Professional Documents
Culture Documents
4 PB PDF
4 PB PDF
net/publication/327471936
CITATIONS READS
0 301
4 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Melta Rini Fahmi on 21 January 2019.
Lena Monitaa, Surjono Hadi Sutjahjob, Akhmad Arif Aminc, Melta Rini Fahmid
a
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Baranangsiang, Bogor 16143 monita.sihotang@gmail.com
b
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga,
Bogor 16680
c
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
d
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Pancoran Mas, Depok 16436
Abstract. Black soldier fly (BSF) larvae (Hermetia illucens) can be used as insect based municipal organic waste recycling tech-
nology. The purpose of this research was to examine the utilization of BSF larvae as bio-processors of organic waste in order to
produce compost and nutritious larvae biomass. Larvae feeds as treatments of experiment consist of restaurant organic waste
mixed with fish silage 6% as treatment A, restaurant organic waste with dairy blood waste 6% as treatment B, and restaurant
organic waste as treatment C. The result of this research showed that the highest larvae growth according to its length, width
and body weigth was resulted by treatment B, followed by treatments A and C. Total metamorphic development time from egg to
imago was 35 days; comprised of as larvae, prepupa, pupa, and imago for 12-13, 6, 6, and 15 days, respectively. Proximate
analysis showed that BSF larvae had protein content 33.31 to 33.88%, and fat content 30.07 to 34.39%. Final solid residues of
the three treatments was ranged from 90.3-90.6% after 10-11 days of bio-processing.
Keywords: Black soldier fly larvae, compost, restaurant organic waste, proximate analysis
228
JPSL Vol. 7 (3): 227-234, Desember 2017
wadah perlakuan. Sampah organik yang digunakan sekali, ditimbang, dan dicatat. Parameter yang
masih segar (one night) untuk menghindari kontami- digunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 1.
nasi lalat lain, tidak dicacah dan memiliki berbagai
jenis sayur-sayuran, buah-buahan, kulit buah-buahan, Tabel 1. Parameter dan peralatan yang digunakan selama
pengamatan
daging, sisa makanan, sisa hasil masakan, bumbu-
Parameter Peralatan Waktu
bumbu dapur, ampas kelapa, nasi dan rerotian.
Pakan tambahan sebagai enrichment menggunakan Telur BSF
silase ikan dan limbah darah sapi. Pembuatan silase 1. Waktu menetas telur Visual Peletakan di media
ikan diawali dengan pengambilan limbah ikan dari Pertumbuhan Larva
pasar Kemiri Depok kemudian difermentasi dengan 1. Panjang tubuh Progam image-J 2 hari 1 x
asam formiat dan didiamkan selama kurang lebih 2 2. Lebar tubuh Progam image-J 2 hari 1 x
minggu. Sedangkan limbah darah sapi diambil dari Timbangan
Rumah Potong Hewan (RPH) Depok, kemudian di- 3. Berat tubuh 2 hari 1 x
Digital
masukkan ke dalam plastik putih dan disimpan dalam 4. Warna tubuh Visual 2 hari 1 x
freezer untuk digunakan selama penelitian. Pakan ter- Faktor Lingkungan
sebut diberikan ketika larva dipindahkan ke wadah
1. Suhu media Thermometer Setiap hari
perlakuan.
