Professional Documents
Culture Documents
Artikel: Budaya Patriarki Menurut Pandangan Agama Buddha
Artikel: Budaya Patriarki Menurut Pandangan Agama Buddha
Oleh:
LISTIYANA
ABSTRACK
The problem which is chosen in this research is about the Patriarki culture concept
based on the gaze of Buddhist. According to the real facts, there are still many men who does
the discrimination and violence to the women, so the writer tries to choose this problem to get
The aim of this research is to the know the patriarki culture concept based on the gaze
of Buddhist. If there is a problem between men and women who proud of each grade so they
To reach the aim of research, the writer uses the comparative method by comparing
the datas or facts to get the conclusions. The reason to use that method because the data that
analyzed is a text so the writer uses the analysis data with the literature.
The result of this research shows that Sang Buddha doesn’t distinguish the men and
the women. They have the same level or grade so there is no discrimination between them.
Finally, the writer suggest the men and women to respect and appreciate each other,
so they can live happily ever after and it can avoid the violence in Buddhist society,
Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan,
karena kebudayaan berhubungan dengan budi atau akal. Kebudayaan adalah keseluruhan
hal. Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya sebuah konstruk sosial yangsecara nyata
Indonesia termasuk negara yang berpaham budaya dan berideologi patriarki yang
masih kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat.Ada tiga
merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki
yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab. Matrilineal, sistem garis
keturunan yang menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu
minangkabau.Sedangkan parental sendiri tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan
perempuan.Sistem ini dipakai oleh masyarakat suku jawa. Budaya patriarki adalah keadaan
hukum adat yang memakai nama bapak dan hubungan garis keturunan melalui garis kerabat
pria/bapak.
Banyak orang yang masih mengikuti budaya lama yaitu budaya patriarki yang
menjadikan istri hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Dengan terpaku pada konsep
budaya patriarki maka istri tidak akan mendapatkan hak-haknya dan akan tertindas oleh
suami. Kasus seperti itu sering menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga dan tidak
sedikit perceraian terjadi karena istri merasa tidak bahagia disebabkan terkekang oleh
misalnya mengerjakan ladang, menjahit, membatik, dan kegiatan lainnya. Keluarga akan
berdiri kuat dan berwibawa bila perempuan dan laki-laki berada dalam keadaan seimbang,
Akhir-akhir ini, konflik sering timbul di dalam keluarga, bahkan tingkat perceraian
dan kekerasan dalam rumah tangga semakin tinggi.Konflik rumah tangga kerap terjadi karena
adanya perbedaan pandangan terhadap nilai-nilai kehidupan. Hal ini dipengaruhi cara
pandang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, karena nilai kehidupan yang dianut
masing-masing berbeda.
Konflik suami istri yang sedang bertikai, menjadi semakin memuncak ketika
kehendak pribadi, dan saling memberikan penilaian negative kepada pasangannya. Berbagai
konflik dalam keluarga apabila tidak diselesaikan dengan kepala dingin hanya akan
mengakibatkan kefatalan. Seperti yang sedang marak pada akhir-akhir ini, yaitu terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.Dalam kasus demikian pihak perempuan atau
dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari
mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya,
pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan
dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur
keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga.Selain itu mengukuhkan stereotipe peran
Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian
mendapat pengakuan setelah Indonesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27
UUD, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai
bidang kehidupan.Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan
yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat
Berdasarkan hal di atas, penulis terdorong untuk membahas lebih dalam masalah
konsep budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha yang diharapkan dapat
memberikan dampak positif bagi setiap individu dalam kehidupan berumah tangga maupun
adalah:
Masalah ini perlu diteliti agar mendapatkan pemecahan masalah yang berkaitan
kekerasan, dan beban ganda. Solusi yang didapat dari penelitian ini nantinya dapat
diterapkan, sehingga rumah tangga yang kurang harmonis karena istri merasa tertindas akan
terjalin kerukunan dalam rumah tangga tersebut. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna
bagi masyarakat atau keluarga untuk mewujudkan kerukunan dengan menerapkan konsep
berikut:
2) Adanya pemikiran masyarakat yang terpaku pada filsafat kuno yang menyatakan
3) Banyaknya pihak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
dikesampingkan.
aspek-aspek kehidupan.
tenaga, biaya serta kemampuan penulis, maka peneliti membatasi masalah hanya pada nomor
lima, yaitu Masih kurangnya pemahaman bahwa konsep budaya patriarki sangat
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis merumuskan pokok
2) Bagaimana upaya dalam merubah pola pikir masyarakat tentang adanya konsep
patriarki?
