Sejarah

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

RADEN AJENG KARTINI

Tugas Sejarah Indonesia

Oleh :
Qenia Alya Fauziah
XII MIPA 2

SMA Negeri 10 Depok


Name : Qenia Alya Fauziah
Class : XII MIPA 2

Depok, August 21, 2019

Attention to :
HRD PT JAYA DEVELOPMENT
Wisma Emha Jin.Wijaya 1 No.67 C
Semarang 50167

Dear Sir/Madam,
Based on the information I received from website www.bni.co.id on July 12, 2019. PT
JAYA DEVELOPMENT job opening as senior secretary. I am interested in secretary
position.

Here is my brief bio :

name : Qenia Alya Fauziah,


place/date of birth : Depok, 02 May 1988,
address : Jl. Serua Bulak No 96,
phone number/email : 0895 3266 75933/qeniaalya@gmail.com,
status : Not married,
last education : S1,
gender : Female.

The opportunity presented in this listing is very interesting form me, and I believe that
my education background and long experience will make me a very competitive andidate for
secretary position. The key strengths that I possess for success in this position include, I have
good behaviour and great service, I have 3 years experiences, I provide exceptional
contributions to customer service for all customers, I also have a good computer skill, and I
can communicate in English and Mandarin both spoken and written.
With a BS degree in Secretary University, I have full understanding about the secretary
duty and the rules. I also have experience in learning and excelling at management as needed.
With all the qualification I mentioned above, I am confident that I can contribute
effectively to your company. Herewith this letter I endorse my :
1. Copy of Bachelor Degree (S-1) certificate and Academic Transcript,
2. Curriculum vitae,
3. Copy of police notes (SKCK),
4. Copy of the Yellow,
5. Recent protograph 3x4,
Thank you for time and consideration. I look forward to speaking with you about this
company employment opportunity.

Sincerely,

Qenia Alya Fauziah


R.A. Kartini

21 April 1879 - 17 September 1904

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Biografi

Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat.


Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia
merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat
menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi
bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini
dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat
ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati
Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di
Pangreh Praja.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu
itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah
satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini,
Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar
bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa
dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.

Kartini bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat (1903)


Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa
kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari suratsuratnya tampak
Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
Catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip
beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,
otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta
karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya
Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan
dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia
25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan
oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-Surat

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi
judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku
kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan
pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi
lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu
korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang
tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional
Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.

Pemikiran

Uang kertas pecahan IDR 5 cetakan tahun 1952 dengan gambar Kartini

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini
menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit,
Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan
Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah
kritik terhadap agamanya.[butuh rujukan] Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus
dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang
pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita
daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama
itu..."[butuh rujukan] Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi
kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa
yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.[butuh rujukan]
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi
ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang
ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu
mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di
Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan
Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hamper terwujud
tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk
belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi
menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam
mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya
untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga
disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan
egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati
Rembang.

Buku

Sampul buku versi Armijn Pane

Habis Gelap Terbitlah Terang


Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu
dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah
seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga
disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang
berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan suratsurat
Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-
surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk
menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama
berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat
Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak
dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah
terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar
menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah
roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat
tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya


Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan
studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta
Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen
adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada
1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht
pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya
menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa
Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah
kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada
pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini,
Suratsurat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904


Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost
Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil
temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong
sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté,
seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat
Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon.
Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
#

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.

Panggil Aku Kartini Saja


Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer.
Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai
sumber oleh Pramoedya.

Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya


Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam
Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir
dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902,
dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan
makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa
Kartini adalah seorang vegetarian.[4] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong
bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada
Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan
untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi
surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ...
Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini
tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal:
sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Peringatan Hari Kartini pada tahun 1953

Kontroversi

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat
Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial
Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka
adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena
masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien,
Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan
Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata
melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan
kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro
mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat
derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Makam R.A. Kartini di Bulu, Rembang.

Peringatan Hari Kartini

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun


1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun
sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
RASUNA SAID

Nama Lengkap : Hajjah Rangkayo Rasuna Said

Agama : Islam

Tempat Lahir : Maninjau, Agam, Sumatera Barat

Tanggal Lahir : Kamis, 15 September 1910

Meninggal : Jakarta, 2 November 1965

Warga Negara : Indonesia

Biografi
Bernama asli Hajjah Rangkaayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera barat
pada tanggal 14 september 1910. Ia adalah seorang penggerak wanita yang sangat berperan
dalam kemerdekaan Indonesia terutama dalam bidang pendidikan, pemberdayaan wanita dan
jurnalisme nasional pada waktu itu. Ia sangatlah tegas dalam berpidato dan tulisan tulisan
seorang rasuna Said dikenal hangat tajam dan bersifat anti kolonialisme terhadap penjajahan
Belanda kala itu. Seorang wanita yang mendedikasikan hidupnya demi kemajuan wanita dan
Indonesia hingga Indonesia bahkan sudah merdeka. Bahkan rasuna oleh karena itu biografi
rasuna Said dibuatkan riwayat biografi yang apik dan panjang.

Rasuna Said menamatkan SDnya lalu melanjutkan pendidikan di pesantren dan diniyah putri
di Bukittinggi. Disana ia belajar tentang banyak hal. Ia juga mulai mempelajari dan
memperdalam masalah agama islam dari gerakan tahwalib. Gerakan islam yang banyak
dipengaruhi oleh gerakan nasionalis islam Turki pada masa itu. Ia tidak hanya memahami soal
agama atau pengetahuan umum saja namun ia juga tertarik dengan politik. Ketika di membantu
mengajar di diniyah putri sebagai guru ia banyak mengajarkan wanita tentang pendidikan
sebagai fondasi akan kemajuan wanita di tanah Minang itu. Biografi Rasuna Saidpun berlanjut.

Selain mengajari hal tersebut rasuna Said juga mengajari masalah politik, bahkan ia
berencana memasukkan pelajaran politik ke dalam kurikulum sekolah diniyah pada masa itu.
Namun permohonannya ditolak. Rasuna Said cukup kecewa tentang hal itu rasuna Said juga
sering memberikan pidato pidato di tengah masyarakat yang isinya pesan antikolonialisme
yang gamblang dan tajam. Hal ini membuat rasuna Said menjadi wanita pejuang pertama yang
terkena hukum kolonial Belanda yang dinamakan speechdelict. Hukuman yang ditujukan pada
orang orang yang berbicara menjelek-jelekkan atau mendesak pemerintahan Belanda di depan
umum. Biografi Rasuna Said terus berlanjut.
Rasuna Said pernah ditangkap di Semarang gara gara pidatonya itu selama berapa
tahun. Telah bebas dari penjara ia pun menjadi seorang jurnalis di menara poetri yang
merupakan sebuah majalah mingguan yang berisi tulisan tulisan rasuna Said yang dikenal
tajam dan asih membawa pesan-pesan antikolonialisme yang kental. Hal ini merupakan
perjuangan barunya untuk menggerakan masyarakat luas. Biografi kisah Rasuna Said terus
berlanjut.
Sayangnya majalah itu pun bangkrut karena tidak ada sumber penganan yang cukup.
Rasuna Said meneruskan perjungannya di politik saat Indonesia sudah merdeka. Ia mendapat
tempat Dewan pertimbangan agung dan dewan perwakilan rakyat RIS karena kemauan
politiknya yang sangat bagus dan sangat tajam. Ia sunguh pejuang wanita dan pahlawan
dengan biografi rasuna Said yang sesuai dan hebat.

Kehidupan Awal

H.R. Rasuna Said dilahirkan pada 15 September 1910, di Desa


Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan keturunan
bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan
bekas aktivis pergerakan.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja
dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, ia
merupakan satu-satunya santri perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan
pemberani. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang,
dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan
Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatra Barat. Banyak
pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal
Atatürk.
Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia
sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti
mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat
dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin
memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak.
Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim
Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir
yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said.
Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-
an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap, kelakuan
ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.

Perjuangan Politik

Rasuna Said

Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat
(SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra
Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun
1930. Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian
mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di
Bukittinggi. Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda.
Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu
hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara
menentang Belanda.
Rasuna Said sempat di tangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail, dan
dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan
pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja
Jurnalis
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna
menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan
tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID)
mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang
diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna
sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-
luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan
koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu". Koran ini banyak
berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran
pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh
rubrik "Pojok". Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya
merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena
sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri
ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk
jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang
pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional." Akan tetapi,
koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak
membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar
tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau
koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman,
Sumatra Barat.

Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi
pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.

Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia
dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili
daerah Sumatra Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia diangkat sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.
Ia wafat akibat penyakit kanker darah pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta. H.R. Rasuna
Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta,
Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Rasuna Said diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.
Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan,
Jakarta Selatan, serta di daerah asalnya di Padang, Sumatra Barat.

Cut Nyak Dien adalah Pahlawan Nasional wanita Indonesia yang berasal dari Aceh.

Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar.

Dari garis ayahnya, Cut Nyak Dien merupakan keturunan langsung Sultan Aceh.

Ketika usianya menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Cek

Ibrahim Lamnga pada tahun 1862 yang juga berasal dari keluarga bangsawan. Pasangan

muda ini dikaruniai satu orang anak.

Ketika Perang Aceh meluas pada tanggal 26 maret 1873, ayah dan suami Cut Nyak

Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang memiliki persenjataan lebih

lengkap dan modern. Setelah bertahun-tahun melawan, pasukannya terdesak dan

memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih terpencil.

Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang. Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960 saat Pemda Aceh sengaja
melakukan penelusuran.

You might also like