Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

I Wayan Rusastra, Benny Rachman dan Supena Friyatno


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Secondary crops (corn, soybean, and peanut) considered to be having second position after rice as the main
staple food in Indonesia. All of those commodities were the main potential competitors of rice in term of land
utilization, important role in improving structural and fertility of agricultural land, and substantial potential
domestic market. The objectives of this paper are to analyze the profitability, comparative advantage,
protection structural, and the impact of government policies to the competitiveness of the said commodities
with respect to rice. Based on the value of DRCR, the stability of economic efficiency of corn and peanut
with respect to the possibility of decreasing productivity or international parity price was relatively higher than
soybean. In the condition of existing technology as well as the current farmer’s management capacity, corn
and peanut farming was reasonable to have priority on secondary crops development. Soybean farming can
be developed on the regimes being traditionally potential in term of resources endowment and high
comparative advantages. Compared to rice, secondary crop’s farmer did not yet receive appropriate
incentive and protection policies from the government. The policy instrument of input and output price was
necessary for accelerating and strengthening growth of production and productivity of secondary crops,
which currently relatively low. The current structural protection of food crops was necessary to improve, in
which corn and peanut with higher comparative advantage compared to soybean and rice, have to receive
better incentive from food crops economic system.
Key words : secondary crops; comparative advantage; protection structure.

PENDAHULUAN

Palawija merupakan kelompok komoditas tanaman pangan kedua terpenting setelah padi.
Jagung, kedelai, dan kacang tanah merupakan komoditas palawija utama yang diusahakan
petani pada musim kemarau pada berbagai jenis pengairan di lahan sawah. Ketiga jenis
komoditas ini juga dapat diusahakan pada musim penghujan untuk lahan sawah yang memiliki
drainase pengairan cukup baik. Fakta empiris di lapangan untuk beberapa lokasi, ketiga jenis
komoditas palawija ini memiliki potensi sebagai pesaing komoditas padi dalam pemanfaatan
sumber daya lahan.

Terdapat beberapa pertimbangan kenapa petani mengusahakan komoditas palawija


bersamaan/bergiliran dengan komoditas padi, yaitu: (a) Hemat dalam penggunaan air, sehingga
dapat diusahakan pada musim kemarau saat persediaan air terbatas; (b) Pemanfaatan palawija
dalam pola tanam setahun dapat memulihkan struktur dan kesuburan lahan; (c) Pengusahaan
palawija dapat memotong siklus hama dan penyakit pada tanaman padi; (d) Komoditas palawija
memiliki potensi pasar dalam negeri yang cukup besar, di mana sebagian kebutuhannya dipenuhi
dari impor; dan (e) Komoditas ini memiliki potensi pengembangan yang relatif masih terbuka dan
pada daerah dengan potensi pengembangan yang baik, palawija dapat memberikan tingkat
keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi.

Dalam konteks palawija sebagai kompetitor utama padi, analisis daya saing memiliki peran
strategis sebagai basis perumusan kebijakan. Instrumen kebijakan perlu dirancang sedemikian
rupa agar sumber daya yang langka pada suatu wilayah dimanfaatkan oleh komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi. Pada tingkat keuntungan relatif sama,
komoditas dengan keunggulan komparatif yang lebih tinggi perlu didorong dan difasilitasi
pengembangannya. Di samping itu peluang untuk peningkatan keunggulan komparatif antar
komoditas perlu diketahui keragaannya. Komoditas dengan tingkat stabilitas keunggulan
komparatif yang tinggi dan memiliki potensi dan kemudahan dalam peningkatan produktivitas
untuk mencapai tingkat daya saing yang lebih baik perlu mendapatkan prioritas dalam
pengembangan.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka tujuan dari tulisan ini adalah: (a)
Menganalisis tingkat profitabilitas finansial dan ekonomi komoditas palawija; (b) Menganalisis
keunggulan komparatif dan kompetitif yang merefleksikan daya saing komoditas palawija; (c)
Melakukan analisis sensitivitas daya saing terhadap perubahan harga paritas output dan
perubahan produktivitas untuk mengetahui tingkat stabilitas daya saing komoditas yang diteliti;
dan (d) Menganalisis strutkur proteksi dan dampak kebijakan pemerintah kaitannya dengan
kinerja daya saing komoditas palawija.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian, Informasi dan Data

