Serangan Hama Dan Tingkat Kerusakannya Pada Semai Dari 7 POPULASI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) DI INDONESIA

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

SERANGAN HAMA DAN TINGKAT KERUSAKANNYA PADA SEMAI DARI 7

POPULASI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) DI INDONESIA


Pest Attacks and Seedling Damage Level of Nyamplung (Calophyllum inophyllum)
from 7 Population in Indonesia

Eritrina Windyarini
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
email: e_windyarini@yahoo.com

ABSTRACT
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) is one of species which is potential as a biofuel.
Therefore the development of this species is important. The presence of pest in the nursery
is one of the obstacle in order to maintain seedlings quality of Nyamplung. This study
aimed to determine the type and the level of damage pests of seedling leaves Nyamplung
of 7 populations. The experiment was conducted using a completely randomized design
(CRD ) consist of 7 population with 30 samples of each population. A hundred percent of
census were conducted to observe the incidence of attacks (K), the level of leaf damage (I),
height, diameter, and the sturdiness ratio of the seedlings. The number of sampling were 30
seedlings of each population. Result showed that Nyamplung aphid pests attack seedlings of
7 populations in Indonesia.The percentage incidence of pests and leaf damage levels were
not significantly different between population. The mean percentage of incidence was 56.67%
(moderate ) and the rate of leaf damage was very light. Aphid attack Nyamplung seedling in
the nursery continuously. Negative correlation were found between leaf damage and height,
diameter , and sturdiness ratio of seedlings.

Keywords : Nyamplung, pest, damage

ABSTRAK

Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang
berpotensi sebagai biofuel. Salah satu kendala dalam pemenuhan kebutuhan akan bibit
Nyamplung berkualitas adalah adanya serangan hama yang menyebabkan kerusakan bibit di
persemaian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama dan tingkat kerusakan daun
pada semai Nyamplung dari 7 populasi di Indonesia sebagai informasi dasar bagi pengelolaan
hama Nyamplung di persemaian. Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAK) terdiri dari 7 populasi, dengan 30 sampel masing-masing populasi. Kejadian
serangan (K), tingkat kerusakan daun (I), tinggi, diameter, dan kekokohan semai menjadi
karakter-karakter yang diamati dengan pengamatan sensus 100%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hama aphid menyerang semai nyamplung dari 7 populasi di Indonesia. Tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara persentase kejadian hama dan tingkat kerusakan daun. Rerata
persentase kejadian adalah 56,67% (sedang) dan tingkat kerusakan daun sangat ringan sampai
dengan ringan. Aphid menyerang semai Nyamplung secara kontinyu di persemaian. Skor
kerusakan daun berkorelasi negatif dengan tinggi, diameter, dan kekokohan semai.

Kata kunci : nyamplung, hama, kerusakan

30
Serangan Hama dan Tingkat Kerusakannya pada Semai dari 7 Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia
Eritrina Windyarini

