JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No.

1 Februari 2018

FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI TUBERKULOSIS PARU


(STUDI KASUS KONTROL DI RUMAH SAKIT UMUM DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2017)

YUSTIKA ARIEVIA HANIVA


ALUMNI PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

ABSTRACT
Pulmonary Tuberculosis constitutes the most important public health problem all over the world.
Indonesia ranks the second after India in pulmonary tuberculosis. The objective of the research was to find out
some factors which influenced the incidence of pulmonary tuberculosis such as smoking, history of contact with
tuberculosis patients, dwelling density, diabetes mellitus, and HIV/AIDS at RSUD dr. Pirngadi, Medan. The
research used analytic method with case-control design. The population was the patients who visited the Cardiac
Polyclinic of RSUD dr. Pirngadi, in 2017, and the samples were 38 respondents in the case group, taken by
using consecutive sampling technique, and 76 respondents in the control group, taken by using simple random
sampling techniques. The result of the research showed that 60 respondents (52.6%) had the history of contact
with tuberculosis patients, 69 respondents (60.5%) had smoking habit, 61 respondents (53.5%) had residential
density 61 respondents (53.5%) suffered from diabetes mellitus, and 85 respondents (74.6%) were not HIV/AIDS
patients. There was significant correlation of smoking (p-value=0.04; OR=2.1), history of contact with TB patients
(p-value=0.001; OR=2.2), dwelling density (p-value=0.001; OR=2.042), diabetes mellitus (p-value=0.015;
OR=3.133), and HIV/AIDS (p-value=0.015; OR=2.548) with the incidence of Pulmonary Tuberculosis. The
variable of dwelling density was the most dominant risk factor for the incidence of Pulmonary Tuberculosis (ß
1.430; 95% CI 1.620-10.769; Exp ß=4.177).

Keywords: Pulmonary Tuberculosis, Risk Factor

PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. TB mempunyai faktor resiko eksogen dan endogen. Eksogen diantaranya adalah kontak langsung pasien
terhadap penderita TB di sekitarnya memlaui sputum. Dan endogen faktor adalah proses terjadinya infeksi
selama terpapar oleh penderita TB aktif. Dalam faktor endogen tersebut diantaranya terdapat beberapa faktor
yaitu HIV, malnutrisi, diabetes, polusi didalam rumah, alkohol, penggunaan obat imunsupresif, dan merokok.
(Narasimhar, 2015).
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency. Laporan terbaru WHO 2008, yang menggambarkan situasi dunia tahun 2006, menunjukkan bahwa
setiap tahun diperkirakan ada 9,2 juta kasus Tuberkulosis Paru baru (139/100.000 penduduk), 4,1 juta
diantaranya (44%) adalah pasien dengan basil tahan asam (BTA) positif dan 0,7 juta pasien Tuberkulosis Paru
yang juga terinfeksi virus HIV (Human Immunodefficiency Virus) (8%). (Muchrizal, 2013)
Di Pakistan, TB ditemukan terkait secara bermakna dengan jenis kelamin laki-laki, menikah, merokok,
minum alkohol, riwayat keluarga dan keluarga TB, asma dan diabetes (OR: 1.08, 1.96, 1.21, 4.26, 2,07, 3,16,
3,43 dan 3,67) masing-masing dengan nilai P <0,001. Serta ditemukan terkait dengan kepadatan hunian,
peningkatan ukuran keluarga, ventilasi dan penggunaan biofuel yang buruk (OR: 4,60, 1,75, 3,29 dan 3,90) buta
huruf, tidak sadar akan penyakit, migrasi dan keberadaan hewan di rumah (OR: 1,74, 0,07, 1,83 dan 1,60)
masing-masing dengan nilai p <0,005. (Aasia, 2015)
Di Kenya, penderita TB terdapat jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan (x2=0,963;
df=1;p<0,05). 222 (86,0%) pasien yang pendapatan nya <100$ dan 90 (34,9%) pendapatan <50$ perbulan
(p<0,05, 95%CI). 1073 pasien (67,1%) tidak bekerja/pengusaha kecil, hanya 85 (32,9%) yang bekerja sebagai
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

