Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 50

KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL LARVA NYAMUK

ANOPHELES DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN


MALARIA DI KOTA PANGKALPINANG, BANGKA
BELITUNG

VIRANTI MANDASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Karakteristik Habitat


Potensial Larva Nyamuk Anopheles dan Hubungannya dengan Kejadian
Malaria di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung” adalah karya saya sendiri
dengan arahan Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Viranti Mandasari
B04080093
ABSTRACT

VIRANTI MANDASARI. Potential habitat Characteristics of Anopheles


Mosquitoes larvae and Its Relation to Malaria incidence in Pangkalpinang City.
Under directions of UPIK KESUMAWATI HADI.

This study aimed to measure the characteristics of potential habitats that


become breeding places for Anopheles mosquitoes in the former tin mining (pit)
in Pangkalpinang city. The research was conducted in July 2011 to May 2012 and
performed in two activities, collection with determination of the larvae habitats
characteristics and identification of Anopheles larvae. Anopheles larvae were
collected, processed to slide specimen, then identified by using the identification
key of the Anopheles larvae (O’Cornor and Soepanto 1989). The result showed
that larvae species found were An. letifer. Generally the characteristics of the
larval breeding potential habitats in Pangkalpinang city had area between 100-
6000 m2, the temperature was 28-31 °C, and the salinity was 0‰. The age habitats
were varied from 1 to 29 years old. The base of habitats were sand, mud, and sand
ground. The habitats also had variety of turbidity level from clear, yellow, to
brown with a depth of 0.05 to 10 m. In addition, there were aquatic plants such as
grasses, algae, ferns, water hyacinth, and taro. Fish, tadpoles, and dragonflies
larvae were found in habitats as Anopheles larvae predators.

Key words: Anopheles larvae, Bangka Belitung, characteristics of habitat,


Pangkalpinang city.
ABSTRAK

VIRANTI MANDASARI. Karakteristik Habitat Potensial Larva Nyamuk


Anopheles dan Hubungannya dengan Kejadian Malaria di Kota Pangkalpinang,
Bangka Belitung. Di bawah bimbingan UPIK KESUMAWATI HADI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristik habitat potensial


yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles di bekas galian timah
(kolong) di kota Pangkalpinang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2011
sampai dengan Mei 2012 dan dilakukan dalam dua kegiatan, yaitu koleksi larva
Anopheles serta penentuan karakteristik habitat dan identifikasi larva. Larva
Anopheles yang dikoleksi kemudian dibuat preparat slide untuk dilakukan
identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi larva Anopheles (O’Cornor
dan Soepanto 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis larva yang
ditemukan adalah An. letifer. Secara umum karakteristik habitat potensial
perkembangbiakan larva Anopheles di Kota Pangkalpinang memiliki luas 100-
6000 m, suhu 28-31 °C, dan salinitas 0‰. Habitat tersebut memiliki umur yang
bervariasi dari 1 hingga 29 tahun. Sebagian habitat memiliki dasar habitat berupa
pasir dan sebagian lagi ditemukan dasar habitat pasir bercampur lumpur dan
tanah. Tingkat kekeruhan habitat juga bervariasi dari jernih, kuning, dan coklat,
dengan kedalaman 0,05- 10 m. Selain itu, di sekitar habitat terdapat tanaman air
seperti rumput, alga, paku-pakuan, enceng gondok, dan talas. Ikan, berudu, dan
larva capung ditemukan di habitat tersebut sebagai predator larva Anopheles.

Kata kunci: Bangka Belitung, karakteristik habitat, Kota Pangkalpinang, larva


Anopheles.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah,penulisan laporan, penulisan kritik,atau
tinjauan suatu masalah,dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK HABITAT POTENSIAL LARVA NYAMUK
ANOPHELES DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN
MALARIA DI KOTA PANGKALPINANG, BANGKA
BELITUNG

VIRANTI MANDASARI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Karakteristik Habitat Potensial Larva Nyamuk Anopheles dan
Hubungannya dengan Kejadian Malaria di Kota
Pangkalpinang, Bangka Belitung
Nama Mahasiswa : Viranti Mandasari
NIM : B04080093

Disetujui:

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS


Pembimbing Skripsi

Diketahui:

Dr. drh. Agus Setiyono, MS, APVet


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus :
PRAKATA

  Puji syukur atas kehadiat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karuniaNya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Karakteristik
Habitat Potensial Larva Nyamuk Anopheles dan Hubungannya dengan
Kejadian Malaria di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung. Skripsi
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 
Proses penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai dosen pembimbing skripsi, atas
bimbingan, arahan, motivasi, waktu dan pemikiran selama proses penelitian dan
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada ayah dan ibu
tercinta serta kakak tersayang Septarini, Amd dan Desty Atika, SH atas kasih
sayang, doa, motivasi dan nasihat yang luar biasa kepada penulis. Tidak lupa
ucapan terima kasih kepada pembimbing akademik drh. R.P. Agus Lelana, SpMp,
MS atas bimbingannya selama ini. Penulis juga berterima kasih kepada Riki
Afriansyah, ST atas doa, perhatian, motivasi serta pengertiannya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada drh. Supriyono atas bimbingan,
arahan, motivasi, waktu dan pemikiran yang tak terhingga selama proses
penulisan dan teman-teman sepenelitian di Laboratorium Entomologi, Joni, Jamal,
dan Rofindra, serta staf pengajar dan pegawai laboratorium Entomologi FKH IPB
atas bantuan dan dukungan kepada penulis. Terimakasih untuk anak Wisma
Nabila Cempaka B (Nisa, Nova, Cici, Uwie, Adis, Pia dan Wita) dan sahabat
penulis (Febriana, Iin, Fitria, Ratih, Gita, Annisa) serta teman seperjuangan
Avenzoar FKH 45. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan
satu persatu. Terima kasih atas kerjasama dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012

Viranti Mandasari
B04080093
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Viranti Mandasari, dilahirkan di Pangkalpinang,


Bangka Belitung pada tanggal 23 Agustus 1990 dari pasangan Ayah Syamsuyadi
dan Ibu Eli Susanti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis menamatkan Sekolah Dasar Negeri 5 Pangkalpinang Bangka
Belitung tahun 2002 dan lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2
Pangkalpinang Bangka Belitung tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis
menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1 Pangkalpinang
Bangka Belitung, kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama kuliah di FKH-IPB, penulis aktif sebagai anggota clan sapi potong
Himpunan Minat Hewan Ruminansia tahun 2009-2011, anggota divisi
Zoolipmask IMAKAHI FKH IPB 2009-2010, anggota divisi Kaderisasi
IMAKAHI FKH IPB 2010-2011, sekretaris Veterinary Integrity and Skill
Improvement (VISI) III 2010-2011.

 
 

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................2
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................3


2.1 Kota Pangkalpinang ...............................................................................3
2.2 Kasus Malaria ........................................................................................4
2.3 Vektor Malaria .......................................................................................4
2.4 Bioekologi Nyamuk Anopheles..............................................................5
2.4.1 Jenis Karakteristik Habitat ...........................................................5
2.4.2 Siklus Hidup Nyamuk Anopheles ................................................7

BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN..................................................10


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..............................................................10
3.2 Metode
3.2.1 Pengumpulan Larva ...................................................................10
3.2.2 Identifikasi Larva .......................................................................10
3.2.3 Pengukuran Karakteristik Habitat ..............................................11
3.3 Pengumpulan Data ...............................................................................12
3.4 Analisis Data ........................................................................................12

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................13


4.1 Jenis dan Kepadatan Larva Anopheles spp. .........................................13
4.2 Jenis Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. ......15
4.3 Karakteristik Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles
spp. ......................................................................................................17
4.3.1 Umur, Luas, Kekeruhan, Kedalaman dan Dasar Habitat
Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. .............17
4.3.2 pH, Suhu, Salinitas, Predator dan Tanaman Air Habitat
Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. .............20
4.4 Kejadian Penyakit Malaria ...................................................................23

BAB 5 PENUTUP .................................................................................................28


5.1 Simpulan ..............................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................29

LAMPIRAN ...........................................................................................................33
ii 
 

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Umur, luas, kekeruhan, kedalaman, dan dasar habitat potensial
perkembangan larva Anopheles spp. di Kota Pangkalpinang ......................19
2 pH, suhu, salinitas, predator, dan tanaman air habitat potensial
perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Kota Pangkalpinang ................22
3 Angka Kesakitan Malaria di tiga Kecamatan Kota Pangkalpinang..............25
4 Nilai API, Curah Hujan dan ICH di Kota Pangkalpinang ............................25

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Nyamuk Anopheles ........................................................................................ 4


2 Siklus hidup nyamuk Anopheles.................................................................... 9
3 Morfologi larva An. letifer .......................................................................... 14
4 Habitat potensial larva Anopheles di Kecamatan Bukit Intan ..................... 16
5 Habitat potensial larva Anopheles di Kecamatan Gerunggang.................... 17
6 Habitat potensial larva Anopheles di Kecamatan Gabek ............................. 17
7 Tanaman air pada habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles .. 23
8 Hubungan ICH dengan Angka Kesakitan Malaria tahun 2008 ................... 26
9 Hubungan ICH dengan Angka Kesakitan Malaria tahun 2009 ................... 26
10 Hubungan ICH dengan Angka Kesakitan Malaria tahun 2010 ................... 26
11 Hubungan ICH dengan Angka Kesakitan Malaria tahun 2011 ................... 27

