Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

Local Wisdom in The Folklore of Ande-Ande Lumut and Komebuki to Awabuki

Indah Fitriani, Lina Meilinawati, Amaliatun Saleha


Universitas Padjadjaran
Email: indah.fitriani@unpad.ac.id

ABSTRACT
This research is a comparative literary study with the focus of research on the folklore of the
Javanese region titled Ande-Ande Lumut and Japanese folklore titled Komebuki to Nukabuki (from
the Akita area). Folklore is a representation of the authenticity of the behavior and culture of local
people in which there is the local wisdom of the society's culture. Even if it is seen from the story
type, both stories have the same type of story, which is about two stepsisters and a man who is
looking for a partner of his life. However, due to the use of different languages, such as Indonesian
and Japanese, and the geographical differences between the two countries, both folklore also has
the element of distinction. To study more about the similarities and differences in the folklore of
Ande-Ande Lumut and Komebuki to Nukabuki, the method of research used is structural method
by analyzing the structural of both works. It is then compared to seeing the background of the
community in which both folklore appear. Based on the results of the study found that similarities
are not only in the theme of the story but also the storyline and the character. While the difference
lies in the moral value created from the difference in the value of local wisdom from each region
where both folklore appear.
Keywords: Comparative literature, local wisdom, moral values

1. PENDAHULUAN
Cerita rakyat adalah cerita masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan beraneka
ragam budaya, mencakup kekayaan budaya dan sejarah dari masing-masing bangsa. Di Indonesia,
cerita rakyat adalah suatu karya sastra lisan yang hidup dan bertahan dalam suatu lingkungan
masyarakat. Lahirnya suatu cerita rakyat tidak hanya untuk menghibur masyarakatnya tetapi
sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai luhur. Begitu juga di Jepang, cerita rakyat tidak
dianggap benar-benar terjadi (fiktif) dan tidak terikat waktu atau tempat, namun mengandung
pesan-pesan yang merupakan nilai-nilai dari bangsa yang mendukungnya.
Cerita prosa rakyat di Jepang dapat dikategorikan ke dalam 3 kelompok yaitu: mitos (shinwa),
legenda (densetsu), dan dongeng (mukashi banashi). Mitos adalah cerita mengenai para dewa,
legenda adalah cerita rakyat berdasarkan peristiwa yang terjadi, sedangkan dongeng adalah cerita
yang tidak nyata atau tidak benar-benar terjadi (Dananjaja, 1997: 97).
Berbicara tentang budaya masyarakat tentu tidak terlepas dari pembahasan mengenai folklor.

Dilihat dari arti secara harfiahnya, kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore. Kata tersebut

merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar, yakni folk dan lore. Folk sama artinya

dengan kata ‘kolektif’. Menurut Alan Dundes (dalam Danandjaja, 1997: 1), folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat

dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan, yang dimaksud dengan lore adalah

tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau

melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Dengan

demikian, folklor dapat diartikan sebagai budaya suatu kelompok masyarakat tertentu yang

diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan atau dalam bentuk perbuatan.

Melihat definisi di atas, cakupan folklor tidak hanya sebatas pada tradisi lisan saja seperti

ujaran rakyat, ungkapan tradisional, cerita prosa rakyat (mite, legenda dan dongeng), dan nyanyian

rakyat. Folklor mencakup lebih dari itu, yang di dalamnya termasuk religi (agama dan kepercayaan

rakyat), permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-

lain. Selain itu, ada juga folklor yang berbentuk materiil seperti arsitektur rakyat, seni kriya,

pakaian dan perhiasan tubuh rakyat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.

Dalam penelitian ini, bentuk folklor yang akan dikaji berfokus pada folklor lisan, yakni cerita

rakyat. Cerita rakyat merupakan gambaran otentisitas perilaku dan budaya masyarakat setempat

yang di dalamnya terkandung kearifan lokal budaya masyarakat tersebut. Cerita rakyat yang akan

dikaji dalam penelitian ini berasal dari dua daerah yang berbeda, yakni daerah Jawa Timur

(Indonesia) dan daerah Akita (Jepang). Cerita rakyat yang berasal dari Jawa Timur berjudul Ande-
Ande Lumut, sedangkan cerita rakyat yang berasal dari daerah Akita Jepang berjudul Komebuki

to Awabuki. Dalam bahasa Jepang, penyebutan ‘cerita rakyat’ sendiri disebut dengan minwa.

