Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 8

Jurnal Jurusan Keperawatan, Volume…Nomor…

Tahun 2017, Halaman1-8


Online di: http//ejournal-s1.undip.ac.id/

PENGALAMAN HIDUP PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM


V YANG MENJALANI PERITONEAL DIALISIS
Icha Gamelia Prisma Pradita1), Henni Kusuma2)

1) Mahasiswa Departemen Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas


Diponegoro (email: icha.gamelia@ymail.com)
2) Dosen Divisi Keperawatan Dewasa, Fakultas Kedokteran, Universitas
Diponegoro (email: hen_hen8@yahoo.com)

ABSTRACT

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) is a dialysis technique using peritoneal


membran as a dialysis membrane that separate the dialysate in the peritoneal cavity and
blood plasma in the blood peritonium vessels. CAPD therapy may changes in physical,
psychological, and social conditions. The purpose of the study was to explore the
experiences of patients with chronic kidney disease using CAPD. This study used
qualitative research methods with the approach of phenomenology. Data obtained with a
depth interviews from 6 participants, they were 4 male and 2 female, participants age
ranged between 24 – 60 years. Duration of received maintenance CAPD from 1 to 3 years.
The result was analyzed used Colaizzi method. The result obtained five theme: the course
of the disease until undergoing CAPD, physiological changes during CAPD, psychological
changes during CAPD, social relationship during CAPD, and self-care management during
CAPD. Based on this research founded the problems with CAPD patients includes
physiological, psychological, and social relationship. Self-care management with CAPD
include evaluate, monitor, organize, and take responsibility for themselves. Need further
skinning and education to the improvement of self-care management so that the
physiological, psychological, and social experienced by the patient can be resolved.

Keyword: Chronic Kidney Disease, CAPD, Life Experiences

ABSTRAK

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan tehnik dialisis dengan


menggunakan membran peritoneum sebagai membran dialisis yang memisahkan dialisat
dalam rongga peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah peritoneum. PGK
yang dialami dan terapi CAPD yang dijalani oleh pasien menimbulkan banyak perubahan
pada kondisi fisik, psikologis, dan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang pengalaman hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menggunakan
metode CAPD. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Data didapat dengan wawancara mendalam terhadap 6
partisipan yang terdiri dari 4 laki-laki dan 2 perempuan, usia 24 – 60 tahun dan periode
menjalani CAPD 1 – 3 tahun. Hasil wawancara dianalisa dengan menggunakan metode
Colaizzi. Hasil penelitian didapatkan 5 tema yaitu: perjalanan penyakit hingga menjalani
CAPD, perubahan fisiologis selama menjalani CAPD, perubahan psikologis selama
menjalani CAPD, hubungan sosial selama menjalani CAPD, dan manajemen perawatan
diri selama menjalani CAPD. Berdasarkan penelitian ini didapatkan masalah yang dihadapi
pasien mencakup perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial. CAPD yang dijalani melatih
pasien untuk mengevaluasi, memonitor, mengatur, dan bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri. Perlu evaluasi dan pemberian informasi secara terstruktur terkait peningkatan
manajemen perawatan diri sehingga perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial yang
dialami oleh pasien dapat teratasi.