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang masih endemik malaria. Pada tahun 2009
terdapat 1.1 juta kasus malaria klinis dan pada 2010 meningkat menjadi 1.8 juta
kasus malaria klinis. Indonesia sebelumnya telah berhasil menekan jumlah kasus
malaria dari sebanyak 4.96 kasus per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi
1.96 per 1000 penduduk pada tahun 2010. Pada tahun 2011, jumlah kasus malaria
di Indonesia sebanyak 256.592 orang dari 1.322.451 kasus malaria yang diperiksa
sampel darahnya dengan tingkat kejadian tahunan 1.75 per 1000 penduduk
(Padmaswari 2012).
Penyakit malaria merupakan masalah utama bagi kesehatan masyarakat
karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita dan ibu melahirkan. Penyakit
ini juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Kejadian Luar Biasa
adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu berdasarkan
Peraturan Menkes RI No. 949/MENKES/SK/VIII/2004. Penyebaran malaria di
Indonesia sangat berkaitan erat dengan keadaan wilayah. Penularan penyakit ini
dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan habitat yang potensial untuk
perkembangbiakan nyamuk vektor.
Vektor utama malaria adalah nyamuk Anopheles. Nyamuk Anopheles
merupakan serangga kosmopolit terutama di daerah tropis dan subtropis. Di
Indonesia vektor malaria telah dikonfirmasi (positif mengandung parasit)
sebanyak 22 jenis Anopheles yang memiliki habitat yang beragam seperti rawa-
rawa, pegunungan, sawah, dan pantai (Sukowati 2005).
Pangkalpinang tergolong daerah yang endemis malaria karena secara
epidemiologi dan geografis wilayah ini terdiri dari rawa dan laut yang
menjadi habitat potensial nyamuk vektor. Daerah ini merupakan daerah
pertambangan timah yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat
setempat. Banyak diantara masyarakat membuka areal hutan dan menjadikannya
sebagai tempat pertambangan secara ilegal (tambang inkonvensional) yang
memberikan dampak terbentuknya bekas galian timah. Bekas galian tersebut di

   

masyarakat dikenal dengan sebutan kolong. Kolong yang tidak dimanfaatkan


dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Angka kasus penyakit malaria di Pangkalpinang pada tahun 2007 adalah
20.74 per 1000 penduduk. Angka kasus penyakit malaria ini mengalami
penurunan pada tahun 2011 menjadi 1.02 per 1000 penduduk (Dinkes 2011).
Penyakit malaria masih terdapat di daerah ini dengan annual parrasite incidence
(API) yang bervariasi, meskipun mengalami penurunan jumlah kasus. Keberadaan
habitat potensial dapat mengakibatkan meningkatnya populasi dan kejadian
penyakit malaria sehingga studi habitat potensial tersebut penting dilakukan untuk
menentukan tindakan pengendalian yang tepat.

1.2. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristik habitat potensial yang
menjadi tempat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles spp. di areal bekas
galian timah (kolong) di Kota Pangkalpinang.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi karakteristik habitat
perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles di Kota Pangkalpinang yang kelak
berguna sebagai informasi dasar dalam melakukan tindakan pengendalian yang
tepat.

   

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota Pangkalpinang


Kota Pangkalpinang merupakan daerah otonomi yang letaknya di bagian
timur Pulau Bangka. Secara astronomi, daerah ini berada pada garis 106° 4´
sampai dengan 106° 7´ Bujur Timur dan garis 2° 4´ sampai dengan 2° 10´ Lintang
Selatan dengan luas daerah seluruhnya 118.40 km² berdasarkan PP No.79 Tahun
2007. Berdasarkan luas wilayah Kota Pangkalpinang dapat dirinci penggunaan
tanahnya. Lahan kering (pekarangan, kebun, ladang, padang rumput, hutan, lahan
sementara yang tidak diusahakan) luasnya mencapai 9.746 hektar, selanjutnya
lahan lainnya (rawa-rawa tidak ditanami, tambak dan kolam) luasnya mencapai
2.049 hektar. Banyaknya lahan yang sementara tidak diusahakan, serta ditunjang
dengan kandungan timah di dalamnya membuat masyarakat membuka lahan
tambang secara ilegal. Dampak kegiatan penambangan timah ini adalah
terbentuknya lobang bekas penambangan timah (kolong).
Tambang inkonvensional (TI) sudah sangat dikenal di kalangan rakyat
Kepulauan Bangka Belitung yang memanfaatkan peralatan sederhana. Skala
penambangan yang lebih kecil biasanya disebut tambang rakyat (TR). TI
merupakan usaha yang dimodali dan dikerjakan oleh rakyat. Secara legal formal
TI adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena umumnya tidak
memiliki izin penambangan.
Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan
wilayah daratan, namun juga terjadi di pantai dan muara sungai yang membawa
air dan lumpur dari lokasi TI. Banyak kolong yang belum dimanfaatkan secara
optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain ilalang,
sungkai (seperti cendana) dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya
berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih sebesar 15.9% atau
sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai sumber air, mandi dan mencuci.
Sebesar 4.28% atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha
perikanan, pertanian, sumber air dan rekreasi. Selain itu kolong bisa menjadi
tempat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles. Nyamuk An. pilipinensis, An.
peditaeniatus, An. nigerrimus dan An. barbirostris terdapat pada habitat bekas

   

galian timah Kolong Ijo di Kota Pangkalpinang (Qomariah 2004). Saat ini kolong
tersebut sudah ditimbun dan hanya sedikit tersisa serta telah terkena limbah dari
masyarakat sehingga tidak ditemukan lagi nyamuk Anopheles.

2.2. Kasus Malaria


Malaria adalah penyakit menular yang menyerang dalam bentuk infeksi akut
maupun kronis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa genus plasmodium bentuk
aseksual, yang masuk ke dalam tubuh manusia dan ditularkan oleh nyamuk
Anopheles betina. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa italia yaitu mal
yang artinya buruk dan area yang berarti udara atau udara buruk karena dahulu
banyak terdapat di daerah rawa–rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini
juga mempunyai nama lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik,
demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme (Prabowo 2004).
Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia
melalui vektor nyamuk Anopheles spp., melalui transfusi darah dan jarum suntik
yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya (Harijanto 2000).

2.3. Vektor Malaria


Nyamuk di seluruh dunia diketahui sekitar 3453 spesies, 400 spesies
diantara jumlah itu adalah Anopheles (Gambar 1). Sebanyak 80 spesies
Anopheles ada di Indonesia, dan 18 spesies dipastikan sebagai vektor malaria
yang tersebar di banyak pulau. Di antara 18 spesies itu, terdapat 7 spesies yang
diketahui paling efisien sebagai vektor malaria yaitu: An. sundaicus, An. aconitus,
An. barbirostris, An. sinensis, An. farauti, An. subpictus, dan An. balabacensis
(O’Connor dan Soepanto 1981).

Gambar 1 Nyamuk Anopheles (Sumber : CDC 2010)

   

Nyamuk dapat menjadi vektor jika memenuhi beberapa syarat tertentu,


antara lain; umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan manusia, terdapat
parasit, dan sumber penularan. Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali
antara lain An. sundaicus, An. aconitus, An. balabancencis, dan An. maculatus.
An. sundaicus dan An. subpictus banyak terdapat di daerah pantai, sedangkan An.
balabancencis dan An. maculatus ditemukan di daerah pegunungan. Tempat
perindukan An. aconitus, An. barbirostris, An. tessellatus, An. nigerimus, dan An.
sinensis di Jawa dan Sumatera adalah sawah, terkadang dapat ditemukan juga di
genangan-genangan air yang ada disekitar persawahan (Dinkes 2007).
An. balabancencis dan An. letifer di Kalimantan dinyatakan sebagai vektor
malaria. An. farauti, An. punctulatus, An. bancrofti, An. karwari, dan An. koliensis
merupakan nyamuk yang terdapat di Irian Jaya. Spesies nyamuk Anopheles yang
banyak ditemukan di NTT adalah An. sundaicus, An. subpictus, dan An.
barbirostris. Adapun di Sumatera spesies nyamuk Anopheles yang sudah
dinyatakan sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. maculatus, An. nigerimus,
An. sinensis, An. tessellatus, dan An. letifer (Dinkes 2007).
Keanekaragaman spesies Anopheles di Asia Tenggara dalam lingkungan
domestik sangat tinggi. Spesies nyamuk Anopheles yang dianggap sebagai vektor
utama malaria berbeda setiap daerah. Namun demikian status vektor sangat
bervariasi. Pada daerah dengan kasus malaria rendah sering sekali sulit untuk
mengidentifikasi spesies Anopheles sebagai vektor. Oleh sebab itu perilaku
spesies Anopheles vektor yang berbeda-beda sangat menentukan status mereka.
Hal ini menjadi bagian penting untuk mengevaluasi kelayakan vektor kontrol
(Trung 2005; CDC 2008).

2.4. Bioekologi Nyamuk Anopheles


2.4.1. Jenis Karakteristik Habitat
Larva nyamuk Anopheles spp. ditemukan pada berbagai habitat, tetapi setiap
habitat memliki sifat umum dalam penyediaan makanan, terdiri dari
mikroorganisme, bahan organik, dan biofilm. Sumber makanan pada setiap habitat
berbeda pada lokasi yang berbeda. Permukaan air kaya akan bahan organik dan
mikoorganisme yang digunakan larva nyamuk Anopheles spp. untuk
mempertahankan hidupnya (Clement 2000).

