Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 78

MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI BETINA

TRENGGILING JAWA (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN


KHUSUS PADA KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN
FOLIKEL DAN DISTRIBUSI KARBOHIDRAT
PADA OVARIUM

AIDELL FITRI RACHMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRACT

AIDELL FITRI RACHMAWATI. Morphological study on the Female


Reproductive Organ of Malayan Pangolin (Manis javanica) with Special
Refferences on the Characteristic of Follicular Development and Distribution of
Carbohydrates in the Ovary. Under direction of CHAIRUN NISA’ and ITA
DJUWITA

The study was aimed to acquire data on the morphology and morphometry
of the female reproductive organ of Malayan pangolin and to identify
characteristic of follicular development and distribution of carbohydrates in the
follicle of ovary. The female reproductive organs were observed macroscopically
and their histological characteristic were investigated by general histological
procedure. The division of follicular development performed based on the shape
and layers of granulosa cells in follicle, the tickness of zona pellucida, and the
present of antrum folliculi. The identification of acid and neutral carbohydrates
distribution in the follicle was performed using alcian blue (AB) pH 2.5 and
periodic acid Schiff (PAS) staining respectively. The collected datas were
analyzed descriptively. The result of the study showed that Malayan pangolin
have a bicornuate uterus. Their mucosa of the cervix devided into primary,
secondary and tertiary folds. Both ovaries have ovoid/ellipsoidal in shape and
their medula filled with the large amount of interstitial secretory cells. Follicular
development in the ovary is devided into 10 stages. Stages 1-2 is primordial
follicle, stages 3-4 is primary follicle, stages 5-7 is secondary follicle, and stages
8-10 is tertiary follicle. The amount of developed follicle in the left ovary is
higher than in the righ ovary. Acid carbohydrate begin to appear in zona pelucida
of follicle type 5 and the neutral carbohydrate begin to appear in extracelluler
matrix of follicle type 4 with the very low intensity of positive reaction.

Keywords : Malayan Pangolin, female reproductive organ, ovary, follicular


development, carbohydrate distribution.

ii
RINGKASAN

AIDELL FITRI RACHMAWATI. Morfologi Organ Reproduksi Betina


Trenggiling Jawa (Manis javanica) dengan Tinjauan Khusus pada Karakteristik
Perkembangan Folikel dan Distribusi Karbohidrat pada Ovarium. Dibimbing oleh
CHAIRUN NISA’ dan ITA DJUWITA.

Trenggiling merupakan salah satu mamalia unik yang dilindungi. Terdapat


delapan spesies trenggiling di dunia yang tersebar di wilayah hutan tropis Asia
dan daerah tropis hingga subtropis Afrika. Trenggiling Jawa (Manis javanica)
merupakan jenis yang dapat ditemukan di Indonesia. Persebaran trenggiling Jawa
di Indonesia adalah mencakup pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali dan
beberapa pulau kecil di sekitarnya. Keberadaan trenggiling Jawa di alam
mengalami penurunan akibat perburuan liar dan kerusakan habitat sehingga
trenggiling Jawa dimasukkan ke dalam daftar satwa terancam punah (endangered
species) dan golongan Apendix II. Risiko kepunahan trenggiling Jawa yang tinggi
dapat didukung pula oleh kemampuan reproduksinya yang hanya dapat
menghasilkan 1-2 anak dalam satu periode kebuntingan. Salah satu upaya
konservasi yang dapat dilakukan untuk melestarikan jenis trenggiling Jawa adalah
dengan meningkatkan pemahaman tentang organ reproduksi betina trenggiling
Jawa khususnya pada bagian ovarium.
Penelitian dilakukan terhadap morfologi dan morfometri serta gambaran
mikroskopis ovarium (n=4), dan saluran reproduksi yang terdiri dari tuba uterina,
kornua uteri, korpus uteri, serviks uteri, vagina (n=2); karakteristik perkembangan
folikel dalam ovarium; dan distribusi karbohidrat pada perkembangan ovarium.
Ovarium dan salurannya difiksasi dengan larutan Bouin dan diproses sesuai
dengan standar pembuatan preparat histologi. Preparat diwarnai dengan
pewarnaan hematoksilin eosin dan Masson’s trichome untuk mengamati
gambaran mikroskopis organ reproduksi secara umum, serta pewarnaan alcian
blue (AB) pH 2.5 untuk mendeteksi keberadaan karbohidrat asam dan periodic
acid Schiff (PAS) untuk mendeteksi keberadaan karbohidrat netral.
Perhitungan jumlah folikel dilakukan dengan metode estimasi, yaitu dengan
terlebih dahulu mencari faktor pengali untuk masing-masing tipe folikel. Faktor
pengali dihitung dengan cara menjumlahkan setiap tipe folikel pada 25 sayatan
serial pertama, kemudian dibagi dengan jumlah folikel pada setiap kelipatan lima.
Estimasi jumlah folikel pada setiap tahapan diketahui dari hasil perkalian faktor
pengali dengan jumlah folikel pada setiap tahap yang ditemukan pada sayatan ke-
1, 5, 10, 15, 20, dan 25 pada setiap ovarium.
Organ reproduksi betina trenggiling Jawa yang telah difiksasi terdiri dari
sepasang ovarium, sepasang tuba uterina, sepasang kornua uteri, korpus uteri,
serviks uteri, vagina, vestibula dan vulva. Bentuk ovarium tersebut adalah oval
menyerupai telur hingga lonjong dan memiliki permukaan yang tidak rata. Ukuran
ovarium kanan dan kiri baik dari satu individu maupun dari individu yang berbeda

iii
memiliki perbedaan. Secara histologis, ovarium trenggiling Jawa memiliki
keistimewaan pada bagian medula. Jaringan ikat (mesovarium) pada bagian hilus
ovari tidak menyusup ke dalam bagian medula, melainkan menyusup menjadi
bagian tunika albuginea. Bagian medula didominasi oleh se-sel sekretori
interstisial.
Trenggiling Jawa memiliki uterus dengan tipe bikornua. Secara
mikroskopis, bagian endometrium pada trenggiling Jawa dilapisi oleh epitel
silindris sebaris yang membentuk lipatan mukosa longitudinal. Bagian lamina
propria endometrium yang merupakan lapisan fungsional memiliki kelenjar uterin
dalam jumlah yang banyak.
Serviks uteri pada trenggiling Jawa memiliki mukosa yang berlipat. Lipatan
ini terbagi menjadi lipatan primer, sekunder dan tersier. Epitel yang menutupi
mukosa serviks uteri adalah epitel silindris sebaris bersilia yang memiliki sel
goblet. Sel goblet berfungsi untuk menyediakan mukus karena pada daerah lamina
propria serviks sangat sedikit ditemukan kelenjar.
Perkembangan folikel dapat ditemukan di lapisan korteks pada bagian
superfisial ovarium. Folikel dalam ovarium dikelompokkan ke dalam 10 tipe
berdasarkan perkembangannya. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada
bentuk dan lapisan sel granulosa pada folikel, ketebalan zona pelusida dan
keberadaan antrum folikuli. Masing-masing tahap perkembangan diwakili oleh 1
tipe folikel yang memiliki karakteristik tersendiri.
Folikel tipe 1 memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh satu lapis sel
pregranulosa yang berbentuk pipih. Folikel tipe 2 yang merupakan perkembangan
lanjutan dari folikel tipe 1. Folikel ini memiliki karakteristik oosit yang dikelilingi
oleh sel pregranulosa yang berbentuk peralihan antara pipih dan kuboid. Folikel
tipe 3 memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa berbentuk
kuboid. Folikel tipe 4 memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh lebih dari satu
sampai dua lapis sel granulosa berbentuk kuboid. Folikel tipe 5 memiliki ciri oosit
yang dikelilingi oleh tiga sampai lima lapis sel granulosa. Pada folikel ini zona
pelusida sudah mulai terbentuk sebagai suatu lapisan tipis disekeliling oosit.
Folikel tipe 6 memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan folikel
tipe 5. Perbedaan dengan folikel tipe 5 terletak pada jumlah sel granulosa yang
mengelilingi oosit. Pada folikel tipe 6 sel granulosa berkembang hingga mencapai
6-12 lapis. Selain itu zona pelusida terlihat jelas sebagai lapisan tipis di antara
oosit. Folikel tipe 6 berkembang menjadi folikel tipe 7 yang memiliki
karakteristik yang hampir sama dengan folikel tipe 6. Ciri khas folikel tipe 7
adalah zona pelusida yang terlihat semakin menebal. Antrum folikuli mulai
terbentuk pada folikel tipe 8. Antrum folikuli tersebut semakin membesar
sehingga folikel berkembang menjadi folikel tipe 9. Oosit pada folikel tipe 9
mulai bergerak ke tepi folikel. Folikel tipe 10 merupakan tahap akhir
perkembangan tipe folikel sebelum diovulasikan. Oosit pada folikel tipe 10 berada
di tepi folikel dengan antrum folikuli yang membesar.
Folikel tipe 1 merupakan tipe folikel yang jumlahnya paling mendominasi
dalam ovarium. Selain itu folikel tipe 1 lebih banyak ditemukan pada trenggiling

iv
MJ-2. Persentase perkembangan folikel lebih banyak ditemukan pada ovarium
kiri, sehingga diduga ovarium kiri memiliki aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ovarium kanan.
Distribusi karbohidrat diamati pada oosit, matriks ekstraseluler, zona
pelusida, dan cairan folikuli setiap folikel. Hasil pengamatan memperlihatkan
adanya perbedaan distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat netral pada setiap
tahap perkembangan folikel. Pewarnaan AB pH 2.5 menunjukkan hasil positif
mulai dari folikel tipe 5. Reaksi positif pewarnaan PAS mulai terlihat pada folikel
tipe 4, yaitu pada matriks ekstraseluler dengan intensitas reaksi positif yang sangat
lemah (±).

Kata kunci: Trenggiling Jawa, organ reproduksi betina, ovarium, perkembangan


folikel, distribusi karbohidrat.

v
MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI BETINA
TRENGGILING JAWA (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN
KHUSUS PADA KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN
FOLIKEL DAN DISTRIBUSI KARBOHIDRAT
PADA OVARIUM

AIDELL FITRI RACHMAWATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Morfologi Organ Reproduksi


Betina Trenggiling Jawa (Manis javanica) dengan Tinjauan Khusus pada
Karakteristik Perkembangan Folikel dan Distribusi Karbohidrat pada Ovarium
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Aidell Fitri Rachmawati


NIM B04070023

i
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

vi
Judul Skripsi : Morfologi Organ Reproduksi Betina Trenggiling Jawa (Manis
javanica) dengan Tinjauan Khusus pada Karakteristik
Perkembangan Folikel dan Distribusi Karbohidrat pada Ovarium
Nama : Aidell Fitri Rachmawati
NRP : B04070023

Disetujui

Dr. Drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet. Dr. Drh. Ita Djuwita, MPhil, PAVet (K)
Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

viii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi dengan judul ”Morfologi Organ Reproduksi Betina Trenggiling Jawa
(Manis javanica) dengan Tinjauan Khusus pada Karakteristik Perkembangan
Folikel dan Distribusi Karbohidrat pada Ovarium”.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.
drh. Ita Djuwita, MPhil, PAVet (K) selaku anggota komisi pembimbing atas
segala bimbingan, masukan, serta nasihat sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
2. Ayahanda Odang Surachmat, Ibunda Tati Haryati, serta kedua adik tercinta:
M. Khairul Andika dan M. Khairul Gemilang atas semua dukungan yang telah
diberikan selama ini kepada penulis.
3. drh. Herwin Prisestiyani, MSi dan drh. Ni Wayan Kurniani Karja, PhD atas
kerelaan waktunya menjadi dosen penguji dalam sidang, serta drh. Wahono
Esthi P, MSi dan drh. Koesdiantoro Muhammad, MSi atas kerelaan waktunya
menjadi dosen penilai dan moderator dalam seminar skripsi penulis.
4. Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing akademik atas segala
dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam proses
penyelesaian skripsi.
5. Dr. drh. Nurhidayat PAVet; drh. Sri Wahyuni; Drh. Srihadi Agungpriyono,
Ph.D. PAVet (K); drh. Supratikno, M.Si; Dr. drh. Heru Setijanto PAVet (K);
dan drh. Savitri Novelina, M.Si atas bimbingan dan bantuan literatur dalam
melakukan penelitian.
6. Teknisi laboratorium riset anatomi: mas Rudi, pak Kholid dan mas Bayu atas
semua bantuan yang diberikan kepada penulis pada saat penelitian.
7. Rekan penelitian satu laboratorium: Faizza Mailila W, Danang D Cahyadi, Tri
Susanti, Wahid Fakhri H, tim Paradoxurus (Arini K, Fitria W, Shandy M
Putra, Afdi Pratama, Ratih K, dan Awan Subangkit), serta tim muntjak
(Juliper Silalahi, Lidya Elizabet M, dan Rissar Siringo Ringo), terimakasih

ix
untuk semua diskusi dan bantuan tenaga yang diberikan selama penulis
melakukan penelitian.
8. Rekan angkatan Giannuzi 44 khususnya Auliya Indiarti Zen, Risma Adelia,
Megasari Kusuma, Nurida Dessalma S, Yeni Setiorini yang telah banyak
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
9. Rekan UKM Uni Konservasi Fauna khususnya Hanna Mery A, Yudia Putri A,
Dini Herlina, Ika Kartika, M. Angga Saputra, Agung Kurniawan, Bagus
Chandra, Wahyu Iskandar, Erry Kurniawan, dan Sasi Kirono yang telah
membantu penulis secara tidak langsung dalam penyusunan skripsi.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2011

Aidell Fitri Rachmawati

x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 April 1991 di Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak
Odang Surachmat dan Ibu Tati Haryati.
Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak PGRI Tunas
83 yang diselesaikan pada tahun 1996. Kemudian dilanjutkan pendidikan dasar di
SDN Karang Tengah 4 Sukabumi hingga tahun 2002. Tahun 2005 penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan di SMPN 1 Cibadak dan dilanjutkan dengan
pendidikan di SMAN 3 Sukabumi hingga tahun 2007.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) tahun 2007.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi intrafakultas yaitu HIMPRO
Satwaliar, sebagai anggota Divisi Pendidikan tahun kepengurusan 2008/2009 dan
2009/2010, serta sebagai Ketua cluster Wild Carnivore tahun kepengurusan
2009/2010. Penulis juga aktif dalam UKM Uni Konservasi Fauna, sebagai
anggota Bidang Pendidikan tahun kepengurusan 2008/2009, serta sebagai
Sekretaris Bidang Pendidikan tahun kepengurusan 2009/2010. Penulis pernah
menjadi asisten Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2009/2010 dan semester pendek
tahun 2011, serta asisten Anatomi Topografi tahun ajaran 2010/2011.

xi
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................................... 3
Manfaat ...................................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling ............................................................................................... 4
1. Klasifikasi dan Persebaran .............................................................. 4
2. Anatomi Tubuh ............................................................................... 5
3. Perilaku Alami ................................................................................ 6
Sistem Reproduksi Betina ......................................................................... 7
1. Ovarium .......................................................................................... 8
2. Tuba Uterina ................................................................................... 9
3. Uterus .............................................................................................. 10
4. Vagina ............................................................................................. 12
5. Vestibula ......................................................................................... 13
6. Vulva dan Klitoris ........................................................................... 14
Proses Perkembangan Folikel (folikulogenesis) dalam Ovarium .............. 15
Peran Karbohidrat dalam Proses Fertilisasi .............................................. 17

MATERI DAN METODE


Lokasi dan Waktu ...................................................................................... 19
Materi......................................................................................................... 19
Metode ...................................................................................................... 20
1. Pengamatan Makroskopis Organ Reproduksi ................................. 20
2. Karakteristik Histologi Organ Reproduksi ..................................... 20
3. Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel dalam Ovarium.. ... 22
4. Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel .................... 22

HASIL
Struktur Makroskopis ................................................................................ 23
Karakteristik Histologi Saluran Reproduksi ............................................. 27
Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel dalam Ovarium .............. 30
Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel .............................. 36

