Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 39

JURNAL 1

Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Modern dan Islam

Siti Makhmudah STAIM Nglawak Kertosono E-mail:


makhmudahsiti87@gmail.com

Abstract: Science in a unity appeared in dimensional. Philosophy is an activity


though human thought guided their efforts on finding cause for over everything
and how human effort after learning of the matter. This research aims to
understand: (1) knowledge and understanding of science in etymology and
terminology; (2) perbedan of science, knowledge and religion in epistimologi; (3)
the extent to which science in Islam; (4) the principal traits of science; (5) the
theory of truth; (6) the sources of knowledge; (7) the boundaries of science; (8)
the structure of knowledge. Results of the study can be described in several
options, which are: first, science is the summary of a set of knowledge or the
result of knowledge and facts. While religion is a belief or faith tata tata over
something that is absolutely beyond human, appropriate and in line with the faith
and worship. Second, with regard to the characteristics of the subject matter of
science is as follows: 1) Systematically; 2) Generality; 3) Rationality; 4)
Objectivity; 5) Verifiabilitas, 6) and Communality. Third, in Theory a theory of
truth is no 3: the theory of correspondence, coherence Theory, theory of
pragmatism. Fourth, human source of knowledge using two ways to obtain the
correct knowledge, first through ratio and secondly through experience. Fifth,
limiting his explorations in the science of human experience, thus embarking upon
science exploration on human experience and stop on the human experience, and
that is the limits of science. Sixth, the science is essentially a collection of
knowledge that is explaining the various symptoms of nature which allows a
human doing a series of actions to control these symptoms based on the
explanation there is. Keywords: Nature, Science, and Qur’ân Al-Had ith .

Pendahuluan

1
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang merefleksi, radikal dan
integral mengenai hakikat imu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan
penelusuran dalam pengembangan filsafat pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam
suatu kesatuan menampakkan diri secara dimensional. Filsafat merupakan
kegiatan olah pikir manusia yang terarah pada upaya mencari sebab musabab atas
segala sesuatu dan bagaimana upaya manusia setelah mengetahui hal tersebut.
Saat ini, manusia cenderung tidak mempunyai pengertian yang mendalam tentang
hakikat ilmu yang sebenarnya sumber utamanya berasal dari filsafat. Potensi
berfikir manusia yang sebenarnya sangat mendalam begitu terabaikan dan

AL-MURABBI Volume 4, Nomor 2, Januari 2018 ISSN 2406-775X 203

tersia-siakan dalam sebuah kehidupan prakmatis serta instan. Akibatnya


kehidupan manusia menjadi kerdil dan termekaniskan oleh gelombang kehidupan
yang sangat kaku dalam mengurai makna exsistensinya baik secara moderen
maupun islami.

Pembahasan

h. Pengertian Pengetahuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan berarti


segala sesuatu yang diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yang diketahui
berkenaan dengan hal (mata pelajaran).

Menurut Pudjawidjana , pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas


rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera
dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan sebuah objek tertentu. Sedangkan menurut Notoatmodjo ,
pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan
penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa


pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari

2
persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya
merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang
menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak.

b. Pengertian ilmu

Asal kata ilmu adalah dari bahasa Arab, ‘alima.Arti dari kata ini adalah
pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia, ilmu sering disamakan dengan sains yang
berasal dari bahasa Inggris “science”. Kata “science” itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu “s cio”, “scire” yang artinya pengetahuan.Science (dari
bahasa Latin “scientia”, yang berarti “pengetahuan” adalah aktivitas sistematis
yang membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk penjelasan dan
prediksi tentang alam semesta.

Berdasarkan kamus besar Oxford Dictionary bahwa ilmu didefinisikan


sebagai aktivitas intelektual dan praktis yang meliputi studi sistematis tentang
struktur dan perilaku dari dunia fisik dan alam melalui pengamatan dan
percobaan”

The Liang Gie mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas


penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia.

Lorens Bagus mengutip pendapat Arthur Thomson yang mendefinisikan


ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten
meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana 6. Bahm yang dikutip oleh
Kunto Wibisono mendefinisikan ilmu pengetahuan memiliki enam komponen
yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan, dan pengaruh 7. Ilmu atau
ilmu pengetahuan adalah aktifitas intelektual yang sistimatis untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman secara rasional dan empiris dari
berbagai segi kenyataan tentang alam semesta.Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti.Ilmu memberikan kepastian dengan

3
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu bukan sekedar


pengetahuan (knowledge), tetapi merupakan rangkuman dari sekumpulan
pengetahuan atau hasil pengetahuan dan fakta berdasarkan teori-teori yang
disepakati / berlaku umum, diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik,
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dan Agama Secara Epistemologi

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang ilmu pengetahuan.


Yaitu ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merupakan
rangkuman dari sekumpulan pengetahuan atau hasil pengetahuan dan fakta
berdasarkan teori-teori yang disepakati / berlaku umum, diperoleh melalui
serangkaian prosedur sistematik, diuji dengan seperangkat metode yang diakui
dalam bidang ilmu tertentu. Sedangkan agama adalah suatu tata keimanan atau
tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma
(tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan.

Berdasarkan sumbernya, agama dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu


agama samawi dan agama budaya. Adapun agama samawi yaitu agama berasal
dari wahyu, agama langit, sedangkan agama budaya yaitu agama bumi, agama
filsafat. Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan
agama yaitu: 1) Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu
yaitu akal, budi, rasio manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari
Allah.

2) Ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari kebenarannya


dengan jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian.
Sedangkan agama mencari kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari
jawaban) tentang masalah asasi kepada Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk
manusia di bumi.

4
3) Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan
bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut),
karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha
Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT.

4) Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana
keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan
agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.9 Namun dibalik perbedaan
terdapat juga kesamaan antara ilmu pengetahuan dan agama bertujuan yang sama
yaitu berbicara tentang kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan dan agama
dengan metodenya dan karakteristiknya masing-masing, memberikan jawaban
atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam
maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.

d. Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak


diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-
Qur`an dan hadits Nabi SAW. Yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di
dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian
terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson (seorang penulis Marxis) ketika
menelaah QS. Ali Imrân: 190-191 dan QS. Al-Baqarah: 164.

Menurut Rodorson dalam al-Qur`an kata ‘aqala (mengandung pengertian


menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan mengajukan
bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami secara rasional)
disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan sebanyak tiga belas
kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah pada kajian ilmiyah,
seperti “Apakah kamu tidak berakal?”.

Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil,


hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan alQur`an
mengisyaratkan mengenai hal ini. Setiap kali Allah menerangkan fakta-fakta
penciptaan, lalu diiringi dengan pernyataan, misalnya dalam QS. Ali Imran: 190-

5
191 yang artinya : ‫ض َر ْ ٱ ْل َ تى و َٰ َ ََ َٰ َو َ َّم قى ٱ لس ْ َل ى‬ َ َٰ ‫ي ى ٱ ل‬
ْ ‫ف َتىل ْ ٱ خ َ ى و‬ َّ ‫اَََّ ٱ‬
َّ ْ ‫لن َ لى و‬
‫ف َّن‬
ِ ‫خ‬

‫ض َر ْ ٱ ْل َ تى و َٰ َََ َٰ َو َ َّم قى ٱ لس ْ َل‬ ْ ‫بىر‬ َ َ‫ ْل َٰت‬۹۱ َ ‫إ ە ﴿ بى َٰ َ َ ْب َل ْ ى ٱ ْل ِ۟ ِل ُو َِى‬


َ ‫َإي َء رى ل ىين َّ ٱ َّل ﴾ اَ َّن‬
﴿ ‫ع إ و ود ُعُقَ ا و َٰ َم َ قىي َََّ ٱ ل َّل َ ون ُ ُر ْكذَي إ َ َٰذَ َ ه َتْ َق َل ا خ َم‬َ َََ‫ب ُنُ ج َٰ َ ل‬
ِ ‫ف َ ون ُ َّر َك َفت ََي و ْ ىىم و‬ ِ ‫ىخ‬
‫ طىل َٰ َ َ ب‬۹۱۹﴾ ‫ارى َّ ٱ لن َ إب َذَ ا ع َقىنَ ف َ َك َٰنَ َحْ ب ُ س‬

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Karena itu, ada beberapa definisi al-‘ilmu yang disodorkan para ulama
sebagaimana dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, yaitu:
“keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan”, “sampainya gambaran sesuatu
terhadap akal”, “hilangnya keraguan setelah diketahui”, “hilangnya kebodohan”,
“merasa cukup setelah tahu”.

