Professional Documents
Culture Documents
Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan Dan Bentuk Lahan PDF
Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan Dan Bentuk Lahan PDF
DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. The Analysis and Influence of The Region on
Landuse and Landforms at Northern Bandung Area and Study of Volcanic Disasters and
Risks. (supervised by BOEDI TJAHJONO and KHURSATUL MUNIBAH).
Northern Bandung area is an area that rapidly changes into recreation area, mainly
recreation about Mt. Tangkuban Perahu. With the increasing number of tourists that visits the
area, will give effect on the rapid changes of landuse and it’s dynamics on civilians fulfilling
their social-economic needs.
DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan
Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam Vulkanik.
(dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH)
Wilayah Bandung bagian utara merupakan wilayah yang saat sekarang berubah
menjadi daerah wisata, khususnya wisata gunungapi Tangkuban Perahu. Dengan besarnya
arus wisatawan menuju ke daerah ini, maka secara langsung akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan yang cenderung terus berubah sesuai dengan dinamika masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan sosial-ekonominya.
OLEH:
DWI SHANTY APRILIANI GUNADI
A24104077
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada
Program Studi Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Bismillahirahmanirrahim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, nikmat, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian dari Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengenai Analisis Hubungan Antara
Penggunaan Lahan dan Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko
Bencana Alam Vulkanik.
Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA sebagai pembimbing skripsi yang senantiasa
dengan sabar dan menyemangati memberikan arahan, bimbingan, saran, dan
motivasi sejak penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. sebagai pembimbing skripsi yang telah
memberikan motivasi, arahan, serta saran dalam langkah-langkah skripsi selama
penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. sebagai pembimbing akademik juga
sebagai penguji dalam sidang skripsi ini yang telah memberikan bentuk dorongan,
arahan, serta pembelajaran selama bimbingannya kepada penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. yang telah memberikan bentuk dorongan,
arahan, dan semangat selama bimbingannya kepada penulis.
5. Staf Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah atas bantuan
dan informasi yang diberikan selama penelitian.
6. Bapak Dr. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc. (daddy), Nunung Sumiarsih (mommy), drh.
Tanti Mulianti Gunadi, DVM (mba Tanti) , dan Trianto Adiputro Gunadi (otoy)
atas segala doa, dorongan, dukungan, dan semangat, yang tiada henti selama
penulis menyelesaikan pendidikannya di IPB.
7. Keluarga Syarief Hidayat, BSc. dan keluarga R. Andi Rismansyah atas segala
dukungan, semangat, yang penuh dengan kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di IPB serta penulisan skripsi ini.
8. Keluarga besar R. Ahmadi dan keluarga besar R.E. Soelaeman Prawirasapoetra,
atas segala semangat, dukungan, dan doa kepada penulis.
9. Teman-teman satu laboratorium di Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial
(Alwan, Elissa, Nana, dan Nika) atas kekompakkan, dukungan, dan bantuannya.
Juga Mba Reni, Mba Ana, dan Mba Juju atas segala bantuannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Fremy, Meilina, dan Marni (my sisters!), Ronni dan Bachtiar (My brothers!) yang
telah memberikan dukungan dan persahabatan yang kuat hingga sekarang dan
seterusnya. Serta rekan-rekan SOILERS 41 (PATAK 41) atas kekompakkan dan
kerjasama yang akan selalu terkenang. VIVA SOIL! Juga temen-temen KKP ‘
NAMBO GENK’ atas kenangan-kenangan yang indah selama 2 bulan di desa
Sukajaya, Bogor.
11. Teman-teman dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan, meskipun masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Penginderaan Jauh 3
2.1.1 Satelit SPOT 5
2.1.2. Satelit Landsat 5
2.2. Analisis Citra Digital 7
2.3. Interpretasi Visual 8
2.4. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral 10
2.5. Fusi Citra 11
2.6. Penajaman Multispasial 12
2.7. Penutup/Penggunaan Lahan 12
2.8. Bentuklahan 12
2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis 13
2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu 14
2.11. Kegiatan Gunung Tangkuban Perahu 14
1.1.Latar Belakang
Penggunaan lahan adalah setiap intervensi manusia terhadap lahan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan lahan
merupakan salah satu sumberdaya lahan yang cepat mengalami perubahan (dinamis).
Perubahan penggunaan lahan selain dipengaruhi oleh aktifitas manusia juga dipengaruhi sifat
fisik wilayah.
Wilayah Kabupaten Bandung bagian Utara merupakan wilayah yang paling dekat
dengan gunungapi Tangkuban Perahu yang merupakan gunungapi aktif (active volcano). Hal
ini dapat dilihat dari adanya rangkaian kegiatan aktifitas gunung ini seperti hujan abu tipis
pada tahun 1969, erupsi lumpur di Kawah Ratu pada tahun 1971, bahkan terjadi gejala
kenaikan aktifitas gunung pada tahun 2002 dan 2005. Dengan adanya aktifitas gunungapi juga
adanya sejarah letusan Gunungapi Sunda dan adanya patahan tektonik yang membentang
sepanjang Barat hingga Timur wilayah penelitian mengakibatkan terbentuknya banyak variasi
bentuklahan (landform) berkaitan dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Vulkanisme berasal dari
adanya gaya yang bersifat endogenetik di alam dan sebagai hasil dari perubahan fisik maupun
kimia yang terjadi di bagian dalam bumi. Dengan adanya berbagai variasi bentuklahan yang
ada pada wilayah ini, banyak berpengaruh terhadap jenis penggunaan lahannya. Hal ini tentu
berkaitan dengan faktor proses geomorfik yang berlangsung di atas bentuklahan selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti batuan induk wilayah, morfologi/topografi, serta
kondisi iklim yang ada di daerah penelitian.
