Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 45

Jurnal Reading

Tumor Necrosis Factor (TNF)-a Inhibits Insulin Signaling


through Stimulation of the p55 TNF Receptor
and Activation of Sphingomyelinase

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi Molekular dan Genetika

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Paramasari Dirgahayu, dr., Ph.D.

Disusun Oleh :
Amalina Rizma S531808002
Enik Guntiyastutik S531808016
Husnul Khatimah S531808020
Yustika Sari S531808050

PEMINATAN CLINICAL NUTRITION


PROGRAM STUDI ILMU GIZI PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019

i
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2

C. Tujuan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Pankreas ............................................................ 4

B. Glukosa ................................................................................................. 7

C. Diabetes Melitus Type 2 ........................................................................ 20

D. Jurnal Reading ; Tumor Necrosis Factor (TNF)-a Inhibits Insulin

Signaling through Stimulation of the p55 TNF Receptor and Activation

of Sphingomyelinase ............................................................................ 24

BAB II PENUTUP

Kesimpulan .................................................................................................. 49

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas ...................................................... 6

Gambar 2 Peran Kinase dalam Kaskade Pensinyalan Insulin dan Interaksinya


dengan Nutrisi dalam Kontrol Fungsi Fisiologi yang Dimediasi
FOXO1. AA = Amino Acids; FFA = Free Fatty Acid; HGP =
Hepatic Glucose Production; Agt= Angiotensinogen; Hmox-1=
Heme Oxygenese-1 G6pc = Glucose-6-Phosphatase Catalytic
Subunit; Agrp = Agouti-Related Peptide; pY = Trrosine
Phosphorylation; pS/T = Serine/Threonine Phosphorylation; OGT =
O’GLcNac Transferase; HBP = Hexosamine Biosynthetic Pathway;
PIP2 = phosphatidylinositol 4,5-biphosphate; PIP3 =
Phosphatidylinositol 3,4,5 - triphosphate; PTP1B = Protein Tyrosine
Phosphatase; PTEN = Phosphatase and Tensin Homolog; PDK =
Phosphoinositide-Dependent Protein Kinase; PI3K =
Phosphatidylinositide 3-Kinase; PIKKs = PI3K-Related Kinase
Family; IR = Insulin Receptor ....................................................... 10

Gambar 3 Organ-organ yang mengontrol kadar glukosa plasma. Konsentrasi


glukosa plasma normal bervariasi antara 70 dan 120 mg/dL (4-6,7
mM). Kadar glukosa darah secara keseluruhan sekitar 10-15% lebih
rendah dari kadar plasma karena perpindahan komponen seluler
sGambar 1. Organ-organ yang mengontrol kadar glukosa plasma.
Konsentrasi glukosa plasma normal bervariasi antara 70 dan 120
mg/dL (4-6,7 mM). Kadar glukosa darah secara keseluruhan sekitar
10-15% lebih rendah dari kadar plasma karena perpindahan
komponen seluler selama persiapan plasma. ................................. 11

Gambar 4 Pembelahan proinsulin untuk membentuk insulin dan C-peptida . 14

Gambar 5 Pelepasan insulin dipengaruhi oleh berbagai rangsangan positif dan


negatif yang berbeda...................................................................... 14

Gambar 6 Dua fase sekresi insulin diamati selama stimulasi glukosa yang
berkepanjangan. Fase cepat merupakan pelepasan hormon yang
disintesis sebelumnya, fase lambat merupakan induksi sintesis
hormon baru (penundaan ini disebabkan oleh waktu yang diperlukan
untuk transkripsi, sintesis protein dan pasca pengolahan translasi).
Skala waktu: fase cepat dimulai kurang dari satu menit setelah
stimulasi dan berakhir sekitar 10 menit kemudian, fase lambat

iii
dimulai sekitar 15-20 menit setelah stimulasi awal dan berakhir
ketika stimulasi berakhir................................................................ 15

Gambar 7 Efek intraseluler dari pengikatan insulin ke reseptor insulin. Ikatan


insulin mengaktifkan reseptor insulin tirosin kinase. Fosforilasi
berbagai protein intraseluler menghasilkan perubahan aktivitas
protein, perubahan laju transkripsi gen untuk gen spes spesifik, dan
(pada otot dan jaringan adiposa) dalam translokasi transporter
glukosa GLUT4 ke membran plasma, dan karenanya meningkatkan
penyerapan glukosa ke dalam jaringan ini. ................................... 16

Gambar 8 TNF-a inhibits IR and IRS-1 tyrosine phosphorylation ................ 30

Gambar 9 Inhibition of insulin signaling by human and mouse .................... 31

Gambar 10 Inhibition of insulin-stimulated IR and IRS-1 tyrosine


phosphorylation by antibody activation of p55 TNFR and p75 TNFR
....................................................................................................... 33

Gambar 11 Ceramide- and sphingomyelinase-induced inhibition of IR and IRS-


1 tyrosine phosphorylation. ........................................................... 34

Gambar 12 TNF-a, sphingomyelinase, and ceramide convert IRS-1 but not IRS-
2 into an inhibitor of the IR tyrosine kinase activity. .................... 36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Metabolik syndrome (Mets) secara resmi dikenal sebagai sindrom X
dimana merupakan kelainan yang meningkatkan risiko diabetes dan beberapa
penyakit lain (Dogla, 2018). Penyakit kardiovaskuler terkait dengan Mets
antara lain hiperglikemia, hipertensi, dyslipidemia, resisten insulin yang
menyebabkan meningkatnya prevalensi kejadian penyakit kardiovaskuler dan
diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) (Peyrol, 2017). Mets menunjukkan
terjadinya disfungsi adiposa yang menyebabkan sekresi abnormal
adipocytokines seperti activator-1 (PAI-1), TNF-α dan adiponektin yang
berhubungan dengan resistensi insulin serta gangguan dalam penyimpanan
trigliserida (Dogla, 2018).
Diabetes melitus tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas, hal ini sebagian besar dikaitkan dengan meningkatnya prevalensi
kejadian kardiovaskular (Harrington, 2014). Pasien dengan DM tipe 2 memiliki
peningkatan risiko kematian 15% dan dua kali lipat pada orang muda dan pada
usia di bawah 55 tahun serta pasien yang memiliki konsentrasi HbA1c 6,9%
(55 mmol/mol) atau kurang memiliki risiko dua kali lebih tinggi dari orang-
orang tanpa DM. berdasarkan hasil meta-analisis DM dikaitkan dengan risiko
penyakit jantung koroner (Chaterjee, 2017).
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan hiperinsulinemia, resistensi
insulin, dan kegagalan sel β pancreas. Kegagalan pada sel β pankreas lebih
cepat pada pasien muda (10-17 tahun), dimana organ yang terlibat dalam
perkembangan diabetes melitus tipe 2 meliputi pankreas (sel β panckeas dan
sel α), hati, otot rangka, ginjal, otak, usus halus dan jaringan adipose
(Chaterjee, 2017). Resistensi insulin merupakan fitur penting dan faktor
risiko untuk diabetes melitus tipe 2 yang diartikan sebagai akibat
kegagalan insulin untuk meningkatkan penyerapan glukosa dan
pemanfaatan untuk memfasilitasi kelangsungan hidup dan proliferasi.

1
Resistensi insulin terjadi pada jaringan yang sensitif insulin seperti hati,
otot dan jaringan adiposa serta saluran pencernaan, system saraf dan di
pancreas sel β (Nigi, 2018).
Sekitar 50% dari risiko kejadian T2DM dikaitkan dengan gaya hidup
dan faktor lingkungan (Harrington, 2014). Diabetes mellitus type 2 dipengaruhi
secara genetik maupun karena faktor lingkungan. Faktor genetik mengarahkan
seseorang untuk terpapar lingkungan yang disebut “obesogenic environment”
yang ditandai dengan perilaku sedentary serta konsumsi gula dan garam yang
berlebih (Chaterjee, 2017). Faktor gaya hidup termasuk nutrisi berperan
penting dalam pencegahan dan pengobatan T2DM. Salah satu nutrisi yang
berperan adalah karbohidrat. Selain dalam hal kualitas yang dikonsmusi,
kualitas karbohidrat sangat berperan dalam regulasi glukosa (Argiana, 2014).
Interaksi nutrisi-gen , serta hubungan antara muatan genetic individu dan diet
memeiliki peran penting dalam patofisiologi T2DM. selain itu pemahaman
terkait epigenetic juga sangat berperan dalam pengebangan pendekatan
pengobatan presisi untuk mencegah mendeteksi dan mengobati T2DM (Ortega,
2017).
Prevalensi kejadian diabetes melitus berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 sebesar 8,5 % dan mengalami peningkatan
sebesar 1,6% dibandingkan tahun 2013 (6,9%). Prevalensi kejadian diabetes
pada usia 45-55 tahun sebesar 3,9% sedangkan ada kelompok umur 35-44
sebesar 1,1% (Balitbangkes, 2018).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi pankreas?
2. Bagimanakah metabolisme glukosa?
3. Apa yang disebut dengan Diabetes melitus Type 2?
4. Bagaimanakah metode dan hasil penelitian dari jurnal terkait resistensi
insulin?
C. Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi pankreas

2
2. Mengetahui metablisme glukosa
3. Mengetahui tentang Diabetes melitus Type 2
4. Melakukan jurnal reading pada artikel penelitian terkait resistensi insulin

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Pancreas


1. Anatomi Pankreas
Penkreas adalah suatu organ yang berbentuk kelenjar terletak
retroperiontenial dalam abdomen bagian atas, didepan vertebrae lumbalis
I dan II. Pancreas merupakan kelenjar majemuk besar, strukturnya sangat
mirip dengan kelenjar ludah yang terletak sejajar dengan lambung dan
mengsekresikan getahnya kedalam duodenum beberapa sentimeter di
bagian bawah pylorus (Gyton, 1996) Panjangnya kira-kira 15 cm.
Pankreas terbentang dari atas sampai ke lengkungan besar dari perut dan
biasanya dihubungkan oelh dua saluran duodenum atau susu 12 jari.
Pankreas terbagi dalam tiga bagian, yauti (Pearce, 2012);
a. Kepala pankreas memiliki ukuran paling lebar, terletak di sebelah
kanan rongga abdomen, didalam lekukan duedonum, dan yang praktis
melingkarinya.
b. Badan pankreas merupakan bagian utama, terletak di belakang
lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama
c. Ekor pankreas adalah bagian yang runcing di sebelah kiri, yang
sebenarnya menyentuh limfa
Pankres terdiri atas dua jaringan utama yaitu (Gyton, 1996) :
a. Asinar, berperan dalam sekseri getah pencernaan ke dalam duodenum
b. Pulau Langerhans tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
mensekresi insulin dan glucagon langsung ke darah.
Pankreas terdiri dari kelompok-kelompok sel yang didistribusikan
ke selururh organ. Kelompok-kelompok ini yaitu pulau Langerhans
(Brandt, 2005). Pulau Langerhans manusia mengandung 3 jenis sel utama
yaitu sel alfa, beta dan gamma yang satu sama lain dibedakan dengan
struktur dan sifat pewarnaannya (Gyton, 1996). Selain itu ada juga yang
menyebutkan terdiri dari 4 jenis sel yaitu sel alfa, beta gamma, dan F.

