Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial | Volume 9, No, 2 Desember 2018

ISSN: 2086-6305 (print) ISSN: 2614-5863 (electronic)


DOI: https://doi.org/10.22212/aspirasi.v7i1.1084
link online: http://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/index

MASYARAKAT SADAR BENCANA:


PEMBELAJARAN DARI KARO, BANJARNEGARA, DAN JEPANG

Disaster Awareness Society: Lesson Learned from Karo, Banjarnegara and Japan

Rohani Budi Prihatin


rohani.prihatin@dpr.go.id
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta

Naskah Diterima: 10 Oktober 2018 | Naskah direvisi: 4 Desember 2018 | Naskah diterbitkan: 30 Desember 2018

Abstract: Geographical location, archipelago, large population, and tropical climate have placed
Indonesia as a high disaster risk area. How Indonesia anticipates and handles natural disasters
is a very important problem to be studied, especially related to the process of public awareness
to disasters from these two case studies, namely the Mount Sinabung Eruption in Karo, North
Sumatra and landslides in Banjarnegara, Central Java. By conducting in-depth interviews, field
observations, and literature studies, this study found the fact that the strategies used in managing
natural disasters in Indonesia, especially in terms of disaster awareness, had been reactive. Even
though most people are still alive and looking for life in the midst of high-risk areas, in fact they
are not really prepared for disaster. In the case of the Sinabung disaster there seems to be no
tradition of Karo community preparedness in the face of disasters after a long time since Mount
Sinabung was inactive. Conversely, in the case of disasters in Banjarnegara, this awareness has
grown even though it has not been as ideal as Japanese society. This proves that most victims still
use fatalistic views in facing disasters. Most victims are not afraid to return to their original place
which was once a disaster area. This lack of awareness is influenced by the perspective of most
people who accept what nature has given and see natural disasters as an inevitable fate.
Keywords: disaster awareness society, adaptation, capacity building, Sinabung, Banjarnegara

Abstrak: Lokasi geografis, wilayah kepulauan, populasi yang besar, dan kondisi iklim tropis
telah menempatkan Indonesia sebagai daerah dengan risiko bencana tinggi. Bagaimana Indonesia
mengantisipasi dan menangani bencana-bencana alam tersebut menjadi masalah yang sangat
penting untuk dipelajari, khususnya terkait dengan proses kesadaran masyarakat terhadap bencana
dari dua studi kasus Letusan Gunung Sinabung di Karo, Sumatera Utara dan tanah longsor di
Banjarnegara, Jawa Tengah. Melalui penelitian kualitatif yang dilakukan dengan wawancara
mendalam, observasi lapangan, dan studi pustaka, penelitian ini menemukan fakta bahwa strategi
yang digunakan dalam mengelola bencana alam di Indonesia, terutama dari sisi sadar bencana,
selama ini masih bersifat reaktif. Meskipun kebanyakan orang masih hidup dan mencari kehidupan
di tengah-tengah daerah berisiko tinggi, sebenarnya mereka tidak benar-benar siap menghadapi
bencana. Pada kasus bencana Sinabung tampak tidak ada tradisi kesiapsiagaan masyarakat Karo
dalam menghadapi bencana setelah sekian lama Gunung Sinabung tidak aktif. Sebaliknya,
pada kasus bencana di Banjarnegara, telah tumbuh kesadaran tersebut walau belum seideal
pada masyarakat Jepang. Hal ini membuktikan bahwa kebanyakan korban masih menggunakan
pandangan fatalistik dalam menghadapi bencana. Mayoritas korban tidak takut untuk kembali
ke tempat asal mereka yang dulunya merupakan daerah bencana. Kurangnya kesadaran ini
dipengaruhi oleh perspektif masyarakat kebanyakan yang menerima apa yang diberikan alam dan

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 221
melihat kejadian bencana alam sebagai takdir yang tak terelakkan.
Kata kunci: masyarakat sadar bencana, adaptasi; pembangunan kapasitas, Sinabung, Banjarnegara

Pendahuluan tinggi (seperti Indonesia), dan kejadian bencana


Dalam beberapa tahun belakangan, bencana yang sangat tinggi (seperti Nigeria, Jepang, dan
yang disebabkan oleh alam maupun nonalam lainnya). Indonesia berdasarkan gambar di atas
semakin meningkat, baik dari sisi karakteristik masuk masuk dalam kategori tinggi.
Berdasarkan data Worldwatch Institute,
maupun tingkat risikonya. Meningkatnya
pada tahun 2012 terjadi 905 bencana alam di
kerusakan lingkungan akibat peningkatan seluruh dunia dan 93% di antaranya merupakan
kegiatan eksploitasi alam menjadi pemicu bencana yang berhubungan dengan cuaca.
peningkatan risiko terjadinya bencana tersebut. Berdasarkan penelitian Ikhuoria dkk (2012), data
Secara umum, bencana alam merupakan sebuah bencana alam menunjukkan bahwa banjir dan
peristiwa merugikan yang dihasilkan dari proses angin ribut menempati urutan teratas di seluruh
alami perputaran planet bumi (Bankoff, 2003). dunia. Sementara itu, banjir merupakan bencana
Contohnya adalah banjir, badai, letusan gunung yang paling sering dan paling luas dampaknya
terhadap kehidupan ekonomi, bisnis, infrastruktur,
berapi, gempa bumi, tsunami, dan proses-proses pelayanan, dan kesehatan masyarakat. Hal yang
geologi lainnya. Akibat bencana alam adalah sama juga terjadi di Indonesia.
hilangnya nyawa, cedera atau sakit, rusaknya Pada tahun 2005, UNESCO menempatkan
properti, hilangnya pendapatan keluarga, serta Indonesia di urutan ketujuh dalam daftar negara-
berdampak psikologis. negara paling rawan di dunia. Berbagai bencana
Berdasarkan data pada peta dunia di Gambar datang silih berganti dan menimbulkan korban serta
1, warna yang lebih gelap (seperti Kanada, Arab kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap tahun
Saudi, Mesir, Mongolia, dan sebagian besar tercatat ribuan orang meninggal dunia, luka-luka,
terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya, serta
Eropa Barat) menunjukkan kejadian bencana
banyak lagi kerugian lain yang diakibatkan oleh
yang sangat rendah, kejadian bencana yang bencana. Oleh karena itu, menjadi agenda penting
rendah (USA, Rusia, dan lainnya), kejadian bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui,
bencana yang sedang (China, Afrika Selatan, memahami, dan menyadari bahwa bumi merupakan
dan lainnya). Sedangkan kejadian bencana yang wilayah yang rawan bencana.

Gambar 1. Peta Dunia Daerah Rawan Bencana Tahun 2016


Sumber: http://weltrisikobericht.de/english/, link diakses pada 16 Agustus 2016.

222 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


Pengalaman membuktikan bahwa bencana mitigasi bencana. Ada berbagai pendekatan
alam berimplikasi secara langsung terhadap dalam manajemen bencana, di antaranya adalah
masyarakat di suatu wilayah. Bukan hanya pendekatan melalui pencegahan. Prinsip utama
kerusakan secara fisik, tapi banyak keluarga dalam manajemen bencana adalah kalau tidak
kehilangan sanak saudara akibat bencana. mampu mencegah terjadinya bencana, maka
Kehilangan orang-orang yang dicintai dan rumah wajib mengurangi jumlah korban jiwa.
yang sudah lama ditinggali merupakan tekanan Pada level keluarga, ke depan kita harus
psikologis bagi warga yang dapat menyebabkan mewujudkan keluarga yang sadar bencana,
munculnya PSTD (Post Traumatic Stress terutama di wilayah-wilayah rawan. Pada
Disorder atau stres pascabencana (Jia dkk., level komunitas, masyarakat perlu membentuk
2010). Selain itu, dapat muncul pula tekanan komunitas sadar bencana agar kesadaran serta
psikologis seperti depresi, psikosomatik, dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi
kecemasan (Wang dalam Chou dkk., 2004). Pada ancaman bencana dapat ditingkatkan.
masa pascabencana, individu biasanya menjadi Masyarakat diharapkan dapat belajar sekaligus
rentan dan tidak berdaya terhadap dampak- berlatih melakukan mitigasi bencana sehingga
dampak bencana yang sifatnya traumatis. ketika terjadi bencana masyarakat dapat secara
Saat bencana terjadi, pemerintah dan aktif melakukan upaya penyelamatan, bukan
masyarakat sering kali lebih fokus pada urusan hanya pasif menunggu datangnya bantuan atau
logistik (sandang, pangan, dan papan) yang pertolongan.
diperlukan individu untuk jangka pendek. Beberapa program memang telah dilakukan
Sementara perhatian pada level keluarga atau pemerintah, di antaranya program Desa Tangguh
komunitas dan sosial biasanya sering terlupakan, Bencana (Destana) yang bertujuan untuk
begitu juga perbaikan untuk lembaga-lembaga memberikan kesiapan khusus serta wawasan
komunitas/sosial seperti pasar, tempat ibadah, mengenai mitigasi bencana sehingga masyarakat
mata pencaharian dan lain-lain. Untuk itulah perlu siap menghadapi berbagai kemungkinan bencana.
ada fokus dukungan dari semua level komunitas Bentuk nyata program ini antara lain pembentukan
karena pada saat bencana maupun pascabencana, peraturan desa, perencanaan penanganan bencana
lembaga-lembaga pada level komunitas tersebut tingkat desa, hingga penyusunan anggaran untuk
juga mengalami kehancuran. tanggap bencana secara mandiri maupun dengan
Dalam perspektif sosiologis, bencana sering anggaran desa. Harapannya ke depan masyarakat
kali dipahami berdasarkan persepsi manusia atau dapat memahami siklus penanggulangan
masyarakat, dan atas apa yang mereka rasakan bencana, yakni pencegahan, mitigasi, rencana
terkait pengalaman emosional pada kejadian- siaga, peringatan dini, kesiapsiagaan, kajian
kejadian yang dapat mengancam kelangsungan darurat, rencana operasional, tanggap darurat,
hidup mereka. Bencana merupakan salah satu pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pada
bagian definisi yang disusun dalam suatu konteks level yang lebih makro, sinergi antara pemerintah,
sosial budaya hidup masyarakat yang mengalami masyarakat, dan dunia usaha dalam implementasi
bencana (Pramono, 2016). program ini diharapkan akan memberikan
Secara umum, strategi yang digunakan kekuatan yang tangguh dalam menerapkan living
dalam mengelola bencana alam di Indonesia in harmony with disaster risks.
masih bersifat reaktif. Padahal berbagai literatur Sejak 2007, Indonesia sebenarnya
membuktikan bahwa faktor-faktor yang telah memiliki Undang-Undang Nomor
berhubungan dengan peningkatan kapasitas 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
adaptasi dalam menghadapi bencana merupakan Bencana. Menurut UU ini, penyelenggaraan
pilihan kebijakan yang wajib diadopsi dan penanggulangan bencana meliputi
diimplementasikan. Dengan demikian, kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi
kesiapsiagaan adalah faktor penting dalam bencana. Terkait dengan mitigasi bencana, sering

