik bagi sesama manusia dan lingkungan.

Pada pembahasan ini, diungkapkan bagaimana al-Qur’an


mendeskripsikan tentang kedua jenis manusia dalam interaksinya dengan
sesama manusia dan alam. Isyarat ekualitas terhadap karakter feminin
dan maskulin yang dimiliki setiap individu manusia, menjadi salah
satu solusi bagi manusia untuk dapat mengoptimalkan potensi kedua
karakter tersebut dalam dirinya. Menariknya, dari dua potensi karakter
feminin dan maskulin yang dimiliki setiap individu manusia, terdapat
nilai positif (al-nafs al-taqwâ’iyyah) dan negatif (al-nafs al-fujûriyyah)16 yang
umum dimiliki manusia.17 Pada titik ini, al-Qur’an memberikan guidelines
dan mempersilahkan kecerdasan manusia dalam menentukan karakter
mana yang dapat merepresentasikan karakter pribadinya.

Dalam analisa penulis, isyarat keterkaitan gender dalam ekologi


manusia tergambar dalam identitas gender yang digunakan al-Qur’an
untuk menunjukkan pola interaksi manusia dengan manusia serta
dengan lingkungan sekitarnya. Isyarat identitas gender dalam ekologi
manusia setidaknya terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: a) identitas
gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-
laki dan perempuan, b) identitas gender dengan menggunakan istilah
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _119

gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu dengan


menggunakan kata ‫( زوج‬zawj) dalam arti pasangan secara biologis, dan c)
identitas gender dengan kata sifat/karakter feminin dan maskulin yang
dimiliki secara umum oleh setiap individu manusia. Berikut deskripsi
al-Qur’an mengenai identitas gender dalam ekologi manusia:

a. Identitas gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk


kepada laki-laki dan perempuan.
Istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada
laki-laki dan perempuan yaitu: ‫( الزجال و الىساء‬al-rijâl dan al-nisâ’),i ‫الذكز و‬
‫( األوثى‬al-dhakar dan al-unthâ)ii dan ‫( المزء والمزأة‬al-mar’dan al-mar’ah).iii
Berikut dipaparkan beberapa contoh klasifikasi istilah dan ayat-ayat
yang mengandung istilah tersebut.

No Istilah yang digunakan Nomor surat dan ayat

1 ‫( الزجال و الىساء‬al-rijâl dan al-nisâ’)


a. ‫الزجال‬, dalam arti:
1. Laki-laki: 2/282 (2x), 2/228 (2x), 4/34
(2x), 4/32, 27/55, 48/25, 72/6
(2x), 7/81, 27/55, 29/29, 4/7,
4/75, 4/98, 4/1, 4/176, 12/109,
21/7, 33/40, 4/12, 11/78,
23/25, 23/38, 28/20, 36/20,
40/28 (2x), 7/63, 7/69, 10/2,
33/4, 34/7, 6/9, 7/155, 17/47,
18/37, 25/8.
2. Orang laki-laki dan 7/46, 33/23, 9/108, 24/37,
perempuan 33/23, 38/62.
3. Nabi 21/7, 34/7, 34/43.
4. Tokoh Masyarakat 36/20, 7/48, 43/31.
5. Budak 39/29 (3x), 24/31.
6. Dalam bentuk muthannâ 5/23.
‫( رجالن‬laki-laki)
7. Dalam bentuk muthannâ 2/282, 16/76, 18/32, 28/15.
‫( رجليه‬laki-laki)

b. ‫ الىساء‬dalam arti:
3. Nabi 21/7, 34/7, 34/43.
4. Tokoh Masyarakat 36/20, 7/48, 43/31.
5. Budak 39/29 (3x), 24/31.
120_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014
6. Dalam bentuk muthannâ 5/23.
‫( رجالن‬laki-laki)
7. Dalam bentuk muthannâ 2/282, 16/76, 18/32, 28/15.
‫( رجليه‬laki-laki)

b. ‫ الىساء‬dalam arti:

1. Perempuan dewasa 4/7, 4/32, 4/1, 4/11, 4/176,


2/235, 48/25, 49/11 (2x), 3/42,
4/3, 4/7, 4/32, 4/75, 4/98,
7/81, 24/31 (2x), 24/31, 24/60,

No Istilah yang digunakan Nomor surat dan ayat

27/55, 4/15, 33/55.

2. Isteri 2/222 (2x), 2/223, 5/6, 65/1,


4/22, 4/24, 4/34, 4/127 (2x),
4/129, 2/187, 2/226, 2/231
(3x), 33/59, 2/187, 4/23, 3/61,
58/283, 2/236, 4/15, 4/23 (2x),
33/30, 33/20, 33/52, 3/61 (2x),
65/4, 58/2, 58/3, 2/232, 2/236,
4/4, 4/15, 4/43, 4/24, 4/22,
35/52, 4/22, 58/2-3.

3. Isteri nabi 33/30, 33/32.

4. Anak perempuan masih 7/141, 14/6, 7/127, 28/4,


kecil 40/25.

2 ‫( الذكز و األوثى‬al-dhakar dan al-untha>)

a. ‫( الذكز‬jenis kelamin laki-laki) 4/11, 4/176, 4/124.

b. ‫( األوثى‬jenis kelamin perempuan) 35/11, 16/58.

3 ‫( المزء والمزأة‬al-mar’ dan al-mar’ah)

a. ‫( المزء‬untuk manusia dewasa) 80/34, 52/21, 8/24.


Gambar I
b. ‫( المزأة‬isteri) 66/10, 66/11, 28/9, 3/35.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _121

Identitas gender dengan menggunakan istilah-istilah yang menunjuk


kepada laki-laki dan perempuan

Untuk identitas gender yang pertama, kata yang digunakan al-Qur’an


untuk menunjukan keberpasangan bagi laki-laki dan perempuan adalah
kata ‫( الرجال و النساء‬al-rijâl dan al-nisâ’). Contoh dari ayat yang digunakan
al-Qur’an dengan kedua kata ini adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 282. Kata
min rijâlikum pada ayat ini, menurut Nasaruddin Umar lebih ditekankan

    


pada aspek gender laki-laki (maskulin), bukan kepada aspek biologisnya
sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya, tidak semua
yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang
  sama.
  
 laki-laki
Anak di bawah umur, laki-laki hamba sahaya dan laki-
laki yang tidak normal akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi yang
 dimaksud
   dalam
 ayat tersebut di atas, karena laki-laki tersebut tidak
memenuhi syarat sebagai saksi hukum Islam.

Ayat ini bisa dimengerti, mengingat masyarakat Arab ketika ayat ini
turun, perempuan tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjadi
saksi, karena dianggap tidak representatif. Mengenai perbandingan
persaksian, seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan,
menurut Muhammad ‘Abduh adalah dapat dimaklumi, karena tugas
dan fungsi perempuan ketika itu hanya disibukkan dengan urusan
kerumahtanggaan, sementara laki-laki bertugas untuk urusan sosial
ekonomi di luar rumah.21
‫الرجال و النساء‬
Selain ayat di atas, ayat yang sangat menarik untuk mendeskripsikan
tentang ekologi manusia adalah ayat yang berbunyi:

          

 
      
      

22
       

22
122_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Meskipun dalam kajian gender ayat di atas sering dijadikan


perdebatan dalam hal penentuan asal-usul substansi manusia,23 namun
stressing kalimat yang ingin penulis ungkapkan melalui ayat ini adalah,
ajaran universal yang terdapat pada kalimat yang berarti, “jagalah
hubungan silaturahim”. Perintah untuk menjalin networking antar manusia
ini meniscayakan hubungan intiminasi yang harmonis dan koperatif,
sehingga akan terjalin aliansi demi persatuan seluruh umat manusia di
dunia.24

Menurut Nasaruddin Umar, silaturahmi yang dicontohkan


‫الذكر و األنثى‬
Rasulullah tidak dipilah dan dibedakan oleh atribut-atribut primordial
manusia, seperti agama, ras, etnik, suku-bangsa, Negara, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa dan lain sebagainya.‫األنثى‬ ‫الذكر و‬
Selain itu, Al-Qur’an telah
‫“ ذكر‬Dan sesungguhnya, Kami telah memuliakan‫األنثى‬
menegaskan: anak cucu
‫الذكر و‬
‫ و األنثى‬ayat
Adam” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 70). Dalam ‫الذكر‬ini, Tuhan tidak menggunakan
‫ذكر‬
redaksi “Allah hanya memuliakan orang-orang Islam.”25‫الذكر و األنثى‬
‫الذكر و األنثى‬ ‫الذكر‬ ‫ذكر‬
‫ ذكر‬kedua, yaitu kata ‫الذكر و األنثى‬
Untuk identitas gender pada jenis yang
(al-dhakar dan unthâ). Dalam Lisân al-‘Arab, kata ‫ الذكر‬berasal dari
‫ ذكر‬kata
‫ ذكر‬yang‫الذكر‬
secara harfiah berarti “mengisi, menuangkan”. Dalam kamus
26

‫الذكر‬
kontemporer Arab Indonesia, kata ‫ الذكر‬memiliki arti “laki-laki”atau ‫ذكر‬
‫ الذكر‬kata ‫ الذكر‬dan
“jantan”.27 Dari sini dapat dipahami bahwa, penggunaan
‫الذكر‬
‫ األنثى‬di ‫الذكر‬
dalam al-Qur’an untuk menunjuk identitas manusia dari segi
‫الذكر‬
biologisnya, laki-laki dan perempuan.‫الذكر‬
‫الذكر‬
‫األنثى‬ ‫الذكر‬ ‫الذكر‬
‫الذكر‬Dalam al-Qur’an, Allah mengisyaratkan tentang motivasi ‫األنثى‬
berbuat
‫الذكر‬
yang terbaik bagi masing-masing
‫ األنثى‬individu
‫ الذكر‬seorang mu’min, yang akan ‫الذكر‬
  memberikan
  manfaat bagi dirinya sendiri dengan kehidupan
‫ األنثى‬yang ‫ الذكر‬baik
‫األنثى‬ ‫الذكر‬
di dunia. Allah mengisyaratkan hal ini dalam al-Qur’an:
           ‫األنثى‬ ‫الذكر‬
  
            
 28        
      
   28         
         
  
 
28  
      
      
 
      
28
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _123

Dalam konteks kehidupan sosial, menurut Nasaruddin Umar,


ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan
memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang
spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli
oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh
kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Meskipun kenyataan
dalam masyarakat konsep ideal ini masih membutuhkan proses dan
sosialisai.29

Menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu


ayat yang menekankan persamaan antara pria dan wanita. Sebenarnya
kata man/siapa pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kepada kedua
jenis kelamin–lelaki dan perempuan- tetapi guna penekanan dimaksud,
sengaja ayat ini menyebut secara tegas kalimat –baik laki-laki maupun
perempuan. Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan juga
dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik
untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya,
bahkan kemanusiaan seluruhnya.30
‫املرء واملرأة‬
Salah satu contoh perbuatan baik yang diungkapkan dalam al-Qur’an
dan hadis Nabi, adalah upaya konservasi lingkungan sebagaimana
diungkapkan dalam bab II. Islam memandang perbuatan ‫ مرأ‬baik yang
dilakukan seorang yang beriman, juga merupakan manifestasi dari
‫املرء واملرأة‬
bentuk ibadahnya kepada Sang Maha Pencipta.
‫املرء‬
Untuk identitas gender jenis yang ketiga, yaitu kata ‫املرء واملرأة‬
(al-mar’
‫ املرء واملرأة‬berasal dari kata ‫ مرأ‬berarti “baik, bermanfaat”.
dan al-mar’ah). Kata
Dari kata ini lahir kata ‫ املرء واملرأة‬yang berarti laki-laki dan ‫ املرأة‬yang berarti
perempuan. Menurut Nasaruddin Umar, kata ‫ املرء واملرأة‬digunakan ‫مرأ‬ al-
‫أ‬
‫ر‬ ‫م‬ ‫املرء‬
Qur’an untuk menunjukkan seseorang yang sudah dewasa, yang sudah
memiliki kecakapan bertindak. ‫مرأ‬ Berbeda dengan ‫األنثى‬
kata‫الذكر و‬
‫ الذكراملرءو األنثى‬yang
hanya menunjukkan jenis kelamin secara biologis, tanpa dikaitkan ‫أ‬
‫ر‬ ‫م‬ faktor
‫املرء‬ ‫املرأة‬
kedewasaan dan kematangan yang bersangkutan. Itulah sebabnya, kata
‫املرء‬ ‫زوجة‬
imra’ah yang terulang sebanyak 13 kali ini selalu diartikan dengan ‫ذكراملرأة‬
‫املرء‬ isteri.31
‫املرأة‬ ‫الذكر و األنثى‬
‫املرأة‬ ‫الذكر امرأة‬
‫األنثى‬
‫الذكر و املرأة‬
‫الذكر و األنثى‬ ‫زوجة‬
‫الذكر و األنثى‬ ‫امرأة‬
‫املرأة‬
‫الذكر و األنثى‬ ‫املرء‬
‫املرء‬
‫األنثى‬Vol.7.
124_Jurnal Bimas Islam ‫الذكر و‬
No.I 2014
‫زوجة‬ ‫املرأة‬
Menariknya, al-Qur’an menggunakan kata ‫ املرأة‬yang memiliki indikasi
ketidak
‫زوجة‬
‫ امرأة‬seimbangan antara seorang perempuan dengan pasangan
‫الذكر و األنثى‬
hidupnya, misalnya dalam segi keimanan. Contoh mengenai hal ini
dapat dilihat dalam ‫أة‬Q.S. ‫الذكر و األنثى‬
‫ امر‬al-Qashash [28]: 9. Al-Qur’an menggunakan
kata ‫ امرأة‬untuk menunjuk isteri Fir’aun, bukan kata zawjah/ ‫ زوجة‬. Isteri
Fir’aun yang salihah di dalam al-Qur’an disebutkan al-Qur’an dengan
‫زوجة‬
menggunakan kata ‫ امرأة‬, ini karena sang suami yaitu Fir’aun tidak
memiliki kesepadanan dalam hal keimanan. Kata zawj/ ‫ زوج‬digunakan ‫امرأة‬
‫ املرء واملرأة‬kesamaan dan
  misalnya bisa dilihat dalam Q.S. al-Ahzâb
  keserasian,
al-Qur’an bagi pasangan suami isteri yang‫رأة‬memiliki
‫ام‬
[33]: 37.
‫امرأة‬

yang
Selanjutnya,
menjelaskan  contoh penggunaan‫رأة‬kata
  tentang
‫ مرأ‬dalam al-Qur’an

terdapat
‫ام‬
interaksi harmonis yang menyangkut

   ‫بعهم‬


 berbunyi: ‫ات‬  
hubungan
ّ antara orang tua dan anaknya dapat dilihat pada ayat yang
‫املرء‬
    ّ      
‫اتبعهم‬
 2    

‫أة‬‫ر‬‫امل‬  
            
  
     
 
  
  ‫بعهم‬
 
ّ‫ ات‬
32

‫الذكر و األنثى‬
‫اتّبعهم‬
Isyarat al-Qur’an tentang interaksi harmonis antar manusia dalam ayat
‫ زوجة‬antara orangtua
di atas begitu kental. Hubungan harmonis yang tercipta
dan anak, akan mengantarkan kebahagiaan hakiki bagi sang orang tua,
ketika kelak di akhirat sang anak akan mengikuti kedua orang tuanya
tinggal bersama dalam surga yang penuh‫بعهم‬ ّ‫ات‬ ‫امرأة‬
kenikmatan.

Dalam kajian bahasa menurut Thabâthabâ’î ada perbedaan makna


dari kata ( ‫ ) اتّبعهم‬ittaba’athum dengan ( ‫ ) أحلقناهبم‬alhaqnâ ‫ امرأة‬bihim. Kata yang
pertama, menunjukkan adanya kesamaan antara yang mengikuti dan
mengikuti
32Artinya: Dan dalam bidang keikutan
orang-oranng yang beriman, tersebut,dan yakni
yangkeduanya
anak cucuberiman
mereka ‫أحلقناهبم‬
mengikuti mereka dalam keimanan,
dengan obyek iman yang sama dan sah, sedang yang kedua yakni ‫بإميان‬
Kami hubungkan anak cucu
alhaqnâ
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
mengandung makna keikutan tetapi yang mengikuti tidak mencapai apa
  yang
dicapai
 oleh
 yang
diikutinya.
  Thâhir
 Ibn berpendapat,
‘Ashûr
amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS.
 bahwa
‫بإميان‬ al-Thûr/52: 21).
‫ِه‬
2
       
   ‫ ٌنْي‬‫ َر‬
‫اتّبعهم‬
‫ِه‬
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _125

kata alhaqnâ sengaja digunakan karena kata ini dapat mengandung


isyarat kesegeraan atau keterlambatan, berbeda dengan kata Kami
masukkan atau Kami jadikan mereka bersama. Ini boleh jadi mengisyaratkan
bahwa ketergabungan anak cucu atau orang tua itu, baru terjadi setelah
mereka mengalami sangsi Ilahi atas kesalahan-kesalahan yang pernah
mereka lakukan.

Dari ayat ini dapat dipahami, al-Qur’an mengajarkan pola


‫اتّبعهم‬
interaksi antar manusia harus dapat terjalin seharmonis mungkin.
‫بعهم‬
Dalam konteks keluarga, orang tua berkewajiban‫ت‬
ّ ‫ا‬ untuk memberikan
pendidikan keagamaan dan ilmu pengetahuan
‫أحلقناهبم‬ secara umum agar
dapat menghantarkan anaknya memiliki pengetahuan yang mumpuni.
‫أحلقناهبم‬
Hal ini agar anak-anak secara otomatis dinilai beriman dan mengikuti
iman orang tuanya. Penunjukan kata ( ‫ ) بإميان‬bi îmân pada ayat di atas
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah anak keturunan yang telah
‫بإميان‬
dewasa dan yang telah memikul taklîf atau beban.33

Akhir kalimat pada ayat ini, menyatakan tentang responbilitas


‫ِه‬
‫ َر ٌنْي‬yang dikerjakannya selama
masing-masing individu terhadap apa saja
di dunia. Sa’îd Hawâ menafsirkan kata ( ‫ ) ِه ٌنْي‬rahîn/terikat pada ayat
‫َر‬
ini dalam arti seorang mu’min terikat dengan apa yang dikerjakannya
dan akan mendapat ganjaran dari apa yang dikerjakannya. Sa’îd Hawâ
juga mengutip pendapat Ibn Kathîr dalam menafsirkan ayat ini yang
menyatakan bahwa, seseorang tidak akan dikenakan balasan akibat
perbuatan orang lain, baik yang dilakukan oleh anaknya atau bapaknya.34

Dari penjelasan ayat di atas juga dapat dipahami bahwa, melalui


bimbingan orang tua mengenai iman dan pendidikan secara umum,
akan menciptakan generasi yang unggul yang memiliki kecerdasan
paripurna, seperti kecerdasan emosi (emotional quotient), kecerdasan
intelegen (intelligent quotient), kecerdasan spiritual (spiritual quotient),
kecerdasan sosial (social quotient), dan kecerdasan dalam menghadapi
permasalahan kehidupan (adversity quotient). Pada akhirnya, akan
menciptakan generasi yang skillfull, menjadi sosok manusia berguna dan
memiliki responbilitas dalam interaksi vertikal dan horizontalnya.
126_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Namun demikian, keterikatan individu atau responbilitas individu


terhadap apa saja yang dikerjakannya selama di dunia, tentu bukan
hanya kepada sesama manusia akan tetapi juga terhadap lingkungan.
Peran orang tua sebagai orang tua biologis dan peran guru sebagai
orang tua akademis sangat dibutuhkan untuk mampu mendidik anak-
anak mereka menjadi anak yang memiliki kecerdasan paripurna,
sekaligus juga sebagai konservator alam demi mengembalikan keasrian
lingkungan yang telah banyak mengalami kerusakan. Anak-anak yang
mampu berinterkasi harmonis dengan dirinya sendiri, dengan sesama
manusia, dengan lingkungan dan tentunya kepada Sang Maha
Pencipta.

b. Identitas gender dengan menggunakan istilah gelar status yang


berhubungan dengan jenis kelamin, yaitu dengan menggunakan
kata ‫( زوج‬zawj) dalam arti pasangan secara biologis. 35