Kata Kunci: Penyakit Ginjal Kronik, CAPD, Pengalaman Hidup


Pendahuluan
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu
keadaan dimana ginjal secara permanen kehilangan fungsi untuk membuang zat-zat hasil
metabolisme dan gangguan dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat
dalam tubuh dan menyebabkan uremia.1 Pada kondisi ini nilai glomerular filtration rate
(GFR) yang merupakan indikator fungsi ginjal telah menurun hingga kurang dari 15 persen
sehingga ginjal tidak mampu melakukan fungsinya sendiri. 2
Prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia tergolong tinggi. Data dari
Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diperkirakan terdapat 70.000 penderita
penyakit ginjal kronik di Indonesia dan angka ini akan terus meningkat setiap tahunnya.
Jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sejumlah 22.304 orang yang
terdiri dari 15.353 pasien baru, 16.951 pasien aktif menjalani HD dan pasien menggunakan
CAPD sebanyak 202 orang. Sedangkan tahun 2012 terjadi peningkatan 29% dari tahun
2011 menjadi 28.782 orang yang terdiri dari 19.621 pasien baru, 9.161 pasien aktif
menjalani HD, dan pasien menggunakan CAPD sebanyak 140 pasien.3
Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan transplantasi ginjal merupakan satu-
satunya cara untuk mempertahankan fungsi tubuh pada kondisi GGT. Dialisis dapat
dilakukan dengan hemodialisis dan peritoneal dialisis. Salah satu jenis peritoneal dialisis
adalah Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD). CAPD merupakan suatu tehnik
dialisis dengan menggunakan membran peritoneum sebagai membran dialisis yang
memisahkan dialisat dalam rongga peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah
peritoneum selama CAPD. Bentuk dialisis ini 'continue' karena terjadi sepanjang waktu
yaitu 24 jam sehari, disebut 'ambulatory' karena setelah melakukan dialisis, pasien tetap
dapat beraktivitas selama proses ini.1
Pilihan menggunakan CAPD pada pasien dengan diagnosis PGK karena tehnik yang
relatif sederhana dan dapat dilakukan sendiri di rumah. CAPD ini juga dapat mengurangi
biaya transportasi yang bisa dikeluarkan untuk melakukan perjalanan menuju pusat
hemodialisis serta penggunaan fasilitas rumah sakit/mesin hemosialisis. Pada pasien yang
didiagnosa anemia berat, komplikasi kardiovaskuler termasuk hipertensi berat dan akses
vaskuler jelek sangat cocok untuk memilih CAPD.1,4
Pengalaman pasien penyakit ginjal kronik terhadap penyakitnya selama menjalani
CAPD merupakan hal yang tidak dapat terlupakan. Tindakan dialisis merupakan salah satu
tindakan yang sangat diperlukan bagi pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan menggantikan fungsi ginjal, namun
disisi lain dapat mengakibatkan perubahan hampir di seluruh segi kehidupan pasien seperti
: aspek fisik dan mental, aspek sosial ekonomi, dan spiritual.

Metode
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif cenderung menggunakan
aspek pengalaman manusia yang dinamik dengan pendekatan yang holistik untuk
menguraikan pengalaman tersebut.5 Desain fenomenologi lebih menekankan pada
eksplorasi arti dan makna pengalaman seseorang secara individu.6 Penelitian ini berfokus
pada penemuan fakta mengenai pengalaman hidup pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani peritoneal dialisis. Sampel dalam penelitian ini adalah 6 partisipan yang
menjalani hemodialisis di RSUP Dr. Kariadi Semarang yang telah memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu teknik Purposive Sampling yaitu
teknik pengambilan sampel dari populasi yang sesuai dengan kehendak peneliti
berdasarkan tujuan ataupun masalah penelitian serta karakteristik subjek yang diinginkan.7
Metode pengumpul data yang digunakan dalam pelelitian ini adalah in depth interview,
yaitu wawancara mendalam yang dilakukan untuk pertanyaan yang sifatnya terbuka.
Pelaksanaan wawancara mendalam disesuaikan dengan kesepakatan partisipan baik
waktu maupun tempat wawancara. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah peneliti sendiri beserta alat bantu lainnya. Instrumen/alat bantu pengumpul data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pedoman wawancara. Pedoman wawancara
yang digunakan merupakan pedoman wawancara yang tidak terstruktur yang disusun
berdasarkan tujuan penelitian. Peneliti menggunakan 25 pertanyaan dalam pedoman
wawancara yang sebelumnya telah dikonsultasikan bersama tiga orang yang ahli dan
kompeten. Selain pedoman wawancara, penelitian juga menggunakan alat pengumpul
data penunjang lainnya yaitu, alat perekam berupa recorder dan catatan lapangan. Hasil
wawancara dianalisis dengan menggunakan metode Colaizzi.