I. PENDAHULUAN
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan
yang berpotensi sebagai biofuel (Soeryawidjaja, 2005). Terjadinya krisis energi dunia menjadi
titik dimulainya pengembangan jenis ini secara serius di Indonesia. Kelebihan Nyamplung
diantara sumber bahan baku biofuel lainnya adalah tidak berkompetisi dengan pangan,
merupakan pohon serbaguna, dan dapat digunakan dalam rehabilitasi pantai. (Kuswantoro
dkk, 2010). Leksono dkk (2013) menyebutkan bahwa rendemen minyak mentah nyamplung
yang diperoleh dengan alat press mekanik berkisar antara 37,02% – 48,57%, lebih tinggi
dibandingkan dibandingkan dengan rendemen minyak mentah dari biji jarak pagar (25 –
40%), kepuh (25 – 40%) dan Kesambi (27%).
Saat ini pengembangan Nyamplung sedang dilakukan oleh hampir semua pihak
(pemerintah/swasta/masyarakat/LSM) meliputi aspek budidaya, pengolahan, maupun level
kebijakannya. Meskipun sebaran alami Nyamplung di Indonesia cukup luas, namun tidak dapat
dijadikan sebagai satu-satunya sumber bahan baku. Hal ini disebabkan adanya keragaman
potensi dari masing-masing populasi tersebut. Dengan demikian pengembangan penanaman
Nyamplung juga sangat diperlukan, terutama dari populasi-populasi yang telah diketahui
potensinya. Kondisi ini berimplikasi pada kebutuhan bibit Nyamplung berkualitas yang terus
meningkat.
Salah satu kendala dalam pemenuhan kebutuhan akan bibit Nyamplung berkualitas
adalah adanya serangan hama yang menyebabkan kerusakan bibit di persemaian. Fase semai
merupakan periode yang lebih rentan terhadap serangan hama. Jaringan tanaman yang masih
muda dan kecenderungan jenis yang monokultur di persemaian semakin meningkatkan resiko
terjadinya serangan hama. Pengelolaan hama dan penyakit telah menjadi salah satu aspek
penting dalam silvikultur intensif. Ketersediaan informasi jenis hama dan tingkat kerusakan
yang ditimbulkannya sangat dibutuhkan untuk memudahkan pengelola menentukan tindakan
silvikultur yang diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama dan tingkat
kerusakan daun pada semai Nyamplung dari 7 populasi di Indonesia. Hal ini diperlukan
sebagai informasi dasar bagi pengelolaan hama Nyamplung di persemaian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan, Yogyakarta. Secara geografis lokasi penelitian berada pada 7040’35” dan
110023’23”BT, dan secara administratif berada di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman, Provinsi DIY. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 287 mdpl, curah

31
Wana Benih
Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 30-40

hujan rata-rata 1.878 mm/tahun, suhu rata-rata 270C dan kelembaban relatif 73% (Mashudi,
2009). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah semai Nyamplung umur dari 7 Pulau Indonesia (Tabel 1)
dengan media semai (topsoil dan kompos dengan perbandingan 1:1) dan pita label. Sedangkan
alat yang digunakan adalah penggaris, handcounter, kaliper digital, label, alat tulis dan kamera.

Tabel 1. Informasi Asal Populasi pada Uji Provenan Nyamplung dari 8 Pulau di Indonesia

Tinggi Curah
Tekstur Suhu
No Populasi Pulau Tipe Hutan (m Hujan
Tanah (°C)
dpl) (mm/th)
1 Sumenep, Madura, Madura Hutan alam, 0 Pasir 23-32 2.000
Jawa Timur sepanjang pantai
2 Selayar, Sulawesi Sulawesi Hutan alam, 0-15 Pasir 25-30 2.000
Selatan sepanjang pantai
3 Pariaman, Padang, Sumatera Hutan alam, 2-3 Pasir 26-29 900
Sumatra Barat sepanjang pantai
4 Ketapang, Kalimantan Hutan alam, 0 Pasir 20-32 500
Kalimantan Barat sepanjang pantai
5 Dompu, Sumbawa, Sumbawa Hutan alam, 9-35 Lempung 21-34 1.700
NTB perbukitan
6 Yapen, Papua Papua Hutan alam, 0 Pasir 24-30 1.500
sepanjang pantai
7 Bali Timur, Bali Bali Kawasan karst, 10-355 Regosol 28-30 1.152,5
batu gamping
(Sumber: Leksono dkk (2013), Handoko dkk (2013))

C. Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAK) terdiri dari 7


populasi dengan 30 semai masing-masing populasi, sehingga total ada 210 semai. Parameter
pengamatan adalah kejadian serangan (K), tingkat kerusakan daun (I), tinggi, diameter, dan
kekokohan semai. Pengamatan dilakukan secara sensus 100%.
Kekokohan semai diperoleh dengan membandingkan tinggi dan diameter (Mexal dan
Landis, 1990). Kejadian serangan hama dihitung dengan menggunakan rumus oleh Tulung
dalam Pribadi (2010):

32
Serangan Hama dan Tingkat Kerusakannya pada Semai dari 7 Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia
Eritrina Windyarini

K= n x 100
N

Keterangan :
K : Kejadian serangan oleh hama tertentu
n : Jumlah tanaman yang terserang oleh hama tertentu
N : Jumlah seluruh tanaman dalam satu plot
Sedangkan tingkat kerusakan daun akibat serangan hama ditentukan dengan rumus
Kilmaskossu dalam Pribadi (2010):

