Professional Documents
Culture Documents
2009arf PDF
2009arf PDF
ARFA`I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya
yang berjudul :
Adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir
disertasi ini.
ARFA`I
ABSTRACT
ARFA’I. Potential Development of Beef Cattle and its Strategies in the Regency
of Lima Puluh Kota, West Sumatra. Under the Supervision of Kooswardhono
Mudikdjo, Asnath Maria Fuah, and Asep Saefuddin.
Key words: Area potential, Development strategic of cattle business, Lima Puluh
Kota, West Sumatera
RINGKASAN
Populasi ternak sapi potong di Sumatera Barat menurun dalam lima tahun
terakhir (2001-2006), dengan rata-rata penurunan sebesar 0,31 persen per tahun,
sementara jumlah pemotongan meningkat rata-rata sebesar 9,35 persen per tahun
(BPS Sumatera Barat 2007). Hal ini disebabkan rendahnya produksi dan produkti-
vitas ternak sapi potong. Beberapa karakteristik produksi yang belum optimal antara
lain rendahnya tingkat kelahiran (< 50%), tingginya angka kematian (> 2%), rendah-
nya pertambahan bobot badan (0,4-0,5 kg/ekor/hr), tingginya angka pemotongan
ternak betina produktif (28%) (Dinas Peterbakan TK I Sumatera Barat, 2007a).
Untuk memperbaiki keadaan tersebut diperlukan kontribusi dari berbagai pihak
termasuk bantuan pemerintah untuk berupaya mengembangkan sapi potong antara
lain melalui program peningkatan produksi dan produktivitas ternak sapi potong,
penurunan angka kematian, dan mengendalikan pemotongan ternak betina produktif
(Soetirto, 1997).
Menurut laporan Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat (2007b), untuk
mendukung program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; (1)
optimalisasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor,
(2) penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, (3)
penanggulangan penyakit reproduksi, (4) pengawasan pemotongan ternak sapi betina
produktif melalui program optimalisasi penguatan modal usaha kelompok, (5)
intensifikasi kawin alam melalui pendistribusian pejantan unggul. Disamping peran
pemerintah, peran swasta dan masyarakat juga penting dalam upaya peningkatan
populasi ternak sapi potong dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi
masyarakat untuk berinvestasi dibidang ternak sapi.
Tujuan penelitian : (1) menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumber-
daya manusia usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) mengevaluasi
program pengembangan usaha sapi potong dan pemanfaatan sumberdaya ditingkat
petani ternak; (3) menganalisis efisiensi usahatani ternak melalui penerapan teknologi
pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, pengolahan limbah ternak menjadi
pupuk organik ; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota untuk masa yang akan datang.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap : (1) identifikasi dan analisis
potensi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) analisis
terhadap program pengembangan usaha sapi potong; (3) peningkatan produksi dan
pendapatan usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan
limbah ternak; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong yang
dapat diterapkan di kabupaten Lima Puluh Kota.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki
potensi pengembangan usaha sapi potong dimasa datang, didukung oleh beberapa hal
sebagai berikut : (1) tingginya Kapasitas Peningkatan Pengembangan Ternak
Ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja keluarga sebesar 25.481
ST, (2) terdapatnya basis ternak sapi potong di empat kecamatan (Lareh Sago
Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, dan Bukit Barisan), (3) telah berfungsinya
Balai Inseminasi Buatan (BIB-Daerah) Tuah Sakato dalam menghasilkan bibit, dan
(d) kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sapi potong.
Program pengembangan sapi potong melalui program Bantuan Pinjaman
Langsung Masyarakat (BPLM) di kabupaten Lima Puluh Kota menunjukkan hasil
sebagai berikut : (1) program mulai bergulir pada bulan September 2002, berupa 2
ekor ternak betina induk senilai Rp 12.000.000 sebagai pinjaman yang harus
dikembalikan ke kas kelompok dalam 5 tahun dengan suku bunga 6% per tahun; (2)
kurang transparannya penetapan anggota penerima bantuan menyebabkan kurang ber-
kembangnya perguliran dana bantuan terutama pada kelompok tani-ternak Luak
Lalang dan Tunas Baru; (3) teknik budidaya (perbibitan, pemberian pakan, tatalak-
sana pemeliharaan, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemasaran) sudah diterap-
kan oleh peternak, kecuali kegiatan pasca panen (pengolahan hasil dan limbah
pertanian/peternakan) belum mendapat perhatian; (4) calving interval cukup panjang
(15 bulan), S/C ratio 1,9 masa kosong sekitar 4,5 bulan; dan (5) kegiatan budidaya
ternak, kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo lebih baik dibandingkan dengan kelompok
tani-ternak lainnya, terutama dalam penyediaan sapronak (dikelola kelompok),
manajemen usaha, permodalan, pemasaran hasil, dan peran lembaga pendukung
seperti petugas penyuluh lapangan dan inseminator.
Sumberdaya yang ada ditingkat petani-ternak belum dimanfaatkan secara
optimal terutama pada pola usahatani dengan luas lahan ≤ 1 Ha. Dengan menerapkan
teknologi pengolahan jerami padi menjadi pakan dan limbah ternak menjadi pupuk
organik, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69/ekor/bln.
Kelemahan dan ancaman yang dihadapi peternak dalam pengembangan sapi
potong berupa; (a) pola beternak bersifat usaha sambilan, (b) sistem pemasaran ternak
belum memadai, (c) gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, dan (d) tingginya
pemotongan ternak betina produktif.
Strategi yang direkomendasikan untuk pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota adalah : (1) peningkatan modal usaha melalui pemberian
kredit lunak pada masyarakat peternak, (2) penerapan teknologi tepat guna berbasis
petani dalam manajemen pemeliharaan, budidaya reproduksi dan pengolahan limbah
ternak, (3) pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengem-
bangan sistem kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat
pencapaian swa-sembada daging sapi, (4) peningkatan efisiensi melalui peningkatan
skala usaha dari 5 ekor menjadi 10 ekor induk per peternak, dan (5) optimalisasi
fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi dalam penerapan manajemen
yang transparan, dan pendampingan yang intensif.
Program yang dapat dilaksanakan terdiri dari; penguatan modal usaha,
menjalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dalam bidang pemasaran,
penguatan lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan
pelatihan pada peternak, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan sentra
pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok, penyediaan bibit sapi potong
lokal oleh pemerintah, pengembangan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal,
pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan ternak, optimalisasi penggunaan
sumberdaya, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, dan pembinaan kelom-
pok.
A R F A `I
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc
NIM : 995053
Disetujui
Komisi Pembimbing
Mengetahui
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah. Puji syukur dipersembahkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan
Yang Maha Esa, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat dan petunjuk, yang telah me-
limpahkan hidayah Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Desember 2005 dengan judul
Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc; sebagai ketua komisi pembimbing. Ibu Dr. Ir.
Asnath M Fuah, MS, dan Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc sebagai anggota komi-
si pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril serta nasehat sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada :
1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi
pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh staf pengajar yang telah membekali
dan memperkaya ilmu selama mengikuti pendidikan.
3. Ketua program studi Ilmu Ternak (PTK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan.
4. Rekan-rekan mahasiswa, khususnya Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca-
sarjana IPB yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam
menyelesaikan studi.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada
para nara sumber yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah mem-
berikan sumbang saran dan masukan yang bermanfaat selama pelaksanaan penelitian
ini.
Doa yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk
Ayahanda Rauf Kr Mudo (Almarhum), dan bunda Gadijah (Almarhumah), kakanda
tercinta Muchtar Rauf, Sarilam Rauf (Almarhumah), Bainar Rauf, dan Muhammad
Noer Rauf, serta istri tercinta Yuliaty Shafan Nur, ananda Boby Arya Putra, Bayu
Inra Setiawan, Feby Eka Putra dan Dzaky Dhiyaul Amru atas segala kesabaran,
dorongan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendi-
dikan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga disertasi ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran, bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masya-
rakat.
ARFA`I
RIWAYAT HIDUP
mencapai 28%), (2) pengendalian penyakit reproduksi, dan (3) melakukan impor sapi
bibit. Dalam pedoman Ditjen Peternakan (2007b), kebijakan utama dalam pencapai-
an swa-sembada daging sapi 2010 yakni : (1) penambahan induk sapi potong melalui
pemanfaatan induk lokal dengan cara tunda potong sapi betina produktif, dan impor
sapi induk, (2) penyediaan pakan ternak ruminansia secara kontinu, dan (3) program
pembibitan, pengendalian penyakit, pengembangan usaha, pemasaran dan pengolahan
tetap diperlukan.
Upaya peningkatan produksi dan populasi ternak sapi potong memerlukan ke-
tersediaan pakan yang cukup banyak, terutama yang memiliki sumber serat yang
cukup. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan dalam negeri
(cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternak rakyat, ternak sapi dipelihara
dalam suatu sistem yang terintegrasi dengan usahatani tanaman. Adanya keterkaitan
antara usahatani tanaman dan usaha ternak dapat meningkatkan efisiensi usahatani
sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan (Diwyanto 2002).
Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di
Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan dimasa datang. Populasi sapi potong
tahun 2006 sebesar 57.236 ekor tersebar pada 17.720 RTP, mata pencaharian utama
masyarakat dibidang pertanian (62%), yang mendukung dalam penyediaan pakan
baik berupa hijauan maupun limbah pertanian; terdapatnya BPT/HMT Padang
Mengatas sebagai transformasi teknologi; dan letak wilayah yang strategis karena
berbatasan dengan propinsi Riau sebagai konsumen terbesar produk sapi potong asal
Sumatera Barat. Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh
Kota dalam periode 5 (lima) tahun terakhir (2001-2006) adalah sebesar 9,36% per
tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong dalam periode yang sama
meningkat sebesar 35,71% (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2007). Ketidak se-
imbangan ini merupakan masalah yang apabila tidak ditangani secara serius akan
mengakibatkan penurunan populasi dari tahun ketahun.
Pemerintah daerah kabupaten Lima Puluh Kota telah melakukan usaha-usaha
yang menunjang perkembangan sapi potong seperti program pemberian bantuan
kredit melalui dana APBN maupun APBD. Akan tetapi hasil yang diperoleh masih
belum seperti yang diharapkan karena produktivitas yang dicapai masih rendah
(angka kelahiran di bawah 50% dan mortalitas anak di atas 2%), peran lembaga
kelompok dalam mengelola bantuan masih kurang (pengelolaan modal, penyediaan
3
dan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran), sistem pemasaran belum efisien,
dan pemanfaatan sumberdaya belum optimal (Dinas Peternakan Kabupaten Lima
Puluh Kota 2005).
Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan meliputi :
(1). Produksi dan produktivitas ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
masih rendah dan belum mampu mengimbangi meningkatnya jumlah per-
mintaan.
(2). Manajemen pemeliharaan sapi potong masih merupakan pola peternakan rakyat
yang bersifat sambilan.
(3). Kelembagaan ditingkat petani-ternak belum berkembang ke arah usaha yang
profesional, disebabkan beberapa kendala teknis maupun non teknis
(4) Sistem pemasaran belum efisien sehingga tingkat pendapatan petani-ternak ren-
dah.
(4). Merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Pu-
luh Kota.
Rata-rata penurunan populasi sapi potong di Indonesia selama lima tahun ter-
akhir (2001-2006) sebesar 0,43 persen per tahun, sementara pada periode yang sama
jumlah pemotongan meningkat sebesar 0,31 persen per tahun. Hal ini disebabkan
masih rendahnya produktivitas ternak sapi dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul
lokal, karena : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak rakyat
yang menyebar dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2) kelembagaan perbibitan
yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke arah usaha yang
profesional, (3) lemahnya daya jangkau UPT perbibitan karena sebaran ternak yang
luas, dan (4) tingginya pemotongan ternak betina produktif (jumlahnya mencapai
28%) sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi (Tawaf dan
Kuswaryan 2006). Diperlukan impor sapi potong dalam jumlah yang cukup besar
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging, pada tahun 2006 impor sapi
bakalan mencapai 265.700 ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton (Ditjen
Peternakan 2007a). Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah menu-
runnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas (Haryanto 2004).
Manajemen reproduksi yang belum efisien dan jumlah pemotongan yang tidak ter-
kontrol di samping faktor pakan, juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada (Soetirto 1997).
Pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan telah menetapkan Program
Kecukupan Daging 2010 (PKD 2010), sebelumnya bernama program swa-sembada
daging, mengacu pada salah satu program Departemen Pertanian yaitu program Keta-
hanan Pangan. Dalam PKD 2010 diharapkan produksi dalam negeri mampu
memberikan kontribusi kecukupan daging sebesar 90 – 95 persen dan sisanya 5 – 10
persen dari impor (Tawaf dan Kuswaryan 2006). Tahun 2005 pemerintah telah
mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang meli-
batkan unsur-unsur Pemerintah, Dunia Usaha, Perguruan Tinggi, Profesional, LSM,
dan masyarakat untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi
kemiskinan, (2) menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, (3) membangun
ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, (4) meningkatkan daya saing, (5)
melestarikan lingkungan, dan (6) membangun daerah (Krisnamurti 2006).
Menurut Soedjana (2007), dalam rangka mewujudkan swa-sembada daging
dipandang perlu melakukan revitalisasi atau restrukturisasi peternakan, yakni menata
ulang industri peternakan (baik hulu, budidaya, dan hilir). Industri ternak potong di-
harapkan akan berbasis sumberdaya lokal, dan tingkat swa-sembada akan tercapai
secara sustainable, untuk itu perlu langkah-langkah peningkatan populasi dan produk-
tivitas serta perbaikan kelembagaan meliputi ; (1) memacu kegiatan IB melalui
optimalisasi akseptor, (2) penjaringan dan penyelamatan betina produktif, (3) peng-
amanan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, (4) perbaikan kawin alam
7
melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (5) pengem-
bangan dan pemanfaatan pakan lokal, (6) pengembangan SDM dan kelembagaan, dan
(7) penyediaan induk/bibit.
Dalam buku pedoman Ditjen Peternakan (2007b), dijelaskan bahwa untuk
mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi 2010, pemerintah menetapkan
program Percepatan Pencapaian Swa-sembada Daging Sapi 2010 (PSDS 2010), yang
dimulai pada tahun 2008-2010 melalui tujuh langkah operasional yakni ; (1) optima-
lisasi akseptor, dan kelahiran melalui Inseminasi Buatan (IB) dan kawin alam; (2)
pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi
betina produktif; (3) perbaikan mutu dan penyediaan bibit; (4) penanganan gangguan
reproduksi dan kesehatan hewan; (5) Intensifikasi kawin alam; dan (6) pengembangan
pakan lokal, serta (7) pengembangan SDM dan kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS
difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas ber-
dasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola
budidaya, dan pasar) yaitu : (1) daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; (2) daerah campuran Inseminasi
Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA) yaitu propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo; (3) daerah prioritas Kawin Alam
(KA) yaitu propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Program-program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging dalam
negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand dan suplay.
Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat tidak jauh berbeda
dengan perkembangan sapi potong secara nasional, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di Sumatera Barat dalam lima tahun
terakhir menurun sebesar 1,31% per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang
dipotong meningkat sebesar 9,35% per tahun (BPS Sumatera Barat 2007).
Rendahnya produksi dan produktivitas ternak sapi potong di Sumatera Barat
disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran (angka kelahiran di bawah 50%),
tingginya angka kematian (angka kematian anak di atas 2%), pertambahan bobot
badan yang belum optimal (pertambahan bobot badan sapi lokal 0,4-0,5 kg/hr), dan
tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan sentra ternak pembibitan (Dinas
Peternakan TK I Sumatera Barat 2007a). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya
8
di Bogor. Penelitian ini diberi nama “on station multiple cropping“ mengacu pada
pola Internatioal Rice Research Institute (IRRI) (Manwan 1989). Sejak saat itu
kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti ; pola
tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani
(farming system), dan terakhir adalah Sistem Integrasi Tanaman Ternak terjemahan
dari Crop Livestock System (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis
antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002).
Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming)
berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara
efektif (Sutanto 2002). Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani
dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan
tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama (Prasetyo et al. 2001).
Sistem ini melibatkan tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan yaitu : (1)
budidaya ternak, (2) budidaya padi, serta (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak.
Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian
pakan, pengolahan hasil dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman
pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan
dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah
proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan
organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma
dan organisme yang bersifat pathogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai
untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002).
