Identitas Cadar Bagi Perempuan Bercadar

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Identitas Cadar

Bagi Perempuan Bercadar


Siti Hanifah
Abstract : This research has a purpose to explain the meaning of cadar (veil)
as an identity for moslem woman and to explain every factor that influenced
the using of cadar (veil) to moslem woman. The researcher hereby interested to
research about veiled (cadar) woman’s life in Sukoharjo and its vicinity The
method that used in this research is case study method. The technique of
sample gathering in this research is purposive sampling with the technique of
sample gathering based on two kinds that is to say primary data and secondary
data. That obtained from interview, observation, and document. Triangulation
that used in this research is source triangulation of data. Analysis of data
within this research include data gathering phase, reduction of data phase,
presentation of data phase and the drawing of conclusion phase.

The result of the information gathering is that the using of cadar (veil) that
consciously done by the moslem woman is one of the form of self guarding or
protection either physical form or her measure. Else, there are some factor that
influence the using of cadar at veiled woman that may come from domain’s
factor, the contact with other culture, acculturation of knowledge, as well as
appreciate of personality. In the other side, that veiled woman will make a
lifestyle that it could be will become the distinguishing between herself with
others. So that cadar may become part of efforts of identity construction within
veiled women that had already been their life choice.

Pendahuluan

Identitas merupakan perkembangan dari pertumbuhan hidup seseorang


dalam cara untuk mendapatkan perasaan harga diri, tentang siapa dirinya,
tentang apa yang ada pada dirinya, tentang sifat khasnya dan lain-lain.
Pakaian merupakan penanda untuk membedakan dirinya dengan orang lain,
sehingga penampilan luar sebagai sarana pembeda dan diskriminasi.
Menurut Heru Prasetia (2010: 64), bahwa pakaian bukan semata kain
pembungkus tubuh tapi juga menjadi tanda yang membangkitkan makna-
makna sosial. Pakaian adalah ekspresi tentang cara hidup sekaligus
mencerminkan pandangan politik dan keagamaan. Pakaian menjadi satu
penanda paling gamblang tentang sikap hidup seseorang atau tentang

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 2
bagaimana orang mengidentifikasi diri sebagai individu maupun sebagai
kelompok, kain pembungkus raga inilah yang menghubungan tubuh dengan
dunia sosial. Selain itu Crawley juga berpendapat bahwa pakaian adalah
ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan
kehidupan sosial. Sehingga periode biologis pun menjadi suatu periode
eksistensi sosial dan individu tergabung ke dalam sebuah bagian fungsional
dalam komunitas, (Fadwa El Guindi, 2005: 177-178).
Semakin besarnya penekanan terhadap gaya hidup orang muslim
dicerminkan dengan meningkatnya artikel-artikel, buku-buku, serta diskusi
tentang aturan dalam berpakaian muslim, terutama bagi kaum wanita. Islam
mengajarkan bahwa pakaian yang digunakan bagi seorang wanita harus
menutupi seluruh tubuhnya, terutama rambutnya. Kemudian jilbab-lah yang
dipilih oleh kaum wanita tersebut untuk menjadi sarana dalam berpakaian.
Menurut Heru Prasetia (2010:68), penggunaan jilbab dalam pengertian kain
penutup kepala yang ketat menutup rambut dan leher belum pernah menjadi
jejak sejarah perempuan Indonesia. Jilbab diartikan sebagai khazanah
berpakaian wanita muslim di Indonesia.
Cadar merupakan bagian dari kontruksi identitas dikalangan wanita
muslimah yang sudah menjadi pilihan hidupnya, sebab cadar dirasa bisa
memberi ketenangan batin bagi yang menggunakannya. Bahkan sudah
dijelaskan juga dalam syari’at Islam bahwa pakaian kaum wanita
dimaksudkan untuk mewujudkan dua tujuan utama, yakni untuk menutup
aurat serta menjauhi fitnah , pengistemewaan dan pemuliaan bagi kaum
wanita itu sendiri. Tidaklah benar apabila pilihan hidup seseorang dikaitkan
dengan perilaku yang ekstrim.
Penggunaan cadar oleh beberapa kalangan muslimah di Sukoharjo pada saat
ini merupakan fenomena yang semakin banyak dan semakin umum ditemui
di Sukoharjo. Terlepas dari fungsinya sebagai sekedar fashion atau busana
muslim, cadar yang digunakan oleh beberapa muslimah bercadar merupakan

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 3
salah satu bentuk identitas mereka sebagai seorang muslimah yang dapat
menjadi ciri khas atau pembeda dengan wanita lain atau muslimah lain.
Dalam mengimplementasikan cadar sebagai sebuah penanda identitas
muslimah, para muslimah bercadar tersebut melakukan proses interaksi
dengan masyarakat. Hal ini, tentunya terdapat unsur pemaknaan secara
pribadi dalam menggunakan cadar. Selain itu, tentunya ada pula banyak
faktor yang mempengaruhi proses tindakan sosial yang dilakukan oleh para
muslimah bercadar tersebut. Dari proses pemaknaan dan proses interaksi
dan tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar tersebut
maka terbentuklah identitas muslimah melalui cadar yang mereka kenakan.
Dengan demikian, cadar pada akhirnya berperan sebagai identitas bagi
muslimah bercadar.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, artikel ini
menguraikan mengenai hasil penelitian tentang Identitas Cadar bagi
Perempuan Bercadar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan
makna cadar sebagai identitas bagi penggunanya dan menjelaskan faktor
apa saja yang mempengaruhi penggunaan cadar pada wanita muslimah.