4
Komposisi pulau bervariasi di berbagai bagaian pancreas. Bagian posterior
darai pancreas paling banyak terdiri atas sel-sel F dan untuk anterior paling
banyak terdiri dari sel beta serta beberapa sel alfa dan sel gamma dalam
jumlah yang lebih kecil (Brandt, 2005). Setiap jenis sel akan
mengeluarkan satu hormon utama yaitu sel beta adalah sel penghasil
insulin sel alfa menghasilkan glucagon, sel hamma menghasilkan
somatostatin dan sel-sel F menghasilkan polipeptida pankreas. Fungsi
somatostatin pankreaa terbatas pada penghambatan pelepasan insulin dan
glucagon, sedangkan fungsi pankreas polipeptida tidak diketahui (Gyton,
1996; Brandt, 2005).
Getah pankreas mengandung enzim-enzim untuk untuk pencernaan
untuk menderna 3 zat gizi yaitu: karbohidrat, lemak dan protein. Selain itu
juga mengandung ion bikarbonat dalam jumlah besar, yang memegang
peran penting dalam menetralkan kumis asam yang dikeluarkan oleh
lambung kedalam duodenum. Enzim-enzim proteolitik adalah tripsin,
kimtripsin, karboksipolipeptidase, ribonuklease, dan oksiribonuklease.
Ketiga enzim ini merupakan enzim pertama yang mencerna protein secara
keseluruhan dan secara parsial, sedangkan nuclease memecahkan dua jenis
asam nukleat yaitu asam ribonukleat dan deoksiribonukleat diketahui
(Gyton, 1996).
Enzim-enzim proteolitik pada saat disentesis daam sel-sel pankreas
berada dalam bentuk: tripsonogen, kimotripsinogen, dan
prokarboksipeptidase, yang tidak aktif. Zat-zat ini hanya diaktivasi
setealah disekresi ke dalam saluran pencernaan. Tripsinogen di aktifkan
oleh suatu enzim yang dinamakan enterokinase, yang disekresi oleh
mukosa usus pada saat kimus berkonak dengan mukosa. Tripsinogen dapat
juga daktifkan oleh tripsin yang telahdibentuk. Kimotripsinogen
diaktifkan oleh tripsin menjadi kimotripsin dan prokarbiksipeptidase
diaktifkan dengan beberapa cara yang sama (Gyton, 1996).
Enzim-enzim getah pankreas seluruhanya disekresi oleh asinus
kelenjar pancreas. Sebaliknya dua unsur penting getah pancreas lainnya

5
yaitu asir dan ion bikarbonat, terutama disekresi oleg sel-sel epitel
duktulus-duktulus kecil yang berasal dari asinus. Konsentrasi ion
bikarbonat dapat meningkat sampai setinggi 145 mEq/liter, suatu nilai
yang besarnya kira-kira lima kali konsentrasi ion bikarbonat plasma.
Sekresi dalam jumah besar bertujuan untuk menetralkan asam yang
terdapat pada kimus yang dimasukkan ke dalam duodenum dari lambung.
Sekresi pancreas dalam sehari sekitar 1200 ml (Gyton, 1996).

Gambar 1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas

2. Fungsi
Pancreas merupakan organ rangkap memiliki dua fungsi yaitu
eksokrine dan endokrin. Fungsi eksokrine dilaksanakan oleh sel sekretori
lobul pancreas, yang membentuk getah pankreas dan berisi enzim serta
elektrolit. Cairan percernana tersebut akan mengalir melalui saluran
esretori halus dan akhirnya dikumpulkan pada dua saluran, yaitu saluran
duktus Wirsungi dan saluran duktus Santorini yang masuk ke dalam
duodenum. Saluran utama akan bergabung dengan saluran empedu di
ampula Vater. Pancreas dilintasi saraf vagus, dan dalam beberapa menit
setelah menerima makanan, arus getah pancreas bertambah. Kemudian,
setelah isi lambung masuk kedalam duodenum, dua hormone yaitu
sekretin dan pankreazimin dibentuk di dalam mukosa duodenum dan
merangsang arus getah pancreas. Fungsi endokrin, tersebar di antara
alveoli pancreas terdapat kelompo-kelompok kecil sel epitelium, yang jells

6
terpisah dan nyata. Kelompok-kelompok ini adalah pulau-pulau
Langerhans, yang bersama-sama membentuk organ endokrin (Pearce,
2012).
Pankrea terdiri dari sekitar 90% massa organ. Sel asinar mensitesis
dan mengaluarkan enzim pencernaan (trypsin, chymotrypsin, elastase dan
lainnya) yang memecah makanan menjadi komponen yang lebih
sederhana yang dapat diserap oleh usus (Brandt, 2005). Enzim yang
terdapat didalam getah pankreas yaitu (Pearce, 2012);
a. Amylase, berperan dalam pencernaan karbohidrat, sifatnya kuat
dibandingkan dengan ptyalin, bekerja atas zat tepung mentah maupun
yang telah dimasak dan mungubahnya menjadi disakarida. Selain itu
amylase juga berperan dalam menghidrolisis glikogen kecuali
selulosa.
b. Lipase, ialah enzim yang memecah lemak manjadi gliserin dan asam
lemak serta kolesterolesterase yang menyebabkan hidrolisis ester-
ester kolesterol. Paling kuat bila bekerja bersama empedu
c. Tripsin, berperan dalam mencerna protein. Tripsin dihasilkan oleh
enzim tripsinogen yang terdapat di dalam getah pancreas dan diunah
menjadi enzim pencerna tripsin oleh salah satu enzim sukus enterikus,
yaitu enterokinase. Kerja tripsin lebih kuat daripada enzin pepsin yang
berasal dari getah lambung. Tripsin merubah protein dan pepton
menjadi golongan polipeptida.
Pankreas memiliki dua fungsi utama yaitu (Brandt, 2005) :
a. Memproduksi dan melepaskan ensim pencernaan
b. Memproduksi dan melepaskan dua hormone utama yang
bertanggungjawab untuk mengatur metabolisme glukosa yakn insulin
dan glucagon

7
B. Glukosa
1. Metabolisme Glukosa
Makanan adalah substansi tanaman atau hewan yang mengandung
nutrisi penting seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, atau mineral
penting untuk fungsi normal tubuh manusia. Makanan sejak dahulu
dipergunakan dalam pencegahan atau pengobatan penyakit manusia
karena kandungan gizi yang terkandung di dalamnya (Rana, 2016). Nutrisi
merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam memodulasi
ekspresi gen yang terlibat dalam jalur metabolisme, terkait dengan
pathogenesis T2DM, membuat identifikasi dan analisis interaksi nutri-gen
yang merupakan langkah penting dalam memahami penyakit kronis salah
satu adalah T2DM (Ortega, 2017).
Jenis dan komponen makanan adalah dasar ketersediaan dan
jumlah energy, nutrisi makro dan mikro serta factor penunjang
pertumbuhan dalam diet yang memberikan dasar hubungan antara
makanan, kesehatan dan penyakit (Rana, 2016). Interaksi gen-nutrisi dapat
memodulasi ekspresi gen melalui mekanisme yang berbeda yaitu, secara
langsung, melalui metabolitnya, dengan mengaaktifkan berbagai molekul
pensinyalan kompleks jalur metabolisme (Sales, 2014). Berbagai macam
makro dan mikronutrient, serta senyawa bioaktif makanan secara positif
mempengaruhi ekspresi gen yang terlibat dalam insulin sintesis,
rangsangan sekresi stimulus, perlindungan sel-β terhadap glukotoksisitas,
peradangan dan stress oksidatif serta insulin resisten (Ortega, 2017).
Dalam situasi normal, peningkatan glukosa darah setelah
makan menstimulasi pelepasan insulin dari sel β pancreas. Insulin,
bersana dengan glukosa, merangsang pengambilan glukosa dari
sirkulasi ke dalam sel untuk glikolisis atau disimpan sebagai glikogen
di hati, otot atau adipose. Hal ini menekan proses gluconeogenesis di
hati. Proses fisiologi ini bekerja bersama untuk menurunkan glukosa
darah ke kisaran batas normal. GLUT4 adalah salah satu yang paling
penting trasporter glukosa, terutama diekspresikan dalam otot dan

8
jaringan adipose. GLUT4 pada stimulasi insulin dimobilisasi dari
sitosol ke membrane sel untuk mengangkut glukosa dari luar sel ke
dalam yang merupakan langkah pembatasan pengambilan glukosa
dan sintesis glikogen otot (Hang, 2018).
Insulin tidak hanya mangatur metabolisme glukosa, tetapi juga
memodulasi metabolisme lipid. Lipogenesis meningkatkan respon
terhadap insulin, sementara lipolysis menghambat respon insulin. Dalam
keadaan abnormal, atau resisten insulin, ada kehilangan sekresi
insulin awal (fase pertama) di respon terhadap beban glukosa,
menghasilkan hiperglikemia postprandial. Respon insulin yang
berlebihan menyebabkan hyperinsulinemia kronis. Jaringan yang
responsive terhadap insulin tidak memiliki kepekaan atau respon
terhadap insulin secara efisien. Penyerapan glukosa yang dimediasi
insulin, glikolisis, dan sintesis glikogen semua terganggu. Seiring
waktu, resistensi insulin memburuk dan sel-sel β pancreas secara
bertahap menjadi stress, lelah dan apoptosis, sampai mereka benara-
benar kehilangan fungsinya (Hang, 2018).
Dalam keadaan normal insulin akan berikatan dengan reseptor
insuin di membran sel, sehingga merangsang reseptor insulin tirosin
kinase. Selanjutnya insulin reseptor substrat-1 (IRS1) dan substrat-2
(IRS2), direkrut dan difosforilasi pada tirosin untuk selanjutnya
memfosforilasi prorein pensinyalan target, baik phosphatidylinostide 3-
kinase (PI3K), atau kelas GTPase kecil (RAS), yang merupakan dua jalur
utama dalam aktivitas yang dimediasi insulin. PI3K-Akt patway adalah
saluran utama dari efek metabolic nsulin. PI3K terfosforilasi akan
mengkatalisasi kelompok phosphatidylinositol 3,4,5-trisphosphate (PIP3)
dari phosphatidylinositol 4,5-triphosphate (PIP2), menghasilkan
phosphoinostide-dependent protein kinase (PDK1/PDK2) dan AKT
berikatan dengan PIP3. PDK1/PDK2 kemudian memfosforilasi Akt yang
memfosforilsdi sejumlsh tsrget hilir ysng memedisdi efek insulin pada
peningkatan translokasi GLUT4, sintsis glikogen, sintesis protein, dan