Dari tujuh kabupaten contoh dalam penelitian ini yang tersebar di lima provinsi, lokasi
pengusahaan palawija adalah sebagai berikut:

(a) Komoditas kedelai diusahakan di dua kabupaten yaitu Klaten dan Ngawi. Di Klaten kedelai
diusahakan pada jenis irigasi teknis dan tadah hujan, sedangkan di Ngawi diusahakan pada
tiga jenis pengairan yaitu pengairan setengah teknis, sederhana dan tadah hujan. Kedelai
umumnya diusahakan pada MK I atau MK II.
(b) Komoditas jagung diusahakan di tiga kabupaten yaitu Klaten, Kediri dan Sidrap. Di Kediri,
jagung diusahakan pada seluruh jenis sistem pengairan, pada MK I dan MK II. Di Sidrap,
jagung diusahakan di tiga sistem pengairan (kecuali jenis pengairan teknis), pada MK II. Di
Klaten, jagung hanya diusahakan pada musim kemarau pada jenis pengairan setengah
teknis dan tadah hujan.
(c) Pengembangan kacang tanah sebagai kompetitor padi juga relatif terbatas. Komoditas ini
hanya diusahakan di dua kabupaten yaitu Klaten dan Sidrap pada agroekosistem pengairan
yang terbatas. Di Sidrap, kacang tanah diusahakan pada sistem pengairan setengah teknis
(MK I dan MK II), dan tadah hujan (MK II 2001). Di Klaten pengembangannya juga mencakup
pada dua sistem pengairan, yaitu irigasi teknis (MK II 2001), dan lahan tadah hujan (MK II
2001).

Pendekatan Analisis

Untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis
yaitu, Analisis Matriks Kebijaksanaan (Policy Analysis Matrix, PAM). PAM digunakan untuk
menganalisis: analisis kelayakan baik secara private maupun secara sosial, keunggulan
kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta dampak
intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Analisis daya saing pada
dasarnya membutuhkan data pokok dan proses sebagai berikut: (a) Data input-output fisik
usahatani komoditas yang diteliti; (2) Harga finansial dan ekonomi input-output usahatani; (3)
Pemisahan komponen domestik dan asing masukan (input) usahatani; (4) Penghitungan
komponen pokok analisis matrik kebijaksanaan; dan (5) Penghitungan indikator hasil analisis
yang mencakup analisis keuntungan, efisiensi finansial dan ekonomi, dan dampak kebijakan
pemerintah. Pada tingkat usahatani (level farm gate), namun informasi pada industri pengolahan
maupun pemasaran diperlukan untuk melakukan penyesuaian dalam penentuan harga sosial.
Untuk jelasnya Matriks PAM dapat dilihat pada Tabel 1.

Baris pertama dari Matriks PAM adalah perhitungan dengan harga privat atau harga pasar, yaitu
harga yang betul-betul diterima atau dibayarkan oleh pelaku ekonomi. Baris kedua merupakan
perhitungan yang didasarkan pada harga sosial (shadow price), yaitu harga yang
menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya
maupun hasil. Baris ketiga merupakan perbedaan perhitungan dari harga privat dengan harga
sosial sebagai akibat dari dampak kebijaksanaan pemerintah. Untuk input dan output yang dapat
diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga
perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance
and Freight), sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board).
Sedangkan untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan biaya imbangannya
(opportunity cost).

Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM)

Biaya
Penerimaan Input Input non- Keuntungan
tradable tradable
Harga privat A B C D=A–B–C
Harga sosial E F G H=E–F–G
Divergensi I=A–E J=B–F K=C–G L=I–J–K=D–H
Sumber: Eric A. Monke dan Scott R. Pearson, 1989
Keterangan: D = Keuntungan Privat; H = Keuntungan Sosial; I = Output Transfer;
J = Input Transfer; K = Factor Transfer; L = Net Transfer

Beberapa indikator kunci yang dapat diperoleh dari PAM diantaranya adalah:

1. Analisis Keuntungan

a. Private Profitability (PP) : D = A – (B+C)

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas
berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D
> 0, maka sistem komoditas menghasilkan laba di atas biaya normal yang berarti bahwa
komoditas itu secara finansial layak diusahakan, kecuali apabila sumber daya terbatas atau
adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan.

b. Social Profitability (SP): H = E – (F+G)

Keuntungan sosial merupakan indikator keuntungan komparatif (comparative advantage) dari


sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi harga baik akibat kebijakan pemerintah
maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, maka sistem komoditas menghasilkan laba atas biaya
normal dalam harga sosial dan mempunyai keunggulan komparatif untuk dikembangkan di dalam
negeri.

2. Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dan Efisiensi Ekonomi (Keunggulan Komparatif)

a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B): yaitu indikator profitabilitas privat yang menunjukkan
kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat
kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif.
b. Domestic Resource Cost (DRC) = G/(E –F): yaitu indikator keunggulan komparatif, yang
menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu
unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRC < 1. Semakin kecil nilai DRC
berarti sistem semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi.

3. Dampak Kebijaksanaan Pemerintah

a. Kebijakan Output

(a) Output Transfer : OT = A-E: Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang
dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga
sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat
(konsumen) atau pemerintah terhadap produsen, demikian juga sebaliknya.
(b) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A/E; yaitu indikator yang menunjukkan
tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif
terhadap output jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO berarti semakin tinggi tingkat
proteksi pemerintah terhadap output.

b. Kebijakan Input

(1) Input Transfer: IT = B – F: Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat
diperdagangkan pada harga private dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga
sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen
input tradable atau pemerintah.
(2) Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) = B/F; yaitu indikator yang menunjukkan
tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat
protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi input tradable.
(3) Factor Transfer. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat
dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi
yang tidak diperdagangkan. Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani
produsen kepada produsen input non tradable atau pemerintah, demikian juga sebaliknya.

c. Kebijakan Input-Output

(1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F); yaitu indikator yang menunjukkan tingkat
proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika
nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah
terhadap komoditas pertanian domestik.
(2) Net Transfer: NT = D – H Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang
benarbenar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0,
menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya.
(3) Profitability Coefficient: PC = D/H Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara
keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih
sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif
kepada produsen, demikian juga sebaliknya.
(4) Subsidity Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D-H)/E; yaitu indikator yang menunjukkan proporsi
penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai
pengganti kebijakan.

KEUNTUNGAN FINANSIAL DAN EKONOMI Keuntungan Finansial

Pada bahasan ini akan dianalisis secara spasial keuntungan finansial menurut wilayah, jenis atau
sistem pengairan, dan pada musim tanam yang berbeda. Keuntungan finansial adalah selisih
penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga keluaran yang diterima dan harga
masukan yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa
tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas yang merefleksikan keuntungan relatif terhadap
penerimaan juga ditampilkan sebagai indikator komparasi secara spasial.
Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan
diterima petani, dan kebijaksanaan yang sedang berjalan nampak bahwa usahatani kedelai tidak
memberikan keuntungan pada petani produsen (Tabel 2). Secara finansial usahatani kedelai
tidak memiliki keunggulan kompetitif dan dinilai tidak efisien dalam pemanfaatan sumberdaya.
Komoditas ini akan mengalami hambatan dalam pengembangannya bila terdapat komoditas lain
yang ternyata memiliki daya saing yang lebih tinggi secara finansial.