2) Upaya dalam merubah pola pikir masyarakat tentang adanya konsep budaya patriarki.
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ”. Dalam bahasa Belanda, kebudayaan
adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa Arab Tsaqafah yang diadopsi
dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut Gazalba kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil
kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2)
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku (Tim Penyusun,
2008).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki adalah (1) bapak dan
kepala keluarga; datuk; (2) pendiri sesuatu; (3) orang tua yang sangat dihargai atau dihormati;
sesepuh; (4) Kris ulama tertinggi gereja Kristen Ortodoks; Uskup Agung; Maha Uskup (Tim
Penyusun, 2008).
Pengertian budaya patriaki, Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur
yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi
budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub
ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi
suatu norma.
keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan
masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada
perempuan, sehingga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang antara keduanya,
meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek dan struktur kehidupan manusia yang
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ”. Dalam bahasa Belanda, kebudayaan
adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa Arab Tsaqafah yang diadopsi
dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut Gazalba kebudayaan adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil
kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2)
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku (Tim Penyusun,
2008).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki adalah (1) bapak dan
kepala keluarga; datuk; (2) pendiri sesuatu; (3) orang tua yang sangat dihargai atau dihormati;
sesepuh; (4) Kris ulama tertinggi gereja Kristen Ortodoks; Uskup Agung; Maha Uskup (Tim
Penyusun, 2008).
Pengertian budaya patriaki, Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur
yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi
budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub
ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi
suatu norma.
keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan
masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada
perempuan, sehingga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang antara keduanya,
di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam budaya dan ideologi patriarki, telah
meninggalkan dampak negatif di berbagai aspek dan struktur kehidupan manusia yang
Kesetaraan gender bukan hal yang baru dalan agama Buddha. Hal ini dibuktikan
dalam kisah-kisah siswa sang Buddha pada saat itu. Pada periode Brahmanisme, perempuan
tidak mempunyai peran dalam berbagai segi kehidupan dan lebih mengedepankan kaum laki-
laki.Di dalam literatur Buddhis tidak pernah ditemukan bahwa antara perempuan dan laki-
laki dibedakan. Bahkan Sang Buddha tidak merendahkan atau menghina perempuan, tetapi
hanya menganggap perempuan lemah secara alami. Beliau melihat pembawaan lahir yang
baik dari laki-laki maupun perempuan dan mengangkat mereka setara dalam agama
laki-laki dan perempuan sama-sama dapat mencapai kesucian.Jadi, ajaran agama Buddha
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, dalam agama Buddha tidak di kenal
Terlahir sebagai orang kaya atau miskin, terhormat atau tidak terhormat, terlahir
sebagai laki-laki atau perempuan itu semua karena dipengaruhi oleh karmanya sendiri-
sendiri. Seperti dalam kisah Soreyya Thera Vatthu pada Dhammapada Atthakatha III-IV
sebagai berikut:
Seorang anak bendahara bernama Soreyya disertai sahabat karibnya keluar kota
untuk mandi. Pada saat itu Maha Kaccayana berniat memasuki kota Soreyya untuk
pindapata, sedang mengenakan jubahnya di luar gerbang kota. Ketika putra
bendahara Soreyya melihat tubuh keemasan dari Maha Kaccayana Thera, ia
berpikir; ”oh, itulah dia yang dapat menjadi istriku! Semoga penampilan tubuh
istriku seperti penampilan tubuhnya?”. Segera setelah pikiran itu muncul dalam
pikiran Soreyya, ia berubah dari seorang pria menjadi perempuan (Tim Penyusun,
2005:67).