2. pH media pH meter Setiap hari
Hygro-
2.3.2 Rancangan Percobaan 3. Suhu udara
thermometer
Setiap hari
Hygro
4. Kelembaban udara Setiap hari
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Ke- Thermometer
lompok 1 faktor dengan 3 taraf perlakuan yaitu Fase Prepupa
Perlakuan A terdiri dari 300 kg sampah organik 1. Munculnya prepupa Visual Setiap hari
restoran ditambah 6% silase ikan, Perlakuan B 300 kg Timbangan
2. Berat Biomassa segar 50% sudah prepupa
sampah organik restoran ditambah 6% darah sapi dan Digital
Perlakuan C 300 kg sampah organik restoran tanpa Fase Pupa
penambahan. Hari (umur larva BSF) digunakan se- 1. Munculnya pupa Visual Setiap hari
bagai kelompok. Pengambilan sampel setiap 2 hari
Fase Imago
sekali dengan mengambil larva secara acak dan ditim-
1. Waktu muncul ima-
bang sebanyak 1 g. go dari pupa
Visual Setiap hari
Larva muda berumur 6 hari dipindahkan ke dalam Fase Telur Dalam
masing-masing wadah perlakuan. Selama proses Kandang
dekomposisi, dilakukan pengukuran suhu dan pH me- 1. Jumlah telur Visual Panen telur
dia serta suhu dan kelembaban udara. Sementara per- Timbangan
tumbuhan larva hingga pupa diamati dengan men- 2. Berat telur digital dan Panen telur
analitik
gukur panjang, lebar dan bobot tubuh. Larva memasu-
ki fase prepupa sebanyak 40-50% dapat dipanen,
Komposisi nilai gizi ditentukan dengan analisis
ditimbang dan dicatat kemudian dipindahkan ke fiber
proksimat. Uji proksimat merupakan analisis kimiawi
glass sebagai wadah untuk memasuki fase pupa. Pada
pada pakan/bahan menghasilkan kadar air, abu, pro-
saat fase pupa lebih dari 50%, diambil secara acak
tein kasar, lemak kasar dan serat kasar. Analisis kadar
kemudian ditimbang sebanyak 1 kg dan dimasukkan
air menggunakan metode pengeringan dalam oven
ke wadah plastik hitam sebagai wadah pupa hingga
pada suhu 105 oC selama beberapa waktu. Analisis
menetas menjadi imago. Residu yang dihasilkan dari
kadar abu menggunakan metode pembakaran dalam
proses dekomposisi ditimbang dan dicatat.
tungku/tanur pada suhu 500-600 oC. Protein kasar
Pengamatan perkembangan imago BSF diawali
merupakan kandungan nitrogen pakan/ransum
dengan membuat kandang baru berukuran 80 x 80 x
dikalikan faktor protein rata-rata (6.25), dan kadar
100 cm3 dengan bahan berupa pipa paralon dan net
protein kasar tersebut ditentukan dengan metode
insect (jaring nilon) berwarna putih. Kandang baru
Kjeldahl (N x 6.25) dengan N adalah kadar nitrogen.
tersebut ditempatkan dalam kandang besar serangga.
Kadar lemak kasar menggunakan metode ekstraksi
Pupa sebanyak 1 kg dimasukkan ke dalam kandang
soxhlet, dan kadar serat kasar menggunakan metode
baru untuk mengetahui perkembangan imago, aktivi-
Van Soest (asam-basa) (PBMT, 2012). Larva BSF
tas kawin dan bertelur.
dibawa ke laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya
Pupa menetas menjadi imago muda memasuki fase
Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan
serangga dewasa dan seiring berjalannya waktu imago
Pemberdayaan Masyarakat IPB untuk uji proksimat.
terbang, melakukan aktivitas kawin dan bertelur. Bo-
bot telur imago pada ketiga kandang diperoleh dengan
2.3.3 Analisis Data
terlebih dahulu menyiapkan media PKM dan difer-
mentasi selama 2 hari. Media tersebut dimasukkan ke
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel
dalam wadah plastik kecil kemudian daun pisang ker-
dan grafik kemudian dianalisis secara deskriptif. Ana-
ing diletakkan di atas media sebagai wadah bagi BSF
lisis data menggunakan ANOVA pada taraf 5%. Apa-
betina bertelur. Telur imago dipanen setiap 2 hari
bila terdapat pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut
229
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (3): 227-234
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yaitu Uji dilaporkan antara lain pada media PKM menghasilkan
Duncan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Data panjang larva 6.9-19.9 mm, lebar 2.0-5.5 mm, dan
diolah menggunakan program software SPSS. bobot 0.01-0.18 gr (Rachmawati et al., 2010). Pada
media sampah dapur (kitchen waste) memiliki kan-
3. Hasil dan Pembahasan dungan lemak, kalori dan energi paling besar sehingga
menghasilkan bobot larva 679.88 mg per 3 larva dan
3.1 Pertumbuhan Larva BSF (Hermetia illucens L.) panjang tubuh 2.22 cm (Nguyen et al., 2015). Pada
media kombinasi sampah organik restoran dengan
Pertumbuhan BSF diawali sejak telur menetas men- feses memiliki bobot prepupa 221-224 mg (Dortmants,
jadi larva. Hasil penelitian menunjukkan telur menetas 2015). Sementara pada media kotoran sapi dengan
mencapai lebih dari 95% pada hari ke-3 setelah pele- jeroan ikan memiliki bobot 0.10-0.16 g (St-Hilaire et
takan telur di media kultur dan memasuki fase aktif al., 2007a). Kim et al. (2010) mengemukakan bahwa
makan. Fase larva berlangsung selama 12-13 hari. larva dapat mencapai panjang hingga 20 mm, lebar 6
Selama fase makan, larva mengalami pertumbuhan mm dan berat larva meningkat secara dramatis dari
panjang, lebar, dan bobot hingga fase pupa (Tabel 2). larva instar ke-3 sampai ke-6.
