Professional Documents
Culture Documents
1 PB
1 PB
KADAR SERUM SELENIUM PADA REMAJA AKHIR USIA 17-19 TAHUN BERDASARKAN
STATUS OBESITAS DAN STUNTING
1
Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. H. Soedarto, SH., Semarang, Telp (024) 76402881, Email : gizifk@undip.ac.id
ABSTRACT
Background : Obese and stunted adolescents had been found have decreased body selenium level. Impaired selenium
status can lead to oxidative stress which is main precursor of many metabolic disorders. This study was aimed to examine
the difference of selenium serum level among 17-19 years adolescents based on obesity and stunting status.
Methods : This was cross-sectional study performed with 88 adolescents aged 17-19 years which were divided into 4
groups based on obesity and stunting status. Obesity was determined by WHtR >0.5 for female and >0.51 for male.
Stunting was determined by Height-for-Age >-2 SD. ICP-OES was used to measuring selenium serum level. The
difference of selenium serum level was analized using one-way Annova.
Results : The means of serum selenium level in stunted obesity, stunted-non obesity, non stunted-obesity, and non stunted-
non obesity groups were 277,5±96,4 ng/ml, 418±93,4 ng/ml, 304±64,9 ng/ml, and 330±112,2 ng/ml, respectively. There
was significant difference on selenium serum within the groups.
Conclusions : All groups had selenium serum level above normal range. Both stunted-obesity and non stunted-obesity
group had lower selenium serum level than non stunted-non obesity group, while stunted-non obesity had higher selenium
serum level than non stunted-non obesity group.
ABSTRAK
Latar Belakang : Remaja yang obesitas dan stunting ditemukan mengalami penurunan kadar selenium di tubuh.
Penurunan kadar selenium berdampak terhadap kejadian stress oksidatif yang merupakan prekursor berbagai masalah
kesehatan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perbedaan kadar serum selenium pada remaja akhir usia 17-19
tahun berdasarkan status obesitas dan stunting.
Metode : Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada 88 remaja usia 17-19 tahun yang dibagi dalam 4 kelompok
berdasarkan status obesitas dan stunting. Obesitas ditentukan dengan nilai WHtR >0.5 untuk perempuan dan >0.51
untuk laki-laki. Stunting ditentukan dengan TB/U >-2 SD. Kadar serum selenium ditentukan menggunakan ICP-OES.
Perbedaan kadar serum selenium dianalisis dengan uji Annova.
Hasil : Rerata kadar serum selenium pada kelompok stunted-obesity sebesar 277,5±96,4, stunted-non obesity 418±93,4,
non stunted-obesity 304±64,9, dan non stunted-non obesity 330±112,2. Terdapat perbedaan signifikan kadar serum
selenium pada kelompok.
Simpulan : Kadar serum selenium pada seluruh kelompok tergolong lebih tinggi dibanding nilai normal. Kelompok
stunted-obesity dan non stunted-obesity memiliki kadar serum selenium yang lebih rendah dibanding kelompok non
stunted-non obesity, sedangkan kelompok stunted-non obesity memiliki kadar selenium serum yang lebih tinggi dibanding
kelompok non stunted-non obesity.
obesitas di masa depan. Penderita stunting mengalami Kriteria inklusi penelitian ini adalah tidak
gangguan yang ditandai dengan oksidasi lemak yang sedang mengkonsumsi obat-obatan atau suplemen
lebih rendah jika dibandingkan dengan penderita non- yang mempengaruhi kadar selenium tubuh, tidak
stunting5. Gangguan oksidasi lemak jika diikuti merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, dan tidak
dengan asupan makanan tinggi lemak pada penderita memiliki riwayat penyakit metabolik pada subjek
stunting akan menyebabkan lemak lebih cepat maupun keluarga, dan tidak sedang melakukan
disimpan dan menyebabkan penumpukan lemak dan aktivitas fisik dengan intensitas berat. Kriteria ekslusi
melatarbelakangi terjadinya obesitas-stunting5. adalah subjek mengundurkan diri dalam penelitian,
Salah satu gangguan yang terjadi pada subjek sakit atau meninggal dunia saat penelitian
penderita stunting dan obesitas adalah stress berlangsung, dan subjek pindah atau keluar dari
oksidatif. Stress oksidatif merupakan keadaan dimana universitas. Setiap subjek terpilih diberikan informed
terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dengan consent sebagai tanda subjek setuju ikut serta dalam
antioksidan dalam sel akibat berlebihnya jumlah penelitian, pembuatan ethical clearance disetujui
reactive oxygen species (ROS)6. Stress Oksidatif oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran
terlibat dalam proses-proses patologis seperti pada Universita Diponegoro/RSUP dr. Kariadi Semarang.