Dengan demikian menjadi seorang perempuan atau laki-laki tergantung pada apa
yang dilakukan oleh diri sendiri. Semua tergantung pada diri sendiri, misalnya ada kehendak
yang begitu kuat, karena terlalu benci terhadap perempuan sehingga terlahir menjadi
perempuan, tidak menghargai seorang ibu sehingga terlahir menjadi perempuan agar dapat
sekarang ini banyak perempuan yang beraktifitas di luar rumah, baik dalam bidang politik,
perannya untuk berkembang dan lebih maju.Tidak ada lagi perbedaan antara perempuan dan
laki-laki dalam melakukan perannya. Namun kebersamaan dengan itu, jangan memandang
perempuan dan laki-laki mana yang lebih unggul, karena masing-masing saling melengkapi
Adapun hukum yang mendasari dengan adanya kesetaraan gender ini adalah dengan
adanya aturan hukum yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan rumah tangga
(KDRT) yaitu undang-undang No.23 tahun 2004. Pada pasal 27 Undang-undang Dasar 1945
ayat 1 menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
Dengan pandangan yang meletakkan harkat dan martabat manusia pada perbuatan
dan amal kebajikannya, berkenan dengan hal ini Sang Buddha menegaskan dalam Kitab
SuciVasala Sutta:
Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah (Vasala), juga bukan karena
kelahiran orang menjadi Brahmana (mulia), karena perbuatanlah orang menjadi
sampah yang melekat pada perbuatan-perbuatan jahat, karena perbuatanlah orang
menjadi mulia setelah menghancurkan nafsu-nafsu keduniawian. Kasta tidak dapat
mencegah seseorang terlahir di alam neraka dan dewa(Saddatissa, 2003: 27).
Dari kutipan di atas, jelas bahwa Buddha Gotama memandang status wanita diberi
tempat yang sama terhormatnya dengan pria, dan tidak ada satu hal pun dari wanita yang
lebih rendah dibanding pria dihubungkan dengan kemampuannya untuk mencapai tujuan
yaitu Nibbana. Tidak ada perbedaan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan sehingga mereka berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah yang artinya baik kaum perempuan maupun laki-laki mempunyai
Kesetaraan gender sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam ajaran
Buddha. Di mana kenyataan pada saat itu pada periode Brahmanisme, perempuan tidak
mempunyai peran yang penting dalam berbagai segi kehidupan dengan mengedepankan
peran kaum laki-laki. Agama memberi perempuan hak yang sama. Kelihatannya perempuan
tidak mempunyai hak milik, didiskriminasi dalam berbagai bidang, dan umumnya menjadi
Kaum perempuan Buddhis sangat meyakini bahwa perbedaan yang ada pada diri
mereka seperti perbedaan jenis kelamin dengan kaum laki-laki, maupun perbedaan gender
tidak menghalangi mereka untuk mencapai tingkat kesucian. Hal tersebut sama seperti yang
Dari kutipan di atas, jelas bahwa tidak hanya kaum laki-laki yang bisa
mempraktekkan dan mencapai tingkat kesucian di dalam ajaran (Dhamma), kaum perempuan
pun bisa mempraktekkan Dhamma dengan baik. Sehingga tidak mengherankan banyak murid
pemberdayaan dan kemitrasejajaran perempuan telah ada sejak kerajaan seperti Sriwijaya,
Di dalam ajaran agama Buddha menyetarakan antara hak perempuan dan laki-laki.
Pada kenyataannya seorang perempuan juga mampu mencapai tingkaat kesuacian seperti
Mahapajapati Gotami. Sang Buddha sendiri sebelum terlahir menjadi Buddha, beliau
mengalami beberapa kali kelahiran kembali dan pernah terlahir menjadi seorang perempuan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang
sama. Baik kaum perempuan maupun laki-laki mempunyai kesamaan dalam memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
melaksanakan kewajiban dari dalam kegiatan agama, politik, pendidikan, dan pembangunan.