Keuntungan Ekonomi

Keuntungan ekonomi mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam


pemanfaatan sumber daya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output
diperhitungkan dalam kondisi pasar persaingan sempurna di mana segala bentuk subsidi dan
proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah ditiadakan. Sistem komoditas dengan tingkat
keuntungan ekonomi yang semakin tinggi menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang
semakin besar.

Dengan mengabaikan segala bentuk kebijakan yang mendistorsi pasar input dan output, nampak
bahwa usahatani kedelai memberikan tingkat keuntungan, kecuali di Ngawi (irigasi sederhana-
MK 2), dengan kerugian secara relatif sebesar 12,7 persen (Tabel 5). Tingkat keuntungan paling
tinggi diperoleh pada pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan (MK I) di Kabupaten Ngawi
dengan nilai absolut sebesar Rp 634.204/ha atau secara relatif sebesar 21,3 persen. Sistem
irigasi dengan keunggulan komparatif berikutnya adalah irigasi setengah teknis (MK II) di Ngawi
dengan keuntungan relatif 10,5

Komoditas Kedelai

Secara umum dapat dinyatakan usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif yang
ditunjukkan oleh nilai PCR yang lebih besar daripada satu (Tabel 8). Indikator profitabilitas privat
ini menunjukkan bahwa sistem usahatani kedelai tidak mampu membayar korbanan biaya
domestik, sehingga ia tidak memiliki keunggulan kompetitif dalam pemanfaatan sumberdaya.
Keadaan ini menjadi salah satu sebab kenapa usahatani kedelai relatif tidak berkembang di
lapangan, karena secara finansial tidak memiliki keunggulan kompetitif.

Di lain pihak, secara ekonomi usahatani kedelai memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan
oleh nilai DRCR lebih kecil dari satu, kecuali di lahan irigasi sederhana (MK II) di Kabupaten
Ngawi. Namun demikian, nilai besaran DRCR dinilai sangat marginal, yaitu mendekati satu,
sehingga akan sangat rentan terhadap perubahan faktor eksternal. Di Kabupaten Klaten kisaran
nilai DRCR adalah antara 0,92 (lahan irigasi teknis) dan 0,99 (lahan tadah hujan), pada musim
tanam yang sama (MK II).

Di Kabupaten Ngawi kisaran DRCR adalah 0,75 – 1,15. Keunggulan komparatif tertinggi
didapatkan pada pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan pada MK I di Kabupaten Ngawi. Jadi
untuk menghemat satu satuan devisa melalui pengembangan usahatani kedelai untuk memenuhi
kebutuhan domestik dibutuhkan pengorbanan sumber daya di dalam negeri lebih kecil dari satu
US$, yaitu US$ 0.75. Pengusahaan kedelai di lahan irigasi sederhana pada MK II dinilai tidak
memiliki keunggulan komparatif karena sumber daya domestik yang harus dikorbankan lebih
besar dari satu US$, yaitu US$ 1,15.

ANALISIS SENSITIVITAS HARGA PARITAS DAN PRODUKTIVITAS

Komoditas Kedelai

Bahasan ini diarahkan untuk mengetahui tingkat stabilitas keunggulan komparatif terhadap
kemungkinan perubahan produktivitas dan harga komoditas di pasar dunia. Semakin tinggi
persentase penurunan harga atau produktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai DRCR = 1,
maka semakin tinggi tingkat stabilitas keunggulan komparatif suatu komoditas.

Hasil analisis pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat stabilitas keunggulan komparatif kedelai
adalah sangat rentan terhadap perubahan dari salah satu indikator produktivitas atau harga
kedelai di pasar dunia. Sebagai ilustrasi bila produktivitas atau harga paritas kedelai menurun di
atas 1,80 persen di lahan irigasi ½ teknis (MK II), Ngawi maka pengusahaan kedelai untuk
memenuhi kebutuhan domestik menjadi tidak layak secara ekonomi.

