Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 30

ARTIKEL

BUDAYA PATRIARKI MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

Oleh:

LISTIYANA
ABSTRACK

Listiyana 2012.Patriarki culture concept based on gaze of Buddhist.


Skripsi.Dharmacarya programme. Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya, Tangerang Banten.
Lecture I Dody Herwidanto, S.Ag. M.A
Lecture II Setia Darma, SH. M.M

Key word : Patriarki Culture, discrimination, violence

The problem which is chosen in this research is about the Patriarki culture concept

based on the gaze of Buddhist. According to the real facts, there are still many men who does

the discrimination and violence to the women, so the writer tries to choose this problem to get

the solve results suitably with the Buddhist doctrine.

The aim of this research is to the know the patriarki culture concept based on the gaze

of Buddhist. If there is a problem between men and women who proud of each grade so they

have to realize and understand the gender equal values.

To reach the aim of research, the writer uses the comparative method by comparing

the datas or facts to get the conclusions. The reason to use that method because the data that

analyzed is a text so the writer uses the analysis data with the literature.

The result of this research shows that Sang Buddha doesn’t distinguish the men and

the women. They have the same level or grade so there is no discrimination between them.

Finally, the writer suggest the men and women to respect and appreciate each other,

so they can live happily ever after and it can avoid the violence in Buddhist society,

especially and also for the general society.


1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan,

karena kebudayaan berhubungan dengan budi atau akal. Kebudayaan adalah keseluruhan

kompleks yangmencakup pengetahuan, kepercayaan keilmuan, sosial, hukum, adat istiadat

dan kemampuan-kemampuan lain untukkeperluan masyarakat. Semua budaya yang

dikenal,kehidupan dan pengalaman laki-laki dan perempuan ternyata berbeda dalambanyak

hal. Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya sebuah konstruk sosial yangsecara nyata

berkiblat pada ideologi patriarki.

Indonesia termasuk negara yang berpaham budaya dan berideologi patriarki yang

masih kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat.Ada tiga

sistem budaya di Indonesia yakni patrilineal, matrilineal, dan parental.Patrilineal yang

merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki

yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab. Matrilineal, sistem garis

keturunan yang menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu

pihak ibu yang bertanggung jawab.Sistem tersebut dianut oleh masyarakat

minangkabau.Sedangkan parental sendiri tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan

perempuan.Sistem ini dipakai oleh masyarakat suku jawa. Budaya patriarki adalah keadaan

hukum adat yang memakai nama bapak dan hubungan garis keturunan melalui garis kerabat

pria/bapak.

Banyak orang yang masih mengikuti budaya lama yaitu budaya patriarki yang

menjadikan istri hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Dengan terpaku pada konsep

budaya patriarki maka istri tidak akan mendapatkan hak-haknya dan akan tertindas oleh

suami. Kasus seperti itu sering menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga dan tidak
sedikit perceraian terjadi karena istri merasa tidak bahagia disebabkan terkekang oleh

keadaan seperti itu.

Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas dan kewajibannya masing-

masing.Sebenarnya seorang perempuan mempunyai kedudukan setara dengan seorang laki-

laki, tetapi sering diremehkan dan dikesampingkan.Seorang perempuan mampu membantu

laki-laki untuk menambah penghasilan keluarga dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya,

misalnya mengerjakan ladang, menjahit, membatik, dan kegiatan lainnya. Keluarga akan

berdiri kuat dan berwibawa bila perempuan dan laki-laki berada dalam keadaan seimbang,

selaras, dan serasi.

Akhir-akhir ini, konflik sering timbul di dalam keluarga, bahkan tingkat perceraian

dan kekerasan dalam rumah tangga semakin tinggi.Konflik rumah tangga kerap terjadi karena

adanya perbedaan pandangan terhadap nilai-nilai kehidupan. Hal ini dipengaruhi cara

pandang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, karena nilai kehidupan yang dianut

masing-masing berbeda.

Konflik suami istri yang sedang bertikai, menjadi semakin memuncak ketika

masing-masing mengabaikan fakta tentang perbedaan individu, terlalu memaksakan

kehendak pribadi, dan saling memberikan penilaian negative kepada pasangannya. Berbagai

konflik dalam keluarga apabila tidak diselesaikan dengan kepala dingin hanya akan

mengakibatkan kefatalan. Seperti yang sedang marak pada akhir-akhir ini, yaitu terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.Dalam kasus demikian pihak perempuan atau

istri sering kali menjadi sasaran atau korban.

UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, meskipun undang-undang perkawinan

dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari

substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali

mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya,
pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan

dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum.Namun di dalam

pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur

keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga.Selain itu mengukuhkan stereotipe peran

seksual perempuan sebagai pekerja domestik.

Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum

Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian

mendapat pengakuan setelah Indonesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27

UUD, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai

bidang kehidupan.Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan

yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat

diskriminasi terhadap perempuan.

Berdasarkan hal di atas, penulis terdorong untuk membahas lebih dalam masalah

konsep budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha yang diharapkan dapat

memberikan dampak positif bagi setiap individu dalam kehidupan berumah tangga maupun

bermasyarakat, sehingga penulis mengambil judul “Konsep Budaya Patriarki Menurut

Pandangan Agama Buddha”.Alasan-alasan pokok penulis mengangkat masalah di atas

adalah:

1) Masih banyak keluarga yang kurang rukun;

2) Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga;

3) Masih maraknya tindak diskriminasi terhadap perempuan;

4) Kurangnya pemahaman tentang konsep budaya patriarki

Masalah ini perlu diteliti agar mendapatkan pemecahan masalah yang berkaitan

dengan perbedaan gender.Dengan adanya budaya patriarki tersebut mengakibatkan dampak


yang buruk terhadap perempuan, seperti marginalisasi perempuan, subordinasi, pelabelan,

kekerasan, dan beban ganda. Solusi yang didapat dari penelitian ini nantinya dapat

diterapkan, sehingga rumah tangga yang kurang harmonis karena istri merasa tertindas akan

terjalin kerukunan dalam rumah tangga tersebut. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna

bagi masyarakat atau keluarga untuk mewujudkan kerukunan dengan menerapkan konsep

budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai

berikut:

1) Masih banyak masyarakat yang menggunakan konsep budaya patriarki.

