Jurnal Reading Kulit

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Metode pencarian literatur
Pencarian literatur dalam telaah jurnal ini dilakukan melalui google yaitu
pada address (http://google.com). Kata kunci yang digunakan untuk penelusuran
jurnal yang akan ditelaah ini adalah “journal of seborrheic dermatitits.pdf”,
dengan rentang waktu 2015-2019.
1.2 Abstrak
Background: Seborrheic dermatitis is an inflammatory skin disease that affects
1–3% of the general population. The Malassezia species has been implicated as
the main causative agent; however, the bacterial flora of the skin may also play
role in the etiopathogenesis. Therefore, we investigated the most common
bacterial agent of the skin flora of patients with seborrheic dermatitis.
Materials and Methods: Fifty-one patients with seborrheic dermatitis and 50
healthy individuals are included in this study. Sterile cotton swabs were rubbed on
the scalp of the participants for bacterial culture. Colonial morphology was
identified with gram stain and catalase test.
Results: Staphylococcus aureus was isolated from 25 (49%) patients with
seborrheic dermatitis and 10 (20%) healthy individuals within the control group.
Coagulase-negative staphylococci were isolated from 24 (47.1%) patients with
seborrheic dermatitis and 17 (34%) healthy individuals within the control group.
Diphtheroids were present in 2 (3.9%) patients and 1 (2%) subject within the
control group. Gram-negative bacilli were present only in 1 (2%) patient.
Hemolytic streptococci and bacilli were identified in 1 (2%) subject from each
group. Colonization of coagulase-negative staphylococci, diphtheroids, gram-
negative bacilli, hemolytic streptococci, and bacillus did not differ between
patients and healthy controls. However, S. aureus colonization was significantly
more common in patients with seborrheic dermatitis than in healthy controls.
Conclusion: Within this study we revealed that S. aureus colonization was
significantly higher among the patients. Therefore, we propose that, in addition to
the Malassezia species, S. aureus may play a role in the etiopathogenesis of
seborrheic dermatitis.
Keywords : Bacterial skin flora, Malssezia, Seborrheic Dermatitis,

Staphylococcus aureus.
Latar Belakang : Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kulit yang
mengenai 1-3% dari keseluruhan populasi. Malassezia merupakan penyebab
utama penyakit ini, namun bakteri flora kulit juga memiliki peran dalam
etiophatogenesis. Karena itu kami menyelidiki agen bakteri yang paling banyak
pada kulit pasien dermatitis seboroik.

Bahan dan metode : 51 pasien dengan dermatitis seboroik dan 50 orang sehat
dimasukkan dalam penelitian ini. Cotton swabs yang steril digosokkan pada kulit
kepala peserta untuk digunakan sebagai kultur bakteri. Morfologi kolonial
diidentifikasi dengan menggunakan uji pewarnaan gram dan katalase.

Hasil : Staphylococcus aureus diisolasi dari 25 (49%) pasien dengan dermatitis


seboroik dan 10 (20%) orang sehat dalam kelompok kontrol. Stafilokokus
koagulase-negatif diisolasi dari 24 (47,1%) pasien dengan dermatitis seboroik dan
17 (34%) individu sehat dalam kelompok kontrol. Difteri ditemukan pada 2
(3,9%) pasien dermatitis seboroik dan 1 (2%) subjek dalam kelompok kontrol.
Basil Gram-negatif hanya ada pada 1 (2%) pasien dermatitis seboroik.
Streptokokus dan basil hemolitik diidentifikasi pada 1 (2%) subjek dari masing-
masing kelompok. Kolonisasi stafilokokus koagulase negatif, difteri, basil gram
negatif, streptokokus hemolitik, dan basil tidak berbeda antara pasien dan
kelompok kontrol. Namun, kolonisasi S. aureus secara signifikan lebih umum
pada pasien dengan dermatitis seboroik daripada kelompok kontrol yang sehat.

Kesimpulan : Dalam penelitian ini kami mengungkapkan bahwa kolonisasi S.


aureus secara signifikan lebih tinggi pada pasien dermatitis seboroik. Oleh karena
itu, kami mengusulkan bahwa, selain spesies Malassezia, S. aureus dapat
memainkan peran dalam etiopatogenesis dermatitis seboroik.