Identitas
Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental
dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya
selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya
menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa
setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging
dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan
Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi
sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu
yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok
sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi penting yang
melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 4
Identitas adalah suatu keadaan, sifat, atau ciri-ciri khusus seseorang atau
suatu benda. Identitas menyatakan suatu kontinuitas serta persamaan diri
dalam waktu, dalam hubungan dengan eksistensi seseorang di dalam
masyarakat, serta pengakuan timbal balik tentang kontinuitas eksistensi ke
dua belah pihak (perseorangan dan masyarakat). Hary Wahyudi (2009:321)
menganggap bahwa identitas itu dikonstruksi atau dibuat untuk melabelkan
pada seseorang atau kepada tokoh.
Identitas merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dan lebih beragam,
dimana identitas bukanlah merupakan suatu hal yang bersifat statis, namun
ia akan berubah menurut pengalaman hidup seseorang. Tuner (dalam Alo
Liliweri, 2010: 184) menjelaskan bahwa ada tiga kategori untuk
menklasifikasikan identitas, yaitu: identitas manusia, identitas sosial, dan
identitas pribadi, yang mana identitas manusia merupakan pandangan yang
menghubungkan seseorang dengan seluruh manusia dan memisahkan
seseorang dari kehidupan yang lain. Identitas sosial merupakan perwakilan
dari kelompok dimana seseorang bergabung, seperti ras, etnisitas, pekerjaan,
umur, kampung halaman, dan lain sebagainya. Identitas sosial ini merupakan
produk dari perbedaan antara menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu
dan bukan anggota kelompok sosial yang lain (dikotomi kelompok dalam dan
luar). Identitas pribadi timbul dari hal-hal yang membedaka seseorang
dengan yang lainnya dan menandakan seseorang sebagai pribadi yang
spesial dan unik.
George Stone (dalam Rulli Nasrulloh. 2011) menggambarkan identitas
sebagai lokasi dari sosial individu, dimana dia diletakkan sehubungan dengan
orang lain. Sehingga kita merupakan apa yang dipikirkan oleh orang lain.
Peter L. Berger (dalam Chris Barker, 2005) menjelaskan bahwa sebuah
identitas merupakan definisi yang diberikan secara sosial dan
ditransformasikan secara sosial pula. Identitas sudah dirancang sangat
seksama dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan objektif
dimana identitas itu berada. Singkatnya setiap orang adalah benar-benar apa

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 5
yang diandaikan tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, identitas mudah
dikenal secara objektif maupun subjektif.
Definisi-definisi tandingan tentang kenyataan dan identitas tersebut akan
menampilkan diri begitu individu-individu tersebut bergabung dalam
kelompok secara sosial, maka kondisi tersebut akan bertahan lama. Sebab
definisi diri ini merupakan hasil dari interaksi yang terjadi antara dirinya
dengan orang lain. Sehingga identitas menjadi pusat bagi berlangsungnya
sebuah interaksi.
Sedangkan Giddens berpendapat bahwa, identitas tersesebut terbangun oleh
kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun
suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Jadi diri
merupakan apa yang dipahami secara refleksif oleh orang lain terhadap
konteks biografinya. Identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri
kita sebagai pribadi. (Chris Barker, 2005: 171)
Pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan tentang konsep diri (self). Konsep diri merupakan
salah satu definisi yang dihadapi oleh manusia untuk mendefinisikan dirinya
sendiri, khususnya hubungannya dengan orang yang terlibat dengan dirinya.
Menurut Mead diri tersebut muncul dimana orang bisa memberikan
tanggapan atas apa yang ditunjukkan kepada orang lain dan dimana
tindakkan tersebut menjadi bagian dari tindakannya. Dalam hal ini ia tidak
hanya mendengarkan dirinya sendiri namun dia juga harus merespon atas
dirinya sendiri juga. Sehingga konsep ini bisa diartikan sebagai kemampuan
seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek. Diri adalah kemampuan
khas untuk menjadi subjek sekaligus objek. Diri akan mengalami proses
sosial. (Georger Ritzer, 2008: 385)
Diri akan berkembang untuk mengambil peranan atas apa yang dihadapi oleh
orang lain. Diri pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam
dua fase yang dinamakan sebagai “I” dan “me”. “I” merupakan respon
individu terhadap tanggapan orang lain. “I” bisa menempatkan individu atas