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 223
kali masih terkendala dengan persepsi masyarakat Penelitian dilakukan di dua wilayah yaitu
yang belum sepenuhnya paham tentang apa dan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang
bagaimana cara menghadapi bencana alam. Harus mengalami bencana erupsi Gunung Sinabung
diakui, memang tidak mudah membentuk cara serta di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah
pandang masyarakat agar menyadari pentingnya yang mengalami bencana tanah longsor. Peneliti
tanggap terhadap bencana. juga mengamati secara langsung lokasi-lokasi
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penampungan pengungsi (tempat tinggal
permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini sementara sebelum direlokasi ke rumah pengganti
adalah bagaimana kesadaran bencana masyarakat sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya).
Karo yang terkena bencana erupsi Gunung Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan dari
Sinabung dan masyarakat Banjarnegara yang bulan Juni hingga Desember 2016.
alami bencana longsor? Pelajaran apa yang bisa
kita ambil dari pengalaman Jepang, sebagai Sadar Bencana dan Pelajaran dari Jepang
negara yang sukses membangun kesadaran Meski sebagian besar masyarakat tinggal
bencana bagi warganya? dan mencari penghidupan di tengah wilayah
Tulisan ini bertujuan untuk memberi yang berisiko bencana alam, namum umumnya
gambaran tentang kesiapsiagaan, kewaspadaan mereka tidak siap menghadapi bencana. Tidak
terlihat adanya tradisi sigap menghadapi bencana
dan kesadaran masyarakat di lokasi rawan
yang umumnya datang sewaktu-waktu. Tabel 1
bencana dalam memahami bencana dan upaya menjelaskan beberapa bencana alam besar yang
yang mereka lakukan dalam rangka mengurangi pernah terjadi di Indonesia dengan jumlah korban
risiko bencana. Sementara itu, manfaat tulisan jiwa yang banyak.
ini diharapkan dapat memberi masukan dalam
pelaksanaan kebijakan penanggulangan Tabel 1. Bencana Alam yang Terjadi di Indonesia
dengan Korban Jiwa
bencana khususnya terkait upaya membangun
Korban
masyarakat sadar bencana. Manfaat terutama Tahun Jenis Gempa Lokasi
Jiwa
sebenarnya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten 2018 Gempa dan Sulawesi
Karo dan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara 2.010
Tsunami Tengah
serta masyarakat di wilayah rawan bencana 2018 Gempa Lombok 515
dalam mengambil keputusan terkait upaya 2009 Gempa Sumatera Barat 1.117
perbaikan dalam membangun kesiapsiagaan, 2006 Gempa Yogyakarta 6.234
kewaspadaan dan kesadaran masyarakatnya 2004 Tsunami Aceh 220.000
dalam mengantisipasi bencana. 1992 Tsunami Flores 2.100
Penelitian ini dilakukan dengan metode Sumber: Hasil pengolahan dari berbagai sumber
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas
observasi partisipasi. Informan adalah pejabat di pada Juli 2011 di daerah-daerah padat penduduk
kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang tergolong rawan bencana, yakni Kota Banda
(BPBD), para pengungsi, dan warga yang Aceh, Padang, Bengkulu, Palu, Yogyakarta, dan
sudah melakukan relokasi pascabencana. Data Karangasem, menunjukkan bahwa mayoritas
ditentukan berdasarkan kecukupan informasi masyarakat tidak siap menghadapi bencana alam.
tentang kewaspadaan dan kesadaran masyarakat Bahkan, kesadaran bahwa mereka hidup di daerah
mengenai bencana yang sering terjadi di rawan bencana alam pun ternyata masih rendah.
wilayahnya serta peluang terjadinya bencana Hampir separuh dari 806 responden dalam survei
serupa di kemudian hari. Kecukupan data adalah tersebut menyatakan bahwa daerah tempat tinggal
saat data dianggap sudah jenuh ketika terjadi mereka tidak rawan bencana. Padahal jelas
keberulangan informasi yang didapat dari metode kawasan itu tergolong rawan bahaya bencana.
triangulasi data. Rendahnya kewaspadaan ini dipengaruhi oleh

224 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


cara pandang sebagian besar masyarakat dalam Kelompok masyarakat dengan karakter seperti
menilai bencana alam. Masyarakat cenderung ini tampak dominan dan tersebar merata di semua
pasrah dan menerima apa yang diberikan alam. daerah yang diteliti oleh Kompas. Paradigma
Masyarakat cenderung melihat bencana alam berpikir konvensional yang menilai bencana
sebagai takdir yang tidak bisa dihindari. alam adalah hukuman atau bahkan kutukan yang
Clyde Kluckhohn, seorang antropolog diberikan oleh Tuhan akibat dosa-dosa manusia,
berkebangsaan Amerika Serikat dalam karyanya masih tertanam kuat di tengah benak masyarakat.
yang berjudul Universal Categories of Culture Rata-rata tidak lebih dari 10 persen responden
sebagaimana dikutip Koentjaraningrat (1994: yang memiliki kesadaran bahwa risiko bencana
203-204), telah membagi cara pandang manusia dapat dihindari atau diminimalisasi bila mereka
terhadap alam dalam tiga orientasi nilai. Pertama, memiliki pengetahuan yang luas dan persiapan
manusia tunduk kepada alam sehingga hanya menghadapinya secara matang.
bisa pasrah (manusia tradisional). Kedua, Tingkat pendidikan dan cara pandang
manusia berusaha mencari keselarasan dengan masyarakat sangat dipengaruhi latar belakang
alam (transformasi). Ketiga, manusia berhasrat pendidikan. Survei Kompas ini menemukan
menguasai alam (manusia modern). Selanjutnya fakta bahwa semakin rendah tingkat pendidikan
Koentjaraningrat, secara spesifik menjelaskan responden, maka cara pandang mereka terhadap
hubungan manusia dengan alam. Masyarakat, bencana alam juga semakin mirip karakter
khususnya masyarakat Jawa pedesaan, memiliki masyarakat tradisional. Cara pandang tradisional
ikatan yang sangat kuat dengan alam. Masyarakat inilah yang mempengaruhi perilaku sehari-hari
memilih untuk berusaha hidup selaras dengan mereka dalam menghadapi bencana. Mereka
alam. Namun, jika berhadapan dengan kekuatan yang berpandangan tradisional cenderung
alam yang membawa maut seperti bencana, tidak melakukan persiapan khusus menghadapi
mereka cenderung menyerah secara total kepada bencana. Meskipun bencana alam kerap terjadi di
nasib. Mereka tidak berusaha banyak untuk daerah, tidak banyak masyarakat yang memiliki
melawan bencana itu atau menyelamatkan diri. kesadaran untuk mempersiapkan diri dan keluarga
Bagi mereka, bencana alam merupakan sesuatu jika bencana alam terjadi lagi. Di lingkungan
yang harus diterima apa adanya. sosial paling kecil atau lingkup keluarga, sangat
Pandangan pasrah terhadap bencana alam sedikit yang melakukan persiapan paling dasar
tersebut juga terlihat dari respons sebagian untuk menghadapi bencana.
responden dalam survei Kompas (2011) tersebut. Demikian pula soal antisipasi dampak
Karakteristik masyarakat yang cenderung bencana mulai dari hal-hal kecil hingga yang
pasrah terlihat begitu dominan, termasuk pada besar cenderung tidak dilakukan. Lebih dari
mereka yang memiliki pengalaman menjadi 90 persen responden survei Kompas mengaku
korban bencana alam. Kondisi ini yang membuat sama sekali tidak pernah berlatih evakuasi atau
mayoritas korban bencana tak khawatir untuk mempelajari tindakan pertolongan pertama
kembali ke daerah tempat tinggal mereka jika terjadi bencana. Bahkan, tidak kurang dari
semula. Kondisi ini juga dialami oleh Halimatus separuh responden menyatakan tidak pernah
Sadiah (46), salah satu responden survei dari membahas atau membicarakan dengan anggota
Aceh. Ia menjadi salah satu korban bencana keluarga lainnya terkait tindakan apa yang harus
tsunami yang melanda Banda Aceh akhir tahun dilakukan jika terjadi bencana alam.
2004. Meskipun mengalami kehilangan anggota Sebagai contoh pada bencana letusan
keluarga dan harta benda, namun tidak pernah Gunung Merapi, local coping mechanism
terlintas dalam pikirannya untuk pindah ke terhadap kondisi alam ini, termasuk bencana
daerah lain. Menurutnya, tinggal di mana pun, meletusnya gunung tersebut, telah berlangsung
jika sudah menjadi kehendak Tuhan, bencana selama bertahun-tahun di kalangan masyarakat
alam akan tetap terjadi. Jawa yang berada di sekitarnya (Singgih, 2006:

