Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT FERMENTASI DALAM

RANSUM SAPI PERAH BERBASIS CAMPURAN JERAMI PADI DAN


DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING DAN
BAHAN ORGANIK (IN VITRO)

THE EFFECT OF FERMENTED CONCENTRATE IN DAIRY CATTLE


RATIONS BASED OF RICE STRAW AND KALIANDRA
LEAF (Calliandra calothyrsus) TO DRY AND
ORGANIC MATTER DIGESTIBILITY
(IN VITRO)

Lydia I. H.*, I. Hernaman** dan U. Hidayat Tanuwiria**


* Alumni Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
** Staff Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
*Email : hana_irlanda@yahoo.com

Abstract
The aim of this research is to find out the effect of fermented concentrate in dairy
cattle’s ration based of rice straw and kaliandra leaf (Calliandra calothyrsus) to dry and
organic matter digestibility (in vitro). This research used complete randomized design
(CRD) as the experimental method with four treatments each replicated five times. The
treatments were R0 = (39% rice straw + 21% kaliandra + 40% fermented concentrate),
R1 = (39% rice straw + 21% kaliandra + 40% fermented concentrate), R2 = (44% rice
straw + 21% kaliandra + 35% fermented concentrate), dan R3 = (49% rice straw + 21%
kaliandra + 30% fermented concentrate). The data was analyzed by ANOVA and
Duncan’s multiple range test. The results suggested that the use of fermented
concentrate in ration were significantly (P<0,05) affected the digestibility of dry and
organic matter. The highest value of dry and organic matter digestibility was use of 40
percent of fermented concentrate (63,72% and 57,12%). Based on these results, it can
be concluded that the use of fermented concentrate as much as 40% in dairy cattle
rations based of rice straw and kaliandra leaf was the highest value of dry and organic
matter digestibility.
Keywords : Fermented concentrate, ration dairy cattle, dry matter digestibility,
organic matter digestibility.

Pendahuluan
Salah satu masalah peternak pada saat musim kemarau adalah sulitnya
memperoleh hijauan yang biasa digunakan. Hal ini yang menjadi peluang untuk limbah
pertanian, salah satunya jerami padi untuk dijadikan sumber serat. Selain itu
penggunaan daun kaliandra dapat sebagai sumber protein. Kandungan nutrien dalam
jerami padi umumnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok saja. Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan produksi diperlukan pakan tambahan berupa
daun kaliandra dan konsentrat.
Bahan penyusun konsentrat kerap kali sulit tersedia terutama bahan baku
konvensional. Upaya untuk mengatasi hal tersebut, peternak atau pabrik memanfaatkan
bahan pakan alternatif penyusun konsentrat yang berasal dari produk makanan afkir dan
bahan pangan kadaluarsa. Bahan-bahan tersebut apabila disimpan terlalu lama ditempat
yang lembab dan kotor akan menyebabkan bau tengik dan bisa menjadi tempat
berkembangnya jamur beracun (mikotoksin). Oleh karena itu, untuk mengurangi
terkontaminasinya bahan oleh mikotoksin, dilakukan pengolahan konsentrat dengan
cara fermentasi. Teknik fermentasi selain dapat menghambat pertumbuhan mikroba
patogen juga dapat meningkatkan kualitas nutrien konsentrat serta berpengaruh terhadap
daya cerna pakan. Mikroorganisme yang digunakan dalam fermentasi konsentrat ini
antara lain adalah Effective Microorganism-4 (EM-4) dan Saccharomyces cerevisiae.
Upaya dilakukannya fermentasi konsentrat oleh EM-4 dan S. cerevisiae akan
menekan pertumbuhan mikroba patogen. Selain itu, kualitas nutrien konsentrat
terutama serat kasar menjadi lebih mudah dicerna, sehingga memberikan pasokan
nutrien yang cukup bagi mikroba rumen. Akibatnya, mempercepat pertumbuhan
mikroba rumen dan pada gilirannya mampu meningkatkan kecernaan bahan pakan atau
ransum.
Kecernaan adalah persentase pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan
yang dapat diserap tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses.
Kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan, dan fraksi pakan berserat
berpengaruh besar pada kecernaan (Mc Donald, dkk., 1995).
Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah nutrien yang diserap
oleh tubuh. Melalui analisis, jumlah bahan kering dalam ransum maupun dalam feses
dapat diketahui selisihnya yang merupakan jumlah bahan kering yang dapat dicerna.
Semakin sedikit jumlah bahan kering yang terdapat dalam feses maka semakin tinggi
kecernaan bahan kering dalam suatu bahan pakan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
zat-zat makanan yang dapat diserap oleh tubuh (Tilman, dkk.,1998).
Bahan organik merupakan sumber energi untuk fungsi tubuh dan produksi.
Pengukuran kecernaan bahan organik di pasca rumen meliputi kecernaan zat-zat
makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin (Gatenby, 1986). Kecernaan
bahan kering dan bahan organik dapat dijadikan indikator tingkat kemudahan bahan
kering dan bahan organik pakan atau ransum didegradasi oleh mikroba rumen dan
dicerna oleh enzim pencernaan di pasca rumen (Tanuwiria, dkk., 2005).

