Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 206

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA


SUMATERA BARAT

ARFA`I

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya
yang berjudul :

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA


SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
SUMATERA BARAT

Adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir
disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2009

ARFA`I
ABSTRACT
ARFA’I. Potential Development of Beef Cattle and its Strategies in the Regency
of Lima Puluh Kota, West Sumatra. Under the Supervision of Kooswardhono
Mudikdjo, Asnath Maria Fuah, and Asep Saefuddin.

The increasing demand for livestock product recently needs proper


development of livestock business, and included with cattle business, that has big
contribution toward meat commodity. The research objectives were: (1) to analyze
the potential natural resources and human resources in the business of beef cattle in
the Regency of Lima Puluh Kota; (2) to evaluate the development program of beef
cattle and utilization of resources at the farmers’ level, (3) to analyze the efficiency of
livestock farming through the application of technology in utilizing agricultural waste
for livestock feed, processing livestock waste into organic fertilizers, and (4) to
formulate the strategies in the development of beef cattle businesses in the Regency
of Lima Puluh Kota for the future.
The study was conducted in four stages: (1) identification and analysis of the
potential development of beef cattle in the Regency of Lima Puluh Kota; (2) analysis
of the development programs of beef cattle that have been or are being implemented,
(3) increasing productivity and income of livestock businesses through improvements
in livestock farming or technology, and (4), based on the obtained data, formulating
applicable strategies for the development of beef cattle businesses in Regency of
Lima Puluh Kota.
The results of study showed that the Regency of Lima Puluh Kota is potential
for the development of beef cattle in the future, and is supported by the following
aspects: (1) the high capacity for livestock (ruminants) development based on land
resources and labor force of the family at 25,481 DT, (2) the existence of base beef
production in the four districts (Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak,
and Bukit Barisan), (3) the Artificial Insemination Center in Sakato Tuah has been
functioning in the production of seeds, and (d) the government policies that support
the development of beef cattle.
The resources available at the level of livestock farmers have not been used
optimally, particularly in the farming pattern of land with the size of ≤ 1 Ha. By
applying the technology in processing rice straw into feed and livestock waste into
organic fertilizer, the farmer's income can be increased by Rp 544.236.69/head/
months.
Some weaknesses and threats faced in the development of beef cattle are (a)
raising as a sideline business, (b) inadequate marketing system of livestock, (c)
problems in reproduction and health of livestock, and (d) high frequency in the
slaughter of productive female livestock.
Alternative strategies recommended for the development of beef cattle in the
Regency of Lima Puluh Kota are: (1) capital increase, (2) application of appropriate
farmers-based technology, (3) development of the breeding centers, (4) improvement
of business efficiency, and (5) optimization of the group functions.

Key words: Area potential, Development strategic of cattle business, Lima Puluh
Kota, West Sumatera
RINGKASAN

ARFA`I. Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten


Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di bawah bimbingan Kooswardhono
Mudikdjo, Asnath Maria Fuah, dan Asep Saefuddin.

Populasi ternak sapi potong di Sumatera Barat menurun dalam lima tahun
terakhir (2001-2006), dengan rata-rata penurunan sebesar 0,31 persen per tahun,
sementara jumlah pemotongan meningkat rata-rata sebesar 9,35 persen per tahun
(BPS Sumatera Barat 2007). Hal ini disebabkan rendahnya produksi dan produkti-
vitas ternak sapi potong. Beberapa karakteristik produksi yang belum optimal antara
lain rendahnya tingkat kelahiran (< 50%), tingginya angka kematian (> 2%), rendah-
nya pertambahan bobot badan (0,4-0,5 kg/ekor/hr), tingginya angka pemotongan
ternak betina produktif (28%) (Dinas Peterbakan TK I Sumatera Barat, 2007a).
Untuk memperbaiki keadaan tersebut diperlukan kontribusi dari berbagai pihak
termasuk bantuan pemerintah untuk berupaya mengembangkan sapi potong antara
lain melalui program peningkatan produksi dan produktivitas ternak sapi potong,
penurunan angka kematian, dan mengendalikan pemotongan ternak betina produktif
(Soetirto, 1997).
Menurut laporan Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat (2007b), untuk
mendukung program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; (1)
optimalisasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor,
(2) penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, (3)
penanggulangan penyakit reproduksi, (4) pengawasan pemotongan ternak sapi betina
produktif melalui program optimalisasi penguatan modal usaha kelompok, (5)
intensifikasi kawin alam melalui pendistribusian pejantan unggul. Disamping peran
pemerintah, peran swasta dan masyarakat juga penting dalam upaya peningkatan
populasi ternak sapi potong dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi
masyarakat untuk berinvestasi dibidang ternak sapi.
Tujuan penelitian : (1) menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumber-
daya manusia usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) mengevaluasi
program pengembangan usaha sapi potong dan pemanfaatan sumberdaya ditingkat
petani ternak; (3) menganalisis efisiensi usahatani ternak melalui penerapan teknologi
pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, pengolahan limbah ternak menjadi
pupuk organik ; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota untuk masa yang akan datang.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap : (1) identifikasi dan analisis
potensi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) analisis
terhadap program pengembangan usaha sapi potong; (3) peningkatan produksi dan
pendapatan usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan
limbah ternak; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong yang
dapat diterapkan di kabupaten Lima Puluh Kota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki
potensi pengembangan usaha sapi potong dimasa datang, didukung oleh beberapa hal
sebagai berikut : (1) tingginya Kapasitas Peningkatan Pengembangan Ternak
Ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja keluarga sebesar 25.481
ST, (2) terdapatnya basis ternak sapi potong di empat kecamatan (Lareh Sago
Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, dan Bukit Barisan), (3) telah berfungsinya
Balai Inseminasi Buatan (BIB-Daerah) Tuah Sakato dalam menghasilkan bibit, dan
(d) kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sapi potong.
Program pengembangan sapi potong melalui program Bantuan Pinjaman
Langsung Masyarakat (BPLM) di kabupaten Lima Puluh Kota menunjukkan hasil
sebagai berikut : (1) program mulai bergulir pada bulan September 2002, berupa 2
ekor ternak betina induk senilai Rp 12.000.000 sebagai pinjaman yang harus
dikembalikan ke kas kelompok dalam 5 tahun dengan suku bunga 6% per tahun; (2)
kurang transparannya penetapan anggota penerima bantuan menyebabkan kurang ber-
kembangnya perguliran dana bantuan terutama pada kelompok tani-ternak Luak
Lalang dan Tunas Baru; (3) teknik budidaya (perbibitan, pemberian pakan, tatalak-
sana pemeliharaan, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemasaran) sudah diterap-
kan oleh peternak, kecuali kegiatan pasca panen (pengolahan hasil dan limbah
pertanian/peternakan) belum mendapat perhatian; (4) calving interval cukup panjang
(15 bulan), S/C ratio 1,9 masa kosong sekitar 4,5 bulan; dan (5) kegiatan budidaya
ternak, kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo lebih baik dibandingkan dengan kelompok
tani-ternak lainnya, terutama dalam penyediaan sapronak (dikelola kelompok),
manajemen usaha, permodalan, pemasaran hasil, dan peran lembaga pendukung
seperti petugas penyuluh lapangan dan inseminator.
Sumberdaya yang ada ditingkat petani-ternak belum dimanfaatkan secara
optimal terutama pada pola usahatani dengan luas lahan ≤ 1 Ha. Dengan menerapkan
teknologi pengolahan jerami padi menjadi pakan dan limbah ternak menjadi pupuk
organik, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69/ekor/bln.
Kelemahan dan ancaman yang dihadapi peternak dalam pengembangan sapi
potong berupa; (a) pola beternak bersifat usaha sambilan, (b) sistem pemasaran ternak
belum memadai, (c) gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, dan (d) tingginya
pemotongan ternak betina produktif.
Strategi yang direkomendasikan untuk pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota adalah : (1) peningkatan modal usaha melalui pemberian
kredit lunak pada masyarakat peternak, (2) penerapan teknologi tepat guna berbasis
petani dalam manajemen pemeliharaan, budidaya reproduksi dan pengolahan limbah
ternak, (3) pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengem-
bangan sistem kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat
pencapaian swa-sembada daging sapi, (4) peningkatan efisiensi melalui peningkatan
skala usaha dari 5 ekor menjadi 10 ekor induk per peternak, dan (5) optimalisasi
fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi dalam penerapan manajemen
yang transparan, dan pendampingan yang intensif.
Program yang dapat dilaksanakan terdiri dari; penguatan modal usaha,
menjalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dalam bidang pemasaran,
penguatan lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan
pelatihan pada peternak, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan sentra
pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok, penyediaan bibit sapi potong
lokal oleh pemerintah, pengembangan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal,
pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan ternak, optimalisasi penggunaan
sumberdaya, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, dan pembinaan kelom-
pok.

Kata kunci : Potensi wlayah, strategi pengembangan, usaha sapi potong, di


kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
@Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
Tanpa mencantumkan atau mencantumkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk laporan tanpa izin IPB
POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA
SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
SUMATERA BARAT

A R F A `I

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc


Prof. Dr. Edie Gurnadi
Judul Penelitian : Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Po-
tong di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera
Barat

Nama Mahasiswa : ARFA`I

NIM : 995053

Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc


Ketua

Dr. Ir. Asnath M Fuah, MS Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc


Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Produksi Dekan Sekolah Pascasarjana


dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 5 Pebruari 2009 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah. Puji syukur dipersembahkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan
Yang Maha Esa, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat dan petunjuk, yang telah me-
limpahkan hidayah Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Desember 2005 dengan judul
Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc; sebagai ketua komisi pembimbing. Ibu Dr. Ir.
Asnath M Fuah, MS, dan Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc sebagai anggota komi-
si pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril serta nasehat sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada :
1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi
pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh staf pengajar yang telah membekali
dan memperkaya ilmu selama mengikuti pendidikan.
3. Ketua program studi Ilmu Ternak (PTK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan.
4. Rekan-rekan mahasiswa, khususnya Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca-
sarjana IPB yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam
menyelesaikan studi.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada
para nara sumber yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah mem-
berikan sumbang saran dan masukan yang bermanfaat selama pelaksanaan penelitian
ini.
Doa yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk
Ayahanda Rauf Kr Mudo (Almarhum), dan bunda Gadijah (Almarhumah), kakanda
tercinta Muchtar Rauf, Sarilam Rauf (Almarhumah), Bainar Rauf, dan Muhammad
Noer Rauf, serta istri tercinta Yuliaty Shafan Nur, ananda Boby Arya Putra, Bayu
Inra Setiawan, Feby Eka Putra dan Dzaky Dhiyaul Amru atas segala kesabaran,
dorongan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendi-
dikan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga disertasi ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran, bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masya-
rakat.

Bogor, Pebruari 2009

ARFA`I
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubuk Basung, Kabupaten Agam Sumatera Barat pada


tanggal 6 Juni 1960 sebagai anak ke lima dari lima bersaudara dari Bapak Rauf Kari
Mudo (Almarhum) dan ibu Gadijah (Almarhumah). Pendidikan sarjana penulis,
dimulai tahun 1981 pada program studi Produksi Ternak, Jurusan Produksi Fakultas
Peternakan Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis
melanjutkan studi program magister pada program studi Ilmu Ternak, Program
Pascasarjana IPB, lulus tahun 1992. Kemudian tahun 1999 diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak, Sekolah Pasca-
sarjana IPB, Bogor.
Penulis diterima bekerja sejak tahun 1987 sampai sekarang sebagai staf
pengajar pada program studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan
Universitas Andalas Padang.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL …………………………………………………………. vi


DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... vii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… viii
I. PENDAHULUAN ……………………….…………………………….. 1
1.1. Latar Belakang ………….………………………………………... 1
1.2. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 3
1.3. Kegunaan Penelitian ……………………………………………… 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 5
2.1. Perkembangan Sapi Potong di Indonesia ………………. ………... 5
2.2. Usaha Sapi Potong sebagai Komponen Sistem Usahatani ……….. 8
2.3. Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong …… 11
2.3.1. Program Pengembangan Sapi Potong ……………………. 11
2.3.2. Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong …………. 13
2.4. Strategi Pengembangan Sapi Potong …..………………………… 16
III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 19
3.1. Tahap Satu Identifikasi dan Analisis Potensi Pengembangan Usaha
Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ……………..………. 19
3.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………... 19
3.1.2. Peubah yang Diamati ………………………………….…. 19
3.1.3. Analisis Data ……………………………………………… 20
3.2. Tahap Dua Menganalisis dan Mengevaluasi Program Pengembang-
an Usaha Sapi Potong Kabupaten Lima Puluh Kota …………….. 22
3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………….. 22
3.2.2. Responden Penelitian ………….………………………….. 22
3.2.3. Peubah yang Diamati ……………………………………… 23
3.2.4. Analisis Data ……………………………………………… 23
3.3. Tahap Tiga Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan
Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak ……………… 26
3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ….………………………….. 26
3.3.2. Materi Penelitian on-farm ………….……………………. 26
3.3.3. Metode Penelitian on-farm ……..………………………… 27
3.3.4. Peubah yang Diamati ……………………………………... 28
3.3.5. Analisis Data ……………………………………………… 29
3.4. Tahap Empat Merumuskan Strategi Pengembangan Usaha Sapi
Potong dalam Sistem Usahatani di Kabupaten Lima Puluh Kota.. 29
3.4.1. Analisis Data ……………………………………………. 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………… 37
4.1. Potensi Wilayah untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota …………………………………… 37
4.1.1. Keadaan UmumWilayah ……………………………….. 37
4.1.2. Populasi Ternak ………………………………………… 40
4.1.3. Kapasitas Tampung Wilayah ………………………….... 41
4.2. Program Pengembangan Usaha Sapi Potong Kabupaten Lima
Puluh Kota ……………………………………………………... 43
4.2.1. Karakteristik Petani-ternak ……………………………. 43
4.2.2. Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam
Pengembangan Sapi Potong ……………………………. 47
4.2.3. Manajemen Ternak Sapi Potong ……………………….. 48
4.2.3.1. Sistem Reproduksi …………………………… 48
4.2.3.2. Jenis dan Sistem Pemberian Pakan …………... 49
4.2.3.3. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak ……………. 50
4.2.3.4. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit ………. 52
4.2.3.5. Pemasaran Hasil Ternak ……………………… 52
4.2.3.6. Produktivitas dan Pendapatan Usaha Sapi Po-
tong …………………………………………... 53
4.2.4. Manajemen Usahatani …………………………………. 55
4.2.4.1. Karakteristik Usahatani ………………………. 55
4.2.4.2. Sistem Penggunaan Lahan ……………………. 57
4.2.4.3. Curahan Waktu Kerja ………………………… 58
4.2.4.4. Penggunaan Input Produksi ………………….. 61
4.2.4.5. Modal ………………………………………… 62
4.2.4.6. Produktivitas dan Pendapatan Usahatani
Tanaman ……………………………………… 63
4.2.5. Optimalisasi Usahatani-ternak …………………………. 64
4.2.5.1. Aktivitas Basis pada Pola Usahatani-ternak op-
timal …………………………………………. 64
4.2.5.2. Alokasi Sumberdaya pada Pola Usahatani-
ternak Optimal ………………………………. 66
4.2.5.3. Tingkat Pendapatan Usahatani-ternak Pola
Optimal ……………………………………… 69
4.2.6. Kontribusi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong ……. 69
4.2.7. Analisis Pelaksanaan Program BPLM …………………. 70
4.3. Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi
Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak ……………………….. 73
4.3.1. Pemanfaatan Jerami Padi terhadap Produktivitas Ternak. 73
4.3.1.1. Konsumsi Pakan ……………………………. 73
4.3.1.2. Pertambahan Bobot Badan ………………….. 74
4.3.1.3. Konversi Pakan ……………………………… 75
4.1.3.4. Produksi Feses………………... ……………... 75
4.3.2. Pengaruh Pengolahan Limbah Tanaman dan Ternak ter-
hadap Usaha Sapi Potong ……………………………... 76
4.4. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima
Puluh Kota …………………………………………………….. 77
4.4.1. Metode Pendekatan Sistem …………………………… 77
4.4.2. Potensi Pengembangan Sapi Potong ………………….. 79
4.4.3. Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten
Lima Puluh Kota ………………………………………. 80
4.4.3.1. Pemberdayaan melalui Kelompok …………… 80
4.4.3.2. Pemodalan Usaha …………………………….. 81
4.4.3.3. Kelembagaan Agribisnis Kelompok …………. 81
4.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Usa-
ha Sapi Potong ………………………………………… 81
4.4.4.1. Faktor Internal ………………………………. 81
4.4.4.2. Faktor Eksternal …………………………….. 83
4.4.4.3. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ……... 83
4.4.5. Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota ………………………… 84
4.4.6. Prioritas Strategi Pengembangan Sapi Potong ………. 85
4.4.7. Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota ……..…………………... 89
4.4.8. Implementasi Program dan Kegiatan Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota …………. 94
V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….. 96
5.1. Kesimpulan …………………………………………………..... 96
5.2. Saran …………………………………………………………... 97
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 98
LAMPIRAN ……………………………………………………………... 104
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006 ……. 5


2. Jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-
2006 ……………………………………………………………….. 5
3. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat th 2001-
2006 ……………………………………………………………….. 8
4. Skala AHP dan definisinya ……………………………………….. 32
5. Luas Kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan kecamatan dan
jumlah penduduk ............................................................................ 37
6. Ketinggian tempat masing-masing kecamatan yang ada di Kabu-
paten Lima Puluh Kota ………………………………………….. 38
7. Sistem penggunaan lahan di daerah penelitian …………………… 39
8. Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur ……………… 39
9. Sebaran penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan usaha utama 40
10. Sebaran populasi ternak masing-masing kecamatan di kabupaten
Lima Puluh Kota …………………………………………………… 40
11. Wilayah basis ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota … 41
12. Nilai KPPTR masing-masing kecamatan kabupaten Lima Puluh
Kota ………………………………………………………………... 43
13. Karakteristik kelompok tani-ternak penerima dana BPLM ……….. 44
14. Karakteristik responden penelitian ………………………………… 45
15. Motivasi dan prilaku peternak peserta program dan non program … 46
16. Karateristik reproduksi usaha sapi potong program pengembangan.. 49
17. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi program pengembangan ….. 51
18. Struktur populasi ternak sapi potong di daerah penelitian ………... 53
19. Produktivitas sapi potong di daerah penelitian ……………………. 54
20. Rataan pendapatan usaha ternak sapi potong di daerah penelitian ... 55
21. Karakteristik usahatani-ternak peserta program dan non program ... 56
22. Pola usahatani yang dipertimbangkan masuk dalam model peren-
canaan Optimal …………………………………………………… 57
23. Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh responden penelitian ……. 58
24. Ketersediaan tenaga kerja keluarga per bulan responden penelitian. 59
25. Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan responden …………… 59
26. Curahan tenaga kerja per bulan kegiatan usahatani dilokasi penelitian 60
27. Biaya produksi masing-masing pola tanam per musim tanam …….. 62
28. Aktivitas basis pada pola usahatani-ternak optimal ……………....... 65
29. Penggunaan tenaga kerja pola usahatani-ternak optimal …………... 67
30. Penggunaan modal pada pola usahatani-ternak optimal …………… 68
31. Perbandingan pendapatan antara petani-ternak pola aktual dan pola
optimal ……………………………………………………………... 69
32. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong ………………..... 70
33. Kinerja pelaksanaan program BPLM ………………………………. 70
34. Rataan konsumsi bahan kering ransum …………………………….. 73
35. Rataan bobot badan masing-masing perlakuan …………………….. 74
36. Rataan konversi ransum penelitian …………………………………. 75
37. Rataan produksi feses masing-masing perlakuan …………………… 75
38. Analisis partial budget pemeliharaan sapi dengan teknologi pengo-
lahan limbah dan pemeliharaan sapi tanpa pengolahan limbah …….. 76
39. Kelembagaan agribisnis kelompok usaha perbibitan ……………….. 82
40. Matrik evaluasi faktor internal pengembangan sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota ……………………………………….. 83
41. Matrik evaluasi faktor eksternal pengembangan sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota ……………………………………….. 84
42. Alternatif strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota ……………………………………………………. 85
43. Matrik implementasi program dan kegiatan pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ………………………... 94
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Pola pola usahatani tanaman ternak di kabupaten Sleman


Yogyakarta ………………………………………………………… 10
2. Lay out penelitian on-farm ………………………………………… 27
3. Dekomposisi masalah ……………………………………………… 33
4. Tahapan sistematis kegiatan penelitian ……………………………. 36
5. Integrasi budidaya tanaman dan ternak sapi ……………………….. 42
6. Jenis sapi Simental yang dipelihara peternak ………………..…….. 49
7. Lahan hijauan yang dimiliki peternak …………………………….. 50
8. Kandang ternak sapi milik peternak program pengembangan ……. 51
9. Pupuk kandang yang sudah siap digunakan ……………………….. 52
10. Mekanisme pemasaran sapi potong di daerah penelitian ………….. 53
11. Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah ≤ 1 Ha …….. 66
12. Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah > 1 Ha …….. 66
13. Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah ≤ 1 Ha ... 66
14. Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah > 1 Ha ... 66
15. Tahapan Analisis Sistem …………………………………………… 78
16. Diagram input output system perencanaan pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ………………………. 79
17. Hirarki utama strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupa-
ten Lima Puluh Kota ………………………………………………. 87
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1a. Peta kabupaten Lima Puluh Kota ……………………………….... 105


b. Location quation ternak sapi potong per kecamatan di kabupaten
Lima Puluh Kota ………………………………………………….. 106
c. Nilai KPPTR per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 107
d. Nilai KPPTR berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah per
kecamatan ………………………………………………………… 108
e. Kontribusi lahan garapan terhadap produksi hijauan makanan ternak 109
f. Produksi pakan hijauan, limbah pertanian berdasarkan luas panen.. 110
g. Total produksi HMT per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota ... 111
h. Jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah KK petani per keca-
matan di kabupaten Lima Puluh Kota …………………………….. 111
i. Ketentuan menghitung kapasitas tamping ternak ruminansia berda-
sarkan metode Nell dan Rollinson ………………………………… 112
2a. Rataan penggunaan bibit tanaman per musim tanam ……………... 113
b. Ketersediaan bibit tanaman permusim tanam ……………………… 113
c. Rataan penggunaan pupuk per musim tanam didaerah penelitian…. 114
d. Rataan ketersediaan pupuk per musim tanam di daerah penelitian .. 115
e. Penggunaan obat-obatan per musim tanam ……………………….. 115
f-1 Rataan produksi usahatani program luas lahan ≤ 1 Ha ……………. 116
f-2 Rataan produksi usahatani program luas lahan > 1 Ha ……………. 116
f-3 Rataan produksi usahatani non program luas lahan ≤ 1 Ha ……….. 116
f-4 Rataan produksi usahatani non program luas lahan > 1 Ha ……….. 116
g-1 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan lahan sawah
≤ 1 Ha…. …………………………………………………………. 117

g-2 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan lahan sawah


> 1 Ha ……………………………………………………………. 118
g-3 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan lahan sa-
wah ≤ 1 Ha ………………………………………………………... 119
g-4 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan lahan sa-
wah > 1 Ha …….............................................................................. 120
h. Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha. 121
i. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani
peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …………………. 121
j Model usahatani optimal petani peserta program dengan pemilikan
lahan ≤ 1 Ha ………………………………………………………. 122
k. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani peserta program
dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …………………………………… 124
l. Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan > 1 Ha.. 124
m. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani
peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ………………… 125
n. Model usahatani optimal petani peserta program dengan pemilikan
lahan > 1 Ha ………………………………………………………. 126
o. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani peserta program
dengan pemilikan lahan > 1 Ha …………………………………… 128
p. Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …… 128
q. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani
non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …………………… 129
r. Model usahatani optimal petani non-program dengan pemilikan
lahan ≤ 1 Ha ……………………………………………………… 130
s. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program
dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …………………………………. 132
t. Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha …. 132
u. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani
non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha …………………… 133
v. Model usahatani optimal petani non-program dengan pemilikan
lahan > 1 Ha ……………………………………………………… 134
w. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program
dengan pemilikan lahan > 1 Ha …………………………………. 135
x. Penggunaan bibit tanaman pola usahatani-ternak optimal ……….. 136
y. Penggunaan pupuk pada pola usahatani-ternak optimal …………. 137
3a. Rataan konsumsi bahan kering ransum (kg/ekor/hr) ………………. 138
b. Rataan pertambahan bobot badan (kg/ekor/hr) …………………….. 139
c. Rataan konversi ransum ……………………………………………. 140
d. Hasil uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan …………. 141
e. Rataan konsumsi bahan kering ransum (dalam % BB) ……………. 142
f. Bobot badan awal dan akhir sapi PO penelitian periode pertumbuh-
an …………………………………………………………………... 142
g. Pupuk organik yang dihasilkan (kg basah) ………………………... 143
h. Biaya pembuatan pupuk organik ………………………………….. 144
4a. Analisis SWOT pengembangan usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota ………………………………………………….. 145
b. Analisis hirarki proses pengembangan usaha sapi potong di kabu-
paten Lima Puluh Kota …………………………………………… 153
5. Kuesioner program pengembangan usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota …………………………………………………... 155
6. Kuesioner strategi internal dan eksternal ………………………….. 166
7. Kuesioner AHP pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Pu-
luh Kota …………………………………………………………… 176
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan dan status
ekonomi masyarakat Indonesia, permintaan terhadap produk asal ternak terutama
daging sapi juga meningkat. Hal ini ditandai dengan trend peningkatan konsumsi
daging di Indonesia, yang tergambar dari peningkatan laju pemotongan ternak sapi
dalam lima tahun terakhir (2001-2006) sebesar 0,31 persen per tahun. Sementara itu
laju pertambahan populasi menurun sebesar 0,43 persen per tahun, sehingga impor
sapi meningkat secara nyata. Pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265.700
ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton (Ditjen Peternakan 2007a).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk merespons situasi ini,
melalui beberapa program seperti program swa-sembada daging 2010 yakni mening-
katkan produksi daging sapi dalam negeri sebesar 90-95 persen dan impor sebesar 5-
10 persen (Ditjen Peternakan 2005); dan Percepatan Pencapaian Swa-sembada Da-
ging Sapi 2010 (Ditjen Peternakan 2007b). Program-program ini pada intinya meng-
upayakan peningkatan produksi daging dalam negeri untuk mengatasi kesenjangan
antara demand dan suplay, namun hasil yang diperoleh belum signifikan.
Diwyanto dan Priyanti (2006) menyatakan bahwa, beberapa permasalahan
dalam pengembangan usaha sapi potong di Indonesia yakni : (1) produktivitas ternak
masih rendah, (2) ketersediaan bibit unggul lokal terbatas, (3) sumberdaya manusia
kurang produktif dan tingkat pengetahuan yang rendah, (4) ketersediaan pakan tidak
kontinu terutama pada musim kemarau, (5) sistem usaha peternakan belum optimal,
dan (6) pemasaran hasil belum efisien. Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006),
rendahnya produktivitas ternak dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul lokal
disebabkan oleh : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak
rakyat yang menyebar secara luas dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2)
kelembagaan perbibitan yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke
arah usaha yang profesional, (3) lemahnya daya jangkau layanan UPT perbibitan
karena sebaran ternak yang luas, dan (4) tingginya pemotongan ternak betina
produktif sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi.
Sudrajat (2003) menyarankan beberapa kebijakan untuk mencapai swa-
sembada daging meliputi : (1) pengendalian pemotongan betina produktif (jumlahnya
2

mencapai 28%), (2) pengendalian penyakit reproduksi, dan (3) melakukan impor sapi
bibit. Dalam pedoman Ditjen Peternakan (2007b), kebijakan utama dalam pencapai-
an swa-sembada daging sapi 2010 yakni : (1) penambahan induk sapi potong melalui
pemanfaatan induk lokal dengan cara tunda potong sapi betina produktif, dan impor
sapi induk, (2) penyediaan pakan ternak ruminansia secara kontinu, dan (3) program
pembibitan, pengendalian penyakit, pengembangan usaha, pemasaran dan pengolahan
tetap diperlukan.
Upaya peningkatan produksi dan populasi ternak sapi potong memerlukan ke-
tersediaan pakan yang cukup banyak, terutama yang memiliki sumber serat yang
cukup. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan dalam negeri
(cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternak rakyat, ternak sapi dipelihara
dalam suatu sistem yang terintegrasi dengan usahatani tanaman. Adanya keterkaitan
antara usahatani tanaman dan usaha ternak dapat meningkatkan efisiensi usahatani
sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan (Diwyanto 2002).
Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di
Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan dimasa datang. Populasi sapi potong
tahun 2006 sebesar 57.236 ekor tersebar pada 17.720 RTP, mata pencaharian utama
masyarakat dibidang pertanian (62%), yang mendukung dalam penyediaan pakan
baik berupa hijauan maupun limbah pertanian; terdapatnya BPT/HMT Padang
Mengatas sebagai transformasi teknologi; dan letak wilayah yang strategis karena
berbatasan dengan propinsi Riau sebagai konsumen terbesar produk sapi potong asal
Sumatera Barat. Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh
Kota dalam periode 5 (lima) tahun terakhir (2001-2006) adalah sebesar 9,36% per
tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong dalam periode yang sama
meningkat sebesar 35,71% (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2007). Ketidak se-
imbangan ini merupakan masalah yang apabila tidak ditangani secara serius akan
mengakibatkan penurunan populasi dari tahun ketahun.
Pemerintah daerah kabupaten Lima Puluh Kota telah melakukan usaha-usaha
yang menunjang perkembangan sapi potong seperti program pemberian bantuan
kredit melalui dana APBN maupun APBD. Akan tetapi hasil yang diperoleh masih
belum seperti yang diharapkan karena produktivitas yang dicapai masih rendah
(angka kelahiran di bawah 50% dan mortalitas anak di atas 2%), peran lembaga
kelompok dalam mengelola bantuan masih kurang (pengelolaan modal, penyediaan
3

dan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran), sistem pemasaran belum efisien,
dan pemanfaatan sumberdaya belum optimal (Dinas Peternakan Kabupaten Lima
Puluh Kota 2005).
Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan meliputi :
(1). Produksi dan produktivitas ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
masih rendah dan belum mampu mengimbangi meningkatnya jumlah per-
mintaan.
(2). Manajemen pemeliharaan sapi potong masih merupakan pola peternakan rakyat
yang bersifat sambilan.
(3). Kelembagaan ditingkat petani-ternak belum berkembang ke arah usaha yang
profesional, disebabkan beberapa kendala teknis maupun non teknis
(4) Sistem pemasaran belum efisien sehingga tingkat pendapatan petani-ternak ren-
dah.

1.2 Tujuan Penelitian


Diperlukan upaya yang serius dari berbagai pihak dalam mengatasi perma-
salahan yang dihadapi untuk pengembangan sapi potong dalam rangka peningkatan
produksi, produktivitas, dan pendapatan peternak dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal secara optimum. Dalam melakukan pengembangan usaha sapi potong berbagai
informasi tentang potensi wilayah, program dan kegiatan yang sudah dilakukan, perlu
dikaji dan dianalisis sehingga dapat diketahui secara tepat kondisi peternakan yang
ada pada saat ini. Untuk menghasilkan alternatif solusi yang dapat menjawab
permasalahan yang ada telah dilakukan suatu penelitian dengan judul Potensi dan
Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk :
(1). Menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pengembang-
an usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota.
(2). Mengevaluasi program pengembangan usaha sapi potong dan pemanfaatan sum-
berdaya ditingkat petani ternak.
(3). Menganalisis efisiensi usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pemanfaat-
an limbah pertanian untuk pakan ternak, dan pengolahan limbah ternak sebagai
pupuk organik.
4

(4). Merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Pu-
luh Kota.

1.3 Kegunaan Penelitian


Hasil yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi atau
acuan ilmiah yang dapat digunakan oleh pihak terkait untuk :
(1). Merumuskan program dan kegiatan-kegiatan pengembangan sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota.
(2). Merumuskan kebijakan pengembangan sapi potong berbasis sumberdaya lokal
sesuai dengan potensi wilayah.
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Sapi Potong di Indonesia


Ternak sapi potong merupakan sumber daging bagi masyarakat Indonesia, di
samping produk daging yang berasal dari ternak lain seperti kerbau, kambing, domba,
kuda, babi dan ternak unggas. Secara proporsional 66% daging ternak ruminansia
dihasilkan oleh ternak sapi, 14% dari domba, dan 8% dari kerbau (Makka 2004).
Data populasi dan jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dalam lima
tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006


No Tahun Populasi Perubahan Populasi
(ekor) (%)
1 2001 11.137.000 --
2 2002 10.436.300 -6,29
3 2003 10.504.128 0,65
4 2004 10.532.889 0,27
5 2005 10.569.312 0,35
6 2006 10.875.125 2,89
Rataan -0,43
Sumber : Ditjen Peternakan (2007a)

Rata-rata penurunan populasi sapi potong di Indonesia selama lima tahun ter-
akhir (2001-2006) sebesar 0,43 persen per tahun, sementara pada periode yang sama
jumlah pemotongan meningkat sebesar 0,31 persen per tahun. Hal ini disebabkan
masih rendahnya produktivitas ternak sapi dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul
lokal, karena : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak rakyat
yang menyebar dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2) kelembagaan perbibitan

Tabel 2 Jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006


No Tahun Pemotongan Perubahan jumlah
(ekor) Pemotongan (%)
1 2001 1.784.036 --
2 2002 1.692.833 - 5,11
3 2003 1.735.776 2,54
4 2004 1.733.360 - 0,14
5 2005 1.653.770 - 4,59
6 2006 1.799.781 8,83
Rataan 0,31
Sumber : Ditjen Peternakan (2007a)
6

yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke arah usaha yang
profesional, (3) lemahnya daya jangkau UPT perbibitan karena sebaran ternak yang
luas, dan (4) tingginya pemotongan ternak betina produktif (jumlahnya mencapai
28%) sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi (Tawaf dan
Kuswaryan 2006). Diperlukan impor sapi potong dalam jumlah yang cukup besar
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging, pada tahun 2006 impor sapi
bakalan mencapai 265.700 ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton (Ditjen
Peternakan 2007a). Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah menu-
runnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas (Haryanto 2004).
Manajemen reproduksi yang belum efisien dan jumlah pemotongan yang tidak ter-
kontrol di samping faktor pakan, juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada (Soetirto 1997).
Pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan telah menetapkan Program
Kecukupan Daging 2010 (PKD 2010), sebelumnya bernama program swa-sembada
daging, mengacu pada salah satu program Departemen Pertanian yaitu program Keta-
hanan Pangan. Dalam PKD 2010 diharapkan produksi dalam negeri mampu
memberikan kontribusi kecukupan daging sebesar 90 – 95 persen dan sisanya 5 – 10
persen dari impor (Tawaf dan Kuswaryan 2006). Tahun 2005 pemerintah telah
mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang meli-
batkan unsur-unsur Pemerintah, Dunia Usaha, Perguruan Tinggi, Profesional, LSM,
dan masyarakat untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi
kemiskinan, (2) menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, (3) membangun
ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, (4) meningkatkan daya saing, (5)
melestarikan lingkungan, dan (6) membangun daerah (Krisnamurti 2006).
Menurut Soedjana (2007), dalam rangka mewujudkan swa-sembada daging
dipandang perlu melakukan revitalisasi atau restrukturisasi peternakan, yakni menata
ulang industri peternakan (baik hulu, budidaya, dan hilir). Industri ternak potong di-
harapkan akan berbasis sumberdaya lokal, dan tingkat swa-sembada akan tercapai
secara sustainable, untuk itu perlu langkah-langkah peningkatan populasi dan produk-
tivitas serta perbaikan kelembagaan meliputi ; (1) memacu kegiatan IB melalui
optimalisasi akseptor, (2) penjaringan dan penyelamatan betina produktif, (3) peng-
amanan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, (4) perbaikan kawin alam
7

melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (5) pengem-
bangan dan pemanfaatan pakan lokal, (6) pengembangan SDM dan kelembagaan, dan
(7) penyediaan induk/bibit.
Dalam buku pedoman Ditjen Peternakan (2007b), dijelaskan bahwa untuk
mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi 2010, pemerintah menetapkan
program Percepatan Pencapaian Swa-sembada Daging Sapi 2010 (PSDS 2010), yang
dimulai pada tahun 2008-2010 melalui tujuh langkah operasional yakni ; (1) optima-
lisasi akseptor, dan kelahiran melalui Inseminasi Buatan (IB) dan kawin alam; (2)
pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi
betina produktif; (3) perbaikan mutu dan penyediaan bibit; (4) penanganan gangguan
reproduksi dan kesehatan hewan; (5) Intensifikasi kawin alam; dan (6) pengembangan
pakan lokal, serta (7) pengembangan SDM dan kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS
difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas ber-
dasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola
budidaya, dan pasar) yaitu : (1) daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; (2) daerah campuran Inseminasi
Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA) yaitu propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo; (3) daerah prioritas Kawin Alam
(KA) yaitu propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Program-program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging dalam
negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand dan suplay.
Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat tidak jauh berbeda
dengan perkembangan sapi potong secara nasional, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di Sumatera Barat dalam lima tahun
terakhir menurun sebesar 1,31% per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang
dipotong meningkat sebesar 9,35% per tahun (BPS Sumatera Barat 2007).
Rendahnya produksi dan produktivitas ternak sapi potong di Sumatera Barat
disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran (angka kelahiran di bawah 50%),
tingginya angka kematian (angka kematian anak di atas 2%), pertambahan bobot
badan yang belum optimal (pertambahan bobot badan sapi lokal 0,4-0,5 kg/hr), dan
tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan sentra ternak pembibitan (Dinas
Peternakan TK I Sumatera Barat 2007a). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya
8

dan bantuan pemerintah untuk mengembangkan sapi potong melalui program


peningkatan kapasitas reproduksi (IB), penurunan angka kematian, dan peningkatan
produktivitas sapi potong (Soetirto 1997).

Tabel 3 Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat th 2001 - 2006


No Tahun Populasi Kenaikan/ Pemotongan Kenaikan/
(ekor) Penurunan (%) (ekor) Penurunan (%)
1 2001 501.356 -- 58.300 -
2 2002 546 862 9,08 58.134 0,28
3 2003 583.850 6,77 57.274 -1,48
4 2004 597.294 2,30 63.889 11,55
5 2005 419.352 -29,79 66.108 3,47
6 2006 440.461 5,03 88.062 33,51
Rataan -1,31 9,35
Sumber : BPS Sumatera Barat (2007)

Menurut Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat (2007b), untuk mendukung


program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; (1) optimali-
sasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor, (2)
penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, sejumlah
3.876 ekor (2006), dan 5.636 ekor (2007), (3) penanggulangan penyakit reproduksi,
telah dimulai semenjak tahun 2006 sebanyak 500 ekor, 4.000 ekor tahun 2007, tahun
2008, 2009, 2010 direncanakan dicapai 5.000, 6.000, 7.000 ekor, (4) pengawasan
pemotongan ternak sapi betina produktif melalui optimalisasi penguatan modal usaha
kelompok, (5) intensifikasi kawin alam pada kawasan-kawasan yang sulit untuk
penerapan IB melalui distribusi pejantan unggul. Disamping peran pemerintah, peran
swasta dan masyarakat juga penting dalam peningkatan populasi ternak sapi potong
dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi masyarakat untuk berinvestasi
dibidang usaha ternak sapi.

2.2 Usaha Sapi Potong sebagai Komponen Sistem Usahatani


Konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak telah dikem-
bangkan dibeberapa negara Asia seperti Thailan, Filipina, Vietnam, RRC dan Indone-
sia. Di Indonesia integrasi antara tanaman dan ternak sudah diterapkan oleh petani di
pedesaan, namun sistem pengelolaan masih bersifat tradisional tanpa memperhitung-
kan nilai ekonomi (Diwyanto et al. 2002).
Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai
diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3)
9

di Bogor. Penelitian ini diberi nama “on station multiple cropping“ mengacu pada
pola Internatioal Rice Research Institute (IRRI) (Manwan 1989). Sejak saat itu
kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti ; pola
tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani
(farming system), dan terakhir adalah Sistem Integrasi Tanaman Ternak terjemahan
dari Crop Livestock System (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis
antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002).
Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming)
berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara
efektif (Sutanto 2002). Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani
dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan
tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama (Prasetyo et al. 2001).
Sistem ini melibatkan tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan yaitu : (1)
budidaya ternak, (2) budidaya padi, serta (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak.
Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian
pakan, pengolahan hasil dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman
pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan
dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah
proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan
organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma
dan organisme yang bersifat pathogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai
untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002).
Dalam sistem usahatani ternak, interaksi yang terjadi akan mendorong terjadi-
nya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi
usaha dan peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan
2004). Sumberdaya manusia, modal, sumberdaya alam, dan proses pengelolaannya
dilakukan secara optimal menggunakan teknologi aplikasi sehingga berdampak pada
peningkatan keuntungan (Prodjodihardjo 1988).
Hasil kajian sistem integrasi usahatani tanaman padi sapi potong di kabupaten
Sleman Yogyakarta oleh Wardhani dan Musofie (2004) menunjukkan bahwa, dalam
melaksanakan usahatani petani melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja
dan sedikit modal. Antara sub-sistem rumah tangga, tanaman dan ternak saling
10

terkait, terpadu dan saling tergantung, pola usahatani integrasi tanaman-ternak dapat
dilihat pada Gambar 1.

Pasar

Tenaga kerja
non-farm
Ternak
RUMAH Konsentrat
TANGGA Obat hewan
Pupuk
Insektisida
Tenaga kerja Manajemen
Tenaga kerja

TANAMAN TERNAK
Padi, Kedelai Limbah
Kacang tanah Tanaman

Pupuk tenaga kerja


ternak

Gambar 1 Pola usahatani tanaman-ternak di kabupaten Sleman Yogyakarta

Kegiatan usahatani tanaman menghasilkan sisa tanaman (jerami), dedak dan


hijauan lain sebagai input untuk usaha ternak, kegiatan usaha ternak menyerap tenaga
kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan.
Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman, dengan
sistem integrasi usahatani tanaman padi sapi potong mampu memberikan nilai tambah
pada masing-masing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan
input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi
sedapat mungkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait.
Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi padi sapi (SIPT)
bertujuan : (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan
melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan
penyediaan daging, dan (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
Menurut Diwyanto (2001), ada delapan keuntungan penerapan integrasi usaha
tanaman dan ternak yaitu ; (a) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi,
11

(b) mengurangi terjadinya resiko, (c) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (d) efisiensi
penggunaan komponen produksi, (e) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain
dari luar usaha, (f) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi, (g)
meningkatkan output, dan (h) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Hasil penelitian Kasman et al, (2004) tentang Kontribusi kotoran sapi dalam
sistem usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan didapatkan bahwa
pemanfaatan pupuk organik (kompos) dapat mengefisienkan penggunaan pupuk an-
organik dan meningkatkan produksi gabah kering panen.

2.3 Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong


2.3.1 Program Pengembangan Sapi Potong
Secara umum ada tiga faktor penting dalam pengembangan sapi potong di-
suatu wilayah yaitu pertimbangan teknis, sosial, dan ekonomis. Pertimbangan teknis
mengarah kepada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditun-
jang oleh kemampuan manusia dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial meli-
puti penerimaan masyarakat terhadap keberadaan ternak tanpa menimbulkan konflik
sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus
menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sen-
diri. Selanjutnya dikatakan bahwa di samping ketiga faktor tersebut di atas terdapat
faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di antara-
nya infra struktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan pendu-
duk, serta kebijakan pengembangan wilayah (Soehadji 1999).
Pengembangan usaha ternak ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan
dan peningkatan daya beli masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Agar dapat
mencapai tujuan tersebut strategi yang dipakai adalah meningkatkan partisipasi
masyarakat secara aktif, mendorong investasi usaha ternak di pedesaan serta pember-
dayaan masyarakat petani-ternak (Sudaryanto dan Jamal 2000). Untuk mengatasi
perihal permodalan bagi masyarakat petani, pemerintah telah mengimplementasikan
model pemberdayaan masyarakat petani-ternak melalui program Bantuan Pinjaman
Langsung Masyarakat (Yuwono et al. 2006).
Tujuan dari Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)
adalah untuk ; (1) memperkuat modal usaha kelompok dalam mengembangkan usaha,
(2) meningkatkan produksi dan produktivitas usaha, (3) mengembangkan usaha agri-
bisnis dan agroindustri di kawasan pengembangan, (4) meningkatkan kemandirian
12

dan kerjasama kelompok, serta mendorong berkembangnya Lembaga Keuangan


Mikro (LKM) agribisnis dan kelembagaan ekonomi pedesaan lainnya. Sedangkan
sasaran yang ingin dicapai yakni ; (1) model pengembangan kawasan peternakan
yang diintroduksi dapat berjalan dengan baik, (2) usaha peternakan dapat berkem-
bang dengan baik, (3) proses pembelajaran peternak menjadi lebih mantap untuk
dapat melepas ketergantungan pada bantuan pemerintah (Ditjen Peternakan 2004).
Pemberdayaan masyarakat agribisnis melalui penguatan modal kelompok me-
liputi beberapa aspek yaitu : (1) aspek kelembagaan berupa; perkembangan kelompok
dan anggota yang menerima perguliran, perkembangan jumlah kepemilikan ternak,
perkembangan partisipasi anggota kelompok dalam mengambil keputusan, mengako-
modir aspirasi anggota, kerjasama kelompok dengan stakeholder lainnya; (2) aspek
usaha berupa ; peningkatan peran masyarakat dalam mengembangkan usaha dan
peluang usaha, peningkatan kerjasama anggota dalam menanggulangi resiko usaha,
perkembangan dalam permodalan kelompok, peningkatan kemampuan kelompok
dalam melakukan analisa, perencanaan dan memonitor sendiri kegiatan yang dilaku-
kan; (3) aspek teknis usaha; optimasi pemanfaatan sarana produksi, peningkatan
produksi dan produktivitas ternak melalui peningkatan kelahiran dan berkurangnya
resiko kematian (Ditjen Peternakan 2002).
Dana program BPLM berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja
Negara (APBN), penggunaan dana didasarkan pada kepentingan anggota yang dike-
lola oleh kelompok melalui kesepakatan anggota. Anggota kelompok yang menerima
dana bantuan diwajibkan mengembalikan modal pokok pinjaman kepada kelompok
selanjutnya digulirkan pada anggota lain yang belum menerima (Nugroho, 2006).
Format dari BPLM adalah anggaran dekonsentrasi, yakni pendanaan dan rencana
dirancang dari pusat, pengaturan pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing
provinsi. Dana bantuan yang telah ditransfer pada rekening kelompok selanjutnya
diperuntukan bagi pembelian sapi potong bibit yang akan dikembang biakan untuk
menghasilkan pedet (Yuwono et al. 2006).
Hasil penelitian Basuno dan Suhaeti (2007) tentang analisis BPLM di provinsi
Sulawesi Selatan sebagai berikut ; 1) kinerja kelompok cukup bervariasi, beberapa
kelompok cukup mempunyai prospek untuk berkembang sedangkan yang lainnya
dinilai sulit berkembang; 2) sistem distribusi bantuan dilakukan secara transparan
dengan aturan pengembalian yang relatif mudah dan fleksibel; 3) aspek teknis
13

budidaya sudah dikuasai oleh peternak baik dari aspek kesehatan hewan, pemberian
pakan, reproduksi, maupun sistem perkandangan; dan 4) perlu adanya pembinaan
kader lokal sebagai perpanjangan tangan dinas dalam rangka penguatan kelompok
dimasa datang. Rahayu dan Kuswaryan (2006) melaporkan hasil pelaksanaan
program BPLM untuk usaha ternak sapi pembibitan di kecamatan Parigi, Kabupaten
Ciamis Jawa Barat sebagai berikut : 1) program BPLM digulirkan pada bulan
Agustus 2004, dengan memberikan bantuan berupa 2 ekor sapi betina induk senilai
Rp 12.000.000,- dengan target waktu pengembalian 5 tahun, dan bunga 6% per tahun;
2) rata-rata skala usaha 2,73 UT yang terdiri dari 2,06 UT betina 0,36 UT sapi muda
dan 0,31 UT pedet; 3) calving interval yang di peroleh relatif panjang (15 bulan),
S/C ratio 2,12 dan masa kosong 4,5 bulan; dan 4) peternak baru bisa melunasi
pinjaman bantuan setelah 8 tahun. Hasil yang diperoleh Yuwono et al. (2006)
tentang program BPLM pada berbagai kelompok tani-ternak sapi potong di Jawa
Tengah meliputi : 1) pola perguliran dan kinerja reproduksi menunjukkan variasi
antar kabupaten, dan 2) pelaksanaan program masih belum didukung teknologi yang
memadai, sehingga pada pengembangan programan lebih lanjut perlu adanya pen-
damping teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak.