Kegiatan gunungapi selain mempengaruhi topografi wilayah secara nyata, juga dapat
mengancam penduduk di sekitarnya dari bahaya erupsi gunungapi. Erupsi gunungapi tidak
dapat diprediksi kapan akan berlangsung, oleh karena itu mengantisipasi akan terjadinya
bencana tersebut menjadi sangat penting. Perencanaan tata ruang atau penggunaan lahan
wilayah di sekitar gunungapi aktif merupakan salah satu bentuk program mitigasi bencana.
Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu ( jam, musim) , lokasi,
dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila
dibandingkan dengan sore hari. Jumlah tenaga matahari yang diterima dipengaruhi oleh
kedudukan matahari terhadap tempat di bumi yang sesuai dengan perubahan musim juga oleh
letak tempat di permukaan bumi. Jumlah tenaga yang dapat mencapai bumi disajikan dalam
formula:
Kisaran Panjang
Saluran Kegunaan Utama
Gelombang
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan
0.45 – 0.52
1 lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan
Gelombang biru
vegetasi dan lahan.
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada
saluran hijau yang terletak diantara dua
0.52 – 0.60 saluran penyerapan. Pengamatan ini
2
Gelombang hijau dimaksudkan untuk membedakan jenis
vegetasi dan untuk membedakan tanaman
sehat dan tidak sehat.
Saluran terpenting untuk membedakan jenis
vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu
0.63 – 0.69
3 daerah penyerapan klorofil dan memudahkan
Gelombang merah
pembedaan antara lahan terbuka terhadap
lahan bervegetasi.
Saluran yang peka terhadap biomassa
0.76 – 0.90 vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis
4
Gelombang inframerah dekat tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan
tanaman serta air.
Saluran penting untuk penentuan jenis
1.55 – 1.75
5 tanaman, kandungan air tanaman, kondisi
Gelombang inframerah pendek
kelembaban tanah.
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan
10.40 – 12.50termal vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan
6
Gelombang inframerah sejumlah gejala lain yang berhubungan
dengan panas.
2.085 – 2.35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk
7
Inframerah pendek pemetaan hidrotermal
Saluran ini digunakan untuk meningkatkan
8 0.50 – 0.90
resolusi spasial.
Pankromatik
Spektral (mikro
Mode Band Resolusi
meter)
XS Multispektral XS1 0,50 - 0,59 20 m
XS Multispektral XS2 0,61 - 0,68 20 m
XS Multispektral XS3 0,79 - 0,89 20 m
Panchromatique PAN 0,51 0,73 10 m
Sumber : SPOT Asia, 2006.
2.2. Analisis Citra Digital
Citra digital merupakan citra yang elemen-elemenya dinyatakan dengan suatu besaran
numerik yang membentuk suatu array. Elemen citra ini disebut sebagai piksel (picture
element) yang merupakan bagian terkecil dari gambar citra yang mengandung informasi
(Murni, 1992).
Analisis citra digital (Image Processing) adalah proses analisis gambar, dimana bentuk
masukannya adalah suatu gambar atau suatu berkas citra digital dan bentuk keluarannya
adalah suatu deskripsi. Murni (1992) menjelaskan kelebihan dari analisis citra digital sebagai
berikut:
- Pengolahan data dalam jumlah besar dapat dilakukan lebih cepat dan konsisten;
- Dapat melakukan suatu analisis numerik dengan cepat dan konsisten;
- Menghasilkan informasi terkuantifikasi;
- Memudahkan integrasi informasi-informasi kuantitatif lainnya.
- Mampu menganalisis seluruh derajat kecerahan citra secara kuantitatif;
- Mampu menganalisis informasi spektral secara kuantitatif.
Dimana Si, Sj, dan Sk adalah simpangan baku band ke i, j, dan k, sedangkan rij, rik, dan
rjk adalah koefisien korelsi antar band.
2.8. Bentuklahan
Istilah bentuklahan memiliki berbagai arti tergantung dari sudut pandang disiplin ilmu
tertentu. Ahli geologi mendefinisikan bentuklahan dalam arti sifat-sifat permukaan yang
memberikan fakta mengenai struktur geologi dan corak-corak kerak bumi. Ahli kehutanan
mengartikan bentuklahan sebagai petunjuk penting baik mengenai sifat-sifat fisik dan kimia
tanah maupun arti yang dapat tampak dari suatu corak permukaan bumi atau kombinasinya.
Ahli tanah menekankan bentuklahan untuk pengenalan bahan induk tanah, tekstur tanah,
potensi kesuburan, kelembaban tanah, drainase tanah, dan tingkat kepekaan terhadap erosi.
2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis
Jenis-jenis bentuklahan menurut morfogenesisnya dapat dibagi menjadi 11 macam, yaitu
(Demek, 1972):
1) Bentuklahan asal proses tektonik : Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya
proses endogenetik (tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh bentuklahan asal
proses tektonik antara lain adalah patahan.
2) Bentuklahan asal proses magmatik : Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya
proses endogenetik dan aktifitas hidro-thermal. Contoh bentuklahan asal proses
magmatik adalah gunungapi.
3) Bentuklahan asal proses fluvial : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas
aliran air.
4) Bentuklahan Marin : Bentuklahan sekitar laut dan danau. Pembentukannya tidak
hanya pada pengaruh dari gelombang air laut tapi juga aktifitas fluvial dan eolian.
5) Bentuklahan Aeolin : Bentuklahan yang terjadi akibat angin yang mengikis batuan-
batuan dan memindahkan hasil kikisan ke area lain. Contoh bentuklahan ini adalah
sand dunes.
6) Bentuklahan Glasial : Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas
gunung atau es kontinental.
7) Bentuklahan Lakustrin : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya genangan tubuh
air seperti danau.
8) Bentuklahan Denudasional : Bentuklahan yang mengalami proses erosi sehingga
terjadi degradasi.
9) Bentuklahan Biologik : Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan
organisme.