Kata pasangan zawj (‫)زوج‬ Nomor Surat dan


No
untuk manusia Ayat
1 Kata zawj dalam bentuk
mufrad zawj (‫)زوج‬
a. Pasangan hidup di dunia 4/20, 33/37 (2X), 21/90,
(isteri) 2/102.
b. Pasangan hidup di dunia 2/230, 58/1.
(suami)
c. Pasangan Adam di surga 2/35, 20/117, 7/19.
(Hawa)
1 a. Pasangan dari jenis yang sama 4/1, 7/189, 39/6

2 Pasangan dalam bentuk 51/49.


muthanna zawjaini (‫ )زوجني‬untuk
umum
Pasangan dalam bentuk 53/45, 75/39.
muthanna (zawjaini) untuk laki-
laki dan perempuan
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _127

Kata pasangan zawj (‫)زوج‬ Nomor Surat dan


No
untuk manusia Ayat
3 Kata zawj dalam bentuk jama’
azwâj (‫)أزواج‬:
a. Pasangan secara umum: 36/36.
manusia dan apa yang ada di
dalam bumi serta berbagai
jenis pasangan yang tidak
diketahui oleh manusia.
b. Pasangan di dalam surga 2/25, 3/15, 4/57, 43/70,
(isteri) 36/56, 13/23, 40/8.
c. Pasangan dalam arti umum 43/12.
d. Pasangan dalam hidup di 33/37, 39/6 (2X), 2/234,
dunia (isteri) 2/240 (2X), 13/38, 16/72,
30/21, 66/5 (2X), 33/50
(2X), 33/28, 33/59, 66/1,
4/12, 9/24, 33/4, 16/72,
22/166, 60/16 (2X), 64/14,
6/139, 25/74, 33/6, 33/5,
66/3, 24/6, 23/6, 70/30,
2/232.
e. Pasangan dalam arti laki-laki 35/11, 42/11, 78/8.
dan perempuan
f. Dalam arti teman sejawat 37/22.
g. Dalam arti golongan 15/88, 20/131, 56/17

Gambar II
Identitas gender dalam arti pasangan secara biologis
128_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Di antara contoh kata zawj dalam arti pasangan bagi laki-laki dan
perempuan, dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:

36
  
Mufasir klasik yang terkenal dengan tafsir bi al-ma’thûrnya yaitu
imam al-Thabarî, menafsirkan ayat di atas dengan diciptakannya secara
berpasangan antara laki-laki dan perempuan, yang tinggi dan yang
pendek, yang jelek dan yang bagus.37 Senada dengan Ibn Kathîr yang
menafsirkan ayat di atas dengan diciptakannya secara berpasangan
antara laki-laki dan perempuan, sehingga saling tertarik antara keduanya
dan menghasilkan keturunan dari perkawinan keduanya, Ibnu Kathîr
juga menafsirkan ayat di atas dengan Q.S. al-Rûm [30]: 20.38

Ada interaksi sosial yang ditekankan Ibnu Kathîr dalam penafsirannya


tentang keberpasangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada
akhirnya menimbulkan ketertarikan antar keduanya dan membuat
keduanya memutuskan untuk hidup berdampingan, tenang dan
bahagia sebagai pasangan suami isteri yang akan dapat menghasilkan
keturunan.39

Sementara Abi Hayyân, menafsirkan kata azwâjan pada ayat di atas,


dengan pasangan dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti warna,
bentuk dan bahasa. Abî Hayyân juga mengutip pendapat al-Zujjâj yang
berpendapat sama dengan imam al-Thabarî dan Ibnu Kathîr tentang
makna kata azwâjan di atas dengan pasangan antara laki-laki dan
perempuan.40 Demikian dengan Ibn Qutaibah yang menafsirkan kata
zawj dalam arti pasangan dalam berbagai macam bentuk, baik secara
fisik maupun nonfisik.41

Menariknya ayat ini, karena memiliki munâsabah dengan ayat


sebelumnya yang menjelaskan terlebih dahulu tentang keraguan orang-
orang kafir terhadap hari kebangkitan. Allah memberikan pelajaran
kepada manusia jika mereka meragukan tentang hari kiamat, dengan
mengajarkan manusia untuk memperhatikan berbagai macam ciptaan
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _129

Allah seperti bumi yang diciptakan sebagai hamparan agar manusia


dapat dengan nyaman menjalani hidupnya, fungsi gunung sebagai
penyeimbang bumi agar tidak oleng, serta berbagai fasilitas alam yang
dapat dirasakan manusia ketika mereka hidup di dunia. Dari apa yang
manusia perhatikan tentang keteraturan, ketelitian dan keindahan alam,
manusia akan menyadari bahwa Tuhan tidak menciptakan apa yang ada
di alam raya ini secara sia-sia.

Ada pola interaksi antara manusia dan alam raya yang Tuhan
sampaikan dalam surat al-Naba’ ini, agar dari sini manusia menyadari
dan mengimani tentang kebenaran firman Tuhan tentang hari akhir.
Lewat pengenalan terhadap alam, manusia akan menyadari bahwa
pentingnya mengetahui tentang keindahan dan kedasyatan isyarat
ilmiah untuk menambah kualitas keimanan di hati seseorang tentang
Adanya Sang Pencipta alam raya.42

D. Wawasan al-Quran tentang Keseimbangan Karakter


Feminin dan Maskulin dalam Setiap Individu Manusia

Identifikasi karakter feminin dan maskulin bagi manusia dalam


perspektif al-Qur’an pernah dilakukan oleh Sachiko Murata dengan
menyatakan: karakter maskulin memiliki ciri has yang aktif dan
melimpahkan, sedangkan karakter feminin memiliki ciri has pasif,
menerima dan berserah diri. Menurut Murata kedua karakter ini ada
dalam setiap individu manusia. Selanjutnya Murata menjelaskan, hirarki
vertikal dalam diri manusia adalah, ruh, jiwa (nafs), akal dan raga. Ruh
adalah cahaya keilahian yang harus diraih oleh setiap manusia. Murata
menyatakan, jiwa yang “meyerahkan” dirinya pada yang “lebih rendah”
(materi, dunia, sifat-sifat negatif dan sebagainya) adalah sifat “feminin
yang negatif” (sifat yang menerima dan menyerah tidak mampu melawan
yang rendah). Sedangkan jiwa yang “menyerahkan” dirinya pada yang
“lebih tinggi”, yaitu akal, ruh dan Tuhan adalah “sifat feminin positif”
(menyerah hanya pada yang lebih tinggi).
130_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sebaliknya, jiwa yang “berkuasa”, mendominasi, meninggikan diri,


mempertuhankan diri, adalah sifat “maskulin negatif”. Sementara jiwa
yang ingin “mengalahkan nafsu amarah” dan ingin naik mencapai nafsu
mutmainnah yang damai bersama Tuhan adalah sifat “maskulin positif”.
Jiwa yang tenang dan damai bersama Tuhan ini adalah jiwa kesatria
yang telah melebur dengan Ruh/Akal. Manusia ini telah menjadi ruh
aktif (maskulin positif) yang dapat mengontrol dan menguasai jiwa dan
raga agar selaras dengan cahaya Ruh dan Akal.43

Dari penjelasan Murata di atas dapat dipahami bahwa, bagi jiwa


(nafs), baik buruk nilainya tergantung pada pilihan sisi/nilai positif atau
negatif dari karakter maskulin dan feminin yang dipilih manusia untuk
merepresentasikan jiwa atau karakternya.

Jiwa yang mengalah pada yang lebih rendah/nafsu, maka


dikategorikan sebagai jiwa yang berkarakter feminin negatif. Sedang
jiwa yang mengalah pada yang lebih tinggi yaitu akal ruh dan Tuhan,
maka dikategorikan dalam karakter feminin positif. Sebaliknya, jiwa
yang dominatif dan menuhankan diri, dikategorikan dalam maskulin
negatif. Sedang jiwa yang mengalahkan nafsu amarah/amarah bi al-sû’,
dikategorikan pada maskulin positif.

Untuk lebih menyederhanakan tentang karakter manusia yang


memiliki nilai/sisi positif dan negatif dalam penelitian ini, penulis
cenderung menggunakan istilah yang digunakan oleh Iman Ghazali
dalam membagi dua jenis akhlak/karakter, yaitu: kepada karakter yang
baik (husn al-khulq) dan karakter yang buruk (sû’ al-khulq) sebagaimana
diungkap di depan.

Namun sesuai dengan isyarat yang juga ditangkap dari al-Qur’an


mengenai dua jenis karakter manusia pada Q.S. al-Shams [91]: 7-8 yang
menggunakan kalimat “fujûrahâ wa taqwâhâ” atau karakter yang buruk
dan baik, maka pembagian dua jenis karakter dalam Disertasi ini juga
di bagi menjadi dua, yaitu: “al-nafsu al-fujûriyyah” / karakter yang buruk
dan “al-nafsu al-taqwa’iyyah”/karakter yang baik. Isyarat ini diambil dari
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _131

ayat yang berbunyi:

44
       
Hamka menafsirkan kata “fujûrahâ wa taqwâhâ” pada ayat di atas,
dengan kepribadian/karakter manusia yang buruk dan yang baik.45 Dari
penjelasan Hamka ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki sifat
yang baik dan buruk atau sifat yang memiliki nilai positif dan negatif.
Diungkapkannya redaksi ayat di atas dalam bentuk umum, dapat
dipahami pula bahwa sifat baik dan buruk, bisa dimiliki oleh laki-laki
dan perempuan secara umum.

Selanjutnya, perlu dipetakan tentang pembagian karakter maskulin


dan feminin dalam diri manusia, kedua karakter ini sebagaimana isyarat
ayat di atas, sama-sama memiliki nilai positif dan negatif.

Karakter maskulin bagi manusia adalah karakter yang berhubungan


dengan sifat kemuliaan. Karakter maskulin yang positif adalah karakter
yang bijaksana dan kesatria atau jiwa/karakter yang dapat mengalahkan
nafsu amarah. Oleh sebab itu, karakter maskulin adalah karakter yang
juga berhubungan dengan logika. Dengan demikian, berbagai karakter
yang berhubungan dengan karakter yang aktif, independen, obyektif,
responsif, progresif dan visioner masuk dalam kategori karakter
maskulin. Sedang karakter maskulin negatif adalah karakter manusia
yang dominatif dan menuhankan diri. Maka berbagai karakter yang
berhubungan dengan karakter manusia yang arogan, masuk dalam
ketegori maskulin negatif.

Untuk karakter feminin, adalah karakter berhubungan dengan sifat


keindahan. Jika di atas telah dikatakan bahwa karakter feminin yang
positif adalah karakter yang mengalah pada yang lebih tinggi yaitu akal
dan ruh, artinya karakter ini adalah karakter yang berhubungan dan
berdasarkan pertimbangan hati (intuisi/emosi). Oleh sebab itu berbagai
karakter manusia yang berhubungan dengan perasaan kasih sayang,
submisif, keteraturan dan kreatifitas masuk dalam kategori karakter
132_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

feminin positif.46 Karakter feminin yang negatif adalah karakter yang


feminin positif.46 Karakter feminin yang negatif adalah karakter
mengalah pada yang lebih rendah, yaitu hawa nafsu. Maka berbagai
yang mengalah pada yang lebih rendah, yaitu hawa nafsu. Maka
karakter yang mengalah pada emosi negatif seperti subyektif dan pasif
berbagai karakter yang mengalah pada emosi negatif seperti subyektif
masuk dalam
dan pasif kategori
masuk dalamfeminin negatif.
kategori feminin negatif.
Selanjutnya, berikut analisa penulis mengenai isyarat ekualitas antara
Selanjutnya, berikut analisa penulis mengenai isyarat ekualitas
karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai positif dan negatif
antara karakter feminin dan maskulin yang memiliki sisi/nilai positif
dalam setiapdalam
dan negatif individu manusia:
setiap individu manusia:

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

1 Identitas gender dengan kata


sifat yang disandarkan
kepada bentuk mudhakkar
dan mu’annath.

a. Mudhakkar positif:

1. ‫مسلمون‬ 33/35, 2/132, 3/52, 3/102, 3/64.

2. ‫مؤمنون‬ 9/72, 2/285, 3/28, 3/122, 4/126.

3. ‫صالحون‬ 7/168, 21/105.

4. ‫قانتين‬ 33/35, 16/22.47

5. ‫صادقين‬ 33/35.

6. ‫صابرين‬ 33/35.

7. ‫خاشعين‬ 33/35.

b. Mu’annath positif:

1. ‫مسلمات‬ 66/5, 33/35, 66/5.

2. ‫مؤمنات‬ 4/25, 5/5, 9/72, 24/23, 33/49.

3. ‫صالحات‬ 4/34.

4. ‫قنتات‬ 33/35.

5. ‫صادقت‬ 33/35.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _133

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

6. ‫صابرات‬ 33/35.

7. ‫خاشعات‬ 33/35.
2 Identitas gender dengan karakter
feminin dan maskulin positif

A. Karakter maskulin positif

1. Konsisten 8/45.
2. Mendunia 17/70, 49/13.
3. Kompetitif 18/30.
4. Aktif (mujâhidîn) 4/95, 47/31.
5. Obyektif
a. muqsithîn (orang-orang 5/42, 49/9, 60/8.
yang adil)
b. shâdiqûn (orang-orang 49/15, 14/17.
yang benar)
6. Logis (ya’qilûn) 2/164, 13/4, 16/12, 29/35.
7. Independen 8/53.
8. Petualang (intasyara) 62/9.
9. Komunikatif 3/159.
10. Keseimbangan rasio dan 49/9-10.
rasa
11. Kemampuan memimpin 27/23.48
12. Lebih merdeka 42/39.
(yantashirûn/membela diri)
13. Lebih bebas bicara 55/3-4.
14. Visioner 3/104.
15. Responsif 3/114.
16. Progressif 17/36.
17. Produktif 16/97.
134_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

B. Karakter feminin positif

1. Taat/Submisif 8/46, 2/21, 1/5.


2. Sabar 8/66.
3. Empati 33/29.
4. Pemurah 57/18.
5. Tawakal 12/67, 14/12, 39/38, 3/159.
6. Taqwa (rasa takut) 2/177, 8/34, 13/35, 25/15, 39/33,
47/15.
7. Senang memberi 2/3.
8. Ikhlas 12/24, 15/40, 37/40, 37/74.
9. Memohon ampun 51/18.
10. Bersyukur 86/3.
11. Menerima saran/bijak 2/206.
12. Pemaaf 3/159.
13. Egaliter 49/13.
14. Kreatif 13/11.
15. Tenang 33/35, 66/5, 89/27.
16. Koperatif 3/103.

3 Identitas gender dengan karakter


feminin dan maskulin negatif

A. Karakter maskulin negatif

1. Arogan (mutakabbirîn) 16/69, 39/60, 39/72, 40/76.


2. Aktif dominatif 2/12, 2/60, 7/74, 11/85, 26/183,
(merusak/mufsidîn) 38/28.
3. Eksploitatif 42/2.
4. Arogan/sombong 17/83, 17/37.
5. Senang membantah 18/54.
6. Dominatif 96/6-7.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _135

No Kriteri sifat Nomor surat dan ayat

7. Matrealistis (world oriented) 100/8.


8. Eksessif dalam 75/5.
membangkang
9. Ambisius 22/51, 2/217.
10. Boros 17/26-27.
B. Karakter feminin negatif

1. Subyektif
a. Mukhsirîn (tidak jujur 26/181.
dalam takaran)
b. Tajassus (mencari-cari 49/12.
kesalahan orag lain)
2. Sensitif/egois (yaskhatûn) 9/58.49
3. Reseptif (yang pasif) 2/60.
4. Lemah 4/28.
5. Berkeluh kesah 70/19-20.
6. Sulit mengatasi persoalan 10/19, 19/37.
7. Mudah goyah dalam krisis 10/12.
8. Sulit menyembunyikan 9/40, 15/88, 29/33.
emosi (sedih)
9. Lebih mudah menangis 19/23-24.
10. Kurang independen 103/3.

Gambar III
Tabel Klasifikasi Identitas Gender dalam Ekologi Manusia
Dengan Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam setiap
Individu
136_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sejumlah ayat yang disertakan dalam tabel di atas, menjelaskan


tentang karakter feminin dan maskulin yang positif dan negatif secara
umum dalam individu manusia, tanpa membedakan perbedaan biologis.
Dari sini dapat dipahami tentang keseimbangan karakter feminin dan
maskulin dalam diri manusia, termasuk karakter positif dan negatifnya.
Berikut pembahasan mengenai keseimbangan karakter feminin dalam
diri manusia:

     

    

    

    

50
          

Menurut Thabâthabâ’î, ayat di atas menjelaskan tentang pandangan


ajaran agama Islam yang tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan dengan kemuliaan yang diberikan agama kepada keduanya.
Selain ayat di atas, menurut Thabâthabâ’î isyarat tentang kesetaraan
keduanya terlukis jelas dalam ayat lain seperti Q.S. al- Hujurât [49]: 13
dan Âli ‘Imrân [3]: 195.

Dalam ayat ini, baik laki-laki dan perempuan digambarkan dapat


menjadi sosok seorang muslim,51 mu’min,52 yang taat,53 benar,54 sabar,55
khusu’,56 memberi bersedekah,57 berpuasa,58 memelihara kehormatannya,59
serta senantiasa mengingat Allah dalam seluruh aktifitas keduanya.60
Oleh sebab itu, keduanya berhak untuk mendapatkan ganjaran berupa
ampunan dan pahala dari Allah SWT.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _137

Penyebutan secara bersamaan dari kedua jenis manusia, laki-laki dan


perempuan pada ayat di atas, menjelaskan tentang hubungan harmonis
manusia kepada Tuhan, kemudian kepada sesama saudara mereka yaitu
manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa, tanpa ada perbedaan manusia
memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam melaksanakan
ajaran agama. Ketaatan manusia kepada ajaran agama ini adalah salah
satu presentasi dari karakter feminin positif. Sedangkan aksi nyata dalam
bentuk pengejewantahan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci
dan hadis Nabi adalah karakter maskulin yang positif.

Selanjutnya, berikut contoh penafsiran ayat yang mendeskripsikan


tentang karakter maskulin negatif yaitu karakter manusia yang dominatif
dan cenderung berbuat kerusakan.

         

61
     

Perbuatan tangan manusia yang mengakibatkan kerusakan dalam


ayat di atas, adalah sebagai bentuk aktifitas merusak (maskulin negatif)
yang dijelaskan dalam bentuk umum bagi manusia. Oleh sebab itu, dari
sini dipahami bahwa kedua jenis manusia memiliki potensi yang sama
dalam berbuat kerusakan. Ayat ini secara eksplisit menolak anggapan
ekofeminis tentang kerusakan lingkungan yang memiliki korelasi
dengan sikap dominatif dan eksploitatif yang dititikberatkan hanya
kepada laki-laki. Demikian dengan temuan dari IPCC yang menjelaskan
tentang faktor penyebab kerusakan lingkungan yang disebabkan gaya
hidup manusia modern:
138_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Gambar IV
Presentasi Beberapa Faktor Penyebab Kerusakan Alam62

Jika diamati dari gambaran di atas, seluruh elemen manusia


ternyata memiliki andil dalam mempercepat laju kerusakan lingkungan.
Namun perlu disadari, bahwa maksud Allah mendatangkan bencana
bagi manusia setelah perbuatan manusia yang merusak tatanan alami
ekosistem alam adalah untuk membuat manusia agar kembali kepada
ajaran Allah dan melakukan perbuatan yang benar sesuai dengan ajaran
agama.63
Demikian sekilas penjabaran mengenai wawasan gender dalam
ekologi alam dan manusia dalam perspektif al-Quran. Untuk lebih
mempermudah memahami pembahasan, khususnya dalam klasifikasi
karakter karakter feminin dan maskulin manusia yang memiliki nilai
positif dan negatif dalam perspektif al-Qur’an, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _139

INDIVIDU MANUSIA
(RUH, AKAL, HATI, DAN JASAD)

KARAKTER FEMININ KARAKTER MASKULIN


(Karakter yang berhubungan (Karakter yang berhubungan
dengan pertimbangan hati) dengan pertimbangan akal)

POSITIF NEGATIF POSITIF


(Taat kepada yang (mengalah kepada (Menjalani fungsi NEGATIF
lebih tinggi/akal yang lebih dengan bijak (Dominan)
dan ruh rendah/nafsu)

al-nafs al- al-nafsu al- al-nafs al- al-nafsu al-


taqwa’iyyah (good fuju>riyyah taqwa’iyyah fuju>riyyah
individual) (bad individual) (good individual) (bad individual)

Sifat kama>liyah/insa>n al-ka>mil (perfect human)

Gambar V
Keseimbangan Karakter Feminin dan Maskulin dalam Diri
Manusia

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa, masing-masing individu


manusia memiliki keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam
dirinya. Dengan memilih mengoptimalkan kedua karakter feminin dan
maskulin yang positif dalam dirinya, manusia dapat menjadi sosok
pribadi yang sempurna agar dapat mengoptimalisasikan fungsinya
sebagai khalîfah fî al-ardh.
140_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

E. Kesimpulan

Dalam ekologi alam terdapat deskripsi al-Quran tentang keseimbangan


karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya
saja, alam raya keseluruhannya patuh pada ketentuan dari Allah SWT.
Ini dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat menyeimbangkan
karakter feminin dan maskulin dalam dirinya yang memiliki nilai positif,
agar manusia dapat memiliki karakter insan al-kamil (the perfect human).