Sampah restoran merupakan media yang sangat baik
untuk mendukung pertumbuhan BSF karena memiliki 3.2 Pengamatan Fase Prepupa dan Pupa BSF
jenis sampah makanan yang sangat beragam dari
produk hewani, nabati, nasi, dan rerotian. Larva BSF memasuki fase prepupa dicirikan
dengan adanya perubahan warna tubuh larva yaitu
Tabel 2. Pertumbuhan larva BSF kekuningan, coklat kekuningan, coklat muda sampai
Perlakuan coklat gelap. Selain itu, pergerakan larva yang sebe-
Parameter Satuan lumnya sangat aktif berangsur-angsur menjadi tidak
A B C
aktif atau melambat. Hal ini disebabkan larva telah
Panjang mm 16.38±2.59b 16.44±2.70b 15.85±2.12a memasuki fase tidak aktif makan dengan meninggal-
Lebar mm 4.20±0.71b 4.22±0.70b 4.05±0.59a
kan residu makanan menuju tempat kering. Fase
prepupa berlangsung selama 6 hari. Selanjutnya fase
Bobot g 0.11±0.04b 0.10±0.04b 0.09±0.03a prepupa bermetamofosis menjadi fase pupa dicirikan
Keterangan: Perlakuan A = 300 kg sampah organik restoran dengan adanya perubahan warna tubuh yaitu coklat
ditambah 6% silase ikan, Perlakuan B = 300 kg sampah organik gelap sampai hitam legam. Selain itu, pergerakan
restoran ditambah 6% darah sapi, Perlakuan C = 300 kg sampah
organik restoran tanpa penambahan. Huruf superscript yang ber-
tubuh prepupa yang melambat berangsur-angsur tidak
beda menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf uji 5%. bergerak (pasif) dengan tekstur kulit pupa lebih keras,
berkerut serta bobot tubuh lebih ringan. Fase pupa
Tabel 2 menunjukkan panjang larva BSF pada keti- berlangsung selama 6 hari (Tabel 3).
ga perlakuan memiliki kisaran dari 15.85-16.44 mm, Tahap akhir larva, disebut prepupa, merupakan fase
lebar 4.05-4.22 mm dan bobot tubuh 0.09-0.11 mg. tidak makan lagi dan bermigrasi dari sumber makanan
Secara statistik menunjukkan bahwa panjang, lebar mencari tempat kering dan tempat terlindungi untuk
dan bobot larva pada perlakuan A dan B berbeda nyata memasuki tahap pupa (Diener et al., 2011b). Selain
dengan perlakuan C (P<0.05) menunjukkan bahwa itu, pada tahap prepupa juga merupakan tahap berada
perlakuan A dan B memiliki nilai lebih tinggi pada ukuran maksimum dengan penyimpanan lemak
dibandingkan pada perlakuan C. Hal ini menunjukkan yang banyak sebagai cadangan makanan sampai men-
pemberian silase ikan dan darah sapi memberikan jadi serangga dewasa (Newton et al., 2005a). Prepupa
pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan panjang, dapat dengan mudah dipanen dan digunakan sebagai
lebar dan bobot tubuh larva. Gobbi et al. (2013) dan bahan pakan berharga dalam budidaya perikanan, pe-
Tomberlin et al. (2002) mengemukakan kualitas dan ternakan ayam dan hewan ternak lainnya (Diener et al.
kuantitas makanan yang dicerna oleh larva BSF mem- 2009a, Newton et al. 2005a).
