Professional Documents
Culture Documents
Tinjauan Fiqh Siyasah Mengenai Beberapa Masalah Kekinian PDF
Tinjauan Fiqh Siyasah Mengenai Beberapa Masalah Kekinian PDF
?S: Apakan sanksi hukum bagi pelaku zina, pembunuhan dan pencurian
J: Pelaku zina dapat dibagi menjadi dua kategori: Muhshon dan Non
Muhshin (ghoiru muhshon). Pelaku zina (zani) dikategorikan muhshon
jika ia pernah melakukan hubungan suami istri dalam ikatan nikah yang
sah menurut syara‟. Sanksi hukum bagi zani muhshon adalah rajam.
Ketentuan hukum rajam ini didasarkan atas hadits mutawatir yang
menceritakan beliau Rosululloh SAW menerapkan hukum ini terhadap
Ma‟iz dan al-Ghomidiyyah dan dalam kasus yang menimpa anak seorang
a‟robi yang berzina dengan istri orang lain lalu Nabi menjatuhkan hukum
rajam kepada istri tersebut dan hukum jilid serta diasingkan selama
setahun kepada anak a‟robi sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat
Bukhori dan Muslim. Al-Qur‟an sendiri secara implisit menyinggung
hukum rajam dalam surat al-Ma‟idah atat 41 dimana latar belakang
turunnya ayat ini terkait dengan keputusan Nabi merajam dua orang
Yahudi yang berzina. Khulafa Rosyidin juga pernah menjatuhkan hukum
rajam pada masa kekholifahan mereka. Malah Kholifah Umar sendiri
dalam salah satu khutbahnya mengatakan: “sesungguhnya Allah
mengutus Nabi Muhammad dengan haq dan membekalinya dengan al-
Kitab. Salah satu ayat yang diturunkan kepada beliau adalah ayat tentang
rajam yaitu:
.ِٝس سهٜاهلل عصٚ ْهاال َٔ اهلل١ُٖا ايبتٛا ؾازمجْٝ إذا ش١ؼٝايػٚ خٝايػ
Kami telah membaca dan menghafalkan ayat ini. Beliau juga pernah
menjatuhkan hukum rajam. Sesudah beliau wafat kami juga menerapkan
hukuman ini. Saya khawatir kelak dikemudian hari ada orang yang
mengatakan: “kami tidak menemukan ketentuan hukum rajam dalam al-
Qur‟an”. Akhirnya masyarakat tersesat gara-gara mencampakkan kewajiban
yang telah ditetapkan Allah dalam Kitab-Nya. Ingatlah! Hukum rajam adalah
haq bila pelaku zina berstatus muhshon baik laki-laki atau perempuan dan
terbukti perbuatannya oleh saksi atau hamil (jika wanita) atau ada pengakuan
dari pelaku zina. Demi Allah, seandainya masyarakat tidak menuduh Umar
telah menambahi ayat al-Qur‟an niscaya saya akan mencantumkan ayat yang
menerangkan rajam (yang telah dimansukh tilawahnya yaitu ayat di atas).(1)
Para shahabat, tabi‟in dan fuqoha‟dalam setiap generasi juga telah
sepakat bahwa hukum rajam adalah sanksi hukum yang keberadaannya
didukung oleh dalil-dalil yang saling menguatkan tanpa memberi celah
sedikitpun terhadap masuknya keragu-raguan. Adapun sikap golongan
Khowarij yang menentang eksistensi hukum rajam maka sikap ini sama
sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan karena pendapat mereka ini
didasarkan oleh keengganan mereka menggunakan Hadits Nabi yang nota
bene merupakan sumber hukum primer kedua sesudah al-Qur‟an yang nyata-
nyata menjelaskan berlakunya hukum rajam. (2)
Zani non muhshon adalah zani yang belum pernah melakukan hubungan
suami istri dalam ikatan nikah yang sah atau pernah namun diluar ikatan
nikah yang sah menurut syara‟. Sanksi hukum bagi zani non muhshon ini
I. P e n g a n t a r.
Ada tiga variasi pendapat mengenai hubungan antara Islam dan
sistem politik. Kalau bisa diletakkan dalam suatu sprktrum, pada suatu sisi
ekstrim kita melihat adanya pandangan bahwa Islam itu pada esensinya
adalah “Agama” dalam pengertian sempit yang hanya berkepanjangan dalam
dunia yang transenden dan sarat dengan nuansa eskatologis. Ia tidak
bersentuhan dengan wilayah profan. Di sini Islam tidak memberikan
pedoman apapun mengenai sistem politik (baca: Negara). Itu adalah urusan
dunia dan diserahkan kepada perkembangan pemikiran manusia dan lingkup
kesejarahan yang mengikatnya. Menurut tesis ini, Islam hanya berkaitan
dengan apa yang disebut “Wilayah Vertikal”.