2) Adanya pemikiran masyarakat yang terpaku pada filsafat kuno yang menyatakan

perempuan hanya bertugas pada dapur, sumur, dan kasur.

3) Banyaknya pihak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga

maupun di dalam masyarakat.

4) Adanya laki-laki yang meremehkan kemampuan perempuan sehingga perempuan merasa

dikesampingkan.

5) Masih kurangnya pemahaman bahwa konsep budaya patriarki sangat mempengaruhi

aspek-aspek kehidupan.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut serta mengingat keterbatasan waktu,

tenaga, biaya serta kemampuan penulis, maka peneliti membatasi masalah hanya pada nomor

lima, yaitu Masih kurangnya pemahaman bahwa konsep budaya patriarki sangat

mempengaruhi aspek-aspek kehidupan.


1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis merumuskan pokok

masalah yang menjadi dasar penelitian penulis yaitu sebagai berikut:

1) Apakah relevan konsep budaya patriarki dengan pandangan agama Buddha?

2) Bagaimana upaya dalam merubah pola pikir masyarakat tentang adanya konsep

patriarki?

3) Bagaimana penerapan budaya patriarki menurut agama Buddha?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan:

1) Konsep budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha.

2) Upaya dalam merubah pola pikir masyarakat tentang adanya konsep budaya patriarki.

3) Penerapan budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha.

2.1 Pengertian Budaya Patriarki

“Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yakni buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ”. Dalam bahasa Belanda, kebudayaan

adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa Arab Tsaqafah yang diadopsi

dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan

mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Berkembanglah cultur sebagai

segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut Gazalba kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri

dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial

dalam suatu ruang dan suatu waktu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil

kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2)

Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami

lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku (Tim Penyusun,

2008).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki adalah (1) bapak dan

kepala keluarga; datuk; (2) pendiri sesuatu; (3) orang tua yang sangat dihargai atau dihormati;

sesepuh; (4) Kris ulama tertinggi gereja Kristen Ortodoks; Uskup Agung; Maha Uskup (Tim

Penyusun, 2008).

Pengertian budaya patriaki, Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur

yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi

budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub

ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi

suatu norma.

Patriarki adalah sistem pengelompokkan masyarakat sosial yang mementingkan

garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis

keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan

masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada

perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

Budaya patriarki menempatkan laki-laki berkedudukan lebih tinggi daripada

perempuan, sehingga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang antara keduanya,

bahkan ketidakadilan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan.Perkembangan peradaban


di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam budaya dan ideologi patriarki, telah

meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek dan struktur kehidupan manusia yang

mengakibatkan adanya berbagai ketimpangan termasuk di antaranya ketimpangan gender.

2.1 Pengertian Budaya Patriarki

“Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yakni buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ”. Dalam bahasa Belanda, kebudayaan

adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa Arab Tsaqafah yang diadopsi

dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan

mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Berkembanglah cultur sebagai

segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Menurut Gazalba kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri

dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial

dalam suatu ruang dan suatu waktu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil

kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2)

Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami

lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku (Tim Penyusun,

2008).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki adalah (1) bapak dan

kepala keluarga; datuk; (2) pendiri sesuatu; (3) orang tua yang sangat dihargai atau dihormati;

sesepuh; (4) Kris ulama tertinggi gereja Kristen Ortodoks; Uskup Agung; Maha Uskup (Tim

Penyusun, 2008).

Pengertian budaya patriaki, Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur

yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi
budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub

ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi

suatu norma.

Patriarki adalah sistem pengelompokkan masyarakat sosial yang mementingkan

garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis

keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan

masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada

perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

Budaya patriarki menempatkan laki-laki berkedudukan lebih tinggi daripada

perempuan, sehingga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang antara keduanya,

bahkan ketidakadilan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan.Perkembangan peradaban

di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam budaya dan ideologi patriarki, telah

meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek dan struktur kehidupan manusia yang

mengakibatkan adanya berbagai ketimpangan termasuk di antaranya ketimpangan gender.

3.1 Budaya Patriarki Menurut Agama Buddha

Kesetaraan gender bukan hal yang baru dalan agama Buddha. Hal ini dibuktikan

dalam kisah-kisah siswa sang Buddha pada saat itu. Pada periode Brahmanisme, perempuan

tidak mempunyai peran dalam berbagai segi kehidupan dan lebih mengedepankan kaum laki-

laki.Di dalam literatur Buddhis tidak pernah ditemukan bahwa antara perempuan dan laki-

laki dibedakan. Bahkan Sang Buddha tidak merendahkan atau menghina perempuan, tetapi

hanya menganggap perempuan lemah secara alami. Beliau melihat pembawaan lahir yang

baik dari laki-laki maupun perempuan dan mengangkat mereka setara dalam agama

Buddha.Alasannya adalah mereka sama-sama mempunyai kemampuan potensi untuk

mencapai kesucian (Tejanando, 2006:45).


Dalam agama Buddha, perempuan dan laki-laki sama saja. Mereka sama-sama

mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan.Bahkan dalam kegiatan religius,

laki-laki dan perempuan sama-sama dapat mencapai kesucian.Jadi, ajaran agama Buddha

tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, dalam agama Buddha tidak di kenal

adanya penggolongan patriarki.