Metode
Materi Penelitian
Bahan yang digunakan terdiri atas jerami padi berasal dari Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) berasal dari Banjaran,
Kabupaten Bandung, konsentrat berasal dari daerah Bayongbong, Garut. Konsentrat
terdiri atas campuran mie kering afkir, terigu kadaluarsa, dedak, molases, limbah tepung
beras, onggok, kulit kopi, urea, kedelai, ampas kecap, bungkil kacang tanah afkir,
mineral, tf premix. Konsentrat fermentasi merupakan konsentrat tersebut di atas yang
telah difermentasi selama 3 hari oleh Effective Microorganism-4 (EM-4) dan
Saccharomyces cerevisiae.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
empat perlakuan dengan lima ulangan. Ransum perlakuan adalah sebagai berikut yang
disusun berdasarkan 100 persen bahan kering.
Perlakuan :
R0 = 39% Jerami + 21% Daun Kaliandra + 40% Konsentrat.
R1 = 39% Jerami + 21% Daun Kaliandra + 40% Konsentrat Fermentasi.
R2 = 44% Jerami + 21% Daun Kaliandra + 35% Konsentrat Fermentasi.
R3 = 49% Jerami + 21% Daun Kaliandra + 30% Konsentrat Fermentasi.

Peubah yang diamati adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan
menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis statistik dengan Analisis Ragam dan uji jarak berganda Duncan.
Tabel 1. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Percobaan
Kandungan
No. Bahan Pakan
BK Abu PK LK SK BETN* TDN
-------------------------------- % ------------------------------
1 Jerami Padi 36,88 19,75 4,20 1,05 33,91 41,09 51,05a

2 Daun 92,76 6,24 26,22 2,33 19,99 45,22 65,95b


kaliandra
3 Konsentrat 68,69 12,77 12,27 7,02 20,30 47,64 70,16a

4 Konsentrat 69,26 14,32 14,47 7,88 17,01 46,32 73,97c


fermentasi
Sumber : Hasil Analisis Kimia di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (2014).
* Dihitung dengan rumus BETN (%) = 100% – %PK-%LK-%SK-%Abu
(AOAC, 1980)
a Dihitung dengan rumus % TDN = 70,60 + 0,259 %PK + 1,01 %LK-0,76
%SK + 0,0991 % BETN (Sutardi, 2001).
b Dihitung dengan rumus % TDN = 3,17 + 0,64 %PK + 2,08 %LK-0,0675
%SK + 0,940 %BETN (Sutardi, 2001)
c Dihitung dengan rumus % TDN = 2,79 + 1,17 %PK + 1,74 %LK- 0,295 %
SK + 0,810 % BETN (Sutardi, 2001)

Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Percobaan


Perlakuan
No Kandungan Nutrien
R0 R1 R2 R3
---------------- % ------------------
1 Bahan Kering 61,34 61,57 59,95 58,33
2 Abu 14,83 14,43 15,28 15,82
3 Protein Kasar 12,04 12,67 12,58 12,14
4 Lemak Kasar 4,7 5,41 4,51 3,61
5 Serat Kasar 21,47 20,41 21,61 22,13

6 Bahan Ekstrak Tanpa 46,96 47,08 46,02 46,3


Nitrogen*
7 Total Digestible Nutrient** 66,8 68,5 66,55 65,16

Sumber : Hasil Analisis Kimia di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (2014).
* Dihitung dengan rumus BETN (%) = 100% – %PK-%LK-%SK-%Abu
(AOAC, 1980)
** Dihitung dengan rumus % TDN = 70,60+0,259 PK+1,01 LK-0,76
SK+0,0991BETN (Sutardi, 2001).
Hasil Dan Pembahasan
Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

Bahan kering suatu bahan pakan terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, vitamin,

dan mineral (abu). Bahan kering pakan merupakan selisih antara 100 bahan segar

dengan kadar air (Tillman, dkk., 1998). Kecernaan bahan kering ransum seringkali

digunakan untuk menentukan kualitas dari ransum yang diberikan. Semakin tinggi

kecernaannya, semakin tinggi kualitasnya. Hasil penelitian mengenai kecernaan bahan

kering ransum disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3, kecernaan bahan kering ransum bervariasi pada tiap

perlakuan. Perlakuan R1 menghasilkan nilai KcBK ransum tertinggi yaitu 63,72 persen,

diikuti R2 = 56,26 persen, R0 = 53,53 persen, sedangkan nilai KcBK ransum paling

rendah pada perlakuan R3 = 51,93 persen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

penggunaan konsentrat fermentasi berpengaruh (P<0,05) terhadap nilai KcBK ransum.

Hasil penelitian ini memiliki nilai KcBK ransum yang lebih tinggi dibandingkan

dengan penelitian Raharjo, dkk. (2013) yang melaporkan daya cerna bahan kering

ransum sapi yang diberi imbangan rumput lapangan dan konsentrat (70:30, 50:50, dan

30:70) menghasilkan nilai KcBK 46,07; 47,60; 50,50 persen. Kisaran normal nilai

KcBK adalah 50,7-59,7 persen (Schneider dan Flatt, 1975). Guna mengetahui

perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan yang tersaji pada Tabel

4.
Tabel 3. Rataan Kecernaan Bahan Kering (KcBK) Ransum pada tiap Perlakuan
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
------------------------------------ % ---------------------------------
1 53,81 62,75 56,72 53,06
2 53,67 65,36 54,86 51,36
3 52,87 62,65 56,11 50,38
4 53,54 62,63 57,10 52,67
5 53,76 65,19 56,53 51,72
Rata-rata 53,53 63,72 56,26 51,93

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan, nilai rataan KcBK masing-masing

perlakuan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan R1 menghasilkan kecernaan

bahan kering ransum yang paling tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan yang

lain, sedangkan kecernaan bahan kering ransum yang paling rendah diperoleh pada

perlakuan R3.

Hampir semua perlakuan yang mengandung konsentrat fermentasi menghasilkan

kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat yang tidak difermentasi.

Hal ini diduga, terkait dengan kualitas konsentrat fermentasi yang lebih tinggi-

Tabel 4. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap


Kecernaan Bahan Kering Ransum

Perlakuan Rataan (%)


R3 51,93a
R0 53,53b
R2 56,26c
R1 63,72d
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukan pengaruh perlakuan berbeda nyata
(P<0,05) terhadap KcBK ransum.
dibandingkan sebelum difermentasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang

menunjukkan bahwa konsentrat fermentasi memiliki protein yang lebih tinggi disertai

dengan serat kasar yang rendah. Disamping itu produk hasil fermentasi umumnya

memiliki senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah didegradasi dan dimanfaatkan

oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan.

