Jurnal Rivai

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

PENERAPAN MODEL EDUTAINMENT UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BEKERJASAMA SISWA DALAM PEMBELAJARAN


SEJARAH

Muhammad Rivai Hasan Bisri, Yani Kusmarni, Yeni Kurniawati S1

ABSTRACT
This research is based on the finding of learning conditions of class X MIPA 6 SMAN 4
Bandung which shows lack of students skill in collaboration while doing teamwork tasks of
history. Indications are visible from there is no match between students while learning in
groups and the lack of responsibility towards the tasks that have been given both in discussing
and completing assignments. The formulation of research problem in this research is how to
improve students collaboration skill through the development of edutainment models using
puzzle games. Thus, the researcher did a research by using Classroom Action Research
Methods by Adopting Kemmis and Mc. Taggart design which includes four steps such as plan,
act, observe and reflect. Data collection techniqs used obersvation, interviews and
documentation studies. Meanwhile, data collection tools used interview guides, observation
guides and field notes. Based on the result of the research showed and increasment of students
collaboration skill in history learning thourgh the development of edutainment models using
puzzle games. The increasement can be seen from the achievement of several cycle. The action
in the first cycle obtained a percentage of 54.87%, the action of the second cycle obtained a
percentage of 70.15% and the action of the third cycle obtained a percentage of 84%. Based
on the result of research, by using edutainment model with puzzle games can be a solution to
increase student’s teamwork skill while doing teamwork tasks of history in class X MIPA 4
SMAN 4 Bandung.
Keywords: Collaboration skill, Edutainment Model, Puzzle Game.
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh temuan kondisi pembelajaran sejarah di kelas X MIPA 6
SMA N 4 Bandung yang menunjukkan keterampilan bekerjasama siswa yang masih rendah.
Indikasi tersebut terlihat dari belum adanya kecocokan antara siswa pada saat belajar dengan
cara berkelompok dan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap tugas yang telah diberikan baik
dalam berdiskusi maupun menyelesaikan tugas. Penelitian ini memfokuskan pada upaya
meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa dalam pembelajaran sejarah melalui penerapan
model edutainment dengan permainan puzzle. Metode yang digunakan adalah metode
Penelitian Tindakan Kelas dengan mengadopsi desain penelitian Kemmis dan Mc. Taggart
yang terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Sumber
data yang diperlukan diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data diantaranya
melalui observasi, wawancara serta studi dokumentasi. Sementara, alat pengumpulan data yang
digunakan yaitu pedoman wawancara, lembar pengamatan serta catatan lapangan. Berdasarkan
hasil temuan penelitian menunjukkan adanya peningkatan dari keterampilan bekerjasama
siswa dalam pembelajaran sejarah melalui penerapan model edutainment dengan permainan
puzzle. Peningkatkan tersebut dapat dilihat dari hasil yang didapatkan dari setiap siklusnya.
Tindakan pada siklus pertama memperoleh presentase 54.87%, pada tindakan siklus kedua
1
Author correspondence
Email: pairivai07@gmail.com
Available online at http: //http://ejornal.upi.edu/index.php/factum
menjadi 70.15% dan pada tindakan siklus ketiga menjadi 84%. Berdasarkan hasil penelitian,
penerapan model edutainement dengan permainan permainan puzzle dapat menjadi solusi
untuk meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa dalam pembelajaran sejarah di kelas X
MIPA 6 SMA N 4 Bandung.
Kata Kunci : Keterampilan Bekerjasama, Model Edutainment, Permainan Puzzle.

PENDAHULUAN
Tantangan hidup pada abad ke-21 menuntut setiap individu harus dapat memiliki
berbagai keterampilan agar dapat mengimbangi segala perkembangan yang telah dan
akan terjadi nantinya. Melalui pendidikan maka seharusnya dapat menjadi wadah untuk
seseorang agar dapat mengembangkan keterampilannya. Hal tersebut sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi ataupun keterampilan
dalam dirinya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Mulyasa dalam (Santoso,
dkk, 2016, hlm. 34) merujuk pada kurikulum 2013 yang salah satunya berorientasi pada
pengembangan keterampilan dengan tujuan agar dapat mencetak generasi muda yang
produktif, kreatif, inovatif dan efektif melalui penguatan kemampuan pengetahuan,
sikap dan keterampilan.

Aspek keterampilan menjadi salah satu hal yang penting untuk dapat
dikembangkan dijenjang pendidikan. Sejalan dengan perkembangan di abad ke-21
yang pesat maka setiap individu dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan baik
hard skill maupun soft skill seperti critical thingking (berpikir kritis), communication
(komunikasi), collaboration (kerjasama), dan creativity (kreativitas) (Huda, 2016, hlm.
2). Selain itu Sari (2018) juga berpendapat bahwa keterampilan abad ke-21 adalah apa
yang dibutuhkan untuk hidup bermasyarakta pada masa yang akan datang. Hal tersebut
dibuktikan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pergesaran pembangunan
pendidikan ke arah ICT (Information and Communication Technology).

Salah satu keterampilan abad ke-21 yang dapat dikembangkan dalam


pembelajaran sejarah adalah keterampilan bekerjasama. Keterampilan bekerjasama
merupakan hal yang harus dapat dimiliki oleh setiap individu sebagai makhluk sosial
karena pada dasarnya manusia adalah makhluk hidup yang tidak dapat sendiri dan
membutuhkan bantuan dari orang lain. Sejalan dengan pendapat tersebut Supriatna
(2007) juga menjelaskan

“keterampilan sosial seperti menghargai dan mampu bekerjasama dengan orang


lain menjadi salah satu aspek yang diperlukan untuk menyiapkan peserta didik
memasuki perkembangan global. Karena siswa bukan hanya dilatih mengenai
sikap keunggulan individual yang tergantung pada keunggulan kelompok
melainkan juga semangat serta keterampilan bekerjasama yang merupakan
bagian dari kemampuan relasi sosial di dalam kelompok yang menghimpun
berbagai individu”
Sesuai dengan tantangan kehidupan yang dihadapi pada masa ini, pembelajaran
sejarah dapat dijadikan sebagai salah satu upaya guru dalam mengembangkan
keterampilan bekerjasama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan (2008, hlm. 3)
bahwa pembelajaran sejarah berpotensi untuk mengembangkan kepedulian sosial yang
salah satunya adalah bekerjasama. Hal tersebut dikarenakan sejarah tidak lepas dari
banyaknya peristiwa yang menunjukan bahwa keberhasilan suatu bangsa dalam
memajukan negaranya tidak terlepas dari peranan banyak orang dengan adanya
hubungan kerjasama satu sama lain.

Begitupun siswa untuk mencapai keberhasilan dalam belajar salah satunya


adalah dengan saling bekerjasama. Melalui bekerjasama siswa akan mencoba untuk
saling berbagi pengetahuannya berdasarkan kemampuan berpikirnya masing-masing.
Dengan begitu siswa yang tidak mengetahui materi tersebut dapat memahaminya dan
juga sebaliknya jika temannya yang telah memahami materi tersebut maka ia akan
memberi tahu. Dengan bekerjasama akan membantu siswa dalam memahami materi
yang lebih mendalam dengan cara yang mudah dan tidak menyita banyak waktu karena
siswa akan mencoba untuk saling berbagi pengetahuannya berdasarkan kemampuan
berpikirnya masing-masing. Mengingat bahwa dalam mempelajari sejarah berarti
mempelajari berbagai hal didalamnnya sebab suatu peristiwa sejarah tidak dapat
dipahami hanya sekedar memahami satu konsep, melainkan siswa juga harus dapat
memepalajari konsep-konsep lainnya yang relevan.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dalam kegiatan


pembelajarna sejarah di kelas X MIPA 6 SMAN 4 Bandung, keterampilan bekerjasama
siswa yang ditunjukan masih dinilai rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada saat proses
pembelajaran berlangsung, diantaranya yaitu: Pertama, belum adanya kecocokan antara
satu sama lain saat kerja kelompok. Kedua, terdaat kelompok yang hanya mengandalkan
satu ataupun dua orang saja dalam menyelesaikan tugas kelompok. Ketiga, keterlibatan
aktif antar anggota kelompoknya tidak begitu terlihat. Keempat, siswa cenderung
kesulitan pada saat melakukan proses diskusi dan tanya jawab.

Guna memenuhi tuntutan pembelajaran yang dapat mengembangkan salah


keterampilan abad ke-21 yaitu bekerjasama, maka diperlukan suatu perencanaan
pembelajaran yang tepat. Peneliti memilih untuk menerapkan model edutainment yang
dipadukan dengan permainan puzzle. Secara sederhana edutainment dapat diartikan
sebagai gabungan dua konsep antara education dan entertainment yang berarti konsep
pendidikan dibalutkan dengan konsep hiburan yang diaharapkan proses pembelajaran
tersebut dapat tersajikan secara efektif. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat
Siswanto dan Wahyuni (2009, hlm. 183) yang menyatakan

“bahwa setiap guru menginginkan proses pembelajaran yang dilaksanakannya


dapat menyenangkan dan berpusat pada siswa sehingga siswa dapat antusias
dalam menjawab atau memberikan pertanyaan, bertukar informasi, bersorak
merayakan keberhasilan mereka dan memberikan semangat sehingga hasil dari
tujuan pembelajaran tersebut memuaskan.”
Karena pada hakikatnya konsep edutainment merupakan aktivitas pembelajaran
yang tidak tampil dalam wajah yang menakutkan tetapi dalam wujud yang humanis dan
menyenangkan (Hamruni dalam Agustia, 2016, hlm. 4). Untuk menciptakan proses
pembelajaran yang menyenangkan peneliti memadukan model edutainment dengan
permainan puzzle sebagai cara dalam menumbuhkan keterampilan bekerjasama siswa
dalam pembelajaran sejarah.

Puzzle merupakan permainan yang terdiri atas kepingan-kepingan atau gambar


yang dimainkan dengan cara bongkar pasang dan menyusunnya menjadi satu susunan
puzzle yang utuh. Permainan puzzle adalah permainan yang mengajak siswa untuk dapat
saling bekerjasama dalam menyelesaikan susunan kepingan puzzle dengan cara yang
menyenangkan. Karena pada dasarnya ketika siswa dihadapi dengan hal yang
menyenangkan dapat menarik minat siswa untuk mengikuti proses pembelajaran secara
optimal. Hal ini sesuai dengan kondisi siswa yang baru masuk kedalam usia remaja
sehingga mereka membutuhkan kesenangkan (bermain) sekaligus belajar. Permainan
puzzle juga akan membawa siswa secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga tidak
ada tekanan yang dirasakan, karena semua ssiwa akan saling membantu dalam
menyusun kepingan puzzle sehingga proses pembelajaran akan terasa lebih mudah dan
menyenangkan. Dengan diterapkannya model edutainment dengan permainan puzzle
dalam pembelajaran sejarah, diharapkan dapat menjadi salah satu cara peneliti dalam
meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa di kelas X MIPA 6 SMAN 4 Bandung.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara atau panduan peneliti dalam melakukan
penelitian agar dapat berjalan secara teratur. Penelitian mengenai penerapan model
edutainment dengan permainan puzzle untuk menumbuhkan keterampilan bekerjasama
siswa dalam pembelajaran sejarah ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
sebagai metode yang digunakan. Hopkin (2011, hlm. 3) mendefinisikan penelitian
tindakan kelas sebagai cara yang dilakukan oleh guru unutk meningkatkan kualitas
pengajaran dengan menguji asumsi teoritis pedagogis. Sedangkan menurut Brown dan
Abernathy (dalam Hamid, 2009, hlm. 6) yang menyatakan bahwa tujuan penelitian
tindakan adalah suatu proses yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang
yang menginginkan perubahan dalam situasi spesifik dari suatu prosedur tes yang akan
menghasilkan suatu perubahan. Berdasarkan penjelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya penelitian tindakan kelas merupakan metode penelitian yang
mengarah pada perbaikan dalam proses pembelajaran.
Alasan penggunaan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yaitu karena pada
penelitian tindakan kelas digambarkan secara rinci mengenai tahapan-tahapan yang
dimulai dari mencari permasalahan di dalam kelas lalu menghubungkan permasalahan
tersebut dengan asumsi atau teori pedagogis yang nantinya akan diterapkan dan melihat
perubahan tingkah laku dari sebelum dan sesuai diterapkannya teori pembelajaran
tersebut berdasarkan data yang diperoleh.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian
model Kemmis dan Mc. Taggart yaitu model spiral (dalam Wiriaatmadja, 2014, hlm.
66) yang dimulai dari tahap perencanaan mengenai hal-hal apa saja yang akan
dilakukan, selanjutnya pada tahap tindakan peneliti mulai menerapkan perencanaan
yang sudah dirancang sebelumnya, pada tahap observasi peneliti melihat bagaimana
proses penerapan tersebut berlangsung dan pada tahap refleksi peneliti akan memiliki
penilaian berdasrakan data yang diperoleh dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan sebelum melakukan penelitian selanjutnya. Alasan peneliti
menggunakan desain penelitian Kemmis dan Mc. Tagggart karena model ini didesain
secara sederhana dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu upaya
meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa melalui pengembangan model
edutainment dengan permainan puzzle dalam pembelajarna sejarah.

Sesuai dengan tahapan desain penelitian Kemmis dan Mc. Taggart, peneliti akan
lebih dulu melakukan tahap perencanaan sebelum melakukan tindakan, setelah itu
peneliti akan mencoba untuk menerapkan hasil dari perencanaan sebelumnya dan
melihat hasil dari pelaksanaan tersebut pada tahapan observasi. Pada langkah
selanjutnya yaitu peneliti akan melakukan refleksi dengan tujuan untuk menilai atau
menganalisis hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu hal ini juga dilakukan
sebagai cara untuk mengetahui bagaimana tindakan tersebut telah mengalami
peningkatkan. Selain itu karena desain penelitian ini berbentuk spiral yang berarti
peneliti akan melakukan tindakan untuk memperbaiki proses pembelajaran secara
bertahap sampai pada hasil yang diharapkan.

Pada penelitian ini data yang diambil adalah mengenai peningkatan


keterampilan bekerjasama siswa melalui pengembangan model edutainment dengan
permainan puzzle dalam pembelajaran sejarah. Adapun cara yang dilakukan untuk
memperoleh data tersebut adalah dengan melakukan observasi, wawancara dan studi
dokumenter. Selain itu sebagai langkah selanjutnya dalam mengolah data peneliti
melakukan beberapa tahapan diantaranya reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan. Sementara untuk memperkuat data peneliti melakukan beberapa tahapan
diantaranya member check, triangulasi dan expert opinion.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasrkan hasil identifikasi peneliti terhadap permasalahan yang terjadi di
kelas X MIPA 6, upaya peneliti dalam meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa
dalam pembelajaran sejarah di kelas X MIPA 6 dapat berjalan secara optimal melalui
penerapan model edutainment dengan permainan puzzle. Hal ini terlihat dari respon
yang ditunjukan oleh setiap kelompok maupun melalui data yang telah diperoleh
melalui instrumen penelitian. Melalui penerapan model edutainment dengan permainan
puzzle sebagai upaya meningkatkan keterampilan bekerjasama, siswa dengan
sendirinya mulai terbiasa dengan proses pembelajaran yang dilakukan secara
berkelompok.
Pada penilitian ini peneliti melakukan penilaian terhadap keterampilan
bekerjasama sebagai upaya untuk melihat perubahan yang terjadi setelah diterapkannya
model edutainment dengan permainan puzzle. Adapun penilaian indikator keterampilan
bekerjasama yang digunakan yaitu kemampuan berkomunikasi meliputi siswa dapat
memberikan ide atau informasi yang diperlukan dan siswa dapat berdiskusi dengan
teman kelompoknya. Selanjutnya pada indikator kedua yaitu kekompakkan yang
meliputi siswa terlibat akti dalam mencari jawaban dan menyelesaikan tugas dan siswa
dapat saling memotivasi teman kelompoknya, dan pada indikator ketiga yaitu tanggung
jawab dalam kerja kelompok meliputi siswa dapat membagi dan melaksanakan tugas
yang diberikan kelompok dan siswa dapat saling membantu temannya yang sedang
dalam kesulitan.
Penerapan model edutainment pada penelitian ini dilakukan sebanyak tiga
siklus. Pada penerapan siklus I, peneliti membuat rancangan permainan puzzle yang
masih sederhana dengan memfokuskan pada keterampilan bekerjasama siswa yaitu
dengan membuat racangan permainan puzzle yang terdiri dari dua babak. Pada babak
pertama sebelum siswa memulai untuk menyusun puzzle akan diminta terlebih dahulu
untuk memutar roda keberuntungan dan jenis puzzle yang digunakan adalah puzzle
gambar dan pada babak kedua jenis puzzle yang digunakan adalah puzzle gambar yang
dimodifikasi dengan menggunakan power point dan siswa akan terlebih dahulu
diberikan empat buah pertanyaan dengan masing-masing jawaban yang benar akan
membuka satu kepingan puzzle tersebut. Pada pelaksanaanya, siswa hanya diberikan
waktu 40 detik untuk menyusun puzzle kemudian mereka harus dapat menjelaskan
maksud dari susunan puzzle tersebut. Setelah itu siswa akan memulai babak kedua
dengan diberikan empat buah pertanyaan untuk dapat membuka kepingan puzzle yang
tertera pada power point dan setelah keempat kepingan puzzle tersebut terbuka maka
setiap kelompok akan diminta untuk memainkan peran atau adegan sesuai dengan
cerita folklore yang didapatkan. Dari kedua babak tersebut, jika kedapatan kelompok
yang tidak dapat menyusun, menjelaskan atau menjawab puzzle maka kelompok
tersebut berhak diberikan hukuman yang bersifat menghibur oleh teman-temannya.
Selain itu peneliti juga menyiapkan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan pada
babak rebutan.
Pada pelaksanaan siklus II, peneliti membuat rancangan yang telah disesuaikan
dengan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Pada siklus II, peneliti melakukan
modeifikasi pada permainan puzzle yaitu dengan memberikan lembar kerja terlebih
dahulu yang terdiri dari lima butir soal dengan tujuan agar keterampialn bekerjasama
setiap kelompok dapat terjalin sejak awal pembelajaran. Hal ini tentunya juga
disesuaikan dengan tingkat kesulitan dari setiap butir soalnya, karena dari masing-
masing soal akan memiliki itingkat kesulitan yang berbeda-beda sehingga siswa
dituntut untuk dapat mengoptimalkan hubungan kerjasama antar anggota
kelompoknya. Selanjutnya permainan puzzle yang akan digunakan mengalami
perubahan pada tahapan bermainnya yaitu setiap kelompok akan diberikan kesempatan
untuk menyusun puzzle secara bersama-sama dengan waktu 50 detik. Selanjutnya
peneliti kembali menggunakan babak rebutan sebagai cara untuk menciptakan proses
pembelajaran yang lebih kompetitif, dengan begitu setiap kelompok akan berusaha
bekerjasama dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan.
Sementara ada pelaksanaan siklus III, peneliti kembali melakukan perencanaan
yang telah disesuaikan dengan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Pada siklus III,
modifikasi dilakukan pada tahap permainan puzzle yaitu setelah siswa berhasil
menyusun kepingan puzzle, kelompok lain berhak memberikan pertanyaan dengan
dibatas total tiga buah pertanyaan. Hal ini bertujuan untuk menuntut siswa agar dapat
memahami materi pembelajaran secara lebih lanjut. Selain itu pada babak kedua guru
akan membagikan secara acak satu pecahan puzzle yang kepada setiap kelompok.
Dengan begitu siswa tidak hanya diharuskan dapat bekerjasama dengan anggota
kelompoknya, melainkan mereka juga harus dapat bekerjasama dengan kelompok lain
untuk dapat menyusun pecahan puzzle tersebut dengan benar.
Peningkatkan keterampilan bekerjasama siswa dalam pembelajaran sejarah
melalui penerapan model edutainment dengan permainan puzzle dapat dilihat dari hasil
pada setiap siklusnya. Berikut merupakan perolehan skor masing-masing indikator dari
observasi yang telah dilaksanakan.
Tabel 1.1
Perolehan Skor Indikator Keterampilan Bekerjasama Siswa
No. Aspek Siklus I Siklus II Siklus III
indikator dan
Sub-Indikator
Kerjasama
Siswa
1. Kemampaun Berkomunikasi
Siswa dapat
memberikan ide
14 17 18
atau informasi
yang diperlukan
Siswa mampu
berdiskusi
13 18 21
dengan teman
kelompoknya
2. Kekompakkan
Siswa terlibat
aktif dalam
mencari jawaban
12 16 20
dan
menyelesaikan
tugas
Siswa dapat
saling
memotivasi 12 16 22
teman
kelompoknya
Tanggung Jawab dalam Kerja Kelompok
Siswa dapat
membagi tugas
dan
melaksanakan
14 18 20
tugas yang
diberikan
1.
kelompok