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 225
254-255). Sindhunata (1998) mendeskripsikan masyarakat Jepang merancang dan membangun
bagaimana penduduk memahami dan berusaha bangunan-bangunan yang tahan gempa. Selain
merespon fenomena Gunung Merapi. Dua sisi itu, mereka juga melakukan pemeliharaan
yang kontradiksi; pada satu sisi, letusan Gunung lingkungan hidup secara konsisten, seperti
Merapi dimaknai sebagai ancaman yang dapat perlindungan hutan di pesisir samudra (coastal
mematikan atau menuntut korban manusia, forests atau hutan mangrove) dan perlindungan
tetapi di sisi lain bencana tersebut memberikan awal gelombang tsunami (dengan menempatkan
kesuburan dan kehidupan bagi manusia batu-batu pemecah ombak di tepian pantai untuk
yang tinggal di sekitarnya. Pandangan ini mengurangi dampak tsunami).
menunjukkan bahwa eksistensi Gunung Merapi Hal yang tak kalah pentingnya, Jepang
dan potensinya diterima dan dihayati dalam mengembangkan sistem peringatan dini
perspektif keseimbangan (dual dimensions). Di bencana alam (disaster-early warning system).
satu sisi Gunung Merapi dapat mengakibatkan Ini dimaksudkan agar semua pihak, mulai dari
bencana melalui letusan dan “wedus gembel” gugus tugas siaga bencana (disaster task force
yang dapat menghancurkan, tetapi di sisi lain, unit) supaya bisa merespon dengan cepat, serta
Gunung Merapi menjadi berkah bagi masyarakat masyarakat yang berpotensi mengalami dampak
yang tinggal di sekitarnya berupa kesuburan bencana agar segera mempersiapkan diri untuk
tanah, material pasir hasil letusan, objek kegiatan berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.
wisata, dan sebagainya. Mereka juga mendirikan area perlindungan
Terkait dengan sadar bencana pada level bagi korban terdampak bencana alam, serta
masyarakat, ada baiknya jika kita belajar dari memberikan pelatihan rutin kepada masyarakat
masyarakat Jepang. Secara geografis, negara sebagai respon cepat atas bencana alam yang bisa
Jepang berada dalam posisi yang rentan terhadap datang kapan saja.
bencana alam. Jepang paling sering mengalami Salah satu yang bisa dipelajari pemerintah
gempa bumi dengan kekuatan rata-rata diatas 6 dan masyarakat dari Jepang adalah mereka
Skala Richter (SR). Selain gempa, Jepang juga mengembangkan secara terus-menerus sistem
sering mengalami tsunami, badai topan, erupsi tanggap darurat bencana agar mampu bekerja
gunung berapi, banjir, serta tanah longsor. Namun lebih efektif. Pada bencana tsunami akibat gempa
demikian, Jepang terkenal memiliki manajemen berkekuatan 8,5 SR pada tanggal 26 Desember
tanggap bencana yang sangat efektif, sehingga 2004 yang terjadi di Aceh, tercatat korban
selalu cepat dalam penanganan korban. Respon meninggal mencapai 200.000 orang. Bandingkan
dari Pemerintah Jepang bersama-sama dengan dengan bencana tsunami akibat gempa
seluruh elemen masyarakat umumnya sangat berkekuatan 8,9 SR pada tanggal 11 Maret 2011
cepat dalam menangani situasi pascabencana, di Jepang, tercatat hanya sekitar 7.000 orang
melakukan pemulihan atas wilayah terdampak korban yang meninggal.
bencana, serta mengatasi masalah kesehatan dan Sebagai perbandingan, Jepang juga pernah
kehidupan para korban yang selamat (Tanaka, alami gempa dan tsunami yaitu gempa sebesar 7.9
2005). Perlu dipahami bahwa manajemen bencana SR yang lebih dikenal sebagai “The Great Kanto
merupakan suatu penataan dan pengelolaan sumber Earthquake” pada tahun 1923 yang menewaskan
daya serta tanggung jawab dalam penanganan lebih dari 142.000 orang. Jumlah korban yang
hal-hal terkait aspek keselamatan manusia, baik berbeda jauh antara bencana gempa dan tsunami
dalam tahap kesiagaan, respon, maupun pemulihan di Aceh pada tahun 2004 dan di Jepang pada
kembali atas kejadian bencana, dengan tujuan untuk tahun 2011 menunjukkan bahwa Jepang lebih
mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh siap menghadapi bencana dibandingkan dengan
bencana tersebut. Aceh pada saat itu.
Oleh karena adanya anggapan bahwa bencana Jika dibandingkan dengan negara-negara yang
gempa selalu berulang, maka pemerintah dan dilanda gempa bumi, Jepang merupakan negara

226 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


yang paling sering mengalami gempa bumi. Hal bahwa secara umum kesadaran, kewaspadaan
ini menyebabkan Jepang menjadi negara yang dan kesiapsiagaan mereka telah tumbuh serta
paling siap menghadapi bencana gempa bumi berkembang melalui pelatihan secara teratur.
dan tsunami. Berbagai macam cara dilakukan Hasil survei di Jepang pada kejadian gempa
Jepang untuk mengurangi dampak bencana, Great Hanshin Awaji 1995 menunjukkan bahwa
mulai dari meningkatkan kesadaran masyarakat persentase korban selamat disebabkan oleh
sejak dini, membangun infrastruktur bangunan karena upaya diri sendiri sebesar 35%, anggota
yang tahan gempa, membangun jalur evakuasi keluarga 31,9%, teman atau tetangga 28,1%,
bagi keselamatan warga, bahkan ada sebuah orang lewat 2,60%, Tim SAR 1,70%, dan
perusahaan di Jepang yang menciptakan sebuah lain-lain 0,90%. Berdasarkan data ini sangat
kapsul penyelamat diri kala tsunami melanda. jelas membuktikan bahwa faktor yang paling
Hal penting lainnya agar tercipta masyarakat menentukan dalam menghadapi datangnya
yang sadar bencana adalah melalui pendidikan bencana adalah penguasaan pengetahuan yang
menghadapi bencana yang diberikan kepada dimiliki “diri sendiri” untuk menyelamatkan
anak-anak sejak usia dini. Bukan hanya dididik dirinya dari ancaman risiko bencana (Badan
secara fisik dalam evakuasi diri saat bencana, Nasional Penanggulangan Bencana, 2017:12).
tetapi juga dididik secara mental dan dilatih Proses penyadaran tersebut berguna agar
secara rutin. Sistem pendidikan Jepang yang setiap orang yang dapat memahami risiko
menyiapkan masyarakat dan anak-anak mereka mampu mengolah ancaman dan pada gilirannya
dalam menghadapi bencana, patut ditiru oleh berkontribusi dalam mendorong ketangguhan
Indonesia. Sebagai negara yang cukup sering masyarakat dari ancaman bahaya bencana. Di
mengalami bencana alam, sudah seharusnya samping itu, kohesi sosial, gotong royong, dan
Indonesia memasukkan edukasi bencana masuk saling percaya merupakan nilai perekat modal
dalam kurikulum pendidikan. sosial yang telah teruji dan terus dipupuk, baik
Selain pendidikan bencana sejak dini, kemampuan perorangan dan masyarakat secara
pelatihan evakuasi tsunami atau lebih dikenal kolektif, untuk mempersiapkan, merespon, dan
sebagai tsunami drill rutin dilakukan oleh bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
Jepang sejak tanggal 1 September 1995. Tanggal Sebagai proses ketahanan sosial dan budaya
tersebut bertepatan dengan peringatan hari sadar bencana dalam jangka panjang, ketangguhan
penanggulangan bencana. Sejak tahun 1960, hari masyarakat (Bene et al, 2012) menyasar tiga
penanggulangan bencana Jepang ini diperingati elemen ketangguhan, yaitu: kapasitas meredam
untuk mengenang bencana gempa dan tsunami ancaman (absorptive) yang menghasilkan
“The Great Kanto Earthquake.” Pada hari persistensi, kemampuan beradaptasi (adoptive)
peringatan, anak-anak sekolah di Jepang yang menghasilkan penyesuaian perlahan dan
serentak menggelar simulasi evakuasi jika terjadi berjangka panjang, dan kapasitas bertransformasi
gempa dan tsunami. Letak sekolah-sekolah di (transformative) yang menghasilkan respon-
Jepang pun dipilih di lokasi paling aman dan respon transformasional. Latihan kesiapsiagaan
disiapkan menjadi pusat evakuasi bagi komunitas diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi,
sekitarnya. komunikasi, dan evakuasi dengan melibatkan
Latihan merupakan elemen yang seluruh pemangku kepentingan (pemerintah dan
sangat berperan penting untuk membangun masyarakat) sehingga mampu meningkatkan
kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan keterampilan dalam koordinasi serta pelaksanaan
dalam menghadapi bencana (Badan Nasional operasi penanggulangan bencana.
Penanggulangan Bencana, 2017). Belajar dari Selain pendidikan bencana sejak dini dan
pengalaman beberapa negara maju yang rawan tsunami drill, Jepang selalu merevisi tata ruang
bencana seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, wilayah mereka. Seperti yang terlihat usai
Korea Selatan, dan beberapa negara di Eropa, gempa dan tsunami tahun 2011, 12 pemerintah

