Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

PENDIDIKAN ISLAM ERA KOLONIAL (BELANDA DAN JEPANG)

ISLAMIC EDUCATION IN THE COLONIAL ERA (NEDERLANDS AND JAPAN)

Muhamad Isnaeni
mohamadanis17@gmail.com
Program Pascasarjana
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
2018

Abstract
The point of Islamic teaching is tauhid or the statement of monotheism that Allah (The
Almighty and Most Worthy Of Praise) is the one. Beside than that, tauhid is also a view that
sees the whole word as a whole, through and harmonious which eliminates every dichotomies
guided by the some God’s direction. From history view, Islam arises in the midlle of mess
society which is marked by the direction of humanity. The raise of Islam among Arabic society
not only to convey the tauhid which teaches monotheism of God to be worship, but also to free
the human from oppression, ignorance, slavery, and discrimination of social structure in Arabic
Jahiliyah society. One of the way Islam to make a freedom is through education. Through the
education Islam reach the golden age in the Umayyah Dynasty and Abbasiyah. Continuousiy,
Islamic education methamorphosed from the simplest one for instance in Baitul Arqam as a
house from one of the companion in Mecca Periode. This education that inspired Ulama
Nusantara to fight oppression in the colonial era. Through education departments. Islam succed
spreading the spirit of nationalism in religious way, the high pressure from colonial can not
destroy those department. Instead it grows massively just like fungun in rainy season. This
factor which makes colonial government have Islamic expert to study for, than stopping
muslims action against colonialism.

Keyword : Islamic Education, Colonial era, Islamic Education Departement.

Abstrak
Pokok ajaran Islam adalah tauhid atau pernyataan monoteisis bahwa Allah SWT itu esa. Selain
itu, tauhid juga merupakan pandangan yang melihat seluruh dunia secara utuh, menyeluruh,
dan harmonis yang menghapuskan segala dikotomi dibimbing oleh tujuan ilahi yang sama.
Dari segi historis, Islam hadir di tengah masyarakat yang kacau yang ditandai dengan
menipisnya penghargaan manusia pada nilai – nilai kemanusiaan. Kehadiran Islam di tanah
Arab selain merupakan risalah Tauhid yang berisi peng-esa-an Tuhan sebagai sesembahan
tunggal juga disisi lainnya, dapat dipandang bahwa kehadiran Islam ditengah masyarakat Arab
jahiliyah juga sebagai awal lahirnya risalah pembebasan manusia dari ketertindasan,
kebodohan, perbudakan dan diskriminasi struktur sosial di masyarakat Arab Jahiliyah. Salah
satu jalan Islam melahirkan pembebasan adalah melalui pendidikan. Melalui pendidikan inilah
Islam mencapai masa kejayaannya pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Berturut – turut
pendidikan Islam bermetamorfosis dari yang paling sederhana seperti di Baitul Arqam sebagai
rumah dari salah seorang sahabat pada periode Mekah. Kiranya pendidikan ini pulalah yang
menginspirasi para ulama Nusantara untuk bergerak melawan penindasan pada era kolonial.
Melalui lembaga – lembaga pendidikannya, Islam berhasil menebarkan semangat nasionalisme
berlatar keagamaan. Tekanan yang berat dari penguasa kolonial tidak membuat lembaga –
lembaga tersebut punah. Tetapi justru tumbuh semakin masif bak cendawan di musim hujan.

1
2

Faktor ini pula lah yang membuat pemerintah kolonial Belanda harus menugaskan seorang ahli
ke-Islaman untuk meneliti untuk kemudian menghentikan aksi umat Islam melawan
penjajahan.

Kata Kunci : Pendidikan Islam, Era Kolonial, Lembaga Pendidikan Islam.

Pendahuluan
Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan menjadi prioritas utama dalam
masyarakat muslim. Disamping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi
mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam meski dalam bentuk yang sederhana.
Sebagai contohnya; sistem pengajaran yang mengggunakan konsep halaqah yang dilakukan
ditempat-tempat peribadatan seperti masjid, mushalla atau di rumah-rumah para ulama.
Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan Islam tersebut memang tidak langsung
dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang, karena justru dari proses kolonialisasi itulah
umat Islam mendapatkan pengaruh baik itu dari segi kurikulum maupun sistem. Pada masa
awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat pengembangan
dan transfer ilmu pengetahuan maupun kegiatan lainnya, baik itu kegiatan keagamaan, maupun
kegiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan Pendidikan Islam yang berlangsung di masjid di satu
sisi memang memberikan efek yang signifikan terhadap masyarakat dan menjadi harapan yang
besar agar masjid dapat menjadi titik awal perkembangan masyarakat muslim yang lebih baik.
Pendidikan Islam Indonesia pun sebetulnya telah menghasilkan produk lembaga yang
orisinil seperti pesantren, yang pada kelanjutannya banyak yang mengadopsi prinsip – prinsip
penyelenggaraan lembaga Pendidikan ala barat. Salah satu contoh sederhananya adalah metode
klasikal dengan ketentuan jenjang usia pada madrasah.
Masa awal pengembangan Islam di Indonesia menghasilkan produk lembaga khasnya
sendiri yaitu pesantren. Lembaga pesantren merupakan hasil pengadopsian lembaga keilmuan
ala hindu – budha, tentunya dengan menghadirkan nuansa Islami, lain halnya dengan
masyarakat Minangkabau yang mengambil alih surau sebagai peninggalan adat menjadi
lembaga Pendidikan Islam, demikian pula masyarakat aceh menghadirkan meunasah sebagai
lembaga Pendidikan Islam.
Pada masa kolonial, Belanda menghadirkan lembaga Pendidikan sekular yang tidak
memberikan penekanan pada aspek pengetahuan keagamaan. Hal ini dapat dipahami karena
motivasi awal berdirinya lembaga pendidikan ala barat di Indonesia bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pemerintah Belanda terhadap pegawai yang terampil di bidang pemerintahan.
Meskipun bersifat sekular, harus diakui bahwa metode, dan kurikulum yang diterapkan
3