Dugaan lainnya adalah adanya peran Saccharomyces cerevisiae yang digunakan

dalam proses fermentasi konsentrat. Saccharomyces cerevisiae mampu mengikat

oksigen yang ada di dalam rumen, sehingga akan menciptakan suasana yang lebih

anaerob di dalam rumen (Wina, 2005). Pada suasana yang lebih anaerob, pertumbuhan

mikroba terutama bakteri selulolitik meningkat, sehingga berpengaruh terhadap tingkat

degradabilitas serat kasar ransum dan pada gilirannya meningkatkan kecernaan bahan

kering ransum. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Umiyasih dan

Anggraeni (2009), bahwa fermentasi ampas pati aren dengan S. cerevisiae mampu

meningkatkan kecernaan bahan kering.

Kecernaan bahan kering pada R1 lebih tinggi dibandingkan dengan R2, dan R3,

meskipun sama-sama mengandung konsentrat fermentasi. Hal ini karena proporsi

penggunaan konsentrat fermentasi R1 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang


lainnya. Konsentrat fermentasi memiliki kecernaan lebih tinggi dibandingkan

konsentrat yang tidak difermentasi. Hal ini memperkuat pernyataan Lubis, dkk. (2002),

bahwa penggunaan produk fermentasi akan meningkatkan kecernaan bahan kering

ransum.

Sementara itu, perlakuan R3 memiliki kecernaan bahan kering lebih rendah

dibandingkan dengan R0 meskipun R3 adalah ransum yang mengandung konsentrat hasil

fermentasi. Ini karena proporsi konsentrat pada R3 jauh lebih rendah dibandingkan

dengan R0 (30 vs 40 persen). Proporsi konsentrat fermentasi yang lebih rendah dalam

ransum menyebabkan jumlah yang dicerna juga akan lebih rendah.


Selain itu proporsi jerami padi pada perlakuan R3 lebih tinggi dibandingkan pada

perlakuan R0 (49 vs 39 persen), sehingga menyebabkan daya cerna turun. Hasil ini

sesuai dengan pernyataan Hernaman, dkk. (2007) bahwa tingkat proporsi bahan pakan

mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering. Kecernaan bahan kering ransum

mencerminkan banyaknya bahan kering ransum yang dapat dicerna oleh pasca rumen.

Makin tinggi nilai kecernaan bahan kering ransum makin tinggi potensi nutrien yang

terkandung di dalam ransum. Nilai kecernaan bahan kering sering dijadikan tolak ukur

kualitas ransum.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik


Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena
sebagian bahan kering adalah bahan organik yang terdiri atas protein kasar, lemak kasar,
serat kasar dan BETN. Nilai kecernaan bahan organik ransum dari masing-masing
perlakuan disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 menghasilkan nilai
kecernaan bahan organik ransum paling tinggi yaitu 57,12 persen, kemudian diikuti R2
= 48,12 persen, R0 = 43,96 persen, dan R3 = 41,34 persen. Hasil penelitian tersebut-

Tabel 5. Rataan Kecernaan Bahan Organik (KcBO) Ransum pada tiap Perlakuan
Perlakuan
Ulangan
R0 R1 R2 R3
------------------------------------ % ---------------------------------
1 44,37 56,80 47,65 41,53
2 44,45 57,94 49,11 40,34
3 43,52 57,38 46,88 41,87
4 43,10 56,35 48,83 41,15
5 44,37 57,15 48,10 41,80
Rata-rata 43,96 57,12 48,12 41,34
lebih tinggi dari nilai KcBO ransum sapi yang dilaporkan Raharjo, dkk. (2013), yakni

berkisar 49,45-52,79 persen.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat fermentasi

berpengaruh (P<0,05) terhadap nilai kecernaan bahan organik ransum. Perbedaan

pengaruh antar perlakuan diketahui dengan uji jarak berganda Duncan yang tersaji pada

Tabel 6.