10) Bentuklahan Pelarutan/Karst : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses
pelarutan oleh air. Salah satu contoh bentuklahan ini adalah terbentuknya sinkhole
pada dataran karst.
11) Antropogenik : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya perubahan aktivitas
manusia.
2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu
Gunung Tangkuban Perahu merupakan Gunungapi Strato dengan tipe kawah kembar
yang terletak pada posisi 6o46’ LS – 107o36’ BT, Kabupaten Bandung Barat Kecamatan
Lembang. Gunung ini muncul sebagai fase paling muda dari komplek gunungapi Sunda,
sebelah Utara Bandung, setelah ini runtuh dan mengalami sesar. Gunung ini memiliki dua
kawah utama yaitu Kawah Upas dan Kawah Ratu dan kelompok kawah parasiter yaitu Kawah
Jurig, Kawah Siluman, Kawah Jarian, Kawah Domas, dan Kawah Badak.
Tabel 2.3. Ikhtisar Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu Yang Nyata (Reskowirogo,1990)
TAHUN KETERANGAN
1829-
Istirahat 17 tahun, kenaikkan kegiatan 1842.
1846
1846- Istirahat selama 50 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat selama 1862, 1864, 1888,
1896 1891, 1892, dan 1895.
1896-
Istirahat selama 4 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1908 dan 1909.
1900
1900- Istirahat 52 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1913, 1920, 1926, 1929, dan
1952 1935.
Istirahat (?) tahun. Kenaikkan kegiatan atau letusan kecil tercatat dalam 1957,
(?)
1960, 1961, 1965, 1967, 1969, 1971, 1984, 1986, 2002, dan 2005.
Tabel 2.4. Sejarah Keaktifan Gunung Tangkuban Perahu
TAHUN KETERANGAN
Antara 4-7 April, terus-menerus selama 3 hari 3 malam terjadi letusan abu dan
batu di Kawahratu dan Domas (Junghuhn, 1853). Neumann van Padang (1951,
1829
p.81) menulis bahwa letusannya bersifat esplosi normal dan hanya terjadi di
Kawahratu.
1846 Erupsi dalam Kawahratu
1862 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1887 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1888 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1910 Letusan dalam Kawahratu menghasilkan abu dan skorea
Pada 20 Mei terjadi letusan lumpur dalam Kawahecoma (Natuurk. Tjidschr. Nedrl.
1929 Ind. 1930), semprotannya mencapai ketinggian 10 m. Neumann van Padang
(1951, p.81) lagi mencantumkannya sebagai letusan phreatik.
Kenaikan Kegiatan dalam Kawahratu. Terjadi sebuah celah di dasar Kawahratu,
sebelah Baratlaut Kawahecoma, selebar 1m dan sepanjang lk 50 m. Pada 27 April
1935
muncu beberapa fumarola baru di sebelah Utara dalam Kawahbadak.
(Mandrapport Vulkanol. Onderz., April 1935)
1946- Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, awan uap mencapai ketinggian lk 100 m.
1947 Desember-Januari.
1950 Kenaikkan kegiatan (?)
Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok
1952 fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam
mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952).
1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru.
Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok
1952 fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam
mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952).
1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru.
Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, peluasan tembusan fumarola. Lahirnya
1960
Lubangletusan 1 Mei.
1961 16 Juli, 1 Agustus.
1965 Februari, Maret, Oktober.
1967 April
Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu. Hujan abu tipis mencapai perkebunan the
1969
di sebelah Utara gunung. Mutu daun the karenanya turun.
Tabel 2.4. Lanjutan.
1971 Erupsi lumpur pada Kawahratu
1984 Kenaikkan kegempaan
1986 Kenaikan suhu solfatara pada Kawahratu
2002 Peningkatan kegempaan pada bulan Agustus-September
2005 Peningkatan kegempaan 13-15 April
III. BAHAN DAN METODE
Nilai RMS error sebaiknya <1, hal ini agar kesalahan titik dalam koreksi adalah tidak
lebih dari satu piksel. Bila lebih dari satu piksel, maka koreksi harus diulang kembali. Nilai
RMS error pada koreksi geometri citra SPOT adalah 0.95.
Fusi Dikarenaka Citra Landsat ETM+ dan citra SPOT memiliki resolusi yang berbeda,
maka citra Landsat dilakukan proses fusi citra melalui transformasi Brovey (Brovey
Transformation) dengan menggunakan software ERMapper 6.4. Sebelum melakukan fusi,
agar dapat menentukan kombinasi band yang terbaik, maka dilakukan pemilihan kombinasi
band multispektral dengan menggunakan rumus OIF. Nilai Standard Deviasi dan Korelasi
dapat ditentukan melalui software ER Mapper 6.4, dan nilai-nilai tersebut kemudian di
masukkan dalam perhitungan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007.
Hasil yang didapat adalah bahwa kombinasi yang terbaik untuk citra Landsat adalah
kombinasi band 2-4-5.Fusi citra bertujuan untuk meningkatkan resolusi, karena citra SPOT
mempunyai resolusi spasial 20 m, sedangkan citra Landsat mempunyai resolusi spasial 30 m.
Dengan fusi citra Landsat dengan band pankromatiknya (resolusi spasial band 8 = 30 m) maka
resolusi citra Landsat yang dipakai menjadi 15 m. Proses fusi dilakukan dengan metode
Brovey dimana kombinasi band yang akan dipakai ditentukan dan digabungkan terlebih
dahulu (pada citra Landsat ini saya gabungkan band 2-4-5 terlebih dahulu). Lalu hasil
penggabungan 3 band tersebut di fusikan dengan band pankromatiknya (band 8).
Setelah melakukan registrasi citra SPOT dan fusi band pankromatik citra Landsat, maka
masing-masing citra dilakukan proses filtering yang bertujuan untuk meratakan distorsi
(smooth noise), enhance edges, juga menonjolkan (highlight) fitur-fitur linear atau spasial
dalam citra (ER Mapper, 2006).