Di lahan irigasi teknis pada musim yang sama di Klaten terdapat toleransi yang lebih besar, yaitu
bila terjadi penurunan harga/produktivitas di atas 7,18 persen. Jadi pada tingkat keunggulan
komparatif yang marginal, perubahan produktivitas/ harga paritas yang relatif kecil menyebabkan
pengusahaan kedelai menjadi tidak layak atau tidak efisien secara ekonomi.

KEBIJAKSANAAN INSENTIF

Instrumen kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan dan mengembangkan sektor


pertanian tidak hanya berupa insentif terhadap harga output, namun juga terhadap input
produksinya. Upaya mengetahui dampak kebijaksanaan harga input, khususnya bagi petani
sebagai konsumen dari input produksi yang digunakan dapat dilihat dari nilai transfer input dan
koefisien proteksi input nominal (NPCI).

Sedangkan dampak kebijaksanaan harga output dapat dicirikan dari nilai transfer output dan
koefisien proteksi output nominal (NPCO). Selanjutnya, untuk menelaah pengaruh bersih dari
kebijaksanaan pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer bersih dan koefisien proteksi efektif
(EPC). Ukuran-ukuran tersebut dipandang penting untuk mengetahui derajat dari proteksi yang
menyebabkan adanya perbedaan nilai tambah pada kondisi sebelum dan setelah adanya
proteksi.

Selengkapnya, hasil analisis kebijaksanaan insentif disajikan dalam Tabel 14 dan 15.

Proteksi Input

Kedelai

Kebijaksanaan input yang diterapkan pemerintah berdampak disinsentif bagi petani palawija
(kedelai), seperti dicirikan dari harga input produksi yang dibayar petani cenderung lebih tinggi
dari harga sosialnya. Untuk Kabupaten Klaten, transfer negatif melalui ongkos produksi berkisar
Rp 30 ribu - Rp 62 ribu atau petani membayar input produksi sekitar 8-13 persen lebih mahal dari
harga sosialnya. Sementara untuk Kabupaten Ngawi, transfer negatif berkisar Rp 1 ribu - Rp 34
ribu atau petani membayar 0 – 15 persen lebih tinggi dari harga yang seharusnya (harga sosial).
Secara agregat, petani kedelai di kedua kabupaten memperoleh dis-insentif harga input (pupuk)
sekitar 0 – 15 persen. Transfer negatif tersebut terutama berasal dari pembayaran biaya pupuk,
sehingga harga pupuk yang relatif mahal ini dapat menghambat upaya pengembangan usahatani
kedelai.

Dekomposisi input produksi (pupuk) menunjukkan bahwa harga pupuk Urea yang dibayar petani
kedelai di Kabupaten Klaten relatif sama dengan harga sosialnya, sedangkan untuk pupuk SP-
36, harga yang dibayar petani lebih tinggi 3 – 7 persen dari harga sosialnya.

Sementara itu, untuk petani kedelai di Kabupaten Ngawi memberikan gambaran yang relatif
sama, dimana harga pupuk Urea yang dibayar petani relatif sama dengan harga sosialnya,
sedangkan untuk SP-36 dan ZA masing-masing 3 persen dan 7 persen lebih tinggi dari harga
sosialnya, namun bervariasi antar musim.

Proteksi Output

Terdapatnya distorsi harga domestik dan harga internasional tidak terlepas dari adanya intervensi
pemerintah, baik berupa subsidi, pajak maupun kebijaksanaan perdagangan. Bentuk
perlindungan ini secara implisit diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk dalam negeri
maupun pasar ekspor. Besarnya perlindungan/proteksi harga jual output dapat diindikasikan dari
nilai transfer output, yang merupakan perbedaan penerimaan usahatani riil diterima petani
dengan penerimaan usahatani yang menggunakan harga sosial. Sedangkan tingkat proteksi
nominal output dapat dicirikan dari koefisien nominal proteksi output (NPCO).