lembaga pendidikan ala Barat pada saat itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan metode
yang diterapkan oleh lembaga Islam tradisional.
Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan Islam Indonesia mendapat ruang yang
cukup untuk dapat berkembang meskipun pengawasan yang lumayan ketat. Jepang sadar
bahwa Indonesia dihuni oleh masyarakat muslim dengan jumlah yang masif. Jepang berusaha
mendekati para ulama salah satunya adalah dengan membuat departemen agama yang
membawahi lembaga Pendidikan Islam, hal ini tidak lepas dari usaha Jepang yang berusaha
mempropagandakan Jepang sebagai pemimpin Asia, dan berusaha semaksimal mungkin untuk
meraih simpati masyarakat Indonesia agar membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Pendidikan Islam pada dua periode penjajahan ini menjadi penting untuk dikaji mulai
dari kondisi, peran, serta penyelenggaraannya. Sebagai upaya untuk mengetahui bagaimana
pendidikan Islam pada masa itu.

A. Pendidikan Islam Pada Masa Kolonial Belanda


Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dengan jalan perdagangan, kemudian
dengan kekuatan militer. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan
teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk
kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka
memperkenalkan sistem danmetode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang
dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika
mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan
pendidikan itu adalah westernisasi dari Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan
Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia
selama ± 3,5 Abad1.
Terdapat dua periode kebijakan Pendidikan di zaman kolonial Belanda, Pertama
periode awal dibawah kekuasaan VOC (Kongsi dagang Belanda), Kedua, Periode dimana
Indonesia dibawah kekuasaan langsung pemerintah Belanda setelah VOC mengalami
kebangkrutan. Periode pertama dimana pendidikan tidak begitu diperhatikan karena
memang VOC berbentuk yang berbentuk perusahaan berusaha mencetak laba sebesar –
besarnya dan tidak peduli pada pendidikan, baru menjelang keruntuhannya VOC sedikit
memberikan perhatian bagi pendidikan. Periode kedua ditandai dengan mulainya
pemerintah Hindia Belanda mencampuri urusan pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan

1
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; BumiAksara, 2015), Cet Ke-XV,h.146
4

politik etis yang berimplikasi pada penyebaran pendidikan sekuler yang disisi lain justru
menekan peran lembaga pendidikan Islam.

1. Kebijakan Belanda Terhadap Pendidikan Islam


Sikap pemerintah kolonial terhadap pendidikan Islam dapat dilihat dari
kebijakan – kebijakannya yang cenderung diskriminatif, dikotomis dan represif. Karena
pada kenyataanya Belanda memandang Islam sebagai sebuah ancaman bagi
kolonialisme yang mereka pertahankan secara membabibuta.
Sikap diskriminatif tergambar jelas dari upaya Belanda untuk mendirikan
sekolah berdasarkan stratifikasi sosial. Untuk kaum bangsawan/anak raja, bupati, dan
tokoh – tokoh terkemuka didirikan sekolah raja (Hofdenschool) pada tahun 1865 dan
1872 di Tondano. Kemudian pada tahun 1878 didirikan pula Hofdenschool di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo. Selain itu Belanda juga mendirikan sekolah angka satu (de
Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak – anak pemuka, tokoh – tokoh terkemuka, dan
orang – orang terhormat bumiputra. Adapun untuk rakyat pribumi biasa didirikan
sekolah dasar kelas dua (de Schoolen de Tweede Klasse) yang sering dikenal dengan
ongko loro2. Hal ini di satu sisi cukup menggembirakan bagi masyarakat pribumi,
namun disisi lain ditolaknya usulan untuk memasukkan pendidikan agama Islam
merupakan hal yang buruk bagi negara yang penduduk mayoritasnya muslim.
Kebijakan ini diambil karena menyesuaikan dengan sikap pemerintah kerajaan
Belanda yang tidak mau mencampuri urusan agama. Meskipun pada kenyataannya
pemerintah Belanda tidak benar – benar netral karena disaat yang sama di Minahasa
dan Maluku terdapat sekolah yang didirikan dan dikelola oleh zending tetapi
mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial Belanda. Padahal sama seperti lembaga
pendidikan Islam (di Jawa, Sumatera, dan daerah – daerah lain) sekolah ini hampir 100
persen memusatkan diri pada pendidikan agama Kristen3.
Sikap diskriminatif kebijakan pemerintah Belanda yang lain adalah dengan
membagi sekolah berdasarkan ras dan keturunan, seperti berdirinya Europeeche Lagere
School (ELS) untuk anak – anak Eropa, untuk anak – anak keturunan Cina didirikanlah
Hollandsh Chinese School, untuk kalangan ningrat pemerintah membuka Hollandsh

2
Nata, Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 280
3
Saridjo, Marwan., Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap
Pendidikan Islam, (Bogor: Al-Manar Press, 2011), Cet. Ke-II, h. 49
5