9
lipogenesis, serta menghambat apoptosis dan gluconeogenesis hati.
Beberapa pengaruh metabolik bekerja melalui phosphorylation FOXO1.
FOX1 diperlukan dalam nucleus untuk transkripsi beberapa gen
gluconeogenesis dan lipogenik. Setealh fosforilasi oleh Akt, FOXO1 akan
berpindah dari nukleus ke sitosol, menekan produksi glukosa di hati dan
mempromosikan sel survival di dalam hati. Peristiwa fosforilasi ini
digunakan sebagai indikator sensivitas insulin. Jalur pensinyalan RAS-
mitogen-activated protein kinase (MAPK) pathway menjadi perantara efek
insulin pada mitogenesis dan pertumbuhan sel (Hang, 2018).
Fungsi dari sel β sangat berkaitan dengan MetS. Berdasarkan study
klinik Cleveland menngemukakan bahwa disfungsi sel β sangat
berkorelasi dengan keparahan MetS yang dipengaruhi oleh jenis kelamin,
lemak tubuh, lipid darah, tekanan darah, resistensi insulin, dan meabolisme
glukosa (Malin, 2014).

S
Gambar 2 Peran Kinase dalam Kaskade Pensinyalan Insulin dan Interaksinya dengan Nutrisi dalam
Kontrol Fungsi Fisiologi yang Dimediasi FOXO1. AA = Amino Acids; FFA = Free Fatty Acid;
HGP = Hepatic Glucose Production; Agt= Angiotensinogen; Hmox-1= Heme Oxygenese-1 G6pc
= Glucose-6-Phosphatase Catalytic Subunit; Agrp = Agouti-Related Peptide; pY = Trrosine
Phosphorylation; pS/T = Serine/Threonine Phosphorylation; OGT = O’GLcNac Transferase; HBP
= Hexosamine Biosynthetic Pathway; PIP2 = phosphatidylinositol 4,5-biphosphate; PIP3 =
Phosphatidylinositol 3,4,5 - triphosphate; PTP1B = Protein Tyrosine Phosphatase; PTEN =
Phosphatase and Tensin Homolog; PDK = Phosphoinositide-Dependent Protein Kinase; PI3K =
Phosphatidylinositide 3-Kinase; PIKKs = PI3K-Related Kinase Family; IR = Insulin Receptor

2. Homeostasis Glukosa

10
Metabolisme glukosa sangat penting untuk fungsi fisiologis
normal. Glukosa bertindak sebagai sumber energi dan sebagai sumber
bahan awal untuk hampir semua jenis reaksi biosintesis. Diagram
menunjukkan pemain utama dalam pengaturan dan pemanfaatan glukosa
plasma (Gambar 2) (Brandt, 2005).
Otak menggunakan sekitar 120 gram glukosa setiap hari yaitu
sekitar 60-70% dari total metabolisme glukosa tubuh. Otak memiliki
penyimpanan glukosa yang sedikit, dan tidak ada cadangan energi lain.
Fungsi otak menjadi sangat terpengaruh ketika kadar glukosa turun di
bawah ~40 mg/dL dan jika kadar glukosa turun secara signifikan dibawah
~40 mg/dL dapat menyebabkan kerusakan permanen dan kematian. Otak
tidak dapat menggunakan asam lemak sebagai sumber energi (asam lemak
tidak melewati sawar darah otak), sedangkan badan keton dapat memasuki
otak dan dapat digunakan sebagai energi dalam keadaan darurat. Otak
hanya dapat menggunakan glukosa, atau dalam kondisi kelaparan
menggunakan badan keton (asetoasetat dan hidroksibutirat) sebagai
sumber energi (Brandt, 2005).

Gambar 3 Organ-organ yang mengontrol kadar glukosa plasma. Konsentrasi glukosa plasma
normal bervariasi antara 70 dan 120 mg/dL (4-6,7 mM). Kadar glukosa darah secara keseluruhan
sekitar 10-15% lebih rendah dari kadar plasma karena perpindahan komponen seluler sGambar 1.
Organ-organ yang mengontrol kadar glukosa plasma. Konsentrasi glukosa plasma normal
bervariasi antara 70 dan 120 mg/dL (4-6,7 mM). Kadar glukosa darah secara keseluruhan sekitar

11
10-15% lebih rendah dari kadar plasma karena perpindahan komponen seluler selama persiapan
plasma.

Makanan adalah salah satu sumber glukosa yang bersirkulasi serta


menyediakan sumber karbon dan energi untuk glukoneogenesis hati. Hati
adalah organ pengatur metabolisme utama. Sekitar 90% dari semua
glukosa yang beredar tidak berasal langsung dari diet, tetapi berasal dari
hati. Hati mengandung sejumlah besar cadangan glikogen yang tersedia
untuk dilepaskan dengan cepat ke sirkulasi, dan mampu mensintesis
sejumlah besar glukosa dari substrat seperti laktat, asam amino, dan
gliserol yang dilepaskan oleh jaringan lain. Selain mengendalikan glukosa
plasma, hati bertanggung jawab untuk sintesis dan pelepasan lipoprotein
yang digunakan adiposa dan jaringan lain sebagai sumber kolesterol dan
asam lemak bebas. Selama kelaparan yang berkepanjangan, hati adalah
sumber glukosa dan badan keton yang dibutuhkan oleh otak untuk
menggantikan glukosa. Hati menggunakan glikolisis sebagai sumber
perantara biosintesis dengan pemecahan asam amino dan asam lemak yang
menyediakan sebagian besar bahan bakarnya (Brandt, 2005).
Seperti halnya hati, ginjal memiliki kemampuan untuk melepaskan
glukosa ke dalam darah. Dalam kondisi normal glukoneogenesis di ginjal
hanya memberikan kontribusi kecil terhadap total glukosa yang
bersirkulasi. Namun, selama kelaparan yang berkepanjangan, kontribusi
ginjal dapat mendekati hati. Fungsi ginjal sangat penting untuk
homeostasis glukosa karena alasan lain; glukosa plasma terus menerus
melewati ginjal dan harus diserap kembali secara efisien untuk mencegah
kerugian (Brandt, 2005).
Otot tidak dapat melepaskan glukosa ke dalam sirkulasi. Namun,
kemampuannya untuk secara cepat meningkatkan penyerapan glukosa
sangat penting untuk menghadapi peningkatan tiba-tiba glukosa plasma.
Otot rangka memiliki peran tambahan dalam mempertahankan kadar
glukosa plasma, ia melepaskan asam amino bebas ke sirkulasi yang
berfungsi sebagai substrat untuk glukoneogenesis hati. Otot dapat

12
menggunakan glukosa, asam lemak, dan badan keton sebagai sumber
energi. Otot biasanya mempertahankan sejumlah besar cadangan glikogen,
sejumlah kecil asam lemak, dan mengandung sejumlah besar protein yang
dapat dipecah dalam keadaan darurat. Otot yang beristirahat menggunakan
asam lemak sebagai sumber energi utamanya. Namun, glukosa (dari
simpanan glikogennya sendiri dan dari sirkulasi) lebih disukai untuk
pembentukan energi yang cepat (mis. dalam olahraga mendadak) (Brandt,
2005).
Jaringan adiposa adalah tempat utama penyimpanan asam lemak.
Asam lemak disimpan dalam bentuk triasilgliserol, yang disintesis dalam
jaringan adiposa dari gliserolfosfat dan asam lemak bebas. Gliserol-fosfat
yang digunakan harus berasal dari glikolisis dalam jaringan adiposa;
gliserol bebas tidak dapat difosforilasi karena adiposit tidak memiliki
kinase yang relevan. Dalam kondisi ketika glukoneogenesis, hati
memerlukan jaringan adiposa untuk memasok asam lemak bebas dan
gliserol ke sirkulasi untuk diambil oleh hati sebagai substrat. Akhirnya,
pankreas adalah sumber insulin dan glukagon, dua hormon pengatur
metabolisme terpenting (Brandt, 2005).
3. Sintesis dan Pelepasan Insulin
Insulin adalah hormon peptida yang disintesis dalam retikulum
endoplasma kasar sebagai bagian dari protein prekursor 11,5 kDa yang
disebut pre-proinsulin. Urutan penargetan retikulum endoplasma dibelah
selama sintesis peptida untuk melepaskan proinsulin. Proinsulin dikemas
dalam vesikula sekretori, di mana ia diproses menjadi hormon peptida
matang (Gambar 3) (Brandt, 2005).

13
Gambar 4 Pembelahan proinsulin untuk membentuk insulin dan C-peptida

Insulin dilepaskan dari sel-β sebagai respons terhadap peningkatan


glukosa plasma, manosis, dan beberapa asam amino, terutama leusin
(Gambar 4). Stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa dapat ditingkatkan
oleh hormon lain (terutama yang dilepaskan oleh usus, seperti peptida
penghambat gastrin dan kolesistokinin, ini sebabnya pelepasan insulin
karena pemberian oral lebih besar daripada pelepasan karena infus glukosa
intravena) arginin dan beberapa asam amino lainnya, dan oleh agonis β-
adrenergik. Pelepasan insulin dihambat oleh somatostatin, oleh kortisol,
dan oleh katekolamin yang bekerja melalui reseptor α-adrenergik.
Meskipun agonis α dan β-adrenergik spesifik memiliki efek berlawanan
pada pelepasan insulin, efek dari aksi katekolamin fisiologis sangat
menghambat.