Dikatakan pula “sebagai sifat yang mendalam yang dapat mengetahui


perkara yang universal dan farsial” atau “sampainya jiwa kepada sesuatu makna
yang diketahui”. Adapula yang memberikan definisi dengan “ilmu adalah istilah
untuk menyebutkan terjadinya kesinambungan yang khusus antara subjek yang
berpikir dan objek yang dipikirkan”. Juga (pengertian yang lebih ringkas)
“mengetahui sifat persifat”. Disebut Ilmu al-Yaqin, adalah pengetahuan yang
berdasarkan dalil dengan gambaran berupa perkara yang meyakinkan. Karena itu
cara pandang seseorang terhadap ‘sesuatu’ itu, merupakan pandangan hidupnya.
Lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak
lepas dari kandungan al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi, jika kelahiran
ilmu dalam Islam dibagi secara periodik, menurut Hamid Fahmi Zarkasy
urutannya sebagai berikut: (1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup
Islam, (2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam alQur`an dan al-Hadits, (3)
Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin ilmu-ilmu

6
Islam12.Selain itu dalam al-Qur’an seperti dalam surat al Mujadalah ayat 11 telah
banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan
dalam Islam yang artinya:

‫ش َْ إن َ إ قىيل َذ َُْ كَ ل َ إ قىيل َذ‬ ُ ُ ُ ‫ي وإ‬ َ ‫إ َ ۖو َُْ كَ ل ََُّ حى إل َّل َس‬


َ َ ‫ْف وإ إ ُنَ ٱ م َ ىين َّ ا إ َّل َيُّهَ ٱ‬
ْ ََْ ‫سفَت َ ون ُلَ ْم َع ا ت َ بىم ََُّ إل َّل َ ۚو ات َ َج َر د‬
ُ ‫عىل ْ وإ إل ُوت‬ َ ‫ف ُ َّح‬
ِ ‫ْاف ى ف الىس َ َج ْم ى إل وإ‬ َ ‫وإ ي ُ َحس‬
‫ش ر ْانَف بىي َ خ‬ ْ ‫ٱ َ ىين َّ إ َّل َ و َُْ ْك وإ مىن ُنَ ٱ م َ ىين َّ إ َّل ََُّ عى إل َّل‬
ُ ُ ُ ‫َف َر وإ ي‬

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:


“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 13

Menurut al Maraghi ayat tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban


memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta
mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat
memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan mereka tidak
mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh
orang-orang yang beriman.

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Baratmodern


yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual
dan psikologi budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang
menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing
manusia, (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela
doktrin humanisme,(5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.

Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat,


Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya
harus ditetapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan

7
tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai, tetapi sarat nilai.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:

1) Al Qur’an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini


terlihat dari banyaknya ayat al Qur’an yang menyuruh manusia agar
menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk
memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.

2) Dorongan al Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat


pula dari banyaknya ayat al Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan,
pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala
bagi yang menuntut ilmu.

3) Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan


kebenaran ayat-ayat al Qur’an, namun al Qur’an bukanlah buku tentang ilmu
pengetahuan. Al Qur’an tidak mencakup cabang ilmu pengetahuan

4) Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun
tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan
kebenaran al Qur’an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya
benar, sedangkan al Qur’an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.

5) Al-Qur’an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam


pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan
untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia.

6) Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus
ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan
terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak
dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.

7) Sebagai kitab petunjuk al Qur’an tidak hanya mendorong manusia agar


mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang

8
dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya,
tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

8) Al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan


juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu
(aksiologi).

Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang
bersumber pada wahyu (al Qur’an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-
ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang
bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti
filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan
dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu
dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk
beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.

e. Teori Kebenaran

1. Teori korespondensi. Kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian


antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan/pendapat dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2. Teori koherensi. Kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara
pernyataan dengan pernyataan yang lain yang sudah lebih dulu diketahui, diterima
dan diakui sebagai hal yang benar dan berdasarkan pada penyaksian/justifikasi
tentang kebenaran, karena putusan dianggap benar apabila mendapatkan
persaksian oleh putusan yang lainnya yang sudah di ketahui/tahan uji;

3. Teori pragmatism. Menurut teori ini kebenaran atau keadaan benar semata mata
tergantung dari kemanfaatannya.

f. Sumber-Sumber Pengetahuan.

Pada dasarnya manusia menggunakan dua cara dalam memperoleh


pengetahuan yang benar, pertama melalui rasio dan kedua melalui pengalaman.

9
Paham yang pertama disebut sebagai rasionalisme sedangkan paham yang kedua
disebut dengan empirisme.

Rasionalisme adalah sebuah paham yang menekankan pikiran sebagai


sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentu
kebenaran.

Adapun cara kerja rasio adalah melalui berfikir deduktif, menurutnya


bahwa manusia awalnya mengetahui segala sesatu itu bersifat apriori,yang
prinsip-prinsipnya sudah ada sebelum manusia berusaha memikirkannya,
karenanya bukanlah ciptaan pikiran manusia.22 Sedangkan indrawi selalu
dicurigai karena selalu berubah-ubah tidak dapat menjadi landasan yang kokoh
bagi ilmu pengetahuan, sebenarnya sama yang dihadapi oleh rasio, di mana bebas
dari pengalaman dan tidak dapat dievaluasi menjadikan rasionalisme dapat
menyimpulkan bermacam-macam pengetahuan dari satu objek dan sulit untuk
mendapat konsensus kebenaran dari semua pihak, dalam hal ini Jujun S
Suriasumantri menyebut bahwa rasionalisme cenderung bersifat solipsistikdan
subyektif.

Sedangkan empirisme adalah paham yang mengatakan bahwa


pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian
kebenaran.Adapun metode yang digunakan adalah pengamatan induktif. Seperti
besi jika dipanaskan akan memuai, demikian seterusnya dimana pengamatan kita
akan membuahkan pengetahuan. Namun empirisme hanya akan memunculkan
fakta-fakta tanpa sebenarnya dipikirkan bahwa gejalagejala itu tidak bersifat
konsisten atau belum tentu berlaku umum karena mungkin saja terdapat hal-hal
lain yang bersifat kontradiktif. Selain dua hal di atas ada sumber pengetahuan lain
yaitu Intuisi dan wahyu.