2.3.2 Faktor Pendukung Pengembangan Usaha Sapi Potong


Sumberdaya atau faktor-faktor produksi dalam usahatani terdiri dari : 1) la-
han, 2) tenaga kerja, 3) modal, dan 4) manajemen (Soekartawi 1993). Mosher (1991)
menambahkan input faktor produksi berupa bibit, pupuk dan obat-obatan. Menurut
Tejojuwono (1997), dengan semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki petani
pedesaan diperlukan adanya kebijakan pemilikan lahan minimal untuk usahatani
ternak agar petani ternak dapat hidup layak.
Tenaga kerja dalam usahatani berasal dari tenaga kerja : manusia (pria, wani-
ta, dan anak-anak), ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia disetarakan ke dalam
Tenaga Kerja Setara Pria (TKSP), satu tenaga kerja pria dewasa dihitung satu
TKSP, satu tenaga kerja wanita dihitung 0,8 TKSP, dan satu tenaga kerja anak-anak
dihitung 0,5 TKSP. Satu hari kerja setara pria (HKP/HOK) adalah satu tenaga kerja
pria yang bekerja selama delapan jam, dan 25 hari kerja per bulan (Hernanto 1996).
Penggunaan modal dalam usahatani-ternak dapat dibedakan menjadi modal tetap
yang sering disebut sebagai modal investasi, dan modal tidak tetap atau modal kerja
(Soekartawi 1993). Manajemen usahatani-ternak adalah kemampuan petani-ternak
14

menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang di-


kuasai dan mampu memberikan produksi sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari
keberhasilan manajemen adalah produktivitas dari setiap faktor produksi yang digu-
nakan dalam usahatani-ternak yang dijalankan (Hernanto 1996).
Setiawan (2000) mengemukakan konsep LEISA (Low External Input Suisti-
nable Agriculture) yang menekankan keterpaduan antar berbagai komponen dengan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara efisien, ekonomis dan ramah ling-
kungan, aplikasi secara sederhana menjadi Integrated Farming System (IFS).
Konsep ini melibatkan petani-ternak, pendekatan optimalisasi penggunaan bahan
baku yang terdapat di lingkungan sekitar secara terpadu. Salah satu perusahaan yang
sudah mempromosikan dan melaksanakan konsep ini secara komersial adalah CV
Lembah Hijau Multifarm yang melibatkan komoditas ternak sapi sebagai penghasil
pupuk dan Starbio. Penggunaan sumberdaya ditekankan pada efisiensi untuk
meningkatkan pendapatan petani-ternak. Hasil penerapan IFS secara nyata mening-
katkan penggunaan sumberdaya lokal, seperti jerami padi, pucuk tebu, kulit buah
kakao, kulit buah kopi, serat sawit sebagai pakan ternak melalui proses fermentatif
agar mempunyai nilai guna yang lebih baik.
Atmaja dan Atmadilaga (1980) melakukan kajian penggunaan sumberdaya
usahatani-ternak ruminansia di enam kecamatan di daerah pengairan Jati Luhur, hasil-
nya menunjukkan bahwa ternak ruminansia memegang peranan penting dalam mem-
perluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga. Kontribusi usaha
ternak terhadap pendapatan total petani sebesar Rp 195.070, adalah 24.5% per kepala
keluarga per tahun dan dari kegiatan non-usahatani besarnya 23.9%. Kontribusi
pendapatan keluarga dari usaha ternak sebesar 24,5%, dari no-usahatani sebesar
23,9%, dan dari usahatani tanaman sebesar 51,5% dari total pendapatan keluarga per
tahun. Tenaga kerja yang dapat diserap oleh kegiatan usaha ternak sebesar 13%, dari
kegiatan non-usahatani sebesar 11%, dan dari kegiatan usahatani tanaman sebesar
12%.
Penggunaan sumberdaya pemeliharaan ternak sapi dalam sistem usahatani
pada berbagai topografi lahan di kabupaten Agam Sumatera Barat menunjukkan
bahwa, pemanfaatan sumberdaya di tingkat petani belum optimal. Untuk dataran
rendah kepemilikan lahan >0.5 ha penerapan pola usahatani solusi optimal mampu
meningkatkan pendapatan petani-ternak sebesar 198.8% dibandingkan pola usahatani
15

konvensional. Untuk dataran tinggi kepemilikan lahan >0.5 ha, pola usahatani solusi
optimal, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 197.2%. Untuk daerah
pegunungan kepemilikan lahan >0.5 ha, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan
sebesar 181.4% dari pola usahatani yang biasa dijalankan dibandingkan pola usaha-
tani konvensional (Boyon dan Arfa`i 1996).
Faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong ada-
lah; (1) permintaan pasar terhadap daging sapi yang semakin meningkat, (2) keter-
sediaan biomasa yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan cukup besar,
(3) tersedianya padang pangonan umum berupa savana, stepa dan tundra diluar Jawa,
(4) tersedianya pulau-pulau yang masih kosong ternak dan potensial untuk pengem-
bangan, dan (5) ketesediaan sumberdaya genetik ternak lokal yang sudah beradaptasi
sangat baik dalam lingkungan lembab tropis. Kendala dan peluang pengembangan
peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
strategi pengembangan sapi potong diwilayah tersebut (Diwyanto et al. 2005).
Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006), hambatan dalam pengembangan
peternakan sapi potong rakyat antara lain adalah produktivitas yang sangat rendah
yang ditunjukkan oleh : (1) kenaikan berat badan rendah berkisar 0,4 – 0,5 kg/ekor/hr,
(2) skala usaha kecil (berkisar 2 – 4 ekor/petani), (3) pola pemeliharaan masih
tradisional dengan input yang rendah (belum berorientasi ekonomi), dan (4) masih
terkonsentrasi di daerah padat penduduk (pulau Jawa dan Bali). Diwyanto dan
Priyanti (2006) melaporkan bahwa, ada beberapa kelemahan yang cukup mendasar
dalam pengembangan sapi potong antara lain ; sumberdaya manusia yang kurang
produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang mampu
mengadopsi teknologi inovatif serta sulit untuk mengembangkan kelembagaan dan
jaringan bisnis.
Menurut Yusdja et al. (2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun
2000 dan berakhir 2004 tidak berhasil, disebabkan oleh beberapa kendala antara lain :
(1) kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional
yang rinci, (2) program dan kegiatan yang dibuat bersifat top-down dan berskala kecil
dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, (3) strategi implementasi program
tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan,
(4) implementasi program dan kegiatan tidak memungkinkan pelaksanaan evaluasi
16

dampak program, dan (5) program dan kegiatan tidak secara jelas memberikan dam-
pak pada pertumbuhan populasi secara nasional.

2.4 Strategi Pengembangan Sapi Potong


Menurut Nawawi (2000), Strategik dalam manajemen diartikan sebagai kiat,
cara dan taktik utama yang dirancang secara sistematik dalam melaksanakan fungsi-
fungsi manajemen yang terarah pada tujuan organisasi. Rancangan yang bersifat
strategik dilingkungan sebuah organisasi disebut dengan Perencanaan Strategik.
Menurut David (2002) bahwa terdapat tiga tahapan dalam manajemen strategis yaitu:
(1) perumusan strategi meliputi pengembangan potensi, pengenalan peluang dan
ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan
tujuan, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih strategi tertentu untuk dilaksa-
nakan; (2) implementasi strategi, memobilisasi unsur dalam organisasi untuk
melaksanakan apa yang telah dirumuskan; dan (3) evaluasi strategi, terdapat tiga
aktivitas dalam evaluasi strategi : (a) meninjau faktor internal dan eksternal yang
menjadi dasar strategi, (b) mengukur prestasi, dan (c) mengambil tindakan korektif.
Potensi sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan pakan,
tenaga kerja, dan ternak yang akan dikembangkan perlu dianalisis dalam pengem-
bangan ternak di suatu daerah. Potensi ini ditentukan oleh tersedianya tanah perta-
nian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada
(Santosa, 2001).
Menurut Gurnadi (1998), untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat
dilakukan tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan teknis, meningkatkan kelahiran,
menurunkan angka kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik,
(2) pendekatan terpadu, menerapkan teknologi produksi, manajemen, pertimbangan
sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan” serta pembentukan
kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3) pendekatan
agribisnis, yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan peternakan melalui
integrasi dari ke empat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan
sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran.
Pembangunan peternakan pada masa yang akan datang diharapkan mampu
merubah pandangan peternak dari sistem produksi menjadi sistem agribisnis.
Agribisnis merupakan suatu konsep bahwa pembangunan peternakan merupakan
suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu : (1) sub-sistem agribisnis
17

hulu (up-stream agribusiness), kegiatan ekonomi yang menghasilkan sapronak


(industri pembibitan, industri pakan); (2) sub-sistem agribisnis usaha peternakan (on-
farm agribusiness), kegiatan budidaya ternak; (3) sub-sistem agribisnis hilir (down-
stream agribusiness), kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas peternakan
primer menjadi produk olahan (industri pengolahan dan pemasaran); dan (4) sub-
sistem jasa penunjang agribisnis (supporting system), kegiatan yang menyediakan
jasa bagi ketiga sub-sistem agribisnis lainnya (Saragih 2000). Dalam konsep PKD
2010 komitmen dasarnya adalah strategi peningkatan produksi dan kesejahteraan
peternak dalam penyediaan pangan, bukannya ketersediaan pangan yang mendukung
peningkatan produksi untuk kesejahteraan peternak. Komitmen ini mengandung
makna bahwa peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak merupakan strategi
kunci (Tawaf dan Kuswaryan 2006).
Laporan Ditjen Peternakan (2007b), berisi strategi yang digunakan untuk pe-
ningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak sapi dalam upaya percepatan
pencapaian swasembada daging 2010 adalah : (1) pengembangan sentra pembibitan
dan penggemukan, (2) revitalisasi kelembagaan dan SDM fungsional dilapangan, (3)
dukungan sarana dan prasarana, (4) dukungan finansial, dan (5) pengembangan wila-
yah.
Hasil penelitian Noer (2002), tentang strategi pengembangan agribisnis sapi
potong di kawasan sentra produksi Koto Hilalang kabupaten Agam Sumatera Barat,
menunjukkan beberapa kekuatan sebagai berikut : (1) kawasan dikenal sebagai sentra
pembibitan sapi potong, (2) ketersediaan pos IB, petugas IB dan minat peternak
terhadap IB, (3) tersedianya sarana dan prasarana infra struktur pendukung, (4) ter-
sedianya rumput unggul, lahan yang subur atau hasil sampingan produk tanaman
pangan, (5) iklim dan kondisi yang menunjang, dan (6) umumnya peternak mampu
mendeteksi penyakit cacing dan demam pada ternak sapi. Kelemahan yang ada
berupa : (1) jumlah inseminator dan layanan kurang, (2) tenaga kerja pengelola dan
pengolah lahan terbatas, (3) beternak sebagai usaha sambilan dengan modal terbatas,
(4) peternak tidak mampu mendeteksi penyakit ngorok dan lemah tungkai, (5)
penentuan harga tawar-menawar dan pemasaran rendah, dan (6) inovasi dan inisiatif
lokal belum berkembang. Disamping itu peluang dan ancaman terhadap sapi potong
sebagai berikut, peluang berupa : (1) akses langsung pada BIB, memiliki bibit sapi
unggul dan IB dari kelompok peternak, (2) inovasi teknologi pemotongan dan
18

pengawetan hijauan makanan ternak, (3) tambahan jumlah ternak sapi, (4) terjamin
tenaga kesehatan dan obat-obatan, (5) dapat menaksir berat sapi dan kuat dalam
pemasaran, dan (6) sinergi dengan program lain dalam otonomi kebijakan pemerintah
nagari. Ancaman berupa : (1) tidak stabilnya penyediaan bibit dan layanan IB, (2)
stabilitas penyediaan pakan jangka panjang, (3) tenaga kerja dan pengelola terampil
terbatas dengan teknologi sederhana, (4) antisipasi cuaca dan kerjasama dengan sta-
siun BMG tidak ada, (5) persaingan dari daerah lain, dan (6) aturan akses lahan milik
kaum/nagari. Untuk mengatasi masalah ini dirumuskan beberapa strategi pengem-
bangan berupa : (1) investasi/modal usaha terus dikembangkan, (2) memperkuat
kerjasama kelompok peternak sapi potong yang ada di kawasan, (3) peningkatan
keterampilan dan pengetahuan peternak, (4) peningkatan bargaining position peter-
nak dalam pemasaran, dan (5) diversivikasi lahan HMT.
Hasil penelitian Dedih (2002), tentang strategi pengembangan ternak sapi
berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di propinsi
Riau, menunjukkan bahwa, kekuatan yang dimiliki adalah : (1) sesuai dengan budaya
masyarakat, (2) tersedianya rumput dan limbah pertanian, (3) peternak yang terampil,
(4) daya dukung lahan, (5) letak geografis, dan (6) tersedianya teknologi IB. Namun
ada beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi berupa : (1) modal terbatas, (2)
produktivitas ternak sapi rendah, (3) bibit sapi (semen beku) tidak terlalu tersedia, (4)
sarana dan prasarana kurang, (5) usaha sambilan, dan (6) lokasi ternak menyebar.
Peluang yang ada berupa : (1) adanya otonomi daerah, (2) dukungan Pemda (kredit),
(3) konsumsi daging naik, (4) harga daging sapi tinggi, (5) pasar lokal dan ekspor,
dan (6) perkembangan teknologi. Ancaman yang dihadapi oleh pengembangan ter-
nak sapi berupa : (1) wabah penyakit menular, (2) produk luar/impor, (3) kondisi
POLKAM, (4) pemotongan ternak betina produktif, (5) berlakunya pasar bebas, dan
(6) pemulihan ekonomi. Rumusan strategi pengembangan adalah : (1) pengembang-
an sentra produksi budidaya ternak sapi, (2) melakukan pembinaan terpadu, (3)
membangun sarana dan prasarana usaha, (4) pengembangan sentra penggemukan
ternak sapi, (5) penyediaan modal usaha, dan (6) melakukan kerjasama regional dan
internasional. Supriyadi (2004), menambahkan aspek SDM dan teknologi sebagai
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan ternak sapi potong berbasis
agribisnis di kabupaten Indra Giri Hilir.
19

III. METODOLOGI PENELITIAN

Secara keseluruhan, penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, tahap perta-
ma adalah melakukan identifikasi dan analisis potensi pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Tahap ke dua, analisis program pengem-
bangan usaha sapi potong. Tahap ke tiga, peningkatan produksi dan pendapatan
usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan limbah ternak.
Tahap ke empat, merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong yang dapat
diterapkan di kabupaten Lima Puluh Kota.

3.1 Tahap Satu; Identifikasi dan Analisis Potensi Pengembangan Usaha Sapi
Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi sumber-
daya alam dan sumberdaya manusia untuk pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota.

3.1.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Kabupaten Lima Puluh kota dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan be-
berapa pertimbangan, yaitu; (1) di kabupaten Lima Puluh Kota, pertanian merupa-
kan salah satu sektor prioritas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) ter-
dapat Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT/HMT) Padang
Mengatas, (3) letak wilayah yang strategis karena berbatasan dengan propinsi Riau
yang merupakan konsumen terbesar produk sapi potong Sumatera Barat, (4) kebijak-
an PEMDA mendukung pengembangan usaha sapi potong melalui program-program
pengembangan.
Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yakni dari Maret s/d April 2005,
data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari BPS kabupaten Lima
Puluh Kota, Dinas Peternakan TK II, Dinas Pertanian Tanaman Pangan kabupaten
Lima Puluh Kota dan instansi terkait lainnya.

3.1.2 Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Keadaan umum wilayah kabupaten Lima Puluh Kota yang terdiri dari; luas
wilayah, letak geografis, topografi dan jenis tanah, penggunaan lahan perta-
nian, iklim dan curah hujan.
20

2. Populasi dan jenis ternak ruminansia (ST) yang ada pada masing-masing
kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota
3. Ketersediaan pakan berdasarkan proporsi lahan pertanian tanaman pangan,
perkebunan, dan limbah hasil pertanian yang dihasilkan dari luas panen (ton
Bahan kering/Ha/Th).
4. Ketersediaan tenaga kerja berdasarkan Rumah Tangga Peternak (RTP) usaha
sapi potong dan kemampuan untuk memelihara sapi potong (TKSP/Th).
Satu TKSP (tenaga kerja setara pria) : satu orang tenaga kerja pria dewasa
yang bekerja 8 (delapan) jam per hari. satu orang tenaga kerja wanita dewasa
sama dengan 0,8 TKSP dan satu orang tenaga kerja anak-anak sama dengan
0,5 TKSP.

3.1.3 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam Tabel,
Gambar dan Grafik. Beberapa analisis yang digunakan meliputi :

1. Analisis Location Quation (LQ)


Analisis LQ digunakan untuk mengetahui wilayah Basis atau non Basis sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Metode LQ dirumuskan sebagai berikut :

LQ = Si / Ni

Keterangan :
Si : Rasio antara populasi ternak sapi potong (ST) wilayah tertentu dengan
jumlah penduduk diwilayah yang sama
Ni : Ratio antara populasi ternak sapi di kabupaten Lima Puluh kota dengan
jumlah penduduk di kabupaten yang sama
LQ > 1 merupakan daerah basis peternakan sapi potong
LQ < 1 merupakan daerah non basis peternakan sapi potong

2. Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)


Perhitungan KPPTR, merujuk pada metode Nell dan Rollinson (1974). Persa-
maan yang digunakan adalah :
1. PSML = a LG + b PR + c R
dimana,
PSML : Potensi maksimum (dalam satuan ternak = ST) berdasarkan sumber-
daya lahan.
LG : Lahan garapan tanaman pangan (Ha) yaitu hasil penjumlahan dari luas
lahan sawah (sawah basah dan kering), lahan tegalan dan ladang.
21

a: Koefisien antara populasi ternak ruminansia (ST) dengan luas lahan


garapan (Ha).
PR : Luas padang rumput (Ha)
b : Koefisien kapasitas tampung padang rumput
R : Luas Rawa (Ha)
c : Koefsien kapasitas tampung rawa (ST/Ha)
2. PMKK = d KK
dimana,
PMKK : Potensi maksimum (ST) berdasarkan kepala keluarga petani
KK : Kepala keluarga petani termasuk buruh tani
d : Koefisien satuan ternak (ST) yang dapat dipelihara oleh satu keluarga
3. KPPTR (SL) = PMSL - POPRIL
dimana,
KPPTR (SL) : Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (ST) berdasar-
kan sumberdaya lahan.
POPRIL : Populasi riil ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu
4. KPPTRP (KK) : PMKK - POPRIL
dimana,
KPPTR (KK) : Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (ST) berda-
sarkan kepala keluarga petani

5. KPPTR Efektif : KPPTR (SL), jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK)
6. KPPTR Efektif : KPPTR (KK), jika KPPTR (KK) < KPPTR (SL)
KPPTR Efektif ditetapkan sebagai kapasitas peningkatan populasi ternak ru-
minansia di suatu wilayah kecamatan tertentu, yaitu KPPTR (SL) atau KPPTR (KK)
yang mempunyai nilai lebih kecil atau dengan kata lain KPPTR yang berlaku sebagai
kendala efektif (binding constraint).
KPPTR untuk Kabupaten dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
n
7. KPPTR Ef, = Σ KPPTR Efi
i=1
i = 1, 2, 3 …………….n

KPPTR Ef : KPPTRP Efektif untuk kabupaten


KPPTR Efi : KPPTRP Efektif untuk kecamatan
22

3.2 Tahap dua; Analisis Program Pengembangan Usaha Sapi Potong di


Kapaten Lima Puluh Kota
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dan mendapatkan informasi
detail program pengembangan usaha sapi potong yang telah atau sedang dilakukan
dibeberapa wilayah pengembangan sapi potong.

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian tahap satu ditetapkan lokasi sampel pengem-
bangan sapi potong untuk digunakan pada penelitian tahap dua. Penetapan lokasi
dilakukan secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain :
a. Hasil penelitian tahap satu, didapatkan empat kecamatan yang merupakan
wilayah basis sapi potong yakni kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban,
Situjuah Limo Nagari, dan Bukit Barisan.
b. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Lima Puluh kota, telah me-
netapkan wilayah pengembangan usaha sapi potong di tiga kecamatan yakni
kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, dan Situjuah Limo Nagari.
c. Kebijakan penyebaran/pengembangan ternak sapi potong yang dilakukan oleh
PEMDA. Pemda kabupaten Lima Puluh kota telah melakukan program
pengembangan sapi potong di tiga kecamatan yaitu kecamatan Luhak, Lareh
Sago Halaban, dan Situjuah Limo Nagari.
Lokasi penelitian ditetapkan di tiga kecamatan yakni ; (1) kecamatan Luhak,
(2) kecamatan Lareh Sago Halaban, dan (3) kecamatan Situjuah Limo Nagari.
Metode yang digunakan adalah survai melalui wawancara dan observasi
kelokasi penelitian. Wawancara dilakukan dengan responden dan observasi langsung
ke lokasi pemeliharaan sapi potong berdasarkan kuesioner (Lampiran 5), dan
dilakukan selama tiga bulan (Mei s/d Juli 2005).

3.2.2 Responden Penelitian


Ditetapkan sebanyak 53 petani ternak sebagai responden dari tiga kecamatan
terpilih yang statusnya anggota kelompok tani, masing-masing ; 16 responden dari
kecamatan Luhak, 17 responden dari kecamatan Lareh Sago Halaban, dan 20
responden dari kecamatan Situjuah Limo Nagari. Kriterianya adalah ; (1) keikut
sertaan sebagai anggota kelompok, (2) memiliki sapi betina induk minimal 1 (satu)
ekor, dan (3) memiliki lahan usahatani. Luas lahan usahatani dikelompokkan atas
dua kategori ; lahan I (≤ 1 Ha), dan lahan II (> 1 Ha).
23

3.2.3 Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati meliputi :
1. Karakteristik peternak program pengembangan. Karakteristik peternak terdiri
atas : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, jumlah anggota keluarga,
jumlah ternak sapi yang dipelihara, pengalaman beternak. Perilaku peternak
(pengetahuan, sikap dan keterampilan) dan motivasi usaha (tujuan dan alasan
mengikuti program pengembangan, ada tidaknya dukungan dan keinginan
mengembangkan usaha).
2. Kelembagaan : Kelompok peternak (peran kelompok dalam mencapai tujuan
program), lembaga penyuluhan (peran penyuluh dalam mencapai tujuan
program), lembaga keuangan, dan lembaga pemerintah (peran lembaga peme-
rintah dalam hal pencapaian tujuan program). Sarana dan prasarana : Keterse-
diaan fasilitas untuk pengembangan usaha sapi potong, seperti Pos Keswan,
Pos IB (petugas dan semen beku), petugas penyuluh, sarana transportasi, pasar
ternak, RPH.
3. Teknologi budidaya; penerapan teknologi dalam pembibitan/reproduksi, pa-
kan, tatalaksana pemeliharaan, dan pengendalian penyakit.
4. Tatalaksana pemeliharaan sapi potong (Bibit/reproduksi, pakan, tatalaksana
pemeliharaan, pencegahan/pengobatan penyakit).
5. Produktivitas ternak sapi potong (struktur populasi ternak di daerah peneli-
tian, tingkat kelahiran, tingkat kematian anak, afkir induk/pejantan/dara)
6. Karakteristik usahatani (luas tanam, pola tanam, tenaga kerja, modal, sarana
produksi yang digunakan, hasil yang diperoleh)
7. Sistem pemasaran usahatani-ternak

3.2.4 Analisis Data


Data yang diperoleh di analisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran
tentang karakteristik peternak yang ikut dalam program pengembangan, imple-
mentasi program, identifikasi kendala-kendala yang dihadapi dan solusi alternatif.
Untuk mengetahui gambaran tentang motivasi, dan penguasaan teknologi budidaya
digunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis (Siegel 1997).
Motivasi beternak sapi potong dinilai berdasarkan skor dari jawaban respon-
den terhadap 25 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner (Lampiran 5). Kisaran
total skor antara 25 sampai 50 (masing-masing jawaban mempunyai nilai 2 untuk
24

jawaban ya, dan 1 untuk jawaban tidak). Total skor antara 41-50 menunjukkan
motivasi yang kuat, 31-40 menunjukkan motivasi cukup, kurang atau sama dengan 30
menunjukkan motivasi kurang dalam pengembangan usaha sapi potong.
Perilaku peternak yang diamati, terdiri dari pengetahuan, sikap dan keteram-
pilan beternak sapi sapi potong. Perilaku memiliki total skor antara 20 sampai 100
yang diperoleh dari 20 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner (Lampiran 5).
Masing-masing jawaban memiliki skor antara 1 hingga 5 (skor 5 sangat setuju, 4
setuju, 3 ragu-ragu, 2 tidak setuju, 1 sangat tidak setuju). Total skor 81-100 menun-
jukkan perilaku baik, 61-80 menunjukkan perilaku cukup, 41-60 menunjukkan peri-
laku kurang, dan kecil atau sama dengan 40 menunjukkan perilaku sangat kurang.
Teknologi budidaya yang dinilai adalah dalam hal pembibitan, pakan, tata-
laksana pemeliharaan, dan pengendalian penyakit. Penguasaan teknologi budidaya
memiliki total skor antara 20 sampai 100 dari 20 pertanyaan yang diajukan dalam
kuesioner (Lampiran 5). Total skor antara 81-100 menunjukkan bahwa responden
menguasai teknologi budidaya, total skor 61-80 responden cukup menguasai tekno-
logi budidaya, total skor 41-60 kurang menguasai, dan total skor sama atau kurang
dari 40 tidak menguasai teknologi budidaya.
Untuk menghitung tingkat Penggunaan sumberdaya yang ada ditingkat petani
digunakan Program Linier (Linier Programming), model umum program linier dalam
penelitian ini (Agrawal dan Heady, 1972) sebagai berikut :

n
Maksimasi : Z = Σ Cj Xj, untuk j = 1, 2, 3, ……n
j=1
dimana :
Z : Pendapatan total usahatani (Rp)
Cj : Keuntungan yang diperoleh dari jenis tanaman ke j (Rp/ha)
Xj : Luas optimal dari jenis tanaman ke j.
Dengan syarat atau kendala :

m n
Luas lahan : Σ Σ a ij xj ≤ Ai
i=1 j=1
m n
Tenaga kerja : Σ Σ b ij xj ≤ Bi
i=1 j=1
25

m n
Modal : Σ Σ c ij xj ≤ Ci
i=1 j=1 dan xj ≥ 0 untuk j = 1, 2, 3, ….. n
dimana :
Ai : Luas lahan yang tersedia tiap keluarga (ha) pada musim tanam ke-i
Bi : Jumlah tenaga kerja tersedia pada bulan ke-i (HKP/bln)
Cj : Jumlah modal yang tersedia dalam satu musim/tahun
a ij : Koefisien input output luas lahan yang diusahakan
b ij : Kebutuhan tenaga kerja pada bulan ke 1 tanaman ke j (HKP/bln/ha)
C ij : Kebutuhan biaya pada bulan ke-i tanaman ke-j (Rp)
n : Banyaknya tanaman yang diusahakan
m : Banyaknya sumberdaya yang tersedia dan dibutuhkan
Dalam penelitian ini matrik dasar perencanaan linier secara garis besarnya
terdiri atas 3 komponen utama, yaitu :
(1) Vektor baris biaya produksi
(2) Vektor kolom aktivitas
- aktivitas produksi pola tanam tanaman pangan
- aktivitas produksi memelihara sapi potong
- aktivitas menyewa tenaga kerja
- aktivitas pembelian bibit dan sarana produksi
- aktivitas menjual hasil produksitanaman dan ternak
(3) Vektor lajur kendala sumber daya
- lahan dan sapi
- tenaga kerja
- modal

Besarnya pendapatan peternak dianalisis dan dihitung berdasarkan luas


kepemilikan lahan dalam kurun waktu satu tahun meliputi ; usahatani tanaman, usaha
ternak, dan kegiatan diluar usahatani-ternak. Dalam perhitungan digunakan formula
sebagai berikut (Soekartawi 1995) : Pendapatan peternak diperoleh dari Total
Penerimaan (Total Revenue =TR) dikurangi Total Biaya (Total Cost = TC). Total
penerimaan usahatani adalah perkalian antara total produksi dengan harga jualnya.
n
TR = Σ Yij Pyi
i=1
Keterangan :
TR : Total Revenue
Yi : Produksi komponen usahatani
Pyi : Harga produksi komponen usahatani
i : 1, 2, 3, …. n
n : Jumlah komponen usahatani
26

Total biaya usahatani adalah seluruh pengeluaran dalam usahatani, yaitu total
dari biaya tetap (Fixed Cost = FC) dan biaya variabel (Variable Cost = VC). Biaya
tetap adalah pengeluaran usahatani yang tidak tergantung pada besarnya produksi.
Biaya varabel adalah pengeluaran usahatani yang jumlahnya berubah sesuai dengan
besarnya produksi (misalnya bibit, pakan, obat-obatan).
n
VC = Σ Xi Pxi
i=1
Keterangan :
VC : Variable Cost
Xi : Input yang membentuk variable cost
Pxi : Harga input
i : 1, 2, 3, ….. n
n : macam input dari variable cost

Masing-masing komponen usahatani dihitung pendapatannya, kemudian


dihitung kontribusi pendapatan usaha sapi potong dari total pendapatan usahatani-
ternak.

3.3 Tahap Tiga; Peningkatan Produksi dan Pendapatan usahatani-ternak


melalui Penerapan Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak
Penelitian bertujuan untuk menganalisis efisiensi usahatani-ternak melalui
teknologi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan, dan pengolahan limbah ternak
sebagai pupuk organik.

3.3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian tahap tiga dilakukan dalam bentuk percobaan lapangan (on-farm
research) selama 4 bulan (Agustus s/d Nopember 2005). Metode yang digunakan
adalah pendekatan partisipatory melibatkan 5 (lima) orang peternak di kecamatan
Luhak (anggota kelompok yang ikut program pengembangan), yang berpartisipasi
secara aktif menyediakan ternak, kandang, jerami padi yang akan diolah, tempat
pengolahan pupuk organik, hijauan pakan selama penelitian, dan tenaga kerja,
sedangkan biaya konsentrat, bahan yang diperlukan untuk pengolahan pakan dan
pupuk organik disediakan oleh peneliti.

3.3.2 Materi Penelitian on-farm


Ternak yang digunakan berjumlah 12 ekor sapi PO milik anggota kelompok,
yang berumur 1,5-2 tahun berat badan antara 250-300 kg. Ternak ditempatkan dalam
27

satu kandang, yang terdiri dari tiga bagian untuk masing-masing perlakuan yaitu ;
T0 : diberikan 75% rumput gajah + 25% jerami padi (kontrol), T1 : diberikan
campuran 40% rumput gajah + 15% jerami padi fermentasi + 45% konsentrat, dan
T2 : pemberian campuran 20% rumput gajah + 35% jerami padi fermentasi + 45%
konsentrat.

3.3.3 Metode Penenelitian on-farm


Penelitian on-farm menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
tiga perlakuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Model matema-
tika yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel & Torrie 1981) :

Yij = µ + τi + έij

Keterangan :
Yij : Nilai pengamatan µ : Nilai tengah umum
τi : Pengaruh perlakuan έij : Komponen acak

TO T1 T2
1 Ulangan 1 Ulangan 1 Ulangan
2 Ulangan 2 Ulangan 2 Ulangan
3 Ulangan 3 Ulangan 3 Ulangan
4 Ulangan 4 Ulangan 4 Ulangan

Gambar 2 Lay out penelitian on-farm

Teknologi yang diintroduksikan adalah pengolahan jerami fermentasi untuk


pakan ternak dan pengolahan pupuk organik.
Teknologi jerami hasil fermentasi untuk pakan ternak. Teknik pengolahan
jerami fermentasi mengacu pada panduan teknis pengolahan jerami fermentasi
menurut Haryanto et al. (2002) sebagai berikut :
a. Jerami padi yang baru dipanen (kandungan air sekitar 65%) dikumpulkan
pada tempat yang sudah disediakan.
b. Bahan yang digunakan dalam proses fermentasi jerami terdiri dari urea dan
probion, masing-masingnya 2,5 kg untuk setiap ton jerami padi segar.
c. Jerami padi yang akan difermentasikan ditumpuk hingga ketebalan 20 cm,
kemudian ditaburi urea dan probiotik secara merata dan diteruskan pada
lapisan jerami berikutnya yang juga setebal 20 cm. Demikian seterusnya
28

hingga ketebalan tumpukan jerami padi mencapai 1-2 m, kemudian disimpan


pada tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.
d. Tumpukan didiamkan selama 21 hari agar proses fermentasi dapat berlang-
sung sempurna.
e. Tumpukan jerami yang telah mengalami proses fermentasi tersebut, dikering-
kan dengan sinar matahari dan dianginkan sehingga cukup kering, sebelum
disimpan dan digunakan.
Pengolahan limbah menjadi pupuk. Pengolahan limbah kandang menjadi
pupuk mengacu pada panduan teknis pengolahan pupuk organik menurut Haryanto et
al. (2002) sebagai berikut :
a. Tempat pemrosesan pupuk kandang dibuat secara khusus (terlindung dari
hujan dan sinar matahari langsung), dekat dari kandang kolektif.
b. Kotoran ternak yang sudah ditampung dikandang kolektif, dibawa ke tempat
pengolahan.
c. Kotoran ternak dicampur dengan probion sebanyak 2,5 kg, Urea 2,5 kg, dan
TSP 2,5 kg masing-masing untuk setiap ton pupuk kandang, kemudian ditum-
puk hingga ketinggian 1 m.
d. Tumpukan dibiarkan selama tiga minggu sambil diaduk satu kali dalam satu
minggu.

3.3.4 Peubah yang diamati


1. Konsumsi pakan (kg/ekor/hr), sebelum pakan diberikan ditimbang terlebih
dahulu dan dikurangi dengan sisa pakan yang tidak dikonsumsi. Ini dila-
kukan setiap hari selama penelitian, untuk mendapatkan rata-rata konsum-
si pakan.
2. Pertambahan bobot badan (kg/ekor/hari), sebelum ternak diberi perlakuan
dilakukan penimbangan (penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum
ternak diberi pakan) untuk mendapatkan bobot badan awal penelitian,
kemudian sekali 2 (dua) minggu selama penelitian dilakukan penimbang-
an, selisih bobot badan antara masing-masing penimbangan akan mengha-
silkan rata-rata pertambahan bobot badan harian (ADG).
3. Produksi feses sapi yakni jumlah feses yang dihasilkan per ekor ternak di-
kumpulkan dan ditimbang setiap harinya untuk mendapatkan produksi
feses (kg/ekor/hari).
29

3.3.5 Analisis Data


Data yang diperoleh disederhanakan ke dalam bentuk Tabel, Grafik, dan
Gambar kemudian dianalisis secara deskriptif (kandungan nutrisi pakan yang diberi-
kan, jumlah kotoran yang dihasilkan).
Data produktivitas ternak sapi selama penelitian (pertambahan bobot badan,
konsumsi dan konversi pakan) dianalisis menggunakan sidik ragam (Analysis of
Variance) perbedaan diantara perlakuan diuji dengan menggunakan uji kontras
ortognal (Steel & Torrie 1981).
Untuk menganalisis pengaruh perbaikan teknologi terhadap pendapatan
digunakan Partial budgeting, Gross margin dan Revenue/cost analysis (Amir et al.
1985).
Partial budgeting analysis dihitung berdasarkan adanya tambahan/berkurang-
nya pendapatan dan biaya dari perbaikan teknologi dibandingkan dengan kondisi
yang ada (Existing Conditions). Gross margin merupakan selisih antara total revenue
dengan variabel cost. Jika nilai Gross margin dari perbaikan teknologi lebih tinggi
maka perbaikan teknologi menguntungkan. Revenue/cost analysis dilakukan dengan
membandingkan total revenue dengan total cost.

3.4 Tahap Empat; Merumuskan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong


di kabupaten Lima Puluh Kota
Berdasarkan hasil penelitian Tahap Satu, Dua, dan Tiga, diskusi dengan ber-
bagai pihak terkait, seluruh data dianalisis untuk perumusan strategi pengembangan
usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.

3.4.1 Analisis Data


Data dianalisis menggunakan analisis SWOT terhadap faktor internal dan
eksternal yang dilanjutkan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk
menentukan strategi prioritas pengembangan sapi potong. Untuk memperoleh rumus-
an program pengembangan dilakukan metode Focus Group Discussion (FGD).

1. Analisis Faktor Internal


Analisis faktor internal dilakukan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan dan
kelemahan yang ditemui dalam pengembangan sapi potong. Faktor tersebut dieva-
luasi menggunakan matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dengan langkah
sebagai berikut (David 2002) :
30

a. Menentukan faktor kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknessiss).


b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot).
Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian
atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pem-
bobot adalah : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1
jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor horizontal, dan 0 jika
faktor vertikal kurang penting dari faktor horizontal.
c. Memberikan skala rating 1 sampai 4 pada setiap faktor, untuk menunjukkan
apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama (peringkat = 1), kelemah-
an kecil (peringkat = 2), kekuatan kecil (peringkat = 3), dan kekuatan utama
(peringkat = 4). Pemberian peringkat didasarkan atas kondisi atau keadaan
pengembangan usaha sapi potong dalam sistem usahatani di kabupaten Lima
Puluh kota.
d. Mengalikan bobot dengan rating untuk mendapatkan skor tertimbang
e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1 menun-
jukkan bahwa kondisi internal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan kondisi
internal yang sangat baik, rata-rata nilai yang dibobotkan adalah 2,5. Nilai
lebih kecil dari pada 2,5 menunjukkan bahwa kondisi internal selama ini
masih lemah, sedangkan nilai lebih besar dari 2,5 menunjukkan kondisi in-
ternal kuat.

2. Analisis Faktor Eksternal


Analisis faktor eksternal digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor
sebagai berikut : (1) lingkungan makro yang terdiri dari kebijakan pemerintah, eko-
nomi sosial dan teknologi, (2) lingkungan mikro yang terdiri dari pesaing, kreditur,
pelanggan, kondisi pasar, tenaga kerja, bahan baku produksi, serta (3) lingkungan
usaha berupa hambatan usaha, kekuatan pembeli, dan adanya produk substitusi. Hasil
analisis eksternal digunakan untuk mengetahui peluang dan ancaman yang ada, dan
strategi untuk mengatasi ancaman dan memanfaatkan peluang yang ada dalam
pengembangan sapi potong. Tahapan dalam mengevaluasi faktor eksternal sesuai
prosedur David (2002) sebagai berikut :
a. Menentukan faktor utama yang berpengaruh penting pada kesuksesan dan
kegagalan usaha yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman
(threats) dengan melibatkan beberapa responden terbatas.
31

b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor eksternal (bobot).


Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian
atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pem-
bobot adalah : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1
jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor horizontal, dan 0 jika
faktor vertikal kurang penting dari faktor horizontal.
c. Memberikan peringkat (rating) 1 sampai 4 pada peluang dan ancaman untuk
menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor
eksternal yang berpengaruh tersebut. Nilai peringkat berkisar antara 1 sampai
4, nilai 4 jika jawaban rata-rata dari responden sangat baik dan 1 jika
jawaban menyatakan buruk.
d. Menentukan skor tertimbang dengan cara mengalikan bobot dengan rating
e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1 menun-
jukkan bahwa kondisi eksternal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan
kondisi eksternal yang sangat baik, rata-rata nilai yang dibobotkan adalah
2,5. Nilai lebih kecil dari pada 2,5 menunjukkan bahwa kondisi eksternal
selama ini masih lemah, sedangkan nilai lebih besar dari 2,5 menunjukkan
kondisi eksternal kuat.

3. Analisis SWOT (SWOT analysis)


Analisis SWOT digunakan untuk menentukan alternatif strategi pengembang-
an usaha sapi potong yang merupakan lanjutan dari analisis IFE dan EFE. Perumus-
an alternatif strategi dilakukan dengan menggabungkan antara dua faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman), sehingga
dihasilkan ; (a) strategi S-O menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang,
(b) strategi W-O mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang, (c) strategi S-T
menggunakan kekuatan dan menghindari ancaman, dan (d) strategi W-T mengatasi
kelemahan dan menghindari ancaman.

4. Analitik Hierarki Proses (AHP)


Analisis ini bertujuan untuk menentukan prioritas strategi, dari beberapa
alternatif strategi yang didapat dari analisis SWOT, langkah-langkah yang dilakukan
adalah sebagai berikut :
32

a. Mengidentifikasi dan merumuskan masalah dalam bentuk hierarki (dekompo-


sisi masalah).
b. Penilaian/perbandingan elemen
Membuat penilaian tentang kepentingan relatif antara elemen pada suatu
tingkat tertentu (horizontal) dan dengan tingkat di atasnya (vertikal). Dalam
melakukan penilaian/perbandingan menggunakan skala dari 1/9 sampai
dengan 9. Jika alternatif A dan B dianggap sama (indifferent), maka A dan B
masing-masing diberi nilai 1, jika A lebih baik/lebih disukai dari B, maka A
diberi nilai 3 dan B diberi nilai 1/3. Jika A jauh lebih disukai dari pada B,
maka A diberi nilai 7 dan B diberi nilai 1/7. Skala penilaian tersebut disajikan
pada Tabel 4.

Tabel 4 Skala AHP dan definisinya


Skala Urutan kepentingan
1 Sama pentingnya (equal importance)
3 Sedikit lebih penting (slightly more importance)
5 Jelas lebih penting (materially more importance)
7 Sangat jelas lebih penting (significantly more impor-
tance)
9 Mutlak lebih penting (absolutely more importance)
2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara 2 nilai yang berdekatan
1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
Sumber : Saaty (2001)

Pengolahan Horisontal. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada peng-


olahan horizontal adalah sebagai berikut :
1. Perhitungan vektor eigen (VE) dengan rumus :
n

VEi = n √ п aij I = 1,2, …… n


i=1

VEi = Vektor eigen


33

Fokus Strategi Pengembangan Usaha


Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kriteria Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran

Aktor/ L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait


Pelaku

Sasaran Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan


Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan Kualitas bibit

Alternatif Modal Efisiensi Penerapan Kawasan sentra Fungsi


Strategi Usaha Usaha Teknologi Pembibitan Klpk

Gambar 3 Dekomposisi masalah

2. Perhitungan vektor prioritas dengan rumus :

VEi
VPi = ---------------
n

Σ VE
i=1
VPi = Vektor prioritas

3. Perhitungan nilai eigen maksimum (λ max) dengan rumus :


VA = aij x VP
VA
VB = ------
VP
34

Σ VBi
i =1
λ maxs = --------------
n
VA = Vektor antara
VB = Nilai eigen
λ maxs = Nilai eigen maksimum
4. Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
λ maxs - n
CI = ----------------
n–1
CI = Consistensi indeks
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus :
CI
CR = ------- ≤ 10%
RI
Keterangan : RI adalah indeks acak (Random Indeks)
Nilai CR yang lebih kecil atau sama dengan 0,10 merupakan nilai yang mem-
punyai tingkat konsistensi baik.
Pengolahan Vertikal. Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prio-
ritas setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan terhadap sasaran utama
(ultimate goal). Perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut :
s

CV ij = Σ CH ij (t, i –1) X
VW t (i-1)
t=1
Untuk : i = 1, 2, 3 …… p
j = 1, 2, 3, …... r
t = 1, 2, 3 ….... s
Keterangan :
CVij : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
sasaran utama
CH ij (t, i-1) : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1) yang diperoleh dari ha-
sil pengolahan horisontal
VW t (i-1) : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1) terha-
dap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.
P : Jumlah tingkat hirarki keputusan
r : Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
s : Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)
35

c. Sintesis Penilaian
Sintesis penilaian merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap
alternatif pada masing-masing kriteria.
n
bopi = ∑ boij * bc1
i=1

bopi = nilai/bobot untuk alternatif ke-i

Prioritas dapat disusun dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing-


masing alternative berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai
suatu alternatif semakin tinggi prioritasnya dan sebaliknya.

Secara rinci tahapan penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 4.


36

Identifikasi dan Analisis


Potensi Pengembangan Sapi Potong

Analisis Program Pengembangan Analisis


Sapi Potong yang sudah/sedang dilakukan IFE-EFE

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan


Usahatani-ternak melalui Perbaikan Teknologi
Budidaya

Analisis Matrik
SWOT

Alternatif Strategi Pengembangan


Sapi Potong

AHP

Prioritas Strategi Pengembangan


Sapi Potong

FGD

Program Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Gambar 4 Tahapan sistematis kegiatan penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Potensi Wilayah Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima


Puluh Kota

4.1.1 Keadaan Umum Wilayah


Secara geografis kabupaten Lima Puluh Kota, terletak pada 00221 Lintang
Utara, 00231 Lintang Selatan, dan 1000161 - 1000511 Bujur Timur. Luas dataran
mencapai 3.354,30 Km2 atau 7,94 persen dari luas propinsi Sumatera Barat (sebesar
42.229, 64 Km2). Wilayah ini terdiri dari 13 kecamatan berbatasan dengan empat
kabupaten dan satu propinsi yaitu sebelah Utara dan Timur dengan propinsi Riau,
sebelah Selatan dengan kabupaten Tanah Datar dan Sawahlunto Sijunjung, dan
sebelah Barat dengan kabupaten Agam dan Pasaman. Letak wilayah yang strategis
karena berbatasan dengan propinsi Riau sebagai konsumen terbesar produk sapi
potong asal Sumatera Barat, menjadikan kabupaten Lima Puluh kota memiliki potensi
pengembangan sapi potong. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kecamatan
Kapur Sembilan memiliki luas areal terbesar (21,56%) dan kecamatan Luhak memi-
liki luas areal terkecil (1,85%).

Tabel 5 Luas kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan kecamatan dan jumlah
penduduk
No Kecamatan Jumlah Jumlah Luas Persentase
Penduduk (KK) wilayah (%)
(Jiwa) (Ha)
1 Gunung Ameh 12.348 3.640 15.654 4,67
2 Suliki 13.865 3.912 13.694 4,08
3 Bukit Barisan 21.471 6.911 29.420 8,77
4 Guguak 32.849 8.774 10.620 3,17
5 Mungka 22.553 5.837 8.376 2,49
6 Payakumbuh 29.161 6.894 9.947 2,96
7 Akabiluru 25.061 6.051 9.426 2,81
8 Luhak 23.472 6.390 6.168 1,85
9 Situjuah Limo Nagari 19.037 5.358 7.418 2,21
10 Lareh Sago Halaban 32.014 8.222 39.485 11,77
11 Harau 40.810 9.365 41.680 12,43
12 Pangkalan Koto Baru 26.924 6.399 71.206 21,23
13 Kapur Sembilan 25.592 5.922 72.336 21,56
Jumlah 325.157 83.675 335.430 100,00
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan kabupaten Lima Puluh Kota (2005)
38

Topografi wilayah bervariasi antara datar, bergelombang, dan berbukit dengan


ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 110-791 meter (Tabel 6).

Tabel 6 Ketinggian tempat masing-masing kecamatan yang ada di kabupaten


Lima Puluh Kota
No Kecamatan Ketinggian
(m dpl)
1 Gunung Ameh 791
2 Suliki 554
3 Bukit Barisan 542
4 Guguak 514
5 Mungka 510
6 Payakumbuh 514
7 Akabiluru 512
8 Luhak 589
9 Situjuah Limo Nagari 580
10 Lareh Sago Halaban 582
11 Harau 514
12 Pangkalan Koto Baru 110
13 Kapur Sembilan 140
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan kabupaten Lima Puluh Kota (2005)

Kabupaten Lima Puluh kota dikelompokkan ke dalam empat bagian berdasar-


kan derajat kemiringan yaitu ; 0 - 2% seluas 46.972 Ha, 2 - 15% seluas 46.146 Ha,
15 - 40% seluas 182.784 Ha, dan kemiringan di atas 40% seluas 159.520 Ha. Luas
lahan berdasarkan jenis tanah terdiri dari : (1) Latosol dan Andosol seluas 34.608 Ha
(16,2%), (2) Podsolik Merah Kuning seluas 269.686 Ha (80,3%), dan (3) Podasi
seluas 12.128 Ha (3,5 %). Curah hujan yang ada relatif cukup tinggi berkisar antara
1.308 - 3.333 mm per tahun, dengan hari hujan berkisar antara 128 – 188 hari per
tahun, curah hujan terendah ditemukan pada kecamatan Kapur Sembilan dan yang
tertinggi ditemukan pada kecamatan Gunung Ameh. Dengan rata-rata curah hujan
dan hari hujan yang terjadi memungkinkan petani untuk menanami lahannya
sepanjang tahun dengan kombinasi tanaman disesuaikan dengan keadaan cuaca pada
bulan yang bersangkutan. Suhu udara maksimum berkisar antara 28,7 - 310C dan
suhu minimum berkisar antara 17,8 - 19,40C, dan rata-rata suhu bulanan antara 23,5 -
25,10C (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2005).
Sebagian besar lahan di daerah ini merupakan lahan produktif, yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Sistem penggunaan lahan (Tabel 7) menunjukkan areal
sawah sebesar 22.285 Ha (6,64%) dan lahan kering sebesar 313.145 Ha (93,36%).
39

Tabel 7 Sistem penggunan lahan di daerah penelitian


No Jenis Penggunaan Lahan Luas Persentase
(Ha) (%)
1 Lahan Sawah
- Pengairan Teknis 499 0,14
- Pengairan ½ Teknis 4.044 1,21
- Pengairan Sederhana 6.565 1,96
- Pengairan Desa/non PU 7.981 2,38
- Tadah Hujan 3.197 0,95
Sub total 22.286 6,64
2 Lahan Kering
- Pekarangan 8.325 2,48
- Tegalan/ladang 33.395 9,96
- Pengembalaan/Padang Rumput 23.208 6,92
- Hutan rakyat 53.797 16,04
- Hutan Negara 139.432 41,57
- Perkebunan 47.971 14,30
- Lain-lain 7.016 2,09
Sub total 313.430 93,36
Total 335.430 100,00
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lima Puluh Kota (2005)

Berdasarkan kondisi yang ada ketersediaan sumberdaya lahan di kabupaten Lima


Puluh Kota memiliki potensi untuk kegiatan pertanian dan peternakan.
Jumlah penduduk kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebesar 325.157 jiwa,
sebarannya menurut kelompok umur disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur


No Kelompok Umur Jumlah Persentase
(th) (jiwa) (%)
1 1–5 31.525 9,70
2 6 – 18 119.570 36,77
3 19 – 55 133.671 41,11
4 ≥ 56 40.391 12,42
Jumlah 325.157 100,00
Sumber : BPS kabupaten Lima Puluh Kota (2007)

Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berada pada sebaran
umur produktif yakni 19-55 tahun (41,11%). Hal ini menggambarkan penduduk
kabupaten Lima Puluh Kota cukup potensial untuk melaksanakan kegiatan pertanian.
Jumlah angkatan kerja di kabupaten Lima Puluh Kota sebesar 135.761 orang dari
jumlah penduduk yang ada, dengan rincian 119.492 orang bekerja dan 16.269 orang
40

pencari kerja (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2007). Terdapat berbagai lapangan
kerja seperti terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan usaha utama


No Lapangan usaha utama Jumlah Persentase
(jiwa) (%)
1 Pertanian 63.154 52,85
2 Pertambangan dan penggalian 1.464 1,23
3 Industri pengolahan 10.264 8,59
4 Listrik, gas, dan air minum 138 0,12
5 Bangunan/konstruksi 2.102 1,76
6 Perdagangan, hotel, dan restoran 16.408 13,73
7 Pengangkutan dan komunikasi 4.673 3,91
8 Bank dan lembaga keuangan 374 0,31
9 Jasa 20.915 17,50
Jumlah 119.492 100,00
Sumber : BPS kabupaten Lima Puluh Kota (2007)

Terlihat bahwa sebanyak 52,85 persen masyarakat berusaha pada sektor pertanian
termasuk peternakan, petani umumnya melakukan kegiatan usahatani secara ter-
integrasi.