School atau sekolah Bumiputra, dan untuk anak – anak pribumi kebanyakan disediakan
Inlandsch School.
Kebijakan yang sama juga ditunjukan Belanda dalam hal anggaran sekolah
untuk anak – anak Eropa mendapatkan anggaran dua kali lebih besar dari sekolah
bumiputra padahal memiliki jumlah murid yang lebih sedikit.
Sebuah laporan pada tahun 1909 misalnya menyatakan, bahwa pada sekolah
bumiputra terdapat 162.000 siswa. Adapun pada sekolah Eropa hanya 25.000 siswa.
Tetapi sangat ironis, anggaran yang dialokasikan pada sekolah Eropa ternyata 2 kali
lipat daripada anggaran untuk sekolah bumiputra4.
Belanda juga melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap pendidikan
Islam. Hal ini diperlukan sebagai upaya untuk menghambat, atau bahkan menghalangi
upaya – upaya umat Islam untuk melakukan kegiatan pendidikan. Kebijakan Belanda
menjadikan sekolah – sekolah umum menjadi sekolah yang sekuler adalah
pengejewantahan dari upaya mereka untuk tetap berkuasa di Indonesia dengan
menjadikan sektor pendidikan sebagai kaki tangan dari penguasa.
Maka pada dasarnya meskipun Belanda mempekerjakan alumni – alumni
sekolah umum pribumi pekerjaannya puntidak lebih dari pegawai rendahan. Pendidikan
bagi pribumi yang dijalankan setengah hati juga ditunjukan dengan mengurangi
kesempatan belajar di jenjang yang lebih tinggi bagi pribumi.
Selain itu, dalam usaha untuk membatasi kesempatan belajar itu, maka
pemerintah memberlakukan pula persyaratan – persyaratan tertentu, sehingga dari
beberapa segi diduga memberatkan bagi murid golongan pribumi. Barangkali data
lulusan murid – murid tahun 1940 dapat memperkuat keabsahan itu. Dari 21.255
sekolah dasar dengan jumlah murid 88.233 orang, ternyata yang lulus hanya 7.790
orang yaitu sekitar 8,5% saja5.
Pendidikan Islam berusaha di hambat dengan terbitnya peraturan tahun 1905
yang berisi bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus meminta izin
terlebih dahulu kepada pemerintah dan isi dari pengajian tersebut juga ikut disensor
pemerintah.
Hal ini diperparah dengan aturan tahun 1932 yang isinya dapat memberantas
sekolah atau madrasah yang tak berizin, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai

4
Nata, Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam…………….., h. 281
5
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi
dari Era Nabi SAW Sampai Ulama Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 345
6

pemerintah yang dikenal dengan ordonasi luar sekolah (Wilde School Ordonatie).
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalis-Islam yang marak pada
awal 1900-an. Selain bertujuan meredam gerakan nasionalis-Islam, peraturan ini juga
ditujukan untuk lingkungan penyebaran agama Kristen yang pada saat itu selalu
mendapat reaksi dari rakyat serta menghalangi masuknya pelajaran agama Islam di
sekolah umum yang tentu saja pada saat itu mayoritas muridnya beragama Islam.
Kebijakan lain yang diambil oleh Belanda untuk menghambat umat Islam
adalah dengan melarang orang muslim berada di lingkungan agama lain lebih dari 24
jam.
Umat Islam diikat dengan berbagai macam peraturan dalam menjalankan
ibadahnya dan bahkan tidak memberi kesempatan untuk berpolitik. Sebagai ilustrasi,
pada 1810, Deandels mengeluarkan dekrit yang memerintahkan agar para kiyai yang
melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain harus membawa surat jalan.
Peraturan ini dimaksudkan untuk mengawasi mereka agar jangan melakukan
“kerusuhan – kerusuhan”6. Hal ini sekaligus menunjukan betapa pemerintah Belanda
khawatir terhadap perkembangan politik dan pendidikan umat Islam yang tidak dapat
mereka bendung.
Pola kebijakan dikotomis juga di terapkan oleh pemerintah kolonial. Dimana
pemerintah Belanda ngotot mempertahankan visi sekolah umum yang tidak
mengajarkan pelajaran agama.
Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sekolah – sekolah modern
menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat memengaruhi sistem
pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal, pesantren merupakan satu – satunya
lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya kolonial Belanda. Yang
sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan
oleh Belanda.
Hal tersebut tampak dari terpecahnya dunia pendidikan Indonesia pada abad
ke-20 menjadi dua golongan.
a. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler dan tidak mengenal
ajaran agama.

6
Huda, Nor., Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam Nusantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), Cet. Ke-V, h. 98
7

b. Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal ajaran
agama7.
Meskipun Pendidikan Islam pada masa ini banyak mendapat tekanan, pada
kenyataannya hal ini tidak membuat gerakan Pendidikan Islam mundur malah semakin
menguat dan tidak mengalami kendala yang berarti walau lulusan madrasah atau
lembaga Pendidikan Islam lainnya pada saat itu dinomorduakan. Standar ganda bagi
pendidikan Islam yang diterapkan Belanda pada era kolonial sebagai bentuk upaya
mereka untuk menghambat laju pendidikan Islam justru masa kini tetap lestari.

Para pakar dan praktisi pendidikan nasional, terutama dari kalangan umat
Islam, terus memperdebatkan seputar dikotomi pendidikan nasional. Karena, sejatinya,
dualisme pendidikan nasional justru semakin memperkeruh kondisi Pendidikan saat ini.

Dualisme sistem pendidikan telah membelah wajah pendidikan nasional


menjadi dua, pertama, pendidikan umum yang memiliki karakter khas dan berada di
bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, Pendidikan agama
yang juga memiliki karakter khas dan berada di bawah naungan Kementerian Agama.
Dua wajah pendidikan inilah yang telah mewarnai pendidikan di Indonesia sejak zaman
kolonial hingga saat ini8.

2. Kondisi Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda


Kondisi Pendidikan Islam pada zaman Belanda sangat memprihatinkan. Umat
Islam terus – menerus mendapat tekanan dan perlakuan tidak menggembirakan. Namun
umat Islam pantang menyerah, tetap berjuang hingga akhirnya Pendidikan Islam
mengalami kebangkitan dan kemajuan.
Kemajuan Pendidikan tersebut terinspirasi oleh gerakan yang lahir di Timur
Tengah, Khususnya Mesir dan Arabiyyah oleh orang – orang yang pulang dari menuntut
ilmu di kedua negara tersebut9. Munculnya gerakan-gerakan tersebut menyebabkan
Pendidikan Islam bergerak ke arah yang lebih maju walaupun dari sisi lain pemerintah
kolonial tidak mendukungnya. Pada masa gerakan ini pulalah banyak bermunculan
organisasi kemasyarakatan bercorak Islam.