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 6
perwujudan dirinya, dimana dia bisa mengembangkan kepribadiannya.
Unsur “I” mewakili individualitas seseorang, mengungkapkan
ketunggalannya dan bersifat spontan dan orisinil. Sedangkan “me”
merupakan respon dari pengamalan individu tersebut, kemudian
digeneralisasikan dan diambil untuk menjadi sikapnya sendiri. Unsur “me”
adalah unsur sosial yang mencakup generalized other, yakni semua sikap,
symbol, norma, dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu
dan dipakai olehnya dalam menentukan kelakuannya. “Me” adalah
masyarakat di dalam dirinya. (Irving M. Zeitlin, 1995: 353)
Kelakuan manusia berasal dari I dan me bersama dalam suatu proses, dimana
kedua unsur tersebut saling mempengaruhi. Dalam hal ini, bisa dikatakan
bahwa I mengambil inisiatif untuk bertindak, kemudian me memberikan
pengarahan sesuai dengan pengharapan dan definisi dari masyarakat.
Secara dialektis, diri terkait dengan pikiran. Sehingga Mead berpendapat
bahwa tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah
berkembang. Antara pikiran dan diri sulit untuk dipisahkan, sebab diri
adalah proses mental, namun meskipun demikian kita bisa saja menganggap
diri sebagai proses sosial. Diri juga membiarkan orang mengambil bagian
dalam percakapan mereka dengan orang lain, (George Ritzer, 2008: 386).
Bagi Mead pikiran dan kedirian menjadi bagian dari perilaku manusia yakni
bagian dari interaksinya dengan orang lain. Interaksi inilah yang bisa
membuat individu itu mengenal dunia dan dirinya sendiri. Hal inilah yang
menjadi dasar bahwa pikiran (mind) dengan diri (self) berasal dari society
(proses-proses interaksi). Sehingga secara konsekuen Mead lebih menyoroti
corak sosial pikiran. Berpikir adalah interaksi oleh “diri” orang yang
bersangkutan dengan orang lain. “Diri saya” mengatur di dalam kepala
reaksi-reaksi atas gerak orang lain sedemikian rupa, sehingga reaksi-reaksi
itu ditunjukkan kepada “saya”. Pikiran manusia menerobos dunia di luar dan
seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Cara manusia

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 7
mengartikan dunia dan diri sendiri berhubungan erat dengan
masyarakatnya.
Identitas sosial berperan dalam hubungan antar kelompok tergantung pada
dimensi yang dapat diterima (aman atau tidak aman). Ketika identitas aman
memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-groups
lebih baik, lebih sedikit bisa bila membandingkan in-group dengan out-group,
dan kurang yakin pada homogenitas in-group. Sebaliknya, identitas tidak
aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat
positif terhadap in-group, bisa lebih besar dalam membandingkan in-group
dengan out-group, dan persepsi homogenitas in-group yang lebih besar.

Tindakan Sosial
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal mencerminkan tradisi idealis
adalah tekanannya pada pemahaman subjektif sebagai metode untuk
memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif dari
tindakan sosial. Dalam hal ini kemampuan untuk menempatkan diri dalam
kerangka berpikir orang lain yang perilakunya akan dijelaskan dan situasi
serta tujuan-tujunnya akan dilihat menurut perspektif itu. Proses ini
menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam
interaksionisme simbol. Menurut Weber sosiologi mula-mula adalah ilmu
pengetahuan tentang tindakan sosial. Ia yakin bahwa masyarakat adalah
produk dari tindakan individu-individu yang terbuat dalam kerangka fungsi
nilai, motif dan kalkulasi rasional.
Konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa objektif mengenai
arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-
jenis tindakan sosial yang berbeda. Rasionalitas dan peraturan yang biasa
mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas
dimana aspek-aspek subjektif perilaku dapat dinilai secara objektif. Tidak
semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas.
Tindakan yang dilakukan seperti kemarahan, cinta, bahkan ketakutan

