Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

ISSN 2088-5415 (Print)

ISSN 2355-5777 (online)


DOI 10.22146/kawistara.28082
https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara

KAWISTARA
VOLUME 8 No. 1, 22 April 2018 Halaman 1-110

LEGITIMASI KEKUASAAN DAN HUBUNGAN


PENGUASA-RAKYAT DALAM PEMIKIRAN POLITIK
SUKU DAYAK MA’ANYAN

Kisno Hadi
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Palangka Raya
Email: kisnohadi@yahoo.co.id

ABSTRACT
This article is a result of research on power legitimation and relation of rulers and people in political
thought of Dayak Ma’anyan context. This Political thought was practiced by Nan Sarunai at the past
centuries and inherited by some of people but the rest is disappeared. By the time of decentralization
and the beginning of democration era at 1998, some of the concept was adopted like as on legitimating
of power and relation between ruler and people in power. The implementation of the concept is seen
in many ways e.g. in development of East Barito Regency which is believed as a continuation of Nan
Sarunai Kingdom, the bestowal of past adat leader titles for regents or governors (dudus) and this
ceremonial creating dependency relation between ruler and people which is people as the object. The
aims of this research are to find out the thought and practice of power legitimation in the past and the
implementation of power legitimation at present. Research use explanatory descriptive method and
the data will analyze by interpretative descriptive. Research was held from April, 2014 to March, 2017
in community Dayak Ma’anyan in East Barito Regency, especially in Paju Epat District i.e Balawa,
Murutuwu, Siong, and Telang. These villages believed still pratice and preserve adat of Nan Sarunai
completely. Writer conduct deep interview with local adat leader i.e. Mantir, Damang, Pangulu Adat,
and Pamakal. Use oral data likes Taliwakas (stories on leader), Hiyang Wadian (sacred song of priest
which is sing in adat ritual), Sorosilah (histories of leader), and customary law of Dayak Ma’anyan. Data
interpretation use Legitimacy Theory or religious legitimating of Franz Magnis Susesno and theory of
relation between rulers – people from Soemarsaid Moertono.

Keywords: Dayak Ma’anyan Tribe; Leader and People; Legitimacy; Political Thought; Power.

ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai keabsahan atau legitimasi kekuasaan dan hubungan
penguasa dengan rakyat dalam konteks pemikiran politik suku Dayak Ma’anyan. Pemikiran politik ini
pernah dipraktikkan di masa lalu dalam kehidupan masyarakat suku pada masa kerajaan Nan Sarunai
dan sesudahnya, dan kini mereka warisi. Sebagian pemikiran itu sudah tidak dipraktikkan lagi dan
hanya melekat dalam sejarah pemikiran saja. Akan tetapi, desentraliasi dan demokrasi sejak kejatuhan
Soeharto tahun 1998, memberi peluang bagi mereka mempraktikkan kembali beberapa konsep
pemikiran itu yaitu seperti keabsahan atau legitimasi kekuasaan serta konsep hubungan penguasa
dengan rakyat dalam kekuasaan. Implementasinya ada­lah melalui pembangunan Kabupaten Barito
Timur disebut sebagai kelanjutan Nan Sarunai, pemberian gelar pemimpin adat kepada kepala daerah
dengan mengambil gelar dari pemimpin masa lalu, dan hubungan penguasa dengan rakyat yang
diciptakan saling keter­gantungan antara penguasa dengan rakyat di mana rakyat ditempatkan sebagai
sasaran dan tujuan pelaksanaan kekuasaan melalui konsep pelantikan pemimpin secara adat (dudus)

46
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

ter­
hadap kepala daerah. Untuk itu penelitian kerajaan Nan Sarunai pada abad 13 dan 14 yang
ini dilakukan untuk mengetahui implementasi hancur karena diserang Jawa (Majapahit) dalam
konsep tersebut di masa kini dan bagaimana sebuah peristiwa yang mereka kenang sebagai
pemi­kiran dan praktiknya di masa lalu. Metode “Sarunai Usak Jawa” (Sarunai dihancurkan
pene­litian menggunakan metode deskriptif
Jawa) (Bae, dkk, 1995: 52, 375). Mereka menge­
expla­na­tory dengan analisis data deskriptif
interpretatif. Penelitian dilakukan sejak bulan
nang Nan Sarunai sebagai negeri yang ber­
April 2014 sampai Maret 2017 di daerah suku daulat secara ekonomi, politik dan sosial
Dayak Ma’anyan di Kabupaten Barito Timur, budaya, pusat pelaksanaan pemerintahan,
ter­utama kecamatan Paju Epat khususnya desa me­ ne­
tapkan pemimpin, ada kepemimpinan
Balawa, Murutuwu, Siong, dan Telang yang masih Mantir Epat Pangulu Isa sebagai pelaksana
mewarisi adat istiadat dari Nan Sarunai. Penulis adat, dan pemerintahan serta Miharaja sebagai
melakukan wawancara mendalam dengan tokoh pemimpin pemerintahan. Sampai kini Nan
adat setempat seperti Mantir, Damang, Pangulu Sarunai dikenang sebagai negeri tempat
Adat, dan Pamakal. Penulis menggunakan data masyarakat suku Dayak Ma’anyan mengenyam
lisan seperti Taliwakas (cerita tentang pemimpin),
masa keemasan dan kejayaan (Wawancara,
Hiyang Wadian (nyanyian suci imam suku
dalam upacara adat), Sorosilah (sejarah asal usul
Bhaterius, 2017). Kehidupan mereka di masa
pemimpin), dan hukum adat Dayak Ma’anyan. kini diselimuti kehidupan suku yang kental
Interpretasi data menggunakan teori keabsahan terutama dalam menjatuhkan pilihan politik
atau legitimasi religius Franz Magnis Suseno dan saat pemilihan kepala daerah, dan selalu
teori hubungan penguasa-rakyat dari Soemarsaid dikaitkan dengan sejarah politik masa lalu itu.
Moertono. Reformasi 1998 memberi ruang bagi
mereka memperjuangkan kembali iden­
Kata Kunci: Keabsahan; Kekuasaan; Pemikiran
Politik; Pemimpin dan Rakyat; Suku Dayak
titas etnis dan politik dari masa lalu itu.
Ma’anyan. Kabupaten Barito Timur yang diperjuangkan
pembentukannya sejak tahun 1964, akhirnya
terbentuk tahun 2002, dan diklaim sebagai
PENGANTAR
rentetan atau kelanjutan kerajaan Nan Sarunai
Politik lokal pasca-kejatuhan pemerintah­
yang disebut daerah Tanah Datar (Pilakoanu,
an Soeharto tahun 1998 adalah era politik
2010; Usop, 1978: 40-42; Wawancara, Usop,
identitas, baik agama maupun etnis. Era
2014). Sebab itu, pada awal pembentukannya,
ini adalah era penegasan identitas yang
muncul perdebatan di kalangan tokoh, ada
mengejutkan sekaligus dilematis. Mengejut­
yang ingin menamainya Tanah Datar dan
kan karena era desentralisasi politik dan peme­
sebagian lagi hendak memberi nama Barito
rintahan, yang dikonsepkan untuk efisiensi
Timur (Alkim, 2004: 6-7; Wawancara, Ngepek,
administrasi pemerintahan modern sekaligus
2014; Wawancara, Dandan, 2017), yang
menghadirkan demokrasi di tingkat lokal,
akhirnya disepakati nama Barito Timur.
sedangkan kebangkitan komunitarian tidak
Dalam konteks adat oleh kalangan tokoh
pernah diperhitungkan, tetapi malah menjadi
adat Kabupaten Barito Timur disebut sebagai
bagian penting desentralisasi. Dilematis
“Nan Sarunai Wau” (Nan Sarunai Baru),
karena persoalan kebangkitan identitas berarti
atau “Nan Sarunai Mulek Kala Mula” (Nan
kebangkitan simbol-simbol kekuasaan sebelum
Sarunai kembali seperti dulu). Peran pemimpin
republik ini berdiri yang merepresentasikan
tradisional sebagai warisan Nan Sarunai yaitu
feodalisme (Klinken, 2010: 166).
Mantir Epat Pangulu Isa masih dipraktikkan
Kebangkitan identitas juga terjadi di
di desa-desa. Mereka juga mempertahankan
kalangan suku Dayak Ma’anyan di Kalimantan
kekuasaan kepala adat yang disebut Damang
Tengah. Masyarakat suku Dayak Ma’anyan
Kepala Adat yang memerintah secara adat
yang mayoritas bertempat tinggal di Kabupaten
meliputi beberapa kecamatan. Di seluruh
Barito Timur memiliki sejarah yang unik dan
Kalteng, hanya di Kabupaten Barito Timur
panjang dalam mendeskripsikan identitas
Damang Kepala Adat menjadi pemimpin
mereka. Mereka memiliki kronik tentang