sindrom metabolik, diabetes, dan penyakit jantung7. Variabel terikat pada penelitian ini adalah
Makhluk hidup memiliki mekanisme untuk kadar serum selenium, sedangkan variabel bebas
melindungi biomolekul dari efek stress oksidatif adalah status obesitas dan stunting. Obesitas
melalui antioksidan. Terdapat dua jenis antioksidan didefinisikan jika subjek memiliki Waist-to-height
yaitu antioksidan endogen yang berupa enzim-enzim rasio (WHtR) yang dihitung melalui perbandingan
antioksidan, serta antioksidan eksogen yang berupa lingkar pinggang dengan tinggi badan sebesar ≥0,5
zat-zat gizi antioksidan. Selenium merupakan salah untuk perempuan dan ≥0,51 untuk laki-laki15.
satu zat gizi antioksidatif yang berperan dalam Stunting didefinisikan jika subjek memiliki z-score
pencegahan stress oksidatif yaitu sebagai bagian tinggi badan berdasarkan usia (TB/U) <-2SD16.
integral dari Se-dependent enzyme diantaranya Persentase kecukupan asupan zat-zat gizi (Protein,
Glutathion Peroxidase (GPx) dan Thioredoxin Se, Cu, Zn, Fe, Mn, Vitamin C, dan Vitamin E) juga
Reductase (TR)8. dianalisis sebagai faktor perancu.
Beberapa penelitian mengenai kadar selenium Pengambilan data dilakukan pada bulan
pada penderita obesitas maupun stunting sudah Agustus 2017 sampai Maret 2018 meliputi
dilakukan dimana hasil tersebut membuktikan bahwa pengukuran antropometri, pengambilan data persen
terdapat penurunan kadar selenium pada penderita kecukupan asupan zat gizi, dan pengambilan darah.
obesitas maupun stunting9–14. Akan tetapi masih Pengukuran antropometri subjek dilakukan untuk
sedikit penelitian yang membandingkan perbedaan menentukan status obesitas berdasarkan WHtR dan
kadar selenium pada remaja berdasarkan status status stunting berdasarkan z-score TB/U.
obesitas dan stunting. Kadar selenium yang rendah Pengukuran lingkar pinggang dilakukan dengan pita
dapat berdampak pada peningkatan risiko diabetes ukur dengan ketelitian 0,1 cm sedangkan tinggi badan
mellitus tipe 2 dan sindrom metabolik melalui diukur dengan menggunakan microtoise dengan
peningkatan stress oksidatif12. Oleh karena itu, ketelitian 0,1 cm. Pengukuran antropometri
penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan dilakukan sebanyak 2x untuk meminimalisir bias dan
kadar serum selenium pada kelompok remaja kemudian hasil pengukuran dirata-rata. Penentuan
berdasarkan status obesitas dan stunting yang dibagi status stunting dilakukan menggunakan software
menjadi stunted-obesity, stunted-non obesity, non WHO AnthroPlus. Pengambilan data persen
stunted-obesity, dan non stunted-non obesity. kecukupan asupan zat gizi dilakukan menggunakan
Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire
METODE dengan menanyakan riwayat asupan makanan dalam
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup jangka waktu satu bulan sebelum pengambilan data
keilmuan gizi masyarakat dengan menggunakan dan diolah menggunakan software Nutrisurvey 2007.
desain penelitian cross-sectional. Populasi dalam Data hasil asupan subjek kemudian dibandingkan
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa baru dengan kebutuhan zat gizi sesuai dengan Angka
Universitas Diponegoro tahun ajaran 2017/2018 yang Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Pengambilan sampel
berusia 17-19 tahun. Sampel diambil dengan cara darah dilakukan oleh petugas ahli yang berasal dari
consecutive sampling. Besar sampel dalam penelitian Laboratorium GAKI FK Undip Semarang.