Hasil Penelitian
Usia dari partisipan dalam penelitian ini antara 21-60 tahun dengan lamanya
menjalani CAPD 1-3 tahun. Tingkat pendidikan partisipan bervariasi dari SMA hingga
Sarjana dengan karakteristik pekerjaan yang berbeda, dimana 2 orang sebagai
Wiraswasta, 1 orang Pegawai Negri Sipil, dan 3 orang tidak bekerja.
Partisipan memiliki riwayat terapi pengganti ginjal lain berupa Hemosialisis dengan
retang waktu yang bervariasi dari 4 kali hingga 2 tahun. Berkaitan dengan penyakit
penyerta yang dialami partisipan sebanyak 4 orang memiliki riwayat hipertensi dan 2 orang
memiliki riwayat diabetus melitus.
Hasil penelitian menemukan lima tema utama yang memaparkan pengalaman hidup
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani CAPD, diantaranya :
1. Perjalanan penyakit hingga menjalani CAPD
Tema ini didapatkan untuk mengetahui perjalanan penyakit partisipan sehingga
memilih CAPD sebagai terapi pengganti ginjal. Riwayat penyakit diungkapkan oleh
partisipan dalam penelitian ini yang merupakan proses terjadinya penyakit dengan
gejala yang dikeluhkan oleh partisipan adanya nyeri pinggang, kelelahan fisik, pitting
edema, mual muntah, nafas berbau amonia, dan konfusi. Pengambilan keputusan
oleh partisipan melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang
memungkinkan sehingga memutuskan menggunakan CAPD sebagai terapi pengganti
ginjal yang dipengaruhi oleh alasan memilih CAPD, dampak TPG lain, dalam hal ini
hemosialisis dan penentu keputusan memilih CAPD, seperti diungkapkan oleh
partisipan berikut:
“... badan tu bengkak, mual muntah terus, mulut tu rasane tawar. dulu disaranin
langsung sama dokternya. Untung alhamdulilllah pakai capd. Dulu waktu hd itu
setiap kali hd saya nangis kelamaan kan, pinggangnya tu sakit.” (P4)
2. Perubahan fisiologis selama menjalani CAPD
Tema ini didapatkan untuk mengetahui perubahan fisiologis yang dialami
partisipan selama menjalani CAPD sebagai terapi pengganti ginjal. Perubahan
fisiologis diungkapkan oleh partisipan dalam penelitian ini terkait kelelahan, nyeri,
kelebihan volume cairan, integriitas kulit, eliminasi urin, pola napas, sirkulasi, pola
istirahat tidur, dan komplikasi. Seluruh partisipan merasakan keadaan fisik yang
lemah dan perubahan pada penampilan fisik seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
“kalo fisik ya pasti kelihatan dari kulit kan jadi item kering kulitnya kayak kulit ikan,
terus juga gampang capek. Kalo jalan jauh gitu nanti ngos-ngosan. Terus bengkak
kan kakinya, cairanya turun ke kaki kalo banyak jalan sama berdiri. Kalo pipis saya
enggak bisa, paling keluar sak crit gitu.” (P5)
3. Perubahan psikologis selama menjalani CAPD
Tema ini didapatkan untuk mengetahui perubahan psikologi yang dialami
partisipan selama menjalani CAPD. Perubahan psikologis juga diakui oleh partisipan
saat mereka mengetahui menderita penyakit ginjal kronik dan harus menjalankan
tindakan CAPD. Perubahan psikologis yang mereka nyatakan memunculkan ekspresi
psikologis seperti respon denial yang ditunjukan terpukul, terkejut, takut, dan
menyangkal; anger ditunjukan dengan munculnya perasaan marah, berpikir keras,
dan memprojeksikan marah; bargainning dengan mengungkapkan perasaan cemas
akan masa depan ; depression ditunjukan melalui gangguan citra tubuh, putus asa,
harga diri rendah, menarik diri, tidak mau berbicara; acceptance ditunjukan dengan
menerima kondisi yang dialami, semangat dalam menjalani perawatan, bersyukur,
dan spiritualitas meningkat, seperti dijelaskan sebagai berikut :