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 227
daerah yang terdampak tsunami meninggikan yang memiliki 13 desa ini hampir setiap tahun
tanah di wilayah mereka. Rata-rata ditinggikan selalu terjadi bencana serupa walaupun dalam
satu hingga enam meter. Beberapa wilayah skala lebih kecil. Penyebabnya adalah karena
bahkan ditinggikan hingga 17 sampai 18 meter. secara alami kondisi wilayah di Karangkobar
Pemukiman warga pun dibangun kembali pada memang tidak memungkinkan untuk dijadikan
posisi menjauh dari zona tsunami. wilayah permukiman. Kondisi topografinya
Itulah beberapa bentuk mitigasi bencana yang berbukit-bukit dan tekstur tanahnya yang
Jepang yang bisa diadopsi oleh Indonesia tidak kokoh menjadikan daerah ini mudah sekali
untuk mengurangi dampak dan korban bencana terkena bencana longsor. Kondisi geologis
tsunami. Pembelajaran dari pemerintah Jepang wilayah ini memang memiliki tanah yang rapuh.
bukan hanya soal infrastruktur yang sarat Tanahnya disisipi bebatuan dan saat hujan tiba
dengan perencanaan matang dan pertimbangan bidang-bidang yang memotong ikatan antara
resiko alam. Bahkan, nilai terhadap bencana tanah dan batuan rentan longsor.
dan risikonya, telah tertanam di dalam benak Terkait dengan penanganan bencana
masyarakat. Hal inilah yang membuat seluruh tersebut, peran negara dan masyarakat mutlak
elemen masyarakat siap sedia dan terlihat matang diperlukan. Peran negara diwakili oleh
dalam menghadapi risiko terburuk sekalipun. keberadaan BNPB dan BPBD yang langsung
mengambil tindakan saat bencana terjadi.
Kasus Bencana Longsor Banjarnegara Sementara itu, partisipasi masyarakat dibutuhkan
Pada tahun 2014 terjadi bencana longsor di untuk mengurangi dan menghindari risiko
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan bencana penting dilakukan dengan cara antara
Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi lain meningkatkan kesadaran dan kapasitas
Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui, Dusun masyarakat (Suryanti dkk, 2010). Dalam
Jemblung merupakan daerah rawan longsor penelitiannya, Zein (2010) menjelaskan bahwa
dengan intensitas sedang hingga tinggi. Pada masyarakat merupakan pihak yang memiliki
dua hari menjelang terjadinya longsor yaitu pengalaman langsung dalam kejadian bencana
tanggal 10 dan 11 Desember 2014, wilayah di sehingga pemahaman yang dimiliki menjadi
sekitar Dusun Jemblung diguyur hujan yang modal bagi pengurangan risiko bencana. Dalam
cukup deras. Akibatnya, tanah di lokasi tersebut konteks manajemen bencana alam, respons
menjadi penuh air padahal materi penyusun bukit masyarakat terhadap bencana sangat penting
Telaga Lele tempat Dusun Jemblung berada untuk dipahami (Marfai dkk., 2008).
merupakan endapan vulkanik tua sehingga solum Respons merupakan awal dari sebuah
atau lapisan tanahnya cukup tebal dan terjadi strategi adaptasi oleh masyarakat yang dihasilkan
pelapukan. Selain itu, kemiringan lereng di bukit melalui pemahaman terhadap bencana alam
tersebut juga kurang dari 60%. yang terjadi. Pemahaman masyarakat berupa
Sementara itu, tanaman di atas bukit pengetahuan dan persepsi yang teraktualisasi
tempat terjadinya longsor adalah tanaman dalam sikap dan/atau tindakan dalam menghadapi
semusim dengan jenis palawija yang tidak rapat bencana. Hasil dari sikap dan/atau tindakan
sehingga tanah menjadi longgar dan mudah masyarakat dalam menghadapi bencana adalah
terbawa air. Diduga penyebab longsor tidak strategi adaptasi yang berarti penyesuaian yang
lepas dari ulah manusia sendiri. Budi daya dilakukan akibat ancaman lingkungan sekitar.
pertanian yang tidak mengindahkan konservasi Mengingat pentingnya adaptasi dan
juga menjadi penyebab longsor. Di lereng lokasi ketahanan sosial (social resilience) pada
kejadian juga dilakukan terasering. masyarakat yang mengalami bencana, ke depan
Bencana longsor sebenarnya bukan perlu diperbanyak studi mengenai strategi
hal baru bagi masyarakat di Kecamatan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat, baik
Karangkobar, Banjarnegara. Di kecamatan pada tingkat individu maupun kelompok, dalam

228 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


menghadapi bencana. Adaptasi merupakan hasil Contohnya adalah Dusun Jemblung yang longsor
akhir sikap masyarakat yang muncul berdasarkan pada akhir 2014, dari sekitar 150 keluarga di
persepsi dan pengetahuan mereka terhadap dusun tersebut, 75% di antaranya memiliki kolam
potensi bencana. Faktanya, studi-studi mengenai ikan di sekitar rumah. Padahal kolam-kolam ikan
strategi adaptasi dan ketahanan sosial masih tersebut rentan memicu longsor karena akan
jarang dilakukan di Indonesia. membuat tanah menjadi lembek.
Hampir 70-75% wilayah Banjarnegara Langkah pertama yang harus dilakukan
merupakan kawasan rawan longsor karena pemerintah dan masyarakat adalah pengenalan
terletak di lereng dataran tinggi Dieng. karakteristik Dusun Jemblung dan sekitarnya,
Sedikitnya 12 kecamatan dari 20 kecamatan di misalnya mengenai bentuk lahan yang berbentuk
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah termasuk perbukitan dengan kemiringan sedang hingga
daerah zona merah atau rawan longsor sebab terjal, batuan vulkanik, bentuk lereng yang
wilayahnya berbukit-bukit dan tanahnya mudah bervariasi, jenis tanah, kondisi curah hujan, dan
bergerak. Oleh karena sering terjadinya longsor intensitas sungai di dusun.
di Banjarnegara, seharusnya masyarakat sekitar Konsep pemahaman mengenai antisipasi
memahami dan mengantisipasi sehingga dapat bahaya longsor sudah selayaknya diketahui
hidup selaras dengan alam. Hal itu penting karena seluruh masyarakat, sehingga diharapkan
selama ini konsep mitigasi bencana swadaya masyarakat akan mampu mengatasi kondisi di
pada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan daerahnya. Pemerintah pusat dan pemerintah
bencana masih lemah. daerah seharusnya fokus pada upaya penyadaran
Sampai saat ini, masyarakat umumnya masyarakat Banjarnegara bahwa mereka hidup
masih mengandalkan inisiatif dan bantuan di wilayah yang rawan bencana. Mereka harus
pemerintah. Akibatnya, risiko jatuh korban saat diedukasi mengenai mitigasi bencana secara baik.
bencana terjadi belum dapat dikurangi. Sejumlah Seperti halnya di wilayah Dusun Jemblung,
warga di kawasan rawan bencana longsor yang penanganan yang paling tepat adalah sistem
tinggal di perbukitan Banjarnegara mengaku bio-engineering atau teknik tanaman, karena
tidak memiliki wawasan mitigasi bencana dan wilayahnya luas dan berbukit-bukit sehingga
hanya mengandalkan gejala alam. Umumnya teknik hard protection seperti membuat “talud-
masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor talud” di tepi lereng kurang memungkinkan dan
merasa terpaksa tinggal di daerah pegunungan tidak banyak membantu. Cara bio-engineering
karena wilayah perkotaan sudah padat. Biasanya ini adalah penanganan longsor dengan
mereka mengandalkan perekonomian dari bertani memperhatikan keseimbangan lereng yang
sehingga pilihan untuk tinggal di daerah berbukit dibentuk oleh tanaman.
yang rawan seperti ini menjadi pilihan yang Seperti halnya di Bukit Telaga Lele (lokasi
terkesan rasional. di mana Dusun Jemblung berada) dan sekitarnya,
Secara umum, wilayah desa yang rawan pengaturan tanaman sebaiknya memperhatikan
longsor berada di bawah bukit besar yang sebagian sudut kelerengan dan posisi lerengnya. Untuk
lerengnya dipenuhi tanaman semusim, seperti tanaman palawija dapat ditanam pada lereng
kentang, kol, dan beberapa varietas hortikultura bagian bawah dan sudut kelerengan tidak
lain. Akibatnya saat musim hujan dan kondisi terjal, tapi mesti ada tanaman yang menopang/
tanah labil tanah longsor akan sangat mudah memperkuat lereng seperti kaliandra dan tanaman
terpicu. Selama ini warga lebih mengandalkan lainnya yang mempunyai perakaran kuat,
sosialisasi kebencanaan dari pemerintah. Belum walaupun jumlahnya tidak banyak. Kemudian
ada gerakan swadaya yang diinisiasi warga untuk makin ke atas, dengan sudut kelerengan makin
memunculkan sikap sadar bencana. Bahkan, tinggi masih diperbolehkan menanam tanaman
perilaku warga di sekitar wilayah rawan bencana palawija, tapi konsekuensinya tanaman penopang
sudah tidak sesuai dengan kaidah konservasi. lereng harus diperbanyak karena kondisi lereng