Intuisi adalah kekuatan yang menurut Bargson dalam buku Amsal


Bakhtiar intuisi merupakan evolusi pengalaman tertinggi manusia di mana
menitik beratkan pada pengetahuan yang langsung yang mutlak dan bukan
pengetahuan yang nisbi. Sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang diterima

10
para utusan Tuhan tanpa upaya dan usaha yang payah.Pengetahuan mereka atas
kehendak Tuhan, Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran.

g. Batas Pengetahuan

Persoalan pengetahuan tidak sebatas yang dikaji oleh epistimologi dan


ilmu pengetahuan.Ada dua cabang filsafat lainnya yang masih berada di wilayah
pengetahuan dalam sistematika filsafat, yakni logika dan metodologi.

Logika merupakan cabang filsafat yang memusatkan kajiannya pada


problema formal spesifik keteraturan penalaran.Logika hanya berurusan pada
pengetahuan formal apriori yaitu hal yang tidak perlu penalaran
panjang.Hubungan logika dengan filsafat pengetahuan terletak pada konteks
penemuan ilmu pengetahuan dan konteks pembuktian kebenaran ilmu
pengetahuan.Keduanya memerlukan ketertiban penalaran untuk mendapatkan
kebenaran ilmiah, dan logika yang digunkan adalah logika induksi dan deduksi.

Sedangkan metodologi mempunyai kajian berupa langkah-langkah untuk


memperoleh pengetahuan ilmiah.Cabang ini muncul karena kompleksitas
problematika seputar metode memerlukan penelaahan filosofis,

kritis dan mendalam.Logika mengatur tertib nalar dalam mendapatkan


pengetahuan yang ilmiah sedangkan metodologi berurusan dengan
langkahlangkah untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Ilmu membatasi penjelajahannya pada pengalaman manusia, karenanya


ilmu memulai pada penjelajahan pada pengalaman manusia itu sendiri dan
berhenti pada pengalaman dalam artian kemampuan berfikir manusiatersebut, dan
itu lah batas ilmu. Diluar itu maka bukan dari batasan ilmu.Juga ilmu hanya
berwenang dalam menetukan benar dan salahnya sesuatu, tentang baik dan buruk,
indah dan jelek semua kembali pada sumber moral dan estetika.

11
h. Struktur Pengetahuan

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan


pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat pengetahuan yang kemudian disebut
pengetahuan atau ilmu.Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan
yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia
melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan
penjelasan yang ada.

Penjelasan kemudian membedakan antara ilmu-ilmu fisik atau alam


dengan ilmu-ilmu selainya seperti ilmu sosial dan seni.Penerapan sebagai sebuah
ilmu yang dapat dijelaskan melalui misalnya teori dan serangkainya pengujian
ilmiah.Oleh karenanya struktur pengetahuan hanya membatasi dalam ranah
pengetahuan yang bisa mampu diterapkan dalam sebuah teori yang utuh dan
umum.

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan


pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk
manusia, dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis, rasional, empiris,
umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang
lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu
sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.

Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan


agama yaitu:

pertama, Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu
akal, budi, rasio manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.

Kedua, ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari


kebenarannya dengan jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai
batu ujian. Sedangkan agama mencari kebenarannya dengan jalan
mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada Kitab Suci,
kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.

12
Ketiga, ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif
dan bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak
(absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha
Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT.

Keempat, ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana
keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan
agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.

Kelima, Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak
diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-
Qur`an dan hadits Nabi saw. Yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di
dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian
terbesar.

Keenam, etika penggunaan ilmu pengetahuan, dimana pengetahuan merupakan


kebenaran ilmiah, sehingga dalam penerapan dibidang teknologi ilmu tersebut
harus dapat berfungsi sebagai kelangsuangan hidup manusia. Selain itu, manusia
sebagai subyek ilmu pengetahuan harus bersikap adil baik adil terhadap makhluk
lain, adil terhadap manusia maupun adil terhadap diri sendiri.

JURNAL 2

PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI ILMU


(Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi)

Rahmat
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora

13
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Alamat: BTN Pao-pao Permai Blok E2 No 15 Gowa

Abstrak
Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memenuhi
persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek, metode maupun
tujuan.Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut ontologi,
epistimologi dan aksiologi. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada
yang lahiriah dalam bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib.
Realitas yang lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan.
Dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu
tidak hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan. Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusiadalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi,kosmologi dan
antropologi. Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercermin
pada pandangan bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan
dari ayat-ayat Allah yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat
Allahyang tersurat dalam Al-Qur’an. Ilmu dibangun atas dasar kemampuan
membaca dan mengenal ayat-ayat, baik ayat kauniyah (alam dan manusia)
maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat
ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat qauliyah maka
lahirlah ilmu-ilmu agama.Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam
pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan
mendidik bisa menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat atau salah
langkah. Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan
menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak
mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat serta harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai
khalifah, dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.

14
Keywords
Pendidikan Islam, Ilmu, Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

I. Pendahuluan
Kemajuan suatu umat dan bangsa sangat tergantung pada jenis ilmu yang
dikembangkannya. Dalam kenyataan sejarah, abad ke-8 sampai abad ke-13 umat
Islam mengalami kemajuan. Salah satu penyebab sehingga umat Islam mengalami
kemajuan pada masa itu karena umat Islam mengembangkan ilmu integralistitik.
Setelah abad ke-13 peradaban Islam mengalami kemunduran, disebabkan umat
Islam tidak lagi mengembangkan ilmu seperti di era kejayaannya. Bahkan di era
kini umat Islam mengalami problema pengembangan ilmu, disebabkan
munculnya jenis ilmu baru di dunia Islam.
Dunia Islam mulai terputus hubungannya dalam aliran utama dalam ilmu
menjelang akhir abad ke-16. Akibatnya, bangsa Eropa Barat dan Amerika secara
dinamis mengayungkan langkah ke depan seiring dengan kemajuan ipteknya,
sementara umat Islam menutup diri dan berpuas hati dengan hidup keterpencilan
intelektualnya. Ketika dunia Barat mulai mengusik mereka secara tiba-tiba, umat
Islam mulai terbangun dan mendapati dirinya dalam ketidakberdayaan.
Kemerdekaan politik, ekonomi dan intelektual terganggu oleh idiologi sekuler.
Masa ini dikenal sebagai masa penjajahan.1
Dalam menyikapi masa penjajahan ini, para intelektual muslim juga
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan, bahwa
sekalipun penjajah, mereka dinilai membawa kemajuan bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, mengikuti pola pikir barat dapat dijadikan jalan alternatif, yaitu
untuk membangun wacana pendidikannya. Kelompok kedua lebih bersifat curiga
terhadap segala yang berasal dari Barat. Mereka akhirnya berusaha menjauhkan
diri dari apa yang ingin diajarkan para penjajah itu. Sikap ini didorong oleh
anggapan bahwa pendidikan baru oleh bangsa Barat dimaksudkan untuk
menghancurkan warisan budaya tradisional. 2Kedua respon inilah yang menjadi
embrio problem pendidikan Islam, khususnya problem dikotomi.
Menurut Mastuhu, untuk merebut dan meraih kejayaan, umat Islam harus
terus menerus mencari paradigma pendidikan dengan berusaha menggali kembali