“... kok bisa sakit gini, putus asa... perjalanan waktu ya udah dijalani aja, yang
penting semangat dijaga capd nya jangan sampai telat. Putus asa, minder, mau
kumpul gitu minder, pasti ada. Mengurung diri dirumah. Nggak pernah dolan mbak,
yaa bisa jadi lebih dekat dengan keluarga” (P2)
“Kondisinya emang begini perutnya besar, awalnya saya malu kemana-mana
dilihatin, perut diisi 2 liter, dan lagi ada sabuknya. Kan nggak bisa pake celana, ya
wes gitu kepingin kayak temen-temene dah nggak bisa.” (P4)
4. Hubungan sosial selama menjalani CAPD
Tema ini didapatkan untuk mengetahui hubungan sosial partisipan selama
menjalani CAPD. Perubahan pola interaksi sosial dirasakan oleh partisipan sebagai
akibat dari penyakit yang mereka alami. Partisipan menyatakan mengalami
penurunan frekuensi bersosialisasi dan mendapatkan dukungan sosial dari
masyarakat. Partisipan mengatakan bahwa penyakit yang diderita membuat mereka
mendapatkan dukungan dari rekan kerja, meski dengan keterbatasan yang mereka
miliki. Penyakit ginjal kronik yang dialami oleh partisipan memiliki pengaruh pada
keluarga partisipan. Tiga partisipan menyatakan menjadi lebih dekat dengan
keluarga. Mereka megatakan bahwa keluarga selalu memberi dukungan dengan
bentuk dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan
dukungan emosional, seperti diungkapkan oleh partisipan berikut:
“ya ada perubahan, kan dulu sering kumpul ya, sekarang aktivitas aja udah capek.
Tapi alhamdulillah tetangga itu juga menyadari. yaa saya kan wiraswasta mbak,
jadi ya sambil disambi. Soalnya kan harus ngganti cairan kan. alhamdulillah
keluarga mendukung terus, support. Nemenin kontrol.” (P2)
5. Manajemen perawatan diri selama menjalani CAPD
Tema ini didapatkan untuk mengetahui manajemen perawatan diri partisipan
selama menjalani CAPD. Manajemen diri diungkapkan oleh partisipan sebagai upaya
untuk mengendalikan dirinya sendiri. Dalam menjalani terapi CAPD partisipan dapat
melatih dirinya untuk mengevaluasi, memonitor, mengatur dan bertanggung jawab
untuk dirinya sendiri seperti dalam perawatan akses CAPD meliputi manajemen ruang
perawatan, manajemen lingkungan sekitar, kesesuaian prosedur, prinsip,
penggantian balut, perencaan penggantian cairan, dan penggantian cairan selama
berpergian; penanganan efek samping CAPD meliputi sumber informasi, mengenali
tanda-tanda infeksi, dan penanganan; pembatasan cairan, management nutrisi
meliputi nafsu makan, frekuensi makan, diit, dan keluhan; serta aktivitas dan latihan
dengan kendala yang dihadapi seperti kelelahan, penggantian cairan rurin dan
edema, seperti diungkapkan oleh partisipan berikut:
“dulu ada kamar sendiri, tapi nggak kuat panasnya, terus tak bonggar, yaa udah
paling ngganti di sini (ruang tamu). Ya mungkin rumah kayak gini kan kecil, nggak
begitu banyak orang atau apa, yang penting pakai masker, cuci tangan, kalau
anak-anak biasanya udah tau, kalau saya mau ngganti pada menjauh, udah gitu
aja. yang jelas harus bersih mbak, sering nyapu ngepel sama ngelap-ngelap
barang, biar nggak banyak debu nya. Naruh barang juga yang rapi.” (P2)
“...bisa kontrol diri mengurangi minum. Sekarang sudah terbiasa minumnya diatur.
Malah enggak mau kalau minumnya kebanyakan. Paling sehari 1 gelas aqua kecil
yang 240ml...makanya semua sih, nggak ada pantangan.” (P3)
“yaa kalau aktivitas gitu saya udah ancang-ancang. Sebelum kerja ganti cairan.
Saya sangu cairan. Kalo pergi-pergi ya nggak bisa lama-lama, pokoknya ya kalau
udah mendekati waktunya ya pulang.” (P6)