I= Ni.Vi X 100%
N.V

Keterangan :
I : Tingkat kerusakan per tanaman
Ni : Jumlah tanaman dengan skor ke-i
Vi : Nilai skor serangan
N : Jumlah tanaman yang diamati
V : Skor tertinggi

Tingkat skor yang digunakan adalah :


0 : Sehat
1 : Sangat ringan (1-20%)
2 : Ringan (21-40%)
3 : Sedang (41-60%)
4 : Berat (61-80%)
5 : Sangat berat (81-100%)

Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif (untuk kejadian dan
tingkat kerusakan daun).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hama dan Kerusakannya


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hama yang paling dominan menyebabkan
kerusakan semai Nyamplung di persemaian adalah aphid. Aphid menyerang tanaman pada

33
Wana Benih
Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 30-40

stadium larva dengan menghisap cairan tanaman. Gejala serangan awal berupa daun yang
mulai menggulung ke bawah bagian tepinya, biasanya dimulai dari daun yang paling pucuk
(muda) (Gambar 1a). Perkembangan kerusakan berikutnya bagian daun yang menggulung
semakin banyak, dari tepi ke arah tengah helaian daun (Gambar 1b). Pada tahap ini jika
kita mengamati bagian bawah daun akan terlihat adanya gumpalan seperti gulungan benang
berwarna putih, sedikit transparan, dan lengket. Ini merupakan tanda bahwa aphid sudah
mengeluarkan embun madu (Gambar 1c). Embun madu ini merupakan sumber makanan bagi
semut, sehingga sering ditemukan adanya semut diantara aphid, yang saling bersimbiosis
mutualisme (Kilpelainen dkk, 2009). Embun madu juga dapat mengakibatkan munculnya
jamur embun jelaga pada daun (Gomez dkk, 2006). Bahkan beberapa akan menyebabkan
helaian daun mengering dan berwarna coklat karena cairan nutrisi yang sudah dihisap oleh
hama (Gambar 1d).
Gejala serangan lanjut adalah daun akan gugur (terdefoliasi), pucuk tunas mengeriting,
dan terlihat banyak hama dewasa yang mampu terbang (bersayap) dan bertelur (Gambar 1e).
Pucuk/tunas yang terdefoliasi biasanya akan tumbuh tunas-tunas baru lagi. Namun demikian
tunas yang baru pun biasanya langsung terserang oleh aphid, karena sudah banyak telur-telur
yang diletakkan oleh aphid dewasa sebelumnya. Sehingga munculnya tunas baru menjadi
sumber makanan baru bagi hama ini. Pada serangan yang sangat berat, defoliasi daun akan
meluas dan bagian pucuknya mengering (Gambar 1f).

a b
c

f e d

Gambar 1. Gejala dan tanda kerusakan akibat aphid pada semai nyamplung

34
Serangan Hama dan Tingkat Kerusakannya pada Semai dari 7 Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia
Eritrina Windyarini

Aphid merupakan jenis serangga yang paling banyak menjadi hama tanaman. Hama ini
termasuk jenis pencucuk penghisap yang mengambil cairan tanaman sebagai makanannya.
Selain itu aphid juga menjadi vektor utama virus dan patogen tanaman. Siklus hidup yang
pendek dan daya reproduksi yang tinggi menjadi tantangan utama pengelolaan aphid
(Dogimont dkk, 2010).
Anonimous (2010) menyebutkan bahwa reproduksi aphid terbagi dalam 2 fase: yaitu
fase seksual melalui perkawinan dan fase aseksual melalui partenogensis. Dalam kondisi
dingin umumnya aphid dewasa berkembang biak secara partenogenesis. Aphid betina mampu
menghasilkan ribuan aphid baru hanya dalam waktu 4-6 minggu. Nimfa yang dihasilkan akan
melewati 4 fase sebelum menjadi serangga dewasa dalam kurun waktu 8-10 minggu. Serangga
dewasa bereproduksi lagi 2-3 hari kemudian. Siklus hidup aphid disajikan dalam Gambar 2.