15
ajaran Islam, baik Al-Qur’an, al-sunnah, sejarah Islam maupun tulisan para ulama
dan sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu. 3Pencarian paradigma pendidikan
Islam dimaksudkan agar ditemukan konsep dan sistem pendidikan Islam secara
utuh. Yang terpenting adalah agar tidak sulit mengembangkan teori ilmu yang
tidak bebas nilai dari ajaran Islam, kemudian mengoperasionalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan al-sunnah
sebenarnya kaya akan fundamental doctrines dan fundamental values dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, yang dapat digali dan ditangkap sesuai
disiplin keilmuan atau bidang keahlian seseorang. Para pemerhati dan
pengembang pendidikan Islam akan berusaha mengungkap dan menggalinya dari
aspek kependidikan. Salah satu upaya penggalian dan pengkajian fundamental
doctrines dan fundamentalis values dari Al-Qur’an dan al-sunnah yang dilakukan
oleh para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam, yakni upaya memahami
ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-
sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual
muslim klasik di bidang pendidikan.
Salah satu kelemahan pendidikan Islam yang dirasakan adalah kaya
konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin demensi operasional atau
praktisnya, atau sebaliknya kaya operasional tetapi lepas dari konsep
fundasionalnya. Untuk mencegah timbulnya kesenjangan antara teori dan praktek,
maka salah satu cara yang ditempuh adalah mencari konsep-konsep filosofis
pendidikan Islam.
Berbicara konsep-konsep filosofis setiap bidang ilmu, termasuk
pendidikan Islam tertuju pada ontologi, epistimologi dan aksiologi ilmu.
Penguatan pada setiap disiplin ilmu sangat ditentukan ketiga hal tersebut. Artinya
syarat keilmiahan sebuah ilmu sangat ditentukan ketiga sasaran kajian filsafat
tersebut. Dalam rangka mengembankan ilmu pendidikan Islam diperlukan
kejelasan kerangka ontologis, epistimologis dan aksiologisnya terlebih dahulu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah pokok yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah: ”Mengapa pendidikan Islam dianggap sebagai

16
ilmu pengetahuan?” Dari pokok permasalahan ini, dapat dikemukakan sub
masalah, yaitu:
Bagaimana konsep ontologi, epistimologi, dan aksiologi pendidikan Islam?
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka tulisan ini bertujuan
mengelaborasi konsep-konsep pendidikan Islam sebagai ilmu dalam kajian filsafat
dengan fokus utama ontologi, epistimologi dan aksiologi pendidikan. Disamping
itu tulisan ini diharapkan berguna untuk memahami lebih lanjut kajian-kajian
filsafat pendidikan Islam.

II. Pembahasan.
A. Konsep Ontologi Pendidikan Islam
Persoalan tentang obyek ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat disebut
ontologi.4 Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang
mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan
adalah akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu. 5 Ilmu menyadari bahwa
masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat kongkret yang terdapat
dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. 6
Hal ini harus disadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu dengan agama.
Agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman
manusia. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga
menyebabkan perbedaan metode. Hal ini harus diketahui dengan benar untuk
dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa
mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal
dengan menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan
pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justeru
saling melengkapi. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi
aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam keyakinan
beragama.
Dalam kajian beberapa pendapat, ontologi dapat dikatakan sebagai
metafisika. Pengertian sederhana dari metafisika yaitu kajian tentang sifat paling

17
dalam dan radikal dari kenyataan. Metafisika dan ilmu pengetahuan merupakan
dua hal yang berbeda. Keduany berusaha menyusun pertanyaan-pertanyaan
umum. Tetapi, metafisika berkaitan dengan konsep-konsep yang kejadiannya
tidak dapat diukur secara empiris. Dalam hal ini tidak berarti bahwa metafisika
menolak ilmu pengetahuan. Sebaliknya ilmu pengetahuan sendiri menimbulkan
masalah tentang hakekat realitas. Metafisika berusaha untuk memecahkan
masalah hakekat yang tidak mampu ilmu pengetahuan memecahkannya.
Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan.
Karena peserta didik bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan
yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Peserta didik, baik di
sekolah maupun di masyarakat, selalu menghadapi realitas, mengalami segala
macam kejadian dalam kehidupannya. Di sini terlihat tujuan mempelajari
metafisika bagi filsafat pendidikan untuk mengontrol secara implisit tujuan
pendidikan, untuk mengetahui dunia pesrta didik. Seorang pendidik, terutama
filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang hakekat dunia di mana ia tinggal,
melainkan juga ia harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat peserta didik.
Oleh karena itu metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan
karena kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai
realitas. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada yang lahiriah dalam
bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib. Realitas yang
lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan. Dalam
pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan. Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan
antropologi.
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan hal yang mendasar dalam
pendidikan Islam, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Oleh karena itu sebelum
manusia melaksanakan pendidikan perlu memahami terlebih dahulu bagaimana
konsep tentang Tuhan dan hubungannya dengan realitas yang menjadi ciptaan-
Nya.

18
Pemahaman penghubungan persoalan transenden dengan dunia empirik
akan melahirkan ilmu pendidikan Islam yang memiliki karakteristik tersendiri,
yang berasumsi bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah Allah, yang disampaikan
melalui pengalaman batin Nabi Muhammad Saw., yang mewujud dalam bentuk
fenomenaqauliyah, serta disampaikan melalui penciptaan yang mewujud dalam
bentuk fenomena kauniyah. Dari kedua fenomena tersebut dapat digali dan dikaji
konsepkonsep pendidikan yang bersifat universal, sehingga melahirkan
pemikiran-pemikiran filosofis dan asas-asas pendidikan Islam, yang kemudian di-
break down ke dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, yang pada gilirannya melahirkan
teori-teori atau ilmu pendidikan Islam. Konsep dasar pendidikan Islam bertumpu
pada unsur-unsur utama yang disebut tauhid. Semua harus merujuk pada tauhid.
Tauhid dalam pandangan Islam, merupakan landasan seluruh konsep dan aturan
hidup ini dibangun. Adapun sumber pokok pembangunan tauhid adalah wahyu
yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan alsunnah.
Pada tataran awal, tauhid bersinggungan dengan kosmologi.12 Kosmologi
pendidikan Islam yang berkembang selama ini, pada umumnya diposisikan pada
dikotomi dunia akhirat. Ruang dunia adalah ruang pendidikan umum dan ruang
akhirat adalah ruang pendidikan agama. Ruang dunia adalah ruang empirik dalam
waktu kini, sedang ruang akhirat adalah ruang spiritual yang ada di balik
kehidupan dunia ini, dalam waktu esok yang sangat jauh, yaitu kehidupan setelah
kematian.
Pendidikan Islam yang bercorak dikotomik, pada hakekatnya bertentangan
dengan Islam itu sendiri yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak
mengenal adanya pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
keduanya merupakan kesatuan pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia
untuk tujuan akhirat. Oleh karena itu, visi tauhid dalam pendidikan Islam perlu
diaktualisasikan lebih kongkret dalam keterlibatanya yang intensif dengan
dinamika perubahan dan pluralitas, karena pendidikan pada dasarnya adalah
bagian dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, visi
tauhid sesungguhnya diperlukan untuk menemukan kesatuan akar dari pluralitas
yang harus dijaga, dikembangkan dan ditransendensikan sehingga pluralitas
menjadi bagian dari proses pengayaan kehidupan spiritual.

19
Pada tataran kedua, tauhid bersinggungan dengan manusia. Dalam filsafat
pendidikan, antropologi merupakan ilmu yang memberlakukan manusia sebagai
satu keseluruhan. Manusia tidak hanya objek, tetapi juga subyek ilmu. Manusia
dipelajari dalam ilmu ini dari fisik dan metafisika, pikiran dan perasaan. Ilmu ada
sebagaimana manusia menciptakannya. Yang ontologi – tanpa keberadaan
manusia, tidak ada ilmu, karena ilmu adalah bentukan manusia. Ilmu pengetahuan
tentang manusia lebih rumit dan kompleks karena mempelajari obyek yang
dirinya adalah bagian dari obyek itu sendiri.