pegawai tetap, 166 (64,3%) pasien bertempat tinggal di 1 kamar dengan 110 (42,6%) tinggal dengan lebih dari 2
orang pada 1 kamar. Hanya 73 (28,3%) yang tinggal sendiri pada 1 kamar dan hanya 7 keluarga (2,7%) yang
tinggal di rumah yang memiliki ≥5 kamar. Peminum alkohol dan perokok terdapat 103 (39,5%) dan 93 (36%)
tidak. Setengah dari pasien 137 (53,3%) tidak menyelesaikan sekolah setara SMP dan hanya 16 (6,2%) yang
berpendidikan tinggi. 75 (29,2%) pasien terdapat riwayat kontak dengan penderita TB dan 54 (21%) tidak. Lebih
dari 171 pasien yang setuju melakukan pemeriksaan HIV, 46 (26,9%) diantaranya positif HIV. (Ndungu, 2013)
Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 9,6 juta kasus
TB paru di dunia dan 58% kasus terjadi di daerah Asia Tenggara dan Afrika. Tiga negara dengan insidensi
kasus terbanyak tahun 2015 yaitu India (23%), Indonesia (10%), dan China (10%). Indonesia sekarang berada
pada ranking kedua negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Di Indonesia bertambah seperempat juta kasus
baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka insidensi TB sebesar 183
per 100.000 penduduk dengan angka kematian TB sebesar 25 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2014
angka insidensi meningkat menjadi 399 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yang juga meningkat
menjadi 41 per 100.000 penduduk. (WHO, 2015).Penderita penyakit Tuberkulosis Paru di Provinsi Sumatera
Utara tahun 2010 tercatat sebanyak 15.614 orang. Dari jumlah tersebut terdapat kasus Tuberkulosis Paru
sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07% (8.145 orang). Kabupaten/kota dengan penderita
penyakit Tuberkulosis Paru terbanyak berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah kasus sebanyak
5.303 orang.Kasus Tuberkulosis Paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan
prevalensi 45,9 % per 100.000 penduduk. Dibandingkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara,
jumlah penderita Tuberkulosis Paru di Kota Medan cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah.(Price, 2005). Data Dinas
Kesehatan Kota Medan tahun 2013 menyatakan jumlah pasien TB baru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif
yang terdaftar sebesar 3.087 penderita TB. (Dinkes Medan, 2014) Berdasarkan data yang di dapat dari rekam
medis Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, bahwa angka penderita rawat inap terdiagnosa TB paru pada
tahun 2014 sebanyak 975 orang. Tahun 2015 adalah sebesar 716 orang dan pada tahun 2016 menurun menjadi
491 orang. Sedangkan penderita rawat jalan yang terdiagnosa TB paru tahun 2014 sejumlah 1035 orang, 2015
sedikit menurun menjadi 1021 orang, dan tahun 2016 sebanyak 763 orang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode Case Control, yaitu menelaah hubungan
antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. (Sastroasmoro, 2008).
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan mengumpulkan data
sekunder berupa rekam medik serta data primer dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh
pasien Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.
Sampel kasus ialah penderita yang didiagnosis Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan yang
tercatat di rekam medis sebanyak 38 responden menggunakan metode consecutive sampling. Sampel kontrol
ialah individu yang tidak menderita Tuberkulosis Paru yang disepadankan dengan kelompok kasus dimana
banyaknya sampel dua kali lebih besar dari sampel kasus yaitu sebanyak 76 responden menggunakan metode
simple random sampling.
Variabel terikatpada penelitian ini adalah tuberkulosisparu (TBParu). Dan variabel bebasnya adalah
merokok, kepadatan hunian, diabetes melitus, HIV/AIDS danriwayat kontak.Analisis bivariat dilakukan dengan
menggunakan uji chi-Square (X2) untuk mengetahui pengaruh setiap variabel bebas dengan variabel terikat.
Untuk menginterpretasikan besar hubungan dinyatakan dengan Odds Ratio (OR) dengan
menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95%.Analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda.
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

HASIL PENELITIAN
Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang
diteliti, meliputi variabel penderita Tuberkulosis Paru, riwayat kontak TB, merokok, kepadatan hunian, Diabetes
Melitus, dan HIV/AIDS.