47
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

adat berbasiskan wilayah suku atau etnis, nentukan pemimpin politik sekaligus pe­
bukan kecamatan seperti di daerah lain. mimpin kultural, guna menjadi pemersatu
Suku dipimpin oleh Damang Kepala Adat di masya­rakat suku, dan merepresentasi kepen­
maksud adalah Ma’anyan Paju Epat, Ma’anyan tingan mereka secara lebih luas. Sosok pe­
Kampung Sapuluh, Ma’anyan Banu Lima, dan mimpin politik yang diangkat menjadi patron
Ma’anyan Paku Karau. Terdapat 4 (empat) adalah pemimpin yang dapat mempersatukan
orang Damang Kepala Adat yang memerintah dan merepresentasi seluruh kepentingan
secara adat untuk 10 wilayah kecamatan. mereka baik secara ekonomi maupun politik.
Mereka memistifikasi kepala daerah seperti Sama tatkala tahun 1930an sampai 1950an
Bupati dengan memberi gelar pemimpin suku, representasi kepentingan mereka disalurkan
harapannya tokoh tersebut dapat dimitoskan melalui berbagai organisasi adat seperti Pakat
dan membawa kebaikan bagi mereka di masa Dayak (PD), Partai Persatuan Dayak (PPD),
kini. Dua orang Bupati Barito Timur yaitu Zain dan Gerakan Mandau Talawang Pancasila
Alkim (periode 2003-2013) dan Ampera A. Y. (GMTPS). Di tahun 1950an bersama kelompok
Mebas (periode 2013-2018) serta Teras Narang suku Dayak lainnya mereka merasa berada di
Gubernur Kalteng dua periode (2005-2015) bawah bayang-bayang kekuasaan orang Banjar
diberi gelar pemimpin suku Dambung Panning (Melayu) sehingga menuntut pembentukan
Maleh. Dalam pandangan kalangan tokoh Provinsi Kalteng untuk orang Dayak. Di
adat, legitimasi atau keabsahan pemimpin masa kini, representasi kepentingan mereka
secara tradisional penting dilekatkan kepada dipercayakan melalui peran elite lokal seperti
pribadi pemimpin atau penguasa kendati bupati dan gubernur yang diangkat menjadi
pemimpin tersebut memegang kendali dalam patron sebagai pemersatu serta melalui
politik modern. Legitimasi atau keabsahan lembaga yang berbasiskan adat seperti Dewan
mengacu kepada peraturan yang ditetapkan Adat Dayak (DAD) dan Dusmala.
oleh adat. Adat yang termanifestasi dalam Untuk itu, tulisan yang merupakan hasil
hukum adat mengesahkan pemimpin atau penelitian ini hendak menjawab pertanyaan
penguasa berasal dari golongan tutur amau “bagaimana legitimasi kekuasaan dan
(kelas pemimpin), sebab ia memimpin hubungan penguasa dengan rakyat dalam
orang banyak, dan tugas utama pemimpin pemikiran politik suku Dayak Ma’anyan?”
atau penguasa adalah membuat tenteram Tulisan ini mendeskripsikan pemikiran politik
kehidupan rakyat (Wawancara, Udir, 2017). suku Dayak Ma’anyan mengenai kekuasaan,
Oleh karena itu, pemimpin politik diberi gelar khususnya mengenai keabsahan atau legitimasi
pemimpin suku untuk memberi “pangiwuruh” kekuasaan dan hubungan penguasa-rakyat.
(kharisma) sehingga ia berpengaruh dan Studi lain terkait legitimasi kekuasaan
mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala tradisional bersifat adikodrati yang relevan
daerah (Wawancara Suban, Udir, 2017). dengan penelitian tentang masyarakat
Sementara pola hubungan penguasa dengan suku Dayak Ma’anyan adalah studi tentang
rakyat termuat dalam konsep tutur amau- masyarakat Bugis-Makassar (Mattulada, 1985:
tutur ime yang tergambarkan dalam konsep 387), Tana Toraja (Pasande, 2011: 217-218), dan
hukum adat Dayak Ma’anyan, yang sejajar Bali (Waren, 2010: 187-188; Nordholt, 2007:
dengan konsep kawula-gusti di Jawa. Konsep 505-536). Sumber legitimasinya adalah prinsip
ini tidak hanya menggambarkan antara pihak senioritas seperti pada masyarakat Sumbawa
penguasa dengan pihak yang dikuasai, tetapi (Goethals, 2007: 57-60), pemimpin harus
memperlihatkan saling ketergantungan juga. menguasai peraturan-peraturan (hukum adat)
Suku Dayak Ma’anyan adalah kelompok seperti pada masyarakat Irian Jaya, Melanesia,
masyarakat suku yang memiliki ikatan kultural dan Papua Nugini (Koentjaraningrat, 1984:
sangat kuat dan mempengaruhi tingkah laku 132-133) serta adanya kepemimpinan yang
sehari-hari termasuk tingkah laku politik. bersifat keturunan (genealogis) seperti
Ikatan kultural mengharuskan mereka me­ aristokrat kesultanan Kutai (Magenda, 2010:

48
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

14-16), dan juga keraton Yogyakarta (Suyanto, menyangkut adat dan tradisi mereka, yang
2002). Sedangkan terkait relasi penguasa- sering muncul di dalam mitos (Ukur, 1974: 4).
rakyat yang relevan ialah studi Moertono Kendati mitos itu sering disebut tidak masuk
(1985) tentang kawula-gusti pada masyarakat dalam logika, terkadang tidak realistis, tetapi
Jawa. Berbagai studi tersebut penting, relevan, justru di dalam mitos itu sering menyimpan
dan sejajar dengan studi tentang suku Dayak fakta tersembunyi (Borneo, 2013: 10). Pada
Ma’anyan sebab sama-sama memandang masa lampau pemikiran khusus tentang politik
pentingnya legitimasi kekuasaan dan relasi dan negara tidak terdapat secara khusus,
penguasa rakyat, yang tidak saja relevan dalam tetapi bercampur dengan segala macam
kekuasaan tradisional, tetapi relevan dalam sendi kehidupan dari masyarakat, terutama
kekuasaan modern masa kini dalam masa bercampur dengan masalah kepercayaan dan
otonomi daerah dan desentralisasi juga. agama (Noer, 1983: 109-110). Dalam konteks
Penelitian ini menggunakan metode des­ tersebut penelitian ini dilakukan untuk melihat
kriptif explanatory yakni kombinasi antara bagaimana praktik kekuasaan khususnya
penelitian deskriptif dan explanatory. Penelitian mengenai keabsahan atau legitimasi kekuasaan
deskriptif menjawab pertanyaan “apa”, serta hubungan penguasa dengan rakyat dalam
sedangkan eksplanasi menjawab pertanyaan kehidupan suku Dayak Ma’anyan di masa
“mengapa” dan “bagaimana”. Teknik ana­ lampau.
lisis data secara kualitatif interpretatif, yaitu Pendekatan keabsahan atau legitimasi
mengangkat secara ideografis berbagai feno­ religius dari Franz Magnis-Suseno dinilai
mena dan realitas sosial, teori yang dihasilkan relevan sebagai landasan teori untuk meng­
mendapatkan pijakan yang kuat pada realitas, analisis data mengenai keabsahan atau legi­
bersifat kontekstual, dan historis (Somantri, timasi kekuasaan dalam pemikiran politik
2005: 64). Penelitian dilakukan sejak April suku Dayak Ma’anyan. Dalam konteks
2014 sampai Maret 2017 di daerah suku kekuasaan religius terdapat tiga unsur yaitu
Dayak Ma’anyan di Kabupaten Barito Timur, Pertama, penguasa harus menunjukkan diri
khususnya di desa-desa kecamatan Paju Epat. mampu untuk memegang kekuasaannya;
Data yang digunakan ialah data sekunder Kedua, seseorang hanyalah betul-betul diang­
berupa dokumen-dokumen hasil penelitian gap berkuasa apabila masyarakat di bawah
yang relevan, sejarah lokal yang mereka tulis pemerintahannya berada dalam keadaan adil
maupun tuturkan sebagai data primer melalui makmur; dan Ketiga, penguasa menunjukkan
wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh mutu mental dan sikap budi yang merupakan
adat dan menggunakan data lisan seperti prasyarat kemampuannya untuk berhubungan
Taliwakas (cerita tentang pemimpin), Hiyang dengan alam gaib, yaitu menjalankan ke­
Wadian (nyanyian suci imam suku dalam kuasaan tanpa perlu memakai kekuasaan atau
upacara adat), Sorosilah (sejarah asal usul tindakan-tindakan yang kasar (Suseno, 2003:
pemimpin) dan hukum adat Dayak Ma’anyan. 39-47).
Penulis juga melakukan observasi lapangan Keabsahan atau legitimasi kekuasaan
melihat praktik upacara dan keagamaan mereka dalam pemikiran politik suku Dayak Ma’anyan
serta hal-hal lain yang relevan. Interpretasi data dipandang bersifat religius sebagaimana
menggunakan teori keabsahan atau legitimasi pandangan Suseno tersebut adalah dapat dilihat
religius Franz Magnis Suseno dan teori dari Pertama, kronik mereka yang menceritakan
hubungan penguasa-rakyat dari Soemarsaid mitos kehidupan dan penggunaan kekuasaan
Moertono. pada masa kerajaan Nan Sarunai dan
sesudahnya memperlihatkan betapa pemimpin
PEMBAHASAN mereka di masa lalu menggunakan kekuasaan
Untuk dapat memahami lebih mendalam religius untuk memerintah dan diwariskan
pemikiran suku Dayak Ma’anyan, perlu hingga kepada para pemimpin mereka di masa
diselidiki dan dipahami segala sesuatu yang kini. Kedua, kekuasaan yang dipraktikkan di