Gambar 5 . Pelepasan insulin dipengaruhi oleh berbagai rangsangan positif dan negatif yang
berbeda

Kadar glukosa yang tinggi dalam waktu lama menurunkan respons


sel-β terhadap stimulasi glukosa, tanpa mengubah respons sel-β terhadap
rangsangan lain. Meskipun tidak sepenuhnya dipahami, ini tampaknya
disebabkan setidaknya sebagian karena penurunan jumlah transporter
glukosa GLUT2 dalam membran sel-β. Peningkatan glukosa yang

14
berkepanjangan (seperti yang disebabkan oleh hipersekresi
glukokortikoid) dapat menguras penyimpanan sel-β insulin dan melebihi
kemampuan sel-β untuk mensintesis hormon tambahan, menghasilkan
hiperglikemia; ada kemungkinan bahwa turunnya kadar GLUT2 ini adalah
salah satu mekanisme untuk mengurangi risiko kelelahan sel-β (Brandt,
2005).
Transkripsi gen insulin dan translasi mRNA insulin dirangsang
oleh glukosa. Peningkatan akut kadar glukosa mempengaruhi sebagian
besar sekresi preinsulin yang telah terbentuk dari vesikel sekretori serta
translasi dan stabilitas mRNA, sementara peningkatan kronis dalam kadar
glukosa meningkatkan transkripsi mRNA insulin. Peningkatan transkripsi
dan translasi membutuhkan waktu untuk menjadi efektif. Oleh karena itu,
stimulasi dengan glukosa dapat menghasilkan dua fase pelepasan insulin
(Gambar 5); fase cepat, karena pelepasan hormon pra-pembentukan dari
vesikel matang, dan fase lebih lambat yang membutuhkan sintesis protein
baru. Selama dimulainya diabetes tipe I, fase cepat menghilang pertama,
karena tingkat sekresi insulin basal menjadi proporsi yang besar dari
kapasitas sel-β yang tersisa sehingga penyimpanan preinsulin yang telah
terbentuk dalam vesikel tidak lagi mungkin (Brandt, 2005).

Gambar 6 Dua fase sekresi insulin diamati selama stimulasi glukosa yang berkepanjangan. Fase
cepat merupakan pelepasan hormon yang disintesis sebelumnya, fase lambat merupakan induksi
sintesis hormon baru (penundaan ini disebabkan oleh waktu yang diperlukan untuk transkripsi,
sintesis protein dan pasca pengolahan translasi). Skala waktu: fase cepat dimulai kurang dari satu

15
menit setelah stimulasi dan berakhir sekitar 10 menit kemudian, fase lambat dimulai sekitar 15-20
menit setelah stimulasi awal dan berakhir ketika stimulasi berakhir.

4. Mekanisme Aksi Insulin


Aksi insulin dimediasi oleh reseptor insulin, glikoprotein
permukaan sel multi-subunit yang kompleks. Pengikatan insulin
mengaktifkan aktivitas reseptor tirosin kinase intrinsik. Fosforilasi tirosin
dari reseptor insulin itu sendiri dan dari beberapa protein lain diperkirakan
diperlukan untuk aksi insulin. Sebagai hasil dari peristiwa fosforilasi ini
(dan mungkin lainnya), sejumlah protein intraseluler lainnya diaktifkan,
termasuk beberapa kinase, fosfatase, dan faktor transkripsi. Salah satu
enzim penting yang diaktifkan oleh kaskade pesan kedua adalah
fosfodiesterase, yang menurunkan tingkat cAMP seluler. Tindakan insulin
diilustrasikan pada gambar 6 (Brandt, 2005).

Gambar 7 Efek intraseluler dari pengikatan insulin ke reseptor insulin. Ikatan insulin mengaktifkan
reseptor insulin tirosin kinase. Fosforilasi berbagai protein intraseluler menghasilkan perubahan
aktivitas protein, perubahan laju transkripsi gen untuk gen spes spesifik, dan (pada otot dan jaringan
adiposa) dalam translokasi transporter glukosa GLUT4 ke membran plasma, dan karenanya
meningkatkan penyerapan glukosa ke dalam jaringan ini.

Peningkatan akut kadar insulin menghasilkan fosforilasi atau de-


fosforilasi protein yang ada (misalnya, enzim yang terlibat dalam jalur
glikolitik dan glukoneogenik), yang memiliki efek cepat tetapi sementara
pada aktivitasnya. Kadar insulin yang tinggi atau stimulasi berkepanjangan

16
oleh insulin menghasilkan perubahan dalam tingkat transkripsi berbagai
gen, dan karena itu dalam peningkatan atau penurunan kapasitas untuk
proses yang dimediasi oleh produk gen tersebut (Brandt, 2005)..
Kadar insulin yang tinggi dan berkepanjangan mengakibatkan
desensitisasi (de-coupling reseptor dari respon seluler) dan down-
regulation (penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel). Fenomena ini
melindungi sel dari stimulasi berlebih (efek yang sama terlihat pada
sejumlah hormon lain). Desensitisasi dan down-regulasi dari reseptor
insulin penting dalam diabetes Tipe II, karena fenomena ini terjadi saat
kadar insulin tinggi yang berkepanjangan dan berkontribusi terhadap
resistensi insulin yang menjadi ciri gangguan tersebut. Karena itu lebih
disukai, meskipun tidak selalu mungkin, untuk menghindari penggunaan
insulin eksogen untuk Penderita diabetes tipe II, karena ini cenderung lebih
jauh meregulasi reseptor dan memperburuk desensitisasi yang telah terjadi
(Brandt, 2005)..
Reseptor insulin memfosforilasi setidaknya empat protein substrat
reseptor insulin (IRS-1 hingga IRS-4) pada residu tirosin. Bentuk tirosin
terfosforilasi protein IRS dianggap bertindak sebagai pembawa pesan
kedua untuk berbagai respons intraseluler. Sebaliknya, fosforilasi serin
protein IRS atau reseptor insulin melemahkan atau menghapuskan efek
insulin. Dengan demikian, insulin yang beraksi sendiri memiliki “aksi
insulin”, hormon-hormon lain dapat mengurangi atau mencegah tindakan-
tindakan ini dengan meningkatkan aktivitas beberapa serin kinase (Brandt,
2005).
Setidaknya lima protein transpor glukosa berbeda diketahui.
Protein ini memediasi transpor glukosa pasif (mis. Tidak bergantung
energi) melintasi membran plasma dari berbagai jenis sel. Mereka diberi
nama sesuai urutan penemuan (Brandt, 2005).
Salah satu efek jangka pendek penting dari aksi insulin adalah
translokasi transporter glukosa GLUT4 ke permukaan sel dalam otot dan
jaringan adiposa. Stimulasi sel untuk periode yang lebih lama

17
menghasilkan perubahan laju transkripsi berbagai protein, termasuk
penurunan laju transkripsi GLUT4. GLUT4 adalah transporter responsif
hormonal utama. GLUT4 ditemukan terutama di otot dan jaringan adiposa,
di mana ia biasanya diasingkan dalam vesikel intraseluler; itu ditranslokasi
ke membran plasma sebagai respons terhadap insulin, sehingga
meningkatkan penyerapan glukosa. Sebaliknya, kortisol mengurangi
jumlah GLUT4 dalam membran plasma. Kadar hormon yang tinggi dan
berkepanjangan yang mempengaruhi lokalisasi GLUT4 menghasilkan
efek pada transkripsi gen GLUT4 dalam arah yang berlawanan dari efek
pada aktivitas; dengan demikian transkripsi gen GLUT4 ditingkatkan oleh
kadar glukokortikoid yang tinggi dan dihambat oleh kadar insulin yang
tinggi. Namun, ekspresi GLUT4 juga berkurang oleh keadaan insulin
rendah, seperti pada otot selama puasa, dan pada jaringan adiposa yang
resistan terhadap insulin (Brandt, 2005).
GLUT1 dan GLUT3 ditemukan di sebagian besar jaringan dan
sangat penting dalam transportasi glukosa ke dalam otak. GLUT1 dan
GLUT3 memiliki afinitas tinggi terhadap glukosa, dan oleh karena itu
mengangkut glukosa secara efisien di seluruh range normal konsentrasi
glukosa plasma. GLUT2 ditemukan terutama di pankreas dan hati. Ia
memiliki afinitas rendah terhadap glukosa dan karenanya memediasi
transportasi glukosa hanya selama kadar glukosa plasma tinggi. GLUT2
adalah transporter yang bertanggung jawab untuk memungkinkan sel-b
merasakan hiperglikemia, dan untuk mengangkut kadar glukosa tinggi ke
dalam hati untuk penyimpanan. GLUT5 ditemukan dalam usus, hati dan
spermatozoa, dan diperkirakan berfungsi terutama sebagai transporter
fruktosa. GLUT6 dianggap sebagai pseudogen non-fungsional. GLUT7
adalah protein hati intraseluler yang bertanggung jawab untuk transpor
glukosa-6-fosfat ke dalam retikulum endoplasma (Brandt, 2005).
Berbeda dengan transpor pasif yang dimediasi oleh produk gen
GLUT, ginjal dan usus mengandung pompa glukosa aktif (bergantung
energi) yang mengkatalisasi transpor glukosa terhadap gradien

18
konsentrasi. Protein pompa ini bertanggung jawab untuk penyerapan
glukosa dari makanan dan reabsorpsi glukosa dalam ginjal. Ginjal sangat
efisien dalam kondisi normal; Namun, pada konsentrasi glukosa plasma di
atas sekitar 180 mg/dL, pompa ginjal menjadi jenuh. Glukosa dari
konsentrasi di atas 180 mg/dL karena itu berakhir di urin (Brandt, 2005).