Tabel 1 Hasil Analisis Univariat


No Variabel Jumlah(n=114) Persentase(%)
Tuberkulosis Paru
1. Penderita Tuberkulosis Paru 38 33,3
Bukan Penderita Tuberkulosis Paru 76 66,7
Riwayat Kontak TB
2. Ada Riwayat 60 52,6
TidakAda Riwayat 54 47,4
Merokok
3. Merokok 69 60,5
TidakMerokok 45 39,5
Kepadatan Hunian
4. Tidak Memenuhi Syarat (<9 m2/org) 53 46,5
Memenuhi Syarat (≥9 m2/org) 61 53,5
Diabetes Melitus
5. Menderita DM 61 53,5
Tidak Menderita DM 53 46,5
HIV/AIDS
6. HIV/AIDS 29 25,4
TidakHIV/AIDS 85 74,6

Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel terikat yaitu Tuberkulosis
Paru, dengan variabel bebas yaitu variabel penderita Tuberkulosis Paru, riwayat kontak TB, kebiasaan nerokok,
kepadatan hunian, Diabetes Melitus, dan HIV/AIDS.

Hubungan Riwayat Kontak dengan Tuberkulosis Paru


Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 60 reponden yang memiliki riwayat kontak dengan anggota
keluarga yang menderita Tuberkulosis Paru, terdapat 28 reponden (73,7%) diantaranya menderita Tuberkulosis
Paru. Sedangkan, dari 54 reponden yang tidak memiliki riwyat kontak dengan anggota keluarga yang menderita
TB, terdapat 10 (26,3%) responden diantaranya menderita Tuberkulosis Paru.Uji statistik juga menunjukkan nilai
OR (odd ratio) sebesar 2,2 artinya penderita yang memiliki riwayat anggota keluarga sakit Tuberkulosis Paru
berpeluang 2,2 kali terkena Tuberkulosis Paru. (p value 0,001; OR 2,2)
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

Tabel 2 Hubungan Riwayat Kontak TB dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun
2017
Tuberkulosis Paru Total
Riwayat Kontak P OR
Ya Tidak
TB n % value (95% CI)
n % n %
Ada 28 73,7 32 42,1 60 100
2,200
Tidak Ada 10 26,3 44 57,9 54 100 0,001
(1,250-3,873)
Total 38 100 76 100 114 100

Hubungan Merokok dengan Tuberkulosis Paru


Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 69 responden yang merokok, terdapat 29 reponden (42,0%)
menderita Tuberkulosis Paru. Kemudian dari 45 reponden yang tidak merokok, diketahui hanya 9 responden
(20,0%) diantaranya menderita Tuberkulosis Paru.
Uji statistik juga menunjukkan OR (odd ratio) sebesar 2,101, artinya respoden yang merokok
berpeluang 2,101 kali menderita Tuberkulosis Paru dibandingkan dengan yang tidak merokok.(p value
0,004;OR 2,1)

Tabel 3 Hubungan Merokok dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2017
Tuberkulosis Paru Total
P OR
Merokok Ya Tidak
n % value (95% CI)
n % n %
Merokok 29 42,0 40 58,0 69 100 2,101
Tidak Merokok 9 20,0 36 80,0 45 100 0,004 (1,101-
4,012)
Total 38 100 76 100 114 100

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tuberkulosis Paru


Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa dari 53 responden yang memiliki kepadatan hunian tidak
memenuhi syarat (<9m2/orang), terdapat 26 reponden (68,4%) diantaranya menderita Tuberkulosis Paru.
Sedangkan, dari 61 reponden yang memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat (≥9m2/orang), terdapat 12
responden (31,6%) diantaranya menderita Tuberkulosis Paru.
Uji statistik juga menunjukkan OR (odd ratio) sebesar 2,042 artinya respoden yang memiliki kepadatan
hunian tidak memenuhi syarat (<9m2/orang) peluang 2 kali terkena Tuberkulosis Paru dibandingkan dengan
responden yang memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat (≥9 m2). (p value 0,001; OR 2)

Tabel 4 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun
2017
Tuberkulosis Paru Total
P OR
Kepadatan Hunian Ya Tidak
n % value (95% CI)
n % n %
Tidak Memenuhi Syarat 26 68,4 27 35,5 53 100 2,042
Memenuhi Syarat 12 31,6 49 64.5 61 100 0,001 (1,242-
Total 38 100 76 100 114 100 3,356)
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