49
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

masa lalu itu menampilkan diri dalam berbagai mimpin masyarakat suku Dayak Ma’anyan
wujud, tetapi pertama-tama ia merupakan agar teratur dan tenteram serta dapat mencapai
suatu kekuatan, hanya karena ia merupakan kehidupan yang makmur. Mereka juga
kekuatan maka ia dapat menjadi kekuasaan percaya, kepada Nini Punyut diturunkan untuk
(Kusumohamidjojo, 2014: 137). pertama kali hukum adat Dayak Ma’anyan
Apa yang diwarisi di masa kini mengenai baik untuk mengatur kehidupan manusia
adat, politik termasuk keabsahan atau legitimasi di dunia maupun untuk upacara kematian.
kekuasaan, petugas adat adalah berasal dan Dalam Sorosilah (riwayat Nan Sarunai) dan
berawal mula dari Nan Sarunai. Lambang yang Taliwakas (cerita tentang kepemimpinan)
menunjukkan bahwa Nan Sarunai merupakan dinyatakan bahwa Nini Punyut adalah anak
tempat di mana seluruh hukum adat dan dewa penguasa langit bernama Sawalang
petugas adat tersusun lengkap adalah dengan Gantung dan dewa penguasa bumi bernama
adanya Balai Datu Jatuh Kabilawan (Gedung Ungkup Batu. Nini Punyut adalah anak
Besar Berpintu Seratus). Pasca “Sarunai Usak pertama, ia diutus pergi ke Nan Sarunai. Di
Jawa” kemudian diwarisi oleh 40 orang Patih Tumpuk Laliku Meah, sebelum muncul nama
(Patis Epat Pulu) dan 7 (tujuh) orang Pangeran Nan Sarunai, kepada Nini Punyut diturunkan
(Uria Pitu) yang menyebarkannya ke seluruh aturan adat oleh Tuhan yaitu 9 (sembilan)
tanah Dayak di Kalimantan (Keloso, 1999: aturan untuk tata kelola kehidupan dan 7
124). Dalam Sorosilah Nan Sarunai dinyatakan (tujuh) aturan untuk pelaksanaan upacara
kekuasaan di kerajaan Nan Sarunai sebelum kematian. Aturan tersebut diberikan oleh
dan sesudahnya beserta dan pemimpinnya Tuhan kepada Nini Punyut karena ia mampu
yang terkenal, yaitu (1) Tumpuk Laliku Meah membuka segumpalan benang kusut yang
(sebelum tahun 1305). Berpusat di Hujung dilempar Tuhan dari langit. Hanya Nini Punyut
Panti, dekat Pangambangan, Kalimantan yang mampu membukanya, sementara orang
Selatan. Pemimpinnya adalah Pangulu Nini lain penduduk desa (Tumpuk) setempat tidak
Punyut; (2) Kerajaan Nan Sarunai (1305-1358). mampu. Setelah dibuka, isi gumpalan benang
Berpusat di Kayu Tangi, dekat Martapura, tersebut adalah sejumlah aturan yang mesti
Kalimantan Selatan. Pemimpin yang terkenal dilaksanakan dan dipimpin oleh orang yang
adalah Raja Anyan; (3) Bangi Sampa Tulen dapat membukanya.
(1358-1389). Berpusat di sebelah utara Kota Kini aturan tersebut dikembangkan
Tamiang Layang, Barito Timur, Kalimantan menjadi 24 jenis aturan untuk mengelola
Tengah. Pemimpin yang terkenal adalah Uria kehidupan dan 19 jenis aturan untuk upacara
Napulangit; (4) Tanjung Nagara (1365-1535). kematian yang termuat di dalam hukum adat
Berpusat di Amuntai, Hulu Sungai Utara, Dayak Ma’anyan. Aturan tersebut masih
Kalimantan Selatan. Pemimpin yang terkenal dilaksanakan hingga kini oleh masyarakat
adalah Uria Gadung; (5) Lasi Muda (1535-1850). suku Dayak Ma’anyan. Dua aturan di
Berpusat di Dayu, Barito Timur, Kalimantan antaranya mengatur tentang kekuasaan dan
Tengah. Pemimpin yang terkenal adalah Uria kepemimpinan yaitu Dudus (pelantikan pe­
Biring, dan (6) Landschaap Sihong (1850-1942). mimpin secara adat), dan Kawit Kinte (proses
Berpusat di Telang, Barito Timur, Kalimantan belajar aturan adat dan kepemimpinan). Aturan
Tengah. Pemimpin yang terkenal adalah Suta itu juga mengatur hak pemimpin yaitu (1)
Ono. Menerima Walasan (hadiah); (2) Melaksanakan
Di Tumpuk Laliku Meah untuk pertama Tung’ngu (perintah mengusir atau ekstradisi
kali kehidupan mereka mulai menetap rakyat keluar dari kampung karena kesalahan
dan teratur dengan dipimpin oleh seorang yang tidak bisa diampuni); (3) Melaksanakan
perempuan bernama Etoh atau yang lebih Pillah (memalas, upacara penyucian kampung);
dikenal dengan gelar Pangulu Nini Punyut. (4) Melaksanakan Sumpah adat (mengucapkan
Dalam kepercayaan mereka, Nini Punyut ikrar); (5) Melaksanakan Persaban (berkewajiban
ditunjuk langsung oleh Tuhan untuk me­ melindungi rakyat); dan (6) Berwenang

50
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

me­nerapkan Mako Baloh Nyiang Pe’e Piak orang Ma’anyan yang sangat dicintai dan sampai
(pelanggaran adat perceraian). sekarang sangat dipuja.....Menjadi jelas ternyata
di sini, bagaimana sang pelindung pribadi,
Hak-hak kekuasaan tersebut diperoleh
yang hakikatnya seorang leluhur, menjadi sang
dari dua sumber yaitu Pertama, Tuhan yang keramat keluarga, dan bagaimana sang keramat
menurunkan aturan adat kepada manusia keluarga ini berkat pemujaan pahlawan akhirnya
melalui Nini Punyut, dan Kedua, Nanyu yang naik tingkat menjadi dewa suku, sementara
merupakan roh leluhur atau nenek moyang. tugas dewa itu sudah tergambar, yaitu memberi
kebahagiaan dan kemakmuran” (Mallinckrodt,
Pemimpin memegang peran penting dalam
1974: 13).
pelaksanaan hukum adat dan pemerintahan
secara umum, sementara rakyat mengikutinya. Suku Dayak Ma’anyan percaya tentang
Dalam konteks tersebut Nimer Widen menulis: adanya oknum pencipta atau Ilah yang mereka
“Seseorang yang telah menduduki suatu jabatan
gambarkan sebagai pencipta manusia pertama
tertentu, maka ia akan menduduki jabatan yang mereka sebut Hiyang Piumung Jaya
tersebut sampai ia meninggal dunia. Tidak pernah Pikuluwi (Tuhan Yang Maha Kuasa) sebagai
suku Dayak Ma’anyan mencopot seseorang dari salah satu sumber kekuasaan (Miter, 2015:
jabatannya sewaktu ia masih hidup, ini karena 13). Penguasa tersebut adalah penguasa alam
sewaktu pemimpin tersebut diangkat menjadi
pemimpin, mereka sudah sangat berhati-hati
semesta secara keseluruhan. Akan tetapi,
memilih dan mengangkatnya. Sebab itu, mereka dalam setiap keluarga, menurut Mallinckrodt,
berpandangan bahwa pemimpin tersebut adalah keluarga-keluarga suku Dayak Ma’anyan
benar-benar seseorang yang dapat diandalkan. memiliki makhluk pelindung masing-masing,
Ketika telah dipilih dan diangkat, suku Dayak yaitu seperti dinyatakan berikut ini:
Ma’anyan mempunyai kepercayaan bahwa
pemimpin yang tidak baik akan cepat berlalu. Ada “Orang Ma’anyan memiliki santo pelindung
suatu kuasa lain yang akan mengontrol setiap keluarga yaitu Nanyu, yang pada awalnya adalah
pemimpin, menghukumnya kalau curang atau nenek moyang mereka, tetapi lama kelamaan
tidak adil, dan sebaliknya akan melindunginya ia menjadi semacam makhluk supernatural.....
jika berbuat baik.” (Widen, 1996: 128). Nenek moyang adalah pelindung pribadi, mereka
mengembangkan makhluk suci untuk keluarga
Menempatkan sumber kekuasaan berasal masing-masing dan bagaimana hal tersebut
dari kepercayaan kepada roh-roh leluhur nampaknya cara untuk memuja pahlawan sampai
(Nanyu) dan Tuhan, maka dalam pemikiran dengan Tuhan, dan tugas Tuhan adalah pemberi
kebahagiaan dan kesejahteraan” (Mallinckrodt
politik suku Dayak Ma’anyan, kekuasaan
dalam Miter, 2015: 13).
dipahami sebagai realitas adiduniawi, gaib
atau ilahi. Sumber kekuasaan dari Nanyu ini Paham kekuasaan seperti demikian
antara lain dimiliki Suta Ono selaku kepala oleh Franz Magnis-Suseno disebut legitimasi
suku Dayak Ma’anyan Paju Epat dan kepala religius. Dalam legitimasi religius dipahami
pemerintahan Landschaap Sihong (1850-1894). hakikat kekuasaan bersifat adiduniawi dan
Mallinckrodt menulis. adimanusiawi, berasal dari alam gaib atau
“Suta Ono adalah kepala suku Dayak Ma’anyan
termasuk Sang Ilahi. Manusia yang berkuasa
yang begitu termasyur. Pada waktu ia mengada­ bukan manusia biasa lagi melainkan ikut
kan perjalanan bersama Kumpeni ke Motallat, termasuk alam duniawi itu. Alam gaib itu maha
pada suatu malam ia tidur dan bertemu dalam penting bagi manusia, dan manusia langsung
mimpinya dengan dua orang perempuan hidup dari dan bersama dengan alam. Alam
yang memperkenalkan diri sebagai: Nanyu
Bukit Nandrueh (Nanyu dari Bukit Kembar).
semesta pun mempunyai segi lahir dan batin.
Mereka semalaman tinggal bersama dia, dan Di belakang alam yang kelihatan terdapat alam
mereka menganjurkan kepadanya supaya dalam gaib yang tidak kelihatan (dalam kepercayaan
keadaan-keadaan bahaya meminta pertolongan rakyat dipersonifikasikan dalam pelbagai
mereka, dan agar selalu menyediakan sesajen macam roh yang harus diperhitungkan dalam
bagi mereka. Suta Ono menjadi berkuasa dan
mulia, karena ada sang pelindung yang menjadi
segala tindak-tanduk manusia). Dalam hal ini
keramat keluarga. Suta Ono itu adalah pahlawan kekuasaan politik dibina dengan penguasa alam