7
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 174
8
Suyatno.,“Dekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional”, Jurnal
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,Vol. I, No. 1 Juni 2012, h. 122
9
Nata,Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam……………,h. 288
8

Pada era awal VOC berkuasa pendidikan dilakukan bukan untuk mencapai
kesejahteraan pengetahuan peserta didik. Apalagi kedatangan Belanda juga dibarengi
dengan misi kristenisasi yang akhirnya ikut menangani pendidikan di Indonesia sehingga
tidak mengherankan bila pendidikan pada masa itu termasuk usaha-usaha kristenisasi
terlebih lagi dengan moto Gold-Glory-Gospel yang diusung oleh orang-orang Eropa. Ini
tidak terlepas dari pola bangsa Eropa yang mengikuti pemikiran Machiavelli yang
menyatakan bahwa :
1) Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah,
2) Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat,
3) Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang
bersangkutan harus dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat
untuk mencari bantuan kepada pemerintah,
4) Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan
5) Tujuan dapat menghalalkan segala cara10.
Kebijakan – kebijakan inilah yang kemudian memacu para pembaharu untuk
memodernisasi dalam hal metode dan proses pembelajaran dalam pendidikan Islam
Indonesia.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia
Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Namun tidak
ada perubahan yang signifikan ke arah positif bagi pengembangan pendidikan Islam.
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu
pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut :
”Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang
menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar
lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara”11. Pada masa itu
Pendidikan mulai menyentuh rakyat pribumi, meskipun hanya berlaku bagi kalangan
tertentu.
Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang kita kenal sebagai
penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar
negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831.

10
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam……….. h. 147
11
Nata, Abuddin.,Sejarah Peradaban Islam…………, h. 148
9

Tetapi kurang mendapat respon karena bertentangan dengan prinsip netral pemerintah
dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Kerajaan
Belanda, yang isinya menginstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan
pembiayaan sebesar f. 25.000 pertahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang
sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan
golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.Perkembangan
selanjutnya memang sedikit terhambat akibat terjadinya krisis ekonomi dunia yang terjadi
antara tahun 1883 sampai tahun 1892.
Namun dari segi Pendidikan sekular hal ini cukup menjadi perkembangan yang
menggembirakan.Peraturan ini disusul dengan dibentuknya badan khusus yang mengurusi
kehidupan beragama dan Pendidikan Islam yang dinamai Priesterraden pada tahun 1882
yang tentu saja menyebabkan Pendidikan Islam sedikit terhambat. Hal ini tidak terlepas
dari sikap penuh curiga pemerintah kolonial yang menganggap Islam sebagai gerakan
terbesar yang menjadi penyebab banyak pemberontakan.
Yang terjadi pada Pendidikan Islam justru berkebalikan, karena menjelang tahun
1900 pengawasan terhadap semua kegiatan yang bercorak Islam diawasi secara lebih ketat.
Tak terkecuali ketika pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan politik etis yang
digagas oleh Van Deventer bagi Hindia Belanda. Secara umum isi dari politik etis ini
mencakup tiga ranah yaitu, Pendidikan, imigrasi, dan irigasi. Pada praktiknya tetap saja
perkembangan Pendidikan Islam berusaha di hambat dengan terbitnya peraturan tahun
1905 yang berisi bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus meminta
izin terlebih dahulu kepada pemerintah dan isi dari pengajian tersebut juga ikut disensor
pemerintah. Hal ini diperparah dengan aturan tahun 1932 yang isinya dapat memberantas
sekolah atau madrasah yang tak berizin, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
pemerintah yang dikenal dengan ordonasi luar sekolah (Wilde School Ordonatie).
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalis-Islam yang marak pada
awal 1900-an. Selain bertujuan meredam gerakan nasionalis-Islam, peraturan ini juga
ditujukan untuk lingkungan penyebaran agama Kristen yang pada saat itu selalu mendapat
reaksi dari rakyat serta menghalangi masuknya pelajaran agama Islam di sekolah umum
yang tentu saja pada saat itu mayoritas muridnya beragama Islam.
Alih-alih berhasil meredam gerakan nasionalis-Islam yang terjadi justru gerakan
ini semakin kuat seiring dengan menguatnya rasa nasionalisme berlatar Islam yang
digelorakan oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya.
10

Semua kebijakan diskriminatif pemerintah Belanda di respon dengan sikap


perlawanan, seperti para kiyai – kiyai tradisional yang menjauhkan pesantren – pesantren
mereka dari pusat – pusat kekuasaan Belanda. Dengan fakta bahwa pemerintah kolonial
adalah penjajah kafir maka muslim tradisionalis mengambil sikap non – kooperatif dan
non – akomodatif terhadap segala hal yang berbau Belanda, mulai dari mengharamkan
dasi dan segala hal berkaitan dengan Belanda, termasuk dalam mata pelajaran umum yang
diajarkan di sekolah – sekolah dibawah naungan pemerintah kolonial.
Dengan berdasar pada al-Hadits yang menyebutkan larangan untuk menyerupai
suatu kaum, dan ayat al – Qur’an yang melarang muslim untuk dipimpin oleh orang kafir,
maka para santri tradisionil ini memilih untuk mengangkat senjata dalam rangka jihad
Fiisabiilillah. Meskipun dengan peralatan seadanya dan belum terbentuknya semangat
solidaritas berdasarkan bangsa. Memang pada akhirnya perjuangan mereka belum
membuahkan hasil yang memuaskan.
Namun bukan berarti sikap seluruh umat Islam tetap non kooperatif terhadap
pemerintah kolonial. Sebagian tokoh cendikiawan tokoh pembaruan atau modernis justru
bersikap akomodatif, meskipun dengan tetap menjaga jarak dengan penguasa. Dengan cara
ini kaum modernis banyak belajar tentang metode – metode dan kurikulum yang dapat
diterapkan dalam pendidikan Islam sebagai upaya untuk meningkatkan mutu.
Sikap akomodatif proporsional ini ditunjukan dengan proses pendirian Adabiyah
School di padang dengan mendapatkan bantuan biaya dan tenaga guru dari pemerintah.
Dengan demikian terdapat tiga sikap yang ditempuh umat Islam dalam merespons
kebijakan pendidikan Belanda. Pertama, kelompok yang mengisolasi diri atau non –
kooperatif dengan kebijakan Belanda. Sikap non – kooperatif adalah sikap yang
menjadikan belanda sebagai musuh yang harus dibenci dan dijauhi. Mereka berpendapat
bahwa kerjasama dengan Belanda tidak dapat dibenarkan, baik secara secara akidah,
maupun kemanusiaan. Sikap non – kooperatif ini banyak dilakukan oleh para ulama salaf
yang memimpin pesantren yang pada umumnya tersebar dipedesaan. Kedua, kelompok
yang secara selektif dan proporsional. Ketiga, Kelompok yang sepenuhnya mengambil
model pendidikan Belanda. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kaum modernis pun
memutuskan hubungan untuk tidak lagi meu kerja sama dengan Belanda, karena Belanda
kian semena – mena dalam memperlakukan bangsa Indonesia12.