5. Aksi Insulin di Jaringan Sasaran


Hati adalah tempat utama aksi hormon pankreas. Karena aliran
darah dari pankreas langsung menuju ke hati, dan karena hati adalah
tempat utama inaktivasi sebagian besar hormon peptida, hati terpapar ke
tingkat hormon pankreas yang lebih tinggi daripada jaringan lain. Di hati,
insulin menstimulasi sintesis glikogen dan menghambat pemecahan
glikogen. Ini juga merangsang glikolisis dan menghambat
glukoneogenesis. Selain efeknya pada metabolisme glukosa, insulin
memiliki berbagai aksi anabolik di hati, merangsang sintesis dan pelepasan
lipid dan sintesis protein, dan menghambat pemecahan senyawa ini
(Brandt, 2005).
Hati memiliki beberapa kemampuan untuk merespons secara
langsung terhadap kadar glukosa plasma yang tinggi dengan
meningkatkan penyerapan glukosa dan sintesis glikogen secara
independen insulin; Namun, sebagian besar fungsi pengaturan glukosa hati
membutuhkan tindakan insulin. Hati memiliki sekitar 300.000 reseptor
insulin per sel (jumlah yang sangat besar), tetapi mengalami respons
maksimal terhadap insulin ketika sebagian kecil reseptor ditempati; ini
memungkinkan organ untuk merespon insulin bahkan ketika konsentrasi
insulin plasma kurang dari Kd untuk reseptor (Brandt, 2005).
Dalam otot, insulin menstimulasi pengambilan asam amino dan
sintesis protein, dan pengambilan glukosa dan penggabungan ke dalam
glikogen. Otot berperan penting dalam menyerap mayoritas (80-95%)
peningkatan kadar glukosa plasma mendadak, seperti yang diamati selama
makan tinggi karbohidrat. Otot mengekspresikan sejumlah besar

19
transporter glukosa GLUT4, yang, setelah stimulasi insulin, ditranslokasi
ke membran plasma (lihat Gambar 6), memungkinkan peningkatan besar
dalam penyerapan glukosa. Selama latihan, otot menjadi lebih sensitif
terhadap aksi insulin dan karena itu mempertahankan kemampuan untuk
mengimpor glukosa dari peredaran terlepas dari pengurangan kadar insulin
yang disebabkan oleh olah raga (Brandt, 2005).
Insulin menstimulasi pengambilan glukosa ke dalam jaringan
adiposa, dan memiliki tiga tindakan utama yang menghasilkan
pengendapan lemak: 1) insulin meningkatkan jumlah lipoprotein lipase,
suatu enzim yang memediasi pelepasan asam lemak bebas dari lipoprotein
yang beredar; 2) insulin merangsang sintesis gliserol-fosfat (diperlukan
untuk sintesis triasilgliserol) dari glukosa; dan 3) insulin menghambat
hormon-sensitif lipase, enzim yang bertanggung jawab untuk langkah
pertama dalam pemecahan triasilgliserol (Brandt, 2005).
Otak tidak bergantung pada insulin untuk pengambilan glukosa,
dan insulin mungkin tidak memiliki peran metabolisme langsung dalam
SSP. Namun, beberapa bukti menunjukkan bahwa insulin dapat bertindak
sebagai modulator perilaku, dengan tingkat insulin yang tinggi mendorong
penurunan asupan makanan, dan tingkat rendah bertindak sebagai sinyal
kekurangan kalori. Sejak perilaku ini sangat kompleks dan karenanya sulit
untuk diukur secara akurat, dan karena insulin hanya satu dari banyak
hormon dan rangsangan lain yang memengaruhi perilaku makan, peran
insulin dalam SSP kurang dipahami (Brandt, 2005).
Resistensi insulin yang dihasilkan dari tindakan glukokortikoid
juga diamati pada SSP. Individu dengan kadar glukokortikoid rendah
umumnya mengalami kesulitan dalam menaikkan berat badan; ini
mungkin sebagian disebabkan oleh peningkatan sensitivitas terhadap
insulin (dan akibatnya impuls makan menurun) yang dihasilkan dari
tindakan glukokortikoid yang rendah. Penderita diabetes (khususnya
penderita diabetes tipe II) sering menunjukkan kenaikan berat badan yang
signifikan meskipun restorasi aksi insulin; Namun, ini mungkin sebagian

20
besar disebabkan oleh normalisasi metabolisme dan pencegahan
kehilangan glukosa dalam urin (Brandt, 2005).

C. Diabetes Melitus Type 2


1. Defenisi
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik rumit terkait
gaya hidup yang ditandai dengan perubahan sekresi insulin serta fungsi,
atau keduanya yang berakhir pada hiperglikemia (Rana, 2016).
Hiperglikemia akan berlanjut akibit tidak adanya insulin. Sehingga pasien
diabetes tipe 2 tahap akhir memiliki kesamaan dengan pasien diabetes type
1, yang hanya mengandalkan injeksi insulin eksternal untuk menurunkan
glukosa darah ke ambang batas normal (Hang, 2018).
Diabetes melitus tupe 2 (T2DM) adalah kelaianan metabolisme
yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat dari resisten
insulin pada jaringan perifer serta tidak memadainya sekresi insulin dan
gangguan penekanan sekresi glucagon sebagai respon terhadap glukosa
yang dicerna (Boada, 2013; Zhao, 2015). Hiperglikemia pada penderita
diabetes juga dipengaruhi oleh eliminasi sel beta yang dimediasi imun (β)
atau cacat dalam sekresi insulin atau aksi insulin (Ren, 2016). Diabetes
melitus type 2 adalah penyakit yang sangat kompleks, diamana terjadi
kegagalan sel β dan insulin resistensi (IR) (Ortega, 2017).
Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian
Penyakit dan Pencegahan, T2DM tergolong kedalam 10 penyakit
penyebab utama kematian di dunia (Zhao, 2015). Diabetes Internasional
Federation (IDF), 415 juta orang menderita diabetes dan memperkirakan
bawa satu orang akan meninggal karenanya kondisi terkait diabetes setiap
enam detik, dan pada tahaun 2040, diperkirakan 642 juta akan menderita
diabetes (Ren, 2016).
2. Etiologi
Studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa hamper 90% dari
kasus T2DM dikaitakn dengan lima faktor gaya hidup utama: diet,

21
aktivitas fisik, merokok, kegemukan atau obesitas serta konsumsi alkohol.
dari 5 faktor yang disebutan sebelumnya, diet memiliki peran yang sangat
penting, karena T2DM adalah penyakit yang berakar pada metabolisme
dan pemenfaatan disfungsional bahan bakar energy, serta
ketidakseimbangan diet baik berupa kualaitas maupun kuanitas yang
manjadi factor risiko kelebihan berat badan atau obesitas yang terkait erat
dengan T2DM (Zhao, 2015).
Lemak yang ada pada tubuh memiliki peran penting seperti sebagai
cadangan energi saat karbohidrat tidak dapat memenuhi kebutuhan,
sebagai pelindung organ sekitar serta masih banyak lagi fungsi lain yang
berkaitan dengan kebutuhan fisiologis tubuh. Salah satu fungsi lainnya
adalah adiposa juga memiliki kemampuan untuk mensekresikan sitokin
atau disebut juga adipokin yang terdiri dari adipokin anti-inflamasi dan
proinflamasi. Pada umumnya adipokin anti inflamasi cenderung
disekresikan saat kondisi massa tubuh normal, sedangkan adipokin
proinflamasi seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) disekresikan
terutama saat kondisi obesitas. Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α)
merupakan salah satu adipokin proinflamasi yang dikeluarkan oleh
adiposit pada mencit maupun sel mononuklear pada manusia (Tremblay,
2017).
Diabetes melitus tipe 2 tidak disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi karena akibat dari
obesitas, kurangnya aktivitas fisik serta efek dari penuaan. Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara
autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut
(Fatimah, 2015).
3. Patofisiologi

22
Diabetes melitus type 2 (T2DM) telah menjadi beban kesehatan
karena tingginya morbiditas, mortalitas dan prevalensi di dunia yang tiggi.
Ketidak seimbangan diet dan gizi telah lama diakui menjadi faktor risiko
utama dari kejadian T2DM meskipun belum diketahui dengan jelas
mekanisme yang mendasri (Zhao, 2015). Sekitar 50% dari risiko kejadian
T2DM dikaitkan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan (Harrington,
2014). Diabetes mellitus type 2 dipengaruhi secara genetik maupun karena
faktor lingkungan. Faktor genetik mengarahkan seseorang untuk terpapar
lingkungan yang disebut “obesogenic environment” yang ditandai dengan
perilaku sedentary serta konsumsi gula dan garam yang berlebih
(Chaterjee, 2017).
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan
satu dari tiga efek utama kekurangan insulin yaitu:
a. Pengaturan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200
mg/100 ml.
b. Peningkatan nyata mobilisasi lemak di daerah-daerah penyimapanan
lemak meupaun pengendapan lemak pada dinding vascular yang
mengakibatkan aterosklerosis
c. Penguranag protein dalam jaringan tubuh.
Defisiensi insuin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (Fatimah,
2015) :
a. Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat
kimia, dll)
b. Densitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Diabetes melitus diklasifikan menjadi tiga kategori;
a. Diabetes melitus tipe 1 (T1DM), disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut, sekunder penghancuran autoimun dari sel β pankreas
mensekresi insulin (Ren, 2016; Ortega, 2017). Selain itu juga
merupakan penyakit autoimun akibat rusaknya pulau pancreas oleh T

23
limfosit infiltrasi yang mengakibatkan hilangnya sel serta defisiensi
sekresi insulin (Rana, 2016). Pada awal penyakit kerusakan sel yang
terjadi sebesar 70% (Soltani, 2011).
b. Diabetes melitus tipe 2 (T2DM), ditandai dengan defisiensi insulin
atau defek sekresi insulin, baik dengan atau tanpa resistensi insulin,
dan dapat diobati dengan obat oral, gaya hidup, dan modifikasi diet;
namun sebagian besar pasien manjadi tergantung insulin karena
disfungsi sel β. Selain itu juga merupakan jenis penyakit kompleks
yang paling umum terjadi dan menyumbang >90% kasus diabetes.
Kejadian T2DM dikaitkan dengan factor sepertiti defisiensi insulin,
resistensi insulin, disfungsi sel, gangguan sinyal insulin dan stress
oksidatif yang mengarah ke komplikasi seperti neuropati, retinopati,
netropati, hipertensi, dislipidemia, penyakit serebrovaskular, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer (Rana, 2016;
Zhao, 2015).
c. Diabetes gestasional, ditandai oleh hiperglikemia yang disebebkan
oleh keteidakmampuan untuk mengimbangi peningkatan permintaan
insulin selama kehamilan.
Dalam patofisologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel β pancreas. Pada awal
perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel β menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas.
Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif, seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin (Fatimah, 2015).