51
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

gaib secara lahir dan batin melalui berbagai sebagai senjata pusaka tersebut berganti tangan
upacara seperti selamatan, sesajen, doa, dan atau berpindah tangan kepada pemimpin
sebagainya untuk menjalin hubungan baik berikutnya (Wawancara, Syahran A, 2017;
dengan kekuatan-kekuatan halus itu (Suseno: Mangkujati, 2003). Simbol tersebut dinyatakan
2003: 31-33). Kekuasaan dalam pandangan sebagai Pusaka atau Keagungan.
seperti ini bersumber dari kepercayaan dan Sementara di kalangan suku Dayak
agama (Budiardjo, 1998: 62). Ma’anyan Paju Epat desa Telang, yang
Secara tradisional bukanlah etis atau merupakan keturunan kepala suku Suta Ono,
tidaknya sebuah kekuasaan, melainkan dinyatakan bahwa mereka memiliki sebuah
kekuasaan dipahami sebagai partisipasi dari pedang, sejenis pedang mandau, sebagai
kekuatan alam gaib atau adikodrati, kekuasaan Pusaka atau Keagungan milik Suta Ono yang
itu berpartisipasi dalam kemutlakan haknya. diturunkan kepada keturunannya di masa
Legitimasi religius, yang menyandarkan kini. Salah satu keturunan Suta Ono yang
kekuasaan kepada kekuatan ilahiah dan roh mewarisi dan memegang pusaka tersebut ialah
leluhur dalam konsepsi pemikiran politik Gumarawan Pantie yang pernah menjabat Pj.
suku Dayak Ma’anyan paling tidak memuat Bupati Barito Timur tahun 2002-2003. Senjata itu
beberapa unsur penting untuk me­ lihat ke­ adalah simbol pusaka atau keagungan keluarga,
mampuan seorang penguasa atau pemimpin bagi yang memegang atau menyimpannya
men­jalan­kan kekuasaan­nya, yaitu kepan­ dipercaya kepadanyalah diturunkan anugerah
daian­nya, kepintaran­nya, kemam­puannya kekuasaan dan kepemimpinan.
men­jalin relasi dengan penguasa adikodrati, Dengan demikian, konsepsi pemikiran
kebijak­sanaannya, dan tidak menyimpang politik suku Dayak Ma’anyan mengenai
dari kaidah-kaidah atau aturan yang berlaku. kekuasaan, legitimasinya berkaitan dengan
Prasyarat tersebut melekat dalam legitimasi hal-hal yang religius, supranatural, ilahiah,
religius terhadap pemimpin atau penguasa bertumpu pada simbol-simbol kekuasaan
suku Dayak Ma’anyan di masa lalu seperti (pusaka atau keagungan) yang dianggap sakti
digambarkan di atas, yaitu Nini Punyut sebagai dan memiliki nilai kharisma di baliknya.
penerima aturan adat dari Tuhan dan Suta Ono Dalam berbagai konsep tersebut terkandung
yang memiliki Nanyu sebagai pelindung. adanya kewibawaan penguasa, rasa percaya
Dalam pemikiran politik suku Dayak diri, mengandung “pangiwuruh” (kharisma),
Ma’anyan dan ini pernah diimplementasi di dan dalam rangka menempatkan kekuasaan
masa lalu, kekuasaan yang adikodrati, ilahiah seorang penguasa sebagai pusat kekuasaan
dan religius kerapkali berhubungan dengan yang utama, menyeluruh, dan mulia.
hal-hal yang mistik atau supranatural, dan Keabsahan dan legitimasi kekuasaan
secara umum memerlukan suatu konsep dengan demikian melekat pada diri penguasa
simbol kekuasaan. Konsep simbol kekuasaan tatkala Pertama, penguasa mampu me­
tersebut sangat penting sebagai simbol kuasa nunjuk­ kan diri sebagai pemimpin yakni
seorang pemimpin dan sebagai legitimasi ada ketertundukkan rakyat padanya, hal
penyerahan atau pelimpahan kekuasaan. ini digambarkan oleh sosok Nini Punyut
Pada masyarakat suku Dayak Ma’anyan Paju yang mampu menerapkan aturan adat yang
Epat di desa Balawa dinyatakan ada sebuah diturunkan Tuhan untuk mewujudkan ke­
Bumbung Wilaruji, yakni sebagai simbol hidupan masyarakat suku Dayak Ma’anyan
pemegang kekuasaan di kalangan pemimpin pada masanya yang tenteram, aman, tertib, dan
suku Dayak Ma’anyan Paju Epat desa Balawa. teratur. Bahkan aturan adat tersebut diwarisi
Wilaruji tersebut dipegang turun-temurun dan tetap diimplementasi di masa kini oleh
sebagai pengikat garis keturunan dengan masyarakat suku Dayak Ma’anyan sebagai
leluhur, dan pemegangnya adalah sosok yang hukum adat. Satu di antara aturan adat tersebut
memegang kekuasaan adat dan politik formal yang diimplementasi dalam politik modern
di desa tersebut. Demikian seterusnya wilaruji masa kini adalah Dudus yaitu pengangkatan