Kata kunci: Flora bakteri kulit, Malssezia, Dermatitis Seboroik, Staphylococcus


aureus.
BAB 2

DESKRIPSI JURNAL

2.1 Deskripsi umum


Judul : “ Staphylococcus aureus is the most common bacterial agent of
the skin flora of patients with seborrheic dermatitis”
Penulis : Funda Tamer1, Mehmet Eren Yuksel2, Evren Sarifakioglu3,
Yavuz Karabag4
Publikasi : Dermatology Practical & Concepttual 2018;8(2):4
Penelaah : Pujhi Meisya Sonia (1808320038)
Shafira (1808320043)
Ardatilla (1808320048)
Raden Febrian Dwi Cahyo Edi Pramono (1808320068)
Tanggal telaah : 14 Juli 2019
2.2 Deskripsi konten
Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kulit yang kronik, yang terjadi
pada 1-3% dari populasi umum. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria
daripada pada wanita dan biasanya terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Dermatitis seborik ditandai dengan eritematosa, kekuningan, berminyak, danplak
bersisik. Lesi dominan terjadi pada daerah yang kaya akan kelenjar sebasea
seperti kulit kepala, alis, telinga, lipatan nasolabial, dada, aksila, dan
selangkangan. Diagnosis dermatitis seborik biasanya dibuat berdasarkan fitur
klinisnya. Etiologi masih belum diketahui; Namun, ragi Malassezia,
kadar sebum kulit, androgen, dan mekanisme imunologis telah digambarkan
sebagai faktor yang berkontribusi. Pertumbuhan yg terlalu cepat oleh spesies
Malassezia telah ditemukan berkaitan dengan peradangan pada dermatitis
seboroik. Namun demikian, mikrobiota kulit bakteri juga telah terlibat dalam
proses patogen dari dermatitis seboroik. Propionibacterium
acnes dan micrococci seperti Micrococcus butyricus, Micrococcus pyogenes var.
aureus telah dianggap sebagai kemungkinan agen etiologi. Namun, asosiasi
bakteri dengan dermatitis seboroik masih kontroversial. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, kami bertujuan untuk menyelidiki agen bakteri yang paling banyak
dari flora kulit pada pasien dengan dermatitis seboroik.
BAB 3

TELAAH JURNAL

3.1 Fokus Penelitian


Untuk menyelidiki agen bakteri yang paling umum dari flora kulit pasien
dengan dermatitis seboroik.

3.2 Gaya dan Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan disusun dengan rapi. Komponen jurnal ini sudah
terdiri dari pendahuluan, tujuan, metode, hasil, diskusi (pembahasan) dan
kesimpulan.

3.3 Penulis
Afiliasi penulis :
Funda Tamer1, Mehmet Eren Yuksel2, Evren Sarifakioglu3, Yavuz Karabag4
1. Department of Dermatology, Ufuk University School of Medicine, Ankara,
Turkey
2. Department of General Surgery, Aksaray University School of Medicine,
Aksaray, Turkey
3. Department of Dermatology, Evren Sarifakioglu Clinic, Ankara Turkey
4. Department of Cardiology, Kafkas University School of Medicine, Kars,
Turkey

3.4 Judul
“Staphylococcus aureus is the most common bacterial agent of the skin
flora of patients with seborrheic dermatitis”, Judul tersebut sudah cukup jelas dan
tidak ambigu.

3.5 Abstrak
Abstrak adalah ringkasan singkat tentang isi dari artikel ilmiah, tanpa
penambahan tafsiran atau tanggapan penulis. Abstrak dalam jurnal ini sudah
mencakup pendahuluan, tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Pada abstrak tidak
mencantumkan jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Selain itu
abstrak dalam jurnal ini juga memiliki kekurangan lainnya yaitu penulisan abstrak
lebih dari 200 kata.

3.6 Masalah dan Tujuan


Pada jurnal ini tidak dicantumkan poin khusus untuk rumusan masalah.
Sementara itu, tujuan penulisan jurnal ini sudah jelas yaitu untuk menyelidiki agen
bakteri yang paling umum dari flora kulit pasien dengan dermatitis seboroik.

3.7 Literatur/ Tinjauan Pustaka


Penulisan jurnal ini menggunakan literatur yang ada pada temuan-temuan
penelitian sebelumnya. Literatur yang digunakan adalah literatur resmi yang
sudah dipublikasi lebih dari 5 tahun sampai tahun 2017. Semua artikel yang
digunakan dalam penulisan jurnal ini dapat diakui keabsahannya.

3.8 Hipotesa
Dalam jurnal ini tidak dicantumkan bagian yang membahas hipotesis
secara khusus.

3.9 Populasi dan Sampel


Yang termasuk populasi pada penelitian ini adalah 51 pasien dengan
dermatitis seboroik pada kulit kepala dan 50 orang sehat dalam kelompok kontrol
yang dirawat di klinik dermatologi rawat jalan antara Februari dan April 2016.
Semua peserta disediakan persetujuan tertulis (inform consent). Kriteria eksklusi
pada penelitian ini adalah memiliki penyakit kulit inflamasi seperti psoriasis atau
lichen planus dan telah menerima setiap pengobatan topikal atau sistemik untuk
dermatitis seboroik.