Sterotip karakter laki-laki dan perempuan seharusnya tidak lagi


menjadi penyebab bagi manusia untuk saling menyalahkan dan merasa
lebih dominan dalam berbagai pola interaksi sosialnya termasuk
dalam upaya konservasi lingkungan. Senyatanya, manusia diciptakan
berpasangan sebagaimana segala makhluk yang ada di alam raya
ini untuk saling koperatif dan komplementer. Tanpa kesatuan umat
manusia, upaya konservasi lingkungan hanya nol belaka.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _141

Referensi

Abû Zaid, Nasr Hamid. Dawâ’ir al-Khauf, Qirâ’ah fî Khithâb al-Mar’ah,


Beirût: al-Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî, 2000, cet. II.

Abî Hayyân al-Andâlusî al-Ghornâtî, Muhammad Ibn Yûsuf. al-Bahr al-


Muhîth fî al-Tafsîr, Beirût: Dâr al-Fikr, 11412 H/1992 M.

Ahmad, Laila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern


Debate, London: Yale University Press, 1992.

Amar, Nawal. “Nature, Women and Religion,” dalam sebuah seminar


di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM), Jogjakarta,
dapat dilihat dalam: http://www.crcs.ugm.ac.id/news _ind.
php?news_id=7. Diakses pada tanggal 3 Mei 2009.

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka


Panji Mas, 2000.

Armstrong, Luanne. The great cosmic metaphor: Thinking about the


“Earth our mother”, Waterloo: Alternatives (Apr 1995): Vol. 21,
Iss. 2; 32.

Fakhr al-Dîn, Muhammad al-Râzî. Tafsîr Fakhr al-Râzî al-Mushtahr bi


al-Tafsiîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1415
H/1995 M.

Febriani, Nur Arfiyah. Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-


Quran, Jakarta: YPM, 2011.

Firman, Andi. “Menanggapi Musibah dengan Positif”, diakses 25 Mei


2011, dari: www.alifmagz.com/menanggapi-musibah-dengan
positif/.

Fox, Bonnie. Family Pattern, Gender Relation, New York: Oxford University
Press, 1993.
142_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Ghorayshi, Parvin dan Clay Belanger. Woman, Work and Gender Relations
in Developing Countries, a Global Perspective, USA: Greenwood
Press, 1996.

Hasan, ‘Abd al-Hâdî. Himaâyah al-Bî’ah al-Tulûth bi al-Mubayyidât al-


Kîmâwiyyah wa Afdhal al-Hulûl, Sûriyah: Dâr ‘Alâ’ al-Dîn, 2003,
cet. III.

http://www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf.
Diakses pada Minggu, 16 Oktober 2011.

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric
di akses pada tanggal 6 maret 2014.

Ibn ‘Arabî, Muhyi al-Dîn Ibn ‘Alî Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
‘Abdullah al-Thâ’î, al-Hâtimî. Futûhât al-Makkiyyah fî Ma‘rifah al-
Asrâr al-Mâlikiyyah wa al-Mulkiyyah. Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâth
al-‘Arabî, t.th, cet. I.

Ibn Abî Hâtim, ‘Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Idrîs al-Râzî. Tafsîr
Ibn Abî Hâtim, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazâr
Mushthafâ al-Bâz, 1419 H/1999.

Ibn Qutaibah, Abî Muhammad ‘Abd Allâh Ibn Muslim al-Dînawarî.


Ta’wîl Mushkil al-Qur’ân, T.tp: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.

Ismâ’îl, Muhammad Bakr. Mu’minât lahunn ‘inda Allâh Sha’nun, Qâhirah:


Dâr al-Manâr, 1422 H/2001 M, cet. I.

Jauharî, Thanthâwî. al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-


Fikr, t.th.

al-Jazâ’irî, Abî Bakar Jâbir. Aysar al-Tafâsîr li Kalâm al-‘Alî al-Kabîr,


Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam,
1416 H/1995.

Kanafi, Imam. “Metafisika Sufi dan Relasi Jender (sebuah Studi


atas Pemikiran Suhrawardi Syaikhul Isyraq)”, Disertasi di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _143

1429 H/2008 M.

Kartanegara, Mulyadi. Menyelami Lubuk Tasauf, Jakarta: Erlangga, 2006.

Kashânî, ‘Abd al-Razzâq. Ta’wîlât, Beirut: Dâr al-Yaqzhah al-Adabiyyah,


1968.

Marzûq, ‘Âdil al-Sayyid. Himâyah al-Bî’ah fî al-Islâm, al-Iskandariyyah:


Munshi’ah al-Ma‘ârif, 2009 M.

McKibben, Bill. The End of Nature, New York: Random House, 1989, cet,
II.

Megawangi, Ratna. dalam sekapur sirih buku karangan: Sachiko Murata,


The Tao of Islam, Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet. I.

Merchant, Carolyn. The Death of Nature, Women, Ecology and the Scientific
Revolution, San Francisco: Harper, 1980.

Miracle Way, “Revitalisasi Alam Sebagai Biofiltrasi Perubahan Iklim”,


diakes 18 Mei 2011 dari: http://lifeisabook51.blogspot.
com/2011/01/revitalisasi-alam-sebagai-biofiltrasi.html.

Murata, Sachiko. The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationships


in Islamic Thought, Albany, N.Y, State: University of New York
Press, 1992.

al-Najar, Zaghlûl. “al-Samâ’ Laisat Firâghan kamâ kâna Yu’taqad,” al-


Mujâhid 22, no 253 (Jumâdî al-Ūlâ 1422 H/ Agustus 2001).

--------, “al-Tafsîr al-‘Ilmî li al-Qur’ân al-Karîm, ya‘nî: Tauzhîf Kull


al-Ma‘ârif al-Mutâhah li al-Insân fî Husn Fahm Dilâlah al-Âyah al-
Qur’âniyyah,” al-Wa‘ei al-Islam, 424 (Dhû al-Hijjah 1421 H/Februari 2001),
12-18.

--------,Man Ishâmât al-Hadhârah al-Islâmiyyah (al-Qâhirah: Nahdhah


Mishr, 2010), cet. I.
144_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Partanto, Pius A dan M Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:


Penerbit Arkola, 1994.

Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, Beirût: Dâr al-Kutub al-


‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H.

al-Rûmî, Jalâl al-Dîn. Diwan al-Shams Tabrîzî, diedit oleh Furîzanfar


menjadi: Kulliyâ Shams yâ Dîwan Kabîr, Teheran: Dânishghâh,
1346 H/1967 M.

--------. Masnawi, Beirût: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1966.

Schimmel, Annemary. dalam kata pengantar buku Sachiko Murata, The


Tao of Islam, Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi
dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet. I.

al-Shiddieqiy, Teungku Muhaammad Hasbi. Tafsir al-Qur’anul Majid, AN-


NUR, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000.

--------, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Qur’an al-Karim, Semarang: PT Pustaka


Rizki Putra, 2002.

Shihab, Muhammad Quraish. Dia Ada Dimana-mana, “Tangan” Tuhan


Dibalik Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. III.

--------. Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:


Lentera Hati, 2005, cet. IV.

Stowasser, Barbara Freyer. Woman in The Quran, Traditions and


Interpretations, New York: Oxford University Press, 1994.

Sudarsono. Menuju Kemapanan Lingkungan Hidup Regional Jawa,


Jogyakarta: PPLHRJ, 2007.

al-Thabâthabâ’î, Muhammad Husain. al-Mîzân fî Tafsir al-Qur’ân, Teherân:


Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H.

Tucker, Mary Evelyn dan Jhon A, Grim. “Introduction: The Emerging


Alliance World Religions and Ecology,” Daedalus (2001): vol.
130, Iss. 4, 1.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _145

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:


Paramadina, 2001, cet. II, 1.

Wadud, Amina. Quran and Woman Rereading the Sacred Text from a Womans
Perspective, New York: Oxford University, 1999.

White Jr, Lynn. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Science,”
(March 1967): Vol. 155, 1203.

Zahirî, Kamil. Mi’ah Imra’ah wa Imra’ah, Qâhirah: Maktabah al-Usrah,


2002.
146_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Tulisan ini dielaborasi dari Disertasi Penulis dengan judul: Ekologi


Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Quran (Jakarta: YPM, 2011. Saat ini
Disertasi penulis sedang dalam proses penerbitan ke-2 di Penerbit Mizan
Bandung.

2. Mary Evelyn Tucker dan Jhon A, Grim, “Introduction: The Emerging Alliance
World Religions and Ecology,” Daedalus (2001): vol. 130, Iss. 4, 1. Lihat juga:
Bill McKibben, The End of Nature, New York: Random House, 1989, cet, II.

3. Sudarsono, Menuju Kemapanan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Jogyakarta:


PPLHRJ, 2007, h. 129.

4. Laporan IPCC pada tahun 2007 tentang beberapa faktor penyebab kerusakan
lingkungan, adalah: penggundulan hutan sebanyak 17,4%, limbah sampah
2,8 %, penggunaan energi, 25%, pertanian, 13,5 %, industri 19,4%, bangunan
rumah dan komersial, 7,9 %, dan transport sebanyak 13,1 %. Lihat: http://
www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf. Diakses
pada Minggu, 16 Oktober 2011. Jika dilihat dari presentasi faktor penyebab
kerusakan lingkungan di atas dapat dipahami bahwa, manusia secara umum
memiliki andil dalam laju kerusakan lingkungan. Sehingga ungkapan para
tokoh ekofeminis secara fakta tidak dibenarkan.

5. Di antara makna antroposentris adalah: “Regarding humankind as the


central or most important element of existence, especially as opposed to
God or animals”. Lihat: http://www.oxforddictionaries.com/definition/
english/anthropocentric di akses pada tanggal 6 maret 2014. Lihat juga: Pius
A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit
Arkola, 1994, 38.

6. Nawal Amar, dalam sebuah seminar dengan judul “Nature, Women and
Religion,” di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM, Jogjakarta,
dapat dilihat dalam: http://www.crcs.ugm.ac.id/news _ind.php?news_id=7.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _147

Diakses pada tanggal 3 Mei 2009. Lihat juga: Carolyn Merchant, The Death
of Nature, Women, Ecology and the Scientific Revolution, San Francisco: Harper,
1980.

7. Di antara kajian tentang gender dalam konstruksi sosial, lihat: Nasaruddin


Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
2001, cet. II, 1. Lihat juga: Parvin Ghorayshi dan Clay Belanger, Woman,
Work and Gender Relations in Developing Countries, a Global Perspective, USA:
Greenwood Press, 1996.

8. Laila Ahmad, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate,
London: Yale University Press, 1992.

9. Bonnie Fox, Family Pattern, Gender Relation, New York: Oxford University
Press, 1993.

10. Barbara Freyer Stowasser, Woman in The Quran, Traditions and Interpretations,
New York: Oxford University Press, 1994.

11. Nasr Hamid Abû Zaid, Dawâ’ir al-Khauf, Qirâ’ah fî Khithâb al-Mar’ah, Beirût:
al-Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî, 2000, cet. II.

12. Kamil Zahirî Mi’ah Imra’ah wa Imra’ah, Qâhirah: Maktabah al-Usrah, 2002.
13. Lihat: Luanne Armstrong, The great cosmic metaphor: Thinking about the
“Earth our mother”, Waterloo: Alternatives (Apr 1995): Vol. 21, Iss. 2; 32.

14. Cara pandang antroposentris terhadap alam, disinyalir membuat manusia


melakukan apapun terhadap alam secara semena-mena. Memang di dalam
al-Qur’an dinyatakan bahwa alam diciptakan untuk dinikmati oleh manusia
(QS. al-Hajj/22: 65), tetapi jangan lupa, sebagai khalifah manusia juga
menerima amanah konservasi untuk menjaga kelestariannya dan dilarang
berlebih-lebihan (QS. al-Rûm/30:44 dan Ibrâhîm/14: 32. Penjelasan lebih
lanjut tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan ekologi dapat dilihat
dalam pembahasan pada bab II, III, IV dan V. Dalam kajian ekologi, saat ini
data kerusakan lingkungan dalam tahap yang menghawatirkan. Lynn White
Jr menyatakan, krisis lingkungan sangat tergantung cara pandang manusia
tentang hubungannya dengan alam. Dalam hal ini diperlukan agama baru,
148_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

setidak-tidaknya penafsiran baru terhadap agama lama, untuk mengatasi


krisis lingkungan, karena ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi semata,
tidak mampu membawa manusia keluar dari krisis ini. Lihat: Lynn White Jr,
“The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Science,” (March 1967): Vol.
155, 1203.

15. Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.


16. Istilah ini penulis gunakan dalam membagi dua jenis karakter manusia
sesuai dengan isyarat yang juga ditangkap dari al-Qur’an mengenai dua
jenis karakter manusia pada QS. al-Shams/91: 7-8. Al-Qur’an menggunakan
kalimat “fujûrahâ wa taqwâhâ” atau karakter yang buruk dan baik, maka
pembagian dua jenis karakter dalam Disertasi ini juga di bagi menjadi dua,
yaitu: “al-nafsu al-fujûriyyah” atau karakter yang buruk dan “al-nafsu al-
taqwâ’iyyah” atau karakter yang baik.

17. Pemahaman terhadap keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam


tiap individu ini, pada gilirannya akan merubah secara fundamental pola
fikir manusia terhadap pola interaksinya baik kepada sesama manusia dan
lingkungan sekitarnya.

18. Kata al-rijâl dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 55 kali. Lihat:
Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân
al-Karîm, 410-411. Sedang kata al-nisâ’ dan semua bentuk derivasinya,
terulang sebanyak 57 kali di dalam al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad
Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 856.

19. Kata al-dhakar dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 18 kali
di dalam al-Qur’an. Lihat: Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu‘jam al-
Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 275. Sedang ‫األنثى‬ ‫ الذكر و‬dan semua
kata al-unthâ
bentuk derivasinya, terulang sebanyak 30 kali di dalam al-Qur’an. Lihat:
Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân
al-Karîm, 205. ‫ذكر‬
Dalam naskah terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tidak
dibedakan pengertian antara al-rajûl/ ‫ الرجل‬dan dhakar/ ‫ الذكر‬. Keduanya

‫الذكر‬
‫الرجل‬
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _149 ‫ذكر‬
‫الرجل‬
‫الرجل‬ ‫الرجل‬
diterjemahkan dengan “laki-laki”. Dalam beberapa hal, terjemahan al-Qur’an
‫الذكر و األنثى‬
ke dalam bahasa Inggris lebih baik dari pada bahasa Indonesia. Al-Qur’an
‫الرجل‬
‫الذكر‬
terjemahan Abdullah Ibn Yusuf Ali diakui banyak pihak
‫الرجل‬
‫الرجل‬sebagai terjemahan
‫الرجل‬ ‫الرجل‬
yang bagus, dan karena itu dijadikan terjemahan resmi pemerintah
‫ذكر‬ ‫الرجل‬ ‫الذكر‬
Arab Saudi dengan sedikit penyesuaian. Abdullah Yusuf Ali Konsisten
‫الرجلالنساء‬
menerjemahkan kata /‫إمرأة‬dengan the man dan ‫ النساء‬/‫ إمرأة‬dengan the
‫النساء‬woman/
/‫إمرأة‬
the women. Sementara kata ‫ الذكر‬diterjemahkan dengan the male dan‫النساء‬ ‫األنثى‬
/‫إمرأة‬ ‫الذكر‬
dengan the female. Contoh dalam QS. Âli ‘Imrân/3: 36 yang berbuyi: ‫الرجل‬
  
   

 
 

           
          
   ‫النساء‬  /‫أة‬‫إمر‬           
        ‫الذكر‬
       
              
        
    
‫الرجل‬ ‫الرجل‬

     ‫األنثى‬


  ‫الذكر‬
Kalimat ‫وليس الذكر كاألنثى‬
   kata ‫الرجل‬
 ‫الذكر‬ 
‫ليس‬ ‫و‬
28 diterjemahkan Abdullah Yusuf Ali dengan “and
 Bandingkan ‫كاألنثى‬ dan
‫الذكر‬

no wise is the male like the female.” dengan ‫النساء‬
‫ وليس‬/‫إمرأة‬
  dalam
 Q.S al-Nisâ’/4:
  34 yang berbunyi: ‫كاألنثى‬
‫وليس الذكر كاألنثى‬
    
   
              
  
    
  
            
 
              
‫ النساء‬/‫إمرأة‬
  Diterjemahkan
  oleh
Yusuf
Ali  dengan
   
“Man are protectors and maintainers of
‫الذكر كاألنثى‬‫وليس‬
         

woman”.
    
Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 165. Lihat juga: The
  Presidency
  
of   Ita,
  Researches,
Islamic  Call
 and
Guidance,
  The
Quran Holy
(Saudi Arabia: The Custodian of The Two Holy Mosques King Fahd Comlex for
  the
Printing
 The 
Holy  t.th.
        
Qur’ân,
Penerjemahan dengan makna senada juga dapat dilihat dalam: Muhammad ‫وليس الذكر كاألنثى‬
Taqî’ al-Dîn al-Hilâlî dan Muhammad Muhsin Khân, Translation of the
Meaning of THE NOBLE QUR’AN English Translation of the Meanings and
Commentary (Madinah: King Fahd Complex For The Printing Of The Holy 28

    t.th..


 Qur’an,          
‫وليس الذكر كاألنثى‬
20. Kata al-mar’ dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 11 kali di
dalam al-Qur’an. Lihat: H{usain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-
Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 759. Untuk kata al-Mar’ah dan semua
  bentuk
  derivasinya,
        
terulang sebanyak 13 kali di dalam al-Qur’an. Lihat:
Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î, al-Dalîl al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân
28
al-Karîm, 162.
150_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

21. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 148-149. Lihat juga:


Muhammad ‘Abduh, Tafsîr al-Manâr, Juz. III, 124.

22. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS. al-Nisâ’/4: 1).

23. Kata yang sering menjadi perdebatan tentang asal usul kejadian manusia
dalam ayat ini adalah kata nafsin wâhidah, para mufasir berbeda pendapat
dalam menafsirkan kata ini. Tafsir bi al-Ma’thûr seperti tafsir karangan
Al-Thabârî dan Ibnu Kathîr menafsirkan kata nafsin wâhidah dalam ayat
ini sebagi Adam, lihat: Muhammad Bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî al-
Musammâ Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1420 H/1999 M, juz. III, 565. Lihat juga: Abî al-Fidâ’ al-Isma’îl Ibn ‘Umar Ibn
Kathîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirût: Dâr al-Kutub Ilmiyyah,
1420 H/1999 M, juz. II, 181. Sementara tafsir modern seperti karangan
Muhammad Rasyîd Ridhâ menafsirkan kata tersebut dalam arti jenis/
unsur yang sama, lihat: Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Beirût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H, juz. IV, 263. Di dalam al-Qur’an,
terdapat pula ayat yang mengindikasikan bahan penciptaan manusia yang
terbuat dari tanah, seperti dalam QS. Tâha/20: 55 dan al-Hijr/15: 28-29, dari
air (mani) seperti dalam QS. al-Furqân/25: 54. Menurut Nasarudin Umar,
karena keduanya dinyatakan bersumber dari unsur yang sama dan dalam
mekanisme yang sama. Tidak terdapat perbedaan secara substansial dan
secara struktural antar keduanya. Dengan demikian, secara alamiah dalam
proses keberadaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Lihat:
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, 218.

24. Disarikan dari: Ahmad Musthafâ al-Marâghî Tafsîr al-Marâghî, Beirût: Dâr
al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1418 H/1998 M, juz. 2, 145-148.
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _151

25. Bahkan menurut Nasaruddin Umar, biasanya kebanyakan manusia


bersilaturahim dengan sesama manusia. Padahal Rasulullah juga
mencontohkan silaturahim dan menjalin hubungan keakraban dengan
lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan alam, misalnya tanah, air, flora
dan fauna dengan menghormati dan menghargai eksistensi mereka sebagai
sumber kehidupan. Bahkan, silaturahmi juga dilakukan rasulullah pada
makhluk spiritual seperti bangsa Jin, Malaikat dan para arwah manusia
terdahulu. Disarikan dari: Nasaruddin Umar, Meresapi Makna Silaturahmi,
Majalah ALIF, 31 Oktober 2009, 5.

26. Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz. IV, 326.


27. Atabik Ali Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 933.
28. Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (QS. al-Nahl/16: 97.

29. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 265.


30. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 7, 343.
31. Lihat: Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, 171.
32. Artinya: Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. al-
Thûr/52: 21).

33. Muhammad Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13, 21-20. Lihat juga:
Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Teheran:
Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H, cet. III. Lihat juga: Muhammad al-
Thâhir Ibn ‘Ashûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwî , t.tp: al-Dâr al-Tunisiyyah li
al-Nashr, t.th.
152_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

34. Sa’îd Hawâ, al-Asâs fî al-Tafsîr, Cairo: Dâr al-Salâm, 1989, cet. II, juz. 10, 5544.
35. Kata zawj dan semua bentuk derivasinya, terulang sebanyak 76 kali di dalam
al-Qur’an. Lihat: Husain Muhammad Fahmî al-Shafi‘î al-Dalîl al-Mufahras li
Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, 427.

36. Artinya: Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, QS. al-Naba’/78: 8.


37. Muhammad Bin Jarîr al-Thabarî, Tafsiîr al-Thabarî al-Musammâ Jâmi‘ al-Bayân
fî Ta’wîl al-Qur‘ân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. 12,
397.

38. Abî al-Fiâ’ al-Ismâ‘îl Ibn ‘Umar Ibn Kathîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azîm, Beirût: Dâr al-Kutub Ilmiyyah, 1420 H/1999 M, juz. VIII, 307.

39. Lihat penafsiran senada mengenai kata “zawj” dalam: ‘Âisyah ‘Abd al-
Rahmân, I’jâz al-Bayân li al-Qur‘ân, 230. Aisyah menekankan makna kata
“zawj” dalam arti dalam hubungan keberpasangan terdapat unsur hikmah,
kedamaian dan cinta, kasih sayang, tashri’, hukum serta kehidupan akhirat.

40. Muhammad Ibn Yûsuf al-Shahîr bi Abî Hayyân al-Andâlusî al-Ghornâtî, al-
Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, Beirût: Dâr al-Fikr, 11412 H/1992 M, juz. X, 384.

41. Abî Muhammad ‘Abd Allâh Ibn Muslim Ibn Qutaibah al-Dînawarî, Ta’wîl
Mushkil al-Qur’ân (T.tp: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th, 498.

42. Lihat tentang ungkapan Zaghlûl al-Najâr tentang pentingnya mengenal


alam raya sebagai media penguat iman. Zaghlûl al-Najâr, “al-Tafsîr al-‘Ilmî
li al-Qur’ân al-Karîm, ya‘nî: Tauzhîf Kull al-Ma‘ârif al-Mutâhah li al-Insân
fî Husn Fahm Dilâlah al-Âyah al-Qur’âniyyah,” al-Wa‘ei al-Islam, 424 (Dhû
al-Hijjah 1421 H/Februari 2001), 12-18. Lihat juga buku al-Najâr tentang
berbagai isyarat ilmu pengetahuan seputar alam dalam al-Qur’an dan
para ilmuan muslim yang menelitinya, dalam: Man Ishâmât al-Hadhârah al-
Islâmiyyah, al-Qâhirah: Nahdhah Mishr, 2010, cet. I.

43. Lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam. Lihat juga: Ratna Megawangi, dalam
kata pengantar buku karangan Sachiko Murata, 10.

44. Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 7. Maka Allah


Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _153

mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” 8 (QS. al-
Shams/91: 7-8)

45. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz. XXIX-XXX, 174.
46. Sebagaimana karakter feminin dan maskulin yang berpasangan, dalam
proses kehidupan segala makhluk di alam raya, setiap orang tahu bahwa
hanya dengan penyatuan kedua prinsip keberpasangan inilah kehidupan
dapat terus ada. Kehidupan tidak mungkin ada tanpa systole dan diastole
detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik
tanpa adanya dua kutub, dan seterusnya. Lihat: Annemary Schimmel,
dalam kata pengantar buku Sachiko Murata, The Tao of Islam, vii-viii.

47. Al-Qur’an menggolongkan Maryam sebagai “salah seorang qânithîn “ dengan


menggunakan bentuk jamak maskulin dari kata yang menunjukkan ketaatan
di hadapan Allah. Tidak ada alasan dari tidak digunakannya bentuk jamak
feminin, kecuali untuk menegaskan bahwa signifikansi contoh Maryam
adalah untuk semua orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.
Kebajikannya tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Lihat: Amina Wadud, Quran
and Woman Rereading the Sacred Text from a Womans Perspective, New York:
Oxford University, 1999, h. 75.

48. Dalam ayat ini, sosok pemimpin di dalam al-Qur’an dijelaskan bukan hanya
dari kalangan laki-laki, akan tetapi juga dari kalangan perempuan, seperti
ratu Balqis seorang pemimpin di sebuah negeri bernama Saba’. Selain itu,
juga banyak sekali sosok wanita yang diisyaratkan al-Qur’an dan hadis yang
memiliki berbagai macam keistimewaan, seperti Ibu Nabi Musa, Siti Aisyah,
Mariah Qibtiyyah dan lain-lain. Penjelasan lebih lanjut terdapat dalam bab
V dalam Disertasi penulis. Lihat: Muhammad Bakr Ismâ’îl, Mu’minât lahunn
‘inda Allâh Sha’nun, Qâhirah: Dâr al-Manâr, 1422 H/2001 M, cet. I.

49. Ayat ini menjelaskan tentang sifat manusia yang egois dan ingin menang
sendiri, kata ( ‫ ) يسختون‬yaskhatûn/mereka marah dalam QS. al-Taubah/9: 58
pada ayat di atas, ditafsirkan oleh al-Jazâ’irî dalam arti hati mereka tidak
senang/tidak menerima. Padahal, apa yang tidak disenanginya adalah
ketetapan untuk keadilan. Artinya, kemarahan yang mereka tunjukkan
154_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

tidak beralasan. Lihat: Abî Bakar Jâbir al-Jazâ’irî, Aysar al-Tafâsîr li Kalâm
al-‘Alî al-Kabîr, Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam,
1416 H/1995, cet. I, h. 382-383. Dikisahkan asbâb al-nuzûl ayat ini adalah
seorang laki-laki dari bangsa Arab yang berasal dari dusun dan baru masuk
Islam datang kepada Rasulullah saw, sewaktu beliau membagi-bagi emas
dan perak. Ia berkata kepada beliau: “engkau tidak berlaku adil, walaupun
Allah memerintahkan untuk berlaku demikian”. Rasulullah menjawab,
“celakalah engkau, siapakah orangnya itu yang akan berlaku adil sesudah
aku. Maka diturunkan ayat ini. Dan berkata Umar, “biarkan aku menebas
leher orang itu wahai Rasulullah”. Rasulullah menjawab: “aku berlindung
kepada Allah, bagaimana orang akan bercerita bahwa Rasulullah telah
membunuh sehabatnya sendiri”. Lihat juga penjelasan yang senada dalam
tafsir: ‘Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Idrîs al-Râzî Ibn Abî Hâtim,
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazâr Mushthafâ
al-Bâz, 1419 H/1999), cet. II, juz. 6, h. 1815-1817.
50. Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-
laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. al-
Ahzâb/33: 35).

51. Islam adalah penyerahan diri secara penuh kepada Allah dan mentaati
semua perintah dan larangan-Nya, seseorang yang berserah diri tersebut
dinamai muslim dan muslimah.

52. Orang yang yakin hatinya akan kebenaran agama dan dengan keyakinannya
itu memanifestasikan ajaran agama dalam kehidupannya. Maka tiap
mu’min pasti muslim, namun tidak sebaliknya.

53. Artinya: taat dan berserah diri pada ajaran agama. Taat/submisif adalah
karakter feminin positif.

54. Artinya: benar dalam arti perkataan dan perbuatan. Obyektif adalah salah
Wawasan Gender dalam Ekologi Manusia Perspektif Al-Quran _155

satu karakter maskulin positif.

55. Artinya: orang yang memiliki kesabaran ketika tertimpa musibah, sabar
dalam ketaatan dan sabar dari menahan berbuat maksiat. Sabar termasuk
dalam kategori karakter yang mengalah pada yang lebih tinggi/pada logika,
artinya karakter ini masuk dalam kategori feminin positif.

56. Artinya: rendah hati yang termanifestasi dalam tingkah laku. Rendah hati
termasuk karakter yang berhubungan dengan keindahan dan intuitif, maka
rendah hati dikategorikan sebagai karakter feminin positif.

57. Artinya: memberikan infak sedekah di jalan Allah. Bersedekah adalah


perbuatan yang berhubungan dengan empati, oleh sebab itu karakter ini
masuk dalam kategori feminin positif.

58. Artinya: orang yang melaksanakan puasa, baik yang wajib maupun yang
sunah. Melaksanaan tuntunan ibadah termasuk dalam karakter submisif,
artinya karakter ini masuk dalam kategori feminin positif.

59. Artinya: menjaga kehormatannya dari selain apa yang dihalalkan baginya.
Menjaga berhubungan dengan sifat kesatria/pertahanan diri, karakter ini
masuk dalam kategori maskulin positif.

60. Artinya: orang yang senantiasa mengingat Allah dalam setiap aktifitasnya.
Aktifitas dhikir adalah aktifitas yang berhubungan dengan keagungan dan
menggunakan logika, oleh sebab itu karakter ini masuk dalam kategori
maskulin positif. Lihat pengertian mengenai istilah-istilah di atas dalam:
Muhammad Husain al-Thabâthabâ’î, al-Mîzân fî Tafsir al-Qur’ân (Teherân:
Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1397 H), juz, XVI, h. 331-333.

61. Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena
perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. al-
Rûm/30: 41).

62. Lihat mengenai beberapa faktor penyebab utama kerusakan lingkungan


yang dilakukan oleh IPCC sampai akhir tahun 2010 dalam: http://www.
ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf. Diakses pada 29
156_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Maret 2011. Lihat juga: ‘Abd al-Hâdî Hasan, Himaâyah al-Bî’ah al-Tulûth bi
al-Mubayyidât al-Kîmâwiyyah wa Afdhal al-Hulûl (Sûriyah: Dâr ‘Alâ’ al-Dîn,
2003), cet. III.

63. Teungku Muhaammad Hasbi al-Shiddieqiy, Tafsir al-Qur’anul Majid,


AN-NUR (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), cet. II, juz. 4, 3185.
Selain itu kata kerusakan yang dibuat manusia dalam ayat di atas juga
dapat dipahami dalam arti berjangkitnya berbagai macam kesukaran dan
kemaksiatan dalam hidup, yang membuat manusia tidak memandang lagi
moral yang baik dan buruk dalam interaksi sosialnya. Lihat juga: Teungku
Muhaammad Hasbi al-Shiddieqiy, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Qur’an al-Karim
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), cet. II, juz. II, 920.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _157

Tracking the Roots of Neo-Sufism Muhammad


‘Abduh and Muhammad Rashîd Ridhâ in Tafsîr
al-Manâr

Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh


dan Muhammad Rashîd Ridhâ dalam Tafsîr
al-Manâr

Usep Taufik Hidayat


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
email: usep50ymail.com

Abstract : This study was initiated to extend the study by Fazlur Rahman of neo-Sufism.

There is a disconnect chain neosufisme figures after Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim
al-Jawziyyah on the 8th century after hijrah, resulting in the loss figures of Islamic
history neo-sufism in century. Through Nurcholish Madjid theory about the New
Mysticism and Azra about characteristics and tendencies of neo-Sufism, this study
tried to apply ‘Abduh and Ridh â as a neo-Sufi figure of the 20th century. The need
for spiritual values in this modern time can be started through the study of figure
with enough attention to esoteric values. ‘Abduh and Ridhâ, is both accurate figure
brochures made a reference to the discussion of modern mysticism. Tafsî r al-Manâr
even figured adabi ijtima’i, but it does not mean not discussing aspects of Sufism in it.
Even with critical analysis and argumentative, both able to control the line of Sufism
back to the Quran and al-Sunnah. Efforts to revitalize them and make it worthy of
conceptual modern mysticism as the neo-Sufi century this millennium.
158_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Abstraksi: Penelitian ini dilakukan untuk memperluas penelitian oleh Fazlur Rahman mengenai

neo-sufisme, dimana terdapat mata rantai yang terputus dari tokoh neosufisme
setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah pada abad ke-8 setelah hijrah,
mengakibatkan hilangnya beberapa tokoh dalam sejarah neo-sufisme di abad ini.
Melalui teori Nurcholish Madjid tentang Mistik Baru dan Azra mengenai karakteristik
dan kecenderungan neo-sufisme, penelitian ini mencoba menerapkan ‘Abduh dan Ridh
â sebagai tokoh neo-Sufi dari abad ke-20. Kebutuhan untuk nilai-nilai spiritual pada
zaman modern ini dapat dimulai melalui studi tokoh dengan perhatian yang cukup
untuk nilai-nilai esoteris. ‘Abduh dan Ridha, keduanya adalah figur yang baik dan
secara akurat membuat referensi tentang pembahasan mistisisme modern. Tafsî r al-
Manar bahkan menjelaskan pola pikir adabi ijtima’i, namun itu bukan berarti tidak
membahas aspek sufisme di dalamnya. Bahkan dengan analisis kritis dan argumentatif,
keduanya mampu mengontrol lini sufisme kembali kepada Al-Quran dan al-Sunnah.
Upaya mereka untuk merevitalisasi dan membuatnya sebagai konseptual mistisisme
modern yang layak pada abad neo-Sufi milenium ini.
Keywords: neo-sufism, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Azymardi Azra, characteristic.

A. Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ‘Abduh dan Rashîd


Ridhâ, apakah keduanya termasuk ke dalam kategori aliran tasawuf
neo-sufisme. Neo-sufisme yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid
dengan “sufisme baru” menekankan perlunya perlibatan diri dalam
masyarakat secara lebih kuat daripada “sufisme lama”. Adanya
keterangan ditingkatkan secara lebih kuat menunjukkan bahwa bukan
berarti sufisme lama tidak terjun ke masyarakat sama sekali. Namun
mengingat kondisi masyarakat yang membutuhkan langsung sentuhan
para sufi, maka kadar peranan mereka ditingkatkan.

Sebagai contoh bagaimana pandangan neo-sufieme tentang zuhud


terdapat dan terangkum dalam buku al-Rûhâniyyat al-Ijtimâ’iyyah
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _159

(spiritualisme sosial). Terbitan al-Markaz al-Islâmi (Islamic Center),


Jenewa (Swiss) pimpinan Dr. Sa’îd Ramadhân. Buku ini pegangan
bagi para pejuang dakwah Islam. Buku ini memberi petunjuk yang
cukup jelas tentang apa yang menjadi pertanda jalan (ma’âlim al-T}
arîq) spiritualisme sosial, yang secara amat ringkas isinya adalah : (1)
Membaca dan merenungkan makna kitab suci al-Qur’an; (2) Membaca
dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw melalui sunnah dan sirah;
(3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama
dan tokoh Islam yang zuhud; (4) menjaga diri dari sikap dan tingkah
laku tercela; (5) Mempelajari tentang hal-hal tentang ruh dan metafisika
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan sikap penuh percaya; (6)
Melakukan ibadat - ibadat wajib dan sunah, separo sembahyang lima
waktu dan tahajud. Nurcholish Madjid menambahkan bahwa neo-
sufisme mengecam sikap hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i’tizaliyah),
dan menekankan nilai-nilai keseimbangan (mîzân atau tawâzun) yang
sesuai dengan prinsip - prinsip al-Qur’an dalam surat al-Rahmân ayat
7 – 8.1 Karakteristik ini akan dilacak dalam sosok ‘Abduh dan Ridhâ,
apakah mereka berdua memiliki kecenderungan demikian juga. Selain
itu juga beberapa karakteristik yang dikemukakan Azra lebih sistimatis
untuk dijadikan pisau analisa utama.

Apabila kita lacak ulang menelusuri biograpi ‘Abduh, maka kita


akan menemukan bahwa kemungkinan al-Afghani mengalihkan
kecenderungan ‘Abduh dari tasawuf dalam arti sempit dan dalam
bentuk tata cara berpakaian dan dzikir kepada tasawuf dalam arti
yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan
membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran –ajaran Islam
sangat selaras dengan buku al-Rûhâniyat al-Ijtima’iayat. Hal ini semakin
memperkuat bahwa melalui pisau analisa teori Nurcholish Madjid,
‘Abduh dan Ridhâ bisa dikategorikan sebagai kelompok neo-sufisme
pada abad ke-20.

Adanya ide dari penulis untuk mengajukan Muhammad ‘Abduh


dan Muhammad Rashîd Ridhâ sebagai neo-sufi pernah juga dilakukan
160_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

oleh Azra. Namun ia mengajukan Sayyid Hussein dalam hal ini.


Penelitian ini memperkuat penelitian kedua cendekiawan di atas secara
metodologi, walaupun objeknya berbeda. Menurut Azra, Nasr adalah
seorang neo-sufi yang menekankan aktivisme; tasawuf yang tidak
mengakibatkan pengamalnya mengundurkan diri dari kehidupan dunia,
tetapi sebaliknya melakukan inner detachment (pengembangan dengan cara
modifikasi diri) untuk mencapai spiritual yang lebih maksimal. Secara
singkat, Nasr menawarkan sufisme sebagai solusi manusia modern.2

Juga pernah dilakukan oleh Elizabeth Sirriyeh, yang memasukan Abu


A’la al-Mawdudi dan ‘Ali Shari’ati sebagai neo-sufieme yang beraliran
revivalis radikal.3

Apa yang dilakukan oleh Nasr, Abduh dan Rashîd bisa dikatakan
sebagai strategi agar agama –terutama yang ekstrem- bisa diikuti dengan
mudah dan tidak tabu untuk memperbincangkannya. Karena menurut
Tariq Ramadhan kondisi demikian masih terjadi.4

A. Rumusan Masalah
Adanya kekosongan figur neo-sufisme pasca abad ke-6 H, yaitu Ibn
Taymiyyah (w. 728 H) dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang dikategorikan
oleh keduanya sebagai tokoh tasawuf baru ini, maka penelitian ini
mencoba menawarkan ‘Abduh dan Ridhâ sebagai tokoh neo-sufisme
pada abad ke-19 dan ke-20.

B. Kerangka Teoritis
Penelitian ini akan menjadikan teori Fazlur Rahman tentang neo-
sufisme yang dikembangkan oleh Azra dalam Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Nusantara Abad XII dan XIII sebagai pisau analisa. Melalui
teori ini penulis berusaha mengusulkan Muhammad ‘Abduh dan Rashîd
Ridhâ sebagai tokoh neo-sufisme.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _161

C. Pembahasan
Dalam penelitian ini penulis akan meminjam pisau analisa utama
- selain dari Nurcholis Madjid di atas- dari teori Fazlur Rahman5 yang
dikembangkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII M. Penulis akan melacak
semua karakteristik dan kecenderungan neo-sufisme yang ditulis oleh
Azra di dalam bukunya.6 Kemudian juga akan ditelusuri tulisan-tulisan
guru dan murid tersebut terutama dalam Tafsîr al-Manâr. Apabila semua
karakteristik tersebut bisa ditemukan kemudian dikomparasikan dengan
para tokoh neo-sufisme sebelumnya, tentu saja selanjutnya, penulis
tidak ragu lagi untuk mengkategorikan bahwa keduanya memang layak
sebagai kelompok neo-sufisme.

Azra menyampaikan pembahasan ini dalam bukunya pada BAB III


sebagai mata rantai selanjutnya dari pembahasan wacana pembaruan
dalam jaringan ulama. Dengan adanya neo-sufieme, menurut Azra,
berimplikasi semakin meluasnya penyebaran Islam. Fazlur Rahman
menyimpulkan bahwa karakteristik neo-sufisme puritan dan aktivis.
Nampaknya pandangan Rahman ini baru sebatas dari sudut gerakan
sosialnya saja. Kemudian Azra menyempurnakannya dan menghasilkan
kesimpulan bahwa ada lima karaktersistik dan kecenderungan neo-
sufisme, yaitu tela’ah hadits, syari’at, aktivisme, organisasi tarekat dan
kesinambungan serta perubahan. Karakteristik yang disampaikan Azra
lebih luas dan tidak hanya berlaku untuk menguji kesufian ‘Abduh dan
Ridhâ saja. Apabila dilakukan penelitian yang sama dengan objek tokoh
Islam yang berbeda maka akan menghasilkan kesimpulan yang baru.