Proses pendidikan merupakan interaksi pluralitas antara manusia dengan


manusia, dengan lingkungan alamiah, sosial dan kultural akan sangat ditentukan
oleh aspek manusianya. Kedudukan manusia sebagai subyek di dalam masyarakat
dan di alam semesta ini, memiliki tanggung jawab yang besar dalam
mengembangkan amanat untuk manusia dan mengembangkan manusia
sesamanya, memelihara alam lingkungan hidup bersama. Lebih jauh manusia
bertanggung jawab atas martabatnya.
Manusia sebagai objek pendidikan Islam adalah manusia yang telah
tergambar dan terangkum dalam Al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam kedua sumber
itu, manusia dianggap manusia yang paling lengkap, terdiri dari unsur jasmani dan
ruhani, unsur jiwa dan akal, unsur nafs dan qalb. Pendidikan Islam tidak bersifat
dikotomis dalam menangani unsur-unsur tersebut. Melainkan dengan menganggap
semuanya merupakan kesatuan.
Unsur-unsur potensi yang dimiliki manusia tidak akan berlangsung secara
alamiah dengan sendirinya, tetapi ia membutuhkan bimbingan dan bantuan
manusia lain. Sejak lahir manusia akan berinteraksi dengan manusia lain. Manusia
akan menjadi manusia kalau hidup bersama-sama dengan manusia lain di luar
dirinya.
Semua ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Di
samping mnyadari posisi manusia sebagai makhluk individual dan sosial, manusia
juga memiliki kesadaran adanya suatu kekuatan yang berada di luar dirinya.
Kesadaran ini akan melahirkan prinsip ketauhidan dalam pendidikan Islam.

20
Prinsip ketauhidan dalam pendidikan Islam menjadi dasar bagi penyusunan
bahan-bahan, kurikulum, metode dan tujuan pendidikan.

B. Konsep Epistimologi Pendidikan Islam


Persoalan tentang pengetahuan (asal mula struktur, metode dan validitas)
dalam kajian filsafat disebut epistimologi.17 Dalam espistimologi, yang paling
pokok didiskusikan adalah apa yang menjadi sumber pengetahuan, bagaimana
struktur pengetahuan. Hal ini akan berkaitan dengan macam atau jenis
pengetahuan, dan bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan.
Konsep epistimologi dalam Islam pada hakekatnya tidak terlepas dari
demensi teologisnya yang bercorak tauhid. Dalam al-Qur’an digambarkan bahwa
Allah adalah pencipta dan pemelihara alam semesta. Kekuasaan Allah sebagai
pencipta, kelihatan menempu proses yang memperlihatkan konsistensi dan
keteraturan. Dalam proses pemeliharaan, Allah mengurus, memelihara dan
menumbuhkembangkan alam secara bertahap dan berangsur-angsur. Dalam
konteks yang terakhir ini Allah tidak lain adalah pendidik yang sebenarnya.
Jika dalam uraian ontologi pendidikan Islam menolak adanya dikotomi
pendidikan Islam, maka persoalan selanjutnya adalah implementasinya dalam
konsep ilmu-ilmu yang akan dikembangkan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tanpa adanya penegasan konsep ilmu-ilmu, maka lembaga pendidikan Islam
sebagai pusat pengembangan dan kajian ilmu akan makin sulit berhadapan dengan
tantangan dan tuntutan adanya kecenderungan spealisasi ilmu-ilmu yang makin
menyempit dan parsial.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercrmin pada
pandangan bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari
ayatayat Allah yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah
yang tersurat dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Allah dalam alam besar, termasuk
manusia dalam dimensi fisiknya dikembangkan menjadi prinsp-prinsip kebenaran
dalam kajian ilmu alam, ilmu pasti termasuk teknologi. Ayat-ayat Allah dalam
diri manusia dan sejarah dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Sedangkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an dikembangkan dalam ilmu agama.19

21
Ilmu dibangun atas dasar kemampuan membaca dan mengenal ayat-ayat,
baik ayat kauniyah (alam dan manusia) maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang
ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai
disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia
Tuhan lewat ayat-ayat qauliyah maka lahirlah ilmu-ilmu agama.
Dalam Kaitan itu, sehingga konsep ilmu-ilmu dalam Islam pada
hakekatnya bercorak integratif, yaitu pada pandangan filosofiknya yang melihat
kajian ilmu-ilmu itu pada dasarnya bermuara dari prinsip kebenaran Allah yang
ditetapkan dalam setiap ciptaan-Nya. Dalam dimensi ini prinsip kebenaran itu
pada hakekatnya bersifat tunggal, dan menjadi landasan untuk menyatukan kajian-
kajian ilmu yang berkembang ke arah lebih spesialis dan parsial, karena tanpa
landasan integratif, spesialisasi ilmu akan mengakibatkan hilangnya dimensi
transenden. Oleh karena itu, dalam visi tauhid, ilmu, filsafat dan agama pada
hakekatnya merupakan kesatuan yang saling melengkapi, kesemuanya
berhubungan dengan kebenaran-kebenaran yang menjadi penjelmaan dari tanda-
tanda kebesaran-Nya.
Persoalan selanjutnya dalam kajian epistimologi pendidikan Islam adalah
pengembangan teori. Berbicara mengenai epistimologi ilmu pendidikan Islam
akan timbul pertanyaan, bagaimana cara mengembangkan ilmu pendidikan?
Dalam mengembangkan sebuah disiplin ilmu dapat dilakukan dengan cara
mengembangkan teori-teori ilmu tersebut, begitu pula dalam mengembangkan
ilmu pendidikan Islam. Mengembangkan teori berarti merivisi teori yang ada,
memahami teori yang lama atau membuat teori baru. Merevisi teori yang ada
dalam pendidikan Islam berarti menyempurnakan teori yang telah ada agar sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan membuat teori berarti merncang teori yang sama
sekali baru.
Cara mengembangkan teori dalam pendidikan Islam sangat tergantung
pada karakteristik materinya, apakah materi itu berada dalam pengalaman yang
empiris, rasional, hermeneutis. Jika karakteristik adalah empiris maka metode
yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika
karakteristik materinya adalah rasional maka metode analisis yang digunakan
adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya hermeneutis, maka metode

22
yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk menangkap makna lebih dalam,
sehinga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode yang reflektif, yakni metode
analisis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak.
Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode
penelitian ilmiah, metode penelitian filosofis, dan menggunakan metode
penelitian sufistik. Hal ini tergantung pada apa yang diteliti. Agaknya ilmu
pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu pendidikan Islam. Pada bagian-
bagian tertentu memerlukan teori-teori filosofis, sehingga pengembangannya
menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga memerlukan teori-
teori yang non-empirik atau tidak terjangkau oleh logika, sehingga perlu
menggunakan metode penelitian mistik atau sufitistik.
Sendangkan cara membangun ilmu pendidikan Islam bisa dilakukan
dengan cara: Pertama, cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda
Rasul, kemudian ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat
filsafat, teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada
tingkat ilmu.Selanjutnya diuraikan secara operasional, sehingga langsung dapat
dijadikan petunjuk teknis. Kedua, cara induksi, dengan cara seseorang mengambil
teori yang sudah ada, kemudian dikonsultasikan ke Al-Qur’an dan hadis, jika
tidak berlawanan, maka teori itu didaftarkan ke dalam khazanah ilmu pendidikan
Islam.
Dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam diperlukan beberapa hal,
antara lain: Pertama, landasan atau basis filsafat yang akan dijadikan dasar
pengembangan ilmu pendidikan Islam. Kedua, paradigma bagi penyusunan
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Paradigma yang dimaksud di
sini ialah kerangka logika pengembangan ilmu pendidikan Islam. Ketiga,
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Metodologi tersebut
merupakan cara membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Empat,
model-model penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan Islam.
Teori-teori ilmu pendidikan Islam secara berangsur-angsur dapat diperoleh
melalui penelitianpenelitian.