iliki pengaruh penting terhadap pertumbuhan dan
waktu perkembangan larva, kelangsungan hidup, mor- Tabel 3. Deskripsi persentase munculnya prepupa dan pupa ber-
talitas dan perkembangan ovarium serangga dewasa dasarkan pengamatan secara visual
Parameter Umur Perlakuan
serta menentukan perkembangan fisiologi dan morfol- (hari) A B C
ogi BSF dewasa. Prepupa 12 Mulai mun- Mulai mun- Mulai mun-
Fase larva BSF dijadikan sebagai landasan untuk cul warna cul warna cul warna
mengelompokkan larva sebagai agen biokonversi kekuningan, kekuningan, kekuningan,
kuning kuning kuning
berbagai limbah organik karena sebagian besar fase kecoklatan kecoklatan kecoklatan
hidupnya berperan sebagai dekomposer (Fahmi, dan coklat dan coklat dan coklat
2015). Dengan demikian, larva berpotensi mampu 15 40% coklat 50% coklat 40% coklat
mengkonversi limbah/sampah organik dalam jumlah masih lebih merata masih
bercampur bercampur
besar menjadi biomassa kaya protein untuk mengganti dengan dengan
tepung ikan (Diener et al., 2009a). Pertumbuhan larva larva putih larva putih
selama fase aktif makan bergantung pada jumlah dan kekuningan kekuningan
jenis limbah organik yang diberikan. Pertumbuhan 17 90% coklat 95% coklat 85% coklat
BSF menggunakan media yang berbeda telah Pupa 16 - Muncul -
230
JPSL Vol. 7 (3): 227-234, Desember 2017
Jumlah pupa berkisar dari 12.000 sampai 13.000 Rata-rata jumlah telur BSF dalam 0.01 g pada kan-
ekor. Pupa mulai menetas menjadi imago pada umur dang 1 (486 butir), kandang 2 (459 butir), dan kan-
21 hari di ketiga kandang dan 4 hari berikutnya telah dang 3 (492 butir) sehingga bobot per butir telur BSF
terlihat imago memadati kandang baru. Fase imago adalah berkisar dari 0.020 sampai 0.022 mg/butir.
berlangsung selama 15 hari. Imago yang telah menetas Istirokhah (2012) melaporkan pupa sebanyak 2 kg
mulai terbang dan aktif. Selama periode pengamatan, dengan jumlah pupa ± 14.000 ekor yang akan menjadi
aktivitas serangga terlihat mulai pukul 08.00 dan san- imago menghasilkan bobot telur rata-rata 19.01 g.
gat aktif mulai pukul 09.00 pagi sampai 14.00 siang Dalam penelitian ini, jumlah telur yang dihasilkan
dengan suhu kandang berkisar antara 30 oC sampai 40 oleh imago dari ketiga kandang masih tergolong ren-
o
C dengan kelembaban 27-60 %, selanjutnya pada dah. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh be-
sore hari aktivitas imago berangsur-angsur mulai berapa faktor yaitu ukuran tubuh imago betina, ukuran
menurun. Imago BSF sangat membutuhkan kondisi kandang cukup kecil dan setiap panen telur terdapat
lingkungan di bawah sinar matahari penuh karena telur diletakkan oleh imago betina di media PKM
pada kondisi tersebut aktivitas imago sangat baik dan yang sudah mengering dan lengket pada media terse-
aktif untuk mendukung aktivitas kawin dan bertelur. but sehingga tidak bisa dipanen. Jumlah imago yang
Selanjutnya, imago mulai kawin antara hari ke-5 dan sangat padat dengan ukuran kandang cukup kecil, me-
ke-6 setelah pupa menetas. nyebabkan imago tidak memiliki ruang pergerakan
Tomberlin dan Sheppard (2002) mengemukakan leluasa untuk melakukan aktivitas kawin dan juga
perilaku kawin dan bertelur dimediasi oleh syarat dapat menyebabkan stress bagi imago. Faktor tersebut
lingkungan dan waktu (time of day). Waktu dan inten- kemungkinan dapat mempengaruhi jumlah imago
sitas cahaya matahari memainkan peran utama dalam yang kawin dan bertelur.