   

Suhu air berpengaruh terhadap perkembangbiakan larva. Suhu


mempengaruhi laju pertumbuhan serta perkembangan larva nyamuk (Clement
2000). Selain itu suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk.
Suhu yang optimum berkisar 20-30 °C. Semakin tinggi suhu menyebabkan masa
inkubasi ekstrinsik (sporogoni) semakin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu
maka masa inkubasi ekstrinsik semakin panjang. Larva An. farauti di Desa Doro,
Halmahera Selatan ditemukan pada habitat dengan suhu 20-35 °C. Adapun larva
An. vagus dan An. punctulatus pada suhu 25-28 °C, An. kochi 26-28 °C, dan An.
minimus pada suhu 25-26 °C (Mulyadi 2010).
Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan
organisme yang berkembangbiak di akuatik. Derajat keasaman air tergantung
kepada temperatur air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation
serta jenis stadium organisme. An. sundaicus dan An. peditaniatus dapat hidup
pada air dengan pH 6.7 di daerah Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang (Sunarsih
2009). Hasil penelitian Mulyadi (2010) di Desa Doro, Halmahera Selatan kisaran
air yang paling disukai oleh semua jenis Anopheles adalah pH 6.8-7.1.
Beberapa nyamuk Anopheles dapat hidup di air yang mengandung garam.
Banyak spesies Anopheles hidup di air payau atau air dengan kadar garam tinggi
(air asin) (Sigit dan Hadi 2006). Kadar garam kolam dipengaruhi oleh tumbuhan
maupun tanah yang menahan resapan air sungai sebelum memasuki kolam
(Sembiring 2005). An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar
garamnya 12-18‰ dan tidak dapat berkembang pada kadar garam 40‰ atau
lebih. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula tempat perindukan An. sundaicus
pada air tawar (Harijanto 2000). Begitu juga An. punctulatus, An. vagus, An.
kochi, dan An. minimus di Desa Doro, Halmahera Selatan yang berkembangbiak
pada habitat air tawar dengan salinitas 0‰. Adapun An. farauti ditemukan pada
air tawar maupun air payau dengan dengan salinitas antara 0-7‰ (Mulyadi 2010).
Pada dasarnya zat organik merupakan makanan bagi mikroorganisme yang
ada di dalam air dan mendukung perkembangbiakannya sehingga menambah
kekeruhan air (Sutriati dan Brahmana 2007). Larva An. sundaicus di daerah
pasang surut Asahan Sumatera Utara lebih banyak ditemukan pada habitat air
keruh (Sembiring 2005). Selain itu beberapa spesies dari An. farauti, An.

   

punctulatus, An. vagus, dan An. kochi juga terdapat pada air keruh (Mulyadi
2010).
Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang airnya dangkal.
Perairan yang dangkal akan menyebabkan besarnya produktivitas makhluk air
dan tumbuhan air, termasuk larva nyamuk. Kedalaman habitat An. punctulatus
dan An. minimus antara 2-20 cm, An. vagus 5-80 cm, An. kochi antara 5-10 cm,
sedangkan An. farauti pada kedalaman 5-120 m. Hasil penelitian Mulyadi (2010)
juga menyebutkan larva Anopheles ditemukan pada tipe perairan dangkal.
Larva Anopheles spp. memanfaatkan tanaman di atas permukaan air sebagai
tempat meletakkan telur dan berlindung dari predator (Dinkes 2007). Ketersediaan
makanan pada habitat larva sangat dipengaruhi vegetasi di tempat perindukan.
Sumber makanan bagi larva adalah berbagai macam organisme bersel satu di
perairan, terutama plankton. Makanan larva nyamuk juga berupa ganggang bersel
satu, Flagellata, Cilliata, berbagai hewan mengapung, dan tumbuhan. Adanya
tanaman yang membusuk mengakibatkan berkumpulnya mikroflora dan
mikrofauna tersebut sebagai makanan larva Anopheles (Rao 1981). Habitat larva
yang ada di Desa Doro, Halmahera Selatan terdapat tanaman air ganggang dan
bakau (Mulyadi 2010). Habitat perairan larva Anopheles di Desa Way Muli,
Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan terdapat tumbuhan berkayu (Setyaningrum
et al. 2007). Predator juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keberadaan larva di suatu tempat. Pada habitat larva di Desa Doro, Halmahera
Selatan ditemukan predator seperti udang, larva capung, ikan dan berudu
(Mulyadi 2010).

2.4.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles


Siklus hidup nyamuk pada umumnya mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa serta menyelesaikan
daur hidupnya selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam dua perbedaan
habitatnya yaitu lingkungan air (akuatik) dan di daratan (terestrial) (Foster dan
Walker 2002). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan akuatik ke lingkungan
teresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya secara komplit di lingkungan
akuatik. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup nyamuk, terutama masa jentik (larva) dan pupa (Gambar 2).

   

Telur nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu


persatu di dalam air atau bergerombolan tetapi saling melepas. Telur Anopheles
mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2-3
hari. Pertumbuhan larva berlangsung sekitar 7-20 hari tergantung suhu. Selain itu
pertumbuhan larva juga dipengaruhi nutrien dan keberadaan predator (Service dan
Thowson 2002).
Larva sering ditemukan pada kumpulan air yang dangkal. Pada umumnya
Anopheles menghindari air yang tercemar polusi, hal ini berhubungan langsung
dengan kandungan oksigen dalam air. Selain itu, terdapat hubungan antara
kepadatan larva dengan predator, seperti ikan pemakan larva dan lain-lain. Larva
Anopheles ada yang senang sinar matahari (heliofilik), tidak senang matahari
(heliofobik) dan suka hidup di habitat yang terlindung dari cahaya matahari
(shaded). Jenis air pun memiliki peranan yang cukup penting. Larva Anopheles
lebih menyukai air yang mengalir tenang ataupun tergenang. Peningkatan suhu
akan mempengaruhi tingkat perkembangan dan distribusi larva. Larva Anopheles
berada dipermukaan air supaya bisa bernafas melalui spirakel.
Kepompong (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan akuatik dan
tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-
alat tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada
nyamuk jantan antara 1-2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya
nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina
yang berasal dari satu kelompok telur. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
ini berkisar 25–27 °C. Pada stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2-4
hari (O’Connor dan Soepanto 1981 ) . 
Tempat perindukan vektor merupakan tempat yang dipergunakan oleh
nyamuk Anopheles untuk berkembang biak untuk memulai proses siklus hidupnya
hingga menjadi nyamuk (Foster dan Walker 2002). Jenis air yang dimanfaatkan
untuk perkembangbiakan Anopheles berbeda-beda. Beberapa habitat larva dapat
hidup di kolam kecil, kolam besar dan genangan air, yang bersifat sementara atau
di rawa-rawa yang permanen. Walaupun sebagian besar Anopheles hidup di
habitat perairan tawar, tetapi ada beberapa spesies Anopheles berkembang biak di
air asin.

   

 
Gambar 2 Siklus hidup nyamuk Anopheles (Sumber :WHO 1997)

Aktifitas manusia banyak menyediakan terjadinya tempat perindukan yang


cocok untuk pertumbuhan vektor malaria, seperti genangan air, selokan,
cekungan-cekungan yang terisi air hujan, sawah dengan aliran air irigasi. Jenis
perindukan ini merupakan tempat koloni vektor malaria seperti An. gambie dan
An. arabiens di Afrika, An. culicifacies dan An. subpictus di India, An. sinensis di
Cina, serta An. aconitus di banyak negara Asia Tenggara ( Services dan Towson
2002).
Menurut Takken dan Knols (2008), tempat perindukan vektor dibagi
menjadi dua tipe yaitu tipe permanen (rawa-rawa, sawah non teknis dengan aliran
air gunung, mata air, kolam) dan tipe temporer (muara sungai tertutup pasir di
pantai, genangan air payau di pantai, genangan air di dasar sungai waktu musim
kemarau, genangan air hujan dan sawah tadah hujan rawa-rawa). Faktor faktor
yang berhubungan dengan perindukan larva Anopheles antara lain vegetasi
(tumbuh-tumbuhan).