Pemroresan Citra Digital Setelah proses filtering, maka proses klasifikasi siap untuk
dilakukan. Proses klasifikasi ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE
9.1.
Penggunaan lahan di wilayah studi dilakukan berdasarkngan hasil klasifikasi
+
terbimbing (supervised) pada Citra SPOT (1987) dan Citra Landsat ETM (2005). Dalam
penelitian ini software yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah ERDAS IMAGINE
9.1. Proses klasifikasi penggunaan lahan pada masing-masing citra dilakukan dengan
mengambil 10 contoh wilayah (polygon) untuk setiap jenis kelas penggunaan lahan (training
area).
Setelah menentukan polygon-polygon yang mewakili setiap training area, maka
dilakukan proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan
parametric rule, parallelepiped. Setelah proses klasifikasi, ditentukan juga nilai akurasi
klasifikasi (accuracy assesment). Nilai akurasi pada hasil klasifikasi ditentukan berdasarkan
nilai Kappa, dimana semakin rendah nilai kappa maka semakin besar eror yang terjadi dalam
pemilihan polygon untuk training area. Nilai akurasi yang kurang dari 60 % (<60%) berarti
eror dalam klasifikasi adalah terlalu banyak sehingga perlu diulang. Nilai akurasi pada hasil
klasifikasi dengan masing-masing penentuan titik akurasi secara random dan jumlah poin 50
adalah 88% untuk citra Landsat, dan untuk citra SPOT 96%, sehingga tidak perlu dilakukan
pengulangan.
Agar dapat mempermudah dalam klasifikasi, hasil klasifikasi kemudian dilakukan post
classification dimana distorsi piksel-piksel disatukan dengan metode recode, clump, dan
eliminate. Clump adalah menggabungkan piksel-piksel yang sama menjadi satu kesatuan dan
eliminate adalah membuang piksel-piksel yang terlalu kecil hingga membaur kepada piksel
disekelilingnya yang memiliki kesatuan yang lebih besar. Minimal piksel yang dapat
tergabung dalam eliminate adalah 10 piksel.
Registrasi
Fusi Brovey
DEM
Bentuk Digital
Kelas Lereng
Pemroresan Citra Digital
Peta Bentuklahan
Post Classification
Tumpang
Tindih
Skoring
Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan
2005 Rev. 2008 1987
Peta Tingkat
Bahaya Bencana Skoring
Tumpang
Tindih
Gambar 5.1. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Hutan Pada Citra dan di Lapangan.
Badan air , kemanpakan badan air di citra SPOT berwarna gelap menyerupai
bayangan sedangkan di citra Landsat berwarna biru gelap. Badan air yang paling tampak pada
citra adalah di bagian Utara citra khususnya di danau Situ Lembang. Contoh kenampakan di
citra dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Kenampakan di Lapang
(PTPN.Pangheotan)
Tegalan, kenampakan tegalan di citra SPOT dan citra Landsat memiliki karakteristik
yang sama dengan penutupan/penggunaan lahan perkebunan, namun dari asosiasinya tegalan
terletak di antara/relatif dekat dengan permukiman. Tegalan menempati topografi yang datar
hingga berbukit. Berdasarkan hasil pengecekan lapang, tanaman tegalan didominasi oleh
tanaman sayuran seperti kol, tomat, cabai, dan lejet. Adapun contoh kenampakan di citra
disajikan pada gambar di bawah ini.
Citra Landsat Band 542
Sawah, kenampakan sawah di citra SPOT berwarna lebih cerah daripada tegalan dan
memiliki pola berpetak-petak (apabila di zoom-in) sedangkan pada citra Landsat berwarna
biru muda dan umumnya pada lembah-lembah bekas sungai. Hal ini juga dipastikan dengan
mencocokkan melalui data penggunaan lahan pada peta Rupabumi Indonesia tahun 2001.
Contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar di bawah ini.
Hasil citra Landsat dan citra SPOT yang digunakan untuk proses klasifikasi dapat
dilihat pada Gambar 5.9 dan 5.10.
Tabel 5.2. Jenis Penutupan.Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya
8000
(Ha) 6000
4000
2000
Gambar 5.8.. Jenis Penutupan/Penggunaan lahan dari Citra SPOT 1987 dan
luasannya.
Berdasarkan pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.8 tampak bahwa hutan mendominasi
daerah penelitian seluas 9.073,04 Ha (36,96%). Luas penggunaan lahan hutan ini diikuti oleh
penggunaan lahan tegalan, sawah, dan permukiman masing
masing-masing
masing 29,28%, 24,19%, dan
8,62%. Adapun grafik masing
masing-masing
masing penggunaan lahan disajikan pada Gambar 5.8.
14000
12000
10000
8000
(Ha)
6000
4000
2000
0
Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat dan hasil analisis spasial,
terlihat bahwa pola perubahan penggunaan lahan di daerah penelitian bersifat bertahap, yaitu
penggunaan lahan sawah berubah menjadi tegalan, lalu tegalan berubah menjadi permukiman.
Sedangkan untuk penggunaan lahan hutan umumnya berubah menjadi tegalan. Perubahan
penggunaan lahan ini dapat pula disimak dari Tabel 5.5.
5.6.2. Morfogenesis
Morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian didominasi oleh proses Vulkanik. Hal
ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks Gunungapi
Sunda. Namun demikian beberapa bentuklahan dari morfogenesis yang berbeda juga muncul,
seperti tebing patahan (fault scarp) yang dihasilkan oleh proses tektonik, dan dataran
Lakustrine yang dihasilkan dari proses genangan air (danau). Dataran ini terletak tepat di
bagian Utara patahan Lembang, yang mengindikasikan bahwa terbentuknya danau
diakibatkan oleh terbendungnya sungai yang berasal dari kompleks gunungapi Sunda oleh
adanya proses patahan yang menghasilkan tebing patahan Lembang. Danau tersebut saat
sekarang telah mengering dan menyisakan suatu dataran lakustrin (Tjahjono, 1998). Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 5.17.