Dalam agama Buddha, perempuan maupun laki-laki ada yang menempati posisi
lebih rendah atau lebih tinggi.Kelahiran bukanlah yang menentukan derajat manusia, tetapi
yang menentukan derajat manusia adalah perilakunya. Terlahir sebagai perempuan ataupun
laki-laki apabila perbuatannya sesuai dengan Dhamma maka akan mencapai kesucian
tertinggi.
Peran kaum perempuan dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang
harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh kaum laki-laki.Di
antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum diskusi, adalah
kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat.Dalam
Menurut Jhana Virya utama dalam bukunya yang berjudul Peranan Wanita Buddhis
pandang, berangkat dari kesadaran akan peran penting yang diemban oleh kaum perempuan.
Perempuan dianggap sebagai suatu benda ketika masih muda ia menjadi kekayaan orang
diceraikan atau dimadu begitu saja. Fisiknya yang lemah, membuat perempuan dipandang
tidak berguna karena ia tidak dapat berperang mempertahankan kehormatan. Pandangan ini
Agama Buddha merupakan agama yang memberi tempat, peran dan kedudukan
Buddhisme memberi ruang dan peluang yang cukup besar terhadap perempuan agar dapat
Status wanita dalam agama Buddha sangat berbeda dengan ajaran yang lainnya,
yaitu:
kelahiran Sang Buddha, tetapi setelah didirikannya sangha Bhikkhuni tentu itu merupakan
suatu berkah dan kebahagiaan bagi para perempuan. Dalam Sangha itu, permaisuri, putri,
perempuan dari keluarga bangsawan, janda, pelacur, dan semua baik kasta tinggi atau kasta
buangan mereka bertemu dalam satu pijakan yang sama, menikmati kebebasan dan
menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kemampuan seperti laki-laki untuk mencapai
tahap tertinggi dalam kehidupan religius dengan mencapai keadaan arahat (Dhammananda,
2003: 330).Di dalam ajaran agama Buddha, perempuan dan laki-laki sama-sama dapat
bulanan dan melahirkan, akan tetapi seorang perempuan juga mampu mencapai tingkat
Dalam sejarah umat manusia, sang Buddha yang pertama kali mencoba
menghapuskan perbudakan. Sehingga beliau menghimpun moralitas yang lebih tinggi dan
gagasan persaudaraan seluruh umat manusia dengan cara yang tegas mencela kaum kasta
yang merendahkan dan berakar kuat dalam masyarakat India pada masa itu. Pelopor pertama
Gotami.Beliau adalah Bhikkhuni pertama dalam sejarah kebhikkhuan dan diikuti oleh wanita
Raja Sudhodana meninggal, Mahapajapati Gotami (istri beliau dan ibu tiri dari pangeran
Sidharta) bertanya apakah memungkinkan bagi perempuan untuk memasuki Sangha di bawah
naungan Sang Buddha. Atas pernyataan ini Sang Buddha menjawab sebagai berikut:
Jangan gegabah Gotami, terhadap keinginan perempuan untuk meninggalkan
kehidupan rumah tangga dalam Dhamma dan Vinaya yang dibabarkan oleh
penemu kebenaran. Mahapajapati Gotami mengulangi pertanyaan tersebut hingga
tiga kali dan Sang Buddha memberikan jawaban yang sama. Kalimat tersebut lebih
cenderung mengingatkan agar jangan gegabah atau berhati-hati (Tim Penyusun,
2009: 21).
diterima begitu saja oleh Sang Buddha. Jawaban dari Sang Buddha memperingatkan untuk
lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak menyesal dikemudian hari.
Namun Mahapajapati Gotami tidak putus asa, beliau berangkat dari Kapilavatthu
menuju Vesali guna menemui Sang Buddha. Mahapajapati Gotami dengan rambut
yang telah dicukur dan mengenakan jubah, bersama dengan perempuan-perempuan
dari suku Sakya mengikuti Sang Buddha ke Vesali. Kaki mereka penuh debu dan
bengkak karena tidak biasa menempuh jalan jauh semacam itu. Dengan kondisi
seperti itu, sambil menangis mereka berdiri di depan pintu gerbang vihara (Tim
Penyusun, 2009: 21).