   
10 

BAB 3
BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan April-Mei 2012
di bekas galian timah (kolong) yang ada di tiga kecamatan di Kota Pangkalpinang,
Bangka Belitung serta di laboratorium Entomologi Kesehatan FKH IPB.
3.2. Metode
3.2.1. Pengumpulan Larva
Pengumpulan larva dilakukan dengan cara penyidukan larva nyamuk di
suatu titik yang ada di sekitar bekas galian. Penyidukan dilakukan menggunakan
cidukan yang terbuat dari plastik dengan gagang panjang yang memiliki volume
500 ml. Penyidukan dilakukan di 3-4 titik dengan sepuluh kali cidukan setiap titik.
Kolong yang diperiksa adalah 30% dari semua kolong yang ada dan hanya
dilakukan dari kolong yang terjangkau, sedangkan kolong yang tidak terjangkau
tidak diamati karena berada di tengah hutan sehingga sulit diamati.
Larva yang ditemukan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi alkohol
70%. Hal ini dilakukan untuk mematikan larva dan menjaga bentuk larva agar
tidak cepat hancur. Kemudian larva dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
3.2.2. Identifikasi Larva
Untuk mempermudah identifikasi larva maka spesimen larva yang
ditemukan dibuat sediaan preparat. Tahapan pembuatan slide preparat yang
pertama adalah spesimen larva dimatikan dengan alkohol 70%, kemudian dibilas
air biasa lalu dimasukkan dalam larutan KOH 10% di atas api untuk penipisan
kitin. Spesimen kemudian dibilas dengan air 2-3 kali, jika abdomen larva
mengembung dapat ditusuk dengan jarum halus, kemudian ditekan perlahan
menggunakan kuas sampai isi abdomen bersih. Tahapan selanjutnya dehidrasi
dengan alkohol bertingkat dari 40- 60%, lama setiap fase perendaman 10 menit.
Selanjutnya penjernihan (clearing) dilakukan dengan merendam spesimen di
dalam minyak cengkeh 60% selama 15-30 menit.
Pencucian lemak dari specimen menggunakan xylol, pencucian pertama
akan berkabut, kemudian diganti dengan larutan xylol yang baru, dilakukan
beberapa kali sampai bersih. Setelah itu dilakukan pembuatan slide preparat

   
11 

dengan media canada balsam, diteteskan 2-3 tetes, spesimen diletakkan di tengah
media canada balsam sambil diatur posisi larva agar tetap rapi, diusahakan tidak
ada bagian tubuh yang terputus. Sebelumnya xylol dioleskan pada cover glass
sebelum digunakan untuk menutup spesimen, kemudian diletakkan perlahan-lahan
di atas spesimen. Selanjutnya dilakukan pengeringan spesimen di dalam warmer
1-2 hari dan dilakukan pelabelan serta penyimpanan. Setelah pembuatan preparat
selesai, identifikasi larva dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan FKH
IPB dengan kunci identifikasi larva Anopheles spp. (O’Connor dan Soepanto
1989) atau dengan mencocokkan spesimen yang sudah ada di laboratorium
Entomologi Kesehatan.
3.2.3. Pengukuran Karakteristik Habitat
Karakteristik habitat yang diamati adalah luas bekas galian timah,
kekeruhan air, dasar habitat, pengukuran suhu air (dengan termometer), kadar pH
(dengan menggunakan kertas lakmus), salinitas (menggunakan Salinometer),
keberadaan tanaman air di pinggir kolong (seperti enceng gondok, kantung
semar), keberadaan predator larva (ikan, kecebong, dll), dan umur bekas galian
(wawancara).
Luas kolong dihitung dengan cara perkiraan atau estimasi panjang dan lebar
kolong tersebut dalam satuan meter. Tingkat kekeruhan air kolong dibedakan
menjadi tiga, yaitu jernih, kuning (keruh), dan coklat (sangat keruh). Adapun
penentuan dasar habitat dilakukan dengan melihat komponen dasar dari kolong
yang diperiksa, yaitu tanah, pasir atau lumpur. Contoh dasar air diambil dengan
cidukan atau dapat melakukan pengamatan visual bila genangan air jernih.
Suhu air dihitung dengan menggunakan termometer raksa dengan nilai
maksimal 100 °C. Perhitungan suhu dengan cara mencelupkan termometer ke
dalam air kolong yang diperiksa kurang lebih 5 menit. Pembacaan hasil
pengukuran dengan melihat batas kenaikan air raksa pada skala pengukuran yang
tertera pada termometer. Pengukuran parameter pH menggunakan kertas lakmus.
Kertas lakmus dicelupkan ke dalam air kolong yang diperiksa, kemudian warna
yang muncul dibaca pada tabel warna pH.
Salinitas air diukur menggunakan hand refractometer. Hasil pengukuran
dengan melihat tingkat beda warna yang terbentuk pada skala ukur. Keberadaan

   
12 

tanaman dilihat dengan pengamatan visual berupa alga, lumut, dan tanaman pada
permukaan. Adapun pemeriksaan keberadaan predator larva dilakukan dengan
penangkapan predator menggunakan cidukan, kemudian diidentifikasi. Predator
larva nyamuk antara lain ikan kecil, udang kecil, berudu, dan larva capung.
3.3. Pengumpulan Data
Beberapa data diperlukan untuk menunjang hasil penelitian seperti data
cuaca dan data kasus malaria di Kota Pangkalpinang. Data cuaca diperoleh dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pangkalpinang.
Data yang diambil adalah data curah hujan tahun 2008 - 2011. Adapun data kasus
malaria yang terjadi pada tahun 2008-2011 diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Pangkalpinang.

3.4. Analisis Data


Data karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp.
dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Adapun
data nilai angka kesakitan malaria atau annual parasite incidence (API) dan
indeks curah hujan dilakukan uji analisis regresi linear.  Pengukuran kepadatan
larva Anopheles spp. dalam setiap jenis habitat dihitung dengan cara
menjumlahkan larva Anopheles spp. dibagi banyaknya cidukan.

   
13 

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis dan Kepadatan Larva Anopheles spp.


Dari 14 habitat potensial yang diperiksa terdapat satu habitat positif
ditemukan larva Anopheles dengan kepadatan 0.5 larva/cidukan. Habitat ini
terdapat di Kecamatan Gabek dengan karakteristik pH 4.5, suhu 30.1 °C, dan
salinitas 0‰. Larva Anopheles yang ditemukan berkembangbiak di air jernih.
Selain itu, ditemukan juga ikan yang berpotensi menjadi predator larva serta
tanaman air seperti rumput dan alga. Adapun kedalaman habitat ditemukannya
larva Anopheles adalah 0.5 m, dengan lokasi di tepi habitat yang mempunyai
kedalaman 5-20 cm (Tabel 1 dan 2). Tiga belas habitat potensial lainnya tidak
ditemukan larva Anopheles spp. Hujan yang disertai panas pada bulan April-Mei
saat ditemukan larva mengakibatkan perkembangbiakan larva Anopheles
meningkat, sedangkan pada bulan Juli-Agustus tidak ditemukan larva. Hal ini
kemungkinan akibat pengaruh musim kemarau yang terjadi sehingga larva
Anopheles sulit ditemukan.
Dari lima larva Anopheles yang ditemukan semuanya merupakan jenis An.
letifer. Namun larva An. letifer yang dapat dijadikan sedian preparat hanya satu
larva dengan ciri-ciri jarak antara pangkal bulu klipeus dalam berdekatan, cabang
bulu antena melebihi tebing batang serta ujung antena yang runcing (Gambar 3A).
Larva An. letifer memiliki abdomen tanpa bulu kipas atau hanya pada dua sampai
tiga ruas abdomen saja. Bentuk bulu kipas pada larva ini tidak sempurna (Gambar
3B, 3C).
Menurut Hodgkin (1950) tempat perindukan An. Letifer ditemukan di
dataran dekat pantai dengan kondisi air yang tergenang dan terdapat tumbuhan
disekitarnya. Larva An. letifer sangat intoleran terhadap kadar garam air, tidak
pernah ditemukan pada kondisi salinitas air lebih dari 3‰. Hal ini sesuai dengan
keadaan habitat ditemukannya larva Anopheles di Pangkalpinang yaitu terdapat
tumbuhan di sekitar kolong dengan kondisi air tergenang dan salinitas 0‰. An.
letifer merupakan vektor utama penyakit malaria di Pangkalpinang saat ini dan
merupakan vektor paling penting dari kelompok umbrosus, karena tempat
berkembangbiaknya dekat dengan pemukiman masyarakat. Selain itu juga

   
14 

ditemukan An. sundaicus dan An. nigerrimus sebagai vektor penyakit mlaria
(Dinkes 2011).

A B

C D

E F

Gambar 3 Morfologi larva An. letifer. Bulu klipeus dan cabang bulu antena di
kepala An. letifer 10x (A), Bulu kipas pada abdomen ruas III-IV larva
An. letifer 40x (B), Bulu kipas pada abdomen ruas IV larva An. letifer
40x (C), Abdomen ruas III-V larva An. letifer (D), Toraks larva An.
letifer bagian dorsal (E), Ujung abdomen larva An. letifer bagian
dorsal (F).

   
15 

4.2. Jenis Habitat Potensial Perkembangbiakan larva Anopheles spp.


Pulau Bangka merupakan suatu pulau penghasil timah di Indonesia. Seiring
banyaknya masyarakat yang membuka lahan timah secara ilegal menyebabkan
terbentuknya lubang bekas penambangan timah seperti kolam atau danau (lubang
camuy). Kolam atau danau bekas penambangan dikenal dengan sebutan kolong.
Kolong pasca penambangan timah telah terjadi sejak penambangan timah dimulai,
dan tersebar di beberapa kecamatan. Kolong tersebut tidak dimanfaatkan dan
direklamasi sehingga berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk.
Jenis habitat potensial nyamuk Anopheles spp. yang diamati di Kota
Pangkalpinang sebanyak 14 kolong. Habitat ini tersebar di tiga kecamatan, yaitu
Kecamatan Bukit Intan, Kecamatan Gerunggang dan Kecamatan Gabek. Pada
Kecamatan Bukit Intan terdapat sepuluh kolong, yaitu delapan di Desa Air Itam
dan dua di Desa Air Mangkok (Gambar 4). Kecamatan Gerunggang terdapat tiga
kolong yang berada di Desa Kacang Pedang (Gambar 5). Adapun di Kecamatan
Gabek hanya satu kolong, yaitu di Desa Selindung (Gambar 6). Habitat yang
ditemukan mempunyai ukuran yang bervariasi dari kecil sampai besar.
Kecamatan Bukit Intan memiliki kolong paling banyak dari pada
Kecamatan Gerunggang dan Kecamatan Gabek. Hal ini karena di Kecamatan
Bukit Intan masih banyak memiliki lahan kosong sehingga banyak masyarakat
yang membuka lahan tambang secara ilegal di daerah tersebut. Kolong-kolong
yang terdapat di Kota Pangkalpinang pada umumnya terletak tidak jauh dari
pemukiman penduduk, ± 0.5-2 km. Masyarakat selain melakukan aktifitas
menambang juga menggunakan kolong untuk mandi dan mencuci. Aktifitas
masyarakat inilah yang berpotensi meningkatkan penularan penyakit malaria.