52
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

pemimpin politik seperti bupati dan gubernur ketika menjadi Kepala Landschaap Sihong
secara adat dan pemberian gelar pemimpin tahun 1850-1894 di mana seperti dikatakan
suku. Kedua, pemerintahan yang dijalankan Mallinckrdot ia dilindungi Nanyu.
dapat membuat rakyat hidup makmur, hal ini Salah satu wujud pemikiran politik
digambarkan oleh sosok Raja Anyan selaku terkait kekuasaan seperti dijelaskan tersebut,
raja kerajaan Nan Sarunai di mana ia mampu yang masih diwarisi dan diimplementasi
membawa rakyat hidup makmur. Sorosilah dalam konteks politik modern masa kini oleh
Nan Sarunai menyatakan keadaan Nan Sarunai masyarakat suku Dayak Ma’anyan ialah Dudus,
pada masa kepemimpinan Raja Anyan, sebagai yaitu pengangkatan atau penobatan pemimpin
berikut: politik secara adat sekaligus pemberian
gelar pemimpin suku. Kepada Teras Narang
“Balai Janyar Suei Waruga Tingkat Walu, Balai Gubernur Kalteng dua periode (2005-2015),
Jatuh Kabalawang Riwu Katalaga Rampan Uri
Babinangulun Tihang Putaraja, Kawan Amas Zain Alkim Bupati Barito Timur dua periode
Bakakiwik, Lehung Gansa Alumingar, Malawen (2003-2013) dan Ampera A. Y. Mebas Bupati
Anak Unru Raja Wata Pea Wulan, Bukah Barito Timur saat ini (2013-2018) masyarakat
Panangkur Balai Dauh Marak Manta Wulung suku Dayak Ma’anyan melalui organisasi lokal
Sadai Bulan, Agung Devung, Agung Depak, Dusmala dan Dewan Adat Dayak kabupaten
Agung Desai, Agung Garinsingan, Ganning
Hannak Lala Hena Tipak Jaring Parei Nimang melantik dan menobatkan mereka menjadi
Kalungap Pinang Muda Palu Andri Tukal pemimpin suku dan memberi gelar Dambung
Banang, Sisik Anuh Lubar Kapas, lengan ni Panning Maleh. Tokoh Panning di masa lalu
ngaliere nanang Gunung Pangunraun, ngalikau adalah sosok revolusioner pasca “Sarunai Usak
ngasasifat watu ngampet malem”. Jawa” yang membawa mereka tetap bertahan
hidup dan eksis walaupun negeri mereka
(Terdapat Aula Besar Bersambung Sembilan Ber­ hancur akibat kalah perang.
tingkat Delapan, Aula Besar tempat Pertemuan Dalam pemikiran mereka, dalam politik
Raja, Emas Bertebaran, Lesung terbuat dari modern masa kini hendak diwujudkan
emas, banyak piring besar untuk tempat makan pemimpin ideal melalui peran adat sebagaimana
Raja sebersih cahaya bulan, Gong Besar, Gong
terbuat dari emas, kangkanong alat musik dan
mereka pernah memiliki pemimpin di masa
menari, gelang emas sebesar kumpalan padi, lalu dalam konteks kehidupan suku. Konsep
sebesar biji pinang muda, semuanya berasal dan hukum adat Dayak Ma’anyan menyatakan
berada di Gunung Pangunraun). penguasa atau pemimpin ideal adalah (1)
berasal dari garis keturunan “kasata amau”
Oleh karena kemakmuran itu, Nan atau “tutur amau” (golongan pemimpin);
Sarunai dikenang dan dimitoskan sebagai masa (2) memiliki gelar pemimpin (galar mantir);
keemasan dan kejayaan kehidupan masyarakat (3) menjalani proses dudus (dilantik atau
suku Dayak Ma’anyan karena kepemimpinan dinobatkan melalui upacara adat); dan (4)
Raja Anyan di Nan Sarunai dipandang sebagai melalui proses kawit-kinte (belajar peraturan
kekuasaan yang absah dan legitimate dan tetap adat dan kepemimpinan). Kalaupun tidak
dikenang hingga masa kini. Ketiga, penguasa dapat memiliki semua syarat tersebut, seorang
menjalankan kekuasaannya dengan kekuatan pemimpin ideal paling tidak memiliki salah
yang diperoleh dari kekuatan roh nenek satu saja. Syarat tersebut menggambarkan
moyang (Nanyu), yang dapat memberikannya keberadaan pemimpin di kalangan suku Dayak
mutu mental dan sikap budi yang baik, Ma’anyan adalah absolut, hanya orang tertentu
sekaligus sebagai pelindung dan penjaga diri yang dapat menjadi pemimpin. Sebaliknya
pemimpin dan warga suku. Pemimpin suku walaupun seseorang adalah keturunan
Dayak Ma’anyan di masa lalu yang menjalankan pemimpin, tetapi tidak memegang suatu
kekuasaan dengan menyandarkan kekuatan jabatan politik dalam masyarakat, ia tidak
dan kekuasaannya kepada Nanyu, dan sebab dapat menjalani proses Dudus.
itu ia memiliki keabsahan dan legimimasi
secara religius adalah kepala suku Suta Ono

53
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

Dalam pemikiran politik suku Dayak dan cerita mereka” (Liddle, 1997: 300). Dalam
Ma’anyan, pola hubungan penguasa dengan cerita tersebut antara lain diketahui pola
rakyat digambarkan dalam dua hubungan hubungan penguasa-rakyat tidak hanya
yaitu “putak amau” (golongan pemimpin) menggambarkan antara pihak penguasa
dengan “putak ime” (golongan rakyat) dan dengan pihak yang dikuasai, atau hubungan
sebagiannya adalah “putak walah” (golongan antara pihak yang tinggi dengan yang rendah,
budak), atau secara spesifik disebutkan relasi tetapi memperlihatkan saling ketergantungan
tutur mantir-ulun rama. Pola hubungan ini antara kedua pihak. Ketergantungan itu
muncul paska “Sarunai Usak Jawa” pada dinyatakan dalam konsep sumpah adat
abad 14 yaitu sebagai pengaruh Hindu yang pelantikan pemimpin(Dudus), yaitu seperti
dibawa oleh Majapahit. Sementara dalam berikut:
budaya politik Jawa, pola hubungan penguasa
dengan rakyat tergambarkan dalam konsep “Hang hadapan Tuhan Nguasa Alatala Ngabu­
riat Hiyang Piumung Jaya Pakuluwi, Tuah
kawula-gusti, yang memiliki ciri (1) dalam Hukat Tala Mana hang hadapan kawan pajabat
banyak aturan ada garis pemisah yang resmi Hi... (nama pemimpin yang disumpah) andri
dari hierarki sosial yang ada seperti tata cara tugas jari ..... (nama jabatannya), bila hanye
pemakaian busana, penggunaan bahasa (krama- puang babujur menunaikan tugas ni jari ......
inggil, krama, madya, dan ngoko), penggunaan (nama jabatannya) puang satia, puang jujur,
puang witu, atawa ipusu, atawa nipu, ngakal,
warna atau cara penghormatan; (2) adanya isa marugikan ulun rama, maka pamelumni
pemikiran tentang nasib, takdir, yang yalah habu galis samiding, ang uweng arati
dinyatakan dalam kata pinesti (ditentukan) dan lenuh yalah rangi”.
tinitah (ditakdirkan); (3) terdapat dua lapisan
utama masyarakat yaitu wong cilik (orang
(Di depan Tuhan Yang Maha Kuasa, Sumber
biasa) dan penggede (golongan penguasa); (4) Kuasa dari negeri asal mula manusia, yang
perolehan kekuatan tambahan melalui semadi berkuasa atas segala makhluk hidup, di depan
dan laku tapa; (5) tidak hanya menunjukkan semua pejabat .... (nama pemimpin yang di­
hubungan antara yang tinggi dengan yang sumpah) dengan tugas jabatan sebagai .....
rendah, tetapi lebih menunjukkan saling (nama jabatannya), kalau dia tidak betul-betul
menjalankan tugas dan jabatannya sebagai .......
ketergantungan yang erat antara dua unsur (nama jabatannya), tidak setia, tidak jujur, tidak
yang berbeda, tetapi tak terpisahkan, dua unsur lurus, atau berbohong, atau menipu, menye­
ini merupakan dua aspek dari hal yang sama, leweng atau apapun yang bersifat merugikan
penyatuan ini dilambangkan dalam wujud rakyat, maka kehidupannya seperti debu yang
keris yang merupakan senjata kebesaran di sirna terbang, dan hidupnya tidak ada artinya
hancur seperti garam). (Wada, 2003: 26-28).
mana baik sarung maupun mata keris diberikan
penafsiran yang sangat mistik; dan (6) sumber
Konsep tersebut menyatakan bahwa
informasi penting tentang hubungan kawula-
ulun rama (rakyat) sebagai objek kekuasaan
gusti adalah wayang (Moertono, 1985: 18-19).
merupa­ kan tujuan dan sasaran seorang pe­
Kalau pada masyarakat Jawa hubungan
mimpin menjalankan kekuasaan. Penguasa
antara raja dan rakyat diketahui melalui
harus menggunakan kekuasaannya untuk
informasi cerita wayang, maka pada masya­
sepenuhnya melayani rakyat, bukan untuk
rakat suku Dayak Ma’anyan diketahui melalui
kepentingan pribadi. Kedudukan pemimpin
cerita tentang kepemimpinan dalam Taliwakas
dalam pemikiran politik suku Dayak Ma’anyan
dan hukum adat Dayak Ma’anyan yang
dengan demikian sama seperti kedudukan
muncul dalam upacara-upacara adat. Hal ini
raja di Jawa, ditempatkan pada tampuk tata
terkonfirmasi seperti pandangan Liddle yang
masyarakat, dan jauh di atas jangkauan orang
mengatakan “kehidupan suku Dayak yang
biasa. Pada masa Kerajaan Mataram II di Jawa
sejati adalah kehidupan yang tersembunyi,
terdapat ikhtiar pemikiran tentang hubungan
yang tidak diungkapkan kepada orang lain,
raja dengan kawulanya tergolong ke dalam
dan hanya dapat diketahui melalui upacara
tiga konsep (1) Hubungan pribadi yang akrab