4.1.2 Populasi Ternak


Populasi ternak yang ada pada masing-masing kecamatan di kabupaten Lima
Puluh kota dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran populasi ternak masing-masing kecamatan di kabupaten


Lima Puluh Kota
N Kecamatan Ruminansia Ternak Unggas
o Sapi Sapi Ker- Kam- Ku- Ayam Ayam Ayam Itik
potong Perah bau bing da Buras petelur ptg
1 Gunung Ameh 904 -- 2.974 446 -- 34.214 -- -- 4.041
2 Suliki 5.268 -- 3.494 854 28 43.200 112.500 -- 1.360
3 Bukit Barisan 6.144 -- 712 1.914 4 475.986 9.500 1.900 7.450
4 Guguak 1.419 -- 2.408 1.451 23 74.700 715.240 363.800 16.000
5 Mungka 2.519 -- 845 1.210 60 22.800 1.559.307 15.800 4.910
6 Payakumbuh 2.806 -- 967 674 50 54.204 455.800 48.250 12.101
7 Akabiluru 2.488 -- 2.093 783 7 26.518 45.300 42.000 7.370
8 Luhak 14.869 36 520 188 -- 16.309 45.000 17.000 7.688
9 Situjuah LN 2.184 4 616 1.432 7 41.655 30.000 22.000 5.370
10 Lareh SH 11.050 -- 717 4.087 -- 33.759 -- 166.000 5.210
11 Harau 5.945 -- 1.518 4.460 75 69.521 154.300 134.250 12.818
12 Pangkalan KB 932 -- 698 657 -- 1.680 1.000 -- 713
13 Kapur Sembilan 616 -- 3.499 1.288 -- 35.560 300 2.800 2.160
Jumlah 57.236 40 21.061 19.444 254 929.836 3.128.247 813.800 87.191
Sumber : BPS kabupaten Lima Puluh Kota (2007)
41

Ternak sapi menempati urutan populasi terbesar di antara ternak ruminansia,


dan secara keseluruhan ternak sapi menempati urutan populasi ke lima terbanyak
setelah ayam ras petelur, ayam buras, ayam broiler, dan itik. Ternak sapi yang
dipelihara umumnya sapi bibit, sehingga daerah ini dikenal sebagai salah satu sentra
penghasil sapi bibit di Sumatera Barat. Kecamatan Luhak dan Lareh Sago Halaban
memiliki populasi ternak sapi tertinggi, hal ini berkaitan dengan pelaksanaan be-
berapa program pengembangan sapi potong yang telah dilakukan, seperti program
Village Breeding Centre (VBC), Gerbang Serba Bisa (GSB), dan BPLM.
Hasil analisis LQ dari masing-masing wilayah (Tabel 11) menunjukkan
bahwa terdapat empat kecamatan yang sangat berpotensi untuk pengembangan ternak
sapi potong bila ditinjau dari populasi sapi potong yang dimiliki yaitu kecamatan
Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, dan Bukit Barisan. Sehubungan
dengan hal tersebut, ke empat wilayah basis di atas telah ditetapkan sebagai kawasan
sentra pengembangan bibit sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota (BPS
kabupaten Lima Puluh Kota 2005).

Tabel 11 Wilayah basis ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
No Kecamatan Nilai Lq
1 Luhak 3,7759
2 Lareh Sago Halaban 1,9083
3 Situjuah Limo Nagari 1,2081
4 Bukit Barisan 1,1829
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

4.1.3 Kapasitas Tampung Wilayah


Nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (KPPTR) wilayah
kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebesar 25.481,19 ST (Lampiran 1c). Hal ini
menggambarkan bahwa kabupaten Lima Puluh Kota memiliki potensi untuk menam-
pung tambahan populasi ternak ruminansia dimasa datang berdasarkan ketersediaan
sumberdaya pakan maupun keluarga petani ternak sebesar nilai total KPPTR tersebut.
Ketersediaan sumberdaya pakan berasal dari kontribusi padang pengembalaan/kebun
rumput, lahan pertanian dan dari limbah pertanian tanaman (Lampiran 1h).
Laporan Ditjen Peternakan (1985) menjelaskan bahwa, daya dukung suatu
wilayah yang diperuntukkan bagi pengembangan ternak adalah kemampuan wilayah
untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal. Pemanfaatan lahan di-
dasarkan pada : 1) lahan sebagai sumber pakan ternak, 2) semua jenis lahan cocok
42

sebagai sumber pakan, 3) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai


usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian, dan 4) hubungan
antara lahan dan ternak bersifat dinamis. Potensi pengembangan sapi potong di atas
masih dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi, dan implementasi integrasi
tanaman dan ternak (Croop Livestock System), yakni melalui optimalisasi peman-
faatan limbah usahatani tanaman untuk pakan dan pemanfaatan kotoran ternak untuk
pupuk tanaman.
Sarwono (1995) menyatakan bahwa, secara sederhana hubungan antara
peternakan sapi dengan budidaya tanaman adalah pada penyediaan hijauan makanan
ternak berupa : rumput alam dari pematang sawah, gulma yang diperoleh dari kebun,
dan limbah pertanian berupa jerami. Sebaliknya dari ternak tersedia pupuk kandang
yang dapat digunakan untuk pupuk tanaman dan tanaman hijauan makanan ternak,
integrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Sawah Pupuk

Hijauan (rumput, dedaunan, gulma) Ternak


Limbah pertanian berupa jerami Sapi

Kebun Pupuk

Gambar 5 Integrasi budidaya tanaman dan ternak sapi

Nilai KPPTR masing-masing kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota dapat


dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan data tersebut, wilayah yang potensial untuk
pengembangan dikelompokkan berdasarkan tingkat pengembangan ; 1) tinggi (keca-
matan Pangkalan Koto Baru, Lareh Sago Halaban, Mungka), 2) sedang (kecamatan
Luhak, Harau, Guguak, Payakumbuh), dan 3) rendah (kecamatan Situjuah Limo
Nagari, Kapur Sembilan, Bukit Barisan). Beberapa kecamatan memiliki nilai KPPTR
tinggi, namun kurang potensial untuk pengembangan sapi potong (kecamatan
43

Mungka, Guguak, dan Payakumbuh) dan lebih didominasi oleh ternak unggas,
sedangkan kecamatan Harau merupakan daerah wisata dan penangkaran kupu-kupu
(Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota 2005).

Tabel 12 Nilai KPPTR masing-masing kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota


No Kecamatan KPPTR Tingkat
Efektif Pengembangan
1 Pangkalan Koto Baru 7.583,54 Tinggi
2 Lareh Sago Halaban 5.762,11 Tinggi
3 Mungka 3.901,51 Tinggi
4 Luhak 2.538,09 Sedang
5 Harau 2.077,12 Sedang
6 Guguak 1.652,11 Sedang
7 Payakumbuh 1.562,92 Sedang
8 Situjuah Limo Nagari 993,45 Rendah
9 Kapur Sembilan 908,22 Rendah
10 Bukit Barisan 485,54 Rendah
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

4.2 Program Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh


Kota

4.2.1 Karakteristik Petani-ternak


Pemberdayan kelompok peternak sapi potong melalui program BPLM di
kabupaten Lima Puluh Kota telah dimulai semenjak tahun 2002 di tiga kecamatan
yaitu; Luhak, Lareh Sago Halaban, dan Situjuah Limo Nagari. Disamping itu juga
terdapat kelompok peternak yang tumbuh dan berkembang atas keinginan sendiri
walau belum mendapatkan program bantuan.
Program BPLM dilaksanakan sebagai proses pembelajaran (learning process)
bagi masyarakat peternak menuju kemandirian agar tidak selalu bergantung pada
bantuan pemerintah. Bantuan yang diberikan berupa modal tunai yang langsung
ditujukan pada kelompok tani ternak melalui rekening kelompok pada bank yang
disepakati sesuai rencana usulan kelompok (RUK). Program BPLM ini digulirkan
untuk menjamin adanya multiplier efffect sehingga diharapkan terbentuk kawasan
pengembangan peternakan, dan dapat meningkatkan pendapatan peternak. Untuk
memberikan kekuatan dari aspek yuridis, dibuat surat perjanjian antara Pimbagro
(pihak pertama) dengan ketua kelompok tani-ternak (pihak kedua) dan antara
kelompok tani-ternak dengan masing-masing anggota yang menerima. Dalam surat
perjanjian diatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, mekanisme
44

pengembalian pinjaman, sanksi-sanksi yang akan diterapkan dan kesepakatan-


kesepakatan lainnya.
Kelompok tani ternak yang melaksanakan program BPLM adalah kelompok
tani ternak Luhak Lalang (kecamatan Luhak), Sikabu Saiyo (kecamatan Situjuah
Limo Nagari), dan Tunas Baru (kecamatan Lareh Sago Halaban). Gambaran kelom-
pok tani ternak yang mendapat dana BPLM terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Karakteristik kelompok tani-ternak penerima dana BPLM


No Karakteristik Program BPLM (Kecamatan)
Luhak LSH Situjuh
1 Kelompok Pelaksana
- Nama Kelompok Luak Lalang Tunas Baru Sikabu Saiyo
- Tahun berdiri 1990 2001 2002
- Jumlah Anggota klpk 47 20 22
- Anggota yang menerima 16 20 20
- Tahun menerima bantuan Sept 2002 Sept 2004 Sept 2002
2 Kelembagaan Kelompok tani Kelompok tani Kelompok tani
3 Kredit yang diberikan
- Total Nilai kedit (Rp) 192.000.000,- 240.000.000,- 240.000.000,-
- Nilai kredit per anggota (Rp) 12.000.000,- 12.000.000,- 12.000.000,-
- Periode pengembalian 5 kali (5 thn) 5 kali (5 thn) 5 kali (5 thn)
- Beban bunga 6 % per thn 6 % per thn 6 % per thn
- Penggunaan Beli 2 ekr induk Beli 2 ekr induk Beli 2 ekr induk
4 Persiapan
- Pelatihan Intensif (hari) 3 hari 3 hari 3 hari
- Pertemuan kelompok (per thn) 4 kali 6 kali 5 kali
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Dana bantuan yang telah ditransfer ke rekening kelompok diperuntukkan bagi


pembelian sapi potong bibit untuk dikembangbiakan guna menghasilkan pedet.
Peternak menerima bantuan dalam satuan paket, setiap paket terdiri dari dua ekor
ternak bibit senilai Rp 12.000.000,- per anggota. Bibit sapi dibeli oleh peternak
bersama dengan tim pendamping dari Dinas, disekitar lokasi usaha seperti daerah
kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, dan pasar ternak
Payakumbuh. Modal pinjaman tersebut harus dikembalikan ke rekening kelompok
dalam periode 5 tahun dengan bunga 6% per tahun, dari pengembalian bunga
tersebut 49% dikembalikan kerekening kelompok, 49% digunakan untuk dana pen-
damping dan 2% nya untuk dana sosial Nagari. Ternak sapi dipelihara oleh masing-
masing anggota secara menyebar (tidak dalam satu kandang kelompok) sehingga
pengontrolan dan pelayanan oleh instansi terkait kurang optimal.
45

Karakteristik peternak yang terlibat dalam kegiatan pengembangan sapi


potong baik peserta BPLM maupun peternak non BPLM disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Karakteristik responden penelitian


No Uraian Pengembangan sapi potong
Program BPLM Non program
Freq % Freq %
1 Umur Peternak
- 25 – 45 th 32 60,38 44 55,0
- 46 – 60 th 21 39,62 36 45,0
2 Tingkat pendidikan
- SD 12 22,64 28 35,0
- SLTP 27 50,94 29 36,25
- SLTA 9 16,98 18 22,5
- PT 5 9,44 5 6,25
3 Jumlah anggota keluarga
- 1 – 3 org 28 52,83 58 72,5
- 4 – 6 org 24 45,28 22 27,5
- > 6 org 1 1,89 -- --
4 Mata pencaharian utama
- Petani/buruh tani 42 79,25 67 83,75
- Pegawai negeri/pensiun/ABRI 6 11,31 5 6,25
- Pedagang/wirausaha 5 9,44 8 10,0
5 Pengalaman beternak
- 1 – 5 thn 12 22,64 5 6,25
- 6 – 10 thn 11 20,76 26 32,5
- > 10 thn 30 56,60 49 61,25
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Sebagian besar responden berusia produktif (25-45 tahun), disamping umur produktif
tingkat pendidikan formal turut mempengaruhi petani ternak dalam mengelola usa-
hanya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasannya semakin meningkat,
dengan demikian akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Sebagian besar
tingkat pendidikan responden adalah SLTP baik responden program maupun non
program, hal ini mengindikasikan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia
yang mengakibatkan rendahnya adopsi teknologi sebagai ukuran respon petani ternak
terhadap perubahan teknologi.
Beban yang ditanggung oleh keluarga seringkali tercermin dari banyaknya
anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Sebagian besar responden termasuk
kategori keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga 1-3 orang, hal ini menggam-
barkan besarnya curahan waktu yang bisa dialokasikan untuk usahatani-ternak.
46

Sebagian besar responden memilih bertani sebagai usaha pokok termasuk di-
antaranya sebagai buruh tani, sedangkan usaha sapi potong masih merupakan usaha
sambilan. Peternak telah memiliki pengalaman memelihara sapi potong lebih dari 10
tahun, hal ini menggambarkan bahwa peternak sudah terbiasa memelihara sapi
potong dan merupakan kekuatan yang sangat menunjang bagi pengembangan usaha
sapi potong dimasa datang.
Motivasi dan prilaku peternak sapi potong di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 15.

Tabel 15. Motivasi dan prilaku peternak peserta program dan non program
No Uraian Peserta (skor nilai) Non Peserta
Situjuh LSH Luak Rataan (skor nilai)
1 Motivasi 43,05 ± 1,23 43,06 ± 0,83 42,19 ± 2,23 42,79 ± 1,43 41,94 ± 1,56

2 Prilaku
- Pengetahuan 20,15 ± 4,98 21,88 ± 4,86 20,69 ± 4,21 20,87 ± 4,68 19,45 ± 4,78
- Sikap 31,75 ± 1,89 31,65 ± 3,02 31,88 ± 2,58 31,75 ± 2,50 31,84 ± 2,24
- Keterampilan 19,45 ± 1,93 19,88 ± 1,93 19,13 ± 1,82 19,49 ± 1,50 19,11 ± 1,65
- Total 75,35 ± 6,64 73,41 ± 5,76 71,69 ± 5,36 72,11 ± 5,92 70,33 ± 6,57
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Hasil pengolahan data memperlihatkan bahwa peternak memiliki motivasi


yang tinggi untuk mengembangkan sapi potong (skor berada di antara 41-50). Begitu
juga dengan peternak non-program, walaupun belum memperoleh bantuan modal
pinjaman motivasi mereka masih tetap tinggi untuk mengembangkan usaha sapi
potong, karena ternak sapi potong dirasakan sangat menunjang perekonomian
keluarga.
Nilai skor prilaku berada dalam kisaran antara 61-80, artinya peternak memi-
liki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai untuk melakukan pengem-
bangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota, terutama kelompok ternak
di kecamatan Situjuh. Hal ini terjadi karena kelompok ternak di kecamatan Situjuh
baru pertama kali memperoleh dana bantuan dari pemerintah sehingga kelompok ini
serius melaksanakannya, didukung oleh kepemimpinan dan SDM yang memadai.
Hasil uji Man-Withney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara prilaku
peternak yang ikut program dengan peternak non program, mengindikasikan suatu
potensi yang menunjang pengembangan usaha sapi potong ke depan.
47

4.2.2 Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam Pengembangan Sapi


Potong
Lembaga pendukung usaha-tani ternak yang berkembang di kabupaten Lima
Puluh kota adalah :
1. Kelompok Tani Ternak. Terdapat 41 kelompok tani ternak di kabupaten Lima
Puluh Kota yang terdiri dari ; 34 kelompok peternak sapi bibit, 6 kelompok peter-
nak Ayam/Unggas, dan 1 kelompok peternak kambing.
2. Pos Inseminasi Buatan. Pos Inseminasi Buatan yang berfungsi memberikan pela-
yanan Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 13 unit. Pos ini tersebar di masing-
masing kecamatan yang ada.
3. Pos Kesehatan Hewan. Pos kesehatan hewan yang memberikan pelayanan dibi-
dang kesehatan hewan, terdapat 4 unit yang terletak dimasing-masing kecamatan
yakni ; kecamatan Luhak 1 unit, kecamatan Suliki 1 unit, kecamatan Mungka 1
unit, dan kecamatan Situjuh Limo Nagari 1 unit.
4. Sarana Pengairan. Dalam pelaksanaan irigasi kendala yang dialami selama ini
adalah kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau, karena pada umumnya
areal persawahan berada lebih tinggi dari permukaan air sungai yang ada, seperti
Batang Sinamar, Lampasi, Agam, Mahat, Mungo dan beberapa sungai kecil yang
belum ada bendungan. Disamping itu jaringan irigasi yang ada masih banyak
yang kurang terpelihara, sehingga banyak kehilangan air disaluran irigasi. Terda-
pat 4 unit cekdam, 4 unit embung, 52 unit pompa air, dan 75 unit kincir air seba-
gai sarana irigasi di kabupaten Lima Puluh Kota.
5. Sarana Alat dan Mesin Pertanian. Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan la-
han, dinas tanaman pangan memfasilitasi dan melayani petani dengan menyedia-
kan alat dan mesin pertanian seperti traktor untuk pengolah lahan, tresher untuk
perontok gabah dan jagung, RMU dan lain-lain. Alat dan mesin pertanian ter-
sebut dikelola dengan Sistem Kerjasama Operasional (KSO) antara dinas dengan
operator (kelompok tani).
6. Lembaga Keuangan Pemerintah. Lembaga keuangan pemerintah seperti BRI,
Bank Nagari, BNI, Bukopin selalu menyediakan pinjaman modal untuk usaha,
dan menyalurkan dana BPLM untuk usaha ternak. Untuk penyaluran dana BPLM
telah dipercayakan kepada Bank Nagari dan BNI kabupaten Lima Puluh Kota.
48

7. Perkeriditan Non Pemerintah. Perkeriditan non pemerintah yang berkembang


pada dasarnya merupakan lembaga non formal, petani mendapatkan pinjaman
modal bagi usahatani melalui perorangan dengan pembayaran setelah panen. Hal
ini lebih banyak dimanfaatkan petani karena prosedurnya yang mudah dan tanpa
agunan.
8. Pemasaran Hasil Produksi. Hasil produksi usahatani tanaman dan ternak terdiri
dari :
a. Hasil pertanian, pemasaran hasil pertanian dilakukan melalui tengkulak, pe-
dagang pengumpul, harga jual sedikit lebih rendah dari harga pasar dan
pembayarannya secara tunai. Apabila produksi yang dijual dalam skala yang
relatif besar biasanya petani langsung memasarkannya kepasar kabupaten atau
pasar kecamatan yang ada.
b. Pemasaran ternak, ternak sapi dipasarkan melalui pedagang pengumpul dan
pembayarannya secara tidak tunai (dicicil selama 3 – 4 bulan). Ada juga
peternak yang minta dibayar tunai, akan tetapi harga yang dibayarkan selalu
lebih rendah dari harga pasar (selisih sampai Rp 400.000 - 500.000 per ekor).

4.2.3 Manajemen Ternak Sapi Potong


Usaha ternak sapi potong yang dipelihara oleh peternak responden dilakukan
secara intensif, rataan kepemilikan ternak 5,21 ekor/peternak.

4.2.3.1 Sistem Reproduksi


Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bibit yang dipelihara terdiri dari
sapi Peranakan Simental (96,01%), Peranakan Limosin (2,53%), Peranakan FH
(1,09%), dan PO (0,37%). Responden memilih sapi Simental karena pertumbuhannya
cepat dan harga jual dipasaran tinggi, pada hal sapi Simental rentan terhadap kondisi
lingkungan tropis dan kesuburannya masih kurang bila dibandingkan dengan sapi
Bali. Pemerintah diharapkan bisa menyediakan bibit sapi unggul lokal yang sesuai
dengan kondisi setempat untuk pengembangan sapi potong ke depan. Semua respon-
den mengawinkan ternaknya melalui IB, permasalahan yang ditemui kurangnya
petugas IB sehingga IB terlambat dilakukan dan gangguan penyakit reproduksi yang
menyebabkan kejadian kawin berulang, sehingga frequensi IB yang dilakukan lebih
banyak. Haswita, (2007) menyatakan bahwa kejadian kawin berulang yang ditemui
disentra-sentra pembibitan sapi potong, pada umumnya disebabkan oleh kasus
49

endometis ringan sampai berat yakni mencapai 60% dan gangguan reproduksi
sebanyak 40% dari ternak yang diperiksa. Keragaan reproduksi usaha sapi potong
program pengembangan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Karakteristik reproduksi usaha sapi potong program pengembangan


No Komponen Keterangan
1 Calving Interval 15 bulan
2 Service per Conception (S/C) 1,9
3 Masa Kosong 4,5 bulan
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi reproduksi yang diperoleh


rendah, hal ini terlihat dari calving interval 15 bulan, service per conception 1,9 dan
masa kosong selama 4,5 bulan. Toelihere (1993) menyatakan bahwa calving interval
yang baik adalah sekitar 12 bulan, makin kecil angka S/C menandakan makin
suburnya induk sapi yang di IB dan efisienai reproduksi makin tinggi. Demikian pula
dengan masa kosong yang relatif panjang, yang biasanya berkisar anatara 40-60 hari
setelah melahirkan.

Gambar 6 Jenis sapi Simental yang dipelihara peternak

4.2.3.2 Jenis dan Sistem Pemberian Pakan


Jenis pakan yang diberikan pada ternak sapi terdiri dari hijauan, konsentrat
dan limbah pertanian berupa jerami yang diberikan pada saat panen. Hijauan yang
diberikan berupa hijauan unggul (rumput gajah) dan rumput lapangan (65% rumput
unggul dan 35% rumput lapangan), dengan rata-rata pemberian 39 kg/ekor/hari dan
50

frekuensi 2 kali per hari yakni pagi dan sore hari. Hijauan unggul ditanam oleh peter-
nak di lahan khusus dengan rata-rata luas kebun rumput 0,96 ha/peternak (Gambar 7),

Gambar 7 Lahan hijauan yang dimiliki peternak

konsentrat yang diberikan berupa dedak, dan ampas tahu. Dari gambaran di atas
terlihat bahwa petani-ternak sudah mulai memanfaatkan jerami padi untuk pakan
ternak akan tetapi belum banyak petani-ternak yang memberikannya, hal ini kare-
na hijauan pakan ternak masih tersedia dalam jumlah yang cukup dibandingkan
dengan ternak yang ada.

4.2.3.3 Tatalaksana Pemeliharaan Ternak.


Ternak sapi dipelihara dengan cara dikandangkan sehingga kondisi kesehatan
ternak lebih terjaga serta lebih mudah dalam hal pemberian pakan walaupun peternak
harus menyediakan waktu untuk mengarit rumput. Sebagian besar bangunan kandang
terbuat dari kayu, atap seng atau rumbia, lantai kandang dari semen, dinding dari
kayu dan bambu, ukuran kandang 2 x 1,5 m2 per ekor (Gambar 8). Kandang umum-
nya dibersihkan setiap hari, dan peralatan kandang terdiri dari tempat pakan, minum
dan penampung kotoran. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi potong program
pengembangan terlihat pada Tabel 17. Kotoran ternak sapi yang dihasilkan
dikumpulkan setiap hari dan disimpan dibagian belakang atau disamping kandang
tanpa upaya pengolahan untuk mendapatkan pupuk kompos. Pupuk kandang
digunakan untuk lahan hijauan pakan ternak, tanaman jagung, cabe dan kacang tanah
(Gambar 9).
51

Gambar 8 Kandang ternak sapi milik peternak

Tabel 17 Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi program pengembangan


No Tatalaksana Peternak Program BPLM Total Persen
Situjuh LSH Luhak
1 Sistem pemeliharaan
- Intensif 20 16 16 52 98,11
- Semi intensif -- 1 -- 1 1,89
2 Bangunan kandang
- Semi permanen lantai beton 6 2 7 15 28,30
- Semi permanen lantai tanah 3 -- 4 7 13,21
- Kayu lantai beton 10 15 4 29 54,72
- Kayu lantai tanah 1 -- 1 2 3,77
3 Membersihkan kandang
- Setiap hari 18 12 13 43 81,13
- Sekali dua hari 2 5 3 10 18,87
- Sekali seminggu -- -- -- -- --
4 Pengolahan pupuk kandang
- Melakukan pengolahan -- 3 - 3 5,67
- Tidak melakukan 20 14 16 50 94,33
5 Pupuk kandang yang ada
- Digunakan 20 17 14 51 100
- Tidak digunakan -- -- -- -- --
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Rataan pupuk kandang yang dihasilkan per peternak sebesar 13.661,95 kg/th untuk
program dan 8.077,24 kg/th non program. Disini terlihat adanya kontribusi usaha
ternak sapi terhadap usahatani dari sumbangan pupuk kandang yang dihasilkan.
52

Gambar 9 Pupuk kandang yang sudah siap digunakan

4.2.3.4 Pencegahan dan pengobatan penyakit


Pencegahan terhadap penyakit dilakukan melalui sanitasi kandang dan
lingkungan (98,04 %), serta melakukan vaksinasi (76,47%). Penyakit yang pernah
menyerang ternak sapi terdiri dari scabies, cacing, diare, kembung, dan penyakit
gangguan reproduksi yakni kejadian kawin berulang (60%), sehingga calving interval
akan semakin panjang dan efisiensi reproduksi menjadi tidak efisien.

4.2.3.5 Pemasaran Hasil Ternak


Produk yang dipasarkan berupa sapi bibit, sapi bakalan, dan ternak sapi yang
siap potong. Pada umumnya peternak menjual anak sapi pada umur ≤ 1 tahun,
dengan pertimbangan supaya segera memberikan penghasilan serta cepat membayar
cicilan. Kebiasaan ini sebenarnya justru merugikan peternak karena bila dilihat dari
aspek nilai tambah yang dihasilkan belum mencapai tingkat optimal. Dari sisi lain
manfaat IB yang sebenarnya diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah asset
dengan kualitas yang lebih baik menjadi tidak terwujud, justru yang banyak
menikmati nilai tambah hasil IB adalah pedagang atau peternak pengge-mukkan yang
membesarkannya menjadi induk atau menjualnya sebagai ternak potong. Pemasaran
biasanya dilakukan melalui : 1) pedagang pengumpul (84,31%), dan 2) bantuan
kelompok tani-ternak (15,69%).
Pemasaran melalui pedagang pengumpul dilakukan dengan cara : pedagang-
nya yang mendatangi peternak ke kandang, pembayaran umumnya dilakukan secara
53

tidak tunai (68,63%) baru dilunasi 1 – 2 bulan kemudian, dan pembayaran secara
tunai (31,37%) dengan harga selalu lebih rendah dari harga pasar (selisih harga 400 –
500 ribuan per ekor), ini menggambarkan posisi tawar menawar peternak lemah dan
tidak efisiennya pemasaran produk peternakan sehingga pendapatan peternak menjadi
berkurang. Mekanisme pemasaran hasil ternak di daerah penelitian seperti terlihat
pada Gambar 10.

Peternak Pedagang Pasar ternak


Pengumpul

Kelompok Peternak lain


Tani-ternak

Gambar 10 Mekanisme pemasaran sapi potong didaerah penelitian

Pemasaran melalui kelompok dilakukan dengan cara, jika anggota kelompok


yang mau memasarkan ternak sapi dibantu oleh anggota kelompok yang telah
ditunjuk untuk menangani pemasaran (biasanya anggota kelompok yang telah
berpengalaman dibidang pemasaran). Ternak sapi dijual sesuai dengan harga pasar,
siempunya ternak dikenakan biaya pemasaran sebesar Rp 50.000 – Rp 75.000,- per
ekor ternak (40% dari biaya pemasaran ini dikembalikan ke kas kelompok dan 60%
nya merupakan jasa untuk peternak yang memasarkan).

4.2.3.6 Produktivitas dan Pendapatan Usaha Sapi Potong


Struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Struktur populasi ternak sapi ptong didaerah penelitian


No Struktur populasi Program Non Program
Ekor % ekor %
1 Pejantan 3 1,76 2 1,72
2 Induk betina 97 56,73 66 56,90
3 Jantan muda 5 2,92 4 3,45
4 Sapi dara 17 9,94 9 7,76
5 Anak jantan 17 9,94 10 8,62
6 Anak betina 32 18,71 25 21,55
Total 171 100,00 116 100,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
54

Berdasarkan struktur populasi ternak sapi terlihat bahwa sapi betina induk
menempati proporsi yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh anak betina, anak
jantan, dan sapi dara. Sex ratio antara betina dan jantan adalah 5,84 dan 6,25
masing-masing untuk program dan non program. Informasi ini menggambarkan
bahwa daerah penelitian merupakan daerah pembibitan intensif, ditandai dari sex
ratio yang lebih besar dari 5,00 dan proporsi betina induk dalam struktur populasi
menempati proporsi yang lebih besar. Soetirto (1997) menyatakan bahwa, bila sex
ratio lebih besar dari 5,00 maka daerah yang bersangkutan dikategorikan sebagai
daerah pembibitan intensif, di samping indikator lain berupa besarnya proporsi sapi
induk dan pedet.
Berdasarkan struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat disusun pro-
duktivitas sapi potong seperti terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Produktivitas sapi potong didaerah penelitian


No Kriteria Program Non Program
1 Sex ratio 5,84 6,25
2 Umur induk kawin pertama (bln) 18 22
3 Jarak beranak (bln) 15 18
4 Mortalita (%) 1,43 1,96
5 Angka kelahiran (%) 70,71 65,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Dari tabel di atas terlihat bahwa produktivitas ternak sapi peserta program BPLM
lebih baik dari pada peternak non program, hal ini terjadi karena pada peternak
peserta program sebelum dana bantuan diberikan peternak terlebih dahulu mendapat-
kan pelatihan tentang aspek teknis usaha sapi potong. Usaha peningkatan produk-
tivitas dapat dicapai melalui : (1) pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi
ternak bibit, dan (2) pendekatan kualitatif yakni peningkatan produktivitas per unit
ternak dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi melalui peningkatan angka
kelahiran, memperpendek jarak beranak (calving interval), dan mengoptimalkan
pengelolaan perkawinan/IB. Rataan pendapatan yang diperoleh dari usahaternak sapi
disajikan pada Tabel 20.
Pendapatan yang diperoleh peternak bervariasi diantara peternak peserta
program dan luas lahan yang dimiliki. Rata-rata pendapatan peternak program luas
lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 765.311,83 dan Rp
878.768,58 per peternak per bulan. Rata-rata pendapatan peternak non program luas
55

lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 527.479,63 dan


Rp 420.175,76 per peternak per bulan.

Tabel 20 Rataan pendapatan usaha ternak sapi potong di daerah penelitian


No Uraian Program Non Program
≤ 1 Ha > 1 Ha ≤ 1 Ha > 1 Ha
1 Penerimaan
- Nilai jual ternak 5.154.995 4.545.000 4.093.538,9 3.833.312,5
- Perubahan nilai ternak 9.185.000 10.410.000 3.966.666,7 3.675.000
- Kotoran 513.883,5 611.667 258.906,7 395.295
Total penerimaan 14.853.878,5 15.566.667 8.319.112,2 7.903.607,5
2 Pengeluaran
- Pakan 1.555.842,8 1.413.241 863.884,4 1.387.412,5
- Tenaga kerja 1.137.788,8 1.124.497,5 687.555,6 840.054,7
- Obat-obatan 54.690 77.835 25.538,9 45.262,5
- Penyusutan 206.740 196.770 156.822,2 171.268,8
- IB 86.125 84.000 36.666,7 55.000
- Pemasaran 8.750 3.500 -- --
- Cicilan kridit 1.800.000 1.440.000 -- --
- Sewa lahan 381.000 336.000 218.888,9 362.500
- Bunga cicilan 439.200 345.600 -- --
Total pengeluaran 5.670.136,6 5.021.443,5 1.989.356,7 2.861.498,4
3 Pendapatan
- Pendapatan bersih 9.183.741,9 10.545.223,5 6.329.755,5 5.042.109,1
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

4.2.4 Manajemen Usahatani


4.2.4.1 Karakteristik Usahatani
Karakteristik usahatani yang menentukan produktivitas adalah luas lahan,
lahan garapan terbagi atas : sawah, lahan kering untuk rumput unggul, dan lahan
kering untuk tegalan yang ditanami dengan tanaman palawija. Semua responden
mengungkapkan bahwa usahatani produktif yang dijalankan dikerjakan pada lahan
sawah dan mampu memberikan kontribusi terbesar baik terhadap ekonomi rumah
tangga petani secara individu maupun struktur ekonomi nagari. Semua responden
juga mengalokasikan lahan kering mereka untuk menanam rumput gajah, dan
sebagian responden peserta program (46,6%) dan non-program (50%) memiliki lahan
tegalan sebagai lahan usahatani produktif. Karakteristik usahatani responden dapat
dilihat pada Tabel 21.
Sistem kepemilikan lahan sawah diklasifikasikan menjadi : 1) petani ternak
program BPLM yang memiliki luas lahan sawah ≤ 1 Ha; 2) petani-ternak program
BPLM yang memiliki luas lahan sawah > 1 Ha; 3) petani-ternak non-program BPLM
yang memiliki luas lahan sawah ≤ 1 Ha; dan 4) petani-ternak non-program BPLM
56

Tabel 21 Karakteristik usahatani-ternak peserta program dan non program


No Karakteristik Program Non Program
Usahatani petani-ternak Freq % Freq %
1 Sawah
1. Luas garapan - < 1 Ha 20 66,67 18 52,94
- ≥ 1 Ha 10 33,33 16 47,06
2. Intensitas tanam (th)
- Tiga kali 28 93,33 33 97,06
- Dua kali 2 6,67 1 2,94
3. Pola tanam MT I
- Padi 30 100,00 34 100,00
4. Pola tanam MT II
- Padi 30 100,00 34 100,00
5. Pola tanam MT III
- Padi 12 40,00 19 55,88
- Cabe 8 26,66 7 20,59
- Kacang tanah 6 20,99 5 14,71
- Jagung 2 6,67 2 5,88
- Bera 2 6,67 1 2,94
2 Lahan untuk kebun rumput 30 100,00 34 100,00
1. Jenis tanaman: R. Gajah 30 100,00 34 100,00
2. Intensitas tanam : tiap thn 30 100,00 34 100,00
3 Lahan tegalan 14 46,67 17 50,00
1. Intensitas tanam (thn)
- Dua kali 14 100,00 17 100,00
- Satu kali -- -- -- --
2. Pola tanam MT I
- Padi ladang -- -- 1 5,88
- Cabe 9 64,29 8 47,06
- Kacang Tanah 3 21,43 4 23,53
- Jagung 2 14,28 4 23,53
3. Pola tanam MT II
- Padi ladang -- -- 1 5,88
- Cabe 4 28,57 6 35,29
- Kacang Tanah 7 50,00 6 35,29
- Jagung 3 21,43 4 23,54
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

yang memiliki luas lahan sawah > 1 Ha, dengan mempertimbangkan perbedaan
intensitas tanam pada lahan responden. Aktivitas pola tanam disajikan pada Tabel 22.
Pola tanam dominan pada lahan sawah di lokasi penelitian adalah padi-padi-
padi. Tanaman padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan pada tiga
musim tanam, hal ini berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang
menempatkan beras sebagai sumber makanan pokok. Musim tanam 1 (MT I) mulai
bulan Oktober dan panen pada bulan Januari, MT II dimulai pada bulan Februari dan
57

Tabel 22 Pola usahatani yang dipertimbangkan dalam model perencanaan


optimal
Lahan Luas kepemilikan sawah
Luas ≤ 1 ha Luas > 1 ha
Pola tanam Kode Pola tanam Kode
1. Program BPLM
a. Sawah 2 x per th Padi-Padi-Bera PT1 Padi-Padi-Bera PT1
b. Sawah 3 x per th Padi-Padi-Padi PT2 Padi-Padi-Padi PT2
Padi-Padi-Cabe PT3 -- --
Padi-Padi-Kt PT4 Padi-Padi-Kt PT3
Padi-Padi-Jg PT5 -- --
c. Kebun rumput Rumput gajah PT6 Rumput gajah PT4
d. Tegalan Cabe-Cabe PT7 Cabe-Cabe PT5
Cabe-Kt PT8 Cabe-Kt PT6
Kt-Kt PT9 -- --
Cabe-Jg PT10 -- --
Jg-Jg PT11 Jg-Jg PT7
2. Non program
a. Sawah 2 x per th -- -- Padi-Padi-Bera PT1
b. Sawah 3 x per th Padi-Padi-Padi PT1 Padi-Padi-Padi PT2
Padi-Padi-Cabe PT2 -- --
Padi-Padi-Kt PT3 -- --
Padi-Padi-Jg PT4 -- --
c. Kebun rumput Rumput gajah PT5 Rumput gajah PT3
d. Tegalan Cabe-Cabe PT6 Cabe-Cabe PT4
Cabe-Kt PT7 Cabe-Kt PT5
Kt-Kt PT8 Kt-Kt PT6
Cabe-Jg PT9 -- --
Jg-Jg PT10 Jg-Jg PT7
Padi-Padi PT11 Kt-Jg PT8
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

panen pada bulan Mei, dan MT III dimulai pada bulan Juni dan panen pada bulan
September. Untuk MT III petani-ternak telah mulai mengkombinasikannya dengan
tanaman palawija dan tanaman sayuran karena persediaan air yang terbatas pada
musim kemarau. Terdapat dua musim tanam untuk lahan tegalan yakni musim tanam
satu (MT I) dan musim tanam dua (MT II). Musim tanam satu didominasi tanaman
cabe (64,29 %), dan musim tanam dua didominasi oleh tanaman kacang tanah (50 %).
Untuk kebun rumput, semua peternak mengalokasikan sebagian lahan kering yang
dimiliki untuk tanaman rumput unggul sebagai pakan sapi potong.

4.2.4.2 Sistem Penggunaan Lahan


Berdasarkan kapasitas dan intensitas lahan sawah untuk penanaman selama
satu tahun, sumberdaya lahan sawah responden dikelompokan menjadi ; (1) lahan
58

sawah dua kali tanam per tahun, dan (2) lahan sawah tiga kali tanam per tahun.
Ketersediaan sumberdaya lahan responden disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh responden penelitian


Rincian Luas sawah (Ha)
≤ 1 Ha > 1 Ha
1. Program
a. Sawah
- Luas minimum 0.2 1.2
- Luas maksimum 1.0 2.5
- Jumlah 11.35 16.4
- Rataan 0.57 1.64
b. Kebun rumput 0.95 0.84
c. Tegalan 0.58 0.50
2. Non Program
a. Sawah
- Luas minimum 0.25 1.1
- Luas maksimum 0.5 4.0
- Jumlah 6.75 36.95
- Rataan 0.38 2.31
b. Kebun rumput 0.55 0.91
c. Tegalan 0.38 0.33
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Rataan luas sawah yang dimiliki peternak program kategori lahan ≤ 1 Ha dan
> 1 Ha masing-masing 0,57 Ha, 1,6 Ha ; 0,38 Ha, 2,31 Ha untuk peternak non
program. Rataan pemilikan kebun rumput gajah peternak program kategori lahan ≤ 1
Ha dan > 1 Ha tidak begitu berbeda, lain halnya dengan peternak non program
memiliki luas lahan kebun rumput yang berbeda antara kategori lahan ≤ 1 Ha dan > 1
Ha. Rataan luas lahan tegalan yang dimiliki masing-masing peternak tidak begitu
berbeda, yang digunakan untuk tanaman palawija dan sayuran dengan interval tanam
dua kali per tanun.
Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan mengusahakan integrasi tanam-
an dan ternak dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara ekonomis dan optimal.
Tingginya frekuensi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat memungkin-
kan penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan bagi ternak sapi potong.

4.2.4.3 Curahan Waktu Kerja


Curahan waktu kerja yang dimaksud adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia
yang digunakan untuk bekerja dilahan usahatani (sawah, kebun rumput, dan tegalan),
59

pemeliharaan ternak, dan kegiatan diluar usahatani-ternak. Rataan tenaga kerja yang
tersedia per bulan dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Ketersediaan tenaga kerja keluarga per bulan responden penelitian


Rincian Luas sawah (Ha)
≤ 1 Ha > 1 Ha
1. Program
- Pria dewasa (HKP) 600 350
- Wanita dewasa (HKP) 340 140
- Anak-anak (HKP) 100 25
jumlah 1.040 515
Rataan 52 51,5
2. Non Program
- Pria dewasa (HKP) 550 550
- Wanita dewasa (HKP) 340 240
- Anak-anak (HKP) 162,5 12,5
jumlah 1.052,5 802,5
Rataan 58,47 50,16
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Curahan waktu oleh petani untuk kegiatan usaha ternak adalah untuk mengarit
rumput, memberi pakan, membersihkan kandang, memandikan ternak, dan member-
sihkan kuku. Rataan kebutuhan tenaga kerja per unit ternak per bulan adalah 2,96
dan 2,77 HKP untuk petani ternak program kategori luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1
Ha, untuk petani ternak non-program kategori luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1 Ha
adalah 5,01 dan 3,39 HKP. Rataan tenaga kerja yang tersedia per bulan peserta
pogram dengan luas lahan ≤ Ha dan > 1 Ha adalah 52 dan 51,5 HKP, untuk non
program adalah 58,47 dan 50,16 HKP. Kegiatan yang umum dilakukan oleh
responden pada berbagai jenis tanaman disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan responden


Jenis tanam Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
1. Sawah
Padi a bc c d a bc c d a bc c d
Cabe -- -- -- -- -- -- -- -- a bc c d
Kacang Tnh -- -- -- -- -- -- -- -- a bc c d
Jagung -- -- -- -- -- -- -- -- a bc c d
2. Kebun Rpt a bc cd cd cd cd cd cd cd cd cd cd
3. Tegalan
Padi ladang a bc c d a bc c d -- -- -- --
Cabe a bc c d a bc c d -- -- -- --
Kacang Tnh a bc c d a bc c d -- -- -- --
Jagung a bc c d a bc c d -- -- -- --
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
60

Keterangan : a : Persemaian dan mengolah lahan


b : Penanaman
c : Pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama pe-
nyakit)
d : Panen

Perbedaan aktivitas dan intensitas kerja petani pada setiap fase pertumbuhan
tanaman berdampak pada perbedaan waktu kerja. Curahan waktu kerja per bulan
untuk masing-masing kegiatan pada masing-masing kategori dijelaskan pada Tabel
26.

Tabel 26 Curahan tenaga kerja per bulan kegiatan usahatani dilokasi penelitian
Kategori MT I (HOK/Ha) MT II (HOK/Ha) MT III (HOK/Ha)
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
1.Prg ≤ 1 Ha
- Padi 7,95 11,35 6,81 6,81 7,95 11,35 6,81 6,81 7,95 11,35 6,81 6,81
- Cabe -- -- -- -- -- -- -- -- 6,83 9,75 5,85 5,85
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 8,93 12,75 7,65 7,65
- Jagung -- -- -- -- -- -- -- -- 7 10 6 6
- R gajah 11,43 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75
- Cabe 8,2 11,72 7,03 7,03 8,2 11,72 7,03 7,03 -- -- -- --
- KT 7,58 10,83 6,5 6,5 7,58 10,83 6,5 6,5 -- -- -- --
- Jagung 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 -- -- -- --
Total 40,41 48,15 31,59 31,59 35,73 48,15 31,59 31,59 37,46 50,6 33,06 33,06
2.Prg > 1 Ha
- Padi 22,96 32,8 19,68 19,68 22,96 32,8 19,68 19,68 22,96 32,8 19,68 19,68
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 22,4 32 19,2 19,2
- R gajah 10,08 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96
- Cabe 8,75 12,5 7,5 7,5 8,75 12,5 7,5 7,5 -- -- -- --
- KT 14 20 12 12 14 20 12 12 -- -- -- --
- Jagung 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
Total 59,29 76,26 48,14 48,14 55,17 76,26 48,14 48,14 51,32 70,76 44,84 44,84
3.NP ≤ 1 Ha
- Padi 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5
- Cabe -- -- -- -- -- -- -- -- 4 5,72 3,43 3,43
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 6,3 9 5,4 5,4
- Jagung -- -- -- -- -- -- -- -- 5,25 7,5 4,5 4,5
- R gajah 6,6 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 6,75 6,75 6,75 6,75
- Padi 7 10 6 6 7 10 6 6 -- -- -- --
- Cabe 5,5 7,85 4,71 4,71 5,5 7,85 4,71 4,71 -- -- -- --
- KT 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
- Jagung 4,43 6,33 3,8 3,8 4,43 6,33 3,8 3,8 -- -- -- --
Total 32,28 40,58 25,91 25,91 29,58 40,58 25,91 25,91 27,55 36,47 24,58 24,58
4.NP > 1 Ha
- Padi 32,33 46,19 27,71 27,71 32,33 46,19 27,71 27,71 32,33 46,19 27,71 27,71
- R gajah 10,88 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43
- Cabe 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 -- -- -- --
- KT 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
- Jagung 4,67 6,67 4 4 4,67 6,67 4 4 -- -- -- --
Total 56,63 71,79 45,64 45,64 52,18 71,79 45,64 45,64 38,76 52,62 34,14 34,14
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
61

Data tersebut menunjukkan bahwa untuk peternak program, tidak semua tenaga kerja
keluarga yang tersedia termanfaatkan untuk kegiatan usahatani luas lahan ≤ 1 Ha.
Artinya tenaga kerja keluarga yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk tambahan
kegiatan usahatani sekitar 2,69-39,25 persen dari kegiatan usahatani yang ada, begitu
juga halnya dengan usahatani non-program kepemilikan lahan ≤ 1 Ha. Untuk
usahatani program dan non-program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha hampir semua
tenaga kerja keluarga yang tersedia dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani. Bahkan
pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Oktober, November, Februari, Maret, dan
Juli, tenaga kerja upahan diperlukan karena meningkatnya aktivitas usahatani seperti
pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Persentase tertinggi penggu-
naan tenaga kerja luar keluarga adalah untuk pengolahan lahan, penanaman, pe-
nyiangan, dan panen.

4.2.4.4 Penggunaan Input Produksi


Input produksi utama yang digunakan oleh petani-ternak dalam menjalankan
aktivitas usahatani meliputi bibit tanaman (padi, palawija, sayur-sayuran, dan
rumput), pupuk organik dan an-organik, pestisida serta obat-obatan untuk ternak.
Penggunaan input produksi dihitung per musim tanam, kecuali untuk tanaman
rumput hanya ditanam satu kali permulaan saja (diremajakan dalam 4 tahun sekali).
Bibit tanaman yang digunakan oleh petani dilokasi penelitian meliputi bibit padi,
cabe, kacang tanah dan jagung untuk lahan sawah. Bibit padi ladang, cabe, kacang
tanah, dan jagung untuk tegalan, serta bibit rumput gajah untuk kebun hijauan pakan
ternak.
Rataan penggunaan dan ketersediaan bibit tanaman disajikan pada Lampiran
2a dan 2b. Bibit yang disediakan oleh petani selalu lebih besar dari pada jumlah
kebutuhan usahatani (selisih 10-25%), ini bertujuan untuk mengantisipasi kegagalan
pertumbuhan bibit di persemaian. Pupuk yang digunakan untuk tanaman terdiri dari
pupuk Urea, TSP, KCl, NPK, dan pupuk kandang (Lampiran 2c dan 2d). Jumlah
pupuk an-organik yang diberikan oleh petani untuk kegiatan usahatani hanya sebesar
50 persen dari dosis pupuk yang dianjurkan, hal ini karena keterbatasan modal untuk
membeli pupuk, kecuali pupuk organik hampir semuanya dapat dipenuhi. Obat-
obatan yang umum digunakan oleh petani-ternak di daerah penelitian berupa Lebicyt
untuk tanaman padi, dan Entracol serta Curacron untuk tanaman cabe (Lampiran 2 e).
62

4.2.4.5 Modal.
Modal yang tesedia berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal
pinjaman (kredit). Modal pinjaman hanya ada pada usahatani-ternak program BPLM
sedangkan usahatani-ternak non program tidak memperoleh modal pinjaman.
Perhitungan modal sendiri dilakukan dengan cara menghitung rata-rata tingkat pen-
dapatan rumah tangga petani-ternak selama satu tahun. Data yang diperoleh menun-
jukkan bahwa rata-rata modal yang tersedia untuk usahatani-ternak program kepe-
milikan lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha sebesar Rp 7.200.362,67 dan Rp 9.749.149,33 per
musim tanam. Sedangkan untuk usahatani-ternak non program adalah sebesar Rp
4.852.035,- dan Rp 11.767.449,38 per musim tanam, biaya produksi per Ha lahan
disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Biaya produksi masing-masing pola tanam per musim tanam


Rincian Biaya Produksi (Rp)
Program Non Program
MT I MT II MT III MT I MT II MT III
Sawah ≤ 1 Ha
a. Padi 957.396,6 957.396,6 957.396,6 637.219,8 637.219,8 637.219,8
b. Cabe 1.104.008 1.104.008 991.005 726.103.2 726.103.2 597.538,6
c. Kt 923.137,8 923.137,8 1.126.820 483.238,1 483.238,1 728.600
d. Jg 679.011,4 679.011,4 860.785 559.211,6 559.211,6 642.135
e. Padi (tgl) -- -- -- 773.919,1 773.919,1 --
f. R gajah 1.028.464,6 1.028.464,6 1.028.464,6 556.494,8 556.494,8 556.494,8
Total 4.692.018,4 4.692.018,4 4.964.471,2 3.736.186,6 3.736.186,6 3.161.988,2
Sawah > 1 Ha
a. Padi 2.606.001 2.606.001 2.606.001 3.578.889,8 3.578.889,8 3.578.889,8
b. Cabe 1.218.750 1.218.750 -- 710.625 710.625 --
c. Kt 1.714.500 1.714.500 2.617.645 500.784,2 500.784,2 --
d. Jg 536.240 536.240 -- 593.198,5 593.198,5 --
e. R Gajah 916.222,7 916.222,7 916.222,7 928.840,3 928.840,3 928.840,3
Total 6.991.713,7 6.991.713,7 6.139.868,7 6.312.337,8 6.312.337,8 4.507.730,1
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Untuk usahatani-ternak program dengan kepemilikan lahan ≤ 1 Ha dan > 1


Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani sebesar 67,6 persen dari
modal yang tersedia, sisanya digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi
terjadinya kegagalan usaha. Pada usahatani-ternak non-program, dengan kepemilikan
lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha, modal yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani lebih
kecil yakni rata-rata 60,8 persen dari modal yang tersedia. Sementara itu untuk
modal pinjaman hanya diberikan pada petani-ternak yang mengikuti program BPLM
yakni sebesar Rp 2.400.000 per tahun atau Rp 800.000,- per musim tanam.
63

4.2.4.6 Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Tanaman


Berdasarkan Tabel 22 terdapat 11 pola tanam usahatani-ternak program
kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, dan 7 pola tanam usahatani-ternak program
kepemilikan lahan sawah > 1 Ha. Khusus petani-ternak non program terdapat 11 pola
tanam untuk kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, dan 8 pola tanam kepemilikan lahan
sawah > 1 Ha. Adanya perbedaan pola tanam berdampak pada perbedaan jumlah dan
pola produksi usahatani (Lampiran 2f-1, 2f-2, 2f-3, 2f-4). Usahatani-ternak program
kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola
tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT7 yakni pola tanam tegalan
dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani program
kepemilikan lahan sawah > 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni pola
tanam padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT5 yakni lahan tegalan yang
ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-
program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, produksi tertinggi diperoleh pada PT1
yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per
tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode
tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha,
produksi tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan sawah yang ditanami dengan
tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4 yakni lahan tegalan yang
ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per tahun. Data ini didukung
oleh laporan Kasijadi et al. (2007) bahwa, untuk meningkatkan produktivitas
usahatani padi telah tersedia rakitan teknologi pengelolaan terpadu spesifik lokasi
meliputi ; (a) adanya varietas unggul spesifik lokasi yang dapat diterima oleh petani
dan tidak berdampak negatif terhadap kelestarian alam; (b) pemupukan rasional
spesifik lokasi yang mengacu pada kandungan hara tanah dan kebutuhan tanaman; (c)
penambahan pupuk organik, karena semakin rendahnya bahan organik dalam tanah;
dan (d) pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan. Untuk mencukupi
kebutuhan pupuk organik dilahan sawah dan memberikan tambahan pendapatan
petani, para petani dipacu mengusahakan ternak sapi untuk memperoleh pupuk
organik dengan harga murah, diperlukan model integrasi usahatani padi ternak sapi.
Perbedaan dalam pola dan jumlah produksi serta produktivitas akan berimpli-
kasi pada adanya perbedaan dalam tingkat pendapatan (Lampiran 2g-1, 2g-2, 2g-3,
2g-4). Usahatani program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi
64

diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode
tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman cabe periode satu kali (MT3) per tahun, dan
PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali
per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha, pendapatan tertinggi
diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode
tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman kacang tanah periode satu kali (MT3) per
tahun, dan PT6 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman kacang tanah
periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah
≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami
dengan tanaman padi periode tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman kacang tanah
periode satu kali (MT3) per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan
tanaman cabe pada MT1 kacang tanah pada MT2. Usahatani non-program kepemi-
likan lahan sawah > 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan
sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4
yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per
tahun.
Model lengkap analisis tingkat usahatani-ternak di daerah penelitian disajikan
pada Lampiran 2h sampai 2w.