Mahapajapati Gotami tetap bersemangat untuk mendapatkan izin dari Sang Buddha
menjadi bhikkhuni dengan perjuangan yang luar biasa. Perjuangan tersebut juga
Y.M. Ananda yang melihat kondisi Mahapajapati Gotami bersama yang lain sangat
memprihatinkan dan merasa iba. Setelah mengetahui persoalannya, akhirnya
menemui Sang Buddha dan menanyakan kepada Sang Buddha.Jawaban yang
diterima tidak ada bedanya dengan jawaban yang yang diterima Mahapajapati
Gotami. Bahkan Y.M. Ananda mengulang pertanyaan yang sama sampai tiga
kalipun jawabannya tetap sama. Selanjutnya Y.M. Ananda juga mengingatkan
tentang jasa, pengabdian serta kebaikan Mahapajapati Gotami sehingga Sang
Buddha sudah semestinya menerima Mahapajapati Gotami dalam Sangha. Atas
saran ini dan dengan segala pertimbangan, Sang Buddha akhirnya mengatakan, jika
Mahapajapati Gotami mau menerima delapan peraturan keras (Atthagarudhamma)
perempuan dapat diupasampada untuk menjalani kehidupan kebhikkhunian.
Dengan senang hati dan penuh antusias, peraturan tersebut diterima (Tim
Penyusun, 2009: 22).
Delapan peraturan keras yang diberikan oleh Sang Buddha adalah semata-mata
untuk melindungi perempuan yang pada saat itu kondisi sosial, budaya, keamanan dan politik
India tidak seperti saat ini. Selain untuk melindungi para bhikkhuni juga agar saling
menghormati dan tidak ada sikap sombong, karena yang menjadi anggota Sangha berasal dari
berbagai kasta. Senioritas di dalam Sangha tidak ditentukan oleh usia kelahiran manusia,
Dalam Ambattha Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa dalam pencapaian suatu
ditentukan dari tingkatan kasta atau jenis kelamin tetapi dari perilaku yang sudah dilakukan.
Bukan dari sudut pandang pencapaian pengetahuan dan perilaku yang tanpa
tandingan, suatu reputasi yang berdasarkan kelahiran dan suku, dinyatakan juga
bukan dari kesombongan yang menyatakan “engkau berharga bagiku, engkau tidak
berharga bagiku!” karena di mana ada memberi, menerima, atau memberi dan
menerima dalam pernikahan, di sana selalu ada pembicaraan dan keangkuhan
ini…tetapi mereka yang diperbudak oleh hal-hal demikian adalah jauh dari
pencapaian pengetahuan dan perilaku yang tanpa tandingan, yang dicapai dengan
meninggalkan semua hal tersebut (Walshe, 2009: 100).
Dalam mencapai pengetahuan tidak dipengaruhi oleh pangkat atau asal suku, itu
itulah sebenarnya mencapai pengetahuan.Begitu juga dalam agama Buddha, untuk mencapai
tingkat kesucian tertinggi (Nibbana) bukan berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau
4.1 Akibat Pengaruh Konsep Budaya Patriarki dalam Kehidupan Berumah Tangga
Budaya patriarki adalah suatu kondisi dan status yang tidak setara antara perempuan
dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan serta menikmati hak-haknya sebagai manusia,
sehingga salah satu atau keduanya dapat berperan secara aktif.Dengan adanya budaya
patriarki tersebut mengakibatkan dampak yang buruk terhadap perempuan, seperti
kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari
kampung halaman. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan
jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.Sebagai
contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program
laki.Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih
memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu,
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh
perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
4.1.2 Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.Sudah sejak dahulu
ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-
laki.Banyak kasus dan tradisi, tafsiran ajaran maupun dalam aturan birokrasi yang
meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Sebagai contoh,
apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar
negeri harus mendapatkan izin dari suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin
dari istri.