Siswa dapat
saling membantu
temannya yang 14 16 20
sedang dalam
kesulitan
Jumlah Skor Siklus 79 101 121
Jumlah Skor Maksimal 144
Maksimal Rata-Rata 54.87% 70.14% 84%
(Presentase)
Keterangan
Skor Maksimal = Jumlah Kelompok x Jumlah Indikator (6 indikator x 4
skala penilaian)
Jumlah skor siklus
Rata-rata (presentase) = Jumlah skor maksimal 𝑥 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada siklus ke I presentase rata-
rata yang diperoleh adalah 54.75% dengan kriteria “Baik”. Selanjutnya pada siklus ke
II mulai terjadi peningkatkan yang signifikan dengna memperoleh peningkatakn
sebesar 15.27% dari siklus sebelumnya yaitu memperoleh presentase rata-rata sebesar
70.14% dengan krteria “Baik”. Kemudian pada siklus ke III presentase rata-rata
kembali mengalami peningkatan sebesar 13.86% dari siklus sebelumnya yaitu dengan
presentase rata-rata sebesar 84% dengan kriteria “Sangat Baik”. Dari pemaparan
mengenai presentase tersebut keterampilan bekerjasama dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran sejarah menggunakan model edutainment dengan permainan puzzle
dapat meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa menjadi lebih baik. Selanjutnya
melalui presentase tersebut peneliti akan menyajikan data kedalam grafik di bawah ini:
Grafik 1.1
Perolehan Skor Keterampilan Bekerjasama Siswa Siklus I sampai Siklus III
100.00%
84%
80.00% 70.15%
54.87%
60.00%

40.00%

20.00%

0.00%
Siklus I Siklus II Siklus III

Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik

Grafik di atas menunjukan hasil peningkatan dari keterampilan bekerjasama


yang diperoleh dari siklus I, II dan III. Keterampilan bekerjasama siswa pada setiap
siklusnya mengalami peningkatan dan pada siklus I ke II terjadi peningkatan yang
signifikan yaitu sebesar 15.28% menjadi 70.15%. selanjutnya pada siklus III
mengalami peningkatan sebesar 13.85% menjadi 84%. Kenaikan presentase ini tidak
lain adalah upaya dari perbaikan-perbaikan yang dilakukan dari setiap siklusnya
sehingga mampu mencapai hasil yang diharapkan. Dengan secara bertahap
keterampilan bekerjasma siswa semakin meningkatkan dan sesuai dengan yang
diharapkan oleh peneliti. Selanjutnya peneliti akan menyajikan data dari indikator
keterampilan bekerjasama kedalam bentuk grafik di bawah ini :
Grafik 1.2
Observasi Keterampilan Bekerjasama Siswa Berdasarkan Indikator
25

