Professional Documents
Culture Documents
Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, Dan Jepang
Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, Dan Jepang
Disaster Awareness Society: Lesson Learned from Karo, Banjarnegara and Japan
Naskah Diterima: 10 Oktober 2018 | Naskah direvisi: 4 Desember 2018 | Naskah diterbitkan: 30 Desember 2018
Abstract: Geographical location, archipelago, large population, and tropical climate have placed
Indonesia as a high disaster risk area. How Indonesia anticipates and handles natural disasters
is a very important problem to be studied, especially related to the process of public awareness
to disasters from these two case studies, namely the Mount Sinabung Eruption in Karo, North
Sumatra and landslides in Banjarnegara, Central Java. By conducting in-depth interviews, field
observations, and literature studies, this study found the fact that the strategies used in managing
natural disasters in Indonesia, especially in terms of disaster awareness, had been reactive. Even
though most people are still alive and looking for life in the midst of high-risk areas, in fact they
are not really prepared for disaster. In the case of the Sinabung disaster there seems to be no
tradition of Karo community preparedness in the face of disasters after a long time since Mount
Sinabung was inactive. Conversely, in the case of disasters in Banjarnegara, this awareness has
grown even though it has not been as ideal as Japanese society. This proves that most victims still
use fatalistic views in facing disasters. Most victims are not afraid to return to their original place
which was once a disaster area. This lack of awareness is influenced by the perspective of most
people who accept what nature has given and see natural disasters as an inevitable fate.
Keywords: disaster awareness society, adaptation, capacity building, Sinabung, Banjarnegara
Abstrak: Lokasi geografis, wilayah kepulauan, populasi yang besar, dan kondisi iklim tropis
telah menempatkan Indonesia sebagai daerah dengan risiko bencana tinggi. Bagaimana Indonesia
mengantisipasi dan menangani bencana-bencana alam tersebut menjadi masalah yang sangat
penting untuk dipelajari, khususnya terkait dengan proses kesadaran masyarakat terhadap bencana
dari dua studi kasus Letusan Gunung Sinabung di Karo, Sumatera Utara dan tanah longsor di
Banjarnegara, Jawa Tengah. Melalui penelitian kualitatif yang dilakukan dengan wawancara
mendalam, observasi lapangan, dan studi pustaka, penelitian ini menemukan fakta bahwa strategi
yang digunakan dalam mengelola bencana alam di Indonesia, terutama dari sisi sadar bencana,
selama ini masih bersifat reaktif. Meskipun kebanyakan orang masih hidup dan mencari kehidupan
di tengah-tengah daerah berisiko tinggi, sebenarnya mereka tidak benar-benar siap menghadapi
bencana. Pada kasus bencana Sinabung tampak tidak ada tradisi kesiapsiagaan masyarakat Karo
dalam menghadapi bencana setelah sekian lama Gunung Sinabung tidak aktif. Sebaliknya,
pada kasus bencana di Banjarnegara, telah tumbuh kesadaran tersebut walau belum seideal
pada masyarakat Jepang. Hal ini membuktikan bahwa kebanyakan korban masih menggunakan
pandangan fatalistik dalam menghadapi bencana. Mayoritas korban tidak takut untuk kembali
ke tempat asal mereka yang dulunya merupakan daerah bencana. Kurangnya kesadaran ini
dipengaruhi oleh perspektif masyarakat kebanyakan yang menerima apa yang diberikan alam dan
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 221
melihat kejadian bencana alam sebagai takdir yang tak terelakkan.
Kata kunci: masyarakat sadar bencana, adaptasi; pembangunan kapasitas, Sinabung, Banjarnegara
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 223
kali masih terkendala dengan persepsi masyarakat Penelitian dilakukan di dua wilayah yaitu
yang belum sepenuhnya paham tentang apa dan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang
bagaimana cara menghadapi bencana alam. Harus mengalami bencana erupsi Gunung Sinabung
diakui, memang tidak mudah membentuk cara serta di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah
pandang masyarakat agar menyadari pentingnya yang mengalami bencana tanah longsor. Peneliti
tanggap terhadap bencana. juga mengamati secara langsung lokasi-lokasi
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penampungan pengungsi (tempat tinggal
permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini sementara sebelum direlokasi ke rumah pengganti
adalah bagaimana kesadaran bencana masyarakat sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya).
Karo yang terkena bencana erupsi Gunung Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan dari
Sinabung dan masyarakat Banjarnegara yang bulan Juni hingga Desember 2016.
alami bencana longsor? Pelajaran apa yang bisa
kita ambil dari pengalaman Jepang, sebagai Sadar Bencana dan Pelajaran dari Jepang
negara yang sukses membangun kesadaran Meski sebagian besar masyarakat tinggal
bencana bagi warganya? dan mencari penghidupan di tengah wilayah
Tulisan ini bertujuan untuk memberi yang berisiko bencana alam, namum umumnya
gambaran tentang kesiapsiagaan, kewaspadaan mereka tidak siap menghadapi bencana. Tidak
terlihat adanya tradisi sigap menghadapi bencana
dan kesadaran masyarakat di lokasi rawan
yang umumnya datang sewaktu-waktu. Tabel 1
bencana dalam memahami bencana dan upaya menjelaskan beberapa bencana alam besar yang
yang mereka lakukan dalam rangka mengurangi pernah terjadi di Indonesia dengan jumlah korban
risiko bencana. Sementara itu, manfaat tulisan jiwa yang banyak.