menentukan waktu dan jumlah serangga BSF dewasa Tomberlin (2001) mengemukakan koloni imago
akan kawin, sedangkan waktu, suhu dan kelembaban BSF tanpa pemberian air menyebabkan imago men-
secara signifikan berkorelasi dengan perilaku bertelur. galami dehidrasi dan kurang kuat sehingga tidak dapat
Pasangan serangga BSF kawin 75% ketika intensitas bereproduksi secara efektif dan tidak semangat berte-
cahaya lebih besar dari 200 µmol m-2s-1 dan aktivitas lur. Serangga BSF bereproduksi tanpa makan dan
kawin lebih sering terjadi pagi hari. Zhang et al., mengandalkan cadangan lemak yang diperoleh selama
(2010) juga melaporkan bahwa aktivitas kawin paling fase larva untuk kelangsungan hidup serangga dewasa
231
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (3): 227-234
dan produksi telur. Ukuran kandang serangga BSF (2 pai 12.7 menjadi antara 7.8 dan 8.9 sehingga cocok
x 2 x 3 m3) berisi 500 imago menghasilkan 72% digunakan dalam bioteknologi pengolahan lindi
pasangan serangga BSF kawin. Dalam waktu 2 hari (Alattar, 2012). Selain itu, larva BSF juga sangat
setelah kawin ditemukan dalam tubuh serangga betina resisten dan mampu bertahan terhadap kondisi
telah terbentuk telur dengan sempurna. Jumlah telur lingkungan, seperti kekeringan, kekurangan makanan
yang dihasilkan per individu berkisar dari 206-639 atau kekurangan oksigen (Diener et al., 2011b). Hasil
butir dengan berat per individu telur berkisar dari penelitian Liu et al. (2008) melaporkan bahwa suhu
0.023 - 0.025 mg. Sheppard et al. (2002) menemukan secara signifikan mempengaruhi kemampuan larva
kondisi yang mendukung aktivitas kawin serangga BSF dalam mengurangi jumlah E. coli, keberhasilan
BSF (H. illucens) yang dapat diandalkan yaitu ukuran terbesar dipelihara pada suhu 27 oC dan 31 oC.
kandang (2 x 2 x 4 m3), memiliki ketersediaan inten- Erikson et al. (2004) menambahkan pertumbuhan
sitas cahaya matahari dan ruang udara yang cukup. terbesar larva BSF (H.illucens) dalam kotoran ayam,
Selanjutnya Alvarez (2012) mengatakan keberhasilan kotoran babi dan kotoran sapi optimal pada suhu 27
o
proses kawin bergantung pada intensitas cahaya, pan- C. Pengurangan populasi E. coli O157: H7 dalam
jang paparan cahaya dan panjang gelombang serta kotoran ayam oleh larva dipengaruhi oleh suhu
kepadatan serangga dewasa dalam ruang aktivitas penyimpanan 27 oC atau 32 oC. Lebih lanjut, Sheppard
kawin. Dengan demikian dapat mempengaruhi et al. (2002) mengemukakan telur dan larva umumnya
produksi telur yang dihasilkan oleh imago. dipelihara pada suhu 27 oC tetapi juga tampaknya
mentolerir berbagai kondisi lingkungan.
3.4 Hasil Pengukuran Suhu dan pH Media
3.5 Kompos BSF
Suhu dan pH media berperan penting dalam proses
biokonversi sampah organik oleh larva dalam mem- Larva BSF sangat cepat mendekomposisi sampah
percepat pengomposan dan mendukung pertumbuhan restoran hingga pada tahap akhir (prepupa) dan ber-
larva. Pengukuran suhu dan pH media mulai dil- langsung selama 10-11 hari pada ketiga perlakuan.
