Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 55

Vol. 7 • No.

2 • Juli 2009 ISSN 1693-3834

Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
(Journal of Tropical Wood Science and Technology)

Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(The Indonesian Wood Research Society)

Terakreditasi A
Nomor 52/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006
Nomor 185/AU1/P2MBI/08/2009
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
(Journal of Tropical Wood Science and Technology)

Penanggung Jawab: Ketua Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia

Redaksi Pelaksana:
Ketua : Dr. Wahyu Dwianto Komposit Kayu:
Anggota : Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi – IPB
Ir. Euis Hermiati, M.Sc. Prof. Dr. T.A. Prayitno – UGM
Faizatul Falah, S.Si. Prof. Dr. Bambang Subiyanto – LIPI
Yusup Amin, S.Hut. Prof. Dr. Fauzi Febrianto – IPB
Ika Wahyuni, S.Si. Dr. Subyakto – LIPI
Ari Kusumaningtyas, S.T.
Teguh Darmawan, A.Md. Rekayasa Kayu:
Syam Budi Iryanto, A.Md.
Prof. Dr. Anwar Kasim – UMSB
Dr. Anita Firmanti – Puskim
Redaksi Ahli: Dr. Naresworo Nugroho – IPB
Ketua : Dr. Wahyu Dwianto – LIPI
Anggota : Peningkatan Sifat-Sifat Kayu:
Prof. Dr. Imam Wahyudi – IPB
Prof. Dr. Zahrial Coto – IPB
Dr. Wayan Darwaman – IPB
Prof. Dr. Musrizal Mu'in – UNHAS
Dr. Subyakto – LIPI
Dr. Sulaeman Yusuf – LIPI
Dr. Anita Firmanti – Puskim
Dr. Pipin Permadi – P3THH
Dr. Sulaeman Yusuf – LIPI
Dr. Nyoman J. Wistara – IPB
Pulp dan Kertas:
Dr. Rudianto Amirta – UNMUL
Prof. Dr. Sipon Muladi – UNMUL
Dr. Adi Santoso – P3THH
Dr. Nyoman J. Wistara – IPB
Ir. Wieke Pratiwi, MSc – BBPK
Dewan Penelaah:
Sifat Dasar Kayu:
Hasil Hutan Non Kayu:
Prof. Dr. Wasrin Syafii – IPB
Prof. Dr. Kurnia Sofyan – IPB
Prof. Dr. Imam Wahyudi – IPB
Prof. Dr. Bambang Prasetya – LIPI
Dr. Sri Nugroho Marsoem – UGM
Dr. Rudianto Amirta – UNMUL
Dr. I. Ketut N. Pandit – IPB
Krisdianto, S. Hut, MSc – P3THH
Penelaah/Pengusul Makalah

Pemesinan Kayu: Vol.7 No.2 Juli 2009:


Prof. Dr. Yusuf Sudo Hadi; Prof. Dr. Wasrin
Dr. Osly Rachman – P3THH
Syafii; Dr. Nyoman J. Wistara; Dr. Subyakto.
Dr. Edi Suhaimi Bakar – UPM
Dr. Wayan Darmawan – IPB
Vol. 7 • No. 2 • Juli 2009 ISSN 1693-3834

Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
(Journal of Tropical Wood Science and Technology)

Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(The Indonesian Wood Research Society)

Terakreditasi A
Nomor 52/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006
Nomor 185/AU1/P2MBI/08/2009

Alamat Redaksi:
UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia
Tel: 62-21-87914509, 87914511; Fax: 62-21-87914510
E-mail: wahyudwianto@yahoo.com
http://jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
(Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Tujuan dan Ruang Lingkup Format Penulisan

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah Jurnal 1. Makalah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa
resmi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) yang Inggris dengan program Word; ukuran halaman
terbit 2 kali dalam setahun. Jurnal ini merupakan media Letter; huruf Arial Narrow; satu spasi. Margin
nasional dan internasional untuk pertukaran pengetahuan kiri/kanan = 3 cm dan atas/bawah = 2.5 cm. Besar
dan mendiskusikan hasil penelitian terbaru mengenai kayu huruf untuk Judul = 14 pt.; Nama Penulis = 12 pt; dan
dan kegunaannya. Jurnal ini mempublikasi tulisan original Text = 10 pt.
penelitian dasar maupun terapan ilmu pengetahuan dan 2. Untuk makalah yang ditulis dalam bahasa Indonesia
teknologi kayu yang berhubungan dengan sifat-sifat dasar harus menyertakan Judul makalah, Abstrak, Judul
kayu, permesinan kayu, produk panel dan komposit kayu, dan Keterangan Gambar, Skema dan Tabel dalam
serta keteknikan kayu untuk konstruksi. Jurnal ini juga bahasa Inggris. Makalah yang ditulis dalam bahasa
meliputi tulisan mengenai peningkatan sifat-sifat kayu, Inggris harus memeriksakan spelling dan grammar-
rayap dan jamur perusak kayu, pulp dan kertas, bahan nya kepada native speaker.
berlignoselulosa bukan kayu dan biomas kayu yang 3. Sistematika penulisan:
berhubungan dengan produk kehutanan. Selain itu, jurnal 3.1. Judul (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris)
ini juga mempublikasikan tulisan review dengan tema 3.2. Nama lengkap Penulis
yang ditentukan oleh redaksi. 3.3. Abstrak (bahasa Inggris)
3.4. Kata kunci (key words)
Pernyataan dan Ketentuan 3.5. Teks:
Pendahuluan
1. Makalah yang dipublikasikan adalah berupa hasil Bahan dan Metode
penelitian yang dilakukan dengan ruang lingkup Ilmu Hasil dan Pembahasan
dan Teknologi Kayu serta review dengan tema yang Kesimpulan (dan Saran)
ditentukan oleh Redaksi. Daftar Pustaka
2. Makalah tersebut belum pernah dipublikasikan pada Nama dan Alamat Lengkap Instansi Penulis
jurnal maupun prosiding sebelumnya. Lampiran
3. Makalah dapat dikirimkan ke alamat Redaksi dalam 4. Ketentuan lainnya:
bentuk print out 2 rangkap dan software file melalui 4.1. Agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik,
pos; atau electronic file melalui alamat e-mail: benar, kuantitatif dan kronologis.
wahyudwianto@yahoo.com. 4.2. Penulisan kata bahasa asing dengan huruf miring.
4. Penulis bersedia memperbaiki makalah yang diterima 4.3. Nama kayu/tumbuhan harus disertai nama botani.
di jurnal ini sesuai dengan saran dan pertanyaan dari 4.4. Penulisan angka dengan desimal menggunakan titik
Dewan Penelaah. (contoh: 2.45).
5. Tatabahasa dan tataletak Gambar/Tabel bersedia 4.5. Penulisan besaran diantara menggunakan symbol ~
diubah oleh Redaksi tanpa mengubah substansi. (contoh: 3.75 ~ 8.92%).
6. Bersedia membayar biaya publikasi sebesar Rp. 4.6. Gambar yang dikirimkan harus masih dapat diubah.
150.000,- s/d 6 halaman cetak dan kelebihan 4.7. Daftar Pustaka ditulis menurut abjad A ~ Z. Penulis
halaman akan dikenakan biaya sebesar Rp. 30.000,- diharapkan mencocokkan Daftar Pustaka.
per halaman. Khusus mengenai Gambar yang 4.8. Contoh penulisan nama pustaka pada text adalah:
dicetak berwarna akan dikenakan biaya tambahan. (Palomar et al. 1990; Arancon 1997).
4.9. Contoh penulisan Daftar Pustaka yang memenuhi
ketentuan adalah: Harada, T. 1996. Charring Rate
Calculated from Mass Loss Rate. Journal of the
Japan Wood Research Society 42:194-201.
Vol. 7 • No. 2 • Juli 2009 ISSN 1693-3834

Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis
(Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Objective and Scope 2. Manuscripts written in English should be checked for
spelling and grammar by a native speaker.
Journal of Tropical Wood Science and Technology is the 3. Manuscripts compositions:
official journal of the Indonesian Wood Research Society. 3.1. Title
This journal is a national and international medium in 3.2. Complete name of Authors
exchanging, sharing and discussing the science and 3.3. Abstract
technology of wood. The journal publishes original 3.4. Key words
manuscripts of basic and applied research of wood 3.5. Texts:
science and technology related to the basic properties of Introduction
wood, wood machineries, wood panel and composite Materials and Methods
products, and engineering of wood for constructions; as Results and Discussion
well as wood properties enhancement, termite and wood Conclusions (and Suggestions)
deterioration fungi, pulp and paper, ligno-cellulosic References
materials other than wood and biomass in concern with Name and complete address of Authors
forest products. Besides that, this journal also publishes Appendix
review manuscripts which topics are decided by the 4. Other rules:
editors. 4.1. Names of wood are followed by Botanical Name.
4.2. Decimals are written using point (.), e.g. 2.45.
General Remarks 4.3. Values between are written using this symbol ( ),
e.g. 3.75 8.92%.
1. Manuscripts will be accepted for publications are 4.4. Editors could modify Figures without changing their
those discussing/containing results of research on substantial meaning.
wood science and technology, and reviews on 4.5. References are arranged from A to Z.
specific topics, which are decided by the Editors. 4.6. References in text are written as this example:
2. Manuscripts have not been published elsewhere. (Palomar et al. 1990; Arancon 1997).
3. Manuscripts could be sent to the Editor address in 4.7. Examples of writing of References: Harada, T. 1996.
the form of 2 hardcopies and software file by mail; or Charring Rate Calculated from Mass Loss Rate.
electronic file through e-mail address: Journal of the Japan Wood Research Society 42:194-
wahyudwianto@yahoo.com. 201.
4. Authors are requested to correct the manuscripts
accepted for publications as suggested by the Editor address:
Reviewers. Research and Development Unit for Biomaterials
5. Editors could change texts and positions of Figures Indonesian Institute of Sciences
and Tables without changing their substantial Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong,
meanings. Bogor 16911, Indonesia
6. The Authors would be charged for publication fee, Tel/Fax : 62-21-87914509; 87914511/87914510
Rp. 150.000,- for 6 publication pages and Rp. E-mail : wahyudwianto@yahoo.com
30.000,- per page for additional pages. http : //jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/

Manuscripts preparations Indonesian Wood Research Society address:


Faculty of Forestry, Mulawarman University
1. Manuscripts must be in Indonesian or English, Kampus Gunung Kelua,
typewritten using Word, Arial Narrow, single space, 3 Jl. Ki Hajar Dewantara, PO BOX 1013
cm of left and right margin and 2.5 cm of top and Samarinda 75123, Indonesia
bottom margin of a Letter paper size. Title is printed Tel : 62-541-737078
with a font size of 14 pt, Authors are of 12 pt, and Fax : 62-541-737078
Text is of 10 pt. E-mail : Mapekipusat@gmail.com
Daftar Isi
Original:

Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.)


The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC.)
Abdurachman..................................................................................................................................... 49 - 55

Penetapan Angka Bentuk dan Tabel Berat Rotan (Calamus heteracanthus Zipp dan
Korthalsia Zippeli Burret) pada Kondisi Kering Udara Asal Hutan Dataran Rendah
Ransiki-Manokwari
Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia
zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki, Manokwari
Susan Trida Salosa .......................................................................................................................................... 56 - 61

Karakteristik LVL Lengkung dengan Proses Kempa Dingin


Characteristic of LVL Bent by Cold Press Process
Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji P. dan Bambang Subiyanto ......................... 62 - 66

Perlakuan Enzim pada Serpih Kayu Daun Lebar untuk Refiner Mechanical Pulping (RMP)
Enzyme Pretreatment to Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP)
Wawan Kartiwa Haroen ................................................................................................................................... 67 – 74

Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kimia dari Kulit Batang Manggis (Garcinia
mangostana Linn)
Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia
mangostana Linn)
Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman .................. 75 - 78

Pengaruh Lama dan Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas dan Struktur Kimia Arang Aktif
Bagasse
Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse
Activated Charcoal
Wawan Sujarwo ................................................................................................................................. 79 - 84

Karakterisasi Sifat-Sifat Arang Kompos dari Limbah Padat Kelapa Sawit (Elaeis guinensis
Jack)
Characterization of Compost Charcoals Properties from Oil Palm (Elaeis guinensis Jack) Solid
Waste
Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari ................................ 85 - 91

Review:

Tinjauan Penelitian Terkini tentang Pemanfaatan Komposit Serat Alam untuk Komponen
Otomotif
Review on Current Research on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive
Components
Subyakto dan Mohamad Gopar............................................................................................................ 92 - 97
Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.)
The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC.)

Abdurachman

Abstract

Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) signifies as one of the wood species that belong to the streaked Ebony. In
Indonesia, this species prevalently grows in Sumatera and West Java. The branch-free stem of this species when
reaching over 25 years can reach about 5 m in height and 30 cm in diameter. It is categorized as dense wood with dark
color, which gradually appears like Eben wood. This wood usually finds much uses as handcraft and merchant items.
This research aimed to look into characteristic and uses of Bisbul wood through laboratory-scale testing on its
physical and mechanical properties. This examined wood species was originated from the community-owned forest
situated in Bogor regency. The wood samples were taken from three height positions at branch-free Bisbul tree stems
(i.e. top, middle, and butt portions) and from three lateral portions (sapwood, heartwood, and pitch), and then prepared to
specimens measuring 2 cm by 2 cm in cross-section area. Each of the combination between such height and lateral-
depth positions was replicated three times. The tested physical and mechanical properties covered specific gravity,
moisture content, shrinkage, static bending, compressive strength parallel to the grain, shear, tensile parallel to the grain,
and impact bending.
Results revealed that based on moisture content and specific gravity, Bisbul wood belongs to medium density and
floats on the water. Its radial (R) and tangential (T) shrinkages were categorized as medium in the range of 0.92 ~ 2.74%
and 2.26 ~ 4.04%, respectively with T/R ratio somewhat less than 2, indicating that the wood was unstable due to
moisture changes. Air-dry moisture content at various height and depth positions ranged about 14 ~ 16%, but the density
decreased moving from the top, middle, to butt portions. The density at top, middle, and butt portions was consecutively
0.756 ~ 0.806 g/cm3, 0.710 ~ 0.805 g/cm3, and 0.672 ~ 0.716 g/cm3. Based on the examined mechanical properties,
Bisbul wood belonged to strength class II ~ I at the butt and middle portion, and to class III ~ II to top portion.

Key words: Bisbul wood, physical and mechanical properties, utilization.

Pendahuluan dan kayu pertukangan. Menurut Heyne (1987), batang


kayu Bisbul yang telah berumur lebih dari 25 tahun bisa
Dari sekitar 400 jenis kayu yang dianggap penting di mencapai tinggi bebas cabang 5 m dengan diameter
Indonesia, baru sebagian saja yang sudah diketahui sifat 30 cm dan tergolong kayu sangat keras berwarna gelap
dan kegunaannya, 259 jenis di antaranya sudah dikenal seperti daging yang lambat laun menjadi seperti kayu
dalam perdagangan dan dapat dikelompokkan menjadi Eben.
120 jenis kayu perdagangan (Martawijaya et al. 2005). Sifat fisik suatu jenis kayu yang erat hubungannya
Beberapa jenis kayu komersial seperti kayu Ramin, dengan sifat mekanik kayu dalam menentukan
Eboni, Sungkai dan lain-lain yang memiliki penampilan karakteristik mekanik dan kelas kekuatannya adalah
yang menarik terutama digunakan sebagai bahan baku kadar air dan berat jenis atau kerapatan. Sedangkan
pembuatan mebel dan barang kerajinan. Jenis kayu penyusutan arah pada kayu digunakan untuk
tersebut potensinya semakin berkurang bahkan hampir menentukan tingkat stabilitas kayu pada saat
punah. Usaha untuk menjaga mutu dan jumlah produk digunakan.(Hadjib 1999).
hasil hutan kayu telah dilakukan antara lain dengan Sampai saat ini belum banyak diperoleh data dan
mengganti jenis kayu tersebut dengan jenis kayu yang informasi mengenai sifat dan kegunaan kayu Bisbul. Oleh
penampilan dan sifat-sifatnya hampir sama seperti kayu karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui sifat-sifat
Karet, Mangium dan lain-lain (Rulliaty 2005). fisik dan mekanik kayu tersebut dengan harapan dapat
Kayu Bisbul (Diospyros blancoi A.DC.) tergolong memberikan informasi yang berguna mengenai
dalam famili ebenaceae dan termasuk ke dalam kelompok penggunaannya untuk berbagai keperluan sesuai dengan
jenis Eboni Bergaris (Streaked Ebony) yang tumbuh di sifat dan karekteristiknya.
Sumatera dan Jawa Barat (Soerianegara 1995).
Di Filipina kayu Bisbul disebut “Butter fruit” (Buah Bahan dan Metode
Mentega) karena buahnya yang berbentuk seperti buah
peer beraroma khas dan manis rasanya dan dimakan oleh Bahan kayu yang digunakan dalam penelitian ini
penduduk seperti halnya di Indonesia. Sedangkan ialah kayu Bisbul berumur kurang lebih 15 tahun dan
kayunya digunakan sebagai bahan baku barang kerajinan

The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC)
(Abdurachman) 49
berdiameter 20 cm. Kayu tersebut diperoleh dari kebun Hasil dan Pembahasan
milik rakyat di Cimanglid Bogor Jawa Barat. Bahan lain
yang digunakan adalah air destilasi dan paraffin. Sifat Fisik Kayu Bisbul
Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu alat Hasil pengamatan kadar air pada kondisi basah dan
pemotong (gergaji potong/belah), mesin serut, ampelas, penyusutan volume dari basah ke kering tanur pada posisi
cutter, alat ukur panjang (meteran, penggaris, dial ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul telah
caliper), timbangan, oven, gelas piala, desikator, alat tulis dilaporkan oleh Krisdianto (2005). Kadar air tertinggi
dan alat uji mekanis (UTM) Simadzu berkapasitas 20 ton terjadi pada bagian ujung batang (top) dan terendah pada
gaya, serta alat uji pukul Amsler berkapasitas 10 kgm). bagian pangkal (bottom). Pada setiap ketinggian, kadar
Metode penelitian meliputi pengambilan dan air tertinggi pada kayu gubal (sapwood), sementara
pembuatan contoh uji, pengujian sifat fisik dan mekanik bagian kayu teras (hearthwood) lebih rendah dari pada
dan pengolahan data yang diuraikan sebagai berikut : bagian empulur (pitch). Berdasarkan posisi ketinggian,
penyusutan volume paling tinggi terjadi pada bagian
Pengambilan Contoh Uji pangkal dan berdasarkan posisi kedalaman, bagian kayu
Dari satu batang kayu Bisbul sepanjang 6 m dibagi teras memiliki penyusutan paling rendah dari bagian
menjadi 3 dolok yang masing-masing menunjukkan posisi lainnya dan tergolong penyusutan tinggi.
dalam pohon yaitu pangkal (A), tengah (B) dan ujung (C). Kerapatan rata-rata pada bagian pangkal (bottom),
Dari setiap dolok diambil menurut posisi penampang dari tengah (middle) dan ujung (top) serta posisi kedalaman
empulur menuju bagian kayu gubal seperti Gambar 2. batang bagian empulur (pitch), teras (heartwood) dan
gubal (sapwood) kayu Bisbul berdasarkan perbandingan
Pembuatan Contoh Uji berat dan volume kering udara dan perkiraan kadar air
Contoh uji sifat fisik (kerapatan, kadar air dan minimum dan maksimum dapat dilihat pada Tabel 1.
penyusutan) berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm dari bagian Pada Tabel 1 tampak bahwa kadar air minimum dan
pangkal (bottom), tengah (middle) dan ujung (top) batang maksimum meningkat mulai dari bagian pangkal, tengah
serta pada bagian kayu lunak (pitch), teras (heartwood) dan ujung, tetapi kadar air kering udara tidak
dan gubal (sapwood). Masing-masing bagian terdiri dari 3 menunjukkan kekonsistenan baik pada posisi ketinggian
ulangan, sehingga berjumlah 27 contoh uji kerapatan dan maupun kedalaman batang. Secara keseluruhan,
kadar air serta 27 contoh uji penyusutan. Contoh uji sifat kerapatan dan kadar air kering udara berdasarkan letak
mekanik (lentur statik, tekan sejajar serat, tekan tegak ketinggian dan posisi kedalaman kayu ditampilkan pada
lurus serat, geser sejajar serat, keteguhan pukul dan tarik Gambar 3. Kadar air kering udara pada berbagai posisi
sejajar serat) masing-masing 5 ulangan pada bagian ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul berkisar
pangkal, tengah dan ujung batang, sedangkan pada antara 14% ~ 16%, namun kerapatan menurun dari
bagian kayu lunak, teras dan gubal diambil secara acak bagian pangkal hingga ujung batang. Kerapatan pada-
sehingga berjumlah 15 contoh uji untuk setiap sifat bagian pangkal berkisar 0.756 ~ 0.806 g/cm3, tengah
mekanik yang diamati. Semua ukuran contoh uji sesuai 0.710 ~ 0.805 g/cm3 dan ujung 0.672 ~ 0.716 g/cm3.
dengan Anonim (1994) untuk contoh uji kecil bebas cacat Nilai rata penyusutan arah radial (R), tangensial (T) serta
(small clear specimen). rasio T/R dari kondisi basah ke kering udara ditampilkan
pada Tabel 3. Penyusutan rata-rata arah radial terendah
Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik terjadi pada kayu gubal (Sapwood) bagian ujung (top)
Untuk pengujian sifat fisik dilakukan terhadap kondisi batang dan tertinggi terjadi di sekitar empulur (pitch) pada
basah sampai kondisi kering tanur, sedangkan untuk bagian pangkal (bottom) batang. Pada arah tangensial
pengujian sifat mekanik hanya pada kondisi kering udara penyusutan terendah dan tertinggi terjadi di sekitar
berdasarkan metode pengujian menurut Anonim (1994). empulur pada bagian ujung dan pangkal batang. Gambar
4 memperlihatkan besarnya penyusutan berbagai posisi
Pengolahan Data ketinggian dan kedalaman kayu Bisbul secara
Analisis data yang dilakukan meliputi perhitungan keseluruhan, di mana nilainya berbeda-beda pada setiap
rata-rata hasil pengujian menurut posisi ketinggian dan posisi ketinggian (height) maupun kedalaman (depth). Hal
posisi kedalaman dolok dan penentuan kelas kuat kayu tersebut disebabkan oleh sifat higroskopis kayu yaitu
berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu pada contoh kecil dapat mengikat dan melepaskan air sesuai dengan
bebas cacat menurut Den Berger (1923). Untuk keadaan suhu dan kelembaban udara di sekitarnya.
penentuan kelas kekuatan kayu pada skala pemakaian Akibat pengaruh-pengaruh tersebut menyebabkan kayu
pada berbagai ketinggian pohon dihitung dan mengalami penyusutan dan pengembangan yang
diklasifikasikan menurut Anonim (1961). berbeda pada ketiga arah sumbunya (sifat anisotropis
kayu). Pada arah radial kayu menyusut/mengembang
sekitar 0.1 ~ 0.3%, arah tangensial sekitar 4.3 ~ 14% dan
arah longitudinal sekitar 2.1 ~ 8.5%.

50 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Figure 1. Leaves and fruit of Bisbul.

Top C
120 cm 1 2 3 4

5 6 7 8 9 10
heartwood
11 12 13 14 15 16
60 cm pitch
17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 28
Middle B 120 cm 29 30 31 32
sapwood
1
60 cm
2 cm 2 cm

120 cm Physical Properties


Bottom
A
Mechanical Properties

30 cm

a. Sampling stem b. Sampling stick

Figure 2. Cutting samples pattern

The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC)
(Abdurachman) 51
Table 1. Mean values of specific gravity of wood tested and approximation of minimum and maximum moisture content.
Air dry density
Height Moisture content (%)
Depth position (g/cm3)
position
Air dry Min. Max.
1 (pitch) 15.16 58.10 93.10 0.79
A (Bottom) 2 (heartwood) 14.97 55.34 90.34 0.79
3 (sapwood) 15.12 55.27 90.27 0.79
1 (pitch) 14.34 63.22 98.22 0.75
B (Middle) 2 (heartwood) 14.90 61.96 96.96 0.75
3 (sapwood) 15.13 58.76 93.76 0.77
1 (pitch) 14.83 74.32 109.32 0.69
C (Top) 2 (heartwood) 14.37 76.17 111.17 0.68
3 (sapwood) 15.66 74.91 109.91 0.69

18 0.85

16
0.8
14
Moisture Content (%)

Density (g/cm3)
12
0.75
10

8
0.7
6 P : pitch
H : Heartwood
4 S : Sapwood
0.65
2 Moisture
Content
0 0.6 Density
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
P H S P H S P H S
Bottom Middle Top

Height & depth Position

Figure 3. The air dry density and moisture content based on height and depth positions.

Table 3. The mean of shrinkage direction at wet to air dry condition.


Radial shrinkage (%) Tangential shrinkage (%)
Height stem
Pitch Heart-wood Sap-wood Pitch Heart-wood Sap-wood
Bottom 2.35 2.23 1.29 3.68 3.20 3.16
Middle 1.90 1.37 1.75 3.43 2.87 2.96
Top 1.77 1.35 1.21 2.46 2.70 2.75
Mean 2.01 1.65 1.42 3.19 2.92 2.96

Berdasarkan klasifikasi penyusutan arah dari berubah bentuk yang mengakibatkan cacat bentuk
kondisi basah ke kering udara (Table 4), kayu Bisbul (Martawijaya 1990).
tergolong memiliki penyusutan sedang pada arah radial
dan penyusutan tinggi pada arah tangensial. Table 4. The shrinkage classification.
Ratio penyusutan T/R seperti pada Gambar 4 Range of shrinkage (%) Grade
menunjukkan bahwa nilai rata-ratanya 1.84 pada bagian > 3.5 Very High
pangkal (bottom), 1.88 bagian tengah (middle) dan 1.97 2.5 ~ 3.5 High
bagian ujung (top) batang, sehingga kayu Bisbul memiliki 1.5 ~ 2.5 Middle
kestabilan dimensi rendah (Abdurachman dan Hadjib < 0.5 Low
2001) dan kayu cenderung lebih mudah pecah atau Source : Burgess (1966)

52 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


4.5
4
3.5

Shrinkage (%)
3
2.5
2

1.5
1 P : pitch

0.5 H : Heartwood
S : Sapwood
0
Radial
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
Tangential
P H S P H S P H S
Bottom Middle Top
T/R ratio
Height and depth position

Figure 4. Shrinkage based on vertical and horizontal positions.

Table 5. The mean of mechanical properties based on stem height


Mechanical Properties : Unit Bottom Middle Top
Specific Gravity* - 0.68 0.66 0.60
Modulus of proportional limit kg/cm2 770.08 626.84 529.23
Modulus of elasticity kg/cm2 70597.87 56013.08 51447.86
Modulus of rupture kg/cm2 959.06 717.28 666.10
Compression // to the grain kg/cm2 492.94 486.02 386.28
Compression to the grain kg/cm 2 294.06 286.53 277.02
Radial Shear Strength kg/cm 2 90.45 117.33 111.52
Tangential Shear Strength kg/cm2 76.82 67.51 94.03
Radial Impact Bending kgm/dm3 28.62 14.66 12.84
Tangential Impact Bending kgm/dm3 30.88 15.81 13.82
Radial Tensile Strength kg/cm2 701.69 699.26 688.15
Tangential Tensile Strength kg/cm2 1039.73 509.68 531.84

Table 6. Strength class of Indonesian wood classification based on specific gravity.


Strength Class Specific Gravity Bending Strength Maximum Crushing Strength
(kg/cm2) (kg/cm2)
I > 0.90 > 1.100 > 650
II 0.90 ~ 0.60 1.100 ~ 725 650 ~ 425
III 0.60 ~ 0.40 725 ~ 500 425 ~ 300
IV 0.40 ~ 0.30 500~ 360 300 ~ 215
V < 0.30 < 360 < 215
Source : Berger (1923)

Table 7. Permissible stress and strength class of the Bisbul wood tested.
Height position Specific Gravity Permissible stress (kg/cm2)
(G) lt tk// = tr// t // Strength Class

Bottom 0.68 116.27 102.60 27.36 13.68 II ~ I


Middle 0.66 111.77 98.62 26.30 13.15 II ~ I
Top 0.60 101.97 89.97 23.99 12.00 III ~ II

The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC)
(Abdurachman) 53
Sifat Mekanik
Nilai rata-rata sifat mekanik yang diteliti menurun yaitu 2.35%. Pada arah tangensial penyusutan
mulai dari bagian pangkal, tengah, hingga ujung batang, terendah dan tertinggi terjadi di sekitar empulur pada
kecuali geser sejajar serat (radial) pada bagian pangkal bagian ujung dan pangkal batang yaitu 2.46% dan
lebih rendah dari bagian tengah dan ujung batang. 3.68%.
Demikian pula geser sejajar serat bidang tangensial, 4. Berdasarkan klasifikasi penyusutan arah dari kondisi
bagian ujung batang lebih tinggi dibandingkan dengan basah ke kering udara kayu Bisbul tergolong memiliki
bagian tengah dan pangkal batang seperti tampak pada penyusutan sedang pada arah radial dan penyusutan
Tabel 5. Karena sifat ini berbeda dengan yang lainnya tinggi pada arah tangensial.
dan penyebabnya belum diketahui, sehingga perlu 5. Nilai rata-rata ratio penyusutan T/R 1.84 pada bagian
dilakukan penelitian lebih lanjut. pangkal (bottom), 1.88 bagian tengah (middle) dan
Sifat mekanik kayu sangat dipengaruhi oleh berat 1.97 bagian ujung (top) batang, sehingga kayu Bisbul
jenis atau kerapatan (Dwianto dan Marsoem 2008). Di memiliki kestabilan dimensi rendah.
samping itu sebagaimana sifat fisik, maka sifat mekanik 6. Nilai rata-rata sifat mekanik yang diteliti (keteguhan
kayu berbeda pula pada setiap posisi ketinggian maupun lentur statik, tekan sejajar serat, tekan tegak lurus
posisi kedalaman dolok (sifat anisotropis kayu) terhadap serat, geser sejajar serat dan keteguhan tarik sejajar
arah longitudinal (sejajar arah serat), radial (menuju serat) pada umumnya menurun mulai dari bagian
pusat) dan tangensial (menurut arah garis singgung) pangkal, tengah, hingga ujung batang.
dolok (Dumanuaw 1990). 7. Berdasarkan kelas kekuatan kayu Indonesia, maka
Untuk mengetahui kelas kekuatan kayu Bisbul kayu Bisbul pada berbagai ketinggian tergolong
serta kemungkinan penggunaannya, maka sifat-sifat kelas kuat III ~ II.
mekanik kayu yang berhubungan dengan ketahanan 8. Kayu Bisbul bagian pangkal dan tengah dapat
menerima beban luar dibandingkan dengan klasifikasi digunakan sebagai kayu pertukangan termasuk kayu
kekuatan kayu menurut Berger (1923) dapat dilihat pada konstruksi yang memikul beban tinggi, sedangkan
Tabel 6. pada bagian ujung batang dapat digunakan sebagai
Berdasarkan Tabel 6, maka kayu Bisbul pada bahan baku untuk keperluan lainnya seperti mebel
berbagai ketinggian tergolong kelas kuat III ~ II, dan barang kerajinan.
penurunan kelas kuat tersebut konsisten mulai dari bagian
pangkal hingga ujung batang seperti tampak pada Tabel Daftar Pustaka
5. Kelas kekuatan tersebut merupakan hasil penelitian
laboratories menggunakan contoh kecil bebas cacat Anonim. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia.
(CKBK). Kelas kekuatan untuk skala pemakaian Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
berdasarkan berat jenis, dapat dihitung tegangan ijin Yayasan Dana Normalisasi. Jakarta.
(permissible stress) untuk kayu mutu A menurut Anonim Anonim. 1994. Standard Methods of Testing Small Clear
(1961) dalam Abdurachman dan Hadjib (2005) sebagai Specimen of Timber. Annual Book of ASTM
berikut : lt = 170G ; tk// = tr// = 150G : t = 40G dan Standards. Philadelphia.
// = 20G ; di mana G = Berat jenis kayu kering udara. Abdurachman dan N. Hadjib. 2001. Sifat Fisik dan
Berdasarkan Tabel 7, maka kayu Bisbul bagian Mekanis Jenis Kayu Andalan Setempat Jawa Barat.
pangkal dan tengah dapat digunakan sebagai kayu Prosiding Seminar Nasional Mapeki IV. Samarinda.
pertukangan termasuk kayu konstruksi yang memikul Pp II125-II135.
beban tinggi, sedangkan pada bagian ujung batang dapat Abdurachman dan N. Hadjib. 2005. Kekuatan dan
digunakan sebagai bahan baku untuk keperluan lainnya. Kekakuan Balok Lamina dari Dua Jenis Kayu Kurang
Dikenal. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(2):87-100.
Kesimpulan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
1. Kadar air kering udara kayu Bisbul pada berbagai Burgess, P.F. 1966. Timbers of Sabah. Sabah Forest
posisi ketinggian dan kedalaman batang kayu Bisbul Records No. 6. Sabah. Burgess, P.F. 1966. Timbers
berkisar antara 14% ~ 16%. of Sabah. Sabah Forest Records No. 6. Sabah.
2. Kerapatan menurun dari bagian pangkal hingga Den Berger, L.G. 1923. De Grondslagen voor de
ujung batang. Kerapatan pada bagian pangkal Classificatie van Nederlandsch Indische
berkisar 0.756 ~ 0.806 g/cm3, tengah 0.710 ~ 0.805 Timmerhoutsoorten. Tectona. Vol. XVI.
g/cm3 dan ujung 0.672 ~ 0.716 g/cm3. Dumanuaw, 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisus.
3. Penyusutan rata-rata arah radial terendah terjadi Yogjakarta.
pada kayu gubal (Sapwood) bagian ujung (top) Dwianto W. dan S.N. Marsoem. 2008. Tinjauan Hasil-
batang yaitu 1.21% dan tertinggi terjadi di sekitar hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang
empulur (pitch) pada bagian pangkal (bottom) batang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu

54 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
6(2): 85-100. Kehutanan. Bogor.
Hadjib N, dan Abdurachman. 1999. Sifat Fisis dan Rulliaty. 2005. Beberapa Jenis Kayu Alternatif Pengganti
Mekanis Beberapa Jenis Kayu dari Jawa Barat Ramin. Prosiding Seminar Nasional Mapeki VIII.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (5): 287-292. Pusat Tenggarong, 3~5 September 2005. Pp. A41~A45.
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Soerianegara, I. 1995. General Part of Diospyros L. In
Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor Lemarens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. (Eds.) Plant Resources of South East Asia N. 5(2).
Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Timber trees : Minor commercial timber. PROSEA
Krisdianto and Abdurachman. 2005. Anatomical and Foundation. Bogor. P.185.
Physical Properties of Bisbul Wood (Diospyros
blancoi A.DC.). Journal of Forestry Research 2(1):
57-67. Ministry of Forestry. Forestry Research and Abdurachman
Development Agency. Jakarta. Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Martawijaya, 1990. Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu yang (Forest Product Research and Development Center)
Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor.
Prosiding Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Tel. : 0251-8633378
Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Fax : 0251-8633413
Jakarta. HP : 081386021510
Martawijaya A., Iding K., Kosasi K., dan Soewanda A.P. E-mail : man_p3hh@yahoo.com
2005. Atlas Kayu Jilid I. Edisi Revisi. Departemen

The Physical and Mechanical Properties of Bisbul Wood (Diospyros blancoi A.DC)
(Abdurachman) 55
Penetapan Angka Bentuk dan Tabel Berat Rotan (Calamus heteracanthus Zipp
dan Korthalsia Zippeli Burret) pada Kondisi Kering Udara Asal Hutan Dataran
Rendah Ransiki-Manokwari
Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and
Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from Low Land Forest Ransiki,
Manokwari

Susan Trida Salosa

Abstract

The purpose of this research is to calculate form number and weight table of two commercial species of rattans
(Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on air-dry condition. Observation variables which are used in
this research were length, diameter, weight of rattan on fresh and air-dry conditions. Data collected is analized by using
statistics to fid mean, standard deviation and interval. The result shows that C. heteracanthus Zipp length, weight and
diameter bigger than K. zippeli Burret on fresh and air-dry conditions. The form number of C. heteracanthus Zipp on fresh
condition is 0.90 and on air-dry condition is 0.56, where as K. zippeli Burret has form number 0.90 on fresh condition and
0.45 on air-dry condition. Water content of C. heteracanthus Zipp and K. zippeli Burret 0.45 on fresh condition are
101.35% and 146% and on air-dry condition 18.67% and 19.38%. Weight table of both rattans can be applied specifically
in low land forest of Ransiki or at any other area, which has similar natural condition with this area.

Key words: form number, weight table, rattan, Calamus heteracanthus Zipp, Korthalsia zippeli Burret, fresh condition,
air condition, water content.

Pendahuluan volume pohon (m3). Sehingga untuk memberi gambaran


tentang potensi rotan perlu dibuat tabel berat. Untuk
Latar Belakang membuat tabel berat maka terlebih dahulu perlu diketahui
Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) angka bentuk berdasarkan jenis dan asal tempat tumbuh
yang memiliki nilai ekonomi strategis setelah hasil hutan rotan tersebut. Rombe (1986), menjelaskan bahwa untuk
kayu. Hal ini sangat beralasan karena Indonesia memiliki mengukur potensi rotan, parameter yang diukur antara
kurang lebih 306 jenis dan 9 genera yang merupakan lain jumlah rumpun, jumlah batang tiap rumpun, diameter
negara penghasil rotan terbesar di dunia (± 80%). Selain batang, panjang dan berat per batang masing-masing
itu komoditi ini memiliki keunggulan komparatif yang dapat jenis rotan. Kemudian dari parameter tersebut dapat
meningkatkan nilai tambah yang sangat berarti bagi ditaksir berat rata-rata tiap batang, potensi rata-rata per
peningkatan pendapatan daerah. hektarnya dalam satuan jumlah batang/hektar atau
Sebagaimana halnya di daerah lainnya di Indonesia, kilogram/hektar. Bila standard nilai ukuran angka bentuk
seperti Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi yang terlebih dan tabel berat dari jenis-jenis potensial tertentu pada
dahulu mengusahakan rotan sebagai komoditi non kayu suatu daerah tertentu telah diketahui, maka dengan
unggulan, Papua juga memiliki potensi dan peluang yang mudah dapat dihitung besaran nilai potensi rotan suatu
sama. Rombe (1986) memperkirakan bahwa luas areal daerah dan strategi pengusahaannya.
hutan di Papua lebih kurang 11.402 juta hektar yang Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli
tersebar hampir di setiap kabupaten memiliki potensi Burret merupakan jenis-jenis rotan komersil yang terdapat
untuk dikembangkan sebagai sumber ekonomi daerah. di Papua, namun sejauh ini informasi mengenai suatu
Namun sejauh ini potensi tersebut belum dimanfaatkan ukuran pendugaan potensi yang baku seperti angka
secara optimal, karena di sektor kehutanan hasil hutan bentuk dan tabel berat masih sangat kurang (Rusmiati
kayu dari hutan alam masih menjadi sumber pendapatan 1996 dan Anonimous 1997). Untuk maksud tersebut,
utama. Hal ini terjadi karena belum tersedianya data dan maka selayaknya penelitian tentang angka bentuk dan
informasi yang cukup akurat untuk mengukur potensi tabel berat rotan pada setiap daerah potensial tertentu
jenis-jenis rotan potensial yang ada di Papua dengan perlu dilakukan di Papua. Hutan alam Ransiki merupakan
standard ukuran yang baku. salah satu kawasan yang dipilih sebagai daerah target
Untuk mengetahui potensi rotan secara kuantitatif penelitian, karena daerah ini memiliki potensi yang dapat
biasanya dinyatakan dalam berat (kg/ton), berbeda dijadikan harapan sebagai sumber peningkatan
dengan potensi kayu yang biasanya dinyatakan dalam pendapatan daerah Manokwari.

56 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan ditimbang selanjutnya dioven. Untuk kondisi kering udara,
angka bentuk dan tabel berat rotan asal hutan dataran contoh uji dikeringkan dan secara kontinyu dilakukan
rendah Ransiki, yaitu Calamus heteracanthus Zipp dan penimbangan berat hingga diperoleh nilai berat terendah
Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara. dan stabil. Bila berat telah stabil maka dilakukan
pengukuran diameter dan ditimbang beratnya yang
Metodologi dinyatakan sebagai diameter dan berat pada kondisi
kering udara. Setelah contoh uji kadar air mencapai
Tempat dan Waktu Penelitian kondisi kering udara kemudian dioven guna memperoleh
Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan dataran berat rotan kondisi kering tanur. Perhitungan berat dan
rendah Desa Siwi Kecamatan Ransiki Kabupaten diameter rata-rata setiap batang rotan pada kedua kondisi
Manokwari dan di Laboratorium Kehutanan Faperta adalah sebagai berikut:
Universitas Cendrawasih. Penelitian berlangsung selama n
kurang lebih 3 bulan (Mei s/d Agustus 1998). Berat Total = ∑ Bi x L1/10
i=1
Bahan dan Alat
Bahan yang dijadikan obyek penelitian adalah jenis n
rotan Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Diameter = ∑ Di
Burret yang berasal dari hutan alam dataran rendah Desa i=1
Siwi serta telah masak tebang dengan panjang ≥ 5 m. n
Peralatan penelitian yang digunakan adalah parang,
meteran roll, gergaji, kantung plastik, timbangan analitik, dimana:
kaliper, kalkulator, kamera, alat tulis-menulis dan lembar Bi = Berat rotan ukuran 10 cm dari contoh uji ke-1 (g)
kerja, serta alat penunjang lain. 10 = Contoh uji 10 cm
N = Jumlah sampel berukuran 100 cm
Metode Penelitian L1 = Panjang potongan sampel (100 cm, 110 cm dan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah SSP)
metode deskriptif dengan teknik observasi. Variabel yang SSP = Sampel Sisa Potongan (<100 cm)
diamati yaitu panjang, diameter, berat, dan kadar air rotan Di = Diameter rotan berukuran 10 cm dari contoh uji
pada kondisi segar dan kering udara. ke-i

Prosedur Penelitian Suhu pengeringan oven untuk kedua contoh uji


kadar air baik kadar air segar maupun kadar air kering
Pembuatan Contoh Uji. Sampel rotan diambil secara udara adalah 103 ± 20C yang dinaikkan secara perlahan-
acak hingga terpilih sebanyak 25 batang rotan untuk lahan. Selanjutnya selama periode tertentu dilakukan
masing-masing jenis yang menyebar merata pada lokasi penimbangan hingga diperoleh berat terendah dan stabil.
penelitian. Dari 25 sampel yang diambil kemudian Hasi penimbangannya dinyatakan sebagai berat kering
dipotong dalam ukuran 100 cm dan 110 cm pada bagian oven.
pangkal, tengah dan ujung serta diukur panjang sisa Data panjang dan diameter hasil pengukuran contoh
potongannya. Dari potongan-potongan sampel tersebut uji digunakan untuk menghitung volume rotan pada kedua
diambil masing-masing 1 contoh uji berukuran 10 cm bagi kondisi dengan menggunakan rumus Huber (Hasanu
penetapan angka bentuk dan tabel berat ditambah 2 buah 1993):
contoh uji kadar air berukuran 5 cm pada setiap sampel V=1/4 ∏ x (D)2 x L
berukuran 110 cm untuk pengukuran kadar air segar dan dimana:
kadar air kering udara. Dengan demikian dari 25 sampel V = Volume rotan (cm3)
diperoleh contoh uji angka bentuk dan tabel berat ∏ = 3,14 atau 22/7
sebanyak 407 buah untuk Calamus heteracanthus Zipp D = Diameter bagian tengah (cm)
dan 195 buah contoh uji untuk Korthalsia zippeli Burret. L = Panjang (cm)
Sedangkan jumlah contoh uji kadar air bagi masing-
masing jenis rotan adalah sebanyak 150 buah, terdiri dari Penetapan Angka Bentuk Rotan. Angka bentuk rotan
75 buah contoh uji kadar air segar dan 75 buah contoh uji adalah koefisien regresi yang diperoleh dari hubungan
kadar air kering udara. regresi linier yang didasarkan pada perbandingan antara
Pengukuran diameter dan penimbangan berat berat hasil pengukuran dengan volume hasil hitungan.
dilakukan pada contoh uji kondisi segar baik contoh uji Dengan adanya data berat dan volume yang diukur pada
angka bentuk dan tabel berat maupun contoh uji kadar kedua kondisi, yakni kondisi segar dan kondisi kering
air. Hasilnya dinyatakan sebagai diameter dan berat pada udara maka dapat dilihat apakah sama angka bentuk
kondisi segar. Khusus untuk kadar air segar setelah

Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from
Low Land Forest Ransiki, Manokwari
(Susan Trida Salosa) 57
yang diperoleh untuk masing-masing keadaan ini. Analisa Hasil dan Pembahasan
regresi linier dirumuskan sebagai berikut:
Panjang, Diameter dan Berat Rotan
A= y/x atau y=ax Hasil pengukuran panjang, diameter dan berat dua
jenis rotan asal hutan dataran rendah Ransiki-Manokwari,
dimana: yakni Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli
a = Angka bentuk rotan (koefisien regresi) Burret pada kondisi segar disajikan pada Tabel 1. Dari
y = Berat rotan kondisi segar dan kering udara tabel tersebut terlihat pada kondisi segar, Calamus
x = Volume batang rotan kondisi segar dan kering heteracanthus Zipp memiliki panjang, diameter dan berat
udara. lebih besar, yaitu panjang berkisar antara 13.19~19.06 m
dengan rata-rata 16.13 m, diameter berkisar antara
Penetapan Tabel Berat. Tabel berat ditetapkan 1.91~2.10 cm dengan rata-rata 2.00 cm dan berat
berdasarkan angka bentuk yang telah diperoleh dengan berkisar antara 3945 ~ 5920 g dengan rata-rata 4933 g.
jalan menyusun berat rotan pada kedua kondisi yakni Sedangkan Korthalsia zippeli Burret memiliki panjang
kondisi segar dan kering udara berdasarkan kisaran berkisar antara 6.51 ~ 8.75 m dengan rata-rata 7.63 m,
panjang dan diameter yang ada. Variabel penunjang yang diameter berkisar antara 1.85 ~ 2.01 cm dengan rata-rata
diukur adalah kadar air rotan pada kondisi segar dan 1.93 cm dan berat berkisar antara 1692 ~ 2263 g dengan
kondisi kering udara (KAKU) serta suhu dan kelembaban rata-rata 1978 g, Calamus heteracanthus Zipp dan
pada tempat penelitian. Untuk kadar air rotan ini dihitung Korthalsia zippeli Burret termasuk dalam kelompok rotan
menggunakan rumus yang dipakai oleh Haygreen dan berdiameter besar.
Bowyer (1993) sebagai berikut: Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli
Burret tumbuh pada areal kelembaban 79.58% dengan
BBS - BKT ketinggian dari permukaan laut ≥ 20 m dan tipe iklimnya
KAS (%) = x 100% basah. Kedua jenis rotan ini tumbuh menyebar dataran
BKT rendah hingga lereng bukit yang berjenis tanah alluvial
dengan struktur lempung sampai lempung berpasir.
BKU - BKT Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
KAKU (%) = x 100% Calamus heteracanthus Zipp yang bertipe tunggal, dalam
BKT pertumbuhannya bergerak mencari sinar matahari bahkan
sampai menembus tajuk pohon, sehingga memiliki
dimana: panjang yang lebih besar dibandingkan dengan Korthalsia
KAS = Kadar Air Basah/Segar (%) zippeli Burret. Pada jenis rotan Korthalsia zippeli Burret
BBS = Berat Basah (g) yang bertipe rumpun, hanya sebagian kecil yang dapat
KAKU = Kadar Air Kering Udara (%) hidup memanjang pada inangnya sedangkan selebihnya,
BKU = Berat Kering Udara (g) tumbuh memanjang di atas permukaan tanah sehingga
BKT = Berat Kering Tanur (g) mengakibatkan bagian batangnya rusak dan busuk
terserang serangga tanah. Ditambah dengan sempitnya
Analisis Data. Analisis data menggunakan Statistik ruang tumbuh antara individu rotan yang menyebabkan
Deskriptif dengan menampilkan nilai tengah, simpangan terjadinya persaingan yang tinggi dalam penyerapan
baku dan interval dari semua peubah yang diukur unsur hara pada satu rumpun.
memakai paket program minitab 10. Sedangkan angka Hasil pengukuran panjang, diameter dan berat
bentuk diperoleh sebagai koefisien dari hubungan regresi Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret
linier antara berat rotan hasil pengukuran dengan volume asal dataran rendah Ransiki-Manokwari pada kondisi
rotan hasil perhitungan. Dari angka bentuk tersebut dibuat kering udara disajikan pada Tabel 2.
tabel berat untuk kedua jenis rotan ditetapkan
berdasarkan kisaran dari panjang dan diameter yang
diperoleh.

Table 1. The Rate of Length, Diameter and Weight of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari
on the Fresh Condition
Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g)
Averages Intervals Averages Intervals Averages Intervals
C. heteracanthus 16.13 1319~19,16 2.00 1.91~2.10 4933 3945~5920
K. zippeli 7.63 6.51~8.75 1.93 1.85~2.01 1978 1692~2263

58 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Table 2. The Rate of Length, Diameter and Weight of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari
on the Air Dry Condition
Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g)
Averages Intervals Averages Averages Intervals
C. heteracanthus 16.13 13.19~19.16 1.95 1.86~2.05 2758 2240~3276
K. zippeli 7~63 6.51~8.75 1.87 1.79~1.95 937.2 816~1058,3

Dari Tabel 2 terlihat bahwa kondisi kering udara 0.45. Selama proses pengeringan udara, berat rotan
terdapat perbedaan antara berat pada kondisi segar menjadi berkurang pada kondisi volume rotan yang
dengan kondisi kering udara pada ukuran diameter dan relative tetap yang mengakibatkan angka bentuk yang
panjang tetap. Diameter Calamus heteracanthus Zipp diperoleh menjadi lebih kecil. Berbeda dengan kondisi
berkisar antara 1.86 ~ 2.05 cm dengan rata-rata 1.95 cm segar, pada kondisi kering udara angka bentuknya ≥ 0.5.
dan berat berkisar antara 2240 ~ 3276 g dengan rata-rata Ini berarti bahwa Calamus heteracanthus Zipp dan
2758 g serta diameter Korthalsia zippeli Burret berkisar Korthalsia zippeli Burret memiliki volume dua kali lebih
antara 1.79 ~ 1.95 cm dengan rata-rata 1.87 cm dan berat besar dari beratnya. Perbedaan angka bentuk ini diduga
berkisar antara 816 ~ 1058.3 g. Setelah proses terjadi karena kedua jenis rotan tersebut memiliki kadar
pengeringan udara tampak bahwa tidak terjadi air berbeda pada kondisi perlakuan kering udara dengan
penyusutan diameter dan panjang pada kedua jenis rotan suhu dan kelembaban yang sama. Korthalsia zippeli
tersebut. Hal ini diduga disebabkan oleh struktur kulit Burret memiliki kadar air segar lebih tinggi dibanding
rotan yang kuat dan mengandung lapisan silika sehingga Calamus heteracanthus Zipp (Tabel 9 di bawah), serta
walaupun sel rotan telah kosong namun tidak terjadi mengalami perubahan berat yang besar setelah proses
penyusutan baik secara radial maupun tangensial. pengeringan.

Angka Bentuk Rotan Tabel Berat Rotan


Angka bentuk diperoleh dari hubungan regresi linier Besarnya nilai panjang dan diameter yang digunakan
antara berat rotan hasil pengukuran dengan volume rotan dalam penyusunan tabel berat didasarkan pada kisaran
hasil perhitungan. Angka bentuk Calamus heteracanthus panjang dan diameter untuk masing-masing jenis rotan
Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar pada kedua kondisi. Tabel berat Calamus heteracanthus
dapat dilihat pada Tabel 3. Zipp pada kondisi segar yang memiliki angka bentuk 0.94
Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada kondisi segar dengan kisaran panjang dan kisaran panjang antara
Calamus heteracanthus Zipp mempunyai angka bentuk 13~19 m dan kisaran diameter antara 1.9~2.1 cm dapat
lebih besar dari pada Korthalsia zippeli Burret yakni 0.94 dilihat pada Tabel 5. Sedangkan Tabel berat Korthalsia
sedangkan Korthalsia zippeli Burret 0.90. Kedua jenis zippeli Burret pada kondisi segar yang mempunyai angka
rotan ini mempunyai angka bentuk mendekati 1.00. bentuk 0.90 dengan kisaran panjang antara 6 m hingga 9
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berat rotan m dan kisaran diameter antara 1.8 cm hingga 2.0 cm
Calamus heteracanthus Zipp dan Korthalsia zippeli Burret dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel berat Korthalsia zippeli
memiliki volume yang hampir sebanding. Burret pada kondisi kering udara yang mempunyai angka
Angka bentuk rotan Calamus heteracanthus Zipp bentuk 0.45 dengan kisaran panjang antara 6~9 m dan
dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering udara kisaran diameter antara 1.7~2.0 cm dapat dilihat pada
dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 8. Secara umum Tabel 5, Tabel 6, Tabel 7 dan
Dari Tabel 4 terlihat bahwa angka bentuk Calamus Tabel 8 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya
heteracanthus Zipp pada kondisi kering udara lebih tinggi ukuran panjang dan diameter tertentu pada rotan maka
yaitu 0.56 sedangkan Korthalsia zippeli Burret adalah bertambah pula beratnya.

Table 3. The Form Numbers of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki Manokwari on the Fresh Condition
Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Volume (cm3) Form number
C. heteracanthus 13.19~19.06 1.91~2.09 3945~5920 4047~6273 0.94
K. zippeli 6.51~8.75 1.85~2.01 1692~2263 1905~2520 0.90

Table 4. The Form Numbers of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki Manokwari on the Air Dry Condition
Species of Rattans Length (m) Diameter (cm) Weight (g) Volume (cm3) Form number
C. heteracanthus 13.19~19.06 1.86~2.05 2240~3276 3920~5824 0.56
K. zippeli 6.51~8.75 1.79~1.95 816~1058.3 1793~2366 0.45

Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from
Low Land Forest Ransiki, Manokwari
(Susan Trida Salosa) 59
Table 5. The Weight Table of Calamus heteracanthus Table 7. The Weight Table of Calamus heteracanthus
Zipp from low land Forest of Ransiki-Manokwari Zipp from Low Land Forest of Ransiki-
on the fresh condition Manokwari on the Air Dry Condition
Form Length (m) Diameter Weight (g) Form Length Diameter Weight (g)
number (cm) number (m) (cm)
0.94 13 1.9 3462.96 0.56 13 1.8 1851.60
2.0 3837.08 1.9 2063.04
2.1 4230.38 2.0 2285.92
14 1.9 3729.35 14 1.8 1994.03
2.0 4132.24 1.9 2221.74
2.1 4555.79 2.0 2461.76
15 1.9 3995.73 15 1.8 2136.46
2.0 4427.40 1.9 2380.43
2.1 4881.21 2.0 2637.60
16 1.9 4262.11 16 1.8 2278.89
2.0 4722.56 1.9 2539.13
2.1 5206.62 2.0 2813.44
17 1.9 4528.49 17 1.8 2421.32
2.0 5017.72 1.9 2697.83
2.1 5532.04 2.0 2989.28
18 1.9 4794.87 18 1.8 2563.75
2.0 5312.88 1.9 2856.52
2.1 5857.45 2.0 3165.12
19 1.9 5061.26
2.0 5608.04 Table 8. The Weight Table of Korthalsia zippeli Burret
2.1 6182.86 from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on
the Air Dry Condition
Table 6. The Weight Table of Korthalsia zippeli Burret Form Length Diameter Weight (g)
from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on number (m) (cm)
the Fresh Condition 0.45 6 1.7 612.54
Form Length (m) Diameter Weight (g) 1.8 686.72
number (cm) 1.9 765.14
0.90 6 1.8 1373.44 2.0 846.80
1.9 1530.28 7 1.7 714.62
2.0 1695.00 1.8 801.17
7 1.8 1602.34 1.9 892.66
1.9 1785.33 2.0 989.10
2.0 1978.20 8 1.7 816.71
8 1.8 1831.25 1.8 915.62
1.9 2040.37 1.9 102.,19
2.0 2260.80 2.0 1130.40
9 1.8 2060.15 9 1.7 918.80
1.9 2295.42 1.8 1030.08
2.0 2543.40 1.9 1147.71
2.0 1271.70

Table 9. The Water Contents Rate of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the fresh
Condition
Species of Rattans Water Contents (%)
lower stem ends middle stem upper stem ends averages
C.heteracanthus 74.60~100.18 102.75~121.62 94.17~114.77 101.35
K.zippeli 110.07~138.27 144.67~183.64 132.96~169.07 146.45

60 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Table 10. The water Contents Rate of Two Kinds of Rattan from Low Land Forest of Ransiki-Manokwari on the Air
Dry Condition
Water Contents (%)
Species of Rattans
lower stem ends middle stem upper stem ends averages
C.heteracanthus 17.84~19.27 18.28~19.09 18.08~19.22 18.67
K.zippeli 18.97~19.89 18.70~19.62 18.86~20.22 19.38

Kadar Air Rotan udara. Sedangkan rata-rata kadar air Korthalsia


Kadar air rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp zippeli Burret pada kondisi segar (basah) adalah
dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar dapat 146.45% serta kadar air kering udaranya adalah
dilihat pada Tabe 9. Pada Tabel 9 tampak bahwa rata-rata 19.38%.
kadar air Korthalsia zippeli Burret lebih besar dari pada
kadar air Calamus heteracanthus Zipp yaitu 146.45%, Saran
sedangkan rata-rata kadar air Calamus heteracanthus 1. Untuk memperoleh data potensi rotan secara akurat
Zipp adalah 101.35%. Besar kadar ini relatif sama dengan pada suatu lokasi sebaiknya ketika pengambilan
rata-rata kadar air basah Calamus heteracanthus Zipp sampel rotan sekaligus dilakukan inventarisasi rotan
dan Korthalsia zippeli Burret asal dataran rendah Pami mengenai jenis, jumlah rumpun, banyaknya batang
yaitu 101.07% dan 148.46 % (Triantoro 1996). tiap rumpun pada lokasi tersebut.
Untuk kadar air rotan jenis Calamus heteracanthus 2. Angka bentuk dan tabel berat rotan hasil penelitian
Zipp dan Korthalsia zippeli Burret pada kondisi kering ini dapat diterapkan untuk daerah lain dengan
udara dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 tampak kondisi tanah, iklim, topografi dan habitat yang mirip
bahwa rata-rata kadar air kering udara pada Korthalsia dengan dataran rendah Ransiki-Manokwari.
zippeli Burret adalah 19.38% lebih besar daripada
Calamus heteracanthus Zipp yaitu 18.67. Daftar Pustaka

Kesimpulan dan Saran Anonimous, 1997. Analisis Pengusahaan Rotan dan


Bambu di Irian Jaya (Studi Kasus di Kabupaten
Kesimpulan Jayapura, Manokwari dan Sorong). Tim Peneliti
1. Rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp asal Sosial Ekonomi Kehutanan Departemen Kehutanan.
dataran rendah Ransiki-Manokwari memiliki panjang, Jakarta.
diameter dan berat lebih besar dibandingkan Hasanu, S. 1993. Metode Inventore Hutan. Aditya Media.
Korthalsia zippeli Burret baik pada kondisi segar Yogyakarta.
maupun kondisi kering udara. Kedua jenis rotan ini Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1993. Hasil Hutan dan
tergolong sebagai rotan berdiameter besar. Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press.
2. Angka bentuk rotan berbeda-beda tergantung pada Yogyakarta.
jenis rotan. Perbedaan angka bentuk juga terjadi Rombe, Y.L. 1986. Inventarisasi Potensi Rotan Indonesia.
antara rotan segar dengan rotan yang kering udara Departemen Kehutanan. Jakarta.
walaupun jenis dan asalnya sama. Rusmiati, L. 1996. Keragaman Jenis Rotan di Areal Hutan
3. Angka bentuk rotan Calamus heteracanthus Zipp Dataran Rendah Desa Siwi Kecamatan Ransiki
pada kondisi segar yaitu 0.94 dan kering udara 0.56. Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Sarjana
Sedangkan angka bentuk rotan Korthalsia zippeli Kehutanan Faperta Uncen (tidak diterbitkan).
Burret pada kondisi segar adalah 0.90 dan 0.45 pada Triantoro, G. N. R. 1996. Sifat-sifat Fisik Rotan Asa Hutan
kondisi kering udara. Dataran Rendah Pami Kabupaten Manokwari. Skripsi
4. Tabel berat dapat digunakan untuk mengetahui berat Sarjana Kehutanan Faperta Uncen (tidak diterbitkan).
rotan jenis Calamus heteracanthus Zipp dan
Korthalsia zippeli Burret pada kondisi segar dan
kering udara yang berasal dari daerah yang memiliki Susan Trida Salosa
ciri relatif sama yang meliputi kelembaban udara, Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
ketinggian tempat tumbuh, iklim dan jenis tanah (Forestry Research and Development Institute (FRI) of
dengan hutan dataran rendah Ransiki-Manokwari. Manokwari)
5. Rata-rata kadar air rotan jenis Calamus Tel. : +62-986213437
heteracanthus Zipp pada kondisi segar (basah) Fax : +62-986213441
adalah 101.35% dan 18.67% pada kondisi kering E-mail : susan_3sa@yahoo.com

Fixing Form Number and Weight Table of Rattan (Calamus heteracanthus Zipp and Korthalsia zippeli Burret) on Air Dry Condition from
Low Land Forest Ransiki, Manokwari
(Susan Trida Salosa) 61
Karakteristik LVL Lengkung dengan Proses Kempa Dingin
Characteristic of LVL Bent by Cold Press Process

Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto

Abstract

Bending LVL (Laminated Veneer Lumber) is a more effisien method to manufacture bent wood components
compare to other methods in raw materials point of view. The Bending LVL was made from Sengon veneers by cold
press process with variation of Water Based Polymer-Isocyanate adhesive of 250, 280, 310 g/m2 and bend radius of
200,300, 400 mm. The results showed that the physical properties of Bending LVL made by using Water Based Polymer-
Isocyanate adhesive and cold press process was fit with JAS 1639/1986 standard. The optimum adhesive concentration
and bend radius was 250 g/m2 and 20 cm, respectively.

Key words: Bending LVL, adhesive concentration, bend radius, physical properties.

Pendahuluan Penelitian tentang LVL telah banyak dilakukan dari


veneer berbagai jenis kayu dan penggunaan perekatnya.
Kayu berbentuk lengkung telah lama digunakan Ada dua metode dalam proses pembuatannya
dalam kehidupan sehari-hari dan umumnya diaplikasikan sehubungan dengan penggunaan perekatnya, yaitu
pada produk-produk furniture maupun pada komponen proses panas dan proses dingin. Perbedaan mendasar
bangunan perumahan. Pelengkungan kayu merupakan dari kedua proses ini adalah pemakaian energi panas.
bagian dari proses pengerjaan kayu untuk produk yang Pada penelitian ini dibuat LVL dalam bentuk
menghendaki bentuk lengkung (Malik et al. 2006). Ada lengkung dengan memvariasikan berat labur dan radius
dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kayu lengkungnya. Pelengkungan LVL ini dilakukan dengan
berbentuk lengkung, diantaranya (1) cara konvensional, merekatkan dan mengklem lembaran veneer
yaitu dengan memotong balok kayu menjadi bentuk menggunakan perekat Water Based Polymer-Isocyanate
lengkung dan disambung sehingga didapatkan bentuk pada suatu cetakan yang berbentuk lengkung. Proses
lengkung yang diinginkan, (2). pelengkungan kayu solid pelengkungan LVL ini diperkirakan lebih mudah jika
(Darmawan et al. 2005; 2006; 2007). dibandingkan dengan pelengkungan kayu solid yang
Kedua metode pembuatan kayu lengkung tersebut membutuhkan panas dan akan mendapat ketebalan yang
masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan. diinginkan. Veneer didapat dari kayu gelondongan (log)
Ditinjau dari prosesnya, cara konvensional paling mudah yang disayat/ dikupas, sehingga diperoleh lembaran-
dikerjakan, karena hanya menggunakan peralatan dan lembaran kayu yang tipis. Proses ini mengurangi
teknik pemotongan kayu yang sederhana. Namun proses pemborosan bahan baku kayu pada proses pemotongan.
ini banyak membuang bahan baku kayu dan arah serat Selain itu, lembaran veneer yang tipis akan lebih fleksibel,
kayunya terputus atau tidak mengikuti arah sehingga dapat dengan mudah dilengkungkan dengan
kelengkungan. Pelengkungan kayu solid sampai saat ini radius/bentuk yang bervariasi.
terus dikembangkan untuk mendapatkan metode Proses pembuatan LVL lengkung ini mengacu
pelengkungan kayu solid yang lebih efisien, mengingat kepada Draft Paten tentang Proses pembuatan
dalam pelengkungan kayu solid memerlukan peralatan Laminated Veneer Board (LVB) dengan Perekat Water
dan teknik yang khusus, serta banyak hal yang perlu Based Polymer-Isocyanate (Subiyanto et al. 2008).
dipertimbangkan, antara lain jenis kayu yang dipakai. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sifat fisik
Cara ini juga masih mempunyai keterbatasan, yaitu dan mekanik dari LVB dengan memvariasi berat labur
ketebalan kayu dan radius yang dapat dilengkungkan. perekat, cara labur dan susunan veneer, menggunakan
Kelebihan dari kayu lengkung solid adalah memiliki veneer kayu Sengon dan Karet. Hasil penelitian tersebut
kekhasan alami, karena tekstur seratnya tidak terpotong. dijadikan acuan untuk diaplikasikan dalam pembuatan
Hal tersebut juga akan mempengaruhi sifat mekaniknya. LVL berbentuk lengkung untuk mengetahui sifat fisik LVL
Laminated Veneer Lumber (LVL) sangat berpotensi lengkung dengan memvariasi berat labur dan radius
untuk digunakan sebagai bahan baku struktural maupun kelengkungan.
non struktural, seperti konstruksi bangunan, industri Berdasarkan tujuan tersebut diharapkan bahwa
furniture, bahan lantai kayu, dan sebagainya (Eckelman desain bentuk lengkung berbahan veneer memungkinkan
1993, Wong et al. 1996), karena dapat dibuat dengan penggunaan bahan baku yang lebih efisien dan lebih
ketebalan yang diinginkan. mudah dalam proses pengerjaannya serta dapat

62 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


dikembangkan penggunaannya untuk memenuhi produk- Cetakan dan Perlengkapannya
produk yang memiliki desain lengkung. Cetakan dibuat setengah lingkaran dengan radius
kelengkungan disesuaikan dengan radius kelengkungan
Bahan dan Metode yang telah ditetapkan. Cetakan serta perlengkapannya
diilustrasikan pada Gambar 1. Penjepit yang digunakan
Bahan Penelitian adalah klem C ukuran 4 inchi dan klem fleksibel (dapat
Bahan utama pembuatan LVL lengkung ini adalah diatur panjang jangkauan penjepitannya). Sedangkan plat
veneer dan perekat. Veneer dibuat dari kayu cepat fleksibel memiliki lebar 100 mm, tebal 1 mm dengan
tumbuh (fast growing species), yaitu Sengon panjang disesuaikan dengan panjang keliling cetakan.
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dengan ketebalan
± 2 mm. Veneer tersebut dipotong searah serat kayu Proses Pelengkungan
(longitudinal) dengan lebar 50 mm dan panjang Veneer yang telah dipersiapkan dilabur dengan
disesuaikan dengan kebutuhan yang dihitung berdasar perekat. Cara pelaburan dilakukan pada ke dua
radius (R) sisi luar dan dilebihi masing masing 20 mm. permukaan (double spread) dengan berat labur 250, 280,
Potongan veener dikeringkan hingga kadar air 4 ~ 6%. dan 310 g/m2. Selanjutnya veneer disusun di antara dua
LVL lengkung ini dibuat dengan target ketebalan 20 mm, plat fleksibel dan kemudian diklem pada cetakan selama
sehingga setiap contoh uji memerlukan 10 lembar veneer. 24 jam. Contoh uji yang telah melengkung dikondisikan
Perekat yang digunakan adalah jenis Isocyanate pada suhu ruang selama minimal 3 hari sebelum
yang reaktif terhadap air (water base) dari merek Water dilakukan pengujian.
Based Polymer-Isocyanate berupa resin (KR 7800) dan
Crosslinker (AJ1) dengan perbandingan 100/15 (% berat). Pengujian
Karakteristik tentang perekat jenis Isocyanate ini Pengujian yang dilakukan difokuskan pada pengujian
dilaporkan oleh Yanto et al. (2005). fisik, yaitu kerapatan, pengembangan tebal, penyerapan
Peralatan utama yang dipakai dalam pembuatan LVL air, delaminasi, dan fiksasi. Pengujian fisik yang dilakukan
lengkung ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini: merujuk pada standar JAS for LVL No.1639 tahun 1986.
Pengambilan contoh uji untuk mengetahui kerapatan,
pengembangan tebal, dan penyerapan air dilakukan
dengan cara memotong pada setengah dan seperempat
Klem lengkungan LVL lengkung dengan panjang masing-
C masing 5 cm, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Cetak
an C
L R
Plat
Fleksibel
Figure 1. Bending equipments.

Radius Kelengkungan LVL


Dalam teknik pelengkungan kayu, besar-kecilnya Figure 2. LVL samples sampel
Pemotongan for the tests.
radius dan ketebalan kayu mempengaruhi tingkat
kesulitan dan keberhasilan pelengkungan. Rasio radius/ Untuk mengetahui delaminasi dan fiksasi digunakan
tebal memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung pada contoh uji utuh LVL lengkung. Pengukuran tingkat fiksasi
jenis kayu yang digunakan. Pelengkungan LVL dari berdasarkan perubahan panjang tali busur setelah
berbagai jenis veneer kayu pada radius minimum yang dilakukan perendaman selama 24 jam, dihitung dengan
mungkin dilakukan memiliki rasio radius/tebal antara rumus:
29~70 (Stevens dan Turner 2005). Pada penelitian ini
l lo
PRL 100%
radius kelengkungan minimum ditetapkan pada rasio 100 l0
atau radius kelengkungan 20 cm untuk memperkecil
kegagalan yang mungkin terjadi. Variasi radius dimana,
kelengkungan diberikan secara berturut-turut (R) 20, 30, lo = Panjang tali busur sebelum perendaman
dan 40 cm. l = Panjang tali busur setelah perendaman

Caracteristic of LVL Bent by Cold Press Process


(Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto) 63
Hasil dan Pembahasan perendaman 24 jam. Contoh uji yang direbus 2 jam
cenderung memiliki penyerapan air yang lebih rendah bila
Kerapatan dibanding dengan contoh uji yang direndam 24 jam
Kerapatan dari kayu ataupun komposit kayu demikian pula pengembangan tebalnya. Besarnya nilai
merupakan salah satu parameter dan umumnya dapat rata-rata penyerapan air dan pengembangan tebal
memprediksi sifat kekuatannya. Pada komposit kayu, disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat
kerapatan ditentukan oleh jenis kayu dan kondisinya, pengaruh perlakuan variasi berat labur, dimana semakin
susunan dari komponen yang digunakan dalam membuat banyak berat labur yang diberikan, maka kecenderungan
komposit kayu, jenis perekat, dan beberapa parameter sifat penyerapan maupun pengembangan tebalnya lebih
lainnya seperti tekanan, temperatur, durasi waktu kecil. Pengembangan tebal seluruh contoh uji, baik yang
penekanan dan lain-lain (Shukla dan Kamdem 2008). direbus 2 jam maupun direndam 24 jam telah memenuhi
Nilai rata-rata kerapatan LVL lengkung dari setiap standar JAS yang menetapkan pengembangan tebal
perlakuan yang dihasilkan tidak jauh berbeda, yaitu maksimal sebesar 7%.
berkisar di antara 0.38 ~ 0.47 g/cm3 (Tabel 1). Besarnya
kerapatan tersebut merupakan cerminan dari Delaminasi
penyusunnya, yaitu veneer Sengon yang memiliki Suatu batang kayu yang dilengkungkan sebelum
kerapatan 0.33 ~ 0.50 g/cm3 (Lemmens et al. 1995). batas kritisnya akan berusaha kembali ke bentuk semula
(spring back). Pada LVL lengkung ini gaya tersebut dapat
Tabel 1. Average specific gravity of bent LVL samples. diredam oleh perekat sehingga tidak terjadi perubahan
(g/cm3) bentuk ataupun kerusakan lainnya. Oleh karena itu
kekuatan perekat menjadi faktor utama dalam menjaga
Radius Glue Spread (g/m3) agar LVL lengkung tidak mengalami kerusakan pada
(cm) 250 280 310 berbagai kondisi perlakuan. Seperti terlihat dalam
R20 0.41 0.45 0.47 Gambar 3, hasil pengujian LVL lengkung menunjukkan
R30 0.42 0.46 0.46 bahwa delaminasi masih terjadi pada contoh uji potongan
R40 0.43 0.43 0.44 dengan berat labur 250 dan 280 g/m2, yaitu berkisar di
bawah 6.5%; sedangkan pada berat labur 310 gr/m2 tidak
terjadi delaminasi, hal ini menandakan perekatan LVL
Penyerapan Air dan Pengembangan Tebal lengkung dengan berat labur 310 g/m2 cukup baik.
Kayu akan mengembang jika air memasuki struktur Namun hasil tersebut tidak tercermin pada contoh uji
dinding sel dan sebaliknya akan menyusut jika kehilangan yang utuh. Setelah dilakukan perendaman 24 jam,
air terikat. Besarnya nilai pengembangan dan penyusutan seluruh contoh uji yang utuh mengalami delaminasi. Hal
kayu mempunyai hubungan yang linear dengan besarnya ini juga diungkapkan oleh Yanto et al. (2005) yang
air yang terikat dalam dinding sel kayu (Haygreen dan menggunakan contoh uji kayu lamina berupa papan kayu
Bowyer 1996). Demikian pula pada LVL, pengembangan yang tidak rata dan melengkung. Hasil penelitian tersebut
bisa terjadi karena LVL tersebut masih mempunyai pori menunjukkan bahwa walaupun pada awalnya contoh uji
dan dinding sel seperti kayu solidnya. Akan tetapi nilainya papan kayu lamina sudah terbentuk rapat pada garis
akan lebih kecil karena adanya pengaruh faktor perekatan rekatnya, papan tersebut akan kembali melengkung
dan pengempaan. setelah direndam dan dikeringkan kembali, sehingga
Penyerapan air pada contoh uji memiliki nilai yang terjadi delaminasi yang sangat tinggi.
bervariasi baik pada pengujian perebusan 2 jam maupun

Tabel 2. The average value of water absoption (%) and thickness swelling (%) of sample.

Boiling 2 hr Boiling 24 hr
Glue Spread
250 280 310 250 280 310
Radius
Water R20 77.6 72.9 71.7 98.4 95.0 92.1
Absorption R30 78.8 71.7 65.8 99.0 95.3 90.9
(%) R40 75.9 73.5 65.8 104.7 99.2 98.5
Thickness R20 3.9 3.3 2.6 4.5 4.1 3.8
Swelling R30 2.8 2.7 2.4 4.1 3.5 3.0
(%) R40 2.8 2.4 2.3 4.0 3.9 3.5

64 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Glue spread Glue spread
(g/m2) (g/m2)

Delamination (%)
Delamination (%)

Radius of bend (cm) Radius of bend (cm)

Glue spread Figure 3. Delamination value


(g/m2)
(a) Soaking 24 hr
(b) Boiling 2 hr
Delamination (%)

(c) Delamination of solid sample


after Soaked 24 hr

Radius of bend (cm)

2,5
of Lengkung

Glue spread
2 (g/m2)
bend

1,5 250
radius
(%)
Recavery of radius

280
(%)

1 310
Pemulihan

0,5

0
20 30 40
Radius Lengkung (cm)
Radius of bend (cm)

Figure 4. Recovery of set of bending LVL.

Pada penelitian ini terlihat adanya pengaruh variasi contoh uji setelah dilakukan perendaman air dingin dan
berat labur dan radius kelengkungan, dimana semakin dikeringkan, tingkat fiksasi atau pemulihan radius
banyak perekat atau berat labur dan semakin besar lengkung berkisar di bawah 2.1% (Gambar 4). Hal ini
radius kelengkungannya, maka tingkat delaminasinya menunjukkan bahwa perekat mempunyai kekuatan
semakin mengecil. Besarnya nilai delaminasi yang perekatan yang cukup baik, sehingga dapat menjaga LVL
dipersyaratkan untuk LVL menurut standar JAS adalah lengkung untuk tidak berubah bentuk.
sebesar ≤ 10 %. Seluruh contoh uji masih dalam kisaran
nilai yang dipersyaratkan, kecuali contoh uji dengan berat Kesimpulan
labur 250 dan radius 20 cm.
Aplikasi perekat Water Based Polymer-Isocyanate
Fiksasi pada pembuatan LVL lengkung dengan proses dingin
Mekanisme fiksasi pada pelengkungan LVL berbeda berbahan baku veneer Sengon memiliki sifat fisik sesuai
dengan pelengkungan kayu solid. Fiksasi pada dengan standar JAS 1639/1986. Berdasarkan pada sifat
pelengkungan kayu solid dapat terjadi karena adanya fisik yang diuji, berat labur dan radius kelengkungan
perubahan komponen kimia dari kayu yang mempengaruhi karakteristik LVL lengkung.
dilengkungkan, sedangkan pada LVL disebabkan oleh
pengerasan perekat yang digunakan. Dari hasil pengujian

Caracteristic of LVL Bent by Cold Press Process


(Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin, Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto) 65
Daftar Pustaka dari Venir Kayu Sengon dan Kayu Karet dengan
Perekat Water Based Polymer-Isocyanate. Paten
Darmawan, T; Jayadi; Sudijono; Y. Amin; I. Wahyuni; W. Aplication Number: P 00200800779.
Dwianto. 2005. Modifikasi Alat Pelengkung Kayu Shukla S. R. and D.P. Kamdem. 2008. Properties of
Skala Pilot dengan menggunakan Pemanas. Jurnal Laminated Veneer Lumber (LVL) Made with Low
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4 (1): 1-8. Density Hardwood Species: Effect of the Pressure
Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin; Sudarmanto; I. Duration, Holz Roh Werkst 66: 119-127
Wahyuni. 2006. Pengaruh Suhu dan Waktu Stevens, W.C. and N. Turner. 2005. Wood Bending and
Pemanasan terhadap Tingkat Fiksasi Pelengkungan Forming,http://www.valuecreatedreview.com/bentwo
Kayu Kepuk (Sterculia sp.) Skala Pemakaian. od.htm (23 Mei 2007)
Prosiding Seminar Nasional IX MAPEKI, Banjarbaru. Wong, E.D.; A.K. Razali; S. Kawai. 1996. Properties of
Darmawan, T.; W. Dwianto; Y. Amin. 2007. Fiksasi Kayu Rubber Wood LVL Reinforced with Acacia Veneers.
Lengkung dengan Pemanasan Oven. Prosiding Wood Research 83:8-16
Seminar Nasional X MAPEKI, Pontianak. Yanto, D.H. Y.; W. Fatriasari; E. Hermiati. 2006. Fortifikasi
Eckelman, C.A. 1993. Potential Uses of Laminated Deernol 33E dan PI-120 pada Perekat Lateks Karet
Veneer Lumber in Furniture. Forest Product Journal Alam-Stirena. Widyariset 9:49-54.
43(4):19-24.
Haygreen, J. G. dan J. L. Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan
Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Gajah Mada University Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto, Yusup Amin,
Press, Yogyakarta. Kurnia Wiji Prasetiyo dan Bambang Subiyanto
Lemmens, R.H.M.J. I. Soerianegara and W.C. Wong. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial
1995. Plant Resources of South-East Asia 5, (2) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Timber trees: Minor commercial timbers. (Research & Development Unit for Biomaterials
Malik, J.; K. Yuniarti; Jasni; O. Rachman. 2006. Pengaruh Indonesian Institute of Sciences)
Pengukusan dan Perendaman dengan NaOH Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor
terhadap Pelengkungan Kayu Rasamala (Altingia Tel. : 021 - 87914511
excelsa Noronha), Asam Jawa (Tamarindus indica Fax. : 021 - 87914510
L.) dan Marasi (Hymeneae courbaril L.). Jurnal Ilmu E-mail : dharma_4e@yahoo.com
dan Teknologi Kayu Tropis 4(2): 61-65.
Subiyanto, B.; Subyakto; K.W. Prasetyo; Ismadi. 2008.
Proses Pembuatan Laminated Veneer Board (LVB)

66 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Perlakuan Enzim pada Serpih Kayu Daun Lebar untuk
Refiner Mechanical Pulping (RMP)
Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for
Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process

Wawan Kartiwa Haroen

Abstract

The objective of the study is to examine the influence of 10 l/ ton of Xylanase and Lypase pretreatment on
biomechanical pulp of Gmelina and Paracerianthes wood chips with Refiner Mechanical Pulping (RMP) process. The
result shows that the enzymatically pretreated of chips can save the electrical consumption of the refiner machine up to
30%, while reducing of 45~50% extractives, and significant improvement of the pulp physical properties compared with
control. Two stages of P1 and P2 hydrogen proxide pulp bleaching produced pulp brightness of 65~71.9 % ISO and more
than 97% yield bleached pulp. Physical properties of the tensile index and burst index testing result of Gmelina and
Paracerianthes mechanical pulp sheet are fairly good.

Key words: enzyme, chips, RMP, biomechanical pulping

Pendahuluan b. Transfer of phosphate


c. Posphorylase
Enzim adalah molekul biopolimer yang tersususn 4. Mutases, yaitu enzim yang membantu proses mutasi
dari serangkaian asam amino dalam komposisi dan atau penyusunan ulang molekul.
susunan rantai yang teratur dan tetap (Richana.2002).
Namun enzim dapat juga sejenis katalis yang stabil, Pada industri pulp dan kertas, enzim dapat
dihasilkan oleh sel mahluk hidup yang terdiri dari digunakan untuk beberapa keperluan diantaranya
komponen dasar senyawa-senyawa protein. Karena biopulping, biobleaching, modifikasi pati, pengolahan air
enzim pada setiap sel hanya menghasilkan enzim untuk limbah dan juga pada proses penghilangan tinta pada
satu reaksi saja maka enzim merupakan katalis yang kertas bekas. Enzim selulase adalah enzim yang dapat
bekerja secara spesifik. Pada saat bereaksi terjadi pada mendegradasi selulosa menjadi glukosa yang larut dalam
dua substrat dalam sel hidup, maka enzim tersebut akan air. Faktor penting dalam mempelajari sistem selulase
mempercepat reaksi menjadi lebih baik dibandingkan terhadap selulosa adalah sifat-sifat struktur bahan
lainnya, sehingga enzim dapat bersifat directive catalyst. selulosa, karena hidrolisa secara enzimatis terhadap
Enzim dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya selulosa sebagian besar tergantung pada struktur fisik
menjadi beberapa kelompok, yaitu: substrat selulosa, diantaranya kemampuan untuk
1. Enzyme of hydrolyst (hydrolase), yaitu enzim yang ditembus (accessibility), luas permukaaan spesifik, derajat
mempercepat reaksi pemecahan substrat dengan polimerisasi dan unit dimensi sel dari bahan selulosa.
penambahan air, misalnya esterase, a-amylase dan Selulose bekerja secara otimal pada konsistensi 4~6% ,
selulase, Reaksinya adalah: pH 6~8 dan waktu reaksi 30~60 menit, sedangkan pada
RCOOC2H5 +H2O2  RCOOH + C2H5OH waktu reaksi 120 menit effisiensinya berkurang, begitu
Enzim pula dengan konsistensi sampai 10% effisiensinya akan
2. Enzyme of oxydations yaitu enzim yang dapat menurun (Ellis 1976)
mengoksidasi senyawa-senyawa kimia, Enzim ini Dalam proses refining, selulase dapat meningkatkan
terbagi menjadi 4 tipe yaitu: sifat fleksibilitas serat dan memperbaiki sifat pulp
a. Enzim yang mengkombinasikan dan terutama pada serat yang berdinding tebal. Apabila
menggunakan molekul-molekul oksigen perlakukan enzim berlebihan maka dapat merusak
(oxidase) permukaan serat dan mengurangi kekuatan serat.
b. Enzim yang menggunakan peroxida Dengan kondisi yang optimal ketahanan tarik dapat
c. Enzim dehydrogenase meningkat 25~35% (Leatham ; Myer and Wegner 1990)
d. Enzim karboksidase Hal ini menyebabkan serat mudah kolaps akibat aktifitas
3. Enzymes of transfer, yaitu enzim yang membantu selulase sehingga meningkatkan luas pemukaan serat
proses transfer molekul, dapat dikelompokan dan membentuk ikatan serat yang baik. Faktor-faktor
menjadi 3 yaitu : yang mempengaruhi kinerja enzim adalah:
a. Transfer of amino group

Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process
Wawan Kartiwa Haroen 67
1. Konsentrasi substrat. Semakin tinggi konsentrasi mengurangi pencemaran namun kualitas pulpnya
substrat, aktifitas enzim cenderung akan berkurang. termasuk katagori baik sampai sedang. Air limbah proses
2. Konsentrasi enzim. Semakin tinggi konsentrasi pulp rendemen tinggi umumnya memiliki kadar Chemical
enzim menyebabkan aktifitas enzim makin tinggi. Oxygen Demand (COD) sekitar 7000 mg/l (Kudo 1991)
3. Konsentrasi hasil reaksi. Penambahan hasil reaksi dan Biochemical Oxygen Demand (BOD) 700~5000 mg/l
pada sistem yang mengandung enzim murni akan (Vipart 1993)
mengubah hubungan linear antara konsentrasi enzim Indonesia sampai abad ke 21 ini, masih belum
dan laju reaksi. Semakin tinggi hasil reaksi yang memliki industri atau pabrik yang memproduksi pulp
ditambahkan maka aktifitas enzim akan berkurang mekanis. Hal ini kemungkinan karena bahan baku kayu
karena: untuk pulp masih mudah diperoleh dan berlimpahn tetapi
a. Adanya resistensi oleh enzim akibat tingginya bisa juga karena harga enerji masih mahal. Namun tidak
konsentrasi hasil reaksi. dapat disangkal, suatu saat sumber daya alam berupa
b. Hasil reaksi cenderung lebih stabil dari pada serat dari kayu akan berkurang dan industri pulp akan
enzim dan substrat. berubah secara bertahap. Ahirnya pertimbangan proses
4. Tingkat keasaman (pH). Setiap enzim mempunyai dan pengolahan bahan baku akan beralih pada
pH optimum dengan alasan belum diketahui secara pembuatan pulp mekanis atau semi mekanis. Produk
pasti karena enzim adalah protein yang dapat akhir yang dapat dibuat dari pulp mekanis diantaranya
mengalami perubahan bentuk jika keasamannya kertas koran, kertas industri, campuran pulp kimia bahkan
berubah. Setiap protein umumnya mempunyai pH dibuat untuk lapisan peredam suara.
isoelektrik yang dapat menentukan nilai pH aktif Menurut Leatham and Wegner 1990 kualitas pulp
yang mengandung protein. TMP berdasarkan fraksi serat panjang apabila akan
5. Temperatur. Temperatur optimum enzim yaitu jumlah dilakukan penggilingan memperlihatkan sifat yang hampir
substrat paling banyak dirubah dalam bentuk satuan sama dengan pulp serat pendeknya. Fraksi serat panjang
waktu, namun hampir semua enzim kerjanya akan TMP secara visual akan mendominasi pada permukaan
melambat pada suhu 70~80oC dan akan mati pada kertas , namun serat panjang TMP diperlukan
temperatur di atas 90oC. penggilingan secara terpisah dengan serat pendeknya
6. Waktu reaksi. Keistimewaan dan keunikan dari supaya tidak terjadi pemotongan yang berlebihan.
enzim hanya dapat bereaksi satu kali saja, tidak
seperti pada katalis kimia lainnya, karena itu semakin
lama waktu reaksi enzim dapat mengakibatkan
aktifitasnya akan semakin menurun.
7. Konsentrasi inhibitor, inaktifator dan racun. Karena
enzim dihasilkan dari sel hidup maka enzim menjadi
rentan terhadap kehadiran senyawa beracun
(inhibitor atau inaktifator). Misalnya: senyawa sulfida
merupakan inhibitor.

Xylanase memiliki berat molekul 15.000-30.000


dalton aktif pada suhu 55 oC dengan pH 9
(Richana.2002). Xylanase merupakan kelompok enzim
yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa.
Sehingga dapat diklasifikasikan berdasarkan kepada Figure 1. Corelation of light scattering and tensile index
subtrat β-xilosidase,exoxilanse dan endoxilanase. pulp (Kappel 1999)

Pulp Mekanis Pemutihan pulp mekanis pada prinsipnya ada dua,


Kayu merupakan bahan baku pulp yang dapat yaitu pemutihan secara reduktif dan pemutihan secara
diproses secara kimia atau mekanis. Pembuatan pulp oksidatif. Kondisi ini dapat dilakukan secara tunggal atau
secara mekanis diantaranya adalah proses mekanis gabungan. Bahan kimia pemutih reduktif dapat
TMP (Thermo Mechanical Pulp), Refiner Mechanical Pulp menggunakan bisulfit, ditonit dan boronhidrida sedangkan
(RMP) atau CTMP (Chemi Thermo Mechanical Pulp) bahan pemutih oksidatif dapat menggunakan peroksida,
karena sifat kayu ada yang keras , lunak dan ringan hipohlorit, asam perasetat atau ozone. Pemutihan pulp
sehingga ada beberapa perlakuan atau pengolahan awal mekanis menggunakan peroksida (H2O2) merupakan
untuk membantu proses mekanis tersebut. Proses pemutih oksidatif terbaik saat ini dan banyak digunakan
tersebut diantaranya dengan penambahan enzim atau di industri , apabila pemakaiannya optimum akan
mikroba yang ahirnya dapat menghemat bahan baku, menghasilkan tingkat kecerahan yang baik dan konsitensi
energi, bahan kimia, meningkatkan rendemen dan proses pemutihan yang effisien (Grandfeldt 2003). Bahan

68 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


kimia pemutih yang umum digunakan seperti Na2O, H2O2 pada permukaan bumi (Valchev 2010). Kemungkinan lain
atau campuran dari keduanya. Mekanisme H2O2 yang dapat masuk ke dalam makanan dan akan terakumulasi
digunakan dalam medium alkali umumnya dilakukan pada pada tubuh manusia atau binatang dan bersifat
pH 10~11. Penambahan natrium silikat dan garam karsinogenik. Sasaran dan tujuan dari penelitian ini
magnesium sangat disarankan karena dapat berfungsi diharapkan dapat diterapkan dan dikembangkan proses
sebagai penyangga, stabilisasi warna dan meningkatkan pemutihan pulp secara biologis untuk skala laboratorium
kecerahan pulp. Selain itu perlu juga diperhatikan menggunakan enzim yang berasal dari jamur hutan
pengaturan konsentrasi NaOH, suhu, konsentrasi tropika Indonesia dan memperkenalkan produksi bersih
Na2SO3, konsistensi pulp dan konsentrasi H2O2 yang yang ramah lingkungan dan mengurangi bahan kimia
tepat supaya diperoleh kualitas kecerahan pulp yang pemutih yang bersifat karsinogenik.
optimum, kekuatan fisik pulp yang baik. Keuntungan lain
pemakaian pemutih peroksida adalah menghasilkan Bahan dan Metoda
derajat putih tinggi, menghemat biaya produksi,
mengantisipasi penurunan rendemen pulp, warna pulp Kayu
lebih stabil karena seratnya bisa mempertahankan sekitar Kayu Gmelina dan Paraserianthes diperoleh dari
1/10 bagian peroksida yang terpakai. (Stuart 1996; Bandung selatan dengan kisaran umur tanaman 9~11
Stanley 1986). Penelitian pendahuluan ini mengkaji tahun, berdiameter setinggi dada (dbh) 25~30 cm dengan
secara teknis proses, kualitas pulp dan kendala yang kayu bebas cabang di atas 12 m.
terjadi setelah modifikasi dilakukan. Diharapkan hasilnya
dapat menjadi kajian awal untuk penelitian atau
pengembangan di masa depan.

Pemasakan dan Pemutihan Pulp Secara Biologis


Selulosa dan hemiselulosa merupakan komponen
utama dalam serat yang memberikan kontribusi ikatan
antar serat, sedangkan lignin dapat mengurangi
kemampuan ikatan antar serat. Menurut Messer dan
Strebotnik (1994) dalam Typuk (2002), biobleaching
adalah proses pemutihan pulp dengan kombinasi kimia
dan mikrobiologis. Biobleaching adalah proses reduksi Figure 2. Plantation Gmelina arborea and
warna pulp dengan menggunakan mikroorganisme. Paraserianthes falcataria
Seperti yang dikemukakan oleh Ming T. and Krik.
1988 pulp putih yang berasal dari kayu memerlukan Enzim
pemutihan melalui proses pemutihan menggunakan Enzim yang dipergunakan terdiri dari 2 jenis yaitu
bahan kimia pemutih seperti khlor atau hidrogen Enzim Xylanase (X) dan Lypase (L) berbentuk cair,
peroksida dimana pada proses tersebut banyak diperoleh dari Bogor dengan aktifitas antara 38~50 mU
menimbulkan bahan kimia yang terlarut dengan toksisitas
yang tinggi. Pemakaian senyawa khlor untuk pemutihan Bahan dan Peralatan
pulp kertas telah dirintis sejak tahun 1799. Proses Double diskrefiner, Tachometer, Ampere Meter,
pemutihan pulp dengan khlor menimbulkan persoalan Hydrogen Peroxida (H2O2) pa sebagai bahan pemutih
lingkungan yang serius, karena dampak negatifnya pulp mekanis, demineral water untuk proses pencucian
adalah buangan senyawa kimia khloroorganik berupa pulp, kantong plastik untuk penyimpanan serpih dan
dioksin dan furan yang berbahaya dan beracun. Di treatment enzim, alat uji fisik pulp dan kimia.
dalamnya terdapat 10 senyawa dioksin dan 10 senyawa
furan yang berbahaya seperti 2.3~7.8 tetracholro Metoda
dibenzodioksin (TCDD) dan 2.3~7.8 tetrachloro Kayu dipotong seukuran 1 m, dikuliti, ditentukan
dibenzofuran (TCDF) kadar kulit dan kayunya. Kayu tanpa kulit diserpih
Dioksin dan furan merupakan senyawa yang kuat menggunakan penyerpih tipe disk dengan 3 pisau,
dengan daya ikat yang besar terhadap tanah dan kapasitas 0.5 m3/jam. Serpih disaring menggunakan chips
sendimen karena akan terikat kuat pada partikel tanah classifier untuk memperoleh ukuran standar, kemudian
dan sendimen. Senyawa ini tidak dapat lepas secara dikondisikan sampai kadar air seragam.
kimiawi maupun biologis, karena sifatnya sulit didegradasi
secara alami dan senyawa ini dapat tertahan lebih lama

Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process
Wawan Kartiwa Haroen 69
Figure 3. Equipment for experiment.

Chips of Gmelina / Steaming 30 minutes


Enzin X dan L
Paraserianthes T : 120 0 C

Peroxide Bleaching
Refining 2 Refining 1
(P1/ P2)

Sheet pulp making Phisycal Pulp Properties

Figure 4 : Flowchart experiment

Serpih Gmelina dan Paraserianthes dilakukan dengan energi yang rendah bila dibandingkan dengan
perendaman (pretreatment) dengan Enzim X atau L kayu yang bermassa jenis tinggi. Salah satu kandungan
dengan dosis 10 liter/ton serpih, perendaman serpih kimia yang perlu diperhatikan adalah kadar silikatnya tidak
dilakukan pada suhu 25~27oC dengan variasi 3 waktu tinggi, karena hal ini dapat memperpendek umur pisau
yaitu 1 jam, 6 jam dan 24 jam. Kemudian sepih di- refiner. Gmelina dan Paraseriantes kandungan silikatnya
steaming selama 30 menit dan diuraikan dengan mesin tergolong rendah, yaitu kurang dari 1%. Kadar lignin
refiner dilakukan 2 tahap (R1 dan R2) yang diikuti merupakan pengikat serat pada kayu, semakin tinggi
dengan mengalirkan air panas (40~50oC), sampai kadar lignin akan menyebabkan penguraian serat lebih
diperoleh serat kayu (pulp) terpisah secara sempurna. sulit dan memerlukan waktu atau energi yang tinggi.
Pulp yang diperoleh diuji , diputihkan dengan peroxida Kedua jenis kayu daun tropis ini memiliki lignin sedang
dan dibuat lembaran yang selanjutnya pulp dievaluasi termasuk kedalam kriteria baik sebagai bahan baku
sifat fisiknya. kertas. Sifat inilah yang dapat direkomendasikan untuk
pulp mekanis, diharapkan dapat menghasilkan fisik pulp
Hasil dan Pembahasan berkualitas sedang sampai baik. Pemilihan jenis kayu
Gmelina arborea dan Paraserianthes falcataria pada
Sifat fisik dan kimia kayu merupakan salah satu awalnya atas dasar massa jenisnya yang ringan (0.3~0.4)
tahap awal dalam melakukan pemilihan bahan baku untuk dengan warna kayu putih, kayu teras rendah dengan
pulp mekanis, hal ini dilakukan supaya kriterianya sesuai ekstraktif dan lignin rendah. Karakter kayu seperti ini
dengan persyaratan untuk pulp mekanis. Hasil merupakan sifat yang perlu diperhatikan sebagai bahan
pengamatan pada Tabel 1 dan 2. Memeperlihatkan baku pulp mekanis (Cassey 1980), karena akan
bahwa panjang serat Gmelina dan Paraserianthes mempermudah dalam proses mekanis .
tergolong ke dalam serat pendek, berdinding serat tipis Serat kayu Gmelina dan Paraserianthes termasuk
sampai sedang dan bilangan runkel yang kecil, yaitu 0.4. kelompok panjang serat sedang berdinding tipis sampai
Sedangkan fisik kayunya bermassa jenis 0.38~0.45 sedang dengan masa jenis ringan. Berdasarkan sifat
termasuk massa jenis ringan sampai sedang. Dari sifat yang pada Table 1 memberikan gambaran bahwa kedua
tersebut dapat dikatagorikan dapat memenuhi syarat jenis kayu tersebut memenuhi syarat sebagai bahan baku
untuk bahan pulp mekanis. Massa jenis ringan akan pulp mekanis. Terutama massa jenis kayu yang ringan
mempermudah proses penguraian serat secara mekanis

70 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


memberikan keuntungan dalam proses penguraian NaOH yang baik, sekitar 14% menunjukkan bahwa
seratnya. kayunya masih segar. Kadungan silikat yang rendah
sangat membantu penguraian serat pada refiner lebih
Table 1. Fiber morfology and physical of Gmelina mudah, semakin tinggi silikat pada kayu dapat
arborea and Paraserianthes falcataria. mempercepat kerusakan alur pisau refiner.
Gmelina Paraseri- Klasifikasi serpih Gmelina dan Paraserianthes yang
anthes lolos saringan (chips classifier) akan memiliki ukuran
Fiber length avg, mm 1.05 0.97 dan ketebalan yang sama, dilakukan preteatment
Fiber length min, mm 0.65 0.48 dengan enzim L dan X dengan konsentrasi sama dan
Fiber length max, mm 1.64 1.44 waktu perendaman selama 1, 6 dan 24 jam. Serpih
Fiber diameter, µ 17.84 17.69 dimasukan kedalam kantong plastik dan ditempatkan
Diameter lumen, µ 11.28 10.64 pada suhu (23~25oC) atau suhu ruangan dengan variai
Cell wall thickness, µ 3.28 3.52 waktu tertentu.
Runkel Ratio 0.58 0.66 Warna kayu yang terang atau putih akan
Felting power 58.86 54.83 memberikan kualitas pulp mekanis yang dihasilkan lebih
Flexibilty ratio 0.63 0.60 terang dibandingkan dengan kayu yang berwarna gelap.
Muhlsteps ratio, % 60.02 63.82 Rendahnya lignin dan ekstraktif pada kayu setelah terjadi
Basic density 0.41 0.60 aksi mekanis saat pembuatan pulp mekanis dimana
Chips bulk file density, kg/m3 166.20 107.30 ikatan antar seratnya akan lebih mudah terurai dan proses
Bark content, % 8.10 10.02 pemutihan dengan peroxida lebih efisien.
Wood content, % 91.90 89.98 Kedua kayu yang dipilih telah menunjukkan hasil yang
sesuai persyaratan bahan baku pulp mekanis.
Table 2 . Wood chemical of Gmelina arborea and Selanjutnya untuk pemutihan pulp mekanis dapat
Paracerianthes falcataria dilakukan dengan prinsip reduktif dan pemutihan secara
oksidatif, kondisi ini dapat dilakukan secara tunggal atau
Gmelina Paraseri- gabungan. .
anthes Pemutihan pulp menggunakan peroksida (H2O2) hal
Ash ,% 0.88 1.30 ini dipilih karena cukup effektif untuk pulp mekanis dan
Silikat,% 0.12 0.15 merupakan pemutih oksidatif terbaik yang banyak
Lignin, % 21.31 21.11 digunakan di industri. Bahan kimia pemutih yang
Extractives, % 2.88 3.69 digunakan seperti Na2O, H2O2 atau campuran dari
Holocelulose, % 72.42 83.10 keduanya, mekanisme H2O2 digunakan dalam medium
Celulose α, % 39.46 48.60 alkali dilakukan pada pH 10~11. Penambahan natrium
Pentosan, % 17.45 18.03 silikat dan garam magnesium untuk menjaga stabilitas
Solubility in: warna dan untuk menambah kecerahan pulp. Pengaturan
 Cool water, % 4.39 4.86 Namun konsentrasi NaOH, Na2SO3, H2O2 konsistensi pulp
 Hot water, % 4.36 4.41 dan suhu sangat diperhatikan dalam pengamatan ini. Hal
 1% NaOH, % 14.38 14.54 ini untuk mendapat kualitas pulp putih yang optimum,
kekuatan fisik pulp baik.( Clark 1985 ; Dence 1996.
Kayu Gmelina dan Paraceriantes memiliki komponen
dan sifat kimia hampir sama dengan sifat kelarutan 1%

S3 Inner layer of the secondary wall (0,1μ m)

S2 Main layer of the secondary wall (1 5 μm)


-

S1 -
Outer layer of the secondary wall (0,10,2 μm)

P Primary wall (0,1 0,3


- μm)

M Middle lamella (0,1 1- μm)

L Lumen
Figfure 5. Wood fiber structure (Casey, J. P. 1980)

Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process
Wawan Kartiwa Haroen 71
Table 3. Pre-treatment enzyme X of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes
Parameter Gmelina arborea Paraserianthes falcataria
GX-1 GX-6 GX-24 PX-1 PX-6 PX-24
Yield of pulp 73.78 77.68 80.85 76.23 81.37 75.54
Colour of pulp Light Light Light Light Light Light
Note : G : Gmelina P : Paraserianthes X : Enzyme X L : Enzyme L

Table 4. Chemical content of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes


Gmelina arborea Paraserianthes falcataria
Parameter
GX-1 GX-6 GX-24 PX-1 PX-6 PX-24
Lignin,% 20.25 20.51 20.07 20.34 19.31 19.30
Celulose,% 88.84 89.11 88.25 85.22 84.84 89.11
Extracfive , % 1.13 1.05 1.04 1.13 1.19 1.04

Table 5. Energy consumed refiner (ton/pulp)


Parameter Gmelina arborea Paraserianthes falcataria
GX-1 GX-6 GX-24 PX-1 PX-6 PX-24
Energy refiner 1 (2 x ), Watt 3.42 4.56 3.8 5,13 4.56 3.42
Energy refiner 2 (3 x), Watt 3.44 2.98 2.34 4.97 4.01 3.12
Colour of Pulp Light Light Light Light Light Light
Freeness pulp , ml CSF 850 850 850 850 850 850

Table 6. Peroxide bleaching stages of mechanical pulp for Gmelina and Paraserianthes
Paraserianthes falcataria (P) Gmelina arborea (G)

X-1 X-6 X-24 L-1 L-6 L-24 X-1 X-6 X-24 L-1 L-6 L-24
P1 stage 180
mnt,70oC, 10%
cons
H2O2 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0
NaOH 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
Na2SiO3 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0
EDTA 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0,5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
pH 7.88 7.90 7.62 7.38 7.53 8.09 8.42 8.13 8.38 8.79 8.13 8.29
P2 stage 180
mnt,70oC, 10 %
cons
H2O2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
NaOH 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Na2SiO3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
EDTA 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
pH 9.47 9.43 9.30 9.56 9.36 9.32 9.69 9.77 9.68 9.92 9.66 9.67
Yield ,% 97.25 97.40 99. 95 98.71 94.87 99.13 97.11 08.15 9.,05 98.15 99.01 98.61
Brightnes ,%
ISO 70.4 65.8 73.4 65.3 68.8 69.2 71.0 71.9 74.2 70.8 65.6 73.1

Perlakuan serpih (Table 3) dengan enzim X selama 1 retensi enzim yang lebih pendek yaitu selama 1 jam
jam (GX-1), 6 jam (GX-6) dan 24 jam (GX-24) telah rendemen pulpnya lebih rendah yaitu 73.78 %. Namun
menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap gejala yang lain terlihat pada serpih Paraserianthes ,
rendemen pulpnya. Seperti pada serpih Gmelina yang dengan perlakuan enzim untuk memperoleh rendemen
diperlakuan dengan enzim selama 24 jam menghasilkan yang tinggi hanya diperlukan waktu perendaman 6 jam
rendemen pulp 80.85 %, apabila dibandingkan dengan (PX-6) dengan rendemen pulp yang dihasilkan 81.37 %.

72 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Table 7. Physical properties of mechanical pulp for Gmelina arborea (Enzyme pre-treatment)
Sample of pulp
Physical properties
GX- GX-6 GX- GL-1 GL-6 GL-
PX-1 PX-6 PX-24 PL-1 PL-6 PL-24
1 24 24

Tear Index, Nm2/kg 3.20 3.53 3.68 3.50 3.56 3,73 4.05 4.50 4.07 2.75 3.52 3.27
Burst Index, MN/kg 2.48 2.71 2.73 0.67 1.20 1.22 2.35 2.93 2.27 0,58 1.29 1.76
Tensile Index ,Nm/g 48.0 35.8 39.9 30.59 30,90 31.72 40.2 45.17 43.91 24.6 35.13 36.81
Breaking length, m 4895 3618 4074 2079 2610 3234 4699 4625 4457 2509 3582 3714
Folding indurace,times 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Brightness, % ISO 71.1 71.4 74.5 72.5 72.5 74.6 65.3 68.8 69.2 70.4 65.8 73.4
Opacity 91.1 89.4 93.5 86.4 87.4 90.61 91.1 89.6 90.1 93.5 91.9 86.1

Brightness (% ISO) 55
SNI News paper

Dari proses tersebut dapat dibuktikan bahwa, menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap
semakin lama waktu retensi yang diterapkan ada peningkatan derajat putih, bahkan derajat putih yang
kecenderungan untuk menurunkan rendemen pulp. diperoleh melebihi standar SNI untuk kertas koran yang
Alasannya karena serpih Paraseriantes memiliki sifat dipersyaratkan yaitu 55 % ISO (Table 7).
kayu/serpih lebih lunak sehingga waktu retensi 6 jam saja Air limbah proses pembuatan pulp mekanis yang
sudah optimal, sedangkan serpih Gmelina kayunya lebih serpihnya dilakukan pre-treatment dengan enzim X dan L
pada diperlukan waktu retensi lebih lama. untuk Gmelina dan Paraserianthes menghasilkan air
Kedua pulp mekanis dari Gmelina dan limbah yang memiliki COD dan BOD yang rendah bahkan
Paracerianthes yang dihasilkan memiliki warna pulp yang di bawah baku mutu buangan yang dipersyaratkan
cerah sampai terang sesuai dengan sifat kayunya yang Kementrian Lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan
putih. pendapat Kudo (1991), bahwa buangan proses
Perlakuan enzim terhadap serpih sebelum diproses pembuatan pulp mekanis dari kayu memiliki zat terlarut
untuk pulp mekanis pada kedua kayu tersebut dapat yang rendah (Table 9).
menurunkan lignin sampai 4.5~5.8% dibandingkan
dengan bahan baku awal. Kandungan selulosanya masih Table 10. Waste water mechanical pulping process
tetap tinggi, yaitu 65% lebih dan ektraktifnya berkurang COD (mg/l) BOD (mg/l)
dari 3.89 % menjadi 1.04~1.2 % , hal ini memperlihatkan Sample Regulation Regulation
bahwa proses perlakuan awal pada serpih menggunakan Value Value
KLH KLH
enzim X atau L dapat membantu proses penurunan GX-24 53.25 Max 120 28.60 Max. 50
ektratif pada serpih. GL-24 54.12 20.92
Sejalan dengan menurunnya kandungan kimia akibat PX-24 42.86 19.36
perlakuan enzim pada serpih, dapat dipantau juga PL-24 50.18 33.24
pengaruhnya terhadap pemakaian enerji refiner saat
serpih dihancurkan menjadi serat. Terpantau dari data Kesimpulan
amper meter menunjukkan hasil yang signifikan.
Treatment enzim lebih lama menunjukkan pemakaian Serpih Gmelina arborea dan Paraserianthes
enerji listrik semakin berkurang terlihat dari nilai Ampere falcataria yang direndam dengan enzim dosis 3 kg/ton
meter yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa serpih selama 6~24 jam telah memberikan pengaruh yang positif
kayu tersebut lebih lunak, sehingga mesin refiner terhadap proses pembuatan pulp mekanis (RMP),
memerlukan arus listri lebih rendah yang ditujukkan oleh terutama dapat meningkatkan rendemen pulp yang
nilai aper meternya (Table 5). dihasilkan. Rendemen pulp yang diperoleh, yaitu
Pemutihan dengan peroksida 2 tahap terhadap pulp 76.23~86.37% tergantung jenis kayu dan retensi enzim
mekanis Gmelina dan Paraserianthes menghasilkan yang digunakan.
derajat putih antara 65~74% ISO, derajat putih pulp Perlakuan perendaman serpih dengan enzim X atau
Gmelina dan pulp Paraserianthes. Perlakuan awal L selama 24 jam dapat menurunkan pemakaian enerji
terhadap serpih menggunakan enzim selama 1 dan 6 jam listrik refiner mencapai 15~30%, sedangkan peredaman
derajat putih pulpnya lebih rendah, karena waktu retensi dengan enzim selama 1 jam belum memperlihatkan
yang diperlukan masih kurang tetapi dengan waktu lebih adanya penurunan energi pada proses refining.
lama derajat putih pulpnya meningkat. Perlakuan enzim Kualitas pulp mekanis RMP yang serpihnya di
terhadap serpih untuk pembuatan pulp mekanis telah treatmen dengan cara direndaman dengan Enzim X atau

Enzymatic Pretreatment of Hardwood Chips for Refiner Mechanical Pulping (RMP) Process
Wawan Kartiwa Haroen 73
L dapat meningkatkan derajat putih dan indek sobek Leatham, G.F.; G.C. Myer and T.H. Wegner. 1990
pulpnya yang sebanding dengan tingkat perlakuannya. Biomechanical Pulping of Aspen Chips: Paper
Strength and Optical Properties Resulting from
Saran Different Fungal Treatments. Tappi Journal. pp.249-
253.
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki industri Ming T. and K. Krik. 1988. Lignin Peroxidase of
pulp yang berorientasi pada pulp mekanis. Untuk Phenerochaete crysoporium. Method in Enzimology,
menghemat bahan baku dan penyelamatan hutan Vol. 161. Academic press.
diperlukan regulasi kebijakan yang mengarah kepada Richana, N. 2002. Produksi dan Prospek Enzim Xilanase
pendirian pabrik pulp mekanis di wilayah Indonesia Timur dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia.
dengan bahan baku yang sesuai. Buletin Agro-Bio 5 (1): 29-36
Stanley N.M. 1986. Introduction to Paper Technology
Ucapan terima kasih University of Maine. Orono, Maine.
Stuart, R.C. 1996. Development TMP Fiber and Quality of
Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Perum Pulp. Appita Journal 49 (5): 197-210.
Perhutani Jawa Barat, Ibu Typuk Artiningsih dan Bapak Typuk A. and W. Kartiwa. 2000. How Utilize Fungi and
Sudarmin.dkk yang banyak membantu terlaksananya their Enzim for Clean Product of Pulp and Paper.
penelitian ini.- Proceeding of Tappi Annual Meeting and Pacific
Conference, Japan.
Daftar Pustaka Typuk A. 2002. Jamur untuk Industri Pulp dan Kertas
Ramah Lingkungan. Inovasi Teknologi BPPT 1(12):
Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and 22-23.
Chemical Technology. Volume 1. Interscience. New Vipart. B. 1993. Evaluating the Anaerobic Treatiability of
York. Themomecanical Pulping Waste Water Treatment.
Casey, J.P. 1981. Pulp and Paper Chemistry and Pulp and Paper Canada 91(3):193.
Chemical Technology. Volume 3. Interscience. New Valchev, I. and P. Tsekova. 2010. Xylanase Post-
York. treatment as a Progress in Bleaching Processes. Apita
Clark, J.D. 1985. Pulp Technology and Treatment for Journal .63(1): 53-56.
Paper. Miller Freeman Publication. San Fransisco.
Dence, C.W.; D.W. Reeve. 1996. Pulp Bleaching,
Principle and Practice. Tappi Press, Atlanta, Georgia. Wawan Kartiwa Haroen
Ellis, B.C. 1976. Propertis of Cellulose and Lignocellulosic Peneliti Utama
Material as Subtrates for Enzimatic Conversation Balai Besar Pulp dan Kertas, Kementrian Perindustrian
Processes. Biotechnology Symp. No. 6. 95-123. (Central for Pulp and Paper, Ministry of Industry)
Grandfeldt, T.; H. Dahlin .2003. Hardwood BCTMP Jl.Raya Dayeuhkolot 132 Bandung
Improves Bulk, Smothness and Opacity. Paper Telp : 022-5202980
Technology 44 (7): 43-46. Fax : 022-5202871
Kappel, J. 1999. Mechanical Pulp from Wood to Email : wawankh@yahoo.com
Bleacheched Pulp. Tapp Press - USA wawankh@depperin.go.id
Kudo, A.T. 1991. An Aerobic Treatment of Pulp CTMP
Waste Water and Toxicity of Granules. Water
Sc.Tech.13:1919.

74 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kimia dari Kulit Batang Manggis
(Garcinia mangostana Linn)
Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen
(Garcinia mangostana Linn)
Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman

Abstract

The purpose of this research is to isolate and characterize chemical compound from bark of mangosteen. Bark of
mangosteen was macerated with methanol. The extract from that process was fractionated with n-hexane, methylen
chloride, and ethyl acetate. Ethyl acetate fraction was separated and purified by vacuum column chromatography,
gravitation column chromatography, and preparative thin layer chromatography. The relative pure compound was
afforded from ethyl acetate fraction of mangosteen bark (8.5 mg) resulting from 1.5 kg of mangosteen bark. The yellow
amorphous powder of compound melts at 114 ~ 116ºC (uncorrected). The purity of compounds was tested by 1 and 2
dimension thin layer chromatography which gave one spot on TLC plate. The ultraviolet-visible (in CH3OH solvent)
spectrum showed absorption maximum at 318 nm (sinamoyl group/band I), 258 (shoulder), and 243 nm (benzoyl
group/band II). Addition of NaOH caused batochromic shift of band I and band II predicted as two hydroxyl at C-4’ and C-
7, respectively. The infrared spectrum displayed absorption bands of OH stretching at 3436 cm-1, C-H stretching at 2920
cm-1, C=O stretching at 1631 cm-1, C-O-C stretching at 1094 cm-1, and C-H aromatics bending at 970-800 cm-1. A
molecular ion in the FABMS at m/z 271.36 [M+H] + was consistent for the molecular formula C15H10O5. The 1H NMR
spectrum showed characteristic resonances of a flavone. Based on the result of phytochemical test and analysis of the
spectrum, it is predicted that the compound belongs to flavone, a kind of flavonoids which has hydroxyl at C-5, C-7, and
C-4.

Key words: Garcinia mangostana Linn, flavonoids, ethyl acetate fraction, chromatography

Pendahuluan Selain itu, telah ditemukan 11 senyawa biflavonoid


dari Garcinia multifora (Lin et al. 1997). Kolaviron adalah
Indonesia memiliki potensi besar untuk menemukan jenis biflavonoid yang diperoleh dari Garcinia kola (Souza
bahan alam baru, karena lebih dari 30.000 spesies et al. 2002; Farombi et al. 2004; Adaramoye et al. 2005).
tumbuh-tumbuhan berada di hutan tropika Indonesia. Biflavonoid jenis morelloflavon ditemukan dari kulit batang
Sebagian besar dari tumbuhan tersebut belum pernah Garcinia atroviridis (Permana et al. 2003) Selanjutnya,
diselidiki apalagi dieksploitasi untuk diambil manfaatnya. dalam buah Garcinia scortechinii terdapat 2 senyawa
Famili Guttiferae genus Garcinia tersebar luas di biflavonoid (Sukpondma et al. 2005). Pada buah Garcinia
Indonesia terutama daerah Kalimantan Barat (Kosela dulcis ditemukan dulcinoside, dulcisisoflavon,
2005). Kajian secara kimiawi menunjukkan bahwa di dulcisflavan, morelloflavon dan pada bagian buahnya
dalam Manggis terdapat kandungan senyawa mayor mengandung biflavonoid lain (Deachathai et al. 2005;
santon. Selain santon, Manggis juga kaya akan sumber Deachathai et al. 2006). Senyawa bioaktif tersebut
senyawa bioaktif lainnya yaitu flavonoid, benzofenon, mempunyai efek farmakologis yang tinggi yaitu sebagai
lakton dan asam fenolat serta tannin (Mahabusarakam et antibakteri, antijamur, antiinflamasi, dan antitumor. Isolasi
al. 1987; Kosela 2005). dan karakterisasi senyawa flavonoid dari kulit batang
Penyebaran senyawa dalam tumbuhan Manggis belum ditemukan publikasinya. Padahal dalam
menunjukkan kecenderungan yang kuat bahwa tumbuhan tanaman satu genus/famili lain telah ditemukan.
dari famili yang sama akan menghasilkan senyawa dari Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan struktur
golongan yang sama atau secara umum mengandung senyawa flavonoid yang terdapat pada kulit batang
konstituen terkait (Nakanishi et al. 1974). Pada tanaman Manggis. Selanjutnya dapat dilakukan uji aktivitas dari
yang berada dalam satu famili Guttiferae, Garcinia dioica ekstrak yang diperoleh, sehingga pengembangannya
sebagai tumbuhan daerah tropis juga dikenal sebagai dalam dunia kesehatan dapat ditingkatkan. Diharapkan
tumbuhan yang kaya akan kandungan xanton dan pula agar populasi Manggis dapat dipertahankan karena
biflavonoid (Iinuma et al. 1996a). Pada Crotoxylum selain mengingat produksi buah yang dihasilkan, Manggis
formosanum ditemukan pula 2 jenis flavonoid (Iinuma et memiliki prospek yang cerah karena terdapat pula nilai
al. 1996b). tambah yang cukup penting.

Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn)
Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman 75
Bahan dan Metode Varian Cary 100 Conc), dan spektrometer IR (FTIR ONE
Perkin Elmer), FABMS (JEOL JMS HX-110A) dan 1H-
Bahan dan Peralatan NMR ( Unity Plus Variant 400 MHz).
Kulit batang Manggis (Garcinia mangostana L.)
diperoleh dari kebun Manggis di Jalan Kakap Pal VII Metode Penelitian
Pontianak. Identifikasi spesies tanaman dilakukan di Kulit batang Garcinia mangostana L. (1.5 kg)
Herbarium Bogoriense LIPI Bogor. diekstraksi dengan metanol. Ekstrak metanol (110.65 g)
Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan asam kemudian dipartisi corong pisah menggunakan pelarut n-
sulfat, natrium hidroksida, asam klorida, besi klorida, heksana, metilena klorida, dan etil asetat secara berturut-
reagen serium sulfat, pita magnesium, berbagai jenis turut. Ekstrak etil asetat (4.57 g) selanjutnya dimurnikan
pelarut organik diantaranya metanol (teknis dan merck dengan menggunakan kromatografi kolom vakum (eluen
p.a), n-heksana (teknis), metilena klorida (teknis), etil bergradien). Diperoleh 5 fraksi gabungan dari proses
asetat (teknis), kloroform (merck p.a), silika gel G-60 tersebut, yaitu A, B, C, D, dan E. Kemudian fraksi B (1.24
ukuram 230-400 mesh dan 70-230 mesh untuk g) diteruskan untuk dimurnikan dengan menggunakan
kromatografi kolom, serta plat kromatografi lapis tipis kromatografi kolom gravitasi (KKG) I eluen etil asetat:n-
silika gel 60 F254 (merck). heksana (2:1). Hasilnya adalah fraksi B2 (358.5 mg).
Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah alat-alat Pemurnian kembali dengan KKG II eluen metilena (1).
gelas kimia yang umum digunakan di Laboratorium Kimia Fraksi B2.2 (91.5 mg) dikromatografi dengan lapis tipis
Organik, neraca analitik (Mettler AE 2000), seperangkat preparatif eluen kloroform:metanol (9:1). Dengan
alat kromatografi kolom, evaporator yang dilengkapi demikian diperoleh fraksi B2.2.5 sebanyak 10 mg. Diagram
dengan sistem vakum (rotary Heidolph WB 2000), lampu identifikasi dan isolasinya dapat dilihat pada Gambar 1
UV (Vettler GMBH), melting point apparatus (Melting Point dan Gambar 2.
SMP 10 Stuart Scientific), spektrofotometer UV-Vis (UV

Figure 1. Identification Diagram Figure 2. Isolation Diagram.

76 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Hasil dan Pembahasan (3437 cm-1) dan sistem aromatik (1505-1464 cm-1
cincin aromatik dan 900-700 cm-1  C-H tekuk aromatik).
Hasil Disamping itu, dapat diketahui bahwa terdapat gugus
Isolat diperoleh sebagai serbuk kuning amorf karbonil (1642 cm-1), dan eter (1170 cm-1) pada kerangka
(8.5mg); t.l. 114-116oC; UV (CH3OH) λmaks (Absorbansi): senyawa isolat (Deachathai et al. 1996; Silverstein, et al.
436 (0,04), 317 (0,10), 243 (0,17), 204 (0,22); UV 1986). Berdasarkan spektrum MS yang diperoleh,
(CH3OH+NaOH) λmaks (Absorbansi): 368 (0,20), 243 senyawa isolat B2.2.4 memiliki berat molekul 270,36
(0,30), 205 (1,71). FABMS m/z (% intensitas relatif) dengan rumus molekul C15H10O5.
([M+H]+ 271,36) (27), 179,56 (40), 162, 60 (100). 1H-NMR Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan
(DMSO-d6) ( ppm) 13,28 (1H, s, 5-OH), 7,8 (2H, d, J=9,3 menggunakan spektrometer UV-Vis dibandingkan dengan
Hz, H-2’, H-6’), 6,92 (2H, d, J=9,3 Hz, H-3’, H-5’), 6,60 senyawa dulcinoside (Deachathai et al., 2005) adalah
(1H, s, H-3), 6,50 (1H, s, H-8). sebagai berikut:

Pembahasan Table 1. Wavelength (λ max) of isolate B2.2.4 and


Hasil penapisan fitokimia ekstrak kental metanol Dulcinoside (UV-Vis)
menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam max (nm) max (nm) max (nm) Information
kulit batang Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah (CH3OH) (CH3OH + (CH3OH)
B2.2.4 NaOH) B2.2.4 Dulcinoside
golongan senyawa flavonoid, alkaloid, polifenol, kuinon, 441 - - -
dan saponin. Analisis kemurnian terhadap fraksi B2.2.4 318 368 334 band I
yang diperoleh, dilakukan secara kromatografi lapis tipis 258 - 272 -
dengan menggunakan berbagai eluen, yaitu 243 244 238 band II
kloroform:metanol (9:1), n-heksana:etil asetat (3:2), 203 206 216 -
metilena klorida:aseton (4:1), dan aseton:n-heksana (1:1).
Berdasarkan spektrum UV-Vis yang diperoleh Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan
menunjukkan beberapa puncak maksimum, yaitu 441 nm, menggunakan spektrometer IR dibandingkan dengan
318 nm, 258 nm, 243 nm, dan 203 nm. Puncak senyawa dulcinoside (Deachathai et al., 2005) adalah
maksimum pada 436 nm diasumsikan sebagai puncak sebagai berikut:
senyawa isolat dalam sistem terkonjugasi panjang.
Transisi yang terjadi sehingga panjang gelombang besar Table 2. Absorption frequencies of isolate B2.2.4 and
adalah transisi dengan energi kecil (n- *). Kromofor C=O Dulcinoside (IR)
Absorption Absorption Functional group
yang mengalami transisi n- * akan memberikan puncak frequencies (cm-1) frequencies (cm-1)
maksimum pada 258 nm. isolate B2.2.4 Dulcinoside
Kekhasan untuk senyawa flavonoid adalah 3446 3402 -OH
terdapatnya pita sinamoil (pita I) dan pita benzoil (pita II), 2927 - -CH
1642 1650 C=O
dalam hal ini ditunjukkan oleh maks 318 nm dan 243 nm. 1096 - C-O (eter)
Prediksi adanya kerangka flavon pada isolat diperkuat
dengan munculnya pita I dan II dengan intensitas pita I Tabulasi hasil pengukuran isolat dengan
lebih rendah dibandingkan intensitas pita II. Rentang nilai menggunakan spektrometer 1H-NMR dibandingkan
pita tersebut dicocokkan dengan karakteristik dari pita I dengan senyawa dulcinoside (Deachthai et al., 2005)
dan II masing-masing jenis golongan flavonoid yang telah adalah sebagai berikut:
ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, kerangka senyawa
isolat adalah flavon dengan rentang pita I (310-350 nm) Table 3. Chemical shift of isolate B2.2.4 and Dulcinoside
dan pita II (250-280 nm) (Markham, 1998). (1H-NMR)
Fraksi B2.2.4 berbentuk serbuk warna kuning. Hasil H (ppm) isolate B2.2.4 (ppm) Dulcinoside
identifikasi spektrum UV menunjukkan bahwa senyawa 5-OH 13,28 (1H,s) 13,31
merupakan sistem aromatik, yang ditandai dengan H-2’ 7,80 (2H,d,J=9,3Hz) 7,83
munculnya cincin benzen pada panjang gelombang 243 H-3’, H-5’ 6,92 (2H,d,J=9,3 Hz) 6,90
nm. Sistem terkonjugasi panjang akan memberikan nilai H-3 6,60 (1H,s) 6,63
H-8 6,50 (1H,s) 6,51
panjang gelombang 318 nm. Hal tersebut dapat
diprediksikan sebagai adanya cincin aromatik dengan
Karakteristik dari spektrum NMR-H menunjukkan
jumlah lebih dari 1 dalam kerangka struktur senyawanya.
kemiripan dengan senyawa yang telah ditemukan
Penambahan reagen geser metanol ditujukan untuk
sebelumnya, yaitu dulcinoside (5,7,4’-trihidroksiflavon 6-
mengetahui adanya gugus OH pada isolat.
Pergeseran nilai sebesar 50 nm (318 nm menjadi C-[ -rhamnpiranosil-(16)]- -glukopiranosid)
368 nm) menunjukkan adanya OH pada senyawa isolat. (Deachathai et al. 2005). Proton flavon terdapat pada 6,60
Pada penafsiran spektrum IR menguatkan adanya OH

Isolation and Characterization of Chemical Compound from Bark of Mangosteen (Garcinia mangostana Linn)
Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Elvi Rusmiyanto, Maryati, Harlia, Ratu Safitri, Unang Supratman 77
ppm, ikatan hidrogen dari OH terdapat pada 13.28 ppm, Nakanishi, K.; T. Goto; S. Ito; S. Natori and S. Nazoe.
proton aromatiknya terdapat pada 6.50 ppm. 1974. Natural Product Chemistry Vol. 1. Academic
Press Inc.
Kesimpulan Permana, D.; N.H. Lajis; M. Kitajima; H. Takayama and N.
Aimi. 2003. Morelloflavon, A Biflavonoid from the
Berdasarkan data spektrometri maka senyawa B2.2.4 Trunk Barks of Garcinia atroviridis. J. Bull. Soc. Nat.
adalah 5,7,4’-trihidroksiflavon dengan titik leleh Product Chem. 3: 67-70.
114-1160oC. Silverstein, R.M.; Bassler, G.C. and Morrill, 1986,
Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, ed ke-
Daftar Pustaka 4, Hartomo, A.J. dan Purba, A.V. (alih bahasa),
Erlangga, Jakarta.
Adaramoye, O.A.; E.O. Farombi; E.O. Adeyemi and G.O. Souza, A.E.; T.M.S. Silva; C.C.F. Alves; M.G. Carvalho;
Emerole. 2005. Comparative Study on the R.B. Filho and Echevarria. 2002, Cytotoxic Activities
Antioxidant Properties of Garcinia cola Seed. J. Med. Against Ehrlich Carcinoma and Human K 562
Sci. 21(3): 331-339. Leukaemia of Alkaloids and Flavonoid from Two
Deachathai, S.; Mahabusarakam, W.; Phongpaichit, S. Solanum Species. J. Braz. Chem. Soc. 13(6): 838-
and Taylor, W.C., 2005, Phenolic compounds from 842.
the fruit of Garcinia dulcis, J. Phytochem., 66:2368- Sukpondma, Y.; Rukhacaisirikul, V. and Phongpaicit, S.,
2375. 2005, Xanthone and Sesquiterpene Derivatives from
Deachathai, S.; Mahabusarakam, W.; Phongpaichit, S.: the Fruits of Garcinia scortechinii, J. Nat. Product.,
Taylor, W.C.; Zhang, Y.J. and Yang, C.R., 2006, 68(7):1010-1017.
Phenolic compounds from the flowers of Garcinia
dulcis, J. Phytochem., 67:464-469.
Farombi, E.O.; M. Hansen; P. Moller and L.O. Dragsted. Lia Destiarti, Ari Widiyantoro, Maryati, Harlia,
2004. Commonly Consumed and Naturally Occurring Jurusan Kimia FMIPA Universitas Tanjungpura
Dietary Substances Affect Biomarkers of Oxidative (Department of Chemistry, Faculty of Mathematic and
Stress and DNA Damage in Healthy Rats. Food and Natural Sciences, Tanjungpura University)
Chem Toxicology: 1315-1322. Jl. A. Yani Pontianak, West Kaliimantan
Iinuma, M.; H. Tosa; T. Tanaka and S. Riswan. 1996a.
Three New Xanthones from the Bark of Garcinia Elvi Rusmayanto.P.W
dioica. J. Chem. Pharm. Bull. 44(1): 232-234. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Tanjungpura
Iinuma, M.; H. Tosa; T. Ito; T. Tanaka and D.A. Madulid. (Department of Biology, Faculty of Mathematic and
1996b. Two Xanthones from Roots of Crotoxylum Natural Sciences, Tanjungpura University)
formosanum. J. Phytochem 42(4): 1195-1198. Jl. A. Yani Pontianak, West Kalimantan
Kosela, S. 2005. Kandungan Senyawa Kimia dari
Tanaman Garcinia spp yang Tumbuh di Indonesia. J. Ratu Safitri
S. Chem ITB - UKM VI. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran
Lin, Y.M.; H. Anderson; M.T. Flavin and Y.H.S. Pai. 1997. (Department of Biology, Faculty of Mathematic and
In vitro Anti HIV Activity of Biflavonoids from Rhus Natural Sciences, Padjadjaran University)
succedanea and Garcinia multiflora. J. Nat. Product Jl.Raya Sumedang, Jatinangor, Sumedang, West Java
60(9): 884-888.
Mahabusarakam, W.; P. Iriayachitra; W.C. Taylor. 1987. Unang Supratman
Chemicals Constituents of Garcinia mangostana. J. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran
Nat. Product 474-478. (Department of Chemistry, Faculty of Mathematic and
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Natural Sciences, Padjadjaran University)
Padmawinata, K. (alih bahasa), Institut Teknologi Jl.Raya Sumedang, Jatinangor, Sumedang, West Java
Bandung, Bandung. E-mail: ariyant2@yahoo.com)

78 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Pengaruh Lama dan Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas dan Struktur Kimia
Arang Aktif Bagasse
Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of
Bagasse Activated Charcoal

Wawan Sujarwo

Abstract

The aim of this research was to determine the effect of time and temperature activation on the quality and chemical
structure of bagasse activated charcoal. The study was designed in a completely random design with 3 x 3 factorial, each
treatment was 5 times repeated. Bagasse was carbonized in an electrical retort at 400oC for 3.5 hours, then activated at
800oC, 900oC and 1000oC for 30, 60 and 90 minutes at each temperature. The quality of bagasse activated charcoal
showed that the yield was 72.57 ~ 91.78%, 5.90 ~ 9.58% moisture content, 39.70 ~ 52.70% volatile matter, 18.40 ~
25.30% ash content, 26.30 ~ 36.70% fixed carbon, 8.44 ~ 13.40% benzena adsorption, 1036.18 ~ 1474.33 (mg/g) iodium
adsorption, 121.91 ~ 124.80 (mg/g) methylene blue adsorption. The surface area of bagasse activated charcoal was
250.45 m2/g. The FTIR analysis indicated that surface of bagasse activated charcoal contained bonding of C-X, S═O, C-
N, N-H and C═C. The SEM analysis showed that there were wide pore diameter and plenty of pores. The application of
bagasse activated charcoal at two villages reduced the colour, turbidity and iron contents until 65%, 30% manganese
contents while hardness of water and pH did not change.

Key words: activated charcoal, bagasse, activation, quality, chemical structure.

Pendahuluan digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan


anorganik.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi Berdasarkan keperluan di atas, maka sangat penting
bahan baku arang aktif yang cukup besar dan belum untuk meningkatkan produktivitas arang aktif di Indonesia.
dimanfaatkan secara maksimal. Produksi arang aktif di Arang aktif dapat menjadi produk unggulan bila didukung
dalam negeri sampai saat ini masih terbatas, akibatnya dengan peran aktif pemerintah maupun swasta yang akan
untuk memenuhi kebutuhan arang aktif, Indonesia masih meningkatkan produktivitas dan kualitas arang aktif. Salah
mengimpor dari negara-negara lain seperti Australia, satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas
Korea Selatan, Jerman, Jepang, Belanda dan Malaysia. adalah dengan melakukan studi terhadap sumber
Pada tahun 2004, Indonesia mengimpor arang aktif biomassa yang berpotensi sebagai bahan baku arang
sebanyak 909,170 kg dengan harga 1,192,525 US$ aktif yang berkualitas.
(Anonimous 2005a). Kebutuhan Indonesia akan arang Bahan baku pembuatan arang aktif yang dipilih
aktif masih cukup besar, disebabkan semakin meluasnya dalam penelitian ini yaitu dari bahan bagasse. Dipilihnya
penggunaan arang aktif dalam banyak sektor industri. bagasse karena merupakan limbah terbesar yang
Menurut Nurhayati et al. (2002) terdapat 27 industri yang dihasilkan dalam industri gula tebu yaitu sekitar 35 ~ 40%
menggunakan arang aktif untuk keperluan adsorbent dan dari berat batang tebu yang biasanya dipakai sebagai
penyerapan polutan. Saat ini arang aktif telah digunakan bahan baku di pabrik gula (Christiyanto 1998). Potensi
secara luas dalam indutri kimia, makanan, minuman dan bagasse di Indonesia cukup besar, menurut data statistik
farmasi. Pada umumnya arang aktif digunakan sebagai Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia
bahan penyerap, penjernih dan dalam jumlah kecil juga 395,399.44 ha yang tersebar di Sumatera seluas 99,383.8
digunakan sebagai katalisator. Arang aktif dapat ha, Jawa seluas 265,671.82 ha, Kalimantan seluas
digunakan untuk pemurnian udara pada lingkungan padat 13,970.42 ha dan Sulawesi seluas 16,373.4 ha.
penduduk seperti perkantoran, rumah sakit, laboratorium, Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu mampu
industri pengolahan makanan. Tempat-tempat tersebut menghasilkan 100 ton bagasse. Oleh karenanya potensi
membutuhkan udara bersih serta mencegah polusi udara bagasse nasional dapat tersedia dari total luas tanaman
ke atmosfir akibat emisi pada pembuangan gas yang tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Anonimous
berasal dari berbagai macam operasi industri. Pada 2005b).
industri gula, arang aktif digunakan untuk menghilangkan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
zat warna pada air gula dan pemurnian oksida logam. interaksi antara lama dan suhu aktivasi terhadap kualitas
Pada pengolahan limbah cair modern, arang aktif juga dan struktur kimia arang aktif serta mengetahui kualitas
air setelah diperlakukan dengan arang aktif bagasse.

Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal
Wawan Sujarwo 79
Proses pembuatan arang menjadi arang aktif dalam (Honestly Significant Difference) dengan prosedur Tukey
penelitian ini tidak menggunakan aktivasi kimia namun pada taraf 1% dan 5%.
menggunakan aktivasi thermal dengan suhu tinggi. Hal ini
dilakukan dengan harapan, agar arang aktif yang dipakai Hasil dan Pembahasan
untuk memperbaiki kualitas air tidak mengganggu
kesehatan. Kondisi optimum didefinisikan sebagai kondisi
perlakuan yang dapat memberikan kualitas arang aktif
Bahan dan Metode terbaik (Hudaya dan Hartoyo, 1990). Lama dan suhu
aktivasi merupakan faktor yang penting dalam
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini menentukan kualitas dan struktur kimia arang aktif yang
adalah bagasse (ampas tebu) yang diperoleh dari dihasilkan, karena besar pengaruhnya terhadap
PG.Trangkil, Pati, Jawa Tengah. Bahan kimia yang kemampuan daya serap.
digunakan diantaranya adalah iodium, tapioka, natrium Kualitas arang aktif meliputi rendemen, kadar air,
tiosulfat, benzena dan biru metilen. kadar volatile, kadar abu, kadar karbon terikat, daya serap
Beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu persiapan benzena, daya serap iodium dan daya serap biru metilen,
bahan, karbonisasi, aktivasi, pengujian kualitas dan sedangkan hasil analisa struktur kimia arang aktif meliputi
struktur kimia arang aktif. Rancangan penelitian yang luas permukaan, pola struktur gugus fungsi dan Scanning
digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap yang Electron Microscope (SEM).
disusun secara faktorial dengan 2 faktor (3 tingkatan lama
aktivasi dan 3 tingkatan suhu aktivasi) dan 5 kali ulangan Kualitas Arang Aktif
pada tiap perlakuan. Metode analisa data dengan analisis Nilai rata-rata kualitas arang aktif yang diperoleh
keragaman (ANOVA). Apabila hasil analisis keragaman dalam penelitian ini berdasarkan parameter yang diamati
berbeda nyata, hasil pengujian diuji lanjut dengan uji HSD disajikan pada Tabel 1.

Table 1. Quality of Bagasse Activated Charcoal.


Parameter
Ren Ka K.V K.Ab K.KT DS.B DS.I DS.BM
Treatment (%) (%) (%) (%) (%) (%) (mg/g) (mg/g)
A1B1 91.78 5.90 39.70 23.60 36.70 8.44 1036.28 122.33
A1B2 88.63 8.22 52.70 21.00 26.30 8.50 1218.24 122.13
A1B3 81.66 8.32 43.00 21.60 35.40 8.80 1211.50 124.80
A2B1 88.80 6.78 43.60 24.00 32.40 8.62 1144.11 121.95
A2B2 85.61 7.44 48.60 20.40 31.00 8.84 1319.33 124.61
A2B3 80.63 9.58 48.10 20.50 31.40 11.48 1339.55 124.60
A3B1 86.56 7.50 47.70 25.30 27.00 8.70 1400.20 121.91
A3B2* 84.65 8.32 44.00 21.20 34.80 9.40 1474.33 124.16
A3B3 72.57 7.38 47.10 18.40 34.50 13.40 1326.07 124.75
Criteria
Standard
06-3370-
1995 - 15 25 10 65 25 750 120

Note:
* : Optimum Treatment A1 : Time of Activation 30 Minute
Rend : Rendement A2 : Time of Activation 60 Minute
Ka : Moisture Content A3 : Time of Activation 90 Minute
K.V : Volatile Matter B1 : Temperature of Activation 800oC
K.Ab : Ash Content B2 : Temperature of Activation 900oC
K.KT : Fixed Carbon B3 : Temperature of Activation 1000oC
DS.B : Adsorption of Benzena
DS.I : Adsorption of Iodium
DS.BM : Adsorption of Methylene Blue

80 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi dibutuhkan untuk proses pengujian dan semakin banyak
antara lama aktivasi dan suhu aktivasi memberikan kebutuhan nitrogen cair yang dibutuhkan maka luas
pengaruh yang sangat nyata terhadap daya serap iodium permukaannya semakin besar. Hal ini disebabkan karena
yang dihasilkan. Daya serap iodium cenderung meningkat arang aktif yang luas permukaannya besar akan
seiring dengan bertambahnya lama aktivasi. menyerap nitrogen cair lebih banyak dari pada arang aktif
Kecenderungan ini menggambarkan banyaknya struktur yang luas permukaannya rendah. Selain itu rendahnya
mikropori yang terbentuk karena daya serap iodium luas permukaan arang aktif juga bisa disebabkan karena
merupakan indikasi volume daya tampung pori-pori arang kandungan abu yang masih tinggi yang menyebabkan
aktif. Hal ini juga menunjukkan bahwa relatif banyak pori-pori arang aktif masih tertutup mineral seperti silika,
diameter pori yang terbentuk lebih dari 10 Å. Menurut aluminium, besi dan kalsium.
Hendra dan Pari (1999) besarnya daya serap ini karena
antara ikatan C dan H terlepas dengan sempurna, Table 2. Multy BET (Adsorption) Analysis of Bagasse
sehingga terjadi pergeseran pelat karbon kristalit Activated Charcoal
membentuk pori yang baru dan mengembangkan pori
P/Po BET Transform (1/{W[Po/P -1]} )
yang sudah terbentuk. Sedangkan untuk suhu aktivasi,
daya serap iodium cenderung berfluktuasi dengan 0.049722 0.733188
bertambahnya suhu. Suhu aktivasi yang semakin
meningkat akan mengkorversi karbon dan membantu 0.066857 0.903169
pembentukan pori mikro dalam arang secara kontinyu
yang diikuti dengan meningkatnya daya adsorpsinya. 0.143376 1.992454
Setelah itu dinding pori karbon mulai rusak atau erosi
sehingga luas permukaan pori menurun kembali dan 0.199209 2.751593
diikuti dengan menurunnya daya adsorpsi (Pari 1991).
0.250710 3.511588
Luas Permukaan (Surface Area) Arang aktif Note:
Hasil analisis Multi BET (Adsorption) arang aktif Slope : 13.899742
bagasse yang diperoleh dalam penelitian ini ditampilkan Intercept : 0.004985
pada Tabel 2. Correlation coefficient : 0.999704
Berdasarkan Tabel 2, terlihat nilai total surface area BET C : 2789.073754
sebesar 11.270501 m2 karena berat sampel yang diuji Total surface area : 11.270501 m2
0.0450 maka nilai spesific surface area sebesar Weight Sample : 0.0450 g
250.455576 m2/g. Luas permukaan arang aktif bagasse
pada kondisi optimum dalam penelitian ini adalah 250.455 Pola Struktur Gugus Fungsi Arang Aktif
m2/g. Rendahnya luas permukaan arang aktif berkaitan Gambar spektrum serapan FTIR arang aktif
dengan daya serap terhadap iodium dan metilen biru bagasse yang diperoleh, ditampilkan pada Gambar 1.
yang rendah (Pari 1991). Semakin lama waktu yang

Figure 1. Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FTIR) of Bagasse Activated Charcoal.

Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal
Wawan Sujarwo 81
Mengacu pada Kenneth dan Judith (2000) terlihat tidak teratur mengalami pergeseran sehingga permukaan
spektrum FTIR pada Gambar 1 menunjukkan bahwa kristalit menjadi terbuka dan terbentuk pori yang lebih
arang aktif bagasse pada kondisi optimum dalam banyak. Pergeseran pelat karbon menghasilkan pori yang
penelitian ini terdapat vibrasi dan gugus yang tidak baru dan mengembangkan mikropori awal menjadi
teridentifikasi pada bilangan gelombang 4524.7 ~ 3732 makropori (Pari et al. 2004). Selain itu terbentuknya
cm-1, 2354.9 ~ 2327.9 cm-1, 1693.4 cm-1 dan 1537.2 ~ makropori disebabkan oleh rusaknya dinding pori yang
1454.2 cm-1. Pita serapan di daerah bilangan gelombang kecil dan bergabung dengan pori lain sehingga
1730 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C═C gugus membentuk pori yang lebih lebar (Pari et al. 2003).
aldehida dan ester sedangkan pada daerah bilangan
gelombang 1712.7 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi
C═C gugus keton dan asam karboksilat. Pada pita
serapan di daerah 1666.4 cm-1 menunjukkan adanya
vibrasi C═C gugus alkena, amida dan amina dan oksim.
Pita serapan pada bilangan gelombang 1552.6 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi N-H gugus amida dan amina
primer sekunder (bending), sedangkan pita serapan
didaerah 1014.5 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-X
gugus fluorida, S═O gugus sulfone dan sulfonil klorida, C-
N gugus amina. Pita serapan didaerah 578.6 ~ 414.7 cm-1
menunjukkan adanya vibrasi C-X gugus bromida dan
iodida. Secara keseluruhan hasil analisis IR terdapat 20
pita serapan bilangan gelombang dengan 5 jenis vibrasi
dan 14 jenis gugus fungsi yang teridentifikasi dengan
intensitas berkisar dari 3.182 ~ 6.971 %T. Dari data hasil
analisis struktur gugus fungsi arang aktif pada kondisi Figure 2. Scanning Electron Microscope (SEM) Image of
optimum memperlihatkan bahwa sedikit jumlah gugus Bagasse Activated Charcoal.
fungsi selain vibrasi C. Dengan demikian arang aktif yang
dihasilkan dalam penelitian ini sedikit gugus pengotornya Aplikasi Arang Aktif untuk Memperbaiki Kualitas Air
sehingga daya serapnya semakin besar, karena yang Pengujian kualitas air dilakukan untuk mengurangi
diharapkan dari pembuatan arang aktif adalah gugus C kotoran bahan organik, partikel atau gabungan antara
berikatan dengan C. bau, warna dan rasa. Proses penyerapan merupakan
proses yang penting dalam peningkatan kualitas air.
SEM Arang Aktif Arang aktif sebagai salah satu bahan yang memiliki daya
Gambar scanning electron microscope (SEM) arang serap yang tinggi dapat digunakan untuk memperbaiki
aktif bagasse, dapat dilihat pada Gambar 2. Tampilan kualitas air. Berdasarkan data pada Tabel 1, arang aktif
SEM arang aktif pada Gambar 2 mewakili beberapa dengan daya serap iodium tertinggi digunakan untuk
gambar hasil SEM dalam penelitian ini. pengujian kualitas air (warna, kekeruhan, pH, kesadahan,
Pada Gambar 2 hasil analisis fotograf SEM arang kadar besi dan kadar mangan). Hasil pengujian kualitas
aktif bagasse pada kondisi optimum menunjukkan adanya air sebelum dan sesudah diperlakukan dengan arang aktif
jumlah pori yang cukup banyak dan adanya sebagian bagasse secara lengkap disajikan masing-masing pada
diameter pori yang cukup lebar. Hal ini menunjukkan Tabel 3 untuk desa Ledokdawan dan Tabel 4 untuk desa
selama proses aktivasi, pelat-pelat karbon kristalit yang Monggot.

Table 3. Water Analysis at Ledokdawan Village.


Standard Criteria Result
No.416/Menkes/ Before After
Parameter Unit Per/IX/1990 Reducing
Treatment Treatment
Colour Pt-Co max 50.0 15.0 4.0 73.33%
Turbidity NTU max 25.0 18.0 6.0 66.67%
pH - 6.5 ~ 9.0 8.0 8.0 -
Hardness of Water mg/l max 500 688.49 688.49 -
Iron Content mg/l max 1.0 0.2 0.00 100%
Manganese Content mg/l max 0.5 1.0 0.68 32%

82 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Table 4. Water Analysis at Monggot Village.
Standard Criteria Result
No.416/Menkes/ Before After
Parameter Unit Per/IX/1990 Reducing
Treatment Treatment
Colour Pt-Co max 50.0 25.0 2.5 90.00%
Turbidity NTU max 25.0 21.0 5.0 76.19%
pH - 6.5 ~ 9.0 7.0 7.0 -
Hardness of Water mg/l max 500 386.23 386.23 -
Iron Content mg/l max 1.0 1.3 0.00 100.00%
Manganese Content mg/l max 0.5 0.5 0.25 50.00%

Air yang berasal dari sumur warga desa Ledokdawan Christiyanto, M. 1998. Pengaruh Lama Pemasakan dan
dan desa Monggot, Kecamatan Geyer, Kabupaten Fermentasi Ampas Tebu dengan Trichoderma viride
Grobogan, Jawa Tengah, setelah diperlakukan dengan terhadap Degradasi Serat. Tesis S2 Program Studi
arang aktif bagasse yang berasal dari pembuatan pada Ilmu Peternakan. Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian.
suhu 900oC selama 90 menit, maka air tersebut dapat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (tidak
memenuhi kriteria sebagai air bersih menurut standar dipublikasikan).
baku mutu No. 416/Menkes/Per/1990. Pengujian tersebut Departemen Kesehatan RI. 1990. Peraturan Menteri
berdasarkan sifat fisika air (warna dan kekeruhan) serta Kesehatan RI Nomor : 416/Menkes/Per/IX/1990
sifat kimia air (pH, kesadahan, kadar Mangan, kadar besi) tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
kecuali kualitas kesadahan dan kadar mangan air dari Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
desa Ledokdawan belum memenuhi standar baku mutu Hendra, D dan G. Pari. 1999. Pembuatan Arang Aktif dari
air bersih. Tandan Kosong Kelapa Sawit. Buletin Penelitian
Hasil Hutan. Bogor 17(2): 113-122.
Kesimpulan Hudaya, N. dan Hartoyo. 1990. Pembuatan Arang Aktif
dari Tempurung Biji-Bijian Asal Tanaman Hutan dan
Interaksi antara lama aktivasi dan suhu aktivasi Perkebunan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 8(4):
berpengaruh sangat nyata terhadap semua parameter 146-149.
kualitas arang aktif bagasse. Limbah bagasse dapat Kenneth, A. and F. Judith. 2000. Contemporary
dibuat menjadi produk arang aktif dengan kadar air, daya Instrumental Analysis Chapter Infrared and Raman
serap terhadap iodium dan daya serap terhadap biru Spectrometries : Vibrational Spectrometries. Prentice
metilen memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 06- Hall International Inc. New Jersey.
3730-1995). Sementara kadar zat mudah menguap, kadar Nurhayati, T.; Aepuloh; Sylviani. 2002. Analisis Teknis
abu, kadar karbon terikat dan daya serap terhadap uap dan Ekonomi Produksi Arang Aktif Industri
benzena belum memenuhi SNI 06-03730-1995, tetapi Pedesaan. Badan Penelitian Hasil Hutan 20 (5): 353
masih bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas air. -366.
Uji coba aplikasi arang aktif bagasse di dua desa Pari, G. 1991. Pembuatan Arang Aktif Kayu Karet untuk
menghasilkan penurunan di atas 65% untuk parameter Bahan Pemurni Minyak Daun Cengkeh. Jurnal
warna, kekeruhan dan kadar besi air. Sementara kadar Penelitian Hasil Hutan. 8 (6): 228-235.
mangan air hanya mengalami penurunan di atas 30% Pari, G.; K. Sofyan; W. Syafii; Buchari. 2003. Suhu
sedangkan pH dan kesadahan relatif tidak mengalami Karbonisasi dan Perubahan Struktur Arang Serbuk
perubahan. Gergaji Jati. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 16 (2) : 70-
80.
Daftar Pustaka Pari, G.; K. Sofyan; W. Syafii; Buchari. 2004. Pengaruh
Lama Aktivasi terhadap Struktur dan Mutu Arang
Anonimous. 2005a. Inforistek Vol 3 (1). http://www. Aktif Serbuk Gergaji Jati (Tectona grandis L.f). Jurnal
pdii.lipi.go.id. Diakses 1 Oktober 2007. Teknologi Hasil Hutan 17(3): 33-44.
Anonimous. 2005b. Siaran Pers No. S.563/II/PIK-1/2005.
http://www.dephut.go.id. Diakses 1 Oktober 2007.
Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional
Indonesia (SNI) 06-3370-1995. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.

Effect of Time and Temperature Activation on Quality and Chemical Structure of Bagasse Activated Charcoal
Wawan Sujarwo 83
Wawan Sujarwo
Unit Pelayanan Teknis Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya Bali – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(Technical Implementation Unit for Plant Conservation
Bali Botanic Garden - Indonesian Institute of Sciences)
Candikuning, Baturiti, Tabanan 82191.
Tel. : (0368) 21273, 22050,
Fax. : (0368) 22051
E-mail : w_sujarwo@yahoo.co.id
HP : 08522806057

84 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Karakterisasi Sifat-Sifat Arang Kompos dari Limbah Padat
Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jack)
Characterization of Compost Charcoals Properties from Oil Palm Solid Waste

Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari

Abstract

Oil palm solid waste especially fruit and empty bunches are hard to decompose naturally in the environment because
fruit bark still contains oil and empty bunches contain cellulose, hemicelluloses and lignin with relatively similar levels. In
this research, the quality of compost charcoals from raw materials of oil palm solid waste was studied.
Oil palm empty bunches were pyrolized in a drum reactor at optimum temperature. Charcoals were milled and mixed
with oil palm fruit bark to make compost charcoals by using biodecomposer Dobura1 and EM-4. Compost charcoals were
characterized and their qualities were compared with the organic waste compost in accordance with SNI-19-7030-2004.
The production of compost charcoals in all treatments in this research indicated that the fluctuating temperatures
were changes especially in the first day and in the second day until the fourth day, decreased gradually and then rose
again slowly. pH values in all treatments showed a very sharp increase in the first day, except for control that were rose
up to the second day, whereas in the third day they all showed a rather sharp decrease, then in the fourth day and forth
rose again slowly. The weight shrinkage of compost charcoals in all treatments occurred significantly until the sixty day.
Compost charcoals that were produced in all composting treatments fulfilled the compost quality of domestic waste in
accordance with SNI-19-7030-2004.

Key words: oil-palm solid waste, pyrolized reactor, compost charcoals, quality

Pendahuluan namun proses pengomposannya memakan waktu yang


cukup lama, yaitu berkisar 3~4 bulan. Untuk itu, metode
Hingga saat ini, Indonesia merupakan negara semacam ini juga dinilai kurang efektif.
penghasil kelapa sawit nomor dua terbesar di dunia Menurut Fauzi et al. (2008), limbah padat kelapa
setelah Malaysia. Sejak tahun 2003, produksi minyak sawit terutama tandan kosongnya termasuk salah satu
kelapa sawit secara nasional sudah mencapai 2 juta ton limbah yang diproduksi dalam jumlah besar. Limbah ini
per tahun dan kecenderungannya semakin meningkat mengandung berbagai senyawa kimia, antara lain
pada tahun-tahun yang akan datang (Fauzi et al. 2008). selulosa (40%), hemiselulosa (24%), lignin (21%), dan
Hal ini dapat dilhat dari perkembangan perkebunan abu (15%). Selanjutnya, menurut Irawadi (1991), pada
kelapa sawit yang sangat pesat saat ini di seluruh tanah tandan kosong kelapa sawit mengandung 34.78%
air. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh sejak tahun 2005 selulosa, 28.28% hemiselulosa, 21.56% lignin, 6.95%
telah mencanangkan pembukaan perkebunan kelapa lemak, dan 6.94% protein. Di samping itu, Pratiwi et al.
sawit seluas 40 ribu hektar/tahun yang direncanakan (1988) menyatakan komposisi kimia tandan kosong
berlangsung hingga tahun 2012. Semakin meningkatnya kelapa sawit terdiri atas selulosa (36.81%), hemiselulosa
produksi kelapa sawit dari waktu ke waktu, akan diikuti (27.01%), lignin (15.70%), dan abu (6.04%). Ditinjau dari
pula dengan peningkatan jumlah limbahnya. Salah satu kandungan kimianya, maka metode yang diperkirakan
limbah yang diproduksi dalam jumlah besar ialah limbah dapat menjadi alternatif solusi yang baik pada
padat. Limbah ini terdiri atas cangkang, janjang, tandan penanganan limbah tersebut ialah dengan menerapkan
kosong, dan kulit buah. Selama ini, penanganan limbah metode pirolisis. Metode ini juga dikenal dengan istilah
tersebut yang dilakukan oleh sebahagian besar pabrik karbonisasi (pengarangan). Penerapan metode ini sangat
kelapa sawit, yaitu dengan cara membakarnya secara banyak keuntungannya, antara lain dapat mendegradasi
terbuka, baik untuk kebutuhan energi boilernya maupun limbah secara cepat dengan menghasilkan produk-produk
hanya untuk tujuan meminimisasinya saja. Pada proses yang bermanfaat misalnya arang dan asap cair. Dengan
tersebut sering kali menimbulkan pencemaran udara demikian, adanya limbah tersebut berpotensi secara
sehingga meresahkan masyarakat yang bermukim di ekonomi.
sekitar pabrik tersebut. Menurut Utomo dan Widjaja Arang yang dihasilkan sebagai produk utama pada
(2004), sebahagian dari janjang dan kulit buah kelapa proses pirolisis dapat dikembangkan menjadi produk-
sawit ada yang diolah menjadi makanan ternak. Di produk yang bermanfaat dan juga ramah lingkungan,
samping itu, menurut Darnoko dan Sutarta (2006), tandan misalnya diolah menjadi arang kompos (soil conditioning),
kosong kelapa sawit dapat diolah menjadi kompos, briket arang, dan arang aktif. Dewasa ini, pengolahan

Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste


Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari 85
sampah/limbah organik menjadi arang kompos sudah arang kompos digunakan Atomic Abstroption
mulai dikembangkan secara luas, terutama dibeberapa Spectrophotometer (AAS).
negara seperti Jepang dan Korea. Menurut Komarayati et
al. (2007), arang kompos dapat dibuat dari bahan baku Metode Penelitian
limbah industri kertas dengan penambahan arang serbuk Tandan kosong kelapa sawit terlebih dahulu disortir
gergaji. Beberapa peneliti telah melaporkan kelebihan dan dicacah secara manual untuk mendapatkan tandan
penggunaan arang kompos sebagai pupuk organik, kosong yang bebas dari pengotor. Selanjutnya, sampel
antara lain Steiner et al. (2007) melaporkan bahwa arang digiling dengan mesin penggiling sampai menjadi bubuk
kompos dapat mempercepat pertumbuhan tanaman halus, lalu disaring dengan ayakan 100 mesh. Kemudian
karena dapat mengikat molekul air yang banyak dan bubuk lolos ayakan 100 mesh ditentukakan kadar airnya
menyerap sinar yang lebih sempurna guna membantu menurut metode yang dikembangkan AOAC (Association
proses fotosintesis. of Official Agricultural Chemist) Internasional (Horwitz
Di samping itu, keuntungan lain dari penggunaan 2006).
metode ini ialah mampu meminimisasi pencemaran udara Proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit
karena asap yang dikeluarkan dapat dikondensasi dilakukan dengan langkah-langkah antara lain 1) tandan
menjadi asap cair. Menurut Swastawati et al. (2007), asap kosong ditimbang sebanyak 20 kg; 2) tandan hasil
cair merupakan produk sampingan pada proses pirolisis penimbangan dimasukkan ke dalam reaktor drum; 3)
suatu bahan berupa asap yang terkondensasi menjadi disiapkan tungku pembakaran dengan bahan bakar
destilat (asap cair). Beberapa peneliti lain melaporkan serbuk gergajian; 4) tungku pembakaran dinyalakan dan
bahwa asap cair mengandung asam-asam organik suku diukur suhunya selama proses berlangsung dengan alat
rendah dan beberapa senyawaan fenolik (Cocchi et al. Thermocouple tipe HI 8757; 5) asap yang keluar
2006). Oleh karena itu, asap cair dapat dimanfaatkan dikondensasi menjadi asap cair dan ditampung dalam
untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan baku ember; 6) proses pirolisis dijalankan selama 5 jam, dan
zat pengawet (Su dan Silva 2006), antifeedant setelah selesai api di dalam tungku dipadamkan dan
(Narasimhan et al. 2005), desinfektan dan biopestisida reaktor dibiarkan dingin secara alami; 7) produk arang
(Nurhayati 2000). dan asap cair ditimbang dan ditentukan rendemennya,
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan dan (8) pekerjaan tersebut diulangi dengan cara yang
untuk mengetahui mutu arang kompos hasil sama beberapa kali agar diperoleh produk arang yang
pengomposan bahan baku campuran limbah kulit buah mencukupi kebutuhan pengembangannya. Arang yang
dan arang hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit. diperoleh dikarakterisasi sifat-sifatnya yang meliputi kadar
Adapun sasaran dari penelitian ini adalah menangani air, zat terbang, abu, karbon terikat, dan nilai kalor.
limbah kulit buah dan tandan kosong kelapa sawit dengan Semua prosedur karakterisasi mengikuti prosedur yang
cara mengembangkannya menjadi arang kompos yang dikembangkan AOAC Internasional (Horwitz 2006).
bermanfaat sebagai pupuk organik. Pembuatan arang kompos pada penelitian ini
merupakan modifikasi dari metode yang dikembangkan
Bahan dan Metode Penelitian Indriani (2005) yang dilakukan melalui langkah-langkah,
yaitu: 1) biodekomposer Dobura1 ditimbang sebanyak 55
Bahan dan Alat g; 2) limbah kulit buah kelapa sawit ditimbang sebanyak
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini 11 kg; 3) arang tandan kosong kelapa sawit dicacah
adalah tandan kosong dan kulit buah kelapa sawit secara manual supaya menjadi bubuk arang, lalu
sebagai limbah padat hasil produksi Pabrik Kelapa Sawit ditimbang sebanyak 1 kg; 4) bahan-bahan hasil
Tanjong Seumentok Kecamatan Karang Baru Kabupaten penimbangan pada poin 1, 2, dan 3 dicampur secara
Aceh Tamiang. Bahan bakar yang digunakan adalah merata di atas terpal plastik; 5) campuran dianalisis rasio
limbah serbuk gergajian. Biodekomposer yang digunakan C/N dan ditentukan kadar airnya; 6) wadah plastik yang
adalah Dobura1 dan Effective Microorganism (EM-4). akan digunakan ditimbang untuk pengomposan; 7)
Alat utama yang digunakan pada proses pirolisis campuran pada poin 4 dimasukkan ke dalam wadah
tandan kosong kelapa sawit adalah reaktor sederhana plastik yang sudah diketahui bobotnya; 8) selama proses
yang terbuat dari bahan drum bekas dengan ketebalan berlangsung diukur suhu dan pH setiap hari serta
plat 1.5 mm, diameter 60 cm, dan tingginya mencapai 45 dilakukan penimbangan bobotnya setiap 5 hari hingga
cm dan dilengkapi alat pencatat suhu merk Thermocouple dihasilkan kompos yang sudah matang; 9) terbentuknya
tipe HI 8757. Tungku pembakaran dibuat dari bahan yang kompos yang matang diamati dengan ciri-ciri berwarna
sama dengan reaktor, tinggi 35 cm. Kondensor juga hitam, gembur, tidak panas, dan tidak berbau; 10) arang
dibuat dari bahan yang sama dengan ketinggian reaktor kompos yang diperoleh dikarakterisasi yang meliputi
mencapai 80 cm. Alat untuk wadah pengomposan pengukuran kadar air, kadar rasio C/N, dan unsur-unsur
digunakan wadah drum plastik bekas kaleng bahan kue mineralnya antara lain P, K, Ca, Mg, Mn, dan Fe.
dengan ukuran 25 kg. Alat untuk karakterisasi sifat-sifat

86 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Hasil dan Pembahasan tandan kosong kelapa sawit berpotensi dikembangkan
menjadi arang kompos yang bermanfaat sebagai pupuk
Karakteristik Bahan Baku organik.
Tandan kosong kelapa sawit yang digunakan adalah
limbah padat yang diproduksi dalam jumlah besar yang Pembuatan Arang Kompos
menumpuk di lingkungan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Bahan baku kulit buah kelapa sawit yang digunakan
Tanjong Seumentok Kecamatan Karang Baru Kabupaten pada penelitian ini rata-rata mengandung 72.21% air,
Aceh Tamiang Provinsi Aceh. Tandan kosong tersebut berbentuk pasta yang sangat kental dan mulai
mempunyai struktur fisik yang padat, keras dan berwarna mengeluarkan bau busuk. Pada awal proses
coklat kehitaman. Hasil penentuan kadar airnya pengomposan, campuran kompos mengeluarkan bau
menunjukkan limbah ini rata-rata mengandung 6.56% air. busuk yang menyengat dan air licit yang keluar melalui
Dari data ini, kadar air yang dikandung oleh tandan lubang pada bagian bawah wadah. Oleh karena itu, di
kosong kelapa sawit tergolong rendah sehingga sukar sekitar wadah pengomposan dihinggapi lalat. Setelah
terdekomposisi secara alami dalam waktu cepat. proses berjalan lebih satu minggu bau busuk lebih tajam
dan munculnya ulat.
Pirolisis Tandan kosong Kelapa Sawit
Rata-rata rendemen arang yang dihasilkan pada Perubahan Suhu Pengomposan
proses pirolisis tandan kosong kelapa sawit, yaitu 21.45%, Perubahan suhu pada proses pengomposan
dan asap cairnya sebesar 0.29%. Semakin tinggi suhu merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu
pirolisis akan semakin rendah rendemen arang yang apakah proses dekomposisi berjalan dengan baik atau
diperoleh karena sebahagian arang berubah menjadi abu tidak. Faktor suhu berhubungan erat dengan proses
dan gas-gas yang mudah menguap. Hal ini sesuai dekomposisi atau perombakan bahan organik, aktivitas
dengan pernyataan Paris et al. (2005) bahwa akibat mikroorganisme dan kadar air bahan yang dikompos-kan.
peningkatan suhu menyebabkan sebahagian arang Menurut Strom (1985) perubahan suhu merupakan salah
berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas satu parameter penting untuk mengetahui kesempurnaan
hidrokarbon. Produk utama yang diperoleh pada proses pembentukan kompos. Data rataan perubahan suhu
pirolisis tandan kosong kelapa sawit ialah arang. Arang ini selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 2.
memiliki penampilan fisik yang berwarna hitam dan Berdasarkan data Tabel 2 ditunjukkan bahwa pada
bentuknya sangat beragam. hari ke-0, suhu campuran arang kompos pada semua
Karakterisasi sifat-sifat arang tandan kosong kelapa perlakuan berada di bawah suhu lingkungan. Hal ini
sawit dilakukan untuk mengetahui mutunya. Untuk disebabkan karena campuran arang kompos baru saja
kebutuhan ini, arang digiling sampai menjadi bubuk halus diproses sehingga belum ada respon dari kerja
dan diayak dengan ayakan 100 mesh supaya diperoleh mikroorganisme. Semua perlakuan pengomposan
ukurannya yang relatif seragam. Hasil karakterisasi sifat- mengalami peningkatan suhu pada hari ke-1. Namun
sifat arang disajikan pada Tabel 1. Data Tabel 1 pada hari ke-1 hingga hari ke-7, terjadi perubahan suhu
menunjukkan karakteristik arang hasil pirolisis tandan yang naik-turun pada semua perlakuan. Hal ini
kosong kelapa sawit dengan reaktor drum cenderung kemungkinan disebabkan karena suhu lingkungan juga
menunjukkan kualitas yang lebih rendah dibandingkan tidak menentu, terutama karena sedang musim hujan.
dengan arang bubuk arang tempurung kelapa sesuai SNI- Peningkatan suhu pada hari ke-1 yang paling tinggi
06-4369-1996 (BSN 1996). Hal ini disebabkan karena ditunjukkan biodekomposer EM-4 yang sudah mulai
semua parameter mutu arang tersebut tidak ada yang bekerja. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Djuarnani et
memenuhi standar kecuali kadar airnya. Namun jika al. (2005) bahwa cairan EM-4 sangat potensial untuk
ditinjau dari kadar karbon terikat dan nilai kalor yang melangsungkan proses dekomposisi bahan-bahan
dimilikinya, arang ini sudah mendekati standar tersebut. organik melalui fermentasi yang berlangsung secara
Hasil ini memberi indikasi bahwa arang hasil pirolisis cepat dan eksoterm.

Table 1. Average data analysis charcoal properties of oil palm empty bunches
Type Pyrolysis Content (%w/w) Calorific value
Reactor Temperature (oC) Water Substance fly Ash Fixed carbon (cal/g)
Drum 356 3.36 28.20 24.49 47.31 4616
SNI-06-4369-1996 6 20 5 min. 70 min. 7000
Source: Data from the Integrated Laboratory analysis of P3HH at Bogor in 2009

Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste


Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari 87
Table 2. Compost charcoal mixture temperature changes first week composting

Treatment Changes in temperature (oC) on day


0 1 2 3 4 5 6 7
Control 29.0 32.0 31.5 31.0 29.5 31.0 31.5 31.5
Dobura1 0.5% 30.0 33.0 32.0 31.0 29.5 30.5 32.5 32.0
Dobura1 1.0% 30.0 34.0 32.5 31.5 30.0 31.0 32.5 33.5
EM-4 0.5% 30.0 34.0 33.0 32.5 31.0 32.0 33.0 33.5
EM-4 1.0% 30.0 34.5 32.5 31.5 29.5 31.5 32.0 32.5
Environmental
Temperature 32.0 30.0 27.0 27.0 27.0 27.0 32.0 32.0
Source: Data analysis at the Laboratory of Chemical FKIP Unsyiah at Banda Aceh in 2009

Secara umum hingga hari ke-7, perubahan suhu mendekati suhu lingkungan, sehingga bentuknya stabil
pada proses pengomposan di atas, berlangsung dalam dan menurunnya kandungan karbon.
suasana semi aerobik dengan suhu rata-rata berkisar
antara 31.0~32.0oC. Menurut Djuarnani et al. (2005), Perubahan Derajat Keasaman (pH)
kondisi ini masih lebih rendah dibandingkan rentang suhu Derajat keasaman merupakan salah satu faktor
optimum proses pengomposan yang umumnya penting yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan dalam merombak bahan organik selama proses
organik, yaitu berkisar antara 35.0~55.0oC. Perombakan pengomposan. Aktivitas mikro-organisme secara umum
bahan organik mengakibatkan pelepasan sejumlah energi meningkat pada pH 5.5~8.0 terutama untuk fungi (jamur),
melalui perubahan dalam bentuk panas, sehingga terjadi sedangkan kebanyakan bakteri beraktivitas pada pH
kenaikan suhu dalam wadah pengomposan. Jika proses 6.0~7.5 (Strom 1985). Pengukuran nilai pH dilakukan
dekomposisi berlangsung dalam suhu yang agak tinggi, setiap hari selama 2 minggu dan selanjutnya diukur dalam
misalnya mencapai 60.0~70.0oC, kondisi ini waktu selang 10 hari. Perubahan pH arang kompos pada
memungkinkan semua bakteri termofilik bekerja secara minggu pertama pengomposan dapat dilihat pada
lebih optimal. Gambar 1. Pada minggu pertama pengomposan hampir
Suhu yang tinggi akan mempercepat proses semua perlakuan menunjukkan nilai pH cenderung
dekomposisi bahan baku, karena bakteri patogen tidak meningkat pada awal proses hingga hari ke-3, dengan
dapat hidup pada kondisi tersebut (Strom 1985). Hal ini kisaran pH rata-rata antara 4.4~8.0.
sesuai dengan pernyataan Komilis (2006), bahwa Dari Gambar 1 ditunjukkan terjadi kenaikan pH yang
penurunan suhu pada proses pengomposan yang ekstrem pada semua perlakuan hingga hari ke-2, namun
mendekati suhu lingkungan merupakan suatu indikasi pada hari ke-3 terjadi penurunan yang ekstrem pula.
bahwa arang kompos yang dihasilkan telah matang. Selanjutnya, sejak hari ke-3 sampai hari ke-6 pada semua
Pendapat ini diperkuat oleh Harada et al. (1993) bahwa perlakuan mengalami kenaikan nilai pH secara perlahan,
pematangan kompos dapat ditentukan berdasarkan sifat tetapi pada hari ke-7 pengomposan dengan
fisik, biologis dan kimia, yaitu pada saat suatu kompos menggunakan biodekomposer Dobura1 baik pada
telah matang ditandai dengan menurunnya suhu konsentrasi 0.5 maupun 1.0% terjadi penurunan kembali

Figure 1. Graph average pH change of the first week of charcoal compost composting.

88 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


nilai pH-nya. Menurut Djuarnani et al. (2005), cairan Mikroorganisme dalam cairan Dobura1 dapat
Dobura1 juga mengandung Lactobacillus sp. yang mampu meningkatkan penyusutan bobot arang kompos secara
merombak gula atau karbohidrat menjadi asam laktat cepat melalui proses fermentasi menghasilkan unsur hara
sehingga proses penurunan pH semakin cepat dibanding yang dibutuhkan tanaman, menekan aktivitas serangga,
perlakuan pengomposan lain. Secara umum rata-rata nilai hama, dan mikroorganisme patogen (Sukmadi dan
pH pada setiap perlakuan masih tergolong sangat baik Hardianto 2000). Penyusutan bobot bahan baku arang
bagi kesempurnaan proses pengomposan. Hal ini sesuai kompos terjadi karena pelepasan molekul air (H2O) dan
pernyataan Murbandono (2005) bahwa nilai pH optimum karbon dioksida (CO2) yang cukup besar selama proses
bagi perkembangan mikroorganisme, yaitu 6.0~8.0. pengomposan.
Pendapat ini diperkuat oleh Edwards (1990), bahwa pH Menurut Komilis (2006), kehilangan H2O dan CO2
optimum yang dapat meningkatkan perkembangan yang cukup banyak selama proses dekomposisi bahan
mikroorganisme, yaitu 5.5~8.0. organik menyebabkan penyusutan bobot kompos hingga
Penurunan nilai pH pada pengomposan disebabkan 50% dari bobot awal, namun hal ini bergantung pada jenis
oleh menurunnya aktivitas mikro-organisme, sehingga bahan baku yang digunakan. Penyusutan ini disebabkan
jumlah ion-ion logam yang dilepas relatif kecil, sedangkan karena terjadinya aktivitas perombakan bahan organik
produksi asam-asam semakin meningkat. Kondisi yang oleh mikroorganisme, sehingga kadar air bahan
demikian menunjukkan penurunan nilai pH mendekati berkurang dan juga akibat panas yang timbul
netral (Djuarnani et al. 2005). Demikian juga halnya, menyebabkan terjadinya penguapan. Persentase
dengan pendapat Komilis and Ham (2006), jika pH terlalu penyusutan bobot yang tinggi akan menghasilkan
tinggi (kondisi basa), konsumsi oksigen akan meningkat, persentase bobot arang kompos yang rendah, demikian
sehingga memberi kondisi buruk bagi lingkungan dan juga sebaliknya.
akan menyebabkan sebahagian unsur nitrogen dalam
bahan dirombak menjadi amonia (NH3), sebaliknya jika Kualitas Arang Kompos
pH terlalu rendah (kondisi asam) akan menyebabkan Kualitas suatu arang kompos ditentukan oleh tingkat
sebagian mikroorganisme mati. kematangan kompos, di samping kandungan unsur hara
dan logamnya. Tingkat kematangan arang kompos dapat
Penyusutan Bobot diketahui dengan melihat beberapa parameter seperti
Perubahan bobot merupakan salah satu parameter nisbah C/N, penampakan fisik yang berwarna cokelat tua
proses pengomposan. Hal ini didasarkan pada penentuan hingga hitam dan remah, serta suhu yang mendekati suhu
tingkat kematangan arang kompos yang dihasilkan, lingkungan. Data hasil analisis nisbah C/N arang kompos
diperhitungkan berdasarkan terjadinya penyusutan bobot disajikan pada Tabel 4. Data Tabel 4 menunjukkan
bahan baku yang digunakan selama waktu tertentu. Data persentase rasio C/N arang kompos pada semua
pengukuran penyusutan bobot bahan baku kompos perlakuan berkisar 9.11~14.93. Hal ini berarti arang
disajikan pada Tabel 3. Pada semua perlakuan kompos yang dihasilkan sudah memenuhi rasio C/N tanah
pengomposan masih terjadi penyusutan bobot arang yang berkisar 10-20. Hal ini sesuai dengan pernyataan
kompos hingga hari ke-60. Pada hari ke-10, penyusutan Gaur (1983), nilai nisbah C/N kompos matang berkisar
tertinggi ditunjukkan oleh pengomposan dengan antara 10~20. Keragaman jenis bahan baku
biodekomposer Dobura1, hal ini terutama terjadi pada pengomposan juga menentukan variasi nilai nisbah C/N
1.0%, sedangkan pada proses pengomposan dengan kompos. Penurunan nilai nisbah C/N selama proses
biodekomposer EM-4 baik pada konsentrasi 0.5% kompos. Penurunan nilai nisbah C/N selama proses
maupun 1.0% mengalami penyusutan bobot yang lebih dekomposisi berkaitan erat dengan aktivitas
rendah dibandingkan dengan kontrol. biodekomposer yang membebaskan gas CO2 dan CH4,

Table 3. Shrinkage percentage weight of charcoal compost during composting


% Depreciation charcoal compost weight on day
Treatment
0 10 20 30 40 50 60
Control 0.00 8.83 22.29 31.30 40.30 46.89 51.30
Dobura1 0.5% 0.00 9.72 22.99 33.06 43.13 49.88 54.55
Dobura1 1.0% 0.00 10.35 24.63 34.95 45.28 51.78 56.58
EM-4 0.5% 0.00 7.78 20.18 30.04 39.91 46.82 51.90
EM-4 1.0% 0.00 8.09 21.95 33.47 45.01 50.95 55.61
Source: Data analysis at the Laboratory of Chemical FKIP Unsyiah at Banda Aceh in 2009

Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste


Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari 89
Table 4. Charcoal nutrient content of compost composting results on day 60
Nutrient Trace Element
Treatment C N Ratio P K Ca Mg Fe Mn
(%) (%) C/N (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
Control 26.16 2.25 11.65 1450 7865 1867 2592 527 34.4
Dobura1 0.5% 32.63 3.02 10.79 1943 6295 1264 2996 683 45.2
Dobura1 1.0% 30.67 3.37 9.11 1235 6352 1271 1548 587 35.5
EM-4 0.5% 34.01 2.28 14.93 1586 6745 1706 2963 725 68.8
EM-4 1.0% 30.45 2.18 13.99 1542 7136 1537 2986 842 49.4
SNI Min. 27.00 0.40 10.00 100 200 - - - -
Maks. 58.00 - 20.00 - - 2550 600 2000 1000
Source: Data from the Integrated Laboratory analysis of P3HH at Bogor in 2009

sehingga kadar unsur C cenderung menurun, sedangkan penurunan yang agak tajam, selanjutnya padahari ke-4
unsur N relatif meningkat. Hanya pada pengomposan dan seterusnya naik kembali secara perlahan.
dengan biodekomposer Dobura1 yang menghasilkan Penyusutan bobot arang kompos pada semua perlakuan
rasio C/N sangat rendah. Hal ini disebabkan karena terjadi secara signifikan hingga hari ke-60. Arang kompos
biodekomposer ini selama pengomposan bekerja sangat yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan
intensif. memenuhi mutu kompos sampah domestik sesuai SNI-
Berdasarkan data Tabel 4 ditunjukkan bahwa semua 19-7030-2004.
perlakuan pengomposan mengandung unsur hara yang
memenuhi standar kompos sampah organik domestik Ucapan Terimakasih
sesuai SNI-19-7030-2004 (BSN 2004), kecuali arang
kompos hasil pengonposan dengan biodekomposer
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Dobura1 terutama pada perlakuan konsentrasi 0.5%.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Pimpinan
Salah satu parameter penting sebagai syarat kualitas
Universitas Syiah Kuala yang telah membiayai Proyek
kompos adalah kandungan unsur haranya. Semakin
Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional
lengkap kandungan unsur haranya maka semakin tinggi
Tahun 2009 ini sehingga semuanya dapat berjalan dan
pula mutu kompos yang dihasilkan (Harada et al. 1993).
sukses sesuai rencana yang telah diprogramkan.
Kandungan unsur hara pada arang kompos sangat
Selanjutnya, ucapan terimakasih juga disampaikan
menentukan kemampuannya untuk menaikkan kadar
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan
unsur hara dalam tanah sehingga dapat menyuburkan
membantu kelancaran penelitian ini.
tanaman. Mineral Ca dan Mg merupakan unsur-unsur
yang biasa dihubungkan dengan keasaman tanah dan
Daftar Pustaka
pengapuran, karena keduanya tergolong kation yang
cocok untuk mengurangi keasaman atau menaikkan nilai
BSN. 2004. SNI 19-7030-2004 Spesifikasi Kompos dari
pH tanah. Mineral Fe dan Mn merupakan unsur hara
Sampah Organik Domestik. Badan Standarisari
yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah sedikit, oleh
Nasional, Jakarta
karena itu disebut sebagai unsur hara mikro. Hal ini
BSN. 1996. SNI 06-4369-1996 Bubuk Arang Tempurung
bukan berarti unsur hara mikro kurang esensial dibanding
Kelapa. Badan Standarisari Nasional, Jakarta
unsur hara makro, karena meskipun tanaman
Cocchi, M., C. Durante, M. Grandi, P. Lambertini, D.
mengambilnya dalam jumlah sedikit, akibatnya dapat
Manzini, and A. Marchetti. 2006. Simultaneous
mengurangi jumlah yang tersedia.
Determination of Sugars and Organic Acids in Aged
Vinegar and Chemometric Data Analysis. Talanta, in
Kesimpulan
press
Darnoko dan A.S. Sutarta. 2006. Pabrik Kompos di Pabrik
Pembuatan arang kompos pada semua perlakuan
Sawit. Artikel Tabloid Sinar Tani, 9 Agustus 2006.
penelitian ini menunjukkan perubahan suhu yang
Djuarnani, N., Kristian, dan B.S. Setiawan. 2005. Cara
fluktuatif terutama pada hari ke-1 dan hari ke-2 hingga
Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka.
ke-4 terjadi penurunan secara perlahan, selanjutnya naik
Jakarta.
kembali secara perlahan pula. Nilai pH pada semua
Edwards, C. 1990. Microbiology of Extreme Environment.
perlakuan menunjukkan kenaikan yang sangat tajam
McGraw-Hill Publishing Company. New York.
pada hari ke-1, kecuali kontrol yang naik hingga hari ke-2,
sedangkan pada hari ke-3 semuanya menunjukkan

90 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Fauzi,Y., Y.E. Widyastuti, I. Satyawibawa, dan R. Hatono. Strom, P.F. 1985. Effects of Temperature on Bacterial
2008. Kelapa Sawit, Budi Daya, Pemanfaatan Hasil Species Diversity in Thermophilic Solid-waste
dan Limbah. Edisi revisi. Penebar Swadaya, Jakarta Composting. Applied and Environmental
Gaur, A.C. 1983. A Manual Rural of Composting. Project Microbiology 50(4): 899-905
Field Document. Food and Agricultural Organization Su, M-S. and J.L. Silva. 2006. Antioxidant Activity,
UN. Rome. Anthocyanins, and Phenolic of Rabbiteye Blueberry
Harada, Y., K. Haga, Tosada, and M. Koshino. 1993. (Vaccinium ashei) by Products as Affected by
Quality of Compost Produced from Animal Waste. Fermentation. Food Chemistry 97: 447-451
Japan Agric. Res. Quarterly 26(4):238-246. Sukmadi, B. dan D. Hardianto. 2000. Pengujian Aktivitas
Horwitz, W. (ed.) 2006. Official Methods of Analysis of Formulasi Mikroorganisme Dekomposisi pada
AOAC International. Gaithersburg, Maryland USA. Proses Pengomposan Bahan Organik. Makalah
Indriani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan
Cetakan VII. Penebar Swadaya. Jakarta. Mikrobiologi Indonesia di Denpasar, 27-28 Juni
Irawadi, T.T. 1991. Produksi Enzim Ekstrasellular 2000. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.
(sellulase dan xilanase) dari Neurospora sitophilla Denpasar, pp. 23-28.
pada Substrat Limbah Padat Kelapa Sawit [Disertasi Swastawati, F., T. W. Agustini, Y. S. Darmanto, and E. N.
Program Doktor] Fakultas Pascasarjana, IPB Bogor. Dewi. 2007. Liquid Smoke Performance of Lamtoro
Komarayati, S., Mustaghfirin, dan K. Sofyan. 2007. Wood and Corn Cob. J. Coastal Development 10(3):
Kualitas Arang Kompos Limbah Industry Kertas 189-196
dengan Variasi Penambahan Arang Serbuk Gergaji. Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2004. Limbah Padat
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 5(2): 78-84 Pengolahan Minyak Sawit sebagai Sumber Nutrisi
Komilis, D.P. 2006. A Kinetic Analysis of Solid Waste Ternak Ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian 23(1):
Composting at Optimal Conditions. Waste 73-82.
Management 26: 82-91
Komilis, D.P. and R.K. Ham. 2006. CO2 and Ammonia
Emissions during Composting of Mixed Paper, Yard Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara
Waste and Food Waste. Waste Management 26: 62- Program Studi Kimia FKIP, Universitas Syiah Kuala
70 (Study Program of Chemistry FKIP,
Murbandono, L. 2005. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Syiah Kuala University)
Penebar Swadaya. Jakarta Darussalam Banda Aceh 23111
Narasimhan, S., S. Kannan, V.P. Santhanakrishnan and Telp./HP : 08126907730
R. Mohankumar. 2005. Insect Antifeedant and Email : erlidawaty@yahoo.com
Growth Regulating Activities of Salanno- aganihaji@yahoo.com
butyrolactone and Desacetylsalannobutyro-lactone. mnasir@edc.org
Fitoterapia 76: 740-743
Nurhayati, T. 2000. Sifat Destilat Hasil Destilasi Kering 4 Asri Gani
Jenis Kayu dan Kemungkinan Pemanfaatannya Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
sebagai Pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17: Universitas Syiah Kuala
160-168 (Dept. of Tehnic Chemistry, Faculty of Tehnic,
Paris, O., C. Zollfrank, and G.A. Zickler. 2005. Syiah Kuala University)
Decomposition and Carbonization of Wood Darussalam Banda Aceh 23111
Biopolymer Microstructural Study of Softwood Telp./HP : 081362951966
Pyrolisis. Carbon 43: 53-66.
Pratiwi, W., O. Atmawinata, dan R.S. Pudosunarjo. 1988. Sarwo Edi dan Diana Indah Sari
Pembuatan Pulp Kertas dari Tandan Kosong Kelapa Mahasiswa Program Sarjana Program Studi Kimia
Sawit dengan Proses Soda. Menara Perkebunan 56: FKIP, Universitas Syiah Kuala
49-52 (Bachelor Students of Study Program of Chemistry FKIP,
Steiner, C., Wenceslau, G.T., Lehmann, J., Nehls, T., Syiah Kuala University)
Blum, H., and Zech, W. 2007. Long Term Effects of Darussalam Banda Aceh 23111
Manure, Charcoal and Mineral Fertilization on Crop
Production and Fertility on a Highly Weathered
Central Amazonian Upland Soil. Plant soil 9: 7-24

Features Characterization of Compost Charcoals from Oil Palm Solid Waste


Erlidawati, Abdul Gani Haji, M. Nasir Mara, Asri Gani, Sarwo Edi dan Diana Indah Sari 91
Tinjauan Penelitian Terkini tentang Pemanfaatan Komposit Serat Alam
untuk Komponen Otomotif
Review on Current Research on Utilization of Natural Fiber Composites
for Automotive Components

Subyakto dan Mohamad Gopar

Abstract

Automotive industries now are targeting their components to become “green composites” which are environmentally
friendly, renewable, biodegradable, recyclable, light, and strong. Natural fibers have potential to use as substitute for
material composites traditionally used by automotive industries such as fiber glass, carbon fiber and aramid that are non
renewable, non degradable and non recyclable. Therefore the use of synthetic fibers should be reduced. European End of
Live program required that in 2015 all new cars should be recyclable. Composites reinforced with natural fibers will play
important role as automotive materials. Some advantages of natural fibers compare to synthetic fibers are renewable,
biodegradable, recyclable, non toxic to human and environment, low density, better specific mechanical properties, non
abrasive to tools, and lower cost. Utilization of natural fibers can reduced car weight up to 30%, and energy to produce
natural fibers is lower compare to glass fibers.
Natural fiber resource, their characteristics and current research on their utilization for automotive components were
reviewed. Hopefully it will stimulate and raise the research on utilization of natural fibers in Indonesia, especially for high
value products such as automotive components.

Key words: natural fibers, resource, utilization, composites, automotive components

Pendahuluan menggunakan 27 komponen mobilnya dari serat alam


(Marsh 2003, Bledzki et al. 2006). Serat alam mempunyai
Perkembangan industri otomotif terus meningkat di beberapa keunggulan dibandingkan dengan serat sintetis
dunia, demikian juga di Indonesia. Pada tahun 2007 untuk komponen otomotif, yaitu antara lain lebih ramah
produksi kendaraan penumpang di dunia naik menjadi lingkungan, dapat diperbarui, mudah terdegradasi, bisa
52.1 juta unit, dari 49.1 juta unit tahun 2006. Kalau didaur ulang, ringan dan kuat (Bledzki et al. 2006, Suddell
ditambah dengan produksi truk, maka total produksi and Evans 2005, Wambua et al. 2003). Pada sisi lain
otomotif di dunia sebanyak 74.1 juta unit tahun 2007, dan serat alam mempunyai kelemahan antara lain kualitasnya
tahun 2008 diprediksi akan naik menjadi total 84 juta unit tidak seragam, sumber bahan baku yang tidak kontinyu,
per tahunnya (Renner 2008). Di Indonesia total produksi mempunyai sifat hydrophilic yang menyebabkan sulit
mobil tahun 2008 mencapai 600628 unit, naik dari 411638 berikatan dengan polimer yang bersifat hydrophobic, serta
unit pada tahun 2007 (Gaikindo 2009). Departemen mempunyai sifat kekuatan impact yang rendah (Suddell
Perindustrian memproyeksikan pada tahun 2011 produksi and Evans 2005). Indonesia yang mempunyai sumber
mobil sebanyak 1 juta unit dan motor 6.53 juta unit; dan bahan baku serat alam yang melimpah, perlu
pada tahun 2025 sebanyak 4.17 juta mobil dan 7.57 juta menggalakkan penelitian bahan baku ini untuk komponen
motor (Kompas, 22 Oktober 2008). Pertambahan produksi otomotif sehingga mempunyai nilai keuntungan ekonomi
mobil ini tentunya memerlukan bahan baku untuk interior dan lingkungan.
dan eksterior yang meningkat pula. Dari segi pemakaian Pada makalah ini ditinjau potensi serat alam dan
bahan, industri otomotif dituntut untuk menggunakan karakterisasinya, serta penelitian terkini tentang
“green materials” yang lebih ramah lingkungan dan dapat pemanfaatan serat alam untuk komposit sebagai
didaur ulang (Brady and Brady 2007, Holbery and komponen otomotif. Diharapkan tinjauan ini dapat lebih
Houston 2006, Marsh 2003, Monteiro et al. 2009, membangkitkan minat penelitian serat alam dan
Netravali and Chabba 2003). Pada sebagian produsen pemanfaatannya untuk komposit khususnya sebagai
mobil utama seperti Mercedes Benz, Ford, BMW dan lain- komponen otomotif di tanah air.
lain, beberapa bagian komponen mobil ini sudah
menggunakan komposit yang diperkuat dengan serat Potensi Serat Alam
alam (Bledzki et al. 2006). Seperti Mercedes Benz A-
Class telah mengganti bahan plastik-serat gelas dengan Potensi produksi serat alam di dunia per tahun dapat
serat alam flax-polypropylene untuk komponen bawah dilihat pada Tabel 1. Setelah kayu, kapas merupakan
badan mobilnya, dan S-Class (Gambar 1) telah serat alam yang paling banyak dihasilkan (18.45 juta

92 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


Figure 1. Utilization of composites reinforced with natural fibres for utomotive components of Mercedes S class (Source:
Bledzki et al. 2006)

ton/tahun), diikuti oleh serat jute (2.30 juta ton/tahun), peningkatan jumlah yang sangat tajam, misalnya di
kenaf (970 ribu ton/tahun), dan seterusnya. Negara Jerman meningkat dari 4000 ton pada tahun 1996
penghasil serat alam yang penting (Brink dan Escobin menjadi 18000 ton pada tahun 2003 (Bledzki et al. 2006).
2003) antara lain adalah: abaka (Filipina, Ekuador), Kecenderungan ini diperkirakan akan terus berlanjut,
kelapa (India, Sri Lanka), kapas (Cina, Amerika Serikat, misalnya di Eropa pada tahun 2005 penggunaan serat
India), flax (Cina, Perancis), hemp (Cina, Spanyol), jute alam untuk otomotif mencapai 70000 ton dan diperkirakan
(India, Banglades), kenaf dan rosela (India, Cina, akan meningkat menjadi 100000 ton pada tahun 2010
Thailand), kapok (Indonesia, Thailand), rami (Cina, (Suddell and Evans 2005).
Brazil), sisal (Brazil, Cina, Kenya). Sementara itu produksi
serat alam per tahun di Asia Tenggara disajikan pada Karakteristik Serat Alam
Tabel 2. Serat abaka banyak diproduksi di Filipina,
sedangkan serat kenaf banyak dihasilkan oleh Thailand. Secara umum serat alam bisa diklasifikasikan
Indonesia merupakan penghasil serat kapok, kapas, menjadi serat kayu (wood) dan serat bukan kayu (non
kenaf, abaka, rami dan sisal dengan jumlah produksi yang wood). Serat bukan kayu terdiri dari serat straw seperti
masih sedikit. Menurut Balai Penelitian Tembakau dan jerami padi; serat kulit batang (bast) seperti kenaf, rami,
Serat (Sastrosupadi et al. 2004), tanaman sisal banyak jute, hemp; serat daun seperti sisal, nenas; serat dari biji
terdapat di Blitar Selatan, Malang Selatan, Banyuwangi, atau buah seperti sabut kelapa; dan rumput-rumputan
Jember, Solo, Kulon Progo, dan Madura. Areal tanaman seperti bambu, rumput gajah (Mohanty et al. 2002).
sisal di Madura sekitar 450 Ha dengan produksi sekitar Sebenarnya serat merupakan satu kumpulan serat (fiber
400 ton per tahun. bundles). Sebagai contoh serat kulit batang flax (Linum
Selama ini serat alam telah dimanfaatkan untuk usitatissimum), satu kumpulan serat (bundle) dengan
bahan tekstil, tali, kerajinan, kertas, bahan konstruksi diameter 50~100 μm terdiri dari kumpulan serat tunggal
bangunan, komponen otomotif, dan penggunaan lainnya. (elementary fiber) dengan diameter masing-masing
Untuk seluruh Eropa dan Amerika Utara pasar untuk sekitar 10~20 μm. Serat tunggal terdiri dari kumpulan
produk biokomposit-plastik mencapai 685000 ton dengan mikrofibril-mikrofibril (microfibrils) dengan diameter 4~10
nilai $ 775 juta pada tahun 2002. Khusus untuk nm. Mikrofibril ini tersusun oleh rangkaian molekul
pemanfaatan sebagai komponen otomotif telah terjadi selulosa. Komponen kimia utama dari serat alam adalah

Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component
Subyakto dan Mohammad Gopar 93
Table 1. Annual world production of natural fibers.
Fiber sources Production (x1000 ton/year) Origin
Wood (>10,000 species) 1,750,000 Stem
Cotton lint (Gossypium sp) 18,450 Fruit
Bamboo (> 1250 species) 10,000 Stem
Jute (Corchorus sp) 2,300 Bast
Kenaf (Hibiscus cannabinus) 970 Bast
Flax (Linum usitatissimum) 830 Bast
Sisal (Agave sisalana) 378 Leaf
Roselle (Hibiscus sabdariffa) 250 Bast
Hemp (Cannabis sativa) 214 Bast
Coir (Cocos nucifera) 100 Fruit
Ramie (Boehmeria nivea) 100 Bast
Abaca (Musa textilis) 70 Leaf
Source: Suddell and Evans (2005)

Table 2. Production of natural fibers in some countries in South-East Asia (x1000 ton/year).
Fiber sources Indonesia Thailand Philippines Burma Vietnam South-East Asia % of World
Abaca 0.6 - 71.9 - - 72.5 74.2
Cotton 8.9 15.2 1.2 55.2 23.9 110.4 0.6
Jute - 5.3 - 36.4 14.5 57.3 2.0
Kenaf, etc. 5.9 60.0 - 0.1 - 65.9 13.2
Kapok 79.9 44.5 - - - 124.5 100
Ramie 0.3 - 1.6 - - 3.0 2.1
Sisal 0.5 0.1 - - - 0.6 0.2
Source: Brink and Escobin (2003)

Table 3. Chemical properties of some natural fibers.


Fiber Cellulose Hemicellulose Lignin Pectin Wax
(%) (%) (%) (%) (%)
Abaca 55~64 18~23 5~18 1 0.2
Cotton 88~96 3~6 1~2 1.2 0.6
Flax 57 15 2 4 1.5
Hemp 62~67 8~16 3~4 0.8 0.7
Jute 45~64 12~26 11~26 0.2 0.5
Kenaf 44~62 14~20 6~19 4~5 -
Pineapple 55~82 15~20 5~12 2~4 4~7
Ramie 69~91 5~13 1 2 0.3
Sisal 54~66 12~17 7~14 1 0.3
Source: Munawar (2008)

Table 4. Mechanical properties of some natural fibers compare with glass fiber.
Fiber Density Tensile strength E-modulus Specific Modulus
(g/cm3) (Mpa) (Gpa) (E-modulus/Density)
Abaca 1.50 980 19.7 13
Cotton 1.51 400 12 8
Flax 1.40 800~1500 60-80 26~46
Hemp 1.48 550~900 70 47
Jute 1.46 400~800 10-30 7~21
Kenaf 1.47 413~1627 18.2 12
Pineapple 1.44 413~1627 34.5~82.5 24~57
Ramie 1.50 500 44 29
Sisal 1.33 600~700 38 29
E-glass 2.55 2400 73 29
Source: Munawar (2008)

94 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


merupakan unsur utama dari serat alam, semakin banyak Mohanty et al. 2002, Mueller and Krobjloski 2003, Mutje
kandungan selulosa dari serat alam maka semakin tinggi et al. 2006b, Okubo et al. 2004, Shibata et al. 2003,
harganya (Brink and Escobin 2003). Serat alam Subyakto et al. 2005, Syamani et al. 2005). Polimer yang
mempunyai komponen pektin dan lilin, tidak seperti kayu digunakan antara lain polimer termoplastis, termoseting
yang tidak mempunyainya. ataupun perekat dari bahan alam (biodegradable
Sifat mekanis (kekuatan) dari serat alam memang polymer) seperti polylactic acid, starch, soy oil, castor oil
lebih rendah dibandingkan dengan serat gelas, tetapi (Lee et al. 2004, Lee et al. 2009, Mohanty et al. 2005,
serat gelas mempunyai densitas yang lebih tinggi (Tabel Shibata et al. 2008, Williams and Wool 2000) Rasio serat
4). Sehingga kalau dilihat modulus spesifiknya, maka alam dengan polimer yang digunakan berkisar antara
beberapa serat alam (rami, sisal) setara dengan serat 10% sampai dengan 80%. Penguatan serat alam pada
gelas bahkan banyak yang melebihinya seperti hemp, flax polimer meningkatkan sifat kekuatan antara 2 ~ 5 kalinya
dan serat nenas. Oleh karena itu pemanfaatan serat alam tergantung dari jumlah serat. Semakin banyak jumlah
sebagai bahan penguat polimer untuk komponen otomotif serat sampai batas optimum mempunyai kecenderungan
sekarang ini banyak diminati karena lebih ringan tapi semakin meningkatkan sifat kekuatannya.
kuat.
Teknologi Proses
Pemanfaatan Serat Alam untuk Komponen Otomotif Jenis polimer yang biasa digunakan untuk
komponen otomotif dari serat alam dapat digolongkan
Aspek Positif Serat Alam menjadi polimer termoplastis dan polimer termoset.
Beberapa keuntungan pemakaian serat alam Polimer termoplastis antara lain adalah polipropilena
dibandingkan dengan serat sintetis (fiber glass) untuk (polypropylene), polietilena (polyethylene), polyvinil
komponen otomotif antara lain adalah: bisa diperbarui chloride (PVC), dan poliester. Polimer termoset antara
(renewable) dan sustainable, dapat didaur ulang lain adalah epoxy, polyurethane, acrylate, phenol dan
(recyclable), dapat mengurangi berat kendaraan antara melamine. Proses yang umum digunakan untuk membuat
10~30%, tersedia dalam jumlah banyak dan lebih murah komposit komponen otomotif adalah cetak pres panas
(Suddell and Evans 2005). Dari aspek teknis, serat alam (hot press molding) (Parikh et al. 2002) dan cetak injeksi
mempunyai sifat dapat didegradasi (biodegradable), (injection molding). Polipropilena banyak digunakan pada
kekuatan spesifik lebih baik, tidak menyebabkan abrasi proses cetak injeksi menggunakan serat alam (Arzondo
pada alat, mempunyai sifat akustik dan termal baik, dan et al. 2004, Mutje et al. 2006a, Nystrom et al. 2007,
lebih lembut (soft) (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al. Panthapulakkal and Sain 2007).
2006).
Ditinjau dari harga bahan baku, serat alam lebih Aplikasi
murah dibandingkan dengan serat sintetis seperti serat Aplikasi komposit serat alam-polimer untuk
gelas (glass fiber) dan serat karbon. Perbandingan harga komponen otomotif bisa digunakan untuk bagian interior
serat (dalam $ US/ kg) adalah sebagai berikut: serat maupun eksterior. Bagian otomotif yang telah
karbon 200, serat gelas 1.3~3.25, sisal 0.6~0.7, abaca menggunakan komposit serat alam antara lain adalah
1.5~2.5, rami 1.25~2.5, sabut kelapa 0.25~0.5, jute 0.30~ seat back, side and door panel, boot lining, hat rack,
0.35, flax 1.5, hemp 0.6~1.8 (Bogoeva-Gaceva et al. spare tire lining, dashboard, business table, piller cover
2007, Bledzki et al. 2006). panel, under body protection trim, instrumental panel,
Meskipun demikian serat alam juga memiliki headliner panel (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al.
keterbatasan antara lain kualitasnya tidak seragam, 2006). Sedangkan industri otomotif yang telah
sumber bahan baku yang tidak kontinyu, mempunyai sifat memanfaatkan serat alam sebagai komponennya antara
hydrophilic yang menyebabkan sulit berikatan dengan lain Audi, BMW, DaimlerChrysler, Fiat, Ford, Mitsubishi,
polimer yang bersifat hydrophobic, serta mempunyai sifat Opel, Peugeot, Renault, Saab, Volkswagen, Volvo
kekuatan impact yang rendah (Suddell and Evans 2005). (Suddell and Evans 2005, Bledzki et al. 2006).
Tetapi dengan kemajuan teknologi di bidang silvikultur,
serta pengembangan teknologi proses maka kelemahan- Kesimpulan
kelemahan tersebut dapat diatasi.
Penelitian serat alam sebagai komposit untuk
Penelitian serat alam untuk komposit aplikasi komponen otomotif serta status pemakaian serat
Komposit dari polimer yang diperkuat dengan serat alam pada produk otomotif telah disampaikan pada
alam telah banyak diteliti (Jacob and Thomas 2008). makalah ini. Di samping berbagai keuntungan pemakaian
Serat alam yang diteliti antara lain sisal, hemp, daun serat alam untuk komponen otomotif, ada beberapa
nenas, abaca, bambu, rami, kenaf, jute (Acha et al. 2006, kelemahan yang perlu penelitian lebih lanjut terutama
Bogoeva-Gaceva et al. 2007, Chen et al. 2005, Li et al. dengan menggunakan serat alam Indonesia sehingga
2000, Lodha and Netravali 2002, Misra et al. 2004,

Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component
Subyakto dan Mohammad Gopar 95
diperoleh komposit serat alam yang memenuhi standar Composites with Soy Protein Isolate and Ramie
pemakaian komponen otomotif. Fiber. Journal of Materials Science 37: 3657-3665.
Marsh, G. 2003. Next Step for Automotive Materials.
Daftar Pustaka Materialstoday, April 2003, Elsevier Science Ltd. pp.
36-43.
Acha, B.A., Reboredo, M.M., Marcovich, N. 2006. Effect Misra, S., Mohanty, A.K., Drzal, L.T., Misra, M.,
of Coupling Agents on Thermal and Mechanical Hinrichsen, G. 2004. A Review on Pineapple Leaf
Properties of Polypropylene-Jute Fabric Composites. Fibers, Sisal Fibers and Their Biocomposites.
Polymer International 55: 1104-1113. Macromolecular Materials and Engineering 289: 955-
Arzondo, L.M., Vazquez, Carella, J.M., Pastor, J.M. 2004. 974.
A Low-cost, Low-Fiber-Breakage, Injection Molding Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable
Process for Long Sisal Fiber Reinforced Bio-composites from Renewable Resources:
Polypropylene. Polymer Engineering and Science 44 Opportunities and Challenges in the Green Materials
(3): 1766-1772. world. Journal Polymers and the Environment, 10
Bledzki, A.K., Faruk, O., Sperber, V.E. 2006. Cars from (1/2): 19-26.
Bio-Fibers. Macromolecular Materials Engineering Mohanty, A.K., Tummala, P., Liu, W., Misra. M.,
291: 449-457. Mulukutla, P.V., Drzal, L.T. 2005. Injection Molded
Bogoeva-Gaceva, G., Avella, M., Malinconico, M., Biocomposites from Soy Protein Based Bioplastic
Buzarovska, A., Grozdanov, A., Gentile, G., Errico, and Short Industrial Hemp Fiber. Journal of
M.E. 2007. Natural Fiber Eco-composites. Polymer Polymers and the Environment 13 (3): 279-285.
Composites. DOI 10.1002/pc.20270. Monteiro, S.N., Lopes, F.P.D., Ferreira, A.S., Nascimento,
Brady, P., Brady, M. 2007. Automotive Composites: D.C.O. 2009. Natural-Fiber Polymer-Matrix
Which Way are We Going?. Reinforced plastics Composites: Cheaper, Tougher, and
November 2007: 32-35. Environmentally Friendly. JOM January 2009: 17-22.
Brink, M., Escobin, R.P. 2003. Plant Resources of South- Mueller, D.H., Krobjilowski, A. 2003. New Discovery in the
East Asia No. 17. Fibre Plants. Prosea Foundation. Properties of Composites Reinforced with Natural
Bogor, Indonesia, 456 pp. Fibers. Journal of Industial Textiles 33(2): 111-123.
Chen, Y., Chiparus, O., Sun, L., Negulescu, I., Parikh, Munawar, S.S. 2008. Properties of Non-wood Plant Fiber
D.V., Calamari, T.A. 2005. Natural Fibers for Bundles and the Development of Their Composites.
Automotive Nonwoven Composites. Journal of Doctor Dissertation, Department of Forestry and
Industrial Textile 35(1): 47-62. Biomaterials Science, Graduate School of
Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Agriculture, Kyoto University, Japan.
Indonesia). 2009. Production Data 2005-2008. Mutje, P., Girones, J., Llop, M.F., Vilaseca, F. 2006a.
http://www.gaikindo.or.id. Hemp Strands : PP Composites by Injection Molding:
Holbery, J., Houston, D. 2006. Natural-Fiber-Reinforced Effect of Low Cost Physico-Chemical Treatments.
Polymer Composites in Automotive Applications. Journal of Reinforced Plastics and Composites 25
JOM November 2006: 80-86. (3): 313-327.
Jacob, M.J. and Thomas, S. 2008. Biofibres and Mutje, P., Vallejos, M.E., Girones, J., Vilaseca, F., Lopez,
Biocomposites. Carbohydrate Polymers 71:343-364. A., Lopez, J.P., Mendez, J.A. 2006b. Effect of
Kompas. 2008. Target Industri Otomotif Nasional 2011- Maleated Polypropylene as Coupling Agent for
2025: 4,17 juta Mobil, 7,57 juta Motor. Harian Polypropylene Composites Reinforced with Hemp
Kompas 22 Oktober 2008. Strands. Journal of Applied Polymer Science 102:
Lee, N.I., Kwon, O.J., Chun, B.C., Cho, J.W., Park, J.S. 833-840.
2009. Characterization of Castor Oil/ Netravali, A.N., Chabba, S. 2003. Composites Get
Polycaprolactone Polyurethane Biocomposites Greener. Materialstoday April 2003: 22-28.
Reinforced with Hemp Fibers. Fibers and Polymers Nystrom, B., Joffe, R., Langstrom, R. 2007.
10(2): 154-160. Microstructure and Strength of Injection Molded
Lee, S,.H., Ohkita, T., Kitagawa, K. 2004. Eco-composite Natural Fiber Composites. Journal of Reinforced
from Poly (Lactic Acid) and Bamboo Fiber. Plastics and Composites 26(6): 579-599.
Holzforschung 58: 529-536. Okubo, K., Fujii, T., Yamamoto, Y. 2004. Development of
Li, Y., Mai, Y.W., Ye, L. 2000. Sisal Fibre and Its Bamboo-based Polymer Composites and Their
Composites: a Review of Recent Developments. Mechanical Properties. Composites Part A 35: 377-
Composites Science and Technology 60: 2037-2055. 383.
Lodha, P., Netravali, A.N. 2002. Characterization of Panthapulakkal, S., Sain, M. 2007. Injection-molded Short
Interfacial and Mechanical Properties of “Green” Hemp Fiber/glass Fiber-reinforced Polypropylene
Hybrid Composites – Mechanical, Water Absorption

96 J. Tropical Wood Science & Technology Vol. 7 • No. 2 • 2009


and Thermal Properties. Journal of Applied Polymer Suddell, B.C. and Evans, W.J. 2005. Natural Fiber
Science 103: 2432-2442. Composites in Automotive Applications. In: Natural
Parikh, D.V., Calamari, T.A., Sawhney, A.P.S., Blanchard, Fibers, Biopolymers, and Biocomposites (Eds.:
E.J., Screen, F.J. 2002. Thermoformable Automotive Mohanty, Misra, Drzal). CRC Press. pp. 231-260.
Composites Containing Kenaf and Other Cellulosic Syamani, F.A., Budiman, I., Subyakto, Subiyanto, B.
Fibers. Textile Research Journal 72(8): 668-672. 2005. Panel Product from Long Fibers of Abaca
Renner, M. 2008. Vehicle Production Rises, but Few Cars (Musa textiles Nee). Proc. of the 6th International
are “Green”. http://www.worldwatch. org/node/5461. Wood Science Symposium: Towards Ecology and
Sastrosupadi, A. et al. 2004. Konservasi Sumber Daya Economy Harmonization of Tropical Forest
Lahan dengan Tanaman Sisal (Agave sisalana Resources. Bali, Indonesia. p. 47.
Perrine) di Bendungan Karangkates Malang. Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres:
Laporan Proyek. Balai Penelitian Tanaman Can They Replace Glass in Fibre Reinforced
Tembakau dan Serat, Badan Litbang Pertanian, Plastics?. Composites Science and Technology 63:
Malang. 1259-1264.
Shibata, M., Ozawa, K., Teramoto, N., Yosomiya, R., Williams, G.I., Wool, R.P. 2000. Composites from Natural
Takeishi, H. 2003. Biocomposites Made from Short Fibers and Soy Oil Resins. Applied Composite
Abaca Fiber and Biodegradable Polyesters. Materials 7: 421–432.
Macromolecular Materials Engineering 288: 35-43.
Shibata, S., Cao, Y., Fukumoto, I. 2008. Flexural Modulus
of Undirectional and Random Composites Made Subyakto, Mohamad Gopar
from Biodegradable Resin and Bamboo and Kenaf UPT Balai Litbang Biomaterial
Fibers. Composites Part A 39: 640-646. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Subyakto, Munawar, S.S., Gopar, M., Syamani, F.A., (Research and Development Unit for Biomaterials,
Budiman, I., Subiyanto, B. 2005. Development of Indonesian Institute of Sciences)
Biocomposites from Abaca Fiber Glued with Urea or Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911
Phenol Formaldehydes. Proc. International Tel. : +62-21-87914511
Symposium on Wood Science and Technology. Fax. : +62-21-87914510
IAWPS2005. Yokohama, Japan. pp. 124-125. Email : subyakto@biomaterial-lipi.org

Review on Current Researc on Utilization of Natural Fiber Composites for Automotive Component
Subyakto dan Mohammad Gopar 97

You might also like