Kecernaan bahan organik memiliki pola yang sama dengan kecernaan bahan

kering. f Nilai tertinggi pada kecernaan bahan organik ransum diperoleh pada perlakuan

R1, yaitu ransum yang mengandung 40 persen konsentrat fermentasi dan kecernaan

bahan organik ransum rendah diperoleh pada perlakuan R3.

Hasil ini sesuai dengan pernyataan Tillman, dkk. (1998) bahwa peningkatan

kecernaan bahan kering dapat menyebabkan peningkatan kecernaan bahan organik.

Hampir semua perlakuan konsentrat fermentasi memiliki kecernaan bahan organik

ransum lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 40 persen konsentrat tanpa

fermentasi (R0), kecuali pada perlakuan R3 yang memiliki kandungan konsentrat

fermentasi yang paling rendah (30 persen).

Sama halnya dengan kecernaan bahan kering ransum, kecernaan bahan organik
ransum yang lebih tinggi ada pada perlakuan konsentrat fermentasi, khususnya pada R1

dan R2 dibandingkan dengan R0 (40 persen konsentrat tanpa fermentasi). Hal ini karena

konsentrat fermentasi memiliki kandungan bahan organik yang mudah dicerna

dibandingkan dengan konsentrat tanpa fermentasi. Hasil ini memperkuat pernyataan

Winarno, dkk. (1980) bahwa kandungan serat kasar media fermentasi akan mengalami

perubahan yang disebabkan oleh perubahan enzim tertentu terhadap bahan-bahan yang

tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana.
Tabel 6. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap
Kecernaan Bahan Organik Ransum

Perlakuan Rataan (%)


R3 41,34a
R0 43,96b
R2 48,12c
R1 57,12d
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata
(P<0,05) terhadap KcBO ransum

Selain itu, dugaan karena adanya pengaruh kitin yang berasal dari dinding sel

jamur (miselia) yang tumbuh pada konsentrat fermentasi. Jamur menggunakan

sebagian nutrien dari konsentrat untuk menyokong pertumbuhannya. Selanjutnya,

jamur berkembangbiak membentuk spora yang akan menyelimuti sebagian partikel

konsentrat. Hal ini memungkinkan terjadinya ikatan antara kitin pembentuk dinding sel

jamur dengan protein dalam konsentrat, sehingga menyebabkan protein sulit dirombak

oleh mikroba rumen.

Zat kitin di alam umumnya tidak dalam keadaan bebas, namun berikatan dengan

protein dan mineral (Austin, 1988). Hal ini menyebabkan kandungan bahan organik

terutama protein dalam konsentrat fermentasi tahan terhadap degradasi mikroba dalam

rumen, tetapi mampu dicerna secara enzimatis di pasca rumen, karena kitin hanya dapat

larut dalam asam mineral pekat seperti HCl (Savitri, dkk., 2010). Hal ini akan

berdampak pada tingginya kecernaan bahan organik ransum.

Kecernaan bahan organik ransum pada perlakuan R1 lebih tinggi dari perlakuan

lainnya. Hal ini diduga karena proporsi konsentrat fermentasi pada perlakuan R1 lebih

tinggi (40 persen), sehingga jumlah bahan organik yang mudah dicerna lebih banyak.

Nilai kecernaan bahan organik ransum R3 lebih rendah dari R0. Hasil ini memiliki pola

yang sama dengan nilai KcBK ransum. Hal ini karena proporsi penggunaan konsentrat
pada perlakuan R3 lebih rendah (30 persen) dibandingkan pada R0. Proporsi

penggunaan jerami padi pada perlakuan R3 lebih tinggi (49 persen) dari perlakuan R0

(39 persen), sehingga menyebabkan nilai kecernaan bahan organik lebih rendah.