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 8
mungkin diungkapkan dalam perilaku yang nyata dalam bentuk yang
sepintas lalu kelihatnya tidak rasional. Tetapi orang dapat mengerti perilaku
seperti itu jika orang tahu emosi yang mendasar yang sedang
diungkapkannya.
Weber menjelaskan empat tipe tindakan sosial, antara lain: (a) tindakan
berorientasi tujuan, (b) tindakan tradisional, (c) tindakan afektif,dan(d)
tindakan berorientasi nilai, (Pip Jones, 2009:115). Kata “tindakan” dipakai
oleh Weber (dalam K.J. Veeger, 1986: 171) untuk perbuatan-perbuatan yang
bagi pelaku mempunyai arti subjektif. Tindakan bisa menjadi sosial jika arti
dari makna subjektif dari tingkah laku membuat individu memikirkan dan
memperhitungkan kelakuan orang-orang lain mengarahkannya. Pelaku
individu mengarahkan kelakuannya kepada penetapan-penetapan atau
harapan-harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut
dengan tegas atau bahkan dibekukan kedalam undang-undang. Jadi, menurut
Weber tindakan sosial selalu berakar dalam kesadaran individual dan
bertolak dari situ.
Peran Cadar Sebagai Identitas
Cadar sebagai Ekspresi Religi. Identitas pada dasarnya merujuk pada
pandangan reflektif mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain
mengenai gambaran diri secara sadar. Pemakanaan cadar sebagai sebuah
identitas ke-Islamaan seorang muslimah secara lebih sempit adalah dilihat
dari sisi maslahatnya.Tujuan penggunaan cadar oleh pelakunya juga
berkaitan dengan tujuan secara lebih umum atau berdasarkan kepentingan
kelompok. Makna cadar dari sisi kemaslahatanya atau kebermanfaatannya
seperti yang telah diungkapkan dalam kutipan-kutipan hasil wawancara
sebelumnya,yaitu sebagai bentuk penjagaan diri. Selain itu, pemaknaan cadar
secara sadar oleh pemakainya tidak hanya sebagai bentuk penjagaan diri
melainkan merupakan identitas feminis yang bersifat religi bagi wanita
muslim. Artinya, penggunaan cadar secara sadar yang dilakukan wanita
muslim merupakan bentuk penjagaan kehormatan diri maupun agama.

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 9
Cadar akhirnya menjadi bagian dari kontruksi identitas dikalangan wanita
muslimah yang sudah menjadi pilihan hidupnya, sebab cadar dirasa bisa
memberi ketenangan batin bagi orang yang mengenakannya. Bahkan sudah
dijelaskan juga dalam syari’at Islam bahwa pakaian pakaian bagi kaum
wanita dimaksudkan untuk mewujudkan dua tujuan utama, yakni untuk
menutup aurat serta menjauhi fitnah dan pengistemewaan serta pemuliaan
bagi kaum wanita itu sendiri.
Penggunaan cadar oleh beberapa kalangan wanita muslimah tampaknya juga
dijadikan sebagai penanda status sosial tertentu. Berdasarkan temuan
lapangan yang diperoleh peneliti, dapat diketahui bahwa penggunaan cadar
merupakan penanda profesi pada instansi tertentu.
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa penggunaan cadar menjadi sebuah
penanda atau symbol bagi beberapa penggunaan mengenai status pekerjaan.
Dengan demikian, faktor lingkungan secara langsung berdampak terhadap
kemauan seorang muslimah untuk menggunakan cadar.
Dalam tahapan atau proses yang dilaui ketika sebelum dan sesuadh bercadar,
para muslimah bercadar tentunya menghadapi berbagai problematika yang
merupakan bagian dari interaksi mulai dari perkenalan sampai dengan
pembiasaan. Hal ini dialami oleh para muslimah pengguna cadar dalam
setiap tahap kehidupanya. Bagaimanapun perbedaan paham dalam
masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Konsep
diri yang dibangun pun tentunya akan sedikit banyak bergeser dari konsep
diri yang berdasarkan pada pemahaman masyarakat pada umumya, yang
dalam hal ini adalah mengenai penggunaan cadar dalam menjaga aurat
seorang wanita muslimah.
Cadar sebagai Pelindung. Pemaknaan lain tentang cadar bagi muslimah
bercadar adalah sebagai peindung. Proses penjagaan diri ini merupakan
bentuk pemaknaan yang terkait dengan fungsi sebelumnya, yaitu sebagai
identitas. Penggunaan cadar dalam hal ini berperan sebagai sarana

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 10
mengkomunikasikan bahwa seorang muslimah yang menggunakannya
adalah muslimah yang melindungi diri atau tubuhnya.
Lebih dari itu, pemaknaan cadar sebagai bentuk penjagaan diri bagi
perempuan bercadar lebih ditekankan pada unsur maslahatnya. Bentuk
kemaslahatan yang diharapkan dari pemakaian cadar ini lebih menekankan
pada penjagaan fisik, yaitu penjagaan wajah atau kecantikan yang dimiliki
oleh seorang muslimah. Bagi para muslimah bercadar ini, wajah dapat
diartikan sebagai sumber fitnah sehingga perlu dilakukan adanya proteksi
lebih padawajah yang dimiliki.
Penjagaan yang dimaksudkan bagi muslimah bercadar adalah berupa
penjagaan kehormatan yang dimiliki. Dengan demikian, makna cadar sebagai
bentuk penjagaan diri merupakan bentuk penjagaan diri baik secara lahir
maupun batin.