Pembahasan
Hasil penelitian menyatakan bahwa perjalanan penyakit diungkapkan oleh seluruh
partisipan dalam penelitian ini dimulai dari riwayat penyakit hingga pengambilan keputusan
menjalani CAPD. Manifestasi klinis penyakit ginjal kronik yang dialami partisipan yaitu nyeri
pinggang, kelelahan, pitting edema, mual disertai muntah, nafas berbau amonia, dan
konfusi.
Berdasarkan manifestasi klinis sesuai sistem dalam tubuh menurut Long 8 yaitu
gangguan pada sistem intestinal berupa anoreksia, nausea, dan vometing yang
dihubungkan dengan faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut; kulit berupa kulit
berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom; sistem
hematologi berupa anemia kerena produksi eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoietin
ginjal berkurang) , gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, dan gangguan fungsi
leukosit; sistem saraf dan otot berupa restles leg sindroma (kaki tak bisa diam), burning
feet sindroma, ensefalopati metabolik, dan miopati; sistem kardiovaskuler berupa
hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktifitas sistem renin
angiotensin-aldosteron; sistem endokrin dapat berupa gangguan seksual, libido,
fertilitas, dan ereksi menurun akibat produksi testosteron dan spermatogenesis yang
menurun; dan gangguan sistem yang lain yaitu ganguan elektrolit dan asam basa serta
gangguan kalsium dan rangka.
Pengambilan keputusan diungkapkan oleh partisipan dipengaruhi alasan memilih
CAPD, dampak TPG lain dalam hal ini hemosialisis, dan penentu keputusan memilih
CAPD. Salah seorang partisipan menyatakan memiliki akses vaskular yang tidak baik
sehingga gagal melakukan hemodialisis. Satu partisipan lainya memiliki pekerjaan sebagai
PNS sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan hemodialisis. Tiga orang partisipan
memiliki penyakit penyerta berupa diabetes melitus dan hepatitis C sehingga
direkomendasikan oleh dokter untuk melakukan CAPD.
Seleksi pasien menjadi pertimbangan penting untuk mencapai suksesnya terapi PD.
Seleksi ini untuk mencegah peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. Pada tahun awal
PD, seleksi utama diberikan pada pasien yang tidak memungkinkan dilakukan
hemodialisa. Saat ini pasien dengan kecepatan larutan membrane lambat atau rata-rata
tepat dilakukan CAPD, juga pasien yang memungkinkan dilakukan dialisis di rumah,
memiliki komplikasi kardiovaskuler, pasien dengan akses vaskuler jelek, pasien dengan
hipertensi berat, pasien dengan diagnosis anemia dan pasien yang akan bepergian.4
Perubahan fisiologis diungkapkan oleh seluruh partisipan dalam penelitian ini meliputi
kelelahan, nyeri, kelebihan volume cairan, integriitas kulit, eliminasi urin, pola napas,
sirkulasi, pola istirahat tidur, dan komplikasi. Seluruh partisipan merasakan keadaan fisik
yang lemah dan perubahan pada penampilan fisik.
Pasien dialisis mengalami banyak masalah kesehatan yang terus-menerus, dimana
kelelahan adalah salah satu keluhan yang paling sering terjadi.9,10,11 Kelelahan membatasi
aktivitas dan kemandirian pasien, sering dianggap sebagai sumber stres dan umumnya
terkait dengan penurunan kualitas hidup.9,10,12
Kulit belang pada klien dengan dialisis disebabkan oleh pigmen urockrom yang mana
pigmen ini pada ginjal yang sehat dapat dibuang, namun karena adanya kerusakan ginjal
menyebabkan pigmen ini tertumpuk pada kulit sehingga kulit terlihat kelabu/ agak
kehitaman.4
Seluruh partisipan dalam penelitian ini mengatakan melakukan penggantian cairan
dialisat setiap 6 jam, sehingga partisipan harus bangun dan terjaga saat melakukan
penggantian cairan. Pada pasien yang menjalani peritoneal dialisis, sleep-disordered
breathing (SDB), sindrom kaki gelisah, dan gerakan anggota badan periodik (PLMS) dalam
tidur dianggap sebagai kelainan tidur yang paling umum 13 dan sebagian besar
berhubungan dengan cairan kronis, retensi, uremia, dan beban massal dialisat abdomen
selama pertukaran malam.14
Gambaran ekspresi psikologis dialami oleh semua partisipan dalam penelitian ini,
terutama di awal klien dinyatakan mengalami penyakit ginjal kronis dan harus menjalani
cuci darah dan akhirnya menjalani peritoneal dialisis. Melihat dari lamanya klien menjalani
peritoneal dialisis, ekspresi psikologis dari masing-masing partisipan sangat bervariasi,
tergantung mekanisme koping yang dilakukan. Namun berdasarkan hasil wawancara,
partisipan merasakan kehilangan kesehatannya dan tergantung pada terapi peritoneal