24
D. Jurnal Reading ; Tumor Necrosis Factor (TNF)-a Inhibits Insulin
Signaling through Stimulation of the p55 TNF Receptor and Activation of
Sphingomyelinase
1. Pendahuluan
Tumor necrosis factor (TNF)- berperan penting dalam keadaan
resistensi insulin, berhubungan dengan obesitas. Sebelumnya telah
ditunjukkan bahwa salah satu mekanisme penting dimana TNF-
mengganggu pensinyalan insulin adalah melalui serin fosforilasi dari
substrat reseptor insulin-1 (insulin receptor substrate-1, IRS-1), kemudian
berfungsi sebagai penghambat aktivitas tirosin kinase dari reseptor insulin
(insulin receptor, IR). Tetapi reseptor dan jalur pensinyalan yang
digunakan oleh TNF- dan memediasi penghambatan aktivitas IR tidak
diketahui. Kami menunjukkan di sini bahwa TNF- manusia, mengikat
hanya untuk reseptor TNF (TNF receptor, TNFR) p55 murine, efektif
menghambat fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 bergantung insulin dalam sel
adiposit dan myeloid 32D sebagai TNF- murine mengikat pFR TNFR
dan p75 TNFR. Demikian juga, antibodi yang merupakan agonis spesifik
untuk p55 TNFR atau p75 TNFR menunjukkan bahwa stimulasi p55
TNFR cukup untuk menghambat pensinyalan insulin, meskipun efek kecil
juga dapat dilihat dengan antibodi terhadap p75 TNFR. Sphingomyelinase
dan ceramide eksogen, diketahui dibentuk dengan aktivasi p55 TNFR,
menghambat fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 dan mengubah IRS-1 menjadi
inhibitor IR tirosin kinase in vitro. Sel-sel myeloid 32D yang
mengekspresikan IR dan IRS-1 sensitif terhadap penghambatan ini, tetapi
sel-sel yang mengekspresikan IR dan IRS-2 resisten, menunjukkan
perbedaan penting fungsi biologis antara IRS-1 dan IRS-2. Data ini
menyarankan TNF- menghambat pensinyalan insulin melalui stimulasi
p55 TNFR dan aktivitas sphingomyelinase, menghasilkan produksi bentuk
penghambatan IRS-1 (Peraldi, 1996).
Resistensi insulin didefinisikan sebagai respons lebih kecil
terhadap dosis insulin yang diberikan. Ini juga berhubungan dengan

25
obesitas dan komponen utama diabetes mellitus yang tidak tergantung
insulin, kemungkinan mewakili hubungan sebab akibat utama antara
kedua gangguan ini. Resistensi insulin terlibat dalam berbagai keadaan
patologis seperti dislepidemia, aterosklerosis, dan gangguan
kardiovaskular. Sebanyak 30% populasi orang dewasa di Amerika Serikat
mengalami obesitas, pemahaman lebih baik tentang resistensi insulin
adalah tujuan ilmiah dan medis yang penting. Tetapi pemahaman kita
tentang dasar molekuler dari hubungan erat antara obesitas dan resistensi
insulin sangat tidak lengkap (Peraldi, 1996).
Beberapa garis bukti menunjukkan bahwa TNF- berperan penting
dalam resistensi insulin yang diamati pada obesitas. Adiposit berasal dari
sebagian besar hewan walaupun tidak semua hewan dengan kelebihan
berat badan mengekspresikan TNF- berlebihan terhadap rekan-rekan
mereka yang kurus. Pengamatan ini diperluas ke manusia di mana ekspresi
TNF- berkorelasi positif kuat dengan tingkat obesitas dan tingkat
hiperinsulinemia, sering digunakna sebagai ukuran tidak langsung
resistensi insulin. Baru-baru ini, menggunakan reaksi berantai
transkriptase-polimerase terbalik, TNF- juga terbukti diekspresikan
berlebih pada otot selama obesitas. TNF- berperan sebagai penyebab
resistensi insulin pada hewan percobaan saat netralisasi TNF- pada tikus
gemuk meningkatkan sensitivitas insulin mereka, karena peningkatan
bersamaan aktivitas tirosin kinase dari IR dalam jaringan adiposa dan otot.
TNF- terbukti mengganggu pensinyalan insulin dengan menghambat
aktivitas tirosin kinase IR dalam kultur sel. Pada tingkat molekuler, baru-
baru ini ditunjukkan bahwa TNF- menginduksi fosforilasi serin IRS-1,
dan bentuk IRS-1 yang dimodifikasi ini dapat berfungsi sebagai
penghambat aktivitas tirosin kinase IR secara in vitro dan dalam sel-sel
utuh (Peraldi, 1996).
Meskipun terdapat banyak bukti terhadap peran kunci TNF-,
langkah-langkah awal dimana sitokin ini menghambat pensinyalan insulin

26
tidak diketahui. TNF- berhubungan dengan afinitas tinggi terhadap dua
reseptor yang memiliki domain intraseluler yang sama sekali berbeda.
Reseptor ini, p55 TNFR dan p75 TNFR, adalah glikoprotein dengan
domain transmembran tunggal. Kedua protein tidak memiliki aktivitas
enzimatik tetapi dapat berhubungan dengan beberapa protein intraseluler
berbeda. Meskipun jelas bahwa protein terkait berperan dalam transduksi
sinyal oleh reseptor ini, fungsi tepatnya tidak diketahui (Peraldi, 1996).
Kemampuan p55 TNFR dan p75 TNFR secara individual untuk
memediasi pensinyalan TNF- menjadi bidang studi aktif. p75 TNFR
mengikat TNF- dengan afinitas lebih tinggi dan dengan tingkat disosiasi
lebih tinggi dari p55 TNFR (Kd dari 100 pM versus 500 pM dan t1∕2 dari
10 menit versus 3 jam). p55 TNFR terlibat dalam banyak proses biologis
termasuk letalitas yang disebabkan lipopolysaccharide- dan D-
galactosamine dan produksi interleukin-6 dan granulocyte macrophage-
colony-stimulating factor dalam fibroblast. p75 TNFR berhubungan
dengan beberapa aktivitas biologis, termasuk penghambatan
hematopoiesis awal, induksi produksi sitokin, aktivasi NFkB, dan
kelimpahan tinggi p75 TNFR, kematian sel. Saat ini, peran yang
dimainkan oleh masing-masing reseptor TNF dalam resistensi insulin
tidak diketahui (Peraldi, 1996).
Kami menunjukkan di sini bahwa TNF- menghambat IR
fosforilasi tyrosine IR dan IRS-1 yang diinduksi insulin dalam dua garis
sel yang mengekspresikan gen untuk reseptor TNF p55 dan p75. Dengan
menggunakan dua pendekatan berbeda, stimulasi p55 TNFR sangat
menghambat fosforilasi tirosin stimulasi insulin dari IR dan IRS-1.
Penghambatan fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 juga diamati setelah
pengobatan sel dengan sphingomyelinase dan analog sintetik dari
ceramide, mediator yang berhubungan dengan p55 TNFR. Sama dengan
TNF-, sphingomyelinase dan ceramide mengubah IRS-1 menjadi
inhibitor aktivitas IR tirosin kinase in vitro. Menariknya, efek ini sangat

27
spesifik untuk IRS-1, karena IRS-2 tidak dapat berfungsi sebagai inhibitor
dalam pengujian ini (Peraldi, 1996).
2. Bahan dan Metode
a. Reagen
Antibodi untuk reseptor insulin adalah pemberian dari Drs. B.
Cheatam dan CR Kahn, antibodi anti-phosphotyrosine diperoleh dari
Dr. T. Roberts, serta PDGF BB dan antibodi untuk reseptor PDGF
adalah pemberian dari Dr C. Stiles. TNF- manusia dan tikus berasal
dari Biosource International. C2 ceramide (N-acetylsphingosine), C6
ceramide (N-hexanoylsphingosine) dan sphingomyelinase dari
Staphylococcus aureus berasal dari Sigma (Peraldi, 1996).

b. Kultur Sel
Sel 3T3-L1 didiferensiasi menjadi adiposit. Setelah
diferensiasi maksimal (setidaknya 90% sel berdiferensiasi), media
diganti dengan medium Eagle yang dimodifikasi dengan Dulbecco
dengan 0,2% serum albumin sapi selama 2 hari dan kemudian diberi
ligan yang sesuai. Sel 32D-IR/IRS-1 dan 32IR/IRS-2 ditanam dalam
bentuk suspensi dalam RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640
yang diberi serum sapi (10%) dan media dengan WEHI-3 (5%) sebagai
sumber interleukin-3 (Peraldi, 1996).
c. Persiapan Ekstrak Sel, Immunoprecipitations, dan Western Blots
Setelah perlakuan dengan TNF-, antibodi, ceramide atau
sphingomyelinase (6 jam untuk adiposit 3T3-L1 dan 4 jam untuk 32D-
IR/IRS-1), sel-sel distimulasi dengan insulin (10-7M) selama 3 menit.
Sel-sel dicuci dalam ice-cold phosphate-buffered saline dan
dilarutkan dalam stop buffer (50 mM Hepes, pH 7,4, 150 mM NaCl,
10 mM EDTA, 10 mM Na4P2O7, 2 mM Na3VO4, 100 mM NaF, 1% Triton
X-100 (v/v), 10  g/ml aprotinin, 20 mM leupeptin dan 0,18 mg/ml

28
fenilmetilsulfonil fluorida). Reseptor IR, IRS-1, dan PDGF
diimunopurifikasi dari ekstrak sel dengan antibodi spesifik yang telah
diserap ke protein A-Sepharose (Pharmacia Bio tech Inc.) selama 90
menit pada suhu 4°C. Setelah 3 kali pencucian dalam stop buffer,
buffer Laemmli ditambahkan ke beads, direbus selama 3 menit dan
protein diserahkan ke SDS-PAGE dalam kondisi reduksi di atas gel
poliakrilamida 7,5%. Protein kemudian ditransfer ke membran
polyvinylidene difluoride (Millipore) dan analisis Western blot
dilakukan menggunakan ECL Western blot kit (Amersham Corp)
sesuai ketentuan pabrik (Peraldi, 1996).

d. Eksperimen Rekonstitusi In Vitro


Wheat germ agglutinin-purified IR diberi perlakuan dengan insulin
10-6 M selama 30 menit pada suhu 4°C dalam buffer kinase (30 mM
Hepes, pH 7,2, 30 mM NaCl, 0,1% Triton (v/v ) dan diinkubasi dengan IRS-
1 atau IRS-2 imunopurifikasi yang dicuci dua kali dalam stop buffer dan
tiga kali dalam kinase buffer. Fosforilasi IR dimulai dengan menambahkan
15 M [-32P] ATP, 8 mM MnCl2 dan 4 mM MgCl2 selama 1 jam pada suhu
kamar. Reaksi dihentikan dengan menambahkan buffer Laemmli dan
dianalisis menggunakan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-
Polyacrylamide Gel Elektroforesis/Elektroforesis gel poliakrilamida-
Sodium Dodesil Sulfat) (Peraldi, 1996).
3. Hasil
a. TNF- Menghambat Pensinyalan Insulin dalam Sel 3ip3-L1 dan Sel
Myeloid 32D.
Untuk mengetahui reseptor TNF yang terlibat dalam resistensi
insulin menggunakan antibodi agonis yang telah digunakan sebagai
activator spesifik Pfr TNFR dan p75 TNFR. Namun, penelitian