54
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

yang disertai oleh perasaan saling mengasihi adat, di mana misalnya sebuah upacara tidak
dan menghormati dianggap sebagai pola dapat dilaksanakan bila tanpa kehadiran
atau model baku dalam komunikasi sosial; pemimpin (Mantir) untuk memimpin upacara,
(2) Takdir menetapkan keunggulan manusia lalu dominasi berbicara sampai mengambil
dalam masyarakat apakah dilahirkan sebagai keputusan penting upacara juga dilakukan
abdi atau tuan. Akibatnya bahwa manusia oleh pemimpin. Sedangkan rakyat, meskipun
tidak punya pilihan lain kecuali melakukan banyak hadir dalam upacara dan ikut duduk di
kewajibannya seperti telah ditentukan oleh balai adat, sebagian besar tidak berbicara, hanya
takdir; dan (3) Penguasa (dan para pejabatnya) mendengar dan menyaksikan pembicaraan
dari segi kebijaksanaan pemerintahan praktis, pemimpin hingga melaksanakan keputusan
harus memperhatikan para warganya seperti upacara yang diputuskan pemimpin. Hal ini
seorang tua mengasuh anak-anaknya, dengan menggambarkan sebagai cara menghormati
demikian sang penguasa memiliki sikap dan menghargai kedudukan pemimpin serta
keunggulan (superioritas) yang melindungi, model baku komunikasi antara rakyat dengan
sedangkan yang diperintah memiliki sikap pemimpin.
pengabdian yang tulus (Moertono, 1985: 43). Dalam tradisi Jawa terdapat garis pe­
Ikhtiar tersebut relevan dan sejajar dengan misah resmi yang tegas dari hierarki sosial
pemikiran politik suku Dayak Ma’anyan, antara penguasa dan rakyat melalui tata cara
yaitu seperti diungkapkan dalam Taliwakas pemakaian busana, penggunaan bahasa, peng­
dan hukum adat sebagai berikut: Pertama, gunaan warna atau tata cara peng­hormatan,
ada ketergantungan rakyat kepada pemimpin sementara dalam konsepsi pemikiran politik
jika terjadi suatu masalah dalam kehidupan suku Dayak Ma’anyan sekarang garis pembeda
rakyat, sehingga pemimpin harus turun itu tidak ada. Pemakaian busana, bahasa dan
tangan menyelesaikan masalah tersebut. tutur kata, cara penghormatan, tempat duduk
Dalam artian, takdir selaku rakyat tidak dalam upacara adat, dan lain-lain sudah
dapat menyelesaikan masalahnya sendiri bercampur baur di antara dua kelas tersebut. Ini
sehingga harus pergi kepada pemimpin untuk karena strata sosial atau kelas sosial di dalam
menyelesaikannya seperti ada sengketa harta pemikiran politik suku Dayak sudah dihapus
warisan keluarga serta perselisihan antar di era masuknya program misi agama Kristen
keluarga atau sesama warga suku; Kedua, ada dan kolonial Belanda. Penghapusan ini terjadi
ketergantungan rakyat kepada pemimpin jika dalam program penebusan budak (Pandeling)
terjadi krisis kepemimpinan, yaitu jika dalam oleh pendeta-pendeta Kristen terhadap
suatu masa terjadi ketiadaan pemimpin dari kalangan rakyat yang dijadikan budak atau
kelas pemimpin, maka hukum adat mengatur pelayan pada masa kehidupan masyarakat
kelas rakyat dapat diangkat menjadi pemimpin suku. Selain itu, sistem strata kelas juga secara
melalui suatu upacara adat khusus yang umum dihapus dalam perjanjian damai
disebut “nindrik langka”, tetapi upacara ini antara para kepala suku Dayak di Tumbang
tetap tidak dapat mengangkat status kelas Anoi tahun 1894 (Usop, 1994). Kepala Suku
rakyat menjadi kelas pemimpin, pemimpin Dayak Ma’anyan yang hadir dalam perjanjian
tersebut tetap berstatus kelas rakyat, sampai damai tersebut adalah Suta Negara (kepala
pada masanya hadir pemimpin yang berasal Landschaap Sihong 1894-1920). Sejak saat
dari kelas pemimpin. Hal ini menandakan ada itu, pola relasi sosial masyarakat suku Dayak
keterpisahan antara pihak penguasa dengan secara umum dan juga suku Dayak Ma’anyan
pihak yang dikuasai, ada jarak di antara berangsur-angsur semakin egaliter hingga
keduanya, dan memperlihatkan keunggulan masa kini.
(superioritas) golongan pemimpin terhadap Akan tetapi, dalam beberapa kasus garis
golongan rakyat. Ketiga, hubungan pribadi pembeda tersebut masih tampak terlihat sampai
yang akrab antara rakyat dengan pemimpin beberapa waktu terakhir, Pertama, masyarakat
tergambarkan di dalam berbagai upacara kelas putak walah (budak) yang merupakan

55
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

bagian dari kelas rakyat (putak ime) memiliki sakitan, tidak cakap dalam memimpin dan
tugas khusus saat pelaksanaan upacara adat tidak lagi mampu secara fisik, maka rakyat
kematian Ijambe pada masyarakat suku Dayak melalui kepala desa memilih pemimpin baru.
Ma’anyan Paju Epat, di mana mereka menjadi Hal ini digambarkan saat penggantian Kepala
“panyigi ramai” (penjaga api obor), alat Suku Dayak Ma’anyan Kampung Sapuluh di
penerang upacara yang dipasang sepanjang Patai tahun 1857. C. Bangert menulis:
jalan dari balai adat ke lapangan tempat
pelaksanaan upacara (Ukur, 1974: 19). Aturan “Saya ditunjuk untuk pertama kalinya men­
jadi saksi terpilihnya seorang laki-laki yang
ini berlangsung sampai sekitar tahun 1960an berasal dari kampung kiri distrik Patai untuk
karena sejak saat itu aturan ini dihapus untuk menjadi  kepala kampong/suku Tamiang Laijang
alasan kemanusiaan dan persamaan hak dalam dan diberi gelar Tomonggong Djaija. Semua
masyarakat (Wawancara, Syahran A, 25 Maret kepala desa distrik Patai hadir dalam pemilihan
2017). Kedua, kelas “walah” tidak mempunyai tersebut. Tanggal 21 Mei 1857 kepala suku yang
baru diangkat dengan sumpah dan ketaatan
tambak (rumah suci tempat penyimpanan tulang dengan cara Daijak ke tangan saya. Dia berdiri
orang yang meninggal dunia). Saat meninggal di tempat terbuka, di dalam lingkaran pe­
dunia, setelah dilaksanakan upacara adat nonton, semua kepala desa distrik Patai duduk
kematian Ijambe, tulang mereka dimasukkan tempat barisan pertama. Kemudian mereka
ke dalam kosi (guci terbuat dari tanah liat). mengacungkan Mandau (pedang Daijak) ke
cakrawala, ia memohon kepada Dewa dan Hantu
Upacara kematian ini adalah upacara kematian bersaksi bahwa ia akan taat kepada pemerintah
terakhir dan tertinggi dalam tradisi suku dan keadilan untuk rakyatnya akan diberikan.
Dayak Ma’anyan untuk menghantar arwah Kemudian dia berjongkok. Selanjutnya Mandou
atau roh nenek moyang pergi ke surga beserta diletakkan di atas kepalanya, dan dia menyatakan
segenap harta kekayaannya. Sampai masa kini siap mati untuk keadilan, selanjutnya dia
berdiri. Kemudian datang kepadanya semua
tradisi ini masih dipertahankan dan masih kepala desa dan menyentuh dada dan tangan
ada pembedaan antara kelas pemimpin yang dengan lehernya, kemudian menyerahkan ayam
mempunyai tambak sendiri dengan kelas rakyat yang baru dibunuh, yang ada di tangan mereka
yang tidak mempunyai tambak. Ketiga, pada masing-masing. Hal ini dijelaskan kepada saya
masa pemerintahan kolonial Belanda keluarga untuk menjadi tanda bahwa para kepala desa
tunduk kepada perintahnya. Akhirnya beberapa
kelas pemimpin diberi kepercayaan menduduki wanita tua, mendekati Tomonggong yang baru
jabatan strategis dalam pemerintahan yaitu serta menaburinya dengan beras kuning. Dengan
kepala distrik (bupati) dan kepala onderdistrik ini upacara selesai.” (Bangert, 1860: 161-163).
(camat), sementara rakyat yang bukan kelas
pemimpin tidak bisa memegang jabatan ini. Di Para kepala suku semacam ini umumnya
daerah suku Dayak Ma’anyan di Kabupaten diangkat menjadi raja oleh komunitas dan
Barito Timur dikenal tokoh-tokoh pemimpin anggota sukunya, seperti pada suku Dayak
dari kelas elite tradisional yang menduduki lain di Kalimantan (King, 2013: 325-343). Di
jabatan penting pemerintahan kolonial yaitu kalangan suku Dayak Ma’anyan Paju Epat
Suta Ono sebagai Kepala Landschaap Sihong di masa kini, kepala adat juga dapat diganti
(1850-1894), Suta Negara (1894-1920), Raden atas usulan masyarakat kendati belum sampai
Badowo (1920-1942), dan Tamanggung Jaya selesai masa tugasnya karena alasan kesehatan,
(Djelan) sebagai Kepala Distrik Patai (1857- usia, dan faktor lain yang tidak memungkinkan
1875). menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi, bila
Dalam konteks hak rakyat dalam proses masyarakat masih menghendaki, maka kendati
kekuasaan adalah dimanifestasi dalam hak masa tugasnya sudah selesai kedudukannya
protes rakyat kepada pemimpin atau penguasa. dapat di­perpanjang sesuai kepentingan tugas­
Rakyat juga dapat mengajukan pandangan nya (Wawancara, Bhaterius, 2017). Demi­
kritis kepada pemimpin dan dapat menentukan ki­
an juga bila kebijakan-kebijakan yang
pemimpin mereka secara langsung. Kalau diambil kepala adat atau pemimpin politik
pemimpin dianggap sudah terlalu tua, sakit- di­
nilai merugikan rakyat, tidak berpihak