12
Nata, Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam…………., h. 295
11

B. Pendidikan Islam Pada Masa Pendudukan Jepang


1. Kebijkan Jepang Terhadap Pendidikan Islam
Setelah Belanda ditaklukan oleh Jepang di Indonesia pada Tanggal 8 Maret 1942
maka Belanda angkat kaki dari Indonesia. Semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di
Indonesia13. Dengan jargon “Nippon Cahaya Asia” dan “Asia untuk bangsa Asia”Jepang
berusaha mendapat simpati rakyat Indonesia khususnya dari mereka yang beragama Islam.
Meskipun pada awal kekuasaannya Jepang bersikap represif terhadap umat Islam yang
menolak melakukan seikerei.
Kehadiran Jepang menjajah Indonesia sangatlah singkat. Namun Jepang tetap
memberikan pengaruh terhadap perkembangan Pendidikan Islam. Salah satunya adalah
umat Islam lebih leluasa mengembangkan pendidikannya karena peraturan pemerintah
Belanda yang diskriminatif tidak diberlakukan lagi. Selanjutnya, sistem Pendidikan Islam
saat itu masih sama dengan system zaman Belanda, yaitu disamping system Pendidikan
pesantren, juga terdapat system klasikal, yaitu system Pendidikan Belanda yang memuat
pelajaran agama14. Sebagai bagian dari upaya merangkul bangsa Indonesia, Jepang
menerapkan beberapa kebijakan antara lain :
1) Kantor urusan agama yang ada pada zaman Belanda disebut kantor Voor
Islamistische Zaken, yang dipimpin oleh orientalis Belanda diubah oleh Jepang
menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam, yaitu K. H. Hasyim
Asy’ari dan di daerah – daerah juga disebut Sumuka.
2) Pondok Pesantren yang besar – besar sering mendapat kunjungan dan bantuan
dari pembesar – pembesar Jepang;
3) Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti, yang isinya identic dengan ajaran
Islam;
4) Mengizinkan pembentukan Barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar
kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K. H. Zainal Arifin;
5) Mengizinkan Berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.
H. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakar dan Bung Hatta;
6) Mengizinkan para ulama bekerja sama dengan pemimpin – pemimpin
nasionalis membentuk Barisan Pembela Tanah Air (PETA)

13
Ramayulis., Sejarah Pendidikan Islam…………….. h. 339
14
Nata, Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam…………, h. 308-309
12

7) Mengizinkan berdirinya organisasi persatuan yang disebut Majlis Isla A’la


Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan15.

Sisi kooperatif Jepang yang cukup ramah terhadap Pendidikan Islam tidak serta
merta membuat para ulama tunduk terhadap kemauan Jepang pada hal – hal yang
bertentangan dengan akidah Islam. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana masa Jepang ini
perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur
Jepang yang memerintahkan setiap orang pada jam 07.00 untuk menghadap arah Tokyo
menghormati Kaisar Jepang yang mereka anggap keturunan Dewa Matahari. Akibat sikap
tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan Jepang selama 8 bulan16.

2. Kondisi Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, mereka mulai merubah arah kebijakan


pendidikan Belanda menjadi system pendidikan Jepang yang lebih berorientasi pada
kepentingan perang. Hal ini cukup menarik karena Jepang menangani output pendidikan
mereka agar menjadi tenaga kerja cuma – cuma (romusha), sekaligus menyediakan
prajurit – prajurit bagi kepentingan perang Jepang melalui indoktrinisasi, latihan fisik,
serta latihan kemiliteran.

Pada masa kekuasaan Jepang pula lah diskriminasi pendidikan dihapuskan


melalui kebijakan pendidikan satu jenis bagi tiap tingkatan. Kemudian memasukkan
pelajaran agama berupa pelajaran budi pekerti yang nilainya identik dengan nilai – nilai
keislaman. Meskipun pada kenyataannya pendidikan pada era Jepang lebih banyak diisi
dengan kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan dunia pendidikan seperti
mengumpulkan batu dan pasir untuk kegiatan perang, menanam ubi, sayuran, atau pohon
jarak serta membersihkan fasilitas – fasilitas militer Jepang. Serta kegiatan – kegiatan
fisik dan nyanyian – nyanyian berbahasa Jepang juga turut diajarkan. Meskipun Bahasa
Indonesia tetap menjadi bahasa resmi di sekolah – sekolah.

Dikalangan pendidik juga diberlakukan diklat dengan materi yang hampir


seluruhnya untuk menanamkan ideologi dan semangat perang, pelatihan ini bertujuan
untuk menyebarkan ideologinya di lingkungan sekolah.

