Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

History (one or more required)

2
The guideline includes the following statements :
a) Watchful waiting for recurrent throat infection: Clinicians should recommend watchful waiting for
recurrent throat infection if there have been fewer than 7 episodes in the past year or fewer than 5 episodes
per year in the past 2 years or fewer than 3 episodes per year in the past 3 years
b) Recurrent throat infection with documentation: Clinicians may recommend tonsillectomy for recurrent
throat infection with a frequency of at least 7 episodes in the past year or at least 5 episodes per year for 2
years or at least 3 episodes per year for 3 years with documentation in the medical record for each episode
o
of sore throat and one or more of the following: temperature >38.3 C, cervical adenopathy, tonsillar
exudates, or positive test for GABHS
c) Tonsillectomy for recurrent infection with modifying factors: Clinicians should assess the patient with
recurrent throat infection who does not meet criteria in Statement 2 for modifying factors that may
nonetheless favor tonsillectomy, which may include but are not limited to multiple antibiotic
allergy/intolerance, PFAPA (periodic fever, aphthous stomatitis, pharyngitis, and adenitis), or history of
peritonsillar abscess. parapharyngeal abscess, severe infection with dehydration requiring IV fluids, or
severe infections that may aggravate co-morbid conditions (eg, seizure disorder). Children who are at risk
for being held back in school due to excessive absences (eg, over ten school days per academic year) may
also need consideration
d) Tonsillectomy for sleep-disordered breathing: Clinicians should ask caregivers of children with sleep-
disordered breathing (SDB) and tonsil hypertrophy about
detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar
sehingga terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang menutupi tonsil (Boies, 1997).

Gambar 2.6. Tonsilitis Akut

a. Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan dan
pada kasus berat penderita menolak makan dan minum melalui mulut. Biasanya disertai demam
dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada
telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n Glosofaringeus. Seringkali disertai
adenopati servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar
submandibula membengkak dan nyeri tekan (Boies, 1997).
b. Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan adekuat serta diet ringan. Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi
antibiotik dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih merupakan obat
pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita sensitive terhadap penisilin. Pada kasus
tersebut eritromisin atau antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika hasil biakan didapatkan
streptokokus beta hemolitikus terapi yang adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk
menurunkan kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung rematik (Boies,
1997).
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah cairan dapat berkontak
dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila
palatina. Akan tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang dilakukan
secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin mempengaruhi beberapa tingkat
perjalanan penyakit (Boies, 1997).

2.2.2. Tonsilitis Kronis


a. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat
disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus
viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar
tergantung pada infeksi (Soepardi A dkk, 2007).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram postif (Patel N, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak ditemukan
dijaringan tonsil adalah streptococcus β hemolyticus. Beberapa bakteri lain yang dapat
ditemukan adalah staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur, dan
bakteri anaerob (Patel N, 2009).
c. Patologi
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa jaringan
lomfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinis kripte ini tampak
di isi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi A dkk, 2007)
d. Gejala dan Tanda
Gejala tonsilits kronis dapat berupa :
 Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan.
 Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris,
nyeri otot dan persendian.
 Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem
atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis
fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe
regional.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan,
dirasakan kering di tenggorokan dan napas berbau.

Besar tonsil ditentukan sebagai berikut:


T0: tonsil di dalm fosa tonsil atau telah diangkat

T1: bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula

T2: bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula

T3: bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula

T4: bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih


Gambar 2.6. Pembesaran Tonsil

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan hasil.
Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama
sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau
sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisis atau klindamisin
(Soepardi A dkk, 2007).

f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa Rhinitis
kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis,
irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

You might also like