ini adalah 88 sampel yang dibagi dalam 4 kelompok Pengambilan darah dilakukan dalam kondisi fasting
yaitu 22 sampel stunted-obesity, 22 sampel stunted- selama 10 jam di malam hari dan hanya
non obesity, 22 sampel non stunted-obesity, dan 22 diperbolehkan meminum air putih. Darah diambil
sampel non stunted-non obesity melalui pembuluh vena di lengan (vena mediana
Perbandingan nilai antropometri dan memiliki kadar serum selenium yang berada pada
persentase kecukupan asupan disajikan dalam Tabel kategori tinggi (>150 ng/ml). Rerata kadar serum
2. Rerata WHTR tertinggi terdapat pada kelompok selenium tertinggi terdapat pada kelompok stunted-
stunted-obesity dan non stunted-obesity. Sedangkan non obesity, sedangkan yang terendah adalah
rerata TB/U terendah terdapat pada kelompok kelompok stunted-obesity. Rerata kadar serum
stunted-non obesity. Perbandingan persentase selenium pada kelompok stunted-obesity dan non
kecukupan asupan zat gizi didapat hasil bahwa hanya stunted-obesity lebih rendah dibanding rerata kadar
terdapat perbedaan pada variabel persentase serum selenium pada kelompok non stunted-non
kecukupan asupan Se, protein, Zn, Mn, dan Vitamin obesity. Terdapat perbedaan signifikan pada kadar
E. Kelompok stunted-non obesity memiliki rerata serum selenium pada tiap kelompok (p=0.001)
persentase kecukupan asupan Se, protein, Cu, Mn, dimana setelah dilakukan uji lanjut (post-hoc)
dan Vitamin E yang tertinggi dibanding rerata Bonferroni, perbedaan hanya terdapat antara
kelompok lainnya. kelompok stunted-non obesity dengan kelompok
Tabel 3 menunjukkan kadar serum selenium lainnya.
pada kelompok dimana didapat semua kelompok
Tabel 4. Hubungan kadar serum Se dengan variabel korelasi tertinggi terdapat pada hubungan antara
antropometri dan persentase kecukupan asupan persentase kecukupan vitamin C dengan kadar serum
Kadar Serum Se Se. Tidak terdapat hubungan signifikan antara
r p masing-masing variabel persentase kecukupan Cu,
WHTRa -0,270 0.005 Zn, Fe, dan Vitamin E dengan kadar serum Se.
TB/U (SD)b -0,210 0.025
Kecukupan Se (%)a 0,232 0.015 PEMBAHASAN
Kecukupan P (%)b 0,232 0.015 Berdasarkan studi ini, ditemukan bahwa
Kecukupan Cu (%) 0,168 0.059 persentase remaja yang mengalami obesitas pada
Kecukupan Zn (%) 0,154 0.076 populasi sebesar 14,13% dan remaja yang mengalami
Kecukupan Fe (%) 0,027 0.402 stunting sebesar 10,87%. Persentase remaja yang
Kecukupan Mn (%)b 0,260 0.007
Kecukupan Vit C (%)b 0,320 0.001
stunting tidak lebih tinggi daripada prevalensi
Kecukupan Vit E (%) 0,166 0.061 nasional stunting pada remaja usia 16-18 tahun.