Hubungan Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru


Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 61 responden yang menderita Diabetes Melitus, terdapat 27
reponden (71,1%) yang juga menderita Tuberkulosis Paru. Kemudian dari 53 reponden yang tidak menderita
Diabetes Melitus, diketahui 11 responden (28,9%) diantaranya menderita Tuberkulosis Paru. Uji statistik juga
menunjukkan OR (odd ratio) sebesar 3,133, artinya respoden yang menderita Diabetes Melitus berpeluang
3,133 kali terkena Tuberkulosis Paru. (p value 0,015 ; OR 3,1)

Tabel 5Hubungan Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun
2017
Tuberkulosis Paru Total
P OR
Diabetes Melitus Ya Tidak
n % value (95% CI)
n % n %
DM 27 71,1 34 44,7 61 100
3,133
Tidak DM 11 28,9 42 55,3 53 100 0,015
(1,174-4,873)
Total 38 100 76 100 114 100

Hubungan HIV/AIDS dengan Tuberkulosis Paru


Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa dari 29 responden yang menderita HIV/AIDS, terdapat 15
reponden (39,5%) yang juga menderita Tuberkulosis Paru. Kemudian dari 85 reponden yang tidak menderita
HIV/AIDS, diketahui 23 responden (60,5%) diantaranya menderita Tuberkulosis Paru.Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p value sebesar 0,015, artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat hubungan yang
bermakna antara HIV/AIDS dengan Tuberkulosis Paru. Uji statistik juga menunjukkan OR (odd ratio) sebesar
2,548, artinya respoden yang menderita HIV/AIDS berpeluang 2,548 kali terkena Tuberkulosis Paru.(p value
0,015; OR 2,548)

Tabel 6 Hubungan HIV/AIDS dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2017
Tuberkulosis Paru Total
P OR
HIV/AIDS Ya Tidak
n % value (95% CI)
n % n %
HIV/AIDS 15 39,5 14 18,4 29 100
2,548
Tidak HIV/AIDS 23 60,5 62 81,6 85 100 0,015
(1,021-2,780)
Total 38 100 76 100 114 100

Hasil Analisis Multivariat


Analisis regresi logistikyang dilakukan dalam penelitian ini untuk mencari hubungan antara riwayat
kontak Tuberkulosis Paru, riwayat merokok, riwayat Diabetes Melitus, kepadatan hunian dan riwayat HIV/AIDS
dengan Tuberkulosis Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 2017. Berdasarkan hasil analisis multivariat regresi
logistik ganda diperoleh variabel yang paling berpengaruh signifikan terhadap Tuberkulosis Paru adalah variabel
riwayat kontak TB dengan nilai koefisien B= 1,430 dengan Sig= 0,003 dan Exp(B)= 4,012.
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

Tabel 7 Analisa Multivariat Regresi Logistik


Variabel B Df Sig Exp (B) 95% CI
Riwayat Kontak TB 1,430 1 0,003 4,177 1,620 - 10,769
Merokok 1,257 1 0,015 2,450 1,101 - 4,012
Kepadatan Hunian 1,278 1 0,014 3,590 1,389- 9,277
Diabetes Melitus 1,188 1 0,008 3,281 1,276 - 8,436
HIV/AIDS 1,353 1 0,011 3,870 1,388 - 10,789

PEMBAHASAN
Riwayat Kontak Terhadap Tuberkulosis Paru
Hasil penelitian dengan penelitian Zuriya yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara kontak
serumah dengan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pamulang. (p value 0,034; OR 3,5). (Zuriya, 2016). Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Aasia, et al di Pakistan dalam jurnal Environmental Risk
Factors and Social Determinants of Pulmonary Tuberculosis in Pakistan yang menyebutkan bahwa pasien
dengan keluarga yang mempunyai riwayat TB Paru memiliki risiko 3,16 kali terkena TB Paru dibandingkan orang
yang tidak mempunyai riwayat TB Paru. (Aasia, 2015).Keberadaan kontak serumah berperan penting dalam
proses penularan kepada anggota keluarga yang lain. Hal tersebut diasumsikan karena penderita TB Paru lebih
lama dan sering melakukan kontak kepada anggota keluarga sehingga potensi penularan penyakit TB Paru
semakin meningkat. (Zuriya,2016).Responden pada penelitian ini adalah usia produktif, sehingga penyakit TB
Paru dapat mengurangi produktivitas seseorang dalam melakukan perkerjaan atau kegiatan lain. Selain kondisi
fisik yang sedang sakit, penderita TB Paru juga khawatir dapat menularkannya ke orang lain sehingga sebagian
penderita TB Paru lebih memilih untuk berhenti atau sementara tidak bekerja. Dengan demikian, penderita TB
Paru lebih sering berada dirumah dan berinteraksi dengan anggota keluarga lain yang juga berada dirumah.
Hasil penelitian Rosmaniar mengemukakan bahwa lama kontak >3 bulan dengan penderita TB paru dapat
meningkatkan Tuberkulosis Paru dalam masyarakat. (Rosmaniar, 2009).
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Rohayuyaitu besar risiko riwayat kontak responden terhadap
Tuberkulosis Paru BTA Positif, diperolehOR sebesar 5 setelah mengontrol tempat tinggal. Artinya responden
yang memiliki riwayat kontak risiko tinggi mempunyai risiko menderita TB Paru BTA Postif 5 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang memiliki riwayat kontak risiko rendah. (Rohayu, 2016)