Cerita rakyat Ande-Ande Lumut yang akan dikaji dalam penelitian ini dikutip dari laman

http://www.academia.edu/ yang ditulis oleh Oktaviaa NurFadilah dari Universitas Islam Negeri

Sunan Gunung Jati Bandung. Cerita ini berawal ketika raja Erlangga berniat untuk menyatukan

dua kerajaan, yakni Kediri dan Jenggala, dengan menikahkan putra mahkota Jenggala, Raden Panji

Asmarabangun dengan putri Kediri, Dewi Sekartaji. Ibu tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak

menghendaki Sekartaji menikah dengan Raden Panji karena ia menginginkan puteri kandungnya

sendiri yang nantinya menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan menyembunyikan Sekartaji

dan ibunya.

Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, putri itu sudah

menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Raden Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya

menjadi Ande-Ande Lumut. Pada suatu hari ia tiba di desa Dadapan. Ia bertemu dengan seorang

janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan

sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa. Ande-Ande Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk

mengumumkan bahwa ia mencari calon istri. Maka berdatanganlah gadis-gadis dari desa-desa di

sekitar Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Namun, tak seorangpun ia terima sebagai

isterinya.

Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk

menemukan Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga

anak gadis, Klething Abang, Klething Ijo dan si bungsu Klething Biru. Ibu janda menerimanya

sebagai anak dan diberi nama Klething Kuning. Di rumah Ibu Janda, Klething Kuning disuruh

menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dari membersihkan rumah, mencuci pakaian dan peralatan
dapur. Sampai suatu hari karena kelelahan Klething Kuning menangis dan tiba-tiba datang seekor

bangau besar yang membantunya.

Kemudian, pada suatu hari Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke

Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh

Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi. Sementara itu ibu

janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Di

perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada jembatan atau perahu yang

melintas. Mereka kebingungan. Lalu muncullah penjaga sungai berwujud kepiting raksasa

bernama Yuyu Kangkang. Yuyu Kangkang menawarkan jasa untuk menyeberangkan mereka

dengan catatan diberi imbalan bersedia dicium olehnya setelah diseberangkan. Karena terburu-

terburu, semua gadis-gadis desa yang lain segera saja menyetujuinya, dengan pemikiran bahwa

sang pangeran tidak akan mengetahuinya. Hanya si bungsu Kleting Kuning yang menolak untuk

dicium Yuyu Kangkang. Ketika Yuyu Kangkang bermaksud memangsanya, Kleting Kuning

melawannya dengan senjata yang dititipkan oleh ibunya. Karena hanya si bungsu yang tidak

dicium Yuyu Kangkang, jadilah Ande Ande Lumut memilih si bungsu sebagai pendampingnya.

Barulah saat itu Kleting Kuning menyadari bahwa pemuda Ande Ande Lumut adalah Pangeran

Kusumayuda, pemuda idamannya.

Selanjutnya, cerita rakyat Komebuki to Awabuki diambil dari website kumpulan dongeng

anak 福娘童話集 (Fukumusume Fairy Tale Collection). Cerita ini mengisahkan tentang saudara

perempuan yang bernama Komebuki (kakak) dan Awabuki (adik).


Pemilihan kedua cerita rakyat ini dilatarbelakangi oleh adanya kesamaan alur cerita. Menurut

Danandjaja (1986: 56) pada dasarnya persamaan unsur-unsur dalam cerita dikarenakan adanya dua

kemungkinan, yakni: (1) monogenesis, yaitu suatu penemuan diikuti proses difusi (diffusion) atau

penyebaran, (2) polygenesis, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan yang sendiri

(independent invention) atau sejajar (parallel invention) dari motif-motif yang sama, di tempat-

tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan. Akan tetapi, meskipun

dari segi cerita kedua cerita rakyat ini memiliki kesamaan, namun penggunaan bahasa yang

berbeda, yakni bahasa Indonesia dan Jepang, tentu akan memberikan nuansa cerita yang berbeda

pula. Selain itu, latar belakang budaya yang berbeda juga menjadi faktor penentu berbedanya unsur

kearifan lokal yang tercermin di dalam kedua cerita rakyat tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persamaan

dan perbedaan yang terdapat pada folklor lisan Ande-Ande Lumut dan Komebuki to Awabuki.

Khususnya, untuk mengetahui gambaran kearifan lokal yang tercermin di dalam kedua cerita

rakyat tersebut.

Penulis menggunakan kajian sastra bandingan untuk menganalisis perbedaan dan persamaan

isi cerita dari cerita rakyat Jepang Yuki-Onna dan cerita rakyat Indonesia Dewi Nawang Wulan.