Terlahir sebagai orang kaya atau miskin, terhormat atau tidak terhormat, terlahir

sebagai laki-laki atau perempuan itu semua karena dipengaruhi oleh karmanya sendiri-

sendiri. Seperti dalam kisah Soreyya Thera Vatthu pada Dhammapada Atthakatha III-IV

sebagai berikut:

Seorang anak bendahara bernama Soreyya disertai sahabat karibnya keluar kota
untuk mandi. Pada saat itu Maha Kaccayana berniat memasuki kota Soreyya untuk
pindapata, sedang mengenakan jubahnya di luar gerbang kota. Ketika putra
bendahara Soreyya melihat tubuh keemasan dari Maha Kaccayana Thera, ia
berpikir; ”oh, itulah dia yang dapat menjadi istriku! Semoga penampilan tubuh
istriku seperti penampilan tubuhnya?”. Segera setelah pikiran itu muncul dalam
pikiran Soreyya, ia berubah dari seorang pria menjadi perempuan (Tim Penyusun,
2005:67).

Dengan demikian menjadi seorang perempuan atau laki-laki tergantung pada apa

yang dilakukan oleh diri sendiri. Semua tergantung pada diri sendiri, misalnya ada kehendak

yang begitu kuat, karena terlalu benci terhadap perempuan sehingga terlahir menjadi

perempuan, tidak menghargai seorang ibu sehingga terlahir menjadi perempuan agar dapat

merasakan saat hamil dan melahirkan, dan sebagainya.

Antara laki-laki dan perempuan mempunyai haknya masing-masing.Baik laki-laki

maupun perempuan mempunyai hak untuk menyalurkan bakatnya masing-masing.Pada masa

sekarang ini banyak perempuan yang beraktifitas di luar rumah, baik dalam bidang politik,

sosial, dan budaya.

Dengan adanya penyetaraan tersebut maka kaum perempuan dapat menjalankan

perannya untuk berkembang dan lebih maju.Tidak ada lagi perbedaan antara perempuan dan
laki-laki dalam melakukan perannya. Namun kebersamaan dengan itu, jangan memandang

perempuan dan laki-laki mana yang lebih unggul, karena masing-masing saling melengkapi

satu sama lain.

Adapun hukum yang mendasari dengan adanya kesetaraan gender ini adalah dengan

adanya aturan hukum yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan rumah tangga

(KDRT) yaitu undang-undang No.23 tahun 2004. Pada pasal 27 Undang-undang Dasar 1945

ayat 1 menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dengan pandangan yang meletakkan harkat dan martabat manusia pada perbuatan

dan amal kebajikannya, berkenan dengan hal ini Sang Buddha menegaskan dalam Kitab

SuciVasala Sutta:

Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah (Vasala), juga bukan karena
kelahiran orang menjadi Brahmana (mulia), karena perbuatanlah orang menjadi
sampah yang melekat pada perbuatan-perbuatan jahat, karena perbuatanlah orang
menjadi mulia setelah menghancurkan nafsu-nafsu keduniawian. Kasta tidak dapat
mencegah seseorang terlahir di alam neraka dan dewa(Saddatissa, 2003: 27).

Dari kutipan di atas, jelas bahwa Buddha Gotama memandang status wanita diberi

tempat yang sama terhormatnya dengan pria, dan tidak ada satu hal pun dari wanita yang

lebih rendah dibanding pria dihubungkan dengan kemampuannya untuk mencapai tujuan

yaitu Nibbana. Tidak ada perbedaan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki.

Perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan sehingga mereka berdiri sama tinggi dan

duduk sama rendah yang artinya baik kaum perempuan maupun laki-laki mempunyai

kesempatan untuk meraih kebahagian tertinggi (Nibbana).

Kesetaraan gender sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam ajaran

Buddha. Di mana kenyataan pada saat itu pada periode Brahmanisme, perempuan tidak

mempunyai peran yang penting dalam berbagai segi kehidupan dengan mengedepankan
peran kaum laki-laki. Agama memberi perempuan hak yang sama. Kelihatannya perempuan

tidak mempunyai hak milik, didiskriminasi dalam berbagai bidang, dan umumnya menjadi

korban penyalahgunaan dalam berbagai bentuk (Dhammananda, 2003:331).

Kaum perempuan Buddhis sangat meyakini bahwa perbedaan yang ada pada diri

mereka seperti perbedaan jenis kelamin dengan kaum laki-laki, maupun perbedaan gender

tidak menghalangi mereka untuk mencapai tingkat kesucian. Hal tersebut sama seperti yang

telah diungkapkan oleh Bhikkhuni Soma berikut ini:

Apa Urusannya kehidupan perempuan


Bila pikiran terkonsentrasi dengan baik,
Bila pengetahuan mengalir dengan mantap
Ketika dia melihat dengan benar ke dalam Dhamma.

Dia yang di dalam dirinya terdapaat pemikiran,


Aku perempuan’ atau ‘Aku laki-laki
Atau ‘pada pokoknya aku ini sesuatu
Sesuai untuk disapa oleh Mara.
(Tim Penyusun, 2007 : 524)

Dari kutipan di atas, jelas bahwa tidak hanya kaum laki-laki yang bisa

mempraktekkan dan mencapai tingkat kesucian di dalam ajaran (Dhamma), kaum perempuan

pun bisa mempraktekkan Dhamma dengan baik. Sehingga tidak mengherankan banyak murid

Beliau dari kalangan wanita yang bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian

Wanita mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan.Bahkan

pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah ada sejak kerajaan seperti Sriwijaya,

Mataram Hindu dan juga kerajaan-kerajaan lain waktu itu.

Seorang perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki. Dalam

perjuangan, perempuan juga ikut serta berpartisipasi dalam memperjuangkan

kemerdekaan.Dengan demikian, kaum perempuan mempunyai peran yang tidak diragukan

lagi dan kaum perempuan tidak selamanya lemah.