dialisis sepanjang hidupnya dengan munculnya respon kehilangan seperti denial, anger,
bargainning, depression, dan acceptance. .
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis atau
psikologis. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cedera, atau perubahan
perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan
individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga
dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. 15,16,17 Kubler-
Ross16 menetapkan lima tahap kehilangan yaitu penyangkalan, kemarahan, tawar
menawar, depresi, dan penerimaan. Tahapan-tahapan tidak selalu urut, atau dilalui
semuanya oleh seorang individu, tapi paling tidak ada dua langkah yang pasti akan dilalui.
Seringkali, individu akan mengalami beberapa langkah berulang-ulang.
Terjadinya perubahan aktivitas sosial dinyatakan oleh seluruh partisipan dalam
penelitian ini, sedangkan penurunan frekuensi bersosialisasi dan tidak bebas bersosialisasi
diakui oleh seluruh partisipan dalam penelitian ini sebagai suatu hambatan mereka dalam
berinteraksi dengan orang lain. Semua partisipan pada penelitian ini menjalani peritoneal
dialisis dengan melakukan penggantian cairan dialisat setiap 4-6jam sekali, sehingga
partisipan tidak mampu berpergian lebih dari 6 jam.18
Dukungan keluarga diperoleh semua partisipan dalam penelitian ini. Mereka
megatakan bahwa keluarga selalu memberi dukungan dengan bentuk dukungan, motivasi,
mengawasi, mendampingi, membantu, menggantikan cairan, hingga merasa dekat
dengan keluarga. Dukungan sosial pada klien peritoneal dialisis sangat dirasakan oleh
semua partisipan. Dukungan didapatkan oleh partisipan dari keluarga, lingkungan kerja,
dan teman dekat.
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dukungan informasional dan dukungan emosional. Dukungan yang paling banyak
didapatkan oleh partisipan adalah dukungan dari keluarga terdekat, hal ini dimaklumi
mengingat keluarga dituntut untuk memberikan dukungan yang lebih besar dibandingkan
dengan dukungan dari kelompok lainya.19
Manajemen perawatan diri diungkapkan oleh partisipan sebagai upaya untuk
mengendalikan dirinya sendiri. Dalam menjalani terapi CAPD partisipan dapat melatih
dirinya untuk mengevaluasi, memonitor, mengatur dan bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri seperti dalam perawatan akses CAPD, penanganan efek samping CAPD,
pembatasan cairan, management nutrisi, serta aktivitas dan latihan.
Fasilitas kurang baik berpotensi lebih tinggi mengalami kejadian peritonitis
dibandingkan dengan fasilitas perawatan yang baik.20 Fasilitas dimaksud yaitu tersedianya
kamar ganti khusus untuk CAPD yang didalamnya dapat diisi peralatan CAPD, air mengalir
untuk cuci tangan dan juga adanya alkohol 70% untuk desinfeksi.21
Dalam perawatan akses CAPD seluruh partisipan dalam penelitian ini menyatakan
menggunakan prinsip bersih dengan selalu cuci tangan dan menggunakan masker.
Peritonitis sebagai salah satu komplikasi serius pada CAPD dapat dicegah dengan
universal precausion.22,23 Pemeliharaan kebersihan dilakukan dengan mencuci tangan dan
menggunakan masker.24
Pengontrolan cairan pada pasien penyakit ginjal yang menjalani dialysis adalah faktor
penting yang dapat menentukan keberhasilan terapi. Pasien penyakit ginjal kronik yang
tidak mematuhi pembatasan asupan cairan akan mengalami penumpukan cairan sehingga
menyebabkan edema paru dan hipertropi pada ventrikel kiri.25
Pengelolaan makanan yang dilakukan partisipan meliputi nafsu makan, frekuensi
makan, diit, dan keluhan. Keluhan yang dirasakan partisipan seperti muncul mual muntah.
Mekanisme mual dan muntah terjadi karena sel enterocromaffin pada mukosa
gastrointestinal melepaskan serotinin. Stimulasi akibat pelepasan serotinin akan
merangsang chemoreseptor trigger zone (CTZ) sebagai pusat muntah.26
Pengaturan aktivitas dan latihan pada penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani
CAPD diungkapkan oleh partisipan diperlukan untuk menjaga kondisi fisiknya. Aktivitas
dan latihan partisipan dipengaruhi oleh adanya kelelahan, penggantian cairan rutin, dan
edema. Malnutrisi-radang tampaknya menjadi salah satu penentu utama penurunan fisik
pada penderita peritoneal dialisis. Kondisi ini mungkin dikarenakan hilangnya protein tinggi,
oleh ketidaknyamanan perut dan beban glukosa yang dapat menyebabkan hilangnya nafsu
makan, hal ini cukup lazim pada pasien peritoneal dialisis. 27