ini diharapkan dapat memberi masukan dalam
pelaksanaan kebijakan penanggulangan Tabel 1. Bencana Alam yang Terjadi di Indonesia
dengan Korban Jiwa
bencana khususnya terkait upaya membangun
Korban
masyarakat sadar bencana. Manfaat terutama Tahun Jenis Gempa Lokasi
Jiwa
sebenarnya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten 2018 Gempa dan Sulawesi
Karo dan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2.010
Tsunami Tengah
serta masyarakat di wilayah rawan bencana 2018 Gempa Lombok 515
dalam mengambil keputusan terkait upaya 2009 Gempa Sumatera Barat 1.117
perbaikan dalam membangun kesiapsiagaan, 2006 Gempa Yogyakarta 6.234
kewaspadaan dan kesadaran masyarakatnya 2004 Tsunami Aceh 220.000
dalam mengantisipasi bencana. 1992 Tsunami Flores 2.100
Penelitian ini dilakukan dengan metode Sumber: Hasil pengolahan dari berbagai sumber
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas
observasi partisipasi. Informan adalah pejabat di pada Juli 2011 di daerah-daerah padat penduduk
kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang tergolong rawan bencana, yakni Kota Banda
(BPBD), para pengungsi, dan warga yang Aceh, Padang, Bengkulu, Palu, Yogyakarta, dan
sudah melakukan relokasi pascabencana. Data Karangasem, menunjukkan bahwa mayoritas
ditentukan berdasarkan kecukupan informasi masyarakat tidak siap menghadapi bencana alam.
tentang kewaspadaan dan kesadaran masyarakat Bahkan, kesadaran bahwa mereka hidup di daerah
mengenai bencana yang sering terjadi di rawan bencana alam pun ternyata masih rendah.
wilayahnya serta peluang terjadinya bencana Hampir separuh dari 806 responden dalam survei
serupa di kemudian hari. Kecukupan data adalah tersebut menyatakan bahwa daerah tempat tinggal
saat data dianggap sudah jenuh ketika terjadi mereka tidak rawan bencana. Padahal jelas
keberulangan informasi yang didapat dari metode kawasan itu tergolong rawan bahaya bencana.
triangulasi data. Rendahnya kewaspadaan ini dipengaruhi oleh
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 225
254-255). Sindhunata (1998) mendeskripsikan masyarakat Jepang merancang dan membangun
bagaimana penduduk memahami dan berusaha bangunan-bangunan yang tahan gempa. Selain
merespon fenomena Gunung Merapi. Dua sisi itu, mereka juga melakukan pemeliharaan
yang kontradiksi; pada satu sisi, letusan Gunung lingkungan hidup secara konsisten, seperti
Merapi dimaknai sebagai ancaman yang dapat perlindungan hutan di pesisir samudra (coastal
mematikan atau menuntut korban manusia, forests atau hutan mangrove) dan perlindungan
tetapi di sisi lain bencana tersebut memberikan awal gelombang tsunami (dengan menempatkan
kesuburan dan kehidupan bagi manusia batu-batu pemecah ombak di tepian pantai untuk
yang tinggal di sekitarnya. Pandangan ini mengurangi dampak tsunami).
menunjukkan bahwa eksistensi Gunung Merapi Hal yang tak kalah pentingnya, Jepang
dan potensinya diterima dan dihayati dalam mengembangkan sistem peringatan dini
perspektif keseimbangan (dual dimensions). Di bencana alam (disaster-early warning system).
satu sisi Gunung Merapi dapat mengakibatkan Ini dimaksudkan agar semua pihak, mulai dari
bencana melalui letusan dan “wedus gembel” gugus tugas siaga bencana (disaster task force
yang dapat menghancurkan, tetapi di sisi lain, unit) supaya bisa merespon dengan cepat, serta
Gunung Merapi menjadi berkah bagi masyarakat masyarakat yang berpotensi mengalami dampak
yang tinggal di sekitarnya berupa kesuburan bencana agar segera mempersiapkan diri untuk
tanah, material pasir hasil letusan, objek kegiatan berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.
wisata, dan sebagainya. Mereka juga mendirikan area perlindungan
Terkait dengan sadar bencana pada level bagi korban terdampak bencana alam, serta
masyarakat, ada baiknya jika kita belajar dari memberikan pelatihan rutin kepada masyarakat
masyarakat Jepang. Secara geografis, negara sebagai respon cepat atas bencana alam yang bisa
Jepang berada dalam posisi yang rentan terhadap datang kapan saja.