PEMBAHASAN ................................................................................................ 40
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ................................................................................................... 49
Saran ......................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 50
LAMPIRAN ....................................................................................................... 54

xii
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Pengukuran ovarium kanan dan kiri dari dua sampel


organ reproduksi betina trenggiling Jawa ....................................... 24
2 Pengukuran panjang saluran reproduksi betina trenggiling
Jawa ................................................................................................ 25
3 Jumlah folikel pada berbagai tahapan perkembangan
folikel ovarium trenggiling Jawa .................................................... 36
4 Distribusi karbohidrat pada setiap tahap perkembangan
folikel ovarium trenggiling Jawa dengan metode pewarnaan
AB pH 2.5 dan PAS ........................................................................ 37

xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkiraan wilayah persebaran trenggiling Jawa ................................. 5
2 Trenggiling Jawa (Manis javanica) .................................................... 5
3 Skema organ reproduksi betina pada domba (A) dan
anjing (B). ........................................................................................... 7
4 Gambaran histologi tuba uterina sapi. ................................................ 10
5 Gambaran mikroskopis organ kornua uteri sapi ................................. 11
6 Gambaran histologis vagina kucing pada fase estrus (A)
dan anjing pada fase anestrus (B). ...................................................... 13
7 Perbandingan bentuk vulva dari berbagai jenis hewan. ..................... 14
8 Perkembangan folikel dalam ovarium ............................................... 16
9 Skema perkembangan folikel dalam ovarium ................................... 17
10 Skematis organ kelamin betina yang menunjukkan bagian
yang diambil sebagai sampel penelitian ............................................ 21
11 Gambaran makroskopis organ reproduksi betina trenggiling
Jawa yang difiksasi dalam larutan Bouin ........................................ 23
12 Gambaran makroskopis ovarium dan tuba uterina trenggiling
Jawa dengan kode MJ-1. .................................................................... 25
13 Skema interior organ reproduksi betina trenggiling Jawa ................. 26
14 Lapisan endometrium kornua uteri. .................................................... 28
15 Gambaran mikroskopis serviks trenggiling Jawa .............................. 29
16 Gambaran mikroskopis vagina. .......................................................... 30
17 Gambaran histologi ovarium trenggiling Jawa. .................................. 31
18 Ovarium trenggiling Jawa (A) dengan perbesaran gambaran
bagian medula (a) ............................................................................... 31
19 Folikel tipe 1 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
pregranulosa berbentuk pipih (tanda panah). ..................................... 32
20 Folikel tipe 2 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
pregranulosa berbentuk transisi antara pipih dan kuboid
(tanda panah). .................................................................................... 32
21 Folikel tipe 3 dengan ciri oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
granulosa berbentuk kuboid (tanda panah) ......................................... 32
22 Folikel tipe 4 dengan ciri oosit dikelilingi oleh 1-2 lapis sel
granulosa berbentuk kuboid (tanda panah) ........................................ 33
23 Folikel tipe 5 dengan ciri oosit dikelilingi oleh 2-5 lapis sel
granulosa. ............................................................................................ 33
24 Folikel tipe 6 dengan ciri oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis
sel granulosa. ...................................................................................... 33
25 Folikel tipe 7 dengan ciri oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis
sel granulosa berbentuk kuboid. ......................................................... 33
26 Folikel tipe 8 dengan ciri oosit dilapisi oleh lebih dari lima lapis
sel granulosa berbentuk kuboid. ......................................................... 34
27 Folikel tipe 9 dengan ciri antrum folikuli (a) membesar hingga
mulai mendesak oosit ke tepi folikel. ................................................. 34

xiv
Halaman

28 Folikel tipe 10 dengan ciri oosit sudah berada di tepi folikel.


Antrum folikuli membesar hingga ukuran maksimal ......................... 34
29 Distribusi karbohidrat asam pada tahapan perkembangan
folikel ovarium trenggiling Jawa ....................................................... 38
30 Distribusi karbohidrat netral pada tahapan perkembangan
folikel ovarium trenggiling Jawa ....................................................... 39

xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1 Proses Dehidrasi Jaringan ............................................................... 54


2 Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin ........................................ 55
3 Prosedur Pewarnaan Masson’s Trichome........................................ 56
4 Prosedur Pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2.5................................ 57
5 Prosedur Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) ............................ 59
6 Jumlah Folikel pada Setiap Tipe ..................................................... 60

xvi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Trenggiling merupakan salah satu mamalia unik yang dilindungi. Hewan ini
memiliki morfologi yang lebih menyerupai reptil dibandingkan dengan mamalia.
Hal ini dikarenakan seluruh tubuh trenggiling ditutupi oleh sisik yang merupakan
modifikasi rambut (Nowak 1991). Keunikan lain dari mamalia pemakan semut
dan rayap ini terdapat pada sistem pencernaannya. Selain tidak memiliki gigi,
lambung trenggiling memiliki kekhususan yaitu seluruh permukaan mukosa
lumennya ditutupi oleh epitel pipih banyak lapis yang mengalami keratinisasi
untuk melindungi permukaan tersebut dari abrasi. Selain itu, pada bagian antrum
pilorus trenggiling terdapat penebalan otot yang menyerupai gizzard pada sistem
pencernaan unggas, serta pada permukaan mukosanya terdapat tonjolan-tonjolan
berbentuk konikal dan disebut “pyloric teeth”. Karakteristik morfologi lambung
yang memiliki keistimewaan tersebut diduga terkait dengan ketiadaan gigi
(toothless) sebagai percerna mekanik makanan trenggiling (Nisa’ 2005).
Terdapat delapan spesies trenggiling di dunia yang tersebar di wilayah hutan
tropis Asia dan daerah tropis hingga subtropis Afrika. Empat spesies trenggiling
yang tersebar di wilayah Asia adalah Manis crassicaudata (trenggiling India),
M. pentadactyla (trenggiling Cina), M. culionensis (trenggiling Palawan) dan
M. javanica (trenggiling Jawa) yang dapat ditemukan di Indonesia. Persebaran
trenggiling Jawa di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali
dan beberapa pulau kecil di sekitarnya (Corbert dan Hill 1992).
Keberadaan trenggiling Jawa di alam diduga terus mengalami penurunan
akibat perburuan liar dan kerusakan habitat, sehingga International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan satwa ini ke
dalam daftar satwa terancam punah atau endangered species. Selain itu,
Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna (CITES) memasukkan trenggiling Jawa ke dalam daftar Appendix II.
Artinya trenggiling Jawa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena
memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Risiko kepunahan trenggiling Jawa dapat
diakibatkan oleh perburuan ilegal dan kerusakan habitat (IUCN 2011).
2

Risiko kepunahan trenggiling Jawa yang tinggi didukung pula oleh


kemampuan reproduksinya yang hanya dapat menghasilkan 1-2 anak dalam satu
periode kebuntingan. Aktivitas reproduksi merupakan salah satu upaya yang
dilakukan makhluk hidup untuk melestarikan jenis (Tartaglia dan Waugh 2002).
Hewan vertebrata pada umumnya melakukan reproduksi dengan cara seksual atau
perkawinan. Sel gamet jantan (spermatozoa) dideposisikan ke dalam saluran
reproduksi betina pada saat kopulasi. Sel-sel tersebut kemudian akan bergerak
menuju sel gamet betina (oosit) dan melakukan fertilisasi sehingga terbentuk
zigot. Proses fertilisasi pada hewan mamalia biasa terjadi di dalam saluran
reproduksi betina. Hal ini menyebabkan organ reproduksi betina pada mamalia
memiliki peranan penting untuk perkembangan embrio dan fetus selanjutnya
(Kobayashi dan Behringer 2003).
Informasi mengenai karakteristik anatomi organ reproduksi pada trenggiling
Jawa telah dilaporkan oleh Kimura et al. (2006). Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dilaporkan bahwa trenggiling Jawa memiliki bentuk ovarium oval atau
ellipsoidal. Ovarium tersebut tidak memiliki bursa ovari seperti pada tikus
(Sztein et al. 1998) dan kancil (Hamny 2006). Selain itu trenggiling Jawa
memiliki tipe uterus bikornua dan tipe plasenta difusa dengan kategori
epitheliochorial (Kimura et al. 2006).
Sejauh ini karakteristik morfologi perkembangan folikel serta perubahan
distribusi karbohidrat pada perkembangan folikel trenggiling Jawa belum
dilaporkan. Karbohidrat memiliki fungsi dalam keberhasilan proses fertilisasi
(Boldt et al. 1989; Harris et al. 2007), yaitu dalam mekanisme perlekatan
spermatozoa dengan oosit. Oleh karena itu penelitian mengenai organ reproduksi
betina trenggiling Jawa yang berkaitan dengan tahapan perkembangan folikel dan
distribusi karbohidrat netral dan asam yang terkandung dalam perkembangan
folikel penting dilakukan. Hasil penelitian dapat bermanfaat untuk melengkapi
data-data biologi reproduksi trenggiling Jawa yang dapat digunakan untuk
meningkatkan populasi melalui teknologi reproduksi.
3

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur morfologi makroskopis
dan mikroskopis serta morfometri organ reproduksi betina trenggiling Jawa
(M. javanica) yang meliputi ovarium, tuba uterina, kornua uteri, korpus uteri,
serviks uteri, vagina dan vulva. Selain itu penelitian ini secara khusus bertujuan
untuk mengetahui karakteristik tahapan perkembangan folikel (folikulogenesis)
dalam ovarium, serta perubahan distribusi karbohidrat selama tahapan
perkembangan ovarium.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data biologi satwaliar
Indonesia, khususnya untuk memberikan informasi mengenai struktur dan ukuran
organ reproduksi betina trenggiling Jawa (M. javanica) secara makroskopis dan
mikroskopis, serta memberikan gambaran mengenai karakteristik perkembangan
folikel dan perubahan distribusi karbohidrat selama tahap perkembangan folikel
yang diharapkan dapat digunakan sebagai data bagi upaya konservasi eksitu.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Trenggiling
1. Klasifikasi dan Persebaran
Trenggiling merupakan salah satu mamalia yang dilindungi. Lekagul
dan McNeely (1977) menyebutkan bahwa terdapat 7 spesies trenggiling
yang tersebar di daerah Asia dan daerah tropis dan subtropis Afrika.
Berdasarkan penelitian Gaubert dan Antunes pada tahun 2005 tentang
karakteristik morfologi, terdapat penambahan satu spesies trenggiling baru
di daerah Asia, sehingga jumlah spesies trenggiling di dunia saat ini adalah
8 spesies (IUCN 2011).
Trenggiling yang tersebar di daerah Asia adalah Manis crassicaudata
(trenggiling India), M. pentadactyla (trenggiling Cina), M. javanica
(trenggiling Jawa), dan M. culionensis (trenggiling Palawan). Empat spesies
trenggiling yang terdapat di daerah tropis dan subtropis Afrika adalah
M. tricuspis (trenggiling perut putih Afrika), M. temminckii (trenggiling
Afrika Selatan), M. tetradactyla (trenggiling perut hitam) dan M. gigantea
(trenggiling raksasa).
Manis javanica merupakan spesies trenggiling yang dapat ditemukan
di Indonesia. Persebarannya adalah di hutan Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Bali, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya (Corbert dan Hill 1992).
Berikut ini adalah taksonomi trenggiling Jawa.

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Pholidota
Famili : Manidae
Genus : Manis
Spesies : Manis javanica, Desmarest 1822
(IUCN 2011)
5

Gambar 1. Perkiraan wilayah persebaran trenggiling Jawa.


(Modifikasi dari sumber; www.savepangolins.org)

2. Anatomi Tubuh
Trenggiling adalah satwa mamalia yang unik karena satwa tersebut
secara morfologi menyerupai reptil daripada mamalia. Seluruh tubuh
trenggiling ditutupi oleh sisik berwarna kuning kecokelatan yang merupakan
modifikasi dari rambut. Trenggiling memiliki dua pasang kaki pendek yang
kokoh. Kaki tersebut dilengkapi oleh kuku kuku panjang yang menyerupai
cakar. Kuku tersebut dapat berfungsi sebagai alat bantu untuk memanjat dan
menggali (Vaughan 1978).

Gambar 2. Trenggiling jawa (Manis javanica).


(sumber: www.savepangolins.org)

Terdapat perbedaan ukuran antara trenggiling jantan dan betina.


Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan
dengan tenggiling betina. Rata rata panjang tubuhnya adalah 75-150 cm
6

dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Kepala
trenggiling kecil dan memiliki bagian moncong yang sempit, sedangkan
bagian telinganya tidak berkembang terletak di bagian caudodorsal
(Grzimek 1975).
Trenggiling memiliki keunikan pada sistem pencernaannya. Hewan ini
memiliki sistem pencernaan yang mirip dengan unggas. Pada rongga
mulutnya tidak ditemukan gigi. Gigi geligi tersebut sebenarnya dapat
ditemukan pada masa prenatal, kemudian menghilang sesuai dengan
perkembangan trenggiling. Nisa’ (2005) menyebutkan bahwa penampakan
lambung secara eksterior tidak berbeda dengan lambung mamalia
monogastrik pada umumnya, yaitu berbentuk menyerupai kacang mede atau
kacang merah. Perbedaan terlihat pada bagian internal lambung yaitu bagian
berdinding otot tebal yang mirip gizzard pada sistem pencernaan unggas.
Lidah pada trenggiling dapat menjulur panjang dan dihubungkan oleh
otot-otot yang berkembang subur. Lidah trenggiling berbentuk ramping dan
panjang. Lidah ini akan semakin menipis dan menyempit pada bagian apex
(Sari 2007). Bentuk tersebut membuat lidah trenggiling menyerupai cacing
(vermiform). Lidah yang panjang ini dan bersifat lengket, sehingga
memudahkan trenggiling untuk mencari pakan (Amir 1978).

3. Perilaku Alami
Yasuma (1994) menyebutkan bahwa trenggiling merupakan hewan
nokturnal dan bersifat soliter. Aktivitas yang biasa dilakukan trenggiling
pada siang hari adalah beristirahat atau tidur di lubang-lubang di bawah
tanah atau di pohon. Makanan utama hewan ini adalah semut, rayap dan
serangga lainnya. Daya penciuman yang berkembang baik menjadi salah
satu faktor pendukung bagi trenggiling dalam mencari makanan (Lekagul
dan McNeely 1997).
Trenggiling merupakan satwa yang menjadi mangsa beberapa jenis
karnivora besar di habitat aslinya. Oleh karena itu trenggiling membuat
mekanisme pertahanan diri dengan cara menggulungkan tubuhnya jika
terancam. Sisik keratin kokoh ikut membantu pertahanan diri trenggiling
(Lekagul dan McNeely 1997). Beberapa spesies trenggiling memiliki
7

kelenjar perianal yang menghasilkan sekreta berbau tajam. Sekreta ini


berbau menyerupai urin menyengat dan biasa digunakan untuk menandai
teritori trenggiling (Vaughan 1978).
Spesies trenggiling Afrika biasanya melahirkan satu anak dalam sekali
kebuntingan. Masa kebuntingan trenggiling belum diketahui dengan pasti.
Diduga bahwa masa kebuntingan pada trenggiling relatif singkat, yaitu 2-3
bulan (Lekagul dan McNeely 1977). Setelah melahirkan trenggiling betina
akan membawa anaknya di pangkal ekor sebagai bentuk pengasuhan.