Dalam sistem usahatani ternak, interaksi yang terjadi akan mendorong terjadi-
nya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi
usaha dan peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan
2004). Sumberdaya manusia, modal, sumberdaya alam, dan proses pengelolaannya
dilakukan secara optimal menggunakan teknologi aplikasi sehingga berdampak pada
peningkatan keuntungan (Prodjodihardjo 1988).
Hasil kajian sistem integrasi usahatani tanaman padi sapi potong di kabupaten
Sleman Yogyakarta oleh Wardhani dan Musofie (2004) menunjukkan bahwa, dalam
melaksanakan usahatani petani melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja
dan sedikit modal. Antara sub-sistem rumah tangga, tanaman dan ternak saling
10
terkait, terpadu dan saling tergantung, pola usahatani integrasi tanaman-ternak dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pasar
Tenaga kerja
non-farm
Ternak
RUMAH Konsentrat
TANGGA Obat hewan
Pupuk
Insektisida
Tenaga kerja Manajemen
Tenaga kerja
TANAMAN TERNAK
Padi, Kedelai Limbah
Kacang tanah Tanaman
(b) mengurangi terjadinya resiko, (c) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (d) efisiensi
penggunaan komponen produksi, (e) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain
dari luar usaha, (f) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi, (g)
meningkatkan output, dan (h) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Hasil penelitian Kasman et al, (2004) tentang Kontribusi kotoran sapi dalam
sistem usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan didapatkan bahwa
pemanfaatan pupuk organik (kompos) dapat mengefisienkan penggunaan pupuk an-
organik dan meningkatkan produksi gabah kering panen.
budidaya sudah dikuasai oleh peternak baik dari aspek kesehatan hewan, pemberian
pakan, reproduksi, maupun sistem perkandangan; dan 4) perlu adanya pembinaan
kader lokal sebagai perpanjangan tangan dinas dalam rangka penguatan kelompok
dimasa datang. Rahayu dan Kuswaryan (2006) melaporkan hasil pelaksanaan
program BPLM untuk usaha ternak sapi pembibitan di kecamatan Parigi, Kabupaten
Ciamis Jawa Barat sebagai berikut : 1) program BPLM digulirkan pada bulan
Agustus 2004, dengan memberikan bantuan berupa 2 ekor sapi betina induk senilai
Rp 12.000.000,- dengan target waktu pengembalian 5 tahun, dan bunga 6% per tahun;
2) rata-rata skala usaha 2,73 UT yang terdiri dari 2,06 UT betina 0,36 UT sapi muda
dan 0,31 UT pedet; 3) calving interval yang di peroleh relatif panjang (15 bulan),
S/C ratio 2,12 dan masa kosong 4,5 bulan; dan 4) peternak baru bisa melunasi
pinjaman bantuan setelah 8 tahun. Hasil yang diperoleh Yuwono et al. (2006)
tentang program BPLM pada berbagai kelompok tani-ternak sapi potong di Jawa
Tengah meliputi : 1) pola perguliran dan kinerja reproduksi menunjukkan variasi
antar kabupaten, dan 2) pelaksanaan program masih belum didukung teknologi yang
memadai, sehingga pada pengembangan programan lebih lanjut perlu adanya pen-
damping teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak.
konvensional. Untuk dataran tinggi kepemilikan lahan >0.5 ha, pola usahatani solusi
optimal, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 197.2%. Untuk daerah
pegunungan kepemilikan lahan >0.5 ha, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan
sebesar 181.4% dari pola usahatani yang biasa dijalankan dibandingkan pola usaha-
tani konvensional (Boyon dan Arfa`i 1996).
Faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong ada-
lah; (1) permintaan pasar terhadap daging sapi yang semakin meningkat, (2) keter-
sediaan biomasa yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan cukup besar,
(3) tersedianya padang pangonan umum berupa savana, stepa dan tundra diluar Jawa,
(4) tersedianya pulau-pulau yang masih kosong ternak dan potensial untuk pengem-
bangan, dan (5) ketesediaan sumberdaya genetik ternak lokal yang sudah beradaptasi
sangat baik dalam lingkungan lembab tropis. Kendala dan peluang pengembangan
peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
strategi pengembangan sapi potong diwilayah tersebut (Diwyanto et al. 2005).
Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006), hambatan dalam pengembangan
peternakan sapi potong rakyat antara lain adalah produktivitas yang sangat rendah
yang ditunjukkan oleh : (1) kenaikan berat badan rendah berkisar 0,4 – 0,5 kg/ekor/hr,
(2) skala usaha kecil (berkisar 2 – 4 ekor/petani), (3) pola pemeliharaan masih
tradisional dengan input yang rendah (belum berorientasi ekonomi), dan (4) masih
terkonsentrasi di daerah padat penduduk (pulau Jawa dan Bali). Diwyanto dan
Priyanti (2006) melaporkan bahwa, ada beberapa kelemahan yang cukup mendasar
dalam pengembangan sapi potong antara lain ; sumberdaya manusia yang kurang
produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang mampu
mengadopsi teknologi inovatif serta sulit untuk mengembangkan kelembagaan dan
jaringan bisnis.
Menurut Yusdja et al. (2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun
2000 dan berakhir 2004 tidak berhasil, disebabkan oleh beberapa kendala antara lain :
(1) kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional
yang rinci, (2) program dan kegiatan yang dibuat bersifat top-down dan berskala kecil
dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, (3) strategi implementasi program
tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan,
(4) implementasi program dan kegiatan tidak memungkinkan pelaksanaan evaluasi
16
dampak program, dan (5) program dan kegiatan tidak secara jelas memberikan dam-
pak pada pertumbuhan populasi secara nasional.
pengawetan hijauan makanan ternak, (3) tambahan jumlah ternak sapi, (4) terjamin
tenaga kesehatan dan obat-obatan, (5) dapat menaksir berat sapi dan kuat dalam
pemasaran, dan (6) sinergi dengan program lain dalam otonomi kebijakan pemerintah
nagari. Ancaman berupa : (1) tidak stabilnya penyediaan bibit dan layanan IB, (2)
stabilitas penyediaan pakan jangka panjang, (3) tenaga kerja dan pengelola terampil
terbatas dengan teknologi sederhana, (4) antisipasi cuaca dan kerjasama dengan sta-
siun BMG tidak ada, (5) persaingan dari daerah lain, dan (6) aturan akses lahan milik
kaum/nagari. Untuk mengatasi masalah ini dirumuskan beberapa strategi pengem-
bangan berupa : (1) investasi/modal usaha terus dikembangkan, (2) memperkuat
kerjasama kelompok peternak sapi potong yang ada di kawasan, (3) peningkatan
keterampilan dan pengetahuan peternak, (4) peningkatan bargaining position peter-
nak dalam pemasaran, dan (5) diversivikasi lahan HMT.
Hasil penelitian Dedih (2002), tentang strategi pengembangan ternak sapi
berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di propinsi
Riau, menunjukkan bahwa, kekuatan yang dimiliki adalah : (1) sesuai dengan budaya
masyarakat, (2) tersedianya rumput dan limbah pertanian, (3) peternak yang terampil,
(4) daya dukung lahan, (5) letak geografis, dan (6) tersedianya teknologi IB. Namun
ada beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi berupa : (1) modal terbatas, (2)
produktivitas ternak sapi rendah, (3) bibit sapi (semen beku) tidak terlalu tersedia, (4)
sarana dan prasarana kurang, (5) usaha sambilan, dan (6) lokasi ternak menyebar.
Peluang yang ada berupa : (1) adanya otonomi daerah, (2) dukungan Pemda (kredit),
(3) konsumsi daging naik, (4) harga daging sapi tinggi, (5) pasar lokal dan ekspor,
dan (6) perkembangan teknologi. Ancaman yang dihadapi oleh pengembangan ter-
nak sapi berupa : (1) wabah penyakit menular, (2) produk luar/impor, (3) kondisi
POLKAM, (4) pemotongan ternak betina produktif, (5) berlakunya pasar bebas, dan
(6) pemulihan ekonomi. Rumusan strategi pengembangan adalah : (1) pengembang-
an sentra produksi budidaya ternak sapi, (2) melakukan pembinaan terpadu, (3)
membangun sarana dan prasarana usaha, (4) pengembangan sentra penggemukan
ternak sapi, (5) penyediaan modal usaha, dan (6) melakukan kerjasama regional dan
internasional. Supriyadi (2004), menambahkan aspek SDM dan teknologi sebagai
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan ternak sapi potong berbasis
agribisnis di kabupaten Indra Giri Hilir.
19
Secara keseluruhan, penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, tahap perta-
ma adalah melakukan identifikasi dan analisis potensi pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Tahap ke dua, analisis program pengem-
bangan usaha sapi potong. Tahap ke tiga, peningkatan produksi dan pendapatan
usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan limbah ternak.
Tahap ke empat, merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong yang dapat
diterapkan di kabupaten Lima Puluh Kota.
3.1 Tahap Satu; Identifikasi dan Analisis Potensi Pengembangan Usaha Sapi
Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi sumber-
daya alam dan sumberdaya manusia untuk pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota.
2. Populasi dan jenis ternak ruminansia (ST) yang ada pada masing-masing
kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota
3. Ketersediaan pakan berdasarkan proporsi lahan pertanian tanaman pangan,
perkebunan, dan limbah hasil pertanian yang dihasilkan dari luas panen (ton
Bahan kering/Ha/Th).
4. Ketersediaan tenaga kerja berdasarkan Rumah Tangga Peternak (RTP) usaha
sapi potong dan kemampuan untuk memelihara sapi potong (TKSP/Th).
Satu TKSP (tenaga kerja setara pria) : satu orang tenaga kerja pria dewasa
yang bekerja 8 (delapan) jam per hari. satu orang tenaga kerja wanita dewasa
sama dengan 0,8 TKSP dan satu orang tenaga kerja anak-anak sama dengan
0,5 TKSP.
LQ = Si / Ni
Keterangan :
Si : Rasio antara populasi ternak sapi potong (ST) wilayah tertentu dengan
jumlah penduduk diwilayah yang sama
Ni : Ratio antara populasi ternak sapi di kabupaten Lima Puluh kota dengan
jumlah penduduk di kabupaten yang sama
LQ > 1 merupakan daerah basis peternakan sapi potong
LQ < 1 merupakan daerah non basis peternakan sapi potong
5. KPPTR Efektif : KPPTR (SL), jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK)
6. KPPTR Efektif : KPPTR (KK), jika KPPTR (KK) < KPPTR (SL)
KPPTR Efektif ditetapkan sebagai kapasitas peningkatan populasi ternak ru-
minansia di suatu wilayah kecamatan tertentu, yaitu KPPTR (SL) atau KPPTR (KK)
yang mempunyai nilai lebih kecil atau dengan kata lain KPPTR yang berlaku sebagai
kendala efektif (binding constraint).
KPPTR untuk Kabupaten dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
n
7. KPPTR Ef, = Σ KPPTR Efi
i=1
i = 1, 2, 3 …………….n
jawaban ya, dan 1 untuk jawaban tidak). Total skor antara 41-50 menunjukkan
motivasi yang kuat, 31-40 menunjukkan motivasi cukup, kurang atau sama dengan 30
menunjukkan motivasi kurang dalam pengembangan usaha sapi potong.
Perilaku peternak yang diamati, terdiri dari pengetahuan, sikap dan keteram-
pilan beternak sapi sapi potong. Perilaku memiliki total skor antara 20 sampai 100
yang diperoleh dari 20 pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner (Lampiran 5).
Masing-masing jawaban memiliki skor antara 1 hingga 5 (skor 5 sangat setuju, 4
setuju, 3 ragu-ragu, 2 tidak setuju, 1 sangat tidak setuju). Total skor 81-100 menun-
jukkan perilaku baik, 61-80 menunjukkan perilaku cukup, 41-60 menunjukkan peri-
laku kurang, dan kecil atau sama dengan 40 menunjukkan perilaku sangat kurang.
Teknologi budidaya yang dinilai adalah dalam hal pembibitan, pakan, tata-
laksana pemeliharaan, dan pengendalian penyakit. Penguasaan teknologi budidaya
memiliki total skor antara 20 sampai 100 dari 20 pertanyaan yang diajukan dalam
kuesioner (Lampiran 5). Total skor antara 81-100 menunjukkan bahwa responden
menguasai teknologi budidaya, total skor 61-80 responden cukup menguasai tekno-
logi budidaya, total skor 41-60 kurang menguasai, dan total skor sama atau kurang
dari 40 tidak menguasai teknologi budidaya.
Untuk menghitung tingkat Penggunaan sumberdaya yang ada ditingkat petani
digunakan Program Linier (Linier Programming), model umum program linier dalam
penelitian ini (Agrawal dan Heady, 1972) sebagai berikut :
n
Maksimasi : Z = Σ Cj Xj, untuk j = 1, 2, 3, ……n
j=1
dimana :
Z : Pendapatan total usahatani (Rp)
Cj : Keuntungan yang diperoleh dari jenis tanaman ke j (Rp/ha)
Xj : Luas optimal dari jenis tanaman ke j.
Dengan syarat atau kendala :
m n
Luas lahan : Σ Σ a ij xj ≤ Ai
i=1 j=1
m n
Tenaga kerja : Σ Σ b ij xj ≤ Bi
i=1 j=1
25
m n
Modal : Σ Σ c ij xj ≤ Ci
i=1 j=1 dan xj ≥ 0 untuk j = 1, 2, 3, ….. n
dimana :
Ai : Luas lahan yang tersedia tiap keluarga (ha) pada musim tanam ke-i
Bi : Jumlah tenaga kerja tersedia pada bulan ke-i (HKP/bln)
Cj : Jumlah modal yang tersedia dalam satu musim/tahun
a ij : Koefisien input output luas lahan yang diusahakan
b ij : Kebutuhan tenaga kerja pada bulan ke 1 tanaman ke j (HKP/bln/ha)
C ij : Kebutuhan biaya pada bulan ke-i tanaman ke-j (Rp)
n : Banyaknya tanaman yang diusahakan
m : Banyaknya sumberdaya yang tersedia dan dibutuhkan
Dalam penelitian ini matrik dasar perencanaan linier secara garis besarnya
terdiri atas 3 komponen utama, yaitu :
(1) Vektor baris biaya produksi
(2) Vektor kolom aktivitas
- aktivitas produksi pola tanam tanaman pangan
- aktivitas produksi memelihara sapi potong
- aktivitas menyewa tenaga kerja
- aktivitas pembelian bibit dan sarana produksi
- aktivitas menjual hasil produksitanaman dan ternak
(3) Vektor lajur kendala sumber daya
- lahan dan sapi
- tenaga kerja
- modal
Total biaya usahatani adalah seluruh pengeluaran dalam usahatani, yaitu total
dari biaya tetap (Fixed Cost = FC) dan biaya variabel (Variable Cost = VC). Biaya
tetap adalah pengeluaran usahatani yang tidak tergantung pada besarnya produksi.
Biaya varabel adalah pengeluaran usahatani yang jumlahnya berubah sesuai dengan
besarnya produksi (misalnya bibit, pakan, obat-obatan).
n
VC = Σ Xi Pxi
i=1
Keterangan :
VC : Variable Cost
Xi : Input yang membentuk variable cost
Pxi : Harga input
i : 1, 2, 3, ….. n
n : macam input dari variable cost
satu kandang, yang terdiri dari tiga bagian untuk masing-masing perlakuan yaitu ;
T0 : diberikan 75% rumput gajah + 25% jerami padi (kontrol), T1 : diberikan
campuran 40% rumput gajah + 15% jerami padi fermentasi + 45% konsentrat, dan
T2 : pemberian campuran 20% rumput gajah + 35% jerami padi fermentasi + 45%
konsentrat.
Yij = µ + τi + έij
Keterangan :
Yij : Nilai pengamatan µ : Nilai tengah umum
τi : Pengaruh perlakuan έij : Komponen acak
TO T1 T2
1 Ulangan 1 Ulangan 1 Ulangan
2 Ulangan 2 Ulangan 2 Ulangan
3 Ulangan 3 Ulangan 3 Ulangan
4 Ulangan 4 Ulangan 4 Ulangan
VEi
VPi = ---------------
n
Σ VE
i=1
VPi = Vektor prioritas
Σ VBi
i =1
λ maxs = --------------
n
VA = Vektor antara
VB = Nilai eigen
λ maxs = Nilai eigen maksimum
4. Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
λ maxs - n
CI = ----------------
n–1
CI = Consistensi indeks
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus :
CI
CR = ------- ≤ 10%
RI
Keterangan : RI adalah indeks acak (Random Indeks)
Nilai CR yang lebih kecil atau sama dengan 0,10 merupakan nilai yang mem-
punyai tingkat konsistensi baik.