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 229
yang cukup terjal berpotensi terhadap longsor. berbatang duri yang dikembangkan secara
Selanjutnya pada lereng-lereng yang sangat monokultur oleh warga ini memiliki kekurangan
terjal bisa jadi hanya tanaman-tanaman penguat karena tak memiliki tekstur pengakaran yang kuat
lereng yang diperbolehkan. Tanaman-tanaman di tanah. Serabut akarnya yang pendek (kurang
keras juga dapat berfungsi sebagai penyerap dari satu meter) tidak masuk jauh ke dalam tanah
air sehingga mengurangi konsentrasi air di sehingga membuat tekstur lapisan tanah menjadi
dalam tanah yang secara alami dapat mencegah tidak kokoh. Serabut akar pohon salak pendek di
longsor. Tetapi yang paling penting tanaman ini tanah dan justru memicu tanah semakin gembur
merupakan tanaman penyangga tanah di daerah serta rapuh. Karena itu, banyaknya pohon salak
lereng yang akan berfungsi mempertahankan yang ditanam warga di Karangkobar menjadi
tanah dari longsor. Hal ini harus benar-benar salah satu faktor yang membuat pemicu tanah di
dipahami oleh masyarakat sekitar lokasi daerah wilayah tersebut mudah bergerak. Oleh sebab itu,
rawan longsor. Kegiatan nonstruktural seperti alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah
sosialisasi pencegahan longsor menjadi agenda penataan kembali kawasan permukiman di daerah
penting dalam penanganan longsor dan harus itu. Area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan
segera dilakukan. Pemerintah sudah seharusnya terlarang untuk permukiman hendaknya benar-
menggandeng semua elemen masyarakat untuk benar dapat ditegakkan sehingga tidak menjadi
kegiatan ini, misalnya dengan melibatkan bencana di kemudian hari. Secara alami wilayah
perguruan tinggi, LSM, dan organisasi masyarakat Karangkobar memang rentan, tapi belum tentu
dalam masyarakat sehingga frekuensi longsor berpotensi bahaya. Namun bahaya dapat muncul
dapat ditekan dan masyarakat mampu mencegah dengan mudah, baik melalui turunnya hujan atau
longsor. pemanfaatan lahan yang salah. Jadi, tata ruang di
Bencana longsor sebenarnya bukan hal baru wilayah ini perlu segera dievaluasi.
bagi masyarakat di Kecamatan Karangkobar, Berdasarkan pengamatan penulis di
Banjarnegara, Jawa Tengah. Hampir setiap tahun lapangan, sebenarnya sudah banyak masyarakat
selalu terjadi bencana serupa di kecamatan yang di Kecamatan Karangkobar yang mengetahui
memiliki 13 desa tersebut. Nyaris setiap tahun bahwa tanah tempat mereka tinggal rawan longsor.
juga bencana longsor selalu menelan korban Namun dengan berbagai alasan, umumnya karena
jiwa, harta, dan benda penduduk yang bermukim latar belakang sosial ekonomi, mereka nekat
di wilayah ini. Secara alami, kondisi wilayah tetap tinggal di wilayah tersebut. Oleh karena
di Kecamatan Karangkobar, lokasi Dusun itu, bagi Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
Jemblung, memang tak memungkinkan untuk hal yang perlu diprioritaskan adalah persoalan
dijadikan permukiman. Kondisi topografinya tata guna lahan di wilayah yang memang rawan
yang berbukit-bukit dan tekstur tanahnya yang bencana tersebut. Tata guna lahan yang relatif
tak kokoh menjadikan daerah ini mudah sekali tidak terkendali berpotensi menimbulkan longsor
mengalami bencana longsor. Secara umum, pada masa kini maupun masa yang akan datang.
kondisi geologis wilayah ini memiliki tanah Salah satu hal yang perlu mendapatkan
yang rapuh. Tanahnya disisipi bebatuan dan perhatian kita ke depan adalah manajemen
ada bidang-bidang yang memotong ikatan sumbangan bagi pengungsi. Selama ini,
antara tanah dan batuan. Bila hujan tiba, lapisan penyumbang rata-rata menginginkan sumbangan
tanahnya pasti rentan meluncur atau longsor. diberikan langsung kepada korban atau keluarga
Penyebab lain yang juga tak kalah penting korban. Akibatnya sumbangan jadi menumpuk.
adalah sistem pemanfaatan lahan yang tidak Jika korban dapat mengelola dana bantuan
tepat oleh masyarakat. Selama hampir 10 tahun dengan baik, dana itu dapat dipergunakan
ini lereng bukit yang sebelumnya mayoritas sebaik mungkin pada pascabencana. Sebaliknya,
ditumbuhi pepohonan dan tanaman keras diganti jika masyarakat korban tidak dapat mengelola
dengan tanaman salak (Salacca zalacca). Tanaman dana bantuan dengan baik, maka dana bantuan

230 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


tersebut cepat habis dan tidak tersisa. Menurutsatu dari 30 gunung api yang berada di atas Sesar
Musobihin, relawan pengelola sumbangan, saat Besar Sumatra. Gunung Sinabung mulai aktif
bencana longsor terjadi di Banjarnegara ada kembali setelah gempa bumi disertai tsunami
aliran dana bantuan yang sangat besar. Lembaga dahsyat yang mengguncang Aceh pada tanggal
yang ia dirikan mengelola sumbangan hampir Rp 26 Desember 2004, disusul kemudian dengan
2 miliar. Belum lagi lembaga-lembaga penerima gempa Nias Maret 2005 dan Juli 2006, lalu gempa
sumbangan lain yang sudah ada sebelum longsor di Padang pada Maret 2007 yang berulang pada
September 2009 yang diikuti gempa di Pulau Nias
terjadi. Di sinilah upaya transparansi aliran dana
harus diutamakan. Pengungsi ataupun masyarakat lagi pada Oktober 2009. Satu tahun kemudian,
yang direlokasi merupakan bagian yang harus 29 Agustus 2010, Gunung Sinabung meletus
diutamakan agar mereka bisa bertahan setelah untuk pertama kali setelah 400-an tahun diam.
bencana menimpa mereka. Untuk erupsi kali ini, kondisi
Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian Gunung Sinabung mengalami peningkatan
atau seluruh aktivitas, berikut sarana dan aktivitas yang signifikan. Pada 15 September
2013, peningkatan status Sinabung diawali dari
prasarana penunjang aktivitas, dari satu tempat ke
tempat lain guna mempertinggi faktor keamanan, Level II (waspada), kemudian masuk Level III
kelayakan, dan legalitas pemanfaatan dengan (siaga) dan mulai 3 November 2013 hingga saat
tetap memperhatikan keterkaitan antara yang ini statusnya masuk ke level tertinggi yaitu Level
dipindah dengan lingkungan alami dan binaan di IV (awas). Selama periode Desember 2013 sampai
Januari 2014 telah terjadi 365 kali erupsi yang
tempat tujuan. Daerah tujuan relokasi untuk para
pengungsi di Banjarnegara hanya berbeda desa. memuntahkan awan panas di Gunung Sinabung.
Letak desa relokasi hanya bersebelahan sehinggaMeskipun pada bulan Mei 2014 pemerintah
tidak sepenuhnya mencabut akar sosial budaya menurunkan status Gunung Sinabung dari awas
pada wilayah sebelumnya. Tanah relokasi juga menjadi siaga, Gunung Sinabung masih menjadi
ancaman utama bagi warga Kabupaten Karo.
bersifat hak milik. Ini berbeda dengan pengungsi
Sinabung yang status tanahnya masih pinjam Erupsi Gunung Sinabung telah menyebabkan
pakai. sekitar 33.192 jiwa dan 10.322 kepala keluarga
Dengan lokasi relokasi yang hanya beda mengungsi ke tempat tujuan pengungsi yang
desa, secara kultural akar budaya pengungsi tersebar di 37 titik. Kejadian tersebut juga
Banjarnegara belum sepenuhnya tercabut. merenggut 17 nyawa di mana 14 di antaranya
Mereka masih mudah mengakses lokasi rumah ditemukan di lokasi dalam radius 3 km di
mereka yang hancur, walaupun dilarang untuk wilayah Desa Sukameriah, sedangkan 3 orang
memanfaatkannya karena wilayah tersebut sudah lainnya yang sebelumnya mengalami luka bakar
dinyatakan sebagai “wilayah merah atau tidak kemudian meninggal di rumah sakit. Intensitas
boleh dimanfaatkan lagi.” Perbedaan lain denganerupsi yang tinggi juga menyebabkan beberapa
pengungsi Sinabung adalah akses lokasi relokasidesa yang berada di radius 5 km terpaksa harus
dengan jalan raya yang hanya berjarak kurang direlokasi, mengingat desa-desa tersebut tidak
dari 200 meter sehingga memudahkan mereka mungkin lagi dihuni.
untuk melakukan mobilitas secara ekonomi. Kerugian dan kerusakan akibat erupsi
Karena lokasinya tidak terisolir, mereka denganGunung Sinabung yang paling parah adalah di
mudah mendapatkan pekerjaan serabutan (kuli sektor infrastruktur dan pertanian. Meskipun
harian) sehingga dapat bertahan dan meneruskan saat ini tanggap darurat masih diberlakukan oleh
kehidupan dengan lebih mudah. pemerintah kabupaten Karo terkait dengan erupsi
Sinabung, pemerintah sudah mulai mengambil
Kasus Erupsi Gunung Sinabung Karo sikap untuk melakukan penanganan-penanganan
Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten terkait dengan pemulihan bagi warga terdampak
Tanah Karo Provinsi Sumatra Utara adalah salah yang telah dinyatakan diizinkan pulang.

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 231
Dana sekitar 28 miliar telah digulirkan Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak
oleh BNPB melalui BPBD Kabupaten Karo BPBD Kabupaten Karo, ditemukan bahwa
yang dicanangkan akan digunakan untuk segera pascaerupsi banyak hunian warga yang rusak
mengatasi kebutuhan-kebutuhan warga dalam upaya akibat timbunan material vulkanik. Bagian utama
pemulihan, mulai dari hunian, pangan, pertanian, yang paling banyak mengalami kerusakan adalah
dan sebagainya. Di samping itu, pemerintah melalui atap rumah. Di mulai bulan Mei hingga Juni
BPBD Kabupaten Karo telah mulai memberikan 2014, BPBD Kabupaten Karo telah bekerja sama
bantuan kepada warga terdampak. Bantuan- dengan warga untuk melakukan perbaikan rumah,
bantuan tersebut merupakan bantuan pemulihan terutama pada bagian atap, sehingga warga dari
yang diarahkan secara khusus kepada desa-desa 9 desa yang telah dinyatakan boleh kembali ke
yang terdampak seperti Desa Sukameriah, Desa desa, akan bisa kembali ke rumah masing-masing
Guru Kinayan, Desa Selandi, Desa Bekerah, Desa pada bulan Juli 2014. Inisiasi ini dilakukan untuk
Berastepu, Desa Kebayaken, Desa Simacem, Desa memastikan warga mendapatkan hunian yang
Kuta Tonggal, Desa Kuta Rayat, Desa Gamber, layak dan tidak lagi harus berada di pengungsian.
Desa Sigarang-garang, Desa Suka Nalu, Desa Meskipun demikian, sebagian warga masih
Kuta Gugung, Desa Desa Mardinding, Desa Kuta berada di pengungsian, menunggu rumah mereka
Tengah, dan Desa Perbaji. selesai diperbaiki. BPBD telah merealisasikan
Desa Siosar, Kecamatan Merek, Tanah bantuan atap rumah sebanyak 43% atau sekitar
Karo, Sumatera Utara ditetapkan sebagai tempat 100.000 lembar dari 230.000 lembar seng yang
relokasi warga korban erupsi Gunung Sinabung. dibutuhkan. Sisa 130.000 seng tersebut telah
Pembangunan rumah relokasi ini hampir rampung diakomodir melalui APBD 2014-2015 yang akan
dan sebagian warga malah sudah menerima direalisasikan pada awal September 2014.
kunci dan menempati rumah. Kediaman yang Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan
masing-masing memiliki luas tanah 100 m2 itu dana sebesar 13 miliar untuk kebutuhan
telah dilengkapi fasilitas air bersih, listrik, dan pemulihan pertanian bagi warga 16 desa yang
perabotan rumah tangga. Sebagian besar warga telah dipulangkan pada tahap pertama. Bantuan
enggan menempati rumah relokasi karena belum dana ini diperoleh dari BNPB. Menurut Dinas
tersedianya lahan atau ladang yang dijanjikan Pertanian, dana tersebut dibelanjakan untuk
pemerintah untuk diolah. Sebagaimana diketahui, pembelian bibit tanaman cepat panen antara lain
di tempat tinggal lama, rata-rata mata pencaharian cabe, tomat, sayuran, dan lain-lain. Selanjutnya
mereka adalah sebagai petani. untuk warga sembilan desa yang baru saja
Pada tahap pertama pemerintah membangun dipulangkan, belum ada alokasi khusus untuk
370 rumah yang ditempati warga dari desa yang pemulihan pertanian. Ketersediaan dana yang ada
paling parah terkena dampak erupsi Gunung baru akan dialokasikan untuk penanganan warga
Sinabung yaitu Bekerah, Suka Meriah, dan terdampak yang masih di pengungsian, mengingat
Simacem. Lahan seluas 458 hektar telah disiapkan Pemerintah Kabupaten Karo masih menyatakan
untuk menampung total 2.053 jiwa bagi warga situasi tanggap darurat dan sebagian penanganan
korban erupsi Gunung Sinabung termasuk areal masih difokuskan pada tahap tersebut.
pertanian, dengan anggaran pembangunan 1 unit Hingga saat ini, seluruh warga terdampak
rumah sebesar Rp 59,4 juta. yang sudah diizinkan kembali ke permukiman
Meski demikian, realisasi program tersebut mereka belum mendapatkan bantuan untuk
di tingkat lapangan masih mengalami kendala, pemulihan mata pencaharian dari Pemerintah
dan tentunya masih memiliki kesenjangan yang Kabupaten Karo. Di beberapa desa, seperti Desa
cukup luas dalam pemenuhan kebutuhan dasar Mardinding dan Desa Perbaji, banyak warga
karena alokasi yang ada dinilai masih sangat yang telah berutang untuk memenuhi kebutuhan
minim dan belum mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sejak mengungsi hingga saat ini
seluruh warga terdampak. pendapatan yang mereka peroleh hanya dari