Sistem Reproduksi Betina


Organ reproduksi betina tersusun terdiri dari ovarium, tuba uterina, uterus
(kornua dan korpus), serviks uteri, vagina dan organ reproduksi eksternal (Hafez
dan Hafez 2000; Samuelson 2007). Masing-masing organ reproduksi tersebut
dapat memiliki perbedaan antar spesies mamalia (Kobayashi dan Behringer 2003).
Gambar 3 menunjukkan gambaran organ reproduksi betina pada domba dan
anjing.

b
a
d

c h d
a e
h
e
f f

g
g

A B
Gambar 3 Skema organ reproduksi betina pada domba (A) dan anjing (B).
a. ovarium, b. bursa ovari, c. tuba uterina, d. kornua uteri, e. korpus
uteri, f. serviks uteri, g. vagina, h. jaringan penggantung (Modifikasi
dari sumber: Constantinescu 2007).
8

1. Ovarium
Ovarium merupakan organ penting dalam sistem reproduksi. Organ ini
memiliki fungsi eksokrin karena menghasilkan sel telur (ovum) dan juga
memiliki fungsi endokrin karena menghasilkan hormon reproduksi seperti
estrogen dan progesteron (Frandson 1992; Hafez dan Hafez 2000). Setiap
hewan memiliki sepasang ovarium yang letaknya berbeda pada setiap
jenisnya, namun pada umumnya, ovarium kanan terletak di caudal ginjal
kanan dan ovarium kiri terletak di caudal ginjal kiri (Frandson 1992).
Bentuk ovarium bervariasi bergantung pada jenis hewan dan siklus
birahi (Samuelson 2007; Pineda dan Dooley 2003), tetapi secara umum
bentuk ovarium dapat dideskripsikan sesuai dengan jenis kebuntingan pada
hewan. Ovarium pada hewan politokosa (menghasilkan banyak keturunan
dalam sekali kebuntingan) seperti anjing, kucing dan babi, memiliki
beberapa folikel dan korpus luteum sehingga bentuk yang dihasilkan mirip
dengan buah anggur dengan berbagai ukuran. Hewan monotokosa
(menghasilkan satu keturunan dalam sekali kebuntingan) seperti sapi,
memiliki ovarium yang berbentuk oval menyerupai telur. Kuda memiliki
bentuk ovarium menyerupai ginjal karena pada kuda terdapat fossa ovulatori
(Pineda dan Dooley 2003).
Secara histologis, ovarium terdiri dari bagian korteks dan medula yang
dibungkus oleh lapisan epitel kubus sebaris yang disebut germinal
epithelium. Bagian medula terdiri dari jaringan ikat fibroelastik, jaringan
saraf dan pembuluh darah. Menurut Samuelson (2007), serabut saraf yang
berada pada bagian medula tidak dibungkus oleh serabut myelin dan
cenderung memiliki fungsi vasomotorik, tetapi beberapa diantaranya ada
yang memiliki kemampuan sensorik. Pembuluh darah ini memberikan
vaskularisasi untuk folikel dan perkembangan serta regresi korpus luteum.
Pada bagian hilus ovarium, medula akan bersatu dengan mesovarium.
Mesovarium merupakan jaringan penggantung ovarium yang merupakan
bagian dari peritoneum. Jaringan ini mengikat dan menggantung masing-
masing ovarium sampai regio pelvis pada ruang abdomen. Selain itu,
9

mesovarium memberikan tempat bagi pembuluh darah dan saraf untuk


masuk ke dalam ovarium (Samuelson 2007). Bagian korteks ovarium yang
merupakan bagian superfisial terdiri dari jaringan ikat, berbagai fase
perkembangan folikel ovarium dan/atau korpus luteum dalam berbagai fase
regresi (Hafez dan Hafez 2000).

2. Tuba Uterina
Tuba uterina (tuba Fallopii) merupakan saluran tempat terjadinya
fertilisasi. Sel telur yang dilepaskan ovarium ditangkap oleh infundibulum
dan masuk ke dalam tuba uterina dan digerakkan menuju uterus oleh sel
epitel tuba uterina yang bersilia. Tuba uterina memiliki tiga bagian, yaitu
infundibulum, ampulla dan isthmus (Samuelson 2007).
Infundibulum adalah bagian dari tuba uterina yang letaknya paling
dekat dengan ovarium. Infundibulum berbentuk seperti corong yang
memiliki bagian penangkap sel telur yang diovulasikan oleh ovarium yang
disebut fimbrae. Fimbrae akan bergabung menjadi stuktur tubular tunggal
pada bagian akhir distal infundibulum, sebelum akhirnya bergabung
menjadi ampulla (Samuelson 2007).
Ampulla merupakan daerah tempat berlangsungnya fertilisasi. Pada
bagian ini terdapat banyak lipatan mukosa. Ampulla kemudian menjadi
isthmus yang memiliki lapisan muskular yang lebih tipis dibandingkan
dengan ampulla. Selain itu, bagian isthmus memiliki percabangan yang
lebih pendek pada lipatan mukosanya.
Secara histologis, membran mukosa tuba uterina membetuk lipatan
primer, sekunder dan tertier (Hafez dan Hafez 2000). Lipatan akan semakin
kompleks pada daerah yang mendekati infundibulum. Epitel yang menutupi
mukosa tuba uterina adalah epitel silindris. Pada sapi dan babi, epitel yang
menutupi bagian mukosa adalah epitel silindris banyak lapis
(Samuelson 2007).
10

A 2 B 4

3
1
1

4 2

Gambar 4 Gambaran histologi tuba uterina sapi. Bagian ampulla (A) dan
infundibulum (B) menunjukan adanya lipatan mukosa (1),
tunika muskularis (2) yang tebal pada bagian ampulla, dan tipis
pada bagian infundibulum, serta keberadaan jaringan lemak (3)
pada bagian ampulla. Serosa (4) melapisi seluruh bagian
superfisial organ (Modifikasi dari sumber; Bacha dan Bacha
2000).

Epitel silindris pada bagian tuba uterina memiliki kinosilia dan


mikrovili, atau hanya memiliki mikrovili saja. Sel-sel yang bersilia terdapat
pada bagian infundibulum. Sel-sel tersebut membantu pergerakan sel telur
yang diovulasikan menuju uterus. Sel epitel yang tidak bersilia pada bagian
mukosa tuba uterina berfungsi untuk mensekresikan dan menyediakan
nutrisi pendukung untuk perpindahan gamet. Sekresi tersebut juga
membantu pematangan spermatozoa atau proses kapasitasi
(Samuelson 2007).
Lapisan submukosa merupakan lapisan di bawah mukosa. Lapisan ini
terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun oleh kolagen, serat elastin,
sel limfoid, dan kadang terdapat sel mast. Lapis muskular, atau tunika
muskularis, merupakan lapis otot polos di bawah lapis submukosa. Bagian
tersebut terdiri atas otot polos melingkar pada bagian dalam dan otot polos
longitudinal pada bagian luar. Otot polos ini makin menebal mulai dari
daerah isthmus hingga mendekati uterus. Bagian superfisial tunika
muskularis dilapisi oleh serosa yang tersusun dari jaringan ikat longgar dan
epitel kubus sebaris.

3. Uterus
Uterus terbagi menjadi tiga bagian yaitu tanduk uterus (kornua uteri),
badan uterus (korpus uteri), dan leher uterus (serviks uteri). Akers dan
Denbow (2008) menyebutkan bahwa terdapat tiga tipe uterus. Tipe dupleks
11

memiliki sepasang korpus, serviks dan kornua uterus, yaitu bagian kanan
dan kiri. Tipe bikornua memiliki sepasang kornua di bagian kanan dan kiri
dan hanya memiliki satu korpus yang kecil dan serviks. Tipe simpleks
memiliki sebuah korpus uteri yang besar dan serviks. Trenggiling Jawa
memiliki uterus dengan tipe bikornua (Kimura et al. 2006)
Setiap bagian uterus terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan mukosa
pada uterus disebut endometrium, lapis tunika muskularis disebut
miometrium dan lapis tunika serosa atau visceral peritoneum yang disebut
perimetrium (Constantinescu 2007). Endometrium disusun oleh tunika
mukosa dan submukosa yang mengelilingi lumen uterus. Epitel yang
menutupi endometrium adalah epitel silindris selapis pada kuda, kucing dan
anjing, sedangkan pada babi dan sapi adalah epitel silindris banyak lapis
(Samuelson 2007).
Lapisan endometrium mengandung kelenjar uterin atau kelenjar
endometrium yang letaknya menyebar (Frandson 1992). Hafez dan Hafez
(2000) menyebutkan bahwa kelenjar uterin memiliki fungsi sebagai
penghasil cairan uterus. Bentuk kelenjar uterin adalah tubulus yang
memiliki cabang dan menggulung. Struktur tubulus kelenjar uterin dilapisi
oleh epitel kubus. Kelenjar ini dikelilingi oleh jaringan ikat dan pembuluh
darah (Samuelson 2007).

4 1

2
3

Gambar 5 Gambaran mikroskopis organ kornua uteri sapi. Kelenjar uterin


(1) tersebar dalam jumlah yang banyak pada lapisan
endometrium. Lapisan miometrium terdiri dari lapisan otot
sirkuler pada bagian profundal (2), dan otot longitudinal pada
bagian superfisial (3). Preparat menunjukkan adanya bagian
yang mengalami hemoragi (4) (Modifikasi dari sumber; Bacha
dan Bacha 2000).
12

Ruminansia memiliki struktur khusus pada lapisan mukosa di bagian


kornua uteri dan korpus uteri yang disebut karunkula (Constantinescu
2007). Karunkula dapat memiliki bentuk membulat (sapi) atau seperti
lekukan mangkuk (domba). Karunkula mendapatkan suplai darah yang
cukup baik, tetapi pada daerah ini kelenjar tubular yang dapat ditemukan
sangat sedikit (Samuelson 2007).
Miometrium merupakan bagian tunika muskularis dari korpus dan
kornua uteri. Bagian ini terdiri dari tiga lapis otot polos. Lapisan dalam yang
lebih tipis merupakan otot polos melingkar (sirkular) dan otot polos yang
berjalan miring (oblique). Lapisan luar merupakan otot polos longitudinal
(Constantinescu 2007). Perimetrium merupakan tunika serosa pada bagian
korpus dan kornua uteri. Lapisan ini tersusun oleh jaringan ikat longgar
yang dilapisi epitel kubus sebaris di bagian eksternal (Samuelson 2007).
Bagian kaudal uterus adalah serviks uteri yang berhubungan langsung
dengan vagina. Bagian ini memiliki struktur menyerupai sphincter karena
bagian lumen yang pada umumnya selalu berkontraksi. Penyusun serviks
uteri didominasi oleh jaringan ikat yang mengandung sedikit otot polos
(Hafez dan Hafez 2000). Kelenjar penghasil mukus sangat sedikit
ditemukan pada bagian serviks uteri. Mukus yang dihasilkan, berasal dari
sel epitel penghasil mukus seperti sel goblet (Samuelson 2007).

4. Vagina
Vagina merupakan saluran reproduksi yang terletak di dalam rongga
pelvis. Organ ini menghubungkan uterus dengan vestibula. Vagina memiliki
beberapa fungsi dalam sistem reproduksi, diantaranya adalah sebagai organ
kopulatoris. Semen yang dikeluarkan organ kelamin jantan pada saat
kopulasi dideposisi di dalam vagina sebelum bergerak menuju sel telur.
Menurut Samuelson (2007), mukosa vagina terdiri dari epitel kubus
banyak baris. Lapisan submukosa tersusun oleh jaringan ikat longgar yang
memiliki sedikit kelenjar. Pada lapisan ini banyak ditemukan jaringan
limfoid yang menyebar membentuk noduli. Lapisan submukosa di bagian
luar dikelilingi oleh tunika muskularis yang terdiri dari otot polos melingkar
di bagian dalam, dan otot polos longitudinal di bagian luar.
13

A B

1
2

3
1

Gambar 6 Gambaran histologis vagina kucing pada fase estrus (A) dan anjing
pada fase anestrus (B). Epitel vagina kucing pada fase estrus
merupakan epitel pipih banyak lapis (1) yang berkeratinisasi sehingga
menjadi lebih tebal. Sel berkeratinisasi (2) dapat ditemukan dibagian
lumen. 3: Lamina propria (Modifikasi dari sumber; Bacha dan Bacha
2000).

Tunika muskularis vagina bagian kaudal dibungkus oleh tunika


adventisia. Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat yang mengandung pembuluh
darah dan saraf untuk daerah vagina. Adapun pada bagian kranial vagina,
tunika muskularis dibungkus oleh tunika serosa yang memiliki lapisan otot
polos longitudinal yang tipis (Samuelson 2007).

5. Vestibula
Vestibula merupakan bagian tubular antara vulva dan vagina. Batas
antara vestibula dengan vagina ditandai dengan adanya orificium urethralis
externa (Hafez dan Hafez 2000). Frandson (1992) menyebutkan bahwa di
bagian kranial dari orificium tersebut terdapat hymen vestigial yang sering
mempengaruhi proses kopulasi.
Menurut Samuelson (2007), epitel yang melapisi vestibula adalah
epitel kubus banyak baris. Pada hewan ruminansia dan kucing, epitel
tersebut dibasahi oleh sekresi mukus dari kelenjar tubuloasinar, yaitu
kelenjar vestibula mayor. Kelenjar ini memiliki fungsi yang homolog
dengan kelenjar bulbourethralis pada organ kelamin jantan. Lokasi kelenjar
ini adalah pada lapisan submukosa di dasar vestibula. Pada saat coitus,
kelenjar ini berfungsi membasahi vestibula dan bagian kaudal vagina.
14

6. Vulva dan Klitoris


Vulva dan klitoris merupakan bagian eksternal dari organ kelamin
betina. Vulva terentang dari batas vestibula hingga mencapai eksternal
organ kelamin betina. Vulva terdiri dari dua pasang labia, commisura, dan
fisura pudenda. Labia tersebut terdiri dari labia mayor dan labia minor.
Letak labia mayor lebih lateral dibandingkan dengan labia minor. Setiap
jenis hewan memiliki bentuk, ukuran dan ketebalan labia yang berbeda
beda. (Constantinescu 2007).

(a) (b) (c) (d)


Gambar 7 Perbandingan bentuk vulva dari berbagai jenis hewan. (a) Sapi,
(b) Domba (c) Kuda, (d) Babi (Sumber; Constantinescu 2007).

Menurut Constantinescu (2007) anjing memiliki labia yang tipis


dengan commisura dorsal yang membulat dan commisura ventral yang
lancip. Babi juga memiliki labia yang tipis, dan commisura ventral yang
lancip dan terdapat sedikit rambut. Pada hewan ruminansia, labia pada vulva
juga tipis, di bagian commisura ventralnya yang lancip terdapat rambut
halus. Labia pada kuda biasanya berpigmen serta memiliki kelenjar
sebaceous dan kelenjar keringat. Commisura dorsal pada kuda lancip
sedangkan commisura ventralnya membulat.
Klitoris merupakan bentuk analogi dari penis pada hewan jantan yang
mengalami rudimentasi pada masa embrional. Lokasi klitoris berada di
bagian dasar vestibulum. Klitoris terdiri dari dua krura atau akar, badan
klitoris yang mengandung korpus cavernosus, dan kepala klitoris (glans)
yang mengandung korpus spongiosum dan fascia klitoris
15

(Constantinescu 2007). Menurut Frandson (1992) klitoris terdiri dari


jaringan erektil yang tertutup oleh epitel kubus banyak baris dan mendapat
inervasi dari ujung ujung syaraf sensoris.

Proses Perkembangan Folikel (folikulogenesis) dalam Ovarium

Perkembangan folikel ovarium atau folikulogenesis terjadi pada masa


prenatal dan postnatal. Proses awal perkembangan folikel terjadi pada masa
prenatal (Wandji et al. 1996). Sel benih primordial bermigrasi dari kantung
kuning telur menuju ovarium, kemudian berdiferensisi menjadi oogonia. Sebagian
besar oogonia melakukan mitosis sedangkan sebagian lainnya berdiferensiasi
menjadi oosit primer. Oosit primer yang dikelilingi oleh epitel pipih selapis
dikenal dengan nama folikel primordial.
Folikel primordial mengandung oosit yang berada dalam tahap profase I,
namun belum menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya sampai mencapai
masa pubertas. Folikel primordial pada beberapa mamalia seperti rodensia dan
kelinci, melanjutkan proses meiosis pada periode neonatal (Fortune 1994). Folikel
yang mengandung oosit mengalami perkembangan ketika hewan mencapai masa
pubertas. Sel epitel yang mengelilingi oosit berubah menjadi epitel kubus sebaris
(Wandji et al. 1996; Fortune 1994) dan disebut dengan folikel primer (Gambar 8).
Folikel primer berkembang menjadi folikel sekunder dengan karakteristik telah
bertambahnya sel epitel yang mengelilingi oosit sampai dengan 5 lapis sel. Zona
pelusida mulai terbentuk pada folikel sekunder, sebagai suatu lapisan tipis di
sekeliling oosit.
Folikel tersier merupakan folikel antral yang akan berkembang menjadi
folikel de Graaf. Folikel ini memiliki karakteristik telah terbentuknya antrum
folikuli, yaitu ruangan yang terbentuk akibat perkembangan sel sel folikuler.
Antrum folikuli pada awalnya terpisah, tetapi kemudian bersatu menjadi suatu
ruangan berbentuk bulan sabit. Antrum folikuler terus membesar hingga
mendesak sel telur menuju tepian folikel hingga akhirnya terjadi proses ovulasi.
16

A B

Oosit

Oosit

Lapis sel granulosa


Zonz pelusida

Lapis sel granulosa

C D
Oosit
Membran folikular

Membran granulosa
Antrum

Teka Interna
Ooplasma
Membran basal Teka Eksterna

Gambar 8 Perkembangan folikel dalam ovarium: A. Folikel primer; B. Folikel


sekunder; C. Folikel tersier; D. Folikel de Graaf (Gambar dimodifikasi
dari sumber: A = Kwan 2003; B = Tufts University 2009; C dan
D = Akers dan Denbow 2008).