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum di seluruh wilayah penelitian, petani belum
menikmati kebijaksanaan harga output palawija (kedelai, jagung, dan kacang tanah) dari
pemerintah atau terjadi pengalihan surplus produsen kepada konsumen. Harga jual di tingkat
petani cenderung lebih rendah dari harga output yang seharusnya dibayar masyarakat (harga
sosial). Untuk keseluruhan wilayah transfer output negatif ketiga komoditas tersebut berkisar Rp
7,76 ribu – Rp 2,8 juta dengan tingkat proteksi nominal output negatif yang diterima petani
palawija berkisar 0 – 31 persen.

Transfer output negatif yang diterima petani relatif bervariasi menurut lokasi dan komoditas.
Untuk komoditas kedelai (kecuali MK II di Ngawi), petani memperoleh harga jual lebih rendah dari
harga paritas impor. Transfer output negatif berkisar Rp 7,76 ribu – Rp 647 ribu dengan tingkat
proteksi nominal output negatif berkisar 1 – 18 persen. Kecenderungan yang sama, untuk
komoditas jagung yang diusahakan di Klaten, Kediri dan Sidrap, nilai transfer output yang diterima
petani produsen sejalan dengan tingkat proteksi output (NPCO) yang relatif rendah, dan hal ini
memberi makna bahwa produsen domestik menerima harga jual lebih rendah dibanding harga di
pasar internasional.

Petani menerima transfer output negatif berkisar Rp 875 ribu – Rp 2,78 juta dengan tingkat
proteksi output negatif berkisar 9 – 31 persen. Sementara itu, untuk komoditas kacang tanah di
Klaten dan Sidrap, petani menerima harga output yang relatif sama dengan harga sosialnya.
Hasil analisis ini membawa pada pengertian terjadinya proses pengalihan surplus petani
produsen kepada konsumen (masyarakat), sebagaimana tercermin dari rendahnya harga yang
diterima oleh petani dibanding harga yang sesungguhnya (pasar internasional).

Proteksi Efektif (EPC)

Untuk mengetahui dampak kumulatif kebijakan output dan input tradable dapat ditelusuri dari
transfer bersih (net transfer) yang diterima petani dan nilai koefisien proteksi efektif (EPC).
Besarnya proteksi efektif yang dinikmati petani sangat tergantung dari kombinasi transfer output
dan transfer input. Hasil analisis mengindikasikan bahwa secara umum petani palawija (kedelai,
jagung dan kc. tanah) tidak memperoleh perlindungan efektif dari pemerintah, baik untuk output
maupun input. Hal ini tercermin dari net transfer yang negatif dan nilai EPC yang kurang dari satu,
sehingga petani cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga output yang tidak
sesuai dengan harga sosialnya.

Untuk keseluruhan komoditas dan wilayah, net transfer negatif yang diterima petani berkisar dari
terendah Rp 4,9 ribu (kacang tanah) hingga tertinggi Rp 2,9 juta (jagung), dengan tingkat proteksi
efektif negatif berkisar 2 – 38 persen. Dengan demikian, petani hanya memperoleh 62 – 98
persen dari nilai tambah pasar bersaing sempurna. Relatif rendahnya proteksi efektif yang
diterima petani palawija dikarenakan petani membayar tradable inputs lebih tinggi dari harga
sosialnya, sementara harga jual output lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa efek kumulatif dari kebijakan pemerintah bagi sistem
usahatani palawija dinilai kurang efektif melindungi petani, dan dapat menghambat peningkatan
produksi palawija domestik. Temuan yang sama dari hasil penelitian Hutabarat et al. (1997)
menginformasikan bahwa petani produsen palawija di luar Jawa belum menikmati proteksi harga
dari adanya kebijaksanaan pemerintah, sebagaimanatercermin dari net transfer negatif yang
diterima oleh petani.