232 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


jaminan hidup (khususnya pada masa tanggap rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang sudah
darurat lalu) yang telah diberikan oleh pemerintah memiliki hutang untuk memenuhi kebutuhan
yang jumlahnya sangat terbatas. Kepala Desa dasar mereka. Di samping itu, warga juga tidak
Perbaji, Bapak Martin Ginting, mengutarakan memiliki keahlian lain sehingga kehidupan
sudah banyak masyarakat yang menjual aset mereka mayoritas bergantung terhadap hasil
misalnya emas serta berutang demi memenuhi pertanian. Memasuki masa transisi pemulihan,
kebutuhan hidup sehari-hari seperti untuk khususnya bagi warga sembilan desa yang telah
keperluan sekolah anak, makan, dan kebutuhan diperbolehkan pulang, dibutuhkan respons cepat
lainnya. untuk memperbaiki kembali kondisi ekonomi
Sebagian masyarakat berinisiatif untuk mereka.
bekerja di lahan pertanian orang lain, sayangnya Program-program jangka pendek yang
masyarakat setempat tidak membutuhkan tenaga bersifat memberikan stimulus pendapatan
kerja. Sebagian lagi menyewa lahan orang lain untuk memulai kehidupan para pengungsi di
dengan harga Rp 6 juta/0,5 hektar/tahun. Namun daerah relokasi seharusnya didahulukan. Model
lahan yang telah digarap hingga saat ini belum penyediaan financial resources melalui Cash
ditanami karena keterbatasan modal untuk for Work (CFW) adalah salah satu cara yang
membeli bibit dan pupuk. Janji pemerintah untuk direkomendasikan dalam pemulihan warga
memberikan bantuan bibit tidak kunjung datang. terdampak erupsi Sinabung. Program CFW bisa
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi yang diarahkan untuk memperbaiki atau membangun
dilakukan bersama masyarakat, terungkap bahwa kembali fasilitas-fasilitas umum yang rusak akibat
mayoritas masyarakat di sembilan desa tersebut erupsi Sinabung. Dengan cara ini masyarakat
tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali berpeluang melanjutkan dan mengembangkan
bertani. Mengingat pekerjaan ini mereka lakukan kembali kehidupan mereka menuju situasi
secara turun-menurun, sangat sulit bagi mereka normal. Contoh nyata yang bisa dilakukan adalah
untuk beradaptasi ke kegiatan ekonomi lainnya. melibatkan warga relokasi dalam proyek-proyek
Dari hasil wawancara dengan kelompok padat karya dari pemerintah sehingga mereka bisa
masyarakat yang memiliki pekerjaan bertani, melupakan penderitaan pascabencana sekaligus
mereka berharap pemerintah memberikan bantuan menikmati penghasilan yang layak di saat krisis
berupa bibit tanaman dengan masa panen yang terberat menimpa mereka.
tidak terlalu lama (sekitar 3-4 bulan) dan memiliki Berdasarkan fakta di lapangan, pola
nilai ekonomi yang cukup baik. Harapannya dengan penanganan pengungsi Gunung Sinabung
bantuan ini mereka bisa bergerak maju untuk tampaknya meniru model rehabilitasi dan
memperbaiki kondisi ekonomi mereka sendiri. rekonstruksi masyarakat dan permukiman
Data membuktikan bahwa mata pencaharian para berbasis komunitas. Model ini berhasil diterapkan
pengungsi Sinabung adalah petani sayur-mayur untuk merelokasi pengungsi bencana di erupsi
dan hortikultura. Dengan menjadi petani mereka Gunung Merapi yang terjadi beberapa tahun lalu.
bisa bertahan hidup dan meneruskan kehidupan Sayangnya, dibandingkan dengan pengungsi
pascabencana di wilayah mereka. Merapi, pemulihan nasib pengungsi Gunung
Seperti penjelasan di atas, warga terdampak Sinabung berjalan lebih lambat. Faktor yang
erupsi Gunung Sinabung telah mengalami membuat ketahanan mereka menjadi rentan adalah
kerusakan pada sektor mata pencaharian utama terlalu lamanya para pengungsi menganggur dan
mereka yaitu bertani selama hampir satu tahun. menunggu serta terlalu bergantung pada bantuan
Singkatnya, sistem nafkah warga di desa-desa dari pemerintah. Pemerintah daerah terlalu fokus
terdampak mengalami kehancuran. Hal ini pada upaya membangun lokasi perumahan
menyebabkan ekonomi masyarakat menjadi relokasi sementara upaya untuk mendorong para
terguncang dan sulit bagi mereka untuk bisa korban agar bisa mendapatkan kembali mata
memenuhi kebutuhan dasar saat kembali ke pencaharian dan pendapatan keluarga justru

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 233
terabaikan. Bahkan ketika peneliti mewawancarai bukannya malah menempatkan masyarakat di
Bapak Ginting, pengungsi yang telah menghuni kawasan hutan. Karena hak masyarakat pengungsi
rumah relokasi, masih ada keluhan ketiadaan Sinabung hanyalah pinjam pakai untuk jangka
pendapatan dan pekerjaan. Sebagai petani sayur- waktu tertentu, bagaimana nasib para pengungsi
mayur, Bapak Ginting sebenarnya lebih memilih setelah jangka waktunya pinjam pakainya habis?
diberi lahan pertanian dari pada dibangunkan Ini yang dikhawatirkan akan memicu konflik
rumah oleh pemerintah. Dengan lahan pertanian, tanah di masa depan.
ia bisa bekerja dan menghasilkan uang. Mengenai Dari sisi aturan hukum, menurut Jimmy
rumah, para pengungsi mengaku sebenarnya Panjaitan (Sekretaris Jenderal Komunitas Peduli
mereka terbiasa tidur di ladang pertanian dengan Hutan Sumatera Utara/KPHSU), pemerintah
cara membangun gubuk-gubuk sederhana. diduga menabrak aturan tentang pinjam kawasan
Dengan bertani ia bisa mempunyai penghasilan, hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
dan setelah berpenghasilan ia pun bisa membuat Nomor P.16/Menhut/II/2014 tentang Pedoman
rumah yang permanen nantinya. Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 9 Ayat 2,
Dari keluhan-keluhan para pengungsi ini luas kawasan pinjam pakai untuk pembangunan
seharusnya pemerintah, baik pusat maupun fasilitas umum non-komersial paling banyak
daerah, mendahulukan dan memprioritaskan lima hektar. Begitu juga dengan isi dari Peraturan
faktor ketahanan pengungsi dari sisi mata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor
pencaharian terlebih dahulu. Tanpa bantuan P.14/VII/PKH/2012 Pasal 2 ayat 1 tentang
untuk mendukung mereka menjadi mandiri Petunjuk Pelaksanaan Pinjam Pakai Kawasan
secara ekonomi, keadaan mereka sebenarnya Hutan yang dilimpahkan dari Menteri Kehutanan
rentan secara psikologis maupun sosiologis. Saat ke Gubernur, disebutkan bahwa izin pinjam
ini faktor yang membuat para pengungsi bisa pakai kawasan hutan hanya untuk penampungan
bertahan hidup sepenuhnya adalah bantuan dari sementara, jika terkait bencana dan luasnya tidak
saudara dan tetangga terdekat. lebih dari 5 hektar. Sebagaimana diketahui,
Di tengah situasi yang tidak berpenghasilan hutan yang berada di Desa Siosar tempat relokasi
tetap, namun tetap bertahan inilah yang membuat tersebut masih berstatus kawasan lindung.
para pengungsi Sinabung mempunyai resiliensi Terkait dengan ketahanan keluarga, kasus
(daya lenting) yang luar biasa. Bahkan lokasi di Kabupaten Tanah Karo menunjukkan adanya
perumahan mereka yang jauh dari desa terdekat pola asuh orang tua yang longgar karena orang
sekitar 7 hingga 8 kilometer membuat mereka tua memilih sibuk berladang dan berkebun.
terisolir secara ekonomi. Biaya hidup menjadi Sebagaimana diketahui, pola berladang dan
demikian mahal karena faktor transportasi. berkebun masyarakat Karo dengan adalah
Saat ini, untuk menopang hidup mereka hanya berangkat pagi hari dan pulang malam hari
mengandalkan kerja serabutan. Para pengungsi sehingga anak-anak usia SD, SMP, dan SMU
yang tinggal di lokasi relokasi sepenuhnya tidak menerima pengawasan yang berarti setelah
bertahan hidup dari dukungan keluarga terdekat. jam belajar di sekolah. Akibatnya anak-anak
Memang ada beberapa rumah yang sudah seakan terlepas dari pengawasan orang tuanya.
memulai kegiatan ekonomi skala kecil seperti Akibat lain adalah fenomena kenakalan remaja
membuka warung kelontong ataupun berjualan di Tanah Karo yang meningkat. Hal ini diakui
bensin eceran (dua hal yang sangat diperlukan sendiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten
warga di lokasi yang jauh dari keramaian). Tanah Karo, Ibu Saberina Tarigan. Ia malah
Hal lain yang membuat warga yang direlokasi menganjurkan pendidikan sekolah diadakan
selalu waspada adalah soal status tanah yang sampai sore hari sehingga anak-anak masih
mereka tempati. Status tanah tersebut masih tetap dalam pengawasan guru daripada dibiarkan
bersifat pinjam pakai. Seharusnya pemerintah bebas di rumah tanpa pengawasan orang tuanya
membeli lahan lain yang bukan kawasan hutan, yang sibuk berladang.