Merokok Terhadap Tuberkulosis Paru


Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi reponden TB Paru yang merokok lebih
banyak dibandingkan dengan yang tidak merokok. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebagian
responden mulai mengonsumsi rokok sejak usia remaja dan mengaku sudah lama mengonsumsi rokok, hanya
ketika sudah terdiagnosis respoden mulai mengurangi asupan rokoknya.
Sesuai dengan data pada jurnal epidemiologi di Pakistan tahun 2015 yang diterbitkan oleh Omics
Publishing Group, yang menyebutkan bahwa merokok memiliki risiko 1,21 kali terkena TB Paru dibandingkan
orang yang tidak merokok. (Aasia, 2015). Sarwani juga menjabarkan bahwa orang yang merokok mempunyai
risiko 3,8 kali lebih besar untuk menderita TB Paru di bandingkan yang tidak merokok. (Sarwani, 2012)
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Zuriya di Puskesmas Pamulang yang menyebutkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan Tuberkulosis Paru (p value 1,000). (Zuriya, 2016)
Hasil penelitian Sejati dan Sofiana di Kabupaten Sleman juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan merokok dengan Tuberkulosis Paru (p value 1,000). (Sejati 2015). Muaz di Kota Serang juga
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan TB Paru BTA (+) (p value
0,160). (Muaz, 2014).

Kepadatan Hunian Terhadap Tuberkulosis Paru


Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis.
Kuman tuberkulosis dapat hidup dalam 1-2 jam sampai beberapa hari tergantung dari ada tidaknya
sinarmatahari, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan hunian rumah. (Dotulong, 2015)
Kepadatan hunian merupakan hasil bagi antara luas ruangan dengan jumlah penghuni dalam satu rumah.
Luas rumah yang tidak sebanding dengan penghuninya akan mengakibatkan tingginya kepadatan hunian
rumah. (Dotulong, 2015)
Menurut Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002, kebutuhan
ruang per orang adalah 9 m2.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang memiliki
kepadatan hunian memenuhi syarat jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penderita TB paru yang tidak
memenuhi syarat. Serta diketahui bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan Tuberkulosis
Paru di RSU Dr. Pirngadi Medan (p value 0,001; OR 2,042).
Hal ini sejalan dengan jurnal epidemiologi oleh Aasia, et al di Pakistan yang menyebutkan bahwa
kepadatan hunian memiliki risiko 4,6 kali terkena TB Paru. (Aasia, 2015). Kepadatan penghuni merupakan salah
satu faktor risiko TB. Dimana semakin padat rumah maka perpindahan kuman penyebab penyakit TB akan
semakin mudah, apabila terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif yang batuk. Bakteri
mycobacterium Tuberkulosis akan menetap di udara selama kurang lebih 2jam sehingga memiliki kemungkinan
untuk menularkan penyakit pada anggota yang belum terpajan bakteri M.Tuberkulosis.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan Wori, tentang
hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian Tuberkulosis dapat dilihat rumah responden yang memiliki
kepadatan hunian yang buruk memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit TB paru. (Dotulong, 2015)
Namun berbeda dengan penelitian Zuriya, didapat bahwa kepadatan hunian tidak memiliki hubungan
yang bermakna terhadap Tuberkulosis Paru. (p value 1.000). (Zuriya, 2016) Muazjuga mengatakan hal yang
sama yaitu tidak terdapat hubungan kepadatan hunian dengan TB Paru BTA (+) di Kota Serang, Banten (p value
0,319). (Muaz, 2014). Sejati dan Sofiana mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian tuberkulosis (p value 0,422). (Sejati, 2015)