Pada folikel tersier, sel folikuler di sekitar oosit tetap utuh dan membentuk
kumulus ooforus. Selain sel-sel folikuler, folikel ini dikelilingi oleh dua lapis
jaringan ikat, yaitu lapis teka interna dan lapis teka eksterna. Lapis teka interna
merupakan lapisan bagian dalam yang menghasilkan estrogen dan kaya pembuluh
darah (Aughey dan Frye 2001). Lapis teka eksterna merupakan lapis luar yang
akan bersatu dengan stroma ovarium. Skema perkembangan folikel dalam
ovarium dapat dilihat dalam Gambar 9.
Sisa folikel de Graaf akan berkembang menjadi folikel hemoragikum
(korpus rubrum) setelah terjadi ovulasi. Selanjutnya korpus rubrum berkembang
menjadi korpus luteum yang banyak mengandung sel lutein. Jika terjadi proses
fertilisasi setelah ovulasi, korpus luteum akan berubah menjadi korpus luteum
graviditatum. Jika tidak ada proses fertilisasi, maka korpus luteum akan
mengalami regresi dan berubah menjadi korpus albikan yang mengandung banyak
jaringan ikat.
17

Folikel Mesovarium dan


Tunika albuginea oosit Sel Granulosa sekunder pembuluh darah
Folikel Korteks
primer
Korpus
albikans

Epitel Folikel de Graaff


germinal

Folikel
primordial Antrum
Oosit

Zona
Pelusida
Ligamentum
ovarium Teka folikuli

Medula
Oosit yang
diovulasikan

Corona
radiata
Korpus luteum Perkembangan
korpus luteum

Gambar 9 Skema perkembangan folikel dalam ovarium (Modifikasi dari sumber;


Cummings 2001).

Peran Karbohidrat dalam Proses Fertilisasi

Fertilisasi pada mamalia merupakan proses interaksi spesifik antara


spermatozoa dan oosit (Boldt et al.1989). Tahapan yang cukup penting dalam
proses fertilisasi pada mamalia adalah perlekatan antara sperma dengan membran
ekstraseluler sel telur yang dinamakan zona pelusida (Tulsiani et al.1997). Zona
pelusida, cairan folikuli, dan matriks ekstraseluler dari lapisan granulosa
mengandung kompleks karbohidrat (Tadano dan Yamada 1978 diacu dalam
Hamny 2006).
Secara umum, distribusi karbohidrat dalam zona pelusida berperan dalam
proses perlekatan antara spermatozoa dengan oosit (Loeser dan Tulsiani 1999).
Konsentrasi karbohidrat pada permukaan zona pelusida pada setiap hewan
berbeda. Hal ini berkaitan dengan spesifisitas masing-masing spesies terhadap
ikatan spermatozoa dengan sel telur dan sebagai salah satu proteksi hewan
terhadap terjadinya fertilisasi interspesies (Hamny 2006).
Karbohidrat kompleks dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kelompok
karbohidrat asam yang mengandung gugus asam yaitu sulfat dan gugus monoksil,
serta karbohidrat netral yang tidak memiliki ikatan dengan gugus asam.
Karbohidrat asam dalam perkembangan folikel, dapat dideteksi dengan
menggunakan pewarna alcian blue (AB) pH 2.5. Pewarna ini mengikat gugus
karboksil dan sulfat-ester sehingga semua mukosubstansi asam akan terwarnai
18

(Kiernan 1990). Reaksi positif yang ditunjukkan ketika terdapat karbohidrat asam
adalah timbulnya warna biru. Karbohidrat netral seperti glukosa, galaktosa,
manosa, fukosa dan residu monosakarida dapat terdeteksi dengan pewarna
periodic acid Schiff (PAS). Reaksi positif akan ditunjukkan oleh warna merah
muda keunguan hingga magenta.
19

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi; Bagian Anatomi,
Histologi, dan Embriologi; Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi;
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dimulai
dari bulan Februari hingga Agustus 2011.

Materi
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ reproduksi betina
yang berasal dari dua ekor trenggiling Jawa (M. javanica) yang diperoleh dari
wilayah Jawa Barat. Kondisi trenggiling pertama (MJ-1) adalah baru melahirkan
dan trenggiling kedua (MJ-2) belum pernah melahirkan (dara). Pengamatan
karakteristik perkembangan folikel dalam ovarium dilakukan dengan
menggunakan 4 buah (2 pasang) ovarium dari organ reproduksi tersebut. Organ
yang digunakan berasal dari hewan penelitian disertasi Nisa’ (2005), dan telah
mendapatkan izin dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Sampel telah difiksasi dalam
larutan Bouin (campuran asam pikrat : formalin : asam asetat glasial = 15 : 5 : 1)
selama 78 jam dan disimpan di dalam alkohol 70% sebagai stopping point.
Bahan dan alat yang digunakan adalah sesuai standar pengamatan
makroskopis dan mikroskopis, serta prosedur pembuatan preparat histologis.
Peralatan yang digunakan dalam pengamatan makroskopis dan mikroskopis
adalah mikroskop cahaya, mikroskop stereo, tali/benang, penggaris, jangka
sorong, timbangan digital, pinset dan alat dokumentasi. Bahan dan alat yang
digunakan dalam prosedur pembuatan preparat histologis adalah adalah set larutan
dehidrasi, parafin, set larutan deparafinisasi dan rehidrasi, pewarna hematoksilin
eosin (HE), pewarna Masson’s trichome (hematoksilin, acid fuchsin + ponceau
2R, orange G + phosphotungstic, light green), pewarna alcian blue (AB) pH 2.5
dan pewarna periodic acid Schiff (PAS). Alat pembuatan preparat histologi terdiri
dari scalpel, basket, blok kayu, parafin, inkubator parafin, mikrotom, object glass,
dan cover glass.
20

Metode
Penelitian bersifat eksploratif dan dilakukan dengan empat tahap
pengerjaan, yaitu pengamatan makroskopis organ reproduksi, karakteristik
histologi organ reproduksi, karakteristik histologi perkembangan folikel, dan
distribusi karbohidrat dalam perkembangan folikel.

1. Pengamatan Makroskopis Organ Reproduksi


Pengamatan makroskopis yang dilakukan meliputi pengamatan bentuk
(morfologi), dan ukuran (morfometri) masing-masing bagian organ kelamin
betina yang terdiri atas ovarium, tuba uterina, kornua uteri, korpus uteri,
serviks uteri, dan vagina. Pengamatan morfologi dilakukan dengan mata
telanjang dan dibantu dengan mikroskop stereo untuk bagian organ yang
sangat kecil. Setelah pengamatan dilakukan, organ dipotret.
Pengukuran dilakukan dengan mengukur panjang masing-masing
bagian saluran reproduksi. Pengukuran pada bagian organ yang berpasangan
seperti kornua uteri, tuba uterina, dan ovarium, dilakukan pada masing-
masing sisi. Khusus untuk ovarium, dilakukan penimbangan untuk
mengetahui bobotnya.

2. Karakteristik Histologi Organ Reproduksi


Pengamatan karakteristik histologi organ reproduksi diawali dengan
pembuatan preparat histologi. Preparat histologi yang dibuat berasal dari
bagian-bagian sampel organ reproduksi yang terdiri dari vulva, vagina,
serviks uteri, korpus uteri, kornua uteri, tuba uterina, dan ovarium.
Bagian A menunjukkan pengambilan organ pada daerah perbatasan
vulva dengan vagina. Bagian B merupakan perbatasan antara vagina dengan
serviks uteri. Bagian C merupakan perbatasan antara serviks dengan korpus
uteri. Perbatasan antara korpus dengan kornua uteri ditunjukkan pada bagian
D. Bagian E, F, G masing-masing menunjukkan pengambilan potongan
pada daerah kornua uteri, tuba uterina, dan ovarium. Sayatan yang diambil
merupakan sayatan memanjang untuk melihat perubahan struktur penyusun
masing-masing bagian. Bagian A’, B’, C’, D’, E’, dan F’ merupakan bagian-
bagian yang diambil secara melintang untuk melihat struktur jaringan
penyusun pada setiap bagian (Gambar 10).
21

E E’

F G
D F’
D’
C

B
C’

B’

A A’

Gambar 10 Skematis organ kelamin betina trenggiling Jawa yang


menunjukkan bagian yang diambil sebagai sampel penelitian.

Bagian-bagian yang telah dipotong dengan menggunakan scapel dan


pisau mikrotom, dimasukkan ke dalam basket. Kemudian dilakukan proses
sesuai standar pembuatan preparat histologi sampai menjadi blok parafin
(Kiernan 1990). Selanjutnya blok parafin dimotong dengan menggunakan
mikrotom rotary dengan ketebalan 5μm. Hasil sayatan dikembangkan di
atas permukaan air matang (30 ºC) lalu dipindahkan ke permukaan air
(40 ºC) selama beberapa detik. Selanjutnya hasil sayatan diletakkan di atas
object glass yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan diberi label
sesuai dengan sediaan preparat. Preparat tersebut kemudian diinkubasi
selama minimal 24 jam pada suhu 37-40 ºC.
Pewarnaan yang digunakan dalam pengamatan karakteristik histologi
organ reproduksi adalah hematoksilin eosin (HE) dan pewarnaan Masson’s
trichome. Pewarnaan HE merupakan pewarnaan yang digunakan untuk
melihat struktur histologis organ secara umum sedangkan pewarnaan
Masson’s trichome digunakan untuk melihat keberadaan jaringan ikat dalam
organ. Proses pewarnaan HE dan Masson’s trichome dapat dilihat dalam
Lampiran 2 dan 3. Pengamatan karakteristik histologi dilakukan dengan
mengamati stuktur penyusun setiap organ.
22

3. Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel dalam Ovarium


Pengamatan karakteristik histologi perkembangan folikel ovarium
dilakukan dengan pewarnaan hematoksilin eosin (Hamny 2006; Kiernan
1990). Pengamatan dilakukan dengan mengamati tahapan perkembangan
folikel pada setiap tipe. Jumlah folikel dihitung dengan menggunakan
metode estimasi (Candy et al. 1997) dengan mencari faktor pengali untuk
masing-masing tipe folikel. Faktor pengali dihitung dengan cara
menjumlahkan setiap tipe folikel pada 25 sayatan serial pertama, kemudian
dibagi dengan jumlah folikel pada setiap kelipatan lima (Hamny 2006).
Folikel yang dihitung adalah folikel yang memiliki nukleus dengan stuktur
yang jelas untuk menghindari perhitungan ganda.

Faktor pengali = Jumlah folikel pada 25 sayatan pertama


Jumlah folikel pada sayatan ke-1, 5, 10, 15, 20, dan 25

Estimasi jumlah folikel pada setiap tahapan diketahui dari hasil


perkalian faktor pengali dengan jumlah folikel pada setiap tahap yang
ditemukan pada sayatan ke-1, 5, 10, 15, 20, dan 25 pada setiap ovarium.
Hasil pengamatan dideskripsikan secara deskriptif.

4. Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel


Distribusi karbohidrat pada setiap tahapan perkembangan folikel
dilakukan dengan metode pewarnaan alcian blue (AB) pH 2.5, dan periodic
acid Schiff (PAS) (Kiernan 1990). Metode pewarnaan AB dan PAS dapat
dilihat dalam Lampiran 4 dan 5. Pengamatan dilakukan dengan melihat
keberadaan karbohidrat netral dan asam dalam setiap fase perkembangan
folikel dalam ovarium. Parameter yang diamati untuk menentukan distribusi
karbohidrat pada perkembangan folikel adalah oosit, zona pelusida, matriks
ekstraseluler dan cairan folikuli. Reaksi positif terhadap pewarnaan AB pH
2.5 akan ditunjukkan oleh warna biru, sedangkan reaksi positif terhadap
pewarnaan PAS ditunjukkan oleh warna merah magenta. Intensitas reaksi
positif dibagi menjadi ± (sangat lemah), + (lemah), ++ (sedang), dan +++
(tinggi) sesuai dengan intensitas warna yang muncul pada masing-masing
hasil pewarnaan.
23

HASIL

Struktur Makroskopis

Secara makroskopis, organ reproduksi betina trenggiling Jawa yang telah


difiksasi dapat dibedakan menjadi organ reproduksi internal dan organ reproduksi
eksternal. Organ reproduksi internal terdiri dari sepasang ovarium, sepasang tuba
uterina, sepasang kornua uteri, korpus uteri, serviks uteri, dan vagina. Organ
reproduksi eksternal terdiri dari vestibula dan vulva (Gambar 11).

f
a
g i b
e c
h

i
h a
d c b
g

Gambar 11 Gambaran makroskopis organ reproduksi betina trenggiling Jawa


yang difiksasi dalam larutan Bouin. A. Trenggiling dengan kode
MJ-1, B. Trenggiling dengan kode MJ-2, a. Vulva, b. Vestibula,
c. Vagina, d. Vesika urinaria, e. Serviks uteri, f. Korpus uteri,
g. Kornua uteri, h. Ovarium, i. Jaringan penggantung. Bar = 1 cm.
24

Ovarium trenggiling Jawa memiliki bentuk oval menyerupai telur hingga


lonjong. Ovarium dari kedua sampel trenggiling memiliki permukaan yang tidak
rata (Gambar 12). Jaringan penggantung ovarium atau mesovarium, terletak di
salah satu sisi ovarium yang mengadakan pertautan dengan mesosalphynx.
Hasil pengukuran ovarium yang telah difiksasi menunjukkan panjang dan
lebar ovarium kiri trenggiling Jawa berturut-turut adalah 9.00-11.93 mm dan 6.43
mm, sedangkan pada ovarium kanan adalah 9.12-12.50 mm dan 6.50-8.63 mm.
Ukuran tebal pada ovarium kiri 5.03-5.57 mm, sedangkan pada ovarium kanannya
adalah 4.97-6.23 mm. Setelah dilakukan penimbangan dapat diketahui bahwa
bobot ovarium kiri adalah 0.21-0.24 gram, dan bobot ovarium kanan adalah
0.23-0.24 gram (Tabel 1).
Berdasarkan Tabel 1, ovarium trenggiling Jawa memiliki ukuran yang lebih
besar dibandingkan dengan ovarium kancil, dan lebih kecil jika dibandingkan
dengan ovarium rusa. Ovarium kanan trenggiling Jawa memiliki ukuran lebih
besar dibandingkan ovarium kiri.

Tabel 1 Pengukuran ovarium kanan dan kiri dari dua sampel organ reproduksi
betina trenggiling Jawa*
Kancil Rusa
Parameter MJ-1 MJ-2
(Hamny 2006) (Rifqiyati 2006)
Bentuk
Kanan Oval Lonjong Oval Oval
Kiri Segitiga tumpul Lonjong
Panjang:
Kanan (mm) 9.12 12.50 7.53±0.90 37-40
Kiri (mm) 9.00 11.93 5.57±1.17 44-54
LeBar
Kanan (mm) 8.63 6.50 4.45±0.50 33-34
Kiri (mm) 6.43 6.43 3.55±0.50 38-46
Tebal:
Kanan (mm) 6.23 4.97 ** 17-26
Kiri (mm) 5.03 5.57 ** 30-33
Berat:
Kanan (g) 0.23 0.24 0.0570±0.0149 0.40-1.28
Kiri (g) 0.21 0.24 0.0364±0.0061 0.60-0.80
Keterangan: *ukuran organ setelah difiksasi dalam larutan Bouin, **tidak ada data yang
dilaporkan. MJ-1: sampel 1, MJ-2: sampel 2

Tabel 2 menunjukkan panjang setiap bagian organ yang membentuk saluran


reproduksi betina trenggiling Jawa. Berdasarkan pengukuran, secara umum
trenggiling Jawa MJ-1 memiliki saluran reproduksi yang lebih panjang
dibandingkan dengan saluran reproduksi pada trenggiling Jawa MJ-2 khususnya
pada bagian kornua uteri. Jika dibandingkan dengan kornua uteri kancil,
trenggiling Jawa memiliki kornua uteri yang relatif panjang.
25

Tabel 2 Pengukuran panjang saluran reproduksi betina trenggiling Jawa*


Bagian Organ Panjang
MJ-1 MJ-2 Kancil Rusa
(Hamny 2006) (Rifqiyati 2006)
Tuba Uterina:
Kanan (cm) 3.183 3.767 4.39±0.85
14.00-17.10
Kiri (cm) 3.567 3.583 3.95±0.94
Kornua Uteri:
Kanan (cm) 9.567 6.300 2.63±1.19
10.30-13.60
Kiri (cm) 7.867 6.167 1.83±1.28
Korpus uteri (cm) 1.863 0.477 2.56±0.61 1.20-1.60
Serviks uteri (cm) 1.193 0.783 3.87±1.36 4.50-5.60
Vagina (cm) 2.963 2.790 3.12±1.11 17.30-19.00
Keterangan: *Ukuran organ setelah difiksasi dalam larutan Boin. MJ-1: sampel 1, MJ-2: sampel 2.