Pengolahan Vertikal. Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prio-
ritas setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan terhadap sasaran utama
(ultimate goal). Perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut :
s
CV ij = Σ CH ij (t, i –1) X
VW t (i-1)
t=1
Untuk : i = 1, 2, 3 …… p
j = 1, 2, 3, …... r
t = 1, 2, 3 ….... s
Keterangan :
CVij : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
sasaran utama
CH ij (t, i-1) : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1) yang diperoleh dari ha-
sil pengolahan horisontal
VW t (i-1) : Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1) terha-
dap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal.
P : Jumlah tingkat hirarki keputusan
r : Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
s : Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)
35
c. Sintesis Penilaian
Sintesis penilaian merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap
alternatif pada masing-masing kriteria.
n
bopi = ∑ boij * bc1
i=1
Analisis Matrik
SWOT
AHP
FGD
Program Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tabel 5 Luas kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan kecamatan dan jumlah
penduduk
No Kecamatan Jumlah Jumlah Luas Persentase
Penduduk (KK) wilayah (%)
(Jiwa) (Ha)
1 Gunung Ameh 12.348 3.640 15.654 4,67
2 Suliki 13.865 3.912 13.694 4,08
3 Bukit Barisan 21.471 6.911 29.420 8,77
4 Guguak 32.849 8.774 10.620 3,17
5 Mungka 22.553 5.837 8.376 2,49
6 Payakumbuh 29.161 6.894 9.947 2,96
7 Akabiluru 25.061 6.051 9.426 2,81
8 Luhak 23.472 6.390 6.168 1,85
9 Situjuah Limo Nagari 19.037 5.358 7.418 2,21
10 Lareh Sago Halaban 32.014 8.222 39.485 11,77
11 Harau 40.810 9.365 41.680 12,43
12 Pangkalan Koto Baru 26.924 6.399 71.206 21,23
13 Kapur Sembilan 25.592 5.922 72.336 21,56
Jumlah 325.157 83.675 335.430 100,00
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan kabupaten Lima Puluh Kota (2005)
38
Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berada pada sebaran
umur produktif yakni 19-55 tahun (41,11%). Hal ini menggambarkan penduduk
kabupaten Lima Puluh Kota cukup potensial untuk melaksanakan kegiatan pertanian.
Jumlah angkatan kerja di kabupaten Lima Puluh Kota sebesar 135.761 orang dari
jumlah penduduk yang ada, dengan rincian 119.492 orang bekerja dan 16.269 orang
40
pencari kerja (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2007). Terdapat berbagai lapangan
kerja seperti terlihat pada Tabel 9.
Terlihat bahwa sebanyak 52,85 persen masyarakat berusaha pada sektor pertanian
termasuk peternakan, petani umumnya melakukan kegiatan usahatani secara ter-
integrasi.
Tabel 11 Wilayah basis ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
No Kecamatan Nilai Lq
1 Luhak 3,7759
2 Lareh Sago Halaban 1,9083
3 Situjuah Limo Nagari 1,2081
4 Bukit Barisan 1,1829
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Sawah Pupuk
Kebun Pupuk
Mungka, Guguak, dan Payakumbuh) dan lebih didominasi oleh ternak unggas,
sedangkan kecamatan Harau merupakan daerah wisata dan penangkaran kupu-kupu
(Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota 2005).
Sebagian besar responden berusia produktif (25-45 tahun), disamping umur produktif
tingkat pendidikan formal turut mempengaruhi petani ternak dalam mengelola usa-
hanya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasannya semakin meningkat,
dengan demikian akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Sebagian besar
tingkat pendidikan responden adalah SLTP baik responden program maupun non
program, hal ini mengindikasikan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia
yang mengakibatkan rendahnya adopsi teknologi sebagai ukuran respon petani ternak
terhadap perubahan teknologi.
Beban yang ditanggung oleh keluarga seringkali tercermin dari banyaknya
anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Sebagian besar responden termasuk
kategori keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga 1-3 orang, hal ini menggam-
barkan besarnya curahan waktu yang bisa dialokasikan untuk usahatani-ternak.
46
Sebagian besar responden memilih bertani sebagai usaha pokok termasuk di-
antaranya sebagai buruh tani, sedangkan usaha sapi potong masih merupakan usaha
sambilan. Peternak telah memiliki pengalaman memelihara sapi potong lebih dari 10
tahun, hal ini menggambarkan bahwa peternak sudah terbiasa memelihara sapi
potong dan merupakan kekuatan yang sangat menunjang bagi pengembangan usaha
sapi potong dimasa datang.
Motivasi dan prilaku peternak sapi potong di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 15.
Tabel 15. Motivasi dan prilaku peternak peserta program dan non program
No Uraian Peserta (skor nilai) Non Peserta
Situjuh LSH Luak Rataan (skor nilai)
1 Motivasi 43,05 ± 1,23 43,06 ± 0,83 42,19 ± 2,23 42,79 ± 1,43 41,94 ± 1,56
2 Prilaku
- Pengetahuan 20,15 ± 4,98 21,88 ± 4,86 20,69 ± 4,21 20,87 ± 4,68 19,45 ± 4,78
- Sikap 31,75 ± 1,89 31,65 ± 3,02 31,88 ± 2,58 31,75 ± 2,50 31,84 ± 2,24
- Keterampilan 19,45 ± 1,93 19,88 ± 1,93 19,13 ± 1,82 19,49 ± 1,50 19,11 ± 1,65
- Total 75,35 ± 6,64 73,41 ± 5,76 71,69 ± 5,36 72,11 ± 5,92 70,33 ± 6,57
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
endometis ringan sampai berat yakni mencapai 60% dan gangguan reproduksi
sebanyak 40% dari ternak yang diperiksa. Keragaan reproduksi usaha sapi potong
program pengembangan disajikan pada Tabel 16.
frekuensi 2 kali per hari yakni pagi dan sore hari. Hijauan unggul ditanam oleh peter-
nak di lahan khusus dengan rata-rata luas kebun rumput 0,96 ha/peternak (Gambar 7),
konsentrat yang diberikan berupa dedak, dan ampas tahu. Dari gambaran di atas
terlihat bahwa petani-ternak sudah mulai memanfaatkan jerami padi untuk pakan
ternak akan tetapi belum banyak petani-ternak yang memberikannya, hal ini kare-
na hijauan pakan ternak masih tersedia dalam jumlah yang cukup dibandingkan
dengan ternak yang ada.
Rataan pupuk kandang yang dihasilkan per peternak sebesar 13.661,95 kg/th untuk
program dan 8.077,24 kg/th non program. Disini terlihat adanya kontribusi usaha
ternak sapi terhadap usahatani dari sumbangan pupuk kandang yang dihasilkan.
52
tidak tunai (68,63%) baru dilunasi 1 – 2 bulan kemudian, dan pembayaran secara
tunai (31,37%) dengan harga selalu lebih rendah dari harga pasar (selisih harga 400 –
500 ribuan per ekor), ini menggambarkan posisi tawar menawar peternak lemah dan
tidak efisiennya pemasaran produk peternakan sehingga pendapatan peternak menjadi
berkurang. Mekanisme pemasaran hasil ternak di daerah penelitian seperti terlihat
pada Gambar 10.
Berdasarkan struktur populasi ternak sapi terlihat bahwa sapi betina induk
menempati proporsi yang paling tinggi, kemudian diikuti oleh anak betina, anak
jantan, dan sapi dara. Sex ratio antara betina dan jantan adalah 5,84 dan 6,25
masing-masing untuk program dan non program. Informasi ini menggambarkan
bahwa daerah penelitian merupakan daerah pembibitan intensif, ditandai dari sex
ratio yang lebih besar dari 5,00 dan proporsi betina induk dalam struktur populasi
menempati proporsi yang lebih besar. Soetirto (1997) menyatakan bahwa, bila sex
ratio lebih besar dari 5,00 maka daerah yang bersangkutan dikategorikan sebagai
daerah pembibitan intensif, di samping indikator lain berupa besarnya proporsi sapi
induk dan pedet.
Berdasarkan struktur populasi ternak didaerah penelitian dapat disusun pro-
duktivitas sapi potong seperti terlihat pada Tabel 19.
Dari tabel di atas terlihat bahwa produktivitas ternak sapi peserta program BPLM
lebih baik dari pada peternak non program, hal ini terjadi karena pada peternak
peserta program sebelum dana bantuan diberikan peternak terlebih dahulu mendapat-
kan pelatihan tentang aspek teknis usaha sapi potong. Usaha peningkatan produk-
tivitas dapat dicapai melalui : (1) pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi
ternak bibit, dan (2) pendekatan kualitatif yakni peningkatan produktivitas per unit
ternak dengan cara memperbaiki efisiensi reproduksi melalui peningkatan angka
kelahiran, memperpendek jarak beranak (calving interval), dan mengoptimalkan
pengelolaan perkawinan/IB. Rataan pendapatan yang diperoleh dari usahaternak sapi
disajikan pada Tabel 20.
Pendapatan yang diperoleh peternak bervariasi diantara peternak peserta
program dan luas lahan yang dimiliki. Rata-rata pendapatan peternak program luas
lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha berturut-turut adalah sebesar Rp 765.311,83 dan Rp
878.768,58 per peternak per bulan. Rata-rata pendapatan peternak non program luas
55
yang memiliki luas lahan sawah > 1 Ha, dengan mempertimbangkan perbedaan
intensitas tanam pada lahan responden. Aktivitas pola tanam disajikan pada Tabel 22.
Pola tanam dominan pada lahan sawah di lokasi penelitian adalah padi-padi-
padi. Tanaman padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan pada tiga
musim tanam, hal ini berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang
menempatkan beras sebagai sumber makanan pokok. Musim tanam 1 (MT I) mulai
bulan Oktober dan panen pada bulan Januari, MT II dimulai pada bulan Februari dan
57
panen pada bulan Mei, dan MT III dimulai pada bulan Juni dan panen pada bulan
September. Untuk MT III petani-ternak telah mulai mengkombinasikannya dengan
tanaman palawija dan tanaman sayuran karena persediaan air yang terbatas pada
musim kemarau. Terdapat dua musim tanam untuk lahan tegalan yakni musim tanam
satu (MT I) dan musim tanam dua (MT II). Musim tanam satu didominasi tanaman
cabe (64,29 %), dan musim tanam dua didominasi oleh tanaman kacang tanah (50 %).
Untuk kebun rumput, semua peternak mengalokasikan sebagian lahan kering yang
dimiliki untuk tanaman rumput unggul sebagai pakan sapi potong.
sawah dua kali tanam per tahun, dan (2) lahan sawah tiga kali tanam per tahun.
Ketersediaan sumberdaya lahan responden disajikan pada Tabel 23.
Rataan luas sawah yang dimiliki peternak program kategori lahan ≤ 1 Ha dan
> 1 Ha masing-masing 0,57 Ha, 1,6 Ha ; 0,38 Ha, 2,31 Ha untuk peternak non
program. Rataan pemilikan kebun rumput gajah peternak program kategori lahan ≤ 1
Ha dan > 1 Ha tidak begitu berbeda, lain halnya dengan peternak non program
memiliki luas lahan kebun rumput yang berbeda antara kategori lahan ≤ 1 Ha dan > 1
Ha. Rataan luas lahan tegalan yang dimiliki masing-masing peternak tidak begitu
berbeda, yang digunakan untuk tanaman palawija dan sayuran dengan interval tanam
dua kali per tanun.
Produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan mengusahakan integrasi tanam-
an dan ternak dalam rangka pemanfaatan sumberdaya secara ekonomis dan optimal.
Tingginya frekuensi penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat memungkin-
kan penyediaan limbah pertanian sebagai sumber pakan bagi ternak sapi potong.
pemeliharaan ternak, dan kegiatan diluar usahatani-ternak. Rataan tenaga kerja yang
tersedia per bulan dapat dilihat pada Tabel 24.
Perbedaan aktivitas dan intensitas kerja petani pada setiap fase pertumbuhan
tanaman berdampak pada perbedaan waktu kerja. Curahan waktu kerja per bulan
untuk masing-masing kegiatan pada masing-masing kategori dijelaskan pada Tabel
26.
Tabel 26 Curahan tenaga kerja per bulan kegiatan usahatani dilokasi penelitian
Kategori MT I (HOK/Ha) MT II (HOK/Ha) MT III (HOK/Ha)
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
1.Prg ≤ 1 Ha
- Padi 7,95 11,35 6,81 6,81 7,95 11,35 6,81 6,81 7,95 11,35 6,81 6,81
- Cabe -- -- -- -- -- -- -- -- 6,83 9,75 5,85 5,85
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 8,93 12,75 7,65 7,65
- Jagung -- -- -- -- -- -- -- -- 7 10 6 6
- R gajah 11,43 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75 6,75
- Cabe 8,2 11,72 7,03 7,03 8,2 11,72 7,03 7,03 -- -- -- --
- KT 7,58 10,83 6,5 6,5 7,58 10,83 6,5 6,5 -- -- -- --
- Jagung 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 -- -- -- --
Total 40,41 48,15 31,59 31,59 35,73 48,15 31,59 31,59 37,46 50,6 33,06 33,06
2.Prg > 1 Ha
- Padi 22,96 32,8 19,68 19,68 22,96 32,8 19,68 19,68 22,96 32,8 19,68 19,68
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 22,4 32 19,2 19,2
- R gajah 10,08 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96 5,96
- Cabe 8,75 12,5 7,5 7,5 8,75 12,5 7,5 7,5 -- -- -- --
- KT 14 20 12 12 14 20 12 12 -- -- -- --
- Jagung 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
Total 59,29 76,26 48,14 48,14 55,17 76,26 48,14 48,14 51,32 70,76 44,84 44,84
3.NP ≤ 1 Ha
- Padi 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5
- Cabe -- -- -- -- -- -- -- -- 4 5,72 3,43 3,43
- KT -- -- -- -- -- -- -- -- 6,3 9 5,4 5,4
- Jagung -- -- -- -- -- -- -- -- 5,25 7,5 4,5 4,5
- R gajah 6,6 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 3,9 6,75 6,75 6,75 6,75
- Padi 7 10 6 6 7 10 6 6 -- -- -- --
- Cabe 5,5 7,85 4,71 4,71 5,5 7,85 4,71 4,71 -- -- -- --
- KT 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
- Jagung 4,43 6,33 3,8 3,8 4,43 6,33 3,8 3,8 -- -- -- --
Total 32,28 40,58 25,91 25,91 29,58 40,58 25,91 25,91 27,55 36,47 24,58 24,58
4.NP > 1 Ha
- Padi 32,33 46,19 27,71 27,71 32,33 46,19 27,71 27,71 32,33 46,19 27,71 27,71
- R gajah 10,88 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43 6,43
- Cabe 5,25 7,5 4,5 4,5 5,25 7,5 4,5 4,5 -- -- -- --
- KT 3,5 5 3 3 3,5 5 3 3 -- -- -- --
- Jagung 4,67 6,67 4 4 4,67 6,67 4 4 -- -- -- --
Total 56,63 71,79 45,64 45,64 52,18 71,79 45,64 45,64 38,76 52,62 34,14 34,14
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
61
Data tersebut menunjukkan bahwa untuk peternak program, tidak semua tenaga kerja
keluarga yang tersedia termanfaatkan untuk kegiatan usahatani luas lahan ≤ 1 Ha.
Artinya tenaga kerja keluarga yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk tambahan
kegiatan usahatani sekitar 2,69-39,25 persen dari kegiatan usahatani yang ada, begitu
juga halnya dengan usahatani non-program kepemilikan lahan ≤ 1 Ha. Untuk
usahatani program dan non-program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha hampir semua
tenaga kerja keluarga yang tersedia dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani. Bahkan
pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Oktober, November, Februari, Maret, dan
Juli, tenaga kerja upahan diperlukan karena meningkatnya aktivitas usahatani seperti
pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan panen. Persentase tertinggi penggu-
naan tenaga kerja luar keluarga adalah untuk pengolahan lahan, penanaman, pe-
nyiangan, dan panen.
4.2.4.5 Modal.
Modal yang tesedia berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal
pinjaman (kredit). Modal pinjaman hanya ada pada usahatani-ternak program BPLM
sedangkan usahatani-ternak non program tidak memperoleh modal pinjaman.
Perhitungan modal sendiri dilakukan dengan cara menghitung rata-rata tingkat pen-
dapatan rumah tangga petani-ternak selama satu tahun. Data yang diperoleh menun-
jukkan bahwa rata-rata modal yang tersedia untuk usahatani-ternak program kepe-
milikan lahan ≤ 1 Ha dan > 1 Ha sebesar Rp 7.200.362,67 dan Rp 9.749.149,33 per
musim tanam. Sedangkan untuk usahatani-ternak non program adalah sebesar Rp
4.852.035,- dan Rp 11.767.449,38 per musim tanam, biaya produksi per Ha lahan
disajikan pada Tabel 27.
diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode
tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman cabe periode satu kali (MT3) per tahun, dan
PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali
per tahun. Usahatani program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha, pendapatan tertinggi
diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode
tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman kacang tanah periode satu kali (MT3) per
tahun, dan PT6 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman kacang tanah
periode tanam dua kali per tahun. Usahatani non-program kepemilikan lahan sawah
≤ 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT3 yakni lahan sawah yang ditanami
dengan tanaman padi periode tanam dua kali (MT1, MT2), tanaman kacang tanah
periode satu kali (MT3) per tahun, dan PT7 yakni lahan tegalan yang ditanami dengan
tanaman cabe pada MT1 kacang tanah pada MT2. Usahatani non-program kepemi-
likan lahan sawah > 1 Ha, pendapatan tertinggi diperoleh pada PT2 yakni lahan
sawah yang ditanami dengan tanaman padi periode tanam tiga kali per tahun, dan PT4
yakni lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman cabe periode tanam dua kali per
tahun.
Model lengkap analisis tingkat usahatani-ternak di daerah penelitian disajikan
pada Lampiran 2h sampai 2w.
kepemilikan ternak yang ada sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pola usahatani-
ternak solusi optimal memberikan pendapatan maksimal bagi petani-ternak.
Memelihara ternak merupakan aktivitas basis untuk semua kategori usahatani-
ternak dan juga menjadi solusi optimal pada model analisis usaha yang dikembang-
kan. Hal ini terjadi karena aktivitas tersebut tidak bersaing dengan aktivitas lain
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan. Dengan demikian usaha ternak sapi merupa-
kan usaha yang dapat dikembangkan secara bersamaan dan saling mendukung
(terintegrasi) untuk memperoleh pendapatan maksimal.
Aktivitas lain yang juga menjadi aktivitas basis dalam pola usahatani-ternak
optimal adalah menyewa tenaga kerja dari luar terutama pada usahatani-ternak
program dan non program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha pada bulan Oktober-
November (MT I), Februari-Maret (MT II), dan Juli (MTIII). Hal ini terjadi karena
meningkatnya aktivitas usahatani-ternak pada bulan tersebut dan terbatasnya tenaga
66
kerja yang tersedia dalam keluarga, sehingga digunakan tenaga kerja upahan untuk
menutupi kekurangan tenaga kerja keluarga.
MT I MT II MT III
MT I MT II MT III
MT I MT II MT III
MT I MT II MT III
Gambar 14 Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah > 1 Ha
67
Lahan yang tersedia seluruhnya dapat di alokasikan pada pola optimal. Untuk
lahan sawah musim tanam pertama (MT I) dan ke dua (MT II), tanaman padi merupa-
kan tanaman yang direkomendasikan untuk diusahakan pada pola usahatani-ternak
solusi optimal. Untuk musim tanam ke tiga (MT III) bervariasi antara Padi, Cabe,
dan Kacang Tanah (KT). Lahan hijauan makanan ternak ditanami dengan rumput
gajah secara periodik 1-2 tahun sekali, untuk tegalan ditanami dalam dua musim
tanam, dan bervariasi antara Cabe dan Kacang tanah.
Tenaga kerja keluarga. Penggunaan sumberdaya tenaga kerja keluarga pada
pola usahatani-ternak solusi optimal disajikan pada Tabel 29. Pada pola usahatani
solusi optimal tidak semua tenaga keluarga yang tersedia dapat dialokasikan dalam
usahatani-ternak, kecuali usahatani-ternak program luas lahan > 1 Ha terdapat ke-
kurangan tenaga kerja pada musim tanam satu (MT I), musim tanam dua (MT II),
musim tanam tiga (MT III), dan non program luas lahan > 1 Ha musim tanam satu
(MT I), musim tanam dua (MT II), dan harus dicarikan dengan menyewa tenaga kerja
luar keluarga.
Input Produksi. Input produksi yang dipertimbangkan meliputi penggunaan
bibit tanaman, pupuk an-organik, dan pupuk organik. Penggunaan input produksi
pada pola optimal disajikan pada Lampiran 2x dan 2y.
68
Hampir semua input produksi yang disediakan oleh petani terpakai pada pola
usahatani solusi optimal, ini menggambarkan bahwa pada pola ini penggunaan input
cenderung lebih efisien dibandingkan pola yang dijalankan oleh petani.
Modal. Penggunaan modal pada pola solusi optimal usahatani-ternak disaji-
kan pada Tabel 30. Berdasarkan data pada Tabel 30 modal sendiri yang dimiliki
petani-ternak tidak seluruhnya dialokasikan pada masing-masing pola optimal,
kecuali untuk usaha sapi bibit, karena modal pinjaman dapat dialokasikan seluruhnya
pada pola optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk usahatani sapi bibit sum-
berdaya modal merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan untuk menjalankan
usaha sapi potong.
Usahatani-ternak yang dijalankan oleh petani telah mengurangi input dari luar,
karena tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Input berupa sarana produksi sedapat
mungkin diperoleh dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait, pupuk
organik dari limbah ternak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk lahan pertanian
dan kebun rumput. Sebagian petani telah memanfaatkan sisa hasil tanaman untuk
ternak, rumput unggul yang sengaja ditanam dilahan khusus dengan memanfaatkan
tenaga kerja keluarga yang ada. Pola usaha yang telah diterapkan tersebut, sudah
menggambarkan usahatani dengan System Low External Input Sustainable Agricul-
ture (LEISA).
69
jumlah konsumsi. Setelah dilakukan uji lanjut menggunakan uji berjarak Duncan
(Lampiran 3d), perlakuan T1 T2 nyata berbeda dengan perlakuan T0, sedangkan antara
perlakuan T2 dan T1 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Meningkatnya
level jerami fermentasi yang digunakan dapat menurunkan kandungan serat kasar,
sehingga meningkatkan daya cerna ransum.
Hasil analisis keragaman (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa antar perlakuan nyata
berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan (P<0,01), pertambahan bobot badan
berkisar antara 0,61 – 0,84 kg/ekor/hr. Berbedanya pertambahan bobot badan antar
perlakuan disebabkan oleh konsumsi bahan kering ransum yang juga berbeda. Per-
tumbuhan ternak menurut Tillman et al. (1991), dipengaruhi oleh konsumsi bahan
kering dan total konsumsi protein per harinya. Konsumsi juga dipengaruhi oleh
kecernaan makanan, apabila kecernaan meningkat maka konsumsi juga akan mening-
kat. Hasil penelitian Bulo et al. (2004), pemberian jerami padi fermentasi mengguna-
kan starbio terhadap sapi PO menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,63
kg/ekor/hr, jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini pertambahan bobot badan
yang didapat pada penelitian ini lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh karena
kandungan zat makanan yang digunakan berbeda dan respon sapi PO terhadap jenis
pakan yang diberikan juga berbeda.
Hasil uji lanjut (Lampiran 3d) memperlihatkan bahwa perlakuan T1 dan T2
berbeda nyata dengan perlakuan To, sedangkan perlakuan T1 tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata dengan perlakuan T2.
75
Hasil analisis keragaman (Lampiran 3g) menunjukkan jumlah feses yang di-
hasilkan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing perlakuan. Rata-rata
produksi feses sebesar 17,77 kg/ekor/hr dalam keadaan basah (Bahan kering 19,25%).
Pengolahan feses menggunakan probion melalui proses sebagai berikut ; 1 ton
feses basah menghasilkan 554 kg kompos siap pakai (rendemen 55%), diperlukan
biaya tambahan sebesar Rp 80.500,-/ton feses basah. Harga jual pupuk organik yang
telah diolah sebesar Rp 1.500 per kg (harga pupuk organik yang belum diolah Rp 40
per kg), sehingga diperoleh tambahan pendapatan dari pengolahan pupuk organik
menggunakan probion sebesar Rp 831.000 per ton feses (Lampiran 3h).
Berdasarkan potensi dan ketersediaan sapi potong di kabupaten Lima Puluh
sebanyak 57.236 ekor (rata-rata produksi feses 17,77 kg dan rendemen 55%) diper-
kirakan mampu memproduksi pupuk organik sebanyak 204.181 ton/thn dan dapat
digunakan untuk memupuk lahan tanaman seluas 102.090,5 Ha/thn (dosis pupuk
organik 2 ton/Ha/musim). Oleh karena itu prospek pengembangan sapi potong seba-
gai penghasil pupuk organik ditingkat petani-ternak sangat berpeluang.
Dengan melakukan integrasi antara usahatani tanaman dan ternak pendapatan petani-
ternak dapat ditingkatkan. Artinya pengolahan jerami padi melalui proses fermentasi
untuk pakan ternak, dan melakukan pengolahan pupuk organik menggunakan
probion, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69 per ekor per
bulan.
4.4 Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
4.4.1 Metode Pendekatan Sistem
Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan
yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-
kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap
efektif (Eriyatno, 2003). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal
yaitu ; (1) mencari semua faktor penting yang ada, dalam mendapatkan solusi yang
baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuatkan suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan rasional.
Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteris-
tik yaitu ; (1) kompleks (interaksi antar elemen cukup rumit); (2) dinamis (ada faktor
yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan kemasa depan); (3) probalistik
(diperlukannya fungsi peluang) dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang
sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut :
analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, verifikasi model dan
implementasi. Secara diagramatik tahapan analisis system disajikan pada Gambar 15.
Relevensi konsep ini dengan daerah yang diteliti merupakan suatu landasan
pemikiran mengenai komponen pembangunan struktur pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu penggunaan lahan dan fungsi-fungsinya,
aktivitas usaha sapi potong, serta perkembangan usaha sapi potong. Ketiga variabel
tersebut merupakan variabel pendukung (Variable State) dalam membangun model
konseptual, kemudian ditentukan variabel lainnya (non-state) yang meliputi variabel
penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary) dan variabel tetap (constant) yang
melengkapi suatu model.
Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat
kemudan ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan
tersebut dapat ditentukan apakah hubungan bersifat positif atau negatif, dengan
78
demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal lop) untuk semua variabel
dalam pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Identifikasi sistem
dengan diagram lingkar sebab akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun
konsep kotak gelap (black box) dengan input output. Diagram input output mempre-
sentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki
Mulai A
SISTEM PENGEMBANGAN
USAHA SAPI POTONG
MANAJEMEN PENGENDALIAN
USAHA SAPI POTONG
sapi potong asal Sumatera Barat); (2) terdapatnya wilayah basis ternak sapi potong
yang tersebar di empat kecamatan yakni kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban,
Situjuah Limo Nagari dan Bukit Barisan; (3) tingginya nilai kapasitas peningkatan
populasi ternak ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga kerja yang
tersedia; (4) ternak sapi potong dipelihara dalam suatu sitem yang terintegrasi dengan
usahatani tanaman sehingga optimalisasi penggunaan sumberdaya masih memungkin-
kan untuk ditingkatkan; (5) peternak sapi potong tergabung dalam suatu lembaga
kelompok peternak yang berusaha dibidang perbibitan; (6) telah berfungsinya BIB-
Daerah Tuah Sakato di Kabupaten Lima Puluh Kota yang menunjang ketersediaan
bibit untuk pengembangan; dan (7) kebijakan pemerintah yang mendukung perkem-
bangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.
4.4.3 Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Berdasarkan hasil penelitian tahap satu, dua, tiga, dan untuk mempercepat
pengembangan usaha sapi potong dalam rangka menunjang swasembada daging sapi
potong maka disusun model pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh
Kota sebagai berikut :
bersama dengan anggota kelompok, dan (7) bersama dengan anggota kelompok ikut
melakukan kegiatan budidaya ternak sapi potong. Pendamping bekerja secara
professional, untuk tahun pertama mendapat honor dari pemerintah dan tahun
berikutnya dari perkembangan usaha yang dijalankan.
Kegiatan Uraian
a. Bibit
1. Agribisnis Hulu
- Sumber bibit dari anggota dan dari luar kelompok yang
dibeli (koordinasi antara pengurus, pendamping/instansi
terkait
b. Sarana produksi dan obat-obatan
- Sarana produksi dikelola kelompok melalui unit koperasi
kelompok
- Sumber penyediaan obat-obatan kordinasi dengan petugas
keswan dan koperasi kelompok
a. Lahan
2. Usaha Budidaya
- Lahan disediakan oleh kelompok
- Luas kandang dan lahan kebun rumput disesuaikan dengan
kebutuhan
b. Skala Usaha disesuaikan dengan perkembangan usaha, tahap
awal 40-50 ekor induk betina
c. Perbibitan
- Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock
- Culling terhadap induk yang tidak produktif
- Recording dilakukan secara teratur
d. Pembuatan kandang
- Lokasi aman dari banjir, longsor, maling
- Pemilihan bahan kandang kuat, murah, dan tersedia
dilokasi
- Biaya pembuatan kandang dari bantuan pemerintah dan
swadaya anggota
e. Pakan
- Lahan hijauan ditanami dengan hijauan unggul
- Limbah tanaman berupa jerami diolah (fermentasi) dan
disimpan sebelum digunakan
f. Penyakit
- Penanganan penyakit dan vaksinasi kordinasi dengan
petugas kesehatan hewan
g. Inseminasi Buatan
- Pelaksanaan IB kordinasi dengan petugas IB swasta atau
mandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih
3. Agribisnis Hilir a. Panen dan Pasca panen
- Penjualan ternak berupa bakalan, ternak siap potong
- Pengolahan limbah ternak dilakukan oleh kelompok usaha
dan tambahan hasil yang diperoleh menjadi tambahan
pendapatan kelompok usaha
b. Pemasaran, dilakukan oleh kelompok
4. Jaringan Kelembagaan Kerjasama kelompok berupa kemitraan dengan Swasta
Perguruan Tinggi dan lembaga/instansi lain
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
Hasil analisis faktor internal menunjukkan nilai positif, hal ini berarti wilayah
kabupaten Lima Puluh kota mempunyai kekuatan yang lebih menonjol dari pada
kelemahan, dengan kekuatan terbesar terletak pada adanya wilayah basis sapi potong
dan daya dukung lahan untuk pengembangan usaha sapi potong. Kelemahan berupa
bargaining positon peternak rendah, dan beternak sebagai usaha sambilan.
Hasil analisis faktor eksternal (Tabel 41) menunjukkan nilai positif, dan
peluang lebih besar dari ancaman. Peluang terbesar diperoleh karena adanya Balai
Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D) Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota dalam
menghasilkan bibit, dan dukungan pemerintah. Terdapat beberapa ancaman yang
perlu diperhatikan yakni gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, serta pemo-
tongan ternak betina produktif.
dengan peringkat 5 dalam matrik SWOT dijadikan altenatif strategi dalam menyusun
hirarki. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dari analisis dan fokus pada satu
sasaran strategi.
Dalam menyelesaikan permasalahan menggunakan PHA dilakukan dengan
teknik komparasi berpasangan terhadap elemen yang dibandingkan, sehingga mem-
bentuk matrik n x n. Nilai yang diberikan berada pada skala pendapat atau skala
dasar ranking. Terhadap hasil penilaian dilakukan analisis horizontal untuk melihat
tingkat konsistensi pendapat individu, rasio konsistensi yang memenuhi adalah ≤ 0,1.
Setelah dilakukan analisis seperti terlihat pada Lampiran 4, maka diperoleh hasil
analisis seperti disajikan pada Gambar 17.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa prioritas strategi pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota berturut-turut adalah : 1) peningkatan
modal usaha (49,70%), 2) penerapan teknologi tepat guna berbasis petani (25,52%),
3) menciptakan kawasan sentra pembibitan sapi potong (12,72%), 4) peningkatan
efisiensi usaha (6,20%), dan 5) optimalisasi fungsi kelompok (3,61%).
1. Peningkatan Modal Usaha
Peningkatan modal usaha menjadi prioritas pertama untuk pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Masih terbatasnya kemampuan
peternak dalam mengakses modal usaha, terbatasnya bantuan pemerintah melalui
penguatan modal kelompok, sementara itu sumberdaya yang dimiliki oleh petani-
ternak masih memungkinkan untuk pengembangan usaha sapi potong. Oleh
karena itu diperlukan tambahan modal usaha berupa bantuan modal dengan
kredit lunak melalui penguatan modal kelompok seperti program Sarjana
Membangun Desa (SMD), Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)
dan sumberdana lain melalui kelompok-kelompok yang ada. Dengan ketersedia-
an modal usaha yang murah dan mudah, akan memacu usaha pembibitan sapi
potong dengan cara penambahan skala kepemilikan ternak dan jumlah peternak
yang bergerak dibidang pembibitan sapi potong.
2. Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak
Penerapan teknologi tepat guna berbasis petani-ternak berupa budidaya repro-
duksi, teknologi pakan dan pengolahan limbah, menjadi prioritas ke dua untuk
pengembangan usaha sapi potong. Sebagai pengelola petani-ternak dituntut
untuk mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi yang dibutuhkan untuk
87
4 3 1 2 5
II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran
(0,067) (0,134) (0,494) (0,268) (0,0368)
III =
4 2 3 1
L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait
(0,0317) (0,2515) (0,1198) (0,5997)
IV=
1 2 5 3 4
Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan
Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan kualitas bibit
(0,4921) (0,2589) (0,0345) (0,1305) (0,0662)
V=
1 4 2 3 5
Modal Efisiensi Penerapan Kawasan sentra Fungsi
Usaha Usaha Teknologi Pembibitaan Kelompok
(0,4970) (0,0620) (0,2552) (0,1272) (0,0361)
Keterangan :
I = Fokus : Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di kabupaten Lima Puluh Kota
II = Kriteria : Pakan = Pemberian pakan
Bibit = Bibit yang digunakan
Tatalaksana = Tatalaksana pemeliharaan
Penyakit = Pengendalian penyakit
Pemasaran = Pemasaran hasil
III = Aktor/Pelaku: L-Keu = Lembaga keuangan
L-Swt = Pengusaha swasta
88
Peternak= Peternak
Instansi = Instansi teknis terkait
IV = Sasaran : Perluasan usaha = Perluasan usaha sapi potong
Produksi dan produktivitas = Peningkatan produksi dan produktifitas
Optimalisasi sumberdaya = Optimalisasi penggunaan sumberdaya
Peningkatan pendapatan = Peningkatan pendapatan peternak
Perbaikan kualitas bibit = Perbaikan kualitas bibit sapi potong
V = Alternatif : Modal usaha = Peningkatan modal usaha
Strategi Efisiensi usaha = Meningkatkan efisiensi usaha
Penerapan teknologi = Penerapan teknologi tepat guna
Kawasan sentra pembibitan = Membuat kawasan sentra pembibitan
Fungsi kelompok = Mengoptimalkan fungsi kelompok
b. Penyusunan model kawasan usaha, kegiatan ini dapat dilaksanakan satu kali
dalam satu tahun anggaran.
c. Pembangunan fasilitas kawasan usaha, selama lima tahun anggaran diharap-
kan dapat dibangun sebanyak 4 unit kawasan agribisnis, dan dilaksanakan di
kecamatan Luhak, Lareh Sago Halaban, Situjuh Limo Nagari, dan kecamatan
Bukit Barisan.
d. Penetapan standar mutu produk yang akan dihasilkan sebagai pedoman dalam
melaksanakan kegiatan usaha sapi potong, terutama dalam sub-sistem pema-
saran komoditi ternak. Kegiatan ini dapat dilaksanakan satu kali selama satu
tahun anggaran.
e. Promosi produk yang dihasilkan, dengan tujuan untuk memperluas permintaan
pasar. Kegiatan ini dapat dilaksanakan lima kali selama lima tahun anggaran
dan dilaksanakan di dalam maupun di luar wilayah kabupaten Lima Puluh
Kota.
6. Pengembangan kualitas bibit dengan satu kegiatan yakni peningkatan mutu gene-
tik sapi lokal melalui bioteknologi, IB dan embrio transfer. Kegiatan ini dapat
dilakukan selama satu tahun anggaran dan dilakukan di kecamatan Luhak, Lareh
Sago Halaban, dan kecamatan Situjuh Limo Nagari.
7. Pengembangan pakan ternak sapi potong dengan tiga kegiatan sebagai berikut:
a. Menjalin kemitraan dengan feed lotter seperti yang dikembangkan di daerah
Lampung dan Probolinggo. Terjalinnya hubungan antara peternak dengan
feed lotter dalam penyediaan pakan dan pengolahan limbah industri. Kegiatan
ini dilakukan setiap tahun anggaran.
b. Pengembangan Complete feed berbasis bahan baku lokal. Bahan baku pakan
lokal dapat dikembangkan sebagai sumber pakan ternak terutama untuk me-
menuhi kebutuhan pakan dimusim kemarau. Kegiatan ini dapat dilakukan satu
kali dalam satu tahun anggaran.
c. Pengembangan pola integrasi tanaman-ternak (ILS). Dengan pengembangan
pola integrasi tanaman-ternak, limbah usahatani tanaman dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak dengan menggunakan teknologi pengolahan pakan sehing-
ga ketersediaan pakan dimusim kemarau lebih terjamin. Kegiatan ini dapat
dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran.
93
efektifitas. Kegiatan ini dapat dilakukan lima kali selama lima tahun ang-
garan, dengan lokasi di dalam maupun diluar wilayah kabupaten Lima Puluh
Kota.
4.4.8 Implementasi Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Prioritas strategi yang terpilih memerlukan implementasi program dan kegiat-
an dalam pelaksanaannya. Di dalam implementasi program dan kegiatan akan terlihat
dengan jelas sasaran yang ingin dicapai dan pelaku kegiatan. Untuk lebih jelasnya
implementasi program dan kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan usaha sapi
potong di kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 43.
sapi potong yg genetik sapi lokal litas bibit sapi lo- Dinas, dan
baik melalui Bioteknolo- kal PT
gi, IB dan Embrio
transfer
7. Pengembangan - Menjalin kemitraan - Kemitraan antara - Instansi,
teknologi pakan dengan feed lotter kelompok dan Dinas terkait
sapi potong feed lotter dlm pendamping
penyediaan pakan
- Pengembangan - Dihasilkan bahan - Instansi ,
complete feed berba- pakan lokal alter- Dinas, Pen-
sis bahan baku local natif damping, PT
- Pengembangkan - Limbah pertanian - Instansi,
pola ILS dapat dimanfaat- Dinas,
kan sebagai pakan Pendamping
ternak dan PT
8. Pengendalian pe- - Pengawasan kese- - Ternak yang ter- - Instansi,
nyakit reproduksi hatan ternak secara infeksi dapat di dinas Kes-
dan kesehatan ter- rutin ketahui lebih wan, pen-
nak awal dan tindakan damping
lebih lanjut
- Karantina yang ketat - Pencegahan ma- - Dinas karan-
sebelum tenak di suknya penyakit tina hewan
sebar kemasyarakat berbahaya
4 Peningkatan 9. Optimalisasi - Optimalisasi peng- - Peningkatan - Kelompok,
efisiensi usaha penggunaan sum- gunaan sumberdaya pendapatan petani Pembina
berdaya di tingkat petani ter- ternak
nak
- Optimalisasi usaha- - Peningkatan - Kelompok,
tani-ternak dengan pendapatan petani Pembina
motede ILS ternak
10. Peningkatan sara- - Inventarisasi sarana - Penentuan ke- - Kelompok,
na dan prasarana dan prasarana pendu- butuhan sarana Pembina,
pendukung kung dan prasarana Dinas terkait
- Pembangunan dan - Tersedianya dan - Kelompok,
pemeliharaan sarana terpeliharanya sa- Pembina dan
dan prasarana rana prasarana Dinas terkait
5 Optimalisasi fungsi 11.Pembinaan ke- - Pembinaan kelem- - Terciptanya ke- - Intansi Dinas
kelompok lompok bagaan lompok yg man- terkait, pen-
diri dan berke- damping
lanjutan
- Pengembangan - Terciptanya ke- - Instansi ter-
kemitraan lompok yg bisa kait, Mitra,
menjalin kemitaan pendamping
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2009)
96
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Wilayah kabupaten Lima Puluh Kota memiliki potensi pengembangan usaha
sapi potong, yang didukung oleh : (a) tingginya Kapasitas Peningkatan
Pengembangan Ternak Ruminansia berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga
kerja keluarga sebesar 25.481 ST, (b) terdapatnya basis ternak sapi potong di
empat kecamatan (Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, dan
Bukit Barisan), (c) telah berfungsinya Balai Inseminasi Buatan (BIB-Daerah)
Tuah Sakato dalam menghasilkan bibit, (d) kebijakan dari pemerintah untuk
pengembangan sapi potong, dan (e) penerapan teknologi pakan pendapatan
peternak
2. Kelemahan dan ancaman yang dihadapi peternak dalam pengembangan sapi
potong berupa ; (a) pola beternak bersifat usaha sambilan, (b) sistem
pemasaran belum memadai, (c) gangguan reproduksi dan kesehatan ternak,
dan (d) tingginya pemotongan ternak betina produktif.
3. Strategi yang direkomendasikan dapat digunakan untuk pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota adalah ; (a) peningkatan modal
usaha melalui pemberian kredit lunak pada masyarakat peternak; (b) pene-
rapan teknologi tepat guna berbasis petani dalam manajemen pemeliharaan,
budidaya reproduksi, dan pengolahan limbah ternak; (c) pengembangan
kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengembangan sistem
kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat pencapaian
swa-sembada daging sapi; (d) peningkatan efisiensi melalui peningkatan skala
usaha dari 5 ekor menjadi 10 ekor induk per peternak; dan (e) optimalisasi
fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi, penerapan manajemen
yang transparan, dan pendampingan yang intensif.
4. Program yang dapat dilaksanakan terdiri dari; penguatan modal usaha, men-
jalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dibidang pemasaran, penguat-
an lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan
pelatihan pada peternak, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan
sentra pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok, penyediaan bibit
97
5.2 Saran
Untuk mempercepat pengembangan usaha sapi potong berkelanjutan disaran-
kan beberapa hal berikut :
1. Terbentuknya kelompok peternak dengan manajemen yang memadai disertai
pendampingan dari dinas terkait.
2. Penyediaan bibit unggul lokal dari hasil perkawinan dan seleksi yang terarah
dan terencana dari pemerintah untuk masyarakat.
3. Kebijakan pemerintah dalam permodalan bagi petani.
4. Kerjasama kemitraan untuk meningkatkan pemasaran.
5. Pemeliharaan sapi dilakukan dalam suatu kandang kelompok pada suatu
kawasan yang terintegrasi dengan usahatani lainnya (Integrated Farming
System) untuk mengoptimalkan pemanfatan sumberdaya lokal, pemanfaatan
limbah untuk biogas dan pupuk organik, disamping produk utama sebagai
penghasil daging.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal RC, Heady EO. 1972. Operation Research Method for Agricultural
Decetion. Iowa Ames: The Iowa University Press.
Amir P, Knipscheer HC, Boer Jde. 1985. Economic analysis on-farm livestock
trials. Winrock International Institute for Agricultural Development and
International Development Research Centre. Working paper No. 63.
Atmaja JM, Atmadilaga D. 1980. Peranan ternak ruminansia dalam memperluas
kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga tani. Suatu studi
di daerah pengairan Jati Luhur. Di dalam ; Proceeding Seminar Ruminansia
II. Puslitbangnak. Bogor, Th 1980.
Basuno E, Suhaeti RN, 2007. Analisis bantuan pinjaman langsung masyarakat
(BPLM) : Kasus pengembangan usaha ternak sapi potong di provinsi
Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian 5 (2) : 150-156
[BPS Kab. Lima Puluh Kota] Biro Pusat Statistik, Kabupaten Lima Puluh Kota.
2007. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Payakumbuh; Kerjasama
Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh Kota.
[BPS Kab. Lima Puluh Kota] Biro Pusat Statistik, Kabupaten Lima Puluh Kota.
2005. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Payakumbuh; Kerjasama
Bappeda dan BPS Kabupaten Lima Puluh Kota.
[BPS Sumbar] Biro Pusat Statistik, Sumatera Barat. 2007. Sumatera Barat Dalam
Angka. Padang ; Kerjasama Bappeda Tk I dengan BPS Propinsi Sumatera
Barat.
Boyon, Arfa’i. 1996. Potensi ekonomi ternak sapi potong dalam sistem usahatani
pada berbagai topografi lahan di kabupaten Agam, Sumatera Barat [laporan
penelitian]. Padang ; Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Bulo D, AN Kairupan, FF Munier, TP Rumayar, Saidah. 2004. Integrasi sapi
potong pada lahan sawah irigasi di Sulawesi Tengah. Di dalam ; Prosiding
Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22
Juli 2004. hlm 155-161.
David F R. 2002. Manajemen Strategis Konsep. Edisi ke tujuh. Pearson
Education Asia Pte. Ltd. Dan PT Prenhallindo, Jakarta.
Dedih H, 2002. Strategi pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnia dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan di propinsi Riau [tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[Dinpet Sumbar] Dinas Peternakan TK I, Sumatera Barat. 2007a. Laporan tahunan
2006/2007. Padang ; Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat.
[Dinpet Sumbar] Dinas Peternakan TK I, Sumatera Barat, 2007b. Program
pencapaian swa-sembada daging sapi 2010. http://www.disnaksumbar.org
[Dinpet Kab Lima Puluh Kota] Dinas Peternakan TK II, Kabupaten Lima Puluh
Kota. 2005. Statistik Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota 2005.
Payakumbuh ; Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota.
99
Lende F, 1989. Analisis pola usahatani optimal pada tingkat petani dan tingkat
wilayah di pemukiman transmigrasi kabupaten Luwu propinsi Sulawesi
Selatan [tesis]. Bogor, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Makka J. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi peternakan yang berdaya
saing. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman
Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hal 18-31.
Manwan I. 1989. Farming system research in Indonesia : its evolution and future
outlock. Di dalam : Procedures for Farming System Research.
Mosher AT, 1991. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jakarta, CV Yasa
Guna.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Ed ke-3. Jakarta : LP3ES.
Mulyono S, 1996. Pengambilan Keputusan. Jakarta : Fakultas Ekonomi Univer-
sitas Indonesia
Noer F, 2002. Strategi pengembangan agribisnis sapi potong di kawasan sentra
produksi Koto Hilalang kabupaten Agam, Sumatera Barat [tesis]. Bogor :
Program Studi Megister Manajemen Agribisnis, Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Nugroho BA, 2006. Pengembangan agribisnis peternakan pola bantuan usaha
ekonomi produktif (studi di provinsi Sulawesi Utara). Di dalam ; Prosiding
Seminar Nasional Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
Dibidang Agribisnis Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 162-172.
Nasendi BD, Anwar A. 1985. Program Linear dan Fariasinya. Jakarta : PT. Gra-
media.
Nawawi. 2000. Manajemen Strategik. Ed ke-1. Yogyakata : Gajah Mada Universi-
ty Press.
Nell AJ, Rollinson DHL. 1974. The requerements and avaliability of livestock feed
in Indonesia [laporan penelitian]. Jakarta : UNDP Project INS/72/009.
Nenepath SM, 2001. Optimalisasi diversivikasi ternak sapi potong pada usahatani
lahan kering di kabupaten Jaya Pura, Irian Jaya [tesis]. Bogor, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo T, H Anwar, dan H Supadno, 2001. Integrasi tanaman-ternak pada
system usahatani di lahan irigasi. Di dalam : Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veterinir. Jawa Tengah, September 2001 BPTP Ungaran.
Prodjodihardjo S, 1988. Prospek pengembangan peternakan dalam usahatani lahan
kering dan rawa pasang surut. Di dalam : Lokakarya Penelitian Sistem
Usahatani di Lima Agro-ekosistem. Bogor, Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanaman Pangan.
Rahayu S, dan S Kuswaryan. 2006. Analisis system bagi hasil dan pengemba-
lian modal program BPLM pada usaha ternak sapi potong rakyat. Di dalam ;
Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan
dibidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3
Agustus 2006. Hlm 194-203.
102
Lampiran 1b. Location Quation ternak sapi potong per kecamatan di kabupa-
ten Lima Puluh Kota
Si 39.723,5
Lq = ------ Ni = ----------------
Ni 325.157
Ni = 0,1222
Keterangan :
Si : Ratio antara populasi ternak sapi potong (ST) wilayah tertentu dengan
Jumlah penduduk diwilayah kecamatan yang sama
Ni : Ratio antara populasi ternak sapi potong kabupaten Lima Puluh Kota
dengan jumlah penduduk kabupaten Lima Puluh Kota
107
Lampiran 1c. Nilai KPPTR per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota
Lampiran 1d. Nilai KPPTR berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah per
kecamatan
Keterangan :
1. Warna merah kecamatan yang memiliki KPPTR kategori tinggi
2. Warna hijau kecamatan yang memiliki KPPTR kategori sedang
3. Warna kuning kecamatan yang memiliki KPPTR kategori rendah
4. Warnaabu-abu kecamatan yang memiliki KPPTR minus
5. Warna ungu merupakan wilayah Kota Payakumbuh
109
No Kecamatan Sawah Pdg Rumput Perkebunan Hutan Negara Hutan Rakyat Tegalan Jumlah
Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv Luas Konv X
(Ha) 2% (Ha) 100% (Ha) 5% (Ha) 5% (Ha) 3% (Ha) 1%
1 Guguak 2.654 53,08 2.174 2.174 -- -- 3.373 168,65 948 28,44 711 7,11 2.431,28
2 Akabiluru 1.595 31,9 586 586 -- -- 2.732 136,6 1.464 43,92 1.454 14,54 812,96
3 Payakumbuh 1.981 39,62 575 575 1.769 88,45 1.217 60,85 581 17,43 1.816 18,16 799,51
4 Pangkalan 543 10,86 630 630 29.250 1.462,5 56.649 2.832,4 -- -- 1.389 13,89 4.949,65
5 Lareh Sago H 2.830 56,60 5.500 5.500 3.000 150 22.761 1.138,05 2.476 74,28 1.090 10,9 6.929,83
6 Situjuah V Ngr 1.693 33,86 1.731 1.731 -- -- 1.018 50,9 451 13,53 609 6,09 1.835,38
7 Mungka 805 16,10 311 311 -- -- 2.000 100 -- -- 2.511 25,11 452,21
8 Kapur IX 828 16,56 109 109 10.500 525 5.800 290 39.456 1.183,68 7.466 74,66 2.198,9
9 Bukit Barisan 2.164 43,28 1.327 1.327 1.830 91,50 14.354 717,7 2.355 70,65 3.478 34,78 2.284,91
10 Gunung Emas 925 18,50 321 321 -- -- 5.075 253,75 3.625 108,75 2.725 27,25 729,25
11 Suliki 1.199 23,98 660 660 570 28,5 3.979 198,95 2.369 71,07 2.395 23,95 1.006,45
12 Luhak 1.646 32,92 7.500 7.500 -- -- 430 21,5 72 2,16 99 0,99 7.557,57
13 Harau 3.423 68,46 1.784 1.784 1.052 52,6 20.044 1.002,2 -- -- 7.652 76,52 2.983,78
22.286 445,72 23208 23208 47.971 2.398,55 139.432 6.971,55 53.797 1.613,91 33.395 333,95 34.971,68
110
No Kecamatan LP Padi LP Jagung LP Ubi kayu LP Ubi jalar LP Kedele LP Kacang tnh Jumlah
Luas 0,23 Luas 10,9 Luas 5.05 Luas 1,2 Luas 1,07 Luas 1,44 Y
1 Guguak 4.636 1.066,28 594 6.474,6 5 25,25 2 2,4 -- -- 2 2,88 7.571,41
2 Akabiluru 2.892 665,16 267 2.910,3 144 727,2 7 8,4 -- -- 3 4,32 4.315,38
3 Payakumbuh 3.415 785,45 446 4.861,4 53 267,65 -- -- -- -- -- -- 5.914,5
4 Pangkalan 1.057 243,11 121 1.318,9 2 10,1 -- -- -- -- 3 4,32 1.576,43
5 Lareh Sago H 4.859 1.117,57 331 3.607,9 172 868,6 152 182,4 -- -- 150 216 5.992,47
6 Situjuah V Ngr 2.980 685,4 165 1.798,5 119 600,95 32 38,4 -- -- -- -- 3.123,25
7 Mungka 1.273 292,79 955 10.409,5 19 95,95 -- -- 5 5,35 -- -- 10.803,59
8 Kapur IX 915 210,45 9 98,1 9 45,45 3 3,6 -- -- 3 4,32 361,92
9 Bukit Barisan 3.710 853,3 27 294,2 5 25,25 7 8,4 -- -- 7 10,08 1.191,33
10 Gunung Emas 1.879 432,17 26 283,4 32 161,6 1 1,2 -- -- 23 33,12 911,49
11 Suliki 2.430 558,9 195 2.125,5 41 207,05 -- -- -- -- 8 11,52 2.902,97
12 Luhak 2.486 571,78 200 2.180 74 373,7 30 36 -- -- 77 110,88 3.272,36
13 Harau 7.321 1.683,83 325 3.542,5 93 469,65 -- -- -- -- -- -- 5.695,98
39.853 9.166,19 3.661 39.904,9 768 3.878,4 234 280,8 5 5,35 276 397,44 53.633,08
111
Produksi Hijauan Makanan Ternak yang dapat dihasilkan dari Luas Panen
Lampiran 2f-4 Rataan produksi usahatani non program luas lahan > 1 Ha
Pola Jumlah produksi rata-rata (Kg/Ha/th)
Tanam Padi R Gajah Cabe (tgl) Kt (tgl) Jg (tgl)
PT 1 16.672,5 -- -- -- --
PT 2 25.008,75 -- -- -- --
PT 3 -- 145.000 -- -- --
PT 4 -- -- 1.800 -- --
PT 5 -- -- 900 550 --
PT 6 -- -- -- 1.100 --
PT 7 -- -- -- -- 1.466,67
PT 8 -- -- -- 550 733,33
117
Lampiran 2g-1 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan luas lahan sawah ≤ 1 Ha
Komponen PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 PT6 PT7 PT8 PT9 PT10 PT11
1.Penerimaan
- Padi 7.150.000 10.725.750 7.150.500 7.150.500 7.150.500 -- -- -- -- -- --
- Cabe -- -- 11.700.000 -- -- -- -- -- -- -- --
- Kt -- -- -- 9.945.000 -- -- -- -- -- -- --
- Jg -- -- -- -- 6.000.000 -- -- -- -- -- --
- R gajah -- -- -- -- -- 13.716.000 -- -- -- -- --
- Cabe (tgl) -- -- -- -- -- -- 22.491.360 11.245.680 -- 11.245.680 --
- Kt (tgl) -- -- -- -- -- -- -- 7.150.020 14.300.040 -- --
- Jg (tgl) -- -- -- -- -- -- -- -- -- 3.300.000 6.600.000
Total 7.150.000 10.725.750 18.850.500 17.095.500 13.150.500 13.716.000 22.491.360 18.395.700 14.300.040 14.545.680 6.600.000
2.Biaya
- Bibit 47.670 71.505 70.545 154.770 107.670 57.150 52.714,3 117.357,1 182.000 71.357,1 90.000
- Ppk an org 567.596 851.394 862.571 856.096 789.846 742.950 612.958 492.897 372.836 463.104 313.250
- Ppk Org 46.815,2 70.222,8 103.825,2 137.515,2 99.455,2 391.112 88.571,2 79.285,6 70.000 69.285,6 50.000
- Obat-obat 44.667 67.000,5 145.917 44.667 44.667 -- 180.714,3 105.357,1 30.000 90.357,1 --
- Peralatan 19.110 28.665 28.665 28.665 28.665 14.431,8 28.863,6 28.863,6 28.863,6 28.863,6 28.863,6
- Sewa lhn 152.680 229.020 229.020 229.020 229.020 380.000 230.909,1 230.909,1 230.909,1 230.909,1 230.909,1
- TK 913.675 1.370.512,5 1.306.112,5 1.426.862,5 1.316.175 1.499.750 943.000 907.541,7 872.083,3 773.375 603.750
- Transport 122.580 183.870 159.142,5 124.017,5 160.080 -- 70.285,5 64.934,5 59.583,5 55.767,8 41.250
Total 1.914.793,2 2.872.189,8 2.905.798,2 3.001.613,2 2.775.578,2 3.085.393,8 2.208.016 2.027.145,7 1.846.275,5 1.783.019,3 1.358.022,7
3.Pendapatan 5.235.206,8 7.853.560,2 15.944.701,8 14.093.886,8 10.374.921,8 10.630.606,2 20.283.344,0 16.368.554,3 12.453.764,5 12.767.660,7 5.241.977,3
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
118
Lampiran 2g-2 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan luas lahan sawah > 1 Ha
Lampiran 2g-3 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan luas lahan sawah ≤ 1 Ha
Y1 = X1 + X2 + X3 + X4 + X5 <= 0,57
Y2 = X6 <= 0,95
Y3 = X7 + X8 + X9 + X10 + X11 <= 0,58
123
Kendala :
Y1 = X1 + X2 + X3 <= 1,64
Y2 = X4 <= 0,84
Y3 = X5 + X6 + X7 <= 0,50
Y4 = 22,96 X1 + 22,96 X2 + 22,96 X3 + 10,08 X4 + 8,75 X5 + 8,75 X6 + 3,5 X7 +
2,77 X8 – X9 <= 51,5
Y5 = 32,8 X1 + 32,8 X2 + 32,8 X3 + 5,96 X4 + 12,5 X5 + 12,5 X6 + 5 X7 + 2,77
X8 – X10 <= 51,5
Y6 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 7,5 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X11 <= 51,5
Y7 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 7,5 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X12 <= 51,5
Y8 = 22,96 X1 + 22,96 X2 + 22,96 X3 + 5,96 X4 + 8,75 X5 + 14 X6 + 3,5 X7 +
2,77 X8 – X13 <= 51,5
Y9 = 32,8 X1 + 32,8 X2 + 32,8 X3 + 5,96 X4 + 12,5 X5 + 20 X6 + 5 X7 + 2,77 X8
– X14 <= 51,5
Y10 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 12 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X15 <= 51,5
Y11 = 19,68 X1 + 19,68 X2 + 19,68 X3 + 5,96 X4 + 7,5 X5 + 12 X6 + 3 X7 + 2,77
X8 – X16 <= 51,5
Y12 = 22,96 X2 + 22,4 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X17 <= 51,5
Y13 = 32,8 X2 + 32 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X18 <= 51,5
Y14 = 19,68 X2 + 19,2 X3 + 5,96 X4 + 2,77 X8 – X19 <= 51,5
127
Kendala :
Y1 = X1 + X2 + X3 + X4 <= 0,38
Y2 = X5 <= 0,55
Y3 = X6 + X7 + X8 + X9 + X10 + X11 <= 0,38
Y4 = 5,25 X1 + 5,25 X2 + 5,25 X3 + 5,25 X4 + 6,6 X5 + 5,5 X6 + 5,5 X7 + 3,5 X8
+ 5,5 X9 + 4,43 X10 + 7 X11 + 5,01 X12 – X13 <= 58,47
Y5 = 7,5 X1 + 7,5 X2 + 7,5 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 7,85 X6 + 7,85 X7 + 5 X8 +
7,85 X9 + 6,33 X10 + 10 X11 + 5,01 X12 – X14 <= 58,47
Y6 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 4,71 X7 + 3 X8 +
4,71 X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X15 <= 58,47
Y7 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 4,71 X7 + 3 X8 +
4,71 X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X16 <= 58,47
Y8 = 5,25 X1 + 5,25 X2 + 5,25 X3 + 5,25 X4 + 3,9 X5 + 5,5 X6 + 3,5 X7 + 3,5 X8
+ 4,43 X9 + 4,43 X10 + 7 X11 + 5,01 X12 – X17 <= 58,47
Y9 = 7,5 X1 + 7,5 X2 + 7,5 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 7,85 X6 + 5 X7 + 5 X8 + 6,33
X9 + 6,33 X10 + 10 X11 + 5,01 X12 – X18 <= 58,47
Y10 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 3 X7 + 3 X8 + 3,8
X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X19 <= 58,47
Y11 = 4,5 X1 + 4,5 X2 + 4,5 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 4,71 X6 + 3 X7 + 3 X8 + 3,8
X9 + 3,8 X10 + 6 X11 + 5,01 X12 – X20 <= 58,47
Y12 = 5,25 X1 + 4 X2 + 6,3 X3 + 5,25 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X21 <= 58,47
Y13 = 7,5 X1 + 5,72 X2 + 9 X3 + 7,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X22 <= 58,47
Y14 = 4,5 X1 + 3,43 X2 + 5,4 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X23 <= 58,47
Y15 = 4,5 X1 + 3,43 X2 + 5,4 X3 + 4,5 X4 + 3,9 X5 + 5,01 X12 – X24 <= 58,47
Y16 = 14.600 X12 <= 82.000
Y17 = 9,12 X1 + 9,12 X2 + 9,12 X3 + 9,12 X4 + <= 11,4
Y18 = 9,12 X1 + 9,12 X2 + 9,12 X3 + 9,12 X4 + <= 11,4
Y19 = 10,56 X1 <= 13,2
131
Kendala :
Y1 = X1 + X2 <= 2,31
Y2 = X3 <= 0,91
Y3 = X4 + X5 + X6 + X7 + X8 <= 0,33
Y4 = 32,33 X1 + 32,33 X2 + 10,88 X3 + 5,25 X4 + 5,25 X5 + 3,5 X6 + 4,67 X7 +
3,5 X8 + 3,39 X9 – X10 <= 50,18
Y5 = 46,19 X1 + 46,19 X2 + 6,43 X3 + 7,5 X4 + 7,5 X5 + 5 X6 + 6,67 X7 + 5 X8
+ 3,39 X9 – X11 <= 50,18
Y6 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 4,5 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 3 X8 +
3,39 X9 – X12 <= 50,18
Y7 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 4,5 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 3 X8 +
3,39 X9 – X13 <= 50,18
Y8 = 32,33 X1 + 32,33 X2 + 6,43 X3 + 5,25 X4 + 3,5 X5 + 3,5 X6 + 4,67 X7 +
4,67 X8 + 3,39 X9 – X14 <= 50,18
Y9 = 46,19 X1 + 46,19 X2 + 6,43 X3 + 7,5 X4 + 5 X5 + 5 X6 + 6,67 X7 + 6,67 X8
+ 3,39 X9 – X15 <= 50,18
Y10 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 3 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 4 X8 +
3,39 X9 – X16 <= 50,18
Y11 = 27,71 X1 + 27,71 X2 + 6,43 X3 + 4,5 X4 + 3 X5 + 3 X6 + 4 X7 + 4 X8 +
3,39 X9 – X17 <= 50,18
Y12 = 32,33 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X18 <= 50,18
Y13 = 46,19 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X19 <= 50,18
Y14 = 27,71 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X20 <= 50,18
Y15 = 27,71 X2 + 6,43 X3 + 3,39 X9 – X21 <= 50,18
Y16 = 14.600 X9 <= 145.000
Y17 = 55,44 X1 + 55,44 X2 <= 69,3
Y18 = 55,44 X1 + 55,44 X2 <= 69,3
Y19 = 56,16 X2 <= 70,2
Y20 = 18.200 X3 <= 20.020
Y21 = 4.560 X4 + 4.560 X5 <= 5.320
Y22 = 3.000 X4 <= 3.500
Y23 = 7 X6 + 7 X8 <= 7,5
Y24 = 7 X5 + 7 X6 <= 7,5
Y25 = 11,4 X7 <= 12,16
Y26 = 9,9 X7 + 9,9 X8 <= 9,9
Y27 = 352,08 X1 + 352,08 X2 + 181,25 X3 + 62,5 X4 + 62,5 X5 + 25 X6 + 46,67
X7 + 25 X8 <= 709,5
135
Perhitungan :
(93,1185)2
FK = ----------------
12
= 722,5879
SE = √ KTS
r
= √ 0,6684
4
= 0,41
Perhitungan :
(8,97)2
FK = ----------
12
= 6,7051
SE = √ KTS
r
= √ 0,066
4
= 0,04
Perhitungan :
(124,83)2
FK = ----------------
12
= 1298,5441
SE = √ KTS
r
= √ 0,00398
4
= 0,03
rp = √ KTS
r
= √ 0,6684
4
= 0,41
P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 1,31 1,37
rp = √ KTS
r
= √ 0,0066
4
= 0,04
P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 0,1280 0,1336
rp = √ KTS
r
= √ 0,00398
4
142
= 0,03
P 2 3
Rp 3,199 3,339
Rp 0,096 0,1002
Perhitungan :
(213,2)2
FK = ----------------
12
= 3787,8533
SE = √ KTS
r
= √ 0,1278
4
= 0,18
Jumlah kompos yang dihasilkan : 55% x 1007,5 kg bahan = 554 kg kompos jadi
Responden 1
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 0 1 1 0 0 2 2 0 2 2 0 10 0,076
B 2 -- 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 20 0,152
C 1 0 -- 1 1 1 2 2 2 1 2 2 15 0,114
D 1 0 1 -- 1 1 2 2 0 1 0 2 11 0,083
E 2 0 1 1 -- 1 2 2 2 2 2 0 15 0,114
F 2 0 1 1 1 -- 2 2 2 1 1 0 13 0,098
G 0 0 0 0 0 0 -- 1 1 1 1 1 5 0,038
H 0 0 0 0 0 0 1 -- 1 2 0 2 6 0,045
I 2 0 0 2 0 0 1 1 -- 1 1 1 9 0,068
J 0 0 1 1 0 1 1 0 1 -- 1 1 7 0,053
K 0 0 0 2 0 1 1 2 1 1 -- 2 10 0.076
L 2 2 0 0 2 2 1 0 1 1 0 -- 11 0,083
12 2 7 11 7 9 17 16 13 15 12 11 132 1,000
146
Responden 2
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
B 1 -- 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 19 0,143
C 1 1 -- 1 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
D 1 1 1 -- 1 1 2 2 2 2 2 2 17 0,129
E 1 0 1 1 -- 1 2 2 2 2 2 2 16 0,121
F 1 0 1 1 1 -- 2 2 2 2 2 2 16 0,121
G 0 0 0 0 0 0 -- 1 1 1 1 1 5 0,038
H 0 0 0 0 0 0 1 -- 1 1 1 1 5 0,038
I 0 0 0 0 0 0 1 1 -- 1 1 1 5 0,038
J 0 0 0 0 0 0 1 1 1 -- 1 1 5 0,038
K 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 -- 1 5 0,038
L 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 -- 5 0,038
5 3 5 5 6 6 17 17 17 17 17 17 132 1,000
Responden 3
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 4 0,030
B 2 -- 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 5 0,038
C 2 2 -- 0 1 1 0 0 0 0 0 0 6 0,045
D 2 0 2 -- 1 1 0 0 0 0 0 0 6 0,045
E 0 1 1 1 -- 1 0 0 0 0 0 0 4 0,030
F 0 2 1 1 1 -- 0 0 0 0 0 0 5 0,038
G 2 2 2 2 2 2 -- 1 1 1 1 1 17 0,129
H 2 2 2 2 2 2 1 -- 1 1 1 1 17 0,129
I 2 2 2 2 2 2 1 1 -- 1 1 1 17 0,129
J 2 2 2 2 2 2 1 1 1 -- 1 1 17 0,129
K 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 -- 1 17 0,129
L 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 -- 17 0,129
18 17 16 16 18 17 5 5 5 5 5 5 132 1,000
Responden 4
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 2 2 2 0 1 2 0 0 0 0 0 9 0,068
B 0 -- 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 0,015
C 0 1 -- 1 0 2 2 2 0 2 2 2 14 0,106
D 0 2 1 -- 1 1 2 1 2 2 2 2 16 0,121
E 2 2 2 1 -- 1 2 2 2 2 2 2 20 0,152
F 1 2 0 1 1 -- 2 1 2 2 2 2 16 0,121
G 0 1 0 0 0 0 -- 2 2 1 2 1 9 0,068
H 2 2 0 1 0 1 0 -- 1 1 1 1 10 0,076
I 2 2 2 0 0 0 0 1 -- 1 1 0 9 0,068
J 2 2 0 0 0 0 1 1 1 -- 1 0 8 0,061
K 2 2 0 0 0 0 0 1 1 1 -- 0 7 0,053
L 2 2 0 0 0 0 1 1 2 2 2 -- 12 0,091
13 20 8 6 2 6 13 12 13 14 15 10 132 1,000
147
Responden 5
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Internal lah
A -- 2 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 6 0,045
B 0 -- 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 5 0,039
C 1 2 -- 1 2 1 1 1 2 1 1 0 13 0,098
D 0 2 1 -- 1 1 1 2 1 1 1 1 12 0,091
E 1 1 0 1 -- 0 1 1 1 0 1 0 7 0,053
F 2 2 1 1 2 -- 2 2 1 1 1 1 16 0,121
G 2 1 1 1 1 0 -- 1 1 0 1 0 9 0,068
H 2 1 1 0 1 0 1 -- 1 0 1 0 8 0,061
I 2 1 0 1 1 1 1 1 -- 0 1 0 9 0,068
J 2 2 1 1 2 1 2 2 2 -- 2 2 19 0,144
K 2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 -- 0 10 0,076
L 2 2 2 1 2 1 2 2 2 0 2 -- 18 0,136
16 17 9 10 15 6 13 14 13 3 12 4 132 1,000
Keterangan :
A. Permintaan pasar
B. Otonomi daerah
C. Perkembangan IPTEK
D. Berfungsinya BIB-Daerah Limbukan kabupaten Lima Puluh Kota
E. Harga produk yang relatif stabil
F. Dukungan pemerintah
G. Produk luar/impor
H. Alih fungsi lahan pertanian
I. Persaingan antar daerah dalam menghasilkan sapi potong
J. Gangguan reproduksi dan kesehatan ternak
K. Stabilitas penyediaan bibit dan layanan IB
L. Tingginya pemotongan ternak betina produktif
148
Responden 1
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 1 1 1 1 1 2 1 0 0 2 12 0,091
B 0 -- 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0,015
C 1 2 -- 1 2 1 2 2 1 1 2 1 16 0,121
D 1 2 1 -- 2 1 0 2 1 1 2 2 15 0,114
E 1 1 0 0 -- 1 1 1 0 1 0 1 7 0,053
F 1 2 1 1 1 -- 0 1 2 1 2 0 12 0,091
G 1 1 0 2 1 2 -- 1 1 0 2 0 11 0,083
H 0 2 0 0 1 1 1 -- 1 0 1 1 8 0,061
I 1 2 1 1 2 0 1 1 -- 1 2 1 13 0,098
J 2 2 1 1 1 1 2 2 1 -- 2 2 17 0,129
K 2 2 0 0 2 0 0 1 0 0 -- 1 8 0,061
L 0 2 1 0 1 2 2 1 1 0 1 -- 11 0,083
10 20 6 7 15 10 11 14 9 5 14 11 132 1,000
Responden 2
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 1 1 2 1 2 2 1 1 2 1 16 0,121
B 0 -- 1 1 1 0 0 2 0 0 1 1 7 0,053
C 1 1 -- 1 1 1 1 2 1 1 2 1 13 0,098
D 1 1 1 -- 1 1 1 2 1 1 2 1 13 0,098
E 0 1 1 1 -- 1 1 1 1 1 2 2 12 0,091
F 1 2 1 1 1 -- 1 2 1 1 2 2 15 0,114
G 0 2 1 1 1 1 -- 2 1 1 1 2 13 0,098
H 0 0 0 0 1 0 0 -- 0 0 1 1 3 0,024
I 1 2 1 1 1 1 1 2 -- 1 2 2 15 0,114
J 1 2 1 1 1 1 1 2 1 -- 2 2 15 0,114
K 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 -- 1 4 0,030
L 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 -- 6 0,045
6 15 9 9 10 7 9 19 7 7 18 16 132 1,000
149
Responden 3
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 0 1 1 0 2 1 1 0 1 0 0 7 0,053
B 2 -- 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 19 0,144
C 1 0 -- 0 0 2 0 0 0 1 0 0 4 0,030
D 1 0 2 -- 1 2 2 2 1 1 0 0 12 0,091
E 2 0 2 1 -- 2 1 2 1 2 1 2 16 0,121
F 0 0 0 0 0 -- 0 0 0 1 0 1 2 0,016
G 1 1 2 0 1 2 -- 1 1 2 0 0 11 0,083
H 1 0 2 0 0 2 1 -- 0 0 1 1 8 0,061
I 2 1 2 1 1 2 1 2 -- 2 0 0 14 0,106
J 1 0 1 1 0 1 0 2 0 -- 0 0 6 0,045
K 2 1 2 2 1 2 2 1 2 2 -- 1 18 0,136
L 2 0 2 2 0 1 2 1 2 2 1 -- 15 0,114
15 3 18 10 6 20 11 14 8 16 4 7 132 1,000
Responden 4
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 2 2 2 2 1 2 1 1 2 2 1 18 0,136
B 0 -- 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 9 0,068
C 0 1 -- 1 1 0 1 1 1 1 1 2 10 0,075
D 0 1 1 -- 1 0 1 0 1 1 0 0 6 0,045
E 0 1 1 1 -- 0 1 1 1 0 1 0 7 0,053
F 1 2 2 2 2 -- 2 2 1 2 1 2 19 0,143
G 0 1 1 1 1 0 -- 1 1 1 1 0 8 0,060
H 1 1 1 2 1 0 1 -- 1 1 1 0 10 0,075
I 1 1 1 1 1 1 1 1 -- 1 1 0 10 0,075
J 0 1 1 1 2 0 1 1 1 -- 1 1 10 0,075
K 0 1 1 2 1 1 1 1 1 1 -- 1 11 0,083
L 1 1 0 2 2 0 2 2 2 1 1 -- 14 0,106
4 13 12 16 15 3 14 12 12 12 11 8 132 1,000
Responden 5
Faktor A B C D E F G H I J K L Jum Bobot
Eksternal lah
A -- 1 2 1 2 0 2 1 1 0 1 2 13 0,098
B 1 -- 2 2 0 2 0 2 1 2 2 1 15 0,114
C 0 0 -- 0 0 1 1 0 0 1 2 1 6 0,045
D 1 0 2 -- 0 0 0 2 1 1 2 0 9 0,068
E 0 2 2 2 -- 2 1 2 2 1 2 0 16 0,121
F 2 0 1 2 0 -- 0 1 1 2 2 0 11 0,083
G 0 2 1 2 1 2 -- 2 2 1 2 1 16 0,121
H 1 0 2 0 0 1 0 -- 0 0 2 1 7 0,053
I 1 1 2 1 0 1 0 2 -- 2 2 1 13 0,098
J 2 0 1 1 1 0 1 2 0 -- 2 1 11 0,083
K 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -- 0 1 0,010
L 0 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 -- 14 0,106
9 7 16 13 6 11 6 15 9 11 21 8 132 1,000
150
F. Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)
S1 = Daya dukung lahan W1 = Keterbatasan modal usa-
S2 = Letak geografis ha
S3 = Adanya wilayah basis sapi W2 = Beternak sbg usaha sam-
potong bilan
S4 =Ternak sapi dipelihara ber- W3 = Rendahnya pengetahuan
sama usahatani lainnya dan keterampilan peter-
S5 = Motivasi peternak dalam nak
memelihara sapi potong W4 = Penggunaan faktor pro-
S6 = Adanya lembaga kelom- duksi belum optimal
pok tani-ternak dibidang W5 = Adopsi teknologi rendah
pembibitan W6 = Sisitem pemasaran be-
Faktor Eksternal lum memadai
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O
O1 = Permintaan pasar 1. Membuat kawasan sentra 1. Investasi modal usaha (W1,
O2 = Otonomi daerah pembibitan sapi potong (S1, W2, O1, O2)
O3 = Perkembangan IPTEK S2, S3, O1, O2) 2. Meningkatkan pengetahu-
O4 = Berfungsinya BIB lim- 2. Penelitian dan pengkajian an dan keterampilan petani-
bukan kabupaten Lima serta optimasi usaha peter- ternak (W3, W4, W5, O3,
Puluh Kota nakan dalam sistem usaha- O4, O5)
O5 = Harga produk yang rela- tani (S4, O3) 3. Memperbaiki sistem pema-
tif stabil 3. Mengoptimalkan fungsi ke- saran (S6, O6)
O6 = Dukungan dari pemerin- lompok (S5, S6, O5, O6)
tah
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
T1 = Produk luar/Impor 1. Perlindungan pasar domes- 1. Menumbuh kembangkan
T2 = Alih fungsi lahan perta- tik (S1, S2, S3, T1, T2) lembaga keuangan di
nian 2. Mengatasi gangguan repro- pedesaan (W1, W2, T1, T2,
T3 = Persaingan antar daerah duksi dan kesehatan ternak T3)
dalam menghasilkan sapi (S1, S2, S3, S4, T1, T2, T3) 2. Meningkatkan efisiensi usa-
potong 3. Memperketat pengawasan ha (W2, W4, T1, T2, T3)
T4 = Gangguan reproduksi dan memberi sangsi terha- 3. Sosialisasi dan aplikasi tek-
dan kesehatan ternak dap pemotongan betina pro- nologi tepat guna (W5, T3,
T5 = Stabilitas penyediaan bi- duktif (S5, S6, T6) T4).
bit/layanan IB
T6 = Tingginya pemotongan
ternak betina produktif
Sumber : Hasil pengolahan data primer (2008)
153
Lampiran 4b Analisis hirarki proses pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota
Prioritas Kriteria
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Prioritas Pelaku
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Pengusaha
Swasta 0.2663 0.2639 0.2402 0.2610 0.2610 0.1344 0.2515
Instansi
Terkait 0.5563 0.5709 0.6404 0.5563 0.5544 0.2679 0.5997
0.0368
154
Prioritas Sasaran
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Peningkatan
Produksi dan 0.2634 0.2648 0.2793 0.2510 0.2515 0.2589
Produktivitas
Optimalisasi
Penggunaan 0.0337 0.0333 0.0345 0.0349 0.1198 0.0345
Sumberdaya
Peningkatan
Pendapatan 0.1290 0.1302 0.1302 0.1302 0.5997 0.1305
Perbaikan
Kualitas 0.0639 0.0643 0.0647 0.0671 0.0662
bibit
Prioritas Strategi
Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Efisiensi
Usaha 0.0649 0.0660 0.0651 0.0546 0.0684 0.2589 0.0620
Penerapan
Teknologi 0.2659 0.2587 0.2516 0.2435 0.2534 0.0345 0.2551
Tepat guna
Fungsi
Kelompok 0.0345 0.0344 0.0375 0.0506 0.0351 0.1305 0.0361
Kawasan
Sentra 0.1302 0.1333 0.1316 0.1200 0.1270 0.0662 0.1272
Pembibitan
155
1. IDENTITAS RESPONDEN
a. Nama : ………………………………….
b. Umur : ………………………..…Tahun
c. Jenis kelamin : L/P
d. Alamat : Nagari/Jorong : …………………………………..
Kelompok Tani : ………………………………….
Kecamatan : ………………………………….
e. Pendidikan terakhir :
1. Perguruan Tinggi….. [ ] 5. SD………………………[ ]
2. SMU………………. [ ] 6. Tidak Sekolah…………..[ ]
3. SLTP………………. [ ]
f. Pekerjaan Utama :
1. Pegawai……………. [ ] 4. Pedagang………………. [ ]
2. Pensiunan…………. [ ] 5. Wiraswasta…………….. [ ]
3. Petani……………… [ ] 6. Lainnya ……………….. [ ]
g. Pengalaman beternak : ………………..Tahun
h. Jumlah anggota keluarga (Yang menjadi tanggungan) :
Anggota keluarga 1 2 3 4 5
Umur (tahun) …....... …….. ……. ……. …….
.Jenis kelamin (L/P) ……… ……. ……. ……… ……
Hubungan dalam keluarga (istri/ ……… …….. ……. …….. ……
Anak/Pembantu) ……… ……. …….. ……… ……
Membantu beternak(ya/tidak) ……… …….. …….. ……… ……
Jika ya biasanya berapa jam/hari ……… ……. …….. ……… …….
.
i. Jumlah ternak sapi yang dipelihara
No Klasifikasi Jumlah
1 Pejantan
Induk
2 Dara Jantan
Dara Betina
3 Anak Jantan
Anak Betina
2. PRILAKU
A. Pengetahuan
1. Berdasarkan apa Bapak mengetahui sapi potong yang baik :
[ ] Badan tegap berbentuk balok, mata bersinar, bulu tidak kusam/mengkilap,
sifat ceria normal/tidak cacat……………….……………………………………............ (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu……………………………….……………………………........ (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu………………………………………….…………………....... (3)
[ ] menyebutkan 2 item itu…………………………………………………….………....... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu………………………………………………………………… (1)
156
2. Bagaimana menurut bapak kualitas bibit yang dibeli dipasar ternak untuk dipelihara
[ ] Tidak baik……………………………………………………………………………… (5)
[ ] kurang baik……………………………………………………………………………. (4)
[ ] Tidak tahu / ragu………………………………………………………………………. (3)
[ ] Boleh dipelihara………………………………………………………………………. (2)
[ ] Baik…………...………………………………………………………………………. (1)
3. Menurut bapak bagaimana tentang penggunaan vaksin/pemberian obat yang seharusnya dilakukan :
[ ] Harus rutin dilakukan………………………………………………………………… (5)
[ ] Boleh tidak rutin……………………………………………………………………… (4)
[ ] Sekedarnya ………………………………………………………………………….. (3)
[ ] Boleh tidak diberikan………………………………………………………………… (2)
[ ] Tidak dilakukan……………………………………………………………………… (1)
4. Bagaimana menurut bapak kandang yang baik untuk sapi potong :
[ ] Sirkulasi udara baik, tidak lembab, bersih, lantai miring, kokoh/kuat……………….. (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu………………………………………………….................... (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu…………………………………………………..................... (3)
[ ] menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu……………………………………………………………… (1)
5. Menurut bapak bagaimana kriteria makanan yang baik bagi sapi ;
[ ] Cukup protein, disukai ternak , tidak membahayakan, mudah didapat, harga terjangkau (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu ……………………………………………………………... (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu………………………………………………….................... (3)
[ ] Menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................... (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu……………………………………………………………… (1)
6. Menurut bapak memelihara sapi potong yang baik itu bagaimana :
[ ] Melakukan seleksi, pemberian pakan yang teratur, membersihkan kandang dan sapi
secara teratur,exercise secara rutin, vaksin pemberian obat cacing …………………. (5)
[ ] Menyebutkan 4 item itu…………………………………………………….……….. (4)
[ ] Menyebutkan 3 item itu…………………………………………………................... (3)
[ ] Menyebutkan 2 item itu………………………………………………….................. (2)
[ ] Menyebutkan 1 item itu…………………………………………………………….. (1)
B. SIKAP
Jawaban sangat setuju (SS) skor 5, Setuju (S) skor 4, ragu-ragu (RR) skor 3, tidak setuju
( TS) skor 2, sangat tidak setuju (STS skor 1
Jawaban
Pertanyaan
SS S RR TS STS
1. Sikap bapak terhadap inovasi tekhnologi
2. Sikap bapak terhadap pembinaan
3. Sikap terhadap adanya kelompok
4. Sikap bapak terhadap pemberian konsentrat
5. Sikap bapak terhadap pemberian vaksin/obat cacing
6. Pemeliharaan secara intensif
7. Sikap bapak terhadap IB
C. Keterampilan
1. Biasanya yang melakukan pengobatan terhadap ternak yang sakit dilakukan oleh :
[ ] Sendiri……………………………………………………………………………………… (5)
[ ] Sendiri berdasarkan petunjuk orang lain………………………………………………….. (4)
[ ] Dibantu Mantri Hewan ....…………………………………………………........................ (3)
[ ] Orang lain yang melakukannya……………………………………………....................... (2)
[ ] Tidak pernah melakukan ..………………………………………………………………… (1)
2. Bagaimana pemberian makanan sapi potong menurut bapak :
[ ] Dihitung berdasarkan barat badan (10-15% dari Berat badan) .............……...................... (5)
[ ] Diperkirakan ...................................……………………………………………………… (4)
[ ] Tidak pernah dihitung..…………………………………………………………………… (3)
[ ] Tergantung rumput yang tersedia ...……………………………………………………… (2)
[ ] Seadanya…………………………..……………………………………………………… (1)
157
4. KELEMBAGAAN
1. Kelembagaan yang mendukung pengembangan usaha sapi potong :
[ ] Kelompok tani ternak [ ] PPL
[ ] Koperasi [ ] Bank
[ ] Penyuluh dibidang peternakan [ ] Kemitraan
158
6. PENYULUHAN
A. Penyuluhan yang pernah dapat :
No Uraian Diberikan oleh Berapa kali Tempat
1 Bibit reproduksi
2 Pakan
3 Tatalaksana pemeliharaan
4 Pencegahan dan pengobatan penyakit
5 Pemasaran
6 ……………………………………
E. PEMASARAN
1. Penjualan sapi dilakukan
[ ] Langsung peternak membawa ke pasar ternak
163
4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
b. Tanaman………………..…………….Luas tanaman………..……Ha
1. Bibit ……………….Kg/musiman, seharga……………………..
2 Tenaga Kerja
Mengolah lahan …………………orang/musim,seharga………………
Menanam ……………………….orang/musim,seharga……………….
Menyiang ………………………..orang/musim,seharga………………..
Panen …………………………….orang/musim,seharga……………….
3. Pemupukan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
165
5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
c. Tanaman………………..…………….Luas tanaman………..……Ha
1. Bibit ……………….Kg/musiman, seharga……………………..
2. Tenaga Kerja
Mengolah lahan …………………orang/musim,seharga………………
Menanam ……………………….orang/musim,seharga……………….
Menyiang ………………………..orang/musim,seharga………………..
Panen …………………………….orang/musim,seharga……………….
3. Pemupukan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
4. Obat-obatan :
Jenis Pupuk Kg/Ha Harga Satu
5. Transportasi : ……………………………………………………………………………….
4. Hasil yang diperoleh
DAFTAR PERTANYAAN
ANALISIS STRATEGI INTERNAL Nomor Responden ………......
IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………….
JABATAN : ………………………………………………….
INSTANSI : ………………………………………………….
Petunjuk Pengisian
Pemberian nilai didasari pada perbandingan berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap pelaksanaan Pengembangan Usaha Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 0, 1 dan 2. Keterangan skala yang digunakan untuk pengisian
kolom adalah :
Bagaimana pendapat Bapak/ibu mengenai perbandingan berpasangan dua faktor strategis intenal yang dinyatakan dibawah ini :
Variabel faktor internal itu terdiri dari dua faktor kunci kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang
mungkin dapat datasi/dihindari dalam upaya pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
1. Faktor Kekuatan
Pemberian nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan
usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keterangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor tersebut berpengaruh sangat besar
168
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi usaha pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terhadap faktor-faktor
berikut :
Faktor Kekuatan 4 3 2 1
Daya dukung lahan
Letak geografis
Adanya wilayah basis sapi potong
Ternak sapi dipelihara bersama usahatani lainnya (IFS)
Tingginya motivasi peternak memelihara sapi potong
Adanya kelompok tani ternak sapi pembibitan
2. Faktor Kelemahan
Pemberan nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor kelemahan yang ada dan dapat diatasi / dihndari dalam
pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keteangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor tersebut sangat sulit diatasi
Nilai 3, jika faktor tersebut agak sulit diatasi
Nilai 2, jika faktor tersebut agak mudah diatasi
Nilai 3, jika faktor tersebut sangat mudah diatasi
169
Faktor Kelemahan 4 3 2 1
Keterbatasan modal usaha
Beternak sebagai usaha sambilan
Rendahnya pengetahuan dan keterampilan peternak
Penggunaan faktor produksi belum optimal
Adopsi teknologi rendah
Sistem pemasaran belum memadai
Menurut Bapak/Ibu, permasalahan apa yang dominan akan menjadi kendala di dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?
1. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi peternakan sapi potong (lahan, air, bibit unggul, kegiatan IB, kandang dan per-
alatan, obat-obatan, hijauan makanan ternak, dan transportasi)
....................................................................................................................................
2. Ketersediaan tenaga kerja
....................................................................................................................................
3. Pengelolaan / budidaya ternak sapi potong (jenis sapi, perawatan, pengendalian penyakit)
....................................................................................................................................
4. Pengendalian pemotongan ternak betina produktif
....................................................................................................................................
5. Pemasaran (saluran pemasaran, menenukan bobot sapi, harga, promosi)
6. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan (instansi teknis pemerintah, keuangan/perbankan/koperasi
....................................................................................................................................
7. Pemanfaatan teknologi reproduksi (IB)
....................................................................................................................................
8. Substitusi dan difersifikasi produksi sapi potong (daging, kulit, tanduk dan sebagainya)
....................................................................................................................................
170
Menurut Bapak/Ibu, solusi apa yang dapat diberikan untuk mengatasi kendala dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?
1. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi peternakan sapi potong (lahan, air, bibit unggul, kegiatan IB, kandang dan per-
alatan, obat-obatan, hijauan makanan ternak, dan transportasi)
....................................................................................................................................
2. Ketersediaan tenaga kerja
....................................................................................................................................
3. Pengelolaan / budidaya ternak sapi potong (jenis sapi, perawatan, pengendalian penyakit)
....................................................................................................................................
4. Pengendalian pemotongan ternak betina produktif
....................................................................................................................................
5. Pemasaran (saluran pemasaran, menenukan bobot sapi, harga, promosi)
....................................................................................................................................
6. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan (instansi teknis pemerintah, keuangan/perbankan/koperasi
....................................................................................................................................
7. Pemanfaatan teknologi reproduksi (IB)
....................................................................................................................................
8. Substitusi dan difersifikasi produksi sapi potong (daging, kulit, tanduk dan sebagainya)
....................................................................................................................................
171
Kuesioner Penelitian
DAFTAR PERTANYAAN
ANALISIS STRATEGI EKSTERNAL Nomor Responden : …......
IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………….
JABATAN : ………………………………………………….
INSTANSI : ………………………………………………….
Petunjuk Pengisian
Pemberian nilai didasari pada perbandingan berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap pelaksanaan Pengembangan Usaha Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skala 0, 1 dan 2. Keterangan skala yang digunakan untuk pengisian
kolom adalah :
Bagaimana pendapat Bapak/ibu mengenai perbandingan berpasangan dua faktor strategis ekstenal yang dinyatakan dibawah ini :
Variabel faktor eksternal itu terdiri dari dua faktor kunci peluang yang dapat dimanfaatkan dan faktor ancaman yang mungkin
dapat datasi/dihindari dalam upaya pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
1. Faktor Peluang
Pemberian nilai berdasarkan pada seberapa besar pengaruh faktor peluang yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan
usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Berilah tanda (x) pada kolom yang tersedia dengan keterangan sebagai berikut :
Nilai 4, jika faktor kemampuan meresponnya sangat baik
Nilai 3, jika faktor kemampuan meresponnya besar
173
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana kondisi usaha pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota terhadap faktor-faktor
berikut :
Faktor Peluang 4 3 2 1
Permintaan pasar
Otonomi daerah
Perkembangan IPTEK
Berfungsinya BIB-Daerah Limbukan
Harga produk yang relatif stabil
Dukungan pemerintah
Menurut Bapak/Ibu, ancaman/tantangan apa yang dominan dalam pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima
Puluh Kota?
1 Ketersediaan lahan
....................................................................................................................................
2. Kelembagaan/kelompok peternak dalam penggunaan lahan
....................................................................................................................................
3. Jaminan dan stabilitas ketersediaan bibit
....................................................................................................................................
4. Produk-produk sejenis yang diproduksi daerah lain
....................................................................................................................................
5. Produk pengganti sumber protein hewani lain
....................................................................................................................................
6. Masuknya pesaing asing dalam kompetisi lokal
....................................................................................................................................
7. Ketersediaan dan kemampuan SDM dan tawar menawar dengan pedagang sapi
....................................................................................................................................
8. Cuaca / iklim
....................................................................................................................................
Menurut Bapak/Ibu, solusi apa yang dapat diberikan untuk meraih peluang dalampengembangan usaha sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota?
1. Ketersediaan lahan
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
175
Lampiran 7. Kuesioner AHP Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota
4 3 1 2 5
II = Pakan Bibit Tatalaksana Penyakit Pemasaran
III =
4 2 3 1
L-Keu P-Swt Peternak Instansi terkait
IV=
1 2 5 3 4
Perluasan Produksi dan Optimalisasi Peningkatan Perbaikan
Usaha Produktivitas Sumberdaya Pendapatan Kualitas bibit
V=
1 4 2 3 5
Modal Efisiensi PenerapanTekno Kawasan sentra Fungsi
Usaha Usaha nologi tepat guna Pembibitaan Kelompok
Keterangan :
I = Fokus
II = Kriteria
III = Aktor/Pelaku
IV = Sasaran
V = Alternatif Strategi
177
IDENTITAS RESPONDEN
NAMA : ………………………………………………
JABATAN : ………………………………………………
INSTANSI/LEMBAGA : ………………………………………………
Contoh :
Pengembangan
Usahasapi potong
di kabupaten A B C D E
Lima Puluh Kota
A 3
B 1/5
C
D
E
Keterangan :
Lembar Pengisian 1.
Dalam rangka pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota,
maka sebagai syarat penentu yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian pakan ternak
2. Penggunaan bibit
3. Tatalaksana pemeliharaan
4. Pengendalian penyakit
5. Pemasaran
178
Pengembangan
Usaha sapi potong
di kabupaten A B C D E
Lima Pu-luh Kota
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Pemberian pakan ternak
B : Penggunaan bibit
C : Tatalaksana pemeliharaan
D : Pengendalian penyakit
E : Pemasaran
Lembaran Pengisian 2.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu stabilitas pakan ternak sapi dalam pengem-
bangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan pelaku
yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
179
Lembaran Pengisian 3.
Dalam rangka terjaminnya ketersediaan bibit sapi potong yang diinginkan dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam menjaga terjaminnya ketersediaan bibit
Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Jaminan ketersediaan A B C D
Bibit sapi Potong
A
B
C
D
Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
Lembaran Pengisian 4.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu tatalaksana pemeliharaan ternak sapi dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam tatalaksana pemeliharaan
Sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Tatalaksana pemeliharaan A B C D
Sapi Potong
A
B
C
D
180
Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
Lembaran Pengisian 5.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu pengendalian penyakit ternak sapi dalam
pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan
pelaku yang berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
Pelaku yang berperan dalam pengendalian penyakit
Ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota
Pengendalian penyakit A B C D
ternak Sapi Potong
A
B
C
D
Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
Lembaran Pengisian 6.
Dalam rangka memenuhi syarat penentu pemasaran ternak sapi dalam pengembang-
an usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota, maka untuk menentukan pelaku yang
berperan adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan
2. Pengusaha swasta
3. Peternak
4. Instansi terkait
Oleh karena itu dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terhadap
kriteria-kriteria tersebut :
181
Keterangan :
A : Lembaga keuangan
B : Pengusaha swasta
C : Peternak
D : Instansi terkait
Lembaran Pengisian 7.
Peran lembaga keuangan dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong
di kabupaten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya
4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan kualitas bibit
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran lembaga keuangan dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota
Lembaga keuangan A B C D E
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit
Lembaran Pengisian 8.
Peran pengusaha swasta dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong di
kabupaten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
182
Pengusaha swasta A B C D E
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit
Lembaran Pengisian 9.
Peran peternak dalam mencapai sasaran pengembangan usaha sapi potong di kabupa-
ten Lima Puluh Kota, adalah sebagai berikut :
1. Perluasan usaha
2. Peningkatan produksi dan produktivitas
3. Optimalisasi penggunaan sumberdaya
4. Peningkatan pendapatan
5. Perbaikan mutu genetik ternak lokal
Oleh karenanya dimohon untuk melakukan perbandingan secara berpasangan terha-
dap kriteria-kriteria tersebut :
Peran peternak dalam mencapai sasaran pengembangan usaha
sapi potong di kabupaten Lima Puluh kota
Peternak A B C D E
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Perluasan usaha D : Peningkatan pendapatan
B : Peningkatan produksi dan produktivitas E : Perbaikan kualitas bibit
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
183
Instansi teknis A B C D E
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Perluasan usaha
B : Peningkatan produksi dan produktivitas
C : Optimalisasi penggunaan sumberdaya
D : Peningkatan pendapatan
E : Perbaikan kualitas bibit
Perluasan usaha A B C D E
Sapi potong
A
B
C
D
E
184
Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok
Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok
Optimalisasi penggunaan A B C D E
Sumberdaya
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok
Peningkatan pendapatan A B C D E
Usaha Sapi potong
A
B
C
D
E
Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok
186
Keterangan :
A : Modal usaha
B : Meningkatkan efisiensi usaha
C : Penerapan teknologi tepat guna
D : Mebuat kawasan sentra pembibitan sapi potong
E : Mengoptimalkan fungsi kelompok