4.1.3 Pelabelan
Pelabelan dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan
gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan).Misalnya pandangan
terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
muncul dari berbagai bentuk.Kata kekerasan merupakan terjemahan dari violence, artinya
suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.Oleh karena itu
kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara
emosional terusik.
rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat.Pelaku bisa
saja suami atau ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, dan
majikan.
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang
harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan
oleh perempuan.berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat
masih mendapat pembedaan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik.
Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki
di satu sisi.
Pada masa Sang Buddha, khususnya perempuan pada masa itu menurut adat dan
tradisi menganggap perempuan seperti barang, yang digunakan untuk memuaskan keinginan
para laki-laki. Hal ini juga terjadi pada literatur Jawa Kuno yang menganggap bahwa
perempuan adalah “konco wingking” artinya teman di belakang, bahkan lebih jauh lagi
bahwa perempuan hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Penentu hukum kuno di India,
mereka tidak diizinkan untuk memasuki kuil dan mengikuti kegiatan keagamaan.
berdampingan antara yang satu dengan yang lain untuk saling menghormati, menghargai, dan
bertenggang rasa sehingga tidak ada suatu permasalahan dalam menjalani kehidupan secara
Bila setiap individu dalam masyarakat memiliki sikap kerukunan dalam bentuk dan
cakupan apapun, akan tercipta kedamaian sehingga dalam menjalani kehidupan akan
merasakan tentram. Rumah akan memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh
anggotanya. Suami dan istri saling melindungi saling melindungi satu sama lain, orang tua
Rasa aman dan kehangatan sangat dibutuhkan oleh seluruh keluarga.Anak dan istri
merasa aman karena dilindungi oleh suami.Pada dasarnya setiap rumah memberikan tempat
perlindungan yang memberikan rasa aman, tentram, dan damai.Cinta kasih dari tiap anggota
keluarga merupakan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak, istri, maupun suami.
Pada umumnya setiap keluarga ingin membina dan mempertahankan suasana rukun
dan damai serta serasi di antara anggotanya.Banyak anggota keluarga melakukan usaha ke
arah terwujudnya situasi yang diidamkan meski usaha tersebut biasanya dilakukan tanpa
adanya suatu rencana, tanpa ilmu dan tanpa pengalaman.Walaupun keinginan dan usaha itu
serius, namun dalam kenyataannya kerukunan itu kurang berhasil diciptakan dan apabila
sudah tercipta ada saja yang mengalami gangguan.Demikian pula kerukunan dan keserasian
suami dan istri.Perselisihan paham mengenai berbagai masalah di dalam kehidupan rumah
tangga sering muncul, yang mengakibatkan terjadinya ketegangan dan akhirnya menjadi
persengketaan atau konflik.Jadi, dalam membina rumah tangga, sering timbul permasalahan
memaki sering terjadi.Tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Apabila suami istri mampu
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam rumah tangganya secara musyawarah
dan bijaksana, masalah yang besar akan terselesaikan dengan baik tanpa ada pertengkaran
dan kekerasan.
Melakukan pernikahan untuk membentuk sebuah rumah tangga bukan sekedar untuk
memuaskan hawa nafsu tetapi untuk saling melengkapi, saling membantu, dan saling
menjaga sehingga tercipta kebahagiaan dalam rumah tangga. Setiap manusia pasti
mempunyai suatu kelemahan dan kelebihan, yang mempunyai kelemahan perlu dibantu
sedangkan yang mempunyai kelebihan sepatutnya untuk membantu sehingga terjalin kerja
sama. Sudah sewajarnya suami menjaga atau melindungi anak dan istri agar tercipta rasa
aman dan nyaman dalam keluarga. Dengan demikian, akan tercipta kebahagiaan dan
sebuah rumah tangga akan mendapatkan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Namun, pada
kenyataannya tidak seperti yang diharapkan perkawinan dan permasalahan sangat sulit untuk
dipisahkan.Setelah melakukan perkawinan berarti juga harus siap untuk menghadapi berbagai
Rasa curiga dan tidak adanya rasa saling percaya akan menjadi sebab utama
timbulnya permasalahan dalam rumah tangga. Suami ataupun istri seharusnya menunjukkan
kepercayaan yang tulus dan saling terbuka, sehingga tidak ada rahasia di antara pasangannya.