Tuba uterina terdiri dari infundibulum, ampulla dan isthmus. Secara


makroskopis, batas antara infundibulum dengan ampulla tidak dapat dibedakan
dengan jelas. Kedua bagian ini membentuk lekukan yang kompleks. Lekukan satu
dengan lainnya dihubungkan oleh mesosalphynx yang mengikat bagian tersebut
pada kedua sisinya, baik di medial maupun lateral. Ujung infundibulum yang
berbatasan dengan ovarium adalah fimbria. Fimbria trenggiling memiliki bentuk
corong yang terdiri atas lipatan-lipatan tipis.

b
d
c

Gambar 12 Gambaran makroskopis ovarium dan tuba uterina trenggiling Jawa


dengan kode MJ-1. a. ovarium, b. fimbrae, c. tuba uterina - bagian
ampulla dan infundibulum, d. isthmus, e. kornua uteri, tanda panah:
permukaan ovarium yang tidak rata. Bar = 2 mm.
26

Isthmus merupakan bagian tuba uterina yang memiliki diameter lebih kecil
dibandingkan dengan infundibulum dan ampulla. Perbedaan ukuran antara bagian-
bagian tersebut dapat dilihat dalam Gambar 12. Berbeda dengan dua bagian tuba
uterina lainnya, isthmus tidak membentuk lekukan dan diikat oleh mesosalphynx
hanya pada satu sisi. Terdapat perbedaan ukuran isthmus pada trenggiling MJ-2.
Ukuran isthmus tersebut relatif sama dengan ampulla dan infundibulum.
Uterus trenggiling Jawa memiliki tipe bikornua. Uterus difiksir oleh
jaringan penggantung di kedua sisi lateral. Jaringan penggantung ini merupakan
jaringan ikat yang kemudian membungkus uterus hingga ke daerah vagina
(Gambar 13). Jaringan penggantung uterus juga mengikat vesika urinaria dan
bersatu dengan jaringan penggantung yang membungkus kolon pada organ
pencernaan.
Kornua uteri berjalan ke arah kranial. Daerah di bagian kaudal kornua uteri
kanan dan kiri dibungkus bersama-sama oleh jaringan ikat serosa sehingga bagian
tersebut terlihat menyatu. Namun pada bagian dorsal, dapat terlihat adanya garis
semu yang merupakan septum pemisah kornua kiri dengan kornua kanan. Setelah
bercabang, kornua uteri berjalan ventrolaterocaudal, dan memiliki bentuk yang
berlekuk.

Gambar 13 Skema interior organ reproduksi betina trenggiling Jawa.


27

Bagian interior korpus uteri membentuk lipatan mukosa longitudinal.


Lipatan ini juga terdapat pada bagian kornua uteri, sehingga kedua bagian tersebut
tidak dapat dibedakan berdasarkan pada lipatan mukosanya. Perbatasan antara
kornua dan korpus uteri ditandai dengan adanya bagian yang menonjol dan lebih
tebal (Gambar 13).
Serviks uteri merupakan bagian yang memiliki lumen yang rapat. Secara
makroskopis dapat dilihat adanya jaringan otot yang lebih tebal dibandingkan
dengan bagian uterus yang lainnya. Hal ini menyebabkan serviks uteri memiliki
konsistensi lebih keras dan padat. Mukosa serviks uteri membentuk lipatan yang
terdiri dari lipatan primer, sekunder, dan tersier, serta berukuran lebih kecil
(Gambar 13). Batas antara serviks uteri dengan vagina ditandai dengan adanya
fornix, yaitu penebalan bagian serviks uteri dan diverticulum yang merupakan
celah di sekitar fornix.
Vagina merupakan daerah yang memiliki mukosa yang licin di bagian
anterior dan berlipat transversal halus di daerah caudal. Vagina memiliki dinding
penyusun yang lebih tipis dibandingkan dengan serviks uteri. Orificium urethralis
externa menjadi batas antara vagina dengan vestibula. Vestibula memiliki mukosa
yang berlipat yang bercabang seperti mukosa serviks di daerah dorsal dan mukosa
berlipat tranversal seperti vagina di ventral.
Vulva merupakan organ reproduksi eksternal yang terletak ventral anus.
Keunikan vulva trenggiling Jawa adalah lokasinya yang berada di dalam kantung
yang sama dengan anus. Vulva yang telah difiksasi berbentuk kerutan yang
melebar ke arah lateral. Labia mayor maupun minor tidak dapat dibedakan. Dari
eksternal, klitoris tidak nampak. Permukaan vulva tidak ditutupi oleh rambut,
namun di permukaan kantung tersebut terdapat rambut yang tersusun menyebar.

Karakteristik Histologi Saluran Reproduksi


Saluran reproduksi trenggiling terdiri dari tuba uterina, kornua uteri, korpus
uteri, serviks uteri, vagina dan vestibula. Setiap bagian organ tersebut disusun
oleh komponen-komponen yang memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap
bagiannya.
Tuba uterina trenggiling jawa memiliki mukosa yang ditutupi oleh epitel
silindris bersilia yang membentuk lipatan mukosa. Lipatan tersebut terbagi
menjadi lipatan primer, lipatan sekunder dan lipatan tersier. Lipatan menjadi
28

semakin sederhana ketika tuba uterina mendekati uterus. Pada bagian permukaan
mukosa ditemukan secretory bulb yang merupakan sekreta dari sel epitel tuba
uterina yang tidak memiliki kinosilia.
Secara histologis, korpus dan kornua uteri trenggiling Jawa disusun oleh
komponen yang sama. Lapis endometrium kedua bagian tersebut berada di bagian
paling profundal dan berbatasan langsung dengan lumen uterus. Mukosa korpus
dan kornua uteri membentuk lipatan longitudinal. Epitel yang menutupi mukosa
pada bagian ini adalah epitel silindris sebaris. Lamina propria mengandung
kelenjar uterin yang tersebar pada lapis tersebut. Selain kelenjar uterin, pada
lamina propria ditemukan banyak pembuluh darah baik arteri maupun vena
(Gambar 14).

a
b

Gambar 14 Lapisan endometrium kornua uteri. Epitel yang menutupi bagian ini
adalah epitel silindris sebaris (a) yang membentuk lipatan mukosa
(b). Kelenjar uterin (c) terlihat menyebar pada lapisan endometrium.
Pewarnaan HE. Bar: A = 8 µm, B = 4 µm.
29

Miometrium merupakan lapis di bagian superfisial endometrium. Bagian ini


disusun oleh otot polos yang terbagi menjadi lapisan dalam dan lapisan luar.
Lapisan dalam merupakan otot polos yang tersusun secara sirkuler, sedangkan
lapisan luar merupakan otot polos yang yang tersusun secara longitudinal. Stratum
vasculare yang berisi pembuluh darah berada di lapis superfisial setelah kedua
lapisan otot tersebut. Perimetrium merupakan lapisan paling superfisial. Lapisan
ini terdiri dari jaringan ikat yang ditutupi oleh epitel pipih selapis di bagian
superfisial.
Serviks uteri memiliki beberapa perbedaan dengan kornua dan korpus uteri.
Serviks memiliki lipatan mukosa yang terbagi menjadi lipatan primer, sekunder
dan tersier (Gambar 15). Epitel yang menyusun mukosa serviks adalah epitel
silindris sebaris bersilia. Beberapa sel goblet dapat ditemukan di sela-sela epitel
tersebut sebagai massa yang berwarna lebih cerah. Lamina propria terdiri dari
jaringan ikat kolagen yang sangat tebal. Pada lapis ini tidak ditemukan adanya
kelenjar seperti pada bagian kornua dan korpus uteri. Vaskularisasi pada lamina
propria didominasi oleh pembuluh darah vena.

A B

b
a c

Gambar 15 Gambaran mikroskopis serviks trenggiling Jawa. Mukosa serviks


terbagi menjadi lipatan mukosa primer (a), sekunder (b), dan tersier
(c). Pewarnaan HE. Bar: A = 20 µm, B = 10 µm.
30

Tunika muskularis tersusun oleh otot polos. Bagian profundal merupakan


lapis otot yang tersusun secara sirkuler, sedangkan lapis luarnya tersusun secara
longitudinal. Vaskularisasi pada tunika muskularis didominasi oleh pembuluh
darah arteri.
Epitel yang menyusun mukosa vagina adalah epitel pipih banyak lapis
dengan permukaan yang memiliki keratin yang tipis. Lamina propria terdiri dari
jaringan ikat tanpa kelenjar. Pembuluh darah dapat ditemukan pada lapisan ini.
Tunika muskularis terdiri dari lapisan otot yang tersusun longitudinal di bagian
dalam, dan sirkuler di bagian luar (Gambar 16).

Gambar 16 Gambaran mikroskopis vagina. a. Epitel pipih banyak lapis, b. Lamina


propria. Pewarnaan HE. Bar = 8 µm.

Vestibula merupakan organ reproduksi eksternal yang menghubungkan


vagina dengan vulva. Struktur vagina dan vestibula pada umumnya sama.
Vertibula tersusun dari lapis mukosa, lamina propria, tunika muskularis, dan
serosa. Mukosa vestibula membentuk lipatan menyerupai mukosa serviks di
bagian dorsal, dan menyerupai mukosa vagina di bagian ventral. Epitel yang
menyusun mukosanya adalah epitel pipih banyak lapis. Vulva disusun oleh epitel
pipih banyak lapis di bagian eksternal.

Karakteristik Histologi Perkembangan Folikel dalam Ovarium


Struktur ovarium secara histologis yang diamati menggunakan pewarnaan
HE dan Masson’s trichome menunjukkan bahwa epitel yang membungkus
ovarium merupakan epitel pipih selapis dan disebut dengan germinal epithelium.
31

Bagian korteks ovarium berisi berbagai tahap perkembangan folikel. Jaringan ikat
mesovarium pada bagian hilus ovari tidak menyusup ke dalam bagian medula,
melainkan menyusup menjadi bagian tunika albuginea (Gambar 17).

A B
b

b
a

Gambar 17 Gambaran histologi ovarium trenggiling Jawa. Berbeda dengan hewan


mamalia pada umumnya, jaringan ikat mesovarium (a) pada daerah
hilus ovari tidak masuk ke dalam medula (b), tetapi bergabung dengan
tunika albuginea dan membungkus ovarium. Pewarnaan Masson’s
trichome. Bar: A = 1 mm , B = 20 µm.

Bagian medula didominasi oleh se-sel sekretori interstisial yang


berkembang baik pada seluruh bagiannya (Gambar 18). Jaringan ikat yang
terwarnai oleh pewarna Masson’s trichome pada medula berasal jaringan ikat
pembuluh darah yang banyak tersebar di bagian medula. Selain di bagian medula,
pembuluh darah juga dapat ditemukan pada korpus luteum.

A B

Gambar 18 Ovarium trenggiling Jawa (A) dengan perbesaran gambaran bagian


medula (a). Medula ovarium (a) diisi oleh sel-sel sekretori interstisial
(B) dalam jumlah yang besar. Pewarnaan HE. Bar = A= 1 mm,
B = 5 µm.
32

Korteks ovarium berisi berbagai tahap perkembangan folikel, yang terbagi


menjadi 10 tahap perkembangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada
bentuk dan lapisan sel granulosa pada folikel, ketebalan zona pelusida dan
keberadaan antrum folikuli (Hamny 2006). Masing-masing tahap perkembangan
diwakili oleh 1 tipe folikel yang memiliki karakteristik tersendiri.

Gambar 19 Folikel tipe 1 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
pregranulosa berbentuk pipih (tanda
panah). Pewarnaan HE. Bar = 2 µm.

Gambar 20 Folikel tipe 2 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
pregranulosa berbentuk transisi antara
pipih dan kuboid (tanda panah).
Pewarnaan HE. Bar = 2 µm.

Gambar 21 Folikel tipe 3 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh satu lapis sel
granulosa berbentuk kuboid (tanda
panah). Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.
33

Gambar 22 Folikel tipe 4 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh lebih dari 1
hingga 2 lapis sel granulosa berbentuk
kuboid (tanda panah). Pewarnaan HE.
Bar = 4 µm.

Gambar 23 Folikel tipe 5 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh 3-5 lapis sel
granulosa. Zona pelusida (tanda panah)
sudah mulai ditemukan sebagai lapisan
tipis di sekitar oosit. Pewarnaan HE.
Bar = 4 µm.

Gambar 24 Folikel tipe 6 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis
sel granulosa. Zona pelusida (tanda
panah) sudah mulai teramati di sekitar
oosit. Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.

Gambar 25 Folikel tipe 7 dengan ciri


oosit dikelilingi oleh lebih dari 5 lapis
sel granulosa berbentuk kuboid. Zona
pelusida (tanda panah) semakin
menebal. Pewarnaan HE. Bar = 4 µm.
34

a
Gambar 26 Folikel tipe 8 dengan ciri
oosit dilapisi oleh lebih dari lima lapis
sel granulosa berbentuk kuboid. Zona
pelusida tebal dan mulai terbentuk
antrum folikuli (a). Pewarnaan HE.
Bar = 10 µm.

a
Gambar 27 Folikel tipe 9 dengan ciri
antrum folikuli (a) membesar hingga
mulai mendesak oosit ke tepi folikel.
Pewarnaan HE. Bar = 8 µm.

10

a
Gambar 28 Folikel tipe 10 dengan ciri
oosit sudah berada di tepi folikel.
Antrum folikuli (a) membesar hingga
ukuran maksimal. Pewarnaan PAS.
Bar = 20 µm.