4.2.5 Optimalisasi Usahatani-ternak


4.2.5.1 Aktivitas Basis pada Pola Usahatani-ternak Optimal
Hasil analisis pola usahatani-ternak optimal disajikan pada Tabel 28. Dari
Tabel 28 terlihat bahwa aktivitas basis pada pola usahatani-ternak optimal, rata-rata
lahan yang dimiliki oleh petani-ternak (sawah, kebun rumput, tegalan) semuanya
termanfaatkan. Tenaga kerja keluarga yang tersedia, pada usahatani-ternak program
dan non-program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha belum semuanya termanfaatkan,
artinya masih ada cadangan tenaga kerja keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan usahatani-ternak. Untuk usahatani-ternak program dan non-program
kepemilikan lahan sawah > 1 Ha pada bulan-bulan tertentu (Oktober, November,
Februari, Maret, Juli) terjadi kekurangan tenaga kerja karena meningkatnya aktivitas
usahatani untuk pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Rata-rata
ternak sapi potong yang dipelihara berdasarkan potensi lahan hijauan yang ada
dan tenaga kerja keluarga yang tersedia, masih dapat di tingkatkan dari rata-rata
65

Tabel 28 Aktivitas basis pola usahatani-ternak optimal


Uraian Aktivitas Satuan Jumlah
1. Program sawah ≤ 1 Ha Padi – Padi – Cabe (PT3) Ha 0,57
Hijauan pakan ternak (PT6) Ha 0,95
Cabe – Cabe tegalan (PT7) Ha 0,58
Memelihara sapi bibit (PT12) UT 10,44
2. Program sawah > 1 Ha Padi – Padi – KT (PT3) Ha 1,64
Hijauan pakan ternak (PT4) Ha 0,84
Cabe – KT tegalan (PT6) Ha 0,50
Memelihara sapi bibit (PT8) UT 10,03
Menyewa tenaga kerja bln Oktober HOK 7,79
Menyewa tenaga kerja bln November HOK 24,76
Menyewa tenaga kerja bln Februari HOK 3,67
Menyewa tenaga kerja bln Maret HOK 24,76
Menyewa tenaga kerja bln Juli HOK 19,26
3. Non Program sawah ≤ 1 Padi – Padi – KT (PT3) Ha 0,38
Ha Hijauan makanan ternak (PT5) Ha 0,55
Cabe – Cabe tegalan (PT6) Ha 0,38
Memelihara sapi bibit (PT12) UT 5,62
4. Non Program sawah > 1 Padi – Padi – Padi (PT2) Ha 2,31
Ha Hijauan makanan ternak (PT3) Ha 0,91
Cabe – Cabe tegalan (PT4) Ha 0,33
Memelihara sapi bibit (PT9) UT 9,93
Menyewa tenaga kerja bln Oktober HOK 6,47
Menyewa tenaga kerja bln November HOK 21,63
Menyewa tenaga kerja bln Februari HOK 2,02
Menyewa tenaga kerja bln Maret HOK 21,63
Menyewa tenaga kerja bln Juli HOK 2,46
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

kepemilikan ternak yang ada sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pola usahatani-
ternak solusi optimal memberikan pendapatan maksimal bagi petani-ternak.
Memelihara ternak merupakan aktivitas basis untuk semua kategori usahatani-
ternak dan juga menjadi solusi optimal pada model analisis usaha yang dikembang-
kan. Hal ini terjadi karena aktivitas tersebut tidak bersaing dengan aktivitas lain
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dengan demikian usaha ternak sapi merupa-
kan usaha yang dapat dikembangkan secara bersamaan dan saling mendukung
(terintegrasi) untuk memperoleh pendapatan maksimal.
Aktivitas lain yang juga menjadi aktivitas basis dalam pola usahatani-ternak
optimal adalah menyewa tenaga kerja dari luar terutama pada usahatani-ternak
program dan non program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha pada bulan Oktober-
November (MT I), Februari-Maret (MT II), dan Juli (MTIII). Hal ini terjadi karena
meningkatnya aktivitas usahatani-ternak pada bulan tersebut dan terbatasnya tenaga
66

kerja yang tersedia dalam keluarga, sehingga digunakan tenaga kerja upahan untuk
menutupi kekurangan tenaga kerja keluarga.

4.2.5.2 Alokasi Sumberdaya pada Pola Usahatani-ternak Solusi Optimal


Sumberdaya yang digunakan dalam kegiatan usahatani perencanaan optimal
berupa lahan, tenaga kerja, input produksi, dan modal.
Lahan. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan disajikan pada Gam-
bar 11 sampai dengan Gambar 14.

MT I MT II MT III

Sawah Padi 0,57 Ha Padi 0,57 Ha Cabe 0,57 Ha


Kebun rumput Rumput Gajah 0,95 Ha
Tegalan Cabe 0,58 Ha Cabe 0,58 Ha

Gambar 11 Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah ≤ 1 Ha

MT I MT II MT III

Sawah Padi 1,64 Ha Padi 1,64 Ha KT 1,64 Ha


Kebun rumput Rumput Gajah 0,84 Ha
Tegalan Cabe 0,5 Ha KT 0,5 Ha

Gambar 12 Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah > 1 Ha

MT I MT II MT III

Sawah Padi 0,38 Ha Padi 0,38 Ha KT 0,38 Ha


Kebun rumput Rumput Gajah 0,55 Ha
Tegalan Cabe 0,38 Ha Cabe 0,38 Ha

Gambar 13 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah ≤ 1 Ha

MT I MT II MT III

Sawah Padi 0,57 Ha Padi 0,57 Ha Cabe 0,57 Ha


Kebun rumput Rumput Gajah 0,95 Ha
Tegalan Cabe 0,58 Ha Cabe 0,58 Ha

Gambar 14 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah > 1 Ha
67

Lahan yang tersedia seluruhnya dapat di alokasikan pada pola optimal. Untuk
lahan sawah musim tanam pertama (MT I) dan ke dua (MT II), tanaman padi merupa-
kan tanaman yang direkomendasikan untuk diusahakan pada pola usahatani-ternak
solusi optimal. Untuk musim tanam ke tiga (MT III) bervariasi antara Padi, Cabe,
dan Kacang Tanah (KT). Lahan hijauan makanan ternak ditanami dengan rumput
gajah secara periodik 1-2 tahun sekali, untuk tegalan ditanami dalam dua musim
tanam, dan bervariasi antara Cabe dan Kacang tanah.
Tenaga kerja keluarga. Penggunaan sumberdaya tenaga kerja keluarga pada
pola usahatani-ternak solusi optimal disajikan pada Tabel 29. Pada pola usahatani
solusi optimal tidak semua tenaga keluarga yang tersedia dapat dialokasikan dalam
usahatani-ternak, kecuali usahatani-ternak program luas lahan > 1 Ha terdapat ke-
kurangan tenaga kerja pada musim tanam satu (MT I), musim tanam dua (MT II),

Tabel 29 Penggunaan tenaga kerja pola usahatani-ternak optimal


No Uraian Tenaga kerja Tenagakerja Tenaga kerja
MT I (HOK) MT II (HOK) MTIII (HOK)
1 Usahatani Program lhn ≤ 1 Ha
Tersedia 208 208 208
Terpakai 151,74 147,06 154,18
Sisa 56,76 60,94 53,82
2 Usahatani Program lhn > 1 Ha
Tersedia 206 206 206
Terpakai 231,83 227,71 211,76
Sisa -25,83 -21,71 -5,76
3 Usahatani non Program lhn ≤ 1 Ha
Tersedia 233,88 233,38 233,88
Terpakai 124,68 121,98 113,18
Sisa 109,2 111,4 120,7
4 Usahatani non Program lhn > 1 Ha
Tersedia 200,64 200,64 200,64
Terpakai 219,7 215,25 159,66
Sisa -19,06 -14,61 40,98
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

musim tanam tiga (MT III), dan non program luas lahan > 1 Ha musim tanam satu
(MT I), musim tanam dua (MT II), dan harus dicarikan dengan menyewa tenaga kerja
luar keluarga.
Input Produksi. Input produksi yang dipertimbangkan meliputi penggunaan
bibit tanaman, pupuk an-organik, dan pupuk organik. Penggunaan input produksi
pada pola optimal disajikan pada Lampiran 2x dan 2y.
68

Hampir semua input produksi yang disediakan oleh petani terpakai pada pola
usahatani solusi optimal, ini menggambarkan bahwa pada pola ini penggunaan input
cenderung lebih efisien dibandingkan pola yang dijalankan oleh petani.
Modal. Penggunaan modal pada pola solusi optimal usahatani-ternak disaji-
kan pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 modal sendiri yang dimiliki
petani-ternak tidak seluruhnya dialokasikan pada masing-masing pola optimal,
kecuali untuk usaha sapi bibit, karena modal pinjaman dapat dialokasikan seluruhnya
pada pola optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk usahatani sapi bibit sum-
berdaya modal merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan untuk menjalankan
usaha sapi potong.
Usahatani-ternak yang dijalankan oleh petani telah mengurangi input dari luar,
karena tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Input berupa sarana produksi sedapat
mungkin diperoleh dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait, pupuk

Tabel 30 Penggunaan modal pada pola usahatani-ternak optimal


N Uraian Program Non Program
o MT I MT II MT III MT I MT II MT III
1 Lahan sawah ≤ 1 Ha
a. Modal sendiri (Rp)
Tersedia 7.200.362,67 7.200.362,67 7.200.362,67 4.852.035 4.852.035 4.852.035
Terpakai 3.089.869,22 2.806.790,24 2.181.266,35 1.850.664,98 1.806.868,29 1.171.756,97
Sisa 4.110.493,45 4.393.572,43 5.019.096,32 3.001.370,02 3.045.166,71 3.680.278,03
b. Pinjaman (Rp)
Tersedia 800.000 800.000 800.000
Terpakai 800.000 800.000 800.000
Sisa -- -- --
2 Lahan sawah > 1 Ha
a. Modal sendiri (Rp)
Tersedia 9.749.149,30 9.749.149,30 9.749.149,30 11.767.449,38 11.767.449,3 11.767.449,3
Terpakai 4.489.485,57 4.379.473,67 3.599.308,80 5.124.851,86 8 8
Sisa 5.259.663,73 5.369.675,66 6.149.840,53 6.642.597,52 5.445.755,15 4.461.846,94
b. Pinjaman (Rp) 6.321.694,23 7.305.602,44
Tersedia 800.000 800.000 800.000
Terpakai 800.000 800.000 800.000
Sisa -- -- --
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

organik dari limbah ternak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk lahan pertanian
dan kebun rumput. Sebagian petani telah memanfaatkan sisa hasil tanaman untuk
ternak, rumput unggul yang sengaja ditanam dilahan khusus dengan memanfaatkan
tenaga kerja keluarga yang ada. Pola usaha yang telah diterapkan tersebut, sudah
menggambarkan usahatani dengan System Low External Input Sustainable Agricul-
ture (LEISA).
69

4.2.5.3 Tingkat Pendapatan Usahatani-ternak pada Pola Optimal


Besarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani-ternak dengan menjalan-
kan pola optimal disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31 Perbandingan pendapatan antara petani-ternak pola aktual dan po-


la optimal
N Uraian Program Non Program
o Pola Pola Perubah Pola Pola Perubah
aktual optimal - an (%) aktual optimal -an (%)
1 Lahan sawah ≤ 1 Ha
a. Usaha tanaman (Rp) 21.601.088 48.263.273,54 14.556.105 26.808.934,02
b. Usaha sapi potong 9.183.741,95 20.525.663,28 6.329.755,56 11.651.788,84
Total 30.784.829,95 68.788.936,82 123,45 20.885.860,56 38.460.722,86 84,15
2 Lahan sawah > 1 Ha
a. Usaha tanaman (Rp) 29.247.448 57.928.875,50 35.302.348,13 57.278.412,73
b. Usaha sapi potong 10.545.223,50 20.895.616,08 5.042.109,06 8.180.564,69
Total 39.792.671,50 78.824.491,58 98,09 40.344.457,19 65.458.977,42 62,25
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 123,45%; 98,09% untuk usaha


tani-ternak program luas lahan ≤ 1 Ha; > 1 Ha, dan 84,15%; 62,25% untuk usahatani-
ternak non-program luas lahan ≤ 1 Ha; > 1 Ha apabila petani-ternak menjalankan pola
usahatani solusi optimal. Ini sesuai dengan tujuan program integrasi tanaman dan
ternak yakni : 1) mendukung peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian,
2) membantu upaya peningkatan produktivitas tanaman dan ternak, dan 3) mening-
katkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani-ternak masih memungkin-
kan dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak
sapi potong, dan pemanfaatan limbah ternak sapi potong untuk usaha pertanian.

4.2.6 Kontribusi Pendapatan Usaha Sapi Potong


Besarnya kontribusi pendapatan usaha sapi potong terhadap total pendapatan
petani-ternak secara keseluruhan disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan Tabel 32
terlihat kontribusi pendapatan usaha sapi potong sebesar : (1) 23,80% dan 23,41%
masing-masing untuk usahatani-ternak program luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1 Ha ;
(2) 25,07 % dan 11,27 % masing-masing untuk usahatani-ternak non-program luas
lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1 Ha. Hal ini menggambarkan bahwa usaha sapi potong
yang dipelihara masih bersifat sambilan, dan relatif tidak berbeda antara pola optimal,
dengan luas lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1 Ha untuk program, dan berbeda antara luas
lahan sawah ≤ 1 Ha dan > 1 Ha untuk non program. Menurut Soehadji (1995), usaha
peternakan sebagai usaha sambilan yakni petani-ternak yang mengusahakan berbagai
70

komoditi pertanian terutama tanaman pangan, dengan kontribusi pendapatan dari


usaha ternak kurang dari 30 persen.

Tabel 32 Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong


No Uraian Program Non Program
Pendapatan Kontribusi Pendapatan Kontribusi
(Rp/Th) (%) (Rp/Th) (%)
1 Lahan sawah ≤ 1 Ha
Usahatani 21.601.088 55,99 14.556.105 57,66
Usaha ternak sapi ptg 9.183.741,95 23,80 6.329.755,56 25,07
Lainnya 7.796.000 20,21 4.360.555,56 17,27
Total 38.580.829,95 100,00 25.246.416,12 100,00
2 Lahan sawah > 1 Ha
Usahatani 29.247.448 64,94 35.302.348,13 78,90
Usaha ternak sapi ptg 10.545.223,50 23,41 5.042.109,06 11,27
Lainnya 5.245.000 11,65 4.400.000 9,83
Total 45.037.671,50 100,00 44.744.457,19 100,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

4.2.7 Analisis Pelaksanaan Program BPLM


Hasil analisis terhadap pelaksanaan program BPLM terlihat pada Tabel 33.

Tabel 33 Kinerja pelaksanaan program BPLM


No Indikator keberhasilan Pelaksanaan program BPLM
Luak LSH Situjuh
1 Aspek Kelembagaan
a. Jumlah anggota (org)
- Awal program (Sept 2002) 16 20 20
- Saat bulan Sept 2006 6 27 46
b. Partisipasi anggota
- Awal program (Sept 2002) 90% 90% 90%
- Saat bulan Sept 2006 40% 85% 80%
2 Aspek Usaha
a. Permodalan (Rp)
- Awal program (Sept 2002) 192.000.000 240.000.000 240.000.000
- Saat bulan Sept 2006 65.928.000 235.727.600 260.470.000
b. Perencanaan usaha kedepan
- Saat bulan Sept 2006 Koordinasi Koordinasi Koordinasi
Kurang Bagus Bagus
3 Aspek Teknis
a. Angka kelahiran (%)
- Awal program (Sept 2002) 25,01 59,68 48,89
- Saat bulan Sept 2006 63,30 67,50 70,59
b. Angka kematian ternak (%)
- Awal program (Sept 2002) 3,06 1,89 2,45
- Saat bulan Sept 2006 1,67 1,67 1,00
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
71

Aspek kelembagaan. Ditinjau dari aspek kelembagaan, perkembangan jum-


lah anggota (anggota sub-inti), kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru
mengalami peningkatan sebesar 130 dan 35 persen, yang mengindikasikan minat
yang besar dari anggota sub-inti di dua kelompok tani-ternak tersebut. Sebaliknya
kelompok tani-ternak Luak Lalang mengalami berbagai kendala antara lain macetnya
pengembalian cicilan pokok dan bunga pinjaman, sehingga tidak ada dana yang
digulirkan pada anggota lain. Macetnya pengembalian kredit tidak terlepas dari
lemahnya fungsi kontrol dari pengurus dan instansi terkait. Partisipasi anggota
kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo dan Tunas Baru terlihat cukup tinggi dan sangat
kurang pada kelompok tani-ternak Luak Lalang.
Berkembangnya suatu kelompok erat kaitannya dengan kemampuan kelom-
pok dalam : (1) merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani-
ternak para anggota dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal, (2) kemampuan
melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain atau mitra, (3) kemampuan
menumpuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional, (4) kemampuan
meningkatkan hubungan kelembagaan dengan koperasi, dan (5) kemampuan mencari
dan memanfatkan informasi serta menggalang kerjasama antar anggota kelompok
(Kurnianita et al. 2006).
Aspek Usaha. Kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo mampu meningkatkan
modal kelompok sebesar 25,20 persen dari modal awal sebesar Rp 240.000.000.
Peningkatan modal kelompok diperoleh dari cicilan pokok/bunga pinjaman, usaha
penyediaan saprotan milik kelompok, usaha simpan pinjam. Perkembangan kelompok
dimasa depan mempunyai prospek yang bagus karena manajemen kelompok yang
baik, dan terdapat koordinasi yang baik antar anggota dengan pengurus dalam
merencanakan usaha kedepan.
Kelompok tani-ternak Tunas baru, masih belum mampu untuk meningkatkan
modal kelompok. Hal ini karena sebagian anggota belum mampu mengembalikan
cicilan pokok/bunga pinjaman, pengurus yang kurang berpengalaman sehingga
kelompok kurang berkembang, dan kurangnya transparansi dalam menetapkan
anggota yang menerima program sehingga sebagian anggota tidak mampu mengem-
balikan cicilan pokok/bunga pinjaman. Perencanaan usaha kedepan masih cukup
baik karena masih ada koordinasi antara pengurus dan anggota dalam menyusun
rencana usaha.
72

Kondisi kelompok tani-ternak Luak Lalang belum sesuai harapan, pening-


katan modal kelompok belum berjalan lancar karena ada sebagian anggota yang
belum membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman. Hal ini disebabkan manajemen
kelompok yang belum memadai termasuk perekrutan anggota penerima bantuan tidak
mengikuti prosedur yang baik (25% anggota yang menerima bantuan memanfaatkan
dana bantuan bukan untuk membeli bibit sapi potong). Ditambah Koordinasi anggota
dalam menyusun rencana usaha kedepan tidak dilakukan secara terprogram.
Penguatan modal kelompok melalui BPLM merupakan salah satu upaya
memberdayakan peternak dengan menggunakan pendekatan usaha kelompok. Ban-
tuan tersebut bertujuan memotivasi peternak agar mampu meningkatkan skala usaha
secara lebih efisien sehingga dapat memperbaiki tingkat pendapatan.
Aspek Teknis. Aspek teknis usaha (angka kelahiran dan angka kematian)
yang diperoleh tidak begitu berbeda diantara kelompok tani-ternak yang menerima
bantuan. Hal ini karena sebelum menerima bantuan, anggota kelompok sudah di-
bekali mengenai aspek teknis usaha sapi potong seperti teknologi praproduksi me-
liputi persiapan pemberian pakan (penyusunan ransum, fermentasi jerami), teknologi
budidaya (IB, vaksinasi, pemberian pakan tambahan, vitamin), teknologi pasca panen
(pengolahan limbah).
Hasil analisis terhadap tiga indikator pelaksanaan program BPLM (Tabel 33)
menunjukkan bahwa kelompok tani ternak Sikabu Saiyo (Situjuah Limo Nagari)
memperlihatkan hasil lebih baik dari pada ke dua kelompok tani-ternak lainnya.
Keadaan ini didukung oleh manajemen kelompok tani-ternak yang baik terutama
dalam hal penyediaan saprotan (dikelola kelompok), manajemen usaha, permodalan,
pemasaran hasil, namun belum menjangkau aspek pasca panen di ke tiga kecamatan
yang ada. Peran lembaga pendukung seperti petugas penyuluh lapangan dan insemi-
nator di kecamatan Situjuh lebih memadai dari pada dua kecamatan lainnya. Untuk
program pengembangan usaha sapi potong kedepan perlu adanya dukungan teknologi
yang memadai dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan
pendapatan peternak.
73

4.3 Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi Pakan


dan Pemanfaatan Limbah Ternak
4.3.1 Pemanfaatan Jerami Padi terhadap Produktivitas Sapi Potong
4.3.1.1 Konsumsi Pakan
Rataan konsumsi bahan kering ransum perlakuan disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Rataan konsumsi bahan kering ransum
No Perlakuan Konsumsi Bahan Kering
Kg/ekor/hr Dalam persentase BB
1 To 6,43 a 2,22
b
2 T1 8,62 2,85
3 T2 8,23 b 2,77
SE 0,40
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Keterangan : Perlakuan T1 dan T2 berbeda nyata terhadap perlakuan T0 (P<0,01)
To = Kontrol
T1 = 40% rumput gajah + 15% jerami fermentasi + 45% konsentrat
T2 = 20% rumput gajah + 35% jerami fermentasi + 45% konsentrat

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh antar perlakuan


memperlihatkan pengaruh nyata (Lampiran 3a) terhadap konsumsi bahan kering
ransum (P<0,01). Konsumsi bahan kering ransum berkisar antara 6,43 – 8,62 kg/ekor/
hr atau sama dengan 2,22 - 2,85 persen dari bobot badan. Berbedanya pengaruh
perlakuan disebabkan oleh karena pada proses fermentasi jerami padi dapat mening-
katkan kandungan protein kasar (dari 4,55% menjadi 9,43%) dan palatabilitas (aroma
khas setelah hasil fermentasi). Utomo et al. (1988) menyatakan bahwa pengolahan
jerami padi menggunakan urea dan probiotik akan meningkatkan kandungan protein
kasar dan kecernaan dari jerami padi. Pada proses fermentasi jerami padi dengan
menggunakan probion terjadi perubahan sifat fisik dan kimia yang menyebabkan
kualitasnya lebih baik dari pada jerami padi tanpa pelakuan (fermentasi). Menurut
Zulbardi (1993), dengan meningkatnya kadar protein kasar jerami padi fermentasi
akan meningkatkan palatabilitas ransum sehingga konsumsi meningkat.
Konsumsi bahan kering ransum meningkat bersamaan dengan meningkatnya
level penggunaan jerami fermentasi (JF), karena NDF dan ADF pada Jerami fermen-
tasi sudah berkurang maka jerami fermentasi mudah dicerna oleh enzim yang dihasil-
kan mikroba rumen, akibatnya laju makanan dalam saluran pencernaan menjadi cepat
dan konsumsi bahan kering meningkat. Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara laju makanan dalam saluran pencernaan dengan
74

jumlah konsumsi. Setelah dilakukan uji lanjut menggunakan uji berjarak Duncan
(Lampiran 3d), perlakuan T1 T2 nyata berbeda dengan perlakuan T0, sedangkan antara
perlakuan T2 dan T1 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Meningkatnya
level jerami fermentasi yang digunakan dapat menurunkan kandungan serat kasar,
sehingga meningkatkan daya cerna ransum.

4.3.1.2 Pertambahan Bobot Badan.


Rataan pertambahan bobot badan masing-masing perlakuan disajikan pada
Tabel 35.

Tabel 35 Rataan bobot badan masing-masing perlakuan


No Perlakuan Pertambahan bobot badan
(kg/ekor/hr)
1 To 0,61 a
2 T1 0,84 b
3 T2 0,79 b
SE 0,04
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Keterangan : Perlakuan T1 dan T2 berbeda nyata terhadap perlakuan T0 (P<0,01)

Hasil analisis keragaman (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa antar perlakuan nyata
berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan (P<0,01), pertambahan bobot badan
berkisar antara 0,61 – 0,84 kg/ekor/hr. Berbedanya pertambahan bobot badan antar
perlakuan disebabkan oleh konsumsi bahan kering ransum yang juga berbeda. Per-
tumbuhan ternak menurut Tillman et al. (1991), dipengaruhi oleh konsumsi bahan
kering dan total konsumsi protein per harinya. Konsumsi juga dipengaruhi oleh
kecernaan makanan, apabila kecernaan meningkat maka konsumsi juga akan mening-
kat. Hasil penelitian Bulo et al. (2004), pemberian jerami padi fermentasi mengguna-
kan starbio terhadap sapi PO menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,63
kg/ekor/hr, jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini pertambahan bobot badan
yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh karena
kandungan zat makanan yang digunakan berbeda dan respon sapi PO terhadap jenis
pakan yang diberikan juga berbeda.
Hasil uji lanjut (Lampiran 3d) memperlihatkan bahwa perlakuan T1 dan T2
berbeda nyata dengan perlakuan To, sedangkan perlakuan T1 tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata dengan perlakuan T2.
75

4.3.1.3 Konversi Pakan


Rataan konversi ransum masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 36.
Hasil analisis keragaman (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa pengaruh perla-
kuan berbeda nyata terhadap konversi ransum (P<0,01), konversi ransum berkisar
antara 10,24 – 10,58. Berbeda nyatanya konversi ransum perlakuan disebabkan oleh
karena pertambahan bobot badan dan konsumsi bahan kering ransum yang berbeda.
Tabel 36 Rataan konversi ransum penelitian
No Perlakuan Konversi Ransum
1 To 10,58a
2 T1 10,24b
3 T2 10,39c
SE 0,03
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Keterangan : Perlakuan C berbeda dengan B dan perlakuan A (P<0,01)

Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dihabiskan


dengan pertambahan bobot badan.
Setelah dilakukan uji lanjut (Lampiran 3d) ternyata hasil perlakuan T1 ber-
beda nyata dengan perlakuan To, dan perlakuan T1 juga berbeda nyata dengan
perlakuan T2. Konversi ransum yang baik dari ketiga perlakuan ini adalah perlakuan
T1, karena nilai konversi ransum lebih kecil dari pada perlakuan To dan T2.
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki kabupaten Lima Puluh Kota sebesar
22.286 Ha dengan periode tanam tiga kali per tahun, daerah ini berpotensi mengha-
silkan limbah jerami sebesar 468.006 ton per tahun, yang mampu menampung
187.202 ST per tahun.

4.3.1.4 Produksi Feses


Rataan hasil produksi feses masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel
37.

Tabel 37 Rataan produksi feses masing-masing perlakuan


No Perlakuan Produksi feses
(kg/ekor/hr)
1 To 17,73
2 T1 17,8
3 T2 17,78
Rataan 17,77
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Keterangan : Masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05)
76

Hasil analisis keragaman (Lampiran 3g) menunjukkan jumlah feses yang di-
hasilkan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing perlakuan. Rata-rata
produksi feses sebesar 17,77 kg/ekor/hr dalam keadaan basah (Bahan kering 19,25%).
Pengolahan feses menggunakan probion melalui proses sebagai berikut ; 1 ton
feses basah menghasilkan 554 kg kompos siap pakai (rendemen 55%), diperlukan
biaya tambahan sebesar Rp 80.500,-/ton feses basah. Harga jual pupuk organik yang
telah diolah sebesar Rp 1.500 per kg (harga pupuk organik yang belum diolah Rp 40
per kg), sehingga diperoleh tambahan pendapatan dari pengolahan pupuk organik
menggunakan probion sebesar Rp 831.000 per ton feses (Lampiran 3h).
Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di kabupaten Lima Puluh
sebanyak 57.236 ekor (rata-rata produksi feses 17,77 kg dan rendemen 55%) diper-
kirakan mampu memproduksi pupuk organik sebanyak 204.181 ton/thn dan dapat
digunakan untuk memupuk lahan tanaman seluas 102.090,5 Ha/thn (dosis pupuk
organik 2 ton/Ha/musim). Oleh karena itu prospek pengembangan sapi potong seba-
gai penghasil pupuk organik ditingkat petani-ternak sangat berpeluang.

4.3.2 Pengaruh Pengolahan Limbah Tanaman dan Ternak terhadap Usaha


Sapi Potong
Hasil analisis Partial pemeliharaan sapi dengan pengolahan limbah untuk
pakan dan sebagai pupuk organik disajikan dalam Tabel 38.

Tabel 38 Analisis parsial pemeliharaan sapi dengan teknologi pengolahan


limbah dan pemeliharaan sapi tanpa pengolahan limbah
Uraian Nilai (Rp/ekor/bln)
A. Pemeliharaan tanpa pengolahan limbah
a. Tambahan pendapatan yang diperoleh 231.300,00,-
Biaya pakan 162.322,80,-
Total 68.971,20
b. Tambahan biaya proses kompos 0
Berkurangnya biaya 0
Total 0
c. Keuntungan 68.971,20
B. Pemeliharaan dengan Pengolahan limbah
a. Tambahan pendapatan diperoleh 742.950,00
Biaya pakan 156.038,70
Total 586.911,30
b. Tambahan biaya proses kompos 42.674,61
Berkurangnya biaya 0
Total 42.674,61
c. Keuntungan 544.236,69
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
77

Dengan melakukan integrasi antara usahatani tanaman dan ternak pendapatan petani-
ternak dapat ditingkatkan. Artinya pengolahan jerami padi melalui proses fermentasi
untuk pakan ternak, dan melakukan pengolahan pupuk organik menggunakan
probion, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69 per ekor per
bulan.

4.4 Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
4.4.1 Metode Pendekatan Sistem
Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan
yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-
kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap
efektif (Eriyatno, 2003). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal
yaitu ; (1) mencari semua faktor penting yang ada, dalam mendapatkan solusi yang
baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuatkan suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan rasional.
Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteris-
tik yaitu ; (1) kompleks (interaksi antar elemen cukup rumit); (2) dinamis (ada faktor
yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan kemasa depan); (3) probalistik
(diperlukannya fungsi peluang) dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang
sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut :
analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, verifikasi model dan
implementasi. Secara diagramatik tahapan analisis system disajikan pada Gambar 15.
Relevensi konsep ini dengan daerah yang diteliti merupakan suatu landasan
pemikiran mengenai komponen pembangunan struktur pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu penggunaan lahan dan fungsi-fungsinya,
aktivitas usaha sapi potong, serta perkembangan usaha sapi potong. Ketiga variabel
tersebut merupakan variabel pendukung (Variable State) dalam membangun model
konseptual, kemudian ditentukan variabel lainnya (non-state) yang meliputi variabel
penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary) dan variabel tetap (constant) yang
melengkapi suatu model.
Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat
kemudan ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan
tersebut dapat ditentukan apakah hubungan bersifat positif atau negatif, dengan
78

demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal lop) untuk semua variabel
dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Identifikasi sistem
dengan diagram lingkar sebab akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun
konsep kotak gelap (black box) dengan input output. Diagram input output mempre-
sentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki

Mulai A

4.4.1.1 Analisis Kebutuhan


Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan
Analisis
yang terjadi, Kebutuhan
sehingga Model
pengembangan usaha sapi potong Pengembangan
mampu mencapai harapan
Sapi Potong
berbagai pihak yang berkepentingan. Komponen pihak yang berkepentingan dalam
perencanaan pengembangan usaha sapi potong terdiri dari : (1) peternak, (2) konsu-
No
men, (3) pedagang, (4) investor, (5) lembaga keuangan, dan (6) pemerintah/ instansi
Formulasi B Sesuai dg
terkait. Permasalahan Kriteria
4.4.1.2 Formulasi Permasalahan
Kompleksnya permasalahan pengembangan usaha sapi potongYesdi Kabupaten
Identifikasi
Lima Puluh Sistem
Kota sangat mempengaruhi perkembangan dari investasi. Untuk
Pengembangan Implementasi
memermulasikan permasalahan tersebut perlu dibantu dengan perancangan dalam
sistem penunjang keputusan. Permasalahan dirancang melalui beberapa tahap yaitu :
No
(1) tahap perencanaan
A pengembangan yang didasarkan pada; (a) criteria kelayakan
Evaluasi
yang sesuai, (b) metoda yang sesuai, (c) melibatkan berbagai pihak terkait, (d) proses
Yes
engambilan keputusan; (2) tahap evaluasi terhadap model perencanaan; dan (3) tahap
penyempurnaan dengan melakukan perancangan implementasi.
Rekomendasi Model
Pengembangan sapi
4.4.1.3 Identifikasi Sistem

Gambar 15. Tahapan analisis sistem

dan tidak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter


rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap ditengah diagram yang
mewujudkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input
79

output desain sistem pengembangan sapi potong berdasarkan hasil penelitian


disajikan pada Gambar 16.

4.4.2 Potensi Pengembangan Sapi Potong


Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di
Sumatera Barat, memiliki potensi pengembangan berdasarkan kepada : (1) posisi
geografis wilayah yang berbatasan langsung dengan Riau (konsumen terbesar produk

INPUT LINGKUNGAN MAKRO


1. Globalisasi ekonomi
2. Persyaratan perdagangan
3. Kebijakan pemerintah
4. Kondisi sosial budaya
5. Tuntutan pelestarian
lingkungan

Input tidak terkendali Output yang dikehendaki


1. Permintaan pasar 1. Peningkatan produksi
2. Fluktuasi harga produktivitas
3. Suku bunga 2. Peningkatan pendapatan
4. Persaingan 3. Kelangsungan usaha
5. Perbedaan kepentingan 4. Stabilitas harga produk
dari stakeholder 5. Kesejahteraan anggota

SISTEM PENGEMBANGAN
USAHA SAPI POTONG

Input terkendali Output yg tdk dikehendaki


1. Prosedur investasi 1. Motivasi usaha berku-
2. Standar kualitas hasil rang
3. Sumber pembiayaan 2. Meningkatnya serangan
4. Kelembagaan penyakit ternak
5. Tingkat teknologi 3. Menurunnya penjualan
4. Biaya produksi tinggi
5. Kerusakan lingkungan

MANAJEMEN PENGENDALIAN
USAHA SAPI POTONG

Gambar 16. Diagram input output sistem perencanaan pengembangan


usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
80

sapi potong asal Sumatera Barat); (2) terdapatnya wilayah basis ternak sapi potong
yang tersebar di empat kecamatan yakni kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban,
Situjuah Limo Nagari dan Bukit Barisan; (3) tingginya nilai kapasitas peningkatan
populasi ternak ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang
tersedia; (4) ternak sapi potong dipelihara dalam suatu sitem yang terintegrasi dengan
usahatani tanaman sehingga optimalisasi penggunaan sumberdaya masih memungkin-
kan untuk ditingkatkan; (5) peternak sapi potong tergabung dalam suatu lembaga
kelompok peternak yang berusaha dibidang perbibitan; (6) telah berfungsinya BIB-
Daerah Tuah Sakato di Kabupaten Lima Puluh Kota yang menunjang ketersediaan
bibit untuk pengembangan; dan (7) kebijakan pemerintah yang mendukung perkem-
bangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.

4.4.3 Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga, dan untuk mempercepat
pengembangan usaha sapi potong dalam rangka menunjang swasembada daging sapi
potong maka disusun model pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota sebagai berikut :

4.4.3.1 Pemberdayaan melalui Kelompok


Konsep ini dirancang untuk percepatan swasembada daging sapi melalui
pemberdayaan kelompok (kelompok perbibitan sapi potong), setiap kelompok
beranggotakan 20-25 orang, dengan populasi awal 40-50 ekor induk bunting atau siap
bunting. Ternak sapi dipelihara dalam suatu kandang kelompok (corporate farming)
dalam satu kawasan (model pengembangan kawasan) agar memudahkan pengawasan,
pembinaan, dan pelayanan IB/keswan. Kelompok didampingi seorang pendamping
(manejer) dari sarjana peternakan atau kedokteran hewan yang tugas dan fungsinya
adalah; (1) melakukan pendampingan kelompok dalam pengembangan sapi potong,
(2) melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anggota kelompok
dan masyarakat sekitarnya, (3) melakukan pelatihan pada anggota kelompok tani-
ternak baik dalam aspek teknis, kewirausahaan, perencanaan usaha, dinamika
kelompok, pemasaran dan pengolahan hasil, (4) membimbing dan membina petani-
ternak dalam usaha kelompok untuk dapat mengidentifikasi dan mengatasi perma-
salahan yang dihadapi, (5) menumbuhkan jiwa kewirausahaan kelompok tani-ternak
dalam pengembangan usaha, (6) melakukan seleksi terhadap ternak sapi potong
81

bersama dengan anggota kelompok, dan (7) bersama dengan anggota kelompok ikut
melakukan kegiatan budidaya ternak sapi potong. Pendamping bekerja secara
professional, untuk tahun pertama mendapat honor dari pemerintah dan tahun
berikutnya dari perkembangan usaha yang dijalankan.

4.4.3.2 Pemodalan Usaha


Sumber pemodalan berasal dari pemerintah melalui dana penguatan kelom-
pok, untuk tahun 2009 disediakan sebanyak 220 paket pengembangan sapi potong
masing-masingnya sebesar Rp 325 juta per paket. Seleksi terhadap kelompok yang
akan menerima bantuan, kelompok pendamping, monitoring dan evaluasi dilakukan
oleh team yang terdiri dari Perguruan Tinggi, Ditjen Peternakan dan Dinas Peternak-
an Propinsi/Kabupaten/Kota. Pengembalian cicilan dan bunga dilakukan lewat Bank
yang ditunjuk berkoordinasi dengan pengurus kelompok dan digunakan untuk
membentuk kelompok perbibitan sapi potong yang baru (sub-kelompok inti). Dari
cicilan bunga 40% digunakan untuk perkembangan kelompok usaha sapi potong,
40% digunakan untuk koperasi kelompok, dan 20% digunakan untuk dana
operasional usaha. Keuntungan usaha perbibitan dihitung setiap tahun, 40% dari
keuntungan usaha diberikan pada pengelola, 40% dibagikan pada anggota kelompok
dan 10% untuk dana operasional kelompok, dan 10% untuk kas koperasi kelompok.

4.4.3 Kelembagaan Agribisnis Kelompok


Kelembagaan agribisnis kelompok dibedakan atas kelembagaan agribisnis
hulu, usaha budidaya, hilir, dan jasa penunjang. Kelembagaan agribisnis secara rinci
disajikan pada Tabel 39.

4.4.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Usaha Sapi Potong


Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga dan wawancara dengan
responden penelitian tahap empat, diperoleh beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Faktor-
faktor tersebut terdiri dari : 1) faktor internal yang meliputi strengths (kekuatan), dan
weaknessis (kelemahan), 2) faktor eksternal yang meliputi treaths (peluang) dan
opportunities (ancaman).
4.4.4.1 Faktor Internal
Beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari kekuatan (strengths) dan
82

Tabel 39 Kelembagaan agribisnis kelompok usaha perbibitan

Kegiatan Uraian
a. Bibit
1. Agribisnis Hulu
- Sumber bibit dari anggota dan dari luar kelompok yang
dibeli (koordinasi antara pengurus, pendamping/instansi
terkait
b. Sarana produksi dan obat-obatan
- Sarana produksi dikelola kelompok melalui unit koperasi
kelompok
- Sumber penyediaan obat-obatan kordinasi dengan petugas
keswan dan koperasi kelompok
a. Lahan
2. Usaha Budidaya
- Lahan disediakan oleh kelompok
- Luas kandang dan lahan kebun rumput disesuaikan dengan
kebutuhan
b. Skala Usaha disesuaikan dengan perkembangan usaha, tahap
awal 40-50 ekor induk betina
c. Perbibitan
- Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock
- Culling terhadap induk yang tidak produktif
- Recording dilakukan secara teratur
d. Pembuatan kandang
- Lokasi aman dari banjir, longsor, maling
- Pemilihan bahan kandang kuat, murah, dan tersedia
dilokasi
- Biaya pembuatan kandang dari bantuan pemerintah dan
swadaya anggota
e. Pakan
- Lahan hijauan ditanami dengan hijauan unggul
- Limbah tanaman berupa jerami diolah (fermentasi) dan
disimpan sebelum digunakan
f. Penyakit
- Penanganan penyakit dan vaksinasi kordinasi dengan
petugas kesehatan hewan
g. Inseminasi Buatan
- Pelaksanaan IB kordinasi dengan petugas IB swasta atau
mandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih
3. Agribisnis Hilir a. Panen dan Pasca panen
- Penjualan ternak berupa bakalan, ternak siap potong
- Pengolahan limbah ternak dilakukan oleh kelompok usaha
dan tambahan hasil yang diperoleh menjadi tambahan
pendapatan kelompok usaha
b. Pemasaran, dilakukan oleh kelompok
4. Jaringan Kelembagaan Kerjasama kelompok berupa kemitraan dengan Swasta
Perguruan Tinggi dan lembaga/instansi lain
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

kelemahan (weaknessis). Faktor kekuatan meliputi : 1) daya dukung lahan, 2) letak


geografis, 3) wilayah basis sapi potong, 4) ternak sapi dipelihara bersama usahatani
lainnya (IFS), 5) motivasi peternak untuk memelihara sapi potong, dan 6) adanya
83

kelompok tani-ternak sapi pembibitan. Faktor kelemahan meliputi : 1) keterbatasan


modal usaha, 2) beternak sebagai usaha sambilan, 3) rendahnya pengetahuan dan
keterampilan peternak, 4) penggunaan faktor produksi belum optimal, 5) adopsi
teknologi rendah, dan 6) sistem pemasaran yang belum memadai.

4.4.4.2 Faktor Eksternal


Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari peluang (treaths) dan ancaman
(opportunities). Faktor peluang meliputi : 1) permintaan pasar, 2) otonomi daerah, 3)
perkembangan IPTEK, 4) berfungsinya Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D)
Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota, 5) harga produk yang relitif stabil, dan 6)
dukungan pemerintah. Faktor ancaman meliputi : 1) produk luar/impor, 2) alih fungsi
lahan pertanian, 3) persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong, 4)
gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, 5) stabilitas penyediaan bibit/layanan IB,
dan 6) tingginya pemotongan ternak betina produktif.

4.4.4.3 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal


Evaluasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha
sapi potong (Lampiran 4), diperoleh hasil evaluasi yang terdiri dari Internal Faktor
Evaluation (IFE) dan External Faktor Evaluation (EFE).
Matrik evaluasi faktor internal pengembangan sapi potong di kabupaten Lima
Puluh kota disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40 Matrik Evaluasi Faktor Internal Pengembangan Sapi Potong di


kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Internal Bobot Ranking Skor
Kekuatan Daya dukung lahan 0,071 4 0,284
Letak geografis 0,077 3 0,231
Adanya wilayah basis sapi potong 0,098 3 0,294
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS) 0,094 3 0,282
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong 0,094 3 0,282
Adanya kelompok tani-ternak sapi pembibitan 0,099 2 0,198
Sub Total 1,571
Kelemahan Keterbatasan modal usaha 0,068 3 0,204
Beternak sebagai usaha sambilan 0,071 3 0,213
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak 0,074 2 0,148
Penggunaan faktor produksi belum optimal 0,085 2 0,170
Adopsi teknologi rendah 0,074 2 0,148
Sistem pemasaran belum memadai 0,095 3 0,285
Sub Total 1,168
Total 1,000 2,739
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
84

Hasil analisis faktor internal menunjukkan nilai positif, hal ini berarti wilayah
kabupaten Lima Puluh kota mempunyai kekuatan yang lebih menonjol dari pada
kelemahan, dengan kekuatan terbesar terletak pada adanya wilayah basis sapi potong
dan daya dukung lahan untuk pengembangan usaha sapi potong. Kelemahan berupa
bargaining positon peternak rendah, dan beternak sebagai usaha sambilan.
Hasil analisis faktor eksternal (Tabel 41) menunjukkan nilai positif, dan
peluang lebih besar dari ancaman. Peluang terbesar diperoleh karena adanya Balai

Tabel 41 Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Pengembangan Sapi Potong di


kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Eksternal Bobot Ranking Skor
Peluang Permintaan pasar 0,099 3 0,297
Otonomi daerah 0,068 3 0,204
Perkembangan IPTEK 0,074 3 0,222
Berfungsinya BIB limbukan kabupaten Lima Puluh Kota 0,089 4 0,356
Harga produk yang relatif stabil 0,094 3 0,282
Dukungan pemerintah 0,076 4 0,304
Sub Total 1,655
Ancaman Produk luar/impor 0,091 3 0,273
Alih fungsi lahan 0.055 3 0,165
Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong 0,097 2 0,194
Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak 0,101 3 0,303
Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB 0,064 2 0,128
Tingginya pemotongan ternak betina produktif 0,092 3 0,276
Sub Total 1,339
Total 1,000 3,004
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D) Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota dalam
menghasilkan bibit, dan dukungan pemerintah. Terdapat beberapa ancaman yang
perlu diperhatikan yakni gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, serta pemo-
tongan ternak betina produktif.