29
sebelumnya pada adiposit 3T3-F442A mengindikasikan bahwa efek
yang kuat terhadap pensinyalan reseptor insulin membutuhkan waktu
beberapa hari untuk berkembang pada sel-sel ini. Sejak antibodi
digunakan pada sel-sel dan dapat diambil melalui reseptor Fc atau
dihancurkan, banyak sel yang disurvei untuk menemukan yang
menunjukkan efek TNF yang relatif cepat pada pensinyalan insulin
(Peraldi, 1996).
Gambar 7 menunjukkan bahwa 6 jam pengobatan adiposit 3T3-
L1 dengan murine TNF- sangat menghambat fosforilasi tirosin yang
distimulasi insulin dari IR dan IRS-1 pada dosis 10 - 50 ng/ml. Pada sel
myeloid 32D-IR/IRS-1 memiliki tingkat IR rendah dan tidak memiliki
IRS-1 atau IRS-2 serta digunakan sebagai system model di mana
komponen-komponen ini direkayasa secara genetic ke dalam sel untuk
mempelajari mekanisme biokimia spesifik yang berhubungan dengan
kerja insulin. Selain itu gambar 1 juga mengilustrasikan bahwa 4 jam
perlakuan TNF-α (1- 25 ng/ml) menghambat fosforilasi tirosin IR dan
IRS-1 yang distimulasi oleh insulin di dalam sel adiposit 3T3-L1 dan
sel myeloid 32D-IR/IRS-1. Pada kedua garis sel, jumlah absolut IR dan
IRS-1 tidak terpengaruh, menunjukkan bahwa TNF- menginduksi
cacat spesifik dalam stoikiometri fosforilasi tirosin (Peraldi, 1996).

Gambar 8 TNF-a inhibits IR and IRS-1 tyrosine phosphorylation

30
b. Stimulasi p55 TNFR cukup untuk menghamba Tyrosine Fosforilasi IR
dan IRS-1.
TNF-α manusia menempel pada murine p55 TNFR bukan pada
murine p75 TNFR. Gambar 8 menjelaskan TNF-α manusia dan tikus
menghambat fosforilasi IR dan IRS-1 dengan potensi yang mirip di
kedua jalus sel. Hal ini menunjukkan bahwa stimulasi p55 TNFR cukup
untukmeniru efek penuh TNF-α pada inhibisi tirosin kinase IR.
Poliklonal yang diarahkan ke p55 TNFR atau p75 TNFR dapat
bertindak sebagai agonis pada reseptor ini, tanpa reaksi silang. Dengan
demikian, agen ini menyediakan sarana untuk mengaktifkan kedua
reseptor ini secara individual (Peraldi, 1996).

Gambar 9 Inhibition of insulin signaling by human and mouse

Gambar 9, Ab55 menghambat fosforilasi tirosin IR dan IRS-1


dengan cara yang tergantung pada dosis pada 32D-IR/IRS-1 (7 dan 49%
untuk IR dan 10 dan 45% untuk IRS-1) dan 3T3 -L1 adiposit (5 dan
55% untuk IR dan 15 dan 60% untuk IRS-1). Dalam sel 32D dan

31
adiposit 3T3-L1, Ab75 menginduksi sedikit penurunan fosforilasi IR
dan IRS-1 tetapi hanya pada dosis tertinggi. Dalam 32D-IR/IRS-1,
masing-masing penghambat yang diinduksi oleh Ab75 mencapai 15 ±
2% dan 20 ± 4% untuk IR dan IRS-1, dan di hadapan Ab75,
kemampuan Ab55 menghambat pensinyalan insulin meningkat pada
cara aditif (dari 49 ± 5% hingga 68 ± 4% untuk IR, dan dari 45 ± 6%
hingga 63 ± 6% untuk IRS-1 pada konsentrasi lebih tinggi, rata-rata ±
S.E. dari tiga percobaan berbeda). Inkubasi sel dengan adanya antibodi
non-imun (Ni) tidak mengubah kemampuan insulin untuk merangsang
fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 (Peraldi, 1996).
Hasil ini tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa
penghambatan IR oleh antibodi agonis disebabkan dengan
penghambatan umum semua reseptor yang diberikan dengan aktivitas
tirosin kinase. Untuk menjawab pertanyaan ini, adiposit 3T3-L1
diinkubasi dengan Ab55 dan Ab75 seperti dijelaskan di atas dan
diperlakukan dengan PDGF BB selama 10 menit. Reseptor PDGF 
diimunopresipitasi dan dianalisis oleh anti-phosphotyrosine Western
blot. Seperti yang diamati pada Gambar 9B, fosforilasi tirosin dari
reseptor PDGF-β tidak berubah setelah stimulasi p55 TNFR atau p75
TNFR. Ini menunjukkan bahwa penghambatan aktivitas tirosin kinase
oleh Ab55 dicapai dengan beberapa spesifisitas untuk IR (Peraldi,
1996).

32
Gambar 10 Inhibition of insulin-stimulated IR and IRS-1 tyrosine phosphorylation by antibody
activation of p55 TNFR and p75 TNFR

c. Mimik Pengaruh TNF- Ceramides dan Sphingomyelinase pada


Pensinyalan Insulin
Aktivitas p55 ada beberapa dan salah satunya adalah
mengaktivasi sphingomyelinase, yang mengarah pada produksi
ceramide dan phosphocholine. Ceramides akan menginduksi aktivasi
ceramide-activated kinases dan phosphatases. Untuk menanyakan
apakah jalur ini relevan dengan pensinyalan insulin, adiposit 3T3-L1
diobati dengan sphingomyelinase dan dua ceramide permeant sel (N -
acetyl-sphingosine (C2) dan N-hexanoylsphingosine (C6)). Sel
kemudian distimulasi dengan insulin, dan fosforilasi tirosin IR dan IRS-
1 dianalisis (Gambar 10A) (Peraldi, 1996).
C2 dan C6 mengurangi fosforilasi IR dan IRS-1 secara setara
(sekitar 50%), sementara sphingomyelinase menghambat lebih kuat
apabila dibandingkan dengan C2 dan C6 (sekitar 70%). Penyelidikan
kekhususan efek dari ceramide dan sphingomyelinase untuk
pensinyalan IR dengan menentukan efeknya pada fosforilasi tirosin
reseptor PDGF. 3T3-L1 adiposit diberi perlakuan dengan
Sphingomyelinase dan ceramides dan dirangsang dengan PDGF BB,
dan reseptor PDGF  diimunopresipitasi dan dianalisis dengan anti-
phosphotyrosine Western blot. Seperti yang diamati pada gambar 10A,
fosforilasi tirosin dari reseptor PDGF β tidak dihambat dengan
perlakuan ini, menunjukkan bahwa penghambatan yang diamati pada
IR menunjukkan beberapa spesifisitas (Peraldi, 1996).

33
Gambar 11 Ceramide- and sphingomyelinase-induced inhibition of IR and IRS-1 tyrosine
phosphorylation.

IRS-1 berperan sangat penting dalam memediasi penghambatan


IR yang disebabkan oleh TNF- (lihat di bawah). Oleh karena itu,
ditentukan apakah penghambatan pensinyalan IR yang dimediasi
sphingomyelinase dan ceramide berfungsi melalui IRS-1. Untuk
melakukan ini, kami membandingkan kemampuan TNF-,
sphingomyelinase, dan ceramide untuk menghambat pensinyalan IR
dalam sel 32D-IR/IRS-1 dan dalam sel 32D yang mengekspresikan IR
dan IRS-2 (32D-IR/IRS-2). IRS-2 adalah protein yang memiliki
homologi signifikan dengan IRS-1 dan terbukti menjadi substrat
alternatif IR dalam sel-sel yang kekurangan IRS-1. Sejauh ini tidak
perbedaan signifikan terkait fungsi biologis dari IRS-1 dan IRS-2
(Peraldi, 1996).
Sel 32D-IR/IRS-1 dan 32D-IR/IRS-2 diberi perlakuan dengan
TNF-, sphingomyelinase, C2, dan C6 selama 4 jam. Sel kemudian
distimulasi oleh insulin dan IR, dan fosforilasi tirosin IRS-1 dan IRS-2
dinilai dengan imunopresipitasi diikuti oleh anti-phosphotyrosine
Western blot. Gambar 10B, dalam sel 32D-IR/IRS-1, C2 menyebabkan
penghambatan sederhana (10% untuk IR dan 20% untuk IRS-1),
sementara C6 dan sphingomyelinase menghambat IR (masing-masing
50 dan 80%) dan fosforilasi tirosin IRS-1 (60 dan 70%). Tetapi TNF-
, sphingomyelinase, dan ceramide tidak memodifikasi fosforilasi
tirosin IR dan IRS-2 dalam sel 32D-IR/IRS-2. Ini menunjukkan bahwa
IRS-1 yang terlibat dalam mekanisme di mana TNF-,
sphingomyelinase, dan ceramide menghambat pensinyalan insulin
dalam sel 32D (Peraldi, 1996).
Secara in vitro TNF- mengkonversi IRS-1 menjadi inhibitor
autofosforilasi IR. Karena hal ini dilakukan penilaian apakah

34
sphingomyelinase dan ceramide dapat memediasi efek yang sama. Sel
32D-IR/IRS-1 diberi perlakuan dengan TNF-, sphingomyelinase, C2,
dan C6 selama 4 jam. IRS-1 diimunopresipitasi dan diinkubasi dengan
adanya ligan-stimulated IR. Autofosforilasi IR dilakukan selama 1 jam
dengan ATP [-32 P], dan protein dipisahkan pada SDS-PAGE
(Gambar 11). Dibandingkan dengan kontrol inkubasi (imunopresipitasi
non-imun) atau dengan inkubasi dengan IRS-1 dari sel-sel yang tidak
diberi perlakuan, IRS-1 dari sel yang diberi perlakuan dengan TNF
menurunkan kemampuan IR untuk autophosphorylate. Hasilnya
sphingomyelinase dan C6 juga mampu menginduksi penghambatan
yang sama, dan C2 tidak atau sedikit mempegaruhi aktivitas IR tirosin
kinase. Ini berkorelasi dengan kemampuan senyawa-senyawa ini guna
menghambat fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 in vivo dan
kemampuannya untuk mengubah IRS-1 menjadi inhibitor IR. Ini
menunjukkan bahwa TNF-, sphingomyelinase, dan ceramide
menghambat pensinyalan IR melalui mekanisme yang sama. Kami juga
mengukur kemampuan IRS-2 dari sel yang diberi perlakuan dengan
TNF-, sphingomyelinase, dan ceramide untuk menghambat IR
(Gambar 11). Konsisten dengan data yang diperoleh dalam sel utuh,
tidak ada modifikasi kemampuan IR untuk autophosphorylate yang
diamati. Hasil yang diambil bersama-sama menyarankan peran
sphingomyelinase dan produksi ceramide selanjutnya dalam
mekanisme di mana TNF- menginduksi cacat pada pensinyalan
insulin.

