Professional Documents
Culture Documents
Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle Marmelos Corr.) TERHADAP Fertilitas Tikus Betina
Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle Marmelos Corr.) TERHADAP Fertilitas Tikus Betina
TASYRIFAH MUSAHILAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Efek Pemberian Ekstrak
Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina”, adalah karya
saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Tasyrifah Musahilah
NRP G352070201
MOTTO
وَ ْﻟﯿَﺨْﺶَ اّﻟَﺬِﯾﻦَ َﻟ ْﻮ ﺗَﺮَﻛُﻮا ِﻣﻦْ ﺧَﻠْﻔِ ِﮭﻢْ ذُ ّرِّﯾَ ًﺔ ﺿِﻌَﺎﻓًﺎ ﺧَﺎﻓُﻮا ﻋََﻠﯿْﮭِﻢ
ﺳﺪِﯾﺪًا
َ ﻓَ ْﻠ َﯿﺘَّﻘُﻮا اﻟّﻠَ َﮫ وَ ْﻟﯿَﻘُﻮﻟُﻮا َﻗﻮْﻻ
Artinya :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB.
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MAJA
( Aegle marmelos Corr. ) TERHADAP
FERTILITAS TIKUS BETINA
TASYRIFAH MUSAHILAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan ridlo-Nya sehingga tesis yang berjudul : Efek Pemberian Ekstrak
Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina dapat
diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi
Solihin DEA, dan Ibu Dr. Dra. Nastiti Kusumorini selaku Ketua dan Anggota Komisi
pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi dan arahan
dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh.
Hera Maheshwari, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. Di samping
itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI
dan MAN Tangerang atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
mengikuti program Pascasarjana ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan
pegawai FMIPA IPB, staf pegawai dan laboran pada bagian Fisiologi dan
Farmakologi FKH-IPB, staf laboran dari laboratorium BALITRO Taman Cimanggu
atas bantuan dan kerjasamanya.
Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada suami,
almarhum ayah dan ibu, serta ketiga anak tercinta atas segala bantuan, doa, motivasi,
perhatian dan kesabaran serta dukungan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat yang
membutuhkannya.
iii
iv
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai siklus estrus.......... 17
2. Perbandingan jenis sel pada preparat apus vagina ............................................ 33
3. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus
pada siklus ke-1 (jam) ...................................................................................... 36
4. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus
pada siklus ke-2 (jam) ....................................................................................... 36
5. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1 ................................................ 38
6. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-2 ................................................ 38
7. Rataan berat ovarium tikus, jumlah folikel, jumlah corpus luteum, dan laju
ovulasi pasca pemberian ekstrak daun maja .................................................... 42
8. Rataan awal dan keberhasilan kebuntingan, dan jumlah anak tikus pasca
penghentian ekstrak daun maja selama 12 hari ............................................... 46
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Laporan Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Maja .............................................. 56
2. Data rataan hasil perhitungan siklus estrus tikus ( 1a-1e )................................. 57
3. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-1 ........................... 61
4. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-2 ............................ 62
5. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-1 ............................................... 63
6. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-2 ............................................... 64
7. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-1 .................................................... 65
8. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-2 .................................................... 66
9. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-1 ............................................. 67
10. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-2 ............................................ 68
11. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-1 .............................................. 69
12. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-2 .............................................. 70
13. Hasil analisa statistik Berat Ovarium ............................................................. 71
14. Hasil analisa statistik Jumlah Folikel ............................................................. 72
15. Hasil analisa statistik Jumlah Corpus Luteum ............................................... 73
16. Hasil analisa statistik Laju Ovulasi ................................................................ 74
17. Hasil analisa statistik Awal Kebuntingan ...................................................... 75
18. Hasil analisa statistik Jumlah Anak ............................................................... 76
19. Hasil analisa statistik Persentase Keberhasilan Kebuntingan ........................ 77
vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepadatan penduduk di Indonesia dewasa ini menimbulkan kekhawatiran
terhadap tidak tercukupinya pangan dan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sangat
membutuhkan peran aktif keluarga khususnya pasangan usia subur untuk ikut
menggalakkan program Keluarga Berencana, apalagi di era emansipasi wanita,
terutama bagi wanita yang berkarir sangat dibutuhkan sekali upaya untuk
menjarangkan kelahiran demi tercapainya Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera (NKKBS) guna memperbaiki kesejateraan hidup keluarganya. Di sisi lain
pemilihan cara KB modern yang dianjurkan pemerintah ada kalanya dapat
menimbulkan efek samping seperti gangguan haid, kegemukan, pendarahan,
hipertensi, sakit kepala, mual, dan rasa sakit pada kelenjar susu (Suherman 2007).
Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap penggunaan kontrasepsi yang berasal
dari alam (herbal) yang aman dan tanpa efek samping.
Di Indonesia tidak kurang dari 1000 jenis tanaman dari 30.000 jenis tumbuhan
yang sudah dibudidayakan sebagai obat alam dan obat tradisional (Supardi 1985).
Obat tradisional adalah obat yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, atau sediaan
galeniknya. Campuran bahan obat tradisional tersebut belum mempunyai data klinis
dan dipergunakan dalam usaha pengobatan hanya berdasarkan pengalaman kebiasaan
nenek moyangnya (Dep. Kes. RI 1985).
Menurut Sumantri dan Sugihardjo (1977) ada 87 spesies tumbuhan yang
dipergunakan oleh wanita untuk tujuan kontrasepsi. Sekitar 50 spesies telah diteliti
efek antifertilitasnya pada hewan coba betina, diantaranya biji saga, daun bandotan,
daun sembung, daun patikan kebo, daun manggis, pare, daun inggu, biji klabet,
rimpang kunyit, rimpang kencur, biji srikaya, buah mengkudu, buah pinang, daun
belimbing dan daun maja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan itu
bersifat sebagai anti gonadotropik, anti implantasi dan anti ovulasi, serta akibat dari
berbagai sifat tersebut adalah penurunan jumlah kelahiran (Winarno & Sundari 1997).
Sur et al. (2002), Kumar Das et al. (2006), dan Chauhan (2007) menyatakan
bahwa di India tanaman maja sangat potensial dipergunakan sebagai kontrasepsi pria
1
2
dan obat herbal untuk mengatur kelahiran dan mengobati penyakit seksual (Jain et al.
2004). Selain itu ekstrak buah maja dalam bentuk teh herbal yang dicampur daun
Stevia rebaudiana dapat menurunkan jumlah fetus dan menyebabkan keguguran
(Kanokporn et al. 2006).
Di berbagai daerah di Indonesia daun maja sudah sering kali dikonsumsi secara
turun temurun oleh masyarakat, seperti di Pinrang (Sulawesi), Palembang, Aceh, serta
di Jawa sebagai obat pengatur haid (Hasrah 1994). Daun maja yang diberikan secara
infus pada mencit betina dengan konsentrasi 20, 30, 40, dan 50 % dapat digunakan
untuk abortiva yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah janin (Hasrah 1994).
Pengurangan jumlah janin ini menjadi salah satu parameter adanya gangguan pada
reproduksi. Namun demikian aktivitas biologis lain yang lebih rinci seperti panjang
siklus estrus, siklus ovarium, laju ovulasi, dan keberhasilan fertilisasi belum
sepenuhnya diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melengkapi
parameter aktivitas biologis pada organ reproduksi lain guna melengkapi efektifitas
pengaruh daun maja terhadap fertilitas tikus betina.
Berdasarkan analisa fitokimia yang dilakukan Riyanto & Mawardi (2000),
diketahui bahwa pada tanaman maja mengandung bahan aktif seperti β-sitosterol
dan stigmasterol (C29 H50 O). Selain itu juga mengandung Aegelin (C18 H18 O4) dan
Marmelosin (C13 H12 O3) (Anonim 2006). Bahan-bahan aktif ini bersifat steroid.
Sitosterol sebagai bahan baku sterilisasi memiliki efek anti implantasi dan
mempunyai khasiat kontrasepsi yang bersifat antifertilitas dan dapat memacu produksi
hormon progesteron serta estrogen, dimana jika produksinya berlebihan dapat
menyebabkan terhambatnya ovulasi (Gangadhar & Lalithakumari 1995).
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, tak dapat
dielakkan lagi terjadinya perubahan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan.
Banyaknya industri obat-obatan dan industri kontrasepsi yang harga produknya
cukup mahal, dan belum seluruhnya menjamin tidak ada efek samping, baik terhadap
akseptor maupun pasangannya. Oleh karena itu dirasakan perlu untuk meneliti jenis
tanaman yang alami, tidak berbahaya, murah, dan ramah lingkungan, serta
berkelanjutan (Sastrawinata 2001). Penelitian terhadap bahan kontrasepsi yang berasal
3
Perumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1). Apakah pemberian ekstrak daun maja (Aegle marmelos (L). corr) berpengaruh
terhadap kesuburan (fertilitas) tikus putih betina melalui pengujian parameter : Lama
siklus estrus dan kinerja reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel,
jumlah korpus luteum, laju ovulasi). 2). Bagaimanakah efektivitas pengaruh
penghentian pemberian ekstrak daun maja selama periode tertentu terhadap
keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak yang dilahirkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek pemberian ekstrak daun maja
terhadap lama siklus estrus, kinerja reproduksi seperti berat ovarium, jumlah folikel,
jumlah korpus luteum, laju ovulasi, dan mengkaji pengaruh penghentian pemberian
ekstrak daun maja terhadap keberhasilan kebuntingan serta jumlah anak yang
dihasilkan dari perkawinan tikus putih betina yang diberi ekstrak daun maja dengan
tikus putih jantan normal. Setelah pengaruh pemberian ekstrak daun maja diketahui
terhadap kinerja organ target reproduksi hewan coba, diharapkan ekstrak daun maja
ini dapat diterapkan sebagai kontrasepsi alami bagi wanita.
Hipotesis
Pemberian ekstrak daun maja dengan berbagai dosis dapat menurunkan
efektifitas kinerja sistem reproduksi tikus betina.
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan
dan teknologi tentang pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap siklus estrus,
kinerja reproduksi, dan jumlah anak yang dilahirkan. Apabila pengaruh ekstrak ini
nyata, informasi ini dapat dijadikan dasar pemikiran untuk membuat kontrasepsi alami
4
bagi masyarakat, dan memberikan sumbangan kepada dunia farmasi untuk membuat
kontrasepsi alami yang ramah lingkungan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kepadatan penduduk Kekhawatiran tidak Kesibukan wanita karier
di Indonesia tercukupinya kebutuhan
hidup keluarga
STEROID Antifertilitas
TANAMAN MAJA
5
6
C D
A B
R
C D
A B
HO
HO β-Sitosterol
Stigmasterol
(Nalbandov 1990). Bila tidak terjadi fertilisasi maka siklus baru berikutnya akan
segera dimulai, dimana korpus luteum akan mengalami regresi dan menghilang.
Namun jika terjadi pembuahan dan kebuntingan, korpus luteum akan terus bertahan
selama masa kebuntingan. Pada kenyataannya korpus luteum merupakan kelenjar
yang menghasilkan hormon progesteron yaitu hormon essential untuk
mempertahankan kebuntingan (Frandson 1992). Berdasarkan histologi vagina, satu
siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi,
sedangkan fase luteal terdiri atas metestrus dan diestrus (Partodihardjo 1980).
Ovarium
Tikus memiliki sepasang ovarium di dalam rongga abdomen, di bawah ginjal.
Ovarium berbentuk bulat dengan permukaan yang berbenjol-benjol karena adanya sel-
sel folikel dan korpus luteum (Gambar 4). Ovarium diselubungi oleh selapis sel epitel
germinativum dan di bagian dalamnya terdapat tunika albugenia (Partodihardjo 1980
& Hafez 1993). Ovarium tersusun atas bagian korteks dan medulla. Bagian korteks
terdiri atas stroma yang bersifat seluler dan mengandung folikel ovarium, korpus
luteum dan sel interstitial serta pembuluh darah. Folikel terdiri atas oosit atau sel telur
yang diselubungi oleh sel folikel yang merupakan hasil diferensiasi epitel
germinativum. Folikel ovarium ada yang istirahat (primordial), dan ada yang sudah
matang yaitu folikel de Graaf. Bagian medulla terdiri atas jaringan ikat fibroelastik
yang penuh jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.
Ovarium memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penghasil sel telur dan penghasil
estrogen dan progesteron menurut Guyton (1996) & Lay Cock (1982). Proses
pembentukan sel telur (Oogenesis) meliputi :
1. Proliferasi oogonium
Gamet yang berasal dari sel germinal primordial bermigrasi ke gonad dengan
pergerakan amuboid melalui mesenterium dorsal ke gonad. Sel aktif bermitosis pada
betina disebut Oogonium. Oogonia akan mengakhiri proliferasi setelah beberapa hari
sebelum kelahiran (Ganong 2003).
11
2. Pertumbuhan Oosit
Pertumbuhan oosit dimulai dengan tumbuhnya ovum dan folikel secara cepat.
Ketika antrum telah terbentuk, oosit tidak tumbuh lagi dan folikel mendapat pengaruh
hormon dari hipofisis untuk melanjutkan tumbuh secara cepat. Pertumbuhan oosit
ditandai dengan akumulasi kuning telur dalam sitoplasma, perkembangan zona
pellucida, proliferasi mitosit dari epitel follikel dan jaringan di dekatnya (Hafez 2000).
Badan kutub tersebut dilepas ke rongga perivitelin dan mengalami degenerasi (Hafez
2000).
Ovar
2 Oogoniu Oogonium
n m
Mitotic
division
Primary
oocyte
within
Primary oocyte, follicle
2 arrested in prophase
n of meiosis I
(present at birth)
Completion of meiosis I Growing
and onset of meiosis II follicle
First
polar n Secondary oocyte,
n
body arrested at meta-
phase of meiosis II
Ovulatio
n
Entry of Mature
sperm triggers
n
completion of
Ruptured
meiosis II
follicle
Ovum
Ovulated
secondary
Corpus
Degenerating
corpus luteum
3. Perkembangan folikel
Tahap perkembangan folikel disebut fase folikuler. Fase ini dimulai dari
folikel primer. Selanjutnya sel folikel akan membelah diri untuk membentuk dinding
berlapis yang mengelilingi sel telur dan disebut folikel sekunder. Apabila sudah
terbentuk rongga (antrum) diantara sel folikel dengan sel telur, maka folikel dikatakan
sudah matang dan disebut folikel de Graaf. Folikel ini makin berkembang dan sel
jaringan stroma bertambah banyak dan berdiferensiasi membentuk teka interna dan
teka eksterna (Syahrum et al. 1994). Antrum berisi cairan dan semakin membesar
sehingga sel telur terdesak ke tepi pada sel folikel. Sel telur bertambah besar yang
dikelilingi membran granulosa, akhirnya sel folikel akan menempati seluruh tebal
korteks. Hal ini mengakibatkan penipisan dan pecahnya dinding ovarium, sehingga sel
telur yang diselubungi korona radiata dilepaskan ke dalam rongga peritoneum.
Sedangkan pada tikus sel telur akan dilepas ke ruang periovarium (Rugs 1968). Proses
13
ini disebut ovulasi. Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus
(Nalbandov 1990). Pada tikus, terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi
dan menghasilkan 4 – 14 sel telur, yang memungkinkan kelahiran multiple (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Proses ovulasi diawali dengan perkembangan dan pematangan sel folikel
dalam ovarium di bawah pengaruh FSH. Sel folikel yang sudah matang (folikel de
Graaf) akan mensekresi estrogen yang menyebabkan kadar estrogen dalam darah
meningkat, sehingga menekan sekresi FSH (mekanisme umpan balik negatif).
Sebaliknya estrogen yang tinggi akan memacu sekresi LH sehingga terjadi ovulasi,
setelah itu kadar estrogen dalam darah menurun (Syahrum et al. 1994). Folikel yang
telah matang akan menempati daerah korteks dan menonjol ke permukaan ovarium.
Pada permukaan yang menonjol terjadi penipisan jaringan. Cairan folikel makin
banyak dan menyebabkan tekanan hidrostatik yang menyebabkan meningkatnya
tekanan turgor jaringan. Di sisi lain kumulus ooforus mengalami desintegrasi sehingga
ovum berada dalam keadaan bebas dalam cairan. Tegangan yang memuncak diikuti
pecahnya selaput tipis ovarium pada stigma yang menyebabkan ovum lepas ke rongga
peritonium (Ferin et al.1993). Skema proses pematangan folikel ovarium dapat dilihat
pada Gambar 6 berikut :
Selanjutnya darah membeku diresorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel granulosa dan sel
teka, sehingga terbentuk korpus luteum (Partodihardjo 1980). Pertumbuhan korpus
luteum berlangsung melalui hipertrofi sel luteal. Pembentukan dan pertumbuhan
korpus luteum dirangsang oleh LH. Sedangkan prolaktin (luteotropik hormon)
berperan dalam memelihara fungsi korpus luteum agar tetap menghasilkan
progesteron (Nalbandov 1990). Perkembangan selanjutnya dari korpus luteum
tergantung pada terjadi tidaknya fertilisasi dan kebuntingan. Bila sel telur dibuahi dan
terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan tetap bertahan dan dikenal dengan
korpus gravidatatum (CL kebuntingan) (Partodihardjo 1980). Apabila hewan betina
tidak mengalami kebuntingan, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi
pematangan folikel yang baru. Regresi korpus luteum disertai munculnya sel tenun
pengikat lemak dan struktur hialin diantara sel-sel luteum. Kondisi ini mempercepat
regresi korpus luteum sampai sel luteum tidak terdapat lagi (Nalbandov 1990). Regresi
korpus luteum berlangsung melalui kerja prostaglandin PGF2ά yang dihasilkan oleh
uterus. PGF2ά akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah pada korpus luteum
sehingga suplai darah berkurang. Berkurangnya suplai darah menyebabkan luteolisis
sel luteal (Sammuelson et al.1978).
Uterus
Uterus tikus merupakan tipe dupleks, yang terdiri atas dua tanduk (kornus
uteri) dan satu badan yang bersatu membentuk huruf Y. Korpus uteri merupakan
bagian pendek yang berbatasan dengan vagina. Sedangkan kornus uteri merupakan
bagian uterus yang memanjang. Bagian proksimal berbatasan dengan tuba uterine,
sedangkan bagian distalnya saling mendekat yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis
yang bermuara ke dalam lumen korpus uteri. Bagian uterus yang berbatasan langsung
dengan vagina disebut serviks uteri (Baker 1979). Bagian-bagian uterus dapat dilihat
pada gambar 7 berikut :
15
Ginjal
Ureter
Ovarium
Oviduct
Cornus Uteri kanan
Uretra
Vagina
Preputial Gland
Gland Clitoris
Liang Vagina
Gambar 7. Uterus tikus (Baker 1979).
Dinding uterus dari luar kedalam terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana serosa,
myometrium dan endometrium. Membrana serosa merupakan lapisan terluar.
Myometrium merupakan lapisan otot yang tersusun atas pembuluh darah, limfe dan
saraf. Endometrium merupakan lapisan dinding lumen yang terdiri atas epitel, kelenjar
uterus dan tenunan pengikat. (Rugs 1968, Ross & Schreiber 1991).
Perubahan yang terjadi pada uterus selama siklus estrus disebut siklus uterus.
Selama pertumbuhan folikel terjadi juga pertumbuhan dalam endometrium. Selama
periode perkembangan korpus luteum, endometrium menyesuaikan diri untuk
menerima kehamilan. Jika sel telur tidak dibuahi maka endometrium ke keadaan
semula bersamaan dengan regresinya korpus luteum. Sedangkan jika terjadi
pembuahan, maka endometrium dipertahankan pada keadaan yang terbaik untuk
kehamilan (Sartono 1994).
Pada awal siklus estrus yaitu fase proestrus, folikel akan berkembang dan
menghasilkan hormon estrogen untuk mempertahankan pertumbuhan maupun
menyebabkan proliferasi endometrium. Dinding endometrium berangsur-angsur
mengalami hiperemia, berproliferasi dan menebal dengan cepat. Kelenjar yang pendek
menjadi bertambah panjang, dan pembuluh darah bertambah banyak (Bullock et al.
2004). Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Fase proestrus ini
merupakan periode terjadinya involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan
praovulasi folikel (Mc Donald 1989). Selain itu pada tahapan ini juga terjadi
vaskularisasi epitel vagina (Tolihere 1981). Vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen
yang semakin tinggi. Di samping itu juga terdapatnya cairan yang terkumpul di uterus
sehingga uterus sangat kontraktil (Turner & Bagnara 1976).
16
Pada fase estrus, estrogen meningkat merangsang sekresi kelenjar uterus dan
merangsang serviks untuk berkontriksi, sehingga uterus menggelembung. Pada akhir
fase ini, progesteron mulai dihasilkan oleh korpus luteum dan akan merangsang
serviks untuk relaksasi. Hal ini menandai timbulnya hasrat kawin dan kopulasi
mungkin terjadi pada tikus betina (Martin 1985). Fase ini berlangsung sekitar 12 jam
(van Tienhoven 1983, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Ciri khas pada fase ini hewan
betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
sekresi estrogen yang tinggi (Nalbandov 1990). Estrogen dari folikel de Graaf yang
matang menyebabkan berbagai perubahan pada organ reproduksi seperti uterus
tegang, mukosa vagina tumbuh cepat disertai sekresi lendir, terdapatnya sel-sel yang
menumpuk dan menanduk. Sel-sel ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Bullock et
al. 2004 & Rugs 1968).
Saat memasuki fase metestrus (setelah ovulasi), hasrat kawin menurun. Pada
fase ini korpus luteum mulai tumbuh. Korpus luteum merupakan perubahan bentuk
dari folikel de Graaf yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi. Uterus yang
sudah berkembang mengalami oedema akibat pengaruh estrogen. Selanjutnya oleh
pengaruh progesteron, kelenjar uterus aktif mensekresikan zat yang berguna untuk
makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi (Martin 1985 &
Nelson 1983). Pembuluh darah bertambah panjang dan lebar. Apabila terjadi
implantasi, mukosa endometrium makin menggelembung akibat pengaruh hormon
estrogen dan progesteron. Mukosa endometrium menggelembung dan tempat
implantasi zigot diketahui sebagai desidua (Nelson 1983). Pada akhir fase metestrus
degenerasi epitel meningkat bahkan menghilang dan leukosit banyak terdapat pada
dinding uterus (Bullock et al. 2004). Lapisan endometrium kembali ke fase istirahat
dan dimulainya siklus baru yaitu fase diestrus. Pada fase ini hewan betina terlihat
lebih tenang dan tidak ada aktivitas kelamin (van Tienhoven 1983). Pada fase ini
korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata.
Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Tolihere 1981), selaput mukosa
vagina tipis, pucat, otot mengendur, uterus mengecil, anemik, dan agak kontraktil
(Turner & Bagnara 1976). Fase ini berlangsung sekitar 60-70 jam (van Tienhoven
17
1983). Pada preparat ulas vagina terlihat banyaknya leukosit dan sel epitel berinti
(Nalbandov 1990).
Vagina
Vagina merupakan saluran terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan
bagian ventral rectum. Pembukaan vagina terjadi tidak lama setelah ovulasi pertama
dan dipakai sebagai tanda pubertas (Hafez 2000). Perubahan karakteristik dinding
epitel vagina selama estrus dapat diketahui melalui sediaan apus vagina yang
merupakan petunjuk tahap-tahap dalam siklus estrus (Ganong 2003).
Siklus estrus merupakan cerminan bagi berbagai aktivitas yang saling
berkaitan antara hipotalamus-hipofisis-ovarium. Selama siklus estrus terjadi
perubahan baik pada organ reproduksi maupun perubahan tingkah laku seksual (Hafez
2000).
Meskipun peristiwa fisiologis yang utama pada siklus estrus terjadi pada
ovarium, tetapi peristiwa tersebut tercermin pada vagina di bawah pengaruh hormon
ovarium yaitu estrogen dan progesteron (Johnsons & Everith 1988). Perubahan siklus
vagina tikus dapat dideteksi dengan menggunakan teknik preparat apus vagina.
Gambaran perubahan yang terjadi di vagina dapat mencerminkan kejadian pada
ovarium sehingga dapat digunakan untuk menentukan fase reproduksi pada tikus
betina yang diperiksa (Sartono 1984). Apus vagina diperoleh dari sekret vagina yang
diambil dengan menggunakan cotton bud pada 1/3 proksimal vagina (Hafez 2000).
Adapun gambaran mikroskopis hasil ulas vagina berbagai fase siklus estrus tertuang
pada Tabel 1 dan Gambar 8.
18
Sel epitel
berinti
Proestrus Diestrus
Leucosit
Leucosit
Kornifikasi
Kelenjar Susu
Peristiwa fisiologis siklus estrus tikus tercermin pada siklus pertumbuhan dan
regresi kelenjar susu meskipun sedikit berbeda apabila terjadi kebuntingan
(Knobil & Neills 2006). Pada fase proestrus terlihat saluran panjang di sekitar kelenjar
susu, terutama dekat puting. Selanjutnya saluran makin membesar pada fase estrus.
Sedangkan pada fase metestrus pelebaran saluran ini menjadi berkurang dan
menghilang dan tampak kembali pada fase diestrus. Siklus kelenjar susu dirangsang
oleh hormon estrogen dan progesteron (Ganong 2003). Hormon estrogen
mempengaruhi proliferasi saluran kelenjar susu, sedangkan hormon progesteron
merangsang perkembangan lobulus.
Kopulasi
Kopulasi biasanya terjadi 3 jam pertama fase estrus. Pada fase estrus ini
estrogen mempengaruhi substrat metabolik vagina sehingga memproduksi asam yang
mudah menguap dan menyebabkan timbulnya daya tarik seks tikus betina (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Terjadinya kopulasi ditandai dengan sumbat vagina (vaginal
plug) pada liang vagina (Rugs 1968). Sumbat vagina merupakan air mani yang
menggumpal yang berasal dari sekret kelenjar prostat tikus jantan. Kondisi ini dapat
diamati kira-kira 16-48 jam setelah kopulasi (Hafez 2000).
Fertilisasi
Proses fertilisasi terjadi pada bagian ampula oviduk. Sel telur yang dilepas dari
folikel saat ovulasi dikelilingi oleh sel kumulus ooforus, korona radiata, dan zona
pellucida. Sebelum spermatozoa melakukan penetrasi terjadi pelepasan kumulus
ooforus sehingga memudahkan penetrasi spermatozoa (Syahrum et al. 1994). Zona
pellucida merupakan lapisan ekstraseluler yang mengandung asam dan enzim akrosim
yang berasal dari akrosom sperma akan membantu sperma dalam menembus zona
pellucida. Setelah berhasil menembus zona pellucida spermatozoa akan memasuki
sitoplasma ovum secara perlahan sedangkan bagian tengah dan ekornya akan tetap
tinggal di luar dan akhirnya terlepas (Hafez 2000). Sejalan dengan itu implantasi
terjadi setelah 4-5 hari sejak kopulasi (Syahrum et al. 1994 & Hafez 2000).
20
Gambar 10. Hubungan antara GnRH dan Hormon ovarium serta perubahan
reproduksi pada mamalia betina poliestrus (Nelson 1983).
Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat, tetapi tidak kembali
ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel teca interna untuk membentuk
korpus luteum. Sejak terbentuknya korpus luteum, sel ini memproduksi hormon
progesteron yang berfungsi meredakan aktivitas estrogen. Kecuali oleh LH, fungsi
korpus luteum ditunjang oleh LTH. LTH berperan dalam merangsang korpus luteum
untuk memproduksi progestin. Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun
dengan cepat, hingga mencapai kadar dasar (kadar paling rendah dalam darah).
Penurunan ini diikuti oleh kenaikan produksi FSH secara berangsur-angsur, FSH
diperlukan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh
secara berangsur-angsur mempertinggi kadar estrogen dalam darah. Setelah kadar
estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan
pada uterus untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin ini menyebabkan korpus
luteum beregresi dan progestin secara tajam menurun. Menurunnya progesteron dalam
darah estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus
(Partodihardjo 1980).
obatan atau zat kontrasepsi yang berupa fitosterol yang terkandung pada daun maja (β-
sitosterol dan stigmasterol). Keadaan ini menyebabkan laju fertilitas dan tingkat
kesuburan menjadi menurun.
Bahan aktif β-sitosterol dan stigmasterol tergolong steroid dan merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti ether,
etanol, kloroform, dan benzena (Harborne 1987). Steroid tumbuhan dapat bekerja
sebagai kontrasepsi dengan menekan ovulasi pada sebagian besar siklus dan
menghambat pelepasan gonadotropin (menghambat fungís ovarium) melalui
mekanisme umpan balik (Nalbandov 1990). Selain itu steroid tumbuhan umumnya
bersifat estrogenik sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi dan perkembangan
folikel (Farnsworth et al. 1975). Steroid ini tentunya dapat turut meningkatkan kadar
estrogenik dalam darah. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat menghambat
hipofisis dalam mensekresi hormon FSH melalui umpan balik negatif (Ganong 2003,
Johnsons & Everith 1988). Steroid tumbuhan memiliki kesamaan dengan steroid yang
dihasilkan ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Keduanya memiliki gugus utama
berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantrena (Tyler 1976 & Harborne 1987).
Berdasarkan sasaran aktivitas pada organ target, mekanisme zat antifertilitas
dibedakan atas :
1. Hipotalamus-hipofisis
Mekanisme kerja steroid pada hipotalamus maupun hipofisis dapat
menyebabkan aktivitas anti gonadotropin, artinya steroid tersebut akan secara
langsung menghambat sekresi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipotalamus maupun
hipofisis yang mengakibatkan terhambatnya produksi hormon estrogen dan
progesteron. Estrogen dan progesteron diperlukan untuk memunculkan birahi normal
pada hewan ovulator spontan, sehingga zat yang menekan gonadotropin
mengakibatkan terhambatnya ovulasi dan menekan libido (Farnsworth et al. 1975).
Selain itu juga akan menghambat induksi saraf ke hipotalamus yang mengatur sekresi
GnRH pada hewan ovulator spontan yakni akan memberikan efek antifertilitas
sebelum ovulasi (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).
25
2. Ovarium
Mekanisme kerja zat antifertilitas terhadap ovarium dapat ditunjukkan
aktivitasnya pada penghambatan ovulasi dan steroidogenesis (Farnsworth et al. 1975
& Hafez 2000). Terhambatnya ovulasi ini sebagai akibat dari terhambatnya produksi
estrogen dan progesteron seperti berkurangnya korpus luteum yang terbentuk
berhubungan erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan (Richards 1980). Selain itu
juga akan menyebabkan penekanan jumlah dan perkembangan folikel yang
mengakibatkan penurunan berat ovarium dan steroidogenesis (Zambrana 1971).
3. Oviduk
Mekanisme kerja zat antifertilitas dapat menyebabkan kekacauan fertilisasi dan
kegagalan implantasi serta dapat menyebabkan sel telur yang sudah dibuahi akan
mengalami regresi bila tiba terlalu dini di uterus (Farnsworth et al. 1975 & Hafez
2000).
4. Uterus
Mekanisme kerja zat antifertilitas pada uterus dapat bersifat interseptif maupun
abortivum. Keseimbangan hormon estrogen dan progesteron pada tikus sangat
diperlukan pada proses implantasi. Ada progesteron yang dilaporkan dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan proliferasi endometrium, sehingga
mengganggu implantasi. Demikian juga antiestrogenik dapat menghambat implantasi
pada hewan yang memerlukan estrogen pada proses implantasi (Farnsworth et al.
1975 & Hafez 2000). Mekanisme lain juga dapat berupa fetus yang mati atau resorbsi
disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang berasal dari placenta menuju fetus
baik karena kekurangan oksigen maupun sari-sari makanan (Bronsons 1966). Selain
itu resorbsi fetus dapat terjadi pada periode organogenesis yang terbukti dengan
adanya bekas tapak implantasi pada uterus, maupun fetus yang melekat di daerah
serviks akan diresorbsi sebagai benda asing oleh uterus (Rugs 1968).
5. Vagina
Mekanisme kerja zat antifertilitas di daerah vagina dapat bersifat spermisida
(Farnsworth et al. 1975). Zat antifertilitas yang bersifat spermisida dapat mencegah
terjadinya fertilisasi yang disebabkan tidak bergerak (imobilisasi) dan matinya
spermatozoa (Syahrum et al. 1994).
BAHAN DAN METODE
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan ekstrak
daun maja, tahap persiapan dan perlakuan hewan coba, serta tahap pengamatan dan
analisis kinerja reproduksi. Parameter yang diamati terbagi menjadi dua berdasarkan
kelompok tahapan pelaksanaan penelitian. Pada kelompok pelaksanaan pertama
26
27
parameter yang diamati adalah : 1). Lama siklus estrus dan fase-fasenya, 2). Kinerja
reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, dan
laju ovulasi. Sedangkan pada kelompok pelaksanaan kedua, parameter yang diamati
adalah kinerja reproduksi berupa 1). Keberhasilan kebuntingan yang mencakup
waktu terjadi kebuntingan, 2). Jumlah anak yang dilahirkan.
Sebanyak 35 kg daun maja (muda dan sedang) dipotong halus dan dikering
anginkan dalam ruangan tanpa terkena sinar matahari langsung selama 14 hari,
sehingga diperoleh 5 kg daun maja kering. Selanjutnya daun maja kering ini digiling
menjadi serbuk halus (simplisia) dengan menggunakan mesin penggiling simplisia.
Simplisia tersebut selanjutnya direndam (maserasi) dalam ethanol 96% (guna
penarikan fitosterol pada daun maja) dengan perbandingan 1:10. Perendaman
dilakukan selama 24 jam (Harborne 1987). Setiap 2 jam sekali dilakukan pengadukan
agar merata. Langkah selanjutnya campuran simplisia-ethanol disaring. Filtrat hasil
penyaringan ditampung dalam tabung plastik, sedangkan ampasnya dimaserasi
kembali dengan proses yang sama. Filtrat yang diperoleh ditampung pada tabung yang
sama yang sudah terisi filtrat pada maserasi sebelumnya. Tahap berikutnya filtrat
dipekatkan dengan cara diuapkan (evaporasi) dengan menggunakan rotary evaporator
(EYELA Rotary evaporator N-1000) sehingga terbentuk 10 lt larutan pekat, serta
dikeringkan dengan metode pengering bekuan (freezer drying) Flexi Dry TM MP
V.S. Pat 4.823.478 (Depkes RI 1972) hingga terbentuk 250 gr ekstrak kasar, dan siap
digunakan dalam percobaan ini. Adapun prosedur pembuatan ekstrak daun maja ini
dapat dilihat pada Gambar 11. Ekstrak daun maja selanjutnya dibuat larutan sesuai
dosis (Jagetia &Venkatesh 2005).
28
30 EKOR
TIKUS BETINA
PARAMETER : PARAMETER :
LAMA SIKLUS ESTRUS KINERJA REPRODUKSI
KINERJA REPRODUKSI - Keberhasilan fertilisasi
- Berat ovarium - Keberhasilan kebuntingan
- Jumlah Folikel - Jumlah anak lahir
- Jumlah Corpus Luteum
- Laju Ovulasi
Keterangan : C = Kontrol (Tanpa perlakuan pencekokan ekstrak daun maja)
A1B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
AIB2 = Perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari
A2B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
A2B2 = perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari
C
B
18 19
7
H-1 6
7 18 19
A
D
Hari pelaksanaan
Keterangan :
A : Masa pemberian ekstrak daun maja
B : Masa analisa siklus estrus
C : Hewan dikorbankan untuk analisa kinerja reproduksi
D : Hewan dikawinkan untuk melihat kinerja reproduksi (kebuntingan)
Sedangkan pada kelompok hewan yang diberi ekstrak daun maja selama 2
siklus (12 hari), pengambilan apus vagina dilakukan selama 2 x siklus estrus ( 12 hari)
yaitu A1B2 dan A2B2, pengambilan apus vagina dilakukan pada hari ke-13 hingga
hari ke-24 guna pengambilan data siklus estrus, dan pada hari ke-25 hewan
dikorbankan guna analisis kinerja reproduksinya. Begitu juga dengan perkawinan
dilaksanakan pada hari ke-25. Protokol penelitian dapat dilihat pada gambar 15b.
B C
25
13 24
H-1 12
A 13 24 25
D
Hari pelaksanaan
Gambar 15b. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi
C
B
H-1 12 13
13
D
Hari pelaksanaan
Gambar 15c. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi.
Gambar 17. Gambar sediaan apus vagina tikus putih galur Sprague-
Dawley dengan perbesaran 40x5 (koleksi pribadi).
34
2. Kinerja reproduksi
Untuk memperoleh data kinerja reproduksi pasca pemberian ekstrak daun
maja, tikus dikorbankan dengan dianestesi. Anestesi dilakukan dengan pembiusan
menggunakan kapas yang dibasahi eter dan diletakkan dalam stoples. Tikus tersebut
dimasukkan ke dalam stoples selama beberapa menit hingga lemas dan tak sadarkan
diri, selanjutnya dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan pada bagian
abdominal guna pengambilan ovarium. Untuk mengambil ovarium, terlebih dahulu
dipisahkan dan dipotong dari jaringan lemak, oviduk dan uterus yang bersambungan
dengan ovarium. Selanjutnya dilakukan penimbangan ovarium, penghitungan jumlah
folikel, corpus luteum dengan menggunakan kaca pembesar. Folikel ovarium tampak
seperti bulatan-bulatan kecil berwarna merah, sedangkan corpus luteum tampak
seperti bulatan-bulatan kecil bening.
Analisis terhadap kinerja reproduksi yang berupa laju ovulasi diperoleh dari
data yang didapat dari perhitungan jumlah folikel dan jumlah corpus luteum. Laju
ovulasi ini mencerminkan banyaknya ovum yang telah diovulasikan. Laju ovulasi
ditentukan dengan cara menghitung persentase antara jumlah corpus luteum
dibandingkan jumlah folikel.
Pada kelompok tikus yang digunakan untuk melihat kemampuan reproduksi
terutama keberhasilan kebuntingan, maka waktu keberhasilan kebuntingan ditetapkan
dengan cara mencatat hari (tanggal) kelahiran yang kemudian dikurangi 21 hari
(karena lama kebuntingan tikus adalah 21 hari) (Malole & Pramono 1989).
Selanjutnya hari kelahiran tersebut dikurangi dengan waktu perkawinan. Dan jumlah
hari yang didapat merupakan waktu keberhasilan kebuntingan (Gambar 18).
A B C
Keterangan : D
A : Tanggal (waktu) kelahiran
B : Tanggal kelahiran dikurangi 21 hari
C : Waktu pencampuran tikus betina dan jantan
D : Waktu keberhasilan kebuntingan (hari)
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan dengan 3 kali ulangan yaitu C
(kontrol tanpa perlakuan ekstrak daun maja), A1B1 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB
selama 6 hari), A1B2 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 12 hari), A2B1 (perlakuan
dosis 2 gr/kg BB selama 6 hari), dan A2B2 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 12
hari). Dengan demikian unit percobaan yang dilibatkan sebanyak 5 unit sehingga
jumlah tikus yang dipakai sebanyak 3 x 5 = 15 ekor tikus.
Unit percobaan ini dilakukan secara sejajar (2 kelompok pelaksanaan
penelitian) sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 15 ekor x 2 = 30 ekor tikus betina
dan 15 ekor tikus jantan (yang dipergunakan untuk kinerja reproduksi berupa
kebuntingan). Hal ini terkait dengan jenis pengamatan yang berbeda sesuai dengan
parameter penelitian.
Analisa data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan
Análisis of Variance (ANOVA), dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar
perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel & Torry 1993) dengan selang
kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan perangkat lunak SPSS 13 (Mattjik & Sumertajaya
2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proestrus 16.0 a ± 0 29.3b ± 4.6 26.6b ± 4.6 26.6b ± 4.6 34.6b ± 4.6
Estrus 16.0 a ± 0 21.3ab± 4.6 24.0bc ± 4.6 32.0cd ± 0 37.3d ± 9.2
Metestrus 16.0 a ± 0 21.3ab± 4.6 21.3ab ± 4.6 26.6b ± 4.6 37.3c ± 4.6
Diestrus 48.0a ± 0 40.0ab ± 0 40.0ab ± 0 34.6 bc ± 4.6 26.6c ± 9.2
PSSE 96.0a ± 0 112 b ±0.05 112 b ±0.05 120 c ± 0.1 136 d ± 0.1
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Keterangan : PSSE = Panjang satu siklus estrus (Lama siklus estrus)
Kontrol = perlakuan tanpa pemberian ekstrak daun maja
A1B1 = perlakuan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
A1B2 = perlakuan dosis 1gr/kg BB selama 12 hari
A2B1 = perlakuan dosis 2gr/kg BB selama 6 hari
A2B2 = perlakuan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari
Tabel 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan setiap fase
dan lama siklus estrus (PSSE) pada siklus ke-2 (Jam)
PSSE 96.0 a ±0.05 128 b ±0.01 128 b ±0.01 136 c ±0.05 152 d ±0.05 37
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun maja
berpengaruh signifikan terhadap lama siklus estrus (PSSE) pada siklus ke-1 dan 2
36
37
58
200 152 60
128 128 136 136
112 50 42 42
150 112 120
96 96 d
33 33 A1B1
c 40
100 b d 25 A2B1
a b b c 30 19.3
a b 16
50 20 A1B2
0 10 A2B2
KONTROL A1B1 A2B1 A1B2 A2B2
0
SIKLUS 1 SIKLUS 2
SIKLUS KE-1 SIKLUS KE-2
a b
Gambar 19. Perbandingan rataan lama siklus (a) dan persentase pertambahan lama
siklus estrus (PSSE) tikus perlakuan dibandingkan dengan kontrol
pada siklus ke-1 dan 2 (b) pasca pemberian ekstrak daun maja.
Lebih lanjut, hasil uji statistik terhadap fase metestrus, menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun maja berpengaruh terhadap rataan lama fase metestrus pada
kedua siklus tersebut (P<0.05) (Tabel 3 & 4, lampiran 6a-b). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa pada siklus ke-1, kelompok A1B2 dan A2B2 berbeda nyata
dengan kontrol, namun kelompok A1B1 dan A2B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Sedangkan pada siklus ke-2, semua kelompok perlakuan berbeda nyata
dengan kontrol. Adapun persentase pertambahan lama siklus yang terjadi pada siklus
ke-1 untuk kelompok A1B1 dan A2B1 sebesar 33.3%, mengalami peningkatan hingga
83.3%, namun pada 2 kelompok lainnya yaitu A1B2 dan A2B2 terjadi penurunan
persentase lama fase siklusnya.
Hasil uji statistik terhadap fase diestrus, menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak daun maja berpengaruh terhadap rataan fase diestrus pada siklus ke-1
(P<0.05), namun tidak berpengaruh pada siklus ke-2 (P>0.05) (Tabel 3 & 4, lampiran
7a-b). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa fase diestrus kelompok perlakuan A1B2
dan A2B2 berbeda nyata dengan kontrol pada siklus ke-1, akan tetapi pada siklus ke-1
dan 2 terjadi pengurangan lama siklus maupun persentasenya jika dibandingkan
dengan kontrol. Adapun rataan panjang setiap fase siklus yang terjadi pada siklus ke-
1 dan 2 dapat disajikan pada Gambar 20.
Dari hasil analisa statistik terhadap rataan setiap fase siklus estrus ini,
tampaknya pemanjangan yang terjadi pada fase siklus ini cenderung dipertahankan
bahkan terjadi peningkatan untuk fase yang berbeda. Kecenderungan pemanjangan ini
terjadi pada ketiga fase estrus yaitu fase proestrus, estrus, dan metestrus, serta
terjadinya pengurangan pada lama fase siklus diestrus.
40
RATAANLAMA FASEPROESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2 RATAAN LAMA FASEESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2
40
40 34.6 34.6 50 45.3
29.3 32 37.3
26.626.6 29.3
40 37.3
30 KONTROL 32 29.3 KONTROL
A1B1 30 24 26.6 A1B1
16 16 21.3 18.6
20
A2B1 20 16 A2B1
10 A1B2 A1B2
10
A2B2 A2B2
0 0
siklus 1 siklus 2 a Siklus 1 Siklus 2 b
RATAAN LAMA FASEMETESTRUS SIKLUS KE-1 & RATAAN LAMA FASEDIESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2
KE-2 48
45.3
50 42.6
37.3 40 40 40
40 34.6
29.3 29.3 40 34.6 34.6 KONTROL
KONTROL 32
30 26.6 26.6
21.3 30 26.6 A1B1
21.3 A1B1
20 16 16 A2B1
A2B1 20
10 10 A1B2
A1B2
A2B2
0 A2B2 0
Siklus 1 Siklus 2
c Siklus 1 Siklus 2 d
Gambar 20. Perbandingan rataan pertambahan lama fase siklus estrus pada
siklus ke-1 dan 2 pasca pemberian ekstrak daun maja fase :
(a. Proestrus, b. Estrus, c. Metestrus, d. Diestrus).
Pertambahan lama fase siklus estrus ini disebabkan oleh masuknya komponen
bioaktiv β-sitosterol dan stigmasterol yang terkandung pada ekstrak daun maja bersifat
estrogenik terhadap reseptor epitel vagina. Efek estrogenik ekstrak daun maja terhadap
epitel vagina dapat dilihat dari aktivitas mitogenik yang berupa proliferasi maupun
differesiasi sel epitel vagina. Sifat estrogenik steroid ini menyebabkan kadar estrogen
dalam darah menjadi meningkat. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat
menghambat hipofisis dalam mensekresi hormon gonadotropin (FSH) melalui umpan
balik negatif. Menurunnya kadar FSH mengakibatkan terhambatnya perkembangan
folikel. Dalam hal ini, tampaknya pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap
siklus estrus tikus berlangsung melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang
mengakibatkan gangguan pada mekanisme pengendalian poros tersebut. Mekanisme
ini ditandai dengan penyimpangan lama siklus estrus berupa pertambahan panjang
fase folikuler (proestrus dan estrus) akibat hambatan terhadap sekresi FSH, tetapi
justru pemendekan lama fase luteal (diestrus) kelompok tikus perlakuan sebagai akibat
rendahnya sekresi LH. Aktivitas ini menyebabkan lama siklus estrus (PSSE) tikus
perlakuan menjadi lebih panjang dibandingkan dengan kontrol. Menurut Farnsworth et
al. (1975) komponen bioaktif berupa β-sitosterol dan stigmasterol bersifat estrogenik,
dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap panjang-pendek siklus estrus.
41
Demikian juga Nalbandov (1990), menyatakan bahwa panjang pendek suatu siklus
estrus dikendalikan oleh sistem hormonal reproduksi melalui poros hipotalamus-
hipofisis-ovarium. Jika terjadi penyimpangan pada lama siklus estrus, hal itu
menunjukkan telah terjadi gangguan pada mekanisme pengendalian tersebut. Hal
yang sama dikemukakan oleh Ganong (2003), bahwa penyimpangan lama siklus
estrus disebabkan karena penyimpangan pada mekanisme pengendalian poros
hipotalamus-hipofisis-organ target reproduksi, melalui feed back (umpan balik)
negatif.
Pada penelitian ini, pemberian ekstrak daun maja secara oral selama 6 dan 12
hari telah merubah lama fase siklus estrus tikus baik pada siklus ke-1 dan
diperpanjang pada siklus ke-2. Pemanjangan ini kemungkinan disebabkan terjadinya
hambatan pada organ reproduksi lain yakni hambatan proses perkembangan sel folikel
dalam ovarium. Folikel telur dalam ovarium nasibnya tergantung pada hormon
gonadotropin (FSH dan LH). LH mendorong perkembangan akhir masaknya sel
folikel dan mendorong perkembangan korpus luteum yang mensekresi progesteron.
Perubahan sekresi gonadotropin yang membawa dampak pada siklus ovarium
diperlihatkan dengan terjadinya pemanjangan setiap fase siklus estrus (proestrus,
estrus, metestrus dan diestrus) tikus perlakuan. Pemanjangan lama siklus estrus ini
disebabkan karena mekanisme kerja zat steroid yang terkandung dalam ekstrak daun
maja yakni β-sitosterol dan stigmasterol yang menyebabkan terhambatnya fase
folikuler. Terhambatnya fase folikuler ini ditandai dengan memanjangnya fase
proestrus dan fase estrus. Selain itu juga menyebabkan terhambatnya fase luteal
ovarium sehingga mengacaukan luteolisis ovarium yang ditandai dengan
memendeknya fase diestrus. Hal ini berarti siklus yang satu menjadi indikasi siklus
yang lain, sehingga jika terjadi perubahan pada satu siklus (yakni siklus ovarium),
maka akan tergambar pada siklus yang lain (siklus vagina).
kebuntingan dapat ditelaah dari : berat ovarium, jumlah folikel, jumlah corpus luteum,
laju ovulasi. Berat ovarium mengindikasikan perkembangan folikuler dan luteolisis
ovarium, jumlah folikel menunjukkan banyaknya ovum yang dihasilkan, jumlah
corpus luteum menunjukkan terjadi tidaknya ovulasi serta laju ovulasi
menggambarkan keberhasilan ovum yang diovulasikan.
Berat Ovarium, Jumlah Folikel, Jumlah Corpus Luteum, dan Laju Ovulasi
Rataan berat ovarium, jumlah folikel, jumlah corpus luteum serta laju ovulasi
tikus pasca pencekokan ekstrak daun maja menunjukkan penurunan pada keseluruhan
parameter tersebut bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Rataan tersebut disajikan
pada Tabel 7. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa jumlah corpus luteum, dan laju
ovulasi pada tikus yang diberikan ekstrak daun maja selama 12 hari berbeda nyata
dengan kontrol..
Tabel 7 : Rataan berat ovarium tikus (mgr), jumlah folikel (buah), corpus luteum
(buah), dan laju ovulasi (%) pasca pemberian ekstrak daun maja
Kelompok Perlakuan
Parameter
Kontrol A1B1 A2B1 A1B2 A2B2
Berat ovarium 12.0 ± 4.5 9.6 ± 3.7 9.0 ± 1.7 6.0 ± 1.0 4.6 ± 1.5
Jumlah Folikel 15.0 ± 3.0 12.3 ± 1.5 12.0 ± 1.7 10.6 ± 2.0 9.3 ± 1.5
Jumlah CL 12.6a ± 3.7 8.6ab ± 2.0 5.6b ± 3.0 3.6b ± 4.7 3.3b ± 2.0
Laju ovulasi 83.3a ±10.5 69.7ab ± 7.3 45.6 ± 20.5 44.3 bc± 24.5 33.8c ± 18.4
bc
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun maja tidak
berpengaruh terhadap berat ovarium dan jumlah folikel tikus perlakuan (P>0.05)
(Lampiran 8 & 9), namun demikian terjadi penurunan berat ovarium dan jumlah
folikel tikus perlakuan. Bila dibandingkan dengan kontrol, penurunan berat ovarium
sebesar 20% terjadi pada kelompok A1B1, 25% pada kelompok A2B1, 50% pada
kelompok A1B2 dan 62% pada A2B2. Pengurangan berat ovarium disebabkan karena
terjadi penurunan jumlah folikel dan corpus luteum. Jumlah folikel ovarium ini terjadi
penurunan sebesar 20% pada kelompok A1B1 & A2B1, 33% pada A1B2, bahkan
mencapai 40% pada kelompok A2B2, dan penurunan jumlah korpus luteum sebesar
43
38% terjadi pada kelompok A1B1, 54% pada A2B1, 69% pada A1B2 dan 77% pada
A2B2.
Pada penelitian ini masuknya steroid yang terkandung pada ekstrak daun maja
menyebabkan berkurangnya berat ovarium sehingga mempengaruhi fungsi ovarium.
Menurut Nalbandov (1990), ovarium yang lebih fungsional sedikit lebih berat dan
struktur di dalamnya lebih besar. Berat ovarium yang berkurang disebabkan karena
penurunan jumlah folikel. Jumlah folikel yang berkurang disebabkan karena naiknya
estrogen dalam darah sebagai akibat penekanan kadar FSH. Penekanan kadar FSH
menyebabkan terhambatnya perkembangan folikel. Hambatan ini ditunjukkan oleh
jumlah folikel yang menurun pada 4 kelompok perlakuan. Menurut Partodihardjo
(1980), berat ovarium tikus berhubungan erat dengan perkembangan folikel. Pada
tikus, berat ovarium akan meningkat bila dalam ovarium tersebut banyak folikel yang
mengalami ovulasi (Rugs 1968). Demikian juga Zambrana (1971) mengemukakan
bahwa berat ovarium akan mengalami penurunan apabila terjadi penekanan jumlah
folikel. Pendapat yang sama menurut Farnsworth et al. (1975) dan Cheeke (1989)
menyatakan bahwa tumbuhan yang mengandung steroid umumnya bersifat estrogenik
sehingga mempengaruhi perkembangan folikel. Hal ini berkaitan dengan efek yang
ditimbulkan dari masuknya fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung
pada ekstrak daun maja ini menyebabkan kadar estrogen dalam darah meningkat.
Peningkatan estrogen ini dapat menghambat perkembangan folikel melalui penekanan
kadar FSH melalui umpan balik negatif. Penekanan kadar FSH ini berakibat gangguan
terhadap perkembangan folikel yang ditunjukkan oleh penurunan jumlah folikel
ovarium yang matang. Hal ini berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari masuknya
fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung pada ekstrak daun maja yang
dapat menghambat perkembangan folikel melalui penekanan kadar FSH. Penekanan
kadar FSH ini berakibat berkurangnya jumlah folikel maupun corpus luteum ovarium.
Analisa uji statistik terhadap jumlah corpus luteum, menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun maja berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah
corpus luteum tikus perlakuan (P<0.05)(Lampiran 10). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa 3 kelompok tikus perlakuan yaitu A2B1, A1B2, dan A2B2
44
berbeda nyata dengan kontrol, namun kelompok A1B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol (Tabel 6).
Penurunan jumlah corpus luteum ini disebabkan karena masuknya zat
antifertilitas β-sitosterol, stigmasterol, dan glikosida triterpen mempunyai kemampuan
membentuk kompleks dengan kolesterol yang mengakibatkan perubahan pada
permeabilitas membran dan menekan transport asam amino ke dalam sel. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hambatan sintesis RNA. Terjadinya hambatan sintesis RNA
mengakibatkan terjadinya hambatan mitosis. Terjadinya hambatan mitosis berlanjut
dengan terhambatnya proliferasi dan differensiasi folikel sehingga sel telur tidak dapat
melanjutkan meiosisnya. Proses meiosis 1, sel telur terjadi menjelang ovulasi, dan
proses meiosis 2 selesai setelah terjadi fertilisasi. Gangguan terhadap proses ini akan
langsung mengakibatkan gagalnya pemasakan sel telur yang akhirnya mengakibatkan
tidak terjadinya ovulasi. Tidak terjadinya ovulasi tentu tidak terbentuk corpus luteum.
Pada penelitian ini, berkurangnya jumlah corpus luteum ini sejalan dengan
berkurangnya jumlah folikel kelompok tikus perlakuan (Gambar 21).
Terjadinya penurunan laju ovulasi ini disebabkan karena peningkatan dosis dan
waktu pemberian ekstrak daun maja pada perlakuan. Penurunan laju ovulasi selaras
dengan peningkatan dosis pencekokan (Kanokporn et al. 2006). Hal ini sesuai dengan
pendapat Meffin (1980) mengenai respon obat terhadap organisme. Respon pemberian
obat pada tubuh organisme merupakan suatu kurva sinusoid dimana peningkatan dosis
akan mengakibatkan peningkatan respon dari organisme (Gambar 22). Penurunan laju
ovulasi ini sangat efektif untuk mengurangi tingkat kesuburan hewan coba. Tingkat
kesuburan dapat dilihat dari laju ovulasi yang terjadi pada hewan betina. Dengan
demikian pemberian ekstrak daun maja sangat efektif dipergunakan sebagai
kontrasepsi alami.
protein (asam nukleat). Hal ini akan mempengaruhi diferensiasi perkembangan sel
folikel dan berakibat menghambat masaknya sel folikel. Terhambatnya pemasakan
folikel ovarium menyebabkan tidak terjadinya ovulasi bahkan berkurangnya jumlah
corpus luteum yang mengakibatkan penurunan berat ovarium.
Awal kebuntingan
(hari ke-) 2.0a ± 1.0 3.0ab ± 2.0 7.6b ± 4.5 6.6ab ± 4.0 n.a
Jumlah anak 9.0a ± 1.5 7.0ab ±1.5 5.0ab ± 2.0 4.0b ± 3.7 n.a
Keberhasilan
kebuntingan (%) 75.0ab± 9.5 84.3bc ±3.0 62.6b±21.9 92.3c ± 13.2 n.a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata ( P<0.05)
Keterangan : n.a = tidak dapat diukur
ditemukan pada kelompok tikus A1B1 yakni hari ke-3, dan kebuntingan terlambat
terjadi pada kelompok tikus A1B2 yaitu hari ke-7. Bahkan pada kelompok tikus
A2B2 tidak mengalami kebuntingan hingga hari ke-30. Hal ini berarti bahwa
penghentian pemberian ekstrak daun maja dapat mengembalikan kinerja reproduksi
menjadi normal kembali meskipun belum optimal pemulihannya, kecuali pada
kelompok dosis tinggi dan lama pemberian 12 hari.
Lebih lanjut berdasarkan hasil analisis uji ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian ekstrak daun maja berpengaruh signifikan terhadap pengurangan
jumlah anak kelompok tikus perlakuan (P<0.05) (lampiran 13). Parameter jumlah anak
terlihat bahwa kelompok tikus perlakuan memiliki jumlah anak lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rataan jumlah anak terbanyak ditemukan
pada kelompok perlakuan A1B1 (7.3 ekor), dan jumlah paling sedikit ditemukan pada
kelompok A2B2 tidak terjadi kebuntingan hingga hari ke-30. Pada gambar yang sama
terlihat pengurangan jumlah anak sangat bermakna. Hal ini sejalan dengan penurunan
jumlah corpus luteum akan diikuti oleh penurunan jumlah anak. Penurunan jumlah
anak ini disebabkan masuknya zat antifertilitas ekstrak daun maja (β-sitosterol dan
stigmasterol bersifat abortiv dan interseptif) menyebabkan kegagalan implantasi
embrio pada endometrium sehingga menyebabkan jumlah anak menjadi lebih rendah.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan A1B2 dan A2B2 berbeda
nyata dengan kelompok kontrol, namun A1B1 dan A2B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Hal ini menunjukkan semakin tinggi dosis dan waktu pemberian ekstrak
daun maja, menyebabkan pengurangan jumlah anak semakin besar.
Jumlah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara tikus perlakuan
dengan tikus jantan normal dewasa sangat tergantung pada berhasil tidaknya proses
fertilisasi dan implantasi embrio pada endometrium tikus (Hafez 2000). Hal ini
tampak bahwa pemberian ekstrak maja secara oral dapat menyebabkan berkurangnya
jumlah anak (P < 0.05). Penurunan jumlah anak ini selaras dengan pengurangan
jumlah corpus luteum, karena jumlah corpus luteum sama dengan jumlah anak, dan
jumlah corpus luteum merupakan petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah
menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan (Guyton
1998).
48
stigmasterol yang diberikan selama periode tertentu dan dihentikan selama periode
yang sama tidak mempengaruhi kinerja organ reproduksi tikus secara berkepanjangan.
Hal ini terbukti pada kelompok perlakuan A1B1, A1B2, dan A2B1 yang mengalami
kebuntingan meskipun tidak secepat kelompok tikus kontrol. Namun pemberian
ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB/hari selama 12 hari berpengaruh lebih lama
terhadap keberhasilan kebuntingan seperti kelompok tikus A2B2 (perlakuan ekstrak
daun maja dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari yang dihentikan perlakuannya selama 12
hari), tidak terjadi kebuntingan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun maja yang
diberikan dengan dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari, sangat berpengaruh terhadap
kinerja reproduksi tikus lebih lama. Berdasarkan perolehan data tersebut, perlakuan
ekstrak daun maja selama periode tertentu dan dilanjutkan dengan penghentian
perlakuan selama periode yang sama dapat mengembalikan tingkat kesuburan tikus
yang ditandai dengan terjadinya kebuntingan pada 3 kelompok tikus perlakuan yaitu
A1B1, A1B2, serta A2B1. Namun pada kelompok tikus A2B2 berdampak lebih lama
terhadap ketidaksuburan kinerja reproduksi tikus yang ditandai dengan tidak terjadi
kebuntingan hingga waktu yang lama.
Cepat lambatnya pemulihan siklus reproduksi ini tergantung pada besarnya
dosis maupun lama pemberian ekstrak. Hal ini sesuai dengan pendapat Meffin (1980)
mengenai respon obat dalam tubuh organisme. Hal ini terbukti bahwa semakin tinggi
dosis dan lama pemberian ekstrak daun maja semakin lambat awal kebuntingan. Pada
tikus kelompok perlakuan A1B1 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 6 hari) lebih
cepat bunting dibandingkan kelompok perlakuan lain. Bahkan terbukti pada kelompok
perlakuan A2B2 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari) berpengaruh lebih
panjang terhadap pemulihan kinerja reproduksinya. Dosis ekstrak sebanyak 2 gr/kg
BB selama 12 hari pada kelompok tikus A2B2 ini sudah memperlihatkan gejala
berkepanjangan yang ditandai dengan kegagalan kebuntingan hingga waktu yang
lama (bahkan mencapai hari ke-30 tidak terjadi kebuntingan). Hal ini dapat dikatakan
bahwa pemberian ekstrak daun maja dengan dosis 2 gr/kg BB/hari selama 12 hari
menunjukkan dosis di atas optimal sehingga pengaruhnya terhadap kinerja reproduksi
menjadi berkepanjangan yang ditandai dengan tidak terjadi kebuntingan. Hal ini
50
didukung oleh Lu (1992) yang menyatakan bahwa zat yang bersifat toksik maupun
teratogen dapat menyebabkan kematian embrio.
Persentase keberhasilan kebuntingan ini diperoleh dari jumlah anak
dibandingkan jumlah corpus luteum dikalikan 100 %. Jumlah corpus luteum ini
didapat dari perolehan jumlah corpus luteum pada kelompok penelitian pertama.
Sedangkan jumlah anak diperoleh dari kelompok penelitian kedua Hal ini diasumsikan
bahwa kelompok pelaksanaan penelitian pertama dan kedua dianggap homogen.
Mekanisme pemulihan kinerja reproduksi dapat dilihat dari kinerja reproduksi tikus
pasca penghentian pencekokan ekstrak daun maja yang ditandai dengan keberhasilan
kebuntingan. Menurut Nalbandov (1990) keberhasilan kebuntingan hewan politokus
mendekati 100 %. Hal ini terbukti pada kelompok A1B1 dan A2B1 memiliki
persentase kebuntingan mendekati 100 % yakni 84.3 dan 92.3 %. Sedangkan 2
kelompok perlakuan lain yaitu A1B2 dan A2B2 (perlakuan dengan waktu pemberian
12 hari) memiliki persentase keberhasilan kebuntingan yang sangat berbeda dengan
kelompok kontrol.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak
maja dengan dosis 1 dan 2 gr/kg BB pada tikus betina selama 6 dan 12 hari sangat
berpengaruh terhadap fertilitas tikus betina yakni dapat menurunkan kinerja
reproduksi tikus betina dalam hal : 1). Mengakibatkan perpanjangan lama fase siklus
estrus tikus pada ketiga fasenya (proestrus, estrus dan metestrus) serta memperpendek
fase diestrus tikus perlakuan. 2). Menurunkan berat ovarium, mengurangi jumlah
folikel dan korpus luteum yang berakibat penurunan laju ovulasinya. 3). Menurunkan
jumlah anak yang lahir. Dari ketiga kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa
fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung pada ekstrak daun maja
bersifat kontraseptif yakni mencegah ovulasi sehingga fertilisasi tikus betina tidak
terjadi.
Sedangkan penghentian pemberian ekstrak daun maja tidak memberikan
pengaruh lebih lama terhadap kinerja reproduksi serta dapat mengembalikan kinerja
sistem reproduksi menjadi normal kembali. Dari perlakuan yang diberikan, pemberian
ekstrak daun maja dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari (A2B2) berpengaruh baik
untuk diterapkan dalam kontrasepsi.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap :
1. Kadar hormon FSH, LH, estrogen efektif yang dapat menyebabkan
antifertilitas pada tikus betina dan penelitian terhadap hewan mamalia yang
lebih tinggi
2. Kemungkinan efek toksisitas dan teratogen ekstrak daun maja pada hati
dan ginjal hewan coba.
3. Banyaknya dosis dan waktu pemberian ekstrak daun maja, sehingga
pengaruh masing-masing dan interaksi kedua variabel penelitian lebih
nyata terhadap fertilitas hewan coba.
51
DAFTAR PUSTAKA
Baker DEJ. 1979. Reproduction and Breeding dalam The Laboratory Rat.
Academic Press. Inc.
Bullock, Hans J, Hedrick, Gillian R. 2004. The Laboratory Mouse. New York.
Academic Press.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi 3. Edisi ke-5. Jakarta. Erlangga.
Clayden EC. 1971. Practical Section, Cutting, and Staining. Churchill livingstone
Edinburg.
Corner EJH. Watanabe. 1969. Illustrated Guide to Tropical Plants. Tokyo. Hirokawa
Publishing Company Inc.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Universitas Gajah Mada Pres.
Ed ke-4. Yogyakarta.
Farnsworth NR, Bingel AS, Cordel. 1975. Potensial Value of Plant as Sources of
New Antifertility Agents. J. Pharmac. Sci. Vol 63 : 4-10.
Farnsworth NR, Bingel AS, Cordel, Deng S, Wang Y, Chen SN. 1978. Objective to
study the Potential Antifertility Effect of the Aqueous Aegle marmelos a
potential agen for treating small cell. J. Pharmac Sci. Vol 64 : 535-548.
52
53
Fox JG. 2007. The Mouse in Biomedical Research. Ed ke-2. New York. Academic
Press.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Hafez ESE. 1993. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals.
Philadelphia
Hasrah. 1994. Pengaruh Infus Daun Maja ( Aegle marmelos Corr) terhadap Fertilitas
Mencit Betina. Makasar. JF MIPA Universitas Hasanuddin.
Jain A, Katewa SS, Chaudhary BL, and Galav P. 2004. Folk Herbal Medicines Used
Birth Control and Sexual Disease by Tribal of Southern Rajastthan, Journal of
Ethnopharmacology . Vol 90 : 171-177.
Johnsons and Everith. 1988. Essential Reproduction. Oxford. Black well Scient
Publication.
54
Karaca T, Uslu MY. 2007. Distribution and Quantitativ Pattern of Mass Cell in Ovary
and Uterus of Rat. Arc. Med. Vet. Vol. 39 : 135-139.
Kumar Das U, Maiti R, Jana D, Ghosh D. 2006. Effect of Aqueous Extract of Leaf of
Aegle marmelos on Testicular Activi ties in Rats. J Pharmacology
Therapeutics Vol. 5 : 21-25.
Lay Cock JF. 1982. Hormones of the Menstrual Cycle dalam Pathology of The
Female Genetal Track. New York. Springer Vorly.
Lu FC. 1992. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Terj. Edi Nugroho. Jakarta. UI Press.
Martin CR. 1985. Endocrine Physiology. New York. Oxford. University Press. Inc.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan MINITAB. Ed ke-3 Bogor. IPB Press.
Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Ed ke-3. Terj.
Jakarta.Universitas Indonesia Press.
Nelson OE. 1983. Comparative Embriology of The Vertebrates. New York. The
Blakiston Co.Inc.
Richards JS. 1980. Maturation of Ovarian Follicel : Action and Interaction of Pituitary
and Ovarian Hormone and Follicular Cell Differentiation. Physiol.
Reproduction. 90 : 55-89.
Ross GT. and Schreiber JR. 1991. The Ovary dalam Yen SSC Jaffe RB. Reproductive
Endocrinology Ed. ke-3. Philadelphia. Saunders Company.
Rugs R. 1968. The Mouse its Reproduction and Development. USA. Burges
Publishing Co. Inc.
Sartono ML. 1994. dalam Syahrum MH. Reproduksi dan Embriologi. Jakarta.
Fakultas Kedkteran Universitas Indonesia.
Singh Z and Malik AW. 2000. The Bael. West Australian Nut and Tree Crops
Association Year Book Vol. 24 : 12-17.
Steel RGD, Torry HJ. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Suherman SK. 2007. Estrogen, Anti estrogen, Progestin dan Kontrasepsi Oral dalam
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fak Kedokteran Universitas Indonesia.
Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi & Histokimia). Jakarta. Bhratara
Karya Aksara.
Sur TK, Pandit S, Pramonik T, and Bhattacharyya D. 2002. Effect of Aegle marmelos
Leaf on Rat Sperm Motility : an in Vitro study. Indian Journal of
Pharmacology: Vol 34 : 276-277.
Tadjudin MK. 1984. Cara Keluarga Berencana dalam Perkawinan. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Univ. Indonesia.
UFAW. 1976. The UFAW Handbook on The Care and Management of Laboratorium
Animals. Fifth ed. Edinburg Churchil Livingstone.
Zambrana AM, Gilbert S. Greenwald. 1971. Effect of Fetal, Ovarian. And Placental
Weight of Various Number of Fetuses in The Rat. Biology of Reproduction.
Vol. 4 : 216-223.
Lampiran 1 : Hasil uji fitokimia ekstrak daun maja
57
58
Lampiran 2 :
Tabel 1e. Rataan fase siklus estrus kedua pasca pemberian ekstrak daun maja dosis 2gr/kg BB/hari
selama 12 hari
60
Lampiran 3a :
HASIL ANALISA STATISTIK LAMA SIKLUS (PSSE) SIKLUS
KE-1
Descriptives
L.SIKL.1
L.SIKL.1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
5.600 4 10 .012
ANOVA
L.SIKL.1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2525.449 4 631.362 94704.350 .000
Within Groups .067 10 .007
Total 2525.516 14
L.SIKL.1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 96.0000
A1B1 3 111.9667
A1B2 3 111.9667
A2B1 3 119.9333
A2B2 3 135.9333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
61
Lampiran 3b :
HASIL ANALISA STATISTIK LAMA SIKLUS (PSSE) SIKLUS KE-2
Descriptives
L.SIKL.2
L.SIKL.2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.182 4 10 .145
ANOVA
L.SIKL.2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4992.004 4 1248.001 170182.0 .000
Within Groups .073 10 .007
Total 4992.077 14
L.SIKL.2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 95.9667
A1B1 3 127.9333
A1B2 3 127.9333
A2B1 3 135.9667
A2B2 3 151.9667
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
62
Lampiran 4a :
PROESTRUS1
PROESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034
ANOVA
PROESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 554.667 4 138.667 8.125 .003
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 725.333 14
PROESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
KONTROL 3 16.00
A1B2 3 26.67
A2B1 3 26.67
A1B1 3 29.33
A2B2 3 34.67
Sig. 1.000 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
63
Lampiran 5a
HASIL ANALISA STATISTIK FASE ESTRUS SIKLUS 1
Descriptives
ESTRUS1
ESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.800 4 10 .001
ANOVA
ESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 870.400 4 217.600 10.200 .001
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 1083.733 14
ESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.0000
A1B1 3 21.3333
A2B1 3 24.0000 24.0000
A1B2 3 32.0000 32.0000
A2B2 3 37.3333
Sig. .070 .060 .188
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
64
Lampiran 6a :
METESTRUS1
METESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034
ANOVA
METESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 785.067 4 196.267 11.500 .001
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 955.733 14
METESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.0000
A1B1 3 21.3333 21.3333
A2B1 3 21.3333 21.3333
A1B2 3 26.6667
A2B2 3 37.3333
Sig. .162 .162 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
65
Lampiran 7a :
HASIL ANALISA STATISTIK FASE DIESTRUS SIKLUS KE-1
Descriptives
DIESTRUS1
DIESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.800 4 10 .001
ANOVA
DIESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 742.400 4 185.600 8.700 .003
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 955.733 14
DIESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 26.6667
A1B2 3 34.6667 34.6667
A1B1 3 40.0000 40.0000
A2B1 3 40.0000 40.0000
KONTROL 3 48.0000
Sig. .060 .207 .070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
66
Lampiran 4b :
Proestrus2
Proestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.000 4 10 .001
ANOVA
Proestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 964.267 4 241.067 28.250 .000
Within Groups 85.333 10 8.533
Total 1049.600 14
Proestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.00
A1B1 3 29.33
A1B2 3 32.00
A2B1 3 34.67
A2B2 3 40.00
Sig. 1.000 .058 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
67
Lampiran 5b :
Estrus2
Estrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.000 4 10 1.000
ANOVA
Estrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1254.400 4 313.600 14.700 .000
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 1467.733 14
Estrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 18.6667
A1B1 3 26.6667 26.6667
A2B1 3 29.3333 29.3333
A1B2 3 37.3333 37.3333
A2B2 3 45.3333
Sig. .060 .496 .060 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
68
Lampiran 6b
HASIL ANALISA STATISTIK FASE METESTRUS SIKLUS KE-2
Descriptives
Metestrus2
Metestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034
ANOVA
Metestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 571.733 4 142.933 8.375 .003
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 742.400 14
Metestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
KONTROL 3 16.0000
A1B2 3 26.6667
A1B1 3 29.3333
A2B1 3 29.3333
A2B2 3 34.6667
Sig. 1.000 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
69
Lampiran 7b :
Diestrus2
Diestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.933 4 10 .076
ANOVA
Diestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 366.933 4 91.733 2.389 .120
Within Groups 384.000 10 38.400
Total 750.933 14
Diestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 32.0000
A2B1 3 34.6667 34.6667
A1B2 3 40.0000 40.0000
A1B1 3 42.6667 42.6667
KONTROL 3 45.3333
Sig. .078 .078
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
70
Lampiran 8 :
HASIL ANALISA STATISTIK BERAT OVARIUM
Descriptives
OVARIUM
OVARIUM
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.822 4 10 .083
ANOVA
OVARIUM
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 103.600 4 25.900 3.108 .066
Within Groups 83.333 10 8.333
Total 186.933 14
OVARIUM
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 4.6667
A1B2 3 6.0000
A2B1 3 9.0000 9.0000
A1B1 3 9.6667 9.6667
KONTROL 3 12.0000
Sig. .076 .252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
71
Lampiran 9 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH FOLIKEL TIKUS
Descriptives
FOLIKEL
FOLIKEL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.415 4 10 .794
ANOVA
FOLIKEL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 53.733 4 13.433 3.198 .062
Within Groups 42.000 10 4.200
Total 95.733 14
FOLIKEL
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 9.3333
A1B2 3 10.6667
A2B1 3 12.0000 12.0000
A1B1 3 12.3333 12.3333
KONTROL 3 15.0000
Sig. .125 .117
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
72
Lampiran 10 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH CORPUS LUTEUM TIKUS
Descriptives
CL
CL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.330 4 10 .324
ANOVA
CL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 183.067 4 45.767 4.186 .030
Within Groups 109.333 10 10.933
Total 292.400 14
CL
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 3.3333
A1B2 3 3.6667
A2B1 3 5.6667
A1B1 3 8.6667 8.6667
KONTROL 3 12.6667
Sig. .095 .169
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
73
Lampiran 11 :
HASIL ANALISA STATISTIK LAJU OVULASI
Descriptives
L.OVULASI
L.OVULASI
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.142 4 10 .392
ANOVA
L.OVULASI
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4998.400 4 1249.600 4.081 .032
Within Groups 3061.833 10 306.183
Total 8060.233 14
L.OVULASI
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 33.8333
A1B2 3 44.3333 44.3333
A2B1 3 45.6667 45.6667
A1B1 3 69.6667 69.6667
KONTROL 3 83.3333
Sig. .448 .121 .361
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
74
Lampiran 12 :
HASIL ANALISA STATISTIK AWAL KEBUNTINGAN TIKUS
Descriptives
AW.BUNTING
AW.BUNTING
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.472 4 10 .112
ANOVA
AW.BUNTING
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1588.400 4 397.100 47.652 .000
Within Groups 83.333 10 8.333
Total 1671.733 14
AW.BUNTING
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 2.0000
A1B1 3 3.0000 3.0000
A2B1 3 6.6667 6.6667
A1B2 3 7.6667
A2B2 3 30.0000
Sig. .088 .088 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
75
Lampiran 13 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH ANAK LAHIR
Descriptives
ANAK
ANAK
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.910 4 10 .037
ANOVA
ANAK
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 152.933 4 38.233 8.312 .003
Within Groups 46.000 10 4.600
Total 198.933 14
ANAK
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 .0000
A1B2 3 3.6667 3.6667
A2B1 3 5.0000
A1B1 3 7.3333 7.3333
KONTROL 3 9.3333
Sig. .063 .073 .280
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
76
Lampiran 14 :
HASIL ANALISA STATISTIK KEBERHASILAN KEBUNTINGAN (%)
TIKUS
Descriptives
KEBUNTINGAN
KEBUNTINGAN
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
7.891 4 10 .004
ANOVA
KEBUNTINGAN
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 16285.733 4 4071.433 26.856 .000
Within Groups 1516.000 10 151.600
Total 17801.733 14
KEBUNTINGAN
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 .0000
A1B2 3 62.6667
KONTROL 3 75.0000 75.0000
A1B1 3 84.3333 84.3333
A2B1 3 92.3333
Sig. 1.000 .066 .130
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.