Berikut ini akan dilacak semua karaktersitik tersebut berdasarkan


sistimatika penelitian yang ditulis oleh Azra :

a. ‘Abduh, Ridhâ dan Tela’ah Hadits

Sebelum menginjak lebih jauh dalam penelitian, perlu diketahui


bahwa untuk mengetahui apakah ‘Abduh dan Ridhâ bisa dimasukkan
162_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

ke dalam kelompok neo-sufisme, setidak-tidaknya bisa dilihat dari dua


pembahasan. Pertama, bahwa berdasarkan biografi keduanya, masing
–masing pernah bertemu dengan seorang sufi yang sekaligus jadi
mursyidnya. Sehingga tak canggung lagi, penulis memasukan keduanya
sebagai neo-sufisme, walaupun masih ada sebagian atau bahkan
mayoritas sejarawan menolak pandangan tersebut. Kedua, keterlibatan
mereka dalam merevitalisasi fungsi hadits dalam al-Qur’an memberikan
pertimbangan bahwa mereka paham dan bahkan menguasai hadits
serta bagaimana seharusnya hadits dipergunakan dan mengatur posisi
perannya di tempat yang tepat. Untuk yang pertama mungkin penulis
tidak akan memperpanjangnya. Karena apabila kriteria tela’ah hadits ini
ditemukan dalam diri mereka, maka jelas mereka adalah golongan neo-
sufisme dengan sendirinya.

Fazlur Rahman berpendapat, kelompok terpenting dari para


ulama muslim yang bertanggung jawab dalam membantu merealisaikan
neo-sufisme adalah “para ahli tradisi” (ahl hadits). Kaum tradisional ini
selain berusaha menjaga keotentikan hadits dari para pemalsu hadits dan
berubah pada masa kontemporer ini menjaganya dari para orientalis, juga
berusaha untuk mempertahankan warisan para sufi. Mereka sadar bahwa
tidak bisa dipungkiri kaum sufi telah tampil dengan menawan dalam
sejarah Islam secara emosioanal, spiritual dan intelektual pada abad ke-6
H / ke-12 M, dan ke-7 / ke- 13. Mereka berusaha untuk mendamaikan
ajaran sufi dengan ajaran Islam ortodok. Para ahli hadits yang umumya
berdomisili di Haramayn adalah yang paling berperan penting dalam
rekonsiliasi dua madzhab ini.7 Mereka umumnya bermadzhab Hanbali,
menolak dan membuang ajaran-ajaran filosofi rasional dan mistisisme
spekulatif, banyak diantara mereka yang melaksanakan tasawuf asalkan
sesuai dengan syari’at. Tidak ada bukti bahwa para ulama Hanbali,
seperti Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328) dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah
(w. 751 H) menentang segala jenis tasawuf. Yang mereka kritik adalah
tasawuf yang menyimpang. Bahkan menyatakan bahwa mereka berdua
sebagai perintis neo-sufisme.8
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _163

Yang perlu digaris bawahi dari Fazlur Rahman adalah apakah


ahli hadits yang dimaksud adalah mereka para pemegang sanad
hadits atau ahli hadits yang dinisbatkan kepada pengikut madzhab
Hanbali yang berdomisili umumnya di Haramayn. Penulis berasumsi
bahwa yang dimaksud ahli ahdits oleh Rahman adalah kelompok
yang kedua. Mereka cenderung untuk menafsirkan al-Qur’an dan
mensyarah hadits secara tekstual. Jika demikian halnya, maka penulis
juga akan mengikutinya, bahwa kategorisasi ‘Abduh dan Ridhâ sebagai
neo-sufisme berdasarkan klasifikasi dan rekonstruksi teori neo-sufisme
Rahman. Dengan demikian tidak dipersyaratkan untuk menjadi seorang
neo-sufisme adanya otoritas dalam memegang sanad hadits yang turun
temurun sejak masa sahabat.

Sebagaimana ditulis di Bab I dalam latar belakang, bahwa


penggunaan hadits dalam Tafsîr al-Manâr cukup banyak. Bahkan
ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 62-64, penafsirannya sampai
menghabiskan 32 halaman. Termasuk di dalamnya tela’ah hadits yang
begitu mendalam.9

Menurut Quraish Shihâb tela’ah hadits yang mendalam


digunakan oleh Ridhâ dalam menafsirkan ayat. Tela’ah hadits ini
menjadikan perbedaan diantara karakteristik penafsiran Ridhâ dan
‘Abduh.10 Keluasan pembahasan dalam bidang hadits menunjukkan
keahliannya dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang
dikemukakannya menyangkut kekurangan ‘Abduh dalam bidang
riwayat, hafalan, dan al-jarh wa al-ta’dil (salah satu cabang dalam kritik sanad
hadits).

Salah satu kelebihannya dalam kajian hadits bisa digambarkan ketika


ia menafsirkan surat al-Mâidah (5) ayat 6. Adapun redaksinya sebagai
berikut:

“Sesungguhnya engkau telah mengetahuinya bahwa hadits


yang diriwayatkan Anas itu tidak bisa dijadikan argumentasi (lâ
yuhtajj bih). Hadits yang sama dengan hadits Anas adalah yang
164_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

diriwayatkan oleh ‘At}â’ dan berstatus mursal. Hadits ini dijadikan


hujjah oleh al-Shafi’i (w. 204 H) dalam kitab al-Umm. Dalam
hadits ini dikatakan bahwa mengusap kepala cukup sebagian saja.
Sedangkan imam H{anafî (w. 150 H) bahkan cukup seperempat
dari bagian kepalanya saja. Hadits yang diriwayatkan ‘At}â’
ini bersisi bahwa Nabi setiap hendak berwudhu melepaskan
sorban yang melilit di kepalanya, dan mengusap bagian depan
kepalanya, atau bagian tengahnya. Pemakaian hadits ini dengan
cara berpaling dari perbedaan pendapat dalam kehujjahan
hadits mursal.11 Hal ini ditentang oleh jumhur ulama dan yang
lainnya. Abû H{anîfah (w. 150 H), al-Shâfi’i (w. 240 H) dan
mayoritas ulama Muktazilah tidak berhujjah dengan hadits
mursal. Hadits ‘At}â’ ini diriwayatkan oleh Muslim bin Khâlid
seorang ahli fiqih dari Mekkah, ia seorang thiqah menurut ‘At}
â’, Ibnu Ma’in memandang ia thiqah, namun di lain kesempatan
ia mendha’ifkannya, sebagaimana juga didhaifkan oleh Abû
Dâwûd. Al-Bukhâri berkata : “hadits ini munkar”. Dalam kasus
ini menolak lebih diunggulkan daripada menerimanya. Hadits
ini juga menunjukkan tidak ada dalil kewajiban mengusap kepala
seperempatnya saja.12

Paragraf diatas cukup jelas menggambarkan kemampuan Ridhâ


dalam kajian hadits yang menjadi salah satu karakteristik dari neo-
sufisme. Disamping itu Ridhâ lebih cenderung mengutamakan ahli
hadits dibandingkan dengan ulama lain yang mempunyai spesifikasi lain.
Pandangan ini semakin memperkuat posisi hadits dalam memperkuat
teori-teori tasawuf yang bergenre neo ini. Berikut pandangannya tentang
keutamaan ahli hadits :

“Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan meninggal sebagai


pewaris para Nabi, kecuali para ahli hadits yang meriwayatkannya
secara bersambung sampai kepada Nabi, sebagaimana
disampaikan guru kami (‘Abduh), mereka memndapatkan (tugas)
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _165

bagian risalah karena mereka sebagai trasnsmiter wahyu, mereka


mewarisi para Nabi dalam tabligh. (Bahkan) para ahli fiqih yang
tidak mampu mengetahui dalilnya tidak mempunyai derajat
yang tinggi, mereka hanya dikumpulkan bersama dengan umat
biasanya, tidak dengan para Nabi. Gelar ulama tidak melekat
kepada mereka kecuali untuk para ahli hadits. Demikian juga
para ahli ibadah, ahli zuhud, dan yang lainnya dari ahli akhirat,
mereka kedudukannya sama dengan ahli fiqih jika mereka tidak
merangkap sebagai ahli hadits. Mereka dikumpulkan bersama
dengan umat secara umum yang membedakan antara dengan
amal saleh tidak yang lainnya, demikian juga para ahli fiqih
mereka dibedakan hanya di dunia saja, tidak di tempat lainnya.”13

Di dalam kutipan di atas mengandung dua data kuat yang memperkuat


akar neo-sufisme. Tentu saja bagi Ridhâ yang menulis tafsir ini, sekaligus
juga bagi ‘Abduh, yang disebutkan bahwa pernyataan ini berasal dari
pandangan ’Abduh. Ini merupakan data yang paling kuat yang diakui
secara langsung oleh SHâhib al-Manâr.

Poin lain yang mendukung Ridhâ bisa dikategorikan sebagai ahli


hadits adalah penggunanan kata “keluasan” oleh Quraish Shihab yang
memberi makna bahwa penelitiannya terhadap tela’ah hadits dalam Tafsir
al-Manâr cukup mendalam. Penulis bersumsi, walaupun hanya diwakili
oleh Ridhâ, bukan berarti menafikan Tafsir al-Manâr sebagai karya dari
seorang sufi pembaharu atau neo-sufisme. Prosentasi penggunaan
hadits oleh ‘Abduh yang minim, tidak serta merta menunjukan bahwa
‘Abduh bukan tidak mampu mendalami hadits, tetapi ia fokus ke
dalam pemikiran. Sebagai contoh pandangannya tentang komentarnya
terhadap hadits Ahad14 menunjukan bahwa ‘Abduh juga mampu
mendalami hadits.15

Usaha lain yang dilakukan oleh ahli tradisi dalam merekonstruksi


neo-sufisme ini adalah mempercepat pembaruan tasawuf pada skala
lebih besar. Para ahli hadits ini umumnya menfokuskan usahanya pada
166_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

tela’ah hadits dalam mempertahankan, mereorganisasi, dan menafsirkan


al-Kutub al-Sittah dilihat dari sudut pandang ahli hadits. Tetapi, pada
saat yang sama, mereka semakin memantapkan kontak-kontak dan
hubungan dengan para ulama dari tradisi– tradisi religio- intelektual
yang lain. Dengan cara begini, mereka bertemu dan berinteraksi dengan
“tradisi-tradisi kecil” Islam lain. Mereka juga mempunyai peranan
dalam menghubungkan para ulama yang hidup di berbagai wilayah
Timur- Tengah melalui keahlian hadits mereka.16

Dalam konteks modern, penduduk India merupakan contoh


komunitas muslim yang berperan dalam memelihara hadits (tradition)
. Di antara mereka ada yang sampai berpangkat muhaddits, bahkan
komunitas mereka telah diakui sebagai ahlu al-hadîts. Kontuinitas mereka
dalam memelihara sunnah Nabi berbuah dengan suburnya praktek
tasawuf.17

Selanjutnya untuk melacak apakah seorang cendikiawan termasuk


dalam kelompok neo-sufisme di lihat dari konteks sikapnya terhadap
hadits bisa dilakukan dengan mencari pandangan orang cendikiawan
tersebut terhadap realisasi hadits terhadap al-Qur’an. Misalkan,
Ibnu Taymiayah (w. 728 H) dalam kitabnya Muqaddimah fî Ushûl al-
Tafsîr menyatakan sikapnya terhadap hadits wâhid, ia bisa memetakan
ulama mana yang menerima dan menolak periwayatan hadits wahid,
mengklasifikasikan hadist dari sisi kuantitas rawinya, bisa mengatahui
tingkat kelemahan dan kekuatan segi hadits, mengetahui hadits yang
ber’illat (‘ilal al-hadits), mengetahui rijâl al-hadîts beserta dengan
kriterianya, bisa mengetahui letak hadits tersebut di dalam variasi tafsir.18
Sumber lain dikatakan Ibn Taymiyyah (w. 728 H) sudah berada dalam
tingkat keagungan (al-‘udhmah), ungkapan yang independen (mutaharriy)
dalam kajian hadits.19 Seorang neo-sufisme seperti Ibn Taymiyyah (w.
728 H) mempunyai kapabilitas yang beragam dalam ilmu hadits dan
cabang-cabangnya.

Sekarang apakah kemapanan yang dimiliki oleh Ibnu Taymiyah


(w. 728 H) dalam bidang hadits juga dimiliki oleh ‘Abduh dan Ridhâ.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _167

Kalau kita kembali ke atas, Ridhâ memang tidak diragukan lagi dalam
hal ini. Adapaun tingkat kedalamannya dalam kajian hadits tentu saja
perlu penelitianan lebih intens. Namun untuk ‘Abduh, dalam hal ini
yang bisa dikemukakan mungkin adalah ketegasannya untuk menolak
hadits - hadits batil dalam menafsirkan surat al-Ahzâb (33) ayat 37
sebagaimana di kemukakan dalam Bab I.20 Keduanya sama – sama ada
upaya agar penafsiran dengan pendekatan hadits hanya menggunakan
hadits yang berkualitas maqbul (diterima).21 Terutama, dalam tesis ini,
ketika menafsirkan ayat-ayat tasawuf. Karena semangatnya adalah
mengembalikan praktek tasawuf berada dalam jalur ortodoks.

Selain itu juga menurut al-Dhahabî, terlepas dari pandangan bahwa


‘Abduh lemah dalam ilmu Hadits, ia selalu menafsirkan setiap ayat
dalam al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip teori - teori ilmu hadits.
‘Abduh melakukan pendekatan hadis dengan tujuan agar adanya
kesamaan di antara makna - makna ayat yang terkadang dirasakan
jauh menurut pandangan manusia, dengan variasi pengetahuan yang
dikuasai oleh mereka sebagai pijakan (postulate/aksioma) di dalam sikap
mereka, atau dengan pengetahuan yang berasaskan praktek. Singkatnya,
ada kesesuaian antara wahyu dengan sains. 22 Tujuan itu - walaupun
terkadang dilontarkan ‘Abduh ke belakang untuk beralih kepada tujuan
yang cerdas – keluar seperti contoh syarah dan penjelasan tentang budaya
Arab (ma’luf al-‘arab) dan segala hal yang ada di tengah - tengah mereka
ketika al-Qur’an turun. Namun contoh yang diberikan ‘Abduh terhadap
metode ini, sebagaimana ditelusuri oleh al-Dhahabî - walaupun ia tidak
menyebutkan haditsnya - tidak disertakan dengan haditsnya.23 Namun
sekilas bahwa penafsiran ‘Abduh, sebagai contoh tela’ah haditsnya itu,
dengan menggunakan hadits-hadits selalu dirasionalisasikan agar sesuai
atau memudahkan pemahaman manusia.

Pro dan kontra memang tidak akan terlepas dari pribadi setiap orang.
Jarang sekali orang yang mendapat pandangan positif dari seluruh
masyarakat. Terkadang pandangan negatif ini timbul justru bukan
karena ia telah berbuat nila-nilai negatif, tetapi –khusus di kalangan
168_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

cendikiawan - bisa jadi karena terlalu progresif dalam pemikirannya.


Tidak sedikit cendikiawan yang pemikirannya melawan mainstrem
mayoritas sarjana yang dikafirkan, di katakan zindik, inkar al-sunnah.24
Sebagai contoh adalah Muhammad ‘Abduh yang dituliskan dalam
sejarah bahwa ia dalam beberapa persoalan mengingkari hadits - hadits
yang sahih. Ia menolak hadits sahih yang mengatakan bahwa Nabi
disihir oleh seorang Yahudi, Labid ibn al-‘Asham, apalagi sampai sihir
tersebut mempengaruhi Nabi. Sehingga akibat dari peristiwa tersebut
Nabi dikatakan sebagai orang yang terkena sihir.25 Bahkan ‘Abduh
beralasan bahwa Nabi tidak mungkin terkena sihir, karena orang yang
terkena sihir adalah orang yang akalnya menjadi miring, ia berhalusinasi
sesuatu yang tidak terjadi seolah-olah terjadi, dan ini tidak mungkin
bagi seorang Nabi yang selalu menerima wahyu. Penerimaan wahyu
mengharuskan Nabi selalu dalam keadaan terjaga akalnya. ‘Abduh tidak
setuju dengan golongan yang bertaklid buta, yang mengatakan bahwa
hadits tentang tersihirnya Nabi adalah sahih dan wajib diyakini. Bahkan
jika tidak mengakui kebenarannya merupakan bid’ah. Karena seolah-
olah pengingkaran tersebut secara tidak langsung mengingkari adanya
sihir dan prakteknya. Bahkan al-Qur’an bisa dijadijkan hujjah adanya
sihir.26

Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari (w. 256 H)


tersebut merupakan hadits Ahad. Padahal dalam diskursus ilmu musht}
alah hadîts, hadits Ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah
akidah. Di sini terlihat dengan jelas bahwa, ‘Abduh mengingkari hadits
yang sahih karena bertentangan dengan logika. Namun alasan ‘Abduh
bisa diterima oleh akal. Terutama tentang kedudukan haditsnya. Ini
juga yang menunjukan bahwa kualitas ilmu hadits ‘Abduh tidak bisa
dianggap remeh. Dan ini juga yan menjadi pertimbangan penulisan
untuk memasukkan ‘Abduh sebagai neo-sufisme.

Seperti dikatakan oleh Ismâ’il S>âlim yang berpandangan bahwa


Tafsîr Ibnu Katsîr mempunyai cukup pengaruh dan dijadikan salah satu
referensi utama bagi Tafsîr al-Manâr. Ia mengakui bahwa dalam tafsir
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _169

al-Manâr banyak dikutip riwayat-riwayat terutama hadits-hadits yang


berkualitas dapat diterima. Pada umumnya metode yang diusung oleh
al-Manâr ini bersumber dari metode al-T}abâri (w. 310 H) dan Ibn Katsîr
(w. 774). Namun dalam penafsiran dengan riwayat ini, mayoritas lebih
banyak merujuk kepada Tafsîr al-THabarî.27

Demikianlah deskripsi ‘Abduh dan Ridhâ dalam spesifikasi hadits


dalam kitab tafsirnya. Usaha mereka yang tegas untuk mengembalikan
al-Hadits sebagai prioritas dalam penafsiran juga sekaligus memberikan
identitas bahwa mereka layak untuk dimasukan dalam kategori neo-
sufisme.

Selain pandangan –pandangan dari sarjana muslim, sarjana barat juga


banyak yang berkomentar tentang kiprah ‘Abduh dalam hubungannya
dengan tela’ah hadits. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa ‘Abduh
adalah golongan ahli hadits, atau sebaliknya ahli ra’y. ‘Abduh justru,
menurut David L. Johnston, berhasil menyatukan elemen-eleman
rasionalisme (ajaran –ajaran ahlu al-ra’y) dan tradisionalisme (ahlu al-
hadits).28

Bisa dijadikan pertimbangan juga, pandangan yang dikemukakan oleh


Goldziher yang mengatakan bahwa Ridhâ menentang semua perbuatan
yang tidak berdasar rujukan pada sunnah.29 Walaupun kasusnya hanya
dalam hukum membaca tartil surat al-Kahfi pada hari jum’at yang
umumnya ditradisikan oleh para sufi, karena kental dengan ritualnya. 30

Melacak ke belakang sejarah, penghargaan yang tinggi dari Barat


terhadap sarjana muslim, contohnya sebagaimana dikutip dalam Tafsîr al-
Manâr sendiri, seperti yang diberikan kepada Ibn Hazm, sebagai pendiri
madzhab Dzahiri yang diikuti oleh mayoritas salafi modern. Pantas saja ia
mendapatkan penghargaan itu, karena ia berasal dari Andalusia sebagai
bagian dari wilayah Barat. Dalam karya-karyanya sarjana muslim dari
barat ini mempunyai keuggulan dalam retorika yang lebih jelas.

Namun tidak dapat dipungkiri Ridhâ pernah dituduh sebagai


kelompok Ingkar sunnah modern. Alasannya hanya disebabkan
dukungannya terhadap pemikiran Taufiq Shidqi yang mengatakan
170_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

bahwa Islam itu adalah al-Qur’an itu sendiri, dan tidak memerlukan
al-Sunnah. Ridha berpandangan bahwa hadits yang tidak mutawatir
tidak wajib menerimanya.