Pada jaman Sang Buddha telah ada pelopor kesetaraan gender yang pertama, yaitu
Mahapajapati Gotami yang merupakan ibu tiri dari pangeran Siddharta. Beliau
meminta ijin dari Sang Buddha untuk menjadi Bhikkhuni. Meskipun pertamanya
ditolak, akan tetapi beliau tidah mudah putus asa untuk memperjuangkan
keterpurukan kaum perempuan (Tim Penyusun, 2009: 20).

Di dalam ajaran agama Buddha menyetarakan antara hak perempuan dan laki-laki.

Pada kenyataannya seorang perempuan juga mampu mencapai tingkaat kesuacian seperti

Mahapajapati Gotami. Sang Buddha sendiri sebelum terlahir menjadi Buddha, beliau

mengalami beberapa kali kelahiran kembali dan pernah terlahir menjadi seorang perempuan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang

sama. Baik kaum perempuan maupun laki-laki mempunyai kesamaan dalam memperoleh

kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam

melaksanakan kewajiban dari dalam kegiatan agama, politik, pendidikan, dan pembangunan.

Dalam agama Buddha, perempuan maupun laki-laki ada yang menempati posisi

lebih rendah atau lebih tinggi.Kelahiran bukanlah yang menentukan derajat manusia, tetapi

yang menentukan derajat manusia adalah perilakunya. Terlahir sebagai perempuan ataupun

laki-laki apabila perbuatannya sesuai dengan Dhamma maka akan mencapai kesucian

tertinggi.

3.2 Upaya Sang Buddha mewujudkan Kesetaraan Gender

Peran kaum perempuan dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang

harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh kaum laki-laki.Di

antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum diskusi, adalah

kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat.Dalam

masyarakat dalam adat Indonesia misalnya, kedudukan perempuan berbeda-beda.

Menurut Jhana Virya utama dalam bukunya yang berjudul Peranan Wanita Buddhis

dalam Mewujudkan Kesejahteraan Keluarga menjelaskan bahwa:


Gerakan perjuangan sangat marak di Indonesia.Banyak lembaga atau LSM
perempuan yang aktif melakukan pembahasan dan turun ke lapangan untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan.Namun, terkadang sebagian dari mereka
jatuh ke dalam jurang paranoidisme dan radikalisme.Dengan berdalih emansipasi
perempuan, perempuan dijatuhkan dari identitas dan kedudukan yang sebenarnya
(Utama, 2010: 3).

Aktivitas perempuan tersebut, meskipun dengan berbagai perbedaan dan sudut

pandang, berangkat dari kesadaran akan peran penting yang diemban oleh kaum perempuan.

Memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan demi mewujudkan kesejahteraan.

Perempuan mempunyai banyak kewajiban, tetapi hampir tidak mempunyai hak.

Perempuan dianggap sebagai suatu benda ketika masih muda ia menjadi kekayaan orang

tuanya, sesudah menikah ia menjadi kekayaan suaminya. Sewaktu-waktu mereka bisa

diceraikan atau dimadu begitu saja. Fisiknya yang lemah, membuat perempuan dipandang

tidak berguna karena ia tidak dapat berperang mempertahankan kehormatan. Pandangan ini

tentu saja merendahkan derajat kaum perempuan dalam masyarakat.

Agama Buddha merupakan agama yang memberi tempat, peran dan kedudukan

terhdap perempuan sehingga setara dengan laki-laki.Ajaran agama Buddha tidak

dimaksudkan untuk memprioritaskan kaum laki-laki atas perempuan, justru sebaliknya

Buddhisme memberi ruang dan peluang yang cukup besar terhadap perempuan agar dapat

mengekspresikan dirinya dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun sosial.

Status wanita dalam agama Buddha sangat berbeda dengan ajaran yang lainnya,

yaitu:

Sang Buddha memberikan kebebasan penuh terhadap wanita untuk berpartisipasi


dalam kehidupan agama.Sang Buddha sendiri merupakan guru pertama yang
memberikan kebebasan religius ini pada wanita. Sebelum Sang Buddha, tugas
wanita terbatas di dapur, wanita bahkan tidak boleh memasuki tempat ibadat mana
pun atau membacakan ayat religius (Dhammananda, 2003: 330).
Para perempuan dihadapkan pada berbagai macam ketidakmampuan sebelum

kelahiran Sang Buddha, tetapi setelah didirikannya sangha Bhikkhuni tentu itu merupakan

suatu berkah dan kebahagiaan bagi para perempuan. Dalam Sangha itu, permaisuri, putri,

perempuan dari keluarga bangsawan, janda, pelacur, dan semua baik kasta tinggi atau kasta

buangan mereka bertemu dalam satu pijakan yang sama, menikmati kebebasan dan

kedamaian sempurna, serta dapat sama-sama menghirup udara bebas.

Sang Buddha memperbolehkan perempuan membuktikan diri mereka dan

menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kemampuan seperti laki-laki untuk mencapai

tahap tertinggi dalam kehidupan religius dengan mencapai keadaan arahat (Dhammananda,

2003: 330).Di dalam ajaran agama Buddha, perempuan dan laki-laki sama-sama dapat

mengekspresikan hak-haknya. Meski seorang perempuan tidak dapat menjadi

Sammasambuddha dikarenakan perempuan mempunyai berbagai halangan, seperti tamu

bulanan dan melahirkan, akan tetapi seorang perempuan juga mampu mencapai tingkat

tertinggi, yaitu arahat.

Dalam sejarah umat manusia, sang Buddha yang pertama kali mencoba

menghapuskan perbudakan. Sehingga beliau menghimpun moralitas yang lebih tinggi dan

gagasan persaudaraan seluruh umat manusia dengan cara yang tegas mencela kaum kasta

yang merendahkan dan berakar kuat dalam masyarakat India pada masa itu. Pelopor pertama

dalam memperjuangkan kaum perempuan dalam agama Buddha adalah Mahapajapati

Gotami.Beliau adalah Bhikkhuni pertama dalam sejarah kebhikkhuan dan diikuti oleh wanita

lainnya (Tim Penyusun, 2009: 24).