bencana alam. Jepang paling sering mengalami Salah satu yang bisa dipelajari pemerintah
gempa bumi dengan kekuatan rata-rata diatas 6 dan masyarakat dari Jepang adalah mereka
Skala Richter (SR). Selain gempa, Jepang juga mengembangkan secara terus-menerus sistem
sering mengalami tsunami, badai topan, erupsi tanggap darurat bencana agar mampu bekerja
gunung berapi, banjir, serta tanah longsor. Namun lebih efektif. Pada bencana tsunami akibat gempa
demikian, Jepang terkenal memiliki manajemen berkekuatan 8,5 SR pada tanggal 26 Desember
tanggap bencana yang sangat efektif, sehingga 2004 yang terjadi di Aceh, tercatat korban
selalu cepat dalam penanganan korban. Respon meninggal mencapai 200.000 orang. Bandingkan
dari Pemerintah Jepang bersama-sama dengan dengan bencana tsunami akibat gempa
seluruh elemen masyarakat umumnya sangat berkekuatan 8,9 SR pada tanggal 11 Maret 2011
cepat dalam menangani situasi pascabencana, di Jepang, tercatat hanya sekitar 7.000 orang
melakukan pemulihan atas wilayah terdampak korban yang meninggal.
bencana, serta mengatasi masalah kesehatan dan Sebagai perbandingan, Jepang juga pernah
kehidupan para korban yang selamat (Tanaka, alami gempa dan tsunami yaitu gempa sebesar 7.9
2005). Perlu dipahami bahwa manajemen bencana SR yang lebih dikenal sebagai “The Great Kanto
merupakan suatu penataan dan pengelolaan sumber Earthquake” pada tahun 1923 yang menewaskan
daya serta tanggung jawab dalam penanganan lebih dari 142.000 orang. Jumlah korban yang
hal-hal terkait aspek keselamatan manusia, baik berbeda jauh antara bencana gempa dan tsunami
dalam tahap kesiagaan, respon, maupun pemulihan di Aceh pada tahun 2004 dan di Jepang pada
kembali atas kejadian bencana, dengan tujuan untuk tahun 2011 menunjukkan bahwa Jepang lebih
mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh siap menghadapi bencana dibandingkan dengan
bencana tersebut. Aceh pada saat itu.
Oleh karena adanya anggapan bahwa bencana Jika dibandingkan dengan negara-negara yang
gempa selalu berulang, maka pemerintah dan dilanda gempa bumi, Jepang merupakan negara
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 227
daerah yang terdampak tsunami meninggikan yang memiliki 13 desa ini hampir setiap tahun
tanah di wilayah mereka. Rata-rata ditinggikan selalu terjadi bencana serupa walaupun dalam
satu hingga enam meter. Beberapa wilayah skala lebih kecil. Penyebabnya adalah karena
bahkan ditinggikan hingga 17 sampai 18 meter. secara alami kondisi wilayah di Karangkobar
Pemukiman warga pun dibangun kembali pada memang tidak memungkinkan untuk dijadikan
posisi menjauh dari zona tsunami. wilayah permukiman. Kondisi topografinya
Itulah beberapa bentuk mitigasi bencana yang berbukit-bukit dan tekstur tanahnya yang
Jepang yang bisa diadopsi oleh Indonesia tidak kokoh menjadikan daerah ini mudah sekali
untuk mengurangi dampak dan korban bencana terkena bencana longsor. Kondisi geologis
tsunami. Pembelajaran dari pemerintah Jepang wilayah ini memang memiliki tanah yang rapuh.
bukan hanya soal infrastruktur yang sarat Tanahnya disisipi bebatuan dan saat hujan tiba
dengan perencanaan matang dan pertimbangan bidang-bidang yang memotong ikatan antara
resiko alam. Bahkan, nilai terhadap bencana tanah dan batuan rentan longsor.
dan risikonya, telah tertanam di dalam benak Terkait dengan penanganan bencana
masyarakat. Hal inilah yang membuat seluruh tersebut, peran negara dan masyarakat mutlak
elemen masyarakat siap sedia dan terlihat matang diperlukan. Peran negara diwakili oleh
dalam menghadapi risiko terburuk sekalipun. keberadaan BNPB dan BPBD yang langsung
mengambil tindakan saat bencana terjadi.
Kasus Bencana Longsor Banjarnegara Sementara itu, partisipasi masyarakat dibutuhkan
Pada tahun 2014 terjadi bencana longsor di untuk mengurangi dan menghindari risiko
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan bencana penting dilakukan dengan cara antara
Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi lain meningkatkan kesadaran dan kapasitas
Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui, Dusun masyarakat (Suryanti dkk, 2010). Dalam
Jemblung merupakan daerah rawan longsor penelitiannya, Zein (2010) menjelaskan bahwa
dengan intensitas sedang hingga tinggi. Pada masyarakat merupakan pihak yang memiliki
dua hari menjelang terjadinya longsor yaitu pengalaman langsung dalam kejadian bencana
tanggal 10 dan 11 Desember 2014, wilayah di sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi
sekitar Dusun Jemblung diguyur hujan yang modal bagi pengurangan risiko bencana. Dalam
cukup deras. Akibatnya, tanah di lokasi tersebut konteks manajemen bencana alam, respons
menjadi penuh air padahal materi penyusun bukit masyarakat terhadap bencana sangat penting
Telaga Lele tempat Dusun Jemblung berada untuk dipahami (Marfai dkk., 2008).