Folikel tipe 1 (Gambar 19) terletak di bagian korteks ovarium, yaitu di


profundal germinal epithelium, folikel ini memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh
satu lapis sel pregranulosa yang berbentuk pipih. Selain folikel tipe 1, pada
korteks ovarium juga dapat ditemukan folikel tipe 2 yang merupakan
perkembangan lanjutan dari folikel tipe 1. Folikel tipe 2 (Gambar 20) memiliki
karakteristik oosit yang dikelilingi oleh sel pregranulosa yang berbentuk peralihan
antara pipih dan kuboid. Folikel tipe 3 (Gambar 21) memiliki ciri oosit yang
35

dikelilingi oleh satu lapis sel granulosa berbentuk kuboid. Folikel tipe 4
(Gambar 22) memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh satu sampai dua lapis sel
granulosa berbentuk kuboid.
Folikel tipe 5 (Gambar 23) memiliki ciri oosit yang dikelilingi oleh dua
sampai lima lapis sel granulosa. Pada folikel ini zona pelusida sudah mulai
terbentuk sebagai suatu lapisan tipis di sekeliling oosit. Folikel tipe 6
(Gambar 24) memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan folikel tipe 5.
Perbedaan dengan folikel 5 terletak pada jumlah sel granulosa yang mengelilingi
oosit. Pada folikel 6 sel granulosa berkembang hingga mencapai 6-12 lapis. Selain
itu zona pelusida terlihat jelas sebagai lapisan tipis diantara oosit. Folikel tipe 6
berkembang menjadi folikel tipe 7 yang memiliki karakteristik yang hampir sama
dengan folikel tipe 6 (Gambar 25). Ciri khas folikel tipe 7 adalah zona pelusida
yang terlihat semakin menebal. Antrum folikuli mulai terbentuk pada folikel
tipe 8 (Gambar 26). Antrum folikuli tersebut semakin membesar sehingga folikel
berkembang menjadi folikel tipe 9 (Gambar 27). Oosit pada folikel tipe 9 mulai
bergerak ke tepi folikel. Folikel tipe 10 merupakan tahap akhir perkembangan
tipe folikel sebelum diovulasikan. Oosit pada folikel tipe 10 berada di tepi folikel
dengan antrum folikuli yang membesar (Gambar 28).
Berdasarkan perhitungan jumlah folikel pada setiap tahapan perkembangan,
folikel tipe 1 merupakan tipe folikel yang jumlahnya paling mendominasi dalam
ovarium dan lebih banyak ditemukan pada ovarium MJ-2. Selain itu, dapat dilihat
pula bahwa ovarium kiri trenggiling jawa pada umumnya memiliki persentase
perkembangan folikel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ovarium kanan.
Folikel tipe 8 yang termasuk ke dalam folikel antral, dapat ditemukan pada sampel
ovarium yang berada dalam fase folikular, maupun fase luteal (Tabel 3).
36

Tabel 3 Jumlah folikel pada berbagai tahapan perkembangan folikel ovarium


trenggiling Jawa
Jumlah folikel MJ-1 (n) Jumlah folikel MJ-2 (n)
Tipe Folikel Ovarium Kanan Ovarium Kiri Ovarium Kanan Ovarium Kiri
(%) (%) (%) (%)
1 1122 854 4359 6098
66.19 63.97 64.80 74.02
2 522 397 2343 2070
30.80 29.74 34.83 25.12
3 31 23 26 41
1.83 1.722 0.38 0.50
4 15 34 0 6
0.88 2.54 0 0.07
5 0 9 0 9
0 0.67 0 0.11
6 0 5 0 3
0 0.37 0 0.04
7 0 0 0 0
0 0 0 0
8 6 12 0 12
0.35 0.90 0 0.15
9 0 0 0 0
0 0 0 0
10 0 1 0 0
0 0.07 0 0
Jumlah 1695 1335 6727 8238

Distribusi Karbohidrat dalam Perkembangan Folikel


Distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat netral pada setiap tahap
perkembangan ovarium trenggiling Jawa disajikan dalam Tabel 4 dan Gambar
29-30. Distribusi karbohidrat yang diamati mencakup distribusi pada oosit,
matriks ekstraseluler, zona pelusida, dan cairan folikuli. Hasil pengamatan
memperlihatkan adanya perbedaan distribusi karbohidrat asam dan karbohidrat
netral pada setiap tahap perkembangan folikel.
Pewarnaan AB pH 2.5 menunjukkan hasil reaksi positif mulai dari folikel
tipe 5, yaitu pada zona pelusida dengan intensitas reaksi positif yang sangat lemah
(±). Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat asam sudah mulai ada pada folikel
tipe 5 dalam konsentrasi yang rendah. Reaksi positif terlihat pada oosit, matriks
ekstraseluler dan zona pelusida folikel tipe 7 dengan intensitas sangat lemah (±).
37

Tabel 4 Distribusi karbohidrat pada setiap tahap perkembangan folikel ovarium


trenggiling Jawa dengan metode pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS
Jenis Folikel
Tipe KH asam KH Netal
(Erickson (2003) diacu dalam Struktur
Folikel (AB pH 2.5) (PAS)
Hamny (2006))
1 Folikel primordial Oosit - -
2 Folikel primordial Oosit - -
3 Folikel primer Oosit - -
4 Folikel primer Oosit - -
Matriks - ±
Ekstraseluler
5 Folikel sekunder Oosit - +
Matriks - ±
Ekstraseluler
Zona Pelusida ± +
6 Folikel sekunder Oosit * ±
Matriks * +
Ekstraseluler
Zona Pelusida * ++
7 Folikel sekunder Oosit ± *
Matriks ± *
Ekstraseluler
Zona Pelusida ± *
8 Folikel tersier Oosit - ±
Matriks ± ±
Ekstraseluler
Zona Pelusida + ++
Cairan ++ +
Folikuli
9 Folikel tersier Oosit - ±
Matriks ± +
Ekstraseluler
Zona Pelusida + ++
Cairan ++ ±
Folikuli
10 Folikel tersier Oosit - ±
Matriks + +
Ekstraseluler
Zona Pelusida ++ ++
Cairan +++ +
Folikuli
Keterangan : *tidak ditemukan, KH : Karbohidrat, (-) : negatif, (±) : sangat lemah, (+) lemah,
(++) : sedang, (+++) : kuat.

Pewarnaan AB memberikan hasil negatif pada oosit folikel tipe 8-10,


sedangkan zona pelusida memberikan hasil positif dengan intensitas reaksi yang
meningkat pada folikel 8-9 menjadi lemah (+) dan pada folikel 10 menjadi sedang
(++). Matriks ekstraseluler menunjukkan reaksi positif yang sangat lemah (±)
38

pada folikel tipe 8-9, dan reaksi positif lemah pada folikel tipe 10. Cairan folikuli
pada folikel antral (tipe 8-10) menunjukkan intensitas reaksi positif AB yang
sedang (++) hingga kuat (+++).

Gambar 28 Distribusi karbohidrat asam pada tahapan perkembangan folikel


ovarium trenggiling Jawa. Folikel tipe 4 (A) menunjukkan reaksi
negatif terhadap AB pH 2.5. Reaksi positif dapat terlihat pada
matriks ekstraseluler folikel tipe 7 (B). Karbohidrat asam banyak
ditemukan pada cairan folikuli folikel tipe 9 (C) dan tipe 10 (D).
Pewarna AB pH 2.5. Bar: A = 5 µm, B-C = 10 µm, D = 20 µm.
Pewarnaan PAS digunakan untuk mendeteksi karbohidrat netral seperti
glukosa, galaktosa, manosa, dan fukosa. Reaksi positif pewarnaan PAS mulai
terlihat pada folikel tipe 4, yaitu pada matriks ekstraseluler dengan intensitas
reaksi positif yang sangat lemah (±). Reaksi positif pada oosit mulai terlihat pada
folikel tipe 5 dengan intensitas reaksi positif lemah (+), kemudian pada folikel tipe
6-10 intensitas reaksi positif pada oosit menurun menjadi sangat lemah (±). Zona
pelusida menunjukkan reaksi positif pada folikel tipe 6-10 dengan intensitas
reaksi positif sedang. Cairan folikuli menunjukkan intensitas reaksi positif lemah
(+) pada folikel tipe 8, kemudian menjadi sangat lemah (±) pada folikel tipe 9, dan
kembali meningkat menjadi lemah (+) pada folikel tipe 10.
39

Gambar 29 Distribusi karbohidrat netral pada tahapan perkembangan folikel


ovarium trenggiling Jawa. Reaksi positif ditunjukkan oleh warna
merah magenta. Folikel tipe 1 dan 2 (A) serta folikel tipe 3 (B)
menunjukkan reaksi negatif terhadap PAS. Reaksi positif terhadap
PAS mulai terlihat pada matriks ekstraseluler folikel tipe 4 (C).
Karbohidrat netral dapat ditemukan pada oosit folikel tipe 5 (D) dan
tipe 9 (E), serta mengisi daerah antrum folikuli folikel tipe 9 (E).
A. Folikel tipe 1 dan 2, B. Folikel tipe 3, C. Folikel tipe 4, D. Folikel
tipe 5, E. Folikel tipe 9. Pewarnaan PAS. Bar: A = 3 µm,
B-D = 5 µm, E = 10 µm.
40

PEMBAHASAN

Organ reproduksi betina terdiri dari sepasang gonad, yaitu ovarium, organ
reproduksi internal yang terdiri dari tuba uterina, uterus, dan vagina, serta organ
reproduksi eksternal yang terdiri dari vulva dan klitoris (Pineda dan Dooley 2003;
Samuelson 2007). Perkembangan ovarium pada masa embrio diawali dengan
penebalan epitelium coloemic yang lokasinya berada di ventral mesonephros.
Saluran reproduksi yang terdiri dari tuba uterina, uterus, dan vagina berasal dari
saluran mesonephros yaitu duktus Mullerian (Capello dan Lennox 2006;
Kobayashi dan Behringer 2003), sedangkan organ reproduksi eksternal berasal
dari perkembangan regio kloaka primitif (Capello dan Lennox 2006).
Tuba uterina trenggiling Jawa terdiri dari infundibulum, ampulla dan
isthmus. Isthmus merupakan bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian
tuba uterina yang lain (Gambar 12) sehingga pada perbatasan kedua daerah
tersebut terdapat daerah penghubung yang disebut ampullary-isthmic junction.
Kondisi ini sama seperti tuba uterina pada sapi (Ball dan Peters 2004) dan kuda
(Morel dan Mina 2008). Bagian ampulla dan isthmus memiliki bentuk
menggulung sama seperti tuba uterina pada mamalia ternak (Hafez dan Hafez
2000), dan diikat oleh jaringan pengikat yang dinamakan mesosalphynx.
Gambaran histologi tuba uterina trenggiling Jawa tidak berbeda dengan
mamalia lain pada umumnya. Mukosa tuba uterina tersusun dari lipatan primer,
sekunder, dan tersier yang memiliki percabangan yang semakin sederhana pada
bagian yang mendekati uterus (Hafez dan Hafez 2000). Mukosa tersebut ditutupi
oleh epitel silindris sebaris pada bagian fimbrae dan epitel silindris banyak lapis
semu dengan silia yang bergerak (kinosilia) di bagian lainnya. Silia ini berfungsi
dalam proses transportasi sel telur ke tempat terjadinya fertilisasi dan transportasi
embrio yang akan berimplantasi di uterus. Persentase sel bersilia berkurang pada
daerah ampulla mendekati isthmus, dan mencapai jumlah maksimum di daerah
fimbrae dan infundibulum (Hafez dan Hafez 2000).
Pada permukaan epitel tuba uterina, dapat ditemukan secretory bulb.
Secretory bulb merupakan hasil sekresi sel-sel tidak bersilia pada epitel tuba
uterina. Sel tidak bersilia pada tuba uterina ditutupi oleh mikrovilli dalam jumlah
yang banyak pada permukaannya (Hafez dan Hafez 2000). Fungsi utama sekreta
41

yang dihasilkan oleh sel ini adalah untuk menyediakan nutrisi pendukung bagi sel
telur ketika melakukan pergerakan pada tuba uterina. Sekreta tersebut juga
membantu proses pematangan spermatozoa dalam tuba uterina yang dikenal
dengan istilah kapasitasi (Samuelson 2007). Sekresi sel epitel tidak bersilia pada
tuba uterina, diatur oleh hormon steroid (Hafez dan Hafez 2000).
Tunika muskularis tuba uterina disusun oleh otot polos sirkular yang
dikelilingi oleh otot polos longitudinal di bagian superfisial. Daerah isthmus
memiliki lapisan muskularis yang paling tebal dibandingkan dengan ampulla dan
infundibulum. Semakin mendekati ovarium, lapisan muskularis ini akan semakin
tipis, sehingga bagian infundibulum merupakan bagian yang memiliki lapisan
muskularis yang paling tipis. Kondisi tunika muskularis memiliki korelasi dengan
keberadaan sel-sel epitel bersilia pada tuba uterina. Tunika muskularis memiliki
fungsi untuk kontraksi tuba uterina sehingga membantu pergerakan sel telur
(Hafez dan Hafez 2000). Infundibulum memiliki tunika muskularis yang lebih
tipis sehingga pergerakan ovarium lebih banyak dilakukan dengan bantuan sel-sel
epitel bersilia. Semakin mendekati uterus, pergerakan sel telur lebih banyak
didukung oleh tunika muskularis.
Trenggiling Jawa memiliki uterus dengan tipe bikornua, sama seperti babi
(Hafez dan Hafez 2000) kancil (Hamny 2006), dan rusa (Rifqiyati 2006). Hasil ini
mengkonfimasi hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh
Kimura et al. (2006). Bagian kaudal kornua uteri yang dekat dengan korpus uteri
memiliki septum. Uterus diikat oleh jaringan ikat yang dinamakan mesometrium.
Jaringan ikat ini bersama dengan mesovarium dan mesosalphinx bergabung
menjadi jaringan ikat yang lebih luas (Hafez dan Hafez 2000).
Endometrium pada trenggiling Jawa terdapat pada kornua dan korpus uteri
dan dilapisi oleh epitel silindris sebaris yang membentuk lipatan mukosa
longitudinal (Gambar 13). Lapisan ini memiliki peran penting dalam proses
pelekatan dan perkembangan embrio (Morel dan Mina 2008). Bagian lamina
propria endometrium merupakan lapisan fungsional memiliki kelenjar dalam
jumlah yang banyak. Kelenjar ini merupakan kelenjar uterin yang menghasilkan
cairan berupa serum protein dan sejumlah kecil protein spesifik uterus (Hafez dan
Hafez 2000). Kerja dari kelenjar uterin dipengaruhi oleh hormon progesteron
dalam siklus estrus (Pineda dan Dooley 2003; Samuelson 2007) dan estrogen
(Pineda dan Dooley 2003).
42

Selain kelenjar uterin, lapisan endometrium juga terdiri atas vaskularisasi


dan jaringan ikat. Vaskularisasi yang ditemukan pada lapisan ini adalah arteri dan
vena yang berasal dari jaringan ikat penggantung dan menyusup memalui stratum
vasculare pada miometrium menuju endometrium (Bloom dan Fawcett 1968).
Pembuluh darah ini menyuplai darah untuk kelenjar uterin (Samuelson 2007) dan
menyuplai darah untuk embrio pada masa kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000).
Miometrium pada trenggiling Jawa terdiri atas otot polos yang melingkar di
bagian profundal dan otot polos longitudinal di bagian superfisial. Lapisan tebal
yang berisi jaringan ikat dan pembuluh darah dapat ditemukan di bagian
superfisial kedua lapisan otot tersebut. Lapisan ini disebut stratum vasculare.
jaringan ikat diantara lapisan otot dan pembuluh darah merupakan jaringan ikat
kolagen, fibroblas, dan sel-sel embrionik jaringan ikat. Jaringan ikat elastik tidak
ditemukan pada miometrium, kecuali pada arteri (Bloom dan Fawcett 1968).
Selama masa kebuntingan, miometrium mengalami perkembangan. Sel-sel otot
polosnya dapat mengalami hipertropi hingga 10 kali lipat dari ukuran normal.
Peningkatan ukuran ini dipengaruhi oleh peningkatan level estrogen
(Samuelson 2007).
Perimetrium merupakan lapisan paling superfisial dari kornua dan korpus
uteri. Lapisan ini tersusun dari jaringan ikat yang bembentuk tunika serosa
(Samuelson 2007). Peritoneum hanya ditemukan pada sebagian permukaan uterus
karena bagian ini bertaut pada vesika urinaria di bagian anterior dan rektum
dibagian posterior (Bloom dan Fawcett 1968).
Serviks uteri pada trenggiling Jawa memiliki mukosa yang berlipat. Lipatan
ini terbagi menjadi lipatan primer, sekunder dan tersier. Lipatan pada mukosa
serviks lebih pendek dibandingkan dengan lipatan mukosa pada daerah
infundibulum dan ampulla pada tuba uterina, yang hampir menutupi bagian
lumennya. Tipe lipatan mukosa sama seperti kuda dan anjing (Bacha dan Bacha
2000). Epitel yang menutupi mukosa serviks uteri adalah epitel silindris sebaris
bersilia yang memiliki sel goblet. Sel goblet berfungsi untuk menyediakan mukus
karena pada daerah lamina propria serviks sangat sedikit ditemukan kelenjar
(Samuelson 2007). Sekresi mukus bervariasi dalam jumlah dan kekentalannya.
Hal ini dipengaruhi oleh keseimbangan hormonal gonad (Pineda dan
Dooley 2003). Karakterisasi serviks menurut Hafez dan Hafez (2000) yaitu
43

memiliki dinding yang tebal dan lumen yang berkontraksi, terdapat pada serviks
trenggiling Jawa. Lumen serviks menutup dengan rapat kecuali pada saat estrus
dan melahirkan.
Ovarium trenggiling Jawa memiliki bentuk oval menyerupai telur hingga
lonjong. Ovarium kiri trenggiling dengan kode MJ-1 memiliki bentuk hampir
mendekati segitiga dengan hilus yang berada pada salah satu sudutnya. Ukuran
ovarium kanan dan kiri baik pada satu sampel maupun sampel organ reproduksi
yang berbeda memiliki perbedaan ukuran panjang, lebar dan diameter serta bobot.
Bentuk ovarium trenggiling Jawa yang bulat hingga lonjong sesuai dengan
ovarium pada hewan monokotosa atau hewan yang menghasilkan satu anak dalam
satu periode kebuntingan seperti sapi dan kambing (Pineda dan Dooley 2003).
Perbedaan bentuk dan ukuran ovarium, dapat disebabkan oleh perkembangan dari
siklus reproduksi (Hafez dan Hafez 2000; Pineda dan Dooley 2003;
Samuelson 2007).
Terdapat keunikan pada ovarium trenggiling Jawa. Jaringan ikat pada
bagian hilus tidak menyusup ke bagian dalam ovarium, melainkan berubah
menjadi tunika albuginea yang menutupi permukaan luar ovarium. Bagian medula
ovarium, diisi oleh sel-sel sekretori interstisial yang memiliki bentuk menyerupai
sel luteal dengan ukuran yang lebih kecil. Sel sekretori interstisial tidak dapat
ditemukan pada beberapa spesies hewan, namun dapat ditemukan dalam jumlah
yang banyak pada beberapa hewan Insektivora, Lagomorpha, Chiroptera,
Rodentia, dan Carnivora (Harrison dan Weir 1977). Beberapa kajian telah
dilakukan untuk mengetahui asal sel sekretori interstisial. Greenwald dan
Peppler (1963) diacu dalam Duke (1978) menyimpulkan bahwa jaringan
interstisial pada hamster yang belum dewasa berasal dari perkembangan sel-sel
stroma. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Deanesly (1970) diacu dalam
Duke (1978) dengan hewan coba pada cerpelai. Hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa sel interstisial berkembang dari stroma medula pada 2 minggu pertama
pasca kelahiran. Mori dan Matsumoto (1970) mengemukakan bahwa pada kelinci
yang belum dewasa sel intertisial berasal dari penonjolan ekstrafolikuler sel
granulosa dan dari medulary cord.
44