Namun belakangan ia mencabut semua pendapatnya tersebut bahkan


akhirnya dikenal sebagai pembela sunah. Al-Siba’i menuturkan, ”Pada
awalnya Sayyid Rashîd Ridhâ terpengaruh dengan pemikiran gurunya.
Ia sama dengan gurunya, sedikit perbendaharaan hadits dan sedikit
pemahamannya tentang must}alah hadits”.31 Walaupun yang terakhir
ini melemahkan argumentasi sebelumnya, tetapi bukan menolak sama
sekali. Apalagi pandangan tersebut hanya keluar dari satu tokoh hadits
saja.

Sebagai bukti bahwa ia adalah pembela Sunnah adalah adanya


catatan Ridhâ tentang keutamaan ahli hadits dibandingkan dari yang
lainya. Ia menguatkan bahwa pewaris para Nabi yang sebenarnya adalah
para ahli hadits. Mereka mempunyai tugas dalam menyampaikan
risalah. Alasannya karena mereka pihak yang mentranfose hadits dan
juga menyampaikannya kepada umat. Mereka adalah ulama yang
sebenarnya. 32 Data –data yang ditemukan dalam Tafsîr al-Manâr ini
semakin memperkuat arguentasi kesufian ‘Abduh dan Ridhâ.

b. ‘Abduh, Ridhâ dan Syari’at

Dalam al-Qur’an kata syari’at dalam bentuk kata benda (isim) disebutkan
sebanyak dua kali, yaitu di dalam surat al-Jâthiyah ayat 18 dan surat al-
Ma’>idah ayat 48. Ada juga yang disebutkan dalam kata kerja (fi’il) yang
terdapat dalam dua ayat juga yaitu surat al-Shûra ayat 13 dan 21.

Syari’at adalah metode agama atau perangkat aturan agama yang


digariskan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh hamba. Pada prisipnya
syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran agama secara
keseluruhan. Dari sini jadi jelas perbedaannya dengan agama. Jika
syari’at merupakan metode atau aturan, maka agama adalah perangkat
keimanan yang lebih universal menyangkut otoritas wujud Allah serta
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _171

konsistensi terhadap apa yang mesti dijalankan oleh umat beragama.33

Faktor yang kedua yang dapat dijadikan argumentasi untuk


mengelompokan ‘Abduh dan Ridhâ ke dalam kelompok neo-sufisme
adalah penekannnya terhadap syari’at (eksoteris) dalam tasawuf atau
biasa disebut Tasawuf ‘Amali atau Tasawuf Akhlaqi. Tokoh neo-sufisme
yang menulis karya tulis yang kontennya berisi rekonsiliasi antara syari’at
dan tasawuf diantaranya adalah Ibnu Taymiyah (w. 728 H). Ia menulis
karya dengan judul Fiqh al-Tasawuf.34 Nurcholish Madjid mengutip apa
yang dilukiskan Ibnu Taymiyah (w. 728 H) terkait hubungan antara
syari’ah dan tasawuf (tarekat) yang saling bertentangan antara orientasi
eksoteris dengan orientasi esoteris serupa dengan pertentangan antara
Yahudi dengan Kristen. Ia beralasan atas dasar firman Allah dalam surat
al-Baqarah (2) ayat 113.35 Selain itu juga, Azra mencontohkan Ahmad
al-Qushasi} yang berinisiasi ke dalam Tarekat Syatariyah, yang sering
dikaitkan sebagai cabang tasawuf India yang cenderung melanggar
aturan–aturan syari’at – setidak-tidaknya dalam pertumbuhan awal
tarikat ini. Ahmad Qushashi berhasil mereorientasikan Tarekat Syatariyah
yang menekankan pentingnya dokrin - doktrin hukum Islam dalam jalan
mistis. Menurut pendapatnya, baik aspek eksoteris (syari’at ) maupun
aspek esoteris (mistis-halaqoh) dalam Islam harus selaras dan tidak
bertentangan satu sama lainnnya. 36

Selanjutnya bertolak kepada Ahmad al-Qushashi dengan neo-


sufismenya maka timbullah pertanyaan, apakah ‘Abduh dan Ridhâ
juga menekankan pentingnya syari’at dalam ide-ide pembaharuannya
dan pemikiran tafsirnya. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu adanya
pelacakan berbagai literatur baik karyanya langsung ataupun penelitian
para cendikiawan terhadap keduanya.

Dalam pelacakan terhadap penekanan syari’at diantaranya adalah


berdasarkan kesimpulan al-Dhahabî. Dikatakan bahwa metode
penafsiran ‘Abduh dan Ridhâ berdasarkan kepada hukum syari’at.37
Urgensi syari’at dalam membumikan al-Qur’an harus selalu dijadikan
172_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

pondasi utama dan mengontrol praktek syari’at ini agar bisa diamalkan
oleh masyarakat. Bahkan al-Dhahabî menambahkan bahwa Shâhib al-
Manâr (Ridhâ) selalu berada dalam keadaan independen (hurriyah) dalam
beristinbat hukum, lepas dari taklid buta. Sebagai contoh pendapat
fiqihnya yang bersebrangan dengan mayoritas ahli fiqih adalah ketika
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 180. Ia berpandangan bahwa ayat
ini tidak mansukh (dihapus) oleh ayat mawârits atau hadits Nabi yang
mengatakan tidak ada wasiat untuk ahli waris. Sebagaimana disampaikan
oleh jumhur termasuk di dalamnya al-Shâfi’i dalam al-Umm.38

Khusus untuk ‘Abduh, sebagaimana diteliti oleh Sahhâtah, ia


mencurahkan perhatian terhadap masalah cabang (furu’iyyah) dalam
fiqih. ‘Abduh menaruh minat dalam pembahasan fiqih terutama tentang
ayat-ayat ahkam, bahkan menurut Sahhatah, pembahasan ‘Abduh lebih
luas dan teratur dibandingkan Ibnu Katsîr (w. 774 H). Sebagai contoh ketika
‘Abduh menafsirkan surat al-Nisâ ayat 43 dengan membaginya menjadi
sepuluh pembahasan yang luas.39 ‘Abduh juga sangat memperhatikan
perihal ibadat dan Ushul Fiqh. Di dalam semua pembahasannya ‘Abduh
memiliki perbedaan dibandingkan dengan mufasir lainnya. Terdapat
nilai-nilai pembaharuan dan jauh dari taklid, melakukan tarjih terhadap
beragam hukum yang berbeda dan memilihnya mana yang paling sesuai
dengan maslahat dan jauh dari kelicikan dan fanatisme. Di dalam
pembahasanya ‘Abduh mengunakan metode tanya jawab (diletakan
dalam bab marâsilât). Di dalamnya dijelaskan tentang pertanyaan-
pertanyan yang datang dari berbagai pihak sekaligus dilengkapi
dengan jawabannya.40‘Abduh banyak membahas rahasia-rahasia ibadah,
hikmah dan faidahnya. Biasanya dalam hal ini, ‘Abduh merujuk kepada
al-Ghazâlî (w. 505 H). Keluasan ‘Abduh dalam bidang ini, menurut
Sahhâtah dibuktikan ketika pembahasan ayat tentang puasa dalam surat
al-Baqarah ayat 183 dengan menghabiskan sebanyak 50 halaman. Hal
yang jarang terjadi kepada para mufasir lain. Keterkaitan antara ‘Abduh
dengan syariat sebagai salah sartu karakteristik neo-sufisme selaras
denga rujukannya sendiri yaitu Ibnu Taymiyah (w. 728 H) dan al-Ghazâli
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _173

(w. 505 H) yang notabene, menurut Fazlurrahman, sebagai neo-sufisme.41

Demikian fokus Ridhâ dalam mendalami salah satu pokok ilmu


syari’at (Fiqih).42 Daya nalarnya digunakan secara optimal dalam
rangka menarik suatu kesimpulan hukum yang lebih mendekati dan
mudah untuk dipakai dalam konteksnya. Keberanian beliau dalam
melawan arus merupakan suatu ijtihad yang layak untuk diapresiasi
dan bisa saja pendapatnya ini langsung hilang ditelan masa atau
bahkan dipakai masyarakat sepanjang masa dengan kadar tergantung
kebutuhan umat. Karakter kedua yang dijadikan pertimbangan untuk
mengkategorikan ‘Abduh dan muridnya ini sebagai neo-sufisme layak
untuk diperbincangkan.

Ridhâ sendiri ketika menafsirkan suarat al-Fâtihah menyatakan


bahwa salah satu isu-isu yang difokuskan dalam majalah a’-‘urwah al-
Wutsqa salah satunya adalah memleihara syariah agar berada dala jalur
adil. Dibawah ini terjemah dari naskah yang bersangkutan :

“Isu yang paling urgen yang difokuskan oleh metode majalah


al-‘urwah al-Wuthqa ada tiga hal : Pertama ; menjelaskan
sunnatullah yang berkaitan dengan makhluk dan hukum
kemasyarakatan, faktor-faktor yang menaikkan derajat umat dan
menjatuhkannya, memperkuat dan melemahkannya. Kedua ;
menjelaskan bahwa agama adalah agama para pemuka dan raja,
mengabungkan antara kebahagiaan dunia dan akhirat, menuntut
bahwa Islam adalah agama ruhani dan kemasyarakatan, madani
dan aristokrat, dan sesungguhnya kekuatan perang itu hanya
ditujukan untuk memelihara syari’at yang adil , hidayah yang
umum, keagungan agama, bukan untuk memaksa masuk satu
agama dengan kekarasan. Ketiga ;Sesungguhnya umat Islam
tidak mempunyai wadah kecuali hanya Islam, mereka tidak boleh
dipecahkan oleh keturunan, bahasa dan kewarganegaraan.”

Ridhâ mengakui bahwa ketiga pernyataan di atas merupakan ide dan


gagasan al-Afghâni dan ‘Abduh. Keduanya mendirikan majalah ini di
174_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Paris tahun 1301 H setelah Inggris masuk ke Mesir tahun 1299 H. 43

Dalam konteks pemikiran Ushul Fiqih, ‘Abduh dan Ridhâ dianggap


telah menghidupkan epistimologi dan hermeneutika Ushul Fiqih
kontemporer.44 Perannya ini memperkuat pondasi utama dari syari’ah
itu sendiri.

Dalam konteks kelembagaan, Ahmad Badri Abdullah memasukkan


keduanya ke dalam salah satu tipologi pemikiran Islam dan fiqih
kontemporer, yaitu Reformis Salafis. Menurut penelitianya, tipe ini
merupakan trend pemikiran yang menyelidiki tujuan dan makna yang
terkandung dari manuskrip wahyu ilahi. Mereka meyakini bahwa
ijtihad masih dibutuhkan untuk menjawab tantangan dunia modern.45
Penulisnya menyebutkan kata trend memberikan pemahaman bahwa
tipe ini memberikan pengaruh yang luas dan diminati umat Islam
modern.

Sebagai sufi yang menekankan semangat pembangunan


kemasyarakatan, sebagaimana yang ditulis Nurcholish Madjid, maka
kesufian keduanya sebagai bagian dari organisasi kemasyarakatan
memperkuat posisinya sebagai neo-sufisme.

c. ‘Abduh, Ridhâ dan Aktivisme

Azra mencatat bahwa tarekat sebelum abad XII cenderung


menekankan eskatisme dan anti keduniaan, tetapi sejak abad XVIII, ia
memberikan kerangka organisasi yang cukup sulit bagi gerakan sosial.
Kini bukan hanya orang awam yang tersedot ke dalam organisasi sufi,
tetapi juga kelompok tentara, seniman. Semua kelompok ini disatukan
oleh jaringan afiliasi tarekat ke dalam lingkungan dalam jumlah besar,
dan sebagai konsekuensinya maka tarekat menjadi dasar bagi adanya
gerakan sosial –politik.46

Apabila yang pertama dan kedua di atas menyebutkan kecenderungan


dan karakteristik neo-sufisme yang berbasis teks. Selanjutnya
kecenderungan yang ketiga adalah adannya ajaran aktivisme. Sufi
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _175

yang menekankan kecenderungan dalam ajaran ini adalah al-Qushashi.


Dia tidak hanya menekankan akal, tetapi juga aktivisme. Berulang kali
ia mengingatkan kaum muslimin agar meninggalkan kelalaian dan
kebodohan mereka, mencari ilmu dan memanfa’atkan waktu mereka
untuk tujuan-tujuan yang baik. Dia juga menggesa kaum muslimin agar
sepenuhnya menjalankan tugas-tugas duniawi mereka untuk menopang
kehidupan dengan jalan mengajar, berdagang, atau bertani. Menurut
pendapatnya, seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan
dirinya dari masyarakat, melainkan orang yang mengajarkan kebaikan
dan melarang kejahatan, dan mau mengulurkan tangan membantu
mereka yang tertindas, yang sakit dan yang miskin. Lebih jauh lagi
seorang sufi sejati adalah orang yang dapat bekerja sama timbal
balik (ta’âwun) dengan orang-orang muslim lainnya demi kebaikan
masyarakat. Ini adalah beberapa contoh yang diberikannya tentang
perbuatan-perbuatan baik yang hendaknya dilakukan mereka yang
berkeinginan menjadi dasar didikan manusia sempurna (al-insân al-kâmil)
sebagaimana gambaran dalam tasawuf.47

Dalam konteks Indonesia, aktivisme yang dimunculkan oleh kaum


sufi ini diwadahi oleh suatu organisasi tarekat. Tarekat, pada masa
awal berdirinya, merupakan kumpulan jaringan massa yang cenderung
menekankan eskatisme dan anti keduniaan. Namun, perannya
mengalami pergeseran menjadi dasar dari berbagai kekuatan sosial
politik, sejak dari gerakan Syafawi di Persia, Murâbitûn dan Muwahidun
di Afrika Utara, Naqshabandiyah di India pada masa pemerintahan
Akbar, sampai kepada gerakan Diponogoro dan pemberontakan petani,
Banten.48

Berangkat ke luar negri, gerakan tasawuf yang sukses dalam


mengadakan pergerakan (movemennt) masyarakat muslim melalui
pendidikan adalah Sa’id Nursi dan Sulayman Hilmi Tunahan. Mereka
berdua berusaha menjaga pengetahuan agama dan menterjemahkan
hukum-hukum tradisional kepada komunitas luas.49
176_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Tidak ada keluhan apapun terhadap kaum sufi yang memalingkan


muka dari dunia dan mengabaikan umat manusia yang menderita kecuali,
tentu saja, periode pelatihan yang keras dan berat, selama beberapa
tahun pertama bahkan selama orang-orang yang paling cinta dunia
berkhalwat selama periode pelajaran mereka. Kaum sufi tidak pernah
diketahui kurang dalam aktivitas–aktivitas sosial dan pembaharuan.
Sebenarnya ketika mereka berada dalam puncak spiritual, para sufi
berkewajiban melayani umat dengan semangat dakwah. Kaum sufilah
yag selalu menjadi pemelihara hak-hak asasi manusia yang paling sigap
dan pemelihara keadilan, kebajikan, dan kesetaraan semua manusia.50

Aktivisme diyakini bisa menghapus pandangan negatif bahwa


tasawuf itu menjadi biang kemunduran muslim dalam aspek politik,
sosial maupun keberagamaan. Perlu ada revitalisasi dalam semua aspek
tersebut. Menurut para sufi yang aktif, jalan yang masuk akal untuk
mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pemahaman
lebih berimbang atas setiap aspek Islam, menekankan seluruh ajarannya
secara holistik, seperti dalam bidang hukum dan mistis, intelektual dan
praktikal, serta sosial dan individual. Mereka berusaha mengadakan
pembaruan-pembaruan, purifikasi, dan aktivitas.51

Muhammad ‘Abduh diakui sebagai pembaharu pada milenuim baru.


Nilai aktivisme tidak mungkin diragukan lagi telah tertanam dalam
jiwanya. Raganya didedikasikan sepenuhnya untuk perjuangan sosial
dan agama. Kemajuan adalah harga mutlak bagi ‘Abduh. Keaktifannya
dimulai dengan mengadakan perubahan di internal kampus al-Azhâr.
Sungguhpun usahanya untuk merubah al-Azhâr serupa dengan
universitas–universitas di Eropa gagal, ia berhasil memasukan beberapa
mata pelajaran umum seperti matematika, al-jabar, ilmu ukur dan
ilmu bumi ke dalam kurikulum al-Azhâr. Administrasi diperbaiki,
metode pengajarannya dirumuskan dan ia terlibat aktif langsung dalam
mengajar.

Bidang pendidikan menjadi kendaraan utama yang digunakannya


bersama al-Afghâni untuk menciptakan kesatuan dan reformasi
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _177

masyarakat Islam. Kerjasama antara guru dan murid yang berbeda


karakter tersebut misalkan ketika keduanya di Paris membentuk tim
penyusun majalah al-‘Urwah al-Wuthqa.52

Pada umumnya perjuangan ‘Abduh di dalam tiga objek. Pertama,


reformasi agama melalui kebebasan pemikiran dari bahaya taklid buta.
Kedua, reformasi bahasa yang bertujuan meningkatkan kelemahan dan
peradaban yang relevan dengan konteksnya. Ketiga, reformasi politik
yang sempat ia tinggalkan karena banyaknya ancaman yang ia hadapi,
terutama dari kaum imprealis dan aturan-aturan tirani.53

Pasca wafatnya Abduh, cita-citanya ini kemudian dilanjutkan


oleh Ridha sejak tahun 1315 H tepatnya bulan Rajab. Reformasi Islam
ternyata menjadi agenda keduanya. Ridhâ meneruskan eksperimen
dan ide-ide ‘Abduh ini setelah menyelesaikan studinya di THarâbulus
dengan mengambil syahadahnya. Ia pindah ke Mesir untuk selanjutnya
mendirikan majalah al-Manâr yang tujuannya memang sebagai media
dakwah menuju reformasi.54

Aktivisme yang dimiliki oleh neo-sufisme dijadikan sebagai tenaga


dan modal utama untuk mengawali sehingga terwujudnya reformasi.
Agenda reformasi tidak akan berjalan tanpa adanya semangat aktivisme.
Bahkan aktivisme ini juga membutuhkan akslerasi agar pencapaian
reformasi bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Bagi Ridhâ reformasi
adalah keniscayaan, ia mengatakan :

“Zaman ini tidak akan sepi dari kelompok yang menyerukan


reformasi walaupun mereka minoritas. Namun jumlah meeka
akan selalubertambah seiring berjalannya waktu. Tulisan-tulisan
mereka akan menunjukkan mereka arah jalan yang akan mereka
tempuh. Perkataan yang benar (hak), walaupun yang setuju dan
mengetahui keadannya hanya sehgelintir orang, patut untuk
dipelihara dan dikembangkan melalui tempat-tempat yang
sesuai baginya. Hal demikian adalah seleksi alam. Contohnya,
saya selalu memelihara manuskrip majalah ‘al-Urwah al-
Wuthqa’, walaupun sudah rusak tetapi di dalamnya terdapat
178_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

ucapan, perumpamaan yang indah dan faidah yang besar. Saya


menyimpannya di t}urûs (lembaran) dan di sanubari ini.55

Spesifikasi pendidikan yang digencarkann oleh ‘Abduh dalam rangka


mempercepat pergerakan reformasi Islam diantaranya fokus dalam
kajian teologi dan filsafat. Dalam rangka melawan ikatan taklid, tentu
saja manfaat dari kedua ilmu tersebut akan memberikan pencerahan
pemikiran. Usaha ini selanjutnya, dilanjutkan oleh Khalafallah dan al-
Khulli.56

Aktivitasnya bertambah dan meluas, keilmuannya dibutuhkan


masyarakat lebih luas, maka tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir.
Suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at
untuk seluruh Mesir. Dalam tahun itu juga, ia diangkat menjadi anggota
Majlis Syura, dewan legislatif Mesir, padahal waktu itu usianya masih
muda. 57

Mengingat ambiugitas yang tersirat dalam Utsmaniyah Arab dan


aktualitas kekuasaan Inggris di Mesir. Dia berpendapat bahwa aktivisme
politik seharusnya disertai dengan penyegaran pemikiran kaum muslim.
Pengaruh Barat sudah merasuk sejak Napoleon masuk ke kawasan
Timur Arab, tetapi sebagian dalam bentuk-bentuk praktis persenjataan,
perdagangan, bisnis perjalanan dan keuangan. Respon terhadap
modernitas, menurutnya, harus dilakukan sesuai dengan cara Islam
memahami dirinya. Studinya dalam tafsir al-Qur’an dan Fiqih dalam
pola skolastik tradisional, menyadarkan akan dia perlunya sikap kritis
terhadap tradisi tersebut.