Konsentrat fermentasi terbukti memiliki kecernaan yang lebih tinggi daripada

konsentrat tanpa fermentasi. Pentingnya penggunaan konsentrat di dalam ransum

adalah untuk memenuhi asupan nutrien bagi ternak. Konsentrat fermentasi memiliki

nutrien yang mudah dicerna daripada konsentrat tanpa fermentasi, karena senyawa

nutrien di dalam konsentrat fermentasi telah mengalami penyederhanaan. Konsentrat

fermentasi dapat dijadikan protein by-pass, karena lebih tahan dari degradasi mikroba

rumen, tetapi mampu dicerna secara enzimatis di pasca rumen sehingga pada gilirannya

akan lebih mudah diserap di usus halus. Selain itu, konsentrat fermentasi memiliki

aroma yang wangi yang bertahan kurang lebih satu minggu, serta lebih tahan lama

(awet) dibandingkan konsentrat tanpa fermentasi.

Kesimpulan
(1) Penggunaan konsentrat fermentasi dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi
dan daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) berpengaruh (P<0,05) terhadap
nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum.
(2) Pemberian konsentrat fermentasi sebanyak 40 persen dalam ransum sapi perah
berbasis jerami padi dan daun kaliandra menghasilkan kecernaan bahan kering
dan bahan organik paling tinggi.

Daftar Pustaka
AOAC, 1980. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical
Chemist. Washington DC. USA.

Austin, P.R. 1988. Chitin Solution and Purification of Chitin. Dalam W.A. Wood and
S.T. Kellog. Biomass. Academic Press Inc., New York.

Gatenby, R.M. 1986. Sheep Production in the Tropics and Sub Tropics. Edisi ke-1.
Longman inc., New York.
Hernaman, I., Atun, B., dan Ayuningsih, B. 2007. Pengaruh Penundaan Pemberian
Ampas Tahu pada Domba yang diberi Rumput Raja terhadap Konsumsi dan
Kecernaan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor. hal 9.

Lubis, D., E. Wina, B. Haryanto and T. Suhargiatatmo. 2002. Effectiveness of


Aspergillus Oryzae Fermentation Culture to Improve Digestion of Fibrous
Feeds : In Vitro. JITV 7(2) : 90-98 .

McDonald, P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh and C.A. Morgan. 1995. Animal
nutrition.

Raharjo, A.T.W., Wardhana, S. dan Titin, W. 2013. Pengaruh Imbangan Rumput


Lapang-Konsentrat terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Secara In Vitro. Jurnal Ilmu Peternakan 1(3): 796-803.

Savitri, E., N. Soeseno., dan T. Adiarto. 2010. Sintesis Kitosan, Poli(2-amino-2-


deoksi—D-glukosa), Skala Pilot Project dari Limbah Kulit Udang sebagai
Bahan Baku Alternatif Pembuatan Biopolimer. Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia. Yogyakarta.

Schneider, B.H. and W.P. Flatt. 1975. The Evaluations of Feeds through Digestibility
Experiment. The University of Georgia Press, New York.

Sutardi, T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah melalui Penggunaan Ransum


Berbasis Limbah Perkebunan dan Suplemen Mineral Organik. Laporan Akhir
RUT VIII. 1 IPB. Bogor.

Tanuwiria, U.H. 2005. Fermentabilitas dan Kecernaan Ransum Lengkap Sapi Perah
Berbasis Jerami Padi dan Pucuk Tebu Teramoniasi (In Vitro). J Ilmu Ternak.
Vol 5(2) : 64-69.

Tilley, J.M.A. and Terry, R.A. 1963. A Two Stage Technique for the In Vitro Digestion
of Forage Crops. J. Br. Grssld Soc. 18: 104 –111.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.


Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Umiyasih, U. dan Y.N. Anggraeny. 2009. Pengaruh Fermentasi Saccaromyces


cerevisiae terhadap Kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Pati Aren
(Arenga pinnata MERR.). Sem. Nas. Peternakan dan Veteriner. 243-245.

Wina, E. 2005. Teknologi Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Pakan Untuk


Meningkatkan Produktivitas Ternak Ruminansia Di Indonesia : Sebuah Review.
Wartazoa Vol 15. No 4. Balitnak, Bogor.
Winarno, F.G., S. Fardiaz. dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia, Jakarta.

You might also like