akukan ketika larva dipindahkan ke wadah perlakuan. Residu akhir yang dihasilkan oleh larva antara lain
Suhu media pada ketiga perlakuan berkisar dari kompos yaitu hasil metabolisme larva BSF (ekskresi
36.548-38.058 oC, dan pH media 6.635-6.62 masih dan sekresi) dan residu kasar. Pada akhir pengamatan
dalam kisaran pH netral (Tabel 6). Secara statistik dilakukan panen kompos dan residu kasar pada ketiga
menunjukkan bahwa suhu media pada perlakuan A perlakuan (Tabel 7). Kompos yang dihasilkan oleh
berbeda nyata dengan perlakuan B dan C (P<0.05) larva BSF memiliki karakteristik yang sama yaitu
akan tetapi pH media tidak berbeda nyata (P>0.05) berwarna hitam, tekstur kasar, berbentuk butiran dan
pada ketiga perlakuan. Aktivitas larva selama fase memiliki bau khas kotoran larva. Sementara residu
makan sangat aktif dan lahap sehingga suhu tubuh kasar merupakan bagian sampah organik yang mem-
larva mempengaruhi peningkatan suhu media. Selain iliki tekstur keras sehingga tidak dapat dicerna oleh
itu, suhu dan kelembaban udara dalam kandang larva larva selama fase makan. Larva lebih menyukai sam-
berkisar dari 28.83 sampai 31.93 oC dan 62.22 sampai pah organik yang memiliki tekstur lunak.
83.44% dapat mempengaruhi suhu media. Larva
mengeluarkan energi untuk mengkonsumsi sampah Tabel 7. Total bobot residu yang dihasilkan oleh larva
restoran yang sangat beragam (heterogen) dan dalam Perlakuan
Parameter Satuan
kondisi tidak digiling atau dicacah. Kondisi ini me- A B C
nyebabkan suhu media cukup tinggi Seperti dikatakan Kompos kg 19.1 19.2 18.4
oleh Caruso et al. (2014) bahwa larva memiliki mulut
Residu kasar kg 10.0 9.5 9.6
kuat untuk tujuan makan.
Tabel 6. Pengukuran suhu dan pH media pertumbuhan larva BSF Hasil penelitian Anggraeni (2010) melaporkan
(Hermetia illucens L.) bahwa pemupukan menggunakan kompos larva BSF
Perlakuan
Parameter yang disebut Biokonversion Fertilizer Palm Kernel
A B C
Meal (BFPKM) pada tanaman kacang panjang (Vigna
Suhu (oC) 38.06±2.816b 37.22±2.845a 36.55±3.001a unguiculata L. Walp.) varietas Mutiara cenderung
memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan
pH 6.62±0.311a 6.64±0.3a 6.64±0.326a
vegetatif maupun generatif tanaman. Unsur hara yang
Keterangan: Perlakuan A = 300 kg sampah organik restoran terdapat pada BFPKM mampu meningkatkan panjang
ditambah 6% silase ikan, Perlakuan B = 300 kg sampah organik
restoran ditambah 6% darah sapi, Perlakuan C = 300 kg sampah batang, jumlah cabang batang, jumlah daun, luas per-
organik restoran tanpa penambahan. Huruf superscript yang ber- mukaan daun, kandungan klorofil, jumlah bunga,
beda menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf uji 5%. jumlah buah, dan panjang buah. BFPKM mengandung
15.7 % C-organik, 3 % N, 0.82 % P dan 1.04 % K.
Larva BSF (H. illucens) mampu mentolerir Menurut Gabler (2014) bahwa pemanfaatan BSF se-
sejumlah inhibitor biologi dalam lindi microaerobic bagai strategi pengelolaan limbah/sampah organik
fermentation (MF) termasuk etanol, asetat, suhu dan merupakan strategi inovatif karena dapat
pH ekstrim. Larva BSF toleran terhadap tingkat pH menghasilkan pakan ternak yang mengandung lemak
0.7-13.7 dan mampu mengubah pH awal dari 2.7 sam- dan protein melimpah dan pupuk organik.
232
JPSL Vol. 7 (3): 227-234, Desember 2017
233
ISSN 2086-4639 | e-ISSN 2460-5824 JPSL Vol. 7 (3): 227-234
[11] Davis, S.C., W. Hay, dan J. Pierce, 2014. Biomass in the en- [28] Newton, L., C. Sheppard, D. W. Watson, G. Burtle, dan R.
ergy industry: An introduction. London (GB): BP p.l.c. Dove, 2005a. Using the black soldier fly, Hermetia illucens,
[12] Diener, S.,C. Zurbrügg, dan K. Tockner, 2009b. Conversion as a value-added tool for the management of swine manure:
of organic material by black soldier fly larvae: establishing director of the animal and poultry waste management center,
optimal feeding rates. Waste Management Research 27, pp. North Carolina state university, Raleigh, NC [terhubung
603-610. berkala]. http://www.organicvaluerecovery.com [14 Maret
[13] Diener, S., C. Zurbrügg, F. R. Gutiérrez, D. H. Nguyen, A. 2016].