a
Uji Pearson’s product moment; b Uji rank Spearman Remaja yang stunting berisiko mengalami gangguan
oksidasi lemak yang menyebabkan lemak lebih cepat
Tabel 4 menunjukkan hubungan antara disimpan dan berisiko menjadi obesitas5. Sementara
variabel kadar serum Se dengan variabel itu, persentase remaja yang mengalami obesitas pada
antropometri (WHTR dan TB/U), dan variabel populasi ditemukan hampir dua kali lebih tinggi
persen kecukupan asupan zat gizi sebagai perancu. dibanding prevalensi nasional. Hal ini mungkin
Hubungan yang signifikan ditunjukkan antara kadar disebabkan karena kecenderungan kurang makan
serum Se dengan WHTR (r = -0,270, p = 0.005). sayur dan buah pada penduduk Indonesia yang masih
Dengan demikian WHTR berkorelasi negatif dengan tinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 93,6% penduduk
kadar serum Se dengan kekuatan korelasi yang ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah. Angka
rendah. Korelasi negatif juga ditunjukan antara kadar tersebut juga tidak mengalami perubahan dibanding
serum Se dengan TB/U dengan kekuatan korelasi pada tahun 20074. Selain itu proporsi penduduk ≥10
yang lebih rendah (r = -0,210, p = 0.025). Variabel tahun yang mengkonsumsi makanan berlemak lebih
persentase kecukupan asupan zat gizi yang dari satu kali per hari di Indonesia juga masih tinggi
berhubungan signifikan dengan kadar serum Se yaitu sebesar 40,7% pada tahun 20134. Obesitas pada
diantaranya persentase kecukupan Se, P, Mn, dan remaja dapat berdampak pada terjadinya obesitas dan
Vitamin C dengan korelasi positif dan kekuatan masalah kesehatan lain di masa dewasa.
Studi ini mendapat hasil bahwa seluruh subjek dan persepsi kenyang serta mempengaruhi sekresi
memiliki kadar serum selenium yang diatas nilai hormon yang terlibat dalam pengaturan
normal. Kadar serum selenium normal yang keseimbangan energi dan metabolisme. Hormon yang
dibutuhkan tubuh adalah 70-150 ng/mL untuk fungsi disekresi diantaranya Ghrelin yang memicu aktivasi
glutathion peroksidase yang optimal17,18. Kadar neuropeptide Y (NPY) dan Agouti-related protein
serum yang tergolong tinggi pada semua subjek (AgRP) yang dapat meningkatkan nafsu makan25.
mungkin disebabkan oleh rerata persen kecukupan Asupan selenium sangat berpengaruh terhadap kadar
asupan subjek yang mencapai >90% pada semua serum selenium di dalam tubuh, sehingga semakin
kelompok kecuali kelompok stunted-obesity yang tinggi asupan selenium maka kadar serum selenium
hanya mencapai 71,9%. Hal ini disebabkan tingkat juga akan semakin tinggi. Selain itu defisiensi kadar
selenium dalam serum sangat dipengaruhi oleh mineral pada penderita stunting biasanya muncul
asupan selenium17. Kadar serum selenium juga pada usia kurang dari 5 tahun akibat peningkatan
diketahui dapat dipengaruhi oleh kondisi geografis. kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan dan
Hal ini disebabkan kandungan selenium dalam tanah perkembangan serta adanya infeksi, serta pada usia
berbeda-beda pada setiap daerah sehingga tersebut penderita stunting belum dapat memenuhi
konsentrasi selenium dalam darah pada penduduk di kebutuhan asupannya sendiri dibanding pada usia
seluruh dunia sangat bervariasi19,20. Sebagai contoh remaja13.