Menurut Basnett (1993:1), sastra bandingan adalah studi teks lintas budaya, berciri antar disiplin

dan berkaitan dengan pola hubungan dalam kesusastraan lintas ruang dan waktu. Sesuai dengan

pendapat Basnett ini, kajian sastra bandingan setidak-tidaknya harus ada dua objek sastra yang

dibandingkan. Kedua objek karya sastra itu adalah karya sastra dengan latar belakang budaya yang

berbeda. Perbedaan latar belakang budaya itu dengan sendirinya juga berbeda dalam ruang dan

waktu.
Untuk mengkaji kedua objek penelitian tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah

metode struktural dengan menganalisis stuktur dari kedua objek tersebut. Setelah ditemukan ada

tidaknya persamaan dan perbedaan stuktural dari kedua cerita rakyat, langkah selanjutnya yang

dilakukan adalah menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat Ande-Ande

Lumut dan minwa Komebuki to Awabuki. Metode yang digunakan adalah dengan mengaitkan

latar belakang budaya masyarakat dari masing-masing daerah dimana cerita rakyat tersebut lahir,

yakni daerah Jawa Timur (Indonesia) dan daerah Akita (Jepang).

Diharapkan dengan memahami kearifan lokal dari kedua folklor lisan tersebut, kita dapat

memahami dan menghargai budaya kita sendiri dan budaya daerah lain. Selain itu, pemahaman

kita terhadap kearifan lokal ini pun diharapkan mampu untuk membangun kembali karakter bangsa,

kecintaan terhadap tanah air, dan pembangunan yang berlandaskan pada nilai perdamaian dan

harmoni.

2. METODE PENELITIAN

Untuk menganalisis unsur kearifan lokal pada cerita rakyat Ande-Ande Lumut dan Komebuki

to Awabuki, metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian sastra bandingan. Menurut

Damono, sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak dapat menghasilkan

teori sendiri. Boleh dikatakan teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan,

sesuai dengan objek dan tujuan penelitiannya. Sastra bandingan dalam beberapa tulisan juga

disebut sebagai studi atau kajian. Metode perbandingan adalah yang utama dalam langkah-langkah

yang dilakukannya (2013: 1).

Kajian sastra bandingan mempelajari bermacam-macam persamaan dan perbedaan yang

terdapat dalam karya sastra yang dibandingkan, yang bersifat universal maupun orisinal, misalnya

tentang jenis-jenis sastra, struktur, style, tema, amanat, atau isinya secara keseluruhan. Tujuan
utama penelitian sastra bandingan adalah menelaah/menemukan kekhasan atau sifat-sifat khas dari

karya sastra yang dibandingkan (Noor, 2015: 9).

Maman S. Mahayana1 (1995), menyebutkan bahwa membandingkan dua karya sastra atau

lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, termasuk wilayah kajian sastra bandingan. Karya

sastra yang dibandingkan, setidaknya mempunyai tiga perbedaan, mencakup: (a) Bahasa, (b)

Wilayah, (c) Idiologi/politik. Dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan

perbandingan akan memungkinkan munculnya “perbedaan latar belakang sosial budaya”. Latar

sosial budaya, seperti lokasi, tradisi, dan pengaruh melingkupi diri masing-masing pengarang.

Kondisi tersebut akan tercermin dalam karya yang dihasilkan.

Noor (2015: 22) mengemukakan, dalam bidang fiksi kajian (penelitian) sastra bandingan dari

bentuk dapat mencakup masalah tema, amanat, pengaluran, penggambaran watak, penggambaran

latar, sudut pandang dan teknik penceritaan. Kajian bandingan terhadap unsur-unsur itu mungkin

dapat menemukan kekhasan masing-masing karya fiksi yang dibandingkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perbandingan Struktural Cerita Rakyat Ande-Ande Lumut dan Komebuki to Awabuki

Tema mayor dan minor,

a) Tema

Persamaan tema mengenai tragedi kehidupan ditemukan pada tema minor cerita

rakyat Jepang Yuki-Onna dan tema mayor pada cerita rakyat Indonesia Dewi

Nawang Wulan. Persamaan tema kedua cerita rakyat ditemukan pada

penyelesaian konflik yang ditunjukkan dalam cerita.

Perbandingan tema Ande-ande lumut Komebuki to awa buki


Persamaan tema

Perbedaan tema

b) Tokoh dan penokohan

Tokoh utama dan tambahan

c) Alur

Alur pada suatu karya sastra dapat diurutkan ke dalam tahap-tahap yang

kronologis berdasarkan struktur awal alur cerita yang terdiri atas paparan,

rangsangan, dan gawatan; struktur tengah alur cerita yang terdiri atas tikaian,

rumitan dan klimaks; dan struktur akhir alur cerita yang terdiri atas leraian dan

penyelesaian. Penelitian ini mengacu pada alur cerita rakyat Jepang Yuki-Onna

dan cerita rakyat Indonesia Dewi Nawang Wulan. Alur kedua cerita rakyat

dianalisis untuk memahami isi cerita dari kedua cerita rakyat tersebut

d) Latar

e)

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT.

Temprint.

Basnett, Susan. 1993. Comparative: a Critical Introduction. Oxford: Blackwell.

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

You might also like