Fase seksual Fase aseksual

Telur berwarna Telur menetas Setelah dewasa ia tidak


hitam diletakkan di menjadi larva yang bertelur, tapi melahirkan
semak atau cabang segera menghisap larva betina yang mampu
yang lunak cairan dari tunas berpartenogenesis

Larva hasil
Jantan dan betina partenogenesis menjadi
hasil partenogenesis betina bersayap yang
kawin dan bertelur mampu berpindah
tanaman sehingga
kerusakan meluas. Ia
melahirkan jantan dan
betina secara
partenogenesis

Gambar 2. Siklus hidup aphid (Sumber: InfoKit Trubus, 2010)

Siklus hidup aphid yang demikian menyebabkan pada satu waktu seringkali ditemukan
aphid pada berbagai fase di persemaian Nyamplung. Namun biasanya serangan aphid akan

35
Wana Benih
Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 30-40

dimulai ketika banyak tunas-tunas muda bermunculan, terutama pada akhir musim hujan
(atau awal musim kemarau). Tunas muda dan jaringan semai Nyamplung yang masih lunak
menjadi daya tarik utama bagi aphid. Kondisi ini seperti yang diungkapkan oleh Anonimous
(2010) bahwa di dataran rendah dan daerah tropis aphid berkembang sangat pesat, terutama
pada saat awal musim kemarau.

B. Kejadian Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun


Hasil pengamatan kuantitatif terhadap 7 populasi Nyamplung di persemaian
menunjukkan bahwa semua populasi terserang oleh aphid dengan persentase kejadian dan
tingkat kerusakan daun yang berbeda.

Gambar 3. Persentase Kejadian Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun pada 7 Populasi
Nyamplung di Indonesia

Gambar 3 memperlihatkan bahwa persentase kejadian serangan aphid berkisar antara


67,92% (Bali) hingga 82,6% (Padang), dengan rata-rata sebesar 73%. Persentase kejadian
serangan yang hampir merata pada semua populasi (lebar kisaran 14,83) menggambarkan
bahwa tidak ada populasi yang tahan terhadap serangan aphid. Kejadian serangan ini lebih
tinggi dibanding yang terjadi pada populasi Gunung Kidul di tahun 2011 sebesar 25,11%
(Windyarini dan Ismail, 2012). Kondisi ini menandakan bahwa aphid merupakan hama
yang secara kontinue ada di persemaian Nyamplung. Perlu diketahui bahwa bedeng semai
Nyamplung bersebelahan dengan Shorea leprosula di persemaian, namun ternyata tidak
satupun Shorea leprosula yang terserang oleh aphid. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis
Shorea leprosula bukan termasuk inang dari aphid, meskipun aphid termasuk hama yang
polyphagus (memiliki banyak inang).

36
Serangan Hama dan Tingkat Kerusakannya pada Semai dari 7 Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia
Eritrina Windyarini

Tingkat kerusakan daun menjadi parameter yang diukur karena bagian inilah yang
diserang pertama oleh aphid sehingga dapat menjadi indikator kerusakan. Tingkat kerusakan
daun juga bervariasi antar populasi, dengan kisaran 49,17% (Selayar) sampai dengan
66,67% (Ketapang dan Padang), dengan rata-rata 56,67%. Angka ini hanya sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat kerusakan daun Nyamplung asal populasi Cilacap akibat
serangan ulat kantong yang mencapai 55,96% di persemaian BPK Palembang (Asmaliyah
dan Junaedah, 2012).
Perbandingan skor kerusakan daun dengan parameter pertumbuhan (tinggi/diameter/
kekokohan semai) dari semua populasi disajikan pada Tabel 2. Sedangkan nilai korelasi antara
skor kerusakan daun dengan parameter pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Rerata Skor Kerusakan Daun, Tinggi, Diameter, dan Kekokohan Semai dari 7
Populasi Nyamplung di Indonesia
Rerata
Populasi Skor
Tinggi Diameter Kekokohan
Kerusakan
(cm) (mm) Semai
Daun
Sumenep, Madura, Jawa Timur 2,03 44,96 6,41 7,08
Selayar, Sulawesi Selatan 1.97 36,12 6,06 5,97
Pariaman, Padang, Sumatra Barat 2,47 48,18 6,54 7,35
Ketapang, Kalimantan Barat 2,00 54,65 6,88 7,88
Dompu, Sumbawa, NTB 2,07 42,92 6,52 6,72
Yapen, Papua 2,00 52,67 6,90 7,61
Bali Timur, Bali 2,00 49,10 7,19 6,83