Adanya rahasia yang disembunyikan akan menciptakan rasa curiga, rasa curiga akan
dalam rumah tangga sudah timbul rasa kebencian maka tidak ada lagi kebahagiaan yang
dirasakan.
Setiap rumah tangga tentunya mendambakan agar rumah tangganya rukun dan
langgeng.Akan tetapi kehidupan tidak lepas dari berbagai permasalahan.Suami istri dalam
menjalani hidup bersama dituntut untuk saling memahami karena dalam menjalani kehidupan
istri yang ada di dunia ini.Kehidupan yang saling mendukung antara ayah, ibu, dan anak baik
disaat suka dan duka selalu didambakan oleh setiap keluarga dan juga oleh mereka yang baru
membina rumah tangga.Hal ini terucapkan dalam janji perkawinan di mana setiap keluarga
haruslah saling mendampingi dalam berbagai situasi sampai ajal memisahkan mereka.
Agar rumah tangga tercipta kerukunan maka dalam setiap pasangan harus
mempunyai sikap saling setia, saling percaya, saling menghormati, saling mengalah, saling
menunjukkan bahwa suami maupun istri memiliki rasa rasa sayang terhadap pasangannya
Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.Ini adalah prinsip utama
dalam hidup bersuami istri.Suami dan istri harus saling memahami kekurangan masing-
masing, saling tenggang rasa dan penuh pengertian, serta tidak membesar-besarkan
Kunci penting lainnya dalam masalah ini adalah keterbukaan antara suami dan
istri.Suami harus tahu sifat-sifat mana saja darinya yang tidak disukai istri.Begitu juga
memahami dan mau mengerti kekurangan masing-masing.Lebih baik lagi jika ada
tangganya, maka pasangan suami istri harus saling memiliki keyakinan (Samma saddha),
kemoralan (Samma sila), kemurahan hati (Samma Caga), dan kebijaksanaan (Samma Panna)
yang seimbang.
4.3 Konsep Budaya Patriarki menurut Pandangan Agama Buddha
Laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan kondisi yaitu mempunyai hak yang
sama untuk mengekspresikan perannya. Baik laki-laki maupun perempuan dapat ikut serta
dalam mengikuti berbagai kegiatan seperti politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan
agama.Dalam berbagai kegiatan tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan.Sebagai contohnya, sekarang ini banyak wanita karir, banyak perempuan yang
menjadi menteri, dan bahkan seorang perempuan juga mampu menjadi pemimpin negara.
Kelahiran tidak menentukan derajat seseorang tetapi yang menetukan derajat adalah
perilakunya.Terlahir menjadi perempuan tidak berarti menjadi hina dan terlahir menjadi laki-
laki juga bukan berarti terhormat.Menjadi orang terhormat atau hina dipengaruhi oleh
perbuatannya masing-masing seperti sikap dan moralnya dalam hidup bermasyarakat dan
menganggap secara alami. Sang Buddha menganggap bahwa laki-laki dan perempuan setara
dengan alasan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki potensi untuk
mencapai kesucian.
Mampu atau tidak untuk mencapai kesucian bukan dipengaruhi oleh jenis kelamin
kehidupannya selalu berbuat baik maka mampu untuk mencapai kesucian dan sebaliknya
meskipun seorang laki-laki tetapi jarang berbuat baik maka tentu saja tidak mampu untuk
Kesetaraan gender ini mampu menghapus diskriminasi dan ketidakadilan bagi laki-
laki maupun perempuan. Laki-laki maupun perempuan mempunyai kesamaan kondisi untuk
berperan dan menyalurkan hak-haknya sebagai manusia.Perempuan mempunyai kemampuan
untuk turut serta dalam berbagai kegiatan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Agama Buddha merupakan agama yang memberi tempat, peran, dan kedudukan
dimaksudkan untuk memprioritaskan kaum laki-laki saja, tetapi memberi ruang dan peluang
yang cukup besar terhadap perempuan agar dapat mengekspresikan dirinya dalam
Prinsip serta usaha yang dilakukan oleh Sang Buddha kiranya dapat menjadi
inspirasi bagi kaum perempuan untuk berkarya dalam membangun watak manusia. Perbedaan
kelamin adalah fenomena biologis karena pada kenyataannya baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kemampuan yang setara.Seseorang tidak dapat memilih lahir sebagai
laki-laki atau perempuan, yang menentukan lahir sebagai laki-laki atau perempuan adalah
Sang Buddha sendiri memberikan kebebasan penuh terhadap perempuan untuk turut
dapur bahkan perempuan tidak boleh memasuki tempat ibadah.Sang Buddha adalah guru
mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan agama yaitu menjadi anggota Sangha.