   
16 

A B

C D

E F

G H

I J

Gambar 4 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Bukit Intan.


Kolong di Desa Air Itam (A-H), Kolong di Desa Air Mangkok (I-J)

   
17 

A B

Gambar 5 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Gerunggang.


Kolong di Desa Kacang Pedang (A-C).

Gambar 6 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Gabek, Desa


Selindung.

4.3. Karakteristik Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles


spp.
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles memiliki karakteristik yang
beragam. Beberapa spesies Anopheles hidup dengan kondisi lingkungan yang
berbeda. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti luas
habitat, pH, salinitas, kedalaman, predator, curah hujan, dan suhu.
4.3.1 Umur, Luas, Kekeruhan, Kedalaman, dan Dasar Habitat Potensial
Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.
Habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Kota
Pangkalpinang memiliki umur yang bervariasi, yaitu dari satu tahun sampai
dengan 29 tahun (Gambar 4B, 4H). Seiring dengan bertambahnya umur, kondisi

   
18 

kolong berubah menjadi hampir menyerupai habitat alami yang dapat menjadi
tempat kehidupan organisme air, termasuk larva nyamuk Anopheles, sehingga
berpotensi menjadi habitat perkembangbiakan.
Luasan habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles spp. yang
diperiksa antara 100–6000 m2. Habitat perkembangbiakan yang paling luas
terletak di kecamatan Bukit Intan (Gambar 4E). Selain itu luasan dapat
berpengaruh terhadap kelembapan dan masa waktu genangan. Semakin luas
genangan maka potensi menjadi habitat potensial semakin lama. Suwito (2010)
menemukan larva Anopheles spp. dengan variasi luas habitat yang berbeda di
Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran. Penelitian Amirullah (2012) di Desa
Saketa, Halmahera Selatan juga menemukan An. farauti pada habitat dengan luas
yang bervariasi mulai dari 5 m2- 250 m2, sedangkan An. indefinitus ditemukan di
habitat dengan luas 1–35 m2.
Kolong yang terdapat di Kota Pangkalpinang sebagian besar mempunyai
dasar perairan berupa pasir. Habitat dengan dasar berupa pasir bercampur lumpur
juga ditemukan di Kecamatan Gerunggang. Perairan dengan dasar lumpur banyak
terdapat tumbuhan air yang tumbuh sehingga dapat digunakan sebagai tempat
persembunyian larva Anopheles dari serangan hewan predator. Selain itu,
tumbuhan air juga menyediakan mikroflora dan mikrofauna yang penting untuk
kehidupan larva Anopheles. Soekirno et al. (1983) menyatakan larva Anopheles
lebih suka pada dasar perairan yang cenderung berpasir. Larva Anopheles juga
dapat berkembangbiak di habitat dengan dasar lumpur seperti yang dilaporkan
oleh Suwito (2010) di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin, Lampung Selatan.
Sebagian besar larva Anopheles ditemukan pada perairan dengan dasar lumpur,
yaitu larva An. sundaicus, An. subpictus, An. kochi, An. annularis, An. vagus, An.
aconitus, An. barbitoris, An. maculatus, An. minimus, dan An. tesselatus. Selain
itu, larva Anopheles sp. juga ditemukan di habitat dengan dasar tanah di Mayong,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Mardiana et al. 2005 dalam Suwito 2010).

   
19 

Tabel 1 Umur, luas, kekeruhan, kedalaman, dan dasar habitat potensial


perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Kota Pangkalpinang

Lokasi Umur Luas Dasar Kekeruhan Kedalaman Larva


(tahun) (m2) (m)
Kecamatan
Bukit Intan
Situs 1 5 500 Lumpur Kuning ±6 -
Situs 2 29 3000 Pasir Jernih ±10 -
Situs 3 6 200 Tanah Jernih 0.50 -
Situs 4 6 2000 Pasir Kuning ±7 -
Situs 5 15 6000 Pasir Jernih 7 -
Situs 6 6 200 Tanah Jernih 0.50 -
Situs 7 29 3000 Pasir Jernih ±10 -
Situs 8 5 420 Pasir dan lumpur Jernih 4 -
Situs 9 1 200 Pasir Kuning 0.5 -
Situs 10 1 100 Pasir Coklat 0.5 -
Kecamatan
Gerunggang
Situs 11 11 2000 Pasir dan lumpur Coklat 8 -
Situs 12 11 1500 Pasir dan lumpur Coklat 0.5 -
Situs 13 1 100 Pasir dan lumpur Coklat 8 -
Kecamatan
Gabek
Situs 14 1 100 Pasir Jernih 0.5 +
Keterangan (-) tidak dijumpai larva Anopheles, (+) dijumpai larva Anopheles jenis
An. letifer

Tingkat kekeruhan air pada habitat dapat ditentukan dengan melihat


keadaan air yang jernih, kuning (keruh) atau coklat (sangat keruh). Kekeruhan
dapat disebabkan oleh zat yang tersuspensi, baik yang bersifat organik maupun
anorganik. Zat organik merupakan makanan bagi bakteri atau mikroorganisme
yang ada dalam air dan mendukung perkembangbiakannya. Saleh (2002)
menemukan larva Anopheles spp. dapat hidup dan berkembangbiak di air yang
jernih, keruh bahkan sangat keruh di Dusun Mataram Lengkong, Kabupaten
Sukabumi. Larva An. sundaicus di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara
lebih banyak ditemukan pada habitat air keruh (Sembiring 2005). Adapun
beberapa spesies dari An. farauti, An. punctulatus, An. vagus, dan An. kochi juga
ditemukan di habitat air keruh (Mulyadi 2010).
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. di Kota Pangkalpinang
mempunyai kedalaman antara 0.5–10 m. Pada beberapa tempat, nyamuk
Anopheles spp. dapat bertahan hidup dan berkembang dengan kedalaman air yang

   
20 

berbeda-beda. Larva Anopheles biasanya ditemukan di perairan yang dangkal. Hal


ini dikarenakan kandungan oksigen yang lebih banyak di perairan yang dangkal
sehingga produktivitas makhluk air lebih besar, termasuk larva Anopheles. Grieco
et al. (2007) menyatakan bahwa larva Anopheles ditemukan pada air dengan
kedalaman 30-50 cm. Suwito (2010) menemukan larva Anopheles di Kecamatan
Padangcermin pada kedalaman air yang bervariasi, An. tesselatus (5 cm), An.
maculatus (50-150 cm), An. indefinitus (20-150 cm), An. aconitus (10-15 cm), dan
An. subpictus (20-200 cm), sedangkan di Kecamatan Rajabasa ditemukan An.
tesselatus (100-200 cm), An. indefinitus (10 cm), An. aconitus (10-200 cm) dan
An. subpictus (10-200 cm). Mardiana et al. (2007) menemukan larva Anopheles
pada perairan dangkal di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat,
yaitu larva A. sundaicus pada perairan dengan kedalaman air 15 cm, larva A.
vagus dan A. kochi pada kedalaman air 10 cm.

4.3.2. Derajat Keasaman, Suhu, Salinitas, Predator, dan Tanaman air


Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.

Derajat keasaman (pH) habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. di


Kecamatan Bukit Intan adalah 5-7. Sedangkan di Kecamatan Gerunggang dan
Gabek mempunyai pH yang lebih rendah, yaitu 4-5. Derajat keasaman air yang
kondusif bagi hewan air untuk bereproduksi adalah 6.5-9 (Swingle 1961 diacu
dalam Boyd 1990). Derajat Keasaman memiliki pengaruh terhadap keberadaan
larva Anopheles. Larva nyamuk Anopheles spp. dapat hidup pada berbagai kondisi
pH, seperti An. letifer yang dapat bertahan hidup pada pH rendah (Takken et al
1990). Larva An. culicifacies ditemukan hidup pada kisaran pH 5.4-9.8, An.
plumbeus pH 4.4-9.3, sedangkan An. stephensi dan An. varuna ditemukan pada
pH air 6-11 (Clements 1999). Pada pH kurang dari empat dan lebih dari delapan
jarang ditemukan larva Anopheles (Kengluecha et al. 2005 diacu dalam Suwito
2010). Hal ini dikarenakan pH kurang dari empat merupakan titik kematian asam
dan pH lebih dari delapan merupakan titik kematian basa. Namun karena adanya
perubahan pH dalam setiap tahunnya mengakibatkan larva Anopheles beradaptasi
dengan kadar pH yang selalu berubah. Kebanyakan habitat memiliki pH dengan
sifat asam (Gambar 4A-F, 4J, 5, 6). Di beberapa tempat menunujukan kisaran pH
air yang netral, seperti larva An. farauti di Desa Doro, Halmahera Selatan, Maluku