Guraya dan Greenwald (1964) diacu dalam Harrison dan Weir (1977)
menyebutkan bahwa sel interstisial diisi oleh droplet-droplet yang mengandung
fosfolipid, trigliserida, dan kolesterol. Proporsi kandungan tersebut berbeda antar
spesies, antar sel, dan antar droplet. Sel interstisial memiliki fungsi sebagai tempat
sintesis progestin pada kelinci (Hilliard et al. 1963; Guraya dan Greenwald 1964
diacu dalam Duke 1978). Davis dan Broadus (1968) diacu dalam Duke (1978)
menyebutkan bahwa sel interstisial pada kelinci merupakan tipe sel penghasil
steroid.
Vaskularisasi berupa pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan di
antara sel-sel sekretori interstisial pada ovarium trenggiling Jawa. Selain itu
vaskularisasi dapat ditemukan pula pada korpus luteum. Folikel primordial tidak
mendapatkan vaskularisasi khusus dari pembuluh darah. Namun ketika antrum
folikuli mulai terbentuk pada perkembangan folikel, pembuluh darah kapiler
terbentuk pada lapisan teka interna dan dapat berhubungan dengan pembuluh
darah kapiler pada lapisan teka eksterna (Harrison dan Weir 1977).
Ovarium difiksir oleh jaringan ikat yang bernama mesovarium. Mesovarium
bertaut pada ovarium di bagian hilus, dan merupakan lokasi masuknya
vaskularisasi dan inervasi untuk ovarium (Hafez dan Hafez 2000). Hilus
kemudian menyusup ke dalam medula, sehingga bagian medula merupakan
bagian yang terdiri dari pembuluh darah, pembuluh limfe, dan jaringan syaraf
yang dikelilingi oleh jaringan ikat elastik dan retikular (Samuelson 2007).
Perkembangan folikel dapat ditemukan di lapisan korteks pada bagian
superfisial ovarium. Folikel dalam ovarium dikelompokkan ke dalam 10 tipe
berdasarkan perkembangannya. Tipe tersebut menurut Cushman et al. (2000)
diacu dalam Hamny (2006), dapat dikelompokkan menjadi folikel primordial (tipe
1 dan 2), folikel primer (tipe 3 dan 4), folikel sekunder (tipe 5, 6, 7, dan 8), serta
folikel tersier (tipe 9 dan 10). Menurut Erickson (2003) diacu dalam Hamny
(2006), folikel tipe 8 dimasukkan ke dalam folikel tersier berdasarkan keberadaan
antrum folikuli.
45

Folikel primordial trenggiling Jawa berada korteks ovarium, di profundal


tunika albuginea. Folikel ini berasal dari perkembangan germinal epithelium
(Bloom dan Fawcett 1968). Folikel primordial berkembang menjadi folikel primer
yang kemudian berubah menjadi folikel sekunder setelah terbentuknya suatu
ruangan berisi cairan yang disebut antrum folikuli. Cairan tersebut memproduksi
hormon estrogen yang berfungsi untuk menstimulasi proliferasi endometrium,
menginduksi gelombang Luitenizing Hormone (LH) dan Prolactine (PRL),
memberikan feedback negatif terhadap organ pituitari, dan meningkatkan
sensitivitas uterus terhadap oksitosin (Norris 2007).
Folikel tersier pada trenggiling Jawa memiliki karakteristik yang sama
dengan mamalia lain pada umumnya. Letak folikel tersier berada di daerah
superfisial ovarium dan memberikan tekanan kepada tunika albuginea. Letak ini
mendukung proses ovulasi melalui permukaan ovarium (Samuelson 2007).
Korpus luteum ditemukan di lapisan korteks sebagai massa padat yang
berisi sel-sel luteal, yaitu sel granulosa lutein dan sel teka lutein. Sel granulosa
lutein merupakan sel yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan sel
teka lutein sehingga biasa disebut dengan sel luteal besar dan sel teka lutein
disebut dengan sel lutein kecil (Samuelson 2007). Kedua jenis sel tersebut
merupakan perkembangan lanjutan dari sel granulosa dan sel teka interna yang
mengalami multiplikasi, hipertrofi dan diferensiasi setelah proses ovulasi
(Bacha dan Bacha 2000).
Sel luteal besar merupakan sel yang mengisi sebagian besar korpus luteum
dan menjadi penghasil utama hormon progesteron, sedangkan sel luteal kecil
memproduksi hormon progesteron, androgen dan estrogen (Samuelson 2007).
Fungsi utama hormon progesteron adalah menghambat sekresi hormon
gonadotropin pada kelenjar adenohipofise dan memelihara kebuntingan,
sedangkan fungsi hormon androgen adalah sebagai prekursor untuk proses sintesis
estrogen (Norris 2007).
Berdasarkan perhitungan jumlah folikel pada setiap tahapan perkembangan,
folikel tipe 1 merupakan tipe folikel yang jumlahnya paling mendominasi dalam
ovarium dan lebih banyak ditemukan pada trenggiling MJ-2. Selain itu, dapat
46

dilihat pula bahwa ovarium kiri trenggiling Jawa pada umumnya memiliki
persentase perkembangan folikel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ovarium kanan (Tabel 3) sehingga diduga ovarium kiri tersebut memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ovarium kanan. Perbedaan ini dapat
ditemukan pula pada hewan kancil (Hamny 2006).
Folikel tipe 1 merupakan folikel primordial yang pembentukkannya sudah
mulai terjadi pada masa embrionik. Perkembangan folikel ini berasal dari sel
benih primordial yang berdiferensiasi menjadi oogonia. Oosit primer pada folikel
primordial yang berasal dari oogonia akan menggandakan DNA-nya dan
memasuki tahap profase dari meiosis pertama. Folikel primordial akan mengalami
masa istirahat dalam tahap ini. Oosit tidak akan menyelesaikan pembelahan
meiosis pertamanya dan akan tetap berada pada tahap profase sebelum mencapai
masa pubertas (Djuwita et al. 2000).
Pada setiap siklus estrus, sekelompok folikel mulai berkembang. Pada
hewan unipara atau hewan monokotosa, hanya satu folikel yang mencapai
kematangan penuh, yaitu folikel dominan. Folikel lain yang berkembang pada
satu siklus estrus tersebut berdegenerasi menjadi atretik (Djuwita et al. 2000).
Semakin tua usia hewan maka siklus estrus yang telah terjadi akan semakin
banyak, sehingga jumlah folikel primordial pada ovarium akan berkurang dan
akhirnya tidak ada lagi folikel yang dapat berkembang. Kondisi ini disebut dengan
menopouse. Hal ini menguatkan dugaan bahwa trenggiling MJ-2 merupakan
trenggiling dara dilihat dari jumlah folikel primordial yang jumlahnya relatif
banyak pada kedua ovarium.
Folikel tipe 8 yang termasuk ke dalam folikel antral dapat ditemukan pada
sampel ovarium yang berada dalam fase folikular maupun luteal. Folikel antral
merupakan folikel yang dapat dimanfaatkan untuk koleksi oosit pada teknologi
reproduksi in vitro fertilization (IVF). Koleksi oosit pada folikel antral dapat
dilakukan dengan metode aspirasi, yaitu dengan mengaspirasi folikel antral pada
ovarium setelah dilakukan laparotomi, atau dengan bantuan laparoskop. Metode
aspirasi juga dapat dilakukan dengan bantuan tranduser ultrasound transvaginal.
47

Selain dengan metode aspirasi, koleksi oosit dapat dilakukan dengan memotong
ovarium kemudian mencacahnya (Hasler 2007).
Hasil pengamatan distribusi karbohidrat asam dan netral pada setiap
perkembangan ovarium menunjukkan adanya perbedaan distribusi pada setiap
tahap perkembangan folikel. Karbohidrat asam yang dilihat dari hasil pewarnaan
AB pH 2.5 menunjukkan hasil positif mulai dari folikel tipe 5. Intensitas warna
sangat lemah yang ditunjukkan pada folikel tipe 5 ini dapat berarti bahwa
konsentrasi karbohidrat asam yang dikandung oleh folikel masih sangat rendah
(Hamny 2006). Adanya perubahan intensitas reaksi positif pada setiap folikel
dapat mengindikasikan bahwa terjadi perubahan struktur distribusi karbohidrat
asam pada setiap perkembangan folikel.
Kandungan karbohidrat asam pada cairan folikuli dan zona pelusida makin
meningkat sesuai dengan perkembangan folikel, dan mencapai intensitas tertinggi
pada cairan folikuli folikel tipe 10. Mukopolisakarida meningkat jumlahnya sesuai
dengan perkembangan folikel (Ax dan Ryan 1979). Pada cairan folikuli terdapat
asam hialuronat dan mukopolisakarida asam lain yang menghasilkan reaksi positif
terhadap pewarnaan AB pH 2.5 (Bjersing 1977). Asam hialuronat banyak
ditemukan pada cairan interselular di sekitar sel granulosa, sedangkan pada
antrum folikuli, dapat ditemukan mukopolisakarida asam berupa asam sulfur
kondroitin (McNatty 1978).
Reaksi positif pewarnaan PAS mulai terlihat pada folikel tipe 4, yaitu pada
matriks ekstraseluler dengan intensitas reaksi positif yang sangat lemah (±).
Reaksi positif pada oosit mulai terlihat pada folikel tipe 5 dengan intensitas reaksi
positif lemah (+), kemudian pada folikel tipe 6-10 intensitas reaksi positif pada
oosit menurun menjadi sangat lemah (±). Zona pelusida menunjukkan reaksi
positif pada folikel tipe 6-10 dengan intensitas reaksi positif sedang. Cairan
folikuli menunjukkan intensitas reaksi positif lemah (+) pada folikel tipe 8,
kemudian menjadi sangat lemah (±) pada folikel tipe 9, dan kembali meningkat
menjadi lemah (+) pada folikel tipe 10. Pewarnaan PAS digunakan untuk
mendeteksi karbohidrat netral seperti glukosa, galaktosa, manosa, dan fruktosa.
48

Karbohidrat dalam proses perkembangan folikel dalam ovarium memiliki


peranan yang cukup penting. Karbohidrat digunakan sebagai sumber energi dan
sebagai signal komunikasi antar sel granulosa pada folikel tipe 1-7 (Hamny 2006),
sedangkan pada tipe 8-10 karbohidrat digunakan untuk mensintesa reseptor
terhadap spermatozoa, yaitu pada zona pelusida. Keberadaan karbohidrat dalam
zona pelusida menjadi kunci penting dalam proses fertilisasi, yaitu ketika terjadi
interaksi spermatozoa dengan oosit (sperm-egg interaction). Karbohidrat yang
terdapat pada zona pelusida membantu perlekatan (binding) spermatozoa karena
karbohidrat tersebut berikatan dengan protein reseptor yang terdapat pada
spermatozoa (Shalgi et al. 1986).
49

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Secara makroskopis trenggiling Jawa memiliki ovarium dengan bentuk oval
menyerupai telur hingga lonjong. Ovarium trenggiling memiliki keunikan karena
jaringan ikat yang berasal dari hilus ovari tidak menyusup ke bagian medula
sehingga struktur medulanya didominasi oleh sel sekretori interstisial. Tuba
uterina trenggiling jawa baik secara makroskopis dan mikroskopis sama dengan
tuba uterina mamalia pada umumnya. Trenggiling Jawa memiliki tipe uterus
bikornua dengan komposisi penyusun dinding terus yang sama dengan mamalia
pada umumnya. Serviks uteri memiliki lipatan mukosa yang terdiri dari lipatan
primer sekunder dan tersier seperti pada kuda dan anjing. Mukosa vagina
memiliki aspek licin dan mengkilat di bagian kranial, dan membentuk lipatan
mukosa yang tipis di daerah kaudal. Folikel tipe 1 merupakan folikel yang paling
banyak ditemukan pada seluruh sampel ovarium. Ovarium kiri trenggiling Jawa
memiliki persentase perkembangan folikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ovarium kanan sehingga diduga ovarium kiri tersebut memiliki aktivitas yang
lebih tinggi. Distribusi karbohidrat asam dan netral pada setiap tahap
perkembangan ovarium tidak sama. Karbohidrat netral mulai muncul pada folikel
tipe 4 yaitu pada matriks ekstraseluler, sedangkan karbohidrat asam mulai muncul
pada folikel tipe 5 yaitu pada zona pelusida dengan intensitas reaksi positif yang
sangat lemah dengan intensitas reaksi positif yang sangat lemah. Intensitas reaksi
positif yang menunjukkan kandungan karbohidrat asam dan netral pada setiap
folikel berbeda-beda menggambarkan adanya perubahan struktur karbohidrat pada
setiap tahap perkembangan folikel.

Saran
Kajian lebih lanjut mengenai karakteristik organ reproduksi betina
trenggiling Jawa perlu dilakukan untuk:
1. Mengetahui distribusi karbohidrat pada perkembangan folikel ovarium dengan
menggunakan pewarnaan histokimia Lektin.
2. Mengetahui pola reproduksi trenggiling Jawa pada habitat eksitu sehingga
teknik reproduksi buatan dapat dikembangkan dan diterapkan untuk
manajemen konservasi trenggiling Jawa.
50

DAFTAR PUSTAKA

Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy & Physiology of Domestic Animal.
USA: Blackwell.

Amir H. 1978. Mamalia di Indonesia, Pedoman Inventarisasi Satwa. Bogor:


Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical


Correlates. London: Manson.

Ax RL, Ryan RJ. 1979. The porcine ovarian follicle. IV. Mucopolysaccarides at
different stages of development. Biol Reprod 20: 1123-1132.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Ed ke-2.
Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. hlm 221-243.

Ball PJH, Peter AR. 2004. Reproduction in Cattle Ed ke-3. Iowa: Blackwell
Publishing Company.

Bjersing L 1977. Ovarian histochemistry. Di dalam: Zuckerman L dan Weir BJ,


editor. The Ovary I: General Aspect Ed ke-2. New York: Academy
Press. hlm 303-391.

Bloom W, Fawcett DW. 1968. A Textbook of Histology. Philadelphia:


WB Saunders.

Boldt J, Howe AM, Parkerson JB, Gunter LE, Kuehn E. 1989. Carbohydrate
involvement in sperm-egg fusion in mice. Biol Reprod 40: 887-896.

Candy CJ, Wood MJ, Whittingham DG. 1997. Effect of cryoprotectans on the
survival of follicles in frozen mouse ovaries. J Reprod Fertil 110: 11-19.

Capello V, Lennox AM. 2006. Gross and surgical anatomy of the reproductive
tract of selected exotic pet mammals.
http://aemv.org/documents/2006_AEMV_proceedings_3.pdf [11 Juli
2011]

Constantinescu GM. 2007. Anatomy of reproductive organs. Di dalam: Schatten


H, Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. USA:
Blackwell Publishing. hlm 13-59.

Corbet G, Hill J. 1992. Mammals of Indomalayan Region. Oxford: London and


Oxford Univerty Pr.

Cummings, B. 2001. Structure of an ovary.


http://www.tarlenton.edu/Departements/Anatomy/Ovary.Html. [23 april
2011].
51

Cushman RA, Hedgpeth VS, Echternkamp SE, Britt JH. 2000. Evaluation of
numbers of microscopic and macroscopic follicles in cattle selected for
twinning. J Anim Sci 78 (6): 1564-1567.