merupakan endapan vulkanik tua sehingga solum Respons merupakan awal dari sebuah
atau lapisan tanahnya cukup tebal dan terjadi strategi adaptasi oleh masyarakat yang dihasilkan
pelapukan. Selain itu, kemiringan lereng di bukit melalui pemahaman terhadap bencana alam
tersebut juga kurang dari 60%. yang terjadi. Pemahaman masyarakat berupa
Sementara itu, tanaman di atas bukit pengetahuan dan persepsi yang teraktualisasi
tempat terjadinya longsor adalah tanaman dalam sikap dan/atau tindakan dalam menghadapi
semusim dengan jenis palawija yang tidak rapat bencana. Hasil dari sikap dan/atau tindakan
sehingga tanah menjadi longgar dan mudah masyarakat dalam menghadapi bencana adalah
terbawa air. Diduga penyebab longsor tidak strategi adaptasi yang berarti penyesuaian yang
lepas dari ulah manusia sendiri. Budi daya dilakukan akibat ancaman lingkungan sekitar.
pertanian yang tidak mengindahkan konservasi Mengingat pentingnya adaptasi dan
juga menjadi penyebab longsor. Di lereng lokasi ketahanan sosial (social resilience) pada
kejadian juga dilakukan terasering. masyarakat yang mengalami bencana, ke depan
Bencana longsor sebenarnya bukan perlu diperbanyak studi mengenai strategi
hal baru bagi masyarakat di Kecamatan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat, baik
Karangkobar, Banjarnegara. Di kecamatan pada tingkat individu maupun kelompok, dalam
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 229
yang cukup terjal berpotensi terhadap longsor. berbatang duri yang dikembangkan secara
Selanjutnya pada lereng-lereng yang sangat monokultur oleh warga ini memiliki kekurangan
terjal bisa jadi hanya tanaman-tanaman penguat karena tak memiliki tekstur pengakaran yang kuat
lereng yang diperbolehkan. Tanaman-tanaman di tanah. Serabut akarnya yang pendek (kurang
keras juga dapat berfungsi sebagai penyerap dari satu meter) tidak masuk jauh ke dalam tanah
air sehingga mengurangi konsentrasi air di sehingga membuat tekstur lapisan tanah menjadi
dalam tanah yang secara alami dapat mencegah tidak kokoh. Serabut akar pohon salak pendek di
longsor. Tetapi yang paling penting tanaman ini tanah dan justru memicu tanah semakin gembur
merupakan tanaman penyangga tanah di daerah serta rapuh. Karena itu, banyaknya pohon salak
lereng yang akan berfungsi mempertahankan yang ditanam warga di Karangkobar menjadi
tanah dari longsor. Hal ini harus benar-benar salah satu faktor yang membuat pemicu tanah di
dipahami oleh masyarakat sekitar lokasi daerah wilayah tersebut mudah bergerak. Oleh sebab itu,
rawan longsor. Kegiatan nonstruktural seperti alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah
sosialisasi pencegahan longsor menjadi agenda penataan kembali kawasan permukiman di daerah
penting dalam penanganan longsor dan harus itu. Area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan
segera dilakukan. Pemerintah sudah seharusnya terlarang untuk permukiman hendaknya benar-
menggandeng semua elemen masyarakat untuk benar dapat ditegakkan sehingga tidak menjadi
kegiatan ini, misalnya dengan melibatkan bencana di kemudian hari. Secara alami wilayah
perguruan tinggi, LSM, dan organisasi masyarakat Karangkobar memang rentan, tapi belum tentu
dalam masyarakat sehingga frekuensi longsor berpotensi bahaya. Namun bahaya dapat muncul
dapat ditekan dan masyarakat mampu mencegah dengan mudah, baik melalui turunnya hujan atau
longsor. pemanfaatan lahan yang salah. Jadi, tata ruang di
Bencana longsor sebenarnya bukan hal baru wilayah ini perlu segera dievaluasi.
bagi masyarakat di Kecamatan Karangkobar, Berdasarkan pengamatan penulis di
Banjarnegara, Jawa Tengah. Hampir setiap tahun lapangan, sebenarnya sudah banyak masyarakat
selalu terjadi bencana serupa di kecamatan yang di Kecamatan Karangkobar yang mengetahui
memiliki 13 desa tersebut. Nyaris setiap tahun bahwa tanah tempat mereka tinggal rawan longsor.
juga bencana longsor selalu menelan korban Namun dengan berbagai alasan, umumnya karena
jiwa, harta, dan benda penduduk yang bermukim latar belakang sosial ekonomi, mereka nekat
di wilayah ini. Secara alami, kondisi wilayah tetap tinggal di wilayah tersebut. Oleh karena
di Kecamatan Karangkobar, lokasi Dusun itu, bagi Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
Jemblung, memang tak memungkinkan untuk hal yang perlu diprioritaskan adalah persoalan
dijadikan permukiman. Kondisi topografinya tata guna lahan di wilayah yang memang rawan
yang berbukit-bukit dan tekstur tanahnya yang bencana tersebut. Tata guna lahan yang relatif
tak kokoh menjadikan daerah ini mudah sekali tidak terkendali berpotensi menimbulkan longsor
mengalami bencana longsor. Secara umum, pada masa kini maupun masa yang akan datang.