Aktivisme yang menempel pada kedua tokoh pembaharu ini


memberikan pelajaran kepada umat Islam itu agar senantiasa dinamis.
Islam selalu bisa merespon dengan baik semua perkembangan zaman.
Perlu digaris bawahi secara tebal terkait dengan komitmen ‘Abduh
terhadap Islam sebagai refleksi dari aktivisme yang dianutnya. Ditulis
dalam tinta sejarah bahwa ‘Abduh pernah mengeluarkan semacam
ikrar atau sumpah perjuangan yang terdiri dari lima poin. Kelima
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _179

poin itu dapat disimpulkan pertama adalah prioritas terhadap al-Qur’an


dan al-Sunnah; kedua, komitmen untuk istiqomah berdakwah; ketiga,
menghidupkan ukhuwah Islamiyah; keempat, menghindari perbuatan
yang merugikan Islam; dan kelima, berupaya untuk meningkatkan
kekuatan Islam.58

Melihat semua aktivitas ‘Abduh secara kuantitas sangat padat dan


beragam, juga secara kualitas sangat besar manfaatnya untuk ranah sosial
dan agama maka layaklah ia dikategorikan seorang sufi modern atau
neo-sufisme. Apabila kesimpulan untuk ‘Abduh adalah sebagaimana
demikian maka Rashid Ridhâ tidak akan jauh seperti demikian, karena
hubungan mereka sebagai guru dan murid menuntut keduanya untuk
selalu bersama. Ridhâ adalah kolega sekaligus murid yang melanjutkan
perjuangan ‘Abduh, pemikiran dan ide-idenya. Tokoh kharismatik
ini, selalu dipantau perkembangannya oleh ‘Abduh. Ridhâ berhasil
menyebarkan pemikiran ‘Abduh sampai keluar Mesir melalui jurnal
yang terakhir terbit pada tahun wafatnya, 1935.59

Ketika menafsirkan surat al-Tawbah ayat 103, di dalam Tafsîr al-Manâr,


Ridhâ menyatakan perlunya ada pergerakan dalam bidang ekonomi.
Walaupun Islama itu merupakan agama, namaun, justru maknanya lebih
dari itu. Lebih jauh kutipan dari pembahasan aktivisme agama sebagai
berikut :

“Bahkan sejak beberapa tahun telah tersebar sebuah kitab yang


berbahasa Arab yang dicetak di Quds. Kitab ini berjudul al-H{arakât
al-Fikriyyah fi al-Islâm (Gerakan Pemikran Islam). Penulisnya
mengklaim ia mengikuti sebagaian sejarawan dari Perancis yang
mengatakan bahwa Islam bukanlah pemikiran agama semata,
tetapi sebaliknya juga meliputi persoalan perekonomian dan
kemasyarakatan, bahkan bisa saja yang terakhir ini adalah tujuan
utama yang dituju, dalam hal ini agama hanya menjadi perantara
saja. Dikutip dari Kaetânî, seorang sejarawan Itali, Islam adalah
sebagai agama secara dzahirnya saja, adapun subtansinya adalah
180_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

politik dan perekonomian. Ia berkata, ‘Salah satu dari kehebatan


pendiri agama Islam ini dan nampak kecerdasannya ia telah
mengetahui poros gerakan perekonomian dan kemasyarakatan
yang terjadi di keseharian kota Mekkah sebagai bukota H{ijâz.
Ia telah mengetahui bagaimana carannya mengambil manfaat
dari kondisi tersebut untuk menghasilkan tujuan agama dan
masyarakat yang tinggi...”.60

Lebih jauh lagi Ridhâ mencontohkan bahwa dulu ada seorang Sufi
yang selalu aktif di pasar seolah-olah ia adalah orang yang menolak
tawakal. Redaksi teksnya sebagai berikut :

“Abû H{afs ‘Umar ibn Muslim al-H{addâd, gurunya Junayd,


berkata tentang tasawuf : ‘Aku telah menyembunyikan sikap
tawakkal saya selama dua puluh tahun, ketika itu saya tidak
pernah jauh dari pasar. Saya selalu giat bekerja untuk mencari
dinar dan saya tidak pernah bermalam dalam keadaan, tidak
pernah istirahat kecuali hanya untuk ke kamar mandi. Al-Ghazâlî
(w. 505 H) berkata :’Keluar dari sunnatullah bukanlah syarat
dari tawakal. Saya menghapal ungkapan ini dari al-Ghazâlî
atau mungkin dari yang lainnya dengan redaksi ‘Tawakkal itu
bukanlah keluar dari sunnatullah’. Nampaknya redaksiyang
kedua ini lebih tepat.61
Ridhâ mengemukakan dua contoh sikap yang berada dalam dua
sisi yang kontradiktif. Di satu sisi seorang sufi itu harus mampu
mengkondisikan diri dengan lingkungan yang aktivitasnya cepat. Di
sisi lainnya juga seorang sufi tentu saja harus lebih condong kepada
tawakal kepada Allah. Namun ia mencoba mencari benang merah di
antara keduanya dengan adanya tawakkal yang berada dalam koridor
sunnatullah. Artinya aktivisme yang diusung Ridhâ dalam tasawuf
bersifat moderat tidak radikal.

Dengan jelas, walaupun kutipan di atas sebagai pandangan Barat


tentang Islam, namun Ridhâ tidak malu untuk membenarkan bahkan
langsung menganjurkan agar umat Islam memahami Islam secara utuh.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _181

Islam yang mengintegrasikan aspek dunia dan akhirat. Aktivisme dalam


bidang ekonomi dan sosial masyarakat merupakan Islam itu sendiri.

d. ‘Abduh, Ridhâ dan Organisasi Tarekat

Di antara kecenderungan neo-sufisme yang tiga di atas, mungkin


yang ke empat ini yang sulit dibuktikan, baik asumsi ini berlaku untuk
‘Abduh maupun untuk Ridhâ. Walaupun apabila kita baca ulang di setiap
buku yang membahas perjalanan spritual ‘Abduh, disebutkan ia bertemu
dengan Shaykh Darwisy Khadr. ‘Abduh juga sempat mengamalkan
tarekat al-Shâdhiliyah dan mengamalkan ritual dhikr dan ta’wîd.62
Namun tidak ditemukan adanya bukti usaha ‘Abduh dan Ridhâ berupa
syi’ar untuk mengembangkan tarekat ini agar diikuti secara masal oleh
kaum muslimin. Hal ini mungkin terjadi karena ‘Abduh lebih cenderung
kepada pemikiran dari pada ritualitas yang memang dalam masa ‘Abduh
sudah ternodai dengan adanya penyimpangan– penyimpangan berupa
tahayul, bid’ah dan khurafat. Eksplorasi terhadap akal lebih dibutuhkan
ketika masanya dari pada terbuai dengan ritual yang sebenarnya bisa
dilakukan secara privasi. Ini hanyalah asumsi penulis berdasarkan
pertimbangan data yang ada.

Pandangan lain adalah adanya saksi sejarah yang memperkuat


kesufian ‘Abduh. Dia adalah al-Qâsimî seorang ulama sekaligus sufi
pada tahun 1903. Ia selalu berkunjung ke Mesir untuk berkorespondensi
dengan ‘Abduh dan Ridhâ. Bahkan selama empat minggu al-Qâsimi
pernah sering bertemu dan mengikuti kuliah yang disampaikan ‘Abduh.63
Ini menjadi bukti kuat bahwa seorang sufi biasa ditemani oleh sufi juga.

Di dalam Tafsîr al-Manâr ketika menafsirkan surat Âli ‘Imrân (3) ayat
21 disebutkan bahwa tarekat adalah sebuah metode yang dimiliki oleh
para hukamâ’ dalam berdakwah kepada umat menuju al-Haq.64 Walaupun
di dalam penafsirannya ini makna al-Haq itu luas dan ambigu, namun al-
Haq yang hakiki adalah Allah. Penulis lebih condong menangkap arah
penafsirannya demikian.
182_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Ridhâ mengenalkan apa yang disebutnya sebagai tarekat al-Qur’an


dan Sunnah. Term ini ia kemukakan ketika menjelaskan makna al-tazkiyah
dalam surat Âli ‘Imrân (3) ayat 164. Menurut ‘Abduh al-tazkiyah adalah
metode tarekat untuk mensucikan jiwa mereka dari keyakinan-keyakinan
yang sesat, dari keraguan yang timbul karena pengaruh paganisme (al-
wathaniyyah) dan kotoran. Padahal akidah itu merupakan pondasi dari
suatu kerajaan.

Ayat ini menjelaskan tentang sosok Nabi yaang mempunyai 3 tugas.


Pertama ; sebagai seorang mu’allim dan murabbî bagi umat Islam dalam
melakukan tazkiyah dan tarbiyyah al-nufûs. Kedua; mengajarkan al-Qur’an.
Nabi mengerti bahwa kebutuhan umat Islam pada masanya adalah
terwujudnya tradisi tulis-menulis, terutama penulisan al-Qur’an. Nabi
juga mengajarkan bagaimana ia berdiplomasi dengan berbagai raja dan
penguasa dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Ketiga; mengajarkan
hikmah. Kata al-H{ikmah dalam ayat ini adalah rahasia –rahasia dari segala
sesuatu, memahami hukum, menjelaskan maslahat dari berlakunya
suatu hukum, mengajak untuk mengamalkannya. Pemahaman yang
dimaksud di sini adalah pemahaman hukum fiqih yang berbasis praktek
atau bahkan sebaliknya pengamalan yang bisa sekaligus meningkatkan
pemahaman terhadap wacana fiqih dan metodologi istidlal, dan juga
mengtahui hakikat dari penjelasan-penjelasannya.65

Jika ditelisik ketiga term ini akan menghimpun tiga aspek agama yaitu
tazkiyah mewakili aspek akidah, al-kitâb mewakili aspek syari’ah dan al-
h{ikmah mewakili aspek tarekat dan hakikat. Inilah mungkin salah satu
tipologi sederhana tentang tarekat muhammdiyyah.66

Ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 32, ‘Abduh menjelaskan


makna tarekat sebagai alat untuk membersihkan salah satu penyakit
hati, yaitu al-tamanna. al-Tamanna menurut Abduh terkadang bermakana
al-hasad (dengki). Sifat ini dilarang oleh agama, sebagai mana tersurat
dalam ayat.67 Kata al-tamanna dalam surat ini mengarah kepada
keinginan untuk memakan milik orang lain, sedangkan makan itu
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _183

menjadi penyebab kepada peperangan. Orang yang memberi ternak


makanan di wilayah perbatasan dengan tanah orang lain akan jatuh
ke dalam wilayah shak (keraguan). Sebaliknya yang menjauhinya akan
membawanya kepada kebersihan batin dari akhlak-akhlak tercela.
Tarekat, bagi ‘Abduh, menselaraskan antara aspek dzahir dan batin,
syari’at dan hakikat. Orang yang memakai tarekat dalam kejidupan
beragama akan memudahkannya dalam menjauhi larangan dan mampu
menerima bagian rizkinya dari Allah.68

e. ‘Abduh, Ridhâ dan Kesinambungan serta Perubahan

Karakteristik dan kecenderungan yang kelima ini dilihat oleh Azra


sebagai gejala yang tidak terlepas dari neo-sufisme. Menurutnya,
munculnya neo-sufisme bukan berarti paradigma lama yang dianut
oleh sufisme lama lenyap begitu saja. Tasawuf yang berlebih-lebihan
(extravagant) masih dipraktikan sejumlah orang di Mekkah sebagaimana
kita lihat dalam pengalaman SulaymÂ>n al-Maghribi.

Yang dimaksud kesinambungan dan perubahan menurut persfektif


Azra - dengan memberikan contoh – adalah mereka yang termasuk neo-
sufisme berusaha untuk mengurangi ciri-ciri escatic dan berlebihan dari
tasawuf sebelumnya dan menekankan kepatuhan pada syari’at, pada
saat yang sama mereka mempertahankan doktrin - doktrin, misalnya
Ibn ‘Arabi- dengan cara memisahkannya dari doktrin-doktrinya yang
kontoversial.

Di antara tokoh neo-sufisme yang dianggap mengintegrasikan antara


ajaran tasawuf lama dan tasawuf baru, sebagaimana dikemukakan oleh
Johns adalah Ibrahim al-Kurani. Walaupun sepintas ajarannya bisa
disimpulkan mengarah kepada doktrin-doktrin Ibn ‘Arabi, sebagaimana
tertuang dalam kitabnya Itihâf al-Dhâki. Namun sebenarnya pada saat
yang sama ia juga mengutip doktrin-doktrin tasawuf dari al-Ghazâli, al-
Qushashy bahkan Ibn Taymiyyah (w. 728 H). Lebih jauh lagi, dia tidak
mempelajari doktrin-doktrin mistikio-filosofis Ibn ‘Arabi saja, melainkan
juga ajaran-ajaran hukumnya. Sebagaimana dikemukakan, dia
184_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

mempelajari aspek yang sering diabaikan dari ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi


bukan dari seorang sufi, melainkan dari seorang ulama Mekkah terkemuka,
Zayn al-‘Âdidîn al-THabâri yang dikenal sebagai seorang muhaddits.69

Gejala yang diamati Azra pada Ibrâhim al-Kurani juga bisa dilihat
oleh penulis dengan bebarapa pertimbangan yang ada. Apabila kita
ibaratkan antara tasawuf lama dan tasawuf baru (neo-sufisme) bagaikan
dua rantai yang saling berhubungan. ‘Abduh dan Ridhâ pun demikian.
Keduannya sama-sama mengalami persentuhan langsung dengan kajian
tasawuf dan tokohnya sekaligus. ‘Abduh yang sempat masuk ke tarekat
Shadhiliyyah, Ridhâ yang telah membaca berulang-ulang kitab Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn dan bahkan mengomentarinya, bahkan di antara karyanya
ada yang khusus membahas al-Ghazâli yaitu Risâlah H{ujjat al-Islâm al-
Ghazâli.70

Keterkaitan Tafsîr al-Manâr dengan al-Ghazali tidak haya sampai


di sana saja, tetapi bersama dengan al-Râzî, al-Alûsi dan al-Naysâbûrî,
semuanya dijadikan sebagai rujukan ketika menafsirkan surat al-An’âm
(6) ayat 79. Inilah satu-satunya ayat yang diakui oleh Ridhâ dengan
gamblang sebagai tafsir dengan pendekatan isyarat yang dikutip dari
para sufi. Adapun naskahnya sebagai berikut :

“Niz}âm al-Dîn al-H{asan ib Muhammad al-Naysâbûrî


menyampaikan dua ungkapan ketika menfasirkan ayat ini.
Pertama; sesungguhnnya Ibrâhî melihat cahaya petunjuk
didalam rupa bintang, cahaya rubûbiyyah di dalam bentuk bulan,
dan cahaya hidayah dalam bentuk matahari. Ia menemukan
ungkapan pertama ini dengan sya’ir. Kedua; Ibrahim mengklaim
bahwa ketiganya berputar secara terus-menerus”.71

Selanjutnya Ridhâ mentkhrij bahwa ungkapan ini adalah ungkapan


yang disimpulkan al-Râzî dari tafsir al-Naysâbûri, kemudian ia
menambahkannya dengan takwil-takwil dari al-Ghazâlî. Penafsiran ini
lebih mendekati kajian tasawuf. Ungkapan yang kedua ini juga dikutip
oleh al-Alûsi, sedangkan yang pertama al-Alusi mengembangkanny.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _185

Menurut penafsiran al-Alûsî bintang adalah simbol ruh hewan, bulan


simbol qalbu, dan matahari simbol ruh. Ketika semuanya terbenam setelah
semuanya menampakkan wajahnya (bertajalli) dengan penampakan
cahaya Tuhan. Penafsiran yang terakhir ini agak bisa ditolerir. Tetapi
keduanya penafsiran yang batil. Nampaknya dalam ayat ini Ridhâ tidak
menerima penafsiran yang diajukan para sufi di atas.

Khusus tentang Ridhâ sebagaimana diakui oleh saudaranya, ia


dianggap sebagai wali. Ridhâ mendapatkan penghormatan yang tinggi
dari penduduk kampungnya. Mereka seringkali datang meminta
“berkahnya”.72

Di sinilah terlihat kontiunitas antara mereka dengan para sufi


sebelumnya. Sama-sama mempertahankan tradisi ulama salaf. Namun,
ketika itu juga mereka berdua mengajukan kritik yang tidak tanggung-
tangung terhadap praktek tasawuf yang menyimpang seperti yang
dilakukan oleh pengikut tarekat al-Tijâniyah.

Kesinambungan keduanya dengan tokoh neo-sufisme sebelumnya,


contohnya bisa dilihat dari pengakuan Ridhâ sendiri. Ia mengatakan
bahwa kitab -kitab yang paling memberikan manfa’at besar bagi
terwujudnya rekonsiliasi antara naql dan ‘aql adalah karya-karya Ibn
Taymiyyah (w. 728 H). Bahkan lebih tegas mengatakan bahwa hatinya
tidak tenang mengaku sebagai salaf kalau tidak mengutip langsung dari
karya-karyanya.73

Di lain tempat dan masih dari sumber yang sama Ridhâ mengatakan
bahwa barang siapa di antara para ahli ilmu dan pengetahuan yang
ingin mengutip hikmah dari perkataan para sufi, mengamalkan Sunnah
dan mengikuti para salaf hendaknya merujuk kepada kitab Madârij al-
Sâlikîn (Tahapan para salik) yang ditulis oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
Kitab ini merupakan syarah atas kitab Manaâzil al-Sâirîn (Tingkatan para
pejalan) yang disusun oleh al-Harâwî al-Anshârî. Di dalam kitab yang
pertama ini banyak disingguhg tentang ajaran-ajaran tasawuf yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.74
186_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Sebenarnya rantai neo-sufisme ini, sebelum diproyeksikan ke Ibn


Taymiyyah dan Ibn Qayyim, juga pantas diarahkan ke Ibn H{azm.
Bahkan ia telah melakukan reformassi agama sebelum keduanya.

Kesinambungan ini sebenarnya merupakan syarat mutlak bagi


semua sufi klasik juga, bahkan mereka mewajibkannya. Para sufi yang
dianggap telah berbuat bid’ah saja mengakui hal tersebut. Semuanya
berpandangan bahwa sumber dari tasawuf adalah mengikuti al-Qur’an
al-Sunnah dan ulama salaf.75

D. Kesimpulan
Data-data di atas merupakan argumen-argumen yang penulis
kumpulkan dari berbagai sumber sebagai acuan dasar dalam
mengajukan status kedua penulis Tafsîr al-Manâr sebagai neo-sufisme
pada era-modern ini. Argumentasi-argumentasi di atas tentu saja belum
sepenuhnya benar dan belum cukup. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang diskursus tersebut. Pengaruh ‘Abduh, Ridhâ dan Tafsîr al-Manâr
yang begitu luas di dunia Islam kiranya merupakan faktor utama yang
memperkuat dugaan penulis tentang kesufian mereka.

Revitaslisasi teori neo-sufisme juga akan memberikan kesadaran


bahwa nilai tasawuf sudah menjadi konsumsi tidak hanya untuk
kalangan tradisional saja, tetapi juga kalangan urban modern. Sehingga
diharapkan akan terwujudnya pribadi qur’ani yang toleran dan
menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan kepada semua kalangan.