rerata kadar selenium darah pada penduduk Finlandia Kadar serum selenium pada kelompok non
sebesar 41,7 ng/mL, pada penduduk kanada 158,2 stunted-obesity dan stunted-obesity pada penelitian
ng/mL, dan pada penduduk China 0,15-0,25 ini lebih rendah dibandingkan kelompok non stunted-
mmol/L21. Studi yang dilakukan di Brazil juga non obesity. Akan tetapi, setelah dilakukan uji post
mendapatkan hasil bahwa kadar selenium darah pada hoc, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
sebagian besar subjek berada diatas nilai normal kelompok-kelompok tersebut. Hasil penelitian ini
dengan range 142.1–2029.3 ng/mL22. sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
Hasil pada penelitian ini menunjukan bahwa dimana pada kelompok obesitas kadar serum
kadar serum selenium pada kelompok stunted-non selenium lebih rendah secara signifikan dibanding
obesity diketahui lebih tinggi secara signifikan kelompok normal9,10,12. Status obesitas pada
dibanding pada kelompok lainnya setelah dilakukan penelitian ini ditentukan dengan Waist-to-height ratio
pengujian post-hoc. Hasil ini bertolakbelakang (WHtR). WHtR diketahui sensitif untuk mengukur
dengan temuan pada penelitian-penelitian lain. jaringan lemak visceral dan risiko kesehatan yang
Stunting merupakan masalah gizi yang disebabkan ditimbulkan obesitas15,26. Kondisi obesitas visceral
oleh beberapa faktor seperti ketidakadekuatan asupan menyebabkan inflamasi kronis di tubuh yang ditandai
gizi, infeksi, dan kurangnya interaksi dari ibu dan dengan peningkatan sitokin-sitokin inflamasi serta
anak13. Berdasarkan studi, subjek yang stunting sangat berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin
memiliki biomarker stress oksidatif seperti enzim- yang berkontribusi pada abnormalitas metabolit-
enzim antioksidan yang lebih rendah dibanding metabolit dan penyakit jantung, termasuk juga stress
kelompok kontrol13. Hal ini menyebabkan adanya oksidatif. Adanya abnormalitas metabolit-metabolit
ketidakseimbangan antioksidan-oksidan sehingga akibat disregulasi sitokin memicu aktivitas enzim-
menyebabkan stress oksidatif. Stress oksidatif enzim antioksidan seperti GPx yang membutuhkan
tersebut juga dipicu dengan kurangnya asupan seperti selenium. Disregulasi yang terjadi secara kronis
zinc dan tembaga sebagai kofaktor dari enzim menyebabkan level selenium di tubuh akan semakin
antioksidan13. Selain itu, pada penelitian lain turun27. Penurunan level selenium di tubuh
disebutkan bahwa terdapat penurunan kadar trace bersamaan dengan penurunan aktivitas enzim GPx
element dalam serum pada penderita stunting terjadi mungkin disebabkan adanya kondisi atherosklerotik
akibat adanya peningkatan level sitokin-sitokin dimana terjadi peningkatan konsumsi antioksidan
proinflamasi13. Kadar serum selenium yang tinggi oleh interaksi radikal bebas28. Sebuah studi juga
pada kelompok stunted-non obesity di penelitian ini menyebutkan bahwa akumulasi lemak dalam jaringan
mungkin disebabkan karena sebagian besar rerata visceral dapat mengganggu konsentrasi dari elemen-
asupan zat gizi yang tertinggi pada kelompok stunted- elemen essensial salah satunya selenium. Sitokin-
non obesity. Sebuah studi menjelaskan bahwa asupan sitokin inflamasi disebutkan dapat menghambat
makanan pada individu stunting lebih besar23. Hal ekspresi dari Se-transporter selenoprotein P
tersebut dapat disebabkan lemak di dalam tubuh yang (SEPP1). SEPP1 merupakan transporter utama yang
rendah menstimulasi sinyal yang merangsang berperan membawa selenium yang telah diabsrobsi
terjadinya hiperfagia24. Nukleus lateral hipotalamus dari liver kembali ke sirkulasi darah20. SEPP1
akan dirangsang untuk memfasilitasi terjadinya merupakan pusat homeostasis selenium yang
reaksi kimiawi dalam pengaturan asupan makanan mengatur retensi selenium di tubuh dan
mempengaruhi distribusi selenium dari liver ke inflamasi34. Kondisi inflamasi yang dimediasi oleh
jaringan. Adanya deplesi selektif dari ekspresi SEPP1 sitokin proinflamator menekan produksi hepatik
di hepatosit menyebabkan terganggunya suplai beberapa protein-protein karier, meningkatkan
selenium ke jaringan tubuh dan menyebabkan permeabilitas kapiler, dan menghambat masuknya
defisiensi selenium29. beberapa mikronutrien ke liver dan organ lain. Hal ini
Kadar serum selenium pada kelompok stunted- juga terjadi pada selenium, dimana sebagian besar
obesity berada paling rendah dibanding kelompok selenium yang beredar berbentuk SEPP1 yang juga
lain. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya termasuk protein karier dan produksinya menjadi
peningkatan inflamasi maupun penurunan kapasitas berkurang34.
antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, dan Terdapat hubungan yang signifikan antara
selenium30. Penurunan kapasitas antioksidan dapat kecukupan asupan protein dengan kadar serum
disebabkan oleh rendahnya asupan zat gizi yang selenium. Hal ini disebabkan protein dibutuhkan
terkait dimana pada kelompok stunted-obesity, untuk selenium agar dapat berfungsi. Selenium
kecukupan asupan beberapa zat gizi berada paling bergabung dengan protein untuk selanjutnya
rendah dibanding kelompok lain. Studi terdahulu diedarkan dalam sirkulasi. Selain itu, protein bersama
menunjukkan bahwa kadar pro-inflamator high dengan vitamin C dan vitamin E merupakan faktor
sensitive C-reactive protein (hsCRP) lebih tinggi yang meningkatkan absorbsi selenium di tubuh35.
pada remaja stunted obesity dibanding remaja dengan Asupan methionin mempengaruhi absorbsi selenium
status gizi normal31. Terjadinya ketidakseimbangan karena memiliki mekanisme absorbsi yang identik.
energi positif menyebabkan ukuran adiposit akan Se-Met akan digunakan untuk mengganti methionin
membesar dan mengalami hipertropi dan jika dalam sintesis protein sehingga meningkatkan Se
berlangsung lama akan terjadi peningkatan jumlah jaringan dan menurunkan penggabungan selenium
adiposit terus menerus atau hiperplasia. Hal inilah pada enzim spesifik seperti GPx36. Faktor lain yang
yang terjadi pada individu stunted-obesity. Keadaan dapat menjelaskan hubungan kecukupan protein
obesitas pada individu stunting memicu proses dengan kadar selenium adalah adanya kemiripan
diferensiasi dari sel prekursor (preadiposit) menjadi sumber dari bahan makanan dimana sumber makanan
adiposit yang matang. Jaringan adiposa mengalami tinggi selenium banyak terdapat pada makanan
inflamasi dan terdapat infiltrasi makrofag yang hewani yang mengandung protein dengan nilai
kemudian meningkatkan kondisi pro-inflamasi. bioavailabilitas yang tinggi. Vitamin C dan vitamin E
Kondisi tersebut dapat menyebabkan merupakan antioksidan yang bersama dengan
ketidakseimbangan yang kemudian meningkatkan selenium berperan dalam pencegahan stress oksidatif.
kondisi pro-inflamasi sehingga diferensiasi Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa terdapat
preadiposit gagal. Produksi sel-sel adiposa yang hubungan signifikan antara vitamin C dengan kadar
meningkat secara terus menerus diterjemahkan serum selenium, namun hubungan yang signifikan
sebagai protein atau stimulus asing oleh mekanisme tidak ditemukan antara vitamin E dengan kadar serum
imun tubuh dan dideteksi sebagai radikal bebas yang selenium. Vitamin C diketahui dapat meningkatkan
mengancam tubuh32. Hal inilah yang memicu bioavailabilitas selenium. Konsumsi vitamin C yang
terjadinya inflamasi yang dapat berpengaruh terhadap tinggi berdampak pada absorbsi fraksi selenite yang
kadar serum selenium. tinggi serta peningkatan retensi selenite. Hal ini
WHtR sebagai indikator penentuan obesitas disebabkan adanya proteksi vitamin C terhadap grup
dalam penelitian ini berkorelasi negatif dengan kadar sulphydryl yang juga terlibat dalam uptake selenite di
serum selenium. Hal ini berarti semakin besar nilai gastrointestinal36. Cu, Zn, Mn, dan Fe diketahui
WHtR, maka kadar selenium pada subjek semakin merupakan trace element yang sangat dibutuhkan
rendah. Nilai WHtR menunjukan adanya obesitas sebagai kofaktor dari enzim-enzim antioksidan.
sentral, dimana pada sebuah studi ditemukan bahwa Namun pada penelitian ini hanya kecukupan Mn yang
jaringan adiposa pada orang obesitas berkaitan ditemukan berhubungan signifikan dengan kadar
dengan peningkatan stress oksidatif dan penurunan serum selenium.
aktivitas enzim-enzim antioksidan diantaranya GPx.