15
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam ………….., h. 187
16
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam…………….., h. 345
13

Akibatnya kondisi pendidikan di Indonesia pada umumnya mengalami


penurunan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Poesponegoro menguraikan tentang
jumlah Sekolah Dasar dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah Lanjutan dari 850
menjadi 20 buah, Perguruan Tinggi terdiri dari 4 buah sama sekali tidak dapat melakukan
kegiatannya. Jumlah murid Sekolah Dasar merosot 30% murid, Sekolah Menengah
menurun 90%. Guru sekolah dasar berkurang 35%, guru sekolah menengah yang aktif
hanya sekitar 5% saja17.

Hal yang cukup menggembirakan justru terjadi pada lembaga pendidikan Islam.
Dimana pada masa awal pendudukan Jepang, lembaga – lembaga pendidikan Islam
seperti madrasah banyak didirikan karena Jepang memberikan keleluasaan bagi umat
Islam untuk menjalankan pendidikannya, meskipun hal ini bersifat politis, mengingat
bahwa kepentingan Jepang adalah untuk mengambil hati umat Islam Indonesia agar sudi
membantu Jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.

C. Peran Organisasi Islam dalam Penyelenggaraan Pendidikan Pada Masa


Penjajahan
Pada permulaan abad ke – 20 merupakan awal dari munculnya rasa nasionalisme
dan Islamisme di Indonesia, hal ini ditandai dengan bermunculannya organisasi –
organisasi baik itu organisasi yang bersifat nasionalis maupun keagamaan. Dalam bidang
Pendidikan Islam munculah organisasi yang memainkan peran vital bagi eksistensi
Pendidikan Islam sebagai berikut :

1. Jamiatul Khair
Al – Jamiatul Al – Khairiyah yang lebih dikenal dengan Jamiatul Khair didirikan di
Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905.Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-
tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain,
Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri
Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim.
Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau
setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair18.
Organisasi Jamiatul Khair mendirikan lembaga Pendidikan bercorak Islam dengan
memadukan system Pendidikan Islam dan barat. Dalam hal pengajaran Jamiatul Khair

17
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam……….. h. 339 - 340
18
Noer, Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942,(Jakarta,LP3ES, 1991), h. 67
14

tidak hanya memberikan pelajaran agama, tetapi juga memasukkan pelajaran


berhitung, ilmu bumi, sejarah, dan menggunakan Bahasa melayu sebagai pengantar
ditambah Bahasa Inggris sebagai pengganti Bahasa Belanda serta Bahasa Arab yang
diutamakan sebagai alat untuk memahami sumber – sumber hukum Islam.
Pada masanya Jamiatul Khair banyak berhubungan dengan gerakan nasionalis luar
negeri dengan cara mendatangkan majalah – majalah nasionalis dari negara – negara
Islam sebagai upaya pemantik nasionalisme dalam negeri. Tahun 1903 Jamiatul Khair
mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan
dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan
catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.
2. Al – Irsyad
Al – Irsyad didirikan oleh Ahmad Surkati pada tahun 1914. Setelah dikeluarkan dari
jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid
Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang diresmikan
pada tanggal 15 Syawal 1332 H19. Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia
sendiri sebagai pimpinannya20.
Tujuan utama pendirian Al- Irsyad bukan untuk menyaingi Jamiatul Khair ataupun
sebagai bentuk kekesalan terhadap organisasi tersebut, tetapi Al-Irsyad lebih focus
pada upaya perbaikan pelayanan di bidang Pendidikan.
3. Muhammadiyyah
Muhammadiyyah didirikan tahun 1921 oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 20
November. Organisasi ini fokus pada pembaharuan di bidang Pendidikan, terutama
pesantren.
Dengan mengemban misi menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw,
kepada penduduk bumiputra dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya. Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi ini bermaksud mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tablig yang di dalamnya
dibahas dan dibicarakanmasalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid
serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar, dan majalah-
majalah21.

19
Maksum.,Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),h. 21
20
Maksum.,Madrasah Sejarah dan Perkembangannya……………………………………….., h. 26
21
Noer, Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942……………………………, h. 86
15

Setelah berdiri selama delapan tahun, Muhammadiyah mendirikan dua macam


lembaga Pendidikan, yaitu madrasah diniyah yang hanya memberikan pelajaran
agama dan sekolah yang memberikan pelajaran agama dan pelajaran umum.
Moderenisasi yang kedua adalah mendirikan sekolah model belanda, namun tetap
menjadikan pelajaran agama Islam sebagai kurikulum wajibnya22.
Semenjak awal pendiriannya Muhammadiyah memang tidak ikut campur dalam hal
politik perlawanan terhadap penjajah, akan tetapi banyak anggotanya yang terlibat.
Pada dasarnya sekolah – sekolah yang didirikan Muhammadiyah semangat
nasionalisme dan anti kolonialisme telah ditanamkan dengan cara rahasia dan efektif.
Belanda pun tidak menaruh curiga kepada Muhammadiyah.
Akan tetapi, sebenarnya menandakan kekurangcermatan apparat-aparat colonial
dalam membaca gerakan Muhammadiyah gerakan Muhammadiyah. Kondisi
semacam ini menguntungkan, karena Muhammadiyah mempunyai kesempatan yang
untuk mengembangkan kegiatan sosial-keagamaan di seluruh Indonesia tanpa banyak
rintangan dari pemerintah penjajah23.
4. Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Isalm (PERSIS) didirikan secara resmi tanggal 12 September 1923 di
Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas
keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhamad Yunus. Berbeda dengan
organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke – 20, PERSIS mempunyai ciri khas
tersendiri dimana organisasi ini disamping sebagai organisasi Pendidikan, juga
dititikberatkan pada pembentukan faham keIslaman. Di dalamnya, Muhamad Natsir
menerapkan ide pembaruannya yang disebut Pendidikan integralistik. System
Pendidikan terpadu yang tidak memisahkan pengetahuan agama24.
5. Nahdlatul Ulama
Organisasi ini berdiri pada tahun 1926, yang secara resmi diperingati pada tanggal 31
Januari. Nahdlatul Ulama berdiri karena kekhawatiran berkembangnya paham
wahabisme seiring dengan berkuasanya dinasti Ibnu Saud di tanah arab.
Berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak dapat terlepas dari inisiatif dua kyai besar yang
sangat berpengaruh dalam tubuh NU yaitu HadratussyehK.H. Hasyim Asy’ari dan