56
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

pada kepentingan rakyat, kebijakannya me­ menjadi lembaga perwakilan mereka secara
nyusahkan, hingga secara adat kebijakan itu tradisional menyuarakan berbagai kepen­
dinilai melanggar ketentuan adat, maka warga tingan mereka kepada pemimpin politik. di
atau rakyat bisa memprotesnya (Wawancara, Kabupaten Barito Timur, Damang Kepala Adat
Dalios, 2017). senior diposisikan sebagai penasehat bupati
Budaya politik suku Dayak Ma’anyan dalam struktur Dewan Adat Dayak. Sehingga
mengenal konsep Paut sebagai wujud hak lembaga adat ini menjadi semacam lembaga
rakyat dalam kekuasaan dan hingga kini masih perwakilan tradisional warga suku, sekaligus
relevan diimplementasi dalam politik modern. sebagai wadah bagi bupati menerima nasihat
Paut merupakan hak tidak menegur atau tidak dan pandangan kepada tokoh-tokoh adat saat
mau berbicara dengan pemimpin bahkan akan mengambil suatu kebijakan politik agar
tidak mau bertemu pemimpin. Hal ini dapat tidak keliru.
dilakukan rakyat karena pemimpin dinilai Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa
merugikan rakyat dan tidak ada niat dari yang memperlihatkan tuntutan haknya hanya
pemimpin untuk memperbaiki kesalahannya. berupa “himbauan” kepada pemerintah atau
Di masa kini di Kabupaten Barito Timur, ada raja dengan berjemur di tengah lapangan. Di
di antara warga suku Dayak Ma’anyan yang kalangan suku Dayak Ma’anyan, tuntutan hak
mempraktikkan budaya politik paut, dengan me­reka tidak sekadar himbauan, tetapi meminta
tidak mau berbicara atau menegur bahkan pemimpin atau penguasa “menyelesaikan­
untuk bertemu dengan bupati, yaitu karena nya” sampai tuntas antara pemimpin dengan
dinilai ada kebijakan bupati yang tidak sesuai rakyat dengan demikian menjalin relasi saling
dengan janji-janji politiknya. ketergantungan. Hubungan penguasa dengan
Dalam tradisi Jawa, terdapat dua cara rakyat dalam pemikiran politik suku Dayak
untuk menyampaikan suatu pandangan kritis Ma’anyan tidak sekadar hubungan antara
kepada pemimpin yaitu kepada Raja. Pertama, pimpinan dan bawahan, atau penguasa dengan
Raja meminta nasihat dari para pegawai pihak yang dikuasai, melainkan ada hubungan
tinggi kerajaan, dan Kedua, rakyat berjemur ketergantungan, hubungan saling memerlukan
merebahkan diri di alun-alun di depan dan hubungan yang dekat sebagaimana
kraton, dijemur oleh matahari, dan guyuran hubungan anak dan orang tua. Hubungan
air hujan untuk memohon perhatian raja atas tersebut dimanifestasi dalam berbagai wujud
penderitaan atau ketidakadilan yang mereka yang sudah ada dalam tradisi sejak lama,
derita. Kedua cara tersebut hanya sebatas diatur di dalam adat, dan di masa kini masih
himbauan dan tergantung keinsyafan Raja digunakan kendati dalam beberapa kasus saja.
sendiri mau menurutinya atau tidak (Suseno,
2003: 46). Terlepas dari cara pelaksanaannya SIMPULAN
dan bagaimana kemudian tindakan pemerintah Pertama, keabsahan atau legitimasi
atau raja terhadap tuntutan aspirasi itu, paling kekuasaan dalam pemikiran politik suku Dayak
tidak secara tradisional cara tersebut sebagai Ma’anyan terkait dengan hal-hal religius,
wujud pandangan mereka akan hak-hak ilahiah, dan bertumpu pada simbol kekuasaan
yang dimiliki rakyat untuk menyampaikan (pusaka atau keagungan). Di balik faktor tersebut
tuntutan dan apirasinya terhadap pelaksanaan terkandung adanya kewibawaan penguasa,
kekuasaan. percaya diri, “pangiwuruh” (kharisma), dan
Dalam tradisi suku Dayak Ma’anyan, dalam rangka menempatkan kekuasaan se­
budaya politik paut merupakan sebuah gerakan orang penguasa sebagai pusat kekuasaan yang
baik secara individu maupun kelompok untuk utama, menyeluruh, dan mulia. Legitimasi
menuntut hak selaku rakyat karena merasa tersebut oleh Franz Magnis Suseno disebut
dirugikan oleh kebijakan pemimpin. Selain legitimasi religius. Dalam konsepsi suku
paut, di masa kini mereka juga mendirikan Dayak Ma’anyan juga terdapat pemimpin
organisasi adat yaitu Dewan Adat Dayak untuk ideal yaitu (1) berasal dari garis keturunan

57
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

“kasata amau” atau “tutur amau” (golongan laku sehari-hari termasuk tingkah laku politik.
pemimpin); (2) memiliki gelar pemimpin (galar Kuatnya identitas etnik dalam politik juga
mantir); (3) menjalani proses dudus (dilantik terjadi pada suku bangsa Skotlandia dan Wales
atau dinobatkan melalui upacara adat); dan (4) di Inggris. Menurut Hechter (1979), mereka
melalui proses kawit-kinte (belajar peraturan menuntut perubahan dalam pengelolaan
adat dan kepemimpinan). Pemimpin ideal dan kehidupan politik yaitu pemisahan diri dari
memiliki legitimasi secara adat maupun politik negara induk UK (United Kingdom) yang
dalam kekuasaan adalah yang memenuhi diakibatkan berubahnya pandangan mereka
unsur-unsur atau paling tidak salah satu terhadap daerah dan negara induknya. Ke­
dari unsur tersebut. Di masa kini, pemikiran bijak­an yang diambil negara adalah memberi
tersebut mereka implementasi dalam politik kebebasan dalam ekspresi seni budaya sebagai
modern dengan mengangkat atau menobatkan identitas kebangsaan dan dapat membentuk
bupati dan gubernur menjadi pemimpin suku pemerintahan daerah yang memiliki kewe­
dan memberi gelar pemimpin suku yaitu nangan tertentu. Sementara pada masyarakat
melalui proses dudus. suku Dayak Ma’anyan, mereka tidak menuntut
Kedua, hubungan penguasa dengan pemisahan diri dari pemerintah pusat (Jakarta),
rakyat dalam pemikiran politik suku Dayak melainkan menuntut memberi kebebasan
Ma’anyan dikonsepsi dalam dua lapis struktur mengelola daerahnya sesuai adat mereka, dan
kekuasaan yaitu putak amau-putak ime, atau mereka mengangkat elite lokal menjadi patron
secara spesifik di dalam hukum adat Ma’anyan yang dapat memperjuangkan kepentingan
disebut istilah tutur mantir-ulun rama. Putak mereka secara lebih luas terutama di tingkat
amau atau tutur mantir adalah kelompok elite nasional.
yang memerintah secara politik maupun adat Secara praktis, hasil penelitian ini patut
dalam kehidupan suku, sedangkan putak dipertimbangkan untuk diimplementasi dalam
ime atau ulun rama adalah kelompok rakyat politik Indonesia masa depan di pusat maupun
sebagai pihak yang diperintah atau dikuasai. di daerah. Pertama, syarat pemimpin politik
Memang sekarang, hubungan tersebut sudah haruslah menguasai aturan yang berlaku
semakin hilang karena sudah dihapus oleh dalam masyarakat (sarjana hukum), melalui
misi zending Kristen dan pemerintah kolonial proses pembelajaran bidang kepemimpinan
Belanda dan masyarakat suku Dayak sudah dan kekuasaan (sarjana ilmu politik atau ilmu
semakin egaliter. Akan tetapi, dalam beberapa pemerintahan), adanya prinsip senioritas
kasus garis pembeda keduanya masih (tidak terlalu muda dan juga tidak terlalu tua,
nampak terlihat dalam upacara kematian ada pembatasan usia), dapat menciptakan
Ijambe di mana kelas rakyat tidak mempunyai kekayaan (kemakmuran) bagi rakyat, dan
“tambak” (rumah suci pemyimpanan tulang) tidak mempersoalkan kedudukan laki-laki
sendiri. Sedangkan kelas pemimpin dan dengan perempuan (gender). Kedua, ada hak
keluarga­nya mempunyai “tambak” tersendiri. rakyat dalam kekuasaan sebagai mekanisme
Saling ketergantungan pemimpin-rakyat di­ kontrol terhadap pemimpin melalui lembaga
konsepsikan bahwa rakyat sebagai tujuan perwakilan (dewan adat), rakyat dapat
implementasi kekuasaan. Sebaliknya pemimpin menuntut pemimpin mundur dari jabatannya
harus memberi kesejahteraan kepada rakyat, bila tidak mampu atau tercela (korupsi,
berlaku adil, dan menjunjung hak rakyat secara menyimpang dari norma), berhak tidak
mulia dan bijaksana. Ada hak-hak pemimpin di mau bertemu pemimpin (budaya paut) bila
dalamnya, dan ada pula hak-hak rakyat yang pemimpin berlaku tidak adil, dan berhak tidak
diekspresikan melalui budaya politik Paut. memilihnya lagi bila kepemimpinannya gagal
Ketiga, suku Dayak Ma’anyan adalah menciptakan kemakmuran bagi rakyat.
kelompok masyarakat suku di Indonesia yang
memiliki ikatan kultural dan identitas etnik Hasil Wawancara:
sangat kuat, yang mempengaruhi tingkah Bhaterius. 2017. Wawancara.