Proses penerimaan bhikkhuni memerlukan perjuangan yang begitu besar. Setelah

Raja Sudhodana meninggal, Mahapajapati Gotami (istri beliau dan ibu tiri dari pangeran

Sidharta) bertanya apakah memungkinkan bagi perempuan untuk memasuki Sangha di bawah

naungan Sang Buddha. Atas pernyataan ini Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
Jangan gegabah Gotami, terhadap keinginan perempuan untuk meninggalkan
kehidupan rumah tangga dalam Dhamma dan Vinaya yang dibabarkan oleh
penemu kebenaran. Mahapajapati Gotami mengulangi pertanyaan tersebut hingga
tiga kali dan Sang Buddha memberikan jawaban yang sama. Kalimat tersebut lebih
cenderung mengingatkan agar jangan gegabah atau berhati-hati (Tim Penyusun,
2009: 21).

Keinginan Mahapajapati Gotami yang ingin menjadi bhikkhuni tidak langsung

diterima begitu saja oleh Sang Buddha. Jawaban dari Sang Buddha memperingatkan untuk

lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak menyesal dikemudian hari.

Namun Mahapajapati Gotami tidak putus asa, beliau berangkat dari Kapilavatthu
menuju Vesali guna menemui Sang Buddha. Mahapajapati Gotami dengan rambut
yang telah dicukur dan mengenakan jubah, bersama dengan perempuan-perempuan
dari suku Sakya mengikuti Sang Buddha ke Vesali. Kaki mereka penuh debu dan
bengkak karena tidak biasa menempuh jalan jauh semacam itu. Dengan kondisi
seperti itu, sambil menangis mereka berdiri di depan pintu gerbang vihara (Tim
Penyusun, 2009: 21).

Mahapajapati Gotami tetap bersemangat untuk mendapatkan izin dari Sang Buddha

menjadi bhikkhuni dengan perjuangan yang luar biasa. Perjuangan tersebut juga

membuktikan bahwa perempuan tidak lemah.Perempuan juga dapat melakukan perjuangan

yang sangat luar biasa seperti kemampuan laki-laki.

Y.M. Ananda yang melihat kondisi Mahapajapati Gotami bersama yang lain sangat
memprihatinkan dan merasa iba. Setelah mengetahui persoalannya, akhirnya
menemui Sang Buddha dan menanyakan kepada Sang Buddha.Jawaban yang
diterima tidak ada bedanya dengan jawaban yang yang diterima Mahapajapati
Gotami. Bahkan Y.M. Ananda mengulang pertanyaan yang sama sampai tiga
kalipun jawabannya tetap sama. Selanjutnya Y.M. Ananda juga mengingatkan
tentang jasa, pengabdian serta kebaikan Mahapajapati Gotami sehingga Sang
Buddha sudah semestinya menerima Mahapajapati Gotami dalam Sangha. Atas
saran ini dan dengan segala pertimbangan, Sang Buddha akhirnya mengatakan, jika
Mahapajapati Gotami mau menerima delapan peraturan keras (Atthagarudhamma)
perempuan dapat diupasampada untuk menjalani kehidupan kebhikkhunian.
Dengan senang hati dan penuh antusias, peraturan tersebut diterima (Tim
Penyusun, 2009: 22).
Delapan peraturan keras yang diberikan oleh Sang Buddha adalah semata-mata

untuk melindungi perempuan yang pada saat itu kondisi sosial, budaya, keamanan dan politik

India tidak seperti saat ini. Selain untuk melindungi para bhikkhuni juga agar saling

menghormati dan tidak ada sikap sombong, karena yang menjadi anggota Sangha berasal dari

berbagai kasta. Senioritas di dalam Sangha tidak ditentukan oleh usia kelahiran manusia,

tetapi seberapa lama menjalani kebhikkhuan.

Dalam Ambattha Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa dalam pencapaian suatu

pencerahan harus melenyapkan kesombongan. Pencapaian suatu pengetahuan tidak

ditentukan dari tingkatan kasta atau jenis kelamin tetapi dari perilaku yang sudah dilakukan.

Bukan dari sudut pandang pencapaian pengetahuan dan perilaku yang tanpa
tandingan, suatu reputasi yang berdasarkan kelahiran dan suku, dinyatakan juga
bukan dari kesombongan yang menyatakan “engkau berharga bagiku, engkau tidak
berharga bagiku!” karena di mana ada memberi, menerima, atau memberi dan
menerima dalam pernikahan, di sana selalu ada pembicaraan dan keangkuhan
ini…tetapi mereka yang diperbudak oleh hal-hal demikian adalah jauh dari
pencapaian pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan, yang dicapai dengan
meninggalkan semua hal tersebut (Walshe, 2009: 100).

Dalam mencapai pengetahuan tidak dipengaruhi oleh pangkat atau asal suku, itu

hanya akan menimbulkan kesombongan. Orang yang telah meninggalkan kesombongan

itulah sebenarnya mencapai pengetahuan.Begitu juga dalam agama Buddha, untuk mencapai

tingkat kesucian tertinggi (Nibbana) bukan berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau

perempuan tetapi moralnya yang menentukan.

4.1 Akibat Pengaruh Konsep Budaya Patriarki dalam Kehidupan Berumah Tangga

Budaya patriarki adalah suatu kondisi dan status yang tidak setara antara perempuan

dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan serta menikmati hak-haknya sebagai manusia,

sehingga salah satu atau keduanya dapat berperan secara aktif.Dengan adanya budaya
patriarki tersebut mengakibatkan dampak yang buruk terhadap perempuan, seperti

marginalisasi perempuan, subordinasi, pelabelan, kekerasan dan beban ganda.