Kesimpulan dan Saran


Setelah dilakukan penelitian tentang studi fenomenologi pengalaman hidup pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani CAPD di RSUP Dr. Kariadi, maka dari hasil penelitian
didapatkan delapan lima yaitu perjalanan penyakit hingga menjalani CAPD, perubahan
fisiologis selama menjalani CAPD, perubahan psikologis selama menjalani CAPD,
hubungan sosial selama menjalani CAPD,dan manajemen perawatan diri selama
menjalani CAPD.
Perjalanan penyakit yang dialami oleh klien dimulai dari riwayat penyakit hingga
pengambilan keputusan menjalani CAPD. Manifestasi klinis yang dialami seperti nyeri
pinggang, kelelahan, pitting edema, mual muntah, nafas berbau amonia, dan konfusi.
Pengambilan keputusan menggunakan CAPD dipengaruhi oleh alasan CAPD lebih baik
dibandingkan HD yang telah dijalani, dampak TPG lain dalam hal ini hemodialisis, dan
penentu keputusan memilih CAPD berdasarkan inisiatif partisipan dan rekomendasi
dokter.
Gambaran perubahan yang terjadi pada kehidupan klien yang menjalani peritoneal
dialisis didapatkan adanya perubahan fisiologis meliputi kelelahan, nyeri, kelebihan volume
cairan, integritas kulit, eliminasi, pola napas, sirkulasi, komplikasi, dan pola istirahat tidur.
Gambaran perubahan psikologis yang terjadi pada kehidupan klien yang menjalani
peritoneal dialisis didapatkan munculnya respon kehilangan seperti respon denial yang
ditunjukan terpukul, terkejut, takut, dan menyangkal; anger ditunjukan dengan munculnya
perasaan marah, berpikir keras, dan memprojeksikan marah; bargainning dengan
mengungkapkan perasaan cemas akan masa depan; depression ditunjukan melalui
gangguan citra tubuh, putus asa, harga diri rendah, menarik diri, tidak mau berbicara;
acceptance ditunjukan dengan menerima kondisi yang dialami, semangat dalam menjalani
perawatan, bersyukur, dan spiritualitas meningkat.
Gambaran hubungan sosial yang terjadi pada kehidupan klien yang menjalani
peritoneal dialisis didapatkan adanya perubahan pola interaksi soaial yang meliputi
perubahan aktivitas sosial, pengaruh CAPD terhadap pekerjaan, dan pengaruh pada
keluarga selama menjalani peritoneal dialisis.
Manajemen diri yang dilakukan oleh klien selama menjalani peritoneal dialisis yaitu:
perawatan akses CAPD meliputi manajemen ruang perawatan, manajemen lingkungan
sekitar, kesesuaian prosedur, prinsip, penggantian balut, perencaan penggantian cairan,
dan penggantian cairan selama berpergian; penanganan efek samping CAPD meliputi
sumber informasi, mengenali tanda-tanda infeksi, dan penanganan; pembatasan cairan,
management nutrisi meliputi nafsu makan, frekuensi makan, diit, dan keluhan; serta
aktivitas dan latihan dengan kendala yang dihadapi seperti kelelahan, penggantian cairan
rurin dan edema.
Perlu evaluasi lanjut dan pemberian informasi secara terstruktur terkait peningkatan
manajemen perawatan diri sehingga perubahan fisiologis, psikologis, dan sosial yang
dialami oleh pasien dapat teratasi.