58
Kisno Hadi -- Legitimasi Kekuasaan dan Hubungan Penguasa-Rakyat
dalam Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan

Dalios. 2017. Wawancara. Agama Hindu Kaharingan”. Tesis,


Dandan, K. A. 2017. Wawancara. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi
Ngepek, A. 2014. Wawancara. Jakarta.
Suban, K. 2017. Wawancara. King, V. T. 2013. Kalimantan Tempoe Doeloe.
Syahran. 2017. Wawancara. Depok: Komunitas Bambu.
Udir, R. 2017. Wawancara.
Usop, KMA. M. 2014. Wawancara. Klinken, Gerry van. 2010. “Kembalinya
Para Sultan: Pentas Gerakan Komu­
nitarian Dalam Politik Lokal”, dalam
DAFTAR PUSTAKA Jamie S. Davidson dkk. (Peny.). Adat
Agun, A, dkk. 2016. Kiaen Wadian Hintek Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Buku
Ijambe (Perjalanan Wadian Saat Obor dan KITLV-Jakarta.
Upacara Ijambe). Siong: Naskah tidak
Koentjaraningrat. 1984. “Kepemimpinan
diterbitkan.
dan Kekuasaan: Tradisional, Masa
Alkim, Z. 2004. Meniti Buih dari Magantis ke Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam
Tamiang Layang. Tamiang Layang: Miriam Budiardjo (Peny.). Aneka
Pemda Barito Timur. Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa.
Bae, S. U., G. B. Djanang, dan Martinus. 1995. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
“Sejarah Suku Dayak Ma’anyan, Kusumohamidjojo, B. 2014. Filsafat Politik dan
Banjar dan Merina di Madagaskar”. Kotak Pandora Abad 21. Yogyakarta:
Hasil Penelitian. Jakarta: Museum Jalasutra.
Nasional RI. Naskah tidak diterbitkan.
Liddle, R. W. 1997. Islam, Politik dan Moderni­
Banggert, C. 1860. Verslag Der Reis In De sasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Binnenwaarts Gelegene Streken Van
Magenda, B. D. 2010. East Kalimantan, The
Doessoen Ilir. (Indische Taal Land
Decline of a Commercial Aristocracy.
Volkenkunde IX), hal. 161-163.
Singapore: Equinox Publishing.
Borneo Institut. 2013. “Hapakat Manggatang
Magnis-Suseno, F. 2003. Etika Politik: Prinsip-
Utus, Dari Kalimantan Tengah Mencari
Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Identitas”. Palangka Raya: Borneo
Modern. Jakarta: PT. Gramedia.
Institut.
Mallinckrodt, J. 1974. Gerakan Nyuli Di
Budiardjo, M. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Kalangan Suku Dayak Lawangan.
Jakarta: PT. Gramedia.
Jakarta: Penerbit Bhratara.
Gentong, D. dan S. Dusau. 2004. “Hukum Adat
Mangkujati, A. 2003. “Wadian Perempuan:
Dayak Ma’anyan”. Buntok: Peme­
Mencari Identitas Dayak Ma’anyan
rintah Kabupaten Barito Selatan.
(Masa Kini)”, dalam Budi Susanto,
Naskah tidak diterbitkan.
SJ (Ed.). Politik dan Postkolonialitas di
Goethals, P. R. 2007. “Rarak: A Swidden Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Village of West Sumbawa”, dalam
Mattulada. 1985. Latoa, Satu Lukisan Analisis
Koentjaraningrat (Ed.)., Villages in
Terhadap Antropologi Politik Orang
Indonesia. Jakarta-Kuala Lumpur:
Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada
Equinox Publishing.
University Press.
Hechter, M. dan L. Margaret. 1979. “The
Miter, H. S. 2015. Amirue dan Roh Kudus:
Comparative Analysis of Ethno-
Sejarah Perjumpaan Ulun Ma’anyan
regional Movements”. Ethnic and
dengan Kekristenan. Sendawar,
Racial Studies. 2 (3).
Kutai Barat: YRSKLR dan Araska
Keloso. 1999. “Kemungkinan-Kemungkinan Publisher.
Kristologi Dalam Konteks Budaya

59
Kawistara, Vol. 8, No. 1, 22 April 2018: 46-60

Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina- Taliwakas Ma’anyan (cerita tentang kepe­
Negara di Jawa Masa Lampau: Studi mim­pinan suku Ma’anyan). Tanpa
Tentang Masa Mataram II, Abad XVI tahun. Naskah tidak diterbitkan.
sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Ukur, F. 1974. “Ijambe, Upacara Pembakaran
Indonesia. Tulang di Kalangan Suku Dayak
Nordholt, H. S. 2007. “Bali: Sebuah Benteng Ma’anyan di Kalimantan Tengah”,
Terbuka”, dalam Henk Schulte Majalah Paninjau, Lembaga Penelitian
Nordholt dan Gerry van Klinken dan Studi Dewan Gereja-gereja di
(Ed.). Politik Lokal di Indonesia. Indonesia (DGI), Tahun I Nomor 1,
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan 1974, hal. 3-46.
Obor. Usop, KMA. M. dkk. 1978. “Sejarah Daerah
Noer, D. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Kalimantan Tengah: Proyek Pene­
Jakarta: CV. Rajawali. litian dan Pencatatan Kebudaya­ an
Pasande, D. 2011. “Politik Nasional dan Daerah”. Hasil Penelitian, Palangka
Penguasa Lokal di Tana Toraja”, Raya: Departemen Pendidikan dan
dalam dalam Sita van Bemmelen Kebudayaan Republik Indonesia dan
dan Remco Raben (Peny.). Antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Daerah dan Negara, Indonesia Tahun Provinsi Kalimantan Tengah.
1950an. Jakarta: Yayasan Obor dan Usop. KMA. M. 1994. Rapat Damai Tumbang
KITLV-Jakarta. Anoi 1894. Palangka Raya: Setdaprov
Pilakoanu, R. T. 2010. “Agama Sebagai Iden­ Kalteng.
titas Sosial: Studi Sosiologi Agama Waren, C. 2010. “Adat dalam Praktik dan
Terhadap Komunitas Ma’anyan”. Wacana Orang Bali: Memposi­
Disertasi, Salatiga: Kajian Sosio­ sikan Prinsip Kewargaan dan
logi Agama, Program Pasca­ sarjana Kesejahteraan Bersama (Common­
Sosiologi Agama Universitas Kristen weal)”, dalam Jamie S. Davidson,
Satya Wacana, David Hanley, Sandra Moniaga
Somantri, G. R. 2005. “Memahami Metode (Pany.)., Adat Dalam Politik Indonesia.
Kualitatif”. Jurnal Sosial Humaniora Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan
“Makara”.9 (2): 64. Obor.
Sorosilah Nan Sarunai (riwayat kerajaan Nan Wada, M. 2003 “Adat, Hukum Adat dan Budaya
Sarunai). Naskah tidak diterbitkan. Dayak Ma’anyan Paju Sapuluh”.
Tanpa tahun. Tamiang Layang, Naskah tidak
diterbit­kan.
Suyanto, I. 2002. “Faham Kekuasaan Jawa:
Pandangan Elit Kraton Surakarta Widen, N . 1995. “Orang Ma’anyan: Diper­
dan Yogyakarta”. Disertasi, Depok: satu­kan oleh Darah”, dalam Darius
Bidang Studi Ilmu Politik, Program Dubut, dkk (Peny.). Kurban yang
Pascasarjana, FISIP, Universitas Berbau Harum. Jakarta: Balitbang PGI
Indonesia. dan Majelis Sinode GKE.

60

You might also like