Dari ketiga komoditas palawija yang dikaji, komoditas jagung menerima net transfer negatif
(disincentive) terbesar dengan kisaran Rp1,0 juta - Rp 2,9 juta, dengan tingkat proteksi efektif
negatif berkisar 23 – 42 persen. Temuan senada (Rachman dan Agustian, 1997) menunjukkan
bahwa petani jagung di Sumatera Selatan dan Jambi belum menikmati perlindungan efektif dari
hadirnya kebijaksanaan pemerintah.

Sementara itu, temuan berbeda (Simatupang, 2002) yang dilakukan di Lampung dan Sumatera
Utara mengindikasikan bahwa distorsi pasar cenderung menguntungkan petani jagung yang
memperoleh subsidi netto berkisar Rp 121 ribu – Rp 208 ribu per hektar dengan tingkat proteksi
efektif sekitar 4 persen.

Selanjutnya, ditelaah menurut komoditas tampak net transfer negatif teritinggi untuk komoditas
kedelai dan kacang tanah masingmasing adalah Rp 667 ribu dan Rp 117 ribu dengan tingkat
proteksi efektif negatif 2` persen dan 4 persen. Dengan pengertian lain, secara efektif
kebijaksanaan yang diterapkan pemerintah cenderung tidak melindungi produsen palawija
domestik. Konotasi yang sama juga terlihat secara parsial wilayah dan tipe lahan, di mana petani
palawija menerima disincentive dari kebijakan yang diintrodusir pemerintah.

Dibandingkan dengan padi, struktur insentif yang dialami komoditas palawija ini nampak
kontradiktif. Komoditas palawija (khususnya dibandingkan dengan padi, justru mendapat
disinsentif dari sistem ekonomi yang ada. Petani produsen palawija membayar harga input yang
lebih mahal dan menerima harga output yang lebih murah dari harga sosialnya, sehingga secara
total memperoleh disinsentif. Petani padi, walaupun tetap membayar harga input lebih mahal,
namun menikmati proteksi output, sehingga secara total tetap menikmati perlindungan dari
pemerintah. Di empat kabupaten pengembangan palawija (Klaten, Kediri, Ngawi, dan Sidrap),
usahatani padi menikmati harga output sekitar 3,00 persen – 34,0 persen lebih tinggi dari harga
paritas, dan menikmati total insentif dengan nilai yang sama. Secara nominal, kisaran nilai insentif
bersih yang diterima petani padi adalah Rp 134 ribu – Rp 1,42 juta/ha.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

(1) Dari tiga jenis komoditas palawija yang diusahakan, komoditas jagung dan kacang tanah
memberikan keuntungan ekonomis dan memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kedelai dan padi. Berdasarkan pada besaran nilai DRCR, kinerja efisiensi
ekonomi jagung dan kacang tanah memiliki tingkat stabilitas yang relatif tinggi terhadap
kemungkinan penurunan produktivitas atau harga paritas di pasar dunia. Stabilitas keunggulan
komparatif ini nampak semakin mantap pada kondisi jenis irigasi yang semakin baik dan
pengusahaan pada MK I.
(2) Pada kondisi eksistensi teknologi dan kemampuan manajemen petani saat ini, pengusahaan
jagung atau kacang tanah perlu diberikan prioritas, karena dinilai mampu memanfaatkan sumber
daya secara lebih efisien. Komoditas kedelai dapat diusahakan pada daerah-daerah yang secara
tradisional memiliki potensi dan daya saing yang cukup tinggi seperti Banyuwangi, Jember,
Pasuruan, dan Lamongan yang memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi. Di dalam
mempertahankan daya saing komoditas jagung dan kacang tanah ini perlu dilakukan upaya
pemantapan peningkatan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan masukan untuk mengimbangi
kemungkinan indikasi penurunan harga kedua jenis komoditas ini di pasar dunia.