Memberikan ide atau


20 informasi
Mampu berdiskusi

15
Terlibat aktif

Saling memotivasi
10

Pembagian dan melaksanakan


tugas
5
Dapat saling Membantu

0
Siklus I Siklus II Siklus III

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa penerapan model edutainment


dengan permainan puzzle untuk meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa
dapat berjalan dengan baik dibuktikan dengan adanya peningkatan dari setiap sub-
indikator pada setiap siklus. Pada siklus I peneliti menggunakan jenis permainan
puzzle susun secara langsung dan melalui puzzle yang disajikan dalam power point
yang dipadukan dengan roda keberuntungan yang didalamnya berisi pilihan skor
dari 0-50. Selain itu siswa tidak hanya diminta untuk menyusun dan menjelaskan
puzzle tersebut, melainkan siswa juga diminta untuk menjawab setiap pertanyaan
yang diajukan untuk membuka kepingan puzzle pada power point dan selanjutnya
siswa juga diminta untuk menceritakan salah satu folklore dengan memainkan
sedikit adegan dari cerita tersebut. Berdasarkan penerapan pembelajaran sejarah
yang demikian didapatkan skor pada indikator pertama memperoleh jumlah skor
14, indikator kedua memperoleh jumlah skor 13, indikator ketiga dan keempat
memperoleh jumlah skor 12 sedangkan pada indikator lima dan enam memperoleh
jumlah skor 14. Berdasarkan perolehan skor sub-indikator yang paling rendah pada
siklus I adalah sub-indikator ketiga yaitu “siswa terlibat aktif dalam mencari
jawaban dan menyelesaikan tugas” dan sub-indikator keempat yaitu “siswa dapat
memotivasi teman kelompoknya”. Hal tersebut dikarenakan pada saat saat
permainan berlangsung keterlibatan anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas
tidak berjalan secara menyeluruh dan hanya didominasi oleh beberapa anggota
kelompoknya saja. Sedangkan pada sub-indikator empat, siswa belum dapat saling
memotivasi anggota kelompoknya karena mereka cenderung tidak memperdulikan
jika ada temannya yang tidak ikut membantu. Sehingga sebagian besar kelompok
memperoleh skor 2 dan 1. Sedangkan perolehan skor pada sub-indikator pertama
yaitu “siswa dapat memberikan ide atau informasi yang diperlukan”, sub-indikator
kelima “siswa dapat membagi dan melaksanakan tugas yang diberikan kelompok”
dan sub-indikator keenam yaitu “siswa dapat saling membantu temannya yang
sedang dalam kesulitan” mendapat total skor tertinggi yaitu 14.
Pada siklus II peneliti melakukan perubahan pada permainan puzzle yang
digunakan yaitu siswa diminta terlebih dulu untuk mengerjakan lembaran tugas
yang berisikan karakteristik dari teori masuknya agama Hindu ke Indonesia.
Selanjutnya pada saat penyusunan puzzle semua kelompok akan diminta untuk
menyusun secara bersamaan dalam waktu 50 detik dan pada babak ketiga peneliti
menggunakan roda keberuntungan sebagai daya tarik siswa untuk menjawab
pertanyaan yang akan diajukan. Berikut adalah perolehan skor dari setiap indikator.
Pada sub-indikator pertama memperoleh jumlah skor 17, indikator kedua dan lima
memperoleh jumlah skor 18, sedangkan indikator ketiga, empat dan enam
memperoleh jumlah skor 16. Perolehan skor yang paling rendah pada siklus ini
masih sama dengan siklus sebelumnya. Peningkatan dialami oleh kelompok dua,
lima dan tiga yang anggota kelompoknya sudah mulai terlihat saling membantu.
Sedangkan untuk kelompok satu dan tiga tidak mengalami peningkatan karena
tugas yang diberikan masih saja dibebankan pada beberapa anggota kelompoknya.
Dan untuk perolehan skor tertinggi adalah sub-indikator kedua yaitu “siswa dapat
berdiskusi dengan teman kelompoknya” dan sub-indikator kelima yaitu “siswa
dapat membagi dan melaksanakan tugas yang diberikan kelompok”.
Pada siklus III, peneliti kembali melakukan perubahan pada permainan puzzle
yaitu dengan menaruh kepingan puzzle di amplop dan meminta siswa untuk
memilih amplop tersebut. Pada babak selanjutnya peneliti memberikan kepingan
puzzle secara acak kepada setiap kelompok, hal ini dilakukan agar siswa dapat
saling bekerjama dengan siswa diluar kelompoknya. Adapun perolehan skor pada
sub-indikator pertama memperoleh jumlah skor 18, sub-indikator kedua
memperoleh jumlah skor 21, sub-indikator ketiga, empat dan lima memperoleh
skor 20 sedangkan sub-indikator keempat memperoleh skor tertinggi yaitu 22.
Perolehan skor paling rendah pada siklus ini mengalami perubahan yaitu pada sub-
indikator pertama “siswa dapat memberikan ide atau informasi yang diperlukan”.
Jika melihat pada siklus sebelumnya, sub-indikator pertama mengalami kenaikan
skor sebesar 3 menjadi 17 dan pada siklus III hanya mengalami kenaikan skor
sebesar 1 menjadi 18. Meskipun begitu hubungan kerjasama mereka semakin
terlihat, ditandai dengan perolehan skor pada setiap kelompok mendapatkan skor 3
yang berarti sudah hampir seluruh anggota kelompoknya dapat saling memberikan
ide atau informasi yang diperlukan. Kemudian pada siklus III, pencapaian skor
tertinggi adalah pada sub-indikator keempat yaitu “siswa dapat memotivasi anggota
kelompoknya” yaitu 22. Hal ini menandakan bahwa kekompakan dan kepedulian
siswa pada kelompoknya masing-masing semakin berkembang. Karena mereka
mulai menyadari bahwa jika kekompakan dapat terjaga selama proses belajar
berkelompok maka ia akan dapat menyelesaikan segala tugas yang diberikan
dengan mudah. Maka dapat digambarkan bahwa dari siklus 1 sampai dengan siklus
III secara keseluruhan mengalami peningkatakan dari setiap sub-indikatornya.
Adanya peningkatan tersebut menunjukan bahwa penerapan model edutainment
dengan permainan puzzle dapat meningkatkan keterampilan bekerjasama siswa.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di
kelas X MIPA 6 SMAN 4 Bandung, dapat disimpulkan bahwa keterampilan
bekerjasama siswa telah mengalami peningkatan setelah menggunakan model
edutainment dengan permainan puzzle. Selama proses penelitian yang tediri atas
tiga siklus ini, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada masing-masing
indikator penelitian, sehingga peneliti berpendapat bahwa dengan kondisi
pembelajaran yang disajikan secara menyenangkan serta menggunakan permainan
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran serta meningkatkan keterampilan
bekerjasama siswa dalam pembelajaran sejarah. Hal ini dapat dilihat dari
kekompakkan yang terjalin pada saat kerja kelompok, komunikasi antar anggota
serta tanggungjawab yang tumbuh semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA

Agustia, N.R. (2016). Konsep Pembelajaran Berbasis Edutaiment Dalam Kurikulum


SD/MI 2013. [Tesis]. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

Hamid, A.A. (2009). Penelitian Tindakan Kelas, Penelitian Kelas, Dan Penelitian
Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Instruksional Sains
Hasan, S.H. (2008). Pengembangam Kompentesi Berpikir Kritis dalam Mata
Pelajaran Sejarah. Makalah pada Seminar IKAHIMSI: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Hopkins, D. (2011). Panduan Guru Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Huda, M. (2011). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Santoso A, dkk. (2016). Pendidikan Karakter Kerja Sama Dalam Pembelajarna Siswa
Sekolah Dasar Pada Kurikulum 2013. Jurnal Teori dan praksis
Pembelajaran IPS, 1, (1), 33-38.
Sari, K.W. (2018). Implementasi Konsep 4C (Communication, Collaboration, Critical
Thinking and Problem Solving, dan Creativity And Innovation) Dalam
Menyongsong Pendidikan Abad 21. Diakses dari:
https://www.academia.edu/36762752/Implementasi_Konsep_4C_Dalam_Men
yongsong_Pendidikan_Abad_21
Siswanto, J dan W. (2009). Upaya Peningkatan Hasil Belajar Fisika Melalui Model
Pembelajaran Edutaintmen Dengan Metode Kuis Galileo di SMP N 2
Kaliwungu. JP2F, 2, (2), 182-191.

Supriatna, N. 2007. Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia


Utama Press

Wiriaatmadja, R. (2014) Metode penelitian tindakan kelas. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

You might also like