234 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


Kurang Antisipasi bencana karena sudah diprediksi sebelumnya dan
Mencermati dua kasus bencana di atas yaitu direncanakan manajemen bencananya.
longsor di Banjarnegara dan erupsi Gunung Bagi masyarakat yang belum menjadikan
Sinabung, kemungkinan datangnya bencana perencanaan penanggulangan bencana sebagai
alam di kedua wilayah tersebut harusnya dapat isu publik, umumnya akan terlihat sangat
diantisipasi sebelumnya. Selama 25 tahun fatalistik di mana hanya pasrah ketika bencana
terakhir, lebih dari 20 kebijakan penanggulangan itu datang sambil berharap bantuan orang lain.
bencana alam sebenarnya telah dibuat Pada akhirnya pola tersebut menurun pada
pemerintah. Semua kebijakan tersebut memiliki rezim pengaturan bencana yang menempatkan
substansi yang sama, yakni berupaya melindungi negara sebagai aktor dominan dalam penanganan
masyarakat dari dampak bencana. Namun, bencana. Negara yang mengikuti prinsip fatalis
sejauh ini pemerintah belum terbukti secara akan menerapkan prinsip minimalis atau sekedar
nyata mampu menggerakkan masyarakat untuk memenuhi kewajiban dalam melakukan upaya
lebih siap dalam menghadapi bencana. Hal ini tanggap darurat. Hal ini berbeda dengan negara
terlihat dari fasilitas fisik atau program antisipasi yang serius dalam mempersiapkan terjadinya
bencana yang masih begitu minim. Ketersediaan bencana. Begitupun juga dalam dalam bencana,
sarana peringatan dini dan jalur evakuasi namun kurang dalam kebersamaan dan negara
dianggap belum memadai. Infrastruktur mitigasi egalitarian yang deliberatif dalam bencana
umumnya hanya tersedia di daerah yang baru saja serta menjunjung tinggi kebersamaan dalam
dilanda bencana alam. Setelah itu perawatannya menghadapi bencana sebagai masalah bersama
seringkali terabaikan. (commons problem).
Hasil survei Litbang Kompas (2011)
misalnya, mendapatkan fakta bahwa separuh Penutup
responden di daerah-daerah yang terkena tsunami Simpulan
di Aceh mengaku tidak adanya sarana evakuasi Berdasarkan penelitian penulis, persepsi
yang layak di daerah mereka. Sementara 20 persen yang berkembang di kalangan masyarakat korban
responden lainnya di daerah itu mengaku tidak bencana Gunung Sinabung dan longsor Dusun
tahu soal keberadaan jalur evakuasi di daerah Jemblung Kabupaten Banjarnegara adalah bahwa
mereka. Padahal mitigasi risiko yang timbul bencana dianggap sebagai bentuk ujian dari Tuhan
dari bencana alam serta adaptasi pascabencana sehingga harus diterima apa adanya. Sikap pasrah
menjadi hal yang krusial dipahami dan dilakukan menerima keadaan ini ternyata menjadi sumber
oleh masyarakat. Peran pemerintah dalam kekuatan individu sehingga pada umumnya
sosialisasi sangat besar. Program ini pun ternyata mereka sudah bisa melupakan peristiwa bencana
masih belum optimal. tersebut tanpa mengalami stres berkepanjangan.
Masih menurut survei tersebut, mayoritas Kesadaran untuk menerima musibah juga menjadi
responden (85 persen) merasa tidak pernah jalan pembuka bagi pemerintah agar lebih mudah
dilibatkan dalam berbagai program kegiatan menjalankan kebijakan penanggulangan bencana
penanggulangan bencana. Fakta ini semakin tanpa resistensi masyarakat korban.
menguatkan, budaya sadar bencana di negeri yang Hampir semua pengungsi dan korban bencana
sarat ancaman bencana alam ternyata masih tipis. di kedua daerah sebenarnya memahami sepenuhnya
Perilaku tersebut kemudian nampaklah bahwa lokasi yang dulu mereka huni adalah daerah
pada penanggulangan risiko bencana di mana rawan bencana alam dalam kategori sedang
masyarakat yang berkawan dengan alam sudah hingga tinggi. Itulah sebabnya upaya relokasi oleh
bersiap-siaga dan antisipatif terhadap bencana. pemerintah pusat dan pemerintah daerah minim
Bencana bagi masyarakat yang sudah tercerahkan resistensi. Relokasi dianggap sebagai pilihan
akan dijadikan isu rutinitas dalam kehidupan terbaik agar mereka dapat bertahan dan meneruskan
sehari-hari sehingga tidaklah kaget apabila terjadi kehidupan.

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 235
Pada masyarakat Banjarnegara, kesadaran jawab dalam penanganan hal-hal terkait aspek
bahwa mereka bertempat tinggal di lokasi rawan keselamatan manusia, baik dalam fase kesiagaan,
bencana sepenuhnya sangat mereka pahami. respon, maupun pemulihan kembali atas kejadian
Hanya karena faktor ekonomi mereka terpaksa bencana. Mitigasi bencana terbaik selalu
tetap tinggal di wilayah berbahaya tersebut. Hal mencakup tiga hal, seperti dilakukan di Jepang,
ini berbeda dengan masyarakat Sinabung, di antisipasi bencana alam, penanganan bencana
mana hampir 400 tahun Sinabung “diam” dan alam dan pemulihan pascabencana. Ketiganya
“tidak beraktivitas” sehingga kesadaran akan integratif dan komprehensif di dalam setiap
bahaya erupsi belum dipahami sepenuhnya kebijakan yang diambil pemerintah. Ketiga hal
oleh masyarakat. Respons masyarakat Sinabung itu patut kita tiru di Indonesia, sebagai salah
terhadap bencana tersebut pun terkesan satu negara rawan bencana. Pemerintah kita
mendadak. harus memprioritaskan kesadaran bencana di
Fakta di lapangan membuktikan bahwa masyarakat dampak dan korban bencana dapat
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan diminimalisasi.
masyarakat sering kali lebih fokus pada bantuan-
bantuan logistik yang diperlukan individu dan Saran
bersifat jangka pendek seperti sandang, pangan, Berdasarkan temuan di lapangan maka
dan papan. Namun pada level komunitas atau Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan para
sosial, rehabilitasi dan perbaikan lembaga- pemegang kebijakan penanggulangan bencana
lembaga komunitas/sosial seperti pasar, tempat untuk tanpa kenal lelah mewujudkan lahirnya
ibadah, sekolah, mata pencaharian, dan lain- masyarakat yang sadar bencana terutama di
lain pada kasus relokasi pengungsi Gunung wilayah yang rawan bencana di sekitar Gunung
Sinabung sangat terlupakan. Ke depannya, Sinabung dan Banjarnegara. Hanya dengan
BPBD dan BNPB, serta semua pihak juga harus membekali masyarakat melalui peningkatan
memfokuskan pada perbaikan lembaga-lembaga pengetahuan, keterampilan dan kewaspadaan
level komunitas yang ikut hancur pada waktu akan terjadinya bencana kembali di suatu hari
terjadi bencana dan yang tak kalah pentingnya nanti maka korban jiwa dan harta akan dapat
adalah membangun kesadaran warga di benak diminimalisasi sebagaimana yang sekarang
seluruh warga masyarakat. terjadi pada masyarakat Jepang. Harus diakui,
Dengan mengambil pelajaran dari cara penanganan bencana yang selama ini dilakukan
Jepang membangun kesadaran warga dalam di Indonesia masih tergolong impulsif yaitu
mempersiapkan terjadinya bencana, maka fokus pada tindakan pascabencana. Hal-hal
selayaknya masyarakat dibiasakan ikut di dalam yang bersifat mencegah atau menekan angka
pelatihan evakuasi bencana. Harapannya saat korban jiwa dan harta jarang sekali diperhatikan.
bencana benar-benar terjadi, maka warga tidak Pemerintah seringkali terjebak di dalam usaha
lagi panik dan nantinya dengan tenang mereka karitatif yaitu terlihat menolong sewaktu bencana
mengikuti prosedur standar yang telah berkali- terjadi kemudian seiring berjalannya waktu
kali mereka ikuti. Demikian halnya dengan kemudian menganggap penanganan bencana
sistem peringatan dini terhadap bencana gempa telah usai sementara soal pemulihan dibebankan
dan tsunami berjalan dengan baik dan hasilnya sepenuhnya menjadi urusan masing-masing
dengan cepat terdistribusi kepada masyarakat. Hasil warga.
akhirnya adalah kesadaran bencana di kalangan
warga Jepang terlihat dengan jelas dari sikap
mereka yang mementingkan keselamatan umum.
Dari Jepang kita juga belajar soal penataan
dan pengelolaan sumber daya serta tanggung