22
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam……………., h. 318-319
23
Syafi’i Ma’arif, Ahmad., Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 66
24
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam……….., h. 319-320
16

Kyai Haji Wahab Hasbullah. Kyai Haji Hasyim Asy’ari dianggap sebagai tokoh yang
membentuk dan memberi isi Nahdlatul Ulama, maka orang yang yang mewujudkan
gerakan itu sehingga menjadi suatu organisasi adalah Kyai Haji Wahab Hasbullah,
salah seorang ipar dari Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Nahdlatul Ulama bertujuan memegang salah satu mazhab dari Imam yang empat
yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dengan mengakomodasi kepentingan-
kepentingan fiqih yang memberikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama yang keempat di Semarang pada tahun 1929
terbentuklah apa yang dinamakan “Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama”.
Ma’arif adalah merupakan lembaga pendidikan yang khusus diberi tugas mengurusi
soal-soal pendidikan dengan nama: Pimpinan Pusat Bagian Ma’arif dengan presiden
pertamanya Abdullah Ubaid. Dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif
Nahdlatul Ulama ini maka semua madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah yang
dikelola oleh para ulama Nahdlatul Ulama dikoordinir oleh Lembaga Pendidikan
Ma’arif Nahdlatul Ulama ini.
Pada akhir tahun 1938 Komisi Perguruan Nahdlatul Ulama telah menetapkan susunan
madrasah-madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
1) Madrasah Awaliyah (2 tahun)
2) Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun)
3) Madrasah Tsanawiyah (3 tahun)
4) Madrasah Mu’allimin Wustha (2 tahun)
5) Madrasah Mu’allimin Ulya (3 tahun).

Pada zaman pendudukan Jepang Ma’arif tetap bergerak walaupun serba terbatas,
terutama membina madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang sudah ada.
Akan tetapi di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren ditambahkan mata
pelajaran bela diri.

D. Peran Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan


Sejak awal kemuculan Islam, Pendidikan terus menjadi focus utama untuk
mewujudkan masyarakat muslim yang baik, selain tentunya sebagai upaya mendorong
Islamisasi. Pendidikan Islam dimulai dari lembaga – lembaga yang sangat sederhana
seperti dalam bentuk halaqoh yang dilakukan di tempat ibadah atau kediaman sang guru.
Selanjutnya untuk lebih mendukung penyebaran Islam, para ulama nusantara
mengadopsi lembaga – lembaga keagamaan non-muslim menjadi milik umat Islam, di
17

Jawa umat Islam mengadopsi system pengajaran agama ala Hindu-Budha yang kita kenal
sekarang dengan pesantren, di Minangkabau mengambil alih surau sebagai lembaga
warisan adat menjadi lembaga Pendidikan Islam, umat Islam aceh mendirikan meunasah
sebagai lembaga Pendidikan Islam.
1. Pesantren
Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, dengan awal pe dan akhiran an yang
berarti tempat tinggal santri25. Dalam sejarahanya, Pendidikan Islam di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari eksistensi pesantren, ini karena pesantren dianggap sebagai
lembaga Pendidikan asli Indonesia. Meskipun pada kenyataannya pesantren
merupakan hasil adaptasi dari system Pendidikan yang telah ada sebelum munculnya
Islam.
Setelah masa kerajaan Islam di Indonesia telah berakhir dengan dimulainyamasa
kolonial belanda, eksistensi pendidikan Islam di Indonesia tetap terustumbuh dan
sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Padamasa penjajahan
Belanda dan pendudukan Jepang, pendidikan Islamdiselenggarakan oleh masyarakat
yang salah satu bentuknya adalah pesantren.
Pada perkembangannya pesantren merupakan kawah candra dimuka dalam mencetak
kader – kader (santri) yang nasionalis-religius. Sejarah mencatat banyak pahlawan
yang lahir dari rahim pesantren. Hal ini tidak mengejutkan mengingat pada saat itu
para ulama menyisipkan materi anti kolonialisme dalam pengajarannya. Sebagai
contoh ulama yang menuntut ilmu di Mekah ketika kembali ke tanah air mendirikan
organisasi yang nantinya menjadi basis pengajaran dan gerakan nasionalisme seperti
K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan.
Kebijakan – kebijakan diskriminatif pemerintah Belanda justru menjadi pemantik
bagi kaderisasi di pesantren yang pada saat itu dianggap sebagai perlawanan bagi
Pendidikan barat yang lebih modern sekaligus sekuler.

2. Surau
Pada masa pra-Islam surau merupakan lembaga yang berfungsi sebagai tempat
bertemu dan berkumpul bagi masyarakat adat Minangkabau. System matrilinear
dalam adat Minangkabau juga menjadikan surau sebagai tempat tinggal bagi anak