Morel, T. Koottatep, dan K. Tockner, 2011b. Black soldier [29] Nguyen, T.T.X., J.K. Tomberlin, dan S. Vanlaerhoven, 2015.
fly larvae for organic waste treatment-prospects and con- Ability of black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae) larvae to
straints. Dalam: Alamgir M., Q. H. Bari, I. M. Rafizul, S. M. recycle food waste. Environ Entomol 44 (2), pp. 406-
T. Islam, G Sarkar, dan M. K. Howlader, editor. Proceedings 410.doi:10.1093/ee/nvv002.
of the WasteSafe 2011-2nd International Conference on Solid [30] Rachmawati, D. Buchori, P. Hidayat, S. Hem, dan M. R.
Waste Management in Developing Countries; 2011 Feb 13- Fahmi, 2010. Perkembangan dan kandungan nutrisi larva
15; Khulna, Bangladesh, pp. 52-59. Hermetia illucens (Linnaeus) (Diptera: Stratiomyidae) pada
[14] Diener, S., F. R. Gutiérrez, C. Zurbrügg, dan K. Tockner, bungkil kelapa sawit. J Entomol Indon 7(1), pp. 28-41.
2009a. Are larvae of the black soldier fly-Hermetia illucens- [31] Sheppard, D.C., G.L. Newton, dan S.A. Thompson, 1994. A
a financially viable option for organic waste management in value added manure management system using the black sol-
Costa Rica?. Proceedings Sardinia 2009, twelfth international dier fly. Bioresour Technol 50 (1994), pp. 275-279.
waste management and landfill symposium. CISA publisher. [32] Sheppard, D.C., J.K. Tomberlin, J.A. Joyce, B.C. Kiser, dan
Cagliari, Italy. S. M. Sumner, 2002. Rearing methods for the black soldier
[15] Diener, S., M. Nandayure, S. Solano, F. R. Gutiérrez, C. Zur- fly (Diptera: Stratiomyidae). J Med Entomol 39 (4), pp. 695-
brügg, dan K. Tockner, 2011a. Biological treatment of mu- 698.
nicipal organic waste using black soldier fly larvae. Waste [33] St‐Hilaire, S., C. Sheppard, J. K. Tomberlin, S. Irving, L.
Biomass Valor 2, pp. 357– Newton, M. A. McGuire, E. E Mosley, R. W Hardy, dan W.
363.doi:10.1007/s.12649.011.9079.1. Sealey, 2007b. Fly prepupae as a feedstuff for rainbow trout,
[16] Dortmans, B. 2015. Valorisation of organic waste-Effect of Oncorhynchus mykiss. J World Aquacult Society 38 (1), pp.
the feeding regime on process parameters in a continuous 59‐67.
black soldier fly larvae composting system. Theses. Swedish [34] St-Hilaire, S., K. Cranfill, M.A. McGuire, E.E. Mosley, J.K.
University of Agricultural Sciences, Swedish. Tomberlin, L. Newton, W. Sealey, C. Sheppard, dan S. Ir-
[17] Erickson, M.C., M. Islam, C. Sheppard, J. Liao, dan M. P. ving, 2007a. Fish offal recycling by the black soldier fly
Doyle, 2004. Reduction of Escherichia coli O157:H7 and produces a foodstuff high in omega-3 fatty acids. J World
Salmonella enterica serovar enteritidis in chicken manure by Aquacult Society 38 (2).
larvae of the black soldier fly. Journal of Food Protection 67 [35] Sudrajat, 2006. Mengelola sampah kota. Penebar Swadaya,
(4), pp. 685-690. Jakarta.