   
21 

Utara ditemukan pada pH air yang yang netral 6.8-7.1 (Mulyadi 2010). Demikian
juga di Desa Hargotirto, Kabupaten Kulonprogo ditemukan larva Anopheles pada
pH yang netral pada sungai berkisar antara 6.78-7.12, sedangkan pada pada mata
air berkisar antara pH 6.7–7.24 (Santoso 2002).
Suhu air mempengaruhi kehidupan larva Anopheles. Suhu mempengaruhi
kadar oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu maka kadar oksigen dalam
air semakin sedikit. Suhu air dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan paparan sinar
matahari pada habitat. Adanya paparan sinar matahari mempengaruhi jenis larva
Anopheles yang hidup di habitat tersebut. Rata-rata habitat memiliki suhu diantara
28–31 °C. Beberapa tempat menunjukan larva Anopheles spp. dapat hidup dan
berkembangbiak pada suhu yang bervariasi. Suhu habitat larva Anopheles spp.
yang ditemukan di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa lebih tinggi, yaitu 33.5
°C (Setyaningrum et al. 2007). Adapun larva Anopheles spp. yang ditemukan di
Dusun Mataram Lengkong, Kabupaten Sukabumi menunjukan kisaran suhu
optimal air di ketiga kolam antara 22.9-31.2 ⁰C (Saleh 2002). Larva An. farauti di
Desa Doro, Halmahera Selatan ditemukan pada habitat dengan suhu 20-35 °C,
sedangkan larva An. vagus dan An. punctulatus pada suhu 25-28 °C, An. kochi 26-
28 °C, dan An. minimus pada suhu 25-26 °C (Mulyadi 2010).
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. semuanya memiliki nilai
salinitas 0‰. Hal ini dikarenakan tidak adanya kandungan garam pada semua
habitat tersebut.  Beberapa jenis larva Anopheles mampu hidup pada salinitas 0‰,
misalnya An.kochi di Desa Saketa, Halmahera Selatan (Amirullah 2012). Hasil ini
didukung oleh penelitian Setyaningrum et al. (2007) di Desa Way Muli, Lampung
Selatan yang menemukan larva Anopheles di selokan air mengalir dengan salinitas
0‰, begitu juga di rawa-rawa dan selokan air tergenang. An.sundaicus tumbuh
optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18‰ dan tidak dapat
berkembang pada kadar garam 40‰ ke atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan
pula tempat perindukan An. sundaicus pada air tawar (Harijanto 2000). Begitu
juga An. punctulatus, An. vagus, An. kochi dan An. minimus di Desa Doro,
Halmahera Selatan yang berkembangbiak pada habitat air tawar dengan salinitas
0‰. Adapun An. farauti ditemukan pada air tawar maupun air payau dengan
dengan salinitas antara 0-7‰ (Mulyadi 2010).

   
22 

Tabel 2 Nilai pH, suhu, salinitas, predator, dan tanaman air habitat potensial
perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kota Pangkalpinang pada
periode Juli 2011-Mei 2012
Lokasi pH Suhu Salinitas Predator Tanaman air
(°C) (‰)
Kecamatan
Bukit Intan
Situs 1 6.55 29 0 Larva capung Rumput
Situs 2 6.67 29.7 0 Ikan, udang Tumbuhan paku, alga,
rumput

Situs 3 6.28 30.1 0 Ikan, udang Rumput, alga

Situs 4 5.58 28.9 0 Larva capung Rumput

Situs 5 6.05 30.3 0 Ikan Rumput

Situs 6 6.55 30.3 0 Ikan, udang Rumput

Situs 7 7.18 30.3 0 Ikan, larva Rumput, alga


capung
Situs 8 7.15 30.3 0 Ikan, larva Rumput, alga
capung
Situs 9 7.04 30.1 0 Ikan, larva Rumput, paku
capung
Situs 10 6.74 29.9 0 Ikan, larva Rumput, paku
capung
Kecamatan
Gerunggang
Situs 11 5.52 29.9 0 Ikan,larva Enceng gondok, talas,
capung, berudu rumput
Situs 12 4.59 29.7 0 Ikan -

Situs 13 4.04 30.4 0 Ikan, larva Enceng gondok,


capung rumput
Kecamatan
Gabek
Situs 14 4.5 30.1 0 Ikan Rumput, alga

Predator larva ditemukan di semua habitat, seperti ikan, larva capung, dan
berudu. Keberadaan predator pada suatu habitat dapat mengurangi populasi larva
nyamuk vektor. Keberadaan predator tersebut memungkinkan menjadi penyebab
sulitnya menemukan larva Anopheles spp. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
jumlah larva sehingga tidak ditemukannya larva saat dilakukan pemeriksaan di
kolong. Ikan-ikan kecil juga terdapat terdapat pada habitat larva An. sundaicus di
pantai Asahan Sumatera Utara yang diduga sebagai predator (Sembiring 2005).

   
23 

Gambar 7 Tanaman air pada habitat (kolong) larva di Desa Kacangpedang,


Kecamatan Gerunggang

Tanaman air ditemukan pada semua habitat perkembangbiakan larva


Anopheles spp. yang diperiksa. Jenis tanaman air yang ditemukan yaitu rumput,
alga, tumbuhan paku, enceng gondok dan talas (Gambar 7). Tanaman air dapat
mempengaruhi keberadaan larva Anopheles spp. pada suatu tempat. Larva
Anopheles menggunakan tanaman sebagai tempat berlindung dari predator.
Beberapa nyamuk Anopheles menyukai habitat air yang ada tanaman air. Larva
Anopheles spp. hidup mengambang di permukaan air. Larva ini memerlukan
tanaman air atau benda lain yang digunakan untuk menempel atau berlindung
sehingga bisa ditemukan di pinggir maupun di tengah perairan. Namun demikian
pada umumnya larva Anopheles lebih banyak ditemukan di pinggir. Selain itu
keberadaan tanaman air juga dapat menyediakan makanan bagi larva Anopheles
berupa mikroflora dan mikrofauna yang berkumpul di sekitar tanaman.

4.4. Kejadian Penyakit Malaria


Pengukuran angka kesakitan menggunakan annual parasite incidence (API)
dan annual malariae incidence (AMI). API adalah jumlah penderita positif
malaria per 1000 penduduk berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis
(laboratorium), sedangkan AMI adalah jumlah penderita malaria klinis per 1000
penduduk berdasarkan gejala klinis. Namun saat ini yang digunakan untuk
pengukuran angka kesakitan malaria adalah API karena tingkat akurasinya tinggi
terhadap infeksi plasmodium.
Pada tahun 2008 nilai API Kecamatan Bukit Intan adalah 14.36 per 1000
penduduk dengan 590 kasus positif malaria. Nilai API ini mengalami penurunan

   
24 

sampai tahun 2011 hingga 1.77 per 1000 penduduk dengan 72 kasus positif
malaria. Adapun di Kecamatan Gerunggang nilai API tahun 2008 adalah 16.12
per 1000 penduduk dengan 373 kasus positif malaria. NIlai API di Kecamatan
Gerunggang juga mengalami penurunan hingga tahun 2011 menjadi 0.78 per 1000
penduduk dengan 30 kasus positif malaria (Tabel 3).
Pada tahun 2008, Kecamatan Gabek memiliki nilai API 0.7 per 1000
penduduk dengan 7 kasus positif malaria. Namun di tahun 2009 nilai API
mengalami peningkatan menjadi 4.3 per 1000 penduduk dengan 44 kasus positif
dan mengalami penurunan hingga tahun 2011 menjadi 1.83 per 1000 penduduk
dengan 23 kasus positif malaria. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan perilaku
masyarakat di Kecamatan Gabek yang sering beraktifitas pada malam hari
dibandingkan dengan kecamatan Bukit Intan dan Kecamatan Gerunggang
sehingga intensitas kontak dengan nyamuk vektor lebih tinggi. Secara keseluruhan
kecamatan Bukit Intan memiliki rata-rata nilai API yang paling tinggi. Hal ini
dikarenakan kecamatan tersebut memiliki jumlah kolong terbanyak dibandingkan
dengan Kecamatan Gerunggang dan Gabek sehingga banyak habitat potensial
yang dapat dijadikan tempat perkembangbiakan larva Anopheles. Selain itu,
banyaknya masyarakat yang beraktifitas di kolong memungkinkan meningkatnya
potensi penularan penyakit malaria. Namun pada pemeriksaan kolong di
Kecamatan Bukit Intan tidak ditemukan larva, karena kemungkinan pada titik
yang dilakukan penyidukan larva tidak tepat, sehingga tidak ditemukan larva
Anopheles. Selain itu, larva Anopheles kemungkinan hidup di kolong-kolong yang
tidak terjangkau untuk diamati.
Nilai API dari ketiga kecamatan tersebut dapat mempengaruhi nilai API di
Kota Pangkalpinang, yaitu terlihat pada tahun 2008 jumlah kasus positif malaria
adalah 1672 kasus dengan nilai API 10.6 per 1000 penduduk. Hal senada juga
terjadi pada tahun 2009 hingga 2011, yaitu penurunan nilai API menjadi 1.02  per
1000 penduduk dengan jumlah 179 kasus positif di Kota Pangkalpinang (Tabel
4).