Diabetes Melitus Terhadap Tuberkulosis Paru


Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Aasia di Pakistanyang menyebutkan bahwa
penderita Diabetes memiliki risiko 3,67 kali terkena TB Paru dibandingkan yang tidak menderita Diabetes di
Negara Pakistan. (p<0,001; OR3,67) (Aasia, 2015).
Pada jurnal Pulmonary Medicine oleh Narasimhar mengungkapkan bahwa pasien yang menderita
diabetes akan meningkatkan resiko terjadinya tuberkulosis paru 3 kali lipat dibandingkan dengan pasien yang
tidak menderita diabetes. (Narasimhar, 2013).
Jurnal penelitian dari Susilawati dkk dengan menggunakan data sekunder dari data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia juga menyebutkan bahwa jika terdiagnosis intoleransi glukosa
berpeluang mengalami TB paru sebesar 42% atau odds 1,4 kali dibandingkan responden yang glukosa
darahnya normal (p<0,05; OR 1,36; 95% CI 1,06-1,61).(Susilawati, 2016) Diperkirakan adanya defisiensi insulin
yang mengakibatkanaktivitas bakterisidal leukosit dan limfositberkurang pada penderita yang memiliki
kontrolgula yang buruk.

HIV/AIDS Terhadap Tuberkulosis Paru


Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang tidak menderita HIV/AIDS
lebih banyak dibandingkan dengan penderita TB paru yang memiliki menderita HIV/AIDS. Berdasarkan tabel 4.6
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

diketahui bahwa dari 29 responden yang menderita HIV/AIDS, terdapat 15 reponden (39,5%) yang menderita TB
Paru. Kemudian dari 85 reponden yang tidak menderita HIV/AIDS, diketahui 23 responden (60,5%) diantaranya
menderita TB Paru.
Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value sebesar 0,015, artinya pada tingkat kemaknaan 5% terdapat
hubungan yang bermakna antara penderita HIV/AIDS dengan Tuberkulosis Paru. Uji statistik juga menunjukkan
OR (odd ratio) sebesar 2,548 artinya respoden yang menderita HIV/AIDS berpeluang 2,548 kali terkena TB
Paru.
Pada jurnal Advances in Microbiology oleh Ndungu mengatakan bahwa lebih dari 171 pasien di Nairobi,
Kenya yang setuju melakukan pemeriksaan HIV, 46 (26,9%) diantaranya positif HIV dan 20 dari 46 menderita
TB Paru. (Ndungu, 2013).
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah, diantaranya infeksi HIV. Infeksi HIV menyebabkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,
sehingga bila terjadi infeksi penyerta (oportunitis), seperti tuberkulosis maka yang akan menjadi sakit parah
bahkan bisa menyebabkan kematian. (Muaz, 2014)
Kurang pedulinya masyarakat akan pentingnya screening HIV/AIDS menyebabkan pasien TB Paru yang
memiliki riwayat menderita HIV/AIDS masih minim untuk menjadi reponden penelitian. Hal ini dikaitkan dengan
sosial dan budaya di Indonesia sendiri yang masih menganggap bahwa HIV merupakan aib yang sulit untuk
diterima dikalangan masyarakat. Sehingga, banyak penderita HIV yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya
dirinya menderita HIV.

KESIMPULAN
Semua variabel penelitian memiliki hubungan terhadap Tuberkulosis Paru, diantaranya adalah riwayat
kontak TB (pvalue 0,001; OR 2,2), merokok (pvalue 0,004; OR 2,1), kepadatan hunian (pvalue 0,001; OR 2),
Diabetes Melitus (pvalue 0,015; OR 3,1), dan HIV/AIDS (pvalue 0,015; OR 2,548). Dari ke lima faktor yang
berpengaruh tersebut, terdapat satu faktor yang paling berpengaruh terhadap tuberkulosis paru di RSU Dr.
Pirngadi Medan tahun 2017yaitu riwayat kontak TB dengan EXP(B) 4,1.