4.4.5 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh


Kota
Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan usaha sapi potong dila-
kukan dengan analisis SWOT yang merupakan lanjutan dari analisis IFE dan EFE.
Perumusan alternatif strategi dengan analisis SWOT dilakukan dengan penggabungan
antara kedua faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal
(peluang dan ancaman). Secara lebih jelas hasil analisis matriks SWOT dalam peru-
musan strategi alternatif dapat dilihat pada Tabel 42.
85

Tabel 42 Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh


Kota
Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)
S1 = Daya dukung lahan W1 = Keterbatasan modal usaha
S2 = Letak geografis W2 = Beternak sbg usaha sambilan
S3 = Adanya wilayah basis sapi W3 = Rendahnya pengetahuan dan
potong keterampilan peternak
S4 =Ternak sapi dipelihara ber- W4 = Penggunaan faktor produksi
sama usahatani lainnya belum optimal
S5 = Motivasi peternak dalam W5 = Adopsi teknologi rendah
memelihara sapi potong W6 = Sistem pemasaran belum
S6 = Adanya lembaga kelom- memadai
pok tani-ternak dibidang
Faktor Eksternal pembibitan
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O
O1 = Permintaan pasar 1. Pengembangan kawasan 1. Investasi modal usaha (W1,
O2 = Otonomi daerah sentra pembibitan sapi W2, O1, O2)
O3 = Perkembangan IPTEK potong (S1, S2, S3, O1, O2) 2. Meningkatkan pengetahuan dan
O4 = Berfungsinya BIB-D lim- 2. Penelitian dan pengkajian keterampilan petani-ternak
bukan Lima Puluh Kota optimasi usaha peternakan (W3, W4, W5, O3, O4, O5)
O5 = Harga produk yang relatif dalam sistem usahatani (S4, 3. Memperbaiki sistem pemasaran
stabil O3) (S6, O6)
O6 = Dukungan dari pemerintah 3. Mengoptimalkan fungsi ke-
lompok (S5, S6, O5, O6)
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
T1 = Produk luar/Impor 1. Perlindungan pasar domes- 1. Mengoptimalkan fungsi lem-
T2 = Alih fungsi lahan pertanian tik (S1, S2, S3, T1, T2) baga keuangan yang ada di
T3 =Persaingan antar daerah da- 2. Penanggulangi penyakit pedesaan (W1, W2, T1, T2, T3)
lam menghasilkan sapi ptg reproduksi dan kesehatan 2. Meningkatkan efisiensi usaha
T4 = Gangguan reproduksi dan ternak (S1, S2, S3, S4, T1, (W2, W4, T1, T2, T3)
kesehatan ternak T2, T3) 3. Sosialisasi dan aplikasi tekno-
T5 = Stabilitas penyediaan bibit/ 3. Pengawasan pemotongan logi tepat guna (W5, T3, T4).
layanan IB ternak betina produktif (S5,
T6 = Tingginya pemotongan ter- S6, T6)
nak betina produktif
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)

4.4.6 Prioritas Strategi Pengembangan Sapi Potong


Untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota digunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Tingkat kelayakan stra-
tegis diukur dengan nilai prioritas strategi yang diperoleh dari hasil penyebaran
kuesioner pada 5 ekspert yang berkualifikasi sebagai pengambil kebijakan dijajaran
pemerintah kabupaten Lima Puluh Kota.
Beberapa komponen yang diperlukan dalam menyusun hirarki, faktor-faktor yang
sangat berpengaruh dalam analisis SWOT menggunakan IFE dan EFE menjadi
faktor penentu dalam menyusun hirarki. Alternatif strategi peringkat 1 sampai
86

dengan peringkat 5 dalam matrik SWOT dijadikan altenatif strategi dalam menyusun
hirarki. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dari analisis dan fokus pada satu
sasaran strategi.
Dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan PHA dilakukan dengan
teknik komparasi berpasangan terhadap elemen yang dibandingkan, sehingga mem-
bentuk matrik n x n. Nilai yang diberikan berada pada skala pendapat atau skala
dasar ranking. Terhadap hasil penilaian dilakukan analisis horizontal untuk melihat
tingkat konsistensi pendapat individu, rasio konsistensi yang memenuhi adalah ≤ 0,1.
Setelah dilakukan analisis seperti terlihat pada Lampiran 4, maka diperoleh hasil
analisis seperti disajikan pada Gambar 17.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa prioritas strategi pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota berturut-turut adalah : 1) peningkatan
modal usaha (49,70%), 2) penerapan teknologi tepat guna berbasis petani (25,52%),
3) menciptakan kawasan sentra pembibitan sapi potong (12,72%), 4) peningkatan
efisiensi usaha (6,20%), dan 5) optimalisasi fungsi kelompok (3,61%).
1. Peningkatan Modal Usaha
Peningkatan modal usaha menjadi prioritas pertama untuk pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Masih terbatasnya kemampuan
peternak dalam mengakses modal usaha, terbatasnya bantuan pemerintah melalui
penguatan modal kelompok, sementara itu sumberdaya yang dimiliki oleh petani-
ternak masih memungkinkan untuk pengembangan usaha sapi potong. Oleh
karena itu diperlukan tambahan modal usaha berupa bantuan modal dengan
kredit lunak melalui penguatan modal kelompok seperti program Sarjana
Membangun Desa (SMD), Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)
dan sumberdana lain melalui kelompok-kelompok yang ada. Dengan ketersedia-
an modal usaha yang murah dan mudah, akan memacu usaha pembibitan sapi
potong dengan cara penambahan skala kepemilikan ternak dan jumlah peternak
yang bergerak dibidang pembibitan sapi potong.
2. Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak
Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak berupa budidaya repro-
duksi, teknologi pakan dan pengolahan limbah, menjadi prioritas ke dua untuk
pengembangan usaha sapi potong. Sebagai pengelola petani-ternak dituntut
untuk mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi yang dibutuhkan untuk
87

I= Strategi Pengembangan Usaha Sapi


Potong di kabupaten Lima Puluh kota
(1,000)

4 3 1 2 5
II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran
(0,067) (0,134) (0,494) (0,268) (0,0368)

III =

4 2 3 1
L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait
(0,0317) (0,2515) (0,1198) (0,5997)

IV=

1 2 5 3 4
Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan
Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan kualitas bibit
(0,4921) (0,2589) (0,0345) (0,1305) (0,0662)

V=

1 4 2 3 5
Modal Efisiensi Penerapan Kawasan sentra Fungsi
Usaha Usaha Teknologi Pembibitaan Kelompok
(0,4970) (0,0620) (0,2552) (0,1272) (0,0361)

Gambar 17 Hirarki utama strategi pengembangan usaha sapi potong


di kabupaten Lima Puluh Kota

Keterangan :
I = Fokus : Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota
II = Kriteria : Pakan = Pemberian pakan
Bibit = Bibit yang digunakan
Tatalaksana = Tatalaksana pemeliharaan
Penyakit = Pengendalian penyakit
Pemasaran = Pemasaran hasil
III = Aktor/Pelaku: L-Keu = Lembaga keuangan
L-Swt = Pengusaha swasta
88

Peternak= Peternak
Instansi = Instansi teknis terkait
IV = Sasaran : Perluasan usaha = Perluasan usaha sapi potong
Produksi dan produktivitas = Peningkatan produksi dan produktifitas
Optimalisasi sumberdaya = Optimalisasi penggunaan sumberdaya
Peningkatan pendapatan = Peningkatan pendapatan peternak
Perbaikan kualitas bibit = Perbaikan kualitas bibit sapi potong
V = Alternatif : Modal usaha = Peningkatan modal usaha
Strategi Efisiensi usaha = Meningkatkan efisiensi usaha
Penerapan teknologi = Penerapan teknologi tepat guna
Kawasan sentra pembibitan = Membuat kawasan sentra pembibitan
Fungsi kelompok = Mengoptimalkan fungsi kelompok

pengembangan usaha, mengendalikan usaha dengan baik, memanfaatkan sum-


berdaya yang ada secara optimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal,
serta mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi ini akan di imple-
mentasikan melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia, berupa ;
1) inventarisasi sumberdaya petani-ternak yang ada dan teknologi yang dibutuh-
kan, 2) penyusunan program pendidikan dan pelatihan, dan 3) pembinaan petani-
ternak dan petugas teknis.
3. Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong
Pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan
sistem kelembagaan kelompok, pengembangan kawasan sentra pembibitan dapat
dilakukan di kecamatan Luhak, Situjuah Limo Nagari, Lareh Sago Halaban, dan
kecamatan Bukit Barisan. Pengembangan kawasan sentra pembibitan yang
dilakukan baik ditingkat provinsi maupun kabupaten berpotensi untuk menambah
jumlah ternak yang ada sehingga akan mempercepat pencapaian swasembada
daging sapi. Pemerintah telah menetapkan bahwa Sumatera Barat sebagai pusat
pembibitan Simental melalui Village Breeding Center (VBC) prioritas di daerah
Agam Timur (Tilatang Kamang, Ampek Angkek dan Baso), selanjutnya akan
dikembangkan di kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Padang Panjang
(Dinas Peternakan Tk I Sumatera Barat 2007b). Faktor pendukung lain adalah
keberadaan BIB-Daerah Tuah Sakato yang berada di Limbukan kabupaten Lima
Puluh Kota, yang dapat memproduksi sumber bibit untuk IB sehingga dapat
dimanfaatkan oleh peternak yang ada disekitarnya dan daerah atau provinsi lain
yang berdekatan.
89

4. Peningkatan efisiensi usaha melalui peningkatan skala usaha


Efisiensi usaha dapat ditingkatkan melalui peningkatan skala usaha dari rata-rata
kepemilikan ternak 5 ekor per peternak menjadi 10 ekor per peternak, optimalisasi
penggunaan sumberdaya yang ada melalui penerapan teknologi tepat guna, yang
didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik. Teknologi yang diperlukan
berupa teknologi pakan, inseminasi buatan, dan teknologi pengelohan limbah
usahatani tanaman-ternak. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan dilaku-
kan dengan cara meningkatkan jumlah ternak sapi bibit yang dipelihara, dan
mengoptimalkan integrasi tanaman-ternak, serta mengoptimalkan fungsi kelom-
pok dalam penyediaan sarana produksi dan pemasaran produk.
5. Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak
Optimalisasi fungsi kelompok tani-ternak melalui penguatan fungsi koperasi
kelompok, manajemen yang transparan, dan pendampingan yang intensif, serta
adanya dukungan dari pemerintah, swasta dan anggota melalui pelatihan-
pelatihan teknis dan kewirausahaan. Dukungan dari pemerintah ditujukan untuk
memberi pelayanan seperti pelayanan IB, Poskeswan, RPH, Penyuluh, UPT Pusat
dan Daerah. Dukungan swasta berupa upaya mendorong tumbuh dan berkem-
bangnya berbagai asosiasi, koperasi dan kemitraan yang saling menguntungkan.
Dukungan dari peternak/anggota berupa partisipasi anggota, kerjasama di antara
anggota dan pengurus dalam melayani kebutuhan anggota (penyediaan sarana
produksi, permodalan dan kemitraan dengan pihak lain), menuju kemandirian
kelompok. Berkembangnya suatu lembaga kelompok erat kaitannya dengan
kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang ada di kelompok tersebut, terutama
pengurus. Kelompok dengan SDM yang baik akan tetap berkembang meskipun
memiliki fasilitas yang relatif terbatas.

4.4.7 Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima


Puluh Kota
Untuk memperoleh rumusan program dan kegiatan yang tepat dilakukan
metode Focus Group Discussion (FGD). FGD merupakan wawancara kelompok
dari sejumlah individu dengan status sosial yang relatif sama, yang memfokuskan
interaksi dalam kelompok berdasarkan topik yang akan dibicarakan. Dari hasil
diskusi diperoleh rumusan program pengembangan usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota sebagai berikut :
90

a. Pada prioritas strategi peningkatan modal usaha, dirumuskan program : (1)


penguatan modal usaha, (2) menjalin kemitraan dengan instansi terkait, dan
(3) penguatan lembaga keuangan mikro (LKM).
b. Pada prioritas strategi penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak
dirumuskan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM).
Program ini selama lima tahun kedepan diharapkan dapat menghasilkan 450
orang petani-ternak yang handal dan 50 orang petugas peternakan yang
profesional.
c. Pada prioritas strategi pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong
dirumuskan program : (1) penataan kawasan sentra pembibitan, (2) penyedia-
an bibit sapi potong yang baik, (3) pengembangan teknologi pakan, dan (3)
pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan ternak.
d. Pada prioritas strategi meningkatkan efisiensi usaha, dirumuskan program :
(1) optimalisai penggunaan sumberdaya, (2) peningkatan sarana dan prasarana
pendukung.
e. Pada prioritas strategi optimalisasi fungsi kelompok dirumuskan program
pembinaan kelompok yang berusaha dibidang peternakan.
Dari hasil diskusi dalam FGD, diperoleh rumusan program dan kegiatan
pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota dan dengan memperhati-
kan kriteria SMART (Specific, Measurable, Aggressive but attainable, Result
oriented, Time bound) dapat dirumuskan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1. Penguatan modal usaha dengan tiga kegiatan :
a. Monitoring dan evaluasi program bantuan yang sudah ada atau sedang ber-
jalan. Monitoring dilakukan secara berkala setiap 6 bulan dan dievaluasi se-
tiap tahun. Dari hasil monitoring dan evaluasi akan dapat diketahui kemajuan
dan hambatan dalam implementasi program serta perbaikannya dimasa
datang.
b. Optimalisasi bantuan yang sudah ada model kerjasama dengan perguruan ting-
gi. Diharapkan dengan model ini akan terjadi transfer IPTEK dan perbaikan
sumberdaya manusia dari perguruan tinggi. Kegiatan ini dilaksanakan selama
lima tahun anggaran.
c. Perencanaan penguatan modal usaha kelompok kedepan. Kegiatan ini dila-
kukan untuk mencari dan meningkatkan bantuan penguatan modal dari
91

program lain, sasarannya adalah untuk meningkatkan populasi ternak sapi


potong dan kesejahteraan peternak.
2. Menjalin kemitraan dengan pihak luar, dengan satu kegiatan yakni pengembangan
kemitraan dengan mitra lain dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama
diberbagai bidang kegiatan usaha sapi potong. Kegiatan ini dapat dilakukan lima
kali selama lima tahun anggaran dengan mitra dari luar wilayah kabupaten Lima
Puluh Kota.
3. Pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM), dengan satu kegiatan yaitu
menumbuhkan dan mengembangkan lembaga keuangan mikro. Salah satu sasaran
dari program BPLM adalah tumbuhnya lembaga keuangan mikro ditingkat
kelompok tani-ternak, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan lembaga
keuangan masyarakat dalam mengakses modal usaha. Kegiatan ini dilakukan
selama lima tahun anggaran.
4. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dengan tiga kegiatan sebagai
berikut :
a. Inventarisasi sumberdaya petani-ternak yang ada, kebutuhan pendidikan dan
pelatihan (Diklat) teknis untuk petani-ternak dan petugas pelatihan. Hal ini
dilakukan agar pelaksanaan Diklat sesuai dengan harapan dan manfaatnya.
Kegiatan ini dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran di wilayah
kabupaten Lima Puluh Kota.
b. Penyusunan model pendidikan dan pelatihan, yang diharapkan agar kgiatan
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Kegiatan ini dapat dilakukan
satu kali dalam satu tahun anggaran.
c. Pembinaan petani-ternak dan petugas teknis, kegiatan ini dilakukan selama
lima tahun anggaran dan ditujukan kepada 500 orang yang telah terlatih agar
dapat mentranfer ilmu yang didapat kepada petani-ternak lain yang berada
disekitar lokasi.
5. Penataan kawasan sentra pembibitan, dengan lima kegiatan sebagai berikut :
a. Inventarisasi sumberdaya yang ada dan yang akan digunakan untuk pemba-
ngunan kawasan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan selama satu tahun anggaran
dan dilaksanakan di kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo
Nagari, dan kecamatan Bukit Barisan.
92

b. Penyusunan model kawasan usaha, kegiatan ini dapat dilaksanakan satu kali
dalam satu tahun anggaran.
c. Pembangunan fasilitas kawasan usaha, selama lima tahun anggaran diharap-
kan dapat dibangun sebanyak 4 unit kawasan agribisnis, dan dilaksanakan di
kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuh Limo Nagari, dan kecamatan
Bukit Barisan.
d. Penetapan standar mutu produk yang akan dihasilkan sebagai pedoman dalam
melaksanakan kegiatan usaha sapi potong, terutama dalam sub-sistem pema-
saran komoditi ternak. Kegiatan ini dapat dilaksanakan satu kali selama satu
tahun anggaran.
e. Promosi produk yang dihasilkan, dengan tujuan untuk memperluas permintaan
pasar. Kegiatan ini dapat dilaksanakan lima kali selama lima tahun anggaran
dan dilaksanakan di dalam maupun di luar wilayah kabupaten Lima Puluh
Kota.
6. Pengembangan kualitas bibit dengan satu kegiatan yakni peningkatan mutu gene-
tik sapi lokal melalui bioteknologi, IB dan embrio transfer. Kegiatan ini dapat
dilakukan selama satu tahun anggaran dan dilakukan di kecamatan Luhak, Lareh
Sago Halaban, dan kecamatan Situjuh Limo Nagari.
7. Pengembangan pakan ternak sapi potong dengan tiga kegiatan sebagai berikut:
a. Menjalin kemitraan dengan feed lotter seperti yang dikembangkan di daerah
Lampung dan Probolinggo. Terjalinnya hubungan antara peternak dengan
feed lotter dalam penyediaan pakan dan pengolahan limbah industri. Kegiatan
ini dilakukan setiap tahun anggaran.
b. Pengembangan Complete feed berbasis bahan baku lokal. Bahan baku pakan
lokal dapat dikembangkan sebagai sumber pakan ternak terutama untuk me-
menuhi kebutuhan pakan dimusim kemarau. Kegiatan ini dapat dilakukan satu
kali dalam satu tahun anggaran.
c. Pengembangan pola integrasi tanaman-ternak (ILS). Dengan pengembangan
pola integrasi tanaman-ternak, limbah usahatani tanaman dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak dengan menggunakan teknologi pengolahan pakan sehing-
ga ketersediaan pakan dimusim kemarau lebih terjamin. Kegiatan ini dapat
dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran.
93

8. Pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan hewan dengan kegiatan sebagai


berikut :
a. Melakukan pengawasan secara rutin terhadap kesehatan dan melakukan vaksi-
nasi secara teratur. Dengan melakukan pengawasan dan vaksinasi secara ter-
atur penyakit yang akan timbul dapat dipantau lebih awal.
b. Karantina yang ketat sebelum ternak sapi dari luar atau impor disebar kema-
syarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan setiap tahun anggaran.
9. Optimalisasi penggunaan sumberdaya yang ada dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Optimalisasi penggunaan sumberdaya di tingkat peternak dengan mengguna-
kan teknologi dan manajemen usaha. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun
anggaran.
b. Optimalisasi penggunaan sumberdaya dengan metode integrasi tanaman-ternak
Biaya pakan untuk ternak sapi potong dapat ditekan dengan memanfaatkan
limbah hasil samping usahatani tanaman. Pola ini menerapkan pendekatan
Low Eksternal Input Sustainable Agriculture (LEISA), dimana biaya pakan
bahkan mendekati zero cost. Kegiatan ini dilakukan di setiap tahun anggaran.
10. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung, dengan tiga kegiatan sebagai ber-
ikut :
a. Inventarisasi sarana dan prasarana yang ada, dan tambahan sarana yang di-
butuhkan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan satu kali dalam satu tahun ang-
garan di kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuh Limo Nagari, dan
kecamatan Bukit Barisan.
b. Pembangunan sarana dan prasarana yang masih kurang dan mengoptimalkan
sarana dan prasarana yang ada, seperti Poskeswan, Pos IB, Pasar ternak.
c. Pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana yang telah ada
11. Pembinaan kelembagaan kelompok, dengan dua kegiatan sebagai berikut :
a. Pembinaan kelembagaan yang bertujuan untuk memperkuat/mendukung ke-
giatan pengembangan usaha sapi potong dengan upaya penumbuhan dan
pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan
jalinan kerjasama antar anggota dan antar kelompok, dan dapat dilaksanakan
selama lima tahun anggaran.
b. Pengembangan kemitraan, dengan tujuan untuk meningkatkan volume usaha
dan kerjasama diberbagai kegiatan dalam rangka menigkatkan efisiensi dan
94

efektifitas. Kegiatan ini dapat dilakukan lima kali selama lima tahun ang-
garan, dengan lokasi di dalam maupun diluar wilayah kabupaten Lima Puluh
Kota.
4.4.8 Implementasi Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Prioritas strategi yang terpilih memerlukan implementasi program dan kegiat-
an dalam pelaksanaannya. Di dalam implementasi program dan kegiatan akan terlihat
dengan jelas sasaran yang ingin dicapai dan pelaku kegiatan. Untuk lebih jelasnya
implementasi program dan kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 43.

Tabel 43. Matrik implementasi program dan kegiatan pengembangan sapi


potong di kabupaten Lima Puluh Kota
N Strategi Program Kegiatan Sasaran Pelaku
o
1 Peningkatan modal 1. Penguatan modal - Monitoring dan eva- - Membenahi kele- - Pihak inde-
usaha usaha luasi bantuan yg ada mahan yg terjadi penden dari
dan perbaikan Perguruan
dimasa datang Tinggi
- Optimalisasi bantuan - Transfer teknologi - Instansi,
yg sudah ada & perbaikan SDM Dinas terkait
dan PT
- Perencanaan pengu- - Peningkatan po- - Instansi,
atan modal kedepan pulasi & kesejah- dinas terkait
teraan peternak
2. Kemitraan dengan - Menjajaki kemitraan - Feed lotter/peng- - Instansi,
instansi terkait dengan pihak swasta saha yg berminat dinas terkait
3. Penguatan lemba- - Penumbuhan lemba- - Sumber pemodal - Kelompok,
ga keuangan ga keuangan mikro di masa datang pendamping
mikro & dinas
2 Penerapan tekno- 4. Peningkatan kua- - Inventarisasi sum- - Standarisasi mate- - Instansi,
logi tepat guna ber- litas SDM berdaya petani-ter ri yang akan dibe- Dinas ter-
basis petani-ternak nak yang ada rikan kait, PT
- Penyusunan model - Pengefektifan - Instansi,
pendidikan dan pela- kegiatan DIKLAT Dinas ter-
tihan kait, PT
- Pembinaan petani- - Dihasilkan petani- - Instansi,
ternak dan petugas ternak dan petu- Dinas ter-
teknis gas yang terampil kait, PT
3 Pengembangan ka- 5. Penataan kawasan - Inventarisasi sum- - Standarisasi mate- - Instansi,
wasan sentra pem- sentra pembibitan berdaya ri yang akan dibe- Dinas terkait
bibitan sapi potong rikan pendamping
- Penyusunan model - Agar sesuai dgn - Instansi ,
kawasan usaha & rencana yg di- Dinas terkait
pembangunan inginkan pendamping
fasilitas
- Penetapan standar - Standar produk yg - Instansi,
mutu produk dan akan menjadi acu- Dinas terka-
promosi produk yang an dan memper- it, pendam-
dihasilkan luas peluang pasar ping
6. Penyediaan bibit - Peningkatan mutu - Perbaikan kua- - Instansi,
95

sapi potong yg genetik sapi lokal litas bibit sapi lo- Dinas, dan
baik melalui Bioteknolo- kal PT
gi, IB dan Embrio
transfer
7. Pengembangan - Menjalin kemitraan - Kemitraan antara - Instansi,
teknologi pakan dengan feed lotter kelompok dan Dinas terkait
sapi potong feed lotter dlm pendamping
penyediaan pakan
- Pengembangan - Dihasilkan bahan - Instansi ,
complete feed berba- pakan lokal alter- Dinas, Pen-
sis bahan baku local natif damping, PT
- Pengembangkan - Limbah pertanian - Instansi,
pola ILS dapat dimanfaat- Dinas,
kan sebagai pakan Pendamping
ternak dan PT
8. Pengendalian pe- - Pengawasan kese- - Ternak yang ter- - Instansi,
nyakit reproduksi hatan ternak secara infeksi dapat di dinas Kes-
dan kesehatan ter- rutin ketahui lebih wan, pen-
nak awal dan tindakan damping
lebih lanjut
- Karantina yang ketat - Pencegahan ma- - Dinas karan-
sebelum tenak di suknya penyakit tina hewan
sebar kemasyarakat berbahaya
4 Peningkatan 9. Optimalisasi - Optimalisasi peng- - Peningkatan - Kelompok,
efisiensi usaha penggunaan sum- gunaan sumberdaya pendapatan petani Pembina
berdaya di tingkat petani ter- ternak
nak
- Optimalisasi usaha- - Peningkatan - Kelompok,
tani-ternak dengan pendapatan petani Pembina
motede ILS ternak
10. Peningkatan sara- - Inventarisasi sarana - Penentuan ke- - Kelompok,
na dan prasarana dan prasarana pendu- butuhan sarana Pembina,
pendukung kung dan prasarana Dinas terkait
- Pembangunan dan - Tersedianya dan - Kelompok,
pemeliharaan sarana terpeliharanya sa- Pembina dan
dan prasarana rana prasarana Dinas terkait
5 Optimalisasi fungsi 11.Pembinaan ke- - Pembinaan kelem- - Terciptanya ke- - Intansi Dinas
kelompok lompok bagaan lompok yg man- terkait, pen-
diri dan berke- damping
lanjutan
- Pengembangan - Terciptanya ke- - Instansi ter-
kemitraan lompok yg bisa kait, Mitra,
menjalin kemitaan pendamping
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
96

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Wilayah kabupaten Lima Puluh Kota memiliki potensi pengembangan usaha
sapi potong, yang didukung oleh : (a) tingginya Kapasitas Peningkatan
Pengembangan Ternak Ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga
kerja keluarga sebesar 25.481 ST, (b) terdapatnya basis ternak sapi potong di
empat kecamatan (Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, dan
Bukit Barisan), (c) telah berfungsinya Balai Inseminasi Buatan (BIB-Daerah)
Tuah Sakato dalam menghasilkan bibit, (d) kebijakan dari pemerintah untuk
pengembangan sapi potong, dan (e) penerapan teknologi pakan pendapatan
peternak
2. Kelemahan dan ancaman yang dihadapi peternak dalam pengembangan sapi
potong berupa ; (a) pola beternak bersifat usaha sambilan, (b) sistem
pemasaran belum memadai, (c) gangguan reproduksi dan kesehatan ternak,
dan (d) tingginya pemotongan ternak betina produktif.
3. Strategi yang direkomendasikan dapat digunakan untuk pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota adalah ; (a) peningkatan modal
usaha melalui pemberian kredit lunak pada masyarakat peternak; (b) pene-
rapan teknologi tepat guna berbasis petani dalam manajemen pemeliharaan,
budidaya reproduksi, dan pengolahan limbah ternak; (c) pengembangan
kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan sistem
kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat pencapaian
swa-sembada daging sapi; (d) peningkatan efisiensi melalui peningkatan skala
usaha dari 5 ekor menjadi 10 ekor induk per peternak; dan (e) optimalisasi
fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi, penerapan manajemen
yang transparan, dan pendampingan yang intensif.
4. Program yang dapat dilaksanakan terdiri dari; penguatan modal usaha, men-
jalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dibidang pemasaran, penguat-
an lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan
pelatihan pada peternak, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan
sentra pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok, penyediaan bibit
97

sapi unggul lokal oleh pemerintah, pengembangan teknologi pakan berbasis


sumberdaya lokal, pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan ternak,
optimalisasi penggunaan sumberdaya, peningkatan sarana dan prasarana
pendukung, dan pembinaan kelompok melalui pendampingan yang intensif.

5.2 Saran
Untuk mempercepat pengembangan usaha sapi potong berkelanjutan disaran-
kan beberapa hal berikut :
1. Terbentuknya kelompok peternak dengan manajemen yang memadai disertai
pendampingan dari dinas terkait.
2. Penyediaan bibit unggul lokal dari hasil perkawinan dan seleksi yang terarah
dan terencana dari pemerintah untuk masyarakat.
3. Kebijakan pemerintah dalam permodalan bagi petani.
4. Kerjasama kemitraan untuk meningkatkan pemasaran.
5. Pemeliharaan sapi dilakukan dalam suatu kandang kelompok pada suatu
kawasan yang terintegrasi dengan usahatani lainnya (Integrated Farming
System) untuk mengoptimalkan pemanfatan sumberdaya lokal, pemanfaatan
limbah untuk biogas dan pupuk organik, disamping produk utama sebagai
penghasil daging.
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal RC, Heady EO. 1972. Operation Research Method for Agricultural
Decetion. Iowa Ames: The Iowa University Press.
Amir P, Knipscheer HC, Boer Jde. 1985. Economic analysis on-farm livestock
trials. Winrock International Institute for Agricultural Development and
International Development Research Centre. Working paper No. 63.
Atmaja JM, Atmadilaga D. 1980. Peranan ternak ruminansia dalam memperluas
kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga tani. Suatu studi
di daerah pengairan Jati Luhur. Di dalam ; Proceeding Seminar Ruminansia
II. Puslitbangnak. Bogor, Th 1980.
Basuno E, Suhaeti RN, 2007. Analisis bantuan pinjaman langsung masyarakat
(BPLM) : Kasus pengembangan usaha ternak sapi potong di provinsi
Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian 5 (2) : 150-156
[BPS Kab. Lima Puluh Kota] Biro Pusat Statistik, Kabupaten Lima Puluh Kota.
2007. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Payakumbuh; Kerjasama
Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh Kota.
[BPS Kab. Lima Puluh Kota] Biro Pusat Statistik, Kabupaten Lima Puluh Kota.
2005. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Payakumbuh; Kerjasama
Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh Kota.
[BPS Sumbar] Biro Pusat Statistik, Sumatera Barat. 2007. Sumatera Barat Dalam
Angka. Padang ; Kerjasama Bappeda Tk I dengan BPS Propinsi Sumatera
Barat.
Boyon, Arfa’i. 1996. Potensi ekonomi ternak sapi potong dalam sistem usahatani
pada berbagai topografi lahan di kabupaten Agam, Sumatera Barat [laporan
penelitian]. Padang ; Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Bulo D, AN Kairupan, FF Munier, TP Rumayar, Saidah. 2004. Integrasi sapi
potong pada lahan sawah irigasi di Sulawesi Tengah. Di dalam ; Prosiding
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22
Juli 2004. hlm 155-161.
David F R. 2002. Manajemen Strategis Konsep. Edisi ke tujuh. Pearson
Education Asia Pte. Ltd. Dan PT Prenhallindo, Jakarta.
Dedih H, 2002. Strategi pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnia dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan di propinsi Riau [tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[Dinpet Sumbar] Dinas Peternakan TK I, Sumatera Barat. 2007a. Laporan tahunan
2006/2007. Padang ; Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat.
[Dinpet Sumbar] Dinas Peternakan TK I, Sumatera Barat, 2007b. Program
pencapaian swa-sembada daging sapi 2010. http://www.disnaksumbar.org
[Dinpet Kab Lima Puluh Kota] Dinas Peternakan TK II, Kabupaten Lima Puluh
Kota. 2005. Statistik Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota 2005.
Payakumbuh ; Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota.
99

[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007a. Statistik Peternakan 2007.


Jakarta ; Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007b. Pedoman Percepatan Penca-
paian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Jakarta ; Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian.
[Dirjen Pet] Direktur Jenderal, Peternakan. 2005. Buku Statistik Peternakan. Jakarta
; Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan.
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Pedoman Teknis Bantuan
Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok
Peternak. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Pedoman Teknis Bantuan
Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok
Peternak. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
[Ditjen Pet] Direktorat Jenderal, Peternakan. 1985. Peta potensi wilayah penyebaran
dan pengembangan peternakan ruminansia sapid an kerbau potong. Bogor ;
Kerjasama antara Dirjen Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2005. Data Base
Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota 2004/2005. Payakumbuh : Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Downey WD, Erickson SP. 1989. Manajemen Agribisnis. Ed ke-2. Rochidayat, GS,
Sirait A, alih bahasa. Jakarta ; Penerbit Erlangga.
Diwyanto K, Zainuddin D, Sartika T, Rahayu S, Djufri, Arifin C, Cholil.
1996. Model pengembangan peternakan rakyat terpadu berorientasi agribis-
nis : Komoditas ternak ayam buras. Bogor : Direktorat Jenderal Peternakan
kerjasama dengan Balai Penelitian Ternak.
Diwyanto K, 2001. Model perencanaan terpadu : Integrasi tanaman-ternak (Crop-
livestock system). Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veterinir. Bogor : Balai Penelitian Veterinir 17-18 September 2001.
Diwyanto K, 2002. Pemanfaatan sumberdaya lokal dan inovasi teknologi dalam
mendukung pengembangan sapi potong di Indonesia [orasi APU]. Bogor :
Badan Litbang Pertanian.
Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D. 2002. Integrasi tanaman ternak dalam
pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerak-
yatan. Wartazoa 12 (1):1-8.
Diwyanto K, Handiwirawan E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha
agribisnis pola integrasi tanaman ternak. Di dalam ; Prosiding Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004.
hlm 63-80.
Diwyanto K., S, Bahri., B, Haryanto., IW, Rusastra dan H, Hasinah, 2005.
Prospek dan arah pengembangan agribisnis sapi. Jakarta, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
100

Diwyanto K, Priyanti A. 2006. Kondisi, potensi dan permasalahan agribisnis


peternakan ruminansia dalam mendukung ketahanan pangan. Di dalam ;
Prosiding Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Peternakan Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Semarang, 3 Agustus 2006. Hlm 1-11.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
Volume ke-1. Ed ke-3. Bogor : IPB Press.
Fardiaz D, Hartman J, 1999. Modul Analisis SWOT. Jakarta : Badan Litbang
Pertanian.
Gunardi E. 1998. Livestock development in Indonesia [abstrak]. Di dalam ; Semi-
nar Nasional Pengembangan Peternakan di Indonesia. Jakarta, Th 1998.
Hartman J, Fardiaz D, Armanto E, Kusumohadi S, Arifin ED. 1999. Pedoman
Abalisis SWOT. Jakarta ; Departemen Peranian, Badan Litbang Pertanian.
Haryanto B. 2004. Sistem integrasi padi ternak dan ternak sapi (SIPT) dalam
program P3T [abstrak]. Di dalam : Seminar Pekan Padi Nasional, Balai
Penelitian Tanaman Padi ; Sukamandi, 15-19 juli 2004.
Haryanto B, Inounu. IGM, Arsana B, dan Diwyanto K. 2002. Panduan teknis
sistem integrasi padi ternak. Jakarta ; Departemen Pertanian.
Haswita, E. 2007. Survey dan penanggulangan penyakit reproduksi pada kelmpok
intensifikasi ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Agam.
http://www.disnaksumbar.org
Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Cetakan ke 7. Akarta : Penebar Swadaya
Ishandarini, 2002. Analisis pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
http:// library.usu.ac.id
Kasijadi F, A Yusran, Wahyunindyawati, dan Suwono. 2007. Model system
usahatani integrasi berbasis padi ternak sapi dilahan irigasi. http://jatim.
litbang.deptan.go.id
Kasman, A Ella, A Nurhayu. 2004. Kontribusi kotoran sapi dalam sistem
usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan. Di dalam : Prosiding
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22
Juli 2004. hal 182-185.
Kay RD. 1981. Farm Management; Planning, Control and Implementatation. Sao
Paolo : Mc GrawHill Internative Book Company.
Krisnamurti YB, 2006. Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK)
dan Revitalisasi Pembangunan Peternakan di Indonesia. Di dalam ; Prosi-
ding Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 43-61.
Kurnianita T, Sinung R, Suharsono. 2006. Dinamika kelompok tani-ternak seba-
gai upaya pemberdayaan petani dalam pengembangan agribisnis ternak sapi
potong. Di dalam ; Prosiding Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Peternakan Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan
Pangan. Semarang, 3 Agustus 2006. Hlm 389-394
101

Lende F, 1989. Analisis pola usahatani optimal pada tingkat petani dan tingkat
wilayah di pemukiman transmigrasi kabupaten Luwu propinsi Sulawesi
Selatan [tesis]. Bogor, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Makka J. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi peternakan yang berdaya
saing. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman
Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hal 18-31.
Manwan I. 1989. Farming system research in Indonesia : its evolution and future
outlock. Di dalam : Procedures for Farming System Research.
Mosher AT, 1991. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jakarta, CV Yasa
Guna.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Ed ke-3. Jakarta : LP3ES.
Mulyono S, 1996. Pengambilan Keputusan. Jakarta : Fakultas Ekonomi Univer-
sitas Indonesia
Noer F, 2002. Strategi pengembangan agribisnis sapi potong di kawasan sentra
produksi Koto Hilalang kabupaten Agam, Sumatera Barat [tesis]. Bogor :
Program Studi Megister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Nugroho BA, 2006. Pengembangan agribisnis peternakan pola bantuan usaha
ekonomi produktif (studi di provinsi Sulawesi Utara). Di dalam ; Prosiding
Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 162-172.
Nasendi BD, Anwar A. 1985. Program Linear dan Fariasinya. Jakarta : PT. Gra-
media.
Nawawi. 2000. Manajemen Strategik. Ed ke-1. Yogyakata : Gajah Mada Universi-
ty Press.
Nell AJ, Rollinson DHL. 1974. The requerements and avaliability of livestock feed
in Indonesia [laporan penelitian]. Jakarta : UNDP Project INS/72/009.
Nenepath SM, 2001. Optimalisasi diversivikasi ternak sapi potong pada usahatani
lahan kering di kabupaten Jaya Pura, Irian Jaya [tesis]. Bogor, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo T, H Anwar, dan H Supadno, 2001. Integrasi tanaman-ternak pada
system usahatani di lahan irigasi. Di dalam : Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veterinir. Jawa Tengah, September 2001 BPTP Ungaran.
Prodjodihardjo S, 1988. Prospek pengembangan peternakan dalam usahatani lahan
kering dan rawa pasang surut. Di dalam : Lokakarya Penelitian Sistem
Usahatani di Lima Agro-ekosistem. Bogor, Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanaman Pangan.
Rahayu S, dan S Kuswaryan. 2006. Analisis system bagi hasil dan pengemba-
lian modal program BPLM pada usaha ternak sapi potong rakyat. Di dalam ;
Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
dibidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 194-203.
102

Rangkuti F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi


konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Jakarta : PT
Gramedia Pusaka Utama.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin, Proses Hierarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang kompleks. Jakarta
: Pustaka Binaman Presindo.
Saaty TL, 2001. Decesion Making for Liaders. Forth Edition. University of
Dittsburgh, RWS Publication.
Santosa U. 2001. Pola pengembangan sapi potong di propinsi Dati I Jawa Barat.
[laporan penelitian]. Bandung : Kerjasama Dinas Peternakan Propinsi Jawa
Barat dengan fakultas Peternakan Universitas Padjajaran.
Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan [kumpulan pemikiran]. Ed ke-2.
Bogor : USESE Foundation dan Pusat Pembangunan IPB.
Sarwono BD. 1995. Peternakan sapi rakyat pada ekosistem sawah beririgasi di
pulau Lombok NTB [laporan penelitian]. Fakultas Peternakan Universitas
Mataram.
Setiawan. 2000. Sistem Pertanian Terpadu. Majalah AT Agribisnis 143:24-26.
Siegel S. 1997. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Sayuti Z;
Simatupang L, Hagul P, penerjemah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Terjemahan dari : Non Parametric Statistics for Behavioral Sciences.
Soedjana TD, 2007. Masalah dan kebijakan peningkatan produksi peternakan untuk
pemecahan gizi masyarakat. http://www.litbang.deptan.go.id/
Soehadji. 1995. Pengembangan bioteknologi peternakan. Keterkaitan penelitian,
pengkajian dan aplikasi. Di dalam : Prosiding Lokakarya Nasional I
Bioteknologi Peternakan. Kerjasama Departemen Pertanian dan Men Ristek.
Bogor, 23-24 Jan 1995.
Soehadji. 1999. Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia [abstrak]. Di
dalam : Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Ha-
sanuddin, Ujung Pandang.
Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Edisi
Redvisi. Jakarta : PT Raja Grafika Persada.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta : Penerbit UI Press.
Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL, Hardarker JB. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta : Penerbit UI Press.
Soetirto E. 1997. Pemberdayaan peternak rakyat dan industri peternakan menuju
pasar bebas, pokok bahasan ternak potong. Di dalam : Proseding Seminar
Nasional Peternakan dan Veterinir. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta, th 1997.
Sudrajat S. 2003. Operasional program terobosan menuju kecukupan daging sapi
tahun 2005. Di dalam : Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 (1).
Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Hlm 23-45
Steel RGD, and Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistics. A
Biometrical Approach. Ed ke-2. Tokyo : McGraw Hill Kogashusha, LTD.
103

Sudaryanto B. 2006. Sistem pembibitan ternak mendukung ketersediaan sapi


potong. http://www.nasih.staf.ugm.ac.id/
Sudaryanto T dan E. Jamal. 2000. Pengembangan agribisnis peternakan melalui
pendekatan corporate farming untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veterinir. Bogor,
Pusat Penelitian Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Suhandar D, 2008. Analisis SWOT statistik. http://www.youngstatistian.com
Sutanto R, 2002. Pertanian Organik : Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelan-
jutan. Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Supriyadi B, 2004. Strategi pengembangan agribisnis sapi potong di kabupaten
Indra Giri Hilir [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Tawaf R, Kuswaryan S. 2006. Kendala kecukupan daging 2010. Di dalam ; Pro-
siding Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 173-185.
Tejojuwono, 1997. Pengolahan sumberdaya tanah dalam rangka pengembangan
sektor industri. PAU Studi Ekonomi. Yogyakarta : Fakultas Ekonomi UGM.
Tilman at al. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Fakultas Peternak-
an, Universitas Gajah Mada.
Toelihere MR, 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung, Penerbit Ang-
kasa.
Teken IB, Asnawi S. 1977. Bahan Kuliah Teori Ekonomi Mikro. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Utomo RM, Sarjono, JB Schiere. 1988. Review of duration and concentration of
urea treated straw on degistibility. Di dalam : Prosiding Bioconvertion
Project Second Workshop on Crop Residues for Feed and Osker Puupose.
Wardhani NK, A Musofie. 2004. Kajian sistem pertanian organik dalam integrasi
usahatani tanaman padi-sapi potong. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional
Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. Hal 116-
125.
Yusdja Y., R, Sayuti., B, Winarso., I, Sadikin dan C, Muslim. 2004.
Pemantapan program dan strategi kebijakan peningktan produksi daging sapi.
Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembanan Sosial Ekonomi Pertanian,
Departemen Pertanian.
Yuwono DM, dkk, 2006. Kajian bantuan Pinjaman langsung masyarakat (BPLM)
pada perbibitan sapi potong di Jawa Tengah. Di dalam ; Prosiding Seminar
Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Dibidang
Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3 Agustus
2006. Hlm 375-388.
Zulbardi. 1993. Kebutuhan protein dan energi berbagai bobot badan sapi PO
[skripsi]. Padang : Fakultas Peternakan, Universitas Andalas.
LAMPIRAN
105

Lampiran 1a. Peta kabupaten Lima Puluh Kota


106

Lampiran 1b. Location Quation ternak sapi potong per kecamatan di kabupa-
ten Lima Puluh Kota

No Kecamatan Populasi sapi Jumlah Si LQ


Potong (Vq) penduduk (Vt) Vq/Vt (Si/Ni)
1 Guguak 3.893,5 32.849 0,1185 0,9699
2 Akabiluru 1.903,25 25.061 0,0759 0,6215
3 Payakumbuh 1.616,25 29.161 0,0554 0,4536
4 Pangkalan 652,5 26.924 0,0242 0,1983
5 Lareh Sago Halaban 7.465,5 32.014 0,2332 1,9083
6 Situjuah Limo Nagari 2.810,5 19.037 0,1476 1,2081
7 Mungka 862,75 22.553 0,0383 0,3130
8 Kapur Sembilan 431,25 25.592 0,0169 0,1379
9 Bukit Barisan 3.103,75 21.471 0,1446 1,1829
10 Gunung Emas 582,25 12.438 0,0472 0,3859
11 Suliki 1.415,75 13.865 0,1021 0,8356
12 Luhak 10.824,75 23.472 0,4612 3,7739
13 Harau 4.161,5 40.810 0,1019 0,8345
Total 39.723,5 325.157

Si 39.723,5
Lq = ------ Ni = ----------------
Ni 325.157

Ni = 0,1222

Keterangan :

Si : Ratio antara populasi ternak sapi potong (ST) wilayah tertentu dengan
Jumlah penduduk diwilayah kecamatan yang sama

Ni : Ratio antara populasi ternak sapi potong kabupaten Lima Puluh Kota
dengan jumlah penduduk kabupaten Lima Puluh Kota
107

Lampiran 1c. Nilai KPPTR per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota

No Kecamatan Prod. HMT Popriil KPPTR


(BK/Ha/Thn)
1 Guguak 7.255,9609 5.603,85 1.652,11
2 Akabiluru 3.201,7304 3.342,05 - 140,32
3 Payakumbuh 3.875,0706 2.312,15 1.562,92
4 Pangkalan 8.755,4859 1.171,95 7.583,54
5 Lareh Sago Halaban 13.904,0576 8.141,95 5.762,11
6 Situjuah Limo Nagari 4.350,4022 3.356,95 993,45
7 Mungka 5.434,512 1.533,0 3.901,51
8 Kapur Sembilan 3.742,5196 2.834,3 908,22
9 Bukit Barisan 4.243,4359 3.757,9 485,54
10 Gunung Emas 1.585,2946 2.559,6 - 974,31
11 Suliki 2.903,112 3.771,9 - 868,79
12 Luhak 13.744,8902 11.206,8 2.538,09
13 Harau 7.341,3717 5.264,25 2.077,12
80.337,8435 54.856,65 25.481,19

Nilai KPPTR berdasarkan urutan terbesar dan kategorinya.