3.10 Metode
Indeks scoring yang digambarkan oleh Koca et al digunakan untuk
menentukan keparahan dermatitis seboroik. Kami mengevaluasi keberadaan
eritema, deskuamasi, pruritus dan iritasi sebagai absen (0), ringan (1), sedang (2)
dan berat (3) menurut indeks scoring Koca. Jumlah nilai-nilai ini menunjukkan
tingkat keparahan dermatitis seboroik (0-4; ringan, 5-8; moderat, 9-12; parah).

Penyeka kapas steril yang dibasahi dengan air suling steril dan di
gosokkan pada bagian frontal kulit kepala masing-masing peserta untuk kultur
bakteri. Tes ini seragam untuk semua pasien dan kelompok kontrol. Sampel
diambil dari lesi kulit pasien dengan dermatitis seboroik dan kulit normal dari
individu yang sehat dalam kelompok kontrol. Sampel berlapis pada 5% sheep
blood agar dan chocolate agar. Setelah itu, mereka diinkubasi pada suhu 37 °C.

Selama 48 jam di bawah kondisi aerophilic dan capnophilic.


Mikroorganisme diidentifikasi dengan metode konvensional., morfologi kolonial
diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji katalase. Katalase cocci positif,
koagulase positif, dan gram positif yang menghasilkan pigmentasi kuning pada
agar manitol garam digambarkan sebagai S. aureus.

3.11 Data dan Analisis Data


Untuk pengolahan data program statistik digunakan SPSS 22.0 (SPSS Inc,
Chicago, IL). Variabel kontinyu didefinisikan sebagai mean (±) deviasi standar
dan median (minimum-maksimum). Variabel kategori dinyatakan sebagai
persentase. Perbedaan antara kelompok dianalisis dengan uji Sampel t Independen
untuk variabel numerik dan uji chi-square untuk variabel kategorik. Sebuah p-
value <0,05 dianggap signifikan secara statistik.

3.12 Hasil Penelitian


Pada 51 pasien dengan dermatitis seboroik (28 perempuan, 23 laki-laki)
dan kelompok control 50 orang sehat (30 perempuan, 20 laki-laki) yang termasuk
dalam studi (p = 0.60). Usia rata-rata pasien dan kelompok kontrol adalah 27
tahun (kisaran: 17-57 tahun, 95% confidence interval [CI]: 24-32) dan 28 tahun
(kisaran: 17-56 tahun, 95% CI: 26-35 ), masing-masing (p = 0,35).
Tujuh (13,7%) pasien dengan dermatitis seboroik memiliki riwayat
keluarga dermatitis seboroik. Durasi penyakit rata-rata adalah 4 tahun (kisaran: 1-
40 tahun, 95% CI: 3-10) (Tabel 1) . Selain keterlibatan kulit kepala, 8 (15,7%)
pasien memiliki lesi dermatitis seboroik pada alis, 6 (11,8%) pasien memiliki lesi
pada lipatan nasolabial, 5 (9,8%) pasien memiliki lesi pada daerah retroauricular,
3 (5. 9%) pasien memiliki lesi di dada dan memiliki lesi 1 (2%) pasien pada
glabella tersebut.
Menurut indeks skoring Koca, 24 (47,1%) pasien memiliki dermatitis
seboroik ringan, 22 (43,1%) pasien memiliki dermatitis seboroik sedang, dan 5
(9,8%) pasien memiliki dermatitis seboroik yang parah. Tabel 2 menunjukkan
hasil kultur bakteri. S. aureus diisolasi dari 25 (49%) pasien dengan dermatitis
seboroik dan 10 (20%) orang sehat dalam kelompok kontrol. stafilokokus
koagulase-negatif diisolasi dari 24 (47,1%) pasien dengan dermatitis seboroik dan
17 (34%) orang sehat dalam kelompok kontrol. Diphtheroid hadir dalam 2 (3,9%)
pasien, dan 1 (2%) subjek dalam kelompok kontrol basil Gram-negatif hadir
hanya dalam 1 (2%) pasien. streptokokus hemolitik dan Bacillus diidentifikasi
dalam 1 (2%) subjek dari masing-masing kelompok. Kolonisasi koagulase-negatif
staphylococci, diphtheroid, basil gram negatif, streptokokus hemolitik dan
bacillus tidak berbeda secara signifikan antara pasien dan kontrol sehat (p = 0,18,
0,57, 0,32, 0,99 dan 0,99, masing-masing). Namun, S. aureus secara signifikan
lebih sering pada pasien dengan dermatitis seboroik dibandingkan dengan
kelompok kontrol (p = 0,02).
TABLE 1. Demographic features of the subjects and disease severity
score in patients with seborrheic dermatitis