G. Tangkuban Perahu
G. Burangrang
G. Putri
G. Batu
5.6.4. Batuan
Berdasarkan pada Peta Geologi pada Gambar 5.16. Jenis batuan induk pada wilayah
penelitian dapat dibedakan menjadi 6 formasi, yang diberi kode Qob, Qvu, Qyd, Qyl, Qyt,
dan Qyu. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Qob (Hasil gunungapi yang lebih tua)
Breksi dan lahar dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.
2. Qvu (Hasil gunungapi yang lebih tua)
Breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling.
3. Qyd (Tufa pasir) Tufa pasir coklat sangat sarang, mengandung kristal-kristal hornblende
yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk kemerah-merahan.
4. Qyl (Hasil gunungapi tua, lava)
Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan sebagian telah
terpropilitisasikan.
5. Qyt (Tufa berbatu apung)
Pasir tufaan, lapilli, bom-bom, lava berongga dan kepingan-kepingan andesit-basal padat
yang bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan batuapung. Berasal dari
G.Tangkuban Perahu.
6. Qyu (Hasil gunungapi tua tak teruraikan)
Pasir tufaan, lapilli, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkuban Perahu
dan sebagian dari G. Tampomas.
Gambar 5.16. Peta Geologi Daerah Penelitian
Bentuklahan di wilayah penelitian terdiri dari 13 jenis seperti yang tersaji pada Gambar
5.17. Karakteristik singkat dari masing-masing bentuklahan diuraikan sebagai berikut
(Tjahjono, 1998) :
Dataran Dasar Kaldera. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik
Tangkuban Perahu yang mempunyai morfologi dataran atau mempunyai kelas lereng 0-2 %.
Bentuklahan ini merupakan endapan piroklastik yang tersusun atas bahan abu-batuapung
(ignimbrite) hasil letusan Gunungapi Sunda yang terperangkap di dalam kaldera Sunda. G.
Tangkuban Perahu sendiri lahir di dalam kaldera Sunda dan menempati sisi Timur, sehingga
pada sisi Barat dan Selatan masih menyisakan dasar dari kaldera yang dikelilingi oleh tebing
kaldera yang curam dan berbentuk melingkar di sisi Utara.
Dataran Laharik. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik
Tangkuban Perahu bagian Utara. Mempunyai bentuk seperti kipas dan di lapangan terdiri atas
bongkahan-bongkahan batuan vulkanik. Bentuklahan ini memiliki topografi yang relatif datar
dengan kemiringan lereng 6 – 13%. Dataran ini merupakan dataran hasil dari endapan laharik
dari G. Tangkuban Perahu.
Dataran Lakustrin. Dataran ini terletak di bagian tengah daerah penelitian. Dataran ini
memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan lereng pada kelas kemiringan 6 – 13%.
Dataran ini merupakan dataran hasil pengendapan genangan air danau pada masa lampau yang
terbentuk karena tertahannya aliran air sungai diakibatkan oleh terbentuknya tebing patahan
Lembang. Seiring dengan waktu, air mencapai suatu celah dan membentuk aliran baru
sehingga air danau tersebut menyurut dan meninggalkan dasar danau yang berbentuk dataran.
Dinding Kaldera G.Sunda. Bentuklahan ini terdapat di bagian Utara wilayah penelitian,
memiliki topografi berbukit dan curam dan memiliki kelas kemiringan lereng 22 – 55%.
Bentuklahan ini merupakan bagian dari kaldera G. Sunda yang runtuh dan berbentuk dinding
yang melingkar, namun dinding di bagian Selatan dan Timur terkubur oleh endapan
ignimbritik.
Kerucut Lava Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang patahan Lembang
yang merupakan bekas kerucut lava parasit dari G.Sunda yang terbentuk melalui celah
(lineament) Lembang pada saat patahan belum terjadi. Pada saat patahan tersebut terbentuk
maka sebagian dari tubuh kerucut lava tersebut terangkat dan sebagian yang lain turun. Yang
terakhir ini akhirnya terkubur oleh endapan ignimbrite. Gunung Batu di Lembang merupakan
contoh dari bentuklahan ini yang memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan lereng
dominan 22 – 55%.
Kerucut Vulkanik Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang bagian Utara
wilayah penelitian, di sebelah Selatan Dataran Dasar Kaldera hingga di ujung Timur.
Bentuklahan ini merupakan bagian dari kerucut G.Sunda dan gunungapi-gunungapi lain di
Kompleks Sunda. Bentuklahan ini memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan
lereng dominan 22-55% dan tersusun oleh perselingan batuan lava dan piroklastik.
Kerucut Vulkanik G. Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini terletak di bagian Utara
wilayah penelitian dan merupakan bagian dari kerucut G. Tangkuban Perahu. Gunungapi ini
merupakan gunungapi yang terbentuk di dalam kaldera G.Sunda yang dekat dengan dinding
bagian Timur. Topografi bentuklahan ini berbukit dengan kemiringan lereng yang relatif
curam antara 22 – 55%. G. Tangkuban Perahu merupakan gunungapi strato-volkano yang
berstatus aktif hingga saat ini.
Lembah Ignimbritik Denudasional. Lembah ini berada pada bagian tengah dan bagian
Selatan wilayah penelitian. Lembah-lembah ignimbritik merupakan lembah-lembah hasil erosi
dari sungai-sungai yang mengalir ke arah Selatan. Berhubungan endapan yang dikikis
merupakan endapan ignimbritik atau mengandung batu apung maka dinding-dinding lembah
tersebut tersusun dari endapan ignimbrite. Dinding-dinding lembah memiliki kemiringan
lereng yang relatif curam yaitu 22 -55%.