Pada sisi ekstrim lain, ada pandangan bahwa Islam mengetengahakn
suatu kerangka sistem politik yang komplit, baik yang menyangkut prinsip-
prinsipnya maupun petunjuk praktisnya. Sekalipun tentunya masih harus
diinterpretasikan dari al-Qur‟an dan as-Sunnah secara holistis. Pendapat ini
menjadi acuan hampir semua pemikir-pemikir Islam dalam menghadapi
derasnya serbuan ide-ide sekuler yang menurut Fahrurrohman begitu gencar
menyerbu Islam pada paroh kedua abad ke-19. Para penganut pendapat ini
menyandarkan argumentasinya kepada satu firman Allah dalam al-Qur‟an
yang dijadikan legitimasi kevalidan dan keabsahan pendapatnya. Dengan
sendirinya tesis ini menolak akomodasi terhadap ide-ide lain yang ditengarai
tidak berasal dari Islam. Apalagi jika diketahui bahwa ide-ide tersebut
notabene tersebut anak kandung sekulerisasi.
Di tengah-tengah dua kutub yang secara diametral nampak
bersebrangan muncul tesisi alternatif yang meramaikan wacana ini. Di sini
Islam memang tidak menawarkan suatu format politik dan sistem politik
yang baku. Namun hanya mengajarkan nilai-nilai (valves) politik, etika-etika
yang terintegrasikan dalam konsep syuro. Sebagai konsep, syuro memang
masih ideal dan cenderung abstrak. Belum mengalami sepanjang perjalanan
Islam proses pelembangaan yang baku dan oleh karenanya bisa menjadi
prototipe bagi sejarah yang berikutnya. Namun demikian, hal ini
memberikan nilai tambah bagi konsep syuro. Implementasinya diserahkan
kepada ummat, sesuai dengan konteks sosial dan kesejarahan yang
melingkupinya. Lebih jauh ini merupakan ilustrasi dari fleksibilitas syari‟ah
dan relevansinya untuk setiap ruang dan waktu.
Kubu “poros tengah” yang saat ini merupakan arus baru (main
stream) pemikiran Islam, pada dasarnya juga mencarikan legitimasi
keabsahan pendapatnya dari firman-firman al-Qur‟an yang tegas-tegas
memerintahkan Nabi dan Ummatnya memanfaatkan institusi syuro ini dalam
menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi. Sejarah Islam sejak awal
kelahirannya memberikan contoh yang amat baik bagi preseden-preseden
ini. Hanya saja pemanfaatan konsep syuro pada masa awal-awal Islam lebih
bersifat insidentil dan kasuistik. Peristiwa perang Uhud merupakan contoh
faktual pemanfaatan syuro.
Tiga tesis di atas mengilustrasikan respon pemikir Islam terhadap
masalah-masalah sosial kemasyarakatan dimana politik merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan dinamika masyarakat. Kestabilan politik
suatu negara akan berpengaruh terhdap teratur dan harmonisnya struktur
sosial. Di sisi lain kekacauan politik di suatu wilayah juga akan
mempengaruhi struktur sosial yang ada.
Yang hendak dikaji oleh tulisan ini apakah Islam (baca; syuro)
compatible dengan demokrasi yang diklaim sebagai sistem politik modern
yang paling baik dan ideal atau malah bertentangan?, atau secara substansial
syuro adalah demokrasi itu sendiri. Bahasa lugasnya, syuro sinonim dengan
demokrasi dan demokrasi identik dengan syuro. Pembahasan ini terutama
lebik dititik beratkan kepada comparasi antara keduanya dalam perspektif
normatif filosofis bukan dari dinamika empiris praktis. Ini untuk menghindar
bias etnosentrisme yang ujung-ujungnya subyektif dan mendistorsikan
hakikat kebenaran.
(*)
. Disampaikan pada Kuliah Jum‟ah Madrasah Ghozaliyyah Syafi‟iyyah
Sarang Rembang.