Davis J, Broadus CD. 1968. Studies on the fine structure of ovarian steroid-
secreting cells in the rabbit. I. the normal interstitial cells. Am J Anat
123: 441-474.

Deanesly R. 1970. Oogenesis and the development of the ovarian interstitial tissue
in ferret. J Anat 107: 165-178.

Djuwita I, Arief B., Koesdiantoro M. 2000. Bahan Kuliah Embriologi. Bogor:


Lab. Embriologi Institut Pertanian Bogor.

Duke KL. 1978. Nonfollicular ovarian component. Di dalam: Jones RE. The
Vertebrate Ovary: Comparative Biology and Evolution. New York:
Plenum Pr. hlm 563-582.

Erickson GF. 2003. Morphology and physiology of the ovary.


http://endotext.com. [27 Mei 2003].

Fortune JE. 1994. Ovarian follicular growth and development in mammals.


Biol Reprod 50: 225-232.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Ed ke-4. Penerjemah: B.


Srigandono, Koen Praseno. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Greenwald GS, Peppler RD. 1968. Prepubertal and pubertal change in hamster
ovary. Anat Rec 161: 447-458.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol.11 Mamals II. New
York: Van Nostrand Reinhold Company.

Guraya SS, Greenwald GS. 1964. A comparative histochemical study of the


interstitial tissue and follicular atresia in the mammalian ovary. Anat Rec
149: 411-437.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Anatomy of female reproduction. Di dalam: Hafez B,


Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animal Ed ke-5. USA:
Lippincott Williams and Wilkins. hlm 13-29.

Hamny. 2006. Studi morfologi organ reproduksi kancil (Tragulus javanicus)


dengan tinjauan khusus pada ovarium, perkembangan folikel, dan
pematangan oosit in vitro. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Harris SE, Adriaens I, Leese HJ, Gosden RG, Picton HM. 2007. Carbohydrate
metabolism by murine ovarian follicles and oocyte grown in vitro.
Society for Reproduction and Fertility. Reprod 134: 415-424.
52

Harrison RJ, Weir BJ. 1977. Structure of the Mammalian Ovary. dalam:
Zuckerman L dan Weir BJ (ed). The Ovary I: General Aspect Ed ke-2.
New York: Academy Pr. hlm 113-217.

Hasler JF. 2007. Embryo transfer and in vitro fertilization. Di dalam: Schatten H,
Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. USA:
Blackwell Publishing. hlm 171-211.

Hilliarrd JD et al. 1963. Gonadotropic activation of preovulatory synthesis and


release of progestin in the rabbit. Endocrinology 72: 59-66.

[IUCN] International Union for the Conservation of Nature. 2011.


Manis javanica (Sunda Pangolin).
http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/12763/0. [12 Januari
2011].

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Method: Theory and Practice
Ed ke-2. Oxford: Pergamon Pr.

Kimura J, Liumsiricharoen M, Chantakru S, Prapong T, Suprasert A. 2006.


Anatomical characteristics of the female reproductive organs in the
malayan pangolin. Proceeding of AZWMP 2006; Bangkok, 26-29
Oktober 2006. hlm 44.

Kobayashi A, Behringer RR. 2003. Developmental genetics of the female


reproductive tract in mammals.
http://www.sdbonline.org/2010ShortCourse/Kobayashi2003NRG.pdf.
[11 Juli 2011].

Kwan P. 2003. Primary follicle in feline ovary.


http://rachel.worldpossible.org/ocw.tufts.edu/Content/4/imagegallery/221
179/221182.html [25 Oktober 2011].

Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Association for the


Conservation of Wildlife. Bangkok: Sahakarnbath Co.

Loeser CR, Tulsiani DRP.1999. The role of carbohydrate in the induction of the
acrosom reaction in mouse spermatozoa. Biol Reprod 60: 94-101.

McNatty KP. 1978. Follicular Fluid. dalam: Jones RE. The Vertebrate Ovary:
Comparative Biology and Evolution. New York: Plenum Pr.
hlm 215-259.

Morel D, Mina CG. 2008. Equine Reproductive Physiology, Breeding, and Stud
Management Ed ke-3. USA: CAB International.

Mori H, Matsumoto K. 1970. On the histogenesis of the ovarian interstitial gland


in rabbits. I. Primary interstitial gland. Am J Anat 129: 289-306.
53

Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of malayan pangolin.


[disertasi]. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University.

Norris DO. 2007. Vertebrate Endocrinology Ed ke-4. San Fransisco: Elsevier.

Nowak RM. 1991. Walker's Mammals of the World. Volume 11. Baltimore: Johns
Hopkins University Pr.

Pineda MH, Dooley MP. 2003. McDonald’s Veterynary Endocrinology and


Reproduction Ed ke-5. Iowa: Blackwell Publishing Company.

Rifqiyati N. 2006. Dinamika perkembangan ovarium rusa timor (Cervus


timorensis) dengan tinjauan khusus pada gambaran dan karakteristik
histokimia folikel. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterynary Histology. Missouri: Saunders


Elsevier Inc.

Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi].
Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Shalgi R, Matityahu A, Nebel L.1986. The role of carbohydrate in sperm egg


interaction in rats. Biol Reprod 34: 446-452.

Sztein J, Sweet H, Farley J, Mobraaten L. 1998. Cryopreservation and orthotopic


transplantation of mouse ovaries: new approach in gamete banking.
Biol Reprod 58: 1071-1074.

Tadano Y, Yamada K. 1978. The histochemistry of complex carbohydrates in the


ovarian of adult mice. Histochemistry 57 (3): 203-215.

Tartaglia L, Waugh A. 2002. Veterinary Physiology and Applied Anatomy:


A Textbook for Veterinary Nurses and Technician. Newyork: Elsevier.

Tufts University. 2009. Secondary follicle in the ovary of a cat.


http://rachel.worldpossible.org/ocw.tufts.edu/Content/4/imagegallery/221
179/221183.html. [25 Oktober 2011].

Tulsiani DRP, Komiya HY, Araki Y. 1997. Mammalian fertilization: a


carbohydrate-mediated event. Biol Reprod 57: 487-494.

Vaughan TA. 1978. Mammalogy Ed ke-2. Philadelphia: WB Saunders Company.

Wandji SA, Srsen V, Voss AK, Eppig JJ, Fortune JE. 1996. Initiation in vitro of
growth of bovine primordial follicle. Biol Reprod 55: 942-948.

Yasuma S. 1994. An Invitation to the Mammals of East Kalimantan. Indonesia:


PUSREHUT.
54

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat seluruh cairan dalam


jaringan, baik cairan interstisial maupun cairan intrasel sebelum dilakukan
penanaman jaringan. Adapun proses dehidrasi adalah sebagai berikut:

1. Preparat yang telah disimpan di dalam basket direndam dalam alkohol


100% I, II, III, dan alkohol 95% masing-masing selama 24 jam.
2. Proses perendaman dilanjutkan dengan alkohol 90%, 80%, dan 70%
masing-masing selama 12 jam.
3. Setelah proses dehidrasi, dilakukan clearing, yaitu perendaman
jaringan di dalam larutan xylol I, II, dan III. Perendaman jaringan
dalam larutan xylol I dan II dilakukan masing-masing selama 12 jam,
sedangkan perendaman dalam larutan xylol III dilakukan selama 6 jam,
dengan 2 jam berada di inkubator suhu 62 ºC.
4. Infiltrasi dilakukan dalam parafin cair di dalam inkubator suhu 62 ºC
sebanyak tiga kali ulangan sebelum dilakukan penanaman jaringan.
55

Lampiran 2 Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin

Pewarnaan Haematoksilin Eosin merupakan pewarnaan standar untuk


mengetahui struktur umum sel maupun jaringan dalam suatu organ. Tahapan
pewarnaan Haematoksilin Eosin adalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III


masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi
100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama
3-5 menit.
3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian
dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.
4. Preparat diwarnai dengan haematoksilin selama 30-45 detik kemudian
direndam di dalam air keran selama beberapa saat.
5. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna
ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan
kembali ke dalam pewarna haematoksilin selama 3-5 detik. Namun
jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam
pemucat haematoksilin 1-2 kali (0.5% HCl dalam 70% alkohol).
6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu
direndam di dalam aquadest selama 5 menit.
7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 30-45 detik.
8. Preparat di dehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dengan
konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, dan 100% (I, II, dan III) masing-
masing 2-4 kali celup.
9. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing
selama 5 menit.
10. Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover
glass menggunakan entelan®.

Hasil : inti berwarna biru hingga ungu, sitoplasma, kolagen, keratin dan
eritrosit berwarna merah.
56

Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan Masson’s Trichome

Pewarnaan Masson’s trichome merupakan pewarnaan yang digunakan untuk


melihat struktur jaringan ikat dalam suatu organ. Tahapan pewarnaan Masson’s
trichome adalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III


masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi
100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama
3-5 menit.
3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian
dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.
4. Preparat yang difiksasi dengan larutan selain larutan Bouin, harus
melalui proses perendaman dalam larutan Bouin (campuran asam
pikrat : formalin : asam asetat glasial = 15 : 5 : 1) selama satu jam
dalam suhu 37 ºC. Kemudian dibilas dengan air keran dan aquades
masing-masing selama 15 menit dengan tiga kali pengulangan.
5. Preparat diwarnai dengan haematoksilin selama 30-45 detik kemudian
direndam di dalam air keran selama beberapa saat.
6. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna
ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan
kembali ke dalam pewarna haematoksilin selama 3-5 detik. Namun
jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam
pemucat haematoksilin 1-2 kali (0.5% HCl dalam 70% alkohol).
7. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu
direndam di dalam aquadest selama 5 menit.
8. Pewarnaan dilanjutkan dengan menggunakan larutan acid Fuchsin dan
ponceau 2R selama 10-15 menit. Kemudian preparat direndam di
dalam acetic acid 1% selama beberapa detik. Kontrol warna dengan
mikroskop.
57

9. Pewarnaan selanjutnya adalah menggunakan orange G dan


phospotungstic selama 5 menit. Preparat kembali direndam dalam
acetic acid 1% dan dikontrol dengan mikroskop.
10. Pewarna terakhir yang digunakan adalah light green selama beberapa
detik hingga hitungan menit. Setelah itu preparat direndam dalam
acetic acid 1%.
11. Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol 100%
(absolut I dan II) masing-masing selama lima menit.
12. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing
selama 5 menit.
13. Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover
glass menggunakan entelan®.

Hasil : Jaringan ikat akan berwarna hijau-biru


58

Lampiran 4 Prosedur Pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2.5

Pewarna AB bertujuan untuk mendeteksi adanya karbohidrat asam pada


jaringan. Pewarna AB dengan pH 2.5 dapat mewarnai mukosubstan sulfat dan
nonsulfat (Hamny 2006). Menurut Kiernan (1990) prosedur pewarnaan AB adalah
sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III


masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi
100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama
3-5 menit.
3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian
dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.
4. Penurunan pH dengan merendamkan preparat ke dalam larutan asam
asetat 3% pada suhu kamar selama 5 menit.
5. Preparat diwarnai dengan alcian blue pH 2.5 selama 30 menit.
6. Preparat dicuci dengan asam asetat 3% pada suhu kamar selama 3x @
5 menit, lalu dibilas dengan aquadest selama 3x @ 5 menit.
7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (nuclear fast red). Intensitas
warna dikontrol di bawah mikroskop.
8. Preparat dicuci dengan aquadest pada suhu kamar selama 3x @ 5
menit.
9. Preparat didehidrasi dan clearing pada rak khusus pewarnaan AB-PAS
serta mounting sesuai dengan prosedur biasa.

Hasil : Positif AB = mukopolisakarida asam berwarna biru kehijauan


dan inti berwarna merah hingga merah kebiruan.
59

Lampiran 5 Prosedur Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)

Pewarnaan PAS diguanakan untuk mendeteksi karbohidrat netral, gula


heksosa, dan asam sialit. Prosedur pewarnaan PAS adalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III


masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi
100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama
3-5 menit.
3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian
dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit.
4. Preparat dioksidasi di dalam larutan 0.5-1 periodic acid selama 5 menit
pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan aquadest selama 5 menit
dan aquabidest selama 2x @ 5 menit.
5. Preparat direndam di dalam Schiff’s reagen selama 15-30 menit.
6. Preparat direndam dalam air sulfit selama 3x @ 5 menit dan kemudian
dibilas dengan aquadest selama 3x @ 5 menit.
7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (mayer hematoksilin).
Intensitas warna dikontrol di bawah mikroskop.
8. Preparat dicuci dengan air mengalir selama 10-60 menit lalu dibilas
dengan aquadest selama 2x @ menit.
9. Preparat didehidrasi dan clearing pada rak khusus pewarnaan AB-PAS
serta mounting sesuai dengan prosedur biasa.

Hasil : Glikogen, selulosa, mucin, koloid thyroid, matriks kartilago, kitin,


retikula, fibrin dan kolagen berwarna merah magenta.
60

Lampiran 6 Jumlah Folikel pada Setiap Tipe

Perkembangan folikel diamati dari 4 buah (2 pasang) ovarium. Berikut


adalah data jumlah folikel pada setiap tahap perkembangan yang ditemukan pada
masing-masing ovarium.

Kode sampel : Ovaki MJ-1


Kode Tipe Folikel
Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 27 19 1 1 0 0 0 1 0 0
2 22 11 0 0 0 0 0 1 0 0
3 27 16 0 2 0 0 0 1 0 1
4 39 16 1 2 1 0 0 0 0 0
5 35 9 2 5 0 0 0 0 0 0
6 30 8 1 0 0 0 0 0 0 0
7 34 8 0 0 0 0 0 0 0 0
8 27 20 1 0 0 0 0 0 0 0
9 33 14 0 1 0 0 0 0 0 0
10 31 7 2 2 0 0 0 0 0 0
11 40 22 1 2 1 0 0 0 0 0
12 31 13 0 4 1 1 0 1 0 0
13 41 22 1 1 0 0 0 1 0 0
14 28 12 1 1 1 1 0 0 0 0
15 30 16 2 1 1 1 0 1 0 0
16 37 16 1 1 0 0 0 1 0 0
17 42 16 0 2 0 0 0 1 0 0
18 60 18 0 2 1 0 0 1 0 0
19 51 27 2 1 0 0 0 1 0 0
20 25 14 2 1 0 0 0 1 0 0
21 46 23 2 0 2 0 0 0 0 0
22 25 16 0 2 1 0 0 0 0 0
23 27 17 2 0 0 0 0 0 0 0
24 23 19 1 1 0 1 0 1 0 0
25 43 18 0 2 0 1 0 0 0 0
Jumlah 854 397 23 34 9 5 0 12 0 1
Jumlah
folikel
pada
191 83 9 12 1 2 0 2 0 0
preparat
kelipatan
lima
61

Kode sampel : Ovaka MJ-1


Kode Tipe Folikel
Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 39 18 4 1 0 0 0 0 0 0
5 47 24 3 0 0 0 0 1 0 0
10 42 20 1 1 0 0 0 0 1 0
15 46 13 0 2 0 0 1 0 0 0
20 34 18 2 0 0 0 0 0 0 0
25 43 16 2 1 0 0 0 0 1 0
Jumlah 251 109 12 5 0 0 1 1 2 0

Kode sampel : Ovaki MJ-2


Kode Tipe Folikel
Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 200 102 1 1 0 0 0 1 0 0
5 210 95 2 1 0 0 0 0 0 0
10 258 65 2 0 1 1 0 0 0 0
15 209 79 7 0 0 0 0 0 0 0
20 236 58 9 0 0 0 0 1 0 0
25 251 34 1 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1364 433 16 2 1 1 0 2 0 0

Kode sampel : Ovaka MJ-2


Kode Tipe Folikel
Preparat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 156 138 2 0 0 0 0 0 0 0
5 191 100 1 0 0 0 0 0 0 1
10 168 79 4 0 0 0 0 0 0 0
15 179 71 3 0 0 0 0 0 0 0
20 125 51 0 0 0 0 0 0 0 0
25 156 51 0 0 0 0 0 0 0 1
Jumlah 975 490 10 0 0 0 0 0 0 2

Keterangan:
Ovaka : Ovarium kanan
Ovaki : Ovarium kiri
MJ-1 : Sampel trenggiling 1
MJ-2 : Sampel trenggiling 2

You might also like