Patients with
Healthy Controls
Seborrheic Dermatitis P-value
(n=50)
(n=51)
Age (years)
Mean ±sd 30.6±11.4 32.7±10.7 0.35
Median/range 27/ (17-57) 28/ (17-56)
95% CI 24-32 26-35
Gender (n/%)
Female 28 (54.9%) 30 (60%) 0.60
Male 23 (45.1%) 20 (40%) 0.60
Disease duration (years)
Mean ±sd 7.30±8.50
Median/range 4 / (1-40)
95% CI 3-10
Disease severity (n/%)
Mild 24 (47.1%)
Moderate 22 (43.1%)
Severe 5 (9.8%)
sd: standard deviation

CI: Confidence interval

The patients and healthy individuals in the control group were statistically similar in age and gender; 46
patients (90.2%) had mild to moderate seborrheic dermatitis. Only 5 patients (9.8%) had severe
seborrheic dermatitis according to the seborrheic dermatitis disease severity scoring index that was
described by Koca et al.

TABLE 2. Bacterial culture results of the patients with seborrheic dermatitis and
control group

Patients With Seborrheic


Healthy Controls
Isolated Bacteria Dermatitis P value
(n/%)
(n/%)
Staphylococcus aureus 25 (49.0%) 10 (20.0%) 0.02
Coagulase-negative staphylococci 24 (47.1%) 17 (34.0%) 0.18
Diphtheroids 2 (3.9%) 1 (2.0%) 0.57
Gram-negative bacilli 1 (2.0%) 0 (0.0%) 0.32
Hemolytic streptococci 1 (2.0%) 1 (2.0%) 0.99
Bacillus 1 (2.0%) 1 (2.0%) 0.99
S. aureus colonization was significantly more common in patients with seborrheic dermatitis than in healthy
individuals (p=0.02). Colonization of coagulase-negative staphylococci, Diphtheroids, gram-negative bacilli,
hemolytic streptococci and Bacillus were stati-stically similar in patients and healthy controls.

3.13 Diskusi Penelitian

The etiopatogenesis dermatitis seboroik tidak jelas dipahami. Namun,


spesies Malassezia telah terlibat sebagai agen penyebab utama dalam dermatitis
seboroik. Selain itu, Karincaoglu et al menunjukkan bahwa Demodex follicu-
Lorum mungkin memainkan peran dalam etiopatogenesis dermatitis seboroik.
Karincaoglu et al menyatakan bahwa tungau Demodex secara signifikan lebih
umum pada pasien dengan dermatitis seboroik dibandingkan dengan kontrol yang
sehat. Namun demikian, Tehrani et al menunjukkan tidak ada hubungan antara
dermatitis seboroik dan demodicosis. Tehrani et al menyelidiki prevalensi
dermatitis seboroik pada pasien dengan Demodex kutu. Termasuk dalam
penelitian mereka 123 pasien positif demodicosis dan 57 demodicosis individu
negatif. Prevalensi dermatitis seboroik pada pasien dengan demodicosis adalah
63,4% dan di Demodex mata pelajaran negatif adalah 57,9%. Hasil tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok.

Ada beberapa studi yang menyelidiki flora bakteri dari pasien dengan
dermatitis seboroik. Pada tahun 1954, Pachtman et al melaporkan tidak ada
korelasi antara tumbuhan bakteriologis dan dermatitis seboroik. Bakteri yang
paling sering diisolasi dari subyek baik seboroik dan normal yang micrococci dan
beberapa spesies Corynebacterium. Pada tahun 1975, McGinley et al dievaluasi
tumbuhan kulit kepala pasien dengan ketombe, pasien dengan dermatitis seboroik,
dan kontrol yang sehat. Koagulase-negatif kokus adalah bakteri yang paling
umum terisolasi dari semua mata pelajaran. Namun, S. aureus diidentifikasi dalam
20% dari pasien dengan dermatitis seboroik, sementara itu jarang pada pasien
dengan ketombe dan kontrol yang sehat. Pada tahun 1978, Ihrke et al menyelidiki
flora bakteri kulit anjing normal dan seboroik.