4.1.1 Marginalisasi Perempuan

Proses marginalisasi (peminggiran atau pemiskinan) yang mengakibatkan

kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari

kampung halaman. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan

jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.Sebagai

contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program

pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-

laki.Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih

memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu,

perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh

perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

4.1.2 Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin

dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.Sudah sejak dahulu

ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-

laki.Banyak kasus dan tradisi, tafsiran ajaran maupun dalam aturan birokrasi yang

meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Sebagai contoh,

apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar

negeri harus mendapatkan izin dari suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin

dari istri.

4.1.3 Pelabelan
Pelabelan dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak

sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan

diskriminasi perempuan.Salah satu pelabelan yang berkembang berdasarkan pengertian

gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan).Misalnya pandangan

terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan

dengan pekerjaan domestik atau kerumahtanggaan.

4.1.4 Kekerasan (Violence)

Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan,

muncul dari berbagai bentuk.Kata kekerasan merupakan terjemahan dari violence, artinya

suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.Oleh karena itu

kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan

penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara

emosional terusik.

Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam

rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat.Pelaku bisa

saja suami atau ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, dan

majikan.

4.1.5 Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang

harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah

tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan
oleh perempuan.berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari

pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat

kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani

masih mendapat pembedaan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik.

Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki

di satu sisi.

Pada masa Sang Buddha, khususnya perempuan pada masa itu menurut adat dan

tradisi menganggap perempuan seperti barang, yang digunakan untuk memuaskan keinginan

para laki-laki. Hal ini juga terjadi pada literatur Jawa Kuno yang menganggap bahwa

perempuan adalah “konco wingking” artinya teman di belakang, bahkan lebih jauh lagi

bahwa perempuan hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Penentu hukum kuno di India,

telah menegaskan bahwa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.Bahkan

mereka tidak diizinkan untuk memasuki kuil dan mengikuti kegiatan keagamaan.

4.2 Upaya Mewujudkan Kerukunan Hidup Berumah Tangga

Kerukunan merupakan keadaan di mana seseorang hidup bersama secara

berdampingan antara yang satu dengan yang lain untuk saling menghormati, menghargai, dan

bertenggang rasa sehingga tidak ada suatu permasalahan dalam menjalani kehidupan secara

berdampingan. Dalam menjalani kehidupannya terdapat suatu kenyamanan untuk hidup

berdampingan serta damai dan tertib.

Bila setiap individu dalam masyarakat memiliki sikap kerukunan dalam bentuk dan

cakupan apapun, akan tercipta kedamaian sehingga dalam menjalani kehidupan akan

merasakan tentram. Rumah akan memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh
anggotanya. Suami dan istri saling melindungi saling melindungi satu sama lain, orang tua

melindungi anaknya, dan anak melindungi orang tuanya.

Rasa aman dan kehangatan sangat dibutuhkan oleh seluruh keluarga.Anak dan istri

merasa aman karena dilindungi oleh suami.Pada dasarnya setiap rumah memberikan tempat

perlindungan yang memberikan rasa aman, tentram, dan damai.Cinta kasih dari tiap anggota

keluarga merupakan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak, istri, maupun suami.

Pada umumnya setiap keluarga ingin membina dan mempertahankan suasana rukun

dan damai serta serasi di antara anggotanya.Banyak anggota keluarga melakukan usaha ke

arah terwujudnya situasi yang diidamkan meski usaha tersebut biasanya dilakukan tanpa

adanya suatu rencana, tanpa ilmu dan tanpa pengalaman.Walaupun keinginan dan usaha itu

serius, namun dalam kenyataannya kerukunan itu kurang berhasil diciptakan dan apabila

sudah tercipta ada saja yang mengalami gangguan.Demikian pula kerukunan dan keserasian

antara suami dan istri, ada kalanya terancam oleh gangguan-gangguan.

Gangguan dalam rumah tangga ini ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan antara

suami dan istri.Perselisihan paham mengenai berbagai masalah di dalam kehidupan rumah

tangga sering muncul, yang mengakibatkan terjadinya ketegangan dan akhirnya menjadi

persengketaan atau konflik.Jadi, dalam membina rumah tangga, sering timbul permasalahan

atau gangguan yang menjadi hambatan dalam menjalani kehidupannya.

Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang

biasa.Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan saling

memaki sering terjadi.Tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Apabila suami istri mampu

menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam rumah tangganya secara musyawarah

dan bijaksana, masalah yang besar akan terselesaikan dengan baik tanpa ada pertengkaran

dan kekerasan.
Melakukan pernikahan untuk membentuk sebuah rumah tangga bukan sekedar untuk

memuaskan hawa nafsu tetapi untuk saling melengkapi, saling membantu, dan saling

menjaga sehingga tercipta kebahagiaan dalam rumah tangga. Setiap manusia pasti

mempunyai suatu kelemahan dan kelebihan, yang mempunyai kelemahan perlu dibantu

sedangkan yang mempunyai kelebihan sepatutnya untuk membantu sehingga terjalin kerja

sama. Sudah sewajarnya suami menjaga atau melindungi anak dan istri agar tercipta rasa

aman dan nyaman dalam keluarga. Dengan demikian, akan tercipta kebahagiaan dan

kedamaian dalam rumah tangganya.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan melakukan perkawinan dan membentuk

sebuah rumah tangga akan mendapatkan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Namun, pada

kenyataannya tidak seperti yang diharapkan perkawinan dan permasalahan sangat sulit untuk

dipisahkan.Setelah melakukan perkawinan berarti juga harus siap untuk menghadapi berbagai

permasalahan yang timbul dalam rumah tangga.

Rasa curiga dan tidak adanya rasa saling percaya akan menjadi sebab utama

timbulnya permasalahan dalam rumah tangga. Suami ataupun istri seharusnya menunjukkan

kepercayaan yang tulus dan saling terbuka, sehingga tidak ada rahasia di antara pasangannya.