Lereng Talus Tebing Kaldera. Bentuklahan ini terletak di bawah tebing kaldera. Lereng
ini terbentuk oleh proses pengendapan hasil erosi dan jatuhan (fall) yang terjadi dari dinding
kaldera. Kemiringan lereng dataran ini cukup tinggi yaitu ada pada kemiringan lereng 22 – 55
%. Pada bentuklahan ini banyak ditemui bongkah-bongkah batuan dan kerikil.
Lereng Tengah Komplek Sunda. Bentuklahan ini berada di bagian Selatan Kerucut
Vulkanik Denudasional yang memiliki topografi relatif berbukit dengan kemiringan lereng
dominan 22 – 55 %. Lereng ini sebenarnya merupakan bagian dari lereng G.Sunda dan
gunungapi-gunungapi lainnya di dalam Kompleks Sunda, yang terpatahkan dan terangkat oleh
proses tektonik yang melahirkan patahan Lembang. Bentuklahan ini juga tersusun oleh batuan
lava dan piroklastik yang telah lapuk menjadi tanah.
Longsor Lahan. Bentuklahan ini ada pada bagian Utara wilayah penelitian pada sisi
bagian Barat Kerucut Vulkanik Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini memiliki topografi yang
relatif datar dan pada kemiringan lereng 6 – 13%. Bentuklahan ini merupakan hasil endapan
dari longsor yang terjadi dari bagian-bagian kerucut vulkanik G.Tangkuban Perahu. Pada
bentuklahan ini di temukan banyak bongkahan-bongkahan batuan lava.
Plateau Ignimbritik. Dataran ini terletak di bagian tengah wilayah penelitian yang
memiliki kemiringan lereng relatif datar yaitu antara 0 – 2%, 2 – 6% dan 6 – 13%. Dataran ini
merupakan hasil dari endapan aliran piroklastik ignimbritik dari letusan G.Sunda yang
terperangkap di dalam blok patahan Lembang yang turun. Oleh karena itu bentuklahan ini
mempunyai topografi yang relatif datar.
Tebing Patahan Lembang. Tebing ini terbentang memanjang di bagian tengah wilayah
penelitian yang memiliki kemiringan lereng yang curam yaitu >55%. Tebing patahan di
daerah Timur adalah yang paling menonjol dikarenakan mempunyai ketinggian lebih dari 100
m dibandingkan dengan tebing yang berada di bagian Barat. Berhubung bentuklahan ini
terlihat vertikal, maka pada peta hanya terbentuk garis atau polygon yang sempit memanjang.
Tebing ini tersusun atas batu lava dan endapan piroklastik.
Gambar 5.17. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian
LRGTLUSTBKAL
LTTGHKMSUN
Jenis Penggunaan
LB.IGNMDN
Di.KALSUN
Lahan 2008
K.LVDN
DDKAL
K.VDN
D.LAK
D.LHR
K.VTP
Danau
Keterangan :
DDKAL = DATARAN DASAR KALDERA K.LVDN = KERUCUT LAVA DENUDASIONAL
LRGTLSTBGKAL = LERENG TALUS TEBING KALDERA
D.LHR = DATARAN LAHARIK K.VDN = KERUCUT VULKANIK DENUDASIONAL LONGLHN =
LONGSOR LAHAN
D.LAK = DATARAN LAKUSTRIN K.VTP = KERUCUT VULKANIK TANGKUBAN PERAHU PLTIGNM =
PLATEAU IGNIMBRITIK
D.KALSUN = DINDING KALDERA G. SUNDA LB.IGNMDN = LEMBAH IGNIMBRITIK DENUDASIONAL TBPTHLMB =
TEBING PATAHAN LEMBANG
3. Bahaya Aliran Piroklastik
Bahaya kepingan padat, dengan/ tanpa partikel yang mencair, tersuspensi dalam gas yang
panas dan mengembang didorong oleh gaya gravitasi bergerak/ mengalir secara turbulen di
atas permukaan tanah.
4. Bahaya Aliran Lahar
Aliran bahan rombakan dari gunungapi yang heterogen bercampur dengan air pada suhu
lebih rendah dari titik didih, mungkin dibentuk selama letusan atau proses setelahnya karena
lereng yang tidak stabil.
5. Bahaya Aliran Lava
Bahaya ini berupa aliran batuan cair pijar yang keluar dari sumber vulkanik dan menuruni
lereng melalui lembah yang ada.
6. Bahaya Jatuhan Batu Apung
Bahaya ini berupa jatuhan gelas felsic sangat berongga dengan komposisi menengah
sampai silika, yang berhubungan dengan letusan eksplosif magma kental yang kaya akan gas.
(letusan Plinian).
(Peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008) dengan modifikasi.
Agar dapat melihat tingkat bahaya vulkanik yang menimpa daerah penelitian, maka
dilakukan pemberian nilai (scoring) yang ditentukan berdasarkan jumlah jenis bahaya yang
menimpa suatu area tertentu di wilayah penelitian dimana tingkat tertinggi merupakan area
yang paling banyak diancam oleh proses vulkanik, sedangkan tingkat terendah adalah yang
paling sedikit diancam oleh jenis bahaya. Mengingat bahwa sebagian besar jenis bahaya
vulkanik ini dapat terjadi bersamaan, dan dapat membahayakan jiwa maupun merusak
bangunan, maka jenis bahaya vulkanik ini tidak di beri bobot dalam penelitian ini atau
dianggap mempunyai bobot yang sama. Nilai scoring yang ditentukan adalah sebagai berikut.
(Tabel 5.8).
Gambar 5.18. Peta Bahaya Bencana Daerah Penelitian
Tabel 5.8.. Nilai (scoring) Tingkat Bahaya Vulkanik
Tingkat Bahaya Vulkanik Score Jumlah Jenis Bahaya Yang Mengancam
Tinggi 5 5-7
Agak Tinggi 4 4
Sedang 3 3
Agak Rendah 2 2
Rendah 1 0-1
Berdasarkan penilaian tersebut dapat dihasilkan peta tingkat bahaya vulkanik seperti
yang disajikan pada Gambar 5.20. Dari peta tingkat bahaya vulkanik tersebut apabila
ditumpang tindihkan dengan peta administrasi daerah penelitian, maka dapat diketahui luas
penyebaran wilayah tingkat bahaya vulkanik dari masing
masing-masing
masing kecamatan seperti yang
disajikan pada
da tabel 5.9 dan Gambar 5.19.
100 Rendah
Agak Rendah
80 Sedang
Agak Tinggi
60 Tinggi
(%)
40
20
0
Cimenyan Cisarua Lembang Parongpong
Gambar 5.19. Jumlah Persen Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik Setiap Kecamatan
Dari Tabel 5.9 tersebut terlihat bahwa Kecamatan Parongpong merupakan Kecamatan
yang paling terancam oleh bahaya vulkanik, karena 64,14% wilayahnya masuk ke dalam
tingkat bahaya sedang sampai tinggi sedangkan 35,86% wilayahnya masuk dalam kategori
agak rendah sampai rendah. Kecamatan lain yang masuk kedalam kategori terancam besar
adalah Kecamatan Lembang dimana 51% wilayahnya masuk ke dalam tingkat bahaya sedang
sampai tinggi dan selebihnya masuk ke dalam tingkat agak rendah sampai rendah. Adapun
Kecamatan yang paling aman di daerah penelitian adalah Kecamatan Cimenyan karena
98,56% wilayahnya masuk ke dalam kategori tingkat bahaya agak rendah sampai rendah.
Berdasarkan hasil tingkat bahaya vulkanik dapat diketahui bahwa untuk Kecamatan
Parongpong merupakan kecamatan yang beresiko tertinggi. Sebaliknya Kecamatan Cimenyan
merupakan kecamatan dengan tingkat bahaya terendah.
Air 1
Hutan 15
Lahan Terbuka (Kawah) 5
Perkebunan 20
Permukiman 30
Sawah 10
Tegalan 10
Tabel 5.11. Kelas Kisaran Nilai Resiko dan Tingkat Resiko Bencana
Tingkat Resiko Bencana Nilai Resiko
Rendah 1 - 29.9
Agak Rendah 30 - 59.9
Sedang 60 - 89.9
Agak Tinggi 90 - 119.9
Tinggi 120 - 150
Tabel 5.12.. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik
TINGKAT RESIKO BENCANA VULKANIK
Kecamatan Grand RENDAH AGAK RENDAH SEDANG AGAK TINGGI TINGGI
Total
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Cimenyan 4.841,91 3.802,42 78,53 1.034,91 21,37 3,58 0,07 1,00 0,02 0,00 0,00
Cisarua 5.540,55 3.778,75 68,20 1.432,44 25,85 169,03 3,05 103,76 1,87 56,57 1,02
Lembang 9.849,17 4.085,80 41,48 3.287,02 33,37 1639,08 16,64 695,44 7,06 141,82 1,44
Parongpong 4.314,73 970,83 22,50 1.583,46 36,70 1.327,51 30,77 395,73 9,17 37,20 0,86
Total 2.4546,36 1.2637,80 7.337,83 3.139,20 1.195,93 235,59
80 Rendah
70 Agak Rendah
60 Sedang
Agak Tinggi
(%) 50
Tinggi
40
30
20
10
0
Cimenyan Cisarua Lembang Parongpong
6.1. Kesimpulan
Penggunaan lahan permukiman dan tegalan merupakan 2 jenis penggunaan lahan yang
paling besar mengalami pertambahan luas, berturut-turut sebesar 6.52 % (1601.45 Ha) dan
20.70% (5080.86 Ha).
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi wisata di Bandung bagian Utara ini mengalami
banyak pertumbuhan khususnya pembangunan prasarana wisata seperti hotel, villa, cafe,
restoran dan yang lainnya dan juga permukiman baru. Disamping itu, banyak lahan sawah
yang berubah menjadi tegalan untuk sayuran, bunga hias, dan tanaman buah yang menjadi
komoditi pariwisata. Dengan demikian, aspek pariwisata merupakan sektor yang memicu
perubahan penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian.
Penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling banyak tersebar di
berbagai bentuklahan antara lain bentuklahan plateau ignimbritik, lereng tengah kompleks
Sunda, lereng talus tebing kaldera, lembah ignimbritik denudasional, Kerucut Vulkanik
Denudasional, Kerucut Lava Denudasional, Dinding Kaldera Gunung Sunda, Dataran Dasar
Kaldera, dan dataran lakustrin. Sebaliknya permukiman dominan tersebar hanya pada 2
bentuklahan yaitu bentuklahan plateau ignimbritik dan dataran lakustrin. Hal ini dikarenakan
pemakaian lahan untuk tegalan dapat di lakukan di berbagai kemiringan lereng ( tidak ada
kendala morfologi), sedangkan untuk permukiman mempunyai kendala morfologi, yaitu pada
morfologi yang datar. Dengan demikian, daerah penelitian sebenarnya terancam oleh bahaya
erosi yang berasal dari lahan-lahan tegalan, khususnya pada bentuklahan yang mempunyai
kemiringan tinggi, sedangkan bentuklahan yang mempunyai morfologi dataran terancam oleh
konversi lahan menuju ke ruang terbangun.
Kecamatan Cimenyan memiliki ancaman tingkat bencana vulkanik dan tingkat resiko
bahaya bencana vulkanik yang paling rendah. Sebaliknya Kecamatan Parongpong memiliki
ancaman tingkat bencana dan tingkat resiko paling tinggi diikuti oleh Kecamatan Lembang.