Pada tahun 1980, Hoffler et al meneliti flora bakteri kulit non-terkena


pasien dengan dermatitis seboroik dan flora bakteri kulit individu yang sehat.
Hoffler et al melaporkan bahwa menghitung mean untuk Propionibacteria dalam
saluran pilosebaceous dahi berkurang pada pasien dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selain itu, jumlah rata-rata dari staphylococci koagulase-
negatif yang sama di punggung pasien dan individu yang sehat. Pada tahun 2016,
Tanaka et al meneliti mikrobiota bakteri dari kulit lesi dan non-lesi pasien dengan
dermatitis seboroik. Aci-netobacter, Corynebacterium, Staphylococcus,
Streptococcus, dan Propionibacterium yang ditemukan pada kedua situs lesi dan
non-lesi. Namun, Propionibacterium adalah predomi-nantly hadir pada kulit non-
lesi. Acinetobacter, Staphy-lococcus dan Streptococcus yang didominasi hadir di
situs lesi. Tanaka et al menyarankan bahwa mikrobiota bakteri mungkin
memainkan peran dalam pengembangan dermatitis seboroik dengan
menghidrolisis sebum dan menyediakan nutrisi untuk Malassezia

Taman et al diselidiki kulit kepala microbiome pada pasien dengan


ketombe, dermatitis seboroik dan individu yang sehat. Bac-teroides,
Propionibacterium dan Chryseobacterium diungkapkan oleh analisis hutan acak
menunjukkan peningkatan dalam kelompok penyakit. Taman et al menyatakan
bahwa gejala seperti gatal, terbakar, dan nyeri yang disebabkan oleh komunitas
bakteri.

Dalam penelitian kami, S. aureus dan koagulase-negatif Staphy-lococcus


adalah bakteri yang paling umum diisolasi dari pasien dan kelompok kontrol,
masing-masing. S. aureus coloniza-tion secara signifikan lebih sering pada lesi
kulit pasien dengan dermatitis seboroik (49%) dibandingkan pada subyek sehat
dalam kelompok kontrol (20%). Tidak ada tanda klinis dan gejala infeksi bakteri
pada lesi pasien dengan dermatitis seboroik. Dalam addi-tion, Staphylococcus
koagulase-negatif lebih sering pada pasien (47,1%) dibandingkan pada subyek
sehat (34,0%). Namun, kolonisasi stafilokokus koagulase-negatif, diphtheroid,
basil gram negatif, streptokokus hemolitik dan bacillus tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara pasien dan kelompok kontrol.

Kami telah mengungkapkan bahwa bakteri kulit pada pasien dengan dermatitis
seboroik yang berbeda dari individu yang sehat. S. aureus secara signifikan lebih
umum di antara beberapa pasien. Hasil kami konsisten dengan studi Previ-ous
dilaporkan oleh McGinley et al pada tahun 1975 dan oleh Ihrke et al pada tahun
1978. McGinley et al terisolasi S. aureus dari 21% dari kasus dermatitis seboroik,
4% dari subyek normal dan 3% dari pasien dengan ketombe. Ihrke et al
menunjukkan bahwa flora kulit anjing dengan dermatitis seboroik yang terutama
terdiri dari S. aureus. Namun, manusia dan gigi taring adalah spesies yang
berbeda, membuat perbandingan langsung tidak mungkin.

Kesimpulannya, keragaman bakteri dalam lesi kulit dermatitis seboroik sebagai


interaksi antara spesies Malassezia dan flora bakteri dari kulit tampaknya terkait
dengan perkembangan dermatitis seboroik. S. aureus adalah mikroorganisme
patogen yang biasa ditemukan dalam flora kulit pasien dengan dermatitis
seboroik. Kami mengusulkan bahwa, selain spesies Malassezia, S. aureus
mungkin memainkan peran. Oleh karena itu, terapi antibiotik yang tepat harus
dipertimbangkan dalam pengobatan kasus dermatitis sebor-rheic parah dan
persisten.

3.14 PICO
(P) Patient : sampel terdiri dari 51 pasien dengan dermatitis seboroik pada kulit
kepala dan 50 orang sehat dalam kelompok kontrol yang dirawat di klinik
dermatologi rawat jalan antara Februari dan April 2016. Kriteria eksklusi
memiliki penyakit kulit inflamasi seperti psoriasis atau lichen planus dan
menerima setiap pengobatan topikal atau sistemik untuk dermatitis seboroik.
(I) intervention : tidak ada intervensi pada penelitian ini, melainkan hanya
mengindetifikasi bakteri apa yang paling umum pada dermatitis seboroik

(C) Comparison : melihat perbandiangan antara pasien dermatitis seboroik pada


kulit kepala dengan kelompok kontrol yaitu dengan pasein yang sehat

(O) Outcome : Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling umum


ditemukan pada pasien dermatitis seboroik

You might also like