C. Konsep Aksiologi Pendidikan Islam

23
Persoalan tentang tujuan ilmu dalam kajian filosofis merupakan lahan
aksiologi. Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai
buruk, indah dan tidak indah. Hal ini erat kaitannya dengan pendidikan, karena
dunia nilai akan selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan tujuan pendidikan.
Upaya pendidikan dalam konsep ajaran Islam pada hakekatnya merupakan
suatu amanah dari Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus
mempertanggungjawabkan semua upaya pendidikan kepada-Nya. Oleh karena itu,
setiap upaya pendidikan tidak hanya dilandasi oleh nilai-nilai yang dihasilkan
manusia sebagai hasil renungan dari pengalamannya, lebih jauh nilai-nilai
ketuhidan dan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan harus dijadikan landasan
untuk menilai pendidikan, dan untuk menentukan nilai mana yang baik dan tidak
baik dalam pendidikan.
Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam diperlukan
etika profetik, yakni etika yang dikembangkan atas dasar nilai-nilai Ilahiyah. Ada
beberapa butir nilai, hasil deduksi dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk
etika profetik pengembangan dan penerapan ilmu. Pertama, nilai ibadah, yakni
bagi pemangku ilmu pendidikan Islam. Pengembangan dan penerapannya
merupakan ibadah (QS. al-Dzariyat/51: 56, Ali Imran/3: 190-191). Kedua, nilai
ihsan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik
kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karena Allah telah berbuat
baik kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan
dalam bentuk apapun. (QS. al-Qashash/28: 77). Ketiga, nilai masa depan, yakni
ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan
yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang akan hidup
dan akan menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang jauh berbeda dengan
periode sebelumnya (QS.al-Hasyr/59: 18). Keempat, nilai kerahmatan, yakni ilmu
pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan
seluruh umat manusia dan alam semesta (QS. al-Anbiya’/21: 107). Kelima, nilai
amanah, yakni ilmu pendidikan Islam itu adalah amanah Allah bagi
pemangkunya, sehingga pengembangan penerapannya dilakukan dengan niat, cara
dan tujuan sebagaimana dikehendaki-Nya (QS. al- Ahzab/33: 72). Keenam, nilai

24
dakwah, yakni pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam merupakan
wujud dialog dakwah menyampaikan kebenaran Islam (QS. Fushshilat/41: 33).
Ketujuh, Nilai tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan Islam senantiasa
memberikan harapan baik kepada umat manusia tentang masa depan mereka,
termasuk menjaga kseimbanagan atau kelestarian alam (QS. al-Baqarah/2:119).
Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan
kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam perkembangan
kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang cukup penting dan mendasar
adalah mengenai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral
dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka
perbuatan mendidik bisa menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat
atau salah langkah.28 Oleh karena itu, tujuan pendidikan merupakan problem inti
dalam aktivitas pendidikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan
faktor yang sangat penting dan menentukan jalannya aktivitas pendidikan.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah tujuan tertinggi atau terakhir
yaitu tujuan yang tidak ada lagi tujuan di atasnya. Omar Mohammad al-Toumy al-
Syaibani menjelaskan, kalau kita pandang tentang bentuk yang digambarkan oleh
ungkapan tentang tujuan terakhir pendidikan dengan pandangan Islam, maka kita
dapatkan tidak ada pertentangan dalam makna dan tidak didapati di dalamnya apa
yang bertentangan dengan jiwa Islam. Pandangan ini akan mengajak kita
mengembalikan semua kepada tujuan terakhir, yaitu persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat. Tujuan terakhir dengan pengertian ini tidak terbatas
pelaksanaannya pada institusiinstitusi pendidikan, tetapi wajib dilaksanakan oleh
semua institusi yang ada di masyarakat.
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Omar Mohammad al-
Toumy al- Syaibani, telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum ke
dalam lima tujuan, yaitu : (1) Untuk membentuk akhlak mulia. Kaum muslimin
dari dulu sepakat bahwa pendidikan akhlak yang sempurna adalah tujuan
pendidikan yang sebenarnya; (2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan atau keduniaan
saja, melainkan pada keduanya dan memandang kesiapan keduanya sebagai
tujuan yang asasi; (3) persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi

25
kemanfaatan. Pendidikan Islam tidak saja segi agama, akhlak dan spiritual semata,
tetapi juga menyeluruh bagi kesempurnaan kehidupan atau yang lebih dikenal
sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional; (4)
menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada para pelajar, dan
memuaskan rasa ingin tahu (curiosity), serta memungkinkan mereka mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri; dan (5) menyiapkan pelajar dari segi profesi, tehnik
dan perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan
pekerjaan tertentu, agar dapat mencari rezeki dalam hidup, di samping
memelihara dari segi kerohanian atau keagamaan.30
Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan usaha
dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian
moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionalisasi
sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan dan kehidupan.
Menurut Muhaimin dan Abdullah Mujib bahwa perumusan tujuan
pendidikan Islam itu harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang meliputi
beberapa aspek seperti : (1) Tujuan dan tugas hidup manusia, yakni manusia tidak
diciptakan secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan dan tugas hidup
tertentu; (2) memperhatikan sifat dasar (nature) manusia yaitu konsep penciptaan
manusia dengan bermacam fitrah, mempunyai kemampuan untuk beribadah dan
mentaati khalifah di bumi; (3) tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai
budaya, pemenuhan kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan dan
tuntutan modern; (4) dimensi-deminsi kehidupan ideal Islam. Dalam hal ini
terkandung nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan di dunia dan
akhirat, keseimbangan dan keserasian keduanya.
Dengan demikian, jelas sekali perumusan tujuan pendidikan Islam harus
sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan tugas-tugas kehidupan, sesuai dengan
sifatsifat dasar manusia yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan dan
sesuai pula dengan tuntutan masyarakat yang harus mengalami kemajuan serta
sesuai dengan nilai-nilai ideal ajaran Islam bagi kehidupan manusia.
Menurut Abuddin Nata, tujuan pendidikan Islam itu memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka

26
bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan
mengolah bumi sesuai kehendak Tuhan; (2) mengarahkan manusia agar seluruh
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah
kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan; (3)
mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalah gunakan
fungsi kekhalifahnya; (4) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan. Semua ini dapat
digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, dan (5)
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Ciri-ciri tujuan pendidikan yang dikemukakan Abuddin Nata, telah
memberikan gambaran bahwa arah pendidikan Islam dalam rangka menjadikan
manusia sebagai khalifah yang mampu menjalankan tugas kehidupan di
permukaan bumi, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak
mulia, dan mampu mengembangkan segenap potensinya serta mampu mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian, telah jelas tujuan pendidikan
pada dasarnya menjadikan manusia muslim mampu menjalankan tugas dengan
baik di permukaan dunia ini, baik dalam kerangka kehidupan individu maupun
masyarakat.
Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan
menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak
mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat dan harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutamadalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai khalifah
dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.
Karena tujuan yang telah dikemukakan itu, dapat dikatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam mengarah kepada tujuan hidup manusia ialah beribadah kepada
Allah. Abdul Fatah Jalal menjelaskan, ibadah itu mencakup segala amal, pikiran
atau perasaan manusia, selama semua itu dihadapkan kepada Allah Swt. Dia
menambahkan, bahwa ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek
kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan,

27
perasaan bahkan seluruh perilaku yang dikaitkan dengan Allah Swt.33
Ibadah kepada Allah dalam arti luas mempunyai dampak edukatif yang
sangat signifikansi dalam membetuk insan yang bertaqwa (muttaqin). Dampak
edukatif dari ibadah diantaranya: (1) Ibadah mendidik diri untuk selalu
berkesadaran berpikir; (2) ibadah menanamkan hubungan jamaah muslim; (3)
menanamkan kemulian diri; (4) mendidik keutuhan selaku umat Islam yang
berserah diri kepada Allah; (5) keutamaan mendidik; (6) membekali manusia
dengan kekuatan rohaniah; dan (7) memperbaharui dengan taubat.34
Sampai di sini dapat dilihat bahwa para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa
tujuan umum (sebagian menyebutkan tujuan akhir) pendidikan Islam ialah
manusia yang baik itu adalah manusia yang beribadah kepada Allah.

28
HASIL ANALISIS JURNAL

1. Analisis Kajian Teori

Ilmu adalah dari bahasa Arab, ‘alima. Arti dari kata ini adalah
pengetahuan.dan ilmu pengetahuan secara terminologi adalah seluruh usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang


bersifat kongkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu
membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang
jangkauan pengalaman manusia. Hal ini harus disadari karena inilah yang
memisahkan daerah ilmu dengan agama (Suriasumantri, 2007:123) , dan menurut
Hatta, Mohammad, menyatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hokum sebab- akibat dalam suatu golongan masalah yang sama
sifatnya, baik menurut kedudukannya (jika dilihat dari luar) maupun menurut
hubungannya (jika dilihat dari dalam).

29
Letak perbedaannya yaitu ilmu merupakan rangkuman dari sekumpulan
pengetahuan atau hasil pengetahuan dan fakta berdasarkan teori-teori yang
disepakati / berlaku umum, diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik,
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu,
Sedangkan agama yaitu suatu tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya
sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan.

Ciri pokok ilmu pengetahuan dalam islam bahwa ilmu itu membutuhkan
pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan
alQur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah
sebagi berikut: 1) Sistematis, 2) Keumuman, 3) Rasionalitas, 4) Objektivitas, 5)
Verifiabilitas, dan 6) Komunalitas.

Teori dalam sebuah teori kebenaran ada 3 yaitu: Teori korespondensi


adalah kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan/pendapat dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Teori koherensi adalah kebenaran atau
keadaan benar apabila ada persesuaian antara pernyataan dengan pernyataan yang
lain yang sudah lebih dulu diketahui. Teori pragmatisme adalah kebenaran atau
keadaan benar semata mata tergantung dari kemanfaatannya.

Sumber ilmu pengetahuan manusia menggunakan dua cara dalam


memperoleh pengetahuan yang benar, pertama melalui rasio dan kedua melalui
pengalaman. Paham yang pertama disebut sebagai rasionalisme sedangkan paham
yang kedua disebut dengan empirisme.

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang ilmu pengetahuan.


yaitu ilmu bukan sekedar pengetahuan, tetapi merupakan rangkuman dari
sekumpulan pengetahuan atau hasil pengetahuan dan fakta berdasarkan teori-teori
yang disepakati / berlaku umum, diperoleh melalui serangkaian prosedur
sistematik, diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu. Sedangkan agama adalah suatu tata keimanan atau tata keyakinan atas

30
adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan.

Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memenuhi


persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek, metode maupun
tujuan. Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut ontologi,
efistimologi dan aksiologi. Dalam buku Drs.H. Moh. Ihcsan Hafi,S.Pd., MA ada 2
makna pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Dalam buku Drs.H. Moh. Ihcsan Hafi,S.Pd., MA menyampaikan berdasarkan 3
definisi ilmu pengetahuan diatas, maka syarat – syarat mencari ilmu sebagai
berikut :

1. Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu khususnya


obyek formal.
2. Suatu pengetahuan itu harus menggunakan metode – metode tertentu yang
sesuai dan
3. Ilmu pengetahuan itu harus menggunakan sistematika tertentu

Disamping ketiga syarat tersebut diatas maka dapat ditambahkan syarat – syarat
yang lain, yaitu :

1. Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika. Maksudnya ilmu itu


harus senantiasa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan
diri.
2. Suatu ilmu pengetahuan harus praktis maksudnya. Ilmu pengetahuan itu
harus bermanfaat atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari – hari.
3. Suatu ilmu pengetahuan itu harus diabadikan untuk kesejahteraan umat
manusia oleh karena itu, penyelidikan – penyelidikan suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai akibat kehancuran bagi manusia selalu
mendapat tantangan – tantangan dan kutukan – kutukan. Misalnya adanya
percobaan – percobaan bom hydrogen, bom nunclear dan sebagainya.

31
Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada yang lahiriah dalam
bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib. Realitas yang
lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan. Dalam
pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan.
Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan
antropologi.
Agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar
pengalaman manusia. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga
menyebabkan perbedaan metode. Hal ini harus diketahui dengan benar untuk
dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa
mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal
dengan menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan
pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justeru
saling melengkapi. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi
aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam keyakinan
beragama.

Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang
bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-
ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang
bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti
filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu Jika dalam uraian
ontologi pendidikan Islam menolak adanya dikotomi pendidikan Islam, maka
persoalan selanjutnya adalah implementasinya dalam konsep ilmu-ilmu yang akan
dikembangkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Tanpa adanya penegasan
konsep ilmu-ilmu, maka lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan
dan kajian ilmu akan makin sulit berhadapan dengan tantangan dan tuntutan
adanya kecenderungan spealisasi ilmu-ilmu yang makin menyempit dan parsial.

32
Naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad)
dengan metode tertentu dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan
melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus
diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.

Ilmu dibangun atas dasar kemampuan membaca dan mengenal ayat-ayat,


baik ayat kauniyah (alam dan manusia) maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang
ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai
disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia
Tuhan lewat ayat-ayat qauliyah maka lahirlah ilmu-ilmu agama.

Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu


sehingga dapat dibedakan dengan pengetahuan -pengetahuan yang lain. Adapun
ciri-ciri pokok ilmu adalah sebagai berikut :

1) Sistematis. Sistematis memiliki arti bahwa pengetahuan ilmiah tersusun


sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara fungsional.

2) Keumuman. Ciri keumuman menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk


merangkum berbagai fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan
konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasannya.

3) Rasionalitas. Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah


yang bersumber pada pemikiran rasio yang mematuhi kaidah-kaidah logika.

4) Objektivitas. Ciri objektivitas ilmu menunjuk pada keharusan untuk bersikap


objektif dalam mengkaji suatu kebenaran ilmiah tanpa melibatkan unsur emosi
dan kesukaan atau kepentingan pribadi.

5) Veriabilitas. Veriabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat


diperiksa kebenarannya, diteliti kembali, atau diuji ulang oleh masyarakat
ilmuwan.

6) Komunalitas. Ciri komunalitas ilmu mengandung arti bahwa ilmu merupakan


pengetahuan yang menjadi milik umum .Itu berarti hasil penelitian yang

33
kemudian menjadi khasanah dunia keilmuan tidak akan disimpan atau
disembunyikan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu

Dalam Kaitan itu, sehingga konsep ilmu-ilmu dalam Islam pada


hakekatnya bercorak integratif, yaitu pada pandangan filosofiknya yang melihat
kajian ilmu-ilmu itu pada dasarnya bermuara dari prinsip kebenaran Allah yang
ditetapkan dalam setiap ciptaan-Nya. Dalam dimensi ini prinsip kebenaran itu
pada hakekatnya bersifat tunggal, dan menjadi landasan untuk menyatukan kajian-
kajian ilmu yang berkembang ke arah lebih spesialis dan parsial, karena tanpa
landasan integratif, spesialisasi ilmu akan mengakibatkan hilangnya dimensi
transenden. (Ibid hal. 94-95) Oleh karena itu, dalam visi tauhid, ilmu, filsafat dan
agama pada hakekatnya merupakan kesatuan yang saling melengkapi,
kesemuanya berhubungan dengan kebenaran-kebenaran yang menjadi penjelmaan
dari tanda-tanda kebesaran-Nya.

Teori dalam sebuah teori kebenaran ada 3 yaitu: Teori korespondensi


adalah kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan/pendapat dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Teori koherensi adalah kebenaran atau
keadaan benar apabila ada persesuaian antara pernyataan dengan pernyataan yang
lain yang sudah lebih dulu diketahui. Teori pragmatisme adalah kebenaran atau
keadaan benar semata mata tergantung dari kemanfaatannya.

Adapun sumber-sumber pengetahuan ada dua pertama melalui rasio dan


kedua melalui pengalaman. Rasionalisme adalah sebuah paham yang menekankan
pikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi
penentu kebenaran. Sedangkan empirisme adalah paham yang mengatakan bahwa
pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian.

Ilmu membatasi penjelajahannya pada pengalaman manusia, karenanya


ilmu memulai pada penjelajahan pada pengalaman manusia dan berhenti pada
pengalaman manusia, dan itu lah batas ilmu.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat


menjelasakan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan

34
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan
yang ada.

Upaya pendidikan dalam konsep ajaran Islam pada hakekatnya merupakan


suatu amanah dari Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus
mempertanggungjawabkan semua upaya pendidikan kepada-Nya. Oleh karena
itu, setiap upaya pendidikan tidak hanya dilandasi oleh nilai-nilai yang dihasilkan
manusia sebagai hasil renungan dari pengalamannya, lebih jauh nilai-nilai
ketauhidan dan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan harus dijadikan landasan
untuk menilai pendidikan, dan untuk menentukan nilai mana yang baik dan tidak
baik dalam pendidikan.

Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan


menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak
mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat dan harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai
khalifah dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.

Sampai di sini dapat dilihat bahwa para ahli pendidikan Islam sepakat
bahwa tujuan umum (sebagian menyebutkan tujuan akhir) pendidikan Islam ialah
manusia yang baik itu adalah manusia yang beribadah kepada Allah.

Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab


tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan mendidik bisa
menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat atau salah langkah.
Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan menjadi
manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak mulia,
melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat serta harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai

35
khalifah, dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt. Al – Ghozali ( Dalam buku
Drs.H. Moh. Ihcsan Hafi,S.Pd., MA) berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah
mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah – megah, dan
janganlah seseorang pelajar itu belajar untyk mencari pangkat, harta , menipu
orang – orang bodoh atau bermegah – megah dengan sahabat dan tak keluar dari
pendidikan akhlaq senada dengan Al – ghozali, Al – Abrosyi juga menyatakan
bahwa tujuan pokok dan terutama dari pendidikan islam ialah mendidik budi
pekerti dan pendidikan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung
pelajaran – pelajaran Akhlaq. Setiap guru harus memperhatikan akhlaq yang
mulia itu adalah tiang dari pendidikan islam. Dari berbagai pendapat diatas
ternyata bahwa tujuan utama pendidikan islam secara individu adalah
mewujudkan manusia – manusia yang cerdas akal – pikirnya. Yang
berketrampilan dan yang berakhlaq mulia.
Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan usaha
dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian
moralitas,sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionalisasi
sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan dan kehidupan.
Ciri pokok ilmu pengetahuan dalam islam bahwa ilmu itu membutuhkan
pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan
alQur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah
sebagi berikut: 1) Sistematis, 2) Keumuman, 3) Rasionalitas, 4) Objektivitas, 5)
Verifiabilitas, dan 6) Komunalitas.

Teori dalam sebuah teori kebenaran ada 3 yaitu: Teori korespondensi


adalah kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan/pendapat dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Teori koherensi adalah kebenaran atau
keadaan benar apabila ada persesuaian antara pernyataan dengan pernyataan yang
lain yang sudah lebih dulu diketahui. Teori pragmatisme adalah kebenaran atau
keadaan benar semata mata tergantung dari kemanfaatannya.

36
Sumber ilmu pengetahuan manusia menggunakan dua cara dalam
memperoleh pengetahuan yang benar, pertama melalui rasio dan kedua melalui
pengalaman. Paham yang pertama disebut sebagai rasionalisme sedangkan paham
yang kedua disebut dengan empirisme.

Ilmu membatasi penjelajahannya pada pengalaman manusia, karenanya


ilmu memulai pada penjelajahan pada pengalaman manusia dan berhenti pada
pengalaman manusia, dan itu lah batas ilmu.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat


menjelasakan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan
yang ada.

DAFTAR RUJUKAN

Bagus, Loren , 1996, Kamus Filsafat,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bahktiar


Amtsal, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Grafindo Persada . Cecep. Sumarna,
2007, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Depdiknas, 2008, KBBI Daring, dari Pusat Bahasa.
http://oxforddictionaries.com/definition/science

37
http://pusdiklat-dewandakwah.com Lubis, Akhyar Yusuf , 2011, Pengantar
Filsafat Pengetahuan, Depok: Penerbit Koekoesan Nata, Abudin, 2002,Tafsir Ayat
ayat Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. S, Soejono, 1978, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta : Nurcahya. Suriasumantri, J. S, 2001, Ilmu Dalam
Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suriasumantri, Jujun S, 2010,
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Van
Peursen, 2008, Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, Dikutip dari buku B, Arief
Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung.
Wibisono, Koento , 1997, Gagasan Strategic Tentang Kultur Keilmuan Pada
Pendidikan Tinggi, Jurnal Filsafat, Edisi Khusus Agustus. Yusuf Qaradhawi,
2003, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al

Abdullah, Abd. Rahman, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam. Cet.I;


Yogyakarta: UII Press, 2002.

Al-Nahlawi, Abd. Al-Rahman, Usul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha,


terj. Henry Nur Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Cet. I;
Bandung:Diponegoro, 1989.
al-Syaiba>ni, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah,
terj. Hasan Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1983. 148
Sulesana Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011 Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Cet. I; Yogyakarta: LESFI,
1999. Jalal, Abdul Fatah, Min Usūl al-Tarbiyah fī al-Islam, terj. Henry Nur Ali,
Azas-azas Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Diponegorro, 1988.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999)
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operaionalnya. Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mmengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan Islam . Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

38
Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Nata, Abuddin Filsafat Pendidikan Islam I, Jilid I. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997. Sadulloh, Uyoh, Pengantar filsafat Pendidikan. Cet. VI; Bandung:
Alfabeta, 2009. SM., Ismail dan Nurul Huda (Ed.), Paradigma Pendidikan Islam.
Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Soetriono dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Cet. I;
Yogyakarta: ANDI, 2007.
Solihin, M., Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga modern. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Cet. XVIII;
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Tafsir, Ahmad, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung:
Sunan Gunung Jati, 1995.

Hatta, Mohammad. 1960. Alam Pikir Yunani, I dan II. Jakarta: Tintamas

39

You might also like