236 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


DAFTAR PUSTAKA Jia, Z., dkk. (2010). Mental Health and Quality of
Life Survey Among Child Survivors of the 2008
Jurnal
Sichuan Earthquake.” Quality Life Research.
Adebukola Yewande Daramola. (2016). Adaptive Vol. 19, hlm.1381- 1391.
Capacity and Coping Response Strategies
Kano, M., dan Bourque L.B. (2008). Correlates of
to Natural Disasters: A Study in Nigeria.
School Disaster Preparedness: Main Effects of
International Journal of Disaster Risk Reduction.
Funding and Coordinator Role. Natural Hazards
Vol. 15, hlm. 132–147.
Review. Vol. 9, No. 1, hlm. 49-59.
Alexander, D.E. (2013). Resilience and Disaster Risk
Leykin, Dmitry, dkk. (2016). The Dynamics of
Reduction: An Etymological Journey. Journal
Community Resilience between Routine and
Natural Hazards and Earth System Sciences.
Emergency Situations. International Journal of
Vol. 13, hlm. 2707-2716.
Disaster Risk Reduction. Vol. 15, hlm 125-131.
Bene, C., dkk. (2012). Resilience: New Utopia or New
Marfai, M.A., dkk. (2008). The Impact of Tidal
Tyranny? Reflection about the Potentials and
Flooding on a Coastal Community in Semarang,
Limits of the Concept of Resilience in Relation
Indonesia. Environmentalist. Vol. 28, No. 3, hlm.
to Vulnerability Reduction Programmes. IDS
237-248.
Working Paper 405.
Novianty, Anita. (2011). Penyesuaian Dusun Jangka
Berkes, F. (2000). Understanding Uncertainty and
Reducing Vulnerability: Lessons from Resilience Panjang Ditinjau dari Resiliensi Komunitas
Pasca Gempa. Jurnal Psikologi. Vol. 38, No. 1,
Thinking. Natural Hazards. Vol. 41, No. 2, hlm
hlm 30-39.
283-295.
Paton, D., Millar. M., dan Johnston, D. (2001).
Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I., dan Wisner, B.
Community Resilience to Volcanic Hazard
(2004). At Risk: Natural hazards, People’s
Consequences. Natural Hazards. Vol. 24, hlm
Vulnerability, and Disasters (second edition).
157-169.
London: Routledge Publication.
Pramono, Rudy. (2016). Perspektif Sosiologis dalam
Cabinet Office Japan. (2015). White Paper: Disaster
Penanggulangan Bencana. Jurnal Masyarakat
Management in Japan 2015.
dan Budaya. Vol. 18, No. 1, hlm. 81-95.
Carpenter, A. (2014). Resilience in the Social and
Samaddar, S., dan N. Okada. (2007). The Process of
Physical Realms: Lessons from the Gulf Coast.
Community’s Coping Capacity Development
International Journal of Disaster Risk Reduction.
in the Sumida Ward, Tokyo - A Case Study
Carter, W. Nick. (1991). Disaster Management: A of Rainfall Harvesting Movement. Annuals of
Disaster Manager’s Handbook. Manila: Asian Disaster. Vol. 50, hlm. 205-215.
Development Bank.
Saunders dan Becker. (2015). A Discussion of
Economic and Social Commission for Asia and the Resilience and Sustainability: Land Use Planning
Pacific (ESCAP). (2008). Building Community Recovery from the Canterbury Earthquake
Resilience to Natural Disasters through Sequence, New Zealand. International Journal
Partnership. New York: United Nations of Disaster Risk Reduction. Vol. 14, hlm 73–81.
Publication.
Sriharini. (2009). Manajemen Pasca Bencana Alam:
G. Bankoff, D. Frerks, Hilhorst (eds.). (2003). Studi Tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Mapping Vulnerability: Disasters, Development Rumah Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
& People. New York: Routledge. Tanggal 27 Mei 2006 di Kecamatan Banguntapan
Harding, J. (2003). Community Coping Strategies. Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
New Delhi: International Strategy for Disaster Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Reduction. _______. (2010). Membangun Masyarakat Sadar
Holling, C.S. (1973). Resilience and Stability of Bencana. Jurnal Dakwah. Vol. 9, No. 2.
Ecological System. Journal of Annual Review of Sriharini. (2006). Pengembangan Kesadaran
Ecological System. Vol. 4, hlm. 1-23. Masyarakat terhadap Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal PMI. Vol. 4, No. 1.

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 237
Sudarmadi, S., dkk. (2001). A Survey of Perception, Harding, J. (2003). Community Coping Strategies.
Knowledge, Awareness and Attitude in Regard New Delhi: International Strategy for Disaster
to Environmental Problems in a Sample of Two Reduction.
Different Social Groups in Jakarta, Indonesia.
Longstaff, P.H., dkk. (2010). Community Resilience:
Environment, Development and Sustainability.
A Function of Resources and Adaptability. New
Vol. 3, hlm. 169–183.
York: Syracuse University.
Sulastri, A. (2007). Kearifan Lokal Jawa dan
Palang Merah Indonesia. (1998). Pedoman
Resiliensi Terhadap Trauma Psikologis Pada
Penanggulangan Bencana. Jakarta: Markas
Korban Selamat Bencana Gempa Bumi di
Besar PMI.
Bantul, Yogyakarta. Kajian Politik Lokal &
Sosial-Humaniora. Vol. 4, No. 1, hlm 146-166. Sriharini. (2009). Manajemen Pasca Bencana Alam:
Studi Tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Takao, Kenji, dkk. (2004). “Factors Determining
Rumah Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
Residents’ Preparedness for Floods in Modern
Tanggal 27 Mei 2006 di Kecamatan Banguntapan
Megalopolises: The Case of the Tokai Flood
Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Disaster in Japan.” Journal of Risk Research 7.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Vol. 7, No. 8, hlm. 775-787.
Turnbull, Marilise, dkk. (2013). Toward Resilience:
Tanaka, Kazuko. (2005). “The Impact of Disaster
A Guide to Disaster Risk Reduction and Climate
Education on Public Preparation and Mitigation
Change Adaptation. Warwickshire: Practical
for Earthquakes: A Cross-Country Comparison
Action Publishing Ltd.
Between Fukui, Japan and the San Fransisco Bay
Area, California, USA.” Applied Geography.
Vol. 25, No. 3, hlm. 201-225. Laporan Penelitian
Dewi, A. (2007). Community-Based Analysis of
Buku Coping with Urban Flooding: A Case Study in
Semarang, Indonesia. Netherlands: International
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017).
Institute for Geo-information Science and Earth
Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana:
Observation.
Membangun Kesadaran dan Kesiapsiagaan
Dalam Menghadapi Bencana. Jakarta: Badan Twigg, John. (2004). “Disaster Risk reduction
Nasional Penanggulangan Bencana. (Mitigation and Preparedness in Development
and Emergency Programming).” Good Practice
Bappenas. (2006). Rencana Aksi Nasional
Review, No. 9, March 2004. London: Overseas
Pengurangan Resiko Bencana 2006-2010.
Development Institute.
Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Zein, M. (2010). “A Community Based Approach to
Pembangunan Nasional dengan Badan Flood Hazard and Vulnerability Assessment in
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Flood Prone Area: A Case Study in Kelurahan
Sewu, Surakarta City, Indonesia.” Tesis. Gadjah
Blaikie, P. Cannon T., Davis, I., dan Wisner, B.
Mada University and International Institute for
(2004). At Risk: Natural Hazards, People's
Geo-Information Science and Earth Observation.
Vulnerability, and Disasters (second edition).
London: Routledge Publication.
Internet
Carter, W. Nick. (1991). Disaster Management: A
´Natural Catastrophes in 2012 Dominated by U.S.
Disaster Manager's Handbook. Manila:Asian
Weather Extremes”. http://www.worldwatch.
Development Bank. org/natural-catastrophes-2012-dominated-
Economic and Social Commision for Asia and the us-weather-extremes-0. Diakses tanggal 10
Pasific (ESCAP). (2008). Building Community November 2018.
Resilience to Natural Disasters through Resiliensi Korban Bencana}” http://www.ubaya.
Partnership. New York: Routledge ac.id/2013/ content/articles_detail/126/Resiliensi-
G. Bankoff, D. Frerks, Hilhorst (eds). (2003). Korban-Bencana.html. Diakses tanggal 17
Mapping Vulnerability: Disasters, Development November 2018.
& People. New York: Routledge.

238 Aspirasi Vol 9 No 2, Desember 2018


Why Should Community Coping Mechanism Be
the Centre of Disaster Reduction Policy and
Practices?” http://www.khurshi dalam. org/
articles. php?v=0. Diakses tanggal 17 November
2018.

Lain-lain
Anonim. Ini Penyebab Longsor di Banjarnegara
Menurut BNPB. Kompas, 15 Desember
2014.
Betke, Freidhelm. (2002). Assesing Social
Resilience Among Regencies and
Communities in Indonesia (Discussion
paper).
Chandra, A., dkk. (2011). Building Community
Resilience to Disasters: A Ways Forward
to Enhance National Health Security. USA:
RAND Corporation.
Fatwa, Fadillah (2014). Kajian Kebutuhan
Erupsi Gunung Sinabung (makalah tidak
diterbitkan).
I.Ikhuoria, dkk. (2012). “Assessment of the
impact of flooding on farming communities
in Nigeria: A case study of Lokoja, Kogi
State Nigeria” dalam Proceedings of
the Geoinformation Society of Nigeria
(GEOSON) & Nigerian Cartographic
Association (NCA) Joint Annual Workshop/
Conference. Hlm. 156–167

Rohani Budi Prihatin Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran Dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang ... 239

You might also like