(3) Secara umum petani produsen palawija (kedelai, jagung dan kacang tanah) di lokasi penelitian
belum menikmati perlindungan (insentif) dari adanya kebijaksanaan pemerintah, bahkan
cenderung mengalami kehilangan surplus. Keadaannya berbeda dengan padi yang mendapat
perlindungan dari pemerintah. Meskipun keragaan produksi dan produktivitas dari komoditas
palawija tersebut masih tergolong rendah, namun peluang pengembangannya masih terbuka.
Oleh karenanya, dipandang penting adanya instrumen kebijaksanaan insentif baik dari segi harga
output maupun harga input yang mampu memacu pertumbuhan produksi dan produktivitasnya.

(4) Transfer output negatif dan tingkat proteksi negatif yang diterima petani menunjukkan
terjadinya proses pengalihan surplus petani produsen kepada konsumen (masyarakat),
sebagaimana tercermin dari rendahnya harga jual yang diterima petani dibanding harga yang
seharusnya diterima. Sementara transfer input negatif terutama berasal dari pembayaran biaya
pupuk, sehingga harga pupuk yang relatif mahal ini dapat menghambat upaya pengembangan
produksi dan produktivitas usahatani palawija.

Struktur proteksi tanaman pangan perlu dibenahi, di mana jagung dan kacang tanah yang
memiliki keunggulan komparatif lebih baik dari kedelai dan padi, perlu mendapatkan perlindungan
dari sistem ekonomi dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Hermanto, A. Zulham, and S.H. Suhartini. 1993. Local Comparative Advantage of Soybean Production:
Case from East Java, Indonesia. Local Soybean Economics and Government Policies in Thailand
and Indonesia. (Ed. P.Jierwiriyapant et al.), CGPRT Center and CASER, Bogor.
Hutabarat, B., A. Djauhari, A. Agustian, B. Rachman. 1997. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumberdaya
Pertumbuhan Produksi Tanaman Pangan di Luar Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.
Kariyasa, K. dan M.O. Adnyana. 1998. Analisis Keunggulan Komparatif, Dampak Kebijaksanaan Harga dan
Mekanisme Pasar Terhadap Agribisnis Jagung di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Nasional
Jagung: Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi.
Balit Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Ujung Pandang, 11 – 12 Nopember 1997.
Kasryno, F. 1990. Government Policies and Economic Analysis of Livestock Commodity System in
Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structure of Livestock and Feedstuff Subsectors
in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang), CASER, Bogor.
Monke, E.A. and S.R. Pearson 1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development. Cornell
University Press. Ithaca and London.
Rachman, B. dan A. Agustian. 1997. Analisis Dampak Kebijaksanaan Insentif Usahatani Padi dan Jagung
Di Luar Jawa. Prosiding Seminar Nasional Jagung. Balai Penelitian Jagung dan Sereal.
Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan, and Y. Saefudin. 1987. Price and Investment
in the Indonesian Food Crops Sector. IFPRI, Washington, D.C. and CASER, Bogor, Indonesia.
Rusastra, I W. 1995. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional Kedelai
Indonesia. Ekonomi Kedelai di Indonesia (Ed. B. Amang, M.H. Sawit, A. Rachman), IPB Press,
Bulog, Jakarta.
Rusastra, I W., R. Sajuti dan Ch. Muslim. 1992. Telaahan Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa
Timur. FPAE Vol.9 No.2 dan Vol.10 No.1, Juli 1992, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and Government Protection Structure of Soybean Production
in Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structures of the Livestock and Feedstuff
Subsectors in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang). CASER, AARD, Bogor.
Simatupang, P. 2002. Daya Saing dan Efisiensi Usahatani Jagung Hibrida Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor, 24 Juni 2002.

You might also like