Daftar Pustaka
1. Kallenbach JZ, Gutch, C.F. Martha SH, et al. Review of hemodialysis for nurses
and dialysis personel. 7th ed. St. Louis: Elseiver Mosby, 2005.
2. Soeparman, Sarwono W. Ilmu penyakit dalam (Jilid II). Jakarta: FKUI, 1999.
3. Indonesian renal Registry. 5 th report of indonesian renal registry 2012. Program
Indonesia Renal Registry 2012; 12–13.
4. Thomas N, Smith T. Renal nursing. 2nd ed. United Kingdom: Bailliere Tindal, 2002.
5. Polit FD, Beck T. Nursing research: prinsiples and methods. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott, 2010.
6. Wood GL, Haber J. Nursing research: methods and critical appraisal for evidence-
based practice. 7th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2010.
7. Nursalam. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan
pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawataan. Jakarta: Salemba
Medika, 2008.
8. Long BC. perawatan medikal bedah. Bandung: Yayasan Alumni Pendidikan
Keperawatan, 1996.
9. Jhamb M, Weisbord S, Steel J, et al. Fatigue in patients receiving maintenance
dialysis: a review of definitions, measures, and contributing factors. Am J Kidney
Dis 2008; 52: 353–65.
10. Bossola M, Vulpio C, Tazza L. Fatigue in chronic dialysis patients. Semin Dial 2011;
24: 550–555.
11. Karakan S, Sezer S, Ozdemir F. Factors related to fatigue and subgroups of fatigue
in patients with end-stage renal disease. Clin Nephrol 2011; 76: 358–364.
12. Lee B, Lin C, Chaboyer W, et al. The fatigue experience of haemodialysis patients
in Taiwan. J Clin Nurs 2007; 16: 407–413.
13. Tang S, KN L. Sleep disturbances and sleep apnea in patients on chronic peritoneal
dialysis. J Nephrol 2009; 22: 318–325.
14. Tang S, Lam B, Lai A, et al. Improvement in sleep apnea during nocturnal peritoneal
dialysis is associated with reduced airway congestion and better uremic clearance.
Clin J Am Soc Nephrol 2009; 4: 410–418.
15. Potter PA, Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan
praktik. 4th ed. Jakarta: EGC, 2005.
16. Kübler-Ross E. On death and dying. London and New York: Routledge, 2008.
17. Mallon B. Dying, death and grief. USA: Sage Pub. Inc, 2008.
18. DeVore V. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and its complication.
United States: Pharmacist, 2006.
19. Lubis. Dukungan sosial pada pasien gagal ginjal terminal yang melakukan terapi
hemodialisis. Universitas Sumatera Utara, 2006.
20. Supono. Faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya peritonitis pada pasien
continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) di rumah sakit Dr. Saiful Anwar
Malang. 2009.
21. Tambunan R. Asuhan keperawatan pada pasien dialisis. 2008.
22. Duval L. Infection Control 101. Nephrol Nurs J 2010; 37: 485–488.
23. Szeto C., Kwan BC., Chow KM, et al. Persisten symptomatic intra-abdominal
collection after catheter removal for PD-related peritonitis. Perit Dial Int 2010; 31:
34–38.
24. Frenesius Medical Care. Frenesius fundamentals in peritoneal dialysis. In: Materi
Pelatihan CAPD. 2004.
25. Smeltzer SC. Buku ajar keperawatan medikal bedah. 8th ed. Jakarta: EGC, 2001.
26. Corwin EJ. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC, 2009.
27. Cupisti A, D’Alessandro C, Finato V, et al. Assessment of physical activity, capacity
and nutritional status in elderly peritoneal dialysis patients. BMC Nephrol;
18doi.org/10.1186/s12882-017-0593-7 (2017).

You might also like