25
Dhofier dalam Rofi, Sofyan., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta,
Deepublish, 2006), h. 80
18

laki-laki yang sudah baligh, karena dalam aturan adat menyatakan bahwa anak laki-
laki tidak mempunyai kamar di rumah ibunya, maka mereka pun tidur di surau.
Pasca kedatangan Islam, surau bertambah penting fungsinya sebagai tempat
pengajaran agama Islam. Dalam system pengajarannya, surau menggunakan system
halaqoh dengan materi – materi yang masih sederhana seperti pengajaran huruf
hijaiyyah, dan baca tulis al-Qur’an. Seiring dengan pembaharuan yang terjadi pada
masyarakat Minangkabau dan munculnya madrasah sebagai alternative Pendidikan
Islam yang lebih modern, surau menjadi sedikit terpinggirkan.
3. Meunasah
Kata Meunasah diambil dari kata madrasah dalam Bahasa arab. Meunasah memegang
peranan penting dalam masyarakat aceh. Lembaga ini merupakan institusi pertama
dalam Pendidikan masyarakat aceh, dimana anak laki-laki menerima Pendidikan dasar
Islam, selain berfungsi sebagai lembaga Pendidikan meunasah juga difungsikan
sebagai tempat bermusyawarah membicarakan hal – hal yang berhubungan dengan
masyarakat. Peran vital lembaga ini dalam masyarakat aceh sangat terasa sehingga
pada praktiknya meunasah merupakan lembaga Pendidikan wajib bagi seluruh
masyarakat aceh.
4. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga yang belakangan muncul di Indonesia. ini terkait
dengan factor pendorongnya sendiri. Pertama, adanya gerakan pembaharuan dalam
masyarakat Islam yang terinspirasi dari gerakan-gerakan di timur tengah. Kedua,
hadirnya Pendidikan ala barat yang lebih modern ketimbang institusi Pendidikan
Islam pada saat itu menimbulkan pemikiran untuk mencari alternative Pendidikan
keagamaan yang lebih modern sebagai respon atas model Pendidikan yang dibawa
Belanda.
Pada era colonial, banyak diantara pesantren yang mengadopsi system klasikal ala
barat dengan memasukkan Pendidikan agama. Ini dapat dipahami karena
kekhawatiran umat Islam Indonesia melihat pola – pola Pendidikan Barat yang
modern tetapi melupakan sisi agama.
Pemerintah Belanda umumnya berpendapat bahwa hasil dari lembaga Pendidikan
Islam tidak akan sudi jika harus bergabung dibawah lembaga milik pemerintah dengan
alasan keagamaan. Sehingga dikotomi warisan Pendidikan Belanda ini terbawa
sampai jauh ketika Indonesia sudah merdeka. Masyarakat kita umumnya lebih suka
19

memasukan anak – anaknya ke sekolah-sekolah umum, ketimbang lembaga – lembaga


Pendidikan Islam.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat dua periode kebijakan Pendidikan di zaman kolonial Belanda, Pertama
periode awal dibawah kekuasaan VOC (Kongsi dagang Belanda), Kedua, Periode dimana
Indonesia dibawah kekuasaan langsung pemerintah Belanda setelah VOC mengalami
kebangkrutan.
Sikap pemerintah kolonial terhadap pendidikan islam dapat dilihat dari kebijakan
– kebijakannya yang cenderung diskriminatif, dikotomis dan represif. Sikap diskriminatif
tergambar jelas dari upaya Belanda untuk mendirikan sekolah berdasarkan stratifikasi
sosial, ras/keturunan, anggaran serta agama.
Belanda juga melakukan pengawasan dan kontrol ketat terhadap pendidikan islam
dengan aturan – aturan seperti ordonasi guru dan ordonasi sekolah liar. Dalam usaha untuk
membatasi kesempatan belajar itu, maka pemerintah memberlakukan pula persyaratan –
persyaratan tertentu, sehingga dari beberapa segi diduga memberatkan bagi murid
golongan pribumi.
Terdapat tiga sikap yang ditempuh umat islam dalam merespons kebijakan
pendidikan Belanda. Pertama, kelompok yang mengisolasi diri atau non – kooperatif
dengan kebijakan Belanda. Sikap non – kooperatif adalah sikap yang menjadikan belanda
sebagai musuh yang harus dibenci dan dijauhi. Kedua, kelompok yang secara selektif dan
proporsional. Ketiga, Kelompok yang sepenuhnya mengambil model pendidikan Belanda.
Kehadiran Jepang menjajah Indonesia sangatlah singkat. Namun Jepang tetap
memberikan pengaruh terhadap perkembangan Pendidikan Islam. Salah satunya adalah
umat islam lebih leluasa mengembangkan pendidikannya karena peraturan pemerintah
Belanda yang diskriminatif tidak diberlakukan lagi. Sisi kooperatif Jepang yang cukup
ramah terhadap Pendidikan islam tidak serta merta membuat para ulama tunduk terhadap
kemauan Jepang pada hal – hal yang bertentangan dengan akidah Islam.
Dalam bidang Pendidikan islam munculah organisasi yang memainkan peran
vital bagi eksistensi Pendidikan islam seperti Jamiatul Khair, Al-Irsyad, Muhammadiyah,
Persis, Nahdlatul Ulama dan sebagainya.
Pendidikan islam dimulai dari lembaga – lembaga yang sangat sederhana seperti
dalam bentuk halaqoh yang dilakukan di tempat ibadah atau kediaman sang guru.
20

Selanjutnya untuk lebih mendukung penyebaran islam, para ulama nusantara mengadopsi
lembaga – lembaga keagamaan non-muslim menjadi milik umat islam, di Jawa umat islam
mengadopsi system pengajaran agama ala Hindu-Budha yang kita kenal sekarang dengan
pesantren, di Minangkabau mengambil alih surau sebagai lembaga warisan adat menjadi
lembaga Pendidikan islam, umat islam aceh mendirikan meunasah sebagai lembaga
Pendidikan islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 2015;
Huda, Nor., Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam Nusantara, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016, Cet. Ke-V;
Maksum., Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999;
Nata, Abuddin., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011;
Noer, Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1991;
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era
Nabi SAW Sampai Ulama Nusantara, Jakarta: Kalam Mulia, 2012;
Rofi, Sofyan., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta, Deepublish, 2006;
Saridjo, Marwan., Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap
Pendidikan Islam, Bogor: Al-Manar Press, 2011, Cet. Ke-II;
Suyatno.,“Dekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional”, Jurnal
Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,Vol. I, No.
1 Juni 2012
Syafi’i Ma’arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam
Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006;
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta ; Bumi Aksara, 2011;

You might also like