kondisi geologis wilayah ini memiliki tanah Salah satu hal yang perlu mendapatkan
yang rapuh. Tanahnya disisipi bebatuan dan perhatian kita ke depan adalah manajemen
ada bidang-bidang yang memotong ikatan sumbangan bagi pengungsi. Selama ini,
antara tanah dan batuan. Bila hujan tiba, lapisan penyumbang rata-rata menginginkan sumbangan
tanahnya pasti rentan meluncur atau longsor. diberikan langsung kepada korban atau keluarga
Penyebab lain yang juga tak kalah penting korban. Akibatnya sumbangan jadi menumpuk.
adalah sistem pemanfaatan lahan yang tidak Jika korban dapat mengelola dana bantuan
tepat oleh masyarakat. Selama hampir 10 tahun dengan baik, dana itu dapat dipergunakan
ini lereng bukit yang sebelumnya mayoritas sebaik mungkin pada pascabencana. Sebaliknya,
ditumbuhi pepohonan dan tanaman keras diganti jika masyarakat korban tidak dapat mengelola
dengan tanaman salak (Salacca zalacca). Tanaman dana bantuan dengan baik, maka dana bantuan
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 231
Dana sekitar 28 miliar telah digulirkan Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak
oleh BNPB melalui BPBD Kabupaten Karo BPBD Kabupaten Karo, ditemukan bahwa
yang dicanangkan akan digunakan untuk segera pascaerupsi banyak hunian warga yang rusak
mengatasi kebutuhan-kebutuhan warga dalam upaya akibat timbunan material vulkanik. Bagian utama
pemulihan, mulai dari hunian, pangan, pertanian, yang paling banyak mengalami kerusakan adalah
dan sebagainya. Di samping itu, pemerintah melalui atap rumah. Di mulai bulan Mei hingga Juni
BPBD Kabupaten Karo telah mulai memberikan 2014, BPBD Kabupaten Karo telah bekerja sama
bantuan kepada warga terdampak. Bantuan- dengan warga untuk melakukan perbaikan rumah,
bantuan tersebut merupakan bantuan pemulihan terutama pada bagian atap, sehingga warga dari
yang diarahkan secara khusus kepada desa-desa 9 desa yang telah dinyatakan boleh kembali ke
yang terdampak seperti Desa Sukameriah, Desa desa, akan bisa kembali ke rumah masing-masing
Guru Kinayan, Desa Selandi, Desa Bekerah, Desa pada bulan Juli 2014. Inisiasi ini dilakukan untuk
Berastepu, Desa Kebayaken, Desa Simacem, Desa memastikan warga mendapatkan hunian yang
Kuta Tonggal, Desa Kuta Rayat, Desa Gamber, layak dan tidak lagi harus berada di pengungsian.
Desa Sigarang-garang, Desa Suka Nalu, Desa Meskipun demikian, sebagian warga masih
Kuta Gugung, Desa Desa Mardinding, Desa Kuta berada di pengungsian, menunggu rumah mereka
Tengah, dan Desa Perbaji. selesai diperbaiki. BPBD telah merealisasikan
Desa Siosar, Kecamatan Merek, Tanah bantuan atap rumah sebanyak 43% atau sekitar
Karo, Sumatera Utara ditetapkan sebagai tempat 100.000 lembar dari 230.000 lembar seng yang
relokasi warga korban erupsi Gunung Sinabung. dibutuhkan. Sisa 130.000 seng tersebut telah
Pembangunan rumah relokasi ini hampir rampung diakomodir melalui APBD 2014-2015 yang akan
dan sebagian warga malah sudah menerima direalisasikan pada awal September 2014.
kunci dan menempati rumah. Kediaman yang Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan
masing-masing memiliki luas tanah 100 m2 itu dana sebesar 13 miliar untuk kebutuhan
telah dilengkapi fasilitas air bersih, listrik, dan pemulihan pertanian bagi warga 16 desa yang
perabotan rumah tangga. Sebagian besar warga telah dipulangkan pada tahap pertama. Bantuan
enggan menempati rumah relokasi karena belum dana ini diperoleh dari BNPB. Menurut Dinas
tersedianya lahan atau ladang yang dijanjikan Pertanian, dana tersebut dibelanjakan untuk
pemerintah untuk diolah. Sebagaimana diketahui, pembelian bibit tanaman cepat panen antara lain
di tempat tinggal lama, rata-rata mata pencaharian cabe, tomat, sayuran, dan lain-lain. Selanjutnya
mereka adalah sebagai petani. untuk warga sembilan desa yang baru saja
Pada tahap pertama pemerintah membangun dipulangkan, belum ada alokasi khusus untuk
370 rumah yang ditempati warga dari desa yang pemulihan pertanian. Ketersediaan dana yang ada
paling parah terkena dampak erupsi Gunung baru akan dialokasikan untuk penanganan warga
Sinabung yaitu Bekerah, Suka Meriah, dan terdampak yang masih di pengungsian, mengingat
Simacem. Lahan seluas 458 hektar telah disiapkan Pemerintah Kabupaten Karo masih menyatakan
untuk menampung total 2.053 jiwa bagi warga situasi tanggap darurat dan sebagian penanganan
korban erupsi Gunung Sinabung termasuk areal masih difokuskan pada tahap tersebut.