Dengan demikian Penataan Ruang di kedua kecamatan tersebut sangat perlu memperhatikan
aspek mitigasi agar tidak terjadi bencana yang sangat besar dikemudian hari.
6.2. Saran
• Sehubungan dengan adanya perubahan penggunan lahan sawah yang besar menjadi
penggunaan lahan permukiman dan tegalan, maka dikhawatirkan bila ini berlanjut terus akan
mengakibatkan berkurangnya daerah resapan di daerah penelitian. Selain itu, ancaman bahaya
erosi tanah juga cukup besar jika melihat bahwa di lapangan banyak lahan tegalan menempati
pada lereng-lereng yang sangat miring. Untuk itu disarankan adanya penelitian tersendiri
mengenai ke dua hal tersebut.
• Sehubungan dengan tingkat bahaya bencana dan resiko yang tinggi mengancam pada 2
kecamatan yaitu Parongpong dan Lembang, maka disarankan untuk kedua kecamatan tersebut
tidak menambah ruang terbangun (permukiman) di wilayahnya.
VII. DAFTAR PUSTAKA
A. Murni dan S. Setiawan, Pengantar Pengolahan Citra, PT. Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia, Jakarta.
Aryad, S. 1r.989, Konservasi Tanah dan Air.Institut Pertanian Bogor Press, Bogor
Bemmelen, R.W. Van 1949. The Geology of Indonesia no IA General Geology of Indonesia,
Government Printing Office, The Habuc.
BPS Kabupaten Bandung. 2007, Kabupaten Bandung Dalam Angka, Kabupaten Bandung.
Chanlett, E.T. 1974. Enviromental Protection. McGraw-Hill Book Company, Inc. NewYork.
Demek J., 1972 Manual of Detailed Geomorphological Mapping. International
Geomorphological Union, Commision on Geomorphological Survey and
Mapping.Academic. Prague.
ER Mapper, 2006. ER Mapper Professional Tutorial Ver 7.1. Earth Resource Mapping Ltd.
Estes. J.E. and D.S. Simonett. 1975. Fundamentals Of Image Interpretation, In: Manual of
Remote Sensing Vol. 1. Second Edition. R.N. Colwell: ed-in-chief. American Society
of Photogrammetry. Falls Church. Virginia.
Fakultas Geografi UGM – Bakosurtanal, 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas
Pemetaan Tematik Dasar Dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang, Yogyakarta.
Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Proyek Inventarisasi Evaluasi Sumberdaya
Nasional Matra Laut – Bakosurtanal.
Goudie, A. 1993, The Nature of The Environment 3rd Ed. Blackwell Publisher Ltd.
Harintaka dan Christine N. Kartini, 2001. Penggabungan Citra Satelite SPOT XS Dengan
Foto Udara Pankromatik (Studi Kasus Kodya Bandung). Penelitian. Fakultas Teknik-
UGM, Yogya.
Karson, M. J. 1982. Multivariate statistical Methods. The Iowa State University
Press. Iowa
Kusumadinata K., 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung
Kusumadinata K., 1972 MS, Tujuh Buah Terjemahan Mengenai Masalah Kegunungapian Di
Hindia Belanda Dan Jepang, Direktorat Geologi Bandung.
Lillesand, T.M dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Monkhouse, F.J., 1974, A Dictionary of Geography, Second edition, Edward Arnold,
London.
Noviar, H. 2004. Interpretasi Citra Satelit Landsat-7 ETM+ untuk Mengidentifikasi
Areal Tanaman Semangka. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
PERKA, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008. PERKA No. 2 Tentang Evaluasi Tapak
Reaktor Daya Untuk Aspek Kegunungapian.
Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Gramedia Widia Sarana
Indonesia. Jakarta.
Putra, E.H. 2003. Deteksi Kondisi Hutan Tanaman Menggunakan Citra Satelit Landsat ETM+
di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB,
Bogor.
Reksowirogo, 1990, Berita Berkala Vulkanologi, edisi khusus : Gunung Tangkubanparahu.
Direktorat Vulkanologi Bandung
Sabin, F.F.Jr. 1978. Remote Sensing, Principle and Interpretation. W.H. Freeman and Co. San
Francisco
Samsuri, 2004. Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan sumberdaya Hutan.
Penelitian. Universitas Sumatera Utara (USU). Sumatera Utara.
Spot Asia, 2006. www.spotimage.com. Februari 8, 2009.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh. Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or.
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or.
Tejo, R.K. 2003. Interpretasi Kenampakan Hasil Fusi Citra Landsat TM dengan Landsat
Pankromatik (Studi Kasus Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat).
Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor
Tjahjono B., 1998. Etude Geomorphologique du Volcan Sunda-Tangkuban Parahu et Des
Aleas Volcanique. Desertasi. Universitas Blaise Pascal, Clermont-Ferrand II, Perancis
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. The Hague. Government Printing
Office.
Wilkey, D.S. and Finn, J.T. 1996. Remote Sensing Imagery for Natural Resources
Monitoring: Guide for First Time Users. Columbia University Press. New York
Wiradisastra U.S., Tjahjono, B., Munibah, K., Gandasasmita K., 1999, Lecture Note:
Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian, IPB Bogor
Zakiah., 2007. Pemilihan Saluran Panjang Gelombang (Band) dan Fusi Citra Landsat ETM+
Untuk Interpretasi Penutup Lahan/Penggunaan Lahan. Laporan Praktek Lapang.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Gambar Lampiran 1: Contoh Gambar Morfogenesis
>55 579.88
0-2 97.89
13-22 798.72
22-55 1890.79
2-6 40.31
6-13 2132.97
Lembang 9849.166
>55 712.50
0-2 332.94
13-22 1021.93
22-55 5439.85
2-6 331.35
6-13 2010.59
Parongpong 4314.731
>55 298.07
0-2 202.964
13-22 744.21
22-55 1196.39
2-6 271.22
6-13 1601.87
Total 24546.361