1. Pangkalan Koto Baru 7.583,54 Tinggi


2. Lareh Sago Halaban 5.762,11 Tinggi
3. Mungka 3.901,51 Tinggi
4. Luhak 2.538,09 Sedang
5. Harau 2.077,12 Sedang
6. Guguak 1.652,11 Sedang
7. Payakumbuh 1.562,92 Sedang
8. Situjuah Limo Nagari 993,45 Rendah
9. Kapur Sembilan 908,22 Rendah
10. Bukit Barisan 485,54 Rendah
108

Lampiran 1d. Nilai KPPTR berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah per
kecamatan

Keterangan :
1. Warna merah kecamatan yang memiliki KPPTR kategori tinggi
2. Warna hijau kecamatan yang memiliki KPPTR kategori sedang
3. Warna kuning kecamatan yang memiliki KPPTR kategori rendah
4. Warnaabu-abu kecamatan yang memiliki KPPTR minus
5. Warna ungu merupakan wilayah Kota Payakumbuh
109

Lampiran 1e Kontrbusi lahan garapan terhadap produksi hijauan makanan ternak

No Kecamatan Sawah Pdg Rumput Perkebunan Hutan Negara Hutan Rakyat Tegalan Jumlah
Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv X
(Ha) 2% (Ha) 100% (Ha) 5% (Ha) 5% (Ha) 3% (Ha) 1%
1 Guguak 2.654 53,08 2.174 2.174 -- -- 3.373 168,65 948 28,44 711 7,11 2.431,28
2 Akabiluru 1.595 31,9 586 586 -- -- 2.732 136,6 1.464 43,92 1.454 14,54 812,96
3 Payakumbuh 1.981 39,62 575 575 1.769 88,45 1.217 60,85 581 17,43 1.816 18,16 799,51
4 Pangkalan 543 10,86 630 630 29.250 1.462,5 56.649 2.832,4 -- -- 1.389 13,89 4.949,65
5 Lareh Sago H 2.830 56,60 5.500 5.500 3.000 150 22.761 1.138,05 2.476 74,28 1.090 10,9 6.929,83
6 Situjuah V Ngr 1.693 33,86 1.731 1.731 -- -- 1.018 50,9 451 13,53 609 6,09 1.835,38
7 Mungka 805 16,10 311 311 -- -- 2.000 100 -- -- 2.511 25,11 452,21
8 Kapur IX 828 16,56 109 109 10.500 525 5.800 290 39.456 1.183,68 7.466 74,66 2.198,9
9 Bukit Barisan 2.164 43,28 1.327 1.327 1.830 91,50 14.354 717,7 2.355 70,65 3.478 34,78 2.284,91
10 Gunung Emas 925 18,50 321 321 -- -- 5.075 253,75 3.625 108,75 2.725 27,25 729,25
11 Suliki 1.199 23,98 660 660 570 28,5 3.979 198,95 2.369 71,07 2.395 23,95 1.006,45
12 Luhak 1.646 32,92 7.500 7.500 -- -- 430 21,5 72 2,16 99 0,99 7.557,57
13 Harau 3.423 68,46 1.784 1.784 1.052 52,6 20.044 1.002,2 -- -- 7.652 76,52 2.983,78
22.286 445,72 23208 23208 47.971 2.398,55 139.432 6.971,55 53.797 1.613,91 33.395 333,95 34.971,68
110

Lampiran 1f Produksi pakan hijauan, limbah pertanian berdasarkan luas panen

No Kecamatan LP Padi LP Jagung LP Ubi kayu LP Ubi jalar LP Kedele LP Kacang tnh Jumlah
Luas 0,23 Luas 10,9 Luas 5.05 Luas 1,2 Luas 1,07 Luas 1,44 Y
1 Guguak 4.636 1.066,28 594 6.474,6 5 25,25 2 2,4 -- -- 2 2,88 7.571,41
2 Akabiluru 2.892 665,16 267 2.910,3 144 727,2 7 8,4 -- -- 3 4,32 4.315,38
3 Payakumbuh 3.415 785,45 446 4.861,4 53 267,65 -- -- -- -- -- -- 5.914,5
4 Pangkalan 1.057 243,11 121 1.318,9 2 10,1 -- -- -- -- 3 4,32 1.576,43
5 Lareh Sago H 4.859 1.117,57 331 3.607,9 172 868,6 152 182,4 -- -- 150 216 5.992,47
6 Situjuah V Ngr 2.980 685,4 165 1.798,5 119 600,95 32 38,4 -- -- -- -- 3.123,25
7 Mungka 1.273 292,79 955 10.409,5 19 95,95 -- -- 5 5,35 -- -- 10.803,59
8 Kapur IX 915 210,45 9 98,1 9 45,45 3 3,6 -- -- 3 4,32 361,92
9 Bukit Barisan 3.710 853,3 27 294,2 5 25,25 7 8,4 -- -- 7 10,08 1.191,33
10 Gunung Emas 1.879 432,17 26 283,4 32 161,6 1 1,2 -- -- 23 33,12 911,49
11 Suliki 2.430 558,9 195 2.125,5 41 207,05 -- -- -- -- 8 11,52 2.902,97
12 Luhak 2.486 571,78 200 2.180 74 373,7 30 36 -- -- 77 110,88 3.272,36
13 Harau 7.321 1.683,83 325 3.542,5 93 469,65 -- -- -- -- -- -- 5.695,98
39.853 9.166,19 3.661 39.904,9 768 3.878,4 234 280,8 5 5,35 276 397,44 53.633,08
111

Lampiran 1g Total produksi HMTper kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota

No Kecamatan X Konversi X Y X+Y X+Y


3,75 2.3
1 Guguak 2.431,28 9.117,3 7.571,41 16.688,71 7.255,9609
2 Akabiluru 812,96 3.048,6 4.315,38 7.363,98 3.201,7304
3 Payakumbuh 799,51 2.998,1625 5.914,5 8.912,6625 3.875,0706
4 Pangkalan 4.949,65 18.561,1875 1.576,43 20.137,6175 8.755,4859
5 Lareh Sago Hlbn 6.929,83 25.986,8625 5.992,47 31.979,3325 13.904,0576
6 Situjuah V Ngr 1.835,38 6.882,675 3.123,25 10.005,925 4.350,4022
7 Mungka 452,21 1.695,7875 10.803,59 12.499,3775 5.434,512
8 Kapur Sembilan 2.198,9 8.245,875 361,92 8.607,795 3.742,5196
9 Bukit Barisan 2.284,91 8.568,4125 1.191,49 9.759,9025 4.243,4359
10 Gunung Emas 729,25 2.734,6875 911,49 3.646,1775 1.585,2946
11 Suliki 1.006,45 3.774,1875 2.902,97 6.677,1575 2.903,112
12 Luhak 7.557,57 28.340,8875 3.272,36 31.613,2475 13.744,8902
13 Harau 2.983,78 11.189,175 5.695,98 16.885,155 7.341,3717
34.971,68 131.143,8 53.633,24 184.777.04 80.337,8435

Lampiran 1h Jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah KK petani per


kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota

No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Pendu- Jumlah KK


(Km2) Duk (jiwa) Petani (jiwa)
1 Guguak 106,20 35.422 2.634
2 Akabiluru 94,6 27.279 1.913
3 Payakumbuh 99,7 31.572 1.312
4 Pangkalan 712,6 29.167 570
5 Lareh Sago Halaban 394,5 34.198 2.279
6 Situjuah Limo Nagari 74,8 20.465 892
7 Mungka 83,6 24.427 789
8 Kapur Sembilan 723,6 27.152 134
9 Bukit Barisan 294,2 23.243 2.228
10 Gunung Emas 156,54 13.171 272
11 Suliki 136,94 14.947 808
12 Luhak 61,8 25.262 7.413
13 Harau 416,0 44.003 2.113
3.354,30 350.308 23.557
112

Lampiran 1i Ketentuan menghitung kapasitas tampung ternak ruminansia


berdasarkan metoda Nell dan Rollinson

Kemampuan Lahan dalam Menghasilkan Rumput

Jenis Lahan Kontribusi lahan (Ha)


Padang rumput 100 % dari luas lahan
Sawah 2 % dari luas lahan
Galengan sawah 2,5 % dari luas lahan
Perkebunan 5 % dari luas lahan
Hutan sejenis 5 % dari luas lahan
Huan sekunder 3 % dari luas lahan
Tepian jalan 0,5 Ha dari panjang jalan
Tegalan 1 % dari luas lahan

Sumber : Nell dan Rollinson (1974)

Produksi Hijauan Makanan Ternak yang dapat dihasilkan dari Luas Panen

Hasil Limbah Produksi jerami


Jerami padi 0,23 ton BK/Ha/tahun
Jerami jagung 10,9 ton BK/Ha/tahun
Jerami ubikayu 5,05 ton BK/Ha/tahun
Jerami ubi jalar 1,2 ton BK/Ha/tahun
Jerami kedelai 1,07 ton BK/Ha/tahun
Jerami kacang tanah 1,44 ton BK/Ha/tahun

Sumber : Nell dan Rollinson (1974)


113

Lampiran 2a Rataan penggunaan bibit tanaman di lokasi penelitian

Uraian Satuan Program Non Program


MT I MT II MT III MT I MT II MT III
Luas sawah ≤ 1 Ha
a. Padi Kg 13,68 13,68 17,76 9,12 9,12 10,56
b. Cabe Anakan -- -- 5.880 -- -- 3.480
c. Kt Kg -- -- 17,92 -- -- 12,6
d. Jg Kg -- -- 15,00 -- -- 11,4
e. Rumput gajah Steek 19.000 -- -- 11.000 -- --
f. Padi (tegalan) Kg -- -- -- 12,00 12,00 --
g. Cabe (tegalan) Anakan 7.080 9.360 -- 5.040 5.400 --
h. Kt (tegalan) Kg 16,24 15,12 -- 7,00 7,00 --
i. Jg (tegalan) Kg 15,00 11,4 -- 10,5 9,6 --
Luas sawah > 1 Ha
a. Padi Kg 39,36 39,36 38,4 55,44 55,44 56,16
b. Cabe Anakan -- -- -- -- -- --
c. Kt Kg -- -- 44,8 -- -- --
d. Jg Kg -- -- -- -- -- --
e. Rumput gajah Steek 16.800 -- -- 18.200 -- --
f. Padi (tegalan) Kg -- -- -- -- -- --
g. Cabe (tegalan) Anakan 7.560 3.000 -- 4.560 3.000 --
h. Kt (tegalan) Kg -- 28 -- 7,0 7,0 --
i. Jg (tegalan) Kg 7,5 7,5 -- 11,4 9,9 --

Lampiran 2b Ketersediaan bibit tanaman per musim tanam

Uraian Satuan Program Non Program


MT I MT II MT III MT I MT II MT III
Luas sawah ≤ 1 Ha
a. Padi Kg 17,1 17,1 22,2 11,4 11,4 13,2
b. Cabe Anakan -- -- 6.860 -- -- 4.060
c. Kt Kg -- -- 19,2 -- -- 13,5
d. Jg Kg -- -- 16,0 -- -- 12,16
e. Rumput gajah Steek 20.900 -- -- 12.100 -- --
f. Padi (tegalan) Kg -- -- -- 15,0 15,0 --
g. Cabe (tegalan) Anakan 8.260 10.920 -- 5.880 6.300 --
h. Kt (tegalan) Kg 17,4 16,2 -- 7,5 7,5 --
i. Jg (tegalan) Kg 16,0 12,16 -- 11,2 10,24 --
Luas sawah > 1 Ha
a. Padi Kg 49,2 49,2 48 69,3 69,3 70,2
b. Cabe Anakan -- -- -- -- -- --
c. Kt Kg -- -- 48 -- -- --
d. Jg Kg -- -- -- -- -- --
e. Rumput gajah Steek 18.480 -- -- 20.020 -- --
f. Padi (tegalan) Kg -- -- -- -- -- --
g. Cabe (tegalan) Anakan 8.820 3.500 -- 5.320 3.500 --
h. Kt (tegalan) Kg -- 30 -- 7,5 7,5 --
i. Jg (tegalan) Kg 8,0 8 -- 12,16 9,9 --
114

Lampiran 2c Rataan penggunaan pupuk per musim tanam

Rincian Jenis Pupuk (kg)


Urea TSP KCl NPK Kdg
I. Program
1. Sawah ≤ 1 Ha
a. Padi MT I, II, III 107,33 52,17 27,79 -- 585,19
b. Cabe MT I, II 96,43 41,0 -- 37,14 1.107,14
MT III 82,5 44,25 -- 37,5 1.425,25
c. Kt MT I, II 43,33 44,17 27,5 -- 875
MT III 60 65 50 -- 2.267,5
d. Jg MT I, II 45 31,25 22,5 -- 625
MT III 77,5 45 22,5 -- 1.316
e. R gajah MT I, II, III 190,5 -- -- -- 3.259,27
2. Sawah > 1 Ha
a. Padi MT I, II, III 288,33 140 81,67 -- 726,95
b. Cabe MT I, II 125 62,5 -- 43,75 1.625
c. Kt MT I, II 100 120 80 -- 2.000
MT III 125 150 100 -- 2.000
d. Jg MT I, II 30 20 15 -- 1.893,5
e. R gajah MT I, II, III 168 -- -- -- 4.063,07
II.Non Program
1. Sawah ≤ 1 Ha
a. Padi MT I, II, III 69,91 35,09 17,87 -- 412,58
b. Cabe MT I, II 61,43 32,5 -- 23,93 544,43
MT III 57,14 26,43 -- 22,86 587,14
c. Kt MT I, II 15,83 20 20 -- 700
MT III 45 32 30 -- 696
d. Jg MT I, II 45,83 22,5 15 -- 720,17
MT III 50 32,5 17,5 -- 1.250
e. Padi (tgl) MT I, II 50 37,5 25 -- 519
f. R gajah MT I, II, III 110 -- -- -- 930,74
2. Sawah > 1 Ha
a. Padi MT I, II, III 352,08 173,44 90 -- 695
b. Cabe MT I, II 62,5 25 -- 22,5 625
c. Kt MT I, II 25 23,33 23,33 -- 1.155,33
d. Jg MT I, II 46,67 23,33 23,33 -- 1.238,33
e. R gajah MT I, II, III 181,25 -- -- -- 1.880,31
115

Lampiran 2d Rataan ketersediaan pupuk per musim tanam

Rincian Jenis pupuk (kg)


Urea TSP KCl NPK Kdg
I. Program
1. Lahan sawah ≤ 1 Ha
- MT I 497,5 225 83 29,5 4.975
- MT II 501,5 227 74,5 39 5.015
- MT III 521,5 237 94 24,5 5.215
2. Lahan sawah > 1 Ha
- MT I 546 252 94,5 31,5 5.460
- MT II 670 314 144,5 12,5 6.700
- MT III 682 320 160 -- 6.820
II. Non Program
1. Lahan sawah ≤ 1 Ha
- MT I 407,5 190 74 21 4.075
- MT II 407,5 190 72,5 22,5 4.075
- MT III 325,5 149 60 14,5 3.255
2. Lahan sawah > 1 Ha
- MT I 709,5 332 147 19 7.095
- MT II 673,5 314 144,5 12,5 6.735
- MT III 513,5 234 117 -- 5.135

Lampiran 2e Penggunaan obat-obatan per musim tanam

Rincian Program Non Program


Lebicyt Curacron Lebicyt Curacron
1. Luas sawah ≤ 1 Ha
a. Padi MT I 0,4 -- 0,26 --
MT II 0,4 -- 0,26 --
MT III 0,4 -- 0,26 --
b. Cabe MT I -- 0,57 -- 0,36
MT II -- 0,57 -- 0,36
MT III -- 0,56 -- 0,39
2. Luas sawah > 1 Ha
a. Padi MT I 0,67 -- 0,46 --
MT II 0,67 -- 0,46 --
MT III 0,67 -- 0,46 --
b. Cabe MT I -- 0,5 -- 0,42
MT II -- 0,5 -- 0,42
MT III -- -- -- --
116

Lampiran 2f-1 Rataan produksi usahatani program luas lahan ≤ 1 Ha


Pola Tanam Jumlah produksi rata-rata (Kg/Ha/Th)
Padi Cabe Kt Jg R gjh Cabe Kt Jg
PT 1 4.086 -- -- -- -- -- -- --
PT 2 6.129 -- -- -- -- -- -- --
PT 3 4.086 1.462,5 -- -- -- -- -- --
PT 4 4.086 -- 1.657,5 -- -- -- -- --
PT 5 4.086 -- -- 1.500 -- -- -- --
PT 6 -- -- -- -- 152.400 -- -- --
PT 7 -- -- -- -- -- 2.811,4 -- --
PT 8 -- -- -- -- -- 1.405,7 1.191,7 --
PT 9 -- -- -- -- -- -- 2.383,3 --
PT 10 -- -- -- -- -- 1.405,7 -- 825
PT 11 -- -- -- -- -- -- -- 1.650

Lampiran 2f-2 Rataan produksi usahatani program luas lahan > 1 Ha


Pola Jumlah produksi rata-rata (Kg/Ha/th)
Tanam Padi Kt R Gajah Cabe Kt (tgl) Jg (tgl)
PT 1 11.808 -- -- -- -- --
PT 2 17.712 -- -- -- -- --
PT 3 11.808 4.160 -- -- -- --
PT 4 -- -- 146.400 -- -- --
PT 5 -- -- -- 3.000 -- --
PT 6 -- -- -- 1.500 2.200 --
PT 7 -- -- -- -- -- 1100

Lampiran 2f-3 Rataan produksi usahatani non program luas lahan ≤ 1 Ha


Pola Jumlah produksi rata-rata (Kg/Ha/th)
Tanam Padi Cabe Kt Jg R Gjh Padi Cabe Kt Jg
PT 1 4.050 -- -- -- -- -- -- -- --
PT 2 2.700 857,14 -- -- -- -- -- -- --
PT 3 2.700 -- 1.170 -- -- -- -- -- --
PT 4 2.700 -- -- 1.125 -- -- -- -- --
PT 5 -- -- -- -- 82.000 -- -- -- --
PT 6 -- -- -- -- -- -- 1.885,7 -- --
PT 7 -- -- -- -- -- -- 942,86 550 --
PT 8 -- -- -- -- -- -- -- -- --
PT 9 -- -- -- -- -- -- 942,86 -- 696,57
PT 10 -- -- -- -- -- -- -- -- 1.393,14
PT 11 -- -- -- -- -- 2.400 -- -- --

Lampiran 2f-4 Rataan produksi usahatani non program luas lahan > 1 Ha
Pola Jumlah produksi rata-rata (Kg/Ha/th)
Tanam Padi R Gajah Cabe (tgl) Kt (tgl) Jg (tgl)
PT 1 16.672,5 -- -- -- --
PT 2 25.008,75 -- -- -- --
PT 3 -- 145.000 -- -- --
PT 4 -- -- 1.800 -- --
PT 5 -- -- 900 550 --
PT 6 -- -- -- 1.100 --
PT 7 -- -- -- -- 1.466,67
PT 8 -- -- -- 550 733,33
117

Lampiran 2g-1 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan luas lahan sawah ≤ 1 Ha

Komponen PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7 PT8 PT9 PT10 PT11
1.Penerimaan
- Padi 7.150.000 10.725.750 7.150.500 7.150.500 7.150.500 -- -- -- -- -- --
- Cabe -- -- 11.700.000 -- -- -- -- -- -- -- --
- Kt -- -- -- 9.945.000 -- -- -- -- -- -- --
- Jg -- -- -- -- 6.000.000 -- -- -- -- -- --
- R gajah -- -- -- -- -- 13.716.000 -- -- -- -- --
- Cabe (tgl) -- -- -- -- -- -- 22.491.360 11.245.680 -- 11.245.680 --
- Kt (tgl) -- -- -- -- -- -- -- 7.150.020 14.300.040 -- --
- Jg (tgl) -- -- -- -- -- -- -- -- -- 3.300.000 6.600.000
Total 7.150.000 10.725.750 18.850.500 17.095.500 13.150.500 13.716.000 22.491.360 18.395.700 14.300.040 14.545.680 6.600.000
2.Biaya
- Bibit 47.670 71.505 70.545 154.770 107.670 57.150 52.714,3 117.357,1 182.000 71.357,1 90.000
- Ppk an org 567.596 851.394 862.571 856.096 789.846 742.950 612.958 492.897 372.836 463.104 313.250
- Ppk Org 46.815,2 70.222,8 103.825,2 137.515,2 99.455,2 391.112 88.571,2 79.285,6 70.000 69.285,6 50.000
- Obat-obat 44.667 67.000,5 145.917 44.667 44.667 -- 180.714,3 105.357,1 30.000 90.357,1 --
- Peralatan 19.110 28.665 28.665 28.665 28.665 14.431,8 28.863,6 28.863,6 28.863,6 28.863,6 28.863,6
- Sewa lhn 152.680 229.020 229.020 229.020 229.020 380.000 230.909,1 230.909,1 230.909,1 230.909,1 230.909,1
- TK 913.675 1.370.512,5 1.306.112,5 1.426.862,5 1.316.175 1.499.750 943.000 907.541,7 872.083,3 773.375 603.750
- Transport 122.580 183.870 159.142,5 124.017,5 160.080 -- 70.285,5 64.934,5 59.583,5 55.767,8 41.250
Total 1.914.793,2 2.872.189,8 2.905.798,2 3.001.613,2 2.775.578,2 3.085.393,8 2.208.016 2.027.145,7 1.846.275,5 1.783.019,3 1.358.022,7
3.Pendapatan 5.235.206,8 7.853.560,2 15.944.701,8 14.093.886,8 10.374.921,8 10.630.606,2 20.283.344,0 16.368.554,3 12.453.764,5 12.767.660,7 5.241.977,3
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
118

Lampiran 2g-2 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan luas lahan sawah > 1 Ha

Komponen Pola Tanam


PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7
1. Penerimaan
a. Padi 20.664.000 30.996.000 20.664.000 -- -- -- --
b. Kt -- -- 24.960.000 -- -- -- --
c. R gajah -- -- -- 13.176.000 -- -- --
d. Cabe (tegalan) -- -- -- -- 24.000.000 12.000.000 --
e. Kt (tegalan) -- -- -- -- -- 13.200.000 --
f. Jg (tegalan) -- -- -- -- -- -- 4.400.000
Total 20.664.000 30.996.000 45.624.000 13.176.000 24.000.000 25.200.000 4.400.000
2. Biaya
a. Bibit 137.760 206.640 406.560 50.400 56.250 196.125 60.000
b. Ppk an-organik 1.552.338 2.328.507 2.169.838 655.200 800.000 894.000 206.000
c. Ppk Organik 58.156 87.234 138.156 487.568 130.000 145.000 151.480
d. Obat-obat 84.584 126.876 84.584 -- 145.000 72.500 --
e. Peralatan 54.684 82.026 82.026 12.500 25.000 25.000 25.000
f. Sewa lhn 464.006 696.009 696.009 220.000 200.000 200.000 200.000
g.TK 2.506.234 3.759.351 3.794.234 1.323.000 1.006.250 1.308.125 402.500
h.Transport 354.240 531.360 458.240 -- 75.000 92.500 27.500
Total 5.212.002 7.818.003 7.829.647 2.748.668 2.437.500 2.933.250 1.072.480
3. Pendapatan 15.451.998 23.177.997 37.794.353 10.427.332 21.562.500 22.266.750 3.327.520
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
119

Lampiran 2g-3 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan luas lahan sawah ≤ 1 Ha

Komponen Pola Tanam


PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7 PT8 PT9 PT10 PT11
1. Penerimaan
a. Padi 7.087.500 4.725.000 4.725.000 4.725.000 -- -- -- -- -- -- --
b. Cabe -- 6.857.120 -- -- -- -- -- -- -- -- --
c. Kt -- -- 7.020.000 -- -- -- -- -- -- -- --
d. Jg -- -- -- 4.500.000 -- -- -- -- -- -- --
e. R gajah -- -- -- -- 7.380.000 -- -- -- -- -- --
f. Cabe (tgl) -- -- -- -- -- 15.085.760 7.542.880 -- 7.452.880 -- --
g. Kt (tgl) -- -- -- -- -- -- 3.300.000 6.600.000 -- -- --
h. Jg (tgl) -- -- -- -- -- -- -- -- 2.786.280 5.572.560 --
i. Padi (tgl) -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- 4.200.000
Total 7.087.500 11.582.120 11.745.000 9.225.000 7.380.000 15.085.760 10.842.880 6.600.000 10.329.160 5.572.560 4.200.000
2. Biaya
a. Bibit 47.250 44.357,1 107.100 76.500 33.000 35.357,1 73.678,6 112.000 55.678,6 76.000 42.000
b. Ppk an-orgnk 558.828 560345 545.452 527.802 429.000 413.798 301.478 189.158 334.728 255.658 357.500
c. Ppk Organik 49.509,6 56.492 60.846,4 83.006,4 111.688,8 43.554,4 49.777,2 56.000 50.584 57.613,6 41.520
d. Obat-obat 46.666,7 93.968,3 31.111,1 31.111,1 -- 100.178,6 50.089,3 -- 50.089,3 -- 60.000
e. Peralatan 18.765 18.765 18.765 18.765 9.545,5 19.090,9 19.090,9 19.090,9 19.090,9 19.090,9 19,090,9
f. Sewa lhn 150.015 150.015 150.015 150.015 220.000 152.727,3 152.727,3 152.727,3 152.727,3 152.727,3 152.727,3
g.TK 905.625 833.750 966.000 905.625 866.250 632.500 517.500 402.500 571.166,7 509.833,3 805.000
h.Transport 135.000 114.285,8 123.750 123.750 -- 55.000 45.000 35.000 51.250 47.500 70.000
1.911.659,3 1.871.978,2 2.003.039,5 1.916.574,5 1.669.484,3 1.452.206,3 1.209.341,3 966.476,2 1.285.314,8 1.118.423,1 1.547.838,2
5.175.840,7 9.710.141,8 9.741.960,5 7.308.425,5 5.710.515,7 13.633.553,7 20.283.344,0 5.633.523,8 9.043.845,2 4.454.136,9 2.652.161,8
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
121

Lampiran 2 h Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha

No Simbol Aktivitas Satuan


1 X1 Pola tanam sawah Padi-Padi-Bera Ha
2 X2 Pola tanam sawah Padi-Padi-Padi Ha
3 X3 Pola tanam sawah Padi-Padi-Cabe Ha
4 X4 Pola tanam sawah Padi-Padi-Kacang Tanah (KT) Ha
5 X5 Pola tanam sawah Padi-Padi-Jagung Ha
6 X6 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak Ha
7 X7 Pola tanam tegalan Cabe-Cabe Ha
8 X8 Pola tanam tegalan Cabe-Kacang Tanah (KT) Ha
9 X9 Pola tanam tegalan KT-KT Ha
10 X10 Pola tanam tegalan Cabe-Jagung Ha
11 X11 Pola tanam tegalan Jagung-Jagung Ha
12 X12 Pemeliharaan Sapi Bibit Ekor/UT
13 X13 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober HOK
14 X14 Menyewa tenaga kerja bulan November HOK
15 X15 Menyewa tenaga kerja bulan Desember HOK
16 X16 Menyewa tenaga kerja bulan Januari HOK
17 X17 Menyewa tenaga kerja bulan Februari HOK
18 X18 Menyewa tenaga kerja bulan Maret HOK
19 X19 Menyewa tenaga kerja bulan April HOK
20 X20 Menyewa tenaga kerja bulan Mei HOK
21 X21 Menyewa tenaga kerja bulan Juni HOK
22 X22 Menyewa tenaga kerja bulan Juli HOK
23 X23 Menyewa tenaga kerja bulan Agustus HOK
24 X24 Menyewa tenaga kerja bulan September HOK
25 X25 Pinjaman kredit Sapi Bibit %

Lampiran 2 i Kendala yang dipertimbangkan dalam model Program Linier


petani peserta program dengan pemilikan Lahan ≤ 1 Ha

No Simbol Sumberdaya Satuan


1 Y1 Luas lahan sawah yang ditanami Ha
2 Y2 Luas lahan hijauan pakan ternak Ha
3 Y3 Luas lahan tegalan yang ditanami Ha
4 Y4 Ketersediaan tenaga kerja bulan Oktober HOK
5 Y5 Ketersediaan tenaga kerja bulan November HOK
6 Y6 Ketersediaan tenaga kerja bulan Desember HOK
7 Y7 Ketersediaan tenaga kerja bulan Januari HOK
8 Y8 Ketersediaan tenaga kerja bulan Februari HOK
9 Y9 Ketersediaan tenaga kerja bulan Maret HOK
10 Y10 Ketersediaan tenaga kerja bulan April HOK
11 Y11 Ketersediaan tenaga kerja bulan Mei HOK
12 Y12 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juni HOK
13 Y13 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juli HOK
14 Y14 Ketersediaan tenaga kerja bulan Agustus HOK
15 Y15 Ketersediaan tenaga kerja bulan September HOK
16 Y16 Minimal konsumsi hijauan pakan ternak Kg
17 Y17 Ketersediaan bibit padi sawah MT I Kg
18 Y18 Ketersediaan bibit padi sawah MT II Kg
19 Y19 Ketersediaan bibit padi sawah MT III Kg
20 Y20 Ketersediaan bibit cabe sawah MT III Anakan
21 Y21 Ketersediaan bibit kacang tanah sawah MT III Kg
122

22 Y22 Ketersediaan bibit jagung sawah MT III Kg


23 Y23 Ketersediaan bibit hijauan pakan ternak Steek
24 Y24 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT I Anakan
25 Y25 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT II Anakan
26 Y26 Ketersediaan bibit KT tegalan MT I Kg
27 Y27 Ketersediaan bibit KT tegalan MT II Kg
28 Y28 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT I Kg
29 Y29 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT II Kg
30 Y30 Ketersediaan pupuk Urea MT I Kg
31 Y31 Ketersediaan pupuk TSP MT I Kg
32 Y32 Ketersediaan pupuk KCl MT I Kg
33 Y33 Ketersediaan pupuk NPK MT I Kg
34 Y34 Ketersediaan pupuk Kandang MT I Kg
35 Y35 Ketersediaan pupuk Urea MT II Kg
36 Y36 Ketersediaan pupuk TSP MT II Kg
37 Y37 Ketersediaan pupuk KCl MT II Kg
38 Y38 Ketersediaan pupuk NPK MT II Kg
39 Y39 Ketersediaan pupuk Kandang MT II Kg
40 Y40 Ketersediaan pupuk Urea MT III Kg
41 Y41 Ketersediaan pupuk TSP MT III Kg
42 Y42 Ketersediaan pupuk KCl MT III Kg
43 Y43 Ketersediaan pupuk NPK MT III Kg
44 Y44 Ketersediaan pupuk Kandang MT III Kg
45 Y45 Ketersediaan lebicyt MT I Liter
46 Y46 Ketersediaan curacron MT I Liter
47 Y47 Ketersediaan lebicyt MT II Liter
48 Y48 Ketersediaan curacron MT II Liter
49 Y49 Ketersediaan lebicyt MT III Liter
50 Y50 Ketersediaan curacron MT III Liter
51 Y51 Ketersediaan modal sendiri MT I Rp
52 Y52 Ketersediaan modal sendiri MT II Rp
53 Y53 Ketersediaan modal sendiri MT III Rp
54 Y54 Ketersediaan kridit usaha sapi bibit Rp

Lampiran 2 j Model usahatani optimal petani peserta program dengan pemi-


likan Lahan ≤ 1 Ha

Fungsi Tujuan Memaksimumkan Pendapatan :

Max Z = 5.235.206,8 X1 + 7.853.560,2 X2 + 15.944.701,8 X3 + 14.093.886,8 X4


+ 10.374.921,8 X5 + 10.630.606,18 X6 + 20.283.344 X7 +
16.368.554,21 X8 + 12.453.764,42 X9 + 12.762.660,63 X10 +
5.241.977,26 X11 + 9.183.741,95 X12 – 17.500 X13 - 17.500 X14 -
17.500 X15 - 17.500 X16 - 17.500 X17 - 17.500 X18 - 17.500 X19 -
17.500 X20 - 17.500 X21 - 17.500 X22 - 17.500 X23 - 17.500 X24 –
0,06 X25
Kendala :

Y1 = X1 + X2 + X3 + X4 + X5 <= 0,57
Y2 = X6 <= 0,95
Y3 = X7 + X8 + X9 + X10 + X11 <= 0,58
123

Y4 = 7,95 X1 + 7,95 X2 + 7,95 X3 + 7,95 X4 + 7,95 X5 + 11,43 X6 + 8,2 X7 + 8,2


X8 + 7,58 X9 + 8,2 X10 + 5,25 X11 + 2,96 X12 – X13 <= 52
Y5 = 11,35 X1 + 11,35 X2 + 11,35 X3 + 11,35 X4 + 11,35 X5 + 6,75 X6 + 11,72
X7 + 11,72 X8 + 10,83 X9 + 11,72 X10 + 7,5 X11 + 2,96 X12 – X14 <= 52
Y6 = 6,81 X1 + 6,81 X2 + 6,81 X3 + 6,81 X4 + 6,81 X5 + 6,75 X6 + 7,03 X7 +
7,03 X8 + 6,5 X9 + 7,03 X10 + 4,5 X11 + 2,96 X12 – X15 <= 52
Y7 = 6,81 X1 + 6,81 X2 + 6,81 X3 + 6,81 X4 + 6,81 X5 + 6,75 X6 + 7,03 X7 +
7,03 X8 + 6,5 X9 + 7,03 X10 + 4,5 X11 + 2,96 X12 – X16 <= 52
Y8 = 7,95 X1 + 7,95 X2 + 7,95 X3 + 7,95 X4 + 7,95 X5 + 6,75 X6 + 8,2 X7 + 7,58
X8 + 7,58 X9 + 5,25 X10 + 5,25 X11 + 2,96 X12 – X17 <= 52
Y9 = 11,35 X1 + 11,35 X2 + 11,35 X3 + 11,35 X4 + 11,35 X5 + 6,75 X6 + 11,72
X7 + 10,83 X8 + 10,83 X9 + 7,5 X10 + 7,5 X11 + 2,96 X12 – X18 <= 52
Y10 = 6,81 X1 + 6,81 X2 + 6,81 X3 + 6,81 X4 + 6,81 X5 + 6,75 X6 + 7,03 X7 + 6,5
X8 + 6,5 X9 + 4,5 X10 + 4,5 X11 + 2,96 X12 – X19 <= 52
Y11 = 6,81 X1 + 6,81 X2 + 6,81 X3 + 6,81 X4 + 6,81 X5 + 6,75 X6 + 7,03 X7 + 6,5
X8 + 6,5 X9 + 4,5 X10 + 4,5 X11 + 2,96 X12 – X20 <= 52
Y12 = 7,95 X2 + 6,83 X3 + 8,93 X4 + 7 X5 + 6,75 X6 + 2,96 X12 – X21 <= 52
Y13 = 11,35 X2 + 9,75 X3 + 12,75 X4 + 10 X5 + 6,75 X6 + 2,96 X12 – X22 <= 52
Y14 = 6,81 X2 + 5,85 X3 + 7,65 X4 + 6 X5 + 6,75 X6 + 2,96 X12 – X23 <= 52
Y15 = 6,81 X2 + 5,85 X3 + 7,65 X4 + 6 X5 + 6,75 X6 + 2,96 X12 – X24 <= 52
Y16 = 14.600 X12 <= 152.400
Y17 = 13,68 X1 + 13,68 X2 + 13,68 X3 + 13,68 X4 + 13,68 X5 <= 17,1
Y18 = 13,68 X1 + 13,68 X2 + 13,68 X3 + 13,68 X4 + 13,68 X5 <= 17,1
Y19 = 17,76 X2 <= 22,2
Y20 = 5.880 X3 <= 6.860
Y21 = 17,92 X4 <= 19,2
Y22 = 15 X5 <= 16
Y23 = 19.000 X6 <= 20.900
Y24 = 7.080 X7 + 7.080 X8 + 7.080 X10 <= 8.260
Y25 = 9.360 X7 <= 10.920
Y26 = 16,24 X9 <= 17,4
Y27 = 15,12 X8 + 15,12 X9 <= 16,2
Y28 = 15 X11 <= 16
Y29 = 11,4 X10 + 11,4 X11 <= 12,16
Y30 = 107,33 X1 + 107,33 X2 + 107,33 X3 + 107,33 X4 + 107,33 X5 + 190,5 X6 +
96,43 X7 + 96,43 X8 + 43,33 X9 + 96,43 X10 + 45 X11 <= 497,5
Y31 = 52,17 X1 + 52,17 X2 + 52,17 X3 + 52,17 X4 + 52,17 X5 + 41 X7 + 41 X8 +
44,17 X9 + 41 X10 + 31,25 X11 <= 225
Y32 = 27,79 X1 + 27,79 X2 + 27,79 X3 + 27,79 X4 + 27,79 X5 + 27,5 X9 + 22,5
X11 <= 83
Y33 = 37,14 X7 + 37,14 X8 + 37,14 X10 <= 29,5
Y34 = 585,19 X1 + 585,19 X2 + 585,19 X3 + 585,19 X4 + 585,19 X5 + 3.259,27 X6
+ 1.107,14 X7 + 1.107,14 X8 + 875 X9 + 1.107,14 X10 + 625 X11 <= 4.975
Y35 = 107,33 X1 + 107,33 X2 + 107,33 X3 + 107,33 X4 + 107,33 X5 + 190,5 X6 +
96,43 X7 + 96,43 X8 + 43,33 X9 + 96,43 X10 + 45 X11 <= 501,5
Y36 = 52,17 X1 + 52,17 X2 + 52,17 X3 + 52,17 X4 + 52,17 X5 + 41 X7 + 41 X8 +
44,17 X9 + 41 X10 + 31,25 X11 <= 227
Y37 = 27,79 X1 + 27,79 X2 + 27,79 X3 + 27,79 X4 + 27,79 X5 + 27,5 X9 + 22,5
X11 <= 74,5
124

Y38 = 37,14 X7 <= 39


Y40 = 107,33 X2 + 82,5 X3 + 60 X4 + 77,5 X5 + 190,5 X6 <= 521,5
Y41 = 52,17 X2 + 44,25 X3 + 65 X4 + 45 X5 <= 237
Y42 = 27,79 X2 + 50 X4 + 22,5 X5 <= 94
Y43 = 37,5 X3 <= 24,5
Y44 = 585,19 X2 + 1.425,25 X3 + 2.267,5 X4 + 1.316 X5 + 3.259,27 X6 <= 5.215
Y45 = 0,4 X1 + 0,4 X2 + 0,4 X3 + 0,4 X5 <= 0,56
Y46 = 0,57 X7 + 0,57 X8 + 0,57 X10 <= 0,89
Y47 = 0,4 X1 + 0,4 X2 + 0,4 X3 + 0,4 X5 <= 0,58
Y48 = 0,57 X7 <= 1,17
Y49 = 0,4 X2 <= 0,74
Y50 = 0,56 X3 <= 0,74
Y51 = 957.396,6 X1 + 957.396,6 X2 + 957.396,6 X3 + 957.396,6 X4 + 957.396,6
X5 + 1.028.464,61 X6 + 1.104.008 X7 + 1.104.008 X8 + 923.137,79 X9 +
1.104.008 X10 + 679.011,37 X11 + 472.511,38 X12 – X25 <= 7.200.362,67
Y52 = 957.396,6 X1 + 957.396,6 X2 + 957.396,6 X3 + 957.396,6 X4 + 957.396,6
X5 + 1.028.464,61 X6 + 1.104.008 X7 + 923.137,79 X8 + 923.137,79 X9 +
679.011,37 X10 + 679.011,37 X11 + 472.511,38 X12 – X25 <= 7.200.362,67
Y53 = 957.396,6 X2 + 991.005 X3 + 1.126.820 X4 + 860.785 X5 + 1.028.464,61 X6
+ 472.511,38 X12 – X25 <= 7.200.362,67
Y54 = X25 <= 2.400.000

Lampiran 2 k Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) usahatani petani peserta


program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha

No Variabel Aktivitas Value


1 X3 Pola tanam sawah Padi-Padi-Cabe 0,57
2 X6 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak 0,95
3 X7 Pola tanam tegalan Cabe-Cabe 0,58
4 X12 Pemeliharaan sapi bibit 10,44

Lampiran 2 l Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan > 1 Ha

No Simbol Aktivitas Satuan


1 X1 Pola tanam sawah Padi-Padi-Bera Ha
2 X2 Pola tanam sawah Padi-Padi-Padi Ha
3 X3 Pola tanam sawah Padi-Padi-Kacang tanah (KT) Ha
4 X4 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak Ha
5 X5 Pola tanam tegalan Cabe-Cabe Ha
6 X6 Pola tanam tegalan Cabe-Kacang Tanah (KT) Ha
7 X7 Pola tanam tegalan Jagung-jagung Ha
8 X8 Pemeliharaan Sapi Bibit Ekor/UT
9 X9 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober HOK
10 X10 Menyewa tenaga kerja bulan November HOK
11 X11 Menyewa tenaga kerja bulan Desember HOK
12 X12 Menyewa tenaga kerja bulan Januari HOK
13 X13 Menyewa tenaga kerja bulan Februari HOK
14 X14 Menyewa tenaga kerja bulan Maret HOK
15 X15 Menyewa tenaga kerja bulan April HOK
125

16 X16 Menyewa tenaga kerja bulan Mei HOK


17 X17 Menyewa tenaga kerja bulan Juni HOK
18 X18 Menyewa tenaga kerja bulan Juli HOK
19 X19 Menyewa tenaga kerja bulan Agustus HOK
20 X20 Menyewa tenaga kerja bulan September HOK
21 X21 Pinjaman kredit Sapi Bibit %

Lampiran 2 m Kendala yang dipertimbangkan dalam model Program Linier


petani peserta program dengan pemilikan Lahan > 1 Ha

No Simbol Sumberdaya Satuan


1 Y1 Luas lahan sawah yang ditanami Ha
2 Y2 Luas lahan hijauan pakan ternak Ha
3 Y3 Luas lahan tegalan yang ditanami Ha
4 Y4 Ketersediaan tenaga kerja bulan Oktober HOK
5 Y5 Ketersediaan tenaga kerja bulan November HOK
6 Y6 Ketersediaan tenaga kerja bulan Desember HOK
7 Y7 Ketersediaan tenaga kerja bulan Januari HOK
8 Y8 Ketersediaan tenaga kerja bulan Februari HOK
9 Y9 Ketersediaan tenaga kerja bulan Maret HOK
10 Y10 Ketersediaan tenaga kerja bulan April HOK
11 Y11 Ketersediaan tenaga kerja bulan Mei HOK
12 Y12 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juni HOK
13 Y13 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juli HOK
14 Y14 Ketersediaan tenaga kerja bulan Agustus HOK
15 Y15 Ketersediaan tenaga kerja bulan September HOK
16 Y16 Minimal konsumsi hijauan pakan ternak Kg
17 Y17 Ketersediaan bibit padi sawah MT I Kg
18 Y18 Ketersediaan bibit padi sawah MT II Kg
19 Y19 Ketersediaan bibit padi sawah MT III Kg
20 Y20 Ketersediaan bibit KT sawah MT III Kg
21 Y21 Ketersediaan bibit hijauan pakan ternak Steek
22 Y22 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT I Anakan
23 Y23 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT II Anakan
24 Y24 Ketersediaan bibit KT tegalan MT II Kg
25 Y25 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT I Kg
26 Y26 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT II Kg
27 Y27 Ketersediaan pupuk Urea MT I Kg
28 Y28 Ketersediaan pupuk TSP MT I Kg
29 Y29 Ketersediaan pupuk KCl MT I Kg
30 Y30 Ketersediaan pupuk NPK MT I Kg
31 Y31 Ketersediaan pupuk Kandang MT I Kg
32 Y32 Ketersediaan pupuk Urea MT II Kg
33 Y33 Ketersediaan pupuk TSP MT II Kg
34 Y34 Ketersediaan pupuk KCl MT II Kg
35 Y35 Ketersediaan pupuk NPK MT II Kg
36 Y36 Ketersediaan pupuk Kandang MT II Kg
37 Y37 Ketersediaan pupuk Urea MT III Kg
38 Y38 Ketersediaan pupuk TSP MT III Kg
39 Y39 Ketersediaan pupuk KCl MT III Kg
40 Y40 Ketersediaan pupuk Kandang MT III Kg
126

41 Y41 Ketersediaan lebicyt MT I Liter


42 Y42 Ketersediaan curacron MT I Liter
43 Y43 Ketersediaan lebicyt MT II Liter
44 Y44 Ketersediaan curacron MT II Liter
45 Y45 Ketersediaan lebicyt MT III Liter
46 Y46 Ketersediaan modal sendiri MT I Rp
47 Y47 Ketersediaan modal sendiri MT II Rp
48 Y48 Ketersediaan modal sendiri MT III Rp
49 Y49 Ketersediaan kridit usaha sapi bibit Rp

Lampiran 2 n Model usahatani optimal petani peserta program dengan pemi-


likan Lahan > 1 Ha

Fungsi Tujuan Memaksimumkan Pendapatan :

Max Z = 15.451.998 X1 + 23.177.997 X2 + 37.794.353 X3 + 10.427.332 X4 +


21.562.500 X5 + 22.266.750 X6 + 3.327.520 X7 + 10.545.223 X8 –
17.500 X9 – 17.500 X10 – 17.500 X11 – 17.500 X12 – 17.500 X13 –
17.500 X14 – 17.500 X15 – 17.500 X16 – 17.500 X17 – 17.500 X18 –
17.500 X19 – 17.500 X20 – 0,06 X21

Kendala :

Y1 = X1 + X2 + X3 <= 1,64
Y2 = X4 <= 0,84
Y3 = X5 + X6 + X7 <= 0,50
Y4 = 22,96 X1 + 22,96 X2 + 22,96 X3 + 10,08 X4 + 8,75 X5 + 8,75 X6 + 3,5 X7 +
2,77 X8 – X9 <= 51,5
Y5 = 32,8 X1 + 32,8 X2 + 32,8 X3 + 5,96 X4 + 12,5 X5 + 12,5 X6 + 5 X7 + 2,77
X8 – X10 <= 51,5
Y6 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 7,5 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X11 <= 51,5
Y7 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 7,5 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X12 <= 51,5
Y8 = 22,96 X1 + 22,96 X2 + 22,96 X3 + 5,96 X4 + 8,75 X5 + 14 X6 + 3,5 X7 +
2,77 X8 – X13 <= 51,5
Y9 = 32,8 X1 + 32,8 X2 + 32,8 X3 + 5,96 X4 + 12,5 X5 + 20 X6 + 5 X7 + 2,77 X8
– X14 <= 51,5
Y10 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 12 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X15 <= 51,5
Y11 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 12 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X16 <= 51,5
Y12 = 22,96 X2 + 22,4 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X17 <= 51,5
Y13 = 32,8 X2 + 32 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X18 <= 51,5
Y14 = 19,68 X2 + 19,2 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X19 <= 51,5
127

Y15 = 19,68 X2 + 19,2 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X20 <= 51,5


Y16 = 14.600 X8 <= 146.400
Y17 = 39,36 X1 + 39,36 X2 + 39,36 X3 <= 49,2
Y18 = 39,36 X1 + 39,36 X2 + 39,36 X3 <= 49,2
Y19 = 38,4 X2 <= 48
Y20 = 44,8 X3 <= 48
Y21 = 16.800 X4 <= 18.480
Y22 = 7.560 X5 + 7.560 X6 <= 8.820
Y23 = 3.000 X5 <= 3.500
Y24 = 28 X6 <= 30
Y25 = 7,5 X7 <= 8
Y26 = 7,5 X7 <= 8
Y27 = 288,33 X1 + 288,33 X2 + 288,33 X3 + 168 X4 + 125 X5 + 125 X6 30 X7
<= 546
Y28 = 140 X1 + 140 X2 + 140 X3 + 62,5 X5 + 62,5 X6 + 20 X7 <= 252
Y29 = 81,67 X1 + 81,67 X2 + 81,67 X3 + 15 X7 <= 94,5
Y30 = 43,75 X5 + 43,75 X6 <= 31,5
Y31 = 726,95 X1 + 726,95 X2 + 726,95 X3 + 4.063,07 X4 + 1.625 X5 + 1.625 X6 +
1.893,5 X7 <= 5.460
Y32 = 288,33 X1 + 288,33 X2 + 288,33 X3 + 168 X4 + 125 X5 + 100 X6 + 30 X7
<= 670
Y33 = 140 X1 + 140 X2 + 140 X3 + 62,5 X5 + 120 X6 + 20 X7 <= 314
Y34 = 81,67 X1 + 81,67 X2 + 81,67 X3 + 80 X6 + 15 X7 <= 144,5
Y35 = 43,75 X5 <= 12,5
Y36 = 726,95 X1 + 726,95 X2 + 726,95 X3 + 4.063,07 X4 + 1.625 X5 + 2.000 X6 +
1.893,5 X7 <= 6.700
Y37 = 288,33 X2 + 125 X3 + 168 X4 <= 682
Y38 = 140 X2 + 150 X3 <= 320
Y40 = 726,95 X2 + 2.000 X3 + 4.063,07 X4 <= 6.820
Y41 = 0,67 X1 + 0,67 X2 + 0,67 X3 <= 1,62
Y42 = 0,5 X5 + 0,5 X6 <= 0,95
Y43 = 0,67 X1 + 0,67 X2 + 0,67 X3 <= 1,66
Y44 = 0,5 X5 <= 0,38
Y45 = 0,67 X2 <= 1,6
Y46 = 2.606.001 X1 + 2.606.001 X2 + 2.606.001 X3 + 916.222,67 X4 + 1.218.750
X5 + 1.218.750 X6 + 536.240 X7 + 386.562 X8 – X21 <= 9.749.149,33
Y47 = 2.606.001 X1 + 2.606.001 X2 + 2.606.001 X3 + 916.222,67 X4 + 1.218.750
X5 + 1.714.500 X6 + 536.240 X7 + 386.562 X8 – X21 <= 9.749.149,33
Y48 = 2.606.001 X2 + 2.617.645 X3 + 916.222,67 X4 + 386.562 X8 – X21
<= 9.749.149,33
Y49 = X21 <= 2.400.000
128

Lampiran 2 o Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani peserta program


dengan pemilikan lahan > 1 Ha

No Variabel Aktivitas Value


1 X3 Pola tanam sawah Padi-Padi-KT 1,64
2 X4 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak 0,84
3 X6 Pola tanam tegalan Cabe-KT 0,50
4 X8 Pemeliharaan sapi bibit 10,03
5 X9 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober 7,79
6 X10 Menyewa tenaga kerja bulan November 24,76
7 X13 Menyewa tenaga kerja bulan Februari 3,67
8 X14 Menyewa tenaga kerja bulan Maret 24,76
9 X18 Menyewa tenaga kerja bulan Juli 19,26

Lampiran 2 p Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha

No Simbol Aktivitas Satuan


1 X1 Pola tanam sawah Padi-Padi-Padi Ha
2 X2 Pola tanam sawah Padi-Padi-Cabe Ha
3 X3 Pola tanam sawah Padi-Padi-KT Ha
4 X4 Pola tanam sawah Padi-Padi-Jagung Ha
5 X5 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak Ha
6 X6 Pola tanam tegalan Cabe-Cabe Ha
7 X7 Pola tanam tegalan Cabe-Kacang Tanah (KT) Ha
8 X8 Pola tanam tegalan KT-KT Ha
9 X9 Pola tanam tegalan Cabe-Jagung Ha
10 X10 Pola tanam tegalan Jagung-Jagung Ha
11 X11 Pola tanam tegalan Padi-Padi Ha
12 X12 Pemeliharaan Sapi Bibit Ekor/UT
13 X13 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober HOK
14 X14 Menyewa tenaga kerja bulan November HOK
15 X15 Menyewa tenaga kerja bulan Desember HOK
16 X16 Menyewa tenaga kerja bulan Januari HOK
17 X17 Menyewa tenaga kerja bulan Februari HOK
18 X18 Menyewa tenaga kerja bulan Maret HOK
19 X19 Menyewa tenaga kerja bulan April HOK
20 X20 Menyewa tenaga kerja bulan Mei HOK
21 X21 Menyewa tenaga kerja bulan Juni HOK
22 X22 Menyewa tenaga kerja bulan Juli HOK
23 X23 Menyewa tenaga kerja bulan Agustus HOK
24 X24 Menyewa tenaga kerja bulan September HOK
129

Lampiran 2 q Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier


petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha

No Simbol Sumberdaya Satuan


1 Y1 Luas lahan sawah yang ditanami Ha
2 Y2 Luas lahan hijauan pakan ternak Ha
3 Y3 Luas lahan tegalan yang ditanami Ha
4 Y4 Ketersediaan tenaga kerja bulan Oktober HOK
5 Y5 Ketersediaan tenaga kerja bulan November HOK
6 Y6 Ketersediaan tenaga kerja bulan Desember HOK
7 Y7 Ketersediaan tenaga kerja bulan Januari HOK
8 Y8 Ketersediaan tenaga kerja bulan Februari HOK
9 Y9 Ketersediaan tenaga kerja bulan Maret HOK
10 Y10 Ketersediaan tenaga kerja bulan April HOK
11 Y11 Ketersediaan tenaga kerja bulan Mei HOK
12 Y12 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juni HOK
13 Y13 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juli HOK
14 Y14 Ketersediaan tenaga kerja bulan Agustus HOK
15 Y15 Ketersediaan tenaga kerja bulan September HOK
16 Y16 Minimal konsumsi hijauan pakan ternak Kg
17 Y17 Ketersediaan bibit padi sawah MT I Kg
18 Y18 Ketersediaan bibit padi sawah MT II Kg
19 Y19 Ketersediaan bibit padi sawah MT III Kg
20 Y20 Ketersediaan bibit cabe sawah MT III Anakan
21 Y21 Ketersediaan bibit KT MT III Kg
22 Y22 Ketersediaan bibit jagung sawah MT III Kg
23 Y23 Ketersediaan bibit hijauan pakan ternak Steek
24 Y24 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT I Anakan
25 Y25 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT II Anakan
26 Y26 Ketersediaan bibit KT tegalan MT I Kg
27 Y27 Ketersediaan bibit KT tegalan MT II Kg
28 Y28 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT I Kg
29 Y29 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT II Kg
30 Y30 Ketersediaan bibit padi tegalan MT I Kg
31 Y31 Ketersediaan bibit padi tegalan MT II Kg
32 Y32 Ketersediaan pupuk Urea MT I Kg
33 Y33 Ketersediaan pupuk TSP MT I Kg
34 Y34 Ketersediaan pupuk KCl MT I Kg
35 Y35 Ketersediaan pupuk NPK MT I Kg
36 Y36 Ketersediaan pupuk Kandang MT I Kg
37 Y37 Ketersediaan pupuk Urea MT II Kg
38 Y38 Ketersediaan pupuk TSP MT II Kg
39 Y39 Ketersediaan pupuk KCl MT II Kg
40 Y40 Ketersediaan pupuk NPK MT II Kg
41 Y41 Ketersediaan pupuk Kandang MT II Kg
42 Y42 Ketersediaan pupuk Urea MT III Kg
43 Y43 Ketersediaan pupuk TSP MT III Kg
44 Y44 Ketersediaan pupuk KCl MT III Kg
45 Y45 Ketersediaan pupuk NPK MT III Kg
46 Y46 Ketersediaan pupuk Kandang MT III Kg
47 Y47 Ketersediaan lebicyt MT I Liter
48 Y48 Ketersediaan curacron MT I Liter
49 Y49 Ketersediaan lebicyt MT II Liter
130

50 Y50 Ketersediaan curacron MT II Liter


51 Y51 Ketersediaan lebicyt MT III Liter
52 Y52 Ketersediaan curacron MT III Liter
53 Y53 Ketersediaan modal sendiri MT I Rp
54 Y54 Ketersediaan modal sendiri MT II Rp
55 Y55 Ketersediaan modal sendiri MT III Rp

Lampiran 2 r Model usahatani optimal petani non-program dengan pemilik-


an lahan ≤ 1 Ha

Fungsi Tujuan Memaksimumkan Pendapatan :

Max Z = 5.175.840,72 X1 + 9.710.141,85 X2 + 9.741.960,48 X3 + 7.308.425,48


X4 + 5.710.515,75 X5 + 13.633.553,7 X6 + 9.633.538,76 X7 +
5.633.523,82 X8 + 9.043.845,29 X9 + 4.454.136,88 X10 + 2.652.161,82
X11 + 6.329.755,56 X12 - 17.500 X13 - 17.500 X14 - 17.500 X15 -
17.500 X16 - 17.500 X17 - 17.500 X18 - 17.500 X19 - 17.500 X20 -
17.500 X21 - 17.500 X22 - 17.500 X23 - 17.500 X24