Selain itu, adiposa yang berlebih menyebabkan KETERBATASAN PENELITIAN
kondisi pro-inflamasi yang mengakibatkan Keterbatasan penelitian ini adalah tidak
peningkatan kebutuhan selenium yang dapat dilakukannya pengukuran terhadap status inflamasi
berdampak pada perubahan kadar selenium jangka- dan kadar selenoprotein-P. Selain itu laboratorium
panjang33. Adanya pengurangan kadar selenium yang digunakan juga belum terakreditasi. Hal ini
akibat inflamasi disebabkan oleh SEPP1 yang disebabkan terbatasnya ketersediaan sumber daya dan
merupakan kontributor utama terhadap kadar finansial dari peneliti.
selenium diketahui berkurang pada kondisi
21. Erdenetsogt E, Tarmaeba E, Bolormaa N, 29. Mao J, Teng W. The relationship between
Tserenlham B, Jargal E, Batjargal J, et al. The selenoprotein P and glucose metabolism in
Human Selenium Status in Mongolia. Trace experimental studies. Nutrients.
Elem Med. 2015;16(1):11–4. 2013;5(6):1937–48.
22. Lemire M, Mergler D, Fillion M, Passos CJS, 30. Amirkhanlou S, Emadi H, Eshghinia S.
Guimarães JRD, Davidson R, et al. Elevated Evaluation of Plasma Selenium Level and its
blood selenium levels in the Brazilian Amazon. Association with Malnutrition in Hemodialysis
Sci Total Environ. 2006;366(1):101–11. Patients in Golestan Province , Iran. J Clin Basic
23. Kain J, Uauy R, Lera L, Taibo M, Albala C. Res. 2017;1(1):17–21.
Trends in height and BMI of 6-year-old children 31. Moulia M, Sulchan M, Nisa C. Kadar Pro-
during the nutrition transition in Chile. Obes inflamator High Sensitive C- Reactive Protein
Res. 2005;13(12):2178–86. (hsCRP) pada Remaja Stunted Obese di SMA
24. Sawaya AL, Roberts S. Stunting and future risk Kota Semarang. J Nutr Coll. 2013;2(2):44–9.
of obesity: principal physiological mechanisms. 32. Ceperuelo-Mallafré V, Ejarque M, Serena C,
Cad Saude Publica. 2003;19(suppl 1):S21–8. Duran X, Montori-Grau M, Rodríguez MA, et al.
25. Muhammad HFL. Obesity as the Sequel of Adipose tissue glycogen accumulation is
Childhood Stunting: Ghrelin and GHSR Gene associated with obesity-linked inflammation in
Polymorphism Explained. Acta Med Indones. humans. Mol Metab. 2016;5(1):5–18.
2018;50(2):159–64. 33. Bleys J, Navas-Acien A, Stranges S, Menke A,
26. Ahmad N, Adam SIM, Nawi AM, Hassan MR, Miller E, Guallar E. Serum selenium and serum
Ghazi HF. Abdominal obesity indicators: Waist lipids in US adults. Am J Clin Nutr.
circumference or waist‑to‑hip ratio in 2009;250(4):634–41.
Malaysian adults population. Int J Prev Med. 34. Duncan A, Talwar D, McMillan DC,
2016;2016(June). Stefanowicz F, O’Reilly DSJ. Quantitative data
27. Kim HN, Song SW. Concentrations of on the magnitude of the systemic inflammatory
chromium, selenium, and copper in the hair of response and its effect on micronutrient status
viscerally obese adults are associated with based on plasma measurements. Am J Clin Nutr.
insulin resistance. Biol Trace Elem Res. 2012;95(1):64–71.
2014;158(2):152–7. 35. Surai PF. Selenium in Nutrition and Health. 1st
28. Tajaddini MH, Keikha M, Razzazzadeh A, ed. Surai PF, editor. Vol. 8. Nottingham:
Kelishadi R. A systematic review on the Nottingham University Press; 2007. 985-994 p.
association of serum selenium and metabolic 36. Fairweather-Tait S, Hurrell RF. Bioavailability
syndrome. J Res Med Sci. 2015;20(8):782–9. of Minerals and Trace Elements. Nutr Res Rev.
1996;9(1):295.