kemampuan dan kesempatan yang sama dalam meraih kebahagiaan tertinggi. Sang Buddha
Tercapainya suatu pengetahuan tidak dipengaruhi oleh pangkat atau asal suku.Dalam
agama Buddha, untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi (Nibbana) bukan berdasarkan jenis
dengan kaum laki-laki, maupun perbedaan gender tidak menghalangi mereka untuk mencapai
tingkat kesucian.
tingkatan, suku, ras, dan sebagainya. Para pengurus Sangha Bhikkhuni ada yang berasal dari
orang biasa maupun bangsawan. Mereka mendapat perlakuan hak dan kewajiban yang sama
dalam Sangha Bhikkhuni, tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada perbedaan. Sang
Buddha telah meningkatkan derajat kaum perempuan dengan membawa mereka kepada suatu
pengertian dan kesadaran bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang setara dengan
laki-laki.
Sang Buddha yang telah merestui didirikannya Sangha bhikkhuni, secara langsung
berarti mengangkat status kaum perempuan menjadi sama dengan laki-laki. Bahkan Sang
Buddha juga telah menghapus sistem kasta yang berlaku pada masa itu. Menurut Sang
Buddha, harkat dan martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya, oleh amal dan
Patimokkha bhikkhuni lebih banyak daripada bhikkhu karena kondisi yang membedakannya.
Ajaran Buddha tidak membedakan derajat seseorang berdasarkan kasta, tetapi ajaran
Buddha menyamakan kedudukan setiap orang sebagai manusia yang mempunyai akal dan
budi pekerti adalah sama. Sang Buddha juga menerima siapa saja yang berkeinginan untuk
menjalani kehidupan suci sebagai bhikkhu dan bhikkhuni tanpa memandang keturunan.
Buddha Dhamma juga mengajarkan bahwa suku apapun, kesusukan rendah maupun
tinggi termasuk perempuan dan laki-laki semua memiliki kemampuan yang sama dalam
berjuang untuk meningkatkan kualitas batinnya. Dengan demikian, umat Buddha tidak
Jadi, konsep budaya patriarki menurut agama Buddha adalah dengan menerapkan
kesamaan kondisi bagi pria dan wanita dalam memperoleh kesempatan dan hak untuk
berperan dan berpartisipasi dapat menciptakan masyarakat yang bahagia dan rukun dan dapat
5.1. Simpulan
berikut:
ganda.
3) Untuk menghindari adanya diskriminasi dan kekerasan maka antara kaum laki-laki dan
4) Agama Buddha menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai potensi
yang sama untuk mencapai kesucian karena yang menentukan tercapainya tingkat
kesucian bukanlah pangkat, derajat, ataupun jenis kelamin, akan tetapi yang menentukan
5) Konsep budaya patriarki menurut pandangan agama Buddha adalah dengan cara laki-laki
peran sesuai dengan kondisi perempuan. Menyetarakan harkat dan martabat bagi laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak untuk berperan dan berpartisipasi
dapat menciptakan masyarakat yang bahagia dan rukun dan dapat menghindari adanya
kekerasan dikalangan masyarakat Buddhis secara khusus dan dikalangan masyarakat luas
pada umumnya.
5.2 Saran
2) Agar masyarakat khususnya umat Buddha dapat mengetahui bahwa di dalam agama
Buddha tidak membedakan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dan mereka
4) Agar masyarakat tidak saling merendahkan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan