Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

ANALISIS WACANA KRITIS FEODALISME DAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL GADIS PANTAI


KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Maria Endah Perwitasari


Public Relations Hotel Puri Artha
Jl Cendrawasih No 36 Demangan Baru Yogyakarta
e-mail: me.perwitasari@yahoo.com
Retno Hendariningrum
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 2 Tambahbayan Yogyakarta
e-mail: retno_hendari@yahoo.com

Abstract
As a literature in the form of novel, Gadis Pantai actually has a hidden meaning which
Pramoedya wants to present as the author. The mistress practice is not only presented as a kind
of discriminative behavior toward Javanese women, but also has a correlation with Pramoedya
social background and ideology. This research methodology employed in this research is Sara
Mills’ Critical Discourse Analysis model which focuses on feminism discourse. The nature of
study using this model tends on political text writing related to author’s ideology and the exten-
sive meaning that Gadis Pantai novel comprehensively expects to bring about. The results of
this study show that Pramoedya Ananta Toer tends to explore injustice experienced by Javanese
women represented by Gadis Pantai to criticize feudalism practices in Java. By presenting the
injustice experienced by Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer actually wants to awaken read-
ers’ awareness and empathy towards what happened to Gadis Pantai. He also invites readers to
fight injustice practices in all aspects, especially those which relate to Javanese culture which
still employs social classes in its society, and places a woman as a secondary being after a man
and as a suppressed one. Pramoedya employs a novel as media in transferring his thoughts and
ideology to change social construction in Javanese society which has been inherited from gen-
eration to generation.

Key words : feodalism, ideology, javanese women

Pendahuluan masyarakat dihadirkan dalam bentuk teks oleh


Karya sastra adalah media penyampaian seorang pengarang atau sastrawan, yang kemudian
gagasan-gagasan seorang pengarang kepada dimodifikasi sehingga terkadang keluar dari realitas
khalayak pembacanya. Fokus utama karya sastra yang sesungguhnya. Novel sebagai salah satu jenis
ialah pada isi sekaligus bahasa yang disusun karya sastra, jika ditinjau dari kacamata ilmu
sedemikian rupa sehingga menciptakan suatu komunikasi merupakan bentuk implementasi dari
keindahan. Sebuah karya sastra lebih banyak komunikasi itu sendiri. Seperti definisi komunikasi
mengangkat fenomena sosial di masyarakat yang yang diungkapkan oleh Laswell (dalam Wiryanto,
mengandung berbagai macam pemasalahan. 2004:7) Who Says What In Which Channel To
Realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan Whom With What Effect? (Siapa mengatakan

212 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek Gadis Pantai dan Feodalisme
bagaimana?). Diceritakan di dalam novel mengenai
Salah seorang sastrawan besar Indonesia, beberapa hal yang saling berkaitan, yaitu pada era
Pramoedya Ananta Toer, telah banyak mencip- kolonialisme, Indonesia mengalami sebuah sistem
takan karya sastra yang mengangkat realitas sosial yang disebut feodalisme yaitu kekuasaan berada
di masyarakat yang berasal dari pengalaman di tangan para tuan tanah dan pemilik modal yang
pribadi maupun dari pengalaman orang-orang pada kemudian hari makin menguatkan sistem
yang berada di sekelilingnya. Sebuah karya ciptaan pengelompokan masyarakat patriarki yang telah
Pramoedya dalam bentuk teks yang berupa novel lama ada di Indonesia, karena muncul anggapan
dengan judul Gadis Pantai. Gadis Pantai dikisah- bahwa laki-laki memiliki kualitas kerja yang baik
kan oleh Pramoedya sebagai seorang perempuan dibanding perempuan. Budaya feodalisme telah
anak nelayan yang hidup di pesisir Laut Jawa di memberikan pengaruh pada karakteristik masya-
Karesidenan Rembang, Jawa Tengah. Kisahnya rakat Jawa khususnya para bangsawan dan pri-
berlatar belakang masa kolonialisme di Indonesia yayi, mereka merasa memiliki kekuatan dan ke-
pada akhir abad 19. Tema yang diangkat dalam kuasaan dominan terhadap kaum masyarakat
novel berkisar pada masalah feodalisme dan biasa, para priyayi ini mengikuti gaya hidup Eropa
pergundikan yang mengakibakan diskriminasi dan dalam busana, percakapan dengan bahasa Belan-
ketidakadilan terhadap perempuan. da, dan bahkan melakukan aktivitas pergundikan.
Novel Gadis Pantai adalah sebuah karya Novel ini juga tidak dapat dipisahkan dari adanya
sastra berbentuk novel roman yang mengisahkan konsep gender dan permasalahan kelas dalam
kehidupan pergundikan seorang priyayi Karesi- budaya masyarakat Jawa.
denan Rembang yang bekerja sebagai pegawai Novel Gadis Pantai adalah sebuah karya
Belanda yang beragama Islam dan sangat taat sastra berbentuk novel roman yang mengisahkan
beribadah. Priyayi itu disebut sebagai Bendoro kehidupan pergundikan seorang priyayi Karesi-
yang menikah dengan seorang perempuan dari denan Rembang yang bekerja sebagai pegawai
golongan rakyat biasa yang merupakan anak Belanda yang beragama Islam dan sangat taat
pasangan nelayan di Rembang, Jawa Tengah, yang beribadah. Priyayi itu disebut sebagai Bendoro
disebut Gadis Pantai. Gadis Pantai bukanlah nama yang menikah dengan seorang perempuan dari
yang sesungguhnya melainkan sebutan terhadap golongan rakyat biasa yang merupakan anak
tokoh perempuan belia yang tinggal di pesisir pasangan nelayan di Rembang, Jawa Tengah, yang
pantai. Sedangkan Bendoro adalah sebutan bagi disebut Gadis Pantai. Pramoedya Ananta Toer
kaum priyayi dan bukan nama, melainkan gelar dalam menyusun kisah Gadis Pantai tidak
kepriyayian. menyebutkan sama sekali siapa nama asli para to-
Novel ini sebelumnya pernah diterbitkan kohnya, melainkan hanya menyebutkan sebutan-
dalam bentuk cerita bersambung pada tahun sebutan sesuai status dalam golongan masya-
1962-1965 pada Surat Kabar Bintang Timur milik rakatnya. Seperti Gadis Pantai, dia seorang perem-
Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Kemudian puan muda yang masih gadis dan hidup dalam
menjadi pada tahun 1987 Gadis Pantai terbit lingkungan kampung nelayan di pesisir pantai.
pertama kali dalam bentuk buku, dan diterbitkan Bendoro, adalah seorang laki-laki yang berasal dari
ulang pada tahun 2003 dalam bentuk novel oleh kaum priyayi, dan masyarakat dari golongan di
Lentera Dipantara. Gadis Pantai menjadi tokoh bawahnya cukup memanggil Bendoro untuk
utama dalam pengisahan novel ini, menurut menghormati status priyayinya. Emak dan bapak
penuturan Pramoedya di awal buku ini kisah Ga- adalah panggilan Gadis Pantai pada orang tuanya,
dis Pantai sesungguhnya adalah kisah hidup bagi kalangan masyarakat priyayi panggilan pada
neneknya sendiri pada jaman kolonial abad 19. orang tua adalah ibu dan bapak. Sedangkan yang
Novel ini merupakan novel roman, meski di dimaksud dengan sahaya berarti hamba, berarti
dalamnya juga terdapat unsur historis mengenai pula para pengabdi, mereka tidak lain adalah para
kehidupan neneknya. bujang dan orang-orang yang berada di bawah

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 213

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

kekuasaan Bendoro. dan santri, serta golongan rakyat biasa yang beker-
Pernikahan antara Gadis Pantai dengan ja sebagai petani, nelayan, tukang, dan sebagainya.
Bendoro pada dasarnya merupakan pernikahan Adanya kelas masyarakat tersebut bera-
yang dilakukan secara terpaksa di satu sisi kedua kibat pula pada makin rendahnya peranan dan
orang tua Gadis Pantai berharap anaknya kedudukan perempuan di mata laki-laki, dan juga
terangkat harga dirinya, di sisi Gadis Pantai dirinya semakin kuatnya budaya patriarki yang ber-
masih muda belia dan masih ingin menikmati kembang di Indonesia. Perempuan-perempuan
kehidupan sebagai anak nelayan, di sisi lain Ben- Jawa banyak menjadi korban kekuasaan, karena
doro sedang berlatih membina rumah tangga banyaknya kaum-kaum priyayi baru yang bekerja
sehingga mau menikahi perempuan kampung pada Belanda, maka budaya para priyayi pun
hanya untuk latihan sebelum menikah secara sah. makin lama terbawa arus kemewahan Belanda.
Pernikahan Gadis Pantai dengan Bendoro di saat Pada abad 18 hingga 19, kedudukan perempuan
usianya masih belia ini memang membuat status khususnya yang berasal dari golongan rakyat biasa,
sosialnya meningkat, sehingga ia mendapat sebutan menjadi objek kekuasaan kaum laki-laki Belanda
dari para sahayanya Mas Nganten. Tokoh Ben- dan priyayi. Pada masa itu dikenal aktivitas per-
doro dikisahkan sebagai seorang priyayi Jawa yang gundikan yang menempatkan perempuan Jawa
sangat terhormat pada era abad 19 menjelang 20, terdominasi atas kelas dan gender.
seorang priyayi Islam, yang taat bersembahyang, Kaum priyayi yang dimaksud ialah kaum
dan bekerja pada Belanda. Hal ini ditampilkan oleh priyayi yang bekerja pada Belanda. Pada abad
Pramoedya Ananta Toer dengan berbagai itu, kaum priyayi yang bekerja pada Belanda di-
pengisahan kehidupan sehari-hari Bendoro se- kisahkan melakukan aktivitas pergundikan, yang
telah menikahi Gadis Pantai. memang pada masa abad 18 marak aktivitas
Secara umum permasalahan yang timbul pergundikan, yang awalnya dilakukan oleh kaum
berawal dari konsep masyarakat Jawa patriarki. pendatang termasuk Belanda. Sedangkan kaum
Menurut Murniati (2004:87) dalam sistem ini, laki- priyayi melakukan pergundikan apabila belum
laki yang berkuasa untuk menentukan. Sistem ini menemukan pasangan dari karat kebangsawanan
kerap dianggap wajar sebab disejajarkan dengan yang sama. Perempuan Jawa yang dijadikan
pembagian kerja berdasarkan seks. Ketika gundik, selain mengalami ketidakadilan gender
keadaan sosial masyarakat yang hidup sederhana dalam ranah budayanya sendiri juga mengalami
berubah menjadi masyarakat dengan sistem feo- ketidakadilan dan diskriminasi setelah berstatus
dal, maka semakin kuatlah budaya patriarki sebagai gundik.
tersebut. Bashin (dalam Sugihastuti, 2007: 93) Pesan dalam teks novel ini pada dasarnya
mendefinisikan patriarki sebagai sistem dominasi ditujukan untuk berkomunikasi dengan pembaca,
dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap bahwa Pramoedya secara tersurat hendak me-
perempuan, dalam mana perempuan dikuasai. nyampaikan ideologinya yang tidak menyukai
Sistem feodal di Jawa dengan kekuasaan sistem feodal dan mengakibatkan berbagai bentuk
kaum bangsawan dan pedagang atas rakyat biasa ketidakadilan karena kekuasaan yang dimiliki ka-
ini semakin berkembang hingga akhir abad 19. um priyayi Jawa. Ketidakadilan dalam novel beru-
Masyarakat Jawa digambarkan oleh Mochtar saha ditunjukkan dengan adanya bentuk-bentuk
Lubis (dalam Sofwan, 2001:15) sebagai masya- diskriminasi pada perempuan, dalam hal ini Gadis
rakat yang merupakan komunitas dengan corak Pantai.
sangat feodalistik sebagai akibat hegemoni Novel Gadis Pantai sangat unik, karena
kerajaan, kehidupan feodal tersebut merupakan pengarangnya sendiri berusaha menyebarkan
akumulasi dari percampuran budaya Hindu-Islam ideologinya dengan tata bahasa tulisan yang
dan Belanda. Masyarakat Jawa secara umum menarik, sehingga latar belakang pengarang dalam
kemudian terbagi menjadi tiga golongan penguasa menyampaikan pesannya agak terselubung.
yang terdiri dari para bangsawan atau priyayi, Pramoedya terlihat ingin menyampaikan pan-
golongan menengah atau kaum pedagang, kyai dangannya mengenai sisi negatif kehidupan kaum

214 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

priyayi, melalui penajaman bentuk ketidakadilan novel Gadis Pantai yang penulis temui melalui
yang diterima perempuan atas sikap kaum priyayi Group Lentera Kata Pramoedya dan Group
pada masa itu. Melalui novel ini pembaca seolah- Pramoedya Ananta Toer dalam situs jejaring sosial
olah diberi gambaran secara umum bahwa kehi- Facebook. Teknik wawancara yang dilakukan
dupan para kaum priyayi Jawa adalah demikian ialah teknik wawancara tak terstruktur, Dalam
buruk. Moleong (2001:190-191), wawancara tak ter-
struktur digunakan untuk menemukan informasi
Metode Penelitian yang bukan baku atau informasi tunggal. Wawan-
Penulis menggunakan metode analisis cara tak terstruktur memiliki irama yang bebas
wacana kritis untuk menemukan sesuatu yang dalam hal waktu bertanya dan cara merespons.
tersembunyi di balik kisah Gadis Pantai bukan Responden terdiri dari orang-orang yang terpilih
sekedar pada makna namun juga yang terkait karena sifat-sifatnya yang khas, dan biasanya
dengan ideologi pengarang. Menurut Eriyanto memiliki pengetahuan dan mendalami situasi dan
(2001:7) analisis wacana kritis lebih menekankan memilki informasi yang diperlukan penulis.
pada proses produksi dan reproduksi makna. Pertanyaan dalam wawancara disesuaikan dengan
Oleh karena itu, penulis berusaha merepresen- keadaan dan ciri unik dari responden. Hasil wa-
tasikan teks berdasarkan latar belakang tercip- wancara ini nantinya terkait dengan tingkatan ana-
tanya karya, dan apakah tujuan dari penyusunan lisis dalam kerangka analisis Model Sara Mills.
karya tersebut. Terlebih pada latar belakang se- Data ini diperoleh dengan cara memecah
jarah dan ideologi pengarangnya. teks dalam Novel Gadis Pantai menjadi teks-teks
Untuk mengungkapkan bentuk-bentuk kecil yang disebut sebagai korpus. Korpus tersebut
ketidakadilan peran yang diterima kaum perem- dapat berupa petilan dialog antar tokoh maupun
puan dalam teks yang terkandung pada Novel petilan ekspresi gerak tubuh dan mimik muka para
Gadis Pantai dengan menggunakan metode Ana- tokoh yang dideskripsikan Pramoedya. Selain itu
lisis Wacana Kritis yang menggunakan kerangka gambaran latar sosial dan suasana yang ditampil-
analisis Model Sara Mills. Penelitian ini tidak se- kan juga digunakan sebagai korpus. Korpus-
kedar melihat teknis penulisan pengarang, tetapi korpus ini menjadi narasumber utama penulis dalam
juga ideologi pengarang yang mendasari terciptanya menafsirkan dan menginterpretasikan teks,
teks tersebut. Pemikiran Sara Mills dikenal juga konteks, dan wacana yang ditampilkan dalam
dengan perspektif feminis, yang menjadi titik Novel Gadis Pantai. Dalam penelitian ini penulis
perhatian Sara Mills ialah bagaimana suatu teks mengandalkan kemampuan pribadi untuk meng-
bias dalam menampilkan perempuan. kaji keseluruhan data yang diperoleh, sehingga
Penulis menggunakan tiga sumber data, hasil penelitian ini bersifat subjektif.
yaitu: Pertama teks Gadis Pantai yang dapat be- Korpus yang dipilih sejumlah 31 dari
rupa penggalan dialog antar tokoh, ungkapan batin keseluruhan isi novel. Pemilihan korpus tersebut
para tokoh, maupun deskripsi pengarang yang didasarkan pada tiga topik utama yang penulis
berupa latar sosial, budaya, ekonomi, waktu, dan anggap telah mewakili bentuk-bentuk ketidak-
tempat. Kedua literatur-literatur yang berkaitan adilan dan diskriminasi yang dilakukan Bendoro
dengan konteks peristiwa di abad 18 hingga 19 sebagai kaum priyayi, juga beberapa tokoh pen-
terkait masalah pergundikan, juga terkait masalah dukung lainnya terhadap perempuan Jawa yang
peran dan fungsi perempuan dalam budaya Jawa. diwakili oleh Gadis Pantai. Ketiga topik tersebut
Selain itu literatur yang memuat pemikiran- ialah: Pertama Penggambaran perempuan secara
pemikiran pengarang novel. Hal ini disebabkan umum dalam budaya Jawa; Kedua Permasalahan
karena pengarang novel telah meninggal dunia pada pergundikan yang dilakukan kaum priyayi dan;
tahun 2006, sehingga untuk mengetahui latar Ketiga Bentuk dominasi dan diskriminasi atau
belakang sejarah pengarang hanya dapat diketahui ketidakadilan yang dilakukan oleh Bendoro
melalui buku dan artikel baik cetak maupun elek- terhadap Gadis Pantai.
tronik. Ketiga hasil wawancara dengan pembaca Untuk memperoleh konteks bagaimana

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 215

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

teks dibuat maka data mengenai sejarah pe- pembaca dan penulis dalam suatu teks. Pertama
nyusunan Novel Gadis Pantai dikumpulkan dengan Posisi Subjek-Objek Representasi menjadi hal
mengkaji buku-buku tentang Pramoedya Ananta terpenting dalam Model Sara Mills. Representasi
Toer, serta mengkaji buku-buku yang memuat berkaitan dengan bagaimana seseorang, sekelom-
sejarah Indonesia pada masa kolonial, terutama pok orang, gagasan, maupun peristiwa ditampil-
yang berkaitan dengan keadaan sosial di Kare- kan dalam suatu wacana tertentu dengan cara
sidenan Jepara, Rembang sebagai latar tempat tertentu sehingga mempengaruhi penerimaan
dalam novel Gadis Pantai. pembaca. Sara Mills menekankan pada penem-
Analisis data yang digunakan yaitu analisis patan aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa
wacana kritis model Sara Mills. Seperti telah di- dalam sebuah teks (Eriyanto, 2001:200). Posisi
singgung sebelumnya bahwa model ini ber- subjek-objek pada dasarnya menentukan ba-
perspektif feminis. Model ini digunakan untuk ngunan suatu teks, dimana ada pihak yang yang
menunjukkan penggambaran perempuan dalam berposisi sebagai subjek, yang mempunyai posisi
teks yang menempati posisi marjinal, serta tinggi untuk menampilkan peristiwa atau kelom-
bagaimana bentuk pemarjinalan diungkapkan pok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu
melalui teks. “Titik perhatian dari analisis wacana yang dibaca oleh para pembaca. Posisi subjek dan
adalah menujukkan bagaimana wanita digam- objek sesungguhnya memiliki porsi yang sama
barkan dan dimarjinalkan dalam teks berita, dan untuk mengungkapkan pendapatnya, namun pada
bagaimana bentuk dan pola pemarjinalan itu posisi subjek dapat menceritakan tentang dirinya
dilakukan. Ini tentu saja melibatkan strategi wa- sendiri. Sedangkan posisi objek kehadirannya
cana tertentu sehingga ketika ditampilkan dalam ditampilkan oleh aktor lain, sehingga cenderung
teks, wanita tergambar secara buruk.” (Eriyanto, tidak dapat menampilkan dirinya sendiri; Kedua
2001: 199). Posisi Penulis-Pembaca Menurut Sara Mills
Gagasan Sara Mills mengenai model (Eriyanto, 2001: 203) dalam suatu teks posisi
analisis wacana kritis terbagi dalam dua bagian pembaca sangatlah penting dan haruslah di-
utama, yakni bahwa model ini berusaha melihat perhitungkan dalam teks. Pembaca dianggap ikut
bagaimana posisi subjek dan objek penceritaan melakukan transaksi sebagaimana yang akan
ditampilkan dalam suatu teks, sehingga mem- terlihat dalam teks. Sara Mills menyadari bahwa
berikan pengaruh pada struktur teks. Selain itu teks ditujukan baik secara langsung maupun tidak
Sara Mills juga memusatkan perhatian pada posisi untuk berkomunikasi, antara penulis dan

216 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

pembacanya. Kehadiran pembaca sangat di- perempuan.


perhitungkan oleh seorang penulis teks, karena Teori Marxis menyatakan bahwa eks-
kehadiran para pembaca bisa digunakan untuk ploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gen-
menarik dukungan, menekankan, atau menarik der, selain itu pula Eisenstein berseberangan pen-
simpati dari pembaca, atau dapat juga untuk me- dapat dengan Frederick Engels (Faqih, 1996:91),
yakinkan. Dari posisi pembaca, Sara Mills lebih yang menyatakan bahwa dominasi terhadap kaum
memusatkan pada posisi pembaca dan perspek- perempuan timbul akibat private property atau
tif gender, dimana laki-laki dan perempuan mem- sistem kepemilikan tanah, atau boleh disebut
punyai persepsi yang berbeda ketika membaca sebagai feodalisme. Aliran Feminisme Radikal
suatu teks. yang merupakan bentuk reaksi terhadap doominasi
Model Sara Mills menggunakan kerangka perempuan berdasarkan jenis kelamin, artinya
analisis sebagai berikut: pembedaan gender muncul atas dasar perbedaan
Dari kerangka analisis tersebut ada dua hal biologis laki-laki dan perempuan, juga tidak lepas
utama yang perlu diperhatikan dalam analisis ini, dari kritik Eisenstein. Paham Marxis dan Radikal
yaitu: pertama, bagaimana aktor sosial dalam yang didukung Feminis Sosialis seperti Eisenstein
berita tersebut diposisikan dalam sebuah teks, ialah bahwa kapitalisme merupakan sumber
siapa pihak yang diposisikan sebagai penafsir penindasan perempuan, dan patriarki merupakan
dalam teks untuk memaknai peristiwa, dan apa sumber penindasan (http://id. wikipedia.org/wiki/
akibatnya; kedua, bagaimana pembaca dipo- Feminisme, diakses 25 Oktober 2009, 15:49).
sisikan dalam teks, dalam hal ini teks dimaknai Pada dasarnya teori ini melihat bahwa patriarki
sebagai hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap ada
Hasil analisis dengan Wacana Kritis Model pada era pasca kapitalisme. Eisenstein menggu-
Sara Mills yang diperoleh kemudian dianalisis nakan analisis kelas dan gender untuk memahami
dengan menggunakan Teori Kapitalis Patriarki. penindasan perempuan. Ketidakadilan yang di-
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Zillah alami perempuan bukan sebagai akibat perbeda-
Eisenstein. Zillah Eisenstein memodifikasi Teori an biologis laki-laki dan perempuan, melainkan
Marxis serta mengkritisi Feminisme Radikal. Teori karena adanya social construction (anggapan)
yang dikembangkan Zilah Eisenstein ini merupakan dan penilaian terhadap perbedaan gender tersebut.
turunan dari aliran Feminisme Sosialis. Menurut Konstruksi sosial masyarakat atas perbedaan gen-
Faqih (1996:90), aliran Feminisme Sosialis meno- der itulah yang mengakibatkan ketidakadilan. Oleh
lak visi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi sebab itu isu perjuangan kaum Feminis Sosialis
ekonomi sebagai dasar penindasan gender. dalam Teori Kapitalis Patriarki ialah memerangi
Aliran Feminisme Sosialis mulai dikenal konstruksi visi dan ideologi dalam masyarakat
pada era 1970-an, menurut penganut aliran ini, beserta struktur dan sistem yang tidak adil yang
penindasan terhadap perempuan terjadi di kelas dibangun atas bias gender (Faqih, 1996:93).
manapun. Aliran ini mengawinkan analisis patriarki
dengan analisis kelas, dengan demikian feminis Hasil Penelitian dan Pembahasan
aliran ini berusaha melakukan kritik terhadap Pramoedya membangun kesadaran
eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme secara pembaca. Dari hasil penelitian dengan menggu-
bersamaan dengan kritik ketidakadilan gender nakan Metode Analisis Wacana Kritis Model Sara
yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan Mills, ketiga puluh satu korpus yang dianalisis
marginalisasi atas kaum perempuan. Pandangan menggunakan dua tingkatan analisis, menunjukkan
Feminis Sosialis ini juga menggunakan fakta uni- bahwa: Posisi Subjek-Objek
versal subordinasi perempuan sebagai landasan Novel Gadis Pantai yang berlatar belakang
studi perbandingan dan praksis baru. Aliran Fe- kehidupan era kolonial pada akhir abad 19 di
minisme Sosialis ini kemudian memunculkan Karesidenan Jepara, Rembang cenderung
sebuah teori yang memasukkan unsur patriarki menonjolkan kesenjangan gender antara
dalam analisisnya atas ketidakadilan yang dialami perempuan dan laki-laki dalam kultur Jawa.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 217

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

Kesenjangan yang ditonjolkan dari Novel Gadis menunjukkan dirinya mengalami diskriminasi dari
Pantai ini menimbulkan bentuk-bentuk diskrimi- kaum priyayi dan gender. Alur cerita berada di
nasi yang mengarah pada perempuan yang menjadi tangan Gadis Pantai, bagaimana alur cerita berjalan
korban. Diskriminasi itu berdasarkan perspektif berada pada dominasi Gadis Pantai sebagai subjek
kelas sosial pada masyarakat Jawa, yaitu antara penceritaan. Posisi Gadis Pantai yang dominan
golongan priyayi yang diwakili oleh Bendoro dalam kisah tersebut secara tidak langsung telah
dengan latar belakang kehidupan kota yang sarat mengajak khalayak untuk bersimpati pada
kekuasaan, dengan golongan masyarakat bawah posisinya yang mengalami ketidakadilan dan
atau rakyat biasa yang direpresentasikan oleh diskriminasi.
Gadis Pantai yang berasal dari keluarga nelayan Pramoedya Ananta Toer memposisikan
miskin, dengan latar sosial masyarakat kampung Gadis Pantai sebagai pihak yang menderita, dan
nelayan di Karesidenan Jepara Rembang. seolah hal itu telah menjadi nasib yang harus dialami
Alur kisah Gadis Pantai diceritakan dalam perempuan golongan rendah dalam budaya Jawa.
perspektif Gadis Pantai, yang menempatkan- Budaya Jawa merepresentasikan perempuan
nya sebagai subjek, meskipun Gadis Pantai diki- sebagai pengabdi laki-laki. Laki-laki menempati
sahkan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi. posisi superior atas perempuan, sehingga pada
Posisi Gadis Pantai oleh Pramoedya diceritakan praktik dalam kehidupan, laki-laki memegang
memberikan kekuatan pada penonjolan bentuk- kekuasaan atas diri seorang perempuan. Perem-
bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang puan Jawa digambarkan tidak memiliki peran dan
diterima atas perlakuan Bendoro. Posisi Bendoro kehidupannya seolah-olah tergantung pada laki-
adalah sebagai objek penceritaan, karena hanya laki. Swarga nunut nraka katut menjadi ung-
sedikit porsi Bendoro untuk menunjukkan kapan bagi perempuan dalam kehidupan berumah
pribadinya. Sebagai objek penceritaan, Bendoro tangga. Artinya kebahagiaan atau penderitaan
dengan ciri kehidupan priyayinya dipersepsikan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki
seperti apa yang dialami Gadis Pantai melalui (Sofwan dan Sukri, 2001:7).Gadis Pantai menga-
segala perilaku, tata cara dan ucapan Bendoro lami pula hal tersebut.
terhadapnya, kedua orang tuanya, para bujang, Perspektif gender muncul karena dalam
dan orang-orang di kampungnya. budaya Jawa menganggap perempuan sebagai
Porsi pengisahan Gadis Pantai akan keti- makhluk nomor dua setelah laki-laki. Golongan
dakadilan yang dialami sebagai bagian dari masyarakat seperti kaum priyayi lebih banyak
golongan rakyat biasa lebih besar dan dominan, mempekerjakan perempuan untuk mengurus
sehingga Bendoro sebagai bagian dari golongan urusan rumah tangga (urusan domestik). Se-
priyayi dikisahkan secara minor. Gadis Pantai lebih dangkan laki-laki memiliki area aktivitas di luar
menunjukkan bagaimana budaya masyarakat Jawa area rumah tangga (urusan publik). Segala hal itu-
dengan pembagian kelas di dalamnya telah lah yang dialami Gadis Pantai dan disampaikan
mengakibatkan dirinya mengalami penderitaan. melalui posisi pengisahannya sebagai subjek
Gadis Pantai meski merupakan subjek penceritaan, penceritaan dalam novel.
tetapi justru sebagai pihak yang digambarkan Bendoro diposisikan sebagai pihak yang
sebagai kaum lemah akibat adanya stratifikasi memiliki kekuasaan dan dapat melakukan segala
masyarakat Jawa serta munculnya dominasi kelas hal hanya dengan memerintah para bawahan dan
dan masalah ketidakadilan gender sebagai warisan menganggap perempuan yang dinikahi (meski
budaya Jawa yang diterimanya secara sekaligus. hanya sebagai gundik) adalah benda yang harus
Gadis Pantai secara keseluruhan lebih tunduk pada segala perintah dan larangannya,
banyak memunculkan segala siksaan psikis yang tanpa memberi ruang kebebasan sedikitpun.
dialami mulai dari awal penceritaan dimana dirinya Penderitaan akibat diskriminasi gender dan kelas
mau tidak mau harus menuruti kedua orangtuanya tersebut telah menempatkan Gadis Pantai sebagai
untuk menerima pinangan Bendoro. Kemudian subjek pencerita, sehingga Gadis Pantai dapat
diikuti dengan ungkapan-ungkapan batin yang mengungkapkan dengan lugas apa yang telah

218 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

dialami. Bendoro menjadi objek penceritaan ka- mengatakan bahwa dalam pengisahan novel
rena porsi pengungkapan gagasannya sangat seorang pengisah dalam novel berfunsi sebagai
sedikit, segala perilaku dan adat istiadat dalam dalang. Dalang dianggap sebagai seorang yang
kehidupan priyayi lebih banyak diungkapkan memiliki pengertian yang mendalam tentang
melalui dialog antar tokoh lain, dan juga tindakan berbagai masalah. Di dalam novel ini, Pramoedya
tokoh terhadap Bendoro. menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Bendoro adalah wakil dari kaum priyayi Menurut Sapardi, dalam sudut pandang orang
yang dikisahkan memiliki kekuasaan yang besar ketiga si pengisah (pengarang) memiliki kemam-
atas rakyat. Batasan priyayi yang dimaksud ialah puan untuk mengetahui segala-galanya (Damono,
priyayi menurut Kuntowijoyo (2006:33), yaitu 2000:241). Artinya bahwa pengarang dapat me-
golongan yang telah lepas dari ikatan kraton, dan nembus ruang dan waktu, memiliki kebebasan
tersubordinasi pada pemerintahan kolonial. untuk masuk ke dalam pikiran semua tokoh, dan
Golongan priyayi menurut Kuntowijoyo berbeda telah mengetahui apa yang nantinya akan terjadi
dengan golongan bangsawan yang masih lekat pada para tokoh.
dengan budaya kraton. Munculnya kaum priyayi Pembaca novel Gadis Pantai adalah
di Karesidenan Jepara Rembang merupakan ben- pembaca yang diciptakan oleh Pramoedya.
tuk sebuah budaya baru, yaitu budaya Banyu- Pembaca berusaha dibentuk pola pikirnya oleh
masan atau Semarangan. Budaya Banyumasan pengarang novel agar berempati dan mau men-
atau Semarangan ini disebut Kuntowijoyo sebagai dukung ideologinya. Sapardi (2000:130) menga-
budaya pasisir, mungkin karena daerahnya dopsi pemikiran Malcolm Bradbury dengan
terletak di pesisir pantai. Pada budaya pasisir menyatakan bahwa pembicaraan mengenai
kelas priyayi terdiri dari para Bupati yang bekerja pembaca tidak dapat dilepaskan dari pengarang
untuk pemerintah Hindia Belanda. dan cara penyebaran karya sastra, pembaca
Pada tingkatan ini melalui ketiga topik yang diciptakan oleh dua unsur tersebut. Teknik penga-
telah ditentukan, maka ditemukan dalam Novel rang dalam bercerita secara tidak langsung telah
Gadis Pantai bahwa dalam realitas penulis, Gadis menciptakan pembacanya sendiri. Sedangkan cara
Pantai merupakan objek yang dikenai tindakan penyebarannya terkait pada penerbit yang
diskriminatif dari Bendoro atas kelas dan per- menerbitkan karya Pramoedya, dalam hal ini ialah
bedaan peran dan fungsi berdasarkan jenis Lentera Dipantara yang merupakan kepunyaan
kelamin. Namun dalam penceritaan, posisi Gadis keluarga Pramoedya Ananta Toer sendiri, yang
Pantai dominan sehingga menjadi subjek pencerita telah menerbitkan karya-karya Pramoedya
yang dengan leluasa mengisahkan apa yang dialami, kepada khalayak umum. Setidaknya dengan
sedangkan Bendoro menjadi objek pencerita penyebaran yang meluas, pemikiran Pramoedya
karena pribadi Bendoro ditampilkan hanya sedikit yang tertuang dalam sastra dapat diterima pembaca
dan kehidupan priyayinya justru dikisahkan oleh dan ideologinya dapat dipahami pembaca. Sasaran
tokoh-tokoh pendukung alur kisah. Meski kisah pembaca novel ini adalah umum, tidak mengenal
ini diceritakan oleh Pramoedya dengan meng- jenis kelamin, karena tujuannya ialah mengisahkan
gunakan kacamat laki-laki, namun justru posisi relaitas sosial yang terjadi di masyarakat Indone-
Gadis Pantai yang mengalami penderitaan lebih sia khususnya di tanah Jawa.
dominan dibanding posisi Bendoro sebagai Pandangan Gadis Pantai sebagai tokoh
priyayi yang berkuasa. utama adalah pandangan pengarang. Teks Novel
Gadis Pantai dikisahkan menurut perspektif
Posisi Penulis-Pembaca Pramoedya yang adalah laki-laki. Namun dari cara
Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis menampilkan permasalahan yang dialami Gadis
(pengarang) novel Gadis Pantai berperan sebagai Pantai, Pramoedya justru memposisikan Gadis
dalang dari alur cerita novel tersebut. Sebagai da- Pantai yang berasal dari golongan masyarakat Jawa
lang, ia dianggap memiliki pengetahuan mengenai terendah dan seorang perempuan yang mengalami
banyak hal. Sapardi Djoko Damono (2000:240), diskriminasi sebagai subjek penceritaan. Biasanya

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 219

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

permasalahan laki-laki dan perempuan dalam oleh Tuhan. Menurut Lukács (Eagleton, 2002:34)
sebuah karya sastra maupun berita ditampilkan realisme adalah seni yang besar melawan alienasi
dengan bias. Perempuan merupakan objek dan fragmentasi (pemecahan) masyarakat kapitalis,
penderita sekaligus objek penceritaan, sedangkan memproyeksikan gambaran yang kaya dan banyak
laki-laki menjadi subjek penceritaan yang me- segi keseluruhan hidup manusia. Penulis realis
megang kendali alur cerita. Berbeda dengan alur bertugas menyebarkan trend dan kekuatan yang
kisah Gadis Pantai, dua orang pembaca novel khas ke dalam penyadaran aksi-aksi individu.
Gadis Pantai yang telah diwawancarai dan semua Lukács mengaitkan kehidupan sosial yang nyata
yang memberikan jawaban adalah laki-laki lebih dengan kekuatan dunia kesejarahan. Seorang
banyak memposisikan dirinya sebagai Gadis seniman realis harus progresif dan mampu men-
Pantai, hanya satu responden yang merasa dirinya dramatisir kekuatan historis dalam karyanya.
sebagai Bendoro dan responden tersebut berjenis Menurut Pramoedya sendiri (dalam
kelamin laki-laki. Kurniawan, 2006:2) realisme sosialis diperkirakan
Pembaca yang dominan merasa dirinya muncul tahun 1905, dan Maxim Gorky dianggap
berada pada posisi Gadis Pantai, artinya terjadi sebagai bapak pendiri Realisme Sosialis. Masih
keselarasan pemikiran antara pembaca dan menurut Pramoedya, secara otobiografik karya-
pengarang. Kedua pembaca dominan tersebut karya Gorky melukiskan pukulan-pukulan dan
menganggap kisah Gadis Pantai merupakan sarana tindasan-tindasan yang diterimanya dari kelas
Pramoedya dalam menyampaikan kritik sastra kapitalis-borjuis. Sedangkan menurut Terry
terhadap budaya Jawa yang patriarkis dan budaya Eagleton, Realisme Sosialis dicetuskan oleh Joseph
feodal yang menjadi ciri kaum priyayi Jawa. Stalin dan Maxim Gorky di Uni Soviet pada kong-
Sedangkan pembaca lainnya yang merasa sebagai res penulis tahun 1934. Ajaran realisme sosialis
Bendoro dan memperoleh kritik dari Pramoedya. mengajarkan kewajiban penulis untuk membentuk
Ia menganggap Pramoedya adalah seorang feminis kebenaran. Anggapan Pramoedya mengenai
yang peduli akan ketidakadilan dan diskriminasi realisme sosialis ialah penggunaan pandangan
perempuan Jawa, sehingga responden merasa struktural fundamental (Kurniawan, 2006:4).
bahwa dirinya laki-laki yang harus bersikap adil Mengutip pendapat Eka Kurniawan bahwa
dan tidak diskriminatif pada perempuan. “hakekat realisme sosialis ialah menempatkan se-
Mengingat posisinya sebagai pihak ketiga ni sebagai wahana “penyadaran” bagi masyara-
yang mengetahui segalanya, Pramoedya Ananta kat untuk menimbulkan kesadaran akan kebe-
Toer meletakkan Gadis Pantai sebagai tokoh radaan dirinya sebagai manusia yang terasing
utama dan memposisikannya sebagai subjek (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu
penceritaan. Pramoedya sesungguhnya melalui menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki
novel hendak menyampaikan sesuatu, selain kebebasan”.
memberikan pengetahuan juga menyebarkan Di Indonesia, ideologi realisme sosialis di-
ideologi yang dianutnya. Sebagai pengarang ia adaptasi oleh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat)
berusaha mengendalikan pembacanya melalui yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia
Gadis Pantai untuk menyampaikan kritiknya pada (PKI), dan Pramoedya menjadi bagian dari Lekra.
kaum priyayi atas segala perilakunya yang feodal. Lekra menempatkan politik sebagai panglima yang
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemudian menjadi standar penilaian lembaga
pengarang dan ideologinya. tersebut terhadap karya seni, artinya bahwa Lekra
Ideologi Pramoedya dalam menghasilkan menolak seni yang berasal dari sudut pandang
karya sastra adalah realisme sosialis. Ideologi ini bentuk tanpa muatan isi. Seniman Lekra harus
berasal dari seorang tokoh realisme klasik yang selalu berbaur dengan rakyat, dan hasil seninya
bernama George Lukács yang menolak pesimisme kemudian diverifikasi apakah sejalan dengan
kosmis Marxian yang melihat novel sebagai “epik perjuangan kelas atau tidak, sehingga muncul suatu
borjuis”, dan memunculkan tipikal novel menjadi gerakan dalam Lekra, yaitu gerakan “turba” atau
ironi, yaitu epik tentang dunia yang ditinggalkan gerakan turun ke bawah. Pramoedya memahami

220 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

gerakan Lekra untuk selalu berbaur dengan rakyat sastranya, Pramoedya hendak membangkitkan
dan memahami makna gerakan turba secara luas, kesadaran pembacanya (masyarakat) akan tang-
yang artinya selain turun ke masyarakat tetapi juga gung jawab sebagai manusia untuk menciptakan
turun kembali ke sejarah. Eka Kurniawan (2006:9) keadilan dan kebenaran. Satu ciri khas dari realis-
mengatakan bahwa Pramoedya memahami me sosialis yang menempatkan seni sebagai me-
gerakan turun ke bawah secara lebih jauh lagi dia bagi tumbuhnya kesadaran (Kurniawan,
bukan turun ke bawah melainkan turun ke sejarah. 2006:11). Pramoedya sendiri menyampaikan hal
Dari latar belakang ideologi tersebut itu dalam wawancaranya dengan Kees Snoek di
Pramoedya kemudian memunculkan aliran baru Jakarta pada 26 Juli 1991 (A. Teeuw dalam
dalam seni sastra yaitu novel sejarah. Menurut Kurniawan, 2006:11), “Maksud saya, tentu saja,
Lukács novel historis muncul sebagai genre (aliran) tulisan saya itu memberi kekuatan kepada
pada satu titik pergolakan revolusioner pada awal pembaca saya untuk tetap berpihak kepada yang
abad ke-19. Dasar dari novel historis menurut benar; kepada yang adil, kepada yang indah.”
Lukács seperti dikutip dari Eagleton ialah,” Novel Gadis Pantai sebagai roman sejarah
kekayaaan dan kedalaman karakter-karakter yang yang mengangkat masalah feodalisme dan
diciptakan”. Dalam kebanyakan novel-novel karya pergundikan yang terjadi di Indonesia khususnya
Pramoedya, tokoh-tokoh yang dimunculkan selalu di Rembang, Jawa Tengah, merupakan salah satu
memiliki karakter-karakter pribadi yang jelas, dan bentuk konfrontasi Pramoedya terhadap sikap
tokoh-tokoh protagonisnya muncul dengan kesewenang-wenangan dan penindasan. Pramoe-
kegigihan dalam memperjuangkan cita-cita. dya mengajak pembacanya untuk memegang
Beberapa karya Pramoedya mengangkat prinsip kerakyatan dan perlawanan terhadap
tokoh perempuan yang memiliki karakter-karakter ketidakadilan baik atas kelas maupun gender,
pejuang dan pemberontak, kesamaannya adalah dengan menempatkan Gadis Pantai sebagai subjek
pada golongan masyarakatnya, biasanya tokoh- penceritaan dan meminoritaskan Bendoro sebagai
tokoh itu ditampilkan sebagai rakyat biasa yang lambang kekuasaan feodal yang seharusnya
menggugat dominasi atau kekuasaan yang terjadi dilawan. Seperti tampak pada dialog antara bapak
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebut saja Gadis Pantai dengan Gadis Pantai yang menjadi
tokoh fenomenal Pramoedya seperti Nyai inti dari ajakan Pramoedya dalam menyadarkan
Ontosoroh yang juga menjadi gundik dalam karya pembaca bahwa kaum priyayi itu adalah kaum
Tetralogi Pulau Buru, namun Nyai Ontosoroh penindas, pada bagian akhir novel. Waktu dokar
berani melawan suaminya yang seorang Belanda, mulai berjalan, bapak berbisik menghibur. “Nasib
Herman Mellema. Nyai Ontosoroh menyadari ka- kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas
um perempuan Jawa berada pada posisi lemah, laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.”
dan dengan kesadaran tinggi ia berusaha belajar Dialog tersebut secara tidak langsung
dari suaminya sehingga memeiliki posisi tawar menjadi puncak penegasan Pramoedya sebagai
sebagai perempuan, dan sebagai anak bangsa In- seorang penulis dalam membentuk generalisasi
donesia. karakter priyayi di Jawa bahwa mereka tidak
Berbeda dengan tokoh Nyai Ontosoroh, memiliki hati sehingga menindas kaum rakyat ke-
Gadis Pantai yang juga berasal dari golongan rakyat cil seperti Gadis Pantai dan keluarganya. Bahkan
mengalami ketertindasan dari seorang priyayi yang terjadi perbandingan antara sifat Bendoro dengan
disebut sebagai Bendoro. Hanya saja Gadis Pantai laut, karena laut terkenal ganas ombaknya dan
tidak memiliki kemampuan untuk melawan karena mematikan tetapi tidak membuat harga diri mereka
posisinya yang disadari sebagai kelas terendah menjadi rendah, tetapi Bendoro yang merupakan
dalam struktur sosial masyarakat Jawa, dan tidak sesama manusia lebih mematikan karena meski-
memiliki kesadaran untuk belajar lebih banyak pun tenang pembawaannya namun sesung-
sehingga semakin menempatkan dirinya sebagai guhnya hatinya kejam dan menganggap manusia
pihak yang terdiskriminasi atas kelas dan gender. sebagai makhluk yang mudah dibuang begitu sa-
Sesungguhnya melalui karya-karya ja tanpa nilai.

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 221

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

Gadis Pantai sebagai Senjata Pramoedya Kasus ketidakdilan gender pada penelitian
Sangat jelas apabila Gadis Pantai menga- Mosse juga dialami oleh perempuan Indonesia,
lami diskriminasi kelas dan gender. Diskriminasi khususnya oleh perempuan Jawa pribumi.
kelas yang dialami Gadis Pantai berasal dari faktor Penelitian berikutnya datang dari budaya Jawa
budaya yang telah mengalami akulturasi dengan mengenai penggambaran perempuan Jawa yang
budaya kolonial. Munculnya kaum-kaum priyayi mengalami ketidakadilan gender. Penelitian ini
baru yang bukan merupakan keturunan bangsawan diperoleh melalui analisis Sastra Jawa Klasik
keraton ini yang menjadi topik penceritaan Gadis dilakukan oleh Sri Suhandjati Sukri dan Ridin
Pantai. Sofwan (2001) terhadap karya sastra Jawa abad
Kaum priyayi yang diwakili oleh kehadiran 18 hingga 19. Karya sastra pada abad itu sangat
tokoh Bendoro adalah ikon feodalisme dan dipengaruhi oleh kondisi sosial yang ada, karya
kapitalisme yang di dalamnya mengandung unsur sastra pada masa itu berupa mitos, babad, dan
kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Sedang- dongeng. Sedangkan kedua peneliti tersebut lebih
kan Gadis Pantai adalah ikon kaum tertindas yang banyak menganalisis tentang babad yang banyak
harus dibela dan diperjuangkan hak-haknya. disusun oleh para bangsawan Jawa dan pujangga
Pramoedya melalui Gadis Pantai berusaha mem- keraton. Sastra-sastra yang diteliti seperti Serat
perjuangkan hak-hak masyarakat yang tertindas Wulang Putri (Sunan Pakubuwana IV), Serat Wu-
baik atas kelasnya maupun atas perbedaan jenis lang Estri (Pakubuwana X), dan Serat Candra-
kelamin. Fokus perhatian Pramoedya ialah pada rini (Ranggawarsita) kemudian menghasilkan
budaya Jawa yang memandang perempuan de- suatu kesimpulan bahwa peran dan kedudukan
ngan citra yang diskriminatif. perempuan hanya terbatas di sektor domestik,
Segala permasalahan yang dialami dalam yaitu sebagai hamba Tuhan, anak menantu, istri,
novel ini merupakan bentuk ketidakadilan gender dan ibu. Sebagai seorang istri, perempuan harus
yang mengarah pada kekerasan. Pramoedya takut dan berbakti kepada suami (wedi lan bekti
berusaha mempengaruhi pikiran pembacanya ing laki), hal tersebut muncul dari Serat Wicara
dengan memunculkan bentuk-bentuk diskriminatif Keras karya Raden Ngabehi Yasadirpura II.
atas perbedaan gender. Pandangan patriarki juga Menurut kedua peneliti tersebut, secara umum
menjadi latar belakang munculnya diskriminasi perempuan dalam sastra Jawa digambarkan
pada Gadis Pantai, selain permasalahan feodalisme. sebagai orang yang tidak boleh menampakkan
Hal ini sejalan dengan tiga buah penelitian yang kata hatinya, yang berarti bahwa tidak ada hak
memfokuskan pada ketidakadilan gender yang bagi perempuan untuk berbicara atau berpendapat.
dialami oleh perempuan. Tradisi Keraton yang dimunculkan melalui karya
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sastra kemudian berkembang di luar lingkup
Julia Cleves Mosse (1996:120) terhadap realitas keraton dan akhirnya diterima oleh masyarkat dan
ketidakdilan gender yang terjadi di Sri Lanka pada menjadi warisan budaya secara turun-temurun
masa kolonialisme Inggris sekitar abad 19, (enkulturasi). Oleh sebab itu dalam masyarakat
memunculkan kesimpulan bahwa dorongan faktor Jawa, perempuan dituntut untuk selalu pasrah dan
kapitalisme telah memperkuat budaya patriarki tidak boleh menolak atau mengungkapkan pen-
yang kemudian memunculkan kebijakan kolonial dapat yang berbeda dengan suaminya.
berakibat pada rusaknya akses perempuan akan Kedua penelitian dengan tempat dan
hak pakai tanah, karena adanya hak kepemilikan budaya yang berbeda diperoleh kesimpulan bahwa
tanah pribadi. Munculnya perkebunan-perkebunan pada masa lalu terutama pada abad 18 hingga 19,
baru akibat hak penguasaan tanah memaksa perempuan menjadi makhluk nomor dua setelah
perempuan menjadi buruh dan pelacur. Menjadi laki-laki, dan dengan posisinya yang tidak imbang
buruh tidak semata menjadi pekerja upahan, dengan laki-laki membuat perempuan mudah
bahkan terkadang perempuan yang bekerja tidak dikenai tindakan diskriminatif hingga menimbulkan
diberi upah atau diupah tetapi lebih rendah dari bentuk-bentuk kekerasan. Keadaan tersebut
laki-laki. berlangsung terus menerus hingga pada suatu kali

222 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

di Indonesia hadir R.A Kartini di tahun 1800-an bujang yang menceritakan kisah R.A Kartini pada
sebagai emansipator perempuan yang merasa Gadis Pantai sebelum ia tidur,
bahwa perempuan Jawa mengalami ketidakadilan … dan diulangnya setiap datang wanita
dalam banyak hal. Kemunculan R.A Kartini utama baru, tentang pangeran-pangeran
sebagai tokoh perjuangan perempuan kemudian yang tergila-gila pada gadis kampung.
membawa perubahan baru pada kehidupan Tentang gadis kampung yang masuk ke
perempuan Indonesia yang hingga saat ini telah dalam gedung. Tentang kehidupan yang
mengalami banyak perubahan dan memunculkan mewah penuh sahaya. Tentang putra yang
kesejajaran posisi, peran dan kedudukan perem- dilahirkan. Tentang Allah dengan segala
puan dan laki-laki. kemurahan-Nya dan kepelitan-Nya bagi
Kesemuanya itu sesuai dengan fokus Teori orang-orang yang jahat. Tentang tuan be-
Kapitalis Patriarki yang dikembangkan oleh Zillah sar Guntur dengan tiang gantungannya.
Eisenstein yang menggunakan analisis kelas dan Tentang kuburan-kuburan besar sepan-
gender untuk memahami penindasan perempuan, jang pantai. Tentang pemberontakan Di-
dan berseberangan pendapat dengan Engels yang ponegoro. Dan tentang rumahtangga pem-
menyatakan bahwa dominasi terhadap kaum besar-pembesar kota. Tentang perayaan
perempuan timbul akibat private property atau perkawinan Raden Ajeng Kartini beberapa
sistem kepemilikan tanah (Faqih, 1996:91). tahun yang lalu, dan tentang upacara
Patriarki memang sudah ada sejak lama, bahkan pemakamannya juga beberapa tahun lalu.”
setelah adanya sistem kepemilikan tanah (feo- (Korpus 31, Novel Gadis Pantai, hal. 60)
dalisme) justru patriarki menjadi semakin kuat.
Pendapat Eisenstein ini dapat diberlakukan untuk Inilah yang menjadi latar belakang tercip-
melihat budaya Jawa terkait masalah diskriminsi tanya Novel Gadis Pantai, karena Pramoedya
gender akibat kapitalisme dan patriarki. Kapi- Ananta Toer pada abad 18 hingga abad 19 muncul
talisme di sini dibatasi pada sistem kepemilikan adanya ketidakadilan dalam konsep kultur Jawa
tanah atau feodalisme yang makin berkembang yang mengenal kelas masyarakat dan menganut
pada era kolonial di Indonesia khususnya di Jawa, pewarisan budaya patriarki secara turun-temurun
sehingga mengakibatkan budaya patriarki menjadi dan telah menjadi konstruksi masyarakat, terutama
makin dominan. Segala keputusan berada di tangan pada perempuan. Gadis Pantai sebagai perempuan
laki-laki dan sebagai perempuan hanya menerima dan sebagai bagian dari golongan rakyat biasa
keputusan. Fungsi perempuan disini hanya ada di mengalami keadaan yang dialami oleh gadis-gadis
area rumah tangga. Keberadaan fungsi dan peran pada eranya, yaitu bahwa seorang gadis tanpa
perempuan dalam budaya Jawa akibat sistem memiliki garis keturunan darah biru (bangsawan
masyarakat yang patriarkis ini sudah dikonstruksi dan priyayi) dinikahi oleh seorang bangsawan atau
oleh masyarakat Jawa dan sudah menjadi budaya priyayi, maka statusnya bukanlah sebagai istri sah,
Jawa. Seperti dikatakan Sukri dan Ridin (2001:11) melainkan garwa ampil atau yang disebut
bahwa ketidakadilan yang timbul karena konstruksi Mardinah dalam beberapa dialog dengan Gadis
budaya tersebut banyak menimpa kaum perem- Pantai sebagai istri percobaan, dan sebutan yang
puan di nusantara, khususnya di Jawa. lebih buruk ialah gundik. Serupa dengan yang
Masyarakat Jawa masih memegang erat disebut oleh Elisabeth Keesing (1999:22) dalam
tradisi bahwa posisi perempuan adalah makhluk bukunya yang mengulas surat-surat dan kehidupan
nomor dua setelah laki-laki, dan hal ini mengaki- R.A Kartini, “Di berbagai negeri penganut poli-
batkan ketidakadilan gender yang berbentuk gami, isteri yang pertama dikawini menjadi istri
marjinalisasi, sub ordinasi, stereotipe, dan keke- utama, apalagi jika ia melahirkan anak lelaki, na-
rasan (Sukri, 2001:11), seperti yang dialami oleh mun seorang Raden Ayu Jawa, isteri resmi seorang
Gadis Pantai dalam pengisahan novel tersebut. bupati, haruslah berasal dari keluarga ningrat.”
Peristiwa yang dialami Gadis Pantai dikisahkan Keadaan demikianlah yang membuat
terjadi setelah wafatnya R. A Kartini, seperti kata Pramoedya merasa perlu menggugat kaum pri-

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 223

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

yayi Jawa terutama pada perlakuan yang tidak adil merupakan senjata Pramoedya untuk menggugat
pada perempuan dan golongan masyarakat yang ketidakadilan yang dialami perempuan Jawa dan
telah menjadi konstruksi sosial. Pramoedya tidak telah menjadi warisan budaya Jawa dengan
menyukai kaum priyayi karena menurutnya kaum memberikan kekuatan pada Gadis Pantai sebagai
priyayi banyak bertindak semena-mena pada tokoh utama yang diharapkan menjadi pengubah
sesama manusia. Oleh sebab itu dengan mengam- pola pikir pembaca agar mengikuti alur pemikiran
bil sejarah neneknya yang kemudian dikarang Pramoedya.
menjadi sebuah novel, Pramoedya berusaha untuk Ideologinya yang realisme sosialis dise-
menyebarkan cara pandangnya terhadap kaum barkan melalui novel dan tentu berkaitan pula
priyayi yang di dalam Novel Gadis Pantai hanya dengan pemilihan latar belakang waktu untuk novel
diberikan porsi sedikit dalam menampilkan Gadis Pantai. Latar belakang sejarah Indonesia di
gagasannya. abad 19 yang masih kuat feodalismenya dan
Temuan tadi menunjukkan bahwa kaum dengan kesadaran atas prinsip kerakyatan dan
priyayi baik yang masih keturunan bangsawan dan kemanusiaan, mengakibatkan Pramoedya merasa
tinggal di dalam keraton, maupun kaum priyayi harus melakukan pembelaan terhadap kaum
yang bekerja pada Belanda digeneralisir oleh lemah. Gadis Pantai yang disebut-sebut sebagai
Pramoedya dengan adanya persamaan sifat dan sejarah neneknya kemudian diangkat sebagai
perilaku seluruh priyayi seperti sifat dan perilaku senjata untuk menggulingkan karakter feodal
Bendoro. Pada masa penciptaan karya Pra- masyarakat Jawa. Pramoedya mengangkat isu
moedya tentang Gadis Pantai dalam bentuk cerita yang sunggh-sungguh terjadi di masyarakat Jawa
bersambung di Surat Kabar Harian Bintang Timur melalui pribadi neneknya.
pada tahun 1962-1965, sesungguhnya tidak lepas Terkait ideologi realisme sosialis Maxim
pula dari kondisi perkembangan sastra di Indone- Gorky, yang merupakan perkembangan dari
sia. Pada kisaran tahun 1950-an, sastra Jawa realisme sosialis Luckács, Pramoedya berusaha
berkembang pesat, kebanyakan kisah yang menciptakan pembaca sesuai apa yang diharap-
diangkat sastrawan berlatar belakang kehidupan kan. Menurut Pramoedya sendiri dengan dasar
kaum priyayi. Seperti yang diungkapkan oleh ideologi seni realisme sosialis, sejarah merupakan
Sapardi Djoko Damono (2000:292), “novel-novel unsur penting yang tidak dapat dilupakan dalam
Jawa tahun 1950-an adalah dunia rekaan yang membuat sebuah karya sastra. Pendapat Maxim
dihuni oleh para priyayi; tokoh-tokoh itu men- Gorky yang dikutip Eka Kurniawan (2006:
dambakan, menjalankan, dan mempertahan- 2),”The people must know their history.” Inilah
kan nilai-nilai dan norma-norma kepriyayian.” yang mendorong Pramoedya dalam menciptakan
Namun ketidaksukaannya pada kehidupan pri- karya-karya sastra setelah dirinya bergabung
yayi mengakibatkan Pramoedya yang seorang dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) di
Jawa menyusun karya yang berbahasa Indonesia bawah Partai Komunis Indonesia, yang juga
dan dipengaruhi ideologi seni sastra Barat dari menggunakan pedoman realisme sosialis dalam
pemikiran Marxis. berkesenian. Masih dalam Eka Kurniawan,
Seperti dua penelitian yang telah disam- realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum
paikan di atas, Gadis Pantai yang dikisahkan hidup lemah (proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai
antara abad 18 hingga 19, walaupun permasalahan manusia-manusia penggerak dan penentu arah
yang dialaminya baru dikisahkan Pramoedya sejarah. Dengan ideologi ini yang diutamakan Pra-
dengan latar belakang akhir abad 19, perempuan moedya dari setiap hasil karyanya ialah bangkitnya
pada era ini memang menjadi makhluk yang ter- kesadaran pembaca akan tanggung jawab untuk
pinggirkan di bawah dominasi laki-laki. Masya- menciptakan keadilan dan kebenaran.
rakat Jawa sendiri telah turut melanggengkan po- Seperti konsep pemikiran Althusser yang
sisi perempuan sebagai makhluk kedua yang ren- diadopsi oleh Sara Mills sebagai dasar penyusunan
tan mengalami ketidakadilan dalam peran dan kerangka analisis wacana kritisnya yaitu: Pertama
fungsinya. Melalui Gadis Pantai, yang boleh dikata Interpelasi berhubungan dengan pembentukan

224 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

subjek ideologi dalam masyarakat (Eriyanto, 2001: pendidik di Holandsch Islandsche School (HIS).
206). Pada proses ini seseorang akan menerima Ayah Pramoedya ini beberapa kali menerbitkan
dan mengakui posisinya bukan hanya sebagai buku-buku perjuangan dan pernah mengalami
individu, tetapi juga dalam hubungan dengan relasi masa tahanan di era kolonial. Aktivitas ayahnya
kekuasaan. Pramoedya berusaha mempengaruhi ini yang kemudian mempengaruhi aktivitas
pembaca atau masyarakat untuk berempati pada Pramoedya nantinya pada masa dewasa. Selain
permasalahan yang dialami Gadis Pantai bahwa itu ibunya, Oemi Saidah adalah seorang aktivis
telah terjadi dominasi atas kelas dan gender. perempuan. Oemi Saidah adalah anak seorang
Berangkat dari sini pembaca perlu melihat bahwa selir dari sorang penghulu Rembang, yang tak lain
mereka adalah subjek yang berada dalam sebuah ialah neneknya sendiri yang disebut sebagai Ga-
relasi kekuasaan yang sewaktu-waktu akan meli- dis Pantai. Pramoedya sendiri tidak mengetahui
hat atau mengalami kejadian seperti yang dialami siapa nama asli neneknya, sehingga novel yang
Gadis Pantai. Pramoedya berusaha menanamkan mengisahkan tentang neneknya ini pun diberi ju-
ideologinya kepada pembaca bahwa dalam realitas dul Gadis Pantai. Pramoedya mengatakan (dalam
banyak sekali terjadi ketidakadilan dan semua Kurniawan, 2006:23), “kisah ini hasil imajinasi
bentuk ketidakadilan harus dilawan; Kedua saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu,
Kesadaran berhubungan dengan penerimaan indi- nenek yang mandiri dan saya cintai.”
vidu tentang posisinya sebagai subjek dalam tata Novel Gadis Pantai bukanlah novel yang
sosial dan berhubungan dengan relasi kekuasaan murni kisah fiksi Pramoedya atas imajinasinya
sebagai suatu kesadaran. Dari pengertian ini pada kehidupan neneknya. Melainkan Pramoedya
Pramoedya melalui Novel Gadis Pantai memang sengaja menonjolkan bentuk-bentuk diskriminasi
sangat jelas berusaha untuk membangun kesa- dan ketidakadilan yang dialami perempuan dalam
daran masyarakat terlebih pembacanya agar budaya Jawa, meski pada akhirnya dari alurnya
bangkit kesadaran untuk bertanggung jawab dapat ditebak bahwa sesungguhnya Pramoedya
sebagai manusia untuk keadlian dan kebenaran berusaha menunjukkan ketidaksukaannya
(Kurniawan, 2006: 11). Oleh sebab itu Pramoe- terhadap kaum priyayi melalui penonjolan karakter
dya menonjolkan kaum-kaum yang tidak memiliki Gadis Pantai dan segala yang telah dialami dalam
kebebasan dan hak individu seperti Gadis Pantai kehidupannya bersama seorang priyayi. Pra-
dengan tujuan agar pembaca atau masyarakat moedya sendiri menyatakan untuk tidak ber-
berpihak pada yang benar. hubungan lagi dengan budaya priyayi Jawa, dengan
Mengenai masalah feodalisme yang diwa- menyimbolkan priyayi sebagai wayang:
kili dengan kehadiran tokoh Bendoro bukan Mulai 1939 sudah kuputuskan: sudah,
tanpa alasan dalam menghadirkannya sebagai sudah, sudah, sampai di sini saja; tutup
pihak yang sewenang-wenang. Latar belakang buku dengan wayang, kau sudah habis-
Pramoedya secara pribadi pun berkaitan dengan kan semua bacaan wayang terbitan Balai
dunia kepriyayian, berikut adalah biografi singkat Pustaka, kau sudah kenyang nongkrong
Pramoedya yang disarikan dari Eka Kurniawa semalam suntuk, kau sudah cukup me-
(2006:21-23). Pramoedya Ananta Toer yang lahir nyelinap di sela-sela buku pelajaran dan
pada 6 Februari 1925, adalah seorang keturunan kewajiban pada keluarga. Ternyata tak ada
priyayi, masa kecilnya dihabiskan di Blora. Nama kurasa kehilangan. Alam hitam-putih
asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta wayang pun berganti dengan dunia yang
Mastoer, namun kemudian nama Mas pada lebih berwarna-warni, kaya tanpa batas
Mastoer dihilangkan karena dirasa terlalu berbau akan nuansa dan perbedaan derajat.”
feodal. Ayahnya, Mastoer, seorang tokoh per- (Eka Kurniawan, 2006: 165)
gerakan nasionalis yang cukup terkenal di ma-
syarakat sekitar Blora, beliau menjadi anggota Wayang dijadikan Pramoedya sebagai
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) bentukan Ir. simbolisasi atas budaya Jawa, karena menurut
Soekarno. Pekerjaannya adalah seorang tenaga Sapardi Djoko Damono (2000:386), menjelaskan

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 225

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Analisis Wacana Kritis Feodalisme... Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum

bahwa seorang priyayi yang ideal adalah yang Penegasan yang dilakukan melalui novel ini ialah
menguasai kesenian, dan wayang merupakan agar pembaca mau melihat ketidakadilan yang
bagian dari pengetahuan utamanya. Pada tahun dialami kalangan masyarakat terendah dalam
1950-an justru beredar karya-karya novel yang sebuah budaya Jawa yang penuh tata krama dan
berkisah tentang usaha sebagian masyarakat untuk formalitas, namun justru memperluas jurang
memperoleh status sebagai priyayi, dan bahkan perbedaan yang pada akhirnya hanya akan
pada era itu cerita-cerita bersambung di media menimbulkan penderitaan pada pihak-pihak yang
justru banyak pengarang yang menggunakan lemah dan tidak memiliki kekuasaan, dan
Bahasa Jawa Krama dalam bercerita, sasarannya masyarakat harus mengubah konstruksi yang telah
tentu adalah kaum priyayi. Sementara itu masih ada agar timbul kesejajajaran dalam masyarakat
dalam Sapardi, berbeda dengan penulis sastra yang diharapkan tanpa kelas dan kesejajaran
Jawa, pada tahun 1950-an Pramoedya Ananta antara peran perempuan dengan laki-laki.
Toer merupakan salah satu sastrawan yang berasal Oleh sebab itu, jika ditinjau dari ranah
dari Jawa yang tidak menunjukkan minat pada komunikasi, maka novel Gadis Pantai sesung-
penulisan sastra Jawa, dan justru memberikan guhnya menjadi media penyampaian gagasan
sumbangan penting pada perkembangan sastra Pramoedya terhadap budaya Jawa yang feodal
Indonesia. dan diskriminatif terutama pada kaum perempuan.
Melalui Gadis Pantai inilah ideologi Pra- Kelas masyarakat yang ada dalam kehidupan
moedya yang memegang erat realisme sosialis mu- budaya Jawa menjadi objek kritik Pramoedya.
lai digaungkan, baginya selamanya posisi sastra Melalui ideologi seni realisme sosialis Pramoedya
realisme sosialis merupakan sastra perlawanan. hendak membuka dan membangun kesadaran para
Oleh karena itu Pramoedya memposisikan Gadis pembaca untuk melihat kehidupan Jawa yang
Pantai pada posisi subjek penceritaan untuk banyak muncul ketidakadilan di dalamnya, terle-
menonjolkan ketidakadilan baik kelas dan gender bih di era kolonial hingga abad 20, ketika Pramoe-
yang mendominasi isi cerita, dibandingkan dya menciptakan novel Gadis Pantai.
kehadiran Bendoro yang sebagai objek dengan
penonjolan pada perilaku dan pribadi yang Simpulan
bertolak belakang. Dengan menggunakan Metode Analisis
Dua responden yang memberikan jawaban Wacana Kritis Model Sara Mills, diperoleh hasil
bahwa pada posisi penulis-pembaca dalam Model bahwa segala hal yang dialami Gadis Pantai dalam
Analisis Sara Mills, mereka berada di posisi Gadis novel menjadi alat bagi Pramoedya dalam me-
Pantai berarti hal ini menunjukkan bahwa tujuan nyampaikan gagasannya tentang kaum priyayi
Pramoedya berhasil, yaitu membangkitkan sebagai penindas rakyat. Dalam ranah ilmu ko-
kesadaran pembaca untuk melawan ketidakadilan munikasi novel Gadis Pantai merupakan media,
apa pun bentuknya, terlebih melawan budaya Jawa dimana Pramoedya adalah komunikator dan
yang penuh ketidakadilan dan kepura-puraan. pembaca adalah komunikannya, dan keputusan
Isu yang diangkat Pramoedya melalui pembaca dalam menerima pemikiran Pramoedya
Gadis Pantai sama dengan isu perjuangan dari adalah timbal baliknya. Melalui Gadis Pantai,
kaum feminis sosialis dalam Teori Kapitalis Pramoedya menyampaikan ketidaksukaannya
Patriarki, yaitu memerangi konstruksi visi dan pada kaum priyayi. Pramoedya ingin memba-
ideologi dalam masyarakat beserta struktur dan ngun kesadaran pembaca untuk berempati pada
sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gen- keadaan yang dialami Gadis Pantai, dengan
der. Pramoedya lebih cenderung mengajak menempatkan posisi Gadis Pantai sebagai subjek
pembaca untuk mengusahakan keadilan, artinya penceritaan dan Bendoro sebagai objek pence-
mengubah konstruksi sosial dalam budaya Jawa ritaan. Dengan demikian pembaca akan lebih mu-
yang feodal dan masih mengenal kelas, sehingga dah menerima pemikiran dan ideologi Pramoe-
keadilan di segala bidang termasuk di dalamnya dya Ananta Toer.
keadilan gender dalam masyarakat Jawa tercipta. Ideologi Pramoedya yaitu realisme sosialis

226 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


Maria Endah Perwitasari/Retno Hendariningrum Analisis Wacana Kritis Feodalisme...

ditujukan kepada pembaca melalui novel Gadis Karya Kartini, Penerbit Djambatan dan
Pantai untuk menunjukkan bahwa dalam realitas Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal,
sosial sesungguhnya terdapat banyak macam Land- en, Volkenkunde, Jakarta.
ketidakdilan, sehingga dengan novel Pramoedya Kuntowijoyo, 2006, Budaya Dan Masyarakat,
mengajak pembaca untuk melakukan perlawanan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
pada ketidakadilan. Ketidakadilan yang dialami Kurniawan, Eka, 2006, Pramoedya Ananta Toer
oleh Gadis Pantai ini sesuai dengan isi Teori dan Sastra Realisme Sosialis, PT.
Kapitalis Patriarki yang dikembangkan oleh Zillah Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Eisenstein bahwa penderitaan kaum perempuan Moleong, Lexy J., 2001, Metodologi Penelitian
akibat adanya kelas dalam masyarakat yang timbul Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
karena adanya budaya patriarki yang menimbulkan Bandung.
ketidakadilan peran dan fungsi perempuan dan laki- Mosse, Julia Cleves, 1996, Gender &
laki. Konstruksi sosial masyarakat dalam budaya Pembangunan. Rifka Annisa Women’s
Jawa yang memperkuat keberadaan sistem Crisis dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
patriarki melalui pewarisan budaya secara turun- Murniati, Nunuk P., 2004, Getar Gender,
temurun makin membuat perempuan terpinggirkan, Indonesiatera, Magelang.
khususnya pada era abad 18 hingga 19. Toer, Pramoedya Ananta, 2003, Gadis Pantai,
Lentera Dipantara, Jakarta Timur.
Daftar Pustaka Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan, 2007, Gender
Damono, Sapardi Djoko, 2000, Priayi Abangan: & Inferioritas Perempuan, Pustaka
Dunia Novel Jawa Tahun 1950, Yayasan Pelajar, Yogyakarta.
Bentang Budaya, Yogyakarta. Sukri, Sri Suhandjati, Ridin Sofwan, 2001,
Eagleton, Terry, 2002, Marxisme dan Kritik Perempuan dan Seksualitas Dalam
Sastra (Edisi Terjemahan), CV. Tradisi Jawa, Penerbit Gama Media,
Nusantara Sejahtera, Yogyakarta. Yogyakarta.
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana: Pengantar Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi,
Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Faqih, Mansour, 1996, Analisis Gender & Jakarta.
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. Sumber lain
Keesing, Elisabeth, 1999, Betapa Besar Pun http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme 25 Oktober
Sebuah Sangkar Hidup, Suratan, dan 2009, 15:49

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 7, Nomor 3, September - Desember 2009 227

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

You might also like