Oleh karena itu perlu dikembangkan kembali konsep tasawuf modern


yang pernah diusung oleh Hamka sebagai kebutuhan masyarakat
modern terhadap aspek spiritual. Konsep tasawuf dalam magnum opus-
nya Rashîd Ridha, Tafsîr al-Manâr, juga belum disosialisasikan secara
lebih luas.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _187

Daftar Pustaka

Abd al-‘Iyâl, Isma’il Sâlim, Ibn Al-Kathîr wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Awl


al-Haram: Maktabah Fayshal al-Islâmiyyah, 1984.
Abû-Zayd, Nashr Hâmid. “The Dilemma of the Literary Approach to
the Qur’an.” Alif: Journal of Comparative Poetics, Literature and the
Sacred, no. 23, (2003) : 9.
Ahmad Badri Abdullah, Mohd Anuar Ramli, Mohammad Aizat
Jamaludin, Syamsul Azizul Marinsah and Mohd Roslan Mohd
Nor, “Postmodernism Approach in Islamic Jurisprudence
(Fiqh).” Middle-East Journal of Scientific Research 13,no.1 (2013) :
34.
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002
------------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, 2002.
al-Bannâny, Ahmad bin Muhammad, Mawqif al-Imâm Ibn Taymiyyah min
al-Tashawwuf wa al-Shûfiyah, Makkah: Jâmi’ah Ummu al-Qura,
1992.
al-Dzahaby, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, ttp: tth, juz
ke-2
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir diterjemahkan dari buku Madzâhib
al-Tafsîr al-Islâmi oleh M. Alaika Salamullah dkk., Yogyakarta:
eLSAQ Press, tt.
Hamidah “Gerakan Petani Banten.” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman 17,
no. 2 (Desember 2010).
Ibn ‘Abd al-Halîm, Taqiy al-Dîn Ahmad, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr,
Beyrût : Dâr Ibn al-Hazm, 1997.
Johnston, David ” A Turn in The Epistemology and Hermeneutics of
Twentieth Century Ushûl Fiqh .“ Islamic Law and Society 11, no.
2 (2004) : 233.
188_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Jonker, Gerdien. “The Transformation of a Sufi Order into a Lay


Community : The Suleyman Movement in Germany and
Beyond”, in European Muslims and the Secular State by Jocelyne
Cesari and Sean McLoughlin (ed), (USA and UK: Ashagate, 2005
Keener, R. Michael. “Indonesian Movements for the Creation of a
‘National Madhhab.’” Islamic Law and Society 9, no. 1 (2002) : 96.
(Diakses 30-04-2014).
Lauzière, Henri. ”Post-Islamism and the Religious Discourse of ʿAbd al-
Salam Yasin.” International Journal of Middle East Studies 37, no.
2 (May 2005) : 255. (Diakses 30-04-2014)
Maclean, Derryl N, Religion and Society in Arab Sind, Leiden: E.J. Brill,
2006.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat, 2008.
---------------, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf dan
Peradaban, 1995.
Malamud, Margaret. “Sufi Organizations and Structures of Authority
in Medieval Nishapur.” USA : Int. J. Middle East Stud. 26 (1994)
Mohmd Nor, Wan Salim Wan. “A Study of Development of Reformist
Ijtihad and Some of Its Aplication in The Twentieth Century.”
UK : Ex Bibl University of Edinburgh, tt. Buku ini merupakan
disertasi penulisnya untuk mendapatkan gelar Ph.D.
Mushthafa, Muhammad Hilmy, Ibn Taymiyyah wa al-Tashawwuf, Al-
Qâhirah : Dâr al-Jawzy, 2005.
Rabbani, Capt. Wahid Bakhs, Sufisme Islam, Jakarta: Shara Publisher,
diterjemahkan dari buku Islamic Sufism oleh Burhan
Wirasubrata, 1984.
Ramadan, Tariq, Western Muslims and The Future of Islam, Oxford and
New York: Oxford University Press, 2004.
Rashîd Ridhâ, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, Bayrût: Dâr al-Kutub al –
‘Ilmiyyah, 1999.
Shafîq, Shaikh Zuhair, al- Kabîr, Beyrût: Dâr al-Fikr, 1993.
Shabry, al-Mutawalliy, Manhaj Ibn Taymiyyah fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm,
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _189

al-Qâhirah: ‘Ali al-Kutub, 1981.


Shihab, M. Quraish. Rasionalitas Dalam al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsîr
Manâr. Jakarta : Lentera Hati, 1996.
al-Sirry, Mun’im A. Reformist Muslim Aproaches to The Polemic of The
Qur’an Againts Other Religion. Chicagho : Illionis, 2012.
Sirriyeh, Elizabeth. ” Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking and
Rejection of Sufism in the Modern W orld.” Reviewed by Gavin
Picken. British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 30, No. 2
(Nov., 2003)
al-Shahhâtah, Abd Allah Mahmûd. Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî
Tafsîr al -Qur’’an al-Karîm, ttp: tth
Thahhân, Mahmûd, Taysîr Mushthalâh al-Hadîts, Beyrût: Dâr al-Fikr, tth.
Weismann, Itzchak. “Between Ṣūfī Reformism and Modernist
Rationalism : A Reappraisal of the Origins of the Salafiyya from
the Damascene Angle.” Die Welt des Islams, New Serie 41, Issue
2 (Jul. 2001).
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta:Pustaka Pirdaus, 2000.
Yasid, Abu, Nalar dan Wahyu, Jakarta: Penerbit Relangga, 2000
190_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

Endnotes

1. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban , Jakarta : Dian Rakyat, 2008, h.


80-81.

2. Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama, 2002, 125, h. 194.

3. Lihat juga Elizabeth Sirriyeh,” Sufis and Anti-Sufis: The Defence, Rethinking
and Rejection of Sufism in the Modern W orld,” Reviewed by Gavin Picken.
British Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 30, No. 2 (Nov., 2003), h. 262.

4. Lihat Tariq Ramadan, Western Muslims and The Future of Islam , Oxford and
New York : Oxford University Press, 2004, h. 117.

5. Fazlur Rahman adalah pemikir muslim kenamaan yang wafat pada 26 Juli
1988. Dia dilahirkan di Pakistan tahun 1919, dan menyelesaikan pendidikan
tingginya di Universitas Oxford. Dengan diseratsi mengenai filsafat Ibnu
Sina. Pernah mengajar di Universitas Durham, Inggris, Mcgill, Kanada dan
juga pernah menjabat Direktur Riset Islam di Pakistan (1962-1969). Dan
terakhir menjadi guru besar di Universitas Chicago dalam bidang Pemikiran
Islam sampai wafatnya. Diantara karya-karyanya Prophecy in Islam (1958),
Islamic Methodology in History (1965), Islam (1968), Major Themes of The Qur’an
(1980), Islam and Modenity (1982) dan terakhir Health and Medicine in the Islamic
Tradition (1987). Lihat Fazlur Rahman, “Beberapa Pendekatan Dalam Kajian
Atas Islam : Suatu Tinjauan Kritis.” Jurnal Ulumul Qur’an 3, no. 2 (1991) : 34.
Dalam kancah penafsiran, menurut kesimpulan Abdul Mustaqim, Rahman
termasuk ke dalam kelompok mufasir era-reformatif yang beraliran
neo-modernis dan liberalis. Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer (Yogyakarta : LKiS, 2011), 108. Lihat juga Vincent J. Cornell,
“Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idris and the Idrisi Traditionby R. S. O’Fahey,”
International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 1 (Feb., 1993) : 170,
http://www.jstor.org/stable/164191 (accessed June 25, 2014).
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _191

6. Michael Laffan, “From Alternative Medicine to National Cure : Another


Voice for the Sûfî Orders in theIndonesian Media,” Archives de sciences
sociales des religions, 51e Annee, No. 135, Reveils du soufisme enAfrique et
en Asie: Translocalite proselytisme et reforme (Jul. - Sep., 2006) : 97, http://
www.jstor.org/stable/30122872 (accessed June 30, 2014).

7. Haramayn dianggap sebagai pusat berkumpulnya umat Islam dari penjuru


dunia. Para ulama, sufi, praktisi hukum, filosof, seniman dan pakar
sejarah bertemu untuk saling bertukar informasi. Sementara dipihak lain,
Kairo, ketika itu sebagai pusat pergerakan keagamaan dan fondasi utama
perkembangan kebudayaan, sebagaimana dideklarasikan oleh Zakaria
Mohieddin, Perdana Mentri Mesir. Lihat Ahmad N. Amir, Abdi O. Shuriye
and Jamal I. Daoud, “Muhammad Abduh’s Influence in Southeast Asia.”
Middle-East Journal of Scientific Research 13 (Mathematical Applications in
Engineering) (2013) : 125, http://irep.iium.edu.my/30714/ (accesed May 05,
2014).

8. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII & XVIII M, 121. Teori neo-sufisme yang digagas Fazlur Rahman
ini perlu dikritisi ketika menempatkan Ibn Taymiyyah dijadikan tokoh
pertama aliran ini. Berdasarkan penelusuran pada masa al-Sulami, teks-teks
sufi memusatkan hadits sebagai kurikulum yang dipelajari di madrasah-
madarasah. Bahkan ia menulis kitab hadits Arba’ûn Hadîthan fi al-Tashawwuf.
Lihat Margaret Malamud, “Sufi Organizations and Structures of Authority
in Medieval Nishapur”, USA : Int. J. Middle East Stud. 26 (1994), 431. Printed
in the United States of America Cambridge University Press, h. 431.

9. Lihat kembali Bab I, h. 7.


10. M. Quraish Shihâb, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsir al-Manâr,
85.

11. Hadits mursal ini ditandai dengan redaksi “Nabi berkata” namun yang
mengucapkannya adalah tabi’in besar. Jadi sanad terputus pada Thabaqah
sahabat. Lihat Jalâl al-Dîn al-SuyûThî, Tadrîb al-Râwi, Bayrût : Dâr al-Fikr,
2006, h. 124.
192_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

12. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VI, h. 188.


13. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid XI, h. 368.
14. Ahâd adalah bentuk jamak dari kata ahad yang artinya seorang (al-wâhid).
Hadits Ahâd secara bahasa artinya hadits yang diriwayatkan oleh seorang
rawi. Secara istilah adalah hadits yang tidak sampai derajat syarat-syarat
hadits mutawatir. Lihat Mahmûd THahhân, Taysîr Mushtalah al—Hadîts,
Bayrût: Dâr al-Fikr, tt, h. 21.

15. Lihat Abd Allah Mahmûd al-Shahhâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh
fî Tafsîr al -Qur’’an al-Karîm, h. 129.

16. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, h. 122.

17. Derryl N . Maclean, Religion and Society in Arab Sind, Leiden : E.J. Brill, 2006),
h. 97,110.

18. Lihat Taqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr,
Bayrût : Dâr Ibn al-Hazm, 1997, h. 48-70.

19. Shabry al-Mutawalliy, Manhaj Ibn Taymiyyah fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, al-
Qâhirah : ‘Âli al-Kutub, 1981, h. 80-81.

20. Lihat kembali h. 6.


21. Di dalam kitabnya Risâlat al-Tawhîd, disebutkan ia hanya menerima hadits
mutawatir saja untuk menjadi hukum yang qat’i. Lihat Daniel Brown,
Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought , UK and USA : Cambridge
University Press, 1996, h. 37.

22. Untuk relasi antara kedua lihat Massio Campanini, “Qur’an and Science : A
Hermeneutical Aproach,” Journal of Qur’anic Studies VII, no. 1(2005) :h. 48.

23. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 497.


24. Ingkar-sunah adalah gejala–gejala ketidakpedulian terhadap hadits, bahkan
menolak hadits dijadikan sebagai sumber syari’at Islam. Lihat Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2000, h. 39.
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _193

25. Lihat Surat al-Furqân ayat 8.


26. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 502-503.
27. Isma’il Sâlim Abd al-‘Iyâl, Ibn Al-Kathîr wa Manhajuhu fî al-Tafsîr, Awl al-
Haram: Maktabah Fayshal al-Islâmiyyah, 1984, Cet ke-1, h. 452.

28. Lihat kembali footnote nomor 73.


29. Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir diterjemahkan dari buku Madzâhib al-Tafsîr
al-Islâmi oleh M. Alaika Salamullah dkk, Yogyakarta: eLSAQ Press, tt, h. 411.

30. M. Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VII, h. 121.


31. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, h. 49.
32. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid XI, h. 450.
33. Abu Yasid, Nalar dan Wahyu, Jakarta : Penerbit Relangga , 2007, h. 87.
34. Shaikh Zuhair Shafîq, al- Kabîr (Beyrût : Dar alFikr, 1993), 11. Penjelasan
tentang pandangan umum, dan kritik Ibnu Taymiyyah dirangkum khusus
dalam buku karya Ahmad bin Muhammad al-Bannâny , Mawqif al-Imâm
Ibn Taymiyyah min al-Tashawwuf wa al-Shûfiyah, Makkah: Jâmi’ah Ummu al-
Qura, 1992. Lihat juga Mushthafa Muhammad Hilmy, Ibn Taymiyyah wa al-
Tashawwuf, Al-Qâhirah : Dâr al-Jawzy, 2005, h. 37.

35. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf dan
Peradaban, 1995, h. 257-258.

36. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, h. 136.

37. Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 508.


38. Muhammad Husayn al-Dzahabî,al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, h. 517.
39. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imam ‘Abduh fi Tafsîr al-Qur’an al-
Karîm, h. 222.

40. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imam ‘Abduh fi Tafsîr al-Qur’an al-
Karîm, h. 225.
194_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

41. Abd Allah Mahmûd Shahâtah, Manhâj al-Imâm ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’an al-
Karîm, h. 225.

42. Henri Lauzière, ”Post-Islamism and the Religious Discourse of ʿAbd al-
Salam Yasin”, International Journal of Middle East Studies 37, no. 2 (May
2005) : 255. (Diakses 30-04-2014)

43. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 11.


44. David Johnston, ”A Turn in The Epistemology and Hermeneutics of
Twentieth Century Ushûl Fiqh, “ Islamic Law and Society 11, no. 2 (2004) : h.
233.

45. Ahmad Badri Abdullah, Mohd Anuar Ramli, Mohammad Aizat Jamaludin,
Syamsul Azizul Marinsah and Mohd Roslan Mohd Nor, “Postmodernism
Approach in Islamic Jurisprudence (Fiqh).” Middle-East Journal of Scientific
Research 13, no.1 (2013) : 34. Korelasi antara ‘Abduh, ijtihad dan pengaruhnya
terhadap hukum Islam Indonesia lihat. R. Michael Keener, “Indonesian
Movements for the Creation of a ‘National Madhhab’” Islamic Law and
Society 9, no. 1 (2002) : 96. (Diakses 30-04-2014). Lihat juga Ahmad N. Amir,
Abdi O. Shuriye and Jamal I. Daoud, “Muhammad Abduh’s Influence in
Southeast Asia.” Middle-East Journal of Scientific Research 13 (Mathematical
Applications in Engineering) (2013) : 124, http://irep.iium.edu.my/30714/
(accesed May 05, 2014).

46. Hamidah “Gerakan Petani Banten,” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman 17, no.
2 (Desember 2010).

47. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, h. 147.

48. Hamidah “ Gerakan Petani Banten,” Ulumûna : Studi Jurnal Keislaman, h. 327.
49. Gerdien Jonker, “The Transformation of a Sufi Order into a Lay Community
: The Suleyman Movement in Germany and Beyond”, in European Muslims
and the Secular State by Jocelyne Cesari and Sean McLoughlin (ed), (USA
and UK : Ashagate, 2005), 169. Untuk data tentang keberhasilan neo-
sufisme dalam pendidikan lihat juga Stefan Reichmuth, “Arabic Literature
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _195

and Islamic Scholarship in the 17th/18th Century: Topics and Biographies


: Introduction,” Die Welt des Islams, New Series, Vol. 42, Issue 3, Arabic
Literature and IslamicScholarship in the 17th/18th Century: Topics and
Biographies (2002): 285, http://www.jstor.org/stable/1571416 (accessed June
25, 2014).

50. Capt. Wahid Bakhs Rabbani, Sufisme Islam (Jakarta : Shara Publisher, 1984),
diterjemahkan dari buku Islamic Sufism oleh Burhan Wirasubrata, 68. Neo-
sufism dianggap membawa pengaruh untuk gerakan perlawanan kolonial
dan menjadi pionir dalam revolusi sosial lihat R. S. O’Fahey, “ Islam and
Ethnicity in the Sudan,” Journal of Religion in Africa, Vol. 26, Fasc. 3 (Aug.,
1996) : 260, .http://www.jstor.org/stable/1581645 (accessed June 25, 2014).

51. Lihat juga usahanya dalam metodologi tafsir, lihat Yvonne Yazbeck Haddad,
“ An Exegesis of Sura Ninety-Eight,” Journal of the American Oriental Society
97, no. 4 (Oct. - Dec., 1977) : 525. http://www.jstor.org/stable/598634, (accessed
June 30, 2014). Lihat juga Alexander Knysh, “Sufism as an Explanatory
Paradigm : The Issue of the Motivations of Sufi Resistance Movements in
Western and Russian Scholarship.” Die Welt des Islams, h. 142.

52. Lihat kembali biografi ‘Abduh dan Ridhâ


53. Wan Salim Wan Mohmd Nor, “A Study of Development of Reformist Ijtihad
and Some of Its Aplication in The Twentieth Century,” UK : Ex Bibl University
of Edinburgh, tt) 290-291. Buku ini merupakan disertasi penulisnya untuk
mendapatkan gelar Ph.D. Lihat juga Philip K. Hitti, History of The Arabs,
Jakarta : Serambi, 2010, h. 966. Diterjemahkan dari buku History of The Arabs
: From The Earliest Times to The Present.

54. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 12.


55. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid I, h. 14.
56. Nashr Hâmid Abû-Zayd and, “The Dilemma of the Literary Approach to the
Qur’an,” Alif : Journal of Comparative Poetics, Literature and the Sacred, no. 23
(2003): h. 9. Lihat juga Itzchak Weismann, “Between Ṣūfī Reformism and
Modernist Rationalism: A Reappraisal of the Origins of the Salafiyya from
196_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014

the Damascene Angle,” Die Welt des Islams, New Serie 41, Issue 2 (Jul. 2001)
: h. 233.

57. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, h. 23.

58. Muhammad Abduh, Risâlah al-Tawhîd , diterjemahkan oleh KH. Firdaus,


A.N., h. 20.

59. Wan Salim Wan Mohmd Nor, A Study of Development of Reformist Ijtihad and
Some of Its Aplication in The Twentieth Century, h. 293.

60. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid XI, h. 23.


61. Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr , jilid IV, h. 173.
62. Lihat kembali hal 46. Lihat juga Abdullah Mahmûd Shahhâtah Manhaj al-
Imâm Muhammad ‘‘Abduh. Qâhirah : Nashr al-Rasâil al-Jami’iyyah, 8-9. Lihat
juga John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World , h. 11.

63. Mun’im A. Sirry, Reformist Muslim Approaches to The Polemic of The Qur’an
Againts Other Religion (Chicagho : Illionis, 2012), 22. Nama lengkap al-
Qâsimî adalah Jamâl al-Dîn bin Muhammad Sa’îd bin Qâsim bin al-Hallâq.
Seorang ahli sastra dari Shâm. Merupakan cicit Nabi dari Husayn. Karyanya
dalam tafsir adalah Mahâsin al-Ta’wîl.

64. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid III, h. 216. Lihat teksnya dalam
lampiran.

65. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid IV, h. 183.


66. Lihat kembali BAB III, h. 67, nomor footnote 87.
67. Redaksi ayat tersebut adalah : Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/
öNä3ŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh =Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$#
( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«ó™ur ©!$# `ÏB
ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ

“And In no wise covet those things In which Allah hath bestowed His gifts
Melacak Akar Neo-Sufisme Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rashîd Ridhâ _197

more freely on some of you than on others: to men is allotted what They
earn, and to women what They earn: but ask Allah of His bounty. for Allah
hath full knowledge of all things”.
68. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid V, h. 47.
69. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, h. 157-158.

70. Lihat kembali biografi keduanya. Untuk hubungan antara Ridhâ dengan
tasawuf lihat Albert Hourani, Rashîd Ridhâ and The Sufi Orders : A Footnote
to Laoust,” Bulletin d’ Etudes Orientales, T.29 Melanges Offerst a Henry Laost
Volume Preimer (1997),http://www.jstor.org/stable/41604620 (accessed June
30, 2014).

71. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid VII, h. 476.


72. M. Quraish Shihâb, Rasionalitas Al-Qur’an : Studi Kritis Atas Tafsîr al-Manâr,
h. 75.

73. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid I, h. 211.


74. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid X, h. 330.
75. M. Rashîr Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid XI, h. 450.
198_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413

Pedoman Transliterasi
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012 Ketentuan Tulisan _199

A. Ketentuan Tulisan

1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf,


dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait
pengembangan masyarakat Islam lainnya.
2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font
Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17
halaman dengan spasi satu setengah.
3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika
sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords .
Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan.
Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut
dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.
4. JUDUL
a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak
melebihi 18 kata.
b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan
alamat e-mail dicetak di bawah judul.
c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa
(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata)
ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf
miring.
d. Tulisan menggunakan endnote
e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama
pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:
• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang
pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota
Penerbit: Penerbit.
• Untuk karangan dalam buku dengan banyak
kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul
Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
200_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.I 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415

Penerbit: Penerbit. Halaman.


• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama
Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah,
Volume (Nomor): Halaman.
• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang.
Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ).
Tanggal mengakses karangan tersebut.
5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan
Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya
sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel
dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar
tersendiri dengan kualitas yang baik.
6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang
dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah
tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/
flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam
(jurnalbimas@yahoo.co.id).

You might also like