Kendala :

Y1 = X1 + X2 + X3 + X4 <= 0,38
Y2 = X5 <= 0,55
Y3 = X6 + X7 + X8 + X9 + X10 + X11 <= 0,38
Y4 = 5,25 X1 + 5,25 X2 + 5,25 X3 + 5,25 X4 + 6,6 X5 + 5,5 X6 + 5,5 X7 + 3,5 X8
+ 5,5 X9 + 4,43 X10 + 7 X11 + 5,01 X12 – X13 <= 58,47
Y5 = 7,5 X1 + 7,5 X2 + 7,5 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 7,85 X6 + 7,85 X7 + 5 X8 +
7,85 X9 + 6,33 X10 + 10 X11 + 5,01 X12 – X14 <= 58,47
Y6 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 4,71 X7 + 3 X8 +
4,71 X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X15 <= 58,47
Y7 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 4,71 X7 + 3 X8 +
4,71 X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X16 <= 58,47
Y8 = 5,25 X1 + 5,25 X2 + 5,25 X3 + 5,25 X4 + 3,9 X5 + 5,5 X6 + 3,5 X7 + 3,5 X8
+ 4,43 X9 + 4,43 X10 + 7 X11 + 5,01 X12 – X17 <= 58,47
Y9 = 7,5 X1 + 7,5 X2 + 7,5 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 7,85 X6 + 5 X7 + 5 X8 + 6,33
X9 + 6,33 X10 + 10 X11 + 5,01 X12 – X18 <= 58,47
Y10 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 3 X7 + 3 X8 + 3,8
X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X19 <= 58,47
Y11 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 3 X7 + 3 X8 + 3,8
X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X20 <= 58,47
Y12 = 5,25 X1 + 4 X2 + 6,3 X3 + 5,25 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X21 <= 58,47
Y13 = 7,5 X1 + 5,72 X2 + 9 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X22 <= 58,47
Y14 = 4,5 X1 + 3,43 X2 + 5,4 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X23 <= 58,47
Y15 = 4,5 X1 + 3,43 X2 + 5,4 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X24 <= 58,47
Y16 = 14.600 X12 <= 82.000
Y17 = 9,12 X1 + 9,12 X2 + 9,12 X3 + 9,12 X4 + <= 11,4
Y18 = 9,12 X1 + 9,12 X2 + 9,12 X3 + 9,12 X4 + <= 11,4
Y19 = 10,56 X1 <= 13,2
131

Y20 = 3.480 X2 <= 4.060


Y21 = 12,6 X3 <= 13,5
Y22 = 11,4 X4 <= 12,16
Y23 = 11.000 X5 <= 12.100
Y24 = 5.040 X6 + 5.040 X7 + 5.040 X9 <= 5.880
Y25 = 5.400 X6 <= 6.300
Y26 = 7 X8 <= 7,5
Y27 = 7 X7 + 7 X8 <= 7,5
Y28 = 10,5 X10 <= 11,2
Y29 = 9,6 X9 + 9,6 X10 <= 10,24
Y30 = 12 X11 <= 15
Y31 = 12 X11 <= 15
Y32 = 69,91 X1 + 69,91 X2 + 69,91 X3 + 69,91 X4 + 110 X5 + 61,43 X6 + 61,43
X7 + 15,83 X8 + 61,43 X9 + 45,83 X10 + 50 X11 <= 407,5
Y33 = 35,09 X1 + 35,09 X2 + 35,09 X3 + 35,09 X4 + 32,5 X6 + 32,5 X7 + 20 X8 +
32,5 X9 + 22,5 X10 + 37,11 X11 <= 190
Y34 = 17,87 X1 + 17,87 X2 + 17,87 X3 + 17,87 X4 + 20 X8 + 15 X10 + 25 X11 <=
74
Y35 = 23,93 X6 + 23,93 X7 + 23,93 X9 <= 21
Y36 = 412,58 X1 + 412,58 X2 + 412,58 X3 + 412,58 X4 + 930,74 X5 + 544,43 X6 +
544,43 X7 + 700 X8 + 544,43 X9 + 720,17 X10 + 519 X11 <= 4.075
Y37 = 69,91 X1 + 69,91 X2 + 69,91 X3 + 69,91 X4 + 110 X5 + 61,43 X6 + 15,83
X7 + 15,83 X8 + 45,83 X9 + 45,83 X10 + 50 X11 <= 407,5
Y38 = 35,09 X1 + 35,09 X2 + 35,09 X3 + 35,09 X4 + 32,5 X6 + 20 X7 + 20 X8 +
22,5 X9 + 22,5 X10 + 37,5 X11 <= 190
Y39 = 17,87 X1 + 17,87 X2 + 17,87 X3 + 17,87 X4 + 20 X7 + 20 X8 + 15 X9 + 15
X10 + 25 X11 <= 72,5
Y40 = 23,93 X6 <= 22,5
Y41 = 412,58 X1 + 412,58 X2 + 412,58 X3 + 412,58 X4 + 930,74 X5 + 544,43 X6 +
700 X7 + 700 X8 + 720,17 X9 + 720,17 X10 + 519 X11 <= 4.075
Y42 = 69,91 X1 + 57,14 X2 + 45 X3 + 50 X4 + 110 X5 <= 325,5
Y43 = 35,09 X1 + 26,43 X2 + 32 X3 + 32,5 X4 <= 149
Y44 = 17,87 X1 + 30 X3 + 17,5 X4 <= 60
Y45 = 22,86 X2 <= 14,5
Y46 = 412,58 X1 + 587,14 X2 + 696 X3 + 1.250 X4 + 930,74 X5 <= 3.255
Y47 = 0,26 X1 + 0,26 X2 + 0,26 X3 + 0,26 X4 + 0,26 X11 <= 0,36
Y48 = 0,36 X6 + 0,36 X7 + 0,36 X9 <= 0,63
Y49 = 0,26 X1 + 0,26 X2 + 0,26 X3 + 0,26 X4 + 0,26 X11 <= 0,4
Y50 = 036 X6 <= 0,64
Y51 = 0,26 X1 <= 0,44
Y52 = 0,39 X2 <= 0,44
Y53 = 637.219,76 X1 + 637.219,76 X2 + 637.219,76 X3 + 637.219,76 X4 +
556.494,75 X5 + 726.103,15 X6 + 726.103,15 X7 + 483.238,09 X8 +
726.103,15 X9 + 559.211,56 X10 + 773.919,09 X11 + 329.909,9 X12 <=
4.852.035
Y54 = 637.219,76 X1 + 637.219,76 X2 + 637.219,76 X3 + 637.219,76 X4 +
556.494,75 X5 + 726.103,15 X6 + 483.238,09 X7 + 483.238,09 X8 +
559.211,56 X9 + 559.211,56 X10 + 773.919,09 X11 + 329.909,9 X12 <=
4.852.035
132

Y55 = 637.219,76 X1 + 597.538,63 X2 + 728.600 X3 + 642.135 X4 + 556.494,75


X5 + 329.909,9 X12 <= 4.852.035

Lampiran 2 s Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program


dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha

No Variabel Aktivitas Value


1 X3 Pola tanam Padi-Padi-Kacang tanah 0,38
2 X5 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak 0,55
3 X6 Pola tanam Cabe-Cabe 0,38
4 X12 Pemeliharaan sapi bibit 5,62

Lampiran 2 t Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha

No Simbol Aktivitas Satuan


1 X1 Pola tanam sawah Padi-Padi-Bera Ha
2 X2 Pola tanam sawah Padi-Padi-Padi Ha
3 X3 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak Ha
4 X4 Pola tanam tegalan Cabe-Cabe Ha
5 X5 Pola tanam tegalan Cabe-KT Ha
6 X6 Pola tanam tegalan KT-KT Ha
7 X7 Pola tanam tegalan Jagung-jagung Ha
8 X8 Pola tanam tegalan KT-Jagung Ha
9 X9 Pemeliharaan Sapi Bibit Ekor/UT
10 X10 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober HOK
11 X11 Menyewa tenaga kerja bulan November HOK
12 X12 Menyewa tenaga kerja bulan Desember HOK
13 X13 Menyewa tenaga kerja bulan Januari HOK
14 X14 Menyewa tenaga kerja bulan Februari HOK
15 X15 Menyewa tenaga kerja bulan Maret HOK
16 X16 Menyewa tenaga kerja bulan April HOK
17 X17 Menyewa tenaga kerja bulan Mei HOK
18 X18 Menyewa tenaga kerja bulan Juni HOK
19 X19 Menyewa tenaga kerja bulan Juli HOK
20 X20 Menyewa tenaga kerja bulan Agustus HOK
21 X21 Menyewa tenaga kerja bulan September HOK
133

Lampiran 2 u Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier pe-


tani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha
No Simbol Sumberdaya Satuan
1 Y1 Luas lahan sawah yang ditanami Ha
2 Y2 Luas lahan hijauan pakan ternak Ha
3 Y3 Luas lahan tegalan yang ditanami Ha
4 Y4 Ketersediaan tenaga kerja bulan Oktober HOK
5 Y5 Ketersediaan tenaga kerja bulan November HOK
6 Y6 Ketersediaan tenaga kerja bulan Desember HOK
7 Y7 Ketersediaan tenaga kerja bulan Januari HOK
8 Y8 Ketersediaan tenaga kerja bulan Februari HOK
9 Y9 Ketersediaan tenaga kerja bulan Maret HOK
10 Y10 Ketersediaan tenaga kerja bulan April HOK
11 Y11 Ketersediaan tenaga kerja bulan Mei HOK
12 Y12 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juni HOK
13 Y13 Ketersediaan tenaga kerja bulan Juli HOK
14 Y14 Ketersediaan tenaga kerja bulan Agustus HOK
15 Y15 Ketersediaan tenaga kerja bulan September HOK
16 Y16 Minimal konsumsi hijauan pakan ternak Kg
17 Y17 Ketersediaan bibit padi sawah MT I Kg
18 Y18 Ketersediaan bibit padi sawah MT II Kg
19 Y19 Ketersediaan bibit padi sawah MT III Kg
20 Y20 Ketersediaan bibit hijauan pakan ternak Steek
21 Y21 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT I Anakan
22 Y22 Ketersediaan bibit cabe tegalan MT II Anakan
23 Y23 Ketersediaan bibit KT tegalan MT II Kg
24 Y24 Ketersediaan bibit KT tegalan MT II Kg
25 Y25 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT I Kg
26 Y26 Ketersediaan bibit jagung tegalan MT II Kg
27 Y27 Ketersediaan pupuk Urea MT I Kg
28 Y28 Ketersediaan pupuk TSP MT I Kg
29 Y29 Ketersediaan pupuk KCl MT I Kg
30 Y30 Ketersediaan pupuk NPK MT I Kg
31 Y31 Ketersediaan pupuk Kandang MT I Kg
32 Y32 Ketersediaan pupuk Urea MT II Kg
33 Y33 Ketersediaan pupuk TSP MT II Kg
34 Y34 Ketersediaan pupuk KCl MT II Kg
35 Y35 Ketersediaan pupuk NPK MT II Kg
36 Y36 Ketersediaan pupuk Kandang MT II Kg
37 Y37 Ketersediaan pupuk Urea MT III Kg
38 Y38 Ketersediaan pupuk TSP MT III Kg
39 Y39 Ketersediaan pupuk KCl MT III Kg
40 Y40 Ketersediaan pupuk Kandang MT III Kg
41 Y41 Ketersediaan lebicyt MT I Liter
42 Y42 Ketersediaan curacron MT I Liter
43 Y43 Ketersediaan lebicyt MT II Liter
44 Y44 Ketersediaan curacron MT II Liter
45 Y45 Ketersediaan lebicyt MT III Liter
46 Y46 Ketersediaan modal sendiri MT I Rp
47 Y47 Ketersediaan modal sendiri MT II Rp
48 Y48 Ketersediaan modal sendiri MT III Rp
134

Lampiran 2 v Model usahatani optimal petani non-program dengan pemi-


likan lahan > 1 Ha

Fungsi Tujuan Memaksimumkan Pendapatan :

Max Z = 22.019.095,34 X1 + 33.028.643,01 X2 + 10.263.479,07 X3 +


12.978.750 X4 + 9.288.590,8 X5 + 5.598.431,6 X6 + 4.680.282,94 X7
+ 5.139.337,27 X8 + 5.042.109,06 X9 – 17.500 X10 – 17.500 X11 –
17.500 X12 – 17.500 X13 – 17.500 X14 – 17.500 X15 – 17.500 X16 –
17.500 X17 – 17.500 X18 – 17.500 X19 – 17.500 X20 – 17.500 X21

Kendala :

Y1 = X1 + X2 <= 2,31
Y2 = X3 <= 0,91
Y3 = X4 + X5 + X6 + X7 + X8 <= 0,33
Y4 = 32,33 X1 + 32,33 X2 + 10,88 X3 + 5,25 X4 + 5,25 X5 + 3,5 X6 + 4,67 X7 +
3,5 X8 + 3,39 X9 – X10 <= 50,18
Y5 = 46,19 X1 + 46,19 X2 + 6,43 X3 + 7,5 X4 + 7,5 X5 + 5 X6 + 6,67 X7 + 5 X8
+ 3,39 X9 – X11 <= 50,18
Y6 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 4,5 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 3 X8 +
3,39 X9 – X12 <= 50,18
Y7 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 4,5 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 3 X8 +
3,39 X9 – X13 <= 50,18
Y8 = 32,33 X1 + 32,33 X2 + 6,43 X3 + 5,25 X4 + 3,5 X5 + 3,5 X6 + 4,67 X7 +
4,67 X8 + 3,39 X9 – X14 <= 50,18
Y9 = 46,19 X1 + 46,19 X2 + 6,43 X3 + 7,5 X4 + 5 X5 + 5 X6 + 6,67 X7 + 6,67 X8
+ 3,39 X9 – X15 <= 50,18
Y10 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 3 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 4 X8 +
3,39 X9 – X16 <= 50,18
Y11 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 3 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 4 X8 +
3,39 X9 – X17 <= 50,18
Y12 = 32,33 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X18 <= 50,18
Y13 = 46,19 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X19 <= 50,18
Y14 = 27,71 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X20 <= 50,18
Y15 = 27,71 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X21 <= 50,18
Y16 = 14.600 X9 <= 145.000
Y17 = 55,44 X1 + 55,44 X2 <= 69,3
Y18 = 55,44 X1 + 55,44 X2 <= 69,3
Y19 = 56,16 X2 <= 70,2
Y20 = 18.200 X3 <= 20.020
Y21 = 4.560 X4 + 4.560 X5 <= 5.320
Y22 = 3.000 X4 <= 3.500
Y23 = 7 X6 + 7 X8 <= 7,5
Y24 = 7 X5 + 7 X6 <= 7,5
Y25 = 11,4 X7 <= 12,16
Y26 = 9,9 X7 + 9,9 X8 <= 9,9
Y27 = 352,08 X1 + 352,08 X2 + 181,25 X3 + 62,5 X4 + 62,5 X5 + 25 X6 + 46,67
X7 + 25 X8 <= 709,5
135

Y28 = 173,44 X1 + 173,44 X2 + 25 X4 + 25 X5 + 23,33 X6 + 23,33 X7 + 23,33 X8


<= 332
Y29 = 90 X1 + 90 X2 + 23,33 X6 + 17,5 X7 + 23,33 X8 <= 147
Y30 = 22,5 X4 + 22,5 X5 <= 19
Y31 = 695 X1 + 695 X2 + 1.880,31 X3 + 625 X4 + 625 X5 + 1.155,33 X6 +
1.238,33 X7 + 1.155,33 X8 <= 7.095
Y32 = 352,08 X1 + 352,08 X2 + 181,25 X3 + 62,5 X4 + 25 X5 + 26 X6 + 46,67 X7
+ 46,67 X8 <= 673,5
Y33 = 173,44 X1 + 173,44 X2 + 25 X4 + 23,33 X5 + 23,33 X6 + 23,33 X7 + 23,33
X8 <= 314
Y34 = 90 X1 + 90 X2 + 23,33 X5 + 23,33 X6 + 17,5 X7 + 17,5 X8 <= 144,5
Y35 = 22,5 X4 <= 12,5
Y36 = 695 X1 + 695 X2 + 1.880,31 X3 + 625 X4 + 1.155,33 X5 + 1.155,33 X6 +
1.238,33 X7 + 1.238,33 X8 <= 6.735
Y37 = 352,08 X2 + 181,25 X3 <= 513,5
Y38 = 173,44 X2 <= 234
Y39 = 90 X2 <= 117
Y40 = 695 X2 + 1.880,31 X3 <= 5.135
Y41 = 0,46 X1 + 0,46 X2 <= 2,30
Y42 = 0,42 X4 + 0,42 X5 <= 0,57
Y43 = 0,46 X1 + 0,46 X2 <= 2,32
Y44 = 0,42 X4 <= 0,38
Y45 = 0,46 X2 <= 2,34
Y46 = 3.578.889,83 X1 + 3.578.889,83 X2 + 928.840,31 X3 + 710.625 X4 +
710.625 X5 + 500.784,2 X6 + 593.198,53 X7 + 500.784,2 X8 + 324.432,93
X9 <= 11.767.449,38
Y47 = 3.578.889,83 X1 + 3.578.889,83 X2 + 928.840,31 X3 + 710.625 X4 +
500.784,2 X5 + 500.784,2 X6 + 593.198,53 X7 + 593.198,53 X8 +
324.432,93 X9 <= 11.767.449,38
Y48 = 3.578.889,83 X2 + 928.840,31 X3 + 324.432,93 X9 <= 11.767.449,38

Lampiran 2 w Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program


dengan pemilikan lahan > 1 Ha

No Variabel Aktivitas Value


1 X2 Pola tanam Padi-Padi-Padi 2,31
2 X3 Pola tanam Hijauan Pakan Ternak 0,91
3 X4 Pola tanam Cabe-Cabe 0,33
4 X9 Pemeliharaan sapi bibit 9,93
5 X10 Menyewa tenaga kerja bulan Oktober 6,47
6 X11 Menyewa tenaga kerja bulan November 21,63
7 X14 Menyewa tenaga kerja bulan Februari 2,02
8 X15 Menyewa tenaga kerja bulan Maret 21,63
9 X19 Menyewa tenaga kerja bulan Juli 2,46
136

Lampiran 2 x Penggunaan bibit tanaman pola usahatani-ternak optimal

No Uraian Program Non Program


MT I MT II MT III MT I MT II MT III
1 Lahan sawah ≤ 1 Ha
a. Padi (kg)
Tersedia 17,1 17,1 11,4 11,4
Terpakai 17,1 17,1 11,4 11,4
Sisa -- -- -- --
b. Cabe (anakan)
Tersedia 6.860
Terpakai 7.980
Sisa -1.120
c. KT (kg)
Tersedia 13,5
Terpakai 11,4
Sisa 2,1
d. Cabe (tegalan)
Tersedia 8.260 10.920 5.880 6.300
Terpakai 8.120 8.120 5.320 5.320
Sisa 140 2.800 560 980
e. Rpt gajah (anakan)
Tersedia 20.900 12.100
Terpakai 20.900 12.100
Sisa -- --
2 Lahan sawah > 1 Ha
a. Padi (kg)
Tersedia 49,2 49,2 69,3 69,3 70,2
Terpakai 49,2 49,2 69,3 69,3 69,3
Sisa -- -- -- -- 0,9
b. KT (kg)
Tersedia 48
Terpakai 49,2
Sisa -1,2
c. Cabe (Tegalan)
Tersedia 8.820 5.320 3.500
Terpakai 7.000 4.620 4.620
Sisa 1.820 700 -1.120
d. Kacang Tanah
Tersedia 30
Terpakai 15
Sisa 15
d. Rpt gajah (anakan)
Tersedia 18.480 20.020
Terpakai 18.480 20.020
Sisa -- --
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
137

Lampiran 2 y Penggunaan pupuk pada pola usahatani-ternak optimal

No Uraian Program Non Program


MT I MT II MT III MT I MT II MT III
1 Lahan sawah ≤ 1 Ha
a. Urea (kg)
Tersedia 497,5 501,5 521,5 407,5 407,5 325,5
Terpakai 298,1 298,1 228 110,4 110,4 77,6
Sisa 199,4 203,4 293,5 297,1 297,1 247,9
b. TSP (kg)
Tersedia 225 227 237 190 190 149
Terpakai 53,6 53,6 25,2 25,7 25,7 12,2
Sisa 171,4 171,4 211,8 164,3 164,3 136,8
c. Kcl (kg)
Tersedia 83 74,5 94 74 72,5 60
Terpakai 15,8 15,8 -- 6,8 6,8 11,4
Sisa 67,2 58,7 94 67,2 65,7 48,6
d. NPK (kg)
Tersedia 29,5 39 24,5 21 22,5 14,5
Terpakai 21,5 21,5 -- 9,1 9,1 --
Sisa 8,0 17,5 24,5 11,9 13,4 14,5
e. Ppk Kandang (kg)
Tersedia 4.975 5.015 5.215 4.075 4.075 3.255
Terpakai 4.072 4.072 3.908,7 875,6 875,6 776,4
Sisa 903 943 1.306,3 3.199,4 3.199,4 2.478,6
2 Lahan sawah > 1 Ha
a. Urea (kg)
Tersedia 546 670 682 709,5 673,5 513,5
Terpakai 676,5 663,9 346,1 998,9 998,9 978,2
Sisa -130,5 6,1 335,9 -289,4 -325,4 -464,7
b. TSP (kg)
Tersedia 252 314 320 332 314 234
Terpakai 260,9 289,6 246 408,9 408,9 400,7
Sisa -8,9 24,4 74 -76,9 -94,9 -166,7
c. Kcl (kg)
Tersedia 94,5 144,5 160 147 144,5 117
Terpakai 133,9 173,9 164 207,9 207,9 207,9
Sisa -39,4 -29,4 -4 -60,9 -63,4 -90,9
d. NPK (kg)
Tersedia 31,5 12,5 -- 19 12,5 --
Terpakai 21,9 -- -- 7,4 7,4 --
Sisa 9,6 12,9 11,6 5,1
e. Ppk Kandang (kg)
Tersedia 5.460 6.700 6.820 7.095 6.735 5.135
Terpakai 5.417,7 5.605,2 6.692,9 3.522,8 3.522,8 3.316,5
Sisa 43,3 1.094,8 127,1 3.572,2 3.212,2 1.818,5
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
138

Lampiran 3a Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum (Kg/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan


I II III IV
T0 6,4172 6,6402 7,0752 5,5704 25,703 6,43
T1 9,6068 9,02 8,4743 7,3872 34,4883 8,62
T2 8,9968 8,9268 7,5628 7,4408 32,9272 8,23
25,0208 24,587 23,1123 20,3984 93,1185

Perhitungan :

(93,1185)2
FK = ----------------
12
= 722,5879

JKT = (6,4172)2 + . . . + (7,3872)2 – 722,5879


= 739,5876 – 722,5879
= 16,9997

(25,703)2 + (32,9272)2 + (34,4883)2


JKP = ------------------------------------------------- - 722,5879
4
= 733,5719 – 722,5879
= 10,984

JKS = JKT - JKP


= 16,9997 – 10,984
= 6,0157

SE = √ KTS
r

= √ 0,6684
4
= 0,41

Tabel Analisis Sidik Ragam


SK db JK KT Fh F tabel
0,05 0,01
Perlakuan 2 10,984 5,492 8,2166** 4,26 8,02
Sisa 9 6,0157 0,6684
Total 11 16,9997
Keterangan : Antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)
139

Lampiran 3b Rataan Pertambahan Bobot Badan (Kg/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan


I II III IV
T0 0,61 0,63 0,67 0,52 2,43 0,61
T1 0,94 0,88 0,83 0,72 3,37 0,84
T2 0,87 0,86 0,73 0,71 3,17 0,79
2,42 2,37 2,23 1,95 8,97

Perhitungan :

(8,97)2
FK = ----------
12
= 6,7051

JKT = (0,61)2 + . . . + (0,72)2 – 6,7051


= 6,8871 – 6,7051
= 0,182

(2,43)2 + (3,17)2 + (3,37)2


JKP = ------------------------------------ - 6,7051
4
= 6,8277 – 6,7051
= 0,1226

JKS = JKT - JKP


= 0,182 – 0,1226
= 0,0594

SE = √ KTS
r

= √ 0,066
4
= 0,04

Tabel Analisis Sidik Ragam


SK db JK KT Fh F tabel
0,05 0,01
Perlakuan 2 0,1226 0,0613 9,29** 4,26 8,02
Sisa 9 0,0594 0,0066
Total 11 0,182
Keterangan : Antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)
140

Lampiran 3c Rataan Konversi Ransum

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan


I II III IV
T0 10,52 10,54 10,56 10,71 42,33 10,58
T1 10,22 10,25 10,21 10,26 40,94 10,24
T2 10,34 10,38 10,36 10,48 41,56 10,39
31,08 31,17 31,13 31,45 124,83

Perhitungan :

(124,83)2
FK = ----------------
12
= 1298,5441

JKT = (42,33)2 + . . . + (41,56)2 – 1298,5441


= 1298,8223 – 1298,5441
= 0,2782

(42,33)2 + (41,56)2 + (40,94)2


JKP = --------------------------------------- - 1298,5441
4
= 1298,7865 – 1298,5441
= 0,2424

JKS = JKT - JKP


= 0,2782 – 0,2424
= 0,0358

SE = √ KTS
r

= √ 0,00398
4
= 0,03

Tabel Analisis Sidik Ragam


SK db JK KT Fh F tabel
0,05 0,01
Perlakuan 2 0,2424 0,1212 30,45** 4,26 8,02
Sisa 9 0,0358 0,00398
Total 11 0,2782
Keterangan : Antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,01)
141

Lampiran 3d Hasil uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Dunkan

1. Konsumsi Bahan Kering Ransum


Rata-rata masing-masing perlakuan : T0 T1 T2
6,43 8,62 8,23

rp = √ KTS
r

= √ 0,6684
4
= 0,41

P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 1,31 1,37

X T0 – X T1 = 1,8 > 1,31 === Perlakuan T0 berbeda nyata dengan T1


X T2 - X T1 = 0,39 < 1,37 === Perlakuan T2 berbeda tdk nyata dengan T1

2. Pertambahan Bobot Badan (Kg/hr)


Rata-rata masing-masing perlakuan : T0 T1 T2
0,61 0,84 0,79

rp = √ KTS
r

= √ 0,0066
4
= 0,04

P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 0,1280 0,1336

X T0 – X T1 = 0,18 > 0,1280 === Perlakuan T0 berbeda nyata dengan T1


X T2 - X T1 = 0,05 < 0,1336 === Perlakuan T2 berbeda tdk nyata denganT1

3. Konversi Bahan Kering Ransum


Rata-rata masing-masing perlakuan : T0 T1 T2
10,58 10,24 10,39

rp = √ KTS
r

= √ 0,00398
4
142

= 0,03

P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 0,096 0,1002

X T0 – X T1 = 0,19 > 0,096 === Perlakuan T0 berbeda nyata dengan T1


X T1 - X T2 = 0,15 < 0,1002 === Perlakuan T1 berbeda nyata dengan T2

Lampiran 3e Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum (dalam % BB)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan


I II III IV
T0 2,20 2,34 2,52 1,82 8,88 2,22
T1 3,06 2,93 2,93 2,47 11,39 2,85
T2 3,03 3,01 2,47 2,57 11,08 2,77

Lampiran 3f Bobot badan awal dan akhir sapi PO penelitian periode


pertumbuhan

S1 dan R Bobot Badan Awal (kg) Bobot Badan Akhir (kg)


S1B1 271 323
S2C3 264 314
S3A3 261 301
S4A1 274 310,5
S5B4 268 310,5
S6C2 281 334
S7C4 278 321
S8B3 284 328
S9A4 291 322
S10B2 271 322,5
S11C1 285 341,5
S12A2 265 303
Keterangan :
S = Nomor sapi
R = Ransum penelitian
143

Lampiran 3g Pupuk Organik yang dihasilkan (kg basah)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan


I II III IV
T0 18,2 17,8 17,4 17,5 70,9 17,73
T1 18,4 17,6 17,8 17,4 71,2 17,8
T2 18,0 17,4 17,9 17,8 71,1 17,78
54,6 52,8 53,1 52,7 213,2 17,77

Perhitungan :

(213,2)2
FK = ----------------
12
= 3787,8533

JKT = (18,2)2 + . . . + (17,8)2 – 3787,8533


= 3789,02 – 3787,8533
= 1,17

(70,9)2 + (71,2)2 + (71,1)2


JKP = --------------------------------------- - 3787,8533
4
= 3787,87 – 3787,8533
= 0,02

JKS = JKT - JKP


= 1,17 – 0,02
= 1,15

SE = √ KTS
r

= √ 0,1278
4
= 0,18

Tabel Analisis Sidik Ragam


SK db JK KT Fh F tabel
0,05 0,01
ns
Perlakuan 2 0,02 0,01 0,08 4,26 8,02
Sisa 9 1,15 0,1278
Total 11 1,17
Keterangan : Antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05)
144

Lampiran 3h Biaya pembuatan pupuk Organik

Bahan dan upah tenaga kerja :


- 1 ton feses sapi segar (setara dg 550 kg ppk jadi @ Rp 40) ......... = Rp 22.000,-
- 2,5 kg Probion @ Rp 15.000,- ................................................ = Rp 37.500,-
- 2,5 kg Urea @ Rp 1.300,- .................................................. = Rp 3.250,-
- 2,5 kg TSP @ Rp 1.700,- ................................................. = Rp 4.250,-
- Tenaga kerja untuk mengaduk 3 kali 1 org x 2 jam @ Rp 2.250,- = Rp 13.500,-
Total biaya = Rp 80.500,-

Jumlah kompos yang dihasilkan : 55% x 1007,5 kg bahan = 554 kg kompos jadi

Penerimaan dari penjualan kompos jadi = 554 kg @ Rp 1.500,- = Rp 831.000,-

Pendapatan yang diterima dari pengolahan 1 ton kompos


Rp 831.00 - Rp 80.500 = Rp 750.500,-
145

Lampiran 4a. Analisis SWOT Pengembangan usaha sapi potong di kabupaten


Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

A. Perhitungan Pembobotan Faktor Internal


Responden Faktor Internal
1. Ir. Yusri Noer Kepala Sub Dinas Bina Program Pengembangan Peternakan, Dinas
Peternakan Propinsi Sumatera Barat.
2. Ir. Priyadi Budiman. Kepala Sub Dinas Bina Program Pengembangan Peter-nakan
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
3. Ir. Amran. Tim Teknis Pengembangan Usaha Sapi Potong, Bapeda Kabupaten Lma
Puluh Kota Sumatera Barat.
4. Armen. Kepala Kantor Cabang Dinas Peternakan Kecamatan Situjuh Limo Nagari,
Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
5. Prof. Dr. Suardi, MS. Tim Ahli Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten
Lima Puluh Kota. Staf Pengajar pada Fakultas Peternakan Unversitas Andalas
Padang.
Keterangan :
A. Daya dukung lahan
B. Letak geografis
C. Adanya wilayah basis sapi potong
D. Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS)
E. Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong
F. Adanya kelompok tani-ternak sapi pembibitan
G. Keterbatasan modal usaha
H. Beternak sebagai usaha sambilan
I. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak
J. Penggunaan faktor produksi belum optimal
K. Adopsi teknologi rendah
L. Sistem pemasaran belum memadai
Batasan angka penilaian
0 = Kurang penting
1 = Sama penting
2 = Lebih penting

Responden 1
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 0 1 1 0 0 2 2 0 2 2 0 10 0,076
B 2 -- 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 20 0,152
C 1 0 -- 1 1 1 2 2 2 1 2 2 15 0,114
D 1 0 1 -- 1 1 2 2 0 1 0 2 11 0,083
E 2 0 1 1 -- 1 2 2 2 2 2 0 15 0,114
F 2 0 1 1 1 -- 2 2 2 1 1 0 13 0,098
G 0 0 0 0 0 0 -- 1 1 1 1 1 5 0,038
H 0 0 0 0 0 0 1 -- 1 2 0 2 6 0,045
I 2 0 0 2 0 0 1 1 -- 1 1 1 9 0,068
J 0 0 1 1 0 1 1 0 1 -- 1 1 7 0,053
K 0 0 0 2 0 1 1 2 1 1 -- 2 10 0.076
L 2 2 0 0 2 2 1 0 1 1 0 -- 11 0,083
12 2 7 11 7 9 17 16 13 15 12 11 132 1,000
146

Responden 2
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
B 1 -- 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 19 0,143
C 1 1 -- 1 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
D 1 1 1 -- 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
E 1 0 1 1 -- 1 2 2 2 2 2 2 16 0,121
F 1 0 1 1 1 -- 2 2 2 2 2 2 16 0,121
G 0 0 0 0 0 0 -- 1 1 1 1 1 5 0,038
H 0 0 0 0 0 0 1 -- 1 1 1 1 5 0,038
I 0 0 0 0 0 0 1 1 -- 1 1 1 5 0,038
J 0 0 0 0 0 0 1 1 1 -- 1 1 5 0,038
K 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 -- 1 5 0,038
L 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 -- 5 0,038
5 3 5 5 6 6 17 17 17 17 17 17 132 1,000

Responden 3
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 4 0,030
B 2 -- 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 5 0,038
C 2 2 -- 0 1 1 0 0 0 0 0 0 6 0,045
D 2 0 2 -- 1 1 0 0 0 0 0 0 6 0,045
E 0 1 1 1 -- 1 0 0 0 0 0 0 4 0,030
F 0 2 1 1 1 -- 0 0 0 0 0 0 5 0,038
G 2 2 2 2 2 2 -- 1 1 1 1 1 17 0,129
H 2 2 2 2 2 2 1 -- 1 1 1 1 17 0,129
I 2 2 2 2 2 2 1 1 -- 1 1 1 17 0,129
J 2 2 2 2 2 2 1 1 1 -- 1 1 17 0,129
K 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 -- 1 17 0,129
L 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 -- 17 0,129
18 17 16 16 18 17 5 5 5 5 5 5 132 1,000

Responden 4
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 2 2 2 0 1 2 0 0 0 0 0 9 0,068
B 0 -- 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0,015
C 0 1 -- 1 0 2 2 2 0 2 2 2 14 0,106
D 0 2 1 -- 1 1 2 1 2 2 2 2 16 0,121
E 2 2 2 1 -- 1 2 2 2 2 2 2 20 0,152
F 1 2 0 1 1 -- 2 1 2 2 2 2 16 0,121
G 0 1 0 0 0 0 -- 2 2 1 2 1 9 0,068
H 2 2 0 1 0 1 0 -- 1 1 1 1 10 0,076
I 2 2 2 0 0 0 0 1 -- 1 1 0 9 0,068
J 2 2 0 0 0 0 1 1 1 -- 1 0 8 0,061
K 2 2 0 0 0 0 0 1 1 1 -- 0 7 0,053
L 2 2 0 0 0 0 1 1 2 2 2 -- 12 0,091
13 20 8 6 2 6 13 12 13 14 15 10 132 1,000
147

Responden 5
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 2 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 6 0,045
B 0 -- 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 5 0,039
C 1 2 -- 1 2 1 1 1 2 1 1 0 13 0,098
D 0 2 1 -- 1 1 1 2 1 1 1 1 12 0,091
E 1 1 0 1 -- 0 1 1 1 0 1 0 7 0,053
F 2 2 1 1 2 -- 2 2 1 1 1 1 16 0,121
G 2 1 1 1 1 0 -- 1 1 0 1 0 9 0,068
H 2 1 1 0 1 0 1 -- 1 0 1 0 8 0,061
I 2 1 0 1 1 1 1 1 -- 0 1 0 9 0,068
J 2 2 1 1 2 1 2 2 2 -- 2 2 19 0,144
K 2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 -- 0 10 0,076
L 2 2 2 1 2 1 2 2 2 0 2 -- 18 0,136
16 17 9 10 15 6 13 14 13 3 12 4 132 1,000

Res- Bobot Faktor Internal ∑


pon- A B C D E F G H I J K L
den
1 0,076 0,152 0,114 0,083 0,114 0,098 0,038 0,045 0,068 0,053 0,076 0,083 1,000
2 0,129 0,143 0,129 0,129 0,121 0,121 0,038 0,038 0,038 0,038 0,038 0,038 1,000
3 0,030 0,038 0,045 0,045 0,030 0,038 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 1,000
4 0,068 0,015 0,106 0,121 0,152 0,121 0,068 0,076 0,068 0,061 0,053 0,091 1,000
5 0,045 0,039 0,098 0,091 0,053 0,121 0,068 0,061 0,068 0,144 0,076 0,136 1,000
∑ 0,348 0,387 0,492 0,469 0,47 0,499 0,341 0,349 0,371 0,425 0,372 0,477 5,000
µ 0,071 0,077 0,098 0,094 0,094 0,099 0,068 0,071 0,074 0,085 0,074 0,095 1,000

B. Perhitungan Pembobotan Faktor Eksternal


Responden Faktor Eksternal
1. Ir. Yusri Noer Kepala Sub Dinas Bina Program Pengembangan Peternakan, Dinas
Peternakan Propinsi Sumatera Barat.
2. Ir. Priyadi Budiman. Kepala Sub Dinas Bina Program Pengembangan Peter-nakan
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
3. Ir. Amran. Tim Teknis Pengembangan Usaha Sapi Potong, Bapeda Kabupaten Lma
Puluh Kota Sumatera Barat.
4. Armen. Kepala Kantor Cabang Dinas Peternakan Kecamatan Situjuh Limo Nagari,
Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
5. Prof. Dr. Suardi, MS. Tim Ahli Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten
Lima Puluh Kota. Staf Pengajar pada Fakultas Peternakan Unand Padang.

Keterangan :
A. Permintaan pasar
B. Otonomi daerah
C. Perkembangan IPTEK
D. Berfungsinya BIB-Daerah Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota
E. Harga produk yang relatif stabil
F. Dukungan pemerintah
G. Produk luar/impor
H. Alih fungsi lahan pertanian
I. Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong
J. Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak
K. Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB
L. Tingginya pemotongan ternak betina produktif
148

Batasan angka penilaian


0 = Kurang penting
1 = Sama penting
2 = Lebih penting

Responden 1
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 1 1 1 1 1 2 1 0 0 2 12 0,091
B 0 -- 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0,015
C 1 2 -- 1 2 1 2 2 1 1 2 1 16 0,121
D 1 2 1 -- 2 1 0 2 1 1 2 2 15 0,114
E 1 1 0 0 -- 1 1 1 0 1 0 1 7 0,053
F 1 2 1 1 1 -- 0 1 2 1 2 0 12 0,091
G 1 1 0 2 1 2 -- 1 1 0 2 0 11 0,083
H 0 2 0 0 1 1 1 -- 1 0 1 1 8 0,061
I 1 2 1 1 2 0 1 1 -- 1 2 1 13 0,098
J 2 2 1 1 1 1 2 2 1 -- 2 2 17 0,129
K 2 2 0 0 2 0 0 1 0 0 -- 1 8 0,061
L 0 2 1 0 1 2 2 1 1 0 1 -- 11 0,083
10 20 6 7 15 10 11 14 9 5 14 11 132 1,000

Responden 2
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 1 1 2 1 2 2 1 1 2 1 16 0,121
B 0 -- 1 1 1 0 0 2 0 0 1 1 7 0,053
C 1 1 -- 1 1 1 1 2 1 1 2 1 13 0,098
D 1 1 1 -- 1 1 1 2 1 1 2 1 13 0,098
E 0 1 1 1 -- 1 1 1 1 1 2 2 12 0,091
F 1 2 1 1 1 -- 1 2 1 1 2 2 15 0,114
G 0 2 1 1 1 1 -- 2 1 1 1 2 13 0,098
H 0 0 0 0 1 0 0 -- 0 0 1 1 3 0,024
I 1 2 1 1 1 1 1 2 -- 1 2 2 15 0,114
J 1 2 1 1 1 1 1 2 1 -- 2 2 15 0,114
K 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 -- 1 4 0,030
L 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 -- 6 0,045
6 15 9 9 10 7 9 19 7 7 18 16 132 1,000
149

Responden 3
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 0 1 1 0 2 1 1 0 1 0 0 7 0,053
B 2 -- 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 19 0,144
C 1 0 -- 0 0 2 0 0 0 1 0 0 4 0,030
D 1 0 2 -- 1 2 2 2 1 1 0 0 12 0,091
E 2 0 2 1 -- 2 1 2 1 2 1 2 16 0,121
F 0 0 0 0 0 -- 0 0 0 1 0 1 2 0,016
G 1 1 2 0 1 2 -- 1 1 2 0 0 11 0,083
H 1 0 2 0 0 2 1 -- 0 0 1 1 8 0,061
I 2 1 2 1 1 2 1 2 -- 2 0 0 14 0,106
J 1 0 1 1 0 1 0 2 0 -- 0 0 6 0,045
K 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 -- 1 18 0,136
L 2 0 2 2 0 1 2 1 2 2 1 -- 15 0,114
15 3 18 10 6 20 11 14 8 16 4 7 132 1,000

Responden 4
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 2 2 2 1 2 1 1 2 2 1 18 0,136
B 0 -- 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 9 0,068
C 0 1 -- 1 1 0 1 1 1 1 1 2 10 0,075
D 0 1 1 -- 1 0 1 0 1 1 0 0 6 0,045
E 0 1 1 1 -- 0 1 1 1 0 1 0 7 0,053
F 1 2 2 2 2 -- 2 2 1 2 1 2 19 0,143
G 0 1 1 1 1 0 -- 1 1 1 1 0 8 0,060
H 1 1 1 2 1 0 1 -- 1 1 1 0 10 0,075
I 1 1 1 1 1 1 1 1 -- 1 1 0 10 0,075
J 0 1 1 1 2 0 1 1 1 -- 1 1 10 0,075
K 0 1 1 2 1 1 1 1 1 1 -- 1 11 0,083
L 1 1 0 2 2 0 2 2 2 1 1 -- 14 0,106
4 13 12 16 15 3 14 12 12 12 11 8 132 1,000

Responden 5
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 1 2 1 2 0 2 1 1 0 1 2 13 0,098
B 1 -- 2 2 0 2 0 2 1 2 2 1 15 0,114
C 0 0 -- 0 0 1 1 0 0 1 2 1 6 0,045
D 1 0 2 -- 0 0 0 2 1 1 2 0 9 0,068
E 0 2 2 2 -- 2 1 2 2 1 2 0 16 0,121
F 2 0 1 2 0 -- 0 1 1 2 2 0 11 0,083
G 0 2 1 2 1 2 -- 2 2 1 2 1 16 0,121
H 1 0 2 0 0 1 0 -- 0 0 2 1 7 0,053
I 1 1 2 1 0 1 0 2 -- 2 2 1 13 0,098
J 2 0 1 1 1 0 1 2 0 -- 2 1 11 0,083
K 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -- 0 1 0,010
L 0 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 -- 14 0,106
9 7 16 13 6 11 6 15 9 11 21 8 132 1,000
150

Res- Bobot Faktor Eksternal ∑


pon- A B C D E F G H I J K L
den
1 0,091 0,015 0,121 0,114 0,053 0,091 0,083 0,061 0,098 0,129 0,061 0,083 1,000
2 0,121 0,053 0,098 0,098 0,091 0,114 0,098 0,024 0,114 0,114 0,030 0,045 1,000
3 0,053 0,144 0,030 0,091 0,121 0,016 0,083 0,061 0,106 0,045 0,136 0,114 1,000
4 0,136 0,015 0,076 0,076 0,083 0,076 0,068 0,076 0,068 0,136 0,083 0,107 1,000
5 0,098 0,114 0,045 0,068 0,121 0,083 0,121 0,053 0,098 0,083 0,010 0,106 1,000
∑ 0,499 0,341 0,370 0,447 0,469 0,380 0,453 0,275 0,484 0,507 0,320 0,455 5,000
µ 0,099 0,068 0,074 0,089 0,094 0,076 0,091 0,055 0,097 0,101 0,064 0,092 1,000

C. Perhitungan Rating/Peringkat Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman


1. Perhitungan Rating Kekuatan
Kekuatan 4 3 2 1 ∑ µ Nilai Akhir
A 4 -- 1 -- 18 3,6 4
B 1 3 -- 1 14 2,8 3
C 1 1 3 -- 13 2,6 3
D 2 3 -- -- 17 3,4 3
E 2 3 -- -- 17 3,4 3
F -- 2 3 -- 12 2,4 2

2. Perhitungan Rating Kelemahan


Kelemahan 4 3 2 1 ∑ µ Nilai Akhir
G 1 2 1 1 13 2,6 3
H -- 4 1 -- 14 2,8 3
I -- 1 3 1 10 2,0 2
J -- 1 4 -- 11 2,2 2
K -- 1 1 3 8 1,6 2
L 3 1 1 -- 17 3,4 3

3. Perhitungan Rating Peluang


Peluang 4 3 2 1 ∑ µ Nilai Akhir
A 4 -- 1 -- 18 3,6 4
B 1 3 -- 1 14 2,8 3
C 1 1 3 -- 13 2,6 3
D 2 3 -- -- 17 3,4 3
E 2 3 -- -- 17 3,4 3
F -- 2 3 -- 12 2,4 2

4. Perhitungan Rating Ancaman


Ancaman 4 3 2 1 ∑ µ Nilai Akhir
G 1 1 3 -- 13 2,6 3
H 1 2 2 -- 14 2,8 3
I -- 1 4 -- 11 2,2 2
J 2 2 -- 1 15 3,0 3
K 1 1 -- 3 10 2,0 2
L 2 2 1 -- 16 3,2 3
151

D. Perhitungan Matrik Evaluasi Faktor Internal Strategis

Faktor Internal Bobot Ranking Skor


Kekuatan Daya dukung lahan 0,071 4 0,284
Letak geografis 0,077 3 0,231
Adanya wilayah basis sapi potong 0,098 3 0,294
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS) 0,094 3 0,282
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong 0,094 3 0,282
Adanya kelompok tani-ternak sapi pembibitan 0,099 2 0,198
Sub Total 1,571
Kelemahan Keterbatasan modal usaha 0,068 3 0,204
Beternak sebagai usaha sambilan 0,071 3 0,213
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak 0,074 2 0,148
Penggunaan faktor produksi belum optimal 0,085 2 0,170
Adopsi teknologi rendah 0,074 2 0,148
Sistem pemasaran belum memadai 0,095 3 0,285
Sub Total 1,168
Total 1,000 2,739

E. Perhitungan Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Strategi

Faktor Eksternal Bobot Ranking Skor


Peluang Permintaan pasar 0,099 3 0,297
Otonomi daerah 0,068 3 0,204
Perkembangan IPTEK 0,074 3 0,222
Berfungsinya BIB limbukan kabupaten Lima Puluh Kota 0,089 4 0,356
Harga produk yang relatif stabil 0,094 3 0,282
Dukungan pemerintah 0,076 4 0,304
Sub Total 1,655
Ancaman Produk luar/impor 0,091 3 0,273
Alih fungsi lahan 0.055 3 0,165
Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong 0,097 2 0,194
Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak 0,101 3 0,303
Stabilitas penyediaan bibit/layanan IB 0,064 2 0,128
Tingginya pemotongan ternak betina produktif 0,092 3 0,276
Sub Total 1,339
Total 1,000 3,004
152

F. Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)
S1 = Daya dukung lahan W1 = Keterbatasan modal usa-
S2 = Letak geografis ha
S3 = Adanya wilayah basis sapi W2 = Beternak sbg usaha sam-
potong bilan
S4 =Ternak sapi dipelihara ber- W3 = Rendahnya pengetahuan
sama usahatani lainnya dan keterampilan peter-
S5 = Motivasi peternak dalam nak
memelihara sapi potong W4 = Penggunaan faktor pro-
S6 = Adanya lembaga kelom- duksi belum optimal
pok tani-ternak dibidang W5 = Adopsi teknologi rendah
pembibitan W6 = Sisitem pemasaran be-
Faktor Eksternal lum memadai
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O
O1 = Permintaan pasar 1. Membuat kawasan sentra 1. Investasi modal usaha (W1,
O2 = Otonomi daerah pembibitan sapi potong (S1, W2, O1, O2)
O3 = Perkembangan IPTEK S2, S3, O1, O2) 2. Meningkatkan pengetahu-
O4 = Berfungsinya BIB lim- 2. Penelitian dan pengkajian an dan keterampilan petani-
bukan kabupaten Lima serta optimasi usaha peter- ternak (W3, W4, W5, O3,
Puluh Kota nakan dalam sistem usaha- O4, O5)
O5 = Harga produk yang rela- tani (S4, O3) 3. Memperbaiki sistem pema-
tif stabil 3. Mengoptimalkan fungsi ke- saran (S6, O6)
O6 = Dukungan dari pemerin- lompok (S5, S6, O5, O6)
tah
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
T1 = Produk luar/Impor 1. Perlindungan pasar domes- 1. Menumbuh kembangkan
T2 = Alih fungsi lahan perta- tik (S1, S2, S3, T1, T2) lembaga keuangan di
nian 2. Mengatasi gangguan repro- pedesaan (W1, W2, T1, T2,
T3 = Persaingan antar daerah duksi dan kesehatan ternak T3)
dalam menghasilkan sapi (S1, S2, S3, S4, T1, T2, T3) 2. Meningkatkan efisiensi usa-
potong 3. Memperketat pengawasan ha (W2, W4, T1, T2, T3)
T4 = Gangguan reproduksi dan memberi sangsi terha- 3. Sosialisasi dan aplikasi tek-
dan kesehatan ternak dap pemotongan betina pro- nologi tepat guna (W5, T3,
T5 = Stabilitas penyediaan bi- duktif (S5, S6, T6) T4).
bit/layanan IB
T6 = Tingginya pemotongan
ternak betina produktif
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
153
Lampiran 4b Analisis hirarki proses pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota

Prioritas Kriteria
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kriteria Pakan Bibit Tatalak- Penyakit Pemasar- VP Prioritas


sana an Prinsip

Pakan 1.0000 0.3333 0.1473 0.2091 3.0000 0.4986 0.0670

Bibit 3.0000 1.0000 0.2000 0.3333 5.0000 1.0000 0.1344

Tatalaksana 6.7875 5.0000 1.0000 3.0000 6.5814 3.6747 0.4939

Penyakit 4.7818 3.0000 0.3333 1.0000 6.5814 1.9933 0.2679

Pemasaran 0.3333 0.2000 0.1519 0.1519 1.0000 0.2738 0.0368

Prioritas Pelaku
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kriteria Pakan Bibit Tatalak- Penyakit Pemasar- VP Prioritas


sana an Prinsip
Lembaga
Keuangan 0.0567 0.0568 0.0053 0.0579 0.0574 0.0670 0.0317