SARAN
1. Meningkatkan kewaspadaan apabila mempunyai gejala Tuberkulosis Paru atau memiliki anggota keluarga
yang menderita Tuberkulosis Paru dengan melakukan pemeriksaan dahak di pelayanan kesehatan
terdekat agar mencegah penularan kuman Tuberkulosis.
2. Merubah kebiasaan merokok dengan cara mengurangi konsumsi rokok atau berhenti total sedini mungkin
agar faktor risiko Tuberkulosis Paru dapat dicegah.
3. Sadar bahwa luas yang memenuhi syarat (>9 m2) dapat mengurangi risiko Tuberkulosis Paru sehingga
masyarakat lebih memperhatikan untuk membangun hunian agar terhindar dari Tuberkulosis Paru.
4. Bagi penderita Diabetes Melitus agar melakukan perubahan pola makan dan meninum obat antidiabetes
secara rutin serta mengontrol Kadar Gula Darah (KGD) setiap sebulan sekali untuk menghindari terjadinya
Tuberkulosis Paru.
5. Sadar akan bahaya HIV/AIDS sehingga dapat segera melakukan screening awal untuk pencegahan
penyakit komorbit seperti Tuberkulosis Paru ataupun untuk pengobatan awal bagi yang sudah terdiagnosa.

DAFTAR PUSTAKA
Aasia, Khaliq. Khan IH. Akhtar. Chaudhry MN. 2016. Enviromental Risk Factor and Social Determinants of
Pulmonary Tuberculosis in Pakistan. Epidemiology Journal, Volume 5 Issue 3 ;201. Pakistan: Omics
Publishing Group. ISSN:2161-1165 ECR
DinasKesehatan Kota Medan. 2014.RekapitulasiPenderita TB di Kota Medan tahun 2013. Medan.
JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 2 No. 1 Februari 2018

Dotulong, Jendra. 2015. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian
Penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik: Volume III
Nomor 2.
Muaz, Faris. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam Positif di
Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Muchrizal. 2013. Gambaran Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) dan Foto Roentgen Pada Penderita
Tuberkulosis Paru Di RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Medan: Universitas Islam Sumatera Utara.
Narasimhar, Padmanesan. James Wood et al. 2014. Review Article; Risk factors for Tubeculosis. Sydney :
Pulmonary Medicine Journal Volume 2013 Article ID 828939 11 pages. Australia: Hindawi Publishing
Corporation. (http://dx.doi.org/10.1155/2013/828939)
Ndungu, Perpetual Wangui et al. 2013. Risk Factors in the Transmission of Tuberculosis in Nairobi: A Descriptive
Epidemiological Study. Scientific Research. Advances in Microbiology, 2013, 3, 160-165. Kenya:
Scientific Research. (http:/www.scirp.org/journal/aim)

Price SA, Standridge MP, Wilson LM.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta:
EGC, vol. 2; 852-864.
Rohayu, Nurliza. 2016. Analisis Faktor Risiko Kejadian TB Paru Positif Pada Masyarakat Pesisir di Wilayah Kerja
Puskesmas Kadatua Kabupaten Buton Selatan Tahun 2016. Kendari; Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Halu Oleo.
Rosmaniar. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Puskesmas
Kecamatan Bekasi Utara Tahun 2009. Jakarta: Perpustakaan Universitas Respati Indonesia.
Sarwani, Dwi.Sri Nurlaela. 2012. Merokok dan Tuberculosis Paru. Purwokerto
Sastroasmoro, S.Sofyan Ismael. 2008. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed. 3. Jakarta: Sagung Seto.
Sejati, Ardhitya. Liena Sofiana. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Semarang: Jurnal Kesehatan
Masyarakat UNNES.
Susilawati, Made Dewi. Sri Muljati. 2016. Hubungan Antara Intoleransi Glukosa Dan Diabetes Melitus Dengan
Riwayat Tuberkulosis Paru Dewasa Di Indonesia. Dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Media
Litbangkes, Vol 26 No 2, Juni 2016 Hal 71-76. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes RI.
WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 2015. Jenewa: World Health Organization .
Zuriya, Yufa. 2016. Hubungan Antara Faktor Host dan Lingkungan Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016. Jakarta: Universias Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

You might also like