Adanya rahasia yang disembunyikan akan menciptakan rasa curiga, rasa curiga akan

menimbulkan kecemburuan, dan dari kecemburuan akan menimbulkan kebencian. Apabila

dalam rumah tangga sudah timbul rasa kebencian maka tidak ada lagi kebahagiaan yang

dirasakan.

Setiap rumah tangga tentunya mendambakan agar rumah tangganya rukun dan

langgeng.Akan tetapi kehidupan tidak lepas dari berbagai permasalahan.Suami istri dalam

menjalani hidup bersama dituntut untuk saling memahami karena dalam menjalani kehidupan

rumah tangga, kekurangan dan kelebihan saling berpadu.


Membina keluarga yang harmonis merupakan tujuan dari semua pasangan suami

istri yang ada di dunia ini.Kehidupan yang saling mendukung antara ayah, ibu, dan anak baik

disaat suka dan duka selalu didambakan oleh setiap keluarga dan juga oleh mereka yang baru

membina rumah tangga.Hal ini terucapkan dalam janji perkawinan di mana setiap keluarga

haruslah saling mendampingi dalam berbagai situasi sampai ajal memisahkan mereka.

Agar rumah tangga tercipta kerukunan maka dalam setiap pasangan harus

mempunyai sikap saling setia, saling percaya, saling menghormati, saling mengalah, saling

membantu, saling bersahabat, dan saling memelihara komunikasi.Sikap tersebut

menunjukkan bahwa suami maupun istri memiliki rasa rasa sayang terhadap pasangannya

dan menjaga kehormatan rumah tangganya.

Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.Ini adalah prinsip utama

dalam hidup bersuami istri.Suami dan istri harus saling memahami kekurangan masing-

masing, saling tenggang rasa dan penuh pengertian, serta tidak membesar-besarkan

kekurangan pasangan hidupnya.Mereka harus berusaha memahami dan menutup mata

terhadap kekurangan teman hidup itu, sambil terus mencari-cari kelebihannya,

memperhatikan dan memikirkan segi-segi baiknya.

Kunci penting lainnya dalam masalah ini adalah keterbukaan antara suami dan

istri.Suami harus tahu sifat-sifat mana saja darinya yang tidak disukai istri.Begitu juga

sebaliknya, jangan sampai ada ketidaksenangan yang mengganjal di hati.Selanjutnya, saling

memahami dan mau mengerti kekurangan masing-masing.Lebih baik lagi jika ada

kesanggupan untuk saling menyesuaikan diri.

Sang Buddha, menyatakan bahwa untuk mewujudkan kebahagiaan dalam rumah

tangganya, maka pasangan suami istri harus saling memiliki keyakinan (Samma saddha),

kemoralan (Samma sila), kemurahan hati (Samma Caga), dan kebijaksanaan (Samma Panna)

yang seimbang.
4.3 Konsep Budaya Patriarki menurut Pandangan Agama Buddha

Laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan kondisi yaitu mempunyai hak yang

sama untuk mengekspresikan perannya. Baik laki-laki maupun perempuan dapat ikut serta

dalam mengikuti berbagai kegiatan seperti politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan

agama.Dalam berbagai kegiatan tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan

perempuan.Sebagai contohnya, sekarang ini banyak wanita karir, banyak perempuan yang

menjadi menteri, dan bahkan seorang perempuan juga mampu menjadi pemimpin negara.

Kelahiran tidak menentukan derajat seseorang tetapi yang menetukan derajat adalah

perilakunya.Terlahir menjadi perempuan tidak berarti menjadi hina dan terlahir menjadi laki-

laki juga bukan berarti terhormat.Menjadi orang terhormat atau hina dipengaruhi oleh

perbuatannya masing-masing seperti sikap dan moralnya dalam hidup bermasyarakat dan

bukan karena kelahiran.

Dalam agama Buddha tidak pernah dibedakan antara laki-laki dan

perempuan.bahkan Sang Buddha sendiri tidak pernah merendahkan perempuan hanya

menganggap secara alami. Sang Buddha menganggap bahwa laki-laki dan perempuan setara

dengan alasan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki potensi untuk

mencapai kesucian.

Mampu atau tidak untuk mencapai kesucian bukan dipengaruhi oleh jenis kelamin

tetapi dipengaruhi oleh faktor perbuatan.Perempuan selemah apapun apabila selama

kehidupannya selalu berbuat baik maka mampu untuk mencapai kesucian dan sebaliknya

meskipun seorang laki-laki tetapi jarang berbuat baik maka tentu saja tidak mampu untuk

mencapai kesucian.Dengan hal ini laki-laki maupun perempuan adalah setara.

Kesetaraan gender ini mampu menghapus diskriminasi dan ketidakadilan bagi laki-

laki maupun perempuan. Laki-laki maupun perempuan mempunyai kesamaan kondisi untuk
berperan dan menyalurkan hak-haknya sebagai manusia.Perempuan mempunyai kemampuan

untuk turut serta dalam berbagai kegiatan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.

Agama Buddha merupakan agama yang memberi tempat, peran, dan kedudukan

terhadap perempuan sehingga setara dengan laki-laki.Ajaran agama Buddha tidak

dimaksudkan untuk memprioritaskan kaum laki-laki saja, tetapi memberi ruang dan peluang

yang cukup besar terhadap perempuan agar dapat mengekspresikan dirinya dalam

menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun sosial.

Prinsip serta usaha yang dilakukan oleh Sang Buddha kiranya dapat menjadi

inspirasi bagi kaum perempuan untuk berkarya dalam membangun watak manusia. Perbedaan

kelamin adalah fenomena biologis karena pada kenyataannya baik laki-laki maupun

perempuan memiliki kemampuan yang setara.Seseorang tidak dapat memilih lahir sebagai

laki-laki atau perempuan, yang menentukan lahir sebagai laki-laki atau perempuan adalah

perbuatannya yang pernah dilakukannya.