pertanian, dengan anggaran pembangunan 1 unit Hingga saat ini, seluruh warga terdampak
rumah sebesar Rp 59,4 juta. yang sudah diizinkan kembali ke permukiman
Meski demikian, realisasi program tersebut mereka belum mendapatkan bantuan untuk
di tingkat lapangan masih mengalami kendala, pemulihan mata pencaharian dari Pemerintah
dan tentunya masih memiliki kesenjangan yang Kabupaten Karo. Di beberapa desa, seperti Desa
cukup luas dalam pemenuhan kebutuhan dasar Mardinding dan Desa Perbaji, banyak warga
karena alokasi yang ada dinilai masih sangat yang telah berutang untuk memenuhi kebutuhan
minim dan belum mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sejak mengungsi hingga saat ini
seluruh warga terdampak. pendapatan yang mereka peroleh hanya dari
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 233
terabaikan. Bahkan ketika peneliti mewawancarai bukannya malah menempatkan masyarakat di
Bapak Ginting, pengungsi yang telah menghuni kawasan hutan. Karena hak masyarakat pengungsi
rumah relokasi, masih ada keluhan ketiadaan Sinabung hanyalah pinjam pakai untuk jangka
pendapatan dan pekerjaan. Sebagai petani sayur- waktu tertentu, bagaimana nasib para pengungsi
mayur, Bapak Ginting sebenarnya lebih memilih setelah jangka waktunya pinjam pakainya habis?
diberi lahan pertanian dari pada dibangunkan Ini yang dikhawatirkan akan memicu konflik
rumah oleh pemerintah. Dengan lahan pertanian, tanah di masa depan.
ia bisa bekerja dan menghasilkan uang. Mengenai Dari sisi aturan hukum, menurut Jimmy
rumah, para pengungsi mengaku sebenarnya Panjaitan (Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli
mereka terbiasa tidur di ladang pertanian dengan Hutan Sumatera Utara/KPHSU), pemerintah
cara membangun gubuk-gubuk sederhana. diduga menabrak aturan tentang pinjam kawasan
Dengan bertani ia bisa mempunyai penghasilan, hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
dan setelah berpenghasilan ia pun bisa membuat Nomor P.16/Menhut/II/2014 tentang Pedoman
rumah yang permanen nantinya. Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 9 Ayat 2,
Dari keluhan-keluhan para pengungsi ini luas kawasan pinjam pakai untuk pembangunan
seharusnya pemerintah, baik pusat maupun fasilitas umum non-komersial paling banyak
daerah, mendahulukan dan memprioritaskan lima hektar. Begitu juga dengan isi dari Peraturan
faktor ketahanan pengungsi dari sisi mata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor
pencaharian terlebih dahulu. Tanpa bantuan P.14/VII/PKH/2012 Pasal 2 ayat 1 tentang
untuk mendukung mereka menjadi mandiri Petunjuk Pelaksanaan Pinjam Pakai Kawasan
secara ekonomi, keadaan mereka sebenarnya Hutan yang dilimpahkan dari Menteri Kehutanan
rentan secara psikologis maupun sosiologis. Saat ke Gubernur, disebutkan bahwa izin pinjam
ini faktor yang membuat para pengungsi bisa pakai kawasan hutan hanya untuk penampungan
bertahan hidup sepenuhnya adalah bantuan dari sementara, jika terkait bencana dan luasnya tidak
saudara dan tetangga terdekat. lebih dari 5 hektar. Sebagaimana diketahui,
Di tengah situasi yang tidak berpenghasilan hutan yang berada di Desa Siosar tempat relokasi
tetap, namun tetap bertahan inilah yang membuat tersebut masih berstatus kawasan lindung.
para pengungsi Sinabung mempunyai resiliensi Terkait dengan ketahanan keluarga, kasus
(daya lenting) yang luar biasa. Bahkan lokasi di Kabupaten Tanah Karo menunjukkan adanya
perumahan mereka yang jauh dari desa terdekat pola asuh orang tua yang longgar karena orang
sekitar 7 hingga 8 kilometer membuat mereka tua memilih sibuk berladang dan berkebun.
terisolir secara ekonomi. Biaya hidup menjadi Sebagaimana diketahui, pola berladang dan
demikian mahal karena faktor transportasi. berkebun masyarakat Karo dengan adalah
Saat ini, untuk menopang hidup mereka hanya berangkat pagi hari dan pulang malam hari
mengandalkan kerja serabutan. Para pengungsi sehingga anak-anak usia SD, SMP, dan SMU
yang tinggal di lokasi relokasi sepenuhnya tidak menerima pengawasan yang berarti setelah
bertahan hidup dari dukungan keluarga terdekat. jam belajar di sekolah. Akibatnya anak-anak
Memang ada beberapa rumah yang sudah seakan terlepas dari pengawasan orang tuanya.