Pengusaha
Swasta 0.2663 0.2639 0.2402 0.2610 0.2610 0.1344 0.2515

Peternak 0.1207 0.1185 0.1193 0.1207 0.1220 0.4939 0.1198

Instansi
Terkait 0.5563 0.5709 0.6404 0.5563 0.5544 0.2679 0.5997

0.0368
154
Prioritas Sasaran
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kriteria Lembaga Pengusaha Peternak Instansi


Keuangan Swasta Teknis VP Prioritas
Terkait Prinsip
Perluasan
Usaha 0.5099 0.5068 0.4608 0.4890 0.0317 0.4921

Peningkatan
Produksi dan 0.2634 0.2648 0.2793 0.2510 0.2515 0.2589
Produktivitas
Optimalisasi
Penggunaan 0.0337 0.0333 0.0345 0.0349 0.1198 0.0345
Sumberdaya
Peningkatan
Pendapatan 0.1290 0.1302 0.1302 0.1302 0.5997 0.1305

Perbaikan
Kualitas 0.0639 0.0643 0.0647 0.0671 0.0662
bibit

Prioritas Strategi
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Kriteria Perluasan Peningkatan Optimalisasi Peningkat- Perbaikan VP


Usaha Produksi dan Penggunaan an Penda- Kualitas Prinsip Prioritas
Produktivitas Sumberdaya patan Bibit
Modal
Usaha 0.5044 0.4999 0.4676 0.4854 0.5068 0.4921 0.4907

Efisiensi
Usaha 0.0649 0.0660 0.0651 0.0546 0.0684 0.2589 0.0620

Penerapan
Teknologi 0.2659 0.2587 0.2516 0.2435 0.2534 0.0345 0.2551
Tepat guna
Fungsi
Kelompok 0.0345 0.0344 0.0375 0.0506 0.0351 0.1305 0.0361

Kawasan
Sentra 0.1302 0.1333 0.1316 0.1200 0.1270 0.0662 0.1272
Pembibitan
155

Lampiran 5. Kuesioner Program Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima


Puluh Kota

1. IDENTITAS RESPONDEN
a. Nama : ………………………………….
b. Umur : ………………………..…Tahun
c. Jenis kelamin : L/P
d. Alamat : Nagari/Jorong : …………………………………..
Kelompok Tani : ………………………………….
Kecamatan : ………………………………….
e. Pendidikan terakhir :
1. Perguruan Tinggi….. [ ] 5. SD………………………[ ]
2. SMU………………. [ ] 6. Tidak Sekolah…………..[ ]
3. SLTP………………. [ ]
f. Pekerjaan Utama :
1. Pegawai……………. [ ] 4. Pedagang………………. [ ]
2. Pensiunan…………. [ ] 5. Wiraswasta…………….. [ ]
3. Petani……………… [ ] 6. Lainnya ……………….. [ ]
g. Pengalaman beternak : ………………..Tahun
h. Jumlah anggota keluarga (Yang menjadi tanggungan) :
Anggota keluarga 1 2 3 4 5
ƒ Umur (tahun) …....... …….. ……. ……. …….
ƒ .Jenis kelamin (L/P) ……… ……. ……. ……… ……
ƒ Hubungan dalam keluarga (istri/ ……… …….. ……. …….. ……
Anak/Pembantu) ……… ……. …….. ……… ……
ƒ Membantu beternak(ya/tidak) ……… …….. …….. ……… ……
ƒ Jika ya biasanya berapa jam/hari ……… ……. …….. ……… …….
.
i. Jumlah ternak sapi yang dipelihara
No Klasifikasi Jumlah
1 Pejantan
Induk
2 Dara Jantan
Dara Betina
3 Anak Jantan
Anak Betina

j. Jumlah ternak yang dipelihara selain sapi potong :


No Klasifikasi Jumlah
1 Kambing dewasa …………..
2 Kambing muda ………….
3 Anak kambing ………….
4 Unggas
Ayam ………….
Itik ………….
Lain-lain………………………... …………

2. PRILAKU
A. Pengetahuan
1. Berdasarkan apa Bapak mengetahui sapi potong yang baik :
[ ] Badan tegap berbentuk balok, mata bersinar, bulu tidak kusam/mengkilap,
sifat ceria normal/tidak cacat……………….……………………………………............ (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu……………………………….……………………………........ (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu………………………………………….…………………....... (3)
[ ] menyebutkan 2 item itu…………………………………………………….………....... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu………………………………………………………………… (1)
156

2. Bagaimana menurut bapak kualitas bibit yang dibeli dipasar ternak untuk dipelihara
[ ] Tidak baik……………………………………………………………………………… (5)
[ ] kurang baik……………………………………………………………………………. (4)
[ ] Tidak tahu / ragu………………………………………………………………………. (3)
[ ] Boleh dipelihara………………………………………………………………………. (2)
[ ] Baik…………...………………………………………………………………………. (1)
3. Menurut bapak bagaimana tentang penggunaan vaksin/pemberian obat yang seharusnya dilakukan :
[ ] Harus rutin dilakukan………………………………………………………………… (5)
[ ] Boleh tidak rutin……………………………………………………………………… (4)
[ ] Sekedarnya ………………………………………………………………………….. (3)
[ ] Boleh tidak diberikan………………………………………………………………… (2)
[ ] Tidak dilakukan……………………………………………………………………… (1)
4. Bagaimana menurut bapak kandang yang baik untuk sapi potong :
[ ] Sirkulasi udara baik, tidak lembab, bersih, lantai miring, kokoh/kuat……………….. (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu………………………………………………….................... (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu…………………………………………………..................... (3)
[ ] menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu……………………………………………………………… (1)
5. Menurut bapak bagaimana kriteria makanan yang baik bagi sapi ;
[ ] Cukup protein, disukai ternak , tidak membahayakan, mudah didapat, harga terjangkau (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu ……………………………………………………………... (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu………………………………………………….................... (3)
[ ] Menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu……………………………………………………………… (1)
6. Menurut bapak memelihara sapi potong yang baik itu bagaimana :
[ ] Melakukan seleksi, pemberian pakan yang teratur, membersihkan kandang dan sapi
secara teratur,exercise secara rutin, vaksin pemberian obat cacing …………………. (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu…………………………………………………….……….. (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu…………………………………………………................... (3)
[ ] Menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................. (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu…………………………………………………………….. (1)
B. SIKAP
Jawaban sangat setuju (SS) skor 5, Setuju (S) skor 4, ragu-ragu (RR) skor 3, tidak setuju
( TS) skor 2, sangat tidak setuju (STS skor 1
Jawaban
Pertanyaan
SS S RR TS STS
1. Sikap bapak terhadap inovasi tekhnologi
2. Sikap bapak terhadap pembinaan
3. Sikap terhadap adanya kelompok
4. Sikap bapak terhadap pemberian konsentrat
5. Sikap bapak terhadap pemberian vaksin/obat cacing
6. Pemeliharaan secara intensif
7. Sikap bapak terhadap IB

C. Keterampilan
1. Biasanya yang melakukan pengobatan terhadap ternak yang sakit dilakukan oleh :
[ ] Sendiri……………………………………………………………………………………… (5)
[ ] Sendiri berdasarkan petunjuk orang lain………………………………………………….. (4)
[ ] Dibantu Mantri Hewan ....…………………………………………………........................ (3)
[ ] Orang lain yang melakukannya……………………………………………....................... (2)
[ ] Tidak pernah melakukan ..………………………………………………………………… (1)
2. Bagaimana pemberian makanan sapi potong menurut bapak :
[ ] Dihitung berdasarkan barat badan (10-15% dari Berat badan) .............……...................... (5)
[ ] Diperkirakan ...................................……………………………………………………… (4)
[ ] Tidak pernah dihitung..…………………………………………………………………… (3)
[ ] Tergantung rumput yang tersedia ...……………………………………………………… (2)
[ ] Seadanya…………………………..……………………………………………………… (1)
157

3. Bagaimana cara bapak dalam mengawinkan ternak sapi potong :


[ ] IB secara teratur sesuai dengan tanda birahi ........……………………………….............. (5)
[ ] IB tidak teratur ................................................................................................................... (4)
[ ] Kawin alam secara teratur sesuai tenda-tanda birahi ........................................................ (3)
[ ] Kawin alam tidak teratur ................................................................................................... (2)
[ ] Tidak menentu.................................................................................................................... (1)
4. Bagaimana cara bapak dalam membesarkan anak sapi potong :
[ ] Dalam kandang bersama induk sampai umur sapih ............................................ .……... (5)
[ ] Diluar kandang bersama induk sampai umur sapih ............ …………………………..... (4)
[ ] Bersama induk sampai dewasa ......……………………………………………………… (3)
[ ] Dilepas ....................................…………………………………..................…………... (2)
[ ] Tidak menentu .................................................................................................................. (1)
5. Apa yang menjadi perhatian dalam pengadaan sapi :
[ ] keturunan/bangsa, umur, kesehatan, tidak cacat, pusar-pusar ................………………. (5)
[ ] Menyebutkan 4 iem itu………………………………………………………................. (4)
[ ] menyebutkan 3 itm itu……………………………………………………….................. (3)
[ ] Menyebutkan 2 item itu……………………………………………………................... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu……………………………………………………................... (1)
3. MOTIVASI USAHA
Jawaban “Tidak mendapat skor 1, bila jawaban “ya” mendapat skor 2
Jawaban
Pertanyaan
YA TIDAK
1. Apakah bapak beternak sapi potong untuk mengharapkan penjualan anak ?
2. Apakah beternak sapi juga mengaharapkan pupuk kandang ?
3. Apakah alas an memelihara sapi potong juga untuk memperoleh keuntungan ?
4. Apakah beternak sapi potong juga karena senang / hobi ?
5. Apakah beternak sapi potong juga karena melihat keberhasilan orang lain ?
6. Apakah beternak sapi potong juga karena adanya bantuan dari pemerintah ?
7. Apakah usaha ternak sapi ini merupakan usaha pokok keluarga ?
8. Apakah ada keinginan bapak untuk meningkatkan skala usaha ?
9. Apakah bapak yakin terhadap keberhasilan dalam beternak sapi potong ?
10. Apakah sikap keluarga mendukung untuk beternak sapi potong ?
11. Apakah sikap aparat desa mendukung untuk beternak ?
12. Apakah lingkungan sekitar/tetangga mendukung untuk usaha sapi potong ?
13. Apakah bapak belum merasa puas dengan kondisi usaha yang ada sekarang ?
14. Apakah bpk pernah mengalami kegagalan dlm menjalankan usaha sapi potong ?
15. Apakah bapak berusaha untuk mengatasi kegagalan yang bapak alami ?
16. Apakah masih perlu perbaikan dalam memelihara sapi potong kedepan ?
17. Jika ada teknologi yang baik, apakah bapak punya keinginan untuk mencoba ?
18. Apakah bapak punya keinginan mencari informasi tentang usaha sapi potong ?
19. Jika ada pertemuan yg membahas usaha sapi potong, apakah bapak berminat hadir ?
20. Apakah Bapak sering berdiskusi tentang pemeliharaan sapi potong yang baik ?
21. Apakah bapak sering mencari informasi/ buku-buku tentang usaha sapi potong ?
22. Apakah bapak menghubungi petugas/mantri hewan bila menemui kesulitan ?
23. Apakah bapak menghubungi pengurus kelompok bila menemui kesulitan ?
24. Apakah bpk punya keinginan untuk mengunjungi peternak sapi potong yg sukses ?
25. Apakah bapak telah memiliki prasarana yang cukup untuk mengembangkan
usaha sapi potong ?

4. KELEMBAGAAN
1. Kelembagaan yang mendukung pengembangan usaha sapi potong :
[ ] Kelompok tani ternak [ ] PPL
[ ] Koperasi [ ] Bank
[ ] Penyuluh dibidang peternakan [ ] Kemitraan
158

2. Aktifitas kelompok tani ternak


No Kegiatan Jumlah Peserta Diberikan oleh Tempat
1
2
3
4
5

3. Peran koperasi dalam mendukung perkembangan usaha


………………………………………………………………………………………………………….
4. Peran pemerintah Kabupaten/Propinsi dlm pengembangan usaha sapi potong
………………………………………………………………………………………………………….
5. Peran lembaga keuangan (Bank) dlm pengembangan usaha peternakan
………………………………………………………………………………………………………….
5. Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)
1. Modal yang digunakan untuk usaha ternak
[ ] Milik sendiri [ ] Lain-lain ………………………………………………………..
[ ] Seduaan ………………………………………………………………….
2. Apakah Bapak/Ibu, mengetahui tentang adanya Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat
(BPLM) untuk permodalan ?
[ ] Mengetahui
[ ] Tidak mengetahui
3. Apakah bapak/ibu, merupakan salah seorang penerima BPLM tersebut ?
[ ] Iya
[ ] Tidak
4. Bila jawaban pertanyaan 3 iya dilanjutkan dengan pertanyaan berikut :
a. Kapan menerima BPLM pertama kali .........................................................................................
b. Berapa jumlah yang diterima ……………………………………………………………………
c. Untuk apa penggunaan dana tersebut …………………………………………………………..
d. Bagaimana sistem pengembaliannya ……………………………………………………………
e. Apakah sampai sekarang bantuan tersebut sudah lunas …………………………………………
f. Sudah berapa kali menerima BPLM : ….......................................................................................
5. Penilaian terhadap BPLM
1. Apakah jumlah bantuan yang diberikan sudah memadai :
[ ] Sangat memadai ………………………………………………………............................. (5)
[ ] Memadai .........……………………………………………………….............................. (4)
[ ] Cukup memadai ………………………………………………………………………… (3)
[ ] Kurang Memadai…………………………………………………………………………. (2)
[ ] Tidak memadai…………………………………………………………………………… (1)
2. Apakah bantuan yang diberikan tepat waktunya dengan persiapan :
[ ] Sangat tepat ………………….………………………………………………………….. (5)
[ ] Tepat .......... ………………….………………………………………………………….. (4)
[ ] Cukup tepat .. …………………..……………………………………………………….. (3)
[ ] Kurang tepat ………………..………………………………………………………….. (2)
[ ] Tidak tepat ..........……………….………………………………………………………. (1)
3. Apakah bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan :
[ ] Sangat sesuai ………………….………………………………………………………… (5)
[ ] Sesuai ..........……………………………………..……………………………………… (4)
[ ] Cukup sesuai ..……………………………………………………..…………………… (3)
[ ] kurang sesuai……………………………………………………………………….…… (2)
[ ] tidak sesuai……………………………………………………………………………… (1)
4. Menurut Bapak penentuan orang yang menerima BPLM ini sudah baik …………………..
5. Menurut bapak untuk pengembangan usaha sapi potong, apakah bantuan ini memberikan
manfaat …………………………………………………………………………………………
6. Apa kekurangan dari program BPLM ini yang bapak rasakan ……………………………..
159

6. PENYULUHAN
A. Penyuluhan yang pernah dapat :
No Uraian Diberikan oleh Berapa kali Tempat
1 Bibit reproduksi
2 Pakan
3 Tatalaksana pemeliharaan
4 Pencegahan dan pengobatan penyakit
5 Pemasaran
6 ……………………………………

B. Penilaian terhadap penyuluhan


1. Apakah penyuluhan telah intensif :
[ ] Sangat intensif [ ] Kurang intensif
[ ] Intensif [ ] Tidak pernah
[ ] Cukup intensif
Alasan : ………………………………………………………………………………………………
2. Apakah si penyuluh memiliki kemampuan yang memadai :
[ ] Sangat memadai [ ] Kurang memadai
[ ] Memadai [ ] Tidak memadai
[ ] Cukup memadai
Alasan : ……………………………………………………………………………………………..
4. Apakah cara penyuluhan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan kebutuhan :
[ ] Sangat tepat [ ] Kurang tepat
[ ] Tepat [ ] Tidak tepat
[ ] Cukup tepat
7. KELOMPOK PETERNAK
1. Apakah Bapak termasuk anggota kelompok tani ternak
[ ] Iya Nama Kelompok tani : ………………………………………………………
[ ] Tidak
2. Jika iya Bapak berperan sebagai :
[ ] Anggota
[ ] Pengurus dibidang : …………………………………………………………………………
3. Bagaimana komentar Bapak tentang Kelompok Tani ternak sehubungan dengan usaha Bapak
……………………………………………………………………………………………………….
8. SARANA DAN PRASARANA
A. Pengadaan Saprodi
Sarana Produksi Diperoleh Skor Cara Memperoleh
Bibit [ ] Mudah 5
[ ] Sedang 3
[ ] Sulit 1
Bahan Pakan [ ] Mudah 5
[ ] Sedang 3
[ ] Sulit 1
Bahan kandang dan Peralatan [ ] Mudah 5
[ ] Sedang 3
[ ] Sulit 1
Vaksin dan Obat-obatan [ ] Mudah 5
[ ] Sedang 3
[ ] Sulit 1

B. Sarana dan Prasarana yang tersedia di Kecamatan


1. Jumlah pos kesehatan hewan yang ada…………….buah
Jarak lokasi dari pos kesehatan hewan …………….Km
Pelayanan yang diberikan berupa : ……………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………..
2. Pos IB
Jarak dari lokasi usaha………..........Km
160

Jumlah petugas yang melayani….............orang


Pelayanan yang diberikan : ……………………………………………………………………
3. Petugas penyuluh di bidang peternakan
Jumlah ………..orang
Layanan yang diberikan : ……………………………………………………………………..
4. Sarana dan transpoortasi yang ada :
[ ] Memuaskan [ ] Kurang memuaskan [ ] Tidak memuaskan
5. Pasar Ternak : [ ] Ada [ ] Tidak
Jarak dari lokasi ……………Km
6. RPH : [ ] Ada [ ] Tidak
Jarak dari lokasi ……………Km

10. Manajemen Usaha Sapi Potong


A. Bibit/Reproduksi
1. Alasan memelihara ternak sapi :
[ ] Kebiasaan yang turun temurun [ ] Sumber pendapatan
[ ] Sebagai tabungan [ ] Penghasil pupuk kandang
[ ] Lain-lain …………………………………………………………………………………
2. Jenis bibit yang dipelihara : …………………………………………………………………
Alasan penggunaan bibit : …………………………………………………………………..
3. Cara mendapatkan bibit : ……………………………………………………………………
4. Harga pembelian bibit
Simental Umur …….. Th Harga : Rp …………………………
……………………... Umur …….. Th Harga : Rp …………………………
5. Seleksi terhadap bibit :
[ ] Sangat sering dilakukan [ ] Cukup sering dilakukan [ ] Tidak pernah dilakukan
[ ] Sering dilakukan [ ] Kadang-kadang
6. Umur sapi pertama kali dikawinkan :
[ ] < 2 th [ ] 2,5 – 3 th [ ] > 3,5 th
[ ] 2 – 2,5 th [ ] 3 – 3,5 th
7. Tanda-tanda sapi berahi :
…………………………………………………………………………………………………..
8. Berapa lama sapi baru dikawinkan setelah Bapak melihat adanya gejala birahi :
[ ] Tahu pagi, siangnya dilakukan [ ] Tahu siang, sorenya dilakukan pada hari yang sama
[ ] Tahu pagi, sorenya dilakukan [ ] Tahu pagi, besoknya dilakukan
[ ] Tahu siang, langsung dikawinkan [ ] Tahu siang,besok sorenya dilakukan
9. Berapa kali Bapak meng-IB sapi sampai mengalami kebuntingan :
[ ] 1 kali langsung bunting
[ ] 2 kali langsung bunting
[ ] 3 kali langsung bunting
[ ] lebih dari 3 kali
Biasanya 1 kali IB pertama seharga Rp……………………..
IB kedua seharga Rp ………………………
IB ketiga seharga Rp………………………
10. Jenis semen/bibit yang digunakan untuk kawin sapi Bapak :
[ ] Simental [ ] Charolais [ ] Lainnya
[ ] Brahman [ ] PO
11. Jarak antara kelahiran pertama dan kedua atau kelahiran berikutnya:
[ ] 1 tahun [ ] 2,5 tahun
[ ] 1,5 tahun [ ] 3 tahun
[ ] 2 tahun [ ] > 3 tahun
12 Berapa lama sapi induk dikawinkan lagi setelah melahirkan ;
[ ] 40-60 hari [ ] 101-120 hari
[ ] 61-80 hari [ ] >120 hari
[ ] 81-100 hari
13. Umur sapi induk di afkir
[ ] > 10 th [ ] 9 - 10 th [ ] < 7 th
[ ] 8 – 9 th [ ] 7 – 8 th
161

14. Komentar Bapak mengenai layanan dari petugas IB : ……………………….......................


Dinas peternakan…………………………………………………………………………………
PPL peternakan kecamatan ………………………………………………………………………
B. Pakan/ Feeding
1. Jenis pakan yang di berikan :
[ ] Hijauan konsentrat dan limbah pertanian
[ ] Hijauan dan konsentrat
[ ] Hijauan saja
2. Pemberian hijauan dilakukan
[ ] 3 kali (pagi, siang dan sore/malam)
[ ] 2 kali (pagi dan sore)
[ ] 1 kali (pagi atau sore)
3. Pemberian air minum : [ ] dilakukan [ ] Tidak dilakukan
4. Hijauan yang diberikan :
a. Hijauan unggul berupa ………………………………………………………………
ƒ Jumlah pemberian ………………………………….Kg/ekor/hari
ƒ Luas tanaman hijauan ………………………………Ha
ƒ Jumlah pupuk yang diberikan
Urea……………….Kg Harga satuan …………………….
……………………Kg Harga satuan…………………….
……………………Kg Harga satuan…………………….
ƒ Penyemprotan untuk hijauan
……………………………………………………………………………………….
b. Rumput lapangan ………………………………………..Kg/ekor/hari
Diperoleh dari …………………………………………………………
Harga pembelian ……………………………………………………...
c. Limbah pertanian berupa ………………….………………………………………
Jumlah pemberian ……………………………………….Kg/ekor/hari
Lain-lain……………………………………………………………………..
5. Konsentrat diberikan berupa:
a. Dedak ………………Kg/ekor/hari
Harga satuan ………………………
b. ……………………...Kg/ekor/hari
Harga satuan ………………………
c. ……………………...Kg/ekor/hari
Harga satuan ………………………
d. ……………………...Kg/ekor/hari
Harga satuan ………………………
6. Pemberian konsentrat :
[ ] 2 kali (Pagi dan sore) sebelum diberi hijauan ................................................................ 5
[ ] 1 kali (pagi) sebelum pemberian hijauan ...................................................................... 4
[ ] 1 kali (siang) ................................................................................................................. 3
[ ] 1 kali Sore saja .............................................................................................................. 2
[ ] Tidak pernah diberikan ................................................................................................. 1
7. Makanan tambahan lain yang diberikan berupa :
…………………………pemberian ……………..Kg/ekor/hari, Harga …………………..
…………………………pemberian ……………..Kg/ekor/hari, Harga …………………..
…………………………pemberian ……………..Kg/ekor/hari, Harga …………………..

C. Tata Laksana Pemeliharaan


1. Sisitem pemeliharaan :
[ ] Dikandangkan terus menerus (intensif)
[ ] Tidak dikandangkan (ekstensif)
[ ] Siang dilepas, malam dikandangkan (semi intensif) Lama dikandang kanj …………. jam
2. Bangunan kandang :
[ ] Semi permanen lantai beton [ ] Kayu lantai tanah
[ ] Kayu lantai beton [ ] Tidak ada kandang
[ ] Semi permanen lantai tanah
162

3. Ukuran kandang : ………m x …….m, luas kandang ............. m2


Biaya pembuatan kandang: Rp ...................................................................
Kandang yang dipakai sekarang sudah berapa lama :…………………….th
Biasanya tahan untuk berapa lama : ……………………..th
4. Sapi yang dikandangkan dipelihara secara :
[ ] Kelompok [ ] Satu kelompok yang dipisahkan secara individual
[ ] Individual
5. Peralatan kandang
[ ] Tempat makan, tempat minum, keranjang, cangkul/skop, arit dan karung
[ ] Tempat makan, tempat minum, cangkul/skop, arit dan karung
[ ] Tempat makan, tempat minum, ait dan karung
[ ] Tempat makan, tempat minum,
6. Membersihkan kandang dilakukan :
[ ] setiap hari [ ] sekali seminggu
[ ] 2 hari sekali [ ] tidak pernah dibersihkan
7. Kebersihan kandang :
[ ] Baik (dibersihkan setiap hari,saluran pembuangan teratur dan ada penampung
kotoran )
[ ] Sedang (dibersihkan tidak tiap hari dan saluran pembuangan ada)
[ ] Kurang
8. Perlakuan khusus yang dilakukan terhadap :
Induk bunting : ……………………………………………………………………………..
Induk yang melahirkan : ……………………………………………………………………
Anak yang baru lahir : ……………………………………………………………………..
Ternak yang sakit : …………………………………………………………………………
9. Apakah ternak yang dipelihara dipergunakan sebagai tenaga kerja :
[ ] Iya [ ] Tidak
Jika tidak diperkejakan alasannya : ………………………………………………………..
10. Apakah pupuk kandang yang dihasilkan digunakan :
[ ] Iya [ ] Tidak
Jika digunakan untuk : ……………………………………………………………………
D. PENCEGAHAN/PENGOBATAN PENYAKIT
1. Pencegahan penyakit dilakukan melalui :
[ ] Menjaga kebersihan kandang dan lingkungan
[ ] Melakukan vaksinasi secara teratur
2. Penyemprotan kandang dilakukan
[ ] 6 bulan sekali [ ] 8 bulan sekali
[ ] 1 tahun sekali [ ] Tidak pernah
3. Vaksinasi yang dilakukan :........... ………………………………………………………..
Harga satuan : ……………………………….
4. Pemberian obat cacing :
[ ] Diberikan, berupa : ……………………………… sekali berapa ……………………….
Harga satuan ………………………….
[ ] Tidak pernah diberikan
5. Pemberian obat lain berupa :
................................................................ Harga satuan ……………………………………
6. Penanganan terhadap ternak yang sakit
[ ] Dipisah dari ternak yang lain dan melaporkan kemantri hewan
[ ] Tidak dipisahkan dari ternak lain dan dilaporkan ke mantri hewan
[ ] Diobati seadanya dengan obat tradisional
7. Penyakit yang pernah menyerang
Nama penyakit Gejala Obat yang diberikan

E. PEMASARAN
1. Penjualan sapi dilakukan
[ ] Langsung peternak membawa ke pasar ternak
163

[ ] Toke yang datang ke kandang


[ ] Melalui bantuan kelompok ternak/koperasi
[ ] Lainnya……………………………………
2. Penentuan harga jual sapi
[ ] Taksiran daging dan kesepakatan antara peternak dengan pedagang
[ ] Bukan berdasarkan taksiran daging dan kesepakan antara peternak dan pedagang
[ ] Pedagang sendiri yang menentukan harga
[ ] Lainnya………………………………………………………………….
3. Alasan Bapak menjual ternak sapi : …………………………………………………………
4. Jumlah sapi yang dijual
Tahun 2005……………ekor Harga satuan……………………
Bangsa……………………….. Umur ………………………….
Tahun 2004……………ekor Harga satuan……………………
Bangsa……………………….. Umur ………………………….
Tahun 2003……………ekor Harga satuan……………………
Bangsa……………………….. Umur ………………………….
5. Persepsi/pendapat Bapak mengenai :
a. Harga jual ternak sekarang [ ] Tinggi [ ] Sedang [ ] Rendah
b. Harga beli ternak [ ] Tinggi [ ] Sedang [ ] Rendah
c. Biaya IB [ ] Tinggi [ ] Sedang [ ] Rendah
6. Biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran : …………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………
Bagaimana komentar Bapak mengenai pemasaran ternak ke depan :
…………………………………………………………………………………………………
11. TENAGA KERJA
1. Tenaga kerja yang tersedia untuk memelihara ternak sapi :
a. Pria dewasa …………… orang, Berasal dari : ( Dalam / Luar Keluarga )
b. Wanita dewasa………….orang, Berasal dari : ( Dalam / Luar Keluarga )
c. Anak-anak …………….. orang, Berasal dari : ( Dalam / Luar Keluarga )
2. Waktu yang dialokasikan untuk mengelola usaha sapi potong :
a. Membersihkan kandang : ………..Jam/Hari, : …………Orang
b. Membersihkan sapi : ………..Jam/Hari, : …………Orang
c. Memberi makan dan minum : ……….. Jam/Hari : …………Orang
d. Menanam/menyiang rumput : ………..Jam/Hari, : …………Orang
e. Mengolah lahan : ………..Jam/Hari : …………Orang
f. Menyabit rumput : ………..Jam/Hari : …………Orang
3. Upah tenaga kerja yang berlaku di daerah ini :
Rp……………………../ Orang / Hari.
Satu hari Kerja : ……………..Jam

12. PRODUKTIVITAS SAPI POTONG


1. Mulai mengikuti program BPLM Tahun ……………………………………..
Ternak yang dipelihara awal program Terdiri dari :
………………………… dan induk betina jenis ………………………………..
………………………… dan induk jantan jenis………………………………...
………………………… dan dara betina jenis …………………………………
………………………… dan dara jantan jenis …………………………………
…………………………. Dan anak jenis ……………………………………….
2. Jumlah ternak yang lahir
tahun 2005 : …………………………… ekor
tahun 2004 : ………………………….. ekor
tahun 2003 : …………………………… ekor
tahun 2002 : …………………………... ekor
tahun 2001 : …………………………… ekor
3. Jumlah ternak yang mati
tahun 2005 : …………………………… ekor karena :……………………………………..
tahun 2004 : ………………………….. ekor Karena : …………………………………….
tahun 2003 : …………………………… ekor Karena : …………………………………….
164

tahun 2002 : …………………………... ekor Karena : …………………………………….


tahun 2001 : …………………………… ekor Karena : …………………………………….
4 Bobot ternak sapi yang ada sekarang( diukur)
Jenis Sapi Umur Jantan/Betina Lingakar dada

13 MANAJEMEN USAHA TANI


1. Distribusi penggunaan lahan :
a. Sawah, Luas : …… Ha ditanam : ………… kali/th
b. Ladang Luas : ……. Ha jenis tanaman : ……………………………Periode tanam ..............
c. Kebun Luas : ……. Ha ditanam dengan tanaman ………………………………………….
d. Kolam Luas : ......... Ha
Untuk usaha tani ………………………………………...Ha
Untuk makan ternak……………………………………..Ha
Yang tidak di olah ………………………………………Ha
2. Untuk lahan sawah pola tanam yang dilakukan dalam periode 1 tahun
[ ] Padi dan padian
[ ] ……………………………
[ ] …………………………… [ ] ……………………………
3. Biaya yang dikeluarkan :
a. Tanaman………………..…………….Luas tanaman………..……Ha
1. Bibit ……………….Kg/musiman, seharga……………………..
2. Tenaga Kerja
ƒ Mengolah lahan …………………orang/musim,seharga………………
ƒ Menanam ……………………….orang/musim,seharga……………….
ƒ Menyiang ………………………..orang/musim,seharga………………..
ƒ Panen …………………………….orang/musim,seharga……………….
3. Pemupukan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu

4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu

5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
b. Tanaman………………..…………….Luas tanaman………..……Ha
1. Bibit ……………….Kg/musiman, seharga……………………..
2 Tenaga Kerja
ƒ Mengolah lahan …………………orang/musim,seharga………………
ƒ Menanam ……………………….orang/musim,seharga……………….
ƒ Menyiang ………………………..orang/musim,seharga………………..
ƒ Panen …………………………….orang/musim,seharga……………….
3. Pemupukan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu

4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
165

5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
c. Tanaman………………..…………….Luas tanaman………..……Ha
1. Bibit ……………….Kg/musiman, seharga……………………..
2. Tenaga Kerja
ƒ Mengolah lahan …………………orang/musim,seharga………………
ƒ Menanam ……………………….orang/musim,seharga……………….
ƒ Menyiang ………………………..orang/musim,seharga………………..
ƒ Panen …………………………….orang/musim,seharga……………….
3. Pemupukan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu

4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu

5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
4. Hasil yang diperoleh

No Rincian Produksi (ton/Kg/Krg) Harga satuan


1 Sawah
2 Ladang
3 Kebun
4 Kolam
5 Lain-lain

13. BIAYA DAN PENERIMAAN DARI USAHA TERNAK


1. Penerimaan
1. Perubahan nilai ternak : Rp…………………………..
2. Nilai jual ternak (dalam periode 1 tahun terakhir) : Rp…………………………..
3. Penjualan kotoran : Rp…………………………..
4. Lainnya…………………………………… : Rp…………………………..
2. Biaya
1. Biaya Tetap, biaya variabel : Rp…………………………..
2. Pembelian ternak (dalam periode 1 tahun terakir) : Rp…………………………..
3. Beli peralatan (dalam 1 tahun terakhir) : Rp…………………………..

15. Pendapatan Peternak


1. Penghasilan keluarga yang paling menolong kehidupan sehari-hari dari :
[ ]Ternak sapi [ ] Kebun
[ ] Sawah [ ]Ternak lainnya
[ ] Ikan [ ]
2. Penghasilan diluar usahatani ternak berupa :
………………………………. Besarnya : …………….. Rp/bln/th
………………………………. Besarnya : …………….. Rp/bln/th
………………………………. Besarnya : …………….. Rp/bln/th
………………………………. Besarnya : …………….. Rp/bln/th

======== Selamat Bekerja ===========


166

Lampiran 6. Kuesioner Strategi Internal dan Eksternal

DAFTAR PERTANYAAN
ANALISIS STRATEGI INTERNAL Nomor Responden ………......

IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………….
JABATAN : ………………………………………………….
INSTANSI : ………………………………………………….

A. Penentuan Bobot Faktor Strategi Internal

Petunjuk Pengisian

Pemberian nilai didasari pada perbandingan berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap pelaksanaan Pengembangan Usaha Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 0, 1 dan 2. Keterangan skala yang digunakan untuk pengisian
kolom adalah :

Nilai 0 = Jika indikator horizontal kurang penting dari indikator vertikal


Nilai 1 = Jika indikator horizontal sama penting dari indikator vertikal
Nilai 2 = Jika indikator horizontal lebih penting dari indikator vertikal
167

Bagaimana pendapat Bapak/ibu mengenai perbandingan berpasangan dua faktor strategis intenal yang dinyatakan dibawah ini :

Faktor Penentu Internal A B C D E F G H I J K L Total Bobot


Daya dukung lahan (A)
Letak geografis (B)
Adanya wilayah basis sapi potong (C)
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS) (D)
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong (E)
Adanya kelompok tani ternak sapi pembibitan (F)
Keterbatasan modal usaha (G)
Beternak sebagai usaha sambilan (H)
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak (I)
Penggunaan faktor produksi belum optimal (J)
Adopsi teknologi rendah (K)
Sistim pemasaran belum memadai (L)
Total

B. Penentuan Peringkat (Rating) Faktor Strategis Internal

Variabel faktor internal itu terdiri dari dua faktor kunci kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang
mungkin dapat datasi/dihindari dalam upaya pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

1. Faktor Kekuatan

Pemberian nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan
usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keterangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor tersebut berpengaruh sangat besar
168

Nilai 3, jika faktor tersebut berpengaruh besar


Nilai 2, jika faktor tersebut berpengaruh cukup besar/sedang
Nilai 1, jika faktor tersebut tidak berpengaruh/kurang

Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi usaha pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terhadap faktor-faktor
berikut :

Faktor Kekuatan 4 3 2 1
Daya dukung lahan
Letak geografis
Adanya wilayah basis sapi potong
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS)
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong
Adanya kelompok tani ternak sapi pembibitan

2. Faktor Kelemahan

Pemberan nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor kelemahan yang ada dan dapat diatasi / dihndari dalam
pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keteangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor tersebut sangat sulit diatasi
Nilai 3, jika faktor tersebut agak sulit diatasi
Nilai 2, jika faktor tersebut agak mudah diatasi
Nilai 3, jika faktor tersebut sangat mudah diatasi
169

Faktor Kelemahan 4 3 2 1
Keterbatasan modal usaha
Beternak sebagai usaha sambilan
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak
Penggunaan faktor produksi belum optimal
Adopsi teknologi rendah
Sistem pemasaran belum memadai

C. Identifikasi Permasalahan yang ada

Menurut Bapak/Ibu, permasalahan apa yang dominan akan menjadi kendala di dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?

1. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi peternakan sapi potong (lahan, air, bibit unggul, kegiatan IB, kandang dan per-
alatan, obat-obatan, hijauan makanan ternak, dan transportasi)
™ ....................................................................................................................................
2. Ketersediaan tenaga kerja
™ ....................................................................................................................................
3. Pengelolaan / budidaya ternak sapi potong (jenis sapi, perawatan, pengendalian penyakit)
™ ....................................................................................................................................
4. Pengendalian pemotongan ternak betina produktif
™ ....................................................................................................................................
5. Pemasaran (saluran pemasaran, menenukan bobot sapi, harga, promosi)
6. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan (instansi teknis pemerintah, keuangan/perbankan/koperasi
™ ....................................................................................................................................
7. Pemanfaatan teknologi reproduksi (IB)
™ ....................................................................................................................................
8. Substitusi dan difersifikasi produksi sapi potong (daging, kulit, tanduk dan sebagainya)
™ ....................................................................................................................................
170

D. Alternatif solusi yang dapat diberikan

Menurut Bapak/Ibu, solusi apa yang dapat diberikan untuk mengatasi kendala dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?

1. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi peternakan sapi potong (lahan, air, bibit unggul, kegiatan IB, kandang dan per-
alatan, obat-obatan, hijauan makanan ternak, dan transportasi)
™ ....................................................................................................................................
2. Ketersediaan tenaga kerja
™ ....................................................................................................................................
3. Pengelolaan / budidaya ternak sapi potong (jenis sapi, perawatan, pengendalian penyakit)
™ ....................................................................................................................................
4. Pengendalian pemotongan ternak betina produktif
™ ....................................................................................................................................
5. Pemasaran (saluran pemasaran, menenukan bobot sapi, harga, promosi)
™ ....................................................................................................................................
6. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan (instansi teknis pemerintah, keuangan/perbankan/koperasi
™ ....................................................................................................................................
7. Pemanfaatan teknologi reproduksi (IB)
™ ....................................................................................................................................
8. Substitusi dan difersifikasi produksi sapi potong (daging, kulit, tanduk dan sebagainya)
™ ....................................................................................................................................
171

Kuesioner Penelitian

DAFTAR PERTANYAAN
ANALISIS STRATEGI EKSTERNAL Nomor Responden : …......

IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………….
JABATAN : ………………………………………………….
INSTANSI : ………………………………………………….

A. Penentuan Bobot Faktor Strategi Eksternal

Petunjuk Pengisian

Pemberian nilai didasari pada perbandingan berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap pelaksanaan Pengembangan Usaha Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 0, 1 dan 2. Keterangan skala yang digunakan untuk pengisian
kolom adalah :

Nilai 0 = Jika indikator horizontal kurang penting dari indikator vertikal


Nilai 1 = Jika indikator horizontal sama penting dari indikator vertikal
Nilai 2 = Jika indikator horizontal lebih penting dari indikator vertikal
172

Bagaimana pendapat Bapak/ibu mengenai perbandingan berpasangan dua faktor strategis ekstenal yang dinyatakan dibawah ini :

Faktor Penentu Eksternal A B C D E F G H I J K L Total Bobot


Permintaan pasar (A)
Otonomi daerah (B)
Perkembangan IPTEK (C)
Berfungsinya BIB-Daerah Limbukan (D)
Harga produk yang relatif stabil (E)
Dukungan pemerintah (F)
Produk luar/impor (G)
Alih fungsi lahan (H)
Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong (I)
Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak (J)
Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB (K)
Tingginya pemotongan ternak betina produktif (L)
Total

B. Penentuan Peringkat (Rating) Faktor Strategis Eksternal

Variabel faktor eksternal itu terdiri dari dua faktor kunci peluang yang dapat dimanfaatkan dan faktor ancaman yang mungkin
dapat datasi/dihindari dalam upaya pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

1. Faktor Peluang

Pemberian nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor peluang yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan
usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keterangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor kemampuan meresponnya sangat baik
Nilai 3, jika faktor kemampuan meresponnya besar
173

Nilai 2, jika faktor kemampuan meresponnya sedang


Nilai 1, jika faktor kemampuan meresponnya kurang

Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi usaha pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terhadap faktor-faktor
berikut :

Faktor Peluang 4 3 2 1
Permintaan pasar
Otonomi daerah
Perkembangan IPTEK
Berfungsinya BIB-Daerah Limbukan
Harga produk yang relatif stabil
Dukungan pemerintah

2. Faktor Ancaman / Tantangan


Pemberan nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor ancaman/tantangan mempengaruhi pengembangan usaha
sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota denga mampu merespon ancaman yang dapat dimanfaatkan.
Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keteangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor ancaman sangat kuat pengaruhnya
Nilai 3, jika faktor ancaman kuat pengaruhnya
Nilai 2, jika faktor ancaman kurang pengaruhnya
Nilai 3, jika faktor ancaman tidak berpengaruh

Faktor Ancaman / Tantangan 4 3 2 1


Produk luar/impor
Alih fungsi lahan
Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong
Gagguan reproduksi dan kesehatan ternak
Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB
Tingginya pemotongan ternak betina produktif
174

C. Identifikasi Permasalahan yang ada

Menurut Bapak/Ibu, ancaman/tantangan apa yang dominan dalam pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima
Puluh Kota?

1 Ketersediaan lahan
™ ....................................................................................................................................
2. Kelembagaan/kelompok peternak dalam penggunaan lahan
™ ....................................................................................................................................
3. Jaminan dan stabilitas ketersediaan bibit
™ ....................................................................................................................................
4. Produk-produk sejenis yang diproduksi daerah lain
™ ....................................................................................................................................
5. Produk pengganti sumber protein hewani lain
™ ....................................................................................................................................
6. Masuknya pesaing asing dalam kompetisi lokal
™ ....................................................................................................................................
7. Ketersediaan dan kemampuan SDM dan tawar menawar dengan pedagang sapi
™ ....................................................................................................................................
8. Cuaca / iklim
™ ....................................................................................................................................

D. Alternatif solusi yang dapat diberikan

Menurut Bapak/Ibu, solusi apa yang dapat diberikan untuk meraih peluang dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?

1. Ketersediaan lahan
™ ....................................................................................................................................
™ ....................................................................................................................................
175

2. Kelembagaan/kelompok peternak dalam penggunaan lahan


™ ....................................................................................................................................
3. Jaminan dan stabiltas ketersediaan bibit
™ ....................................................................................................................................
4. Produk-produk sejenis yang diproduksi daerah lain
™ ....................................................................................................................................
5. Produk pengganti sumber protein hewani lain
™ ....................................................................................................................................
6. Masuknya pesaing asing dalam kompetisi lokal
™ ....................................................................................................................................
7. Ketersediaan dan kemampuan SDM dan tawar menawar dengan pedagang sapi
™ ....................................................................................................................................
8. Cuaca / iklim
™ ....................................................................................................................................
176

Lampiran 7. Kuesioner AHP Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

I= Strategi Pengembangan Usaha Sapi


Potong di kabupaten Lima Puluh kota

4 3 1 2 5
II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran

III =

4 2 3 1
L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait

IV=

1 2 5 3 4
Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan
Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan Kualitas bibit

V=

1 4 2 3 5
Modal Efisiensi PenerapanTekno Kawasan sentra Fungsi
Usaha Usaha nologi tepat guna Pembibitaan Kelompok

Keterangan :

I = Fokus
II = Kriteria
III = Aktor/Pelaku
IV = Sasaran
V = Alternatif Strategi
177

ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)


PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA SUMATERA BARAT

IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………
JABATAN : ………………………………………………
INSTANSI/LEMBAGA : ………………………………………………

Untuk menentukan bobot dari masing-masing criteria tersebut akan digunakan


metode AHP. Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan
terhadap criteria-kriteria tersebut. Adapun nilai yang digunakan adalah sebagai berikut :

Nilai 1 : sama pentingnya antara satu kriteria dengan kriteria lainnya


Nilai 3 : kriteria yang satu moderat pentingnya dari kriteria lainnya
Nilai 5 : kriteria yang satu kuat pentingnya dari kriteria lainnya
Nilai 7 : kriteria yang satu sangat kuat pentingnya dari kriteria lainnya
Nilai 9 : kriteria yang satu ekstrim pentingnya dari kriteria lainnya
Nilai 2, 4, 6, 8 : adalah nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan

Contoh :

Pengembangan
Usahasapi potong
di kabupaten A B C D E
Lima Puluh Kota
A 3
B 1/5
C
D
E

Keterangan :

- Angka 3 menunjukkan kriteria A (vertikal) moderat pentingnya dari kriteria B


(horizontal)
- Angka 1/5 menunjukkan kriteria C (horizontal) kuat pentingnya dari kriteria B (vertikal)

Lembar Pengisian 1.
Dalam rangka pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota,
maka sebagai syarat penentu yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian pakan ternak
2. Penggunaan bibit
3. Tatalaksana pemeliharaan
4. Pengendalian penyakit
5. Pemasaran
178

Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap


kriteria-kriteria tersebut.

Fokus : Pengembangan Usaha Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

Pengembangan
Usaha sapi potong
di kabupaten A B C D E
Lima Pu-luh Kota
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Pemberian pakan ternak
B : Penggunaan bibit
C : Tatalaksana pemeliharaan
D : Pengendalian penyakit
E : Pemasaran

Lembaran Pengisian 2.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu stabilitas pakan ternak sapi dalam pengem-
bangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan pelaku
yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :

Pelaku yang berperan dalam menjaga stabilitas pakan


di kabupaten Lima Puluh Kota
Stabilitas Pakan ternak A B C D
Sapi Potong
A
B
C
D
Keterangan :

A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
179

Lembaran Pengisian 3.
Dalam rangka terjaminnya ketersediaan bibit sapi potong yang diinginkan dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam menjaga terjaminnya ketersediaan bibit
Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Jaminan ketersediaan A B C D
Bibit sapi Potong
A
B
C
D

Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait

Lembaran Pengisian 4.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu tatalaksana pemeliharaan ternak sapi dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam tatalaksana pemeliharaan
Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Tatalaksana pemeliharaan A B C D
Sapi Potong
A
B
C
D
180

Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait

Lembaran Pengisian 5.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu pengendalian penyakit ternak sapi dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam pengendalian penyakit
Ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Pengendalian penyakit A B C D
ternak Sapi Potong
A
B
C
D

Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait

Lembaran Pengisian 6.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu pemasaran ternak sapi dalam pengembang-
an usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan pelaku yang
berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
181

Pelaku yang berperan dalam pemasaran ternak


Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Pemasaran ternak A B C D
Sapi Potong
A
B
C
D

Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait

Lembaran Pengisian 7.
Peran lembaga keuangan dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong
di kabupaten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya
4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan kualitas bibit
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran lembaga keuangan dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Lembaga keuangan A B C D E
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit

Lembaran Pengisian 8.
Peran pengusaha swasta dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
182

3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya


4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan mutu genetik ternak lokal
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran pengusaha swasta dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Pengusaha swasta A B C D E
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit

Lembaran Pengisian 9.
Peran peternak dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong di kabupa-
ten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya
4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan mutu genetik ternak lokal
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran peternak dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Peternak A B C D E
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Perluasan usaha D : Peningkatan pendapatan
B : Peningkatan produksi dan produktivitas E : Perbaikan kualitas bibit
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
183

Lembaran Pengisian 10.


Peran instansi teknis dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya
4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan kualitas bibit
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran instansi teknis dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Instansi teknis A B C D E
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit

Lembaran Pengisian 11.


Dalam rangka perluasan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota, prioritas
strategi yang digunakan, adalah sebagai berikut :
1. Modal usaha
2. Meningkatkan efisiensi usaha
3. Penerapan teknologi tepat guna
4. Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
5. Mengoptimalkan fungsi kelompok
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Prioritas strategi yang digunakan dalam perluasan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Perluasan usaha A B C D E
Sapi potong
A
B
C
D
E
184

Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok

Lembaran Pengisian 12.


Dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas usaha sapi potong di kabu-
paten Lima Puluh Kota, prioritas strategi yang digunakan, adalah sebagai berikut :
1. Modal usaha
2. Meningkatkan efisiensi usaha
3. Penerapan teknologi tepat guna
4. Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
5. Mengoptimalkan fungsi kelompok
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Prioritas strategi yang digunakan dalam peningkatan produksi dan
Produktivitas usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

Peningkatan produksi dan A B C D E


Produktivitas Sapi potong
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok

Lembaran Pengisian 13.


Dalam rangka optimalisasi penggunaan sumberdaya usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota, prioritas strategi yang digunakan, adalah sebagai berikut :
1. Modal usaha
2. Meningkatkan efisiensi usaha
3. Penerapan teknologi tepat guna
4. Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
5. Mengoptimalkan fungsi kelompok
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
185

Prioritas strategi yang digunakan dalam optimalisasi penggunaan


Sumberdaya sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Optimalisasi penggunaan A B C D E
Sumberdaya
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok

Lembaran Pengisian 14.


Dalam rangka peningkatan pendapatan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh
Kota, prioritas strategi yang digunakan, adalah sebagai berikut :
1. Modal usaha
2. Meningkatkan efisiensi usaha
3. Penerapan teknologi tepat guna
4. Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
5. Mengoptimalkan fungsi kelompok
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Prioritas strategi yang digunakan dalam peningkatan pendapatan
Usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota

Peningkatan pendapatan A B C D E
Usaha Sapi potong
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok
186

Lembaran Pengisian 15.


Dalam rangka perbaikan mutu genetik ternak local usaha sapi potong di kabupaten
Lima Puluh Kota, prioritas strategi yang digunakan, adalah sebagai berikut :
1. Modal usaha
2. Meningkatkan efisiensi usaha
3. Penerapan teknologi tepat guna
4. Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
5. Mengoptimalkan fungsi kelompok
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Prioritas strategi yang digunakan dalam perbaikan mutu genetik
Ternak lokal di kabupaten Lima Puluh kota

Perbaikan mutu genetik A B C D E


Ternak lokal
A
B
C
D
E

Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok

======== Selamat Bekerja ===========

You might also like