Tabel 3. Korelasi antara Skor Kerusakan Daun, Tinggi, Diameter, dan Kekokohan Semai

Nilai Korelasi
Karakter
Tinggi (cm) Diameter (mm) Kekokohan Semai
Skor Kerusakan Daun -0,17 -0,12 -0,10

Rerata skor kerusakan daun antar populasi tidak berbeda nyata, hanya berkisar antara
1,97 (Selayar) hingga 2,47 (Padang) atau tergolong sangat ringan – ringan. Demikian pula
dengan tinggi, diameter, dan kekokohan semai yang tidak berbeda nyata antar populasi. Kriteria
semai nyamplung siap tanam biasanya mencapai tinggi > 30cm, dengan nilai kekokohan
semai berkisar 5,83 – 6,54 pada populasi Jawa (Hasna dan Leksono, 2012). Sehingga jika
dilihat dari parameter pertumbuhannya, maka semai-semai Nyamplung tersebut sudah cukup
tua dan sangat siap tanam.

37
Wana Benih
Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 30-40

Penghitungan terhadap nilai korelasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana


hubungan antara dua atau lebih parameter yang diukur. Dari tabel 3 diketahui bahwa nilai
korelasi antara skor kerusakan daun dengan parameter pertumbuhan sangat kecil, hanya
berkisar antara -0,17 hingga -0,10. Meskipun demikian, yang menarik dari nilai korelasi ini
adalah adanya tanda negatif pada semua parameter pertumbuhan. Hal ini berarti bahwa skor
kerusakan daun berkorelasi negatif atau berbanding terbalik dengan tinggi, diameter, dan
kekokohan semai.
Kondisi ini seperti yang diungkapkan oleh Kilpelainen dkk (2009) bahwa karbohidrat
yang hilang oleh aphid dari floem tanaman dapat menurunkan pertumbuhan tanaman. Hal
tersebut juga ditemukan pada daun tanaman kapas yang terinfestasi oleh 400-500 aphid
akan mengurangi fotosintesis sebesar 6,4% daripada daun yang sehat. Fotosintesis rata-rata
daun kapas juga akan berkurang secara proporsional dengan jumlah kutu dan lama periode
infestasinya (Godfrey dkk., 1997, Shannag dkk., 1998 dalam Gomez dkk., 2006).
Hal yang harus menjadi catatan penting bagi pengelola persemaian Nyamplung
adalah bahwa (i) semua populasi yang diamati tidak tahan terhadap serangan aphid, (ii)
aphid menyerang secara kontinyu di persemaian, dan (iii) meskipun tingkat kerusakan daun
yang ditimbulkan tergolong sedang, namun karena yang diserang adalah fase semai, maka
kerusakan daun akan mempengaruhi pertumbuhan. Informasi tersebut menjadi dasar bagi
pengelola untuk melakukan pengendalian terpadu.

IV. KESIMPULAN
1. Aphid menyerang semai nyamplung dari 7 populasi di Indonesia dengan persentase
kejadian hama dan tingkat kerusakan daun yang tidak berbeda nyata. Rerata persentase
kejadian adalah 56,67% (sedang) dan tingkat kerusakan daun sangat ringan – ringan.
2. Aphid menyerang semai Nyamplung secara kontinyu di persemaian.
3. Skor kerusakan daun berkorelasi negatif dengan tinggi, diameter, dan kekokohan semai.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Budi Leksono, MP dan Tri Maria
Hasna, S.Hut atas segala saran dan bantuannya dalam penyusunan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2010. Hama dan Penyakit Tanaman : Deteksi Dini dan Penanggulangannya.
InfoKit Trubus Vol 9: 165-167.
Dogimont, C., Bendahmane, A., Chovelon, V., dan Boissot, N. 2010. Host Plant Resistance to
Aphids in Cultivated Crops: Genetic and Molecular Bases and Interactions with Aphid
Populations. Comptes Rendus Biologies 333: 566-573.