memulai kegiatan ekonomi skala kecil seperti Akibat lain adalah fenomena kenakalan remaja
membuka warung kelontong ataupun berjualan di Tanah Karo yang meningkat. Hal ini diakui
bensin eceran (dua hal yang sangat diperlukan sendiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten
warga di lokasi yang jauh dari keramaian). Tanah Karo, Ibu Saberina Tarigan. Ia malah
Hal lain yang membuat warga yang direlokasi menganjurkan pendidikan sekolah diadakan
selalu waspada adalah soal status tanah yang sampai sore hari sehingga anak-anak masih
mereka tempati. Status tanah tersebut masih tetap dalam pengawasan guru daripada dibiarkan
bersifat pinjam pakai. Seharusnya pemerintah bebas di rumah tanpa pengawasan orang tuanya
membeli lahan lain yang bukan kawasan hutan, yang sibuk berladang.
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 235
Pada masyarakat Banjarnegara, kesadaran jawab dalam penanganan hal-hal terkait aspek
bahwa mereka bertempat tinggal di lokasi rawan keselamatan manusia, baik dalam fase kesiagaan,
bencana sepenuhnya sangat mereka pahami. respon, maupun pemulihan kembali atas kejadian
Hanya karena faktor ekonomi mereka terpaksa bencana. Mitigasi bencana terbaik selalu
tetap tinggal di wilayah berbahaya tersebut. Hal mencakup tiga hal, seperti dilakukan di Jepang,
ini berbeda dengan masyarakat Sinabung, di antisipasi bencana alam, penanganan bencana
mana hampir 400 tahun Sinabung “diam” dan alam dan pemulihan pascabencana. Ketiganya
“tidak beraktivitas” sehingga kesadaran akan integratif dan komprehensif di dalam setiap
bahaya erupsi belum dipahami sepenuhnya kebijakan yang diambil pemerintah. Ketiga hal
oleh masyarakat. Respons masyarakat Sinabung itu patut kita tiru di Indonesia, sebagai salah
terhadap bencana tersebut pun terkesan satu negara rawan bencana. Pemerintah kita
mendadak. harus memprioritaskan kesadaran bencana di
Fakta di lapangan membuktikan bahwa masyarakat dampak dan korban bencana dapat
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan diminimalisasi.
masyarakat sering kali lebih fokus pada bantuan-
bantuan logistik yang diperlukan individu dan Saran
bersifat jangka pendek seperti sandang, pangan, Berdasarkan temuan di lapangan maka
dan papan. Namun pada level komunitas atau Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan para
sosial, rehabilitasi dan perbaikan lembaga- pemegang kebijakan penanggulangan bencana
lembaga komunitas/sosial seperti pasar, tempat untuk tanpa kenal lelah mewujudkan lahirnya
ibadah, sekolah, mata pencaharian, dan lain- masyarakat yang sadar bencana terutama di
lain pada kasus relokasi pengungsi Gunung wilayah yang rawan bencana di sekitar Gunung
Sinabung sangat terlupakan. Ke depannya, Sinabung dan Banjarnegara. Hanya dengan
BPBD dan BNPB, serta semua pihak juga harus membekali masyarakat melalui peningkatan
memfokuskan pada perbaikan lembaga-lembaga pengetahuan, keterampilan dan kewaspadaan
level komunitas yang ikut hancur pada waktu akan terjadinya bencana kembali di suatu hari
terjadi bencana dan yang tak kalah pentingnya nanti maka korban jiwa dan harta akan dapat
adalah membangun kesadaran warga di benak diminimalisasi sebagaimana yang sekarang
seluruh warga masyarakat. terjadi pada masyarakat Jepang. Harus diakui,
Dengan mengambil pelajaran dari cara penanganan bencana yang selama ini dilakukan
Jepang membangun kesadaran warga dalam di Indonesia masih tergolong impulsif yaitu
mempersiapkan terjadinya bencana, maka fokus pada tindakan pascabencana. Hal-hal
selayaknya masyarakat dibiasakan ikut di dalam yang bersifat mencegah atau menekan angka
pelatihan evakuasi bencana. Harapannya saat korban jiwa dan harta jarang sekali diperhatikan.
bencana benar-benar terjadi, maka warga tidak Pemerintah seringkali terjebak di dalam usaha
lagi panik dan nantinya dengan tenang mereka karitatif yaitu terlihat menolong sewaktu bencana
mengikuti prosedur standar yang telah berkali- terjadi kemudian seiring berjalannya waktu
kali mereka ikuti. Demikian halnya dengan kemudian menganggap penanganan bencana
sistem peringatan dini terhadap bencana gempa telah usai sementara soal pemulihan dibebankan
dan tsunami berjalan dengan baik dan hasilnya sepenuhnya menjadi urusan masing-masing
dengan cepat terdistribusi kepada masyarakat. Hasil warga.
akhirnya adalah kesadaran bencana di kalangan
warga Jepang terlihat dengan jelas dari sikap
mereka yang mementingkan keselamatan umum.