[18] Fahmi, M. R., 2015. Optimalisasi proses biokonversi dengan [36] Suriawiria, U., 2003. Mikrobiologi Air. PT Alumni, Ban-
menggunakan mini-larva Hermetia illucens untuk memenuhi dung.
kebutuhan pakan ikan. Pros sem nas masy biodiv indon 1(1), [37] Suyanto, E., E. Soetarto, Sumardjo, dan H. Hardjomidjojo,
pp. 139-144. 2015. Model kebijakan pengelolaan sampah berbasis
[19] Gabler, F. 2014. Using black soldier fly for waste recycling partisipasi “Green Community” mendukung kota hijau.
and effective Salmonella spp. reduction. Theses. Swedish Mimbar 31 (1), pp. 143-152.
University of Agricultural Sciences, Swedish. [38] Tim Laboratorium, 2012. Pengetahuan bahan makanan ter-
[20] Gani, A. 2007. Konversi sampah organik menjadi komarasca nak. Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB
(kompos-arang aktif-asap cair) dan aplikasinya pada tanaman [terhubung berkala].
daun dewa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian https://www.google.co.id/anuragaja.staff.ipb.ac.id/files/2012/
Bogor, Bogor. 04/Buku-PBMT [20 Februari 2017].
[21] Gobbi, P., A. Martínez-Sánchez, dan S. Rojo, 2013. The ef- [39] Tomberlin, J.K., 2001. Biological, behavioral, and toxicolog-
fects of larval diet on adult life-history traits of the black sol- ical studies on the black soldier fly (Diptera:
dier fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Eur J [40] Tomberlin, J.K., D.C. Sheppard, 2002. Factors influencing
Entomol 110 (3), pp. 461-468. mating and oviposition of black soldier flies (Diptera: Strati-
[22] Istirokhah. 2012. Siklus hidup black soldier fly (Hermetia il- omyidae) in a colony. J entomol sci 37 (4), pp. 345-352.
lucens) pada media bungkil kelapa sawit dengan penambahan [41] Tomberlin, J.K., D.C. Sheppard, dan J. A. Joyce, 2002. Se-
silase ikan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. lected life-history traits of black soldier flies (Diptera: Strati-
[23] Kim, W., S. Bae, H. Park, K. Park, S. Lee, Y. Choi, S. Han, omyidae) reared on three artificial diets. Ann Entomol Soc
dan Y. Koh, 2010. The larval age and mouth morphology of Am 95 (3), pp. 379-386.
the black soldier fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyi- [42] Wibowo S., 2013. Karakteristik bio-oil serbuk gergaji sengon
dae). Int J Indust Entomol 21 (2), pp. 185-187. (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) menggunakan proses
[24] Li, Q., L. Zheng, H. Cai, E. Garza, Z. Yu, S. Zhou, 2011. pirolisis lambat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 31(4):258-
From organic waste to biodiesel: black soldier fly, Hermetia 270.
illucens, makes it feasible. Fuel 90, pp. 1545-1548. [43] Widyawidura W., J.I. Pongoh, 2016. Potensi waste to energy
[25] Liu, Q., J. K. Tomberlin, J. A. Brady, M. R. Sanford, dan Z. sampah perkotaan untuk kapasitas pembangkit 1 MW di Pro-
Yu, 2008. Black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae) larvae pinsi DIY. J Mek Sist Termal. 1(1):21-25.
reduce Escherichia coli in dairy manure. Environ Entomol 37 [44] Zhang, J., L. Huang, J. He, J.K. Tomberlin, J. Li, C. Lei, M.
(6), pp. 1525-1530. Sun, Z. Liu, dan Z. Yu, 2010. An artificial light source influ-
[26] Naryono, E. dan Soemarno, 2013. Perancangan sistem pemi- ences mating and oviposition of black soldier flies, Hermetia
lahan, pengeringan, dan pembakaran sampah organik rumah illucens. J Insect Sci 10 (202).
tangga. Indonesian Green Technology Journal 2(1), pp. 27- [45] Zheng, L., Q. Li, J. Zhang, dan Z. Yu, 2012. Double the bio-
36. diesel yield: Rearing black soldier fly larvae, Hermetia illu-
[27] Newton, G. L., D. C. Sheppard, D. W. Watson, G. J. Burtle, cens, on solid residual fraction of restaurant waste after
C. R. Dove, J. K. Tomberlin, dan E. E. Thelen, 2005b. The grease extraction for biodiesel production. Renewable energy
black soldier fly, hermetia illucens, as amanure manage- 41 (2012), pp. 75-79.
ment/resource recovery tool.
234