35
Gambar 12 TNF-a, sphingomyelinase, and ceramide convert IRS-1 but not IRS-2 into an
inhibitor of the IR tyrosine kinase activity.

4. Diskusi
TNF- α merupakan factor penting yang menajdi benag merah
antara resistensi insulin dan obesitas. Dengan pemberian protein fusi
reseptor-IgG TNF yang larut air dapat menetralkan TNF- α sehingga dapat
menurunkan resistensi insulin pada tikus yang obesitas seiring dengan
perbaikan pada hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan hiperlipidemia. Hal
ini berkaitan dengan meningkatnya fosforilasi tirosin IR dan IRS-1.
Sebaliknya pengobatan adiposit dalam kultur dengan TNF- menginduksi
penurunan aktivitas tirosin kinase dari IR. Penghambatan fosforilasi tirosin
yang diinduksi insulin dari IR dan IRS-1 juga ditunjukkan pada sel
hepatoma yang dikultur. Penghambatan aktivitas IR tirosin kinase oleh
TNF- merupakan mekanisme utama TNF-a menginduksi resistensi
insulin pada obesitas. Penurunan aktivitas tirosin kinase IR juga terjadi
pada diabetes melitus yang tidak tergantung insulin. Aktivitas tirosin
kinase IR akan mempengaruhi seluruh aktivitas insulin (Peraldi, 1996).
Salah satu mekanisme dimana TNF- mengganggu fungsi IR
melibatkan fosforilasi serin TNF- dari IRS-1. IRS-1 serine-terfosforilasi
bertindak sebagai inhibitor IR in vitro dan berhubungan dengan penurunan
aktivitas IR dalam sel utuh. Di sisi lain, stimulant pertama yang
merangsang TNF-, belum diketahui. Stimulasi TNF- p55 TNFR saja
ataupun dengan stimulasi kedua reseptor TNF dapat menghambat
fosforilasi tirosin IR dan IRS-1. Aktivasi p75 TNFR dapat menghambatan
pensinyalan IR, meskipun efek ini lebih kecil dibandingkan dengan p55
TNFR. Perbedaan efek tadi disebabkan karena adanya perbedaan afinitas
atau stabilitas masing-masing. Stimulasi p55 TNFR bertanggung jawab
atas efek TNF- pada fosforilasi tirosin IR dan IRS-1 dalam sel-sel.
Namun sebaliknya p75 TNFR juga memiliki beberapa peran; 1) p75 TNFR

36
dapat meningkatkan jaringan lemak pada tikus obes atau resistensi insulin,
2) ketika kadar TNF- pada obesitas rendah (< 100 pg/ml), p75 TNFR
memiliki afinitas yang lebih tinggi dibandingkan TNF-, sehingga dapat
memankan berperan penting (Peraldi, 1996).
p55 TNFR juga dapat memicu peristiwa pensinyalan salah satunya
adalah stimulasi sphingomyelinase netral yang terikat pada membrane,
ayan menghidrolisis sphingomyelinase menjadi ceramide dan choline.
Ceramide dan sphingomyelinase dapat menyebabkan penurunan
fosforilasi tirosin pada IR dan IRS-1. Pada tingkat molekuler ceramide dan
sphingomyelinase akan merubah IRS-1 menjadi inhibitor aktifitas tirosin
kinase IR seperti halnya TNF-. Senyawa-senyawa ini memiliki beberapa
kekhususan untuk pensinyalan IR karena mereka tidak menghambat
fosforilasi tirosin PDGF dalam adiposit juga mereka tidak memodifikasi
fosforilasi tirosin IR dan IRS-2 dalam sel 32D-IR/IRS-2. Aktivasi
sphingomyelinase dan produksi ceramide kemungkinan menjadi jalur
utama yang digunakan oleh p55 TNFR untuk memediasi penghambatan
IR. Ceramides secara langsung mengaktifkan berbagai enzim seperti PKC-
. Dimana PKC- merupakan membran yang dapat memfosforilasi dan
mengaktifkan Raf-1. Selain itu ada juga enzim protein fosfatase yang
merupakan subtype heterotrimeric phosphatase 2A. Akibat dari stimulasi
enzim ini dspst memodifikdi IRS-1 dan penghambatan IR (Peraldi, 1996).
IRS-1 adalah komponen sentral dalam mekanisme dimana TNF-
menghambat pensinyalan IR, oleh karena pelu diselidiki bagaimana peran
IRS-2 (4PS) dalam proses ini. IRS-2 memeiliki fungsi biologis yang sama
dengan IRS-1 karena memiliki struktur substansi yang sama. IRS-2 telah
terbukti menjadi substrat alternatif IR pada tikus yang kekurangan IRS-1.
Meskipun IRS-1 dan IRS-2 memiliki funsi biologis dan struktur substansi
yang sama, IRS-2 tidak dapat menggantikan IRS-1 dalam mekanisme
penghambatan IR (Peraldi, 1996).

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pankreas adalah kelenjar terbesar didalam tubuh manusia yang memiliki
dua jaringan utama yaitu :
c. Asinar, berperan dalam sekseri getah pencernaan ke dalam duodenum
d. Pulau Langerhans tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
mensekresi insulin dan glucagon langsung ke darah.

38
DAFTAR PUSTAKA

Argiana V., Kanellos PT., Makrilakis K., Eleftheriadou I., Tsitsinakis G., Kokkinos
A., Perrea D., Tentolouris N. The Effect of Consumption of Low-Glycemic-
Index and Low-Glycemic-Load Desserts on ANtrhopometric Parameters
and Inflammatory Markers in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus.
European Journal of Nutrition. 2014.

Boada CAC., AND Martinez-Moreno JM. Pathophysiology of Diabetes Mellitus


Type 2: Beyond the Duo “Insulin Resistance-Secretion Deficit”. Nutritional
Hospitalaria. 2013. 28 (Supl. 2): 78-87.

Brandt M., 2005. Endocrine Regulation of Glucose Metabolism. Rose Hulman


Institute of Technology .

Chatterjee S., Khunti K., and Davies MJ. Type 2 Diabetes. The Lancet. 2017.

Dogla I., Benaki D., Baira E., Lemonakis N., Poudyal H., Brown L., Tsarbopoulos
A., Skaltosunis AL., Mikos E., and Gikas E. Alteration in the Liver
Metabolome of Rats with Metabolic Syndrome After Treatment with
Hydroxytyrosol A Mass Spectrometry And Nuclear Magnetic Resonance.
Talanta. 2018. 178 (2018) 246-257.

Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. 2015. Journal Majority. Volume 4 nomor 5.

Guyton AC. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology
and Mechanisms of Disease). Jakarta. EGC.

Hang X., Xiaopeng L., Adams H., Kubena K., and Guo S. Etiology of Metabolic
Syndrome and Dietary Intervention. Internasional Journal of Molecular
Science. 2018.

Harrington JM., Phillips CM. 2014. Nutrigenetics: Bridging Two Worlds to


Understand Type 2 Diabetes. Current Diabetes Reports. 2014. 14:77

Malin SK., Finnegan S., Fealy CE., Filion J., Rocco MB., and Kirwan JP. β-Cell
Dysfunction is Associated with Metabolic Syndrome Severity in Adult.
Metabolic Syndrome and Related Disorders. 2014.

39
Nigi L., Grieco GE., Ventrglia G., Brusco N., Mancarella F., Formichi C., Dotta F.,
and Sebastiani. MicroRNA as Regulators of Insulin Signaling: Research
Updates and Potential Therapeutic Perspectives in Type 2 Diabetes.
Internasional Molecular Science. 2018.

Ortega A., Berna G., Rojas A., and Martin F. Gene-Diet Interactions in Type 2
Diabetes: The Chicken and Egg Debate. Internasional Journal of Moleculer
Sciences. 2017.

Pearce EC. 2012. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.

Peraldi P., Hotamisligils GS., Burman WA., White MF., dan Spiegelman BM.
Tumor Necrosis Factor (TNF)-a Inhibits Insulin Signaling through
Stimulation of the p55 TNF Receptor and Activation of Sphingomyelinase.
The Journal of Biological Chemistry. 1996. Volume 271.

Peyrol J., Riva C., and Amit MJ. Hydroxytyrosol in the Prevention of the Metabolic
Syndrome and Related Disorders. Nutrients. 2017.

Rana S., Kumar S., Rathore N., Padwad Y., and Bhushan S.

Ren B., Tao C., Swan MA., Joachim N., Martiniello-Wilks R., Nassif NT., O’Brien
BA., and Simpsom AM. Pancreatic Transdifferentiation and Glucose-
Regulated Produvtion of Human Insulin In the H4IIE Rat Liver Cell Line.
Internasioan Journal of Molecular Science. 2016

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Sales NMR., Pelegrini PB., and Goersch MC. Nutrigenomics: Definition and
Advances of This New Science. Journal of Nutritional and Metabolism.
2014.

Soltani N., Qiu H., Aleksic M., Glinka Y., Zhao F., Liu R., Yiming L., Zhang N.,
Chakrabarti R., Tiffany N., Jin T., Zhang H., Wei-Yang L., Zhong-Ping F.,
Prud’homme GJ., and Wang Q. GABA Exerts Protective and Regenerative
Effects on Islet Beta Cells and Reverses Diabetes. Proceeding of the
National Academy of Sciences of the United State of America. 2011.
108(28): 11692-11697.

40
Tramblay BL., and Rudkowska I. Nutrigenomic Point of View on Effects and
Mechanisms of Action of Ruminant Trans Fatty Acids on Insulin Resistance
and Type 2 Diabetes. Emerging Science. 2017. Volume. 75 (3): 214-223.

Zhao Y., Barrere-Cain RE., Yang X. Nutritional System Biology of Type 2 Diabets.
Genes and Nutrition. 2015. 10:31

41

You might also like