Dari Jepang kita juga belajar soal penataan
dan pengelolaan sumber daya serta tanggung
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 237
Sudarmadi, S., dkk. (2001). A Survey of Perception, Harding, J. (2003). Community Coping Strategies.
Knowledge, Awareness and Attitude in Regard New Delhi: International Strategy for Disaster
to Environmental Problems in a Sample of Two Reduction.
Different Social Groups in Jakarta, Indonesia.
Longstaff, P.H., dkk. (2010). Community Resilience:
Environment, Development and Sustainability.
A Function of Resources and Adaptability. New
Vol. 3, hlm. 169–183.
York: Syracuse University.
Sulastri, A. (2007). Kearifan Lokal Jawa dan
Palang Merah Indonesia. (1998). Pedoman
Resiliensi Terhadap Trauma Psikologis Pada
Penanggulangan Bencana. Jakarta: Markas
Korban Selamat Bencana Gempa Bumi di
Besar PMI.
Bantul, Yogyakarta. Kajian Politik Lokal &
Sosial-Humaniora. Vol. 4, No. 1, hlm 146-166. Sriharini. (2009). Manajemen Pasca Bencana Alam:
Studi Tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Takao, Kenji, dkk. (2004). “Factors Determining
Rumah Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
Residents’ Preparedness for Floods in Modern
Tanggal 27 Mei 2006 di Kecamatan Banguntapan
Megalopolises: The Case of the Tokai Flood
Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Disaster in Japan.” Journal of Risk Research 7.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Vol. 7, No. 8, hlm. 775-787.
Turnbull, Marilise, dkk. (2013). Toward Resilience:
Tanaka, Kazuko. (2005). “The Impact of Disaster
A Guide to Disaster Risk Reduction and Climate
Education on Public Preparation and Mitigation
Change Adaptation. Warwickshire: Practical
for Earthquakes: A Cross-Country Comparison
Action Publishing Ltd.
Between Fukui, Japan and the San Fransisco Bay
Area, California, USA.” Applied Geography.
Vol. 25, No. 3, hlm. 201-225. Laporan Penelitian
Dewi, A. (2007). Community-Based Analysis of
Buku Coping with Urban Flooding: A Case Study in
Semarang, Indonesia. Netherlands: International
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017).
Institute for Geo-information Science and Earth
Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana:
Observation.
Membangun Kesadaran dan Kesiapsiagaan
Dalam Menghadapi Bencana. Jakarta: Badan Twigg, John. (2004). “Disaster Risk reduction
Nasional Penanggulangan Bencana. (Mitigation and Preparedness in Development
and Emergency Programming).” Good Practice
Bappenas. (2006). Rencana Aksi Nasional
Review, No. 9, March 2004. London: Overseas
Pengurangan Resiko Bencana 2006-2010.
Development Institute.
Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Zein, M. (2010). “A Community Based Approach to
Pembangunan Nasional dengan Badan Flood Hazard and Vulnerability Assessment in
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan
Sewu, Surakarta City, Indonesia.” Tesis. Gadjah
Blaikie, P. Cannon T., Davis, I., dan Wisner, B.
Mada University and International Institute for
(2004). At Risk: Natural Hazards, People's
Geo-Information Science and Earth Observation.
Vulnerability, and Disasters (second edition).
London: Routledge Publication.
Internet
Carter, W. Nick. (1991). Disaster Management: A
´Natural Catastrophes in 2012 Dominated by U.S.
Disaster Manager's Handbook. Manila:Asian
Weather Extremes”. http://www.worldwatch.
Development Bank. org/natural-catastrophes-2012-dominated-
Economic and Social Commision for Asia and the us-weather-extremes-0. Diakses tanggal 10
Pasific (ESCAP). (2008). Building Community November 2018.
Resilience to Natural Disasters through Resiliensi Korban Bencana}” http://www.ubaya.
Partnership. New York: Routledge ac.id/2013/ content/articles_detail/126/Resiliensi-
G. Bankoff, D. Frerks, Hilhorst (eds). (2003). Korban-Bencana.html. Diakses tanggal 17
Mapping Vulnerability: Disasters, Development November 2018.
& People. New York: Routledge.
Lain-lain
Anonim. Ini Penyebab Longsor di Banjarnegara
Menurut BNPB. Kompas, 15 Desember
2014.
Betke, Freidhelm. (2002). Assesing Social
Resilience Among Regencies and
Communities in Indonesia (Discussion
paper).
Chandra, A., dkk. (2011). Building Community
Resilience to Disasters: A Ways Forward
to Enhance National Health Security. USA:
RAND Corporation.
Fatwa, Fadillah (2014). Kajian Kebutuhan
Erupsi Gunung Sinabung (makalah tidak
diterbitkan).
I.Ikhuoria, dkk. (2012). “Assessment of the
impact of flooding on farming communities
in Nigeria: A case study of Lokoja, Kogi
State Nigeria” dalam Proceedings of
the Geoinformation Society of Nigeria
(GEOSON) & Nigerian Cartographic
Association (NCA) Joint Annual Workshop/
Conference. Hlm. 156–167
Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 239