Sang Buddha sendiri memberikan kebebasan penuh terhadap perempuan untuk turut

berpartisipasi dalam kegiatan agama.Sebelumnya perempuan hanya terbatas pada kegiatan di

dapur bahkan perempuan tidak boleh memasuki tempat ibadah.Sang Buddha adalah guru

pertama yang memberikan kebebasan terhadap perempuan sehingga sekarang perempuan

mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan agama yaitu menjadi anggota Sangha.

Agama Buddha menyatarakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka mempunyai

kemampuan dan kesempatan yang sama dalam meraih kebahagiaan tertinggi. Sang Buddha

memperbolehkan perempuan untuk membuktikan dan menunjukkan kemampuannya

sebagaimana kemampuan laki-laki.

Tercapainya suatu pengetahuan tidak dipengaruhi oleh pangkat atau asal suku.Dalam

agama Buddha, untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Nibbana) bukan berdasarkan jenis

kelamin laki-laki atau perempuan tetapi berdasarkan perilakunya.Kaum perempuan Buddhis


sangat meyakini bahwa perbedaan yang ada pada diri mereka seperti perbedaan jenis kelamin

dengan kaum laki-laki, maupun perbedaan gender tidak menghalangi mereka untuk mencapai

tingkat kesucian.

Sang Buddha membuka pintu sanghabagi kaum wanita, tanpa membeda-bedakan

tingkatan, suku, ras, dan sebagainya. Para pengurus Sangha Bhikkhuni ada yang berasal dari

orang biasa maupun bangsawan. Mereka mendapat perlakuan hak dan kewajiban yang sama

dalam Sangha Bhikkhuni, tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada perbedaan. Sang

Buddha telah meningkatkan derajat kaum perempuan dengan membawa mereka kepada suatu

pengertian dan kesadaran bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang setara dengan

laki-laki.

Sang Buddha yang telah merestui didirikannya Sangha bhikkhuni, secara langsung

berarti mengangkat status kaum perempuan menjadi sama dengan laki-laki. Bahkan Sang

Buddha juga telah menghapus sistem kasta yang berlaku pada masa itu. Menurut Sang

Buddha, harkat dan martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya, oleh amal dan

kebajikannya bukan keturunannya, kastanya, rasnya, sukunya, dan jenis kelaminnya.

Patimokkha bhikkhuni lebih banyak daripada bhikkhu karena kondisi yang membedakannya.

Ajaran Buddha tidak membedakan derajat seseorang berdasarkan kasta, tetapi ajaran

Buddha menyamakan kedudukan setiap orang sebagai manusia yang mempunyai akal dan

budi pekerti adalah sama. Sang Buddha juga menerima siapa saja yang berkeinginan untuk

menjalani kehidupan suci sebagai bhikkhu dan bhikkhuni tanpa memandang keturunan.

Buddha Dhamma juga mengajarkan bahwa suku apapun, kesusukan rendah maupun

tinggi termasuk perempuan dan laki-laki semua memiliki kemampuan yang sama dalam

berjuang untuk meningkatkan kualitas batinnya. Dengan demikian, umat Buddha tidak

mempermasalahkan tentang jenis kelamin maupun derajat seseorang dalam kehidupan


ini.Ajaran Buddha mengajarkan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk, baik

yang tampak maupun yang tidak tampak tanpa kecuali.

Jadi, konsep budaya patriarki menurut agama Buddha adalah dengan menerapkan

kesamaan kondisi bagi pria dan wanita dalam memperoleh kesempatan dan hak untuk

berperan dan berpartisipasi dapat menciptakan masyarakat yang bahagia dan rukun dan dapat

menghindari adanya kekerasan di kalangan masyarakat luas pada umumnya.

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab IV di depan, dapat disimpulkan hal sebagai

berikut:

1) Terwujudnya kesetaraan gender, teratasi budaya monopoli laki-laki.

2) Menghapuskan marginalisasi perempuan, subordinasi, pelabelan, kekerasan, dan beban

ganda.

3) Untuk menghindari adanya diskriminasi dan kekerasan maka antara kaum laki-laki dan

kaum perempuan harus saling mengerti bahwa kedudukan mereka sama.

4) Agama Buddha menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai potensi

yang sama untuk mencapai kesucian karena yang menentukan tercapainya tingkat

kesucian bukanlah pangkat, derajat, ataupun jenis kelamin, akan tetapi yang menentukan

adalah perbuatan yang dilakukan selama masa kehidupan.

5) Konsep budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha adalah dengan cara laki-laki

menjalankan peran sesusai dengan kondisi laki-laki sedangkan perempuan menjalankan

peran sesuai dengan kondisi perempuan. Menyetarakan harkat dan martabat bagi laki-laki

dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak untuk berperan dan berpartisipasi

dapat menciptakan masyarakat yang bahagia dan rukun dan dapat menghindari adanya

kekerasan dikalangan masyarakat Buddhis secara khusus dan dikalangan masyarakat luas

pada umumnya.
5.2 Saran

Berdasarkan simpulan dari penelitian ini, maka penulis menyampaikan beberapa

saran agar penelitian ini dapat diterapkan dalam lingkungan masyarakat.

Saran dari penulis adalah:

1) Agar masyarakat dapat mewujudkan kerukunan dan selalu hidup bahagia.

2) Agar masyarakat khususnya umat Buddha dapat mengetahui bahwa di dalam agama

Buddha tidak membedakan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dan mereka

menjalankan tugas sesuai dengan kondisi masing-masing.

3) Agar masyarakat khususnya umat Buddha memahami pentingnya menerapkan nilai-nilai

kesetaraan gender sehingga mewujudkan kerukunan di dalam masyarakat.

4) Agar masyarakat tidak saling merendahkan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan

sehingga dapat saling menghormati.

5) Penggunaan media untuk dapat menyosialisasikan peranan kesetaraan gender.

You might also like