38
Serangan Hama dan Tingkat Kerusakannya pada Semai dari 7 Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia
Eritrina Windyarini

Gomez, S.Karen, Oosterhuis, Derrick M., Hendrix, Donald L., Johnson, Donald R., dan
Steinkrause, Donald C. 2006. Diurnal Pattern of Aphid Feeding and Its Effect on Cotton
Leaf Physiology. Environmental and Experimental Botany 55: 77-86.
Handoko, C., Wahyuni, R., Agustarini, R., Krisnawati dan Anggadhania, L. 2013. Pengaruh
Variabel-Variabel Lingkungan Terhadap Periode Pembungaan dan Pembuahan
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Studi Kasus di Pulau Lombok dan Nusa
Penida. Prosiding Seminar Nasional Peranan Hasil Litbang HHBK Dalam Mendukung
Pembangunan Kehutanan di Mataram pada 12 September 2012. Badan Litbang
Kehutanan. Puslit Produktivitas Hutan. Bogor. Halaman 37-46.
Hasnah, T. M. dan Leksono, B. 2012. Variasi Genetik Pertumbuhan Semai, Kandungan
Nitrogen Jaringan dan Klorofil antar Populasi Nyamplung (Calophyllum inophyllum)
di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasional Peranan Hasil Litbang HHBK Dalam
Mendukung Pembangunan Kehutanan di Mataram pada 12 September 2012. Badan
Litbang Kehutanan. Puslit Produktivitas Hutan. Bogor. Halaman 128-135.
Kuswantoro, D.P., Rostiwati, T., dan R. Effendi. 2010. Pengembangan Hutan Rakyat
Agroforestry Nyamplung Sebagai Sumber Bahan Baku Biofuel. Diakses melaluihttp://
www.opi.lipi.go.id/data/1228964432/data/13086710321319785661.makalah.pdf pada
27 Februari 2014
Kilpelainen, J., L.Fine, S. Neuvonen, P. Niemela, T. Domisch, A.C.Risch, Jurgensen, Martin
F., Ohashi, M., Sundstro, L. 2009. Does The Mutualism Between Wood Ants (Formica
rufa group) and Cinara Aphids affect Norway Spruce Growth? Forest Ecology and
Management 257: 238-243.
Leksono, B., Rina Hendrati L., E. Windyarini, dan T.M. Hasnah. 2013. Variasi Potensi
Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum) dari Duabelas Populasi di Indonesia.
Disampaikan pada Konferensi INAFOR Tahun ke-2 pada 27-28 Agustur 2013 di Jakarta.
Mashudi. 2009. Daya Trubus Pangkasan Pulai Darat (Alstonia angustiloba Miq.) dari
Populasi Lubuk Linggau, Sumatera Selatan Melalui Aplikasi Variasi Media Tumbuh
dan Dosis Pupuk NPK. Prosiding Eksplose Hasil-Hasil Penelitian: Status Terkini
Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. BBPBPTH 1 Oktober 2009 halaman 193-198.
Mexal JG, Landis TD. 1990. Target seedling concepts: height and diameter. In: Rose R,
Campbell SJ, Landis TD, editors. Target seedling symposium: combined proceedings
of the western forest nursery associations, 1990 August 13-17, Roseburg, OR. Fort
Collins (CO): USDA Forest Service, Rocky Mountain Forest and Range Experiment
Station. General Technical Report RM-200. p 17-35.
Pribadi, A. 2010. Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama Defoliator pada
Tegakan Jabon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Volume VII No.4, Halaman
451-458. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.

39
Wana Benih
Vol. 15 No. 1, Juli 2014, 30-40

Soerjawidjaja, T.H. 2005. Potensi Sumber Daya Hayati Indonesia dalam Menghasilkan
Bahan Bakar Hayati BBM. Makalah Lokakarya “Pengembangan dan Pemanfaatan
Sumber Energi Alternatif Untuk Keberlanjutan Industri Perkebunan dan Kesejahteraan
Masyarakat”. Hotel Horrison. Bandung.
Windyarini, E. dan B. Ismail. 2012. Pest and Disease Attack on Nyamplung (Calophyllum
inophyllum) Seedling in the Nursery. Prosiding INAFOR 2011: Strengthening Forest
Science and Technology for Better Forestry Development. Forda, Ministry of Forestry.
Jakarta.

40

You might also like