Interaksi Sosial
Gaya yang dengan baik dilakukan oleh para wanita bercadar kepada siapa
pun, baik yang sudah bercadar maupun yang belum bercadar. Prinsip Al
Wada’ wal Bara’ yang dilakukan oleh muslimah bercadar dalam bergaul
merupakan sebuah prinsip untuk saling tolong menolong, saling menyayangi,
dan saling menguatkan. Dalam hal ini, secara sadar muslimah pengguna
cadar memahami bagaimana mereka menunjukan identitas feminism religi
mereka sebagai seorang muslimah dengan cara bergaul dengan baik. Para
muslimah bercadar berkeyakinan bahwa dengan bergaul dengan baik maka
identitas yang tersandang pada diri mereka akan diterima dengan baik juga
oleh masyarakat lainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebuah
identitas yang dimiliki seseorang akan menjadi identitas yang sebenarnya
jika identitas tersebut dapat muncul di tengah masyarakat. Pemunculan
identitas di masyarakat membuat pemilik identitas melakukan proses
tindakan sosial berupa interaksi sosial. Jadi, tanpa interaksi sosial dan
tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar maka identitas

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 11
feminism religi yang dimiliki oleh muslimah bercadar tidak akan terbentuk
dan tidak bermakana.
Namun tak jarang dari pihak keluarga sendiri menentang penggunaan cadar
terutama dari sosok ibu seperti yang dialami oleh muslimah bercadar. Kaum
pengguna cadar yang cenderung minoritas menjadikan kebiasaan
menggunakan cadar dalam berpakaian tampak asing dan aneh bagi sebagian
masyarakat. Meskipun terdapat anggota masyarakat yang menganggap
penggunaan cadar menjadi sesuatu yang aneh dan ekstrim namun terdapat
pula anggota masyarakat yang mendukung seseorang dalam menggunakan
cadar. Hal ini bergantung dari cara pandang masyarakat dan pemahamannya
terhadap penggunaan cadar.
Pada dasarnya, dalam menggunakan cadar ada sebagian masyarakat yang
menanggapi positif dan ada sebagian yang menanggapi negative. Hal ini
disebabakan karena posisi kaum wanita bercadar tergolong kaum minoritas
dan diperkuat dengan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai
penggunaan cadar dalam berpakaian. Beberapa upaya dilakukan oleh para
wanita pengguna cadar dalam menanggapi atau menyikapi kendala-kendala
yang ditemui di tengah-tengah masyarakat. Upaya-upaya yang dilakukan
merupakan sebuah tuntutan untuk menjaga konsistensi para wanita
pengguna cadar untuk tetap menggunakan cadar.
Beberapa pengguna cadar menyikapi tanggapan masyarakat dari sudut
pandang pribadi dengan menjaga keteguhan hatinya untuk tetap
menggunakan cadar. Keputusan untuk bercadar merupakan keputusan yang
didasari karena panggilan hati semata-mata karena Alloh. Jadi, bagaimana
pun masyarakat memberikan tanggapan dia akan tetap konsisten dalam
bercadar.
Faktor-faktor Cadar
Identitas merupakan sesuatu yang abstrak, konsep beraneka segi yang
berperan penting dalam interaksi komunikasi antarbudaya. Pencapaian
identitas itu tidaklah mudah, seringkali orang berada dalam kerumitan,

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 12
kejelasan akan siapa diri mereka, dan apa peranan mereka dalam hidup. Hal
ini berarti bahwa perkembangan identitas berperan penting bagi kejiwaan
seseorang. Sehingga ini menjadi bukti bahwa identitas itu penting.
Terjadinya perubahan kebiasaan dari yang pada awalnya belum
menggunakan cadar menjadi bercadar pada muslimah bercadar dipengaruhi
oleh oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang memberikan pengaruh
terhadap pengambilan keputusan untuk menggunakan cadar oleh para
muslimah bercadar dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada
pemaparan di bawah ini.
Lingkungan
Aktivitas sosial yang dialami oleh seseorang tentunya dipengaruhi oleh
beberapa hal. Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap aktivitas sosial yang dialami oleh seseorang. Secara
langsung, dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan bagian yang tidak
dapat terpisahkan sebagai bagian dari segala bentuk aktivitas atau interaksi
sosial yang dialamioleh manusia.
Hal ini juga berlaku terhadap aktivitas sosial yang dialami oleh muslimah
bercadar terkait dengan asal mula penggunaan cadar yang digunakannya.
Lingkungan profesi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang
untuk menggunakan cadar.
Secara lebih umum, dapat diartikan pulah bahwa lingkungan yang dihadapi
oleh muslimah bercadar pada akhirnya membentuk kelompok-kelompok
sosial tersendiridengan kebiasan-kebiasaanyang serupa,yaitu bercadar.
Komunitas para muslimah pengguna cadar ini ditemukan peneliti pada
beberapa pondok pesantren yang ada di Sukoharjo. Para muslimah bercadar
yang ditemui peneliti mempunyai domisili, baik tempat tinggal maupun
tempat studi tidak berjauhan dari komunitas atau pondok pesantren
tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa lingkungan bagi
para muslimah bercadar mempunyai peranan tertentu. Lingkungan yang
dihadapi para muslimah bercadar, baik sebelum maupun setelah bercadar

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 13
mempunyai peran sebagai media interaksi sosial. Interaksi sosial dalam hal
ini pada akhirnya memberikan transformasi pemahaman dan pengetahuan
bagi subjek-subjek yang berinteraksi di lingkungan ini.
Selain itu, lingkungan pada akhirnya juga alasan atau pendorong untuk
memposisikan diri atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi.
Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa seorang muslimah mengambilkeputusan bercadar
karena adanya dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
dihadapinya sehingga keputusan bercadar pun diambil karena menyesuaikan
dengan individu lain yang terlibat dalam interaksi sosial. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa lingkungan, baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan sosial selama
nilai-nilai atau pemaknaan tindakan tersebut dipahami oleh pelakunya.

Kontak dengan Budaya lain


Berhubungan dengan budaya lain dapat pula mendorong munculnya
perubahan kebiasaan dalam hal berpakaian yang dalam hal ini menggunakan
cadar. Bila dua kebudayaan saling bertemu maka kedua kebudayaan tersebut
akan saling mempengaruhi yang akhirnya membawa perubahan. Hubungan
atau kontak dengan kebudayaan lain dapat dilakukan denga 3 cara yaitu
difusi (pertukaran informasi), akulturasi (kebudayaan yang berbeda-beda
bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus),
asimilasi (proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul
langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan dari
golongan-golongan manusia tersebut masing-masing berubah sifatnya yang
khas dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran. Proses akulturasi tampak lebih dominan
dalam hal ini. Penggunaan cadar merupakan bentuk akulturasi paham baru
dengan paham lama yang dimiliki oleh seorang muslimah. Pertemuan paham

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 14
yang berbeda ini pada akhirnya menuntut seorang muslimah mengambil
sikap untuk menggunakan cadar.
Dalam hal ini, perempuan-perempuan bercadar yang ditemui peneliti dalam
penelitian ini mengalami kontak dengan budaya baru bagi mereka pada saat
sebelum bercadar atau padasaat awal-awal ingin bercadar. Proses interaksi
perempuan-perempuan bercadarini terhadap budya baru yang mereka
temui (budaya menggunakan cadar dan kajian-kajian yang diikuti) membuat
para muslimah bercadar ini secara sadar mereduksi penegtahuan dan
pemahaman baru. Proses inilah yang pada akhirnya membentuk konsep diri
pada diri masing-masing muslimah bercadaryang ditemui peneliti. Hasil
kontak dengan budaya lain (budaya di luar kebiasaan mereka sebelumnya)
pada akhirnya memberikan dorongan atau motivasi bagi para muslimah
bercadar yang ditemui oleh peneliti untuk mengaktualisasikan pemahaman
baru yang mereka peroleh dalam kehidupan mereka sehar-hari. Hal ini pun
menandakan adanya penerimaan positif secara sadar dari diri masing-
masing subjek yang peneliti temui.
Selain hal di atas, kontak dengan kebudayaan lain (budaya bercadardan
mengikuti kajian) memberikan dorongan baru bagi para muslimah bercadar
yang ditemui peneliti terkait dengan kebutuhan paru mereka. Seperti yang
telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa para muslimah bercadar
menggunakan cadar karena adanya rasa aman, hal ini berarti menunjukan
bahwa kontak dengan budaya lain menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru
bagi para muslimah bercadar tersebut.Selain kebutuhan memperoleh rasa
aman, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan pemahaman
yang merekan miliki pun pada akhirnya menjadi sesuatau yang sangat
berarti bagi mereka. Dengan menggunakan cadar, mereka mengganggap
bahwa diri mereka menempatkan diri sesuai dengan porsi kehidupan
mereka seperti apa yang mereka yakini dari pemahaman pengetahuan baru
melalui kontak dengan budaya lain (budaya kajian dan bercadar).

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 15
Selain itu, hasil dari kontak dengan budaya lain (budaya kajian dan
bercadar) menimbulkan pemahaman baru kepada para muslimah bercadar
tersebut tentang kebutuhan mendapatkan penghargaan diri pada diri
mereka. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, secara tidak
langsung dapat diketahui bahwa para muslimah bercadar tersebut memiliki
kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan diri.
Penghargaan diri yang disebutkan di atas mereka dapatkan dengan
menggunakan cadar. Kebutuhan penghargaan diri yang dipahami oleh para
muslimah bercadar tersebut meliputi penghargaan dari diri sendiri dan
penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri tercermin pada
niatan mereka untuk menjaga tubuh mereka dan menjaga diri dari fitnah.
Sedangkan, kebutuhan penghargaan diri dari orang lain adalah penghargaan
dari masyarakat sekitar dalam memperlakukan atau bergaul dengan mereka.

Akulturasi Pengetahuan
Penggunaan cadar oleh wanita muslim bercadar merupakan fenomena yang
sudah semakin tampak umum pada saat ini. Penggunaan cadar oleh wanita –
wanita bercadar dewasa ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor yang paling utama adalah karena tingkatan keilmuan atau
pemahaman yang dimiliki oleh seorang wanita yang memutuskan untuk
bercadar. Kajian-kajian keagamaan tampaknya menjadi faktor utama yang
menyebabkan seorang wanita muslim memutuskan untuk bercadar.
Selain itu para perempuan bercadar menjalani jenjang pendidikan formal
yang memberikan pengaruh atau motivasi pada diri mereka untuk
menggunakan cadar. Pendidikan formal yang dilalui oleh para muslimah
tersebut secara langsung memberikan fasilitas kepada para muslimah
tersebut untuk mendapatkan wawasan, ilmu, dan pemahaman-pemahaman
baru secara terbuka, khususnya dalam hal keagamaan yang pada akhirnya
membawa para muslimah tersebut memahami hakikat penggunaan cadar

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 16
dan pada akhirnya berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk
menggunakan cadar.
Di sisi lain, peneliti mendapati bahwa dalam perilakunya para muslimah
bercadar telah menerapkan fungsi aksiologis terhadap pengetahuan yang
dipakai. Berdasarkan pengetahuan peneliti, aksiologi sendiri merupakan
ilmu yang mengaitkan antara pengetahuan yang diperoleh manusia dengan
nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam menerapkan ilmunya.
Aksiologi sendiri mempunyai dua wilayah, yaitu etikadan estetika.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa para muslimah bercadar
menggunakan cadar dengan alasan etika, baik berupa nilai-nilai
kemaslahatanya maupun sisi kesopanan, serta menerapkan fungsi estetika
atau keindahan karena pada bagian sebelumnya telah disebutkan pula bahwa
para muslimah bercadar menggunakan cadar untuk menjaga keindahan
atau estetika tubuhnya.

Menghargai Penemuan Baru


Kajian diniyah merupakan hasil karya atau budaya baru yang dilakukan oleh
sekelompok individu. Proses penghargaan terhadap nilai-nilai yang
tersampaikan dalam kajian tersebut pada akhirnya membawa seorang
muslimah yang terlibat di dalamnya berpikir atau berkeinginan mengambil
sikap untuk menggunakan cadar yang pada akhirnya muslimah tersebut
menggunakan cadar meski ada jeda waktu. Hal ini secara langsung
menunjukan adanya penghargaan hasil karya atau budaya yang terbentuk di
lingkungan pelaku.
Selain itu, proses menghargai karya orang lain seperti yang telah disebutkan
di atas secara tidak langsung menunjukan tindakan sosial yang dilakuakan
oleh muslimah bercadar dengan kesadaran yang berorientasi pada nilai.
Artinya, dalam menghargai karya orang lain, muslimah bercadar terbut
dengan kesadarannya berupaya memahami nilai-nilai yang ada dan dianggap
sesuai.

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 17
Kesadaran yang berorientasi nilai di sini ditunjukan dengan dijadikannya
kajian-kajian dan sejenisnya menjadi sebuah rutinitas atau kebutuhan yang
pada akhirnya membawa muslimah bercadar ini mempunyai pemahaman
dalam beberapa hal, termasuk pemahaman tentang penggunaan cadar. Hal
inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu dorongan atau motivasi bagi
muslimah bercadar untuk menggunakan dan mempertahankan penggunaan
cadarnya.
Penghargaan terhadap hasil karya orang lain yang ditampakan oleh para
muslimah bercadar sebelum menggunakan bercadar inilah yang menjadi
faktor atau jalan pembuka adanya toleransi pemahaman sampai pada
akhirnya mewujudkan apresiasi aktif dan sadar untukmengikuti kebiasaan
bercadar. Sikap menghargai ini tentunya tidak terlepas dari karakter
individu-individu yang bersangkuatan dalam menerima sesuatu yang baru.
Selain itu, sikap keterbukaan yang dimiliki oleh pelaku interaksi sosial ini
juga menentukan sikap parapelakunya, baik yang memberi stimulus maupun
yang memberikan tanggapan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
proses atau interaksi sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar
tersebut khususnya saat transisi dari sebelum menggunakan cadar menuju
ke menggunakan cadar menunjukan hasil yang positif.

Gaya Hidup Muslimah Bercadar


Praktek keagamaan perempuan Salafi atau para muslimah bercadar yang
berbeda membangun sebuah perilaku sosial yamg eksklusif terhadap
kelompok masyarakat di sekitar mereka. Sikap ini secara otomatis
menunjukan identitas personal mereka sebagai seorang muslimah menurut
ideologi kelompok mereka dan ini berarti orang lain atau perempuan lain
tanpa identitas ini bukanlah bagian dari kelompok mereka. Selain itu, praktek
beragama yang berbeda juga menyebabkan adanya sikap antipasti dari
masyarakat di sekitar mereka terhadap kelompok mereka. Di sinilah
toleransi dalam kehidupan yang multikultur dihadapkan dengan sikap yang

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 18
dipilih oleh muslimah bercadar sebagai dampak dari praktek beragama yang
mereka terapkan.Simbol atau kekhasan yang dimiliki para muslimah
bercadar pun pada akhirnya juga memebentuk proses eksklusifitas kelompok
sosial mereka dengan kelompok lain. Karena secara otomatis kelompok lain
yang tidak memiliki kekhasan seperti mereka berarti bukanlah bagian dari
kelompok mereka. Para muslimah bercadar dalam hal ini mempunyai konsep
tersendiri mengenai sosok perempuan yang ideal. Para muslimah bercadar
ini pada umumnya merupakan perempuan-perempuan yang telah berniat
mengabdikan diri mereka kepada suami dan agama mereka. Poladoktrinasi
kelompok yang kuat menempatkan mereka sebagai wanita yang mulia kalau
mereka berada di rumah dan menjalankan tugas-tugas sesuai dengan
kodratnya. Menurut ajaran Salafi, tanggungjawab perempuan yang paling
utama adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Perempuan tidak diwajibkan
untuk aktif di ruang publik.
Cara-cara para muslimah bercadar dalam menunjukan feminitas mereka
yang bersifat religi tersebut, yaitu (a) menggunakan jilbab lebar dan cadar,
(b) berkarir, (c) proses pernikahan, (d) mengikuti kajian-kajian keagamaan,
(e) pergaulan dalam komunitas, (f) pembatasan interaksil, (g) menggunakan
bahasa khas komunitas, dan (h) menggunakan kosmetik dan obat-obat
herbal.

Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran cadar
sebagai identitas bagi para muslimah bercadar meliputi cadar sebagai
identitas yakni cadar sebagai ekspresi religi dan sebagai pelindung. Tindakan
sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar dalam berinteraksi
dengan lingkungan mereka, yaitu (a) mengembangkan diri dan beradaptasi
bagaimana dia tampil bagi orang lain, (b) menerima bagaimana peniliaian
masyarakat atas penampilan mereka, dan (c) mengembangkan sejenis
perasaan-diri, berupa kebanggaan, prasangka potitif, dan mengambil sisi

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 19
positif sebagai akibat dari penilaian orang lain tersebut. Gaya hidup para
muslimah bercadar dalam menunjukan identitas, yaitu (a) jilbab lebar dan
cadar, (b) pekerjaan, (c) proses pernikahan, (d) intensitas kajian keagamaan,
(e) pergaulan dalam komunitas, (f) pembatasan interaksi, (g) komunitas, dan
(h) kosmetik dan obat-obat herbal. Terjadinya perubahan kebiasaan dari
belum bercadar menjadi bercadar pada muslimah bercadar dipengaruhi oleh
factor-faktor tersebut antara lain: (a) lingkungan; (b) kontak dengan budaya
lain; (c) akulturasi pengetahuan; dan (d) menghargai penemuan baru.

Daftar Pustaka

Alo Liliweri. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Yogjakarta: LKiS


Chris Barker. 2005. Culture Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Emy Rubi Astuti. 2010. Perempuan-perempuan Ter-Ekslusi (Proses Ekslusi
Sosial Perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta.Yogyakarta:
Thesis Pusat Studi Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM.
Erik H. Erikson. 1989. Identitas Dan Siklus Hidup Manusia, terj. Agus Cremers.
Jakarta: Gramedia.
Fadwa El Guidi. 2005. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan.
Jakarta: Serambi.
George Ritzer. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi wacana.
Hary Wahyudi. 2009. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/ Space
dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara.
Salatiga: Percik.
Heru Prasetia, dkk. 2010. Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran
Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik. Depok: Desantara
Foundation.
Irving M. Zeitlin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta:
GadjahMadaUniversity Press.
K.J. Veeger. 1986. Realitas Sosial. Jakarta. PT. Gramedia
Lan, T. J. 2000. Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi
Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar.
Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina.
Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsional hingga
Post-modernisme.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rulli Nasrulloh. 2011. “Konstruksi Identitas Muslim di Media Baru”,
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Purwokerto: Jur.
Dakwah STAIN Purwokerto, Vol. 5 No. 2 Juli-Desember 2011 hal.
221-234 ISSN:1978-1261

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 20
Sarwono, S.W.(1999). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi
Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M.(1994). Theories of Intergroup Relations.
London: Praeger.
Yanu Endar Prasetyo. 2007. Individualisasi Kaum Bercadar. Skripsi. Jurusan
Sosiologi, FISIP. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 21

You might also like