   
25 

Tabel 3 Nilai Angka Kesakitan Malaria di tiga Kecamatan Kota Pangkalpinang


dari tahun 2008-2011

Kecamatan 2008 2009 2010 2011


Bukit Intan
Σ Penduduk 41.082 44.548 35.037 40.598
Σ kasus positif 590 287 75 72
API (per 1000 14.36 6.44 2.14 1.77
penduduk)
Gerunggang
Σ Penduduk 23.139 32.400 31.831 38.286
Σ kasus positif 373 291 55 30
API (per 1000 16.12 8.98 1.73 0.78
penduduk)
Gabek
Σ Penduduk 10.263 10.263 13.344 12.552
Σ kasus positif 7 44 14 23
API (per 1000 0.7 4.3 1.0 1.83
penduduk)

Tabel 4 Nilai API, Curah Hujan dan Indeks Curah Hujan (ICH) di Kota
Pangkalpinang

Tahun API (‰) Curah Hujan ICH (mm)


(mm/tahun)
2008 10.6 177.1 116
2009 6.9 155.73 102.08
2010 1.5 287.025 203.62
2011 1.02 241.56 I54.85

Pada tahun 2009-2010 terjadi peningkatan curah hujan dan ICH, tetapi
terjadi penurunan nilai API dari 6.9 ke 1.5 per 1000 penduduk. Pada Gambar 8-
11 terlihat bahwa curah hujan tidak berpengaruh terhadap nilai API ( P> 0.05).
Curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan aliran air yang mengakibatkan
hanyutnya larva-larva nyamuk yang ada sehingga mempengaruhi
perkembangbiakan larva Anopheles yang berdampak turunnya nulai API. Namun
hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya
nyamuk Anopheles.

   
26 

1.2 300

API (per 1000 penduduk)


1 250

Indeks Curah Hujan (mm) 
0.8 200
0.6 150
0.4 100
0.2 50
0 0
JAN FEB MARAPR MEI JUN JUL AGSSEPTOKT NOV DES
ICH 27 54 16 17 46 51 29 50 64 62 23 18
API 1. 0. 0. 0. 0. 1 0. 0. 1. 0. 0. 0.
 
Gambar 8 Hubungan Nilai API dengan Indeks Curah Hujan tahun 2008 

1 350
API (per 1000 penduduk)

300
0.8
250

Indeks Curah Hujan 
0.6 200
0.4 150
100
0.2
50
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEPT OKT NOV DES
ICH 185 28. 287 38. 169 60. 65. 17. 1.9 39. 148 186
API 0.7 0.8 0.7 0.7 0.5 0.6 0.7 0.5 0.3 0.3 0.2 0.3

Gambar 9 Hubungan Nilai API dengan Indeks Curah Hujan tahun 2009

0.3 350
API (per 1000 penduduk)

300
Indeks Curah Hujan (mm) 

0.25
250
0.2
200
0.15
150
0.1
100
0.05 50
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEPT OKT NOV DES
ICH 227 206 320 219 84. 135 95. 306 156 176 255 265
API 0.2 0.1 0.2 0.0 0.0 0.1 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0
 
Gambar 10 Hubungan Nilai API dengan Indeks Curah Hujan tahun 2010 

   
27 

0.18 300
0.16

Indeks Curah Hujan (mm) 
API (per 1000 penduduk)
250
0.14
0.12 200
0.1
150
0.08
0.06 100
0.04
50
0.02
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEPT OKT NOV DES
ICH 220 177 184 273 255 136 29. 7.0 10. 195 223 155
API 0.0 0.0 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1

Gambar 11 Hubungan Nilai API dengan Indeks Curah Hujan tahun 2011 

Musim kemarau yang berkepanjangan dapat menurunkan jumlah tempat


perindukan dan menurunkan insidensi kejadian malaria. Larva nyamuk sangat
rentan terhadap kelembaban udara, suhu udara yang menyimpang dan curah hujan
yang berlebihan (Hadi dan Koesharto 2006). Kondisi cuaca yang tidak menentu
dapat memberikan keuntungan dan kerugian bagi keberlangsungan hidup larva
Anopheles. Perubahan suhu, kelembaban dan curah hujan mengakibatkan nyamuk
lebih sering bertelur sehingga populasi vektor bertambah (Cook 1996; Zell 2004;
Preston et al. 2006).

   
28 

BAB 5
PENUTUP

5.1. Simpulan
Jenis larva Anopheles yang ditemukan di Kecamatan Gabek adalah An.
letifer dengan karakteristik habitat pH 4.5, suhu 30.1 °C, dan salinitas 0‰. Larva
Anopheles yang ditemukan berkembangbiak di air jernih. Selain itu, ditemukan
juga ikan yang berpotensi menjadi predator larva serta tanaman air seperti rumput
dan alga. Adapun kedalaman habitat ditemukannya larva Anopheles adalah 0.5 m.
Karakteristik habitat potensial perkembangbiakan larva Anopheles di Kota
Pangkalpinang memiliki luas 100-6000 m, suhu 28-31 °C, dan salinitas 0‰.
Habitat memiki dasar habitat berupa pasir, pasir bercampur lumpur dan tanah.
Kekeruhan habitat perkembangbiakan larva Anopheles jernih, kuning, dan coklat
dengan kedalaman 0.5-10 m. Tanaman air yang terdapat di habitat potensial antara
lain rumput, alga,tumbuhan paku, enceng gondok, dan talas. Ikan, berudu, dan
larva capung ditemukan di habitat tersebut sebagai predator larva Anopheles.
Berdasarkan karakteristik di atas, kolong berpotensi sebagai tempat
perkembangbiakan larva Anopheles dan dapat mempengaruhi nilai API di Kota
Pangkalpinang.

   
29 

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah. 2012. Karakteristik habitat larva Anopheles spp. di Desa Saketa,


daerah endemik malaria di Kabupaten Halmahera Selatan. [Tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Boyd CE. 1990. Water Quality Management for Ponds Fish Culture. Amsterdam :
Elseveir Scientific. hlm 318.

[CDC] Centre for Disease Control. 2008. Patterns of Feeding And Resting
Anopheles Mosquitoes National Center for Zoonotic, Vector-Borne, and
Enteric Diseases . last modified : June 30 2008.

[CDC] Centre for Disease Control. 2010. Anopheles Mosquitoes. last modified :
February 8 2010.

Clements AN. 1999. Mosquitoes. Volume ke-2, Sensory Reception and Behaviour.
New York : CABI Publising. hlm 740.

Clements AN. 2000. Mosquitoes. Volume ke-1, development, Nutrition, and


Production. New York: CABI Publishing.510 hal.

Cook G. 1996. Manson’s Tropical Diseases. London: WB. Saunders Co.

[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2007. Laporan Tahunan Program Pemberantasan


Malaria. Dinas Kesehatan Pangkalpinang. Provinsi Babel.

[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2011. Laporan Tahunan Program Pemberantasan


Malaria. Dinas Kesehatan Pangkalpinang. Provinsi Babel.

[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2011. Spot Survei. Dinas Kesehatan Pangkalpinang.


Provinsi Babel.

Foster WA, Walker ED. 2002. Mosquitoes (Culicidae). In Mullen G, Durden


L.eds. Med and Vet Entomol. San Deigo: Academic Press.

Grieco JP, Rejmánková E, Achee NL, Klein CN, Andre R, Roberts D. 2007.
Habitat suitability for three species of Anopheles mosquitoes: larval
growth and survival in reciprocal placement experiments. J Vect Ecol.
32(2):176-87.
Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Sigit HS, Upik KH. Editor.
Hama permukiman Indonesia: Pengendalian, Biologi dan Pengendalian.
UKPHP FKH-IPB. Bogor.

Harijanto PN. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan


Pencegahan. Jakarta: EGC.

   
30 

Hodgkin EP. 1950. The Anopheles Umbrosus Group (Diptera : Culicidae) Part II :
Biology and Transmission of Malaria.  Trans Roy Entomol Soc. London.
101: 319-334.

Kengluecha A, Singhasivanon P, Tiensuwan M, Jones JW, Sithiprasasna R. 2005.


Water quality and breeding habitats of anopheline mosquito in
northwestern Thailan. J Trop Med Pub Hlth. 36 (1) : 46-53. [Abstrak].

Mardiana, Yusniar, Nunik A, Aminah S, Yunanto. 2005. Fauna dan tempat


perkembangbiakan potensial nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan
Mayong Kabupaten Jepara. Laporan Penelitian. Jakarta : Litbang Depkes
[Abstrak].

Mardiana, Sukowati S, Wigati RA. 2007. Beberapa aspek perilaku nyamuk


Anopheles sundaicus di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang. J Ekol
Kes 6 (3) : 621-627.

Mulyadi. 2010. Distribusi spatial dan karakteristik habitat perkembangbiakan


Anopheles spp. serta peranannya dalam penularan malaria di Desa Doro
Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara [Tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

O’Connor CT, Soepanto A. 1981. A check list of the mosque of Indonesia. A


special publication of NAMRU2. Jakarta: Indonesia.

O’Connor CT, Soepanto A. 1989. Kunci bergambar Anopheles betina. Jakarta:


Ditjen PPM & PLP, Depkes RI.

Padmaswari MH. 2012. Realita Malaria Indonesia. [terhubung berkala].


http://Realita%20Malaria%20Indonesia.htm [10 Juli 2012].

Prabowo, A. 2004. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Pusoa Swara.

Preston, B. Suppiah, R. Macadam, I. and Bathols, J. 2006. Climate Change in the


Asia/Pacific Region. CSIRO Marine and Atmospheric Research.

Qomariah M. 2004. Survei nyamuk Anopheles yang berpotensi sebagai vektor


malaria di bekas galian timah Kolong Ijo Kelurahan Bacang Kota
Pangkalpinang. [Abstrak] [Skripsi]. Semarang: Universitas Dipenogoro.
http.//eprints.undip.ac.id/5907/1/2314/pdf. [20 juni 2012].

Rao TR. 1981. The Anophelines of India. New Delhi : Indian Council of Medical
Research Pub.

Reid JA. 1968. Anopheline mosquitoes of Malaya and Borneo. Studies from the
Institute for Medical Research Malaya 31: 1–520.

   
31 

Saleh DS. 2002. Studi habitat Anopheles nigerrimus giles dan epidemiologi
malaria di Desa Lengkong, Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santoso B. 2002. Studi karakteristik habitat larva Anopheles mculatus Theobald


dan Anopheles balabacensis Baisas serta beberapa faktor yang
mempengaruhi populasi lava di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap,
Kabupaten Kulonprogo, DIY [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Sembiring JUT. 2005. Karakteristik habitat larva Anopheles sundaicus


(Rodenwald) (Diptera: Culicidae) di daerah pasang surut Asahan Sumatera
Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Service, Townson, 2002. The Anopheles Vector: Essential Malariology. New


York: Arnold Oxford University Press.

Setyaningrum E, Murwani S, Rosa E, Andananta K. 2007. Studi ekologi


perindukan nyamuk vector malaria di Desa Way Muli, Kecamatan
Rajabasa Lampung Selatan. Prosiding seminar hasil penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Lampung: Universitas Lampung.

Sigit S H, Hadi UK. 2006. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi dan
Pengendalian.Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman FKH–IPB.
Bogor.

Soekirno M, Bang JH, Sudomo, Pamayun CP, and Fleming GA. 1983. Bionomics
of An.sundaicus and other Anophelines Assoiciated with Malaria Coastal
Areas of Bali (Indonesia). Sirkuler WHO/VBC/83.885.
Sukowati S. 2005. Manajemen vektor terpadu dan penelitian vektor di Indonesia.
Makalah utama workshop sehari Pengendalian Vektor :Jakarta.

Sunarsih E, Nurjazuli. Sulistiani. 2009. Faktor Resiko Lingkungan dan


Pangkalpinang [Abstrak]. J Kes Ling Indones.

Sutriati A, Brahmana SS.2007. Penelitian kualitas air irigasi pada beberapa sungai
di Jawa Barat. Bul Pusair 16 (47). Dept. PU. Balitbang PP & PSDA.

Suwito. 2010. Bioekologi nyamuk Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan


Pesawaran : Distribusi spasial, keragaman, karakteristik habitat dan
kepadatan [Tesis]. Bogor Program Pascasarjana, Institut Pretanian Bogor.

Swingle HS. 1961. Relationships of pH of pond waters to their suitability for fish
culture. Proc Pac Sci Congr. 10: 72-75.

   
32 

Takken W, Snellen WB, and Verhave JP. 1990. Environmental measures for
malaria control in Indonesia - an historical review on species sanitation.
Wageningen Agricultural University Papers 1990 pp. xiii + 167 pp.

Takken W, Knols B.G.J. 2008. Malaria vector control: Current and future
strategies. Laboratory of Entomology. Netherland: Wageningen
University and Research Centre.

Trung HD, Bortel WV, Sochanta T, Keokencahan K, Briet OJ, Coosemans M.


2005. Behavioural heterogeneity of Anopheles spesies in ecological
different localities in Southeast Asia: a cahallenge for vector control. J
Trop Med Int Hlth. 10(3): 251-262.

WHO. 1997. Vector Control Methods for Use by Individuals and Communities.
http://abspace.open.ac.uk/mod/oucontent/view.php?id=439264&extra=thu
mbnail_id398021310012.htm [6 Agustus 2012].
Zell R. 2004. Global climate change and the emergence/re-emergence of
infectious diseases. Int J Med Microbiol 293 Suppl 37:16-26.

   
33 

LAMPIRAN

Lampiran 1 Cara perhitungan Indeks Curah Hujan (ICH) Kota Pangkalpinang


tahun 2008-2011

Rumus Indeks Curah Hujan (ICH)


= Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
Tahun 2008
ICH (mm) Januari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 372 mm X 23
31 hari
= 276.52 mm
ICH (mm) Februari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 130 mm X 12
29 hari
= 54.16 mm
ICH (mm) Maret = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 206.6 mm X 24
31 hari
.= 159.95 mm
ICH (mm) April = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 275.5 mm X 19
30 hari
= 174.48 mm
ICH (mm) Mei = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 102.8 mm X 14
31 hari
= 46.42 mm
ICH (mm) Juni = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 118.7 mm X 13
30 hari
= 51.43 mm
ICH (mm) Juli = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 82.1 mm X 11
31 hari
= 29.13 mm

   
34 

ICH (mm) Agustus = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)

= 119.8 mm X 13
31 hari
= 50.24 mm
ICH (mm) September = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 120.3 mm X 16
30 hari
= 64.16 mm
ICH (mm) Oktober = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 95.5 mm X 20
31 hari
= 61.61 mm
ICH (mm) November = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 256.3 mm X 28
30 hari
= 239.21 mm
ICH (mm) Desember = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 244 mm X 23
31 hari
= 181.03 mm
ICH 2008 = Σ ICH 12 Bulan
12
= 116 mm

Tahun 2009
ICH (mm) Januari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 249.4 mm X 23
31 hari
= 185.04 mm
ICH (mm) Februari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 49.6 mm X 16
28 hari
= 28.34 mm
ICH (mm) Maret = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 370.3 mm X 24
31 hari
.= 286.68 mm
ICH (mm) April = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)

   
35 

= 95.2 mm X 19
30 hari
= 38.08 mm
ICH (mm) Mei = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 240.8 mm X 21
31 hari
= 168.56 mm
ICH (mm) Juni = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 129.7 mm X 14
30 hari
= 60.52 mm
ICH (mm) Juli = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 155.6 mm X 13
31 hari
= 65.25 mm
ICH (mm) Agustus = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 78.0 mm X 7
31 hari
= 17.61 mm
ICH (mm) September = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 11.8 mm X 5
30 hari
= 1.967 mm
ICH (mm) Oktober = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 94.8 mm X 13
31 hari
= 39.75 mm
ICH (mm) November = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 184.6 mm X 24
30 hari
= 147.68 mm
ICH (mm) Desember = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 205.4 mm X 28
31 hari
= 185.52 mm
ICH 2009 = Σ ICH 12 Bulan
12
= 102.08 mm

   
36 

Tahun 2010
ICH (mm) Januari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 281.0 mm X 25
31 hari
= 226.61 mm
ICH (mm) Februari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 288.5 mm X 20
28 hari
= 206.07 mm
ICH (mm) Maret = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 471.8 mm X 21
31 hari
.= 319.60 mm
ICH (mm) April = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 312.6 mm X 21
30 hari
= 218.82 mm
ICH (mm) Mei = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 137.4 mm X 19
31 hari
= 84.21 mm
ICH (mm) Juni = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 183.9 mm X 22
30 hari
= 134.86 mm
ICH (mm) Juli = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 140.7 mm X 21
31 hari
= 95.31 mm
ICH (mm) Agustus = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 430.7 mm X 22
31 hari
= 305.66 mm
ICH (mm) September = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 203.8 mm X 23
30 hari
= 156.25 mm
ICH (mm) Oktober = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)

   
37 

= 286.9 mm X 19
31 hari
= 175.84 mm

ICH (mm) November = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 364.9 mm X 21
30 hari
= 255.43 mm
ICH (mm) Desember = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 342.1 mm X 24
31 hari
= 264.85 mm
ICH 2010 = Σ ICH 12 Bulan
12
= 203.62 mm

Tahun 2011
ICH (mm) Januari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 253.1 mm X 27
31 hari
= 220.44 mm
ICH (mm) Februari = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 309.9 mm X 16
28 hari
= 177.08 mm
ICH (mm) Maret = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 228.5mm X 25
31 hari
.= 184.27 mm
ICH (mm) April = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 356.2 mm X 23
30 hari
= 273.08 mm
ICH (mm) Mei = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 343.9 mm X 23
31 hari
= 255.15 mm
ICH (mm) Juni = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 271.6 mm X 15

   
38 

30 hari
= 135.8 mm
ICH (mm) Juli = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 91.1 mm X 10
31 hari
= 29.38 mm
ICH (mm) Agustus = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)

= 43.6 mm X 5
31 hari
= 7.03 mm
ICH (mm) September = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 78.6 mm X 4
30 hari
= 10.48 mm
ICH (mm) Oktober = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 301.9 mm X 20
31 hari
= 194.77 mm
ICH (mm) November = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 351.9 mm X 19
30 hari
= 222.87 mm
ICH (mm) Desember = Σ curah hujan (mm) perbulan X Σ hari hujan perbulan
Σ hari (dalam satu bulan)
= 268.5 mm X 24
31 hari
= 207.87 mm
ICH 2011 = Σ ICH 12 Bulan
12
= 1154.85 mm

   
39 

Lampiran 2 Hasil Analisis Regresi Linear antara Nilai API dengan Indeks Curah
Hujan

Regression Analysis: API versus Curah Hujan

The regression equation is


API = 18,6 - 0,0630 Curah Hujan

Predictor Coef SE Coef T P


Constant 18,565 6,742 2,75 0,110
Curah Hujan -0,06296 0,03043 -2,07 0,174
S = 3,16836 R-Sq = 68,2% R-Sq(adj) = 52,2%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 1 42,98 42,98 4,28 0,174
Residual